MELAMPAUI PEMILIHAN DAN - … · Kita akan disuguhi drama politik seperti biasanya. Yang juga...
-
Upload
doankhuong -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
Transcript of MELAMPAUI PEMILIHAN DAN - … · Kita akan disuguhi drama politik seperti biasanya. Yang juga...
1
MELAMPAUI PEMILIHAN DAN
BOIKOT SEKALIGUS
PUBLIKASI PERTAMA
2
Daftar Isi:
Pendahuluan | Hal 3
Menuju Hantaman Revolusi | Hal 11
Konfrontasi | Hal 18
Strategi | Hal 35
Pertanyaan Strategis | Hal 48
***
3
PENDAHULUAN
“Hari ini, sulit untuk membedakan marxis/anarkis
dengan seorang apatis…”
-- Jun Bramantyo
Lelucon dan Pertanyaan Politik
Menjelang serentetan pemilihan yang akan menerpa
Indonesia sebentar lagi. Kita akan disuguhi drama politik
seperti biasanya. Yang juga seperti biasa basi dan
berpengaruh buruk bagi kesehatan jiwa kita pada
kehidupan harian kita sehari-hari. Karena pemilihan
nanti lah masyarakat akan pecah menjadi kubu-kubu tak
berfaedah, dimana mereka adu bacot atau bahkan fisik
untuk membela mati-matian berhala mereka di TPS.
Pemilihan-pemilihan daerah sebelum 2019 adalah pra-
4
kondisi untuk pemilihan presiden yang (katanya)
menentukan di tahun 2019. Pergantian rezim disuarakan,
kita dapat melihatnya dari kaos-kaos bertuliskan
#2019GantiPresiden yang dijual di pasar. Walaupun
masalah sebenarnya bukanlah pergantian presiden,
karena sejak 1945 presiden sudah silih berganti, diikuti
dengan pergantian kepala daerah, dan isi gedung DPR,
tetapi kemiskinan tetaplah ada.[1] Lapar tetap lapar,
kerja yang membosankan tetaplah berjalan.
Secara rutin saya melihat orang-orang bosan di jalanan,
khususnya pagi dan sore ketika waktu bekerja selesai.
Didalam diri mereka, tersimpan kemarahan yang tidak
tersalurkan, sehingga ketika jalanan macet dan saling
bersenggolan antar kendaraan, kemarahan itu langsung
meledak. Dan ini tidak akan berubah tentunya dengan
kita nyoblos di setiap ajang pemilihan umum. Pemilihan
umum tidak akan mengubah hidupmu. Kehidupan kita
akan sama membosankannya. Kita masih harus bekerja
dalam sistem perbudakan upah yang selama ini
mencekik leher kita. Dan sistem perbudakan upah
semacam ini, yang akrab disebut sebagai kapitalisme,
dilindungi dan didukung oleh negara. Sehingga tentu
saja hasilnya jelas, pemilihan umum tidak merubah
hidupmu, ia justru memperburuknya.
Sementara itu, sebentar lagi kita akan menemukan
berbagai slogan-slogan (sok) heroik. Mulai dari boikot
sampai golput. Keduanya, baik boikot atau golput,
5
seolah-olah menjadi mantra magis kaum kiri di
Indonesia, dimana mereka lebih suka lebay dengan
dampak propaganda basi yang mereka upayakan
kesia-siaannya ketimbang mencari solusi setelah
golput mau apa(?)
Ini menunjukkan bahwa kaum kiri kita, mereka yang
menyebut diri mereka sosialis atau anti-otoritarian
sekalipun, lebih suka memamerkan bau bangkai di mulut
mereka, dimana mereka tidak mampu membuktikan
klaim ideologi dan filosofi yang mereka anut masing-
masing. Klaim kosong dan mantra 5 tahunan yang lebih
suka diumbar ketimbang di nalar dengan akal juga
membuktikan bahwa hari ini kaum kiri kita miskin
gagasan dan imajinasi sekaligus.
Mereka lebih suka meracau tak tentu arah semalaman
dengan kopi dan rokok, membuang waktu mereka ke
dalam tongkrongan-tongkrongan sok ideologis, yang
berujung tragis dan lebih layak ditukar dengan
penghargaan berupa kotoran yang sama dengan yang ada
di dalam mulut mereka.
Baiklah. Saya tidak akan mengisi tulisan ini dengan
hanya makian yang sama tidak berbobotnya dengan
mereka yang memilih atau tidak memilih. Slogan bahwa
tidak memilih adalah sebuah pilihan lebih pantas
dikencingi dan diubek dengan kotoran sapi, ketimbang
disuarakan tanpa perlu dipikirkan: Jika kita memilih
6
untuk tidak memilih, lalu pilihan seperti apa yang
akan diperjuangkan?! Bukankah pilihan menuntut
setiap orang untuk mempertahankan dan
memperjuangkan isinya? Tentu saja. Hanya pesimis dan
pembual yang hanya berbicara tentang pilihan mereka
lalu diam saja tak memperjuangkannya.
Memang pertanyaan ini mesti diulang lagi. Agar kaum
kiri, anarkis, marxis atau tetek bengek istilah apapun itu
mengerti tentang kepikunan politik mereka sendiri: Jika
kita memilih untuk tidak memilih, lalu pilihan seperti
apa yang akan diperjuangkan?!
Setelah golongan putih, mau apa…
Setelah golongan hitam, mau apa…
Jika boikot, lalu bagaimana…
Untuk keluar dari logika sempit golput/boikot semata,
kita mesti memikirkan ulang sedari awal tujuan kita,
kemenangan-kemenangan apa yang bisa diupayakan dan
lain sebagainya. Pertimbangan-pertimbangan pun juga
mesti dipikirkan dan selayaknya tengah tergambar di
kepala kita. Ini mesti dilakukan untuk menghindarkan
gerakan kita dari gerakan oposisi sejati, dimana
sesungguhnya gerakan semacam itu adalah gerakan
orang-orang pesimis yang tidak membawa kita sebagai
bagian dari masyarakat kemana-mana. Oposisi sejati
adalah mereka yang memiliki prinsip untuk tidak
7
berprinsip, dimana hal ini sama dengan gerakan golput
yang disuarakan sampai berbusa: memilih untuk tidak
memilih.
Kita mesti mengakhiri semacam kedunguan menjadi
oposisi sejati dan mengubah posisi kita. Kita mesti
mengakhiri slogan memalukan berupa memilih untuk
tidak memilih, dan menggantinya dengan pilihan yang
berasal dari kehendak dalam diri kita sendiri sebagai
masyarakat. Karena sama halnya dengan logika oposisi
sejati, logika memilih untuk tidak memilih hanya datang
sebagai cermin dari pilihan-pilihan yang ada. Ia
bukanlah pilihan yang independen, ia hanya menjadi
reaksi dari pemilihan umum itu sendiri. Sehingga tanpa
adanya pemilu, pilihan itu tidak akan ada.
Pilihan jangan dicari, tetapi diciptakan…
Sebuah Introduksi, Sebuah Tantangan
Dalam tulisan ini saya akan menyebut masyarakat yang
ideal dengan sebutan yang sama dalam setiap tulisan
saya: masyarakat sosialis. Masyarakat, dimana setiap
kebutuhan individunya, dapat terpenuhi oleh sistem yang
didalamnya tidak ada kelas-kelas sosial apapun. Tidak
ada pencurian kerja dan kerja itu sendiri bersifat sukarela
untuk setiap orang yang ada. Itulah sosialisme
menganggur!
8
Tentu kita mesti memiliki imajinasi dan gagasan yang
berlimpah untuk cita-cita „sosialisme pengangguran‟
semacam ini. Dalam bayangan saya, sosialisme
pengangguran akan terwujud dalam 20 tahun kedepan.
Ini mungkin akan tampak tidak realistis ditengah-tengah
kemiskinan gagasan yang hari ini akut melanda
masyarakat kita. Tapi ini mungkin terjadi jika gerakan
revolusioner di Indonesia mampu menjawab beberapa
tantangan berikut: pertama, kita tidak mampu secara
teknis menjawab mengenai cara untuk mengakhiri
hubungan antara kerja upahan dengan upah kerja itu
sendiri. Sehingga isu upah menjadi terlihat penting
dalam pandangan hari ini. Dan masalah lebih lanjut dari
upah akan muncul seperti bagaimana cara menghasilkan
barang-barang, makanan, rumah, dan pakaian seluruh
penduduk planet ini tanpa adanya kerja upahan itu.
Kedua, meskipun nanti secara teknis itu dapat terjadi,
tampaknya kelas pekerja tidak memiliki kemauan untuk
mengakhiri sistem kerja upahan (pekerjaan) yang
membelenggu diri mereka.
Masalah-masalah ini bisa dijawab jika kita berani untuk
berfikir lebih jauh. Untuk keberatan pertama, saya bisa
mengukur kemampuan produksi masyarakat di planet ini
dari pendapat Keynes. Di tahun 1930an Keynes
berpendapat bahwa peningkatan produktivitas 2% saja
(di zaman 1930an itu ya), kita sudah dapat memiliki
waktu kerja hanya 15 jam per minggu. Sejak tahun 1930,
9
di planet yang bernama bumi ini, peningkatan rata-rata
produktivitas telah melampaui proyeksi Keynes. Ini
diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang semakin
dominan pada proses produksi. Berarti secara teknis,
kondisi sekarang sudah matang bukan hanya untuk
pengurangan waktu kerja 15 jam per minggu, melainkan
lebih jauh lagi, untuk penghapusan total kerja upahan –
untuk masyarakat yang didirikan masing-masing sesuai
kebutuhan. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa tidak
ada kapasitas yang bermasalah untuk mewujudkan
masyarakat yang sepenuhnya sosialisme-menganggur.
