Melalui buku ini dirangkum ide, pemikiran, dan gagasan Prof. Dr ...
Embed Size (px)
Transcript of Melalui buku ini dirangkum ide, pemikiran, dan gagasan Prof. Dr ...

Peranan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Peningkatan Transparansi Fiskal1
1. Pengantar
Era reformasi dewasa ini membuka pe1uang bagi pembangunan institusi
BPK agar dapat berperan dalam penegakan transparansi fiskal sebagaimana
diharapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan kembali BPK
perlu merehabilitasi kebebasan dan kemandiriannya yang dikekang selama
era otoriter Orde Baru. Untuk itu, objek pemeriksaan BPK perlu diperluas
untuk dapat memeriksa setiap sen pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara di mana pun disimpan dan digunakan. Agar dapat
melakukan tugas seperti itu wewenang, metodologi, organisasi, dan sumber
daya manusia maupun kode etik serta anggaran BPK perlu dilepaskan dari
cengkeraman pemerintah yang sangat kokoh selama periode Orde Baru di
masa lalu. Ini memerlukan amandemen UU Tahun 1973 tentang BPK.
Untuk selanjutnya, makalah ini dibagi dalam tujuh bagian. Bagian
berikut merupakan penjelasan kedudukan BPK dan sistem kenegaraan
Indonesia menurut versi asli UUD 1945 maupun setelah perubahannya yang
keempat. Bagian kedua menguraikan perubahan sistem politik dan
pemerintahan setelah amandemen UUD 1945 tersebut. Bagian ketiga
menguraikan implikasi ketiga paket keuangan negara tahun 2003-2004
kepada fungsi BPK. Bagian keempat memuat alasan penting perluasan fungsi
BPK pada pemeriksaan penerimaan negara. Bagian kelima menjelaskan
pilihan yang tersedia untuk memungkin perluasan organisasi BPK sehingga
dapat memeriksa anggaran Kabupaten/Kota. Bagian keenam menjelaskan
arah pemeriksaan BPK ke depan. Bagian terakhir menjelaskan berbagai
elemen penting yang diperlukan bagi amandemen UU No.5 Tahun 197
tentang BPK.
1 Makalah untuk Seminar di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Sabtu, 26 Maret 2005.

2. Tugas dan kedudukan bpk dalam sistem kenegaraan Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui bersama, konstitusi negara kita,
Undang-Undang Dasar 1945, membentuk BPK hanya untuk melaksanakan
satu tugas, menegakkan transparansi fiskal guna membantu lembaga
perwakilan rakyat dalam melaksanakan hak bujetnya. BPK melaksanakan
tugas itu melalui pemeriksaan atau audit pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara.
Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh the
founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor yang
melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Berbeda dengan di banyak negara lain, Undang-Undang Dasar 1945
menempatkan BPK sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang ada
dalam struktur negara kita. Di berbagai negara yang lain lembaga auditor
ekstemal seperti BPK ditempatkan langsung di bawah lembaga legislatif
sebagai pemegang hak bujet. Lembaga legislatif itulah yang menugaskan
auditor eksternal untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Selain tetap mempertahankan
pemberian hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara kepada BPK,
perubahan ketiga dari UUD 1945 justru telah memperkuat posisinya
dengan memberikan kedudukan yang “bebas dan mandiri" kepada BPK.
Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung tinggi
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara. ltulah sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi,
kebebasan dan kemandirian kepada BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat
melaksanakan tugasnya secara objektif. BPK dapat memeriksa dan
melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh
maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik
eksekutif, legislatif maupun judikatif.
Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada rakyat banyak, utamanya
pembayar pajak, melalui wakil-wakilnya di DPR serta DPRD sebagai

pemegang hak bujet. Seperti halnya DPR, DPD juga menerima laporan hasil
pemeriksaan keuangan Pemerintah Pusat. Sementara itu, DPRD menerima
laporan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah daerahnya masing-masing.
Semuanya itu diatur dalam UU No. 22 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan
DPRD (Pasa147) dan UU No. 15 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan
Tanggung Jawab Keuangan Negara (Pasal 17, ayat 1).
Walaupun DPD tidak memiliki hak bujet, posisinya sangat penting.
Karena DPD memiliki fungsi memberikan pertimbangan kepada DPR dalam
hal penyusunan Rancangan APBN Pemerintah Pusat maupun dalam
mengawasi pelaksanaannya setelah menjadi APBN.
Dengan menggunakan hak legislasinya, DPR dan DPRD memiliki hak
dan wewenang masing-masing untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa BPK memantau
pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaannya itu. BPK pun
dapat memproses secara pidana auditee yang tidak serius melakukan koreksi
terhadap temuannya. Temuan-temuan yang mengandung unsur pidana seperti
ini wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum. Temuan
pemeriksaan BPK tersebut merupakan bukti awal yang dapat diperdalam dan
ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Dalam kaitan program pemerintah dewasa ini untuk memberantas
KKN, seyogyanya pemerintah dan penegak hukum cukup melibatkan BPK
dan menindaklanjuti temuan-temuan hasil pemeriksaannya. Pemerintah
tidak perlu menciptakan lembaga-lembaga ad hoc baru yang tambal sulam
dan tumpang tindih dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang te1ah
ada. Jika ternyata ada di antara lembaga penegak hukum itu yang belum
bekerja sesuai dengan harapan maka, tugas kita bersama untuk memperbaiki
dan meningkatkan kinerjanya. Selain menambah inefisiensi pemerintahan
dan meningkatkan keperluan anggaran yang tidak perIu, lembaga-lembaga
ad hoc yang tumpang tindih juga menimbulkan konflik antar instansi yang
memakan energi sia-sia.

3. Perubahan sistem politik dan struktur pemerintahan
Perubahan konstitusi yang dilakukan dalam era reformasi dewasa ini
telah merubah sistem politik dan pemerintahan kita. Sistem politik kita telah
beralih dari sistem otoriter orde Baru ke arah demokrasi. Sistem
pemerintahan kita telah beralih dari sistem yang sentralistis kepada otonomi
daerah yang sangat luas. Pimpinan pemerintahan kita dewasa ini, Bapak Dr.
Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Muhammad Jusuf Kalla,
merupakan presiden dan wakil presiden yang pertama kali dipilih langsung
oleh rakyat dalam sejarah Republik Indonesia. Rakyat memilih pasangan
capres dan cawapres berdasarkan program kerja (platform) yang mereka
tawarkan selama masa kampanye pemilu. Sebelumnya, presiden dan wakil
presiden kita dipilih oleh MPR yang sekaligus menetapkan Garis-Garis
Haluan Negara. Mulai tahun ini, para kepala daerah akan dipilih langsung
oleh rakyat di daerahnya masing-masing dan tidak lagi ditunjuk ataupun
direstui oleh pejabat Pemerintah Pusat.
Berbeda dengan dahulu, kini tidak ada lagi utusan golongan kekaryaan,
termasuk TNI dan Polri, dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Utusan
daerah yang tadinya berbaur dalam MPR kini memiliki lembaganya sendiri
berupa DPD. Terbentuknya DPD, yang memberikan pertimbangan kepada
DPR sebagai pemegang hak bujet telah menambah "klien" BPK.
Sebagaimana telah disebut di atas, DPD merupakan lembaga perwakilan
daerah yang menerima laporan pemeriksaan BPK mengenai pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara tingkat nasional.
4. BPK dan ketiga paket keuangan negara
Dalam kaitan perubahan ketatanegaraan kita yang sangat mendasar
sebagaimana telah dikemukakan di atas DPR telah mengundangkan tiga
paket keuangan negara, yaitu (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara; (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan (3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelo1aan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Adanya perubahan UUD 1945 maupun ketiga paket Undang-Undang
Keuangan Negara tersebut telah menuntut amandemen atau perubahan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK. Sementara menunggu
amandemen UU BPK tersebut, ketiga paket Undang-Undang Keuangan
Negara di atas berlaku sebagai dasar bagi BPK untuk melakukan
pemeriksaan keuangan negara guna membantu DPR dan DPRD dalam
melaksanakan hak bujetnya.
Undang-Undang Dasar dan ketiga rangkaian Undang-Undang Keuangan
Negara tahun 2003-2004 memberikan kewenangan kepada BPK untuk
memeriksa setiap sen pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
di manapun uang negara itu disimpan dan dipergunakan. Seperti yang kita
ketahui, dewasa ini keuangan negara di Indonesia dikelola melalui APBN,
APBD, anggaran nonbujeter, ratusan jumlah BUMN dan BUMD, termasuk
bank-bank milik negara serta BPD, maupun oleh berbagai yayasan yang
terkait dengan kedinasan.
Pada masa orde baru tidak ada transparansi fiskal. Objek pemeriksaan
BPK hanya dibatasi pada (mencakup) sisi pengeluaran APBN saja. Pada
waktu itu sisi penerimaan APBN, anggaran nonbujeter, BUMN/BUMD
maupun yayasan-yayasan yang menggunakan fasilitas dari negara bukan
merupakan objek pemeriksaan BPK. Di lain pihak, pengalaman kita dari
rangkaian krisis, mulai dari krisis Pertamina tahun 1975, krisis PT Bank
Duta dan PT Bank Bukopin pada era 1980-an hingga krisis keuangan dan
perekonomian tahun 1997-1998, menggambarkan bahwa kerugian dari
semua anggaran nonbujeter, BUMN/BUMD, serta yayasan-yayasan yang
terkait dengan kedinasan itu telah menjadi contingent liabilities keuangan
negara yang membebani rakyat banyak. Hutang pemerintah yang
membubung tinggi sekarang ini, setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998,
terutama bersumber dari pengambilalihan hutang-hutang di luar APBN
resmi itu.
Pembatasan ruang gerak BPK telah mengurangi transparansi fiskal dan

akuntabilitas pada keuangan negara di luar APBN resmi. Pada gilirannya, hal
ini meredusi hak bujet yang dimiliki oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di
DPR maupun DPRD. Pembatasan atas hak bujet tersebut ada kalanya terjadi
karena kurang disadari oleh para penyusun undang-undang itu sendiri. Tidak
sedikit undang-undang dan keputusan yang dibuat oleh DPR dan DPRD
membatasi sendiri hak bujetnya. Apakah karena alasan lex spesialis ataukah
karena kurangnya pengertian maupun koordinasi sehingga tidak selaras
dengan konstitusi.
Rangkaian undang-undang yang membatasi gerak BPK dan
mengurangi hak bujet lembaga perwakilan rakyat itu, antara lain undang-
undang yang mengatur tentang Badan Pengawas Pasar Modal, Badan
Usaha Milik Negara, Yayasan, Perseroan Terbatas, Pajak serta Perbankan,
khususnya tentang kerahasiaan bank. Padahal, dalam hal BUMN
Pemerintah masih memiliki golden share, misalnya pada bank negara yang
sudah go public. Artinya walaupun sudah go public, pengurus bank-bank
negara itu masih diangkat dan hanya akuntabel kepada Pemerintah
Indonesia. Kasus skandal Lie fiktif di Bank BNI pada tahun 2003 juga
menggambarkan bahwa kerugian dari skandal yang memalukan tersebut,
baik secara langsung maupun tidak langsung, telah dialihkan menjadi
beban rakyat. Sementara itu, tidak satu pun dari pengurus bank tersebut
yang sudah diproses secara hukum dan masuk penjara sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang Perbankan. Undang-Undang Kerahasian
Bank yang terlalu ketat di Indonesia telah menyebabkan industri perbankan
nasional kita menjadi tempat persembunyian dan pencucian hasil kejahatan
KKN dan penggelapan pajak.
5. BPK dan sisi penerimaan APBN
Peranan BPK dalam rangka membantu DPR dan DPRD dalam
menggunakan hak bujetnya pada sisi penerimaan negara semakin
diperlukan saat ini. Hak bujet pada sisi penerimaan negara itu, mencakup
penerimaan pajak dan bea cukai, privatisasi BUMN/BUMD, divestasi aset

BPPN maupun PPA, serta tukar guling tanah milik negara. Peningkatan
penerimaan pajak merupakan harapan terbesar untuk menguatkan posisi
keuangan pemerintah dan meningkatkan APBN-nya. Rasio penerimaan
pajak kita terhadap PDB (sekitar 14%) maupun jumlah penduduk yang
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), 2 juta orang dari penduduk di
atas 200 juta jiwa, merupakan salah satu yang terendah di Asia.
Selain merubah struktur tarifnya, administrasi perpajakan juga perlu
kita perbaiki. Peningkatan penerimaan melalui penjualan aset negara sangat
terbatas karena keterbatasan jumlah BUMN yang laku dijual di pasar.
Sementara itu, aset BPPN dan PPA sudah semakin berkurang. Upaya
penagihan kembali kekayaan hasil kejahatan korupsi maupun penagihan
hutang konglomerat hitam, seperti BLBI, terhambat karena lemahnya sistem
hukum nasional kita sendiri. Upaya penagihan piutang menjadi semakin
sulit karena sebagian dari konglomerat hitam tersebut justru diberikan ijin
menjalani "cuti sakit" yang berkepanjangan di luar negeri oleh penegak
hukum kita sendiri.
Dewasa ini, kurang lebih sepertiga dari pengeluaran APBN Pemerintah
Pusat telah diserahkan kepada pemerintah daerah dalam rangka otonomi
daerah. Kira-kira sepertiga lainnya digunakan untuk membayar bunga
hutang pemerintah. Hutang yang membumbung setelah tahun 1997 adalah
untuk menombok modal bank-bank nasional dan mengambil alih kerugian
nasabahnya. Utamanya para konglomerat hitam. Sisanya adalah
pengeluaran Pemerintah Pusat untuk membayar gaji pegawai negeri dan
menjalankan roda pemerintahan, termasuk untuk pengeluaran angkatan
bersenjata. Untuk menyehatkan keuangan negara, tekanan keperluan
rekapitalisasi bank negara dan nasionalisasi kerugian BUMN, serta
perusahaan milik konglomerat perlu dihentikan. Hal ini dilakukan dengan
tujuan menghentikan ekspansi pengeluaran negara yang tidak perlu. Selain
tidak perlu, pengeluaran seperti itu juga bertolak belakang dengan prinsip
keadilan. Karena kerugian bank-bank negara, BUMN serta konglomerat
hitam ditanggung oleh rakyat banyak, “wong cilik" pembayar pajak.

