Memangkas Pernikahan Memangkas Anak Pernikahan di...

108
Memangkas Pernikahan Anak PENGALAMAN LAPANGAN di BONDOWOSO, JAWA TIMUR Memangkas Pernikahan Anak PENGALAMAN LAPANGAN di BONDOWOSO, JAWA TIMUR

Transcript of Memangkas Pernikahan Memangkas Anak Pernikahan di...

MemangkasPernikahan

AnakPENGALAMAN LAPANGAN

di BONDOWOSO, JAWA TIMUR

MemangkasPernikahan

AnakPENGALAMAN LAPANGAN

di BONDOWOSO, JAWA TIMUR

Memangkas Pernikahan Anak:Pengalaman Lapangan di Bondowoso, Jawa Timur.

Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), 2016.Naskah: Tim Yayasan Kesehatan Perempuan Rancang Sampul & Kompugrafi: Rumah Pakem

PERPUSTAKAAN NASIONAL Katalog Dalam Terbitan (KDT)ISBN 978-602-74381-0-11. Hak Anak 2. Pernikahan Dini 3. Kesehatan Reproduksi I JUDUL+x, 96 halaman 14,8 x 21 cm© Yayasan Kesehatan Perempuan Cetakan pertama, Maret 2015

Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jalan Kaca Jendela 2Pancoran, Jakarta 12750Tel. +62 217902112 | Fax, +62 21 7902109 E-mail: [email protected]: www.ykesehatanperempuan.org

MemangkasPernikahan

AnakPENGALAMAN LAPANGAN

di BONDOWOSO, JAWA TIMUR

MemangkasPernikahan

AnakPENGALAMAN LAPANGAN

di BONDOWOSO, JAWA TIMUR

v

ISTILAH & SINGKATAN

AHH Angka Harapan HidupAKB Angka Kematian BayiAKI Angka Kematian IbuBBLR Berat Bayi Lahir RendahBKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana NasionalCRC Convention on the Rights of the ChildFGD Focus Group DiscussionFKP Forum Kesehatan PerempuanIMS Infeksi Menular SeksualIPM Indeks Prestasi MasyarakatKB Keluarga BerencanaKHA Konvensi Hak-hak AnakKPP dan PA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

AnakKPR Kelompok Peduli RemajaLSM Lembaga Swadaya Masyarakat

vi

MDGs Millennium Development GoalsMOS Masa Orientasi SiswaPGPKR Paguyupan Guru Pendidik Kesehatan ReproduksiPKBI Perkumpulan Keluarga Berencana IndonesiaPOLINDES Pondok Bersalin DesaRDPU Rapat Dengar Pendapat UmumSMP Sekolah Menengah PertamaSMA/U Sekolah Menengah Atas/Umumstillbirth Bayi lahir matiSUPAS Survei Penduduk Antar SensusSKPD Satuan Kerja Perangkat DaerahTFR Total Fertility RateTKW Tenaga Kerja WanitaUKP Usia Kawin PertamaUNFPA United Nations Population FundUSAID United State Agency for International DevelopmentUU PA Undang-undang Perlindungan AnakYKP Yayasan Kesehatan Perempuan

vii

KATA PENGANTAR

Di era globalisasi dimana teknologi modern berkembang sangat pesat yang memberikan kesempatan setiap orang dapat mengakses informasi, termasuk informasi tentang Hak & Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), tetapi mengapa pernikahan anak masih tinggi di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan di Indonesia angka perkawinan anaknya menempati urutan tertinggi kedua di Asean setelah Kamboja. Hal ini seperti kita hidup satu abad yang lalu.

Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur usia minimum menikah bagi anak perempuan adalah 16 tahun. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun. Ini artinya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menunjukan bahwa pemerintah melegalkan perkawinan anak.

Perkawinan anak mempunyai beberapa dampak negatif, baik dari segi kesehatan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Dari segi fisik usia di bawah 18 tahun alat-alat reproduksi belum berkembang dengan sempurna atau dapat diartikan belum siap untuk melakukan proses kehamilan

viii

dan persalinan, hal lainnya yaitu usia 18 tahun anak masih dalam proses pertumbuhan yang masih memerlukan gizi yang banyak sehingga apabila dia hamil akan terjadi perebutan asupan gizi untuk ibu dan janin dan dapat berdampak pada resiko Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) bahkan berujung pada kematian. Berdasarkan penelitian UNICEF melahirkan di usia kurang dari 18 tahun mempunyai resiko kematian 5 kali lipat dari perempuan melahirkan usia 20 -24 tahun.

Dari sisi psikologis dan sosial, anak usia 16 tahun masih dalam masa belajar dan bermain dengan teman sebayanya, artinya anak belum mampu bertanggung jawab sebagai orang tua di rumah tangganya, seperti mengurus dan membesarkan anak secara berkualitas atau memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Hal ini mengakibatkan stres berkepanjangan dan anak cenderung menghindar dari kehidupan sosial, seperti mengalami kendala berkomunikasi dengan orang dewasa dan disisi lain anak juga akan terputus komunikasi dengan teman sebayanya.

Berbeda dengan anak laki-laki yang setelah menikah dan mempunyai anak masih memungkinkan untuk melanjutkan sekolah, sementara anak perempuan karena malu atau ketentuan sekolah yang tidak mengizinkan untuk melanjutkan sekolah atau terpaksa drop out sehingga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) akan sangat rendah sehingga sulit bagi anak untuk mendapatkan pekerjaan yang membutuhkan keahlian, jadiapa yang bisa diharapkan dari Bonus Demografi tahun 2020 sampai 2035 selain bencana.

Kondisi di atas mendorong Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bersama Kinerja USAID mengembangkan Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi sebagai upaya menghindari Perkawinan anak di Bondowoso. Program berbentuk pelatihan kesehatan reproduksi untuk siswa-siswi SMP dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), serta Guru SMP dan Guru

ix

Madrasah Tsanawiyah (MTs). Di samping juga dilakukan sosialisasi kepada para Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, dan orang tua murid.

Bondowoso dipilih untuk pelaksanaan program ini karena angka perkawinan anak nya yang tinggi sekitar 47% dan setelah pernikahan berusia 1 tahun 5% dari perkawinan tersebut berujung perceraian. Lebih penting lagi Bupati Bondowoso Bapak Drs Haji Amin Said Husni sangat terbuka dan antusias melaksanakan program ini sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan karena Bondowoso termasuk 3 (tiga) kabupaten termiskin di Jawa Timur. Hal ini terlihat dari kesediaannya Bapak Bupati menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk keberlanjutan program yang akan dibiayai dari anggaran APBD.

Pengalaman kerja advokasi di Bondowoso ini kami tuangkan dalam buku berjudul “Memangkas Perkawinan Anak – Pengalaman Lapangan di Bondowoso, Jawa Timur” agar dapat menjadi pembelajaran atau menginsipirasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi masyarakat dan tentunya Pemerintah Daerah. Apabila banyak pihak yang bersedia melaksanakan program sejenis, kami yakin permasalahan pernikahan anak di Indonesia lebih cepat terselesaikan.

Kita perlu bekerja bersama untuk menyelamatkan masa depan anak-anak perempuan di Indonesia.

DKI Jakarta, Januari 2016

Zumrotin K Susilo

xi

DAFTAR ISI

LATAR:Kepedulian pada Hak & Masa Depan AnakApa & Siapa YKP? ........................................................................ 3Tentang KINERJA-USAID ............................................................. 6

KAJIAN:Pernikahan Anak & PermasalahannyaPengertian “Pernikahan” ........................................................... 9“Pernikahan Anak” ..................................................................... 10Besaran Masalah ........................................................................ 12Faktor Pendorong ....................................................................... 14Akibat & Dampak ........................................................................ 15Tinjauan Hukum .......................................................................... 22

KANCAH:Kabupaten BondowosoGambaran Geografis .................................................................. 27Kependudukan ............................................................................ 27Sosial Budaya .............................................................................. 34Kesehatan Reproduksi ................................................................ 36

1

2

3

xii

KIPRAH:Menurunkan Angka Pernikahan AnakPersiapan ..................................................................................... 47Kegiatan di Lapangan ................................................................. 54Pasca Pelatihan ........................................................................... 63

CAPAIAN:Faktor-faktor Penentu KeberhasilanKematangan Berorganisasi ........................................................ 69Tekad Pemerintah ...................................................................... 71Kesungguhan Masyarakat .......................................................... 76Keterlibatan Pendana ................................................................. 79Peran Media ................................................................................ 80

PEMBELAJARAN:Kerjasama dalam Kesetaraan .................................................... 83

SIMPULAN:Ke Arah “Not Pernikahan Anak” ................................................ 87

4

5

67

1

KEPEDULIAN PADA HAK & MASA DEPAN ANAK

Satu dasawarsa yang lalu, pendapat umum masih mengamini pandangan bahwa tingginya jumlah pernikahan anak usia di bawah 18 tahun adalah karena faktor budaya, termasuk di dalamnya faktor agama dan

faktor ekonomi. Tetapi, sampai abad-21 saat ini, ternyata pernikahan anak masih cukup tinggi, termasuk di Indonesia. Badan Kependudukan & Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa --sampai April 2015-- pernikahan anak usia 15-19 tahun mencapai 46%, sementara pernikahan anak di bawah 15 tahun sebesar 5 %. Jumlah tersebut adalah proporsi dari 2,3 juta pasangan menikah setiap tahun. Salah satu daerah dengan angka pernikahan anak yang tinggi adalah Provinsi Jawa Timur, khususnya di beberapa kabupaten yang dikenal sebagai “kawasan tapal kuda.”

Meskipun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1954 secara tersurat menentang pernikahan anak, namun praktiknya masih berlangsung di berbagai belahan dunia. Hal ini menandakan bahwa perlindungan hak asasi anak masih terabaikan. Penerapan undang-undang yang melarang praktik pernikahan anak pun seringkali tidak efektif dan

1. LATAR

2

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

terpatahkan oleh adat-istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat (Fadlyana & Larasaty, 2009).

Pernikahan anak merupakan masalah sosial, ekonomi, dan politik yang diperumit oleh praktik-praktik tradisi dan budaya. Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka pernikahan anak. Kebutuhan dan kepentingan ekonomi, yakni harapan tercapainya keamanan sosial dan keuangan setelah menikah, menyebabkan banyak orangtua menyetujui bahkan mendorong pernikahan anak-anak mereka. Dorongan kepentingan lainnya, pernikahan anak dilakukan dengan maksud mempererat tali kekeluargaan dengan menjodohkan anak sejak mereka masih kanak-kanak. Secara umum, pernikahan anak terjadi di keluarga miskin dan sebagian besar kasusnya terjadi di negara-negara berkembang atau di negara-negara di mana norma agama menjadi pedoman utama pernikahan. Negara-negara dengan kasus pernikahan anak yang tinggi, pada umumnya adalah negara-negara dengan produk domestik bruto yang rendah. Pernikahan anak membuat keluarga, masyarakat, bahkan negara, mengalami kesulitan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Hal ini menyebabkan mutu kesehatan dan kesejahteraan yang rendah, bukan hanya bagi si anak yang menikah pada usia dini, tetapi juga bagi keluarga dan lingkungannya.

Fenomena pernikahan dini tidak hanya terjadi di keluarga miskin, tetapi juga di keluarga kelas menengah ke atas, yang memiliki akses dan mulai melek informasi, misalnya melalui internet. Akan tetapi kemudahan mengakses informasi ini tidak diiringi dengan pendidikan seks dan hal-hal yang berkaitan dengannya (seksualitas). Budaya tabu dalam masyarakat berbicara tentang seks dan seksualitas tidak hanya kental dalam masyarakat pinggiran, tetapi juga pada kelas menengah ke atas.

Secara umum, pernikahan anak berakibat langsung pada kaum perempuan dan anak-anak. Mereka akan menanggung risiko dalam berbagai aspek (fisik, mental dan sosial) berkaitan dengan pernikahan yang tidak diinginkan, hubungan

3

PENGALAMAN BONDOWOSO

seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia yang sangat muda, selain juga meningkatnya risiko penularan infeksi HIV, infeksi menular seksual lainnya, dan kanker leher rahim. Akibat-akibat dan dampaknya yang luas dalam berbagai aspek kehidupan merupakan hambatan dalam mencapai Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Developmental Goals, MDGs), yakni pada pengurangan jumlah Ibu-ibu yang meninggal saat melahirkan dan pemberdayaan perempuan. Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), pernikahan anak juga memangkas masa depan perempuan dalam hal akses pada pendidikan yang lebih baik. Keadaaan inilah yang melatarbelakangi Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) memberikan perhatian pada permasalahan pernikahan anak.

Apa dan Siapa YKP?

Bermula dari gencarnya pemberitaan media yang menunjukkan tingginya kebutuhan perempuan akan pelayanan pengguguran kandungan (aborsi) yang aman, namun kebutuhan ini tidak terpenuhi karena terbatasnya sarana maupun tenaga kesehatan terlatih yang bersedia memberikan pelayanan, sehingga menyebabkan perempuan-perempuan yang “sangat” membutuhkan akhirnya beralih kepada pelayanan aborsi yang tidak aman yang kerap kali berakhir dengan kematian. Akibatnya, kasus-kasus tersebut turut menyumbang kepada tingginya angka kematian ibu yang tidak kunjung turun secara signifikan. Keadaan itulah yang mendorong sekelompok pemerhati masalah kesehatan reproduksi yang tergabung ke dalam Forum Kesehatan Perempuan (FKP) mencoba menghidupkan kembali diskusi berkala antar anggota FKP yang sempat macet sejak tahun 1997. Inilah yang kemudian melatarbelakangi berdirinya YKP pada tanggal 12 Juni 2001.

Pada awalnya, kegiatan YKP lebih ditujukan untuk advokasi kepada pemerintah agar segera mengubah UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang tidak dapat digunakan karena pasal-pasalnya saling bertentangan, sehingga peraturan pelaksanaannya juga tidak bisa dirumuskan, khususnya Pasal 15 yang mengatur tentang aborsi. Maka,

4

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

sepanjang tahun 2002-2009, kegiatan-kegiatan YKP lebih dipusatkan pada upaya-upaya tersebut, antara lain, melakukan Survei Penghentian Kehamilan Tak Diinginkan Yang Aman Berbasis Konseling di sembilan kota besar (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram, dan Manado). Dari survei tersebut, ditemukan 87% dari 1.446 klien yang datang ke sarana kesehatan untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman adalah perempuan menikah dan telah mempunyai anak sekurangnya dua orang.

YKP juga melakukan serangkaian kegiatan lainnya. Antara lain, jajak pendapat melalui telepon kepada sekitar 750 responden yang berkediaman di Jakarta tentang perlunya mengurangi risiko kematian akibat aborsi yang tidak aman. YKP juga menyelenggarakan serangkaian dialog publik dan roundtable discussion tentang perlunya pelayanan aborsi yang aman; melakukan audiensi kepada sejumlah pejabat negara, termasuk Menteri Kesehatan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Kepolisian Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung; serta menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesaia (DPR-RI). Salah satu hasil RDPU tersebut, anggota Komisi VII (Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan) DPR-RI memutuskan akan menggunakan hak inisiatifnya untuk membuat Rancangan UU (RUU) Kesehatan Reproduksi. Setelah lebih dari tujuh tahun, upaya YKP dan beberapa organisasi mitranya itu akhirnya membuahkan hasil. DPR-RI kemudian mengesahkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menggantikan UU Nomor 23/1992. Segera setelah pengesahan UU Nomor 36/2009 tersebut, YKP tetap mengawal proses penyusunan Peraturan Pelaksanaannya yang hingga kini masih dalam penyelesaian.

Beberapa tahun terakhir ini, YKP lebih memusatkan kegiatannya pada pemberdayaan masyarakat tentang kesehatan reproduksi. Pada tahun 2009-2010, YKP menyelenggarakan pelatihan-pelatihan kesehatan reproduksi kepada Ibu-ibu dan petugas kesehatan di Kabupaten Kampar (Pekanbaru),

5

PENGALAMAN BONDOWOSO

Kebumen (Jawa Tengah), Jagakarsa (Jakarta Selatan), Pesanggrahan (Jakarta Selatan), dan Gambir (Jakarta Pusat). Berbagai media dan alat peraga pelatihan (buku pegangan, celemek, labia kain, penis kayu, lembar balik tentang keluarga berencana atau KB, infeksi menular seksual atau IMS dan kesehatan reproduksi atau KESPRO) dirancang dan dikembangkan untuk menunjang proses pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, YKP juga tidak mengabaikan kelompok orang-orang muda. Mereka sebagai calon pemimpin-pemimpin potensial di masa depan, juga perlu dibina dan dipersiapkan. Pada kelompok khusus ini, YKP menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan isu-isu kesehatan reproduksi. Dalam perkembangannya, mereka kemudian sepakat membangun suatu jaringan kerja yang mereka sebut dengan “Kelompok Peduli Remaja” (KPR). Jaringan kerja ini berkegiatan sebagai bagian dari program YKP. Mereka melakukan berbagai kegiatan, antara lain, pembinaan dan berbagi informasi kesehatan reproduksi kepada remaja-remaja atau kelompok muda lainnya; advokasi perbaikan mutu kurikulum pendidikan kesehatan di sekolah-sekolah; advokasi pelayanan kesehatan reproduksi tanpa diskriminasi; pengembangan tapakmaya (website) remaja; serta penyebaran informasi dan kampanye tentang kesehatan reproduksi. Penerima manfaat dari kegiatan-kegiatan KPR adalah siswa-siswi sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah umum (SMU), mahasiswa-mahasiswi, serta anak-anak jalanan. KPR biasanya melakukan kegiatan-kegiatan mereka secara mandiri, tetapi juga sering dilaksanakan bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya.

YKP mulai memberikan perhatian penuh pada isu pernikahan anak ketika dilibatkan dalam program yang dikembangkan oleh KINERJA-USAID di Bondowoso, Jawa Timur, pada awal tahun 2012. Pemberdayaan masyarakat dan kegiatan-kegiatan advokasi kesehatan reproduksi bisa dikatakan berhasil membangun kesadaran warga, pemuka-pemuka agama, dan pemimpin masyarakat di Bondowoso tentang pentingnya menunda usia nikah anak. Pembelajaran dari lapangan itulah yang dituangkan dalam buku

6

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

ini. Harapannya adalah agar pembelajaran tersebut dapat mengilhami siapa pun, baik perseorangan maupun kelompok atau organisasi, yang memang memiliki perhatian khusus pada permasalahan-permasalahan kesehatan reproduksi, khususnya pernikahan pada usia anak.

Tentang KINERJA-USAID

KINERJA adalah program USAID (United State Agency for International Development) yang dilaksanakan sejak Oktober 2010 hingga September 2015. Program ini bertujuan meningkatkan tata kelola dalam penyediaan layanan publik di Indonesia pada tiga sektor, yakni pendidikan, kesehatan dan iklim usaha di daerah (kemudahan dalam mengelola perizinan usaha). Dalam melaksanakan programnya, KINERJA bekerjasama dengan pemerintah daerah dan masyarakat setempat untuk mengupayakan penyediaan layanan publik yang tanggap (responsif) dan meningkatkan kepedulian terhadap mutu pelayanan yang lebih baik (www.kinerja. or.id).

Wilayah kerja program ini adalah lima provinsi (Jawa Timur, Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua), yang mencakup 24 Kabupaten/Kota. Pemilihan wilayah provinsi berdasarkan usulan dari pemerintah pusat --dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum (PUM). Adapun pemilihan Kabupaten/Kota melalui suatu proses pemetaan masalah kesehatan reproduksi di daerah yang bersangkutan. Daerah yang terpilih kemudian membuat nota kesepakatan kerjasama dengan KINERJA-USAID.

Untuk program pendidikan kesehatan reproduksi dan pencegahan pernikahan anak adalah kasus khusus. Pada awalnya, program ini tidak tercantum dalam perencanaan. Hasil pemetaan masalah dan para pemangku kepentingan (stakeholders analysis) di Bondowoso kemudian memperlihatkan bahwa daerah itu adalah salah satu daerah dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah kedua di Provinsi Jawa Timur. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah tingginya jumlah pernikahan

7

PENGALAMAN BONDOWOSO

anak dan angka kematian ibu-ibu melahirkan. Temuan ini disampaikan kepada Bupati dan Satuan-satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) setempat. Para pejabat pemerintah daerah tersebut membenarkan bahwa tingginya angka kematian ibu-ibu melahirkan di Bondowoso adalah terutama karena umumnya mereka menikah pada usia sangat muda. Pemerintah daerah telah berupaya mengatasinya melalui berbagai program --misalnya pelaksanaan pendidikan dasar wajib sembilan tahun, beasiswa bagi siswa berprestasi, dan sosialisasi langsung kepada para tokoh agama dan kepala desa untuk mendukung pengurangan jumlah pernikahan anak. Namun, semua program itu belum sepenuhnya berhasil, antara lain, karena masih kuatnya keyakinan agama pada sebagian besar warga masyarakat bahwa anak yang telah akil baliq sebaiknya segera dinikahkan.

Keadaan itulah yang mendorong Pemerintah Daerah Bondowoso menyetujui rencana KINERJA-USAID untuk melaksanakan program percontohan (pilot program) “Kesehatan Reproduksi Remaja dan Pencegahan Pernikahan Anak” di daerah tersebut.