Namun masyarakat semacam itu tidak mungkin ada jika
tanpa perjuangan. Kaum fasis negara dan kapitalis tidak
akan melepaskan keterikatan pada propertinya begitu
saja. Jika kita menyadari ini, kita harus memaksa itu
menjadi ada melalui perjuangan kita sendiri. Kita mesti
menguji setiap gagasan, dan mereproduksi setiap
kegagalan menjadi sebuah manuver baru.
Untuk keberatan yang kedua, menurut saya, masalahnya
disini bukanlah bahwa kelas pekerja tidak ingin
menghancurkan belenggu pekerjaan yang mengikatnya.
Tapi masalahnya ada pada gagasan dari kaum sosialis
hari ini (baik pekerja sampai intelektual manapun yang
mengaku sosialis) yang gagal menempatkan gagasan
mereka pada posisi yang revolusioner. Karena tentunya
gagasan sosialis bukan hanya berbicara mengenai
masyarakat yang didirikan masing-masing sesuai
10
kebutuhan, melainkan ini bicara mengenai kemampuan
masyarakat itu sendiri dalam proses mencapainya.
Kita tidak akan sampai pada tahap sosialisme
menganggur dalam waktu 20 tahun jika kita masih
belum menemukan gerakan apa yang akan kita lakukan.
Sederhananya jika ungkapan kasar di bagian atas tidak
diterima secara waras, maka saya harus berbicara dengan
lebih halus kepada para marxis-sosialis-anarkis atau
apapun sebutannya. Sederhananya, ada sesuatu yang
salah dengan pendekatan kita terhadap perjuangan
menuju masyarakat tanpa kelas. Dan kita harus
memperbaikinya.
Serentetan esai yang akan terbit ini dimaksudkan untuk
memberikan solusi untuk mengatasi kemandegan gerak
yang terjadi.
Catatan Kaki:
[1] Berita soal ini bisa dilihat di:
https://www.antaranews.com/berita/674750/jumlah-
penduduk-miskin-indonesia-2658-juta-orang
11
BAB 1: MENUJU
HANTAMAN REVOLUSI
Ini akan menjadi penjelasan mengenai latar belakang
mengapa saya menulis strategi revolusi dalam rangka
melampaui golput dan pemilihan…
Banyak diantara kawan-kawan kita yang sangat hobi
berteriak golput sampai boikot ketika dihadapkan pada
kondisi pemilihan umum yang semakin dekat. Dan tidak
banyak diantara mereka yang berani memutuskan setelah
merusak lembar suara selanjutnya apa(?) Berteriak
golput telah menjadi semacam kelatahan yang menyebar
diantara kelompok-kelompok Kiri. Mereka masih
percaya pada posisi yang mencerminkan kemiskinan
gagasan politik mereka. Ini seperti biasanya akan terlihat
semakin jelas ketika pemilihan berakhir dimana mereka
12
akan jatuh pada kepikunan politik yang bersemayam
dalam masing-masing kepala mereka. Semua berjalan
seperti biasa, kembali menjadi manusia normal dengan
kehidupan harian yang membosankan. Pencurian kerja
terus berlanjut dan kekayaan sosial tetap dipegang oleh
segelintir orang pemodal.
Kepikunan semacam itu hanya dapat diwajarkan oleh
orang-orang yang miskin gagasan atau orang-orang yang
percaya bahwa umurnya tidak lama lagi, sehingga ia
hanya akan pasrah pada kepastian yang telah ada.
Ketiadaan rencana atau inisiatif untuk menghancurkan
sistem kapitalisme hari ini menyeret gerakan yang
mendaku dirinya sebagai revolusioner ke dalam
kubangan yang bahkan lebih buruk dari sampah. Tidak
berguna tentunya!
Ketiadaan rencana atau inisiatif ini disebabkan oleh
ketidakpercayaan mereka pada diri dan teman
sepergerakan mereka. Atau jika bukan kemungkinan
pertama barusan, kemungkinan kedua mengapa rencana
dan inisiatif lanjutan tidak ada adalah karena mereka
memang benar-benar gagal mengambil pelajaran sejarah.
Dimana di sebuah daerah bernama Indonesia, gerakan
sosialis pernah dipukul mundur oleh gerakan kanan-
konservatif dengan rencana yang amat matang: Tragedi
1965.
13
Manuver politik konservatif saat itu adalah manuver
politik yang terencana dengan matang. Kekuatan borjuis
di tahun‟65, yang telah menghancurleburkan Orde Lama
adalah kekuatan yang memang berjalan dengan matang.
Dan hari ini kita tidak memiliki rencana setelah Golput
mau apa. Bukan hari ini saja, tetapi kebuntuan ini sudah
terjadi sejak lama.
Pada dasarnya, untuk mengubah golput menjadi gerakan
yang revolusioner, kita mesti menempatkan diri kita
pada posisi bahwa setiap peristiwa yang ada tidaklah
berposisi netral, melainkan memiliki kemungkinan
berupa penguatan atas kekuatan konservatifisme kelas
borjuis (kapitalisme), atau justru dapat kita ubah menjadi
sebuah bentuk untuk mendekatkan diri dan masyarakat
kita ke arah masyarakat tanpa kelas. Pemahaman bahwa
setiap kejadian tidak netral juga berlaku untuk pemilihan
umum, sehingga kita tidak dengan begitu saja berfikir
bahwa dengan tidak memilih akan mengubah kondisi
kita saat ini. Apalagi berfikir bahwa tidak memilih
adalah juga sebuah pilihan. Ini adalah pernyataan yang
munafik dari seseorang yang tidak tau kemana ia akan
melangkah. Karena dalam pernyataan tersebut tidak
tersimpan potensi perubahan apapun.
Kembali pada ketidakadaan rencana kita hari ini, kita
juga bukan hanya gagal untuk menyerap pelajaran dari
sejarah yang terjadi di Indonesia. Melainkan kita gagal
mendongakkan kepala kita pada situasi internasional
14
yang misalnya melanda Suriah dan Venezuela. Kita tidak
melihat bahwa kekuatan borjuis di Venezuela yang
dimotori oleh kepentingan Amerika Serikat memiliki
rencana yang cukup runut, tersusun dan dijalankan
dengan sabar tentunya. Ini berbeda dengan dakwah
revolusioner yang selama ini dihadirkan mengenai
kesabaran yang revolusioner. Nyatanya kesabaran itu
tidak ada dalam gerakan sosialis kita hari ini, yang ada
hanyalah kemiskinan gagasan yang ditutup-tutupi.
Bagaimana jika kita belajar dari cara Amerika Serikat
menggoyang „rezim-rezim sosialis‟ di dunia? Jika
mereka bisa melakukannya terhadap Venezuela, kita
juga pasti bisa melakukannya; meskipun dengan tujuan
yang akan sangat berbeda. Jika para sosialis ingin belajar
untuk menggulingkan dan mendestabilisasi modal, kita
dapat belajar dari sumber yang baik bagaimana
melakukannya dari kelas yang pernah melakukan
perubahan rezim dan sistem melawan feodalisme: kelas
borjuis itu sendiri.
Ini bukan instruksi manual cara bertindak. Melainkan
percobaan untuk memahami bahwa revolusi bukan
terjadi secara misterius. Sehingga kita mesti belajar dari
kelas borjuis mengenai kesuksesan sejarah mereka dalam
mempertahankan kelasnya.
Lebih lanjut, saya juga menyadari perbedaan kondisi
yang berkembang di masing-masing negara. Selain itu
15
juga ada sejarah bervariasi yang membentuk kondisi hari
ini. Tapi sungguh ada keumuman dimana kita mestinya
bisa menyimpulkan itu. Dalam sejarah modernisme,
tidak ada kelas lain selain kelas borjuis yang mampu
menggulingkan dan menjatuhkan lawan-lawan kelasnya
dengan banyak lompatan-lompatan inovasi sambil lolos
dari krisis yang melandanya terus-menerus.
Jika kita tidak mengetahui bagaimana cara musuh kita
bertempur, bagaimana caranya kita bisa bertempur?
Untuk memahami dan mengubah golput menjadi
gerakan yang revolusioner, dibutuhkan visi yang
menyasar langsung pada perwujudan revolusi itu
sendiri! Dan visi itu tidak akan lahir jika kita masih
berfikir dalam tataran ‘menolak’ dan bukan
‘menghapus’.
Bukan Hanya Perubahan Rezim
Dalam esai yang akan terbit secara berkala ini saya akan
mengungkapkan dalam bagian pengantar ini bahwa
perubahan sosialis bukanlah semata-mata perubahan
rezim semata. Karena seharusnya ini juga menyasar pada
perubahan ekonomi itu sendiri secara radikal. Untuk
menuju ke sana, kita juga mesti memiliki perubahan
politik dalam taraf yang paling radikal.
