membiasakan perilaku terpuji

21
“MEMBIASAKAN SIFAT PERILAKU TERPUJI”

description

perilaku terpuji

Transcript of membiasakan perilaku terpuji

Page 1: membiasakan perilaku terpuji

“MEMBIASAKAN SIFAT

PERILAKU TERPUJI”

Page 2: membiasakan perilaku terpuji

OLEH:

DAMAR SASI ELSZA PUSPITA

Page 3: membiasakan perilaku terpuji

AKHLAKUL KARIMAH RASULULLAH

Akhlak adalah tingkah laku makhluk yang diridhai Allah SWT, maka akhlak adalah bentuk perilaku makhluk dalam berhubungan baik kepada khaliknya atau kepada sesama. Sesungguhnya semua akhlak telah dituliskan dalam Al Qur’an dan Hadist baik yang terpuji maupun tercela. Semuanya telah tertulis jelas di Qur’an dan Hadist dan semuanya mempunyai balasan tersendiri. Tinggal manusianya sendiri yang menjalankan dan mempertanggung jawabkannya nanti di hari akhir. Rasulullah pun berperilaku sesuai Qur’an dan Hadist. Karena sifatnya itu beliau dijuluki Akhlakul karimah yakni akhlak yang mulia. Hal ini digambarkan oleh al-Quran surat Al-Ahzab, 33: 21 yang berbunyi:

وة اللرسولفيلكم كانلقد ماللجوير كانلمن حسنة أس يراكثاللوذكراآلخروال يو

“Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah.”

Page 4: membiasakan perilaku terpuji

Akhlakul karimah yang patut kita puji dan tiru antara

lain :

1. Sifat yang wajib bagi rasul seperti siddiq, amanah, tabligh, dan fahtanah:

jujur, dapat dipercaya, menyampaikan apa adanya, dan cerdas. Keempat sifat

ini membentuk dasar keyakinan umat Islam tentang kepribadian Rasul saw.

2. Integritas. Integritas juga menjadi bagian penting dari kepribadian Rasul

Saw. yang telah membuatnya berhasil dalam mencapai tujuan risalahnya.

Integritas personalnya sedemikian kuat sehingga tak ada yang bisa

mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya.

3. kesamaan di depan hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan

salah satu dasar terpenting

4. Penerapan pola hubungan egaliter dan akrab. Salah satu fakta menarik

tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul saw. adalah penggunaan

konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah, anggota, rakyat,

atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara beliau sebagai

pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.

Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan keakraban serta

kesetaraan.

Page 5: membiasakan perilaku terpuji

5. kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi. Keberhasilan

Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya

membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi

yang sesuai untuk diterapkan.

6. tidak mengambil kesempatan dari kedudukan. Rasul Saw. wafat tanpa

meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah menyatakan bahwa

beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan orang-

orang miskin.

7. visioner futuristic. Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul SAW.

adalah seorang pemimpin yang visioner, berfikir demi masa depan

(sustainable).

8. menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan ajarannya. Pribadi Rasul Saw.

benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus proses panjang upaya

pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah personifikasi dari misinya.

Terkadang kita lupa bahwa kegagalan sangat mudah terjadi manakala

kehidupan seorang pemimpin tidak mencerminkan cita-cita yang

diikrarkannya.

Page 6: membiasakan perilaku terpuji

Akhlak Rasul yang seperti ini patutlah kita tiru dan

kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasul sangat

mencintai Allah dan Allah lebih mencintai beliau karena

sesungguhnya siapa yang mencintai Allah maka Allah

lebih mencintainya. Dan apabila orang yang dekat

kepada Allah, Allah selalu memudahkan segala

urusannya. Allah Maha Pemberi apa yang dibutuhkan

semua umatNya. Allah tidak pernah merasa rugi apabila

Ia memberi kepada umatNya meskipun umatNya tidak

pernah mengingatnya ataupun bersyukur terhadapNya.

Allah Maha Pemberi Maaf bagi umatNya yang mau

berubah.