Struktur hutang pemerintah setelah krisis tahun 1997 telah berubah
secara mendasar. Dewasa ini, porsi hutang dalam negeri maupun hutang
komersil di pasar keuangan internasional menjadi semakin bertambah
besar. Tadinya hutang pemerintah hanya berupa hutang luar negeri dari
sumber resmi dengan syarat lunak dan berjangka panjang. Berbeda dengan
masa Orde Lama, beban hutang dalam negeri pemerintah tidak mungkin
dikurangi melalui inflasi karena hutang obligasi negara dewasa ini sensitif
terhadap tingkat laju inflasi maupun tingkat suku bunga serta terhadap
gejolak kurs devisa. Cara yang terbuka pada upaya pengurangan beban
pembayaran hutang jangka pendek adalah dengan memperpanjang masa
pelunasan pokoknya. Baik melalui repro filing ataupun membuatnya
menjadi perpetual bonds yang tidak memiliki masa jatuh tempo waktu
pembayaran.
6. Perluasan objek pemeriksaan BPK hingga APBD Kabupaten/Kota
Rangkaian perubahan sistem politik dan struktur pemerintahan kita
dewasa ini menuntut perubahan sistem pengawasan dan pemeriksaan
keuangan negara. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 memperluas tugas
BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan pemerintah daerah. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut
BPK ditugaskan agar dapat segera membuka kantor perwakilannya di
seluruh ibu kota provinsi. Di lain pihak, karena keterbatasan kemampuan
keuangan negara dewasa ini, tidak mungkin dapat dilakukan penambahan
personil dan peralatan maupun gedung perkantoran yang diperlukan untuk
membuka kantor-kantor perwakilan di semua ibukota provinsi.
Salah satu alternatif pemecahan terhadap keterbatasan anggaran
negara di atas adalah dengan menyerahkan setidaknya sebagian dari
kantor, peralatan, dan personil yang dimiliki oleh pengawas internal
pemerintah kepada BPK. Alternatif pemecahan seperti ini menghemat
keuangan negara dan meningkatkan kinerja pemerintahan. Bersamaan
dengan itu, perlu dilakukan penataan ulang atas sistem pengawasan internal

pemerintah dan hubungan kerjanya dengan BPK sebagai pemeriksa
eksternal. Sebagai alat manajemen, tugas utama dari pengawas internal
adalah untuk menyusun sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara dan sekaligus mengawasi bekerjanya sistem itu. Semakin
baik sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara,
semakin mudah pekerjaan BPK dalam melakukan pemeriksaan.
Dewasa ini, pengawasan internal keuangan negara dilakukan oleh
BPKP dan oleh Inspektur Jenderal di tingkat departemen, serta oleh
Bawasda di tingkat pemerintahan daerah. Dalam berbagai hal, pengawas
internal selama masa otoriter Orde Baru berfungsi sekaligus sebagai
pemeriksa. lnilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa fungsi dan
peranan BPK semakin diredusi pada masa itu. Tumpang tindih fungsi dan
kewenangan tidak hanya antara BPK dengan pengawas internal, tapi juga
antar sesama pengawas internal itu sendiri. Selain menciptakan pemborosan
konflik antar instansi, hal seperti itu telah menghabiskan energi yang tidak
perlu.
Karena berbagai alasan, kebebasan dan kemandirian BPK pada saat ini
sangat sempit. Alasan pertama karena pembatasan objek pemeriksaan BPK
seperti yang telah disebut di atas. Alasan kedua, karena pengelolaan BPK
sama dengan pengelolaan pengawas internal pemerintah. Sama-sama tunduk
pada pengaturan pemerintah. Seperti halnya dengan personil pengawas
internal pemerintah, karyawan BPK adalah pegawai negeri, organisasi BPK
tunduk pada pengaturan Menpan dan anggarannya pun sama-sama
bersumber dari APBN. Kemampuan BPK menjadi semakin terbatas karena
jumlah personilnya hanya sepertiga jumlah personil BPKP, pendidikan rata-
rata sumber daya manusia tidak sebaik karyawan BPKP dan anggaran BPK
pun lebih kecil daripada BPKP. Gaji karyawan BPK mengikuti standar
umum pegawai negeri. Di lain pihak, gaji karyawan BPKP mengikuti standar
gaji karyawan Departemen Keuangan yang berlipat ganda dari standar gaji
pegawai negeri. Jaringan kantor perwakilan BPK juga jauh lebih kecil
daripada BPKP. Karena sudah lama tidak terpelihara, sebagian besar dari

kantor BPK sekarang ini tidak lagi layak huni dan peralatan kerjanya pun
jauh di bawah standar minimum.
7. Arah pemeriksaan BPK ke depan
Kemampuan BPK baru terbatas pada pemeriksaan akuntasi keuangan
umum. Dimulai dengan kebutuhan untuk melakukan audit terhadap
penyaluran dan penggunaan BLBI setelah krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Secara bertahap, BPK telah meningkatkan kemampuannya melakukan
forensic audit maupun audit kejahatan (fraud audit). Sebagai pimpinan BPK
dewasa ini, BPK terus meningkatkan kemampuan BPK dalam melakukan
forensic audit serta fraud audit itu guna memenuhi amanat UU No. 15 Tahun
2004 maupun dengan program kerja pemerintah untuk memberantas KKN.
Memenuhi amanat konstitusi, BPK juga menerima penugasan dari
lembaga pemegang hak bujet (DPR dan DPRD) untuk melakukan
pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus itu juga dapat dilakukan
berdasarkan inisiatif sendiri, baik atas dasar permintaan pemerintah,
pengaduan masyarakat maupun pendalaman pemeriksaan kami sendiri. Atas
penugasan dari DPR, kini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas
penggunaan dana oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tentang subsidi
BBM. Beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu telah meminta kami
untuk melakukan audit terhadap departemen ataupun lembaga yang mereka
warisi dari pendahulunya.
Atas inisiatif sendiri, BPK telah mengambil empat inisiatif dalam
rangka pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan bantuan
kemanusiaan bagi korban bencana alam yang menimpa Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara pada akhir Desember 2004.
Inisiatif pertama adalah, pada Januari 2005, BPK telah menulis surat kepada
presiden menyarankan agar pemerintah menggunakan aparat pengawas
internalnya membantu Bakornas dan Bakorda untuk membangun sistem
administrasi bantuan kemanusiaan itu. Surat tersebut telah ditindaklanjuti
dengan mengundang BPKP serta Inspektur Jenderal seluruh departemen
untuk bertatap muka dengan BPK guna membahas pembangunan

administrasi bantuan tersebut.
lnisiatif BPK yang kedua adalah melakukan pemeriksaan terhadap
pengelolaan bantuan kemanusiaan itu yang diterima pada tahap darurat,
rehabilitasi maupun tahap rekonstruksi. Atas dorongan dan bantuan DPR,
utamanya rekan-rekan di Panitia Anggaran dan Komisi XI, BPK akan segera
membuka kantor perwakilan di Banda Aceh guna memudahkan pemeriksaan
bantuan kemanusiaan tersebut.
Inisiatif ketiga adalah mengundang mitra kerja BPK dari supreme audit
institutions negara-negara donor penting serta lembaga-lembaga intemasional
untuk melakukan cooperative audit atas bantuan internasional yang telah dan
akan diterima. Setidaknya mitra kerja BPK itu dapat memberikan bantuan
teknis tentang persyaratan teknis audit yang berlaku di negara maupun
institusinya masing-masing.
Inisiatif keempat adalah mcnyclenggarakan konferensi intemasional
dengan mengundang rekan-rekan sejawat dari negara-negara Asia yang
dilanda bencana alam dan negara-negara donor utama maupun wakil-wakil
dari lembaga-lembaga intemasional tersebut di atas. Bekerjasama dengan
Asian Development Bank (ADB), konferensi itu akan diadakan di Jakarta
pada akhir April 2006. Selain membahas audit bencana alam, konferensi itu
juga akan membahas cara melakukan audit di daerah konflik bersenjata.
Sebagaimana diketahui, selain dilanda bencana alam, Provinsi NAD,
beberapa provinsi di India, Sri Lanka dan Thailand Selatan juga merupakan
daerah konflik bersenjata berkenaan dengan aksi kelompok separatis.
Karena keterbatasan sumber daya manusianya, kemampuan BPK untuk
melakukan audit kinerja masih sangat terbatas sekarang ini. Karena
keterbatasan itu BPK belum dapat berperan memberikan saran kepada
pemerintah dan entitas negara lainnya guna meningkatkan kinerja dan
efisiensinya. Untuk dapat melakukan audit kinerja seperti itu, BPK perlu
mcningkatkan kemampuannya dalarn melakukan analisis kebijakan publik.

8. Elemen pokok amandemen Undang-Undang BPK
Pembangunan BPK ke depan dimulai dengan meletakkan pondasinya.
Pondasi yang pertama adalah untuk mengoreksi ketentuan perundang-
undangan yang membatasi objek pemeriksaan yang telah disebut di atas.
Pondasi yang kedua adalah merubah UU No.5 Tahun 1973 tentang BPK.
Undang-ndang tersebut mengekang kebebasan dan kemandirian BPK
seperti disebut di atas dan membuat BPK tunduk pada cabang eksekutif
pemerintahan. Pcrubahan Undang-Undang BPK itu diharapkan dapat
memuat prinsip-prinsip kebebasan dan kemandirian BPK dalam hal
kebijakan, wewenang, metoda kerja, organisasi, sumber daya manusia,
dan kode etik karyawannya, status serta perlindungan hukum maupun
anggarannya.
Melalui pemulihan kewenangan serta kebebasan maupun
kemandiriannya BPK diharapkan akan dapat menegakkan transparansi
fiskal. Pada gilirannya ini akan memulihkan kembali penggunaan hak
bujet milik rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR dan DPRD yang telah
mengalami erosi dalam era otoriter Orde Baru. Pemulihan hak bujet rakyat
itu diharapkan akan dapat memperbaiki pengelolaan serta
pertanggungjawaban keuangan negara yang selama ini ”morat-marit”
sehingga kita dilanda oleh krisis perekonomian sejak tujuh tahun terakhir.
Transparansi fiskal sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat
membayar pajak maupun kepercayaan mereka memegang Surat Utang
Negara (SUN). Transparansi fiskal tersebut juga menambah kepercayaan
kreditur internasional dalam memberikan hibah maupun pinjaman kepada
Pemerintah Indonesia.

1
Perbaikan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah
di Indonesia1
1. Pengantar
Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi
keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi sejak krisis
ekonomi tahun 1997-1998. Di sektor ekonomi, kita ingin beralih dari sistem perencanaan
terpusat kepada sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Dalam bidang
politik, reformasi itu ingin menggantikan sistem politik otoriter masa lalu dengan sistem
demokrasi. Dalam sistem pemerintahan, kita ingin merombak sistem pemerintahan
sentralistis masa lalu diganti dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada
daerah.
Perencanaan terpusat pada masa Orde Baru telah menciptakan kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Privatisasi dan deregulasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik
negara kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, produktivitas dan efisiensi perekonomian
nasional kita menjadi semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997-1998. Sistem
politik yang demokratris sekarang ini memberikan jaminan kebebasan berserikat dan bersuara
termasuk mendirikan partai politik. Dewasa ini, TNI dan Polri tidak lagi memiliki wakil di
DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil presiden serta kepala daerah kini
dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan platform atau janji politiknya dan tidak lagi dipilih
oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu, MPR sekaligus menyusun GBHN.
Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien
jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang simetris.
Yang terakhir ini termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Sistem politik
yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi daerah juga
menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu, rakyat tidak
akan mau membayar pajak dan investor tidak mau membeli Surat Utang Negara (SUN)
kecuali dengan tingkat suku bunga yang sangat tinggi. Konflik antar daerah dapat dipicu 1 Ceramah pada Kuliah Pertama Semester Ganjil 2007/2008 Program Magister Akuntansi Universitas Trisakti (8 September 2007); ceramah pada Musyawarah III Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, Surabaya (9-10 September 2007) Bahan ceramah di Universitas Andalas, Padang (26 Oktober 2007), Ceramah di Universitas Sebelas Maret, Solo (27 Agustus 2007); Makalah untuk Seminar Antar Semster IPDN (20 Juli 2007); Makalah pada Kuliah Umum di Universitas Nusa Cendana (27 Juli 2007), Keynote speech Seminar Nasional “Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi”, Brawijaya Accounting Fair 2006, FE Unbraw, Malang (3 Juni 2006)

2
oleh perasaan curiga karena tidak transparan dan tidak akuntabelnya keuangan negara.
UUD 1945 dan ketiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-20042 serta UU
No. 15 Tahun 2006 tentang BPK menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor untuk
memeriksa laporan keuangan ketiga lapis pemerintahan di Indonesia: Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Makalah ini menguraikan kemajuan perbaikan transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara dan daerah sejak tahun 2005 serta tantangan yang masih
dihadapi. Bagian kedua membahas berbagai elemen perbaikan sistem pengelolaan keuangan
negara untuk menjadikannya transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan era reformasi.
Bagian ketiga membahas temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005 dan 2006. Bagian keempat membahas
tidak adanya transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak. Bagian kelima
membahas berbagai aspek institusional daerah. Bagian keenam membahas peranan DPR dan
DPRD untuk menindaklanjuti temuan BPK.
2. Upaya perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara,
pemerintah dalam era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh terhadap sistem
keuangan negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi pertama
adalah degan mengintegrasikan anggaran negara dengan meniadakan pembedaan antara
anggaran rutin dan anggaran pembangunan yang terpisah di masa Orde Baru. Kontrol atas
APBN kini sepenuhnya berada di tangan Menteri Keuangan. Tadinya anggaran pembangunan
dikendalikan oleh Bappenas. Sementara itu, tahun anggaran kini dirubah sesuai dengan tahun
kalender dari yang tadinya berakhir tanggal 31 Maret.
Administrasi dan pertanggungjawaban keuangan negara dirubah secara mendasar.
Jenis dan format laporan keuangan negara kini memberlakukan sistem pembukuan
berpasangan, menggunakan sistem akuntansi terpadu yang dikomputerisasi, serta menerapkan
desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor
pusat maupun di daerah. ICW yang digunakan selama Orde Baru merupakan warisan
kolonial yang menggunakan single entry account dan bukan sistem pembukuan berpasangan,
terpadu, dan berjenjang. Perubahan mendasar atas struktur APBN dan jenis, format serta cara
pelaporannya dimuat dalam ketiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004.
2 Ketiga Undang-Undang bidang Keuangan Negara tersebut adalah: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

3
Koreksi yang kedua adalah dengan menyosialisasikan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP) pada tanggal 13 Juni 20053. SAP ini merupakan yang pertama dikeluarkan oleh
pemerintah setelah enam puluh tahun Republik Indonesia berdiri. Koreksi yang ketiga adalah
dengan menerbitkan UU No. 15 Tahun 20064 yang memulihkan kebebasan dan kemandirian
BPK dan sekaligus memperluas objek pemeriksaannya.
Setelah enam puluh tahun kita berbangsa dan bernegara, pertanggungjawaban
keuangan negara yang transparan dan akuntabel baru dimulai dalam LKPP Tahun 2004.
Walaupun masih jauh dari sempurna, LKPP itu memuat rangkaian perubahan sistem fiskal
yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah
dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca
dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu tonggak sejarah
kemajuan dan bagian dari perwujudan demokrasi politik yang juga menuntut adanya
transparansi serta akuntabilitas keuangan negara.
LKPP yang merupakan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk baru
seperti sekarang ini adalah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan peralihan Pasal 36 ayat (2) UU No. 17/2003
tentang Keuangan Negara itu menyatakan bahwa ketentuan mengenai LKPP dalam bentuk
sekarang ini akan berlaku mulai APBN Tahun 2006. Namun demikian, UU No. 28 Tahun
2003 tentang APBN Tahun 2004 telah memajukan awal mulai berlakunya penerapan LKPP
format baru tersebut. Undang-Undang APBN Tahun 2004 menyebutkan bahwa laporan
pertanggungjawaban APBN oleh Presiden sudah berupa LKPP format baru.
LKPP format baru sekarang ini berbeda dengan laporan keuangan Pemerintah Pusat
yang disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Sistem Akuntansi Pemerintah dan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)5. LKPP yang berlaku sekarang ini terdiri dari
Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA
Kementerian Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan
Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan
lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci, tertib dan sistematis tersebut merupakan hal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005. 4 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggantikan UU No. 5 Tahun 1973. 5Surat Keputusan tersebut adalah SK Menteri Keuangan No.337/KMK/0.12/2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/KMK.06/2005 tentang hal yang sama. Kedua SK ini menggantikan Surat Keputusan No. 476/KMK.01/191 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 295/KMK.012/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembukuan dan Pelaporan Keuangan pada Departemen/Lembaga.