16
Ini akan mengambil bentuk yang berbeda dari perubahan
yang dimotori oleh Amerika Serikat di berbagai negara:
di Venezuela yang sedang bergejolak hingga sekarang,
di Indonesia dulu ketika tahun 1965. Keduanya adalah
penumbangan rezim yang berkuasa. Dan keduanya
dilakukan melalui tangan pihak-pihak yang kecewa
dengan rezim berkuasa, dimana kekuatan oposisi dari
Chavez sampai Maduro didukung oleh Amerika Serikat,
dimana kekuatan konservatif yang bergabung di
Indonesia melawan Sukarno juga didukung oleh kinerja
Amerika Serikat. Ini membuktikan bahwa kelas borjuis
melihat negara bukan hanya sebagai institusi, tetapi juga
mesin ekonomi yang dapat memiliki celah-celah
kekecewaan. Sayangnya kekecewaan itu hanya
teraplikasikan menjadi perubahan rezim semata. Tentu
kita tidak akan hanya menumbangkan rezim, tetapi juga
mengganti sistem yang mapan dengan sistem yang
revolusioner.
Dalam beberapa penglihatan singkat untuk belajar dari
kelas borjuis juga kita akan menemukan bagaimana
setiap rezim sosialis didunia dibuat ketakutan karena
beberapa konflik ditubuh mereka yang dimanfaatkan
oleh Amerika Serikat: masalah kebijakan, kegagalan
administrasi, perselisihan internal, kekecewaan publik,
persaingan-konflik sektarian dalam masyarakat, dan
sebagainya. Kebolongan dalam bentuk demikian
digunakan oleh kekuatan borjuis untuk menumbangkan
17
rezim-rezim yang berusaha lepas dari dominasi
kapitalisme.
Akibat dan hasilnya akan bisa dilihat dalam perubahan-
perubahan terbatas yang menunjukkan dirinya dalam
peristiwa di Mesir, Ukraina, Yunani dan lain-lain.
Dimana tujuannya hanya perubahan politik kosmetik. Di
Mesir, semua penduduk hanya mendapatkan perubahan
kepemimpinan militer yang menjalankan negara. Di
Yunani, semua penduduk hanya mendapatkan perubahan
akronim dari partai yang berbeda untuk menjalankan
penghematan yang dikenakan Troika.
Tentu mesti ditegaskan dalam serentetan esai yang akan
terbit ini bahwa kita mencari perubahan yang lebih
dalam dari contoh-contoh diatas. Jadi kita mesti
menyesuaikan banyak pelajaran dari kelas borjuis dalam
menumbangkan musuh-musuhnya dengan tujuan
revolusioner kita sendiri.
Pada akhirnya peran pemilihan umum (voting) tidak
akan bernilai lagi, ketika ia ditempatkan pada bagian
dari proses menuju revolusi. Dan oleh karenanya, upaya
melampaui pemilihan juga adalah langkah untuk
mendekatkan diri dan masyarakat kita terhadap
masyarakat sosialis.
Tulisan ini akan segera dimulai…
18
BAB 2: KONFRONTASI
“Dalam bayangan saya, sosialisme pengangguran akan
terwujud dalam 20 tahun kedepan. Ini mungkin akan
tampak tidak realistis ditengah-tengah kemiskinan
gagasan yang hari ini akut melanda masyarakat kita.
Tapi ini mungkin terjadi jika gerakan revolusioner di
Indonesia mampu menjawab beberapa tantangan…”
Dalam esai ini akan dibahas beberapa tantangan lainnya
yang berhubungan dengan prinsip-prinsip untuk strategi
konfrontasi.
(Masih) Introduksi: Menyasar Sumber Kekuatan
Musuh
19
Stop memilih neraka yang lebih baik! Karena neraka
tetaplah neraka. Jadilah orang-orang yang selamat
dengan menciptakan surga kita sendiri!
-- Jun Bramantyo
Jika pemilu dan strategi yang selama ini dipakai kelas
borjuis diberbagai sejarah adalah cara untuk mengganti
rezim, mengganti wajah kekuasaan, maka strategi yang
sosialis ciptakan adalah strategi yang bertujuan untuk
menghapuskan kerja upahan dan negara itu sendiri. Jika
strategi borjuis untuk menumbangkan suatu rezim adalah
cara yang digunakan dengan memanfaatkan kelemahan
politik rezim musuh, maka strategi kita untuk
menghapuskan negara berarti adalah cara yang
digunakan untuk memanfaatkan kelemahan negara,
bukan hanya kelemahan politiknya.
Karena kita menolak untuk mencoblos atau memilih
dalam pemilihan umum, kita membutuhkan lebih dari
slogan menolak pemilu, kita mesti mempertimbangkan
strategi untuk menentukan posisi kita sendiri sebagai
gerakan revolusioner. Kita terlalu sering membicarakan
alat dalam setiap slogan menolak pemilu, mulai dari:
“Bangun Partai Alternatif!”, “Bangun Partai Buruh”, dan
lain sebagainya. Tetapi kita sama sekali menyimpan
bahkan mengubur perdebatan mengenai gagasan itu
sendiri. Gagasan mengenai penghancuran kekuasaan
20
borjuis yang bersemayam dalam kediktatoran negara-
nya.
Banyak diantara mereka yang saling saut-menyaut
dengan panggilan kamerad terlalu takut dan dogmatis
untuk berbicara mengenai gagasan revolusioner itu
sendiri. Mereka seolah-olah berfikir bahwa kemenangan
kaum komunis atau proletariat dapat dicapai hanya
dengan mengganti kekuasaan, sebuah penggantian wajah
atau kosmetik untuk negara yang mengatur kita semua.
Kita bisa melihat dukungan sia-sia dan pembelajaran
menarik dari pilpres 2014, dimana Indoprogress sebagai
oase intelektual kaum kiri mendukung Jokowi-JK
berkuasa. Padahal jauh daripada itu, kehidupan
proletariat tidak akan berubah (bahkan memburuk) jika
hanya sebatas kekuasaan yang diganti, perubahan nasib
kaum pekerja ini membutuhkan lebih dari pergantian
kekuasaan.
Untuk menciptakan perubahan yang lebih jauh dari
pergantian kekuasaan itu sendiri, kita memerlukan
pembacaan yang lengkap dan dalam mengenai sumber
kekuatan sosial negara, dimana negara mendapatkan
kekuatannya agar tetap berkuasa.
Rezim berganti, pemerintah jatuh dan bangkit seiring
berjalannya waktu dan keadaan, lalu kehidupan kita tetap
tidak berubah atau bahkan semakin memburuk dari
waktu ke waktu. Ini membuktikan bahwa pergantian
21
rezim dalam negara itu sendiri tidak dapat diandalkan.
Itu hanyalah pergantian wajah kekuasaan dan bukan
pergantian sistem: pergantian kosmetik! Kita hanya
memilih siapa orang yang menindas kita dalam
pemilihan umum setiap 5 tahunan, tetapi tidak
menghilangkan penindasan itu sendiri. Dan ada saja
orang-orang yang berharap bahwa kita bisa ditindas lebih
halus dan lebih sedikit oleh orang bernama A dibanding
orang bernama B. Ayolah ini bukan soal personal orang
yang berkuasa, tapi sistemnya! Penindasan tetaplah
penindasan.
Karena pergantian kekuasaan hanyalah pergantian
kosmetik dan kita membutuhkan pergantian yang lebih
dari itu, maka jika kita berfikir dengan cara yang
berbeda, negara membutuhkan lebih dari sekedar
dukungan politik dan pengakuan, lebih jauh lagi negara
membutuhkan nilai lebih yang diambil dari kelas pekerja
dalam perbudakan upah ala kapitalis. Karena tidak bisa
dipungkiri, orang-orang yang percaya pada pemilihan
umum sekarang ini, mereka yang percaya dan memilih
untuk menggantungkan nasibnya pada berhala di setiap
pemilihan umum, mereka memiliki doa untuk hajat
hidup ekonominya supaya lebih lancar dan baik-baik
saja. Sehingga sebenarnya negara melegitimasi dirinya
sendiri (selain dengan selubung ideologi) juga dengan
selubung ekonomi.
22
Jika penggulingan atau pergantian rezim membutuhkan
propaganda negatif atas lawan politik, maka
penghancuran negara mengharuskan kita melangkah
lebih jauh dari pekerjaan propagandis semacam itu yakni
mengakhiri produksi nilai lebih itu sendiri. Tidak
mungkin untuk membawa konsep nilai lebih di satu sisi
dan penghancuran negara di sisi lainnya. Ini juga berlaku
untuk sebaliknya.
Sosialisme dan Politik ‘Anti-Politik’
Diatas kita telah memiliki tujuan, bahwa kita mesti
menyerang titik terpenting untuk negara, yakni
kapitalisme itu sendiri. Penghancuran kapitalisme adalah
perjuangan melenyapkan negara, uang, dan kerja upahan.
Penghancuran negara adalah perjuangan mengakhiri
kapitalisme itu sendiri. Kita akan tetap memulai
pengahancuran kapitalisme dari gerakan politis dimana
ketidakpercayaan masyarakat semakin membesar
terhadap hal-hal ekonomi yang diregulasi negara borjuis.
Kekecewaan ini akan berubah menjadi politik anti-
negara.
Terlepas dari beberapa kemenangan kotak kosong di
berbagai daerah, kita menyadari bahwa masyarakat
sedang mengalami proses kehilangan kepercayaannya
atas negara. Disini kita mesti berfikir lebih untuk
mewacanakan sebuah solusi dimana tingkat kekecewaan
23
masyarakat atas negara bisa diwadahi bukan dengan
wadah borjuis seperti pemilihan umumnya. Selama kita
terjebak dengan mekanisme politik borjuis, selama itu
juga kita akan semakin jauh dari revolusi sosialis.
