MELAWAN SISTEM JAHILIAH - kiblat.net · Pada era modern, di antara cendikiawan Islam yang...

36

Transcript of MELAWAN SISTEM JAHILIAH - kiblat.net · Pada era modern, di antara cendikiawan Islam yang...

MELAWAN SISTEM JAHILIAH

A. Sadikin

Laporan Khusus

Edisi 7 | Mei 2017

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS).

LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka

membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini

didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua

elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah

satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk

bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong

kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar

sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan

gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang

lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini

merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

——————

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:

[email protected].

Seluruh laporan kami bisa didownload di www.syamina.org

Daftar Isi

Executive Summary _____________________________________________________ 1

Pendahuluan __________________________________________________________ 4

Makna Jahiliah _________________________________________________________ 5

Worldview Masyarakat Arab Jahiliah ________________________________________ 8

Jahiliah dalam Al-Quran ________________________________________________ 12

Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran ________________________________________ 17

Kesimpulan __________________________________________________________ 32

01 Executive Summary

Executive Summary

Agama sering mengartikulasikan worldview (cara pandang hidup) secara tajam

dengan membedakan antara tatanan sosial yang rusak secara moral dengan

tatanan yang lebih murni. Dalam tradisi Islam, khususnya Sunni (Ahlus Sunnah wal

Jama'ah), Nabi Muhammad SAW diutus pada era korupsi terhadap pokok-pokok

ajaran agama tersebut untuk menyampaikan pesan-pesan Allah terakhir (Al-

Qur`an), mengubah tatanan tua paganisme di Jazirah Arab, dan mewujudkan suatu

tatanan sosial yang berdasarkan hukum dan syariat Allah SWT. Masa sebelum

diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi dan rasul inilah yang

disebut era jahiliah.

Terma jahiliah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ja-ha-la, yang

berarti tidak mengetahui (not knowing) atau tidak memiliki ilmu pengetahuan (not

having knowledge). Paling tidak, secara terminologi jahiliah dapat dimaknai dengan

dua arti: pertama, jahiliah sebagai suatu periode waktu, dan kedua, jahiliah yang

sebagai suatu worldview, karakter, atau sistem.

Dalam arti suatu periode waktu, kebanyakan ulama menjelaskan bahwa setelah

datangnya Islam, maka tidak boleh berpendapat bahwa ada zaman jahiliah lagi

secara mutlak. Sementara dalam arti yang kedua, jahiliah secara singkat dapat

diartikan sebagai setiap sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik

pelanggaran besar yang berakibat kekafiran atau pelanggaran kecil yang tidak

berakibat kekafiran. Jahiliah yang kedua inilah, selain ada sudah sejak dahulu, juga

akan dan terus ada hingga hari akhir kelak. Rupa dan bentuknya bisa saja berbeda,

namun semuanya memiliki substansi yang sama.

Dalam Al-Quran, kata jahiliah disebutkan SWT sebanyak empat kali. Masing-

masing disebutkan dalam arti sebuah keyakinan, sistem hukum, prilaku dan watak.

Jahiliah dalam arti suatu keyakinan yaitu zhann al-jahiliyyah (prasangka jahiliah)

terdapat dalam QS. Ali ‘Imran 154. Untuk jahiliah dalam arti suatu sistem hukum,

hukm al-jahiliyyah (hukum jahiliah), terdapat dalam QS. Al-Maidah 49-50.

02 Executive Summary

Sedangkan jahiliah dalam arti suatu perilaku dan gaya hidup (life style) yaitu dalam

bentuk tabarruj al-jahiliyyah (bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah)

tercantum dalam QS. Al-Ahzab 33. Dan jahiliah dalam arti suatu watak dan

karakter—di antaranya dalam rupa hamiyyah al-jahiliyyah (kesombongan

jahiliah)—yang biasanya terlihat dalam kehidupan sosial tercantum dalam QS. Al-

Fath 26.

Pada era modern, di antara cendikiawan Islam yang menteorikan dan

mengkonsepkan tentang jahiliah adalah Al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Muhammad

Qutb. Menurut Al-Maududi, jahiliah setiap cara pandang yang tidak sesuai dengan

cara pandang Islam, yang dari cara pandang yang tidak islami tersebut lahirlah

perbuatan-perbuatan jahiliah.

Sayyid Qutb kemudian mempertajam konsep jahiliah yang diutarakan Al-Maududi.

Sayyid Qutb menegaskan bahwa jahiliah adalah segala sesuatu yang merenggut

dan mengambil hak prerogatif Allah SWT dalam membuat dan menetapkan suatu

hukum, aturan, dan undang-undang. Dalam pandangan Sayyid Qutb masyarakat

Islam bukanlah sebuah perkumpulan atau kelompok manusia yang menamakan

diri mereka 'Muslim' sedangkan syariat Islam tidak dijadikan undang-undang

masyarakat tersebut, walaupun mereka patuh melaksanakan shalat, mengerjakan

puasa, dan menunaikan haji ke Mekah. Masyarakat Islam juga bukan perkumpulan

atau kelompok manusia yang membuat 'Islam' versi mereka sendiri; bukan Islam

yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW.

Hampir sama dengan Sayyid Qutb, Muhammad Qutb menekankan bahwa jahiliah

adalah menolak untuk menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidup, dan

membuat suatu aturan, adat, tradisi dan undang-undang yang menolak hukum

Allah.

Ibarat air dan minyak, Islam dan jahiliah tidak akan pernah bisa menyatu dan hidup

rukun berdampingan. Islam tetaplah Islam; yang tidak boleh tercampur sedikit pun

dengan kejahiliahan. Dan jahiliah tetaplah jahiliah. meski ia diberi label keislaman

apa pun yang dilekatkan padanya. Hanya ada satu penyelesaiannya, Islam yang

03 Executive Summary

menang dan jahiliah yang tunduk; atau sebaliknya. Tidak ada penyelesaian yang

setengah-setengah; setengah Islam dan setengah jahiliah. Pilihan yang ada

hanyalah: Islam saja; atau jahiliah. Oleh sebab itu, agar bisa mengarungi hidup

secara islami, seorang Muslim—mau tidak mau—dituntut untuk melawan sistem

jahiliah yang senantiasa menghalangi kokoh dan kembalinya sistem Islam yang

dijunjung tinggi olehnya.

04 Pendahuluan

Pendahuluan

“Cobalah timbang dengan halus, apakah perbedaan mereka dengan umat dahulu

kala yang dinamakan kaum jahiliyyah itu? Perbedaan itu ialah orang yang

dinamakan jahiliyyah paham arti tauhid, tetapi tidak mau mengucapkannya, dan

orang jahiliyyah sekarang pandai mengucapkan tauhid, tetapi tidak paham apa

maksud dan isinya. Inilah yang dinamakan orang pada zaman ini dengan ‘jahiliyyah

modern’.”

(Buya HAMKA, Kesepaduan Iman dan Amal Saleh, hlm. 37)

Agama sering mengartikulasikan worldview (cara pandang hidup) secara tajam

dengan membedakan antara tatanan sosial yang rusak secara moral dengan

tatanan yang lebih murni. Dalam tradisi agama samawi, manakala pokok-pokok

ajaran agama mengalami korupsi maka akan selalu diiringi dengan waktu ketika

seorang rasul atau nabi diutus (atau akan diutus) untuk memimpin manusia

memasuki era baru yang terang-benderang dan dipenuhi petunjuk. Dalam tradisi

Islam, khususnya Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah), Nabi Muhammad SAW diutus

pada era korupsi terhadap pokok-pokok ajaran agama tersebut untuk

menyampaikan pesan-pesan Allah terakhir (Al-Qur`an), mengubah tatanan tua

paganisme di Jazirah Arab, dan mewujudkan suatu tatanan sosial yang berdasarkan

hukum dan syariat Allah SWT.1 Masa sebelum diangkatnya Nabi Muhammad SAW

sebagai seorang nabi dan rasul inilah yang disebut era jahiliah. Sementara cara

pandang, tradisi, adat, hukum, aturan, dan undang-undang yang bertentangan

dengan hukum dan syariat Allah; atau dengan menolak hukum dan syariat-Nya—

yang mungkin terjadi pada era manapun—bisa juga dinamakan jahiliah.