4
yang sangat penting bagi transparansi fiskal dan peningkatan akuntabilitas publik.
Anggaran nonbujeter, yang sangat menonjol dalam masa Orde Baru, kini semakin
ditertibkan dan diintegrasikan dengan APBN/APBD. Kini tidak boleh lagi menghimpun
penerimaan nonbujeter dari mark-up pengadaan barang dan jasa. Instansi negara tidak boleh
lagi mendirikan badan usaha, yayasan dan koperasi yang marak pada masa Orde Baru dan
pada hakikatnya merongrong instansi induknya. Sementara itu, pemungutan Penerimaan
Bukan Pajak semakin ditertibkan.
3. Temuan pemeriksaan atas LKPP dan opini pemeriksaan BPK
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) oleh BPK selama periode
2004-2006 menemukan bahwa pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN pada tingkat
kementerian negara/lembaga belum seluruhnya direviu oleh aparat pengawasan internal,
sebagaimana diharapkan oleh UU. Padahal dewasa ini pengawasan internal pemerintah di
Indonesia merupakan yang terumit di dunia dan terdiri dari empat lapis, yakni: BPKP,
Irjen/SPI, Bawasda Provinsi dan Bawasda Kabupaten/Kota6. Keempat pengawas internal
pemerintah itu, terutama BPKP, memiliki jumlah sumber daya manusia, jaringan kantor,
peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada BPK-RI. Seharusnya BPKP itu
dapat digunakan oleh pemerintah untuk membangun sistem akuntansi dan
pertanggungjawaban keuangan negara serta mengatasi kelangkaan tenaga akuntan pada
instansi teknis dan Bawasda agar dapat mengimplementasikan Paket Ketiga UU tentang
Keuangan Negara Tahun 2003-2004.
Dari segi teknis, setidaknya ada delapan kelemahan sistem pengendalian internal
keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP pada tahun anggaran
2004, 2005, dan 2006. Kelemahan tersebut yang pertama adalah masih perlunya perbaikan
mendasar tentang sistem akuntansi keuangan negara agar dapat diseragamkan sesuai dengan
sistem yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua, perlunya
sinkronisasi sistem komputer instansi pemerintah agar menjadi terintegrasi dan kompatibel
antara satu dengan lainnya. Sebagaimana telah disebut di muka, dewasa ini sistem komputer
pemerintah belum dapat menyamai sistem komputer perbankan.
Ketiga, perlunya mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal agar uang
negara tidak lagi tersebar di berbagai rekening, termasuk rekening individu pejabat negara
yang sudah lama meninggal dunia. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 mengamanatkan
6 Di samping keempat aparat pengawas internal pemerintah di atas, pada masa Orde Baru, juga ada Irjenbang (Inspektur Jenderal Pembangunan) yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

5
perlunya kesatuan rekening Kas Umum Negara dan Kas Umum Daerah. LKPP tahun 2004
melaporkan bahwa sebanyak 957 dari rekening-rekening pemerintah pada bank-bank senilai
Rp20,55 triliun dicatat atas nama pribadi pejabat negara, termasuk yang sudah lama
meninggal dunia. LKPP tahun 2005 dan 2006 melaporkan adanya peningkatan jumlah
rekening seperti itu dengan jumlah uang yang lebih besar pula.
Karena tersebarnya penyimpanan uang negara yang tidak terintegrasi pada rekening
Bendahara Umum Negara (BUN), Menteri Keuangan tidak mengetahui posisi keuangan
negara dan dana-dana yang tersebar itu tidak segera dapat dimanfaatkan oleh pemerintah
untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Juga tidak jelas siapa yang menikmati balas jasa
bunga rekening tersebut. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening Dana Investasi (RDI)
merupakan praktik KKN. RDI menjadi alternatif bagi kredit bank dan diberikan kepada
badan usaha yang sebenarnya mampu meminjam dari industri perbankan (bankable). Alokasi
RDI, yang berbunga rendah dan risiko yang hampir tidak ada dibuat oleh pejabat Depkeu
dengan cara yang kurang transparan dan penagihannya kembali pun hampir tidak pernah
dilakukan secara serius. Besarnya RDI per 31 Desember 2005 adalah Rp60,5 triliun.
Keempat, perlunya inventarisasi aset negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
Kelima, perlunya penyediaan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit instansi
pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Tenaga-tenaga BPKP dapat digunakan
untuk pembangunan sistem dan mengatasi kekurangan tenaga administrasi pembukuan itu.
Keenam, perlunya transparansi dan akuntabilitas pemungutan pajak dan penyimpanannya
sebelum ditransfer ke kas negara. Ketujuh, perlunya perbaikan pembukuan BP Migas7
(Badan Pengelola Migas) serta sinkronisasi penerimaan dan pengeluaran di sektor
perminyakan. Sementara itu, perincian ongkos produksi penambangan migas oleh kontraktor
swasta harus dirasionalisasi dalam perhitungan cost recover agar dapat mengoptimalkan
penerimaan negara. Kedelapan, perlunya penertiban dasar pemungutan PNBP (Penerimaan
Negara Bukan Pajak), penyimpanan dan penggunaannya. Kesembilan, terbatasnya informasi
tentang penerimaan negara. Bagian berikut akan membahas larangan Undang-Undang Pajak
untuk melakukan pemeriksaan penerimaan negara dari pajak.
Kesembilan, temuan pemeriksaan di atas telah menyebabkan BPK memberikan opini
disclaimer pada LKPP selama tiga tahun berturut-turut. Yakni pada tahun 2004, 2005, dan
2006. Pemberian pendapat BPK atas pemeriksaan LKPP ketiga tahun anggaran itu adalah
didasarkan pada ketentuan Pasal 16, Ayat (1), UU No. 15 Tahun 2004 BPK. Opini
7 BP Migas didirikan untuk sebagai instasi pemerintah untuk mengatur konsesi penambangan migas di Indonesia guna mengoptimalkan penerimaan negara.

6
pemeriksaan BPK diberikan berdasarkan tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan negara berdasarkan kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, efektifitas sistem pengendalian internal dan
kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku.
Pemeriksaan terhadap LKPP selama tiga tahun terakhir ini belum ditujukan untuk
menilai kinerja pemerintahan yang meliputi aspek ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Karena
disusun berbasis kas, LKPP tidak memperhitungkan kewajiban kontijensi pemerintah. LKPP
juga tidak mengungkapkan strategi pemerintah untuk menunda pembayaran kepada kreditur
maupun kontraktornya sebagai cara untuk mengurangi defisit anggaran berbasis kas itu.
Perbaikan kesembilan, kelemahan mendasar administrasi pengendalian keuangan di
atas merupakan upaya preventip bagi penanggulangan KKN. Hanya orang yang tidak
mengerti tata negara dan tidak memahami ilmu akuntansi serta keuangan negara yang
mengatakan bahwa temuan pemeriksaan BPK itu bernuansa politik. Dengan opini LKPP
seperti ini, sulit kiranya bagi pemerintah untuk meningkatkan peringkat SUN (Surat Utang
Negara) yang dijualnya di pasar dunia sehingga mencapai investment grade agar dapat
menurunkan kupon atau tingkat suku bunganya.
Sungguh menggembirakan bahwa mulai tahun 2007 pemerintah sudah mulai
menertibkan penyimpanan uang negara dalam berbagai rekening instansi pemerintah dan
individu pejabat negara tersebut. Namun demikian, konsolidasi keuangan negara masih jauh
dari harapan karena belum kompatibelnya sistem komputer pemerintah dan belum adanya
konsolidasi berbagai rekening instansi pemerintah yang tersebar luas tersebut.
4. Tidak transparan dan akuntabelnya Ditjen Pajak
Sebagaimana disebut di atas, salah satu alasan mengapa BPK memberikan opini
disclaimer pada LKPP adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan
pajak yang merupakan porsi terbesar dari penerimaan negara. UU No. 16 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis
dari Menteri Keuangan. Dalam realita, hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan
ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak. Dengan demikian, Ditjen Pajak merupakan satu-
satunya instansi negara yang berada di luar jangkauan pemeriksaan BPK. Dengan demikian
BPK merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan di dunia yang tidak boleh
memeriksa Ditjen Pajak negaranya sendiri.

7
Walaupun sudah menghabiskan biaya yang sangat besar untuk pembangunannya, data
base Ditjen Pajak sangat buruk. Sementara itu statistik perpajakan pun hampir tidak ada.
Tidak ada informasi mengenai jumlah wajib pajak yang telah memiliki NPWP dan berapa
jumlah yang benar-benar membayar pajak. Pada tahun 2006, Ditjen Pajak menyebut adanya
kenaikan jumlah pemiliki NPWP sebesar 5 kali lipat dalam masa satu bulan, tapi yang
diberikan nomornya langsung oleh presiden di Istana Negara adalah anggota TNI, PNS
maupun karyawan perusahaan swasta skala besar. Dalam sistem withholding yang digunakan
dewasa ini, pajak mereka itu dipotong langsung oleh kantor di mana mereka bekerja untuk
disetorkan pada Ditjen Pajak. Akibatnya, kenaikan jumlah pemilik NPWP tersebut belum
dapat meningkatkan tax ratio dari tingkat 13,5% dari PDB dewasa ini
Tidak ada informasi distribusi wajib pajak menurut lapis tarif pajak, sektor ekonomi,
skala usaha maupun daerah. Tidak ada informasi mengenai kepatuhan wajib pajak untuk
memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya dan apa upaya Ditjen Pajak untuk menerapkan
berlakunya undang-undang pajak untuk meningkatkan tax ratio tersebut. Pengenaan pajak
atas dasar kesadaran sukarela dari wajib pajak untuk menghitung sendiri kewajibannya (self
assessment) merupakan lisensi untuk penggelapan pajak jika tidak disertai dengan penegakan
hukum dan audit oleh auditor independen. Lebih dari 70% konsultan pajak sekarang ini
merupakan pensiunan karyawan Ditjen Pajak sendiri yang tidak pernah diawasi dan direviu
pekerjaannya.
Sebagaimana yang berlaku secara universal, BPK tidak akan melakukan pemeriksaan
atas wajib pajak. Fokus pemeriksaan BPK adalah pada ketertiban petugas pajak untuk
melaksanakan tugasnya melaksanakan Undang-Undang Perpajakan. Pemeriksaan oleh BPK
pun akan dilakukan dengan mengambil sampel yang dipilih secara acak. Setidaknya ada lima
aspek perpajakan yang akan diperiksa oleh BPK. Pertama, pelaporan mengenai penerimaan
pajak menurut daerah, sektor ekonomi, skala usaha. Kedua, menilai kewajaran penetapan
perhitungan kewajaran penetapan perhitungan pajak PPh, PPN, dan Wajib Pajak oleh petugas
pajak. Ketiga, menguji dan menilai penyelesaian keberatan dan peninjauan kembali
penetapan pajak yang dilakukan oleh petugas pajak. Keempat, administrasi tunggakan dan
penagihan pajak termasuk kewajaran penghapusan tunggakan pajak. Kelima, dasar
pemberian restitusi pajak yang dilakukan oleh petugas pajak. Pada gilirannya, hasil
pemeriksaan BPK itu wajib untuk dilaporkannya kepada DPR sebagai pemegang hak bujet.
5. Masalah insitusional daerah
Kesembilan temuan BPK yang merupakan kelemahan LKPP yang disebut di atas juga

8
berlaku bagi kedua lapis pemerintahan daerah. Selama periode 2000-2007, jumlah provinsi di
Indonesia telah bertambah dari 27 menjadi 33 sedangkan jumlah kabupaten/kota meningkat
dari 292 menjadi 4838. Kondisi daerah menjadi semakin parah karena dua hal. Pertama
karena tidak adanya desain yang jelas tentang otonomi daerah sehingga peraturan sering
berubah selama periode 1999-2007. Alasan kedua adalah karena sebagian dari pemekaran
daerah itu bukan didasarkan atas pertimbangan kelayakan ekonomi yang rasional, tapi lebih
karena ambisi elit politik daerah untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan.
Tabel 1 dan Gambar 1 menggambarkan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2006. Perlu diingat bahwa pada umumnya
LKPD itu belum melampirkan laporan keuangan BUMD. Pada tahun itu BPK sudah dapat
memeriksa LKPD seluruh provinsi dan 306 kabupaten/kota. BPK memberikan 4 opini “wajar
tanpa pengecualian” (WTP), 269 “wajar dengan pengecualian” (WDP), 47 “tidak
memberikan pendapat” (TMP) dan 19 LKPD “tidak wajar” (TW) pada LKPD. Dari total
temuan sebesar 4.352, sebanyak 831 temuan (dengan nilai Rp5,6 triliun) berindikasi adanya
kerugian negara sehingga perlu dilaporkan untuk disidik oleh penegak hukum. Sebanyak 523
temuan (senilai Rp2,3 triliun) merupakan kekurangan penerimaan, kesalahan administratif
sebesar 660 temuan (senilai Rp17 triliun), kekurangpatuhan kepada peraturan sebanyak 2.014
temuan (senilai Rp25,9 triluin) dan ketidakhematan sebanyak 884 temuan (senilai Rp16,1
triliun).
Di negara-negara lain, otonomi daerah diberikan kepada pemerintah provinsi.
Sebaliknya di Indonesia diberikan langsung kepada kabupaten/kota. Padahal, kabupaten/kota
belum memiliki perangkat kelembagaan maupun personil untuk mewujudkan pelimpahan
wewenang dan dana bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya
sesuai dengan tujuan otonomi itu. Lemahnya institusi Pemda tercermin dalam tiga hal.
Pertama, lemahnya kemampuan untuk merumuskan kebijakan untuk dapat memanfaatkan
potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemajuan daerah serta bagi peningkatan kemakmuran
maupun kesejahteraan rakyat di daerahnya. Kedua, lemahnya kemampuan aparat daerah
untuk mengimplementasikan kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat itu. Ketiga, kurang tersedianya personil dalam bidang keuangan, teknik,
kesehatan, pendidikan maupun dalam bidang lainnya seperti pertanian dan perikanan. Ahli
keuangan diperlukan untuk dapat mengelola keuangan daerah, meningkatkan penerimaan,
menghemat dan mengefektifkan pengeluaran anggaran serta mengelola hutang. Diperlukan
8 Pada tahun 2000, Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari Republik Indonesia untuk menjadi negara yang berdiri sendiri.