Jika politik borjuis adalah politik yang berasaskan
kepada asas perwakilan, maka politik kaum sosialis
harusnya bisa meluaskan partisipasi. Jika politik borjuis
memakai negara sebagai alat politik yang berlaku secara
resmi dan menyeluruh, kita mesti memposisikan diri
untuk keluar dari logika berdasarkan politik negara
tersebut dan membangun metode partisipasi kita sendiri.
Ini akan saya sebut sebagai politik anti-politik. Dimana
politik kita adalah politik yang bertujuan untuk
membubarkan alat-alat politik dan mewujudkan
partisipasi luas seluruh masyarakat. Ini artinya adalah
pembubaran masyarakat kelas-kelas itu sendiri.
Dalam masyarakat tanpa kelas, politik tidaklah ada,
karena proletariat tidak lagi memiliki musuh kelasnya
yakni kelas borjuis, sehingga seperangkat alat politik
mulai dari negara dan trias politiknya mesti dibubarkan.
Saya mendefinisikan politik disini sebagai suatu perkara
pengelolaan hubungan sosial oleh kelas yang berkuasa.
Maka dengan tidak adanya kelas yang berkuasa, dan
tidak ada kelas-kelas itu sendiri, maka hubungan sosial
menjadi terbuka dan tidak perlu lagi segelintir orang
untuk mengelolanya. Sehingga semua orang berhak
24
berpartispasi dalam kehidupan sosial dan kekuasaan
melenyap seiring meluasnya partisipasi
Saya membuat cukup banyak penekanan dalam paragraf
diatas mengenai partisipasi. Karena itulah kelemahan
negara sekaligus kekuatan untuk pihak kita dan kelas
proletar. Negara tidaklah partisipatif. Oleh karenanya
sosialisme sebagai kekuatan luas proletariat yang
mengusung pembebasan dirinya sendiri mesti
mengambil jalan yang partisipatif. Proletariat adalah
kelas yang bertujuan untuk menghapuskan kelas-kelas, ia
adalah kelas yang anti-kelas, maka ia juga memiliki
politik yang anti-politik, begitu juga ia akan mengusung
ekonomi yang anti-ekonomi.
Tetapi bukan berarti jika kelas proletar adalah kelas yang
anti-politik ia tidak memiliki posisi politik saat ini.
Selama kapitalisme masih ada, proletar akan terus
terseret-seret polarisasi politik borjuis yang ada pula,
sehingga cara untuk menghindarinya adalah dengan
mengambil jalan politiknya sendiri. Sebuah jalan politik
yang anti-politik. Dimana ia mesti menciptakan
mekanisme partisipatif yang tidak dimiliki oleh negara.
Jadi jika kita bicara mengenai angka golput dan
kemenangan kotak kosong, itu tidak akan berarti jika kita
menafikkan posisi politik kita, posisi itu hanya bisa
diketahui melalui tindakan yang tidak tercacah-cacah.
Oleh karenanya kita mesti menciptakan politik kita
25
sendiri, dimana partisipasi mulai diperluas hingga ia
mendelegitimasi kedaulatan negara. Inilah cikal bakal
politik yang anti-politik dari kelas yang anti-kelas.
Kita mesti melampaui golput, boikot dan pemilihan itu
sendiri tentunya. Dimana kita akan membangun
mekanisme partisipatif yang akan mengekspose
keburukan negara serta memperkuat pihak kita.
Menghindari Persekutuan Politik Borjuasi
Kita juga diharuskan oleh keadaan yang berkembang dan
pengalaman yang meminta kita untuk belajar. Selama
ini, jika kita menengok sejarah persekutuan kiri dengan
politik borjuis, kita akan menemukan perkawinan para
eks-PRD dengan berbagai macam partai borjuis. Kita
juga akan menemukan orang-orang kiri yang kebingung
di pinggir jalan seperti yang terjadi pada indoprogress di
tahun 2014 silam. Ini memberikan kita pelajaran bahwa
politik borjuis tidak akan menampung gagasan progresif
secara kooperatif.
Setidaknya ini bukan kesimpulan ideologis semata
melainkan sebuah pengalaman yang telah teruji oleh
sejarah dimana kawan-kawan kita di indoprogress lah
yang telah membuktikan ini. Lebih jauh lagi kita akan
menemukan kegagalan Aidit dan PKI yang
mempercayakan perubahan progresif dengan cara
26
membangun persekutuan bersama kekuatan borjuis yang
mereka sebut pula progresif. Hasilnya adalah
pengkhianatan yang dilakukan oleh wajah asli kelas
borjuis dan pembantaian 1965 atas jutaan orang
komunis. Oleh karenanya kita mesti menghindari
persekutuan setan dengan para borjuis ini. Jika saya
sebagai generasi anak muda yang lahir di tahun 1998
menariknya dari pengalaman tragis di tahun 2014, saya
tidak berharap bahwa tragedi semacam itu terulang. Jika
tragedi persekutuan sosialis dengan para borjuis terulang
kembali, maka ia akan berubah bukan hanya menjadi
tragedi, tetapi lelucon, dimana waktu serta energi kita
terbuang sia-sia dan kita terus mengulangnya.
Dari pelajaran sejarah saya menegaskan bahwa kita tidak
dapat bersekutu dengan kekuatan politik borjuis
manapun. Oleh karenanya kita mesti menghindari
persekutuan politik borjuis dan membangun jalan politik
kita sendiri. Sebuah jalan politik yang anti-politik –
metode politik partisipatif!
Perihal Konfrontasi Bersenjata
Pikirkanlah hal ini: kekuatan TNI menguat sejak Orde
Baru berkuasa. Ini tidak bisa dipungkiri dan ditampik
sebagai suatu fakta sejarah. TNI telah menguatkan
dirinya selama 32 tahun secara terang-terangan, dan itu
masih berlangsung hingga kini dengan cara yang lebih
27
halus. Dalam segi persenjataan pun kita belum memiliki
kemampuan dan material yang cukup untuk melakukan
perjuangan bersenjata.
Fakta ini bukanlah fakta permanen. Ini adalah yang
berlaku secara sementara pada masa kini. Dan ini tidak
bisa ditolak untuk diakui. Sehingga hari ini kita masih
jauh dari perjuangan bersenjata.
Oleh karenanya esai ini ditulis dengan keterbatasan
situasi hari ini dan tidak berlaku secara permanen. Untuk
itu kita mesti menghindari secara sementara perjuangan
bersenjata, ini bukan karena kita tidak mengamini aspek
perjuangan tersebut. Tetapi ini menghindarkan kita dari
perhatian musuh sehingga perjuangan kita bisa lebih
halus. Selain itu, seperti halnya kita tidak bisa bersekutu
dengan politik borjuis, kita juga belum bisa melakukan
pertarungan terbuka dengan tentara dan polisi. Ini
bukanlah tanda dari kekuatan kita, saya menolak untuk
mengglorifikasi langkah apapun, karena itu
menyebabkan bias dalam diri kita sendiri dalam
memahami kondisi secara keseluruhan dan gerakan
lawan. Ini adalah sebuah pengakuan yang jujur atas
kelemahan dalam gerakan kita dan kondisi yang
sementara berkembang memang begitu adanya.
Kita juga masih ingat mengenai gerakan sel-sel tidur dari
Jamaah Anshoru Tauhid dan Jamaah Anshoru Daulah
yang bertendensi islamis di serangkaian pengeboman
28
kemarin. Kita masih bisa melihat perang gerilya mereka
di hutan-hutan Poso dimana militer melakukan operasi
Tinombala disana dan kelompok gerilyawan islam
semakin terpojok. Ini adalah pelajaran sosial yang bisa
diambil dari aksi-aksi bersenjata yang dilakukan
kelompok-kelompok fanatik-islam ini yang berakhir
dengan serentetan kegagalan.
Karena prinsipnya, kita menghindari konfrontasi dengan
musuh dimana mereka sedang berada dalam posisi yang
kuat dan mencari konfrontasi dengan mereka dimana
mereka dalam posisi yang lemah. Inilah mengapa saya
berfikir bahwa konfrontasi bersenjata harus dihindari di
masa-masa sekarang.
Cita-Cita Internasionalisme
Selain penciptaan ruang-ruang politik tandingan, yang
itu artinya ruang politik yang anti-politik (kekuasaan),
maka kita perlu mempertimbangkan skala arena
pertaruang kita. Jika skala yang kita pilih adalah skala
nasional, maka akan sulit untuk menghantam kekuatan
fasis negara di skala yang memang ia telah lama kuasai.
Singkatnya: musuh kita telah memilih untuk bertarung di
skala nasional, dan mengandalkan pemilihan umum
sebagai ruang yang ia pakai untuk memanipulasi arah
masyarakat dengan dukungan aparatur represi. Di bagian
ini saya akan mengatakan dan menegaskan bahwa ruang-
29
ruang politik sosialis yang akan kita ciptakan adalah
ruang-ruang politik yang harus menggunting batas
negara. Sehingga potensi partisipasi dan tekanan politik
yang ada meluas. Tradisi ini bisa mungkin dilakukan
oleh bangsa-bangsa serumpun dengan negara yang
menyekatnya, seperti Indonesia dan Malaysia misalkan.
Ada beberapa alasan mengapa kita tidak akan melawan
kaum fasis negarawan di batas-batas nasionalitas.
Pertama, proses pemilihan umum yang dilakukan
mestilah mengambil bentuk dan model partisipasi yang
berbeda dengan model fasis negara. Oleh karenanya kita
mesti menggunting batas negara dan membuka pintu
yang luas untuk partisipasi banyak orang dari
latarbelakang identitas bangsa yang berbeda sekalipun.