KINERJA-USAID kemudian melayangkan penawaran terbatas kepada calon-calon mitra yang memiliki pengalaman dalam program kesehatan reproduksi dan memiliki jaringan kerja di daerah. Penawaran disampaikan kepada YKP, Jurnal Perempuan, Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan Fatayat Nahdhatul Ulama (NU). Setelah melalui tahap identifikasi dan verifikasi, termasuk sistem keuangan organisasi, YKP dinilai memenuhi keseluruhan prasyarat dan ditetapkan sebagai mitra KINERJA-USAID.

9

PERNIKAHAN ANAK& PERMASALAHANNYA

Pengertian “Pernikahan”

Pernikahan sering diartikan sebagai upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan sesuai ajaran agama, ketentuan

hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam UU Nomor 1/1974, Pasal 1, bahwa “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (http://id.wikipedia. org/wiki/Pernikahan).

Pernikahan merupakan bentukan kata benda dari kata dasar “nikah”. Kata itu berasal dari bahasa Arab, nikkah, yang berarti “perjanjian perkawinan”. Padanan kata lainnya dalam bahasa Arab adalah nikah, yang

2. KAJIAN

10

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

berarti “persetubuhan”. Dalam ajaran Islam, suatu pernikahan akan atau hanya absah bila memenuhi rukun nikah yang terdiri dari adanya kedua mempelai, adanya wali yang menikahkan, adanya maskawin atau mahar, dan adanya minimal dua orang saksi.

Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Namun, pada ayat yang lain sebelumnya (Pasal 2, Ayat 1) dinyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.” Ayat ini memberikan peluang bagi anasir-anasir hukum adat, bekerjasama dengan pemuka adat atau pemimpin agama setempat, untuk tidak mencatatkan resmi perkawinan tersebut, yang dikenal dengan istilah “nikah adat” atau “nikah siri”. Nikah adat atau nikah siri hanya dilaksanakan di depan pemuka adat, penghulu atau ahli hukum agama, semata-mata demi memenuhi ketentuan adat atau ajaran agama, sehingga perkawinan ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor yang berwenang (Kantor Urusan Agama, KUA; dan Kantor Catatan Sipil).

“Pernikahan Anak”

Batasan pengertian “anak” yang umum dipahami saat ini berbasis pada usia biologis, yaitu pada masa kelahiran hingga masa pubertas. Secara medis, pubertas dipahami sebagai masa perkembangan manusia ketika terjadi perubahan fisik dan kedewasaan seksual. Pada anak perempuan, hal ini ditandai dengan daur haid (siklus menstruasi), sementara pada anak laki-laki ditandai dengan mimpi basah yang menjadi pertanda bahwa zakar (testis) mereka sudah mampu memproduksi sperma.

Secara kultural keagamaan, masa pubertas memiliki makna yang mendasar, yaitu masa peralihan dari status anak ke status orang dewasa dan diterima sebagai anggota masyarakat yang sah dengan keadaan tertentu yang melekat sebagai konsekuensinya. Dalam Islam, misalnya,

11

PENGALAMAN BONDOWOSO

pengertian pubertas (akil baligh) pada anak perempuan sering dikaitkan dengan “kesiapan untuk memasuki dunia perkawinan dan berbakti kepada masyarakat”; sedangkan pada laki-laki dikaitkan dengan “kemampuan untuk berdikari, berjuang, dan berjihad di jalan Allah” (PSKK-UGM & Plan Indonesia, 2011).

Dalam konteks masyarakat Indonesia, batasan pengertian anak tidak dapat dilepaskan dari keberadaan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang menetapkan batas usia minimal kawin adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Sementara itu, Konvensi Hak-hak Anak (KHA) atau Convention on the Rights of the Child (CRC) secara universal menetapkan bahwa anak adalah kelompok usia 0-17 tahun. Konvensi ini sudah diratifikasi dan disahkan sebagai UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut undang-undang tersebut, yang disebut anak adalah sampai batas usia 18 tahun. Batasan pengertian ini berkembang seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang melihat masa kanak-kanak tidak hanya sebagai masa belajar, tetapi juga masa rentan dan penuh ancaman, sehingga anak memerlukan perlindungan. Konsep ini ikut membentuk prinsip perlindungan atas hak-hak anak dalam kerangka hukum internasional. Pada anak usia remaja, kperibadian mereka sangat peka terhadap pengaruh nilai baru, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai daya tangkal. Mereka cenderung lebih mudah melakukan penyesuaian dengan arus globalisasi dan arus informasi yang bebas (Aisyaroh, 2009).

Merujuk pada batasan pengertian tentang anak dalam KHA, maka kemudian pernikahan anak yang disepakati dunia internasional dirumuskan sebagai “pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, psikologis, dan sosial untuk bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut” (UNFPA, 2007).

12

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Besaran Masalah

Pernikahan anak merupakan permasalahan di banyak negara di dunia. Praktik pernikahan usia dini ini terutama paling banyak terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Tahun 2010, data Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Kependudukan (United Nations Population Fund, UNFPA) menunjukkan satu dari tiga (34% atau 67 juta jiwa) perempuan usia 20-24 tahun menikah pada usia belia. Setengahnya berasal dari kawasan Asia, seperlima di Afrika. Sebanyak 12% di antaranya menikah ketika menginjak usia 15 tahun (UNFPA, 2012). Secara umum, pernikahan anak lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki, tiga kali lebih banyak menikah dini dibandingkan laki-laki (Fadlyana, Eddy & S. Larasaty, 2009).

Di Indonesia, angka pernikahan anak dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, bahkan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia (Risalah Sidang Judicial Review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 30 Oktober 2014). Hasil penelitian Badan Data PBB untuk anak-anak (United Nations’ Children Fund, UNICEF) di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 11%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18 tahun sekitar 35%. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007), sepertiga dari jumlah pernikahan adalah pasangan usia di bawah 16 tahun. Angka pernikahan dini tertinggi adalah di Jawa Timur (39,4%), Kalimantan Selatan (35,5%), Jambi (30,6%), dan Jawa Barat (36,0%). Bahkan, di sejumlah daerah perdesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama.

Pada tahun 2010, data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan hampir 47% perempuan pernah menikah sebelum mencapai usia 18 tahun; 13,4% perempuan sudah menikah pada usia 10-15 tahun; dan 33,4% menikah usia 16-18 tahun. Jumlah tertinggi pernikahan perempuan pada usia 10-15 ditemukan di Kalimantan Selatan, yakni 18,89% dari jumlah

13

PENGALAMAN BONDOWOSO

seluruh perempuan yang pernah menikah. Menyusul kemudian di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, yakni rerata 10% dari seluruh penduduk perempuan yang pernah menikah (http://www.wydii.org/index.php/in/publication/wydii-on-the-news.html ).

Pada bulan Juni 2011, BKKBN melaporkan bahwa usia kawin pertama penduduk perempuan usia di bawah 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai 6.847 orang atau 19,88% dari perkawinan pertama seluruh penduduk perempuan semua usia di daerah tersebut sebesar 34.443 jiwa. Badan Penelitian & Pengembangan serta Badan Pendidikan & Pelatihan Kementerian Agama mencatat terjadinya 825 perkawinan di bawah usia pada 2012 di Kabupaten Indramayu, 474 perkawinan di Kabupaten, dan 44 perkawinan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Adapun perkawinan yang tidak tercatat, pada tahun yang sama, adalah sebanyak 4.511 di Provinsi NTB, 1.156 di Kabupaten Bangkalan, 1.144 di Kabupaten Indramayu, 756 di Kabupaten Malang, 300 di Kabupaten Tangerang, dan 192 di Kabupaten Cianjur (http://www.balitbangdiklat.kemenag. go.id/indeks/berita/558-angka-perkawinan-di-bawah-umur-masih-tinggi-.html).

Dari analisis Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) oleh BKKBN pada tahun 2005, didapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di perdesaan. Untuk kelompok umur 15-19 tahun, perbedaannya cukup tinggi, yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di perdesaan lebih banyak yang melakukan perkawinan pada usia muda (Fadlyana, Eddy & S. Larasaty, 2009). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 menunjukkan masih terjadi 690.000 pernikahan di Indonesia yang melibatkan anak di bawah usia 18 tahun. Angka itu adalah sepertiga dari jumlah seluruh pernikahan. Masih banyak perempuan dan anak perempuan yang menikah ketika masih dalam usia anak-anak, bahkan ada yang berumur 13 tahun atau lebih muda lagi. Sebagian besar dari mereka segera melahirkan anak pertama tidak lama setelah menikah (Amnesty International, 2010:15).

14

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Artinya, mereka menikah dengan keadaan hamil lebih dahulu, untuk itulah pentingnya dari pendidikan seksual dan reproduksi sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Faktor Pendorong

Pernikahan anak merupakan masalah sosial, ekonomi, dan politik yang diperumit dengan nilai-nilai tradisi, budaya dan keagamaan dalam kelompok masyarakat. Apalagi peraturan perundangan-undangan dan kebijakan yang saling jumbuh, tumpang-tindih (overlapping) dan tidak taat asas (inconsistent). Jika dalam beberapa dasawarsa sebelumnya pernikahan anak sebagian besar karena faktor kebudayaan dan ekonomi, maka kini mulai meluas gejala lain sebagai penyebab pernikahan anak, yakni hubungan seks yang tidak aman. Semakin banyak anak-anak telah melakukan hubungan seksual secara aktif, tetapi tidak dibekali pemahaman yang memadai tentang seks, seksualitas, kesehatan reproduksi, dan bahaya hubungan seks usia dini pada saat organ reproduksinya belum siap. Dalam laporan BKKBN 2012 disebutkan bahwa 32% pernikahan anak adalah akibat hubungan seksual yang tidak aman. Hal ini diperparah dengan tiadanya pendidikan tentang gender dan hak asasi manusia. Budaya masyarakat Indonesia yang feodal dan cukup kuat menganut keyakinan agamanya, juga berperan besar terhadap terjadinya pernikahan anak, bahkan sering menjadi “senjata legal” bagi orangtua untuk menikahkan anaknya pada usia muda.

Lebih sering kasus pernikahan anak menimpa anak perempuan. Masih cukup kuat anggapan dan perlakuan pada anak perempuan sebagai bagian dari masyarakat kelas dua. Peran domestik mereka masih dianggap beban yang harus segera dicarikan jalan keluarnya melalui pernikahan. Pernikahan dianggap jalan pintas paling mudah dan aman untuk keluar dari belenggu kemiskinan yang mendera keluarga. Stigma sosial mengenai pernikahan yang terlambat setelah melewati masa pubertas, masih dianggap aib pada kalangan tertentu. Hal ini turut berperan meningkatkan angka kejadian

15

PENGALAMAN BONDOWOSO

pernikahan anak. Dorongan kebutuhan dan kepentingan ekonomi --yakni harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah-- menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan anak-anak mereka pada usia di bawah umur.

Ada perbedaan mencolok antara praktik pernikahan anak di kawasan perdesaan dan daerah terpencil dengan di kawasan perkotaan. Jika pernikahan anak di perdesaan adalah karena faktor-faktor kemiskinan, kebudayaan lokal, dan peran pemimpin lokal yang menyetujuinya, maka pernikahan anak di perkotaan lebih sering karena faktor “kecelakaan” --yakni perilaku seks yang tidak aman dan tidak sehat. Hal ini lebih sering terjadi karena pergaulan, lingkungan, dan perkembangan teknologi informasi. Tetapi, secara khusus ada persamaan sebab pernikahan anak baik di perdesaan maupun di perkotaan, yakni remaja tidak mendapatkan informasi dan pendidikan yang benar tentang seks dan kesehatan reproduksi. Stigma tentang seks sebagai hal tabu masih cukup kuat di masyarakat Indonesia, sehingga meski angka pernikahan anak terus meningkat, namun pemecahan masalah yang sering ditempuh justru tidak berangkat dari persoalan pokoknya, yakni pengetahuan dan hak anak atas kesehatan reproduksi dan untuk membangun masa depannya dengan lebih baik.

Akibat dan Dampak

“Ada pengalaman menarik dalam kapasitas saya sebagai Kepala PUSKESMAS di Wonosari. Beberapa kali saya temukan pasangan menikah usia muda. Saat mereka memeriksakan anaknya, saya kira itu adiknya. Ternyata itu adalah anaknya, padahal usia si ibu belum ada 16 tahun. Lain hari saya temukan juga ibu muda yang mengendong anaknya sambil main gedrek, itu sejenis permainan di Jawa yang menggunakan pecahan genteng. Pernikahan usia muda memang persoalan yang cukup memprihatinkan di Bondowoso, apalagi di wilayah pinggiran.”

Dokter Lukman (Kepala PUSKESMAS Wonosari. Bondowoso)

16

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Derajat Pendidikan

Pemerintah Indonesia melalui lembaga pendidikan belum mengakomodir hak anak yang telah menikah muda, baik karena paksaan orang tua maupun akibat pergaulan seks yang tidak aman. Lembaga-lembaga pendidikan resmi biasanya menolak menerima mereka kembali untuk melanjutkan pendidikannya yang terputus. Anggapan umum yang masih sangat kuat berakar adalah bahwa anak yang telah menikah, jika diberi ruang untuk melanjutkan sekolah, akan memberi dampak buruk terhadap siswa lain. Meskipun, hal tersebut belum terbukti. Hal ini menyebabkan derajat pendidikan anak yang menikah pada usia muda umumnya lebih rendah, karena mereka terpaksa harus putus sekolah. Status perkawinan mereka telah membebani mereka dengan tanggungjawab baru sebagai istri dan calon ibu, atau sebagai kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga, menjadi tulang punggung keluarga dengan keharusan mencari nafkah. Kekurangmampuan anak yang menikah usia muda dalam memikul tanggungjawab ekonomi keluarga, selain pentingnya membangun derajat sumberdaya manusia yang tinggi melalui pendidikan, adalah hal lain yang cenderung tidak menjadi persoalan baik bagi pemerintah maupun keluarga. Maka tidak heran gagalnya pencapaian pendidikan dasar 12 tahun dianggap sesuatu yang wajar.

Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendidikan dan usia saat menikah. Semakin tinggi usia anak saat menikah, derajat pendidikan mereka relatif lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya. Pernikahan anak menurut penelitian UNICEF tahun 2005 tampaknya berhubungan pula dengan derajat pendidikan yang rendah. Menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi.

Permasalahan Domestik

Pernikahan usia muda lebih banyak menimpa kaum perempuan. Dalam keseluruhan prosesnya, perempuan adalah pihak yang menjadi

17

PENGALAMAN BONDOWOSO

korban. Tetapi, pendapat mereka hampir tidak pernah didengar dan hak mereka sering diabaikan. Ketidaksetaraan gender, relasi kuasa yang timpang, dan persoalan ekonomi yang menempatkan perempuan sebagai kaum tidak produktif, menjadi semakin lengkap menempatkan perempuan untuk tidak mendapat akses yang memadai atas hak reproduksinya.

Mempelai perempuan yang masih kanak-kanak memiliki kemampuan terbatas untuk menyuarakan pendapat, merundingkan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak. Kekuasaan tradisional yang lebih besar di pihak pasangan atau suaminya dan keluarganya, seringkali menempatkan perempuan yang menikah pada usia yang lebih muda mengalami kekerasan. Kebanyakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), termasuk rumah tangga pasangan usia muda, adalah anggota keluarga terdekat, khususnya suaminya sendiri (UNICEF, 2005). Permasalahan KDRT biasanya berlanjut pada tingginya angka perceraian di kalangan pasangan di bawah umur yang berbuntut pada praktik prostitusi terselubung maupun terbuka (http://www.wydii.org/index.php/in/publication/wydii-on-the-news.html ).

Keadaan Kesehatan Reproduksi

Kehamilan pada usia di bawah 19 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada bayi yang dikandungnya. Kehamilan pada usia yang sangat muda berkaitan erat dengan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) ibu. SDKI 2012 menunjukkan bahwa 48 dari 1.000 kehamilan di perkotaan terjadi pada kelompok remaja usia 15-19 tahun. Angka ini meningkat dibandingkan temuan SDKI 2007 yang hanya 35 dari 1.000 kehamilan. Komplikasi kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian pada kelompok usia ini, sebanyak dua kali lipat dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun. Risiko ini meningkat lima kali lipat pada kelompok usia 10-14 tahun (Detikhealth, 2013).

18

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Sesungguhnya, fa’al (anatomi) tubuh anak belum siap untuk mengalami proses kehamilan maupun melahirkan. Kehamilan pada usia yang masih sangat muda dapat menyebabkan terjadinya komplikasi obstructed labour (pembukaan pada proses persalinan tidak maju atau berkembang) serta obstetric fistula. Data UNPFA tahun 2003 memperlihatkan 15-30% dari persalinan pada usia dini disertai dengan komplikasi kronik obstetric fistula, yakni kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin (feses) ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari

20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula yang juga dapat terjadi akibat hubungan seksual di usia dini. Pernikahan anak berhubungan erat dengan kesuburan (fertilitas) yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, dan juga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (Fadlyana & Larasaty, 2009). Hal lain, menurut Julianto Witjaksono (Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN), hamil usia dini menyebabkan bayi yang lahir tidak normal atau kerdil. Dalam masa pertumbuhan, anak kerdil ini bakal tampak terlambat ketimbang anak normal. Bisa terlihat dari tinggi, berat badan, hingga ukuran tubuh. Paling bahaya, adalah volume otak anak kerdil bakal lebih kecil ketimbang anak normal. Itu bisa berdampak pada rendahnya mutu kecerdasan anak tersebut. Ini jelas satu masalah yang harus diprihatinkan dan diatasi. Jika tidak, akan mengancam mutu generasi Indonesia di masa depan.

Hubungan seksual pertama kali yang dilakukan saat usia sangat muda juga meningkatkan risiko tertular infeksi menular seksual, termasuk HIV. Apalagi remaja sulit untuk mengakses alat kontrasepsi, khususnya mereka yang berada di negara-negara berkembang. Hanya 22% remaja usia 15-19 tahun yang menikah atau berpasangan menggunakan alat kontrasepsi dibandingkan kelompok yang lebih tua yang mencapai 6% (UNFPA, 2012).

Banyak remaja terpaksa harus berhenti sekolah saat mereka terikat dalam lembaga pernikahan. Mereka seringkali tidak memahami dasar-dasar kesehatan reproduksi, termasuk risiko terinfeksi HIV. Infeksi HIV terbesar

19

PENGALAMAN BONDOWOSO

terjadi melalui penularan langsung dari pasangan seks yang cenderung berusia jauh lebih tua dan telah terinfeksi sebelumnya (UNFPA, 2012). Perbedaan usia yang terlampau jauh menyebabkan adanya penguasaan (dominasi) pasangan yang lebih tua, sehingga pasangannya yang menikah pada usia anak-anak hampir tidak mungkin meminta hubungan seks yang aman. Pernikahan usia muda juga mengandung risiko terjadinya kanker leher rahim (karsinoma serviks). Keterbatasan gerak sebagai istri dan kurangnya dukungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbentur pada izin suami, selain faktor keterbatasan ekonomi, sangat berperan dalam peningkatan angka kesakitan dan kematian pada para remaja yang hamil (Fadlyana & Larasaty, 2009).

Anak yang Dilahirkan

Saat anak yang masih bertumbuh (usia di bawah 20 tahun) mengalami proses kehamilan, akan terjadi perebutan asupan gizi dengan janin yang dikandungnya. Hal ini mengakibatkan berat badan ibu hamil seringkali sulit naik, bahkan dapat disertai dengan anemia karena kekurangan gizi, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Ditemukan bahwa sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur. Ibu yang mengandung ketika usia masih sangat belia juga berisiko 50% lebih mengalami bayi lahir mati (still birth) atau bayi mati pada trimester pertama kelahirannya (UNFPA, 2012). Anatomi panggul yang masih dalam pertumbuhan dapat mengakibatkan terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi. Depresi pada saat berlangsungnya kehamilan berisiko terhadap kejadian keguguran, berat badan lahir rendah, dan lainnya. Depresi juga berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, sehingga meningkatkan risiko terjadinya eklamsi (suatu kondisi medis yang ditandai dengan kejang yang terjadi pada perempuan hamil) yang membahayakan janin maupun ibu yang mengandungnya (Fadlyana & Larasaty, 2009).

20

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Pemeriksaan kehamilan secara rutin (asuhan antenatal) yang baik sebenarnya dapat mengurangi terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan. Sayangnya, sulitnya mengakses tempat layanan terutama di daerah terpencil, kurangnya pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan secara rutin, keterbatasan bergerak dan berpendapat, maka para istri berusia muda seringkali tidak mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkannya, sehingga meningkatkan risiko komplikasi maternal dan mortalitas. Menjadi orangtua di usia dini disertai keterampilan yang kurang untuk mengasuh anak, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, dapat menempatkan anak yang dilahirkan berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, dan gangguan perilaku.

Dampak Psikososial

Dampak buruk pernikahan bawah umur yang penting dicermati adalah terganggunya aspek psikologis pelaku. Kesehatan mental pelaku --yang sekaligus adalah juga korban-- berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang diamanatkan UU Nomor 1/ 1974, yaitu menciptakan satu keluarga bahagia dan kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.

Bangunan rumah tangga di atas pondasi kesehatan mental yang rapuh, seseorang di usia yang seharusnya masih mendapat bimbingan dalam menjalani kehidupan, kebebasan dalam berekpresi yang sesuai tingkat kecerdasannya, dan memperoleh pendidikan untuk menjadi tunas penerus masa depan, kemudian diberikan tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadi suami-istri?