9
ahli teknik untuk memelihara dan membangun prasana ekonomi. Diperlukan dokter dan
perawat untuk mengelola Puskesmas dan rumah sakit. Guru yang bermutu diperlukan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Sebaliknya dari pihak Pemerintah Pusat, ada keengganan untuk melimpahkan urusan
dan kewenangan kepada Pemda. Walaupun kewenangan sudah dilimpahkan kepada Pemda
(seperti pendidikan, kesehatan dan pemeliharaan serta pembangunan infrastruktur), dana
dekonsentrasi masih dikuasai oleh departemen/kementerian pusat dan belum dilimpahkan
kepada Pemda dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Padahal kontrol penggunaan anggaran
Dana Dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus itu sudah ditetapkan melalui penetapan SPM
(Standar Pelayanan Minimum).
Kekuasaan untuk memungut pajak di Indonesia adalah terutama berada pada
Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, penerimaan negara dari sumber terpenting (pajak
pendapatan, pajak pertambahan nilai, royalti dari eksploitasi sumber daya alam serta pajak
atas bumi dan bangunan) dipungut oleh Pemerintah Pusat. Sebagian dari penerimaan pajak
tersebut (seperti PBB dan royalti dari eksploitasi SDA) dikembalikan kepada daerah asal
pemungutannya. Akibatnya, sumber pendapatan Pemda sangat tergantung kepada transfer
dari Pemerintah Pusat dan peranan Pendapatan Asli Daerah sangat terbatas.
Untuk mengatasi berbagai masalah yang masih dihadapi oleh Pemda diperlukan
kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat, Pemda serta DPR/DPRD. Pemerintah Pusat
(khususnya Departemen Dalam Negeri dan Depkeu) perlu menetapkan enam langkah
kebijakan. Pertama, menyusun pedoman pelaksanaan sistem akuntansi yang sesuai dengan
Paket UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dan Standar Akuntansi Pemerintahan Tahun
2005. Kedua, menyusun petunjuk pembuatan APBD bagi Pemda untuk merasionalisasi
pembelanjaan dan menghindarkan pemborosan dan pembangunan proyek-proyek mercusuar
yang tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi rakyat.
Ketiga, membantu Pemda untuk membangun dan meningkatkan kapasitasnya dalam
pembuatan rencana pembangunan dan melaksanakannya. Keempat, memanfaatkan satelit
komunikasi Palapa untuk menciptakan sistem teknologi informasi yang terpadu dan
kompatibel antara satu dengan lainnya. Keempat, memindahkan tenaga akuntan terdidik dari
BPKP ke Pemda untuk dapat mengatasi kelangkaan tenaga pembukuan. Keenam,
memperlancar realisasi anggaran, baik Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi
Umum dan Dana Alokasi Khusus) maupun Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam
kaitan ini, departemen/kementerian negara seyogyanya segera menyerahkan penggunaan
Dana Alokasi Khusus kepada Pemda.

10
Pemerintah Daerah sendiri perlu mengambil setidaknya empat tindakan bagi
peningkatkan kemampuan institusionalnya. Pertama, meningkatkan kualitas pejabat daerah
agar mampu mengidentifikasikan potensi daerah dan menyusun perencanaan serta
menetapkan kebijakan pembangunan maupun dalam melaksanakan kebijakan serta rencana
pembangunan tersebut. Universitas daerah dapat dimanfaatkan untuk keperluan itu. Kedua,
peningkatan SDM bukan saja mendirikan bangunan fisik gedung sekolah dan rumah sakit.
Peningkatan SDM juga termasuk penyuluhan bagi petani, pengrajin, nelayan, dan UKM agar
mampu memanfaatkan globalisasi perekonomian. Pemda harus dapat menyediakan pelayanan
umum sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan. Ketiga, meningkatkan kualitas governance
dan iklim usaha di daerah agar dapat merangsang penanaman modal swasta untuk
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi serta ekspor, maupun alih teknologi.
Keempat, meningkatkan infrastruktur perekonomian daerah, khususnya di pedesaan untuk
memperlancar pemasaran produksi rakyat.
6. Peranan DPR dan DPRD untuk menindaklajuti temuan BPK
Peranan DPR dan DPRD perlu ditingkatkan untuk dapat mewujudkan transparansi
dan akuntabilitas keuangan negara maupun untuk membangun kemampuan institusional
Pemda. Peranan DPR itu, disatu pihak, dapat dilakukan dengan melakukan sinkronisasi
undang-undang agar jangan bertentangan antara satu dengan lainnya. Contoh pertentangan
antara undang-undang itu adalah UU Perpajakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan
Paket tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Di lain pihak, peranan DPR dan DPRD
dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas fiskal juga dapat diwujudkan melalui
tindak lanjut temuan BPK untuk menyempurnakan sistem pengendalian internal keuangan
negara.
Untuk dapat menindaklanjuti perbaikan kelemahan mendasar administrasi keuangan
negara dan daerah tersebut, BPK telah menyarankan kepada DPR dan DPRD untuk dapat
membentuk suatu Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Di parlemen negara asing PAP itu
disebut sebagai Public Account Committee (PAC). Di negara lain itu, PAP diketuai oleh
anggota DPR dan DPRD dari partai oposisi untuk menjaga check and balance. PAP
merupakan perwujudan dari kekuasaan DPR dan DPRD sebagai pemegang hak bujet. DPR
dan DPRD di Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran untuk membahas rencana anggaran
negara tingkat pusat dan daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisi-komisi yang
mengawasi penggunaan anggaran dan kinerja sektoral departemen teknis. Namun, DPR dan
DPRD kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan RAPBN dan RAPBD secara

11
keseluruhan. Misalnya, tidak pernah dilakukan pengecekan oleh DPR dan DPRD bagaimana
suatu instansi negara membelanjai dirinya, berapa dari sumber APBN/APBD dan berapa dari
sumber lainnya.
DPR, DPRD dan pemerintah seyogyanya dapat melakukan restrukturalisasi berbagai
organisasi badan layanan umum setelah era reformasi. Otonomi daerah yang menyerahkan
pengurusan sekolah dasar dan menengah, rumah sakit, dan sebagian dari infrastruktur kepada
daerah menuntut cara pengorganisasian dan pembelanjaan yang berbeda daripada pada masa
pemerintahan yang sentralistis di masa lalu. Sementara itu, dasar pemungutan PNBP dari segi
tarifnya, cara penyimpanan serta penggunaannya perlu diatur dan diawasi oleh DPR dan
DPRD agar tidak menjadi liar seperti Pungutan Departemen Kelautan dan Perikanan serta
pungutan Mahkamah Agung yang terjadi dewasa ini. Pada hakikatnya, PNBP merupakan
user charge atau pungutan biaya penggunaan jasa publik yang jelas dapat diidentikasikan
konsumennya.

23
Tabel 1. DAFTAR REKAPITULASI OPINI LKPD 2006
OPINI ENTITAS YANG SEHARUSNYA DIPERIKSANO PROVINSI Provinsi Kab/Kota Jumlah
LHP SELESAI WTP WDP TMP TW TOTAL
1 NAD 1 22 23 21 0 19 2 0 212 Sumatera Utara 1 25 26 4 0 1 3 0 43 Sumatera Barat 1 19 20 6 0 4 2 0 64 Riau 1 11 12 6 0 6 0 0 65 Kep. Riau 1 6 7 7 0 4 3 0 76 Bangka Belitung 1 7 8 7 0 7 0 0 77 Sumatera Selatan 1 14 15 11 0 11 0 0 118 Jambi 1 10 11 5 0 5 0 0 59 Bengkulu 1 9 10 4 0 3 1 0 4
10 Lampung 1 10 11 11 0 11 0 0 1111 DKI Jakarta 1 0 1 1 0 1 0 0 112 Banten 1 6 7 7 0 7 0 0 713 Jawa Barat 1 25 26 26 0 26 0 0 2614 Jawa Tengah 1 35 36 36 0 35 0 1 3615 DI Yogyakarta 1 5 6 6 0 4 1 1 616 Jawa Timur 1 38 39 37 1 31 0 5 3717 Bali 1 9 10 10 0 10 0 0 1018 NTB 1 9 10 6 0 6 0 0 619 NTT 1 16 17 5 0 4 1 0 520 Kalimantan Barat 1 12 13 13 2 7 3 1 1321 Kalimantan Selatan 1 13 14 12 1 8 1 2 1222 Kalimantan Timur 1 14 15 12 0 0 11 1 1223 Kalimantan Tengah 1 14 15 8 0 6 1 1 8

24
24 Sulawesi Selatan 1 23 24 20 0 19 1 0 2025 Sulawesi Tengah 1 10 11 6 0 5 1 0 626 Sulawesi Tenggara 1 11 12 11 0 10 1 0 1127 Sulawesi Utara 1 9 10 10 0 4 5 1 1028 Sulawesi Barat 1 5 6 3 0 2 1 0 329 Gorontalo 1 5 6 6 0 6 0 0 630 Maluku 1 8 9 3 0 1 2 0 331 Maluku Utara 1 8 9 9 0 4 5 0 932 Papua 1 20 21 7 0 0 1 6 733 Irian Jaya Barat 1 9 10 3 0 2 1 0 3
Jumlah 33 437 470 339 4 269 47 19 339 WTP WDP TMP TW TOTAL 4 269 47 19 339 1% 79% 14% 19% 100%

25
LKPD
Gambar 1

1
BPK dan Transparansi Fiskal
Tuntutan masyarakat untuk melakukan reformasi sistem sosial, politik, dan
ekonomi guna mewujudkan demokrasi telah mengubah sistem dan struktur pemerintahan
Indonesia. Sementara itu, tuntutan untuk mengikis KKN memerlukan peningkatan
transparansi fiskal atau pengelolaan maupun pertanggungjawaban keuangan negara.
Transparansi fiskal merupakan komponen utama dari upaya penciptaan clean government
dan good governance. Sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara, BPK RI sangat
berperan dalam mewujudkan transparansi fiskal itu.
Tuntutan reformasi tersebut telah diwujudkan dalam bentuk rangkaian perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan perangkat hukum lain, perubahan kebijakan
pemerintah maupun perubahan mendasar dalam hal pengelolaan keuangan negara.
Perubahan dalam sistem dan struktur pemerintahan antara lain tercermin dari perluasan
otonomi daerah dan pembagian hak serta tanggung jawab antartingkat pemerintahan.
Salah satu perubahan mendasar dalam hal pengelolaan keuangan negara adalah diaturnya
kembali perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah.
Perubahan sistem pemerintahan sekaligus mengubah lembaga negara. Salah satu
perubahan dalam bidang ini adalah dengan menciptakan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) dan menata ulang fungsi serta peranan MPR. Anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum. Sementara itu, MPR kini terdiri dari anggota DPR dan
DPD, tidak lagi memilih presiden dan wakil presiden serta tidak lagi menetapkan Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada masa lalu GBHN menjadi dasar penyusunan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang merupakan program pemerintah.
Dewasa ini, program pemerintah itu disusun berdasarkan platform presiden yang
langsung dipilih oleh rakyat.
Fungsi dan kedudukan BPK
Dalam suatu negara demokratis, sektor pemerintah dipisahkan dengan tegas dari
sektor negara maupun dari perekonomian secara keseluruhan. Kebijakan maupun fungsi
manajemen dalam sektor negara harus dibuat transparan dan terbuka luas secara umum.

