membiasakan perilaku terpuji
-
Upload
airlangga-university-indonesia -
Category
Spiritual
-
view
482 -
download
0
description
Transcript of membiasakan perilaku terpuji
“MEMBIASAKAN SIFAT
PERILAKU TERPUJI”
OLEH:
DAMAR SASI ELSZA PUSPITA
AKHLAKUL KARIMAH RASULULLAH
Akhlak adalah tingkah laku makhluk yang diridhai Allah SWT, maka akhlak adalah bentuk perilaku makhluk dalam berhubungan baik kepada khaliknya atau kepada sesama. Sesungguhnya semua akhlak telah dituliskan dalam Al Qur’an dan Hadist baik yang terpuji maupun tercela. Semuanya telah tertulis jelas di Qur’an dan Hadist dan semuanya mempunyai balasan tersendiri. Tinggal manusianya sendiri yang menjalankan dan mempertanggung jawabkannya nanti di hari akhir. Rasulullah pun berperilaku sesuai Qur’an dan Hadist. Karena sifatnya itu beliau dijuluki Akhlakul karimah yakni akhlak yang mulia. Hal ini digambarkan oleh al-Quran surat Al-Ahzab, 33: 21 yang berbunyi:
وة اللرسولفيلكم كانلقد ماللجوير كانلمن حسنة أس يراكثاللوذكراآلخروال يو
“Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah.”
Akhlakul karimah yang patut kita puji dan tiru antara
lain :
1. Sifat yang wajib bagi rasul seperti siddiq, amanah, tabligh, dan fahtanah:
jujur, dapat dipercaya, menyampaikan apa adanya, dan cerdas. Keempat sifat
ini membentuk dasar keyakinan umat Islam tentang kepribadian Rasul saw.
2. Integritas. Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian Rasul
Saw. yang telah membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya.
Integritas personalnya sedemikian kuat sehingga tak ada yang bisa
mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya.
3. kesamaan di depan hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan
salah satu dasar terpenting
4. Penerapan pola hubungan egaliter dan akrab. Salah satu fakta menarik
tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul saw. adalah penggunaan
konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah, anggota, rakyat,
atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara beliau sebagai
pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.
Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan keakraban serta
kesetaraan.
5. kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi. Keberhasilan
Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya
membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi
yang sesuai untuk diterapkan.
6. tidak mengambil kesempatan dari kedudukan. Rasul Saw. wafat tanpa
meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah menyatakan bahwa
beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan orang-
orang miskin.
7. visioner futuristic. Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul SAW.
adalah seorang pemimpin yang visioner, berfikir demi masa depan
(sustainable).
8. menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan ajarannya. Pribadi Rasul Saw.
benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus proses panjang upaya
pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah personifikasi dari misinya.
Terkadang kita lupa bahwa kegagalan sangat mudah terjadi manakala
kehidupan seorang pemimpin tidak mencerminkan cita-cita yang
diikrarkannya.
Akhlak Rasul yang seperti ini patutlah kita tiru dan
kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasul sangat
mencintai Allah dan Allah lebih mencintai beliau karena
sesungguhnya siapa yang mencintai Allah maka Allah
lebih mencintainya. Dan apabila orang yang dekat
kepada Allah, Allah selalu memudahkan segala
urusannya. Allah Maha Pemberi apa yang dibutuhkan
semua umatNya. Allah tidak pernah merasa rugi apabila
Ia memberi kepada umatNya meskipun umatNya tidak
pernah mengingatnya ataupun bersyukur terhadapNya.
Allah Maha Pemberi Maaf bagi umatNya yang mau
berubah.
MEMBIASAKAN PERILAKU TERPUJI
Agama Islam adalah agama yang paling sempurna, Agama islam
sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang
terpuji. Segala tingkah laku Rasullullah SAW.Patut dijadikan
teladan atau Uswatun Hasanah bagi seluruh umatnya. Beliau
mempunyai sifat yang terpuji, sifat itu selalu diterapan dalam
tingkah laku sehari-hari baik dalam keluarga, masyarakat, bahkan
dalam pemerintahannya sehingga beliau patut di beri gelar Al
Amin.Sebagai umatnya, kita wajib mencontoh prilaku prilaku
beliau baik dirumah, sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Sifat-sifat terpuji tersebut adalah antara lain, menempati janji,
berterima kasih , tanggung jawab, ramah, rajin, dermawan,
hemat, rendah hati dan lain-lain.Namun di makalah ini sifat
terpuji yang akan kita bahas ialah Tobat dan Raja.
TOBAT
A. Pengertian
Tobat adalah sikap sabar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang
salah atau jalan serta berniat akan memperbaiki tingkah laku dan
perbuatan dosa tersebut)
Pembahasan mengenai tobat ditemukan dalam al-Quran Surah an-Nur Ayat
31.Surah at-Tahrim Ayat 8, Surah Al-Baqarah Ayat 222,Surah al-Munafiqun
Ayat 10-11 dan Surah an-Nisa Ayat 17-18.
Salah satu hadis yang menjelaskan tentang tobat adalah sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berikut ini.
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa ( H.R.
Ibnu Majah dari Abdullah: 4240)
Perbuatan dosa yang dilaukan seseorang akan membawa akibat buruk
bagi pelakunya beberapa kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan dosa
adalah
Menjauhkan dari dari pertolongan Allah SWT, Membuat hidup tidak berkah,
tidak berdaya guna, dan tidak bermanfaat, Menimbulkan penderitaan,
Mengeraskan hati sehingga sulit menerima kebenaran.