1 Jeffry R. Halverson, dkk, Master Narratives of Islamist Extremism, (New York: PalgraveMacmillan, 2011), hlm. 37.

05 Makna Jahiliah

Makna Jahiliah

Terma jahiliah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ja-ha-la, yang

berarti tidak mengetahui (not knowing) atau tidak memiliki ilmu pengetahuan (not

having knowledge).2 Jahiliah merujuk pada masyarakat pra-Islam yang terjadi di

Jazirah Arab. Mereka adalah suatu masyarakat yang dikenal tidak taat, menolak

petunjuk Allah SWT, tidak memiliki nilai moral, tidak memiliki kebudayaan, tidak

bisa membaca atau menulis dan tidak taat terhadap peraturan-peraturan yang

Allah SWT tetapkan.3

Selain itu, terma jahiliah juga merangkum keseluruhan makna penyelewengan

dalam beribadah, kezaliman dan pembangkangan terhadap kebenaran. Jahiliah

terbesar adalah penyembahan kepada selain Allah atau syirik. Ia adalah ciri paling

dominan untuk kata jahiliah. Karena itu, masa sebelum pengutusan yang

bergelimang kesyirikan disebut zaman jahiliah.4

a. Jahiliah Sebagai Periode Masa Tertentu

Masyarakat Arab yang berkembang di Jazirah Arab pada periode setelah

hancurnya Bendungan Ma`rib di Saba sekitar tahun 300 M disebut dengan Arab

Jahiliah. Periode jahiliah ini berlangsung sekitar 310 tahun, yaitu sejak selitar tahun

300 M hingga tahun 610 M. Masyarakat jahiliah yang hidup pada periode ini

dikenal dengan Arab Jahiliah lantaran mereka tidak mengikuti ajaran dan risalah

para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti Nabi Sulaiman,

Ibrahim, Ismail, Musa, Isa AS.5 Menurut para ulama, kondisi tersebut diliputi

2 Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H), vol. XI, hal. 129.3 Moh Shukri Hanapi, From Jahiliyyah To Islamic Worldview: In A Search of an IslamicEducational Philosophy dalam International Journal of Humanities and Social Science,Vol. 3, No. 2, Januari 2013, h. 214.4 Lihat Jahiliyyah dalam Al-Quran, dihttps://sabilulilmi.wordpress.com/2013/01/17/jahiliyyah-dalam-al-quran/5 Ibid.

Jahiliah,sebagai suatukeyakinan atauperbuatan,bukanlahdibatasi padamasa tertentu,ia adalahkondisi yangberulang-ulangsetiap kalimasyarakatmenyelewengdari jalanIslam, baik dimasa lampau,sekarang, ataumasa depan

06 Makna Jahiliah

kebodohan tentang Allah, Rasul-Nya, syariat agama, berbangga-bangga dengan

nasab, kesombongan dan sejumlah penyimpangan lainnya.

Periode jahiliah dikenang sebagai periode yang kelam. Saat itu, Arab Jahiliah tidak

menyembah Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa. Faktanya, banyak dari mereka yang

menyembah berhala-berhala dan berkeyakinan animisme. Masyarakat Arab Jahiliah

hidup tanpa aturan disebabkan tidak adanya nabi atau rasul dan kitab suci yang

digunakan sebagai pegangan mereka pada saat itu.

Tahun Peristiwa yang Terjadi

300 M Hancurnya bendungan Ma’rib di San`a (Yaman)

570 M Kelahiran Nabi Muhammad SAW

610 M Nabi Muhammad Saw pertama kali menerima wahyu

Rentang masa periode Arab Jahiliah

Dalam arti ini, dengan kedatangan dan sempurnanya agama Islam, periode atau

zaman jahiliah telah hilang. Sebagaimana yang disebutkan Ibnu Taimiyyah,

“Manusia sebelum diutusnya Rasul SAW dalam kondisi jahiliah…. Demikian pula

semua yang menyimpang dari ajaran para rasul, seperti Yahudi, atau Nasrani, maka

itu (bisa dinamakan) jahiliah. Itulah jahiliah umum. Namun setelah diutusnya Rasul

SAW, kebiasaan jahilliah terkadang ada di sebagian negara dan tidak ada di tempat

lain, terkadang ada pada diri seseorang, yang tidak ada di orang lain. … Namun jika

disebut secara mutlak, tidak ada lagi jahiliah setelah diutusnya Muhammad SAW.

Karena di tengah umat ini akan selalu ada sekelompok orang yang berpegang

dengan kebenaran sampai kiamat.”6

6 Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, vol. I, hal. 258.

07 Makna Jahiliah

Jahiliah dalam arti inilah, yaitu dalam arti periode waktu, kebanyakan ulama

menjelaskan bahwa setelah datangnya Islam, maka tidak boleh berpendapat bahwa

ada zaman jahiliah lagi secara mutlak.7

b. Jahiliah Sebagai Suatu Worldview, Karakter dan Sistem

Namun jahiliah juga bisa berupa worldview (cara pandang hidup), karakter, dan

sifat yang ada pada seseorang yang sudah memeluk Islam. Jahiliah dengan makna

ini ditunjukkan seperti pada sabda Rasul SAW yang berbunyi, “Ada empat perkara

jahiliah yang tidak ditinggalkan umatku…”8

Juga hadis lain yang Rasulullah SAW ucapkan kepada Abu Dzar, “Sesungguhnya

pada dirimu ada sifat jahiliyyah.”9

Intinya, jahiliah adalah kata untuk seluruh perkara yang bertentangan dengan

ajaran Islam, baik pelanggaran besar yang berakibat kekafiran atau

pelanggaran kecil yang tidak berakibat kekafiran. Semuanya dikatakan jahiliah

karena seluruh pelanggaran atau perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam

tidak mungkin bersumber dari ilmu, melainkan dari kebodohan. Baik pelanggaran

itu disebabkan karena ketidaktahuan atau karena dominasi hawa nafsu yang

mengalahkan dorongan keimanan.

7 Di antara ulama yang berpandangan seperti ini yaitu Ibnu Taimiyyah, Al-Albani, danShalih bin Fauzan Al-Fauzan8 HR. Muslim, no hadits. 934, dari hadits Abu Malik Al-Asy'ari.9 HR. Al-Bukhari, no hadits. 6050, dan Muslim, no hadits. 1661., dari hadits Abu Dzar Al-Ghiffari.

08 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah

Worldview Masyarakat Arab Jahiliah

Seperti disebutkan sebelumnya, masyarakat Arab Jahiliah tidak mengabdikan

dirinya kepada Allah SWT, baik dalam aspek iman, ibadah atau perilaku. Dengan

kata lain, hidup mereka tidak didasarkan pada Tauhid (mengesakan Allah SWT).

Semua tindakan dan praktik mereka hanya dibentuk oleh pikiran dan keinginan

mereka. Dengan worldview seperti itu, karakteristik Arab Jahilliah dapat dilihat dari

beberapa aspek berikut:

A. Agama dan Kepercayaan

Dalam masyarakat Arab Jahiliah, penolakan terhadap bentuk agama apa pun bisa

disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, mereka tidak mempercayai para nabi

dan rasul yang diutus oleh Allah SWT pada periode sebelumnya; Kedua, mereka

mengubah isi Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa AS; Ketiga, tidak ada nabi atau

rasul khusus dan kitab suci yang dikirim khusus untuk mereka; Keempat,

penyebaran berbagai agama di dalam Jazirah Arab. Di Persia tersebar agama orang

Majusi, sedangkan orang-orang Romawi memeluk agama Kristen; Dan kelima, ada

beberapa orang yang membawa kembali agama-agama eksternal ke Mekah.

Sebagai contoh. ‘Amr bin Luai yang telah pergi ke Syams dan melihat sekte Balqa

yang menyembah berhala, lalu kemuian ia membawa kembali agama tersebut ke

Mekkah.10

Efeknya adalah bahwa Mekkah menjadi pusat pemujaan berhala saat itu. Sekte

agama di sisi lain bisa dikategorikan menjadi 5 bagian yaitu Watsani (penyembah

berhala), Kristen, Majusi, Yahudi dan Hanif (berpegang pada agama sebelumnya).

Selain itu, sebagian masyarakat Arab Jahiliah mempraktekkan ajaran animisme,

10 Moh Shukri Hanapi, From Jahiliyyah To Islamic Worldview: In A Seacrh Of An IslamicAducational Philosophy dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol.3, No. 2, Januari 2013, h.215.

Cukuplahsuatumasyarakatdisebutmasyarakatjahiliahmanakalamereka tidakmau mengikutiaturan, agamadan syariatyang AllahSWT turunkan.