2
Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia dewasa ini, UUD 1945 menciptakan
BPK sebagai lembaga tinggi negara dengan tugas pokok melakukan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, baik berupa stok asetnya maupun
transaksi dalam membelanjai kegiatannya. BPK memeriksa keuangan negara di semua
lapisan tingkat pemerintahan di Indonesia.
Perubahan ketiga dari UUD 1945 menempatkan BPK dalam suatu bab tersendiri
yang tadinya hanya disebut dalam ayat (5) Pasal 23 dalam UUD 1945 versi semula.
Kedudukan, tugas, organisasi, dan cara pemilihan anggota BPK juga lebih jelas diatur
dalam perubahan UUD 1945 yang ketiga itu. Untuk dapat melaksanakan tugasnya, Pasal
23 G, ayat 1 UUD 1945 menyebut bahwa, "BPK berkedudukan di ibu kota negara, dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi." Dengan demikian, kedudukan maupun peranan
BPK dalam mewujudkan transparansi fiskal dan menciptakan clean government dan good
governance di Indonesia menjadi lebih jelas dan kokoh dalam perubahan UUD 1945
yang ketiga itu.
Tujuan pemeriksaan oleh BPK adalah untuk memelihara transparansi fiskal guna
menciptakan clean government dan good governance. Elemen pokok transparansi fiskal
itu berupa integritas ataupun kebenaran laporan keuangan negara. Dalam pergaulan dunia
internasional, standar akuntansi sektor negara disusun oleh the Public Sector Committee
of the International Federation of Accountants (IFACPSC). Sementara itu, organisasi
internasional lembaga tinggi yang melakukan pemeriksaan atau audit keuangan negara
(INTOSAI-the International Organization of Supreme Audit Institutions) telah menyusun
standar pemeriksaan keuangan negara. Standar yang disusun oleh kedua organisasi
internasional, serta standar yang disusun oleh Dana Moneter Internasional (IMF),
dianggap the best practices yang menjadi acuan dunia.
Dilihat dari sudut ilmu manajemen, pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan
oleh BPK merupakan mata rantai dari siklus perencanaan nasional jangka panjang
maupun siklus anggaran tahunan. Dalam kaitan ini, Pasal 23E ayat (2) perubahan ketiga
UUD 1945 mengamanatkan agar BPK dapat menyerahkan hasil pemeriksaannya secara
tepat waktu kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya masing-
masing. Amanat UUD 1945 tersebut diterjemahkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 yang
menugaskan BPK agar dapat menyampaikan laporan keuangan Pemerintah Pusat dan

3
daerah kepada DPR dan DPRD selambat-lambatnya enam bulan setelah berakhirnya
tahun anggaran.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, BPK menyusun laporan tertulis atas hasil
pemeriksaannya. Laporan pemeriksaan itu hendaknya bersifat independen, objektif, adil,
dan konstruktif. Suatu laporan bersifat membangun jika diikuti dengan saran-saran
perbaikan atas temuan-temuan kekurangan maupun penyimpangan yang ada. Pasal 23E
UUD 1945 mengamanatkan agar hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti oleh lembaga-
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Isi laporan BPK itu
sekaligus merupakan penilaian atas proyeksi fiskal maupun ekonomi makro yang menjadi
dasar penyusunan anggaran negara.
Agar dapat memberikan opini yang adil dan objektif, perubahan ketiga UUD 1945
menetapkan BPK sebagai suatu lembaga independen yang bebas dan mandiri (Pasal 23 F
ayat 1). Ayat (2) pasal 23 F itu kemudian mengatur bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR
dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh presiden. Pimpinan BPK
dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri.
Namun, masa jabatan dan cara pemberhentian anggota BPK masih perlu diatur
dalam undang-undang tersendiri. Undang-undang tersendiri mengenai BPK itu
diharapkan akan sekaligus mengatur lebih rinci mengenai tugas, kewenangan, dan
akuntabilitas BPK. Termasuk di dalamnya menyangkut pengaturan tentang esensi
independensi BPK dalam hal anggaran, perlindungan hukum serta hubungan maupun
cara penyelesaian konflik dengan instansi pemerintahan lainnya.
Independensi BPK bukan berarti ia tidak akuntabel, dapat berjalan sendiri tanpa
kendali maupun pengawasan dari lembaga lain. Apakah dalam hal kebijakan maupun
anggaran. Yang dimaksud dengan independensi BPK hanya menyangkut hubungan
kerjanya dengan instansi pemerintah lainnya, terutama oleh penyampaian opini maupun
saran-saran korektif atas hasil temuan pemeriksaannya.
Makna pemeriksaan keuangan oleh BPK
Tugas pemeriksaan keuangan negara oleh BPK mempunyai dua makna yang
saling berkaitan. Di satu pihak, tugas tersebut dapat diartikan sebagai pemeriksaan untuk
mengetahui posisi ataupun nilai kekayaan negara pada suatu titik waktu tertentu. Di lain

4
pihak, pemeriksaan itu sekaligus menyangkut arus anggaran penerimaan maupun
pengeluaran negara (APBN) dalam suatu kurun periode waktu tertentu.
Pemeriksaan terhadap APBN dilakukan menyangkut sumber penerimaan maupun
arah pengeluarannya, termasuk pembelanjaan defisit serta penempatan surplus anggaran.
Defisit anggaran dibelanjai dari kombinasi antara penggunaan rekening pemerintah yang
ada pada Bank Indonesia (BI) maupun bank umum dengan penjualan aset negara
(termasuk privatisasi BUMN serta divestasi aset Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) dan
meminjam dari sumber dalam maupun luar negeri dengan mengeluarkan Surat Utang
Negara (SUN). Dengan kata lain, defisit APBN dapat menambah stok utang negara
maupun mengurangi stok kekayaannya. Sebaliknya, surplus anggaran dapat mengurangi
stok utang negara maupun menambah stok kekayaannya.
Kedua bentuk pemeriksaan keuangan negara oleh BPK di atas merupakan bagian
dari penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean government) dengan sistem,
proses maupun perangkat aturan yang baik. Good governance dapat diciptakan jika ada
pengaturan yang jelas antar berbagai pihak yang terkait.
Penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan tertib itu menuntut adanya
transparansi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Pemerintahan yang bersih dan
tertib tersebut akan mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme, termasuk
kriminalitas berupa insider trading dan transaksi jual beli surat utang negara maupun
surat berharga BI. Pihak terkait bukan saja terdiri dari rakyat (berupa pembayar pajak
maupun bukan wajib pajak), lembaga-lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD),
serta Pemerintah Pusat, dan pemerintah daerah.
Termasuk stakeholders adalah negara donor, lembaga keuangan internasional
pemberi bantuan maupun pinjaman, dan investor dalam negeri serta asing yang membeli
SUN. Pada masa Orde Baru, pinjaman pemerintah hanya bersumber dari pinjaman lunak
(ODA-Official Development Aid) melalui IGGI/CGI yang merupakan konsorsium negara-
negara donor. Dalam masa orba itu, pinjaman luar negeri itu disebut sebagai penerimaan
pembangunan. Sebagian dari pengeluaran pembangunan itu pada hakikatnya merupakan
pengeluaran rutin, seperti honorarium petugas proyek maupun biaya perjalanannya.
Transparansi fiskal menjadi semakin penting setelah berakhirnya program IMF.
Karena tidak lagi tersedia fasilitas penjadwalan kembali pinjaman luar negeri melalui

5
Paris Club maupun pinjaman baru setidaknya dari IMF, Indonesia kini semakin
bergantung kepada penjualan aktiva negara maupun SUN untuk menutup defisit APBN.
SUN dan obligasi luar negeri pemerintah yang ada dewasa ini mengandung syarat-syarat
komersial.
Sebagian besar dari SUN yang dijual di pasar dalam negeri merupakan obligasi
pemerintah yang dipergunakan untuk merekapitalisasi bank-bank nasional, baik berupa
bank negara, bank pembangunan daerah, maupun bank swasta. Keberhasilan pemerintah
melakukan privatisasi BUMN/BUMND dan menjual SUN, apakah di pasar dalam negeri
maupun di pasar keuangan internasional, sangat bergantung kepada integritas maupun
ketepatan waktu laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah sendiri. Berbeda
dengan APBN pada masa Orde Baru, penerimaan dari hasil penjualan SUN sekarang ini
dibukukan sebagai utang pemerintah.
Transparansi fiskal
Transparansi fiskal menekankan pada keterbukaan informasi mengenai struktur dan
fungsi pemerintah, sasaran kebijakan fiskal, posisi keuangan sektor negara maupun
proyeksi fiskal. Pada hakikatnya, transparansi fiskal mengandung empat elemen dasar
pokok.
Elemen dasar pertama adanya kejelasan peranan serta tanggung jawab lembaga
negara. Dalam kaitan ini, termasuk kejelasan pembagian tugas, kewenangan, maupun
tanggung jawab semua cabang pemerintah, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Kejelasan pengaturan itu juga mencakup mekanisme koordinasi dan manajemen kegiatan
anggaran maupun nonanggaran. Hal yang sama juga berlaku bagi hubungan antara
pemerintah dengan institusi negara nonpemerintah lainnya, seperti BI, Bulog, BUMN,
dan BUMND.
Keterlibatan pemerintah dalam kegiatan usaha, baik sebagai regulator maupun
sebagai pemilik, hendaknya dilakukan secara terbuka, berdasarkan aturan maupun
prosedur yang jelas yang berlaku secara umum tanpa diskriminasi sehingga dapat
dihindarkan praktik monopoli dan oligopoli maupun persaingan pasar yang kurang sehat.
Perlu diketahui sekali lagi bahwa transparansi fiskal memerlukan dasar hukum
maupun kerangka administratif pengelolaan keuangan negara yang jelas. Komitmen yang

6
menyangkut pengeluaran negara hendaknya diatur dalam aturan anggaran dan aturan
administratifnya terbuka lebar bagi masyarakat luas. Pajak, bea, maupun berbagai jenis
pungutan oleh pemerintah harus didasarkan atas peraturan yang jelas. Undang-Undang
Pajak maupun peraturan yang menjadi dasar pungutan pemerintah itu harus terbuka luas
bagi masyarakat, mudah dipahami, dan mudah diterapkan. Standar kode etik pegawai
negeri perlu diumumkan kepada masyarakat dan diawasi penerapannya.
Elemen dasar kedua transparansi fiskal menuntut adanya keterbukaan informasi
kepada masyarakat luas, baik berupa kegiatan di masa lalu, pada saat sekarang, maupun
mengenai rencana ke depan. Dokumentasi anggaran, neraca, maupun laporan lainnya
mengenai keuangan negara harus terbuka untuk umum dan mencakup transaksi anggaran
resmi maupun kegiatan nonbujeter terkonsolidasi. Termasuk di dalam dokumen laporan
itu kewajiban kontijensi, pajak terselubung, maupun kegiatan kuasi fiskal, posisi utang
serta kekayaan negara.
Elemen dasar ketiga transparansi fiskal adalah adanya keterbukaan informasi
dalam proses penyusunan anggaran maupun pelaksanaan serta pelaporannya. APBN
tahunan hendaknya disiapkan dan dipresentasikan dalam kerangka asumsi perkiraan
besaran model ekonomi makro yang komprehensif dan konsisten. Asumsi ekonomi
makro itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen APBN tersebut. UU
No. 17 tahun 2003 menetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN/APBD
setidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan
atas laporan keuangan yang disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintah.
Pasal 11 Ayat (5) dan Pasal 15 Ayat (5) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara memuat format APBN sesuai dengan format yang berlaku secara internasional
(seperti Government Financial Statistics) yang disusun IMF dan sangat berbeda dengan
format APBN era orde baru. Format APBN versi UU No. 17 tahun 2003 itu lebih
transparan karena data anggaran disusun secara terpadu dan dilaporkan atas dasar gross
basis dengan membedakan antara penerimaan dengan pengeluaran serta pembelanjaan
defisit anggaran. Pasal 11 Ayat (5) UU No. 17 tahun 2003 membagi mata anggaran
pengeluaran negara berdasarkan kelompok ekonomi, fungsional maupun kelompok
administratif. Menurut rincian jenisnya secara ekonomi, belanja negara dirinci antara lain

7
terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga utang, subsidi, hibah,
bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Menurut fungsi, belanja negara digolongkan dalam (1) pelayanan umum, (2)
pertahanan, (3) ketertiban, keamanan dan hukum, (4) ekonomi, (5) perlindungan
lingkungan hidup, (6) perumahan dan pemukiman, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan
budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial.
Secara administratif atau organisasi, belanja negara dibedakan antara belanja
Pemerintah Pusat dan belanja pemerintah daerah. Anggaran belanja Pemerintah Pusat
disesuaikan dengan susunan kementerian negara maupun lembaga negara. Anggaran
nonbujeter dilaporkan bersama dengan dokumen anggaran resmi dengan mengikuti
pengelompokan yang sama. Format baru itu diharapkan akan dapat diimplementasikan
mulai tahun anggaran 2005. Format baru berdasarkan UU No. 17 tahun 2003 belum dapat
menggolongkan pengeluaran anggaran berdasarkan kinerja.
Dalam APBN masa lalu, anggaran nonbujeter terdiri dari berbagai sumber dan
tidak dapat dilaporkan serta dipertanggungjawabkan kepada DPR. Artinya, ada bagian
dari anggaran negara yang tidak mendapatkan persetujuan maupun pengawasan DPR.
Akibatnya, DPR tidak sepenuhnya menjalankan hak bujetnya seperti yang diamanatkan
dalam Pasal 23 UUD 1945. Anggaran nonbujeter yang tidak dikonsolidasikan sekaligus
menyulitkan penilaian ongkos atau biaya yang sebenarnya atas kegiatan satuan kerja
pemerintah. Sumber-sumber anggaran nonbujeter dalam APBN orde baru termasuk kredit
program bank-bank negara, kredit dari BI untuk menutup gagal bayar PN Pertamina
tahun 1970-an, Bulog, BUMN serta berbagai yayasan milik instansi resmi.
Implementasi anggaran dilaporkan secara periodik, secara kuartalan maupun
pertengahan tahun. Pertanggungjawaban realisasi anggaran dilakukan pada setiap akhir
tahun. Publikasi mengenai informasi keuangan negara harus dapat dibuat tepat waktu,
dan publikasi dibuat secara resmi, sehingga merupakan dokumen resmi yang mengikat
bagi pemerintah.
Elemen dasar keempat transparansi fiskal adalah menyangkut kebenaran ataupun
integritas keuangan negara. Data anggaran mencerminkan proyeksi penerimaan dan
pengeluaran negara yang disusun berdasarkan asumsi perkembangan ekonomi makro
tertentu untuk mewujudkan komitmen kebijakan pemerintah yang tertentu pula.

8
Kebenaran data yang dimuat dalam dokumen anggaran perlu dipelihara dan disusun
berdasarkan standar akuntansi baku dan perlu diperiksa konsistensi internalnya dan
direkonsiliasikan dengan data dari sumber lainnya. Pada akhirnya, kebenaran dan
konsistensi data anggaran itu diaudit oleh BPK.

1
dan Pembangunan Sistem Sosial Indonesia1
1. Pendahuluan
Dalam era reformasi, sejak delapan tahun terakhir, Bangsa Indonesia tengah
menghadapi lima bentuk tantangan berat yang sangat mengganggu kehidupan sosialnya.
Tantangan pertama yang dihadapi dewasa ini adalah untuk membangun kembali
fundamental perekonomian nasional yang telah mengalami krisis pada tahun 1997-1998
yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Tantangan kedua adalah menyiapkan
perekonomian dan badan usaha nasional agar dapat memanfaatkan globalisasi dan
mencegah dampak negatifnya. Tantangan ketiga adalah untuk menumbuhkan demokrasi
politik. Tantangan keempat adalah menyukseskan otonomi daerah bagi peningkatan
kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Tantangan kelima adalah mengatasi
rangkaian konflik di berbagai daerah dan merajut kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Seperti lembaga-lembaga negara
lainnya, BPK juga diharapkan dapat berperan aktif dalam mengatasi berbagai tantangan
tersebut.
2. Lima tantangan sosial
Krisis ekonomi yang terjadi de1apan tahun yang lalu salah satunya adalah karena
lemahnya fundamental perekonomian nasional kita. Pada gilirannya, fundamental
perekonomian nasional menjadi rapuh karena kurang baiknya sistem hukum maupun
sistem akuntansi kita. Akibatnya laporan keuangan negara maupun badan usaha kita
tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui dan mengantisipasi keadaan dan
menjadi dasar bagi pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang tidak dapat
dipercaya, serta sistem hukum yang tidak menjamin adanya kepastian, telah
menyebabkan terjadinya distorsi informasi sehingga meningkatkan biaya transaksi dan
mengurangi efisiensi pasar dalam perekonomian nasional. Kelemahan fundamental 1 Makalah untuk “Rapat Koordinasi Nasional Pimpinan FPPP (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) DPR-RI, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pimpinan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota” di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Selasa, 18 Juli 2006.