Pertanyaan itu menjadi penting jika memperhatikan fakta bahwa negara (melalui UU Nomor 1/1974) dan masyarakat (yang masih kental dengan stigmanya) nyata-nyata memberikan tanggungjawab kepada

21

PENGALAMAN BONDOWOSO

pasangan yang tidak siap untuk mengurusi segala bentuk kebutuhan rumah tangga. Selanjutnya, gangguan kesehatan mental berpengaruh juga pada masalah psikologi sosial pelaku atau korban pernikahan di bawah umur. Interaksi, komunikasi, sosialisasi, juga adaptasi di lingkungan masyarakat, menjadi terkendala. Secara ekstrem, keterasingan adalah masalah yang banyak dialami oleh pasangan nikah di bawah umur pada saat berinteraksi dengan masyarakatnya yang lebih kompleks.

Keterasingan sebagai salah satu masalah psikologi sosial pasangan nikah di bawah umur ini berdampak pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya, dan tentu saja mutu serta daya intelektualnya. Masalah ini juga adalah akibat lain dari terputusnya kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik. Dengan kata lain, pasangan nikah di bawah umur dapat dikatakan tidak bermutu secara budaya.

Kemiskinan

Pernikahan anak seringkali tidak dapat dipisahkan dari kemiskinan. Kebanyakan pernikahan anak terjadi karena desakan keluarga yang berada dalam jerat kemiskinan. Pada banyak keluarga miskin, anak perempuan dianggap menjadi beban orangtua. Dengan menikahkan anaknya, meskipun pada usia yang masih sangat muda, orangtua berharap dapat membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Dalam kenyataannya, tidaklah demikian. Pernikahan anak justru sering lebih memperparah keadaan ekonomi keluarga. Seseorang yang menikah pada usia yang masih muda, cenderung memiliki anak yang lebih banyak. Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai dan keterbatasan keterampilan, mereka pun tidak dapat bersaing untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Keadaan ini diperburuk bila terjadi perceraian yang banyak ditemui pada pasangan yang menikah muda. Banyak perempuan yang akhirnya menjadi tenaga kerja di luar negeri, terjerumus dalam jebakan perdagangan manusia (trafficking) atau pelacuran untuk sekedar dapat memenuhi kebutuhan anaknya.

22

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Masalah Kependudukan

Selain merugikan anak itu sendiri, pernikahan usia dini juga turut mempersulit upaya pengendalian jumlah penduduk. Semakin muda usia nikah pertama, semakin tinggi kemungkinan perempuan memiliki lebih banyak anak, dan sebaliknya. Hal ini semakin meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan (total fertility rate, TFR). TFR merupakan salah satu penanda demografi terpenting untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Hampir semua provinsi di Indonesia memiliki ciri demografis yang sama, yakni semakin baik kinerja ekonomi akan diiringi dengan tingkat TFR yang semakin menurun.

Tinjauan Hukum

Dalam hal pernikahan anak, sekurangnya ada dua perundangan yang terkait langsung. Pertama, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Kedua, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang Perlindungan Anak merupakan wujud komitmen pemerintah terhadap Konvensi Hak-hak Anak (KHA) yang berlaku universal sebagai hukum internasional. Konvensi itu telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 36/1990, untuk selanjutnya disahkan sebagai undang-undang. Pengesahan UUPA yang bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak. KHA telah menjadi

Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) atau Convention on the Rights of the Child (CRC) adalah kesepakatan internasional yang telah diratifikasi oleh 193 negara anggota, menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. KHA memberikan jaminan perlindungan bagi anak, termasuk terhindar dari pernikahan anak. Sejumlah hak anak yang dijamin dalam KHA di antaranya adalah:• Hak untuk hidup• Hak untuk sehat• Hak untuk terlindungi dari segala praktik yang berbahaya• Hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi• Hak atas pendidikan• Hak untuk berpartisipasi aktif

23

PENGALAMAN BONDOWOSO

bagian dari sistem hukum nasional, sehingga sebagai konsekuensinya kita wajib mengakui dan memenuhi hak anak sebagai amanah hukum resmi. Salah satu prinsip dalam KHA yaitu “kepentingan yang terbaik bagi anak” dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat (orangtua), badan legislatif dan yudikatif. Negara wajib menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan bagian tak terpisahkan dari hak-hak asasi manusia.

Dalam Pasal 1 Ayat 2 UUPA disebutkan bahwa perlindungan anak adalah “segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dikatakan bahwa “pernikahan harus dilakukan atas persetujuan penuh kedua pasangan.” Namun, dalam hampir semua kasus pernikahan usia dini, persetujuan menikah seringkali merupakan akumulasi dari paksaan dan tekanan orangtua atau wali anak, sehingga anak terpaksa setuju untuk menikah. Bahkan, penolakan sang anak seringkali dianggap sebagai bentuk tidak berbakti dan hormat kepada orangtua. Orangtua beranggapan menikahkan anak mereka berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak, namun hal ini justru menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang, tumbuh sehat, dan kehilangan kebebasan dalam memilih. Demikian juga halnya dalam kasus menikahkan anak dengan laki-laki “berumur” dan kaya. Tindakan tersebut sebenarnya hanya berbeda tipis antara harapan orangtua untuk menata kehidupan lebih baik dan sejahtera bagi anaknya dengan tindakan penjualan anak (trafficking).

Mengingat berbagai akibat dan dampak yang dihadapi sang anak, maka pernikahan anak menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi anak. Dalam UUPA dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban orangtua dan masyarakat untuk melindungi anak,

17

24

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

serta kewajiban orangtua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Semua bentuk tindakan yang melanggar ketentuan-ketentuan perlindungan hak anak tersebut diancaman hukum pidana berupa hukuman penjara dan denda (Pasal 77-90).

Dalam UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 Ayat 1 menyebutkan usia perkawinan untuk anak perempuan adalah minimal 16 tahun dan anak laki-laki minimal 19 tahun, meskipun secara tersirat pada Pasal 6 Ayat 2 menyebut seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun masih termasuk dalam kategori anak. Sayangnya, UU tersebut mensahkan pula adanya perkecualian khusus (dispensasi) dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (Pasal 7 Ayat 2). Dengan kata lain, perkawinan di bawah umur bisa dilegalkan sekalipun terjadi pada usia di bawah 18 tahun (Pasal 1 Ayat 1 UUPA). Artinya, negara mengizinkan perkawinan yang melanggar hak asasi anak (UU Nomor 39/1999 tentang HAM, Bagian Kesepuluh, Pasal 52-66, tentang Hak Anak).

Maka, terlihat jelas ada saling pertentangan (kontradiksi) antara dua undang-undang. Dalam UUPA disebutkan batas usia anak adalah 18 tahun, sementara dalam UU Nomor 1/1974 justru membolehkan anak usia 16 tahun untuk menikah. Penyelarasan anta dua UU tersebut sangat mendesak dilakukan apabila kita benar-benar ingin membangun bangsa yang lebih sejahtera.

Perkawinan anak pada dasarnya melembagakan tindakan merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh hak-haknya untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 Ayat 2 UUPA).

25

KABUPATENBONDOWOSO

Kabupaten Bondowoso secara legal formal berdiri pada tanggal 16 Agustus 1819, ditandai dengan pengukuhan Ki Ronggo Kertonegoro sebagai Bupati Adat oleh Raden Ario Adipati Prawiroadiningrat.

Peristiwa tersebut kemudian ditetapkan resmi sebagai hari jadi Kabupaten Bondowoso (http://bappeda-bondowoso.org/statis-3-strukturorganisasi.html).

Sejarah BondowosoBerawal dari seorang anak yang bernama Raden Bagus Assra, putra Demang Walikromo pada masa pemerintahan Panembahan Adikoro IV, menantu Tjakraningkat Bangkalan. Demang Walikormo sendiri tiada lain adalah putra Panembahan Adikoro IV.

Tahun 1743, terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. Pertempuran yang terjadi di desa Bulangan itu menewaskan Adikoro IV. Tahun 1750, pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap. Terjadi pemulihan kekuasaan dengan diangkatnya anak Adikoro IV, yaitu RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama

3. KANCAH

26

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

terjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I, anak Adikoro III yang bergelar Tumenggung Sepuh dengan Raden Bilat sebagi patihnya. Khawatir dengan keselamatan Raden Bagus Assra, Nyi Sedabulangan membawa lari cucunya mengikuti eksodus besar-besaran para mantan pengikut Adikoro IV ke Besuki. Assra kecil ditemukan oleh Ki Patih Alus, Patih Wiropuro, untuk kemudian di tampung serta dididik ilmu bela diri dan ilmu agama.

Pada usia 17 tahun, Raden Bagus Assra diangkat sebagai Mentri Anom dengan nama Abhiseka Mas Astruno. Lalu, pada tahun 1789, ditugaskan memperluas wilayah kekuasaan Besuki ke arah selatan. Sebelumnya, dia telah menikah dengan putri Bupati Probolinggo. Tahun 1794, dalam usaha memperluas wilayah, dia menemukan suatu wilayah yang sangat subur dan strategis. Wilayah tersebut di bawah kekuasaan seorang tuan tanah kaya. Atas dasar itulah maka Raden Bagus Assra menamakan wilayah tersebut dengan nama “Bondowoso” yang mempunyai arti “bondo” adalah modal atau biaya dan “woso” adalah kuasa. Secara harafiyah, “Bondowoso” dapat diartikan “mereka yang memiliki modal dan berkuasa.”

Dalam perjalanan waktu dan pengaruhnya, Raden Bagus Assra diangkat menjadi Demang di daerah yang baru dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno. Demikianlah dari hari ke hari Raden Bagus Assra berhasil mengembangkan wilayah Bondowoso. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1819 atau hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H, Adipati Besuki, Raden Aryo Prawirodiningrat, sebagai orang kuat yang memperoleh kepercayaan Gubernur Hindia Belanda, dalam rangka memantapkan strategi politiknya menjadikan wilayah Bondowoso lepas dari Besuki, dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Raden Bagus Assra atau Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dan pemimpin agama dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro dan sebutan sebagai Ki Ronggo I, ditandai dengan penyerahan Tombak Tunggul Wulung.

Masa pemerintahannya adalah tahun 1819-1830 yang meliputi wilayah Bondowoso dan Jember. Pada tahun 1854, tepatnya tanggal 11 Desember 1854, Ki Ronggo I wafat dan dikebumikan di atas bukit kecil di Kelurahan Sekarputih, Kecamatan Tegalampel, yang kemudian menjadi lahan pemakaman keluarga Ki Ronggo Bondowoso.

Sumber: http://www.depdagri.go.id/ dan Majalah Andaka; diunduh dari http://bondowosocity. wordpress.com/cerita-80-an/sejarah-bondowoso/ (18 Oktober, 2012) dan http://alen-zarial. blogspot.com/2010/09/asal-usul-kota-bondowoso.html (17 September 2013)

27

PENGALAMAN BONDOWOSO

Gambaran Geografis

Kabupaten Bondowoso adalah salah satu dari 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Terletak di bagian timur provinsi tersebut, di wilayah yang juga dikenal dengan sebutan “kawasan tapal kuda,” berbatasan dengan Kabupaten Situbondo (di sebelah barat, timur dan utara), Banyuwangi (timur), Jember (selatan), dan Probolinggo (barat). Sampai tahun 2008, wilayah administratif Kabupaten Bondowoso terbagi atas 23 Kecamatan, 10 Kelurahan, dan 209 desa, dengan luas keseluruhan wialayahnya adalah 1.560,10 km2. (http://bappeda-bondowoso.org/statis-3-strukturorganisasi.html ).

Dikelilingi oleh jajaran Pegunungan Kendeng (dengan puncak tertinggi Gunung Raung dan Ijen yang masih aktif sebagai gunung berapi, selain Gunung Alas Sereh, Biser, dan Bendusa) serta Pegunungan Hyang (dengan puncak Gunung Argopuro, Krincing, dan Kilap), wilayah Kabupaten Bondowoso memiliki suhu udara sejuk, berkisar 15,40-25,10°C. Meskipun demikian, wilayah kabupaten ini bukanlah Wilayah Administratif Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur daerah persilangan strategis, karena tidak dilintasi oleh jalur jalan raya utama antar provinsi sebagai urat nadi utama perekonomian. Selain itu, kabupaten ini juga tidak memiliki wilayah pesisir yang biasanya menjadi pusat-pusat perekonomian dan perkotaan. Kedudukan geografis inilah yang menjadikan perekonomian Bondowoso sulit berkembang dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Timur, termasuk kabupaten-kabupaten tetangganya seperti Jember, Situbondo, dan Banyuwangi.

Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Bondowoso pada tahun 2012 tercatat sebanyak 755.826 jiwa, terdiri dari 371.539 jiwa laki-laki dan 384.287 jiwa perempuan. Jumlah rumah tangga mencapai 256.169 dengan jumlah

28

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

anggota keluarga rerata tiga jiwa. Angka seks ratio (perbandingan jenis kelamin) adalah 96,68 yang berarti setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat sekitar 96 orang penduduk laki-laki.

Tingkat kepadatan penduduknya mencapai 484,47 jiwa per km2, penduduk terbanyak berada di Kecamatan Bondowoso, sebesar 73.749 jiwa dengan tingkat kepadatan mencapai 3.443 jiwa per km2. Jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Sempol sebesar 14.704 jiwa dengan tingkat kepadatan 69,29 jiwa per km2.

PETA 1Wilayah Administratif Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur

29

PENGALAMAN BONDOWOSO

TABEL 1Komposisi Penduduk Kabupaten Bondowoso

menurut Jenis Kelamin, 2012

No KECAMATANJUMLAH PENDUDUK (jiwa) RASIO SEKS

(rerata)LAKI-LAKI PEREMPUAN

1 Maesan 21.054 21,361 98,562 Grujugan 17.218 17.116 100,603 Tamanan 18.030 18.594 96,974 Jambesari Darussholah 14.881 15.321 97,135 Pujer 21.308 22.298 95,566 Tlogosari 22.204 22.124 100,367 Sukosari 7.467 7.237 103,188 Sumber Wringin 16.947 17.398 97,419 Tapen 15.981 17.521 91,21

10 Wonosari 18.107 19.043 95,0811 Tenggarang 20.455 20.962 97,5812 Bondowoso 36.052 37.697 95,6413 Curahdami 15.351 15.413 99,6014 Binakal 7.932 8.389 94,5515 Pakem 11.298 11.710 96,4816 Wringin 19.644 20.283 96,8517 Tegalampel 12.563 13.056 96,2218 Taman Krocok 8.308 8.878 93,5819 Klabang 8.990 9.764 92,0720 Botolinggo 14.695 15.214 96,5921 Sempol 7.495 7.555 99,2122 Prajekan 12.750 13.642 93,4623 Cermee 22.809 23.711 96,20

JUMLAH 371.539 384.287 96,68

Sumber: Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil Kabupaten Bondowoso, 2013.

30

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

TABEL 2Komposisi Penduduk Kabupaten Bondowoso

menurut Kelompok Umur & Jenis Kelamin, 2012

NoKELOMPOK

UMUR (tahun)

LAKI-LAKI (jiwa)

PEREMPUAN (jiwa)

JUMLAH (jiwa)

RASIO SEKS (rerata)

1 0 - 4 18,837 17.403 36.240 108,242 5 - 9 27.335 26.270 53.605 104,053 10 - 14 31.220 29.592 60.812 105,504 15 - 19 27.495 25.898 53.393 106,175 20 - 24 26.958 26.698 53.656 100,976 25 - 29 30.894 31.861 62.755 96,967 30 - 34 30.546 32.002 62.548 95,458 35 - 39 30.296 31.541 61.837 96,059 40 - 44 31.488 32.156 63.644 97,92

10 45 - 49 27.059 27.221 54.280 99,4011 50 - 54 25.999 25.539 51.538 101,8012 55 - 59 20.032 18.178 38.210 110,2013 60 - 64 16.292 17.473 33.765 93,2414 >65 27.088 42.555 69,543 63,80

JUMLAH 371.539 384.287 755.826 96,68

Sumber: Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil Kabupaten Bondowoso, 2013.

31

PENGALAMAN BONDOWOSO

GRAFIK 1Piramida Penduduk Kabupaten Bondowoso

menurut Kelompok Umur & Jenis Kelamin, 2012

40.000 30.000 20.000 10.000 0 0 10.000 20.000 30.000 PEREMPUAN LAKI-LAKI

Dari tabel dan grafik di atas terlihat bahwa komposisi penduduk Kabupaten Bodowoso tersebar pada kelompok usia muda atau produktif antara 15 tahun sampai dengan 49 tahun. Pada kategori usia diatas 65 tahun, jumlah kelompok ini paling besar dibanding dengan kelompok usia yang lain. Piramida penduduk Bondowoso tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa tingkat harapan hidup perempuan lebih tinggi dari laki-laki, sedangkan pada usia produktif relatif seimbang.

Peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH) dari tahun ke tahun memberi dampak yang positif termasuk pada kategori usia lanjut, menjadikan usia penduduk di Kabupaten Bondowoso semakin bertambah lama. Hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor, antara lain, kesadaran menjaga kesehatan oleh masyarakat dan kemudahan dalam mengakses sarana pelayanan kesehatan.

32

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Meski tidak cukup signifikan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bondowoso terus naik. IPM yang terdiri dari angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, indeks kesehatan, indeks pendidikan, dan indeks daya beli pada tahun 2012 sebesar 63,81 meningkat pada tahun 2013 menjadi 64,08, lalu sebesar 65,61 pada tahun 2014. Peningkatan ini terjadi karena meningkatnya angka melek huruf dari 78,31 pada tahun 2011 menjadi 81,62 pada tahun 2012, sementara indeks pendidikan meningkat dari 64,83 pada tahun 2012 menjadi 67,79 pada tahun 2013, meskipun juga terjadi penurunan indeks kesehatan dari 64,65 pada tahun 2012 menjadi 62,22 pada tahun 2013 (BPS Bondosowo, 2013).

Berdasarkan pekerjaan, penduduk dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk Kabupaten Bondowoso dengan kategori tenaga kerja (usia kerja) pada tahun 2013 berjumlah 583.114 jiwa, meningkat dari 577.684 jiwa pada tahun 2012. Jumlah keseluruhan angkatan kerja pada tahun 2013 mencapai 389.032 jiwa. Jumlah angkatan kerja yang terus meningkat ini membutuhkan ketersediaan lapangan pekerjaan. Dilihat dari jenis pekerjaannya, sebagian besar (222.197 jiwa) penduduk bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

TABEL 3Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan di Kabupaten Bondowoso, 2013

No TINGKAT PENDIDIKAN USIA KERJA (jiwa)

ANGKATAN KERJA (jiwa)

BEKERJA (jiwa)

1 Tidak/belum pernah sekolah 128.052 85.432 82.964

2 Tidak/belum tamat SD/MI 142.105 94.807 92.069

3 Tamat SD/MI 196.160 130.871 127.090

4 Tamat SLTP/MTs 59.361 59.361 38.460

5 Tamat SLTA/sederajat 45.016 45.016 29.166

6 Tamat Akademi/Perguruan Tinggi 12.420 12.420 8.047

JUMLAH 583.114 389.032 377.796

Sumber: Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Kabupaten Bondowoso, 2013.

33

PENGALAMAN BONDOWOSO

Berdasarkan tabel diatas, dengan angkatan kerja terbesar adalah lulusan SD/MI, bahkan tidak tamat SD/MI, maka dapat dikatakan angkatan kerja yang ada adalah kelas buruh, baik di sektor industri maupun sektor pertanian atau perkebunan. Data BPS Kabupaten Bondowoso 2012 menunjukkan bahwa hampir separuh (41,0%) penduduk kabupaten ini adalah rumah tangga hampir miskin, dan hampir separuh lainnya (41,82%) adalah rumah tangga tidak miskin. Sisanya sebanyak 12,15% penduduknya dikatakan miskin, dan 4,53% dikatakan sangat miskin.

Dengan pendapatan per kapita per tahun kurang dari Rp 1 juta, maka Bondowoso termasuk dalam salah satu kabupaten miskin di Indonesia. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bondowoso pada tahun 2008 hanya sebesar

Sumber: BPS Kabupaten Bondowoso, 2012.

TIDAK MISKIN(41,82%)

SANGAT MISKIN(4,53%)

MISKIN(12,15%)

HAMPIR MISKIN(41,0%)

GRAFIK 2Proporsi Penduduk Miskin Kabupaten Bondowoso, 2012

34

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Rp 31,063 miliar, sementara proyeksi jumlah belanja daerah Rp 611,918 miliar. Rasio Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD) per kapita hanya sebesar Rp 843.361. Sebagain terbesar (sekitar 61%) dari belanja tersebut adalah belanja pegawai; sementara belanja modal hanya sebesar Rp 67,615 miliar (11%). Ketergantungan pada transfer dana dari pemerintah pusat --yakni Dana Perimbangan-- juga masih sangat tinggi, mencapai Rp 518,238 miliar (http://bondowosokab.go.id/profile/visi-dan-misi ). Memang terjadi peningkatan pendapatan cukup tajam sebesar Rp 1.2 triliun dalam APBD Kabupaten Bondowoso tahun 2012. Namun, masalahnya adalah masih tetap tingginya proporsi belanja pegawai yang menyedot lebih dari 50% APBD tersebut. Akibatnya, beberapa peruntukan untuk belanja publik tidak mampu dipenuhi (http://kabarbondowoso.com/musrenbangkab-2013-kekuatan-apbd-belum-mampu-penuhi-2800-lebih-usulan.html).