Melihat kebenaran yang sedemikian besar, selayaknya tiap manusia menjauhi perbuatan dosa.Kemudian,bagaimana jika seseorang telah terlanjur mengerjaan dosa? Jika seseorang telah mengerjakan dosa,ia arus bertobat.Dosa sebesar apapun dapat dihilangkan dengan cara bertobat. Hal itu difirmankan Allah SWT. Dalam Al-Quran Surah Al Imran ayat 133 yang artinya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertaqwa, “
Bersegera kepada hal yang baik berarti bersegera menuju ampunan Tuhan. Tuhan adalah zat yang membawa seseorang kepada pengetahuan bahwa segala yang terlihat dan terasakan berasal dari-Nya.
Jika seseorang bersegera kepada kesadaran ini, maka ia akan segera melihat satu hal, yaitu "surga yang luasnya seluas langit dan bumi."
Ungkapan Penjelasan:
Ayat ke 133 ini mengimplikasikan bahwa surga meliputi segala hal.
Rahmat Allah, seperti halnya surga, meliputi apa yang terlihat sebagai
musibah sekalipun. Ketika sebab musibah disadari, maka ketentraman
akan turun ke dalam hati. Ketentraman merupakan satu contoh keadaan
yang dialami di surga.
Ketika ayat ini diturunkan, Nabi ditanya sebuah pertanyaan: "Jika surga
seluas langit dan bumi, lalu di manakah neraka?" Ia menjawab, "Di
manakah malam ketika siang datang?" Hal ini mengimplikasikan bahwa
kepedihan dan kesengsaraan neraka tersembunyi di dalamnya, dan
pemadam api neraka adalah ketentraman, yang kemudian menjadi pintu
menuju surga. Ketentraman ditemukan dalam iman dan amal saleh:
untuk tentram haruslah merasakan perluasan dan ketenangan batin.
Gelisah berarti merasakan ketegangan dan keterbatasan batin.
Bagi mereka yang bertakwa, rahmat Allah itu meliputi segala
hal. Suatu ketika Nabi terlihat tersenyum sendiri, lalu ditanyakan
kepadanya mengapa ia tersenyum. Ia menjawab, "tak ada
kesukaran yang menang atas dua kemudahan." Ia mengutip ayat
Alquran: "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"
(Q.S. 94: 5-6). Setiap kesulitan akan berlalu; jika bukan pada saat
hidup seseorang, kemudahan itu setidaknya akan datang pada saat
kematian. Ketika kita melihat bagaimana kesulitan itu datang, kita
melihat cara kedatangannya yang begitu sempurna dan rumit
sehingga sebab dan akibat dapat datang secara bersamaan.
Pengetahuan seperti ini akan memberikan kemudahan dan
ketenangan tersendiri. Jadi, kita memperoleh dua kemudahan dari
setiap kesulitan
ROJA’
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka
artinya ammalahu: dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al
Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan
seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka
dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu
yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu
Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata:
“Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu
yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya
perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan,
berbahaya atau mengganggu.
MAKNA ROJA’ DAN KHOUF SECARA ISTILAH
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum
beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang
ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia
akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab
untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah
rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59).
Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat
tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah .
Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai
macam jenisnya, yaitu: khoufthabi’i, dan lain sebagainya (akan ada
penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan
khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada
khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullahta’ala.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-
orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah
rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya
aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian
dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108)
Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79).
Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri
dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada
pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakutI.
Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan
meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf
yang diiringi amalan…
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah
sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah
(cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya
adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu
dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia
maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di
akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang
akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62)
Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah
supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka
itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju
sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung
pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak
keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi
pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap
hamba wajib memperahtikan hal itu…” Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan
roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang
hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir
tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…
APABILA RASA TAKUT HILANG
Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa
takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa
nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu
yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh
sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah
gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa
merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah
kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan
hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan
berkata dusta…
ROJA’ DAN KHOUF YANG TERPUJI
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’yang terpuji hanya
ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap
pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap
taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’
yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu
Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf yang terpuji adalah
yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah.
“Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang terhitung
dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya
tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.”
ROJA’ DAN KHOUF ADALAH IBADAH
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu
justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka
yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-
Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan
kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah
oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri
mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah,
mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap
rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut
tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir
dan takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan
takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam ayat ini
Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut
kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana
Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah
kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan
takut kepada wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang.
ROJA’ YANG DISERTAI DENGAN KETUNDUKAN DAN PERENDAHAN
DIRI
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai
dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan
kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam
ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar
dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang
berharap itu…”
MENGENDALIKAN KHOUF DAN ROJA’
Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab: “Para ulama
berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah
khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah berpendapat:
“Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia
mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau
rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih
mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan
dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan
apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus
asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya
harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan
takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat
taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka
baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar
amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka
hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam
perbuatan maksiat.
Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat
memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit
memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila
memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat.
Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia
akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya.
Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-
beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan
lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah
maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan
menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan
lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka
hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan
memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter
bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya
sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan
kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang
ditempuh tetap tidak akan sembuh.”