2
perekonomian nasional seperti inilah yang merupakan tantangan pertama pada sistem
sosial kita. Dalam pepatah kita sendiri, transparansi informasi pasar yang distortif atau
asimetris seperti itu diumpamakan sebagai “beli kucing dalam karung”. Dari suaranya,
pembeli tahu bahwa isi karung itu adalah benar-benar kucing, tapi ia tidak tahu
bagaimana kualitasnya, apakah kucing kurap atau kucing anggora. Kondisi pasar yang
kurang baik seperti itu menyebabkan mahalnya biaya dalam melakukan transaksi
perekonomian di Indonesia. Pada gilirannya, biaya transaksi yang mahal menyebabkan
produk Indonesia tidak mampu menyaingi produk asing dan membuat Indonesia tidak
menarik bagi investasi modal swasta. Di tengah keterbatasan anggaran negara dewasa ini,
peningkatan ekspor dan investasi swasta sangat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi
nasional maupun bagi penciptaan lapangan kerja.
Tantangan kedua adalah menyiapkan perekonomian nasional serta badan usaha
maupun para pelaku ekonomi lainnya agar dapat memanfaatkan globalisasi bagi
kepentingan nasional kita sendiri dan mencegah dampak negatifnya. Atas prakarsa kita
sendiri maupun untuk memenuhi komitmen intemasional dalam pergaulan dunia, semua
aspek perekonomian nasional telah semakin kita buka dan diintegrasikan dengan pasar
global. Dewasa ini, pasar barang dan jasa maupun pasar faktor-faktor produksi kita telah
semakin terbuka dan terintegrasi dengan pasar yang sama di luar negeri. Pemuda dan
pemudi dari daerah pedesaan Indonesia telah banyak yang merantau dan mencari
pekerjaan di seluruh pelosok dunia. Sebagaimana telah kita alami sendiri, selain
mendatangkan manfaat, integrasi dengan pasar dunia itu juga dapat menimbulkan
malapetaka yang sangat dahsyat. Arus balik aliran modal jangka pendek ke luar negeri
yang terjadi pada tahun 1997 telah memicu krisis perekonomian kita.
Tantangan ketiga adalah merubah sistem politik kita dari sistem otoriter masa
pemerintahan Orde Baru ke sistem politik yang lebih demokratis. Demokrasi politik
bukan saja menuntut adanya kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat, tapi juga
untuk mendirikan organisasi maupun partai politik. Demokrasi pun bukanlah sekedar
menyelenggarakan pemilihan umum secara reguler dengan jujur serta adil. Demokrasi
politik itu sekaligus menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas pada pengelolaan
aset negara maupun pada kedua sisi neraca keuangan negara, sisi penerimaan maupun
sisi pengeluarannya dan stok hutang maupun piutangnya. Kesadaran masyarakat untuk

3
membayar pajak dan retribusi tidak mungkin dapat ditingkatkan kalau tidak ada
transparansi dan akuntabilitas keuangan negara itu. Masyarakat enggan membayar pajak
jika hasil pemungutan pajak itu temyata dikorupsikan atau digunakan untuk menutup
kerugian usaha para konglomerat hitam dan bukan untuk meningkatkan kemakmuran
bersama ataupun mengoreksi ketimpangan ekonomi.
Tantangan keempat bangsa kita adalah beralih dari sistem pemerintahan yang
tadinya sentralistis kepada sistem yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada
kabupaten/kota dan kotamadya. Tujuan utama dari pemberian otonomi daerah itu adalah
untuk meningkatkan pelayanan publik kepada rakyat sendiri. Pemerintah daerah yang
lebih dekat dengan rakyat dianggap lebih mengetahui preferensi, selera dan kebutuhan
masyarakat kita yang heterogen, majemuk atau bhinneka, baik dari segi suku, bahasa,
agama, adat istiadat, budaya, perilaku maupun temperamennya. Kedekatan jarak tempuh
mengurangi biaya penyediaan pelayanan publik kepada warga masyarakat. Di negara
Republik Indonesia yang luas dan terdiri dari ribuan pulau-pulau, kebhinnekaan itu
tercermin dari keragaman lokasi, iklim, kandungan sumber daya alam maupun struktur,
bentuk. serta kesuburan tanahnya. Melalui otonomi, Pemda diharapkan dapat
mengeksploitir potensi daerah yang dipimpinnya bagi kemakmuran ekonomi rakyat di
daerah itu sendiri maupun bagi kemakmuran rakyat di seluruh nusantara.
Tantangan kelima adalah mengatasi rangkaian konflik bersenjata yang telah
melanda berbagai daerah guna memelihara ketertiban dan keamanan nasional serta
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945. Gangguan ketertiban dan keamanan telah menimbulkan dampak negatif pada
kegiatan sosial masyarakat termasuk pada kegiatan ekonominya. Beban ekonomi
rangkaian konflik bersenjata itu sudah semakin terasa peningkatan pada anggaran negara
kita dan perekonomian nasional. Semakin besarnya porsi pengeluaran negara yang
diperlukan bagi keperluan pemeliharaan ketertiban dan keamanan, semakin kecil porsi
anggaran yang tersedia bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Kemakmuran ekonomi
rakyat hanya dapat ditingkatkan melalui pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur
perekonomian dan peningkatan SDM atau sumber daya manusia. Pada gilirannya, SDM
dapat ditingkatkan melalui pemeliharaan kesehatan masyarakat, pendidikan serta
peningkatan etos kerjanya. Rangkaian konflik bersenjata yang terjadi dewasa ini

4
sekaligus telah melemahkan kekuatan ekonomi kita sendiri dan potensi pertumbuhannya
karena telah kita rusak sendiri dalam kancah perang saudara itu.
3. Peranan BPK dalam merajut kembali sistem sosial RI
Seperti lembaga pemerintahan lainnya, BPK diharapkan dapat berperan dalam
pemecahan kelima masalah di atas guna menata kembali kehidupan sosial kita.
Sebagaimana diketahui, BPK diberikan mandat oleh konstitusi untuk memeriksa
pengelo1aan dan tanggung jawab setiap sen uang negara dari manapun asalnya dan di
manapun disimpan serta dipergunakan. Tujuan pokok dari pemeriksaan oleh BPK
tersebut adalah mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Selain
memudahkan lembaga-lembaga perwakilan rakyat menjalankan hak bujetnya,
transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sekaligus menguatkan fundamental
ekonomi nasional serta dunia usaha kita, terutama BUMN dan BUMD. Transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara juga merupakan kunci untuk meniadakan rasa cemburu
maupun kecurigaan yang tidak berdasar antar sesama kita sendiri.
Untuk dapat menjawab tantangan yang pertama, BPK diharapkan dapat
memperbaiki kelemahan sistem akuntansi sektor negara kita, termasuk BUMN dan
BUMD. Rangkaian krisis ekonomi Indonesia, termasuk krisis tahun 1997-1998,
memberikan pelajaran bagi kita bahwa selain memperbaiki mutu pemeriksaannya, BPK
juga dituntut untuk melakukan audit konsolidasi. Mutu pemeriksaan BPK akan terus kita
tingkatkan dengan peningkatkan audit investigasi maupun fraud audit untuk memperoleh
gambaran kondisi keuangan yang lebih akurat. Rangkaian krisis ekonomi itu sekaligus
mencerminkan akan pentingnya untuk melakukan audit konsolidasi. Alasannya adalah
karena transaksi keuangan sektor negara kita bukan saja tercermin dalam APBN dan
APBD. Negara kita juga memiliki anggaran nonbujeter, BUMN dan BUMD dengan
dana pensiun karyawannya. Pada gilirannya, hampir setiap instansi memiliki yayasan
dan adakalanya koperasi serta badan usahanya sendiri-sendiri. Demikian pula dengan
BUMN/BUMD yang memiliki satelitnya sendiri-sendiri pula. Pada waktu krisis 1997-
1998, kerugian BUMN/BUMD dan satelitnya telah dialihkan sebagai contingent
liabilities keuangan negara. Hutang negara meningkat sebesar 50% terhadap PDB pada
tahun 1998-1999 adalah dipergunakan untuk menambah modal bank-bank nasional, yang

5
telah bangkrut dilanda krisis, dan menutup kerugian para nasabah kreditnya.
Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi keuangan negara yang sebenarnya,
BPK segera akan memperluas objek pemeriksaannya. Sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi, objek pemeriksaan BPK akan diperluas sehingga meliputi semua aspek aset
dan hutang serta piutang negara, penerimaan dan pengeluarannya. Penerimaan negara,
baik di tingkat pusat dan daerah, mencakup penerimaan pajak maupun penerimaan
nonpajak. Dalam kondisi ketidakseimbangan anggaran negara dewasa ini, semakin perlu
dilakukan audit penerimaan negara tersebut yang diukur sebagai rasio terhadap PDB,
masih sangat rendah di antara negara-negara yang sepadan dengan Indonesia. Tanpa
adanya peningkatan penerimaan negara dari sumber sendiri, tidak mungkin dapat
mengoreksi ketidakkeseimbangan fiskal yang terjadi dewasa ini. Tanpa adanya
peningkatan penerimaan negara, tidak mungkin dikurangi ketergantungan pembelanjaan
kegiatan negara pada hutang. Baik hutang dari sumber dalam maupun dari luar negeri.
Perlu juga dilakukan audit tentang sumber, arah penggunaan dan stok hutang negara
yang semakin meningkat dan membebani msyarakat.
Perbaikan fundamental ekonomi melalui perbaikan sistem akuntansi dan sistem
hukum nasional sekaligus merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan efisiensi
perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan efisiensi seperti ini akan
memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita mampu berperan dalam era
globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun pasar dunia. Cita-cita kita adalah
bagaimana membuat PT Bank Mandiri ataupun BPD setidaknya dapat menyamai
Development Bank of Singapore (DSB) yang mampu bersaing di pasar regional maupun
intemasional. Tentunya kita ingin melihat perusahaan penerbangan kita, PT Garuda
Indonesia, mampu bersaing dengan Silk Air, jika belum mampu menyaingi Singapore
Airlines.
Perbaikan sistem akuntansi pemerintahan sekaligus menjawab tantangan ketiga.
Laporan keuangan negara yang transparan dan akuntabel yang disajikan tepat waktu
dapat meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak dan melunasi kewajiban
lainnya kepada negara. Laporan keuangan yang baik itu sekaligus meningkatkan
kepercayaan negara donor untuk memberikan pinjaman, keringanan pembayaran utang
dan hibah bagi pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah. Laporan yang sama

6
meningkatkan rating pemerintah di pasar keuangan nasional dan intemasional sehingga
menambah kepercayaan pemodal untuk membeli obligasi negara maupun obligasi
Pemda. Sistem akuntansi dan sistem hukum yang handal dan terpercaya sekaligus
meniadakan keraguan pemodal untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara memberikan peranan penting bagi BPK untuk ikut
menyukseskan otonomi daerah yang menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan
kepada kabupaten/kota dan kotamadya. Undang-Undang tersebut menugaskan BPK
melakukan pemeriksaan dan pengawasan pengelolaan serta tanggung jawab keuangan
Pemda dan menyerahkan laporan auditnya kepada DPRD Kabupaten/Kota setempat.
Dalam kaitan tugasnya mengaudit keuangan Pemda Tingkat II, BPK yang
sentralistis sekaligus berperan sebagai perekat dalam memelihara keutuhan NKRI dan
melakukan audit konsolidasi guna memelihara kesehatan kondisi keuangan negara kita.
Penegakan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara meniadakan ketidakadilan,
kecurigaan ataupun rasa cemburu antara sesama bangsa sendiri.
4. Bentuk, format dan jadwal laporan keuangan
Tuntuntan akan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara tercermin dalam
bentuk dan format laporan keuangan yang perlu diaudit oleh BPK dan disampaikan
kepada DPR maupun DPRD sebagai pemegang hak bujet. Ketiga undang-undang di
bidang keuangan negara tahun 20032004 dan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)
Tahun 20052 telah memperbaiki governance keuangan negara kita. Ketiga UU dan SAP
itu telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem
pembukuan berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan
dikomputerisasi serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang
oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat instansi maupun di daerah.
Bentuk laporan keuangan yang diminta oleh ketiga undang-undang mengenai
2 Ketiga Undang-Undang Keuangan tahun 2003-2004 itu adalab UU No. 17 Tabun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tabun 2004 tentang Perbendabaraan Negara dan UU No. 15 Tabun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Peraturan Pemerintab (PP) No. 24 Tahun 2005 mengatur Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

7
keuangan negara tahun 2003-2004 itu adalah jauh lebih rinci daripada laporan keuangan
masa pemerintahan Orde Baru. Laporan keuangan yang diminta oleh Pasal 30 ayat 2dan
Pasal 31 ayat 2, UU No. 17 Tahun 2003, maupun oleh Bagian Keempat UU No. 1 Tahun
2004 itu adalah lebih rinci daripada laporan keuangan pada masa sebelum berlakunya
undang-undang itu. Laporan keuangan yang disebut dalam kedua UU tersebut meliputi
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang disusun berdasarkan LRA satuan unit
pemerintahan, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan
(CALK), yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Untuk dapat merealisasi ketentuan undang-undang itu, pemerintah wajib membuat neraca
awal dan mendeklarasikan semua sumber anggarannya, termasuk hibah serta anggaran
nonbujeter maupun utang. Dengan demikian, berbeda dengan laporan sebelumnya,
laporan keuangan negara berdasarkan format sekarang ini adalah lebih rinci dan
sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas.
Jadwal pemeriksaan maupun laporan pertanggungjawaban keuangan negara dalam
ketiga UU Keuangan Negara tahun 2003-2004 juga lebih ketat daripada sebelumnya.
Pasal 30 dan 31 UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD yang telah diperiksa oleh BPK
sudah harus disampaikan kepada DPR dan DPRD selambat-lambatnya enam bulan
setelah tahun anggaran berakhir. Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK diselesaikan
selambat-lambatnya dua bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah
Pusat maupun daerah. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) berdasarkan ketiga
Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004 dan SAP Tahun 2005 sudah mulai
diterapkan pada audit APBN Tahun 2004 yang laporannya telah disampaikan kepada
DPR-RI pada 20 September 2005.
5. Reformasi BPK
Untuk dapat menghadapi berbagai tantangan pembangunan kembali sistem sosial
tersebut, diperlukan reformasi lembaga-Iembaga negara agar sesuai dengan tuntutan
demokratisasi politik, otonomi pemerintahan dan globalisasi perekonomian nasional
dalam era reformasi dewasa ini. Reformasi kelembagaan itu yang belum kita lakukan
sejak delapan tahun terakhir ini. Organisasi pemerintahan dan lembaga negara yang ada