09 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah

seperti kepercayaan pada roh, percaya pada pelindung dan kekuatan tak terlihat,

menyembah matahari dan memuja pohon. Ada juga keyakinan yang dianggap

tidak masuk akal dan imajinatif seperti peramalan dan pengamatan arah burung

terbang (tathayyur). Jika burung terbang ke arah kiri maka merupakan pertanda

bahwa perjalanan itu berbahaya dan tidak aman. Sebaliknya jika terbang ke arah

kanan berarti pertanda kebaikan dan keberuntungan.

B. Sosial

Masyarakat Arab Jahiliah pada umumnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

masyarakat Badui dan Hadhari (perkotaan). Orang Badui tinggal di lembah dan

dataran tinggi, yang berada di tengah Semenanjung Arab. Masyarakat Hadhari di

sisi lain tinggal di sepanjang pantai Semenanjung Arab. Perbedaan mereka dalam

cara menyelesaikan suatu persoalan di antara mereka mereka secara tidak

langsung memengaruhi berbagai cara hidup dan pencapaian mereka.

Selain itu, masyarakat Arab Jahiliah juga terdiri dari berbagai kabilah dan suku.

Situasi seperti itu memberikan sejumlah efek negatif. Di antaranya adalah

munculnya 'ashabiyyah (fanatisme) dan biasanya mengakibatkan penyebab pemicu

perang di masyarakat. Munculnya 'ashabiyah ini karena pendirian yang didasarkan

pada kabilah dan suku. Setiap kabilah hidup dengan kelompok mereka dan terikat

untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh kabilah tersebut. Hal ini semakin

memperkuat rasa kesukuan dalam anggota kabilah tersebut. Mereka siap

membalas dendam untuk menjaga harga diri dan kabilah mereka.

Selain itu, munculnya ciri sosial semacam itu sangat erat kaitannya dengan keadaan

geografis dimana mereka tinggal di tempat yang sangat panas dan kering. Untuk

memastikan kelangsungan hidup, setiap individu perlu mengatasi masalah secara

kolektif. Pemadatan terhadap perasaan kesukuan telah mengakibatkan kehidupan

Arab Jahiliah menjadi kacau dan tidak teratur. Ini biasanya menjadi sumber

permusuhan dalam masyarakat Arab Jahiliah. Perang antara kabilah yang berbeda

bisa saja terjadi, bahkan dengan alasan sepele. Perang al-Basus antara kabilah Bakr

10 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah

dan Rabi’ah menunjukkan sifat masyarakat Arab Jahiliah yang merasa senang

berperang satu sama lain.

Selain itu, dalam tradisi Arab Jahiliah perempuan tidak diberi status yang layak

mereka dapatkan; baik dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka menganggap

anak perempuan saat mencapai usia baligh sebagai penyebab masalah sosial dan

ekonomi. Karena itu, masyarakat Arab Jahiliah bersedia menguburkan anak

perempuan mereka yang masih hidup seperti yang lazim terjadi pada kabilah

Tamin dan Asad. Mereka juga menikahi wanita tanpa batas.11

C. Ekonomi

Hancurnya bendungan Ma`rib di Yaman telah menyebabkan penurunan ekonomi

bagi Arab Jahiliah. Hasil pertanian menurun drastis karena sistem irigasi yang

buruk. Sementara bagian utara terdiri dari padang pasir. Karena itu, aktivitas

perdagangan dilakukan di Mekah, Hirah dan Ghassan. Namun perdagangan tidak

menguntungkan karena pertengkaran di antara kabilah. Quraisy mengeksploitasi

perdagangan dan mempraktekkan riba dan penindasan. Mereka menekan orang

Badui yang tinggal di padang pasir. Sebagai pembalasan, orang Badui merampok

kafilah Quraisy. Sebenarnya aktivitas ekonomi utama Badui adalah membesarkan

ternak secara nomaden seperti unta, kambing dan domba. Mereka bermigrasi

terus-menerus dalam mencari padang rumput hijau untuk ternak mereka. Aktivitas

ekonomi mereka melambangkan kehidupan mereka yang primitif.12

D. Politik

Selama periode Arab Jahiliah tidak ada pemerintah yang memiliki pemerintahan

yang sistematis dan kuat. Politik terancam akibat kolonialisasi. Bagian utara

diperintah oleh kerajaan Romawi dan Persia, sedangkan bagian selatan diperintah

oleh pemerintah Habasyah (Euthopia). Mekah sangat terpengaruh oleh penaklukan

11 Ibid.12 Ibid.

11 Worldview Masyarakat Arab Jahiliah

ini. Iklim politik daerah-daerah yang dijajah, seperti: Ghassan, Hirah dan Yaman,

sulit diatur. Masyarakat hidup dalam naungan kabilah dan berperang satu sama

lain. Meskipun negara ini memiliki pemerintahan sendiri, namun negara tersebut

tidak dapat dianggap sebagai sebuah pemerintahan yang maju atau beradab

karena berada di bawah kekuasaan penjajah.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dilihat bahwa worldview (cara pandang

hidup) adalah inti atau cetakan untuk semua aspek kehidupan. Jika worldview

dibentuk dengan cara terlarang, maka seluruh aspek kehidupan menjadi kacau.

Demikian juga halnya jika sebaliknya.

12 Jahiliah dalam Al-Quran

Jahiliah dalam Al-Quran

Dalam Al-Quran, kata jahiliah disebutkan sebanyak empat kali. Masing-masing

disebutkan dalam arti suatu keyakinan, sistem, prilaku dan watak.

A. Keyakinan

Jahiliah dalam arti suatu keyakinan terdapat dalam firman Allah SWT,

“Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan

(berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang segolongan lagi

telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar

terhadap Allah seperti zhann al-jahiliyyah (prasangka jahiliah). Mereka berkata,

“Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?”

Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka

menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu;

mereka berkata, “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan)

dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah,

“Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan

akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah

(berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk

membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” 13

Dalam ayat ini, Allah merekam cuplikan peristiwa yang pernah terjadi pada masa

Rasulullah SAW bersama para sahabat paska perang Uhud, perang besar kedua

setelah perang Badar Kubra. Pasukan muslim menderita kekalahan dalam perang

tersebut.

Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa setelah perang Uhud,

Allah menganugerahkan ketenangan dan keamanan kepada hamba-hamba-Nya,

13 QS. Ali ‘Imran : 154.

13 Jahiliah dalam Al-Quran

yaitu berupa rasa kantuk yang menghinggapi mereka ketika mereka memanggul

senjata, pada saat di mana mereka masih bersedih dan berduka. Rasa kantuk dalam

kondisi tersebut menciptakan rasa aman.14

Hal ini merupakan kondisi kaum muslimin yang beriman. Adapun orang-orang

munafik yang merupkan golongan lainnya 'mereka menyangka yang tidak benar

terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah (zhann al-jahiliyyah)'.

Menurut As-Sa’di, zhan al-Jahiliyyah atau prasangka jahiliah yaitu berprasangka

buruk kepada Allah, agama, dan nabi-Nya. Mereka menyangka bahwa Allah tidak

akan memenangkan rasul-Nya.15 Sementara Ibnu Katsir menyebutkan bahwa zhann

al-jahiliyyah adalah keragu-raguan kepada Allah.16

B. Sistem Hukum

Jahiliah dalam arti lainnya, yaitu sebagai suatu sistem hukum terdapat dalam

firman Allah SWT,

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang

diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-

hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari

sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari

hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah

menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian

dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang

yang fasik. Apakah hukm al-jahiliyyah (hukum jahiliah) yang mereka kehendaki,

dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang

yang yakin?”17

14 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-'Azhim, (Dar Thayyibah, 1999), vol. II, hlm. 144.15 Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan,(Muassasah Ar-Risalah, 2000), hlm. 151.16 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-'Azhim, (Dar Thayyibah, 1999), vol. II, hlm. 145.17 QS. Al-Maidah : 49-50

14 Jahiliah dalam Al-Quran

Ayat di atas menerangkan perintah Allah dalam menegakkan sistem hukum yang

telah Allah turunkan bagi segenap manusia di muka bumi, dan tidak menetapkan

suatu aturan, hukum, atau undang-undang yang menyelisihi syariat Allah.

Menetapkan suatu aturan, hukum, atau undang-undang yang bertentangan

dengan syariat Allah SWT berarti memperturutkan hawa nafsu. Hukum seperti itu

juga dapat disebut dengan hukum jahiliah.