Sebagai salah satu kabupaten yang termasuk kategori “daerah tertinggal”, Bondowoso dihadapkan pada berbagai masalah yang perlu segera ditangani secara serius, terencana, dan berkelanjutan. Masalah-masalah kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, tingginya angka pengangguran, serta rendahnya tingkat produktivitas dan mutu produksi, perlu memperoleh perhatian segera. Jika ditelisik lebih dalam, rendahnya mutu sumberdaya manusia di di daerah ini terkait erat dengan tingginya angka pernikahan anak.

Sosial Budaya

Pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu program prioritas pemerintah Bondowoso melalui pembangunan dan peningkatan mutu pendidikan. Pilihan prioritas ini memang sangat tepat (relevan), karena keadaan pendidikan di Kabupaten Bondowoso rata-rata masih memprihatinkan dan berada di bawah Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Masih rendahnya angka rata-rata lama bersekolah, sangat minimnya jumlah tenaga

35

PENGALAMAN BONDOWOSO

pendidik, jumlah penduduk penyandang buta aksara, adalah sebagian kecil dari masalah-masalah pendidikan di Bondowoso sampai saat ini (http://bondowosokab.go.id/profile/visi-dan-misi).

Angka buta huruf di Bondowoso tahun 2011 menurun 1,13% dibandingkan tahun 2010. Hanya 10% saja dari penduduk yang memiliki ijazah setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Atas (SMA), atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sampai tahun 2012, masih terdapat 6,84% anak laki-laki dan 19,09% anak perempuan usia lima tahun ke atas yang tidak atau belum pernah bersekolah. Tercatat 22,31% anak laki-laki dan 18,58% anak perempuan yang masih bersekolah, tetapi 70,85% dari anak laki-laki dan 62,32% dari anak perempuan tersebut sudah tidak bersekolah lagi.

Pembangunan bidang pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bondowoso dengan cara memperluas pemerataan kesempatan warga masyarakat memperoleh pendidikan. Upaya-uapaya yang dilakukan adalah mulai dari pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan formal hingga penyelenggaraan pendidikan luar sekolah seperti pemberantasan buta aksara (PBA). Hal ini dapat dilihat dari menurunnya angka buta huruf (ABH) umur 15 tahun ke atas yakni pada tahun 2009 abh sebesar 24,69%, tahun 2010 menurun 24,36% dan tahun 2011 menjadi 23,23% (BPS Susenas Jawa Timur tahun 2011). Kabupaten Bondowoso bahkan telah dipermaklumkan sebagai “Kabupaten Bebas Buta Aksara” dan menerima penghargaan Anugerah Aksara Tingkat Utama dari Presiden Republik Indonesia. Prasarana dan sarana pendidikan dasar mulai tersebar di semua kecamatan. Untuk jenjang pendidikan setingkat SMA, sudah mulai terdapat di hampir semua kecamatan. Untuk jenjang pendidikan tinggi, beberapa perguruan tinggi sudah berdiri di daerah ini, antara lain, Universitas Bondowoso, Sekolah Tinggi Agama Islam At Taqwa, dan Program Diploma III Keperawatan (http:// id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bondowoso)

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) di jawa timur tahun 2011 menunjukkan bahwa 82,10% penduduk Kabupaten Bondowoso yang berusia 10 tahun ke atas mampu membaca dan menulis huruf latin. Dari

36

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

penduduk yang bisa membaca dan menulis huruf latin tersebut, 90,41% adalah laki-laki dan 74,23% perempuan. Penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tidak bisa membaca dan menulis sebesar 24,68% perempuan dan 9,02% laki-laki (BPS Jawa Timur, 2011).

Kebudayaan Nasional. Terdapat lima kelompok etnis besar Kabupaten Bondowoso. Terbanyak adalah orang Jawa dan Madura. Kelompok etnis lain yang merupakan minoritas adalah warga keturunan India, Cina, dan Arab. Meskipun demikian, mereka semua umumnya menggunakan bahasa Jawa dan Madura dalam pergaulan sehari-hari, selain Bahasa Indonesia.

Kabupaten Bondowoso juga memendam sejumlah tapak bersejarah sebagai bagian dari sejarah lokal dan nasional. Beberapa tapak terpenting berupa dolmen, punden berundak, menhir, sarkopagus, kuburan batu, batu kenong, batu ruang (stone chambers), pelinggih, goa-goa raksasa, ekopak, abris saus roche dan area batu.

Keagamaan. Fasilitas peribadatan tersebar di seluruh Kabupaten Bondowoso. Masjid terbesar di daerah ini adalah Masjid Jami’ At Taqwa yang berada di sebelah barat alun-alun Kota Bondowoso. Sebagaimana kawasan tapal kuda lainnya, Bondowoso juga dikenal dengan sebagai salah satu kabupaten dengan puluhan pondok-pondok pesantren yang tersebar di berbagai penjuru. Jumlah santri si semua pondok pesantren tersebut terus bertambah setiap tahun. Walaupun sebagian besar warga Bondowoso beragama Islam, namun tempat-tempat peribadatan agama lainnya juga bisa ditemukan di berbagai tempat, terutama di Kecamatan Bondowoso atau kawasan perkotaan.

Kesehatan Reproduksi

Kondisi kesehatan masyarakat Bondowoso diawal pelaksanaan program sangat memprihatinkan. Keadaan kesehatan masyarakat di Bondowoso masih memerlukan perhatian. Ini, antara lain, terlihat dari masih rendahnya angka harapan hidup (AHH) yang rata-rata hanya 59 tahun, lebih

37

PENGALAMAN BONDOWOSO

rendah dari kabupaten sekitar dan jauh di bawah AHH Propinsi Jawa Timur, yaitu 66 tahun. Kenyataan tersebut memberikan gambaran bahwa mutu kehidupan masyarakat Bondowoso masih rendah. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya kemampuan warga masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki. Selain itu, juga disebabkan karena masih lemahnya sistem pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga sebagian besar warga masih sulit mendapatkan informasi. (http://bondowosokab.go.id/profile/visi-dan-misi ).

Dalam rangka menuju Bondowoso Sehat tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Bondowoso melakukan revitalisasi Rumah Sakit Umum (RSU), PUSKESMAS, Pondok Bersalin Desa (POLINDES), Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU), dan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja semua sarana pelayanan kesehatan tersebut dalam mendukung pelaksanaan pembangunan kesehatan. Di Kabupaten Bondowoso sendiri saat ini terdapat 1 RSU (yakni RSU dr. H. Koesnadi) dengan peringkat B, 2 rumah sakit swasta, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik, 5 laboratorium medis, 29 apotek, 17 PUSKESMAS, 25 PUSKESMAS Pembantu (PUSTU), 63 PUSKESMAS Keliling, 25 POLINDES, dan 162 POSYANDU (Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2011; BPS Jawa Timur, 2011; http://www.wydii.org/index.php/in/publication/wydii-on-the-news.html).

Perbaikan prasarana dan sarana pelayanan tersebut ternyata masih belum meningkatkan mutu kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan reproduksi. Pemerintah dan msyarakat Bondowoso masih harus terus menghadapi berbagai permasalahan kesehatan reproduksi. Kasus HIV dan AIDS, misalnya, mengalami peningkatan, dari 52 kasus pada tahun 2011 menjadi 68 pada tahun 2012. Demikian pula dengan kasus penduduk terjangkit infeksi menular seksual (IMS), turut mengalami peningkatan sebanyak 278 kasus, dari 162 kasus (2011) menjadi 440 kasus (2012) (Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kaupaten Bondowoso, 2012). Belum lagi masalah gizi di mana 506 remaja

28

38

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

usia di bawah 18 tahun masih mengalami anemia (Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2012).

Turut menjadi sorotan dan masih memancing perhatian banyak pihak adalah adalah masih tingginya kematian ibu, kematian bayi, dan pernikahan anak. Tiga masalah ini saling berkaitan satu sama lain. Artinya, dampak dari tingginya angka pernikahan anak berakibat pada tingginya kematian ibu dan bayi.

Angka kematian ibu di Bondowoso masih terbilang cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka rerata untuk seluruh Propinsi Jawa Timur, walaupun mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 184 orang per 100.000 kelahiran hidup, kemudian mengalami penurunan menjadi 148 pada tahun 2011, dan 109 pada tahun 2011.

Keadaan tersebut kemungkinan di sebabkan oleh kecenderungan banyaknya warga masyarakat Bondowoso yang masih memilih melakukan persalinan melalui dukun dibanding melalui petugas kesehatan. Dari data yang ada, jumlah ibu hamil yang melakukan persalinan di luar petugas medis masih menduduki peringkat pertama se-Jawa Timur. Hingga akhir September 2012, tercatat 6,18% atau 654 dari total 8.404 persalinan (http://www.majalah-gempur.com/2012/12/memprihatinkan-angka-kematian-bayi-di.html).

Persalinan dilakukan di dukun, karena warga lebih percaya dukun dan secara biaya tidak mahal. Akan tetapi hal lain yang lebih prinsip adalah pengetahuan masyarakat terkait dengan kesehatan reproduksi dan menjaga kehamilan masih rendah, utamanya di kalangan pasangan muda usia. Pernikahan mereka dilakukan tanpa persiapan pengetahuan kesehatan dan akses mendapatkan pelayanan kesehatan.

Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Bondowoso, juga masih sangat memprihatinkan. Dari 38 Kabupaten/Kota se-Jawa Timur, Bondowoso masih menduduki peringkat ke 4 yang angka kematiannya cukup tinggi. Pada tahun 2010, AKB di Bondowoso tercatat 58 bayi per 1000, jauh lebih tinggi

39

PENGALAMAN BONDOWOSO

dibandingkan AKB se-Jawa Timur, yakni 29,9 bayi per 1000 (Radar Bondowoso, 2011). Sepanjang tahun 2012, kasus kematian bayi mencapai 182 (http://bondowoso.dinkesjatim.go.id/index.php?option=com_content &task=view&id=209&Itemid=1 ).

Tingginya AKB tersebut disebabkan banyak kasus bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan gangguan pernafasan. Penyebab berat badan bayi rendah sangat dipengaruhi oleh keadaan kesehatan sang ibu saat bayi masih dalam kandungan. Kemungkinan besar sang ibu mengalami kekurangan gizi saat hamil. Angka kemiskinan di Bondowoso yang masih cukup tinggi, memungkinkan bagi ibu hamil kekurangan asupan gizi yang menyebabkan anemia, sehingga mempengaruhi berat badan bayi saat lahir. (http://www.majalah-gempur.com/2012/12/memprihatinkan-angka-kematian-bayi-di.html)

Permasalahan tingginya AKI dan AKB, masih akan terus membayangin Pemerintah Kabupaten Bondowoso jika pernikahan di usia belia tidak mendapatkan perhatian yang serius. Dalam banyak bahan kepustakaan, pernikahan anak memiliki keterkaitan yang erat dengan kematian ibu saat melahirkan dan kematian bayi yang dilahirkan. Data dari Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa Timur tahun 2010 menunjukkan angka pernikahan pertama penduduk perempuan bawah umur 17 tahun di beberapa kabupaten di Jawa Timur terungkap berada di atas 50% dari seluruh pernikahan di provinsi tersebut. Dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Kabupaten Bondowoso menempati urutan tertinggi (73,9%), diikuti dengan Probolinggo (71,5%), Sampang (63,8%), Sumenep (60%), Pamekasan (59,2%), Jember (56%), dan Lamongan (52,5%) (http://www.wydii.org/index.php/in/publication/wydii-on-the-news.html ).

Sampai tahun 2012, keadaan tersebut belum berubah, meskipun persentasenya mengalami penurunan. Bersama dengan Kabupaten Malang, Kabupaten Bondowoso tercatat memiliki angka pernikahan anak di bawah 20 tahun. Di Malang, angka pernikahan anak adalah 887 atau 29,09% dari

29

40

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

keseluruhan (3.049) pernikahan; sedangkan di Bondowoso sebesar 1600 atau 52,93% dari keseluruhan (3.023) pernikahan (Kompas, 2012). Artinya, selain lebih tinggi dibandingkan angka rerata untuk seluruh Jawa Timur, pernikahan dini di Bondowoso juga jauh lebih tinggi dibandingkan angka nasional (23%) (http://beritabondowoso.blogspot.com/2008/03/nikah-dini-di-bondowoso-tertinggi-di.html ).

Rendahnya mutu sumberdaya manusia dan pemahaman budaya bahwa anak perempuan yang sudah akil baligh harus segera menikah, menjadi penyebab utamanya. Hak ini diperburuk oleh kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua. Di kawasan perdesaan di Bondowoso, sebagian orangtua menikahkan anak perempuannya pada usia muda karena khawatir dianggap perawan tua.

Terselamatkan dari Jerat Pernikahan Anak

Sebut saja namanya Ina, remaja siswa satu SMP di Bondowoso. orangtuanya sudah menjodohkanya dua kali dengan lelaki sebayanya. Orangtua Ina beralasan bahwa dulu mereka pun menikah usia muda dan tidak ingin Ina menjadi perawan tua. Pada lamaran pertama Ina menolak dan meminta orang tuanya untuk membolehkan dia sekolah sampai lulus SMP. Orang tuanya marah akan tetapi membolehkan Ina sekolah. Saat Ina Kelas III, ada pemuda lain yang melamarnya dan Ayahnya mengancam Ina untuk tidak menolak. Bahkan, Ina ditakut-takuti bahwa jika menolak sampai dua kali maka akan mendapatkan petaka.

Ina yang bercita-cita menjadi guru, menghadapi pilihan sulit. Jika ia menolak lagi, maka tindak kekerasan dari orang tuanya akan kembali dia rasakan. Dia akan dianggap sebagai anak durhaka. Padahal, dia sendiri masih sangat ingin melanjutkan sekolahnya. Ina belajar dari keadaan orangtua dan lingkungannya bahwa pernikahan usia muda yang membuat kemiskinan dan keterbelakangan. Ina yang sudah melek teknologi itu pun mulai mencari informasi tentang hak anak, dan tentang bahaya menikah dini. Ina berusaha menjelaskan impian dan pengetahuannya kepada orang tuanya, tetapi pukulan ayahnya yang selalu diterimanya. Itu semua membuat Ina --yang bersuara bagus dan sudah sering manggung dari kampung ke kampung-- mulai sering tampak murung dan kehilangan keceriaannya, termasuk saat di sekolah.

41

PENGALAMAN BONDOWOSO

Guru kelasnya lalau memanggilnya dan meminta Ina menjelaskan peristiwa yang dialaminya. Sang guru kemudian mendatangi ayah Ina dan menyarankan agar memberi kebebasan pada Ina melanjutkan sekolah. Sang guru juga menjelaskan tentang bahaya menikah usia muda. Namun, ayah Ina bersikeras, bahkan sesudah itu malah melarang Ina ke sekolah. Ayah Ina hanya gentar ketika Ustadz Taufik, yang juga berprofesi sebagai guru, mendatanginya dan menyatakan bahwa menikahkan anak di bawah umur dapat dipidana.

Peran ustadz memang cukup penting di Bondowoso. Mereka lebih dipercaya daripada pemerintah sekalipun. Maka, Ina pun selamat dari paksaan orang tuanya menikah dini. Dia lulus SMP dan melanjutkan pendidikannya ke SMA.

Ina hanyalah salah seorang anak yang selamat dari desakan keluarga dan lingkungannya untuk dinikahkan pada usia dini. Ada banyak Ina lain yang terpaksa harus menikah dini, menghentikan langkah mereka untuk menggapai masa depan lebih baik, karena desakan orangtua dan lingkungannya. Bahkan orang-orang terdekat mereka itulah yang telah menyeret mereka ke “tiang gantungan” bernama pernikahan anak.

43

Menurunkan AngkaPernikahan Anak

Pendidikan kesehatan reproduksi adalah suatu proses menyeluruh yang memadukan pengetahuan biologis, nilai-nilai yang berlaku, aspek psikologis, penafsiran ulang ajaran agama, dan berlandaskan hak

anak untuk mendapatkan pengetahuan tentang tubuh dan reproduksinya. Sesuai dengan pertumbuhan anak, proses pendidikan kesehatan reproduksi seharusnya memang dilakukan sejak dini dan dimulai dari lingkungan keluarga. Namun, fakta di masyarakat selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua masih tetap merasa risih membicarakan tentang seks dan seksualitas pada anak-anak mereka. Atau, karena orangtua memang tidak memiliki pengetahuan memadai tentang hal itu. Akibatnya, anak akan mendapatkan pengetahuan tentang seks justru dari sumber-sumber luar keluarga yang cenderung menyesatkan.

Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Dalam kegiatan belajar-mengajar, terutama dalam pergaulan di lingkungan sekolah, seringkali mereka mendapat masalah, termasuk masalah dalam hal

4. KIPRAH

44

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

kesehatan reproduksi. Sebagai contoh, siswa perempuan yang kebingungan saat pertama kali mengalami menstruasi di sekolah. Atau, siswa perempuan yang mulai malu berolahraga ketika payudaranya mulai membesar. Sama saja dengan siswa laki-lak yang masih takut dikhitan, dan sebagainya.

Sementara itu, di banyak wilayah di Indonesia, guru jarang yang terlatih untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Selama ini, pendidikan tentang kesehatan reproduksi terkesan hanya “diselipkan” dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), khususnya Biologi, dengan mutu pelajaran seadanya. Hal tersebut berakibat tidak ada satu rujukan buku atau sumber informasi yang dapat digunakan baik oleh siswa maupun guru dalam memperoleh informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi. Yang banyak terjadi adalah guru cenderung menonjolkan aspek-aspek normatif yang tidak jelas dan lebih menakut-nakuti siswa. Hal tersebut terjadi karena budaya tabu dalam masyarakat yang masih mengakar kuat tentang seks dan seksualitas di mana kesehatan reproduksi adalah salah satunya. Maraknya pernikahan anak, kehamilan tidak dikehendaki, perilaku seks yang kurang bertanggungjawab, seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk membekali para siswa dengan pengetahuan kesehatan reproduksi yang lengkap, sehingga mereka mampu memilah-milah mana perilaku yang aman dan mana perilaku yang dapat membahayakan kesehatan reproduksinya dan masa depan mereka.

Budaya tabu, pengetahuan yang sangat kurung tentang seks dan seksualitas (khususnya tentang kesehatan reproduksi), dan kuatnya pengaruh tokoh agama yang kian memperkuat tabu dan kekurangan pengetahuan tersebut, adalah kenyataan yang kami temui di Bondowoso sebagai latar belakang maraknya pernikahan anak. Pernikahan anak yang masih tetap tinggi, pada gilirannya, menjadi sebab penting tetap tingginya angka perceraian di Bondowoso.

45

PENGALAMAN BONDOWOSO

GRAFIK 3Persentase Jumlah Pernikahan Anak

di Kabupaten Bondowoso, 2011-2013

2011 2012 2013*

Jumlah Pernikahan Anak 2.759 2.800 2.331

Jumlah Pernikahan 5.418 5.597 5.363

*) data tahun 2013 adalah angka prakiraan sasaran (asumsi) yang direncanakan Sumber: diolah dari KBPP Bondowoso, 2013.

Data di atas memperlihatkan bahwa meskipun jumlah cenderung menurun, namun jumlah tersebut secara proporsional (persentase) terhadap jumlah seluruh pernikahan adalah masih tetap tinggi, yakni hampir separuhnya. Dengan kata lain, penurunan angka pernikahan anak di Bondowoso belum signifikan dan penurunan yang terjadi, paling tidak selama tiga tahun (2011-2013), dalam kenyataannya memang masih sangat kecil, Untuk itu pemerintah kabupaten Bondowoso harus lebih kerja keras mengupayakan penurunan angka pernikahan anak.

46

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Gambaran lainnya dari pernikahan anak di Bondowoso dapat ditilik jelas dari data persalinan yang ibu usia muda yang juga masih cukup tinggi, yakni lebih dari 35% dari seluruh jumlah persalinan yang ada.

GRAFIK 4Persentase Persalinan Ibu Usia Muda (15-19 tahun)

di Kabupaten Bondowoso, 2010-2012

| | |2011 2012 2013

Sumber: diolah dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2012.

Hasil pemetaan inilah yang membuat YKP dan KINERJA dalam programnya tidak hanya fokus pada pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja, tetapi juga menjangkau guru-guru, orangtua murid, Ustadz atau tokoh agama, dan aparat pemerintah daerah ( Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana). Pilihan pelibatan multipihak ini adalah upaya untuk membongkar akar

47

PENGALAMAN BONDOWOSO

masalah tingginya pernikahan anak di Bondowoso, selain untuk membangun tekad (komitmen) bersama untuk menghasilkan pemecahan masalah yang lebih baik. Yayasan Kampung Halaman yang berbasis di Yogyakarta --sebagai organisasi yang fokus menjangkau anak muda dan remaja melalui media-- dilibatkan secara khusus untuk membangun kampanye publik yang kreatif dan melibatkan media massa lokal. Pintu masuk program melalui pemerintah menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program ini, dimana peran pemerintah adalah membuka akses (khususnya data), pemilihan lokasi program, dan pihak-pihak yang harus dilibatkan. Bupati secara khusus membuat Surat Keputusan (SK) penetapan wilayah dan Satuan-satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang harus terlibat. Adapun peran yang dilakukan YKP dan Yayasan Kampung Halaman adalah pada keahlian dan jaringan di tingkat nasional dan internasional.