8
masih merupakan warisan dari masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter, sentralistis
dan perekonomian yang masih belum terbuka lebar seperti masa sekarang ini.
Reformasi lembaga-lembaga negara termasuk dalam bidang pengawasan dan
pemeriksaan keuangan negara. Sesuai dengan UUD 1945, Orde Baru juga menetapkan
BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksaan eksternal. Namun realitanya
pemerintahan Orde Baru memberikan preferensi kepada pengawasan internal dan
mengabaikan BPK sebagai pemeriksa eksternal. Dalam banyak hal, pengawas internal,
seperti BPKP, diberikan kuasa untuk sekaligus merangkap sebagai pemeriksa keuangan
negara, mengambil porsi objek pemeriksaan BPK. Preferensi kepada pengawasan internal
juga tercermin dari alokasi anggaran, sumber daya manusia maupun jaringan kantor
perwakilan (Tabel 1).
Tabel 1.
Daftar Data Perbandingan BPK RI dengan BPKP
(per 1 Agustus 2005)
No. Uraian BPKRI BPKP Keterangan
1. Pegawai : 2.850 7.600* *Sebanyak ± 400 orang
pindah ke MenPAN/dalam lingkungan Deputy Akuntabilitas
a) - Administrasi 418 2.200 - Teknis/Auditor 2.382 5.000 b) Jenjang Pendidikan: -SMA 644 376 -D3 132 1.102 - SI 1.754 5.110 - S2 319 602 - S3 1 10
2. - Jumlah Kantor 9* 25 *Termasuk Perwakilan
Perwakilan NAD
- Luas Gedung 3.471 m2 -

9
3. Peralatan kantor : 1.202 2.400
Komputer (PC dan
Notebunk)
4. Transportasi (kendaraan 136 210 Roda empat)
5. Anggaran Rp. 273 M* Rp. 421 M * Termasuk bantuan Luar negeri Rp. 18 M.
Pengawasan internal pada masa Orde Baru terdiri dari lima lapis yaitu Inspektur
Jenderal Pembangunan, BPKP, Irjen, Bawasda tingkat Provinsi dan Bawasda
Kabupaten/Kota. Namun dalam realitanya, baik BPK maupun sistem pengawasan
internal yang berlapis-lapis itu tidak independen dan mengabdi kepada penguasa.
Akibatnya, selain boros, sistem pengawasan internal dan pemeriksaan eksternal seperti
itu adalah tidak efektif, saling tumpang tindih dan sering bentrok antara satu dengan
lainnya. Berbeda dengan di Jerman. Hanya ada dua lapis lembaga audit, yaitu
Bundesrechnungshof di tingkat pusat (Federal) dan State Courts of Audit, di tingkat
negara bagian.
Agar efektif, baik BPK maupun sistem pengawasan internal perlu dibuat menjadi
bebas dan mandiri serta melakukan reformasi atas dirinya sendiri agar sesuai dengan
tuntutan manajemen pemerintahan modern dalam era reformasi. Secara umum,
keperluan akan reformasi BPK itu telah tercermin dalam rencana strategis yang telah
dikeluarkan pada akhir Juli bulan yang lalu. Pada gilirannya, Rencana Strategis BPK itu
dijabarkan dalam Rencana Kerja Lima Tahun 2006-2010 dan Rencana Kerja Tahunan
2006. Rencana strategis BPK dan penjabarannya itu akan membuat BPK menjadi
lembaga yang bebas dan mandiri. Auditor BPK diharapkan menjadi tenaga professional
yang menjalankan tugasnya sesuai dengan rules of professional conduct dan code of
ethic auditor yang berlaku secara universal. Rules of conduct serta code ethic universal
itu diterjemahkan dalam bentuk Sapta Prasetya Jati BPK dan Ikrar Pemeriksa tanggal 29
Maret 1975.
Untuk dapat meningkatkan kinerja serta mewujudkan kebebasan dan
kemandiriannya BPK telah mengajukan usul kepada Pemerintah dan DPR untuk

10
mengamandemen Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK. Independensi BPK
itu seyogyanya tercermin dalam berbagai aspek. Pertama, independensi dalam hal
pemilihan, pengangkatan, pemberhentian dan penetapan masa jabatan pimpinan dan
anggota BPK. Sebaiknya, masa jabatan anggota BPK adalah lebih panjang daripada masa
jabatan Presiden. Kedua, independensi dalam mengatur struktur organisasinya. Ketiga,
independensi dalam mengatur kode etik, menentukan jumlah karyawannya sendiri,
menetapkan kualifikasinya, membinanya, mengatur jenjang kepangkatannya, menetapkan
gajinya maupun menyediakan perlindungan hukum. Keempat, independensi pemeriksaan
yang bebas dari intervensi cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif maupun
judikatif. Kelima, independensi dalam hal anggaran. Dalam kaitan ini, sesuai dengan
kemampuan keuangan negara, secara bertahap, BPK akan terus memperluas jaringan
kantor perwakilannya, menambah jumlah karyawan, meningkatkan pelatihan teknis,
modernisasi sarana kerja maupun menambah penghasilan bagi seluruh karyawan. Dengan
adanya kecukupan anggaran dari sumber APBN, BPK tidak perlu lagi mencarikan
tambahan anggaran pemeriksaan dari auditee.
Aspek keenam independensi BPK adalah dalam hal legislasi. Artinya, sebagai
otorita pemeriksaan keuangan negara, BPK berwenang mengeluarkan peraturan audit
keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang
melakukan pemeriksaan keuangan sektor negara serta memeriksa hasil kerjanya. Secara
teknis, BPK akan membina Bawasda yang menjadi mitra kerjanya. Kekuasaan legislasi
seperti ini sangat penting karena seIain tidak akan mampu, BPK pun tidak perIu
melakukan sendiri audit semua unit lembaga dan organ pemerintahan, termasuk BUMN
serta BUMD. Sebagian besar dari pekerjaan audit tersebut akan didelegasikan kepada
Bawasda maupun KAP dan BPK konsentrasi pada audit objek-objek pemeriksaan yang
sangat penting dan strategis saja.
Hak legislasi juga diperlukan oleh BPK untuk dapat menjalankan kekuasaannya
dalam menetapkan penggantian kerugian negara. Kekuasaan BPK itu diatur dalam Pasal
62 hingga 64 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maupun dalam Bab
V pada UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya tepat waktu, ketiga UU tentang Keuangan

11
Negara tahun 2003-2004 menugaskan BPK untuk membuka kantor perwakilan di semua
ibu kota provinsi. Hingga kini, BPK baru memiliki kantor perwakilan di sembilan ibu
kota provinsi3, yakni di Banda Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Denpasar,
Banjarmasin, Ujung Pandang dan Jayapura. Pada tahun ini, mudah-mudahan akan dapat
dibuka kantor perwakilan di lima ibu kota provinsi lainnya, yakni di Pekanbaru,
Bandung, Surabaya, Pontianak dan Manado. Kantor Perwakilan BPK di Banda Aceh
dibuka dengan bantuan keuangan Asian Development Bank untuk menyewa gedung
kantor dan pengadaan peralatan. Kantor Perwakilan di Jakarta dan di lima kota yang akan
dibuka itu adalah menggunakan pinjaman gedung dari Pemda setempat.
Karena tiga alasan, perluasan kantor perwakilan BPK itu masih menghadapi
kendala. Alasan pertama adalah karena keterbatasan anggaran negara maupun tenaga
auditor yang tersedia. Alasan kedua, belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan
menyerahkan setidaknya sebagian dari kantor, peralatan maupun tenaga auditor BPKP
kepada BPK. Ketiga Undang-Undang Keuangan Negara di atas telah meredusi peranan
dan fungsi BPKP sebagai pengawas internal. Alasan ketiga yang membatasi perlunya
BPK memiliki kantor perwakilan di semua ibu kota provinsi adalah karena perbedaan
jumlah objek pemeriksaan yang sangat menonjol antar provinsi. Sementara itu,
pemekaran daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota serta kotamadya, yang
sangat cepat sejak tahun 2000, masih berupa euphoria dan belum memperhitungkan
untung ruginya secara ekonomis. Oleh karena itu, bisa jadi kecenderungan pemekaran
provinsi dan kabupaten/kota dewasa ini dapat berbalik menjadi penyatuan atau merjer
kembali karena tidak mampu membelanjai dirinya sendiri atau pun tidak lagi layak
menurut pertimbangan ekonomis. Proses penggabungan atau merjer kembali Pemda,
setelah mekar pada periode 1980-an dan 1990-an, telah terjadi di berbagai negara seperti
Jepang dan Afrika Selatan.
Di tengah keterbatasan yang dialaminya, dewasa ini, prioritas audit BPK adalah
ditekankan pada beberapa aspek pengeluaran dan penerimaan negara dan Pemda yang
terpenting. Pada sisi pengeluaran negara, audit BPK itu diprioritaskan pada objek-objek
yang sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank negara, Pertamina maupun
Bank Indonesia. Audit rekonstruksi Provinsi NAD dan Nias yang mengalami musibah
3 Sampai akhir tahun 2007, BPK telah memiliki 28 kantor perwakilan di seluruh Indonesia

12
gempa serta gelombang tsunami pada Desember 2004 masuk dalam prioritas tinggi
karena kekhususannya. Sebagaimana diketahui, dunia internasional memberikan bantuan
dalam jumlah besar baik pada masa darurat maupun untuk membangun kembali daerah
yang terkena bencana itu.
Prioritas kedua audit BPK adalah pengeluaran negara yang rawan korupsi, kolusi
dan nepotisme, seperti pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Prioritas ketiga
adalah sektor-sektor yang strategis bagi perekonomian dan penting bagi hajad hidup
orang banyak, seperti Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen
Sosial, Departemen Pendidikan Nasional dan Perusahaan Listrik Negara. Prioritas audit
pada sisi penerimaan Negara dan Pemda termasuk penerimaan pajak, nonpajak,
penjualan aset negara dan Pemda, termasuk privatisasi BUMN/BUMD, divestasi aset
PPA maupun "tukar guling" aset negara.
6. Pertimbangan ekonomi penentuan besarnya daerah unit pemerintahan
Sebagaimana disebut di atas, adakalanya pemekaran daerah yang marak setelah era
reformasi hanya bersifat euphoria saja tanpa menimbang untung ruginya secara ekonomi.
Sering dilupakan bahwa tujuan utama pendirian daerah baru atau unit baru administrasi
pemerintahan adalah untuk menyediakan jasa-jasa publik (public goods) lebih baik dan
pendiriannya itu memerlukan ongkos atau biaya yang cukup besar. Ditinjau dari sudut
pandang ekonomi, ada berbagai keuntungan atau manfaat bagi suatu negara, Pemda dan
wilayah dari penduduk yang besar4 agar dapat menekan biaya penyediaan jasa-jasa
publik tersebut. Pertama, semakin besar jumlah penduduk semakin rendah biaya per
kapita bagi penyediaan jasa publik karena akan semakin besar jumlah wajib pajak yang
dapat memberikan kontribusi bagi penyediaannya. Contoh jasa-jasa publik adalah
infrastruktur telekomunikasi, taman rekreasi, kesehatan masyarakat dan pendidikan.
Daerah yang memiliki penduduk besar lebih mampu memiliki administrasi untuk
memobilisasi jenis penerimaan pajak yang lebih adil dan efisien. Misalnya, daerah yang
memiliki penduduk besar mampu memiliki administrasi pemungutan pajak pendapatan.
Ilmu ekonomi percaya bahwa pajak pendapatan lebih efisien dan adil dibandingkan
4 Lihat, misalnya Alberto Alesina dan Enrico Spolaore, The Size of Nations, Canbridge, Ma: the MIT Press 2003.

13
dengan pajak tidak langsung maupun bea serta retribusi daerah.
Keuntungan kedua bagi daerah yang memiliki penduduk besar adalah lebih mampu
memelihara ketertiban masyarakat dan keamananan guna memerangi kriminalitas. Benar
bahwa Polri kita adalah bersifat nasional. Namun, Pemda dapat menyediakan peralatan
maupun kesejahteraan yang lebih baik bagi Polisi yang bertugas di daerahnya maupun
menyediakan Polisi Pamong Praja serta pembantu Polisi. Biaya per kapita penyediaan
ketertiban masyarakat yang lebih baik itu akan menurun sejalan dengan bertambahnya
jumlah penduduk.
Keuntungan ketiga bagi daerah dengan penduduk yang besar adalah karena daerah
seperti itu memiliki pasar yang cukup besar sehingga memungkinkan bagi peningkatan
pendapatan penduduk melalui peningkatan produktifitas. Pasar menjadi semakin meluas
jika pasar daerah itu terintegrasi dengan pasar nasional serta pasar intemasional. Dewasa
ini, berbagai Perda yang diintrodusi setelah otonomi daerah justru telah meningkatkan
hambatan lalu lintas perdagangan serta mobilitas faktor produksi antar daerah. Di lain
pihak, sebagaimana telah disebut di atas, perekonomian nasional kita telah semakin
terintegrasi ke pasar dunia dengan adanya deregulasi yang semakin mengurangi
hambatan lalu lintas perdagangan serta faktor produksi antar negara.
Keuntungan keempat bagi daerah yang luas dengan penduduk besar serta
perekonomian yang beragam adalah mampu menyediakan semacam polis asuransi bagi
daerahnya. Suatu wilayah, dalam suatu daerah, yang tengah mengalami resesi menerima
transfer anggaran dari daerah (pusat) untuk mengurangi beban kesulitan ekonomi di
wilayahnya. Resesi ekonomi di wilayah yang monokultur dapat terjadi karena penurunan
harga komoditi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Jika wilayah yang monokultur
seperti ini berdiri sendiri, perekonomiannya sangat tergantung kepada siklus
perkembangan pasar komoditas yang dihasilkannya itu.
Keuntungan kelima dari daerah yang memiliki penduduk besar adalah mampu
memiliki sistem retribusi pendapatan antar individu maupun antar wilayah di daerah
tersebut.