Page 7: membiasakan perilaku terpuji

MEMBIASAKAN PERILAKU TERPUJI

Agama Islam adalah agama yang paling sempurna, Agama islam

sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang

terpuji. Segala tingkah laku Rasullullah SAW.Patut dijadikan

teladan atau Uswatun Hasanah bagi seluruh umatnya. Beliau

mempunyai sifat yang terpuji, sifat itu selalu diterapan dalam

tingkah laku sehari-hari baik dalam keluarga, masyarakat, bahkan

dalam pemerintahannya sehingga beliau patut di beri gelar Al

Amin.Sebagai umatnya, kita wajib mencontoh prilaku prilaku

beliau baik dirumah, sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

Sifat-sifat terpuji tersebut adalah antara lain, menempati janji,

berterima kasih , tanggung jawab, ramah, rajin, dermawan,

hemat, rendah hati dan lain-lain.Namun di makalah ini sifat

terpuji yang akan kita bahas ialah Tobat dan Raja.

Page 8: membiasakan perilaku terpuji

TOBAT

A. Pengertian

Tobat adalah sikap sabar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang

salah atau jalan serta berniat akan memperbaiki tingkah laku dan

perbuatan dosa tersebut)

Pembahasan mengenai tobat ditemukan dalam al-Quran Surah an-Nur Ayat

31.Surah at-Tahrim Ayat 8, Surah Al-Baqarah Ayat 222,Surah al-Munafiqun

Ayat 10-11 dan Surah an-Nisa Ayat 17-18.

Salah satu hadis yang menjelaskan tentang tobat adalah sebuah hadis

yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berikut ini.

Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa ( H.R.

Ibnu Majah dari Abdullah: 4240)

Perbuatan dosa yang dilaukan seseorang akan membawa akibat buruk

bagi pelakunya beberapa kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan dosa

adalah

Menjauhkan dari dari pertolongan Allah SWT, Membuat hidup tidak berkah,

tidak berdaya guna, dan tidak bermanfaat, Menimbulkan penderitaan,

Mengeraskan hati sehingga sulit menerima kebenaran.

Page 9: membiasakan perilaku terpuji

Melihat kebenaran yang sedemikian besar, selayaknya tiap manusia menjauhi perbuatan dosa.Kemudian,bagaimana jika seseorang telah terlanjur mengerjaan dosa? Jika seseorang telah mengerjakan dosa,ia arus bertobat.Dosa sebesar apapun dapat dihilangkan dengan cara bertobat. Hal itu difirmankan Allah SWT. Dalam Al-Quran Surah Al Imran ayat 133 yang artinya:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan

untuk orang-orang yang bertaqwa, “

Bersegera kepada hal yang baik berarti bersegera menuju ampunan Tuhan. Tuhan adalah zat yang membawa seseorang kepada pengetahuan bahwa segala yang terlihat dan terasakan berasal dari-Nya.

Jika seseorang bersegera kepada kesadaran ini, maka ia akan segera melihat satu hal, yaitu "surga yang luasnya seluas langit dan bumi."

Page 10: membiasakan perilaku terpuji

Ungkapan Penjelasan:

Ayat ke 133 ini mengimplikasikan bahwa surga meliputi segala hal.

Rahmat Allah, seperti halnya surga, meliputi apa yang terlihat sebagai

musibah sekalipun. Ketika sebab musibah disadari, maka ketentraman

akan turun ke dalam hati. Ketentraman merupakan satu contoh keadaan

yang dialami di surga.

Ketika ayat ini diturunkan, Nabi ditanya sebuah pertanyaan: "Jika surga

seluas langit dan bumi, lalu di manakah neraka?" Ia menjawab, "Di

manakah malam ketika siang datang?" Hal ini mengimplikasikan bahwa

kepedihan dan kesengsaraan neraka tersembunyi di dalamnya, dan

pemadam api neraka adalah ketentraman, yang kemudian menjadi pintu

menuju surga. Ketentraman ditemukan dalam iman dan amal saleh:

untuk tentram haruslah merasakan perluasan dan ketenangan batin.