Persiapan

Remaja sebagai subyek penerima manfaat utama program ini adalah para siswa tingkat SLTP dan Madrasah Tsanawiyah. Demikian pula dengan guru-guru mereka. Pengelompokan ini didasarkan pada fakta bahwa usia remaja adalah masa-masa paling kritis dalam perkembangan pikirannya dan diikuti dengan perkembangan tubuh. Dalam kenyataannya, masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja pada usia mereka lah yang paling banyak mengalami putus sekolah karena menikah dini.

Tapak pelaksanaan program mencakup lima kecamatan yang selama ini merupakan lokasi program kesehatan KINERJA bekerjasama dengan PKBI, yakni program Penguatan PUSKESMAS dan Inisiasi Menyusui Dini. Pilihan tempat ini juga untuk memastikan adanya keterpaduan dengan PUSKESMAS setempat dan menjadikan lembaga pelayanan kesehatan masyarakat tersebut memiliki program kerja kesehatan reproduksi untuk kaum remaja.

48

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

PETA 2Lokasi Program Kesehatan Reproduksi Remaja

YKP-KINERJA di Kabupaten Bondowoso

1. KECAMATAN TEGAL AMPEL 2. KECAMATAN BONDOWOSO 3. KECAMATAN WONOSARI

4. KECAMATAN PUJER 5. KECAMATAN TAMANAN

Pelaksanaan

Identifikasi Kebutuhan

Data dasar (baseline) yang telah dikumpulkan oleh Tim KINERJA tentang persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Bondowoso di sektor kesehatan, menjadi dasar dalam melakukan penjajakan kebutuhan (need assessment) lanjutan. Penjajakan ini bertujuan menggali data dan informasi yang lebih rinci terkait dengan temuan tingginya angka pernikahan anak, kematian ibu melahirkan, dan dalam kaitannya dengan IPM Bondowoso yang rendah.

1

2 3

45

49

PENGALAMAN BONDOWOSO

Penjajakan dilaksanakan dengan dua metode, tela’ah dokumen (desk study) dan rangkaian diskusi kelompok terarah (focus group discussion, FGD) dengan para pemangku kepentingan (perwakilan pemerintah daerah, tokoh-tokoh agama, pemerhati pendidikan, serta perwakilan guru dan murid). Maksud lain dari rangkaian diskusi terarah tersebut adalah sebagai upaya mengembangkan metode dan materi pelatihan yang sedang disiapkan YKP, selain untuk mengukur tingkat penerimaan masyarakat atau penerima program atas bahan-bahan pendidikan dan alat peraga yang akan digunakan. Dari rangkaian diskusi itulah kemudian diperoleh masukan bahwa budaya masyarakat Bondowoso yang agamis dan paternalistik pada tokoh-tokoh agama --khususnya Islam sebagai agama mayoritas-- menjadi penting untuk materi pelatihan kesehatan reproduksi. Teks dari ayat-ayat Al-Quran dan penafsirannya disampaikan dalam bahasa keseharian yang mudah difahami oleh warga masyarakat lokal, menghindari penggunaan istilah-istilah dari bahasa asing (Inggris).

Sasaran utama pendidikan dan pelatihan, selain para siswa dan guru-guru mereka, para pemuka atau tokoh agama (Kyai) setempat sangat disarankan untuk dilibatkan dalam pelatihan atau mengikuti acara-acara penjelasan (sosialisasi) tentang kesehatan reproduksi. Seperti umumnya di wilayah Jawa Timur, khususnya di kawasan tapal kuda, para Kyai lebih didengarkan oleh warga masyarakat. Dalam banyak kasus, bahkan mereka justru yang sering disebut sebagai “pihak-pihak yang mendukung pernikahan anak.” Mereka selalu menggunakan teks-teks keagamaan bahwa anak-anak yang sudah akil-baligh, pada dasarnya sudah dewasa dan sah (atau bahkan wajib) untuk segera dinikahkan. Meskipun sebenarnya ada kepentingan lain di sebaliknya.

Bahan-bahan Pelatihan

Prinsip dalam menyusun bahan-bahan pendidikan dan pelatihan oleh Tim YKP adalah mudah dimengerti, dapat dipraktikkan, dan mendorong

50

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

setiap peserta dapat mengembangkan bahan-bahan tersebut untuk mereka gunakan dalam melakukan pendidikan dan pelatihan yang sama pada kalangan yang lebih luas.

Atas dasar prinsip tersebut, semua bahan disusun dalam tiga bagian: buku panduan, buku bacaan, dan alat-alat pendukung pelatihan. Sebelum digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan yang sesungguhnya, semua rancangan bahan-bahan tersebut dibahas terlebih dahulu dengan para pihak di Bondowoso sebagai penerima manfaat program dan KINERJA sebagai pendukung program untuk mendapatkan masukan, tanggapan dan perbaikan.

Buku Panduan. Tim YKP berhasil menyusun buku bertajuk “Mengajar Kesehatan Reproduksi” sebagai buku pegangan utama bagi para fasilitator pelatihan kesehatan reproduksi. Buku ini berisi uraian langkah-langkah yang dapat diikuti oleh para fasilitator dalam menyampaikan pokok-pokok bahasan tentang kesehatan reproduksi.

Buku panduan tersebut terdiri dari delapan satuan waktu kegiatan (session). Pada setiap session diuraikan tujuan yang diharapkan, metode yang digunakan, lama penyampaian, langkah-langkah yang dapat diikuti, dan catatan penting yang perlu mendapat perhatian dari fasilitator. Selain itu, buku panduan tersebut juga dilengkapi dengan

petunjuk umum bagi fasilitator, seperti persiapan-persiapan yang harus dilakukan sebelum session, baik peralatan yang akan digunakan maupun persiapan pribadi berupa penguasaan bahan yang akan disajikan.

Garis-besar Isi Buku Panduan “Mengajar Kesehatan Reproduksi”

Session 1 Memahami Kesehatan Reproduksi

Session 2 Tanda-tanda Pubertas

Session 3 Masalah Gizi Remaja dan Kaitannya dengan Kesehatan Reproduksi

Session 4 Hak & Kewajiban Anak serta Tinjauan Sosiologis Kesehatan Reproduksi Remaja

Session 5 Perlunya Menghindari Infeksi Menular Seksual (termasuk HIV & AIDS)

Session 6 Bahaya Narkoba

Session 7 Komunikasi Interpersonal

Session 8 Pendidikan Kesehatan Reproduksi oleh Guru

51

PENGALAMAN BONDOWOSO

Buku Bacaan. Buku ini berisi bahan-bahan bacaan yang berisi pengetahuan bagi siswa tentang kesehatan reproduksi, tentang dirinya sebagai pelajar dan anggota masyarakat, dan tentang hak-hak serta kewajiban sebagai remaja.

Buku ini terdiri dari enam bab yang ditulis dengan gaya bahasa remaja, disertai gambar-gambar. Pada setiap bab, disertakan kutipan ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, YKP meminta tokoh-tokoh agama setempat untuk melengkapinya.

Alat Peraga. Pelatihan kesehatan reproduksi tidak akan efektif jika tanpa alat peraga. Sasaran pelatihan, baik guru maupun siswa, tidak akan cukup memahami teori, tetapi juga harus berpraktik langsung mengenal alat dan organ reproduksi. Alat peraga pelatihan tersebut, antara lain, terbuat dari labia kain (digunakan untuk menjelaskan organ reproduksi perempuan bagian luar), penis kayu (digunakan untuk menjelaskan organ reproduksi laki-laki bagian luar), serta satu celemek yang terdiri dari dua sisi (satu sisi bergambar organ reproduksi perempuan, dan satu sisi lain bergambar organ reproduksi laki-laki). Celemek bergambar organ seksual ini sebagai alat untuk menjelaskan organ reproduksi bagian dalam, nama, proses, dan sistem reproduksinya. Disarankan fasilitator membawa alat pendukung lainnya yang mungkin dibutuhkan saat menyampaikan pokok bahasan tertentu, misalnya gambar-gambar tentang berbagai jenis infeksi menular seksual, jenis-jenis narkoba dan dampaknya, dan beberapa contoh berita

GAMBAR 1Beberapa contoh alat peraga Pelatihan Kesehatan

Reproduksi Remaja oleh YKP-KINERJA

52

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

media atau kasus yang terkait dengan kesehatan reproduksi, pernikahan anak, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya.

Semua pokok bahasan yang menyangkut seks dan seksualitas tersebut memang merupakan hal yang sangat peka, karena masih dibayangi oleh anggapan umum yang masih berakar kuat bahwa hal-hal tersebut tabu dibicarakan secara terbuka di depan umum. Ini membuat Tim YKP harus sangat hati-hati dalam membahasnya dan saat menggunakan alat-alat peraga yang ada. Karena itu, semua bahan dan alat peraga diuji-cobakan terelbih dahulu pada perwakilan para pemangku kepentingan (pemerintah, tokoh masyarakat dan guru) untuk memperoleh masukan penilaian, penyesuaian, dan perbaikan.

Dalam pelaksanaan acara pelatihan, beberapa siswa sempat menjerit waktu melihat alat-alat peraga tersebut. Bagi mereka, itulah saat pertama mereka melihat wujud dari organ-organ reproduksi (meskipun hanya tiruan), walaupun sebagian dari mereka pernah melihat gambarnya di tapakmaya orang dewasa di jaringan internet.

Pada awalnya, di kalangan para pengamat (guru), ada keraguan tentang penggunaan alat-alat peraga tersebut. Mereka menganggapnya “terlalu vulgar”. Namun, para siswa sendiri berpendapat bahwa alat-alat peraga tersebut justru penting agar mudah mengerti dan membiasakan diri mereka untuk tidak lagi menganggapnya sebagai “tabu untuk dibicarkan.” Temuan-temuan dari penjajakan kebutuahn selama masa persiapan yang melibatkan tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat, dan orang tua, menemukan titik temunya saat diskusi-dikusi terarah (FGD). Secara sosial budaya dan politik, keterlibatan para tokoh agama di Bondowoso sangat menentukan, karena mereka selama ini menjalankan peran penting dalam terjadinya pernikahan dini. Keterlibatan mereka dalam program ini ternyata mendorong mulai munculnya beberapa Kyai muda yang melakukan serangkain tausiah (anjuran. wejangan) kepada para jama’ahnya untuk mencegah pernikahan usia dini. Memang, kekuatan mereka sampai saat ini

53

PENGALAMAN BONDOWOSO

masih cukup jauh terkendala oleh konservatisme ajaran di kalangan sebagain besar Kyai senior.

Koordinator Lapangan

YKP berkantor di Jakarta, sementara program dilaksanakan di Bondowoso. Untuk memudahkan kordinasi, YKP menunjuk dua Kordinator Lapangan yang bertempat tinggal di Bondowoso. Tugas utama mereka, antara lain, mendukung dan memudahkan kerja Tim YKP dan mediasi antara YKP dengan masyarakat di Bondowoso.

Kordinator Lapangan direkrut selama satu tahun atau selama program berjalan. Pemilihan mereka dilakukan secara terbuka dengan sejumlah tolok-ukur dan rekomendasi organisasi yang pernah bekerjasama dengan mereka. Salah seorang Kordinator Lapangan yang terpilih adalah seorang guru SMP di Bondowoso, sementara yang satu lainnya adalah pengurus suatu yayasan lokal. Sebelum diangkat resmi, mereka berdua diundang ke Jakarta untuk diwawancarai. Proses wawancara dilakukan oleh YKP dan KINERJA. Selama wawancara, YKP menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilakukan di Bondowoso, tanggung jawab yang diharapkan dari mereka, serta hak dan kewajibannya sebagai Kordinator Lapangan. Dengan kata lain, YKP menjelaskan secara

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK 39 Pengalaman Lapangan di Bondowoao

Rincian Tugas Pokok Kordinator Lapangan Program Kesehatan Reproduksi Remaja

• Bertanggungjawab terhadap YKP atas penggunaan dana untuk keperluan program di lapangan (biaya komunikasi, alat tulis, dan pembiayaan lainnya).

• Memberikan laporan perkembangan kegiatan di lapangan secara berkala sesuai jadwal yang ditentukan.

Membantu mengatasi segala permasalahan yang ditemukan di lapangan.

• Memantau pelaksanaan pelatihan kesehatan reproduksi, baik oleh para fasilitator maupun oleh para siswa-siswi yang dilatih menjadi pendidik sebaya (peer educators).

• Melakukan persiapan-persiapan teknis untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan, seperti berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk memastikan tempat kegiatan, kehadiran undangan, kelengkapan peralatan, konsumsi, dan sebagainya.

54

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

transparan, baik program maupun seluruh anggaran biayanya, agar semua pemangku kepentingan di Bondowoso juga mengetahuinya. Kesepakatan YKP dengan dua orang Kordinator Lapangan tersebut diatur dalam kontrak yang ditandatangani oleh dua pihak.

Kegiatan di Lapangan

Pelatihan Guru. Sebelum pelatihan, dilakukan pemilihan guru-guru yang akan mengikuti pelatihan. Pelatihan untuk para guru ini dimaksudkan agar mereka menguasai bahan-bahan dan alat-alat peraga pelatihan sebelum mengajarkannya kepada para siswa mereka. Tidak semua guru di SMP dan Madrasah Ibtidaiyah di wilayah program dapat mengikuti pelatihan ini.

Mereka dipilih berdasarkan sejumlah tolok-ukur tertentu yang telah ditetapkan oleh YKP. Penyaringan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bondowoso berdasarkan tolok-ukur dari YKP.

Kesempatan mengikuti pela-tihan diumumkan secara luas melalui media-media cetak maupun radio di Bondowoso yang memang sudah bermitra dengan KINERJA-USAID sebelum program YKP-KINERJA dilak-sanakan. Akhirnya terpilih 24 orang guru (12 perempuan dan 12 laki) dari

12 sekolah (SMP Negeri dan Madrasah Tsyanawiyah) di lima kecamatan. Walaupun tidak ada tolok-ukur bahwa peserta pelatihan harus mengajar mata pelajaran tertentu, tetapi di akhir seleksi kebanyakan peserta adalah guru bimbingan dan penyuluhan (BP), guru olahraga, dan guru biologi.

Tolok-ukur Penilaian Guru-guru Peserta Pelatihan

Kesehatan Reproduksi Remaja

• Masih aktif mengajar di SMP Negeri atau Madrasah Tsanawiyah.

• Bersedia untuk mengikuti pelatihan selama lima hari penuh.

• Berasal dari sekolah (dengan Kepala Sekolah) yang mempunyai komitmen (sekolah harus setuju untuk menjadi tempat sosialisasi dan pengembangan kesehatan reproduksi).

• Bersedia menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk disosialisasikan, paling tidak, di sekolah masing-masing.

55

PENGALAMAN BONDOWOSO

Pelatihan didahului dan diakhiri dengan ujian (pre- and post-test) untuk mengetahui sejauh mana peserta telah mengerti dan memahami isu-isu dan bahan-bahan pengajaran kesehatan reproduksi. Fasilitator pelatihan adalah Pengurus YKP yang memang telah terlatih dan berpengalaman menyajikan bahan-bahan pelatihan kesehatan reproduksi. Proses pelatihan dilaksanakan secara interaktif dengan menggunakan metode dua arah, dilengkapi dengan simulasi dan permainan-permainan yang menunjang. Selama pelatihan berlangsung, peserta diberikan keleluasaan untuk bertanya, berkomentar, dan mengemukakan pendapat. Bahkan ada juga peserta yang menambahkan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh fasilitator menurut pengalaman dan pengamatan mereka sendiri, sehingga peserta tidak merasa “didikte,” melainkan merasa bahwa seluruh proses pelatihan lebih sebagai proses “berbagi” (sharing) dan “belajar bersama.”

Di antara semua bahan pelatihan, pokok bahasan tentang organ reproduksi laki-laki dan perempuan adalah yang paling menantang. Semua peserta pelatihan, misalnya, diharapkan mampu menyebutkan nama organ, sistem dan proses reproduksi secara tertib dan benar. Bagi para guru biologi, itu bukan hal baru sama sekali. Namun, tetap saja menjadi tantangan, karena mereka diminta menyebut nama semua organ reproduksi tersebut dengan bahan keseharian yang umum digunakan dan dipahami oleh warga masyarakat, bukan dengan istilah-istilah medis atau teknis-akademis. Misalnya, mereka diminta menyebut “rahim.” bukan “uterus”. Penggunaan alat bantu (celemek, penis kayu, dan labia kain) membantu peserta untuk lebih mudah memahami pokok bahasan yang memang peka ini.

Hal yang selama ini dianggap tabu, terutama yang menyangkut seksualitas, juga disajikan dan dibahas dalam pelatihan. Ternyata, setelah mendengar secara utuh, tidak satupun dari peserta yang masih beranggapan perbincangan terbuka tentang seksualitas sebagai sesuatu yang “jorok” atau tidak layak disampaikan kepada siswa. Sebaliknya, para peserta menganggap siswa harus tahu mengenai hal tersebut agar mereka terhindari dari segala permasalahan kesehatan reproduksi.

56

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Selama proses pelatihan, tidak ada peserta yang terlihat bosan atau tidak tertarik. Hampir semua pokok bahasan yang disajikan mampu menarik perhatian peserta dan membuat mereka bertahan mengikuti utuh seluruh proses pelatihan selama lima hari penuh. Mereka bahkan terlihat serius, bersemangat, dan aktif; terlihat dari pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan-tanggapan mereka ajukan.

Selama lima hari pelatihan tersebut, dua hari terakhir diperuntukkan untuk praktik uji-coba pengetahuan dan keterampilan, peserta menyajikan pokok-pokok bahasan kesehatan reproduksi kepada para siswa atau khalayak umum, yakni pada SMP dan Madarash Tsanawiyah, dan mengisi acara siaran interaktif di stasiun radio lokal.

Sekolah-sekolah ….. Asal Dari Paguyuban Guru Pendidik Kesehatan Reproduksi Remaja:

1. MTs N Bondowoso I

2. MTs Zainal Abidin Pujer

3. MTs At Taqwa Bondowoso

4. MTs Al Barokah

5. MTs Nurul Salam

6. MTs An Nuqoyyah

7. MTs Miftahul Ulum

8. SMP N 1 Pujer

9. SMP N 1 Tamanan

10. SMP N Tegalampel

Semua peserta di bagi menjadi 5 (lima) kelompok, setiap kelompok bebas menentukan atau membagi setiap anggotanya untuk menjelaskan pokok-pokok bahasan tertentu tentang kesehatan reproduksi. Selama praktik, bila satu peserta kelompok menjadi penyaji, maka kelompok lainnya bertugas sebagai pengamat. Pembagian peran ini dilakukan secara

57

PENGALAMAN BONDOWOSO

bergantian. Tugas kelompok pengamat, antara lain, memberikan umpan-balik kepada kelompok penyaji tentang bagian-bagian yang sudah baik dan yang masih perlu diperbaiki lagi.

Di hari terakhir pelatihan, peserta di minta untuk membuat rencana kerja (plan of action) pasca pelatihan. Kebanyakan peserta membuat rencana untuk melakukan sosialisasi di sekolah masing-masing, walau ada juga yang ke meluas sampai ke lingkungan tempat tinggalnya. YKP memberi kebebasan kepada mereka untuk menerapkan rencana masing-masing sesuai dengan kemampuan dan tingkat kenyamanan mereka.

Pelatihan Pendidik Sebaya. Kebutuhan akan pendidikan kesehatan reproduksi perlu diberikan pada anak sejak usia dini, sehingga saat mereka menginjak usia remaja, mereka telah mendapatkan informasi yang cukup dan benar. Remaja dalam masa peralihan biasanya enggan untuk mencari penjelasan pada orangtua tentang permalahan kesehatan reproduksi yang terjadi pada dirinya dan secara nyata sedang dihadapinya. Alhasil, mereka menyampaikannya kepada teman sebaya terdekat, karena teman sebaya biasanya lebih dapat mereka percaya untuk menyimpan rahasia pribadi. Sayangnya, karena sama-sama belum tahu secara benar, akibatnya informasi yang diterima banyak yang tidak benar.

Karena itu, keberadaan pendidik sebaya (peer educator) sangat diperlukan oleh remaja untuk mendapat informasi yang benar agar dapat menjawab pertanyaan teman-teman sendiri tentang kesehatan reproduksi. Bila penjelasan diperoleh dengan benar dan tepat, hal tersebut bisa membantu perkembangan remaja di masa mendatang. Mereka juga mampu memilah-milah hal-hal yang seharusnya dilakukan dan hal-hal yang seharusnya dihindari ketika menghadapi permasalahan seputar organ reproduksinya.

Dalam hal inilah fungsi pendidikan dan informasi kesehatan reproduksi diperlukan. Informasi diberikan agar remaja tidak salah tafsir dan tahu perilaku seksual yang aman dan tidak aman di usia mereka. Apabila

58

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi, paling tidak mereka mulai berpikir terhadap perilaku seksualnya sendiri, sehingga mereka akan lebih bertanggung jawab, menghargai, dan memelihara tubuhnya tetap sehat.

Pemilihan calon peserta pendidik sebaya dilakukan sendiri oleh Tim YKP, dibantu oleh Kordinator Lapangan dan para alumni pelatihan guru. Saat mendampingi alumni pelatihan guru mensosialisasikan kesehatan reproduksi dan pencegahan pernikahan anak di lima kecamatan, YKP menggunakan kesempatan tersebut untuk menjaring murid-murid SMP dan Madrasah Tsanawiyah yang punya potensi untuk dilatih menjadi pendidik sebaya dengan sejumlah tolok-ukur yang juga telah ditetapkan oleh YKP.