Alasan kedua adalah alasan dimana kita harus
mengantisipasi serang balik fasis negara ketika mereka
dikalahkan. Kita mesti membuat bahwa ruang politik
yang kita ciptakan sendiri adalah ruang politik lintas
negara sehingga ini bukanlah kontes politik nasional
semata.
Medan pertarungan kita adalah medan pertarungan
proletar yang mutlak bersifat global. Dimana pada
dasarnya eksploitasi terjadi pada setiap kelas pekerja
secara menyeluruh, di negara manapun, di daerah
manapun dimana kapitalisme juga sudah menggurita
dengan globalisasinya. Maka untuk bertarung, kita mesti
menghancurkan batasan-batasan atau bias negara pada
30
diri kita. Batas negara digunting untuk menyerang
sumber daya mereka secara langsung. Inilah kekuatan
yang tidak dimiliki secara penuh oleh mereka kelas
borjuis. Kelas borjuis selalu bersaing sesamanya.
Walaupun ia tidak memandang nasionalitas dalam
persaingan ekonomi, tetapi secara politis ia memiliki
kelemahan dimana ia tersekat dalam negara-negara yang
ada. Oleh karenanya inilah kekuatan proletar yang
melemahkan borjuasi.
Nilai lebih atau keuntungan dicuri dari kerja proletar
(kelas pekerja) dimana-mana, di seluruh dunia ini. Kita
harus menginisiasi pembicaraan mengenai rencana
penyerangan dimanapun nilai lebih dicuri dari kerja
kelas pekerja. Setiap pabrik, setiap negara dan setiap
komunitas adalah medan dimana kita mesti
meningkatkan daya gerak untuk memutus musuh dari
sumber daya mereka. Perjuangan kita mestilah
partisipatif sehingga kita tidak lagi hanya melibatkan
pekerja dari negara yang menyiksa kita saja, tetapi juga
dari negara-negara lainnya yang melakukan penyiksaan
terhadap masing-masing pekerja dimanapun ia berada.
Kita tidak hanya melibatkan kelas pekerja di tingkat
nasional, tetapi juga negara-negara lainnya dan akhirnya:
populasi total kelas pekerja secara global!
Keterbatasan politik nasional dalam melakukan
perubahan bukan hanya dilihat dari berkuasanya kelas
borjuis dalam skala nasional saja. Ini bukan
31
pertimbangan yang didasari pada taktik menghindar
semata, tetapi juga ini adalah taktik yang memperkuat
kelas pekerja untuk melubangi kapal fasis negara borjuis
dengan partisipasi luas kelas pekerja global. Perjuangan
yang membatasi dirinya dengan politik nasional
menggambarkan betapa miskinnya imajinasi dan cita-
cita politik para marxis hari ini. Selain kemiskinan cita-
cita, target politik nasional juga hanya akan mengisolasi
perjuangan proletariat Indonesia dari sisa kelas proletar
yang lain di negara yang berbeda, dari sisa kelasnya. Ini
akan berkembang menjadi sosialisme di satu negara. Hal
tersebut hanya akan membangun tembok yang sangat
tinggi dengan perkembangan kekuatan produktif proletar
di daerah atau negara lainnya. Batas-batas politik
nasional juga akan membuka kelemahan kita dan
memperkuat serangan balik dari kelas borjuis, karena
kelas borjuis dapat mengkonsultasikan masalahnya
dalam forum-forum perdagangannya yang berlaku secara
global.
Inilah mengapa perjuangan kita mesti berlaku secara
luas, secara partisipatif, dan secara internasional!
Prinsip Gerakan Sosialis Kita
Strategi yang saya sebut sebagai anti-politik, membuat
banyak orang mempertanyakan dan berusaha
mendebatkan saya secara istilah. Untuk sebagian besar
32
orang, mereka membagi dan mendikotomikan kekuatan
politik menjadi dua: reformis dan revolusioner. Dimana
mereka yang reformis akan memegang jimat gerakan
mereka berupa gerakan yang pro-aksi damai, sedangkan
mereka yang mendaku revolusioner berharap peperangan
akan pecah dan konfrontasi bersenjata adalah jalan satu-
satunya. Keduanya juga adalah bentuk kemiskinan
berfikir, dimana kebuntuan menghiasi setiap kepala
mereka. Sehingga selain mereka tidak mampu secara
kuat menciptakan pilihan lain, mereka juga disisi yang
sama tidak mampu menciptakan kategori perjuangan lain
selain kedua hal tersebut. Inilah kenyataannya, dimana
kita masih membagi gerakan kita dengan istilah-istilah
yang konyol dan kaku.
Kembali pada istilah anti-politik, seperti yang saya
katakan pada bagian Konfrontasi I, saya menyebut
gerakan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan
militer dan dengan negara sebagai gerakan anti-
politik.[1] Namun sial memang! Karena sempitnya
imajinasi marxis di Indonesia sampai saat ini, sehingga
kata pun menjebak maknanya secara formal, maka
akhirnya saya berusaha menjelaskannya dengan istilah
yang saya buat berbeda.
Saya mengusulkan untuk istilah yang kita pakai nanti
dengan istilah “perjuangan sosial”, yang bertentangan
dengan konsep dan praktek sosialitas kapitalisme. Dalam
perjuangan sosial, kita menghindari medan-medan
33
politik – entah itu pemilu borjuis atau militer (negara).
Karena keterlibatan kita pada politik negara atau politik
nasional hanya akan menyeret kita pada medan yang
dikuasai oleh fasis negara – yakni medan yang dikuasai
musuh secara ahli. Konsistensi atas prinsip ini harus
dipertahankan agar kita tidak terprovokasi kekerasan lalu
melakukan konfrontasi bersenjata. Lebih jauh lagi
prinsip ini mesti dipertahankan dari bujukan politik dan
bujukan terhadap diri kita sendiri: seperti tawaran
negosiasi dan lobby. Dan ingatlah! Semakin besar
kekuatan dari perjuangan sosial ini, semakin besar
kemungkinan godaan politik dan individu – serta
perlakuan kekerasan.
Awalnya, banyak orang yang terlibat dalam gerakan
mungkin memiliki minat yang tulus dalam mendukung
perubahan sosial, seperti orang-orang SYRIZA di
Yunani, atau PRD di Indonesia, tetapi orang-orang ini,
karena masalah prinsip dan analisa yang kurang ketat,
pada akhirnya selalu mencari kekuatan reformatif dalam
negara yang ada, bukan malah mengupayakan
pelenyapannya (pelenyapan negara). Sebaliknya gerakan
anti-politik atau harus saya sebut sebagai perjuangan
sosial adalah gerakan yang hanya ingin menghapus
negara dan tidak melakukan apapun untuk
menormalisasi eksistensinya.
Kelompok-kelompok sosialis tertentu, terutama mereka
yang senantiasa berada dalam garis partai politik,
34
mungkin tidak mau meninggalkan „politik‟. Kita mesti
memisahkan garis politik mereka dengan kita, tetapi
bukan berarti tidak dapat bekerja sama dalam hal-hal
taktis, tentunya dengan jalan yang memiliki titik temu
anti-politik didalamnya. Karena proses untuk mencapai
masyarakat sosialis, walaupun mereka juga mencita-
citakan itu dalam pikiran di kepala mereka, keterlibatan
mereka dengan negara dan politik hanya akan
merongrong upaya kita mencapai sosialisme.
Kita akan mengobarkan permusuhan kaum sosialis
terhadap politik atau negara dan cenderung
menghapuskan rasa hormat masyarakat terhadap
keduanya. Ketiadaan rasa hormat itu adalah kunci untuk
menggerogoti terus menerus legitimasi kekuasaan negara
atas populasi umum manusia didalamnya.
Catatan Kaki:
[1] Untuk melihat tulisan sebelumnya (Konfrontasi I),
kamu bisa melihatnya di tautan:
https://anarkontingensi.wordpress.com/2018/07/03/mela
mpaui-pemilihan-dan-boikot-sekaligus-konfrontasi-i/
35
BAB 3: STRATEGI
Dalam bayangan saya, sosialisme pengangguran akan
terwujud dalam 20 tahun kedepan. Ini mungkin akan
tampak tidak realistis ditengah-tengah kemiskinan
gagasan yang hari ini akut melanda masyarakat kita.
Tapi ini mungkin terjadi jika gerakan revolusioner di
Indonesia mampu menjawab beberapa tantangan.
Ini adalah bagian lanjutan untuk menjawab tantangan
yang ada. Ini adalah sebuah upaya untuk melampaui
pemilihan umum dan boikot itu sendiri. Upaya ini mesti
menyasar secara langsung kepada revolusi sosialis dan
mendekatkan kita semua ke tahap sosialisme
menganggur.
Disini saya akan mencoba memaparkan beberapa hal
yang menurut saya jarang ada pada perencanaan strategis
kaum sosialis. Kebanyakan dari sosialis berbicara bahwa
36
kita mesti menyiapkan barisan terbaik kita pada saat
krisis ekonomi meledak. Ini artinya semua penentuan
revolusioner akan ditentukan saat krisis datang. Kita
dicengkram sebuah mitos mengenai krisis yang akan
terjadi diluar rencana kita dan kita percaya krisis
tersebutlah yang malah bisa membuat revolusi meledak,
bahkan menentukannya. Namun pembacaan sejarah yang
mencolok mata mereka langsung akan menunjukkan
bahwa krisis ekonomi bahkan politik sekalipun tidak
tentu dapat menyulut revolusi.