Menurut Ath-Thabari, hukm al-jahiliyyah (hukum jahiliah) adalah hukum-hukum

orang-orang musyrik para penyembah berhala, sementara mereka bisa

menemukan hukum-hukum yang ada pada Kitabullah pada persoalan yang mereka

tetapkan tersebut.18 Dalam komentarnya terhadap ‘Apakah hukm al-jahiliyyah

(hukum Jahiliah) yang mereka kehendaki’ Al-Baidhawi menjelaskan bahwa maksud

dari ‘mereka kehendaki’ yaitu mereka condong dan bersikap lunak dan tunduk

(mudahanah) dalam persoalan hukum. Sementara yang dimaksud 'jahiliyyah' yaitu

agama dan kepercayaan jahiliah yang mengikuti hawa nafsu.19

C. Perilaku

Sedangkan jahiliah dalam arti suatu perilaku dalam gaya hidup (life style)

tercantum dalam firman Allah SWT,

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan

melakukan tabarruj al-jahilyyah al-ula (bertingkah laku seperti orang-orang

jahiliah terdahulu) dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan

Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,

hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”20

18 Ath-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta`wil Al-Quran, (Muassasah Ar-Risalah, 2000), vol. X,hlm. 394.19 Al-Baidhawi, Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta`wil, (Beirut: Dar Ihya' Turats Arabi, 1418H), vol. II, hlm. 130.20 QS. Al-Ahzab : 33.

15 Jahiliah dalam Al-Quran

Ayat ini melarang para wanita kaum muslimin untuk berhias dan bertingkah laku

(tabarruj) seperti orang-orang jahiliah. Wanita jahiliah adalah wanita yang tidak

mengenal kesopanan dalam berpakaian, bertingkah laku dan bergaul dengan

lawan jenis. Karena tingkah laku yang tanpa aturan itu, keburukan dan

kemungkaran tersebar di mana-mana.

Menurut Al-Qurthubi, tabarruj yaitu menampakkan (perhiasan) dan tampil di muka

umum agar dilihat manusia, terkhusus kaum laki-laki.21 Sedang yang dimaksud

dengan ‘al-jahilyyah al-ula’ menurut Al-Qurthubi yaitu yaitu era saat Nabi Ibrahim

AS dilahirkan. Pada masa tersebut, para wanita memakai perhiasan dari mutiara

yang dipasang di dadanya. Selain itu, mereka juga berjalan di tengah jalan umum

agar para laki-laki melihat penampilan mereka.22

D. Watak

Sedangkan jahiliah dalam arti suatu watak dan karakter yang biasanya terlihat

dalam kehidupan sosial tercantum dalam firman Allah SWT,

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu)

hamiyyah al-jahiliyyah (kesombongan jahiliah) lalu Allah menurunkan

ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah

mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan

kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu”23

Ayat ini turun menanggapi sikap kaum musyrikin Quraisy dalam peristiwa

perjanjian Hudaibiyyah. Mereka menolak Nabi dan rombongan para sahabat

sebanyak tujuhratus orang memasuki Mekkah untuk melaksanakan umrah pada

21 Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam Al-Quran, (Kairo: Dar Kutub Mishriyyah, 1964), vol. XII,hlm. 309.22 Ibid, vol. XIV, hlm. 179.23 QS. Al-Fath : 26.

16 Jahiliah dalam Al-Quran

tahun itu. Yaitu dengan menggambarkan kondisi hati kaum musyrikin yang

dipenuhi watak kesombongan dan fanatisme kelompok.

Mengomentari ayat di atas, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa orang-orang kafir

Quraisy tidak sombong karena memilikivakidah atau manhaj. Tetapi, kesombongan

karena congkak, tinggi hati, takabbur,dan merasa tinggi. Kesombongan yang

membuat mereka menghalang-halangi Rasulullah SAW dan para sahabatnya untuk

beribadah di Masjidil Haram. Kesombongan tersebut berupa penolakan terhadap

setiap langkah perdamaian sejak dini. Allah menjadikan kesombongan dalam diri

mereka sebagai jahiliah. Karena Dia mengetahui bahwa dalam diri mereka ada

kecongkakan dan keengganan atas kebenaran.24

Menurut Ibnu Katsir, orang-orang kafir Quraisy disematkan pad hati mereka

'hamiyyah al-jahiliyyah' yaitu saat mereka menolak untuk mencantukam lafal

'Bismillahirarhmanirrahim' dan 'Muhammad Rasulullah' dalam pembuatan naskah

perjanjian Hudaibiyah.25

24 Sayyid Qutb, Fi Zhilal Al-Quran, (Kairo: Dar Syuruq, 1412 H), vol. VI, hlm. 3329.25 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-'Azhim, (Dar Thayyibah, 1999), vol. VII, hlm. 345.

17 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa kata ‘jahiliah’ diperkenalkan oleh al-

Qur`an dan juga digunakan dalam Hadits. Pada umumnya, kata ‘jahiliah’

disematkan untuk setiap sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam yang

dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Makna seperti inilah yang dipahami oleh para

sahabat dan para ulama setelahnya. Pada fase ini, jahiliah belum menjadi suatu

teori atau konsep. Namun lantaran runtuhnya kekhilafahan Islam dengan

berubahnya Daulah Utsmani menjadi negara sekuler dan dihapusnya sistem

kekhilafahan, maka jahiliah pun mulai jadikan suatu teori atau konsep. Di antara

cendikiawan Islam yang menteorikan dan mengkonsepkan tentang jahiliah adalah

Al-Maududui, Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb.

A. Konsep Jahiliah Al-Maududi

Al-Maududi bernama lengkap Sayyid Abul A’la Al-Maududi. Ia seorang ulama

berpengaruh di negaranya, Pakistan. Selain itu, ia juga merupakan pendiri dari

Jamaah Islamiah di Pakistan. Al-Maududi menerangkan tentang teori dan

konsepnya tentang jahiliah dalam bukunya, al-Islam wa al-Jahiliyyah26 (Islam dan

Jahiliah).

Menurut Al-Maududi, perilaku individu dan masyarakat dikonstruk dari cara

pandang hidupnya (woldview) tentang problem-problem mendasar dalam

kehidupan. Oleh sebab itu, penilaian benar-salah yang dilakukan oleh suatu

26 Buku tersebut aslinya ditulis dalam bahasa Urdu. Kemudian diterjemahkan dalamBahasa Arab menjadi Al-Islam wa al-Jahiliah. Sementara dalam bahasa Melayuditerjemahkan menjadi Islam dan Jahiliah. Buku berbahasa Melayu dapat diakses pada linkhttps://docs.google.com/viewer?a=v&pid=sites&srcid=ZGVmYXVsdGRvbWFpbnxtZW50b3Jjb3VuY2lsbGlicmFyeXxneDo2MzA0MDFmMzQ0MTgxZjIx

MasyarakatIslam bukanperkumpulanatau kelompokmanusia yangmembuat'Islam' versimerekasendiri; bukanIslam yangditetapkan olehAllah SWT danyangdijelaskan olehRasulullahSAW,

18 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

individu atau masyarakat sangat tergantung cara pandangnya tersebut. termasuk

juga asumsi, persepsi, dan jangkaun panca inderanya.27

Seorang anak kecil sebagai contoh. Ketika ia melihat api dan melalui tinjauan panca

inderanya menghasilkan suatu kesimpulan dan tanggapan bahwa api merupakan

suatu mainan yang menarik serta berkilauan. Tanggapan ini seterusnya

mendorongnya melakukan tindakan mengulurkan tangan untuk menyentuh api itu.

Seorang lelaki lain melihat api yang sama dan melalui cara pandang dan

persepsinya, ia membuat kesimpulan bahwa api itu memiiki suatu sifat ketuhanan;

atau setidaknya ia adalah suatu simbol ketuhanan. Berdasarkan pada cara pandang

ini ia membuat kesimpulan dan membuat suatu respon dengan menundukkan

kepala menyembah api, sebagai tanda hubungannya dengan api itu. Orang yang

ketiga melihat api itu, dan mulai mengkaji keadaan tabiat api itu serta sifat-sifatnya.

Melalui ilmu pengetahuan serta kajian ia sampai kepada kesimpulan bahwa api itu

bisa digunakan untuk memasak, membakar serta memanaskan benda-benda.