Akhirnya terpilih 24 orang siswa, 12 laki-laki dan 12 perempuan, untuk mengikuti Pelatihan Pendidik Sebaya Kesehatan Reproduksi. Setelah pelatihan, mereka diharapkan menjadi tempat bertanya bagi teman-teman sebayanya. Untuk menarik minat, semangat, dan keseriusan mereka, selain untuk membangun komitmen sekolah, undangan ditandatangani langsung oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bondowoso. Komitmen sekolah terlihat dari selama pelatihan, antara lain, para siswa selalu diantar dan dijemput oleh guru-guru mereka.

Berbeda dengan pelatihan untuk para guru, pelatihan pendidik sebaya hanya dilaksanakan selama 2 hari. Setemgah hari terakhir digunakan untuk praktik. Secara keseluruhan, bahan-bahan materi pelatihan, terutama yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan pernikahan anak, tidak berbeda dengan bahan-bahan pelatihan sebelumnya untuk guru-guru mereka.

Tolok-ukur Pemilihan Siswa sebagai Pendidik Sebaya Kesehatan

Reproduksi Remaja

• Siswa Kelas II SMP atau yang sederajat.

• Aktif dalam kegiatan atau organisasi kesiswaan.

• Menunjukkan minat, semangat, dan aktif saat guru menjelaskan informasi mengenai kesehatan reproduksi di sekolah mereka.

59

PENGALAMAN BONDOWOSO

Perbedaannya, pa-da pelatihan untuk guru, bahan-bahan disajikan le-bih rinci dan m e n d a l a m , dengan tambahan khu-sus pokok bahasan kete-r a m p i l a n b e r ko m u n i k a s i i n t e r p e r s o n a l . Pembedaan ini d i m a k s u d k a n agar guru lebih memahami secara keseluruhan dan mampu menjawab per-tanyaan-pertanyaan para siswa dengan baik saat mengajarkannya di ruang kelas.

Sebagaimana pelatihan guru, pelatihan pendidik sebaya juga dimulai dengan ujian awal (pre-test) dan menjelang akhir dengan ujian akhir (post-test). Jumlah dan jenis pertanyaan yang diberikan sama dengan untuk para guru. Hasilnya, para siswa (terutama siswa perempuan) jutsru mampu mencapai nilai lebih tinggi dibanding guru-guru mereka. Jika tidak ada seorang pun guru yang mendapat nilai sempurna pada ujian awal, justru terdapat tiga orang siswa yang memapu meraih nilai sempurna. Pada ujian akhir pelatihan guru, masih dijumpai peserta yang hanya mampu menjawab separuh dari 10 pertanyaan dengan benar, sementara pada pelatihan pendidik sebaya tidak ada satupun yang salah menjawab hingga separuh soal. Dengan kata lain, para siswa mampu menyimak bahan-bahan pelatihan lebih baik dibandingkan guru-guru mereka. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor usia, selain fakta bahwa masalah kesehatan reproduksi remaja adalah memang merupakan masalah nyata yang dihadapi oleh para siswa.

GAMBAR 2 Suasana Pelatihan Pendidik Sebaya Kesehatan Reproduksi Remaja di Bondowoso yang diliput oleh media massa lokal

(www. kabarbondowoso.com)

60

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Sosialisasi ke Tokoh Agama dan Orangtua. Tokoh agama (Kyai) dan orangtua memainkan peranan penting dalam pernikahan anak. Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pernikahan anak, tidak bisa dihindari memang harus melibatkan dua kelompok penting ini. YKP menyediakan waktu khusus untuk menyampaikan berbagai dampak negatif dari pernikahan anak.Satu hari khusus digunakan untuk pertemuan dengan kelompok tokoh-tokoh agama, dan satu hari lainnya untuk pertemuan dengan perwakilan para orangtua remaja. Acara dihadiri oleh 55 orang Kyai dan 76 orangtua remaja. Pemilihan peserta pertemuan dilakukan melalui paguyuban-paguyuban guru alumni pelatihan kesehatan reproduksi yang ada di lima kecamatan. Banyaknya peserta pertemuan kemungkinan dipengaruhi oleh undangan resmi dari Kantor Bupati dan dihadiri langsung oleh Bupati sendiri. Startegi ini perlu dilanjutkan karena bila YKP sendiri yang mengeluarkan surat undangan, masyarakat setempat tidak mengenal YKP yang akan menyebabkan masyarakat kurang perhatian dan tidak antusias.

Acara dibuka oleh Bupati Bondowoso, Amin Said Husni. Dalam sambutannya, Bupati menyampaikan tentang tingginya angka pernikahan anak di daerah ini yang mencapai 47% dari total pernikahan. Dari semua pernikahan anak tersebut, 50% di antaranya berakhir dengan perceraian. Lebih jauh, Bupati juga menjelaskan bahwa pernikahan anak turut menyumbang pada tingginya angka kemiskinan di Bondowoso. Anak-anak perempuan yang bercerai kemudian banyak yang ke luar negeri untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Untuk mereka yang sudah punya anak, terpaksa anaknya dititipkan kepada orangtua yang tidak berpendidikan dan keadaan ekonominya juga tidak lebih baik. Jadi, anak-anak mereka dibesarkan tanpa belaian orangtua. Keadaan inilah yang mendorong Bupati bertekad untuk menekan angka pernikahan anak dan kemiskinan yang menyebabkan atau yang diakibatkannya.

Tema pokok pembicaraan tidak dibedakan di antara dua kelompok tersebut, mencakup pengetahuan umum dan dasar tentang kesehatan reproduksi, keterkaitan kesehatan reproduksi dengan pernikahan dini, serta

61

PENGALAMAN BONDOWOSO

dampak negatif pernikahan anak terhadap kesehatan fisik, mental, ekonomi, dan sosial anak. Di samping itu juga disampaikan hak-hak anak. Dalam pertemuan dengan para tokoh agama, turut hadir beberapa pimpinan PUSKESMAS setempat. Untuk memperkuat pemahaman para tokoh agama tentang kesehatan reproduksi, para pimpinan PUSKESMAS tersebut menggunakan kesempatan untuk menyampaikan informasi tambahan data angka kematian bayi di Bondowoso yang mayoritas dialami oleh ibu yang menikah dini, selain data rendahnya pemahaman tentang perawatan ibu hamil dan gizi untuk bayi pada ibu yang menikah muda.

Mengingat semua informasi tersebut adalah sesuatu yang masih relatif tabu dibicarakan di tempat umum di Bondowoso, sesungguhnya ada kekhawatiran penolakan dari tokoh agama dan para orangtua. Tapi ternyata, cara penyajiannya yang yang mudah dipahami dengan dukungan data yang cukup, membuat para tokoh agama menganggap semua yang disajikan sebagai pengetahuan yang memang harus mereka ketahui. Karena itu, mereka berharap program serupa juga perlu mulai diperkenalkan ke pondok-pondok pesantren di Bondowoso.

Meskipun masing-masing hanya satu hari, ternyata sosialisasi kesehatan reproduksi dan pencegahan pernikahan dini pada kelompok tokoh agama dan orangtua ini berperan strategis mempengaruhi pola pikir masyarakat. Baik tokoh agama maupun orangtua sama-sama menyadari bahwa mereka selama ini turut berperan atas terjadinya pernikahan anak di Bondowoso. Walaupun alasan mereka menikahkan anak selama ini dipacu lebih oleh kekhawatiran terhadap perilaku atau gaya hidup remaja yang sudah mulai berpacaran dan juga kekhawatiran anak perempuan mereka menjadi “perawan tua.” Lokakarya sehari dengan para tokoh agama di Bondowoso akhirnya juga mengilhami UNFPA untuk menyelenggarakan kegiatan serupa dengan para pimpinan agama se-Jawa.

Lokakarya Media. Informasi tentang kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan muda umumnya dianggap tidak pantas, tabu,

62

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

dan ditutup-tutupi, seperti yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Kabupaten Bondowoso adalah salah satu daerah di mana anggapan itu masih sangat kuat berakar. Tersedianya informasi yang benar dapat membantu para remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggungjawab terkait dengan organ reproduksinya. Untuk mendukung keberhasilan program pendidikan kesehatan reproduksi remaja, dirasakan perlu dilakukan kampanye untuk memperoleh dukungan dari semua pihak, termasuk orangtua dan masyarakat. Dengan demikian, dapat diharapkan terjadi suasana keterbukaan informasi mengenai kesehatan reproduksi di dalam keluarga yang, pada gilirannya, dapat mendorong diskusi yang lebih terbuka antara anak dan orangtua.

Kampanye melalui media tertentu yang dirancang dengan baik merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk keberhasilan program. Dengan melibatkan pelajar sebagai subyek, media dapat digunakan sebagai sarana dalam menyuarakan aspirasi mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, atas dukungan KINERJA-USAID dan Pemerintah Kabupaten Bondowoso, YKP menjalin kerjasama dengan Yayasan Kampung Halaman menyelenggarakan lokakarya media pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan kampanye pencegahan pernikahan dini.

Lokakarya Media ini bertajuk “Ketahui Tubuhmu “ atau disingkat “TaBu”. Tujuan utamanya adalah untuk mendorong remaja Bondowoso menyuarakan dan mengaktualisasikan pemahaman dan pendapatnya mereka sendiri tentang berbagai isu kesehatan reproduksi remaja, selain

Sekolah-sekolah Yang Mengikuti Lokakarya Media Program Kesehatan

Reproduksi Remaja

1. SMKN 1 Bondowoso.2. SMKN 2 Bondowoso.3. SMKN 3 Bondowoso.4. SMKN 1 Sumberwringin.5. SMKN 1 Tapen.6. SMAN Tamanan.7. SMAN 1 Tapen.8. MA Mambaul Ulum.9. SMPN 5 Bondowoso.10. SMPN 01 Tamanan.11. SMPN 1 Tegal Ampel.12. SMPN 2 Bondowoso.13. SMPN 1 Tapen.14. SMP Maarif 1 Tegalampel.15. MTs Zainal Abidin.16. MTs At-Taqwa.17. MTsN 1 Bondowoso.

63

PENGALAMAN BONDOWOSO

untuk menciptakan keterbukaan dalam membicarakan masalah-masalah kesehatan reproduksi lewat tulisan, catatan harian visual (video diary), dan poster. Lokakarya media ini diselenggarakan pada tanggal 1-4 November 2012 dan dibuka secara langsung oleh Bupati Bondowoso. Diikuti oleh 60 peserta dari 17 SMP, SMA, dan MTs di Bondowoso dengan sistem pendaftaran terbuka dan tidak dipungut biaya. Lokakarya ini sekaligus juga bertujuan mempersiapkan diselenggarakannya lomba penulisan, perancangan mendesain poster, produksi film pendek tentang pernikahan anak. Sebelum lokakarya, YayasanKampung Halaman mengadakan seminar sehari tentang “Melek (Literasi) Media” kepada peserta terpilih. Pada akhir lokakarya, para peserta bersama-sama menghasilkan empat video diary dan poster serta 15 tulisan pendek.

Pasca Pelatihan

Paguyuban Guru Peduli Kesehatan Reproduksi (PGPKR). Selesai pelatihan, para guru yang sudah dilatih masih sering bertemu satu sama lain. Mereka saling berbagi pengalaman dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Lalu, tercetus gagasan membentuk satu perkumpulan (paguyuban) yang mereka sebut dengan Paguyuban Guru Peduli Kesehatan Reproduksi (PGPKR). Kegiatan pertama mereka adalah melakukan dengar-pendapat (hearing) dengan Bupati Bondowoso terkait minimnya pemahaman masyarakat dan kaum muda Bondowoso akan kesehatan reproduksi. Pertemuan ini dilaksanakan di Pendopo Kabupaten Bondowoso pada hari Kamis, 28 Juni 2012. Mereka memaparkan beberapa temuan di lapangan yang sangat memprihatinkan akibat kurangnya pemahamanan masyarakat akan pentingnya kesehatan reproduksi. Pada kesempatan tersebut, PGPKR juga menyampaikan rencana mereka untuk melakukan sarasehan khusus dengan para tokoh agama.

Rencana mereka mendapat sambutan, bahkan Bupati Bondowoso menyatakan kesediaannya untuk menjadi Pelindung PGPKR yang

64

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

beranggotakan seluruh alumni pelatihan YKP-KINERJA. Bupati meminta para anggota PGPKR untuk mengisi Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah-sekolah (27 SMA) dengan penyajian informasi tentang kesehatan reproduksi dan perlunya pencegahan pernikahan dini. Untuk itu, pemerintah menyediakan anggaran biaya transportasi kepada para anggota PGPKR selama mereka mengisi MOS.

Sejak didirikannya, anggota PGPKR aktif memberikan penyuluhan ke masyarakat tentang kesehatan reproduksi. Bahkan ada anggota yang diminta oleh perusahaan di sekitar Bondowoso untuk memberikan penyuluhan kesehatan reproduksi kepada para pekerja perempuan perusahaan tersebut. Semua itu menimbuhkan semangat dan kebanggaan tersendiri di kalangan mereka yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan. Terakhir, beberapa anggota PGPKR mendampingi “Bunda Kespro” (istri Bupati) memberikan penyuluhan kesehatan reproduksi di empat kecamatan di Bondowoso.

Komunitas Langit Biru. Komunitas Langit Biru diprakarsai oleh para siswa alumni pelatihan media. Mulanya yang tergabung adalah mereka yang tertarik pada media poster, oleh karena itu mereka menyebut komunitasnya sebagai “KOMPOS (Komunitas Poster) BONDO WOW SO.” Seiring berjalannya waktu, ternyata alumni dengan ketertarikan pada media yang lainnya juga tertarik ingin bergabung. Mereka kemudian merubah nama menjadi “Komunitas Langit Biru.” Komunitas yang dipimpin oleh salah seorang siswa (Ainul Yakin) ini berharap dari nama itu akan menghasilkan karya-karya yang bermutu dan bersikap secerah langit biru.

Komunitas ini setiap Sabtu dan Minggu berkumpul di alun-alun Kota Bondowoso. Mereka melakukan aktifitas positif dalam bentuk karya seni, dengan medium cukil kayu, kristik, gambar, tulisan dan video. Meski lahir dari workshop dengan tema pernikahan dini, mereka juga berharap mampu berbicara mengenai isu-isu lain yang dekat dengan remaja.

Komunitas Langit Biru juga berharap dalam waktu dekat dapat berbagi pengalaman mereka mengikuti lokakarya kepada remaja-remaja di

65

PENGALAMAN BONDOWOSO

seluruh pelosok Bondowoso. Pernikahan dini merupakan kasus yang umum terjadi di pinggiran Bondowoso. Bertemu dan berbincang-bincang dengan remaja-remaja di sekolah-sekolah di pelosok, yang lingkungannya masih banyak terjadi pernikahan dini, memutarkan video hasil lokakarya atau mengajarkan teknik cukil kayu (memahat pada permukaan papan kayu), diharapkan kesadaran akan dampak negatif dari pernikahan dini sehingga angkanya dapat ditekan serendah mungkin.

Lomba Penulisan, Pembuatan Film dan Poster. Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi, dilakukan lomba penulisan, pembuatan film dan poster. Lomba diumumkan secara terbuka melalui radio dan surat kabar lokal. Lomba diikuti tidak hanya oleh peserta pelatihan tetapi juga peserta yang tidak ikut pelatihan.

Secara keseluruhan, ada 108 siswa dari 25 sekolah yang mengikuti kegiatan lomba media. Seluruhnya tercatat 27 tulisan, 7 film video, dan 47 poster sebagai peserta lomba. Selain mendapatkan hadiah uang, pemenang lomba juga mendapatkan piala khusus dari Bupati Bondowoso. Pemenang lomba diumumkan pada puncak acara “Festival Kesehatan Reproduksi.”

Festival Kesehatan Reproduksi. Sebagai puncak dari program kesehatan reproduksi remaja dan kampanye pencegahan pernikahan usia dini, YKP bersama KINERJA, Yayasan Kampung Halaman, dan Pemerintah Bondowoso menyelenggarakan “Festival Kesehatan Reproduksi.” Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 12 Januari 2013 di Pendopo Kabupaten, dihadiri oleh ratusan pelajar

GAMBAR 3 Salah satu sudut pameran di Festival Kesehatan

Reproduksi di Bondowoso

66

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

setingkat SLTP dan SMU dari 27 perwakilan sekolah yang didampingi oleh para Kepala Sekolah dan guru-guru mereka. Peserta Festival juga adalah perwakilan dari PUSKESMAS, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah lokal dari 23 kecamatan. Mengusung tema ”Kesehatanku, Masa Depanku, dan Janji Perbaikan Layanan Kesehatan,” festival ini bertujuan mempromosikan dan mengampanyekan upaya pencegahan pernikahan dini. Dalam kesempatan itu juga dilakukan penandatanganan “Janji Perbaikan Pelayanan di PUSKESMAS” (Tegal Ampel, Tamanan, Wonosari, dan Pujer) serta peluncuran Peraturan Bupati (PERBUP) Bondowoso tentang Persalinan Aman, inisiasi Menyusui Dini, Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif, dan Keseahatan Reproduksi.

Acara dibuka langsung oleh Bapak Bupati Bondowoso, sekaligus mengangkat istri Bupati sebagai “Bunda Kespro” dan dua orang siswa (Syamsul Arifin dari MTsN 1 Bondowoso, dan Balqis Putri Ramadayanti dari SLTPN I Tamanan) sebagai “Duta Kespro” yang akan bersama-sama Bunda Kespro melakukan berbagai program pencegahan pernikahan usia dini. Semua itu menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam mencapai Bondowoso Sehat.

Festival juga dimeriahkan dengan pengumuman pemenang lomba penulisan, pembuatan film video, dan pembuatan poster. Juara pertama lomba penulisan dimenangkan oleh Diah Ayu Anggraini dari SMPN 1 Bondowoso denga tulisan bertajuk “Sahabatku Sayang, Sahabatku Malang“ oleh Diah Ayu Anggraini dari SMPNI Bondowoso. Juara kedua oleh

GAMBAR 4 Para pemenang lomba dalam Festival Kesehatan Reproduksi di Pendopo Kabupaten Bondowoso.

67

PENGALAMAN BONDOWOSO

Nirisa Yolawati dari SMPN 1 Tegal Ampel dengan tulisan berjudul “Sebab dan Akibat Pernikahan Dini.” Juara ketiga diraih oleh Syamsul Arifin dari MTsN I Bondowoso dengan tulisan berjudul “Usia Ideal Untuk Menikah.” Juara pertama sekaligus juara favorit dalam lomba pembuatan film vifeo direbut oleh Tim SMA Islma Al-Fattah dengan judul “Pupus.” Pemenang kedua diraih oleh Bagus Rizkyal Barkah dari SMKN 1 Bondowoso dengan judul “Animasi tentang Kampanye Pencegahan Pernikahan Usia Dini,“ dan pemenang ketiga adalah Tim Alumni Pelatihan Media Video dengan judul “On”. Adapun lomba poster, juara pertama dimenangkan oleh Nurul Hasanah dari SMAN I Tenggarang, Juara II Nabila Husnaini dari SMP I Tamanan, dan juara III diraih oleh Liyeni dan Fiqih Imroiti dari SMKN I Tamanan. Dua poster pemenang terbaik diperbanyak dan dibagikan untuk dipasang di SLTP dan Madrasah Tsanawiyah se-Bondowoso sebagai bentuk nyata kampanye.

Melihat antusias masyarakat terhadap acara tersebut, Kepala BAPPEDA Bondowoso, Agung Trihandono, berjanji akan menjadikan Festival Kesehatan Reproduksi sebagai kegiatan tahunan Pemerintah Bondowoso dengan melibatkan semua sekolah dan para pemangku kepentingan. Gagasan itu mendapat sambutan dari Kantor Dinas Kesehatan yang akan mendukung pencegahan pernikahan usia dini dan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Bondowoso.

Keberhasilan festival ini tidak lepas dari peran aktif seluruh alumni pelatihan pendidik kesehatan reproduksi yang tergabung dalam PGPKR, serta para siswa alumni pelatihan pendidik sebaya dan lokakarya media yang tergabung dalam Komunitas Langit Biru. Mereka semua bekerja sebagai relawan mendukung seluruh rangkaian kegiatan festival mulai dari perumusan tema, identifikasi peserta, penyebaran undangan, pengadaan pameran, dan sosialisasi kegiatan melalui media massa dan media sosial. Mereka hanya berharap segala yang mereka upayakan dapat mendorong generasi masa depan dengan gaya hidup yang sehat, dan tidak ada lagi pernikahan usia dini.

69

Faktor-faktorPenentu Keberhasilan

Mengapa program ini dikatakan berhasil? Pertama, program ini tidak saja berhasil menarik komitmen pemerintah untuk serius memberikan perhatian pada permasalahan pernikahan dini

di Bondowoso. Kedua, warga masyarakat di daerah tersebut, khususnya lembaga pendidikan (guru dan siswa) serta tokoh-tokoh agama masih terus aktif berbagi informasi tentang kesehatan reproduksi dan kampanye pencegahan pernikahan dini meskipun program telah selesai.

Banyak faktor menjadi penentu keberhasilan tersebut. Berikut adalah beberapa yang terpenting.

Kematangan Berorganisasi

Yayasan Kesehatan Perempuan merupakan organisasi yang sudah berpengalaman dalam menjalankan program-program yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Sejak didirikan pada tahun 2001, YKP memang memusatkan seluruh kegiatannya pada isu-isu kesehatan reproduksi.