Gelisah berarti merasakan ketegangan dan keterbatasan batin.

Page 11: membiasakan perilaku terpuji

Bagi mereka yang bertakwa, rahmat Allah itu meliputi segala

hal. Suatu ketika Nabi terlihat tersenyum sendiri, lalu ditanyakan

kepadanya mengapa ia tersenyum. Ia menjawab, "tak ada

kesukaran yang menang atas dua kemudahan." Ia mengutip ayat

Alquran: "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"

(Q.S. 94: 5-6). Setiap kesulitan akan berlalu; jika bukan pada saat

hidup seseorang, kemudahan itu setidaknya akan datang pada saat

kematian. Ketika kita melihat bagaimana kesulitan itu datang, kita

melihat cara kedatangannya yang begitu sempurna dan rumit

sehingga sebab dan akibat dapat datang secara bersamaan.

Pengetahuan seperti ini akan memberikan kemudahan dan

ketenangan tersendiri. Jadi, kita memperoleh dua kemudahan dari

setiap kesulitan

Page 12: membiasakan perilaku terpuji

ROJA’

Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka

artinya ammalahu: dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al

Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan

seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka

dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu

yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu

Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata:

“Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu

yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya

perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan,

berbahaya atau mengganggu.

Page 13: membiasakan perilaku terpuji

MAKNA ROJA’ DAN KHOUF SECARA ISTILAH

Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum

beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang

ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia

akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab

untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah

rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59).

Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat

tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah .

Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai

macam jenisnya, yaitu: khoufthabi’i, dan lain sebagainya (akan ada

penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan

khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada

khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullahta’ala.

Page 14: membiasakan perilaku terpuji

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-

orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah

rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya

aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian

dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108)

Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79).

Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri

dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada

pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakutI.

Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan

meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf

yang diiringi amalan…

Page 15: membiasakan perilaku terpuji

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah

sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah

(cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya

adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu

dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia

maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di

akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),

“Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang

akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62)

Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah

supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka

itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju

sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung

pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak

keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi

pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap

hamba wajib memperahtikan hal itu…” Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan

roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang

hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir

tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…

Page 16: membiasakan perilaku terpuji

APABILA RASA TAKUT HILANG

Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa

takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa

nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu

yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh

sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah

gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa

merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah

kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan

hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan

berkata dusta…

Page 17: membiasakan perilaku terpuji

ROJA’ DAN KHOUF YANG TERPUJI

Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’yang terpuji hanya

ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap

pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap

taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’

yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu

Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf yang terpuji adalah

yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah.

“Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang terhitung

dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya

tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.”

Page 18: membiasakan perilaku terpuji

ROJA’ DAN KHOUF ADALAH IBADAH

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu

justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka

yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-

Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan

kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah

oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri

mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah,

mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap

rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut

tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir

dan takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman

yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan

takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam ayat ini

Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut

kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana

Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah

kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan

takut kepada wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang.

Page 19: membiasakan perilaku terpuji

ROJA’ YANG DISERTAI DENGAN KETUNDUKAN DAN PERENDAHAN

DIRI

Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai

dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan

kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam

ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar

dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang

berharap itu…”

Page 20: membiasakan perilaku terpuji

MENGENDALIKAN KHOUF DAN ROJA’

Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus Sunnah

wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab: “Para ulama

berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah

khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah berpendapat:

“Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia

mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau

rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih

mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan

dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan

apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus

asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya

harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan

takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat

taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka

baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar

amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka

hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam

perbuatan maksiat.

Page 21: membiasakan perilaku terpuji

Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat

memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit

memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila

memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat.

Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia

akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya.

Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-

beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan

lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah

maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan

menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan

lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka

hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan

memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter

bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya

sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan

kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang

ditempuh tetap tidak akan sembuh.”