Selanjutnya ia membuat kesimpulan bahwa hubungan dengan api itu ibarat

hubungan antara tuan dan hambanya. Api, menurut tanggapannya, bukanlah suatu

mainan ataupun bersifat ketuhanan. Bahkan api merupakan suatu zat yang dapat

digunakan untuk tujuan memasak, membakar atau memanaskan, kapan pun ia

diperlukan.28

Jika dibandingkan ketiga sikap yang berbeda itu, maka jelaslah bahwa sikap anak

kecil dan si penyembah api itu adalah berdasarkan kejahilan mereka. Pengalaman

dan cara pandang yang dimiliki anak kecil tersebut menyebabkan ia berkseimpulan

bahwa api adalah mainan. Tanggapan si penyembah api bahwa api adalah tuhan

atau simbol ketuhanan adalah berdasarkan cara pandang dan asumsinya saja;

bukan atas dasar bukti apa pun dan atas bukti ilmu pengetahuan. Sebaliknya sikap

lelaki yang menganggap api sebagai suatu zat yang berguna untuk manusia, yang

27 Abu A’la Al-Maududui, Islam dan Jahiliah, (tt, tp), hlm. 5.28 Ibid, hlm. 5-6.

19 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

jauh berbeda dari kedua tanggapan di atas, adalah suatu sikap saintifik kerana ia

didasarkan kepada ilmu pengetahuan.29

Problem-problem mendasar tersebut di antaranya yaitu tentang alam semesta,

bumi, langit, jati dirinya, dan hubungannya dengan alam semesta. Pembeda utama

antara Islam dan jahiliah adalah pada metodologi yang digunakan dalam

menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisis ini. Al-Maududi mengidentifikasi tiga

metodologi dasar yang digunakan manusia untuk menjawab problem-problem ini.

Pertama, dengan dengan bergantung kepada persepsi panca indera semata. Cara

pandang terhadap setiap hal tersebut dibuat berdasarkan hanya kepada

pencapaian dan penglihatan indera. Kedua, yaitu dengan membuat suatu rumusan

melalui pencapaian indera yang dibantu dengan spekulasi. Dan alternatif ketiga

yaitu dengan jalan kenabian,30 Menurut Al-Maududi, dua yang pertama merupakan

cara pandang dan persepsi jahiliah. Sementara yang terakhir, yaitu jalan kenabian

adalah latar pemikiran Islam.31

Metodologi Pertama: Jahiliyyah Mahdhah (Jahiliah Tulen)

Menurut Al-Maududi, mereka yang menggunakan metodologi pertama akan

menyimpulkan bahwa semua sistem yang ada di alam semesta ini terjadi secara

kebetulan, dan tidak ada satu pun sebab dan tujuan di balik penciptaannya. Alam

tercipta dengan sendirinya. Ia berjalan secara otomatis. Ia akan berakhir tanpa hasil

apa pun.

Perilaku individu atau masyarakat yang lahir dengan pola pikir di atas akan

menganggap diri mereka berkuasa penuh atas alam semesta. Mereka akan

menggunakan kekuatan fisik dan akalnya hanya untuk menuruti dan melampiaskan

hawa nafsu. Mereka akan cenderung menjadi orang yang tidak bertanggungjawab,

zalim, tidak amanah, kejam, dan bengis. Mereka juga akan cenderung menjadi

29 Ibid, hlm. 6.30 Ibid, hlm. 10.31 Ibid, hlm. 21

20 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

orang egois, materialis, dan mudah hanyut dalam suatu kondisi. Dalam pandangan

mereka, suatu dianggap bermanfaat jika ia mendatangkan maslahat bagai dirinya

sendiri.32

Ada beberapa ciri menonjol dari individu atau masyarakat yang dibentuk oleh cara

pandang seperti itu. Dalam ranah politik mereka akan menganggap bahwa

wewenang untuk menentukan sesuatu (sovereignty) bisa diberikan kepada

beberapa orang, individu, atau suatu kelompok dan perkumpulan manusia. Setiap

peraturan dan undang-undang dibuat hanya menurut nafsu dan pengalaman

manusia. Kebenaran dinilai berdasarkan kekuatan, sementara yang lemah

senantiasa berada di pihak yang salah.

Dalam ranah ekonomi, terkadang kaum buruh akan mendirikan sebuah

pemerintahan diktator proletarian melalui cara kekerasan. Keadilan tidak akan

pernah menjadi bagian dari sistem ekonomi. Dan setiap individu bisa sebebasnya

memanfaatkan sumber-sumber ekonomi meskipun bisa merugikan pihak yang lain.

Sementara dalam ranah pendidikan, sistem pendidikannya akan berisi dan

mengajarkan nilai, ideologi dan falsafat yang sama. Seluruh program diklat akan

dirancang untuk melahirkan individu-individu yang memiliki cara pandang yang

sama dalam kehidupan, dan akan disebarkan seluruhnya ke masyarakat. Al-

Maududi menamakan cara pandang seperti ini dengan Jahiliyyah Mahdhah

(Jahiliah Tulen).33

Metodologi Kedua

Sementara untuk metodologi yang kedua, Al-Maududi menyebutkan tiga aliran

berbeda yang lahir darinya. Tiga aliran tersebut yaitu: syirik (politeisme),

ruhbaniyyah (hidup seperti rahib), dan wujudiyyah (keyakinan bahwa apa yang ada

merupakan perwujudan tuhan).

32 Ibid, hlm. 12-13.33 Ibid, hlm. 13-14

21 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

Syirik merupakan suatu kepercayaan bahwa di alam ini dikuasai lebih dari satu

Tuhan. Ciri utama individu atau masyarakat yang lahir dari cara pandang ini di

antaranya yaitu: kehidupan yang penuh dengan carut-marut dan tahayul; upacara-

upacara dan ritual-ritual ibadah yang tidak ada akhirnya; penipuan-penipuan yang

dilakukan oleh para penipu; serta kehidupan yang penuh dengan kesalahan dan

kekeliruan.34

Sedangkan ruhbaniyyah suatu persepsi atau keyakinan bahwa kehidupan dunia

adalah tempat penyiksaan fisik. Mereka menganggap bahwa segala kenikmatan di

dunia ini pada hakikatnya adalah belenggu-belenggu dan rantai-rantai yang

menghalangi menusia dari keberhasilan dan keselamatan, yang hanya bisa diraih

dengan meninggalkan semua yang berhubungan dengan kehidupan dam

kenikmataan duniawi. Adapun ciri-ciri utama bagi individu atau masyarakat dengan

cara pandang seperti ini diantaranya, yaitu: hidup secara menyendiri sebagai ganti

hidup kolektif; manusia-manusia yang baik mengasingkan diri; orang-orang zalim

akan bebas merajalela; serta terjadi kontradiksi dengan tabiat dan naluri manusia.35

Sementara wujudiyyah menganggap bahwa manusia dan alam ini tidak riil. Inti dari

kepercayaan ini adalah setiap benda adalah bayang-bayang kepada suatu Zat

(Tuhan). Hanya Zat itu yang wujud; yang lain semuanya berupa khayalan. Doktrin

ini menanamkan dalam diri manusia sikap ragu terhadap kebenaran wujudnya

sendiri. Ia hilang segala inisiatif. Ia menganggap dirinya hanya sebagai patung yang

bertindak atas arahan orang lain.36

Metodologi Ketiga: Islam

Menurut Al-Maududi, metode ini yaitu dengan meletakkan keyakinan kita kepada

penyelesaian yang telah dibawa oleh Rasul-rasul Allah. Hal ini dapat dijelaskan

dengan mengambil contoh seorang lelaki yang sedang berada di suatu tempat

34 Ibid, hlm. 16-18.35 Ibid, hlm. 18-19.36 Ibid, hlm. 19-20.

22 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

yang asing baginya. Ia tidak mempunyai pengetahuan tentang tempat itu sama

sekali. Ia meminta keterangan dari seorang lelaki dan pergi ke berbagai tempat di

sana dengan bimbingan lelaki tersebut. Apabila seseorang menghadapi sesuatu

masalah seperti ini, usaha pertama yang ia lakukan ialah mencari seorang yang

mengaku tahu seluk beluk jalan di sana. Selanjutnya ia akan menaruh keyakinan

tentang kemampuan si penunjuk jalan tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Dan terakhir, dengan menjadikannya sebagai penunjuk jalan, ia terus memulai

penjalanan. Apabila telah terbukti melalui pengalaman bahwa keterangan yang

diberikan olehnya tidak menyesatkan, ia akan merasa yakin keterangan yang ia

berikan tentang tempat itu adalah benar. Inilah metode yang Al-Maududi sebut

saintifik. Dan dalam pandangan Al-Maududi, perumpamaan tempat itu seperti

kehidupan di dunia ini.37

Menurut Al-Maududi, Islam melalui metodologi kenabian, dibangun di atas dasar-

dasar berikut.