Bila saja revolusi bisa ditentukan oleh terjadinya krisis,
baik politik ataupun ekonomi, mengapa tidak ada
revolusi yang sukses pada tahun 1930an? Kita malah
melihat sebuah peristiwa mengerikan dimana perang
dunia yang amat besar terjadi pada zaman itu: Perang
Dunia ke-2. Tidak itu saja, kita melihat pula wajah
fasisme yang menakutkan di Jerman, Italia, Jepang,
Inggris, Prancis dan Amerika Serikat sebagai pihak yang
semangat untuk mengobarkan peperangan antar proletar.
Setelah itu, dalam waktu yang jauh, lebih tepatnya
beberapa tahun terakhir ini, krisis ekonomi tidak
menghasilkan revolusi. Di Yunani, Inggris, Spanyol, dan
Portugal kaum proletar tidak menemukan revolusi
sosialis apapun sebagai jalan keluar permasalahan
hidupnya.
Kaum sosialis akan membagi tujuan revolusi mereka,
lebih tepatnya gambaran yang ingin mereka capai: ada
37
mereka yang membayangkan sosialisme sebagai sebuah
bentuk koperasi raksasa. Yang lain membayangkan
sosialisme sebagai suatu masyarakat yang hampir
menyerupai cara produksi Soviet yang gagal. Tetapi
strategi untuk mencapai tujuan tersebut terlihat hampir
sama: bergantung pada krisis ekonomi atau krisis politik
“yang akan” terjadi.
Bukan berarti saya menolak kemungkinan revolusioner
dari krisis, hanya saja saya tidak akan menahan nafas
sampai hal tersebut terjadi. Manuver Strategis mesti
dilakukan agar kita tidak menggantungkan proses
revolusi kita pada sesuatu yang “mungkin” terjadi; tetapi
kita harus mencoba dan mengupayakan kejadian yang
selama ini kita bayangkan: revolusi sosialis!
Penghapusan Kerja Upahan yang Tak Terpikirkan
Banyak sosialis di luar sana yang bertindak hanya
dengan bereaksi terhadap peristiwa dan masalah yang
terjadi. Mereka bahkan secara sederhana menarik
kesimpulan yang sembarangan bahwa dengan merespons
semua permasalahan yang ada akan mendekatkan diri
mereka kepada revolusi itu sendiri. Ini adalah gagasan
yang berujung pada pemborosan tenaga.
Mereka tidak berfikir sama sekali mengenai
penghapusan kerja upahan, bahkan menolak untuk
38
menghapus kerja upahan dan mendorong secara terus
menerus isu kenaikan upah. Ini terjadi karena
kemungkinan: mereka tidak memiliki gagasan strategis
untuk diperjuangkan sehingga mereka berfikir untuk
fokus pada isu-isu yang dianggapnya paling realistis.
Jenis-jenis masalah yang direspon lebih karena mereka
gagal meningkatkan potensi perubahan ala sosialis
mereka, sehingga mereka merespons isu apa saja yang
diakibatkan oleh dinamika politik borjuis.
Inilah mengapa hari ini kaum sosialis malah menjadi
oposisi sejati dan bukannya gerakan revolusioner. Ini
karena mereka hanya mengambil bentuk politik cermin
yang berkebalikan dengan posisi politik borjuis. Gerakan
sosialis hanya menjadi cermin besar dimana posisi
politiknya hanya timbul dari dinamika borjuis yang
dibalik. Saya tidak menyalahkan posisi seperti itu. Kita
boleh saja merespon masalah yang ditimbulkan oleh
dinamika politik elit borjuis, tetapi itu tidak serta merta
membuat kita meninggalkan permasalahan
sesungguhnya yakni kerja upahan.
Itulah kenyataan politik sosialis yang hari ini masih
menyulitkan. Sangat sedikit upaya untuk mendiskusikan
gerakan strategis untuk menuju sosialisme. Posisinya
adalah kaum yang mendaku dirinya sebagai sosialis, hari
ini, hanya bereaksi atas tindakan kelas borjuis. Reaksi-
reaksi ini mereka lakukan dengan alasan bahwa itulah
gerakan yang paling realistis. Tetapi jujur saja, akhirnya
39
mereka terombang-ambing dari satu isu ke isu lain, dari
aliansi satu ke aliansi lain, dari front satu ke front lain
secara terus-menerus tanpa berupaya untuk
menggunakan otak mereka menyusun strategi yang
realistis menuju masyarakat sosialis.
Seharusnya, kita tidak terjebak pada dinamika politik
pemilihan umum borjuis atau sebatas mewacanakan
golput!
Jauh melampaui itu. Strategi harus mulai diupayakan!
Revolusi Tidaklah Misterius
Ini adalah uraian untuk mendorong kita semua agar
menyusun strategi secara bersama-sama. Revolusi
bukanlah kejadian yang misterius, apalagi kebetulan.
Revolusi harus lahir dari kehendak sadar masyarakat dan
bukannya digantungkan secara penuh pada ketiba-tibaan
(spontanitas). Walaupun spontanitas juga memiliki
kualitas positif, tetapi ia juga memiliki sisi negatifnya
sendiri. Seringkali para revolusioner menggantungkan
keputusan krusial (penting) hanya pada forum secara
reflek. Ini terjadi di gerakan kita hari ini. Banyak
diantara mereka yang mendaku revolusioner mengambil
sikap dan keputusan hanya di dalam forum, dan tanpa
dipikirkan terlebih dahulu sebelumnya. Sehingga sikap
40
dan keputusan yang lahir adalah sikap yang tidak matang
dan cenderung tiba-tiba.
Dimana-mana kekuatan fasis borjuis memiliki rencana
yang rapih dan lengkap dengan cadangan rencananya
untuk menjatuhkan musuh-musuh mereka. Lihatlah
Venezuela, lihatlah bagaimana Uni Soviet diguncang
oleh rencana rapih Amerika Serikat. Dan hari ini kita
mengalami kemunduran berfikir ketika segala keputusan
penting digantung secara spontan hanya dalam forum
dan tidak dipikirkan sedari jauh-jauh waktu. Walaupun
bukan berarti peluang tidak akan muncul secara spontan,
tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita dapat
mencurahkan pemikiran kita untuk memperlakukan
peluang itu agar efektif.
Masa depan kita adalah masyarakat tanpa kelas, tanpa
negara, tanpa properti, dimana perbudakan upah telah
dihapuskan. Sistem seperti ini akan membuka jalan bagi
pengembangan individu dan peradaban manusia lebih
bebas lagi. Tugas kita seharusnya adalah menyusun
suatu tindakan yang memungkinkan kita untuk
menghapuskan sistem kerja upahan, negara dan
mengganti keduanya dengan masyarakat yang didirikan
berdasarkan prinsip masing-masing sesuai kebutuhan
yang dikelola bersama-sama oleh anggota asosiasi.
Dan tujuan-tujuan besar itu mestilah dirangkai menjadi
sebuah jalur strategis yang mampu menumbangkan
41
musuh-musuh kita (kapitalisme dan negara). Manuver
strategis kita mesti mempertimbangkan bukan hanya apa
yang sedang kita lawan, melainkan juga apa yang kita
inginkan.
Perihal Penghapusan Negara
Ini adalah pertentangan yang biasa terjadi. Kebanyakan
sosialis akan mengatakan bahwa kelas pekerja mesti
menguasai negara yang ada dan menggunakannya untuk
melayani kepentingan kelasnya. Ini semacam ide untuk
membentuk “negara pekerja” yang disebut sebagai tahap
sosialisme, yakni tahap paling rendah dari komunisme.
Ini adalah ide dengan resiko gagasan yang amat konyol.
Izinkan saya mengatakan bahwa pendapat mendirikan
negara pekerja adalah salah satu perwujudan dari
pendekatan yang keliru. Pendekatan ini mengandaikan
kesadaran kelas yang melekat dalam diri kelas pekerja,
yang sebenarnya tidak pernah ada sama sekali. Jika
kesadaran kelas melekat dalam kelas pekerja itu sendiri,
maka krisis yang berulang-ulang, yang melanda dunia,
adalah sebuah berkah dimana kelas proletar akan dengan
spontan mengambilalih kekuasaan. Tapi yang terjadi
adalah wajah menakutkan perang antar proletar sebagai
Jerman dan proletar sebagai Amerika. Ini membuktikan
dengan jelas bahwa proletar tidak memiliki kesadaran
kelas. Dan oleh karenanya menjadi revolusioner, karena
42
ketidakadaan kesadaran kelas itulah yang menjadi
ekspresi bahwa kelas ini yang akan mewujudkan
masyarakat tanpa kelas.
Kembali pada pendekatan di tataran strategi dan taktik,
gagasan untuk membangun negara pekerja adalah
gagasan pergantian rezim (baca: kelas) yang berkuasa.
Tetapi bukan penghapusan negara dan kelas itu lebih
lanjut. Sayangnya tujuan kita bukanlah itu, melainkan
penghapusan negara dan masyarakat kelas-kelas itu
sendiri.
Saya akan membuat poin saya menjadi jelas disini.
Penghapusan negara bukanlah hasil akhir dari revolusi
sosialis, melainkan titik awalnya. Hal yang pertama
harus dilakukan – bukan yang terakhir – adalah
menghapuskan negara. Apa yang disebut sebagai
penaklukan kekuasaan politik oleh proletar bukanlah
penaklukan kekuasaan rezim atau kelas semata, tetapi
juga penghapusan langsung negara. Ini dikarenakan
proletar merupakan kelas yang anti-kelas, sehingga ia
juga memiliki garis politik yang anti-politik.[1] Proletar
merupakan kelas yang mengekspresikan pembubaran
kelas itu sendiri, yang artinya sama dengan pembubaran
wadah-wadah independen seperti politik yang identik
dengan kekuasaan negara.