5. CAPAIAN

70

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Berbagai kegiatan, dari mulai penyelenggaraan pelatihan hingga penelitian sudah dilakukan, termasuk sampai ke tingkat lobi dan advokasi kebijakan. Sejauh ini, dapat dikatakan semua kegiatan dan program YKP dapat diselesaikan secara baik sehingga menjadi rujukan bagi organisasi-organisasi lain yang ingin menerapkan program serupa.

Keberhasilan program-program yang dijalankan YKP tidak terlepas dari kemampaun dan mutu sumberdaya manusianya. Selain memiliki sejumlah nama yang sudah dikenal banyak orang untuk tingkat nasional, bahkan tingkat internasional, atas keterampilan dan keahlian di bidangnya, juga diakui memiliki komitmen dan kesungguhan yang tinggi. Itu semua memudahkan YKP dalam menjalankan dan mengembangkan program, termasuk meyakinkan penerima manfaat (masyarakat dan pemerintah setempat) akan pentingnya suatu program diterapkan di daerah mereka.

Walaupun memiliki sejumlah pengurus, pengawas dan pembina yang mempunyai keahlian di bidangnya, tidak menurunkan semangat YKP untuk terus memperbaiki diri. Akhir-akhir ini, YKP sedang giat-giatnya mengembangkan kapasitas diri. Upaya ini dilakukan agar YKP mampu tangguh memberikan layanan maupun tata kelola internal organisasi yang bertanggungjawab (accountable) dan transparan. Salah satu indikator utamanya adalah adanya keterbukaan dalam pengelolaan sumberdaya organisasi dalam mencapai tujuannya. Hal ini dapat tercermin dari laporan keuangan yang dibuat sesuai kaidah-kaidah baku akuntansi keuangan. Selain itu, terdapat kelengkapan perangkat dokumen pengelolaan (panduan-panduan baku pengelolaan, standard operation manuals) yang mencakup pengelolaan keuangan, personalia, dan administrasi. Tak kalah penting adalah pemenuhan kewajiban perpajakannya. Pemenuhan kewajiban perpajakan kepada negara telah menempatkan YKP sebagai satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sejajar dengan sektor lain seperti sektor bisnis swasta.

Adalah jauh lebih mudah bagi suatu LSM yang telah membuktikan dirinya benar-benar accountable dan transparan untuk menuntut hal yang

71

PENGALAMAN BONDOWOSO

sama kepada organisasi lain, termasuk lembaga-lembaga pemerintah yang menjadi mitra kerjanya. Hal ini terbuktikan dalam program kerjasama dengan pemerintah daerah di Bondowoso. Bukan hanya kepada pihak luar, akuntabilitas dan transparansi organisasi juga membawa dampak positif secara internal, yakni semakin menguatnya kepercayaan dan kesetiaan para staf organisasi itu sendiri terhadap setiap langkah, tujuan, dan cita-cita organisasi. Semua itulah yang membentuk tingkat kepercayaan (kredibilitas) organisasi yang, pada gilirannya, akan menjadi salah satu faktor penentu keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang.

Tekad PemerintahKeberhasilan program di suatu wilayah juga tidak dapat lepas dari

peran, keterlibatan, dan keseriusan pemerintah daerah setempat. Bupati Bondowoso menyadari bahwa daerahnya merupakan salah satu daerah yang masih terjerat dalam tingginya jumlah pernikahan anak yang sangat berkaitan erat dengan masalah kemiskinan yang juga masih menghantui sebagian penduduk Bondowoso. Keadaan mental dan psikologi yang masih goyah (labil), menyebabkan anak lebih sering tidak mampu mengatasi permasalahan dalam rumah tangga. Ketika terjadi ketidakcocokan atau ketidakserasian dengan pasangannya, akan berujung pada perceraian. Perceraian akan lebih banyak merugikan pihak perempuan, antara lain, akan mengamali proses pemiskinan (impoverishment), terutama karena kehilangan sumber keuangan. Perempuan-perempuan yang kemudian menjadi orangtua tunggal terpaksa bekerja sebagai tenaga kerja murah dan penuh risiko, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk dapat memenuhi kebutuhan diri dan anaknya. Sementara si ibu bekerja, anaknya dititipkan pada orangtua yang keadaan ekonominya juga tidak lebih baik dari dirinya. Akhirnya dapat disimpulkan, pernikahan anak juga menempatkan anak yang terlahir turut mengalami proses pemiskinan yang berketerusan.

Keseriusan Pemerintah Kabupaten Bondowoso untuk benar-benar

72

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

berminat menyelesaikan permasalahan yang ada, terlihat sejak awal program diterapkan. Semua pelatihan maupun kegiatan lainnya yang melibatkan masyarakat selalu mendapat dukungan positif dari Bupati dan jajarannya. Pememerintah Kabupaten Bondowoso turut aktif mendukung dalam bentuk membuat dan menyebarkan undangan, menyediakan lokasi kegiatan (misalnya tempat penyelenggaraan pelatihan), hadir dalam setiap acara. bahkan memberikan kata sambutan di awal dan akhir acara, dan sebagainya. Kehadiran para pejabat daerah ini mendorong keseriusan peserta dan undangan yang hadir untuk mengikuti jalannya acara hingga selesai. Sehingga, informasi yang disampaikan dalam setiap kegiatan juga bisa utuh diterima peserta.

Tidak hanya Bupati, seluruh jajaran pemerintahan kabupaten juga turut melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan Bondowoso lepas dari permasalahan pernikahan usia dini. Sebagai contoh, saat YKP melakukan monitoring dan evaluasi di akhir program, Kepala Seksi Madrasah dan Pendidikan Agama Kantor Kemenag Kabupaten Bondowoso yakni Muftiyatul Karimah, MPd, mengatakan bahwa Kantor Dinas Agama sudah memiliki program pendewasaan usia nikah. Program ini sudah disosialisasikan ke pesantren-pesantren. Sekolah-sekolah tradisional berbasis ajaran agama (Islam) ini dianggap potensial untuk mencegah kasus pernikahan anak. Bila para pimpinan pondok pesantren (Kyai atau Ustadz) tercerahkan mengenai isu ini, mereka akan menjadi “kepanjangan tangan” yang strategis untuk mempengaruhi tokoh agama lainnya dan juga orang tuanya, bahkan realitanya maraknya pemalsuan usia di kantor Dinas Agama, mencetuskan persyaratan menikah bukan dengan menunjukan KTP tetapi dengan menunjukan ijasah. Sayangnya, program ini belum terlaksana secara maksimal karena keterbatasan dana.

Sementara itu, BAPPEDA Kabupaten Bondowoso, terutamaa sangat mendukung dalam menyusun dan menghasilkan anggaran agar kebijakan-kebijakan ataupun program pemerintah terkait dengan penurunan pernikahan anak dapat terlaksana. Sebagaimana Kantor Dinas

73

PENGALAMAN BONDOWOSO

Agama, BAPPEDA juga melihat tokoh agama sebagai kelompok yang perlu dipengaruhi untuk memutus tradisi menikahkan anak di usia masih sangat muda. Guru-guru mengaji dianggap sebagai pihak yang berperan besar terjadinya pernikahan anak. Untuk itu, Dinas Sosial Kabupaten Bondowoso memberikan tunjangan khusus dari dana AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada sekitar 5.000 orang guru mengaji yang tergabung dalam upaya pencegahan pernikahan anak.

Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso juga menyelenggarakan program mobil keliling ke sekolah-sekolah untuk mendekatkan pelayanan kesehatan reproduksi kepada para remaja. Misalnya, saat Bunda Kespro melakukan sosialisasi kesehatan reproduksi dan kampanye pencegahan pernikahan anak di empat kecamatan. Program ini akan dilanjutkan di kecamatan-kecamatan lainnya dengan prioritas pada kecamatan yang memiliki angka BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) yang tinggi. Ada keterkaitan antara pernikahan dini dengan BBLR. Di salah satu PUSKESMAS, tercatat 20 kasus BBLR dilahirkan dari perempuan yang usianya masih di bawah 20 tahun. Dalam waktu dekat, program ini akan dilaksanakan di 10 kecamatan lainnya. Selain itu juga, Dinas Kesehatan akan menyelenggarakan lomba “Duta Remaja.” Remaja-remaja akan dilatih dengan pengetahuan dan ketrampialn tentang kesehatan reproduksi. Kegiatan yang sama juga direncanakan akan dilaksanakan di sekolah-sekolah melalui MOS. Hanya saja, jumlah PGPKR masih sangat terbatas. Sekarang, hanya ada 16 orang anggota aktif, itupun hanya beberapa saja yang sudah siap berkegiatan langsung di masyarakat, selebihnya masih memerlukan pembinaan. Memang masih diperlukan waktu dan proses untuk menjadikan mereka sebagai tenaga-tenaga relawan yang handal.

Pemerintah Kabupaten Bondowoso mengganggap program ini berhasil. Mereka terdorong ingin mencontoh program YKP-KINERJA untuk diterapkan di seluruh kecamatan di Bondowoso. YKP membantu dalam penyusunan rencana kegiatan dan anggaran biayanya agar Pemerintah Kabupaten dapat menjelaskannya lebih baik kepada Dewan Perwakilan

74

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Rakyat Daerah (DPRD). Semua itu, sekali lagi, karena seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten Bondowoso semakin menyadari kejelasan hubungan antara upaya perbaikan pelayanan kesehatan reproduksi dan pencegahan pernikahan anak dengan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan pertumbukan ekonomi. Berkat kesungguhan mereka, Pemerintah Daerah Bondowaso banyak mendapat penghargaan, antara lain, dari Presiden Republik Indonesia, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Gubernur Jawa timur. Kabupaten Bondowoso juga mendapat penilaian sebagai Kabupaten Terbaik Kedua Tingkat Nasional untuk Pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Akhir tahun 2012, Kabupaten Bondowoso juga dicanangkan sebagai “Kabupaten Layak Anak,” yakni kabupaten yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Sampai dengan tahun 2012, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) telah memfasilitasi 60 kabupaten dan kota menuju “layak anak,” 40 di antaranya adalah upaya mandiri oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Kabupaten Bondowoso termasuk salah satu dari 40 kabupaten dan kota layak anak yang dilakukan secara mandiri (http://www.harianterbit.com/2012/10/02/situbondo-dan-bondowoso-canangkan-kabupaten-layak-anak/ ).

Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Pencegahan Pernikahan Dini di Bondowoso ini dipandang cukup berhasil, khususnya dari aspek pelembagaan, antara lain, ditandai dengan terbitnya Peraturan Bupati Nomor 41 Tahun 2012 tentang Persalinan Aman, Inisiasi Menyusui Dini, Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif bagi Bayi Baru Lahir. Selain kerangka regulasi di tingkat kabupaten, di beberapa PUSKESMAS juga telah terumuskan “Janji Layanan” yang merupakan bentuk komitmen PUSKESMAS untuk meningkatkan layanan pada masyarakat (http://www.igi.fisipol.ugm.

75

PENGALAMAN BONDOWOSO

ac.id/index.php/id/unfgi/aktivitas-unfgi/269-riset-kolaboratif-unfgi-di-kabupaten-bondowoso).

Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Pencegahan Pernikahan Dini di Bondowoso dianggap sebagai salah satu bentuk inovasi yang dilakukan di kabupaten. Kebijakan yang sudah dilakukan, antara lain, melakukan kemitraan dengan bidan dan dukun, pemberian bantuan operasional perawat di 157 Pos Kesehatan Desa (POSKESDES). Selain itu, juga memberilakan pelayanan Keluarag Berencana (KB) bagi keluarga miskin dan bantuan operasional bagi 1.605 kader KB desa. Kabupaten Bondowoso juga melakukan pemenuhan dokter spesialis kandungan dan anak berkerjasama dengan perguruan tinggi (http://sdm.ugm.ac.id/new/content/kepala-lan-10-hari-kerja-pegawai-dimanfaatkan-untuk-pengembangan-kompetensi).

Dalam rangka meningkatkan IPM nya, peruntukan anggaran belanja daerah untuk pendidikan dan kesehatan tetap menjadi perhatian yang digunakan untuk penyelenggaraan PAUD, peningkatan mutu pendidikan dasar melalui bantuan buku untuk desa terpencil, peningkatan pendidikan menengah melalui penyediaan alat praktik dan alat peraga siswa SMK, peningkatan kemampuan guru, keluarga berencana, penurunan angka pernikahan usia dini, peningkatan peran perempuan dan kesetaraan gender, serta rehabilitasi PUSTU (http://mediakontraktor.com/ Berita/Baca/5782)

Selain melalui kebijakan-kebijakan, Pemerintah Kabupaten Bondowoso juga aktif mendorong masyarakat melakukan upaya-upaya untuk menurunkan pernikahan anak. Dinas Kesehatan Bondowoso mengajak tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk bekerjasama mewujudkan persalinan aman dan mengurangi angka pernikahan usia dini. Sebanyak 50 orang lebih tokoh masyarakat mendapat pelatihan tentang pencegahan perkawinan usia dini dan kesehatan reproduksi remaja guna menciptakan Bondowoso sehat dan meningkatkan IPM daerah. Dipilihnya para Ustadz karena mereka dinilai paling dekat dengan masyarakat, sehingga diharapkan, tokoh masyarakat ini dapat menyampaikan informasi kesehatan kepada warga di desa mereka

76

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

masing-masing, utamanya tentang bahayanya menikah pada usia dini. Jadi, selain tenaga kesehatan, ada para Ustadz dan Ustadzah yang bisa membantu menjalankan program Dinas Kesehatan untuk menekan angka perkawinan dini dan mengurangi risiko kematian ibu dan bayi.

Kesungguhan Masyarakat

Tenaga Pengajar. Pasca pelatihan, para guru yang telah dilatih oleh YKP tentang kesehatan reproduksi benar-benar merasakan pentingnya semua bahan yang telah mereka terima selama pelathan. Maraknya angka pernikahan anak di Kabupaten Bondowoso membuka mata mereka bahwa dampak-dampak negatifnya akan membawa masyarakat Bondowoso semakin terpuruk. Walaupun pernikahan anak tidak dilarang oleh agama, namun jika dikaji lebih jauh, menikah tidak hanya sekedar dibutuhkan kesiapan mental dan material belaka, tetapi juga dibutuhkan kesiapan fisik untuk melakukan hubungan seksual, mengandung dan melahirkan anak. Jika keadaan fisik belum siap, akan berbahaya bagi kesehatan sang ibu maupun sang anak.

Sebagai wujud keseriusan dan kepedulian mereka untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini, para alumni pelatihan guru yang tergabung dalam PGPKR melakukan beberapa kegiatan nyata, antara lain, menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi dalam kegiatan MOS di 27 SMA dan SMK di Bondowoso. Walaupun hanya beberapa jam, menggunakan alat-alat peraga sederhana yang mereka peroleh selama pelatihan oleh YKP, penyajian mereka cukup efektif dipahami oleh para siswa baru SMA dan SMK. Para siswa itu setidanya sudah mendapatkan informasi dasar yang memadai dan benar tentang segala risiko yang bisa terjadi akibat dari perilaku dan gaya hidup, seksualitas, dan kesehatan reproduksi mereka, termasuk risiko-risiko jika mereka sampai melakukan pernikahan di usia yang masih relatif muda.

77

PENGALAMAN BONDOWOSO

Kegiatan PGPKR lain yang juga patut dihargai adalah keberanian menyelenggarakan “Sarasehan Kesehatan Reproduksi” dengan tokoh-tokoh agama. Beberapa guru yang tergabung dalam PGPKR kebetulan adalah juga Ustadz (guru dan tokoh agama) yang juga mengajar di Madrasah-madrasah Tsanawiyah. Tokoh agama dipandang sebagai kelompok yang selama ini turut berperan terhadap maraknya pernikahan anak di Bondowoso, karena mereka lah yang biasanya menikahkan anak berdasarkan permintaan orangtua. Didukung oleh dalil-dalil agama dan analisis dari sisi mudharat dan maslahatnya, para guru mengajak para tokoh agama untuk ikut aktif mencegah terjadinya pernikahan anak.

Terakhir, beberapa anggota PGPKR mendampingi Bunda Kespro, Hj. Fauziah Amin Said Husni, yang juga adalah istri Bupati dan Ketua Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Bondowoso, melakukan kampanye anti pernikahan dini di empat kecamatan (Tenggarang, Binakal, Cerahdami dan Bondowoso). Dalam kesempatan tersebut, PGPKR diberi kesempatan untuk berbagi informasi mengenai kesehatan reproduksi. Walaupun disampaikan dengan cara yang sederhana, tetapi justru mendorong keingintahuan masyarakat terhadap isu-isu kesehatan reproduksi. Keberhasilan mereka menarik minat masyarakat di empat kecamatan tersebut, pada gilirannya, mendorong kecamatan-kecamatan lainnya di Bondowoso yang meminta PGPKR dan Bunda Kespro juga melakukan kegiatan yang sama di wilayah mereka.

Pendidik Sebaya. Berbeda dengan para pengajar atau guru-guru mereka, para siswa SMP dan Madrasah Tsanawiyah yang dilatih sebagai pendidik sebaya (peer educators) tidak mendapat bahan-bahan serinci dan sedalam yang disampaikan kepada para guru mereka. Bahan informasi kesehatan reproduksi yang mereka dapatkan hanya dikemas untuk pelatihan dua hari. Walaupun demikian, hasil ujian awal dan akhir serta pemantauan dan evalusi terhadap mereka menunjukkan kemampuan yang dapat dibanggakan. Mereka juga cukup aktif berbagi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang mereka dapatkan selama pelatihan dua hari

78

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

kepada teman-teman sebayanya dengan bahasa dan komunikasi ala remaja, baik yang ada di lingkungan sekolah maupun tempat tinggal mereka.

Pelatihan cara membuat media komunikasi dan kampanye (film pendek, menulis artikel, dan membuat poster), membuat mereka menjadi lebih kreatif. Sekurangnya seminggu sekali, sebagai anggota jaringan “Komunitas Langit Biru,” mereka berkumpul di alun-alun kota sebagai pangkalan kumpul untuk menyalurkan kemampuan mereka melalui berbagai jenis media yang sudah mereka pelajari. Di tempat ini pula, mereka menyusun rencana-rencana untuk membantu remaja di Bondowoso agar terhindari dari perilaku-perilaku yang berisiko, termasuk menghindarkan mereka terperosok ke dalam lubang masalah “pernikahan anak.”

Para remaja itu tidak saja mampu menunjukkan kemampuannya di sekitar tempat tinggalnya, tetapi mereka juga mampu menunjukkan kemampuannya di luar Kabupaten Bondowoso. Ini ditunjukkan oleh Diah Ayu (14), seorang pelajar SMP, pemenang lomba penulisan artikel di Bondowoso, dengan percaya diri mampu menjelaskan situasi remaja di sekitar sekolah dan tempat tinggalnya pada acara diskusi dan pameran lingkup nasional bertajuk “63 Juta Anak Muda, Guru Kita” yang diselenggarakan Yayasan Kampung Halaman bekerjasama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Ford Foundation pada tanggal 23 Februari 2013 di Jakarta. Pada kesempatan tersebut, Ayu menyampaikan bagaimana banyak teman-temannya remaja putri terpaksa kehilangan masa depannya masuk ke ranah pernikahan anak karena pemikiran orangtua yang masih tradisional dan khawatir anaknya menjadi perawan tua. Ayu berharap para orangtua tidak lagi berpikiran sempit dan justru mendorong anak-anaknya untuk bisa lebih maju dengan memberi kesempatan mereka menyelesaikan pendidikannya sampai ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

79

PENGALAMAN BONDOWOSO

Keterlibatan Pendana

Bukan kali pertama YKP menerima dukungan dana dalam menjalankan kegiatannya. Namun, program di Bondowoso adalah kerjasama pertama YKP dengan KINERJA-USAID. Sebagai penyandang dana, KINERJA-USAID memang berbeda dengan lembaga-lembaga pendana lainnya. Lembaga-lembaga pendana umumnya akan menyerahkan penuh pelaksanaan program setelah mereka menyetujui usulan yang diajukan oleh penerima dana. Sesekali, jika dianggap perlu, mereka akan melakukan kunjungan lapangan untuk melakukan pemantauan langsung. KINERJA-USAID jutsru ikut mengawal pelaksanaan program sedari awal hingga program berakhir. KINERJA-USAID selalu hadir dalam setiap kegiatan di lapangan. Pada awalnya, YKP merasa diawasi secara berlebihan. Tetapi, ternyata keberadaan KINERJA-USAID itu justru menyemangati YKP untuk bekerja lebih keras mencapai hasil optimal. Bahkan, para petguas KINERJA-USAID kadang-kadang ikut membantu langsung terlaksananya suatu kegiatan, sehingga kesulitan-kesulitan dan hambatan yang ditemui di lapangan menjadi lebih mudah diatasi. Sebagai contoh, ketika program dilaksanakan di Bondowoso, KINERJA-USAID (bersama mitra lainnya) telah melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada segenap pejabat pemerintah Kabupaten Bondowoso, sehingga ketika YKP memperkenalkan kegiatan ini tidak mendapat kesulitan yang berarti.