1. Hak wewenang untuk mentapkan sesuatu terletak di tangan Allah.

2. Manusia adalah subjek bagi perintah Allah. Manusia tidak memiliki hak

untuk menetapkan suatu aturan bagi mereka yang bertentangan dengan

aturan Allah. Manusia diberikan kebebasan untuk mengikuti atau menolak

petunjuk-Nya.

3. Petunjuk-Nya dibawa oleh para nabi.

4. Dengan demikian hidup manusia di dunia adalah dalam rangka ujian. Dan

pada akhirnya manusia harus mempertanggungjawabkan kehidupannya

pada hari akhirat.

5. Kekuasaan jurisdiksi dan kedaulatan hukum tertinggi (hakimiyah) hanya

bagi Allah.

37 Ibid, hlm. 22-23.

23 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

6. Misi utama nabi adalah menegakkan kedaulatan Allah dalam kehidupan

ini.38

Dari keterangan di atas bisa dipahami perbedaan mendasar antara jahiliah dan

Islam adalah pada jawaban dan metode terhadap pertanyaan-pertanyaan metafisis

yang ada dalam kehidupan manusia. Hal yang selalu ditekankan oleh al Maududi

terkait dengan konsepsi Islam adalah pandangan tentang kekuasaan jurisdiksi dan

kedaulatan hukum (al hakimiyah) bagi Allah semata. Pandangan ini menjadi titik

sentral elaborasi al Maududi terhadap Islam. Ketika menjelaskan pengertian

terminologi-terminologi utama dalam al Qur’an (al ilah, ar rabb, al ibadah, dan ad

dien) konsep al hakimiyah ini merupakan poros utama. Demikian pula ketika ia

menjelaskan tentang teori politik dan pergerakan Islam. Rekonstruksi sejarah

kenabian bagi al Maududi adalah rekonstruksi penegakan kedaulatan Allah di

muka bumi sebagai misi utama kenabian.39

B. Konsep Jahiliah Sayyid Qutb

Sayyid Qutb lahir pada 9 Oktober 1906 di Desa Musya dekat kota Asyut, Mesir.

Ayahnya adalah Qutb Ibrahim anggota Hizb al-Wathani. Pada usia 13 tahun ia

mampu menghafal al-Quran. Ia pernah mengecap sekolah guru dan mengenyam

pendidikan tinggi di Universitas Darul Ulum, Kairo. Ia kemudian bekerja di

Kementrian Pendidikan. Pada tahu 1948 Qutb dikirim pemerintah Mesir ke Amerika

dan kembali pada tahun 1951. Pada tahun 1953 Qutb lalu bergabung Ikhwanul

Muslimin (IM).

Setahun berikutnya, Qutb berselisih dengan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser,

terkait penjanjian Mesir dengan Inggris yang menyebabkannya dimasukkan ke

38 Ibid, hlm. 24-33. Lihat juga Budiman, Sketsa Pemikiran Abul A’la Al MaududiTentang Sejarah di https://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abul-ala-al-maududi-tentang-sejarah/39 Budiman, Sketsa Pemikiran Abul A’la Al Maududi Tentang Sejarah dihttps://refleksibudi.wordpress.com/2008/11/25/sketsa-pemikiran-abul-ala-al-maududi-tentang-sejarah/

24 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

dalam penjara. Pada tahun 1955, Qutb divonis hukuman 15 tahun penjara. Qutb

kemudian dibebaskan pada tahun 1964, lalu kemudian ditangkap kembali pada

tahun 1965 dengan tuduhan terorisme. Dan akhirnya Qutb divonis hukuman mati

pada 29 Agustus 1966.

Menurut Sayyid Qutb, istilah jahiliah tidak hanya merujuk pada periode pra-Islam

di Jazirah Arab, sebagaimana yang terjadi pada penulisan sejarah muslim

konvensional. Di dalam bukunya “Ma’alim fi al-Thariq”40 ia menegaskan bahwa

jahiliah (sebagai suatu keyakinan atau perbuatan) bukanlah dibatasi pada masa

tertentu, ia adalah kondisi yang berulang-ulang setiap kali masyarakat

menyeleweng dari jalan Islam, baik di masa lampau, sekarang, atau masa depan.41

Dalam tempat lain, ia menegaskan bahwa kata jahiliah bukan merupakan bagian

tertentu dalam suatu masa, dalam hal ini masa sebelum Islam, akan tetapi ia adalah

keadaan tertentu pada suatu masyarakat tertentu yang mempunyai gambaran

tertentu. Mungkin saja keadaan ini dijumpai di setiap waktu dan tempat.42

Menurut Qutb, Islam hanya mengenal dan mengakui dua tipe masyarakat saja,

yaitu masyarakat Islam (al-mujtama' al-islami) dan masyarakat jahiliah (al-mujtama'

al-jahili). Dalan pandangan Qutb, masyarakat Islam adalah masyarakat yang di

dalamnya diaplikasikan ajaran-ajaran Islam, baik dalam persoalan keyakinan

(akidah), ibadah, undang-undang, moral, dan cara hidup. Sedangkan masyarakat

jahiliah adalah masyarakat yang ajaran-ajaran Islam tidak diaplikasikan di

dalamnya; masyarakat yang di atur bukan oleh ajaran Islam; baik dalam persoalan

keyakinan, konsep, nilai, sistem dan undang-undang, moral, dan tata susila.43

Lebih jauh Qutb menegaskan bahwa masyarakat Islam bukanlah sebuah

perkumpulan atau kelompok manusia yang menamakan diri mereka 'Muslim'

40 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), hlm. 105-122.41 Lihat M Fajrul Munawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hlm. 75.42 Sayyid Qutb, Fi Zhilal al- Qur’an, (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), vol. II, hal. 904, lihat jugavol. V, hlm. 2861.43 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), hlm. 105.

25 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

sedangkan syariat Islam tidak dijadikan undang-undang masyarakat itu, walaupun

mereka patuh melaksanakan shalat, mengerjakan puasa, dan menunaikan haji ke

Mekah. Masyarakat Islam juga bukan perkumpulan atau kelompok manusia yang

membuat 'Islam' versi mereka sendiri; bukan Islam yang ditetapkan oleh Allah SWT

dan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dan meski mereka menamakan diri

mereka dengan 'Islam Progresif'.44

Masyarakat jahiliah sendiri, bagi Qutb, tampil dalam beraneka bentuk dan rupa,

tapi semua pada prinsipnya sama yaitu mengandung karakter jahiliah. Ia dapat

berbentuk masyarakat yang ingkar sama sekali akan keberadaan Allah SWT dan

menginterpretasi sejarah hanya secara empiris, dan menganut dan

mengaplikasikan suatu sistem yang dinamakan dengan “sosialisme saintifik”. Ia

juga bisa berbentuk sebuah masyarakat yang tidak ingkar akan keberadaan Allah

SWT, akan tetapi mengebiri kekuasaan Allah SWT hanya dalam urusan yang

bersangkutan dengan akhirat saja dan enggan mengakui kekuasaan Allah SWT

dalam urusan hidup di dunia. Masyarakat ini tidak ingin menjadikan syariat dan

undang-undang Allah sebagai panduan hidup mereka, dan tidak sudi mengambil

nilai-nilai Islam sebagai pedoman dalam mengukur sesuatu. Anggota-anggota

masyarakat seperti ini dibolehkan beribadat di dalam biara-biara, gereja-gereja dan

masjid-masjid, tetapi mereka dilarang menuntut pelaksanaan syariat Allah dalam

urusan hidup sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat tersebut pada dasarnya

otomatis—baik mereka sadari atau tidak—telah menolak dan melemahkan

kekuasaan dan ketuhanan Allah dan seluruh urusan hidup di bumi ini. Sementara

Allah SWT sendiri telah menyatakan secara tegas bahwa kekuasaan dan ketuhanan-

Nya meliputi seluruh langit dan bumi.

Pada intinya, bagi Qutb, cukuplah suatu masyarakat disebut masyarakat jahiliah

manakala mereka tidak mau mengikuti aturan, agama dan syariat yang Allah SWT

turunkan. Oleh sebab itulah maka masyarakat tersebut dinamakan masyarakat

44 Ibid.

26 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

jahiliah, walaupun ia mengakui keberadaan Allah SWT dan walaupun ia memberi

kebebasan kepada manusia untuk beribadat di biara-biara, gereja-gereja dan

masjid-masjid.