1
Transparansi dan Akuntabilitas Fiskal untuk Membangun Kembali Sistem
Sosial Indonesia1
1. Pengantar
Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi
keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak krisis
ekonomi tahun 1997-1998. Dalam rangka perombakan itu, sistem ekonomi kita tengah
beralih dari sistem perencanaan terpusat kepada sistem yang lebih banyak menggunakan
mekanisme pasar. Perencanaan terpusat pada masa Orde Baru telah menciptakan KKN. Di
lain pihak, liberalisasi, deregulasi dan privatisasi masa itu juga digunakan untuk
memindahkan hak milik negara kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, efisiensi
perekonomian nasional kita menjadi semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997-
1998.
Dalam bidang politik, reformasi telah menggantikan sistem politik otoriter masa lalu
dengan sistem demokrasi. Sistem politik yang demokratis itu memberikan jaminan kebebasan
berserikat dan bersuara termasuk mendirikan partai politik. TNI dan Polri tidak lagi memiliki
wakil di DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil presiden serta kepala-kepala
daerah kini dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan platform atau janji politiknya dan tidak
lagi dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu, MPR sekaligus menyusun GBHN. Tanpa
melalui konflik senjata, sistem pemerintahan Indonesia yang sentralistis di masa lalu telah
diganti dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya, lebih luas daripada tuntutan
pemberontakan PRRI/Permesta masa lalu.
Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien
jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang simetris.
Untuk itu perlu ditegakkan tertib hukum, stabilitas sosial dan politik maupun governance,
termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Sistem politik yang demokratis dan
sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi daerah juga menuntut adanya
transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu rakyat pun akan enggan
membayar pajak dan investor enggan membeli Surat Utang Negara. Kurang transparan dan
1 Makalah dalam “Rapat Koordinasi Pengawasan Daerah secara Nasional (Rakorwasdanas)”. Departemen Dalam Negeri, Sahid Jaya Hotel, Jakarta, 13 Desember 2006. Makalah untuk program "pemantapan Konsepsi Nasional dan Kepemimpinan bagi Unsur Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Se Indonesia, gel II" Lemhanas (9 April 2007); Makalah Press Gathering.

2
akuntabelnya keuangan negara akan memicu perasaan curiga antar daerah yang pada
gilirannya menimbulkan konflik yang dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian kedua menguraikan
berbagai elemen perbaikan sistem fiskal untuk membuatnya transparan dan akuntabel sesuai
dengan tuntutan reformasi. Bagian ketiga menguraikan beberapa temuan pokok pemeriksaan
BPK Tahun 2004-2005. Bagian keempat menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan oleh BPK
sejak 2005. Bagian kelima menjelaskan upaya pemulihan independensi dan peningkatan
kemampuan BPK untuk memperbaiki sistem keuangan negara dan memberantas korupsi.
2. Berbagai elemen perbaikan sistem fiskal
Kelemahan dalam sistem keuangan negara Indonesia yang diwarisi dari pemerintahan
Orde Baru adalah bersifat mendasar. Kelemahan tersebut meliputi desain dan pelaksanaan
sistem pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,
penyimpanan keuangan negara yang semerawut dan pengungkapan SAL yang tidak konsisten
dan tidak memadai. Karena posisi keuangan negara tidak dilaporkan secara akurat, dan tepat
waktu (tentang jumlah atau besarnya anggaran negara, struktur atau cara pembelanjaannya
maupun struktur atau arah penggunaannya) rakyat dan DPR tidak dapat menggunakan hak
bujetnya. Sistem yang buruk seperti itu tidak informatif untuk mengetahui posisi keuangan
negara sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambil keputusan serta melakukan
antisipasi kedepan. Buruknya pengelolaan keuangan negara itu sekaligus telah menjadi salah
satu faktor penyebab krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997 dan lambatnya pemulihannya
hingga saat ini.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara,
Pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh sistem keuangan
negara yang dipergunakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Koreksi pertama adalah
dengan menyatukan anggaran negara yang tadinya dibagi dalam dua kelompok, yakni
anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Dalam masa Orde Baru, anggaran rutin dikontrol
oleh Departemen Keuangan sedangkan besarnya anggaran pembangunan struktur
pembelanjaannya maupun alokasinya adalah dikendalikan oleh Bappenas. Dengan sistem
politik otoriter, sistem pemerintahan yang sentralistis dan ekonomi yang relatif tertutup, pada
waktu itu kita menjalankan sistem perencanaan yang sentralistis. Koreksi kedua adalah
semakin meniadakan anggaran nonbujeter. Koreksi ketiga adalah dengan mengintrodusi

3
ketiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-20042. Bentuk koreksi keempat adalah
dengan mengintrodusi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni 20053.
Penerimaan pembangunan dalam APBN Orde Baru terdiri dari dua sumber. Sumber
pertama adalah penerimaan pembangunan yang terdiri dari hibah serta hutang luar negeri,
terutama dari negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI/CGI. Sumber kedua adalah
surplus penerimaan dalam negeri setelah dikurangi dengan anggaran rutin. Di masa itu,
sumber utama penerimaan dalam negeri adalah dari royalti penambangan migas serta
eksploitasi hutan maupun sumber daya alam lainnya. Pada waktu itu, hutang luar negeri
disebut sebagai penerimaan pembangunan dan berfungsi untuk menutup defisit APBN agar
menjadi “seimbang”. Dewasa ini, hutang pemerintah (dari sumber dalam maupun luar negeri)
hanya disebut hutang dan tidak lagi dinamakan sebagai “penerimaan pembangunan”. Pada
hakikatnya sebagian dari pengeluaran pembangunan dalam masa Orde Baru merupakan
suplemen dari pengeluaran rutin. Contohnya adalah biaya perjalanan dan honor pejabat yang
langsung terlibat dalam menangani proyek-proyek pembangunan. Perbedaan gaji efektif antar
pelaksana dengan nonpelaksana proyek menimbulkan kecemburuan di antara pegawai negeri
sipil dan anggota ABRI.
APBN sekarang ini semakin meniadakan anggaran nonbujeter yang sangat berperan
pada masa Pemerintahan Orde Baru. Perbedaan anggaran nonbujeter, yang tidak transparan
dan akuntabel, menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan antar instansi. Anggaran
nonbujeter itu semakin dikurangi dengan membubarkan atau memperkecil sumbangan badan
usaha yang merupakan satelit organisasi maupun lembaga pemerintahan. Dalam masa Orde
Baru, satelit badan atau instansi pemerintah tersebut adalah berupa berbagai bentuk badan
usaha milik koperasi karyawan, yayasan dan dana pensiun yang terkait dengannya. Sumber
ketiga dari anggaran nonbujeter berasal dari pungutan liar penerimaan nonpajak yang diatur
dan dikumpulkan sendiri oleh instansi yang bersangkutan tanpa mengacu pada UU PNBP
maupun setahu DPR serta Depkeu. Pungutan liar itu diadministrasikan sendiri oleh instansi
yang bersangkutan dan digunakannya sendiri berdasarkan aturan yang dibuatnya sendiri
pula. Termasuk dalam kelompok PNBP tidak resmi tersebut adalah balas jasa bunga uang
negara yang ditahan oleh instansi ataupun badan pemerintah yang bersangkutan.
Berdasarkan Paket Ketiga UU dibidang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 di atas,
mulailah disusun pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel dalam 2 Ketiga Undang-Undang bidang Keuangan Negara itu adalah: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005.

4
LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) 2004. Penyusunan LKPP Tahun 2004 itu
adalah dua tahun lebih awal dari rencana semula sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 15
Tahun 2004 dan merupakan yang pertama dilakukan setelah 60 tahun kita merdeka.
Walaupun masih jauh dari sempurna, LKPP Tahun 2004 dan 2005 telah memuat rangkaian
perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis
sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan
negara dalam bentuk neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut,
merupakan suatu tonggak sejarah kemajuan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara kita.
LKPP format baru sekarang ini adalah berbeda dengan laporan keuangan Pemerintah
Pusat yang disusun berdasarkan aturan sebelumnya. Ada berbagai pokok perubahan yang
mendasar dari ketentuan yang baru pada tahun 2003 tersebut. Perubahan itu meliputi jenis
dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem pembukuan berpasangan,
menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan dikomputerisasi, serta menerapkan
desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor
pusat instansi maupun di daerah.
LKPP yang berlaku sekarang ini adalah terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA)
Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian Negara/Lembaga, Neraca,
Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri
dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang
lebih rinci, tertib dan sistematis tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi transparansi
fiskal dan peningkatan akuntabilitas publik.
3. Beberapa temuan pokok pemeriksaan tahun 2004-2005
Ada empat kelompok temuan pokok hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh BPK
dalam LKPP Tahun 2004 dan 2005. Pertama, kelemahan dalam sistem internal keuangan
negara. Kedua, keuangan negara disimpan dalam berbagai rekening yang tidak dikonsolidasi,
termasuk rekening pribadi pejabat negara. Hal ini terjadi, antara lain, karena gabungan antara
kurang adanya disiplin pengelola negara dan belum adanya suatu single treasury account
yang terpadu. Kelemahan ketiga adalah kurang patuhnya pada undang-undang serta peraturan
yang berlaku di bidang keuangan negara. Kelemahan yang keempat adalah belum adanya
gambaran yang utuh atas besarnya Sisa Anggaran Lebih (SAL).
Rangkaian kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang dilaporkan
oleh BPK dalam LKPP Tahun 2004, antara lain meliputi: (1) prosedur penyusunan laporan

5
keuangan tidak sesuai dengan sistem akuntansi yang telah ditetapkan; (2) anggaran dan
pembukuan Departemen Pertahanan, Markas Besar TNI dan Markas Besar Polri belum
terintegrasi dengan sistem pengelolaan APBN dan akuntansi Pemerintah Pusat; (3) prosedur
verifikasi dan rekonsiliasi pendapatan, hibah, dan belanja tidak efektif; (4) pengelolaan kas,
investasi, aset tetap, aset lainnya, dan hutang tidak memadai; (5) organisasi pelaksana sistem
akuntansi pemerintah belum seluruhnya terbentuk; dan (6) pertanggungjawaban atas
pelaksanaan APBN pada tingkat kementerian negara/lembaga belum seluruhnya direviu oleh
aparat pengawasan internal.
Padahal, aparat pengawasan internal pemerintah di Indonesia cukup banyak selama
masa 32 tahun Pemerintahan Orde Baru. Pengawas internal pemerintah pada masa itu terdiri
dari lima lapis dan termasuk yang terumit di dunia serta memiliki jumlah auditor, jaringan
kantor, peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada BPK-RI. Aparat
pengawasan internal pemerintah pada waktu itu adalah terdiri dari Irjenbang (Inspektur
Jenderal Pembangunan), BPKP, Irjen di berbagai Departemen/Instansi di tingkat Pusat serta
Bawasda ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Secara rinci, rangkaian kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang
ditemukan oleh BPK, antara lain berupa: (1) prosedur verifikasi dan rekonsiliasi penerimaan
perpajakan maupun nonpajak; (2) pengelolaan rekening-rekening pemerintah pada Bank
Indonesia dan bank umum; (3) pengelolaan rekening dana investasi dan rekening
pembangunan daerah; (4) pertanggungjawaban penyertaan modal pemerintah pada
perusahaan negara; dan (5) pertanggungjawaban aset-aset yang diperoleh dari sisa aset
program restrukturisasi BPPN yang tidak selesai.
Belum adanya rekening pemerintah yang terpadu tercermin dari banyaknya rekening
yang menyimpan uang negara yang tersebar di banyak instansi pemerintah dan individu
pejabat negara. LKPP Tahun 2004 melaporkan bahwa sebanyak 957 dari rekening-rekening
pemerintah pada bank-bank senilai Rp20,55 triliun dicatat atas nama pribadi pejabat
Departemen Keuangan, termasuk yang sudah lama meninggal dunia. LKPP Tahun 2005
melaporkan adanya sebanyak 1.303 rekening dan deposito senilai Rp8,54 triliun atas nama
pejabat pemerintah ataupun instansi yang tidak jelas statusnya. Karena tidak terintegrasi pada
Rekening Bendahara Umum Negara (BUN) dana-dana itu tidak segera dapat dimanfaatkan
oleh pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Selain itu, tidak jelas siapa yang
menikmati balas jasa bunga rekening tersebut. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening
Dana Investasi (RDI) merupakan praktik KKN. RDI menjadi alternatif bagi kredit bank dan
diberikan kepada badan usaha yang sebenarnya mampu meminjam dari industri perbankan

6
(bankable). Alokasi RDI, yang berbunga rendah dan risiko yang hampir tidak ada, dibuat
oleh pejabat Depkeu dengan cara yang kurang transparan dan penagihannya kembali pun
hampir tidak pernah dilakukan secara serius. Besarnya RDI per 31 Desember 2005 adalah
Rp60,35 triliun.
Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain,
meliputi: (1) pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), (2) pengelolaan barang
milik/kekayaan negara; (3) pencatatan dan pelaporan belanja subsidi dan transfer serta
belanja lain-lain; (4) eksekusi oleh Kejaksaan Agung atas hukuman uang pengganti yang
telah terkumpul secara kumulatip selama bertahun tahun sebesar Rp6,67 triliun. Juga tidak
jelas siapa yang menikmati balas jasa bunga rekening ini; (5) pengeluaran anggaran untuk
dana reboisasi dari Rekening Bendahara Umum Negara sebesar Rp2,89 triliun. Dalam masa
pemerintahan Orde Baru, dana reboisasi itu dikelola dan dipergunakan oleh kroni Presiden
Suharto; dan (6) penerimaan dan belanja dalam perjanjian pengelolaan aset antara pemerintah
dan Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Terkait dengan SAL, pemerintah belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah
yang sebenarnya. SAL per 31 Desember 2004 dalam Laporan Realisasi APBN Tahun 2004,
misalnya, dilaporkan sebesar Rp31,56 triliun, sedangkan SAL dalam neraca per 31 Desember
2004 dilaporkan sebesar Rp24,59 triliun. Selisih sebesar Rp7 triliun tidak dapat dijelaskan
oleh pemerintah. Selain itu, keberadaan SAL tersebut tidak diungkapkan secara memadai
dalam Catatan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2004.
4. Apa yang telah dilakukan oleh BPK sejak tahun 2005
Dalam dua tahun terakhir BPK telah semakin membuka diri, melakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan perannya dalam reformasi sistem sosial kita dan sekaligus
memulihkan independensi serta kemandiriannya. Dalam bidang tugas pokoknya, BPK
membantu pemerintah dalam tiga hal. Pertama, mempercepat implementasi Paket Ketiga
Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Kedua, melakukan restrukturalisasi
BUMN maupun lembaga pelayanan umum seperti sekolah dan rumah sakit. Ketiga, berperan
dalam