Tantangan bekerjasama dengan KINERJA-USAID lebih kepada ketaatan dalam sistem pelaporan, terutama terkait dengan penggunaan dana. Dengan lembaga-lembaga pendana lain, YKP biasanya menyerahkan laporan berkala tengah tahunan (setiap enam bulan) atau tahunan sesuai kesepakatan, dan dapat secara pegas (flexible) menggunakan dana program. Artinya, bila ada kegiatan penunjang program yang baru teridentifikasi ketika program berjalan, lembaga pendana hampir tidak pernah berkeberatan untuk menyetujui penyesuaian atau perubahan peruntukan (re-alokasi) anggaran yang ada untuk kegiatan yang baru teridentifikasi tersebut.

80

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Tidak demikian halnya dengan KINERJA-USAID yang mengharuskan organisasi penerima dananya menyerahkan laporan keuangan setiap bulan. Pencairan dana bulan berikutnya akan tertunda bila laporan keuangan bulan sebelumnya tertunda atau dinyatakan tidak sesuai dengan rencana anggaran dalam usulan awal. Hampir tidak mungkin melakukan re-alokasi dana atau menggunakan dana yang ada untuk kegiatan yang tidak terindentifikasi sejak awal, meskipun dana yang ada masih memungkinkan. KINERJA-USAID memang sangat ketat dalam hal penggunaan dana. Ini mendorong YKP harus berpikir untuk mencari dukungan dana tambahan bila ternyata memang ada kebutuhan tambahan kegiatan baru untuk keberhasilan program. Misalnya, dalam kasus program di Bondowoso, diperlukan dana untuk memberikan hadiah penghargaan bagi para peserta pemenang lomba media, atau saat ditemukan perlu menambah kegiatan baru untuk membuka wawasan tokoh-tokoh agama dan orangtua melalui lokakarya khusus. YKP akhirnya berhasil mendapatkan tambahan dana untuk keperluan tersebut dari UNFPA.

Semula memang terasa memberatkan, karena harus menyiapkan laporan keuangan (berikut bukti-bukti pengeluaran) setiap bulan. Namun, setelah berjalan beberapa bulan, irama kerja sperti itu pun menjadi satu kebiasaan. Bahkan, irama kerja tersebut membuat YKP menjadi lebih disiplin dan tertib administrasi.

Peran Media

Kehadiran media dirasakan sangat berperan terhadap keberhasilan program ini. Hampir setiap kegiatan yang dilaksanakan diliput oleh media, baik media cetak, radio, maupun TV lokal, sehingga kegiatan ini tersosialisasi ke seluruh wilayah Bondowoso. Ini juga ditunjang oleh adanya perjanjian kerjasama antara KINERJA-USAID dengan beberapa media, sehingga para pewarta tersebut juga cukup aktif meliput isu-isu kesehatan reproduksi lainnya yang dianggap perlu diketahui oleh masyarakat, terutama isu-isu terkait dengan pernikahan anak. Pengemasan berita yang cukup menarik

81

PENGALAMAN BONDOWOSO

membuat isu-isu yang sesungguhnya masih sangat peka, tidak menimbulkan tanggapan balik negatif dari warga masyarakat umumnya dari para pemuka agama khususnya.

Keberadaan para pewarta dalam program di Bondowoso memang tidak langsung di bawah tanggung jawab YKP. Mereka langsung berurusan dengan KINERJA-USAID. Kekhawatiran bahwa pemberitaan mengenai kesehatan reproduksi akan terhenti bila program ini nantinya sudah tidak berlanjut lagi, justru disanggah oleh para pewarta tersebut. Terutama dari kalangan media lokal, mereka mengatakan akan tetap melanjutkan pemberitaan isu-isu kesehatan reproduksi dan pernikahan anak di Bondowoso, demi kemajuan daerah mereka. Meskipun demikian, mereka juga mengakui bahwa tantangannya tidak mudah, yakni bagaimana mengemas pemberitaaan dan informasinya agar tetap menarik dan mempunyai “nilai jual,” tetapi tanpa menimbulkan gejolak reaksi berlebihan, karena isu-isu kesehatan reproduksi dan pernikahan anak di Bondowoso memang masih sangat peka.

83

Kerjasamadalam Kesetaraan

Tingginya angka pernikahan di bawah umur yang terjadi di Bondowoso terjadi karena kurangnya sosialisasi tentang persiapan pernikahan di usia muda. Dalam hal inilah sangat dibutuhkan peran pemerintah

untuk meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Usia di bawah 18 tahun bukanlah usia matang bagi seseorang untuk memulai kehidupan rumah tangga. Angka perceraian cukup tinggi terjadi pada kalangan pasangan-pasangan muda karena ketidaksiapan fisik, emosi, psikologi, ekonomi, dan lingkungan sosial mereka. Pengalaman dari Bondowoso menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di usia belia, cenderung untuk bercerai setahun setelah pernikahan. Dorongan kebutuhan dan kepentingan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan, menyebabkan mereka “terpaksa” menjadi tenaga kerja murah, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan meninggalkan anaknya pada orangtua yang keadaan ekonominya juga tidak lebih baik. Rendahnya pendidikan dan ketiadaan keterampilan, menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja dari daerah atau negara lain. Akhirnya, tidak jarang,

6. PEMBELAJARAN

84

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

bukan pundi-pundi uang yang mereka bawa pulang, melainkan duka dan kemalangan. Mereka mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental, tak terkecuali kekerasan seksual. Bahkan, terkadang gaji-gaji mereka pun tidak dibayarkan.

Perempuan yang menikah pada usia yang masih belia juga dapat berdampak negatif baik kepada perempuan itu sendiri maupun kepada anaknya. Fisik yang belum berkembang sempurna menyebabkan mereka rentan terhadap segala bentuk permasalahan-permasalahan kesehatan reproduksi seperti aborsi tidak aman, berat bayi lahir rendah, infeksi menular seksual (termasuk HIV & AIDS), kekerasan terhadap perempuan, serta kesakitan dan kematian saat proses kehamilan dan persalinan.

Semua keadaan itulah yang mendorong Pemerintah Kabupaten Bondowoso menanggapi positif usulan program YKP-KINERJA untuk dilaksanakan di daerah mereka. Kesungguhan Pemerintah Kabupaten Bondowoso memudahkan YKP mencapai tujuan-tujuan program, seperti mendapatkan persetujuan sekolah-sekolah setempat untuk mendukung program pendidikan kesehatan reproduksi bagi para guru dan siswa mereka yang, pada gilirannya, melakukan sosialisasi pula kepada warga masyarakat di luar sekolah-sekolah mereka. Tak kalah penting adalah keberlangsungan kegiatan pasca program di Bondowoso yang mendayagunakan sumberdaya dan anggaran resmi pemerintah daerah.

Pengalaman di Bondowoso itulah yang dijadikan model oleh YKP saat ini. Bila akan melakukan program di suatu daerah tertentu, terlebih dahulu ada pertemuan awal guna menjelaskan manfaat program dan meminta kesediaan pemerintah setempat memahami naskah kerjasama di mana salah satu pasalnya menyatakan apabila program dinilai positif oleh masyarakat, maka pemerintah akan menyediakan dana dari APBD mereka untuk keberlanjutan program.

Bahan-bahan pelatihan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada awalnya dikhawatirkan akan melahirkan penolakan-penolakan, terutama

60

85

PENGALAMAN BONDOWOSO

dari kalangan tokoh-tokoh agama. Namun, cara penyampaian yang tepat dan meyakinkan, justru meningkatkan kesadaran mpara pemuka agama tersebut akan bahaya dari pernikahan dini. Hal inilah juga yang memicu semangat para alumni pelatihan YKP-KINERJA, baik guru maupun siswa, untuk terus aktif menyebar-luaskan pengetahuan dan keterampilan baru mereka, karena merasa mendapat dukungan dari para pemuka masyarakat dan tokoh-tokoh agama yang sebelumnya mengkhawatirkan mereka.

Mempercepat serta mempermudah penerimaan masyarakat terhadap program juga tidak dapat dilepaskan dari peran aktif KINERJA-USAID sebagai lembaga pendana, selain peran aktif dari kalangan media (cetak, radio maupun TV). Tanggapan dan umpan balik dari lembaga pendana, membuat YKP semakin terlecut untuk tertib dalam pelaksanaan maupun teknis pengelolaan (administrasi) program. YKP juga sangat menghargai peran media, termasuk media lokal, yang sangat membantu menyebarluaskan informasi ke masyarakat secara cepat.

Belajar dari semua pengalaman di lapangan di Bondowoso, dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu program bukan karena peran tunggal dari organisasi penyelenggara. Kerjasama lintas sektoral --antara penyelenggara, pendana, pemerintah daerah, dan warga masyarakat setempat-- menjadi penentu utama. Selain itu, asas kesetaraan dalam bekerjasama telah menanamkan perasaan memiliki (sense of belonging) terhadap program di antara semua pihak yang terlibat. Tak kalah penting adalah adanya pemahaman yang lebih baik tentang budaya dan nilai yang berlaku di masyarakat lokal akan sangat berperan menentukan langkah-langkah strategis ke arah keberhasilan program.

87

Ke Arah“Not Pernikahan Anak”

Perkawinan merupakan penyebab tidak langsung dari pertumbuhan penduduk yang lebih banyak dijumpai di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pertumbuhan penduduk di Indonesia lebih

banyak menjadi beban pembangunan. Pertumbuhan penduduk yang terlalu pesat relatif lebih banyak membengkakkan biaya sosial (social cost) dibandingkan membawa manfaat sosial (social benefit).

Sisi lain dari kemajuan zaman dan teknologi informasi yang sangat bebas terbuka, justru membawa akibat dan dampak tersendiri jika tidak dimanfaatkan secara tepat dan terarah. Seiring dengan itu, terjadi limpahan informasi berlebihan yang, dalam banyak hal dan sampai tingkat tertentu, justru hanya menyajikan hal-hal yang tak masuk akal (absurd), antara lain, gejala meningkatnya angka perkawinan di bawah umur (pernikahan dini) akibat Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang masih marak terjadi di banyak tempat. Apapun pemantiknya, nikah di bawah umur adalah suatu gejala

7. SIMPULAN

88

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

sosial budaya yang tidak masuk akal karena pelaku sekaligus korban, sesuai peraturan perundangan resmi, sesungguhnya masih dalam kategori usia kanak-kanak.

Sebenarnya, UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, Pasal 6 Ayat (2), menyebutkan bahwa seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun masih termasuk dalam kategori anak. Namun, pada pasal lainnya dalam UU yang sama dinyatakan bahwa pernikahan di bawah umur adalah bila terjadi pada saat usia laki-laki belum mencapai 19 tahun dan perempuan belum mencapai 16 tahun (Pasal 7 Ayat 1). Jelas, dua pasal ini mengandung saling pertentangan satu sama lain. Selain itu, UU tersebut juga melegalkan pernikahan dini di bawah usia tersebut jika mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh orangtua (Pasal 7 Ayat 2). Hal ini berarti negara melegalkan terjadinya pelanggaran hak asasi anak sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak (Pasal 52-66).

Perkawinan usia dini, pada dasarnya, memang melanggar banyak hak anak, seperti hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berperan-serta secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Perkawinan anak juga berarti melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir, dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain, dan berekreasi. Anak-anak sebagai korban sekaligus pelaku pernikahan dini seringkali terkurung oleh berbagai alasan pembenaran (justifikasi) dari pihak orangtua, hakim pengadilan agama, tokoh agama, tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga oleh akibat tindakan pelaku sendiri (akibat hubungan seks tidak aman dan tidak memahami kesehatan reproduksi).

Berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi keluarga, biasanya menjadi alasan pembenaran yang paling sering dikemukakan oleh

62

89

PENGALAMAN BONDOWOSO

pihak orangtua untuk menikahkan anaknya. Dalam beberapa kasus tertentu, di kalangan kelas menengah ke atas, bahkan juga atas nama pelestarian kekayaan dinasti keluarga. Alasan pembenaran lainnya yang sering dikemukakan adalah tradisi yang berpegang pada mitos umum bahwa bila anak telah lepas masa menstruasi di usia 12 tahun, maka sudah waktunya untuk menikah. Di antara beberapa kenyataan tersebut, yang paling populer adalah penafsiran teks ajaran agama (Islam) oleh para pemuka atau tokoh-tokoh agama. Berdalih meneladani tindakan Rasul, maka perkawinan di bawah umur tersebut kerap kali masih terjadi tanpa mempertimbangkan manfaat dan mudharotnya sesuai dengan perkembangan zaman yang telah berubah.

Secara ekstrim, bukan tidak mungkin pernikahan di bawah umur sebetulnya adalah bentuk terselubung penjualan anak-anak (children trafficking) oleh orangtua mereka. Bahkan, ada daerah di mana subur anggapan dan pandangan bahwa semakin muda anak perempuan dinikahkan, semakin tinggi pula nilai mahar yang akan diterima orangtuanya. Dalam hal ini, pernikahan anak sebenarnya sudah menjadi suatu komoditas ekonomi. Ketiadaan kesadaran hukum juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu praktik yang dibiarkan terjadi. Kehamilan di luar nikah, misalnya, menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga. Seringkali keadaan ini disokong oleh pejabat Kantor Urusan Agama yang menyakini bahwa remaja-remaja tersebut, bila tak segera dinikahkan, cenderung akan menafikan norma agama dan perzinahan pun merajalela.

Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini merupakan kemungkinan keluaran negatif sosial jangka panjang yang tak terhindarkan. Ibu yang mengandung di usia dini dapat mengalami trauma berkepanjangan, selain juga mengalami krisis kepercayaan diri. Secara psikologis, anak usia remaja masih senang bermain dengan teman-temannya dan belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan sebagai istri, pasangan seks, dan ibu, sehingga jelas bahwa pernikahan anak

90

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahteraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka.

Kompleksitas masalahnya semakin bertambah manakala pasangan belia tersebut kemudian menghadapi kesulitan ekonomi, yakni ketidaksiapan mereka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Data BPS memperlihatkan bahwa jumlah pengangguran terus meningkat di kalangan perempuan dibandingkan pria. “Anggapan miring” (stereotype) perempuan sebagai konco wingking (perempuan yang bertugas di dapur/pekerjaan domestik) dan “peminggiran (marginalisasi) legal” dari UU Perkawinan, terutama dalam keadaan perekonomian yang semakin sulit, akan memperbesar kemungkinan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam kenyataannya, berbagai bentuk KDRT selama ini memang selalu menjadikan pihak perempuan sebagai korban. KDRT yang biasanya juga berakhir pada perceraian, maka perempuan yang menikah di bawah umur sangat potensial untuk terjebak dalam praktik pelacuran terselubung maupun terbuka.

Dari sisi kesehatan, ketidaksiapan organ-organ tubuh perempuan yang menikah di bawah umur untuk mengalami kehamilan dan melahirkan seorang bayi, telah meningkatkan resiko kematian mereka dan juga bayi yang dilahirkannya. Dalam hal inilah banyak terjadi kasus praktik gelap melanggar hukum (ilegal) dalam bentuk pengguguran kandungan (aborsi) yang tidak aman.

Terakhir, yang tak kalah penting untuk dicermati, adalah dampak dari perkawinan di bawah umur atas rendahnya mutu kehidupan dan kesejahteraan keluarga. Ketidaksiapan psikis, sosial, ekonomi, dan budaya, sangat berperan menimbulkan rendahnya mutu kehidupan dan kesejahteraan anak-anak yang dilahirkan dari pasangan yang menikah di bawah umur. Anak-anak yang lahir dari keluarga yang bermutu rendah, tentu saja akan menghadapi masa depan yang lebih suram.

Pemerintah Kabupaten Bondowoso di Jawa Timur merupakan salah satu pemerintahan daerah di Indonesia yang menaruh perhatian besar pada

91

PENGALAMAN BONDOWOSO

permasalahan ini. Mereka memang sangat merasakan akibat dan dampak berat dari masih tingginya angka pernikahan anak di daerah tersebut, antara lain, rendahnya mutu sumberdaya manusia warga yang, pada gilirannya, mempengaruhi proses pembangunan secara keseluruhan. Akibat dan dampaknya tidak hanya dalam hal mutu kesehatan warga, tetapi juga pada meningkatnya angka kemiskinan.

Untuk mengurangi angka kemiskinan, angka kematian ibu serta angka kematian bayi, dapat dilalukan melalui pendewasaan usia perkawinan. Penegakan aturan hukum dirasakan masih belum menjadi obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan ini. Kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan lintas sektoral

secara terpadu dan menyeluruh perlu dilakukan, Salah satunya adalah dengan memperbesar peruntukan anggaran belanja publik dari APBD untuk perbaikan pelayanan pendidikan dan kesehatan dasar akan sangat membantu upaya mencegah pernikahan anak dan mendewasakan usia kawin pertama (UKP) di kalangan warga, khususnya di kalangan keluarga miskin.

Maka, ketika YKP dan KINERJA-USAID mensosialiasikan program kesehatan reproduksi dan kampanye pencegahan pernikahan anak, Pemerintah Kabupaten Bondowoso dengan sangat tanggap membantu pelaksanaan dan tindak lanjutnya. Sikap tanggap dari Pemerintah Kabupaten Bondowoso tersebut, termasuk dari Bupati Bondowoso sendiri, menjadi penyemangat dan juga pendorong bagi aparat pemerintah lokal, jajaran petugas pelayanan publik, dan juga warga masyarakat di sana turut aktif melakukan tindakan nyata untuk menekan kecenderungan meningkatnya kasus-kasus pernikahan anak selama ini.

Memang masih belum terlihat bukti nyata dampak dari pelaksanaan program ini, karena programnya sendiri masih belum terlalu lama diterapkan. Namun, tanda-tanda menuju kearah yang diharapkan sudah mulai terlihat --seperti rencana keberlanjutan pembinaan calon pendidik sebaya untuk

92

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

para siswa SMP, gagasan penyelenggaraan festival kesehatan reproduksi secara berkala, sosialisasi kesehatan reproduksi di kalangan tokoh-tokoh agama, dan beberapa prakarsa lainnya-- telah menjadi tekad Pemerintah Kabupaten Bondowoso. Hal itu terlihat dalam beberapa keputusan resmi Bupati dan pencantuman pembiayaannya dari APBD. Bila semua prakarsa tersebut terlaksana keberlanjutannya, maka mimpi dan tekad “nol untuk pernikahan anak” dapat terwujud.

93

PUSTAKA

BUKU, JURNAL, LAPORAN, MAJALAH, KORAN

Amnesty International (2010). Left Without a Choice: Barriers to Reproductive Health in Indonesia. London: Amnesty International Publication.

AN Uyung Pramudiarja (2013). “Remaja dan Kesehatan Reproduksi: Marak Nikah Dini dan Seks Pranikah, Kehamilan Usia Remaja Meningkat.” Detikhealth, 24 Mei 2013 (http:// health.detik.com/read/2013/05/24/120334/2254897/1301/marak-nikah-dini-dan-seks-pranikah-kehamilan-usia-remaja-meningkat?991104topnews).

Badan Pusat Statistik (2011). Inmakro Jawa Timur. Surabaya: BPS Jawa Timur.

(2011). Survei Sosial ekonomi Nasional Jawa Timur. Surabaya: BPS Jawa Timur.

(2012). Bondowoso Dalam Angka. Bondowoso: BPS Kabupaten Bondowoso.

Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso (2012). Data Kesehatan Kabuopaten Bondowoso.

94

MEMANGKAS PERNIKAHAN ANAK

Fadlyana, Eddy & S. Larasaty (2009). “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya.” Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, Agustus.

Kompas (2012). “Pernikahan Dini di Bondowoso Masih Tinggi.” Kompas, Rabu, 3 Oktober.

PSKK UGM dan Plan Indonesia (2011). Laporan Akhir: Perkawinan Anak di Indonesia. Yogayakarta: PSKK UGM.

UNFPA (2007). Giving Girls Today & Tomorrow: Breaking the Cycle of Adolescent Pregnancy. New York: UNFPA.

(2012). Marrying Too Young: End Child Marriage. New York: UNFPA.

UNICEF. (2005). Early Marriage: A Harmful Traditional Practices. New York: UNICEF.

TAPAKMAYA

http://alen-zarial.blogspot.com/2010/09/asal-usul-kota-bondowoso.html http://bappeda-bondowoso.org/statis-3-strukturorganisasi.html http://beritabondowoso.blogspot.com/2008/03/nikah-dini-di-bondowoso-tertinggi-di.html http://bondowosocity.wordpress.com/cerita-80-an/sejarah-bondowoso/

http://bondowosokab.bps.go.id/e-book/statda/2012_kec/3511%20kabupaten%20bondowoso/ files/search/searchtext.xml

http://bondowosokab.go.id/profile/visi-dan-misi

http://city.seruu.com/read/2013/02/26/148922/angka-kematian-ibu-di-jatim-2012-turun http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bondowoso

http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan

95

PENGALAMAN BONDOWOSO

http://mediakontraktor.com/Berita/Baca/5782

http://sdm.ugm.ac.id/new/content/kepala-lan-10-hari-kerja-pegawai-dimanfaatkan-untuk-pengembangan-kompetensi

http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/berita/558-angka-perkawinan-di-bawah-umur-masih-tinggi-.html

http://www.depdagri.go.id/

http://www.harianterbit.com/2012/10/02/situbondo-dan-bondowoso-canangkan-kabupaten-layak-anak/

http://www.igi.fisipol.ugm.ac.id/index.php/id/unfgi/aktivitas-unfgi/269-riset-kolaboratif-unfgi-di-kabupaten-bondowoso

http://www.majalah-gempur.com/2012/12/memprihatinkan-angka-kematian-bayi-di.html

http://www.wydii.org/index.php/in/publication/wydii-on-the-news.html www.kinerja.or.id