Tetapi hari ini sayangnya strategi sosialis yang paling
naluriah dilakukan bukanlah menghapuskan negara
43
melainkan merebut negara. Kekeliruan ini diadopsi
bukan karena para sosialis merupakan orang-orang yang
gila kekuasaan, melainkan karena sedari kecil kita
dibiasakan untuk memohon kepada otoritas untuk
memperbaiki keluhan kita – kepada ibu dan ayah – agar
permasalahan kita diselesaikan. Ini adalah kebiasaan
yang ditanamkan ke dalam otak kita jauh-jauh waktu
sebelum kita merumuskan gagasan sosialisme pertama
kita.
Ini adalah sebab yang penting dan menjadi alasan untuk
menjelaskan mengapa kita sulit untuk membayangkan
rencana tindakan yang tidak politis. Mereka yang
mendaku sosialis dari berbagai garis manapun akan
mengorientasikan perjuangannya untuk perebutan
kekuasaan politik. Oleh karenanya strategi kita untuk
mewujudkan sosialisme menganggur mesti berbeda
dengan strategi mereka yang hanya berorientasi merebut
kekuasaan.
Perbedaan Hubungan Material dengan Hubungan
Politik
Ada banyak orang yang berusaha untuk mengubah dunia
dengan mengubah rezim, mengubah siapa yang
berkuasa. Tetapi itu tidak menantang fondasi ekonomi
masyarakat. Perubahan politik belum tentulah perubahan
yang merambah hubungan-hubungan material. Dan jika
44
cita-cita kita menghapus negara yang menindas kita,
maka kita harus melampaui hubungan material yang ada.
Hubungan material memiliki logika yang berbeda
dengan hubungan politik. Logika hubungan politik
membuat kita gusar atau sangat mendukung sedemikian
rupa rezim yang ada. Hanya itulah kemungkinan yang
ada. Logika politik membuat kita membedakan mana
pemerintah dan mana warganya. Rezim dapat
dipersonifikasikan sebagai “Trump” atau “Jokowi”, dan
bisa lebih luas menyasar term untuk merujuk rezim
tersebut: sebagai rezim “Militeris” atau “Apartheid”, dll.
Sedangkan logika dari hubungan material tidak dapat
ditangkap menjadi sebuah personifikasi nyata, dan
mendominasi kehidupan kita tanpa pernah tampil
menjadi “subjek” tertentu. Hubungan material bukanlah
hubungan yang dapat ditafsir sebagai akibat dari satu
orang tertentu. Hubungan material adalah hubungan
abtsrak yang melampui personifikasi apapun. Hubungan
material tampak bekerja seperti hukum alam, atau lebih
tepatnya bisa disebut sebagai “cara dunia bekerja”.
Cukup lain untuk menetapkan strategi konfrontasi
terhadap rezim yang bekerja dengan logika hubungan
politik dengan “negara dan kapitalisme” yang berada
pada tataran logika hubungan material yang tampak
abstrak dan tampak alami. Walaupun tentunya banyak
dampak negatif dari negara dan kapitalisme yang tampak
alami tersebut.
45
Kebanyakan orang akan memilih untuk beradaptasi
dengan hubungan material yang keliru lalu lebih lanjut
mewajarinya ketimbang melakukan perubahan terhadap
hubungan material yang mendominasi dirinya itu.
DIBUTUHKAN: Perubahan Perspektif
Dari penjelasan bahwa penentangan kita lebih jauh
adalah penentangan terhadap hubungan material yang
ada. Maka diperlukan satu perubahan sikap atas kondisi
yang terjadi hari ini. Suatu kondisi yang kita percaya
sebagai suatu kondisi yang alami. Contoh perubahan
sikap ini dapat kita lihat: Untuk waktu lama, di Afrika
sendiri, orang-orang percaya bahwa orang kulit hitam
dengan orang kulit putih berbeda derajatnya dan
pemisahan semacam ini dianggap sebagai pemisahan
yang alami. Butuh perjuangan panjang orang-orang kulit
hitam untuk mengubah sikap dan anggapan alami
tersebut. Hingga untuk beberapa titik pemisahan kulit
semacam itu tidaklah lagi halal. Itu artinya, sebelum ada
perjuangan panjang orang-orang kulit hitam melawan
apartheid, pemisahan kulit dianggap sebagai suatu hal
yang alami terjadi.
Begitu juga dengan orang-orang yang hidup diperbudak
upah hari ini. Kita semua menganggap bahwa pekerjaan
adalah suatu hal yang alami. Semuanya berfikir bahwa
kita bekerja untuk keuntungan segelintir orang saja
46
adalah suatu hal yang dapat diterima karena hal itu alami
terjadi. Bahkan orang-orang yang kerja keras bagai kuda
itu percaya bahwa jika mereka tidak bekerja dan
menghasilkan keuntungan untuk segelintir orang, maka
mereka pantas dibiarkan kelaparan atau dalam kondisi
ekonomi yang menyedihkan. Sederhananya, kebanyakan
orang berfikir bahwa jika tidak bekerja, maka orang itu
pantas untuk mati saja. Artinya kapitalisme (sistem
perbudakan upah) diterima sebagai suatu yang alami.
Padahal kapitalisme adalah sistem yang berdiri dengan
sejarah masyarakat yang membentuknya. Masyarakat
manusia lah yang menciptakannya. Sayangnya
masyarakat lupa dan menganggapnya sebagai suatu hal
yang alami terlempar dari dirinya sendiri.
Dimulai dari sini lah kita akan menuju sosialisme.
Tentunya proses untuk menyebarkan pendidikan
semacam ini tidak dapat dilakukan terpisah dari proses
pengorganisiran. Kita tidak dapat bergantung dengan
krisis ekonomi dan krisis politik yang kita percayai
sebelumnya akan menyelesaikan tugas-tugas sejarah
kaum kita (kelas pekerja). Kita sudah memiliki lebih dari
segudang bukti bahwa berbagai macam krisis tidak dapat
terselesaikan dengan slogan sosialisme begitu saja.
Sebuah gerakan penghapusan kerja upahan dan negara
harus membuat strateginya sendiri. Mereka harus
membedakan dirinya dari strategi perebutan kekuasaan
kelas (baca: rezim kelas). Gerakan kita mesti dimulai
47
dari titik awal yang berbeda dengan gerakan politik
semacam perebutan kekuasaan negara. Tujuan kita
bukan untuk menggulingkan rezim politik (baca: rezim
kelas), tetapi untuk menciptakan revolusi yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam kesadaran produsen
sosial itu sendiri.
Itulah revolusi sosialis menuju sosialisme
menganggur!
Catatan Kaki:
[1] Selengkapnya mengenai kelas yang anti-kelas dan
politik yang anti-politik dapat dilihat di:
https://anarkontingensi.wordpress.com/2018/07/09/revisi
-dan-nasib-marxisme-yang-berantakan/
https://anarkontingensi.wordpress.com/2018/07/04/disku
simarx-tinjauan-karakter-proletar-dalam-ideologi-
jerman/
https://anarkontingensi.wordpress.com/2018/06/12/tidak-
ada-kesadaran-kelas-dalam-proletariat/
48
BAB 4: PERTANYAAN
STRATEGIS
Dalam bagian sebelumnya saya sudah menyinggung
mengenai penghapusan kerja upahan sebagai metode
untuk menghancurkan kapitalisme. Dengan demikian
saya akan mengatakan bahwa kerja upahan hanya akan
musnah jika kita mewujudkan pengurangan waktu kerja.
Dalam bagian ini saya akan menunjukkan bagaimana
hasil itu dapat dihasilkan. Tetapi saya memberikan
49
catatan awal disini. Bahwa ini bukan berarti saya
menyusun strategi semacam ini sendirian. Saya hanya
akan menggambarkannya dengan prinsip-prinsip yang
sebelumnya sudah saya uraikan dalam beberapa bagian
tulisan ini. Karena strategi akan terlihat jika para sosialis
memutuskan untuk mewujudkannya.
Walaupun strategi yang saya uraikan ini terlihat
sederhana, tetapi lebih jauhnya akan penuh dengan
sejumlah kesulitan yang harus dibahas. Petama, ada
masalah kontroversial apakah strategi mengurangi waktu
kerja dapat bekerja bahkan dalam teori. Karena bahkan
banyak kaum marxis yang tidak memahami asumsi inti
dalam teori marxisme, bahwa keuntungan pemodal
ditentukan oleh waktu kerja yang tidak dibayar dari kelas
pekerja.
Di tempat kedua, jika keberatan-keberatan yang muncul
di awal tadi dapat diselesaikan dengan debat yang jujur,
kita masih harus menghadapi kenyataan bahwa cara
produksi kapitalisme bisa dikatakan buram. Tidak
mungkin menelusuri keuntungan kapitalis dengan
menghitung berapa waktu kerja yang tidak dibayar,
apalagi menariknya ke tingkat per individu. Ini karena
keuntungan yang terhasilkan dari cara produksi mereka
dibalut dengan uang sebagai perantaranya (sebagai
upah). Kita dimungkinkan untuk menghitung
keuntungan dalam kuantitas uang, tetapi kita akan
50
kesulitan untuk menghitung keuntungan kapitalis dalam
kuantitas waktu kerja yang dicuri.