Atas dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Qutb lalu menyimpulkan bahwa

masyarakat Islam yang seperti disebut di atas itulah pada hakikatnya satu-satunya

masyarakat yang berbudaya (tamadun), sedangkan masyarakat jahiliah dalam

semua bentuk dan rupanya adalah masyarakat tertinggap (primitif).45

Menurut Qutb, pondasi atau pilar utama dari jahiliah adalah merampas kekuasaan-

kekuasaan Allah di atas muka bumi dan merenggut hak istimewa-Nya, yaitu

memerintah dan berkuasa. Akibat yang ditimbulkan dari jahiliah ini menyebabkan

sebagian manusia menjadi budak bagi sebagian yang lain. Bahkan menurutnya,

praktik jahiliah sekarang ini lebih buruk dari jahiliah pada masa-masa sebelumnya

lantaran mengakui dan memberikan hak membuat konsep-konsep, nilai-nilai,

undang-undang, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan buatan manusia

yang menyimpang, tidak sesuai, bahkan bertolak-belakang dengan yang Allah

perintahkan.46

Dalam tempat yang lain Qutb juga menjelaskan bahwa jahiliah adalah suatu hukum

buatan manusia yang dipaksakan diterapkan untuk manusia (yang menyelisihi

hukum dan syariat Allah). Karena ini, baginya, berarti 'ubudiyyah (pengabdian)

manusia terhadap manusia yang keluar dari 'ubudiyyah kepada Allah, dan menolak

uluhiyyah (ketuhanan) Allah. Kebalikan dari penolakan ini adalah mengakui

uluhiyyah sebagian manusia dan hak 'ubudiyyah bagi mereka selain Allah. Ia juga

kembali menegaskan bahwa jahiliah bukanlah sekedar suatu masa tertentu, namun

jahiliah adalah suatu tatanan, suatu aturan, suatu sistem, yang dapat ditemui

45 Ibid, hlm. 105-106.46 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Darusy Syuruq, 1979), hlm. 8.

27 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

kemarin, hari ini, atau hari esok. Yang menjadi tolok ukur jahiliah adalah bahwa ia

berlawanan dan bertentangan dengan Islam.47

Menurut Qutb, kedatangan Islam tidaklah bertugas untuk berkompromi dengan

konsep-konsep jahiliah yang sedang mempengaruhi dunia sekarang, juga dengan

realita jahiliah yang sedang merata di mana-mana. Bukan ini yang menjadi

tugasnya ketika konsep ini mula lahir, dan bukan itu juga tugasnya sekarang ini

dan masa akan datang, kerana jahiliah tetaplah jahiliaah. Ia berarti penyelewengan

dari 'ubudiyyah kepada Allah semata-mata, juga penyelewengan dari peraturan

Ilahi mengenai kehidupan. Jahiliah juga dapat berarti membuat dan menetapkan

segala panduan hidup yang berbentuk peraturan dan undang-undang, adat, tradisi

dan nilai-nilai, yang diambil bukan dari sumber Ilahi. Karena Islam tetaplah Islam,

yang tugas pokoknya ialah memindahkan umat manusia keluar dari jahiliah kepada

Islam!

Jahiliah juga bisa berarti pengabdian oleh manusia kepada sesama manusia,

dengan makna bahwa sebahagian manusia membuat undang-undang untuk

sesama manusia, dengan tidak mendapat izin Allah dalam bentuk apa pun.

Sementara Islam pula berarti 'ubudiah (pengabdian) manusia kepada Allah

semata-, dengan cara menerima apa saja semua yang Allah SWT syariatkan; baik

berupa konsep, akidah, undang-undang dan nilai-nilai dan membebaskan diri

sepenuhnya dari setiap bentuk pengabdian kepada sesama hamba Allah.48

Bagi Qutb, setiap usaha untuk menolak realitas dan kedaulatan Tuhan adalah jahili.

Di antara manifestasi dari jahiliah adalah; 1) Nasionalisme (yang menganggap

negara sebagai nilai tertinggi. 2). Komunisme (yang atheis), 3). Demokrasi (di mana

manusia merampas kedaulatan Tuhan). Menurutnya, jahiliah modern, baik di Mesir

maupun di Barat jauh lebih buruk daripada jahiliah di masa Nabi, karena sifat itu

47 Sayyid Qutb, Fi Zhilal al- Qur’an, (Kairo: Dar al- Syuruq, 1992), vol. II, hal. 904.48 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Darusy Syuruq, 1979), hlm. 149

28 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

tidak didasarkan pada “kebodohan” melainkan pada pemberontakan terhadap

Tuhan.49

Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW bagi Qutb tetap merupakan teladan orisinil,

saat ketika agama dan manusia bersatu dan bertindak bersama-sama. Riwayat ini

dalam pengertian yang paling dalam adalah simbol yang menghubungkan masalah

keduniaan dengan ketuhanan. Jadi, kehidupan Nabi Muhammad SAW mewakili

kehidupan ideal di luar jangkauan sejarah, waktu, dan tempat (a historis).

Kehidupannya membekali umat manusia dengan “pertemuan konstan” dengan

Realitas Tertinggi (ultimate Reality).50

Lebih jauh, Sayyid Qutb memiliki sikap yang keras soal hegemoni Barat. Ia anti

Barat karena Barat menurutnya adalah biang keroknya segala kebobrokan51 yang

menimpa sistem pemerintahan, para pemimpin dan masyarakat Mesir secara

keseluruhan. Masyarakat Mesir saat itu ia gambarkan sebagai masyarakat jelmaan

dari masyarakat Arab pra-Islam (jahiliah) karena tak Islami dan anti Islam,

menggantikan prinsip Tuhan-sentris dalam Islam dengan manusia-sentris52. Dari

Barat muncul berbagai hal negatif: antara lain berupa ancaman politis dan religio-

kultural, sekularisme, atheisme, neokolonialisme, nasionalisme modern, dst.53 Lebih

jauh Qutb berupaya mencegah timbulnya pemisahan antara agama dan

masyarakat di satu sisi dan atheisme di sisi lain. Selain itu, menurutnya krisis yang

menimpa masyarakat Mesir disebabkan oleh adanya imperialisme Eropa dan para

pemimpin kaum Muslim yang telah terbaratkan.54

49 M Fajrul Munawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hal. 75, menukil dari KarenAmstrong, The Battle for God, A History of Fundamentalism, hlm. 241.50 Ibid, hlm. 76.51 Solah Abd al-Fattah al-Khalidi, Sayyid Qutb al-Syahid al-Hayy (Al-Ardan: Maktabah al-Aqsa, 1980), hal. 129.52 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, hlm. 128. Menukil dari M FajrulMunawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hal. 76-77.53 Ibid, hlm.133-143.54 M Fajrul Munawir, Sayyid Qutb dan Tafsir Jahiliah, hal. 76-77.

29 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

Oleh itu sebagai solusinya, Qutb menawarkan dan berpandangan bahwa Islam

adalah dan dapat dijadikan sebagai way of life yang komprehensif. Islam mampu

memberikan solusi bagi segala permasalahan yang dihadapi kaum Muslim. Jika

kaum Muslim menginginkan kesejahteraan dan keharmonian dengan hukum alam

dan fitrah hidup di dunia ini, satu-satunya cara adalah kembali kepada Allah,

kembali kepada al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Kesimpulannya, jika

ada yang mengambil sumber lain dalam hidupnya, dalam hal ini hukum dan aturan

buatan manusia, berarti ia telah melakukan penyimpangan dan berada dalam

kejahiliahan.55

Bagi Qutb, dalam konteks pertarungan antar Islam dan jahiliah, tidak ada pintu

untuk kompromi antara Islam dan jahiliah. Baik hal itu berdasarkan cara pandang

(tashawwur/woldview) maupun dari sisi realita yang dihasilkan dari cara pandang

seperti itu. Hanya ada satu penyelesaiannya, woldview Islam yang menang dan

jahiliah yang hancur berkecai; atau sebaliknya. Tidak ada penyelesaian yang

setengah-setengah; setengah Islam dan setengah jahiliah. Pilihan yang ada

hanyalah: Islam saja; atau jahiliah.56 Qutb lalu menyimpulkan bahwa dengan

kedatangan Islam, tugasnya adalah menyingkirkan jahiliah dari apa pun perannya

dalam memimpin umat manusia, dan mengambil alih peran tersebut.57

C. Konsep Jahiliah Modern Muhammad Qutb

Muhammad Qutb bernama lengkap Muhammad Qutb Ibrahim Husein Syadzali. Ia

adalah seorang pemikir Muslim dan penulis produktif. Ia lahir di Mesir pada 26

April 1919, dan wafat pada tanggal 4 April 2014 di Arab Saudi dalam usia 94 yahun.