Ini menimbulkan masalah yang jauh lebih besar
ketimbang masalah teoritis. Karena artinya kelas pekerja
tidak mengetahui berapa waktu kerja yang dicuri dan
menjadi sumber tunggal dari keuntungan perusahaan
kapitalis dan pertumbuhan ekonomi nasional. Secara
teoritis, kita mengetahui bahwa pengurangan waktu kerja
dapat diturunkan untuk mendapatkan beberapa hasil,
tetapi kita tidak mengetahui hubungan antara waktu kerja
dengan nilai lebih (keuntungan) secara riil. Jika petani
dapat mengetahui berapa penghasilan yang dirampas
oleh tuan tanah, perampasan kaum kapitalis tidak bekerja
demikian, kaum kapitalis merampas kerja dari kelas
pekerja di belakang punggung mereka, sehingga kelas
pekerja kesulitan untuk mengetahui perampasan tersebut.
Dengan begitu, strategi dengan tujuan untuk
menggulingkan kapitalisme dan negara adalah strategi
yang agaknya belum pernah terjadi. Karena kita bukan
hanya menghapus rezim, lebih jauhnya kita akan
menghapuskan keduanya (perbudakan upah dan negara),
lalu menggantinya dengan asosiasi swakelola dari
produsen sosial.
Ini yang membedakan kita dari generasi demokratik,
yang mengubah rezim berkuasa tanpa mengubah sistem
yang ada. Kita melampaui cita-cita dari generasi
51
demokratik yang dulu pernah menggulingkan Suharto.
Lebih jauh dari itu kita mengincar perubahan sistem
yang menyeluruh. Bagaimanapun juga, reformasi adalah
perubahan yang murni hubungan politik dan tidak secara
langsung menyentuh hubungan material (sistem) yang
sebenarnya.
Revolusi kita adalah revolusi yang bertujuan untuk
transformasi material masyarakat, bukan hanya
hubungan politiknya. Bukan hanya pergantian kosemetik
siapa yang berkuasa, melainkan hubungan material dari
sistem yang ada. Tujuan ini adalah tujuan yang memiiki
tantangan selain rezim berkuasa itu sendiri – dimana
mereka pasti akan mati-matian mempertahankan
kekuasaan yang sedang mereka pegang. Tetapi
tantangannya, jauh lebih dari itu. Tantangan lebih
jauhnya yakni serangkaian relasi sosial yang masih
belum dieksplorasi dan pemahaman kita yang masih
diselimuti takhayul. Kita mesti mencari cara untuk
menemukan gambaran yang jelas atas hubungan material
yang diciptakan oleh masyarakat kapitalis.
Pertanyaan Strategis
Strategi adalah konsepsi yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan dan mengarahkan penggunaan
semua sumber daya yang tepat dan tersedia (ekonomi,
manusia, politik, moral, organisai, dll) dari kelompok
52
yang berusaha mencapai sebuah tujuan dalam suatu
konflik.
Kita akan masuk ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang
mampu menyasar pada penemuan strategi tersebut. Saya
sengaja menghadirkan pertanyaan-pertanyaan berikut
untuk menjadi semacam cara bagi kawan-kawan yang
lain agar memikirkan juga bagaimana strategi dibuat
dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Pertanyaan disini adalah pertanyaan-pertanyaan yang
menjadi latar belakang dari penulisan pamflet ini. Dari
pertanyaan-pertanyaan berikut lah pamflet ini bisa saya
tulis. Saya berharap dengan ikut menyertakan pertanyaan
latar belakang dalam tulisan ini, kawan-kawan bisa ikut
memikirkan mengenai strategi perjuangan sosialis.
Apa yang hari ini menghambat kita menuju
masyarakat sosialis?
Untuk menjawabnya:
Secara teknis kita memiliki hambatan utama yakni
apakah kita dapat memberi makan, pakaian, dan rumah
tanpa harus memerlukan tenaga kerja dari setiap anggota
masyarakat. Ini adalah pertanyaan teknis yang tidak
dapat dijawab berdasarkan keinginan semata, tetapi
berdasarkan kemajuan produktif dan ilmu pengetahuan
itu sendiri.
53
Ada pula hambatan lain adalah kesadaran kita. Yang
dimaksud bukanlah kesadaran politik – kesadaran kelas,
melainkan kesadaran ilmiah mengenai sistem
kapitalisme itu sendiri dan potensi perubahannya.
Misalnya bagaimana kita menyingkap hitungan rill
antara keuntungan dengan jumlah waktu kerja yang tidak
dibayar. Kesadaran ini bukan kesadaran yang dapat
dimiliki dalam dunia pendidikan kita atau lahir dari
sebatas pengamatan. Kesadaran ilmiah ini juga tidak
melekat begitu saja dalam kelas proletar. Kesadaran itu
diperoleh dengan melibatkan diri kita untuk mengubah
masyarakat kapitalis.
Faktor apa yang bisa mempengaruhi kita mencapai
sosialisme?
Untuk menjawabnya:
Untuk mencapai sosialisme kita memerlukan pendidikan
dan pengorganisasian diri. Untuk melengkapi kedua
faktor tersebut, termasuk memahami hubungan material
kapitalistik dan peran yang dimainkan pekerja, kita mesti
melibatkan diri kita secara langsung dalam proses
perjuangan sosialis. Pemahaman ini tidak bisa didapat
secara penuh melalui buku-buku.
Apa yang membuat negara kapitalis menjadi kuat?
Untuk menjawabnya:
54
Negara memiliki militer yang kuat dan pemahaman
tempur yang juga handal. Dengan hampir 400 tahun
pengalaman kelas borjuis berkuasa, mereka memiliki
sejarah panjang mengenai penaklukan dan cara
mempertahankan kekuasaan kelasnya. Singkatnya, kelas
borjuis di dunia memiliki pengalaman berkuasa yang
cukup mumpuni.
Walaupun kelas borjuis di Indonesia terbilang masih
muda, tetapi mereka terhubung secara kelas dengan
borjuis lainnya di dunia. Kepentingan sesama kelas
mereka merupakan kepentingan yang dapat
dikompromikan ketika mereka bertemu lawan kelasnya:
kelas proletar.
Lalu, apakah kelemahan negara kapitalis?
Untuk menjawabnya:
Negara bergantung pada nilai lebih yang juga dihasilkan
dari waktu kerja kelas pekerja yang dicuri. Nilai lebih
(keuntungan) itu dihasilkan melalui pekerja-pekerja
BUMN dan BUMD. Singkatnya, negara juga merupakan
semacam perusahaan yang bekerja dengan hukum-
hukum kapitalisme. Karena negara adalah perwujudan
politis dari kelas yang berkuasa, maka ia berkepentingan
untuk menjaga properti kelas tersebut: properti kelas
borjuis.
Tapi dimana kelemahannya?
55
Itulah dia kelemahannya. Artinya negara juga
bergantung pada nilai lebih yang dihasilkan oleh kelas
pekerja. Ini adalah salah satu posisi kelas pekerja yang
membuat ia dapat melakukan banyak hal untuk
menghancurkan negara kapitalis dan membebaskan
dirinya dengan sosialisme menganggur.
Tetapi mengapa revolusi tidak terjadi?
Sayangnya pekerja sebagai kelas tidak memiliki
kesadaran semacam itu. Untuk membuatnya bisa
menyasar pada pembangunan masyarakat sosialis, kita
mesti menyebarkan pemahaman tentang bagaimana
kapitalisme bekerja dan mencari bentuk organisasi
sebagai jalan keluar untuk mengatasi persaingan sesama
pekerja.
Jika berhasil, ini adalah sumber kerentanan yang sangat
besar bagi kapitalisme dan negara itu sendiri.
Karena percuma saja kekuatan yang objektif ada jika
kelas pekerja berada di posisi untuk tidak
menggunakannya, atau bahkan tidak mengenalinya.
Kedua kemungkinan ini terjadi karena kurangnya
pengetahuan mengenai kapitalisme dan ketidakadaan
organisasi yang dapat menjadi wadah untuk
menggerakan kekuatan tersebut.
Apa kekuatan kelas pekerja?
56
Kekuatan kelas pekerja adalah dirinya sendiri sebagai
penghasil nilai lebih (keuntungan). Produksi yang
menghasilkan nilai lebih (kapitalisme) tidak akan ada
tanpa kerja upahan dan pekerja itu sendiri. Selain itu
juga kerja upahan melestarikan proses jual beli di pasar.
Tanpa adanya pekerja yang bekerja untuk pemodal,
maka tidak ada yang diupah. Tanpa adanya upah, maka
tidak ada daya beli. Dan tanpa adanya daya beli, maka
tidak ada pula perputaran komoditas dan nilai lebih yang
kembali pada pemodal.
Inilah mengapa posisi kelas pekerja dalam sistem
kapitalisme sangat penting!
Apa kelemahan kelas pekerja dan bagaimana
kelemahan itu bisa dikoreksi?
Kami tidak sadar dengan kekuatan penting yang kita
miliki sebenarnya. Ketiadaan kesadaran ini adalah
produk dari fragmentasi kerja dan kurangnya peran
organisasi pekerja. Fragmentasi kerja ini bukan hanya
berlaku kepada pekerja dari negara yang berbeda, tetapi
juga sesama pekerja dalam pabrik yang sama sekalipun.
Sehingga tugas kita bersama adalah menghilangkan
fragmentasi kompetitif sesama pekerja ini.
57
Halaman Facebook:
JURNAL DEKOMPOSISI
Website:
anarkontingensi.wordpress.com