55 Penafsiran Kata Jahiliah Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an, hlm. 9-10.56 Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Tariq (Kairo: Darusy Syuruq, 1979), hlm. 149-15057 Ibid, hlm. 151.

30 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

Spesialisasi Muhammad Qutb adalah dalam bidang pemikiran dan pergerakan

Islam.58

Sebagaimana Sayyid Qutb, Muhammad Qutb juga berpendapat bahwa jahiliah

tidak terbatas hanya pada suatu masa dalam rentang waktu sejarah manusia,

namun jahiliah adalah suatu subtansi tertentu yang memungkinkan untuk tampil

dalam beberapa rupa dan bantuk sesuai dengan lingkungan, situasi kondisi, serta

waktu dan tempat yang berbeda. Muhammad Qutb juga menilai bahwa jahiliah

bukanlah lawan dari terma ilmu, pengetahuan, peradaban, kebudayaan, kemajuan

materi, nilai-nilai intelektual, sosial, politik, serta kemanusiaan secara umum.

Menurutnya, inti dari jahiliah yaitu suatu kondisi kejiwaan yang menolak untuk

menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidup, dan membuat suatu aturan,

adat, tradisi dan undang-undang yang menolak hukum Allah. Jadi lawan dari terma

jahiliah yaitu mengenal Allah (ma’rifatullah), menjadikan syariat Allah sebagai

pedoman hidup, dan berhukum dengan hukum Allah59

Atas dasar di atas, Muhammad Qutb menyebut sejarah Eropa (Barat) dipenuhi

sejarah jahiliah yang antar satu epsisode ke episode selanjutnya saling

bersambung. Oleh karena Eropa lah yang sedang berada di depan pada masa ini,

maka peradaban yang dihasilkankan juga dapat disebut dengan jahiliah modern.60

Dalam penilaian Muhammad Qutb, Jahiliah Yunani dan Romawi merupakan akar

bagi 'peradaban' Eropa (Barat) Modern. Meski, menurutnya, mereka tentu saja

tidak menamainya jahiliah, tetapi menyebut 'peradaban' sebagai ganti jahiliah.61

Dari peradaban Yunani-Romawi, Eropa mendapat atau mengambil semangat

rasionalisme, sensualisme (paham keindahan inderawi manusia), paradigma

58

https://ar.wikipedia.org/wiki/%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF_%D9%82%D8%B7%D8%A859 Muhammad Qutb, Jahiliyyah al-Qarn al-'Isyrin, (Cet XII, Kairo: Darusy Syuruq, 1992),hlm. 6-7.60 Ibid, hlm. 22.61 Ibid.

31 Konsep Jahiliah: Sejarah Pemikiran

mitologis untuk menafsirkan problem-problem metafisis tentang tuhan, alam dan

manusia (Qutb menyebutkan mitologi Prometheus sebagai contoh), juga watak

imperialisme peradaban. Dari kekristenan sebagaimana terefleksi dalam sejarah

Eropa abad pertengahan, jahiliah modern mendapat warisan etika-kekristenan.

Peradaban Islam, walaupun banyak yang tidak mengakui, melalui perjumpaan

intelektual ataupun perjumpaan politik, menyumbangkan aspek metode ilmiah

bagi peradaban Barat.62

Menurut Muhammad Qutb, cara pandang jahiliah Eropa tersebut menyebabkan

berbagai distorsi hampir dalam segala bidang penting, seperti dalam pola pikir

atau persepsi (tashawwur), perilaku. Politik, ekonomi, etika (akhlak), interaksi antara

lawan jenis, seni, dan sebagainya.63 Kerusakan dalam pola persepsi tersebut seperti

penyimpangan terkait esensi tentang ketuhanan (ilahiah), dan hubungan manusia

dengan Allah; penyimpangan persepsi tentang alam semesta dan kaitannya

dengan Allah, hubungan manusia dengan alam semesta, atau sebaliknya;

penyimpangan terhadap persepsi kehidupan, hubungannya antara satu dengan

lainnya, dan tujuan kehidupan; serta penyimpangan persepsi tentang jiwa manusia,

hubungannya antara manusia satu dengan lainnya, baik berupa hubungan pribadi,

kelompok, maupun antara lawan jenis.64

Sama dengan Al-Maududi dan Sayyid Qutb, dengan terjadinya berbagai kerusakan

hampir dalam semua bidang penting kehidupan tersebut, Muhammad Qutb,

kemudian menegaskan bahwa tidak jalan keluar bagi manusia dari sistem jahiliah

tersebut kecauli dengan kembali kepada ajaran Islam. Islam lah satu-satu penawar

untuk setiap jenis jahiliah di muka bumi ini, terkhusus bagi jahiliah modern.65

62 Budiman, Tafsir Imani Atas Realitas, Telaah Pemikiran Muhammad Qutb, dihttps://refleksibudi.wordpress.com/2008/12/05/tafsir-imani-atas-realitas-telaah-pemikiran-muhammad-qutb/. Lihat juga Muhammad Qutb, Jahiliyyah al-Qarn al-'Isyrin, hlm. 23-41.63 Lihat Muhammad Qutb, Jahiliyyah al-Qarn al-'Isyrin, 55-199.64 Ibid, hlm. 55.65 Ibid, hlm. 202-203.

32 Kesimpulan

Kesimpulan

Meski secara etimologi jahiliah berarti bodoh dan merupakan antonim dari ilmu

dan pengetahuan, tetapi jahiliah sebagai suatu worldview (cara pandang), konsep,

karakter, dan suatu sistem tidaklah identik dengan kebodohan, tidak berilmu dan

terbelakang. Pada zaman sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai rasul, sudah

ada tatanan nilai yang dianggap baik oleh masyarakat, tetapi tetap dianggap

sebagai jahiliah ketika bertentangan dengan Islam atau tidak diakomodasi oleh

Syariat. Sebagai contoh positif yang dihargai di dalam Islam adalah hilful fudhul

dan ajaran memuliakan tamu.

Adapun tokoh pembesar Quraisy Abul Hakam di dalam Islam dianggap sebagai

Abu Jahl (Bapak Kebodohan), meskipun sebelumnya dianggap sebagai Bapak

Kebijaksanaan dan penasihat di Darun Nadwah (semacam lembaga perwakilan

Quraisy), tetapi disifati dengan kejahiliahan ketika lebih berpegang dengan tatanan

nilai lama dan menolak tatanan nilai Islam. Oleh sebab itu pula, disebutkan dalam

hadits bahwa Rasulullah diutus untuk perbaikan akhlak (yang sudah ada).

Mengapa Rasul tetap menyempurnakan atau mengganti tatanan yang sudah ada?

Karena setiap yang tidak sejalan dengan Islam berarti jahiliah. Dengan demikian,

jahiliah dalam arti ini tidak terbatas hanya pada masa sebelum Nabi Muhammad

SAW diangkat sebagai nabi dan rasul, tetapi juga mungkin terjadi kapan pun dan di

mana pun; termasuk pada era sekarang dan yang akan datang, karena tabiat

pertarungan antara yang hak (Islam) dan yang batil berlangsung hingga akhir

zaman.

Ibarat air dan minyak, Islam dan jahiliah tidak akan pernah bisa menyatu dan hidup

rukun berdampingan. Islam tetaplah Islam; yang tidak boleh tercampur sedikit pun

dengan kejahiliahan. Jahiliah tetaplah jahiliah meski ia diberi label keislaman apa

pun yang dilekatkan padanya. Hanya ada satu penyelesaiannya, Islam yang

menang dan jahiliah yang tunduk; atau sebaliknya.

33 Kesimpulan

Tidak ada penyelesaian yang setengah-setengah; setengah Islam dan setengah

jahiliah. Pilihan yang ada hanyalah: Islam saja; atau jahiliah. Oleh sebab itu, agar

bisa mengarungi kehidupan secara islami, seorang Muslim—mau tidak mau—

dituntut untuk melawan sistem jahiliah yang senantiasa menghalangi kokoh dan

kembalinya sistem Islam yang dijunjung tinggi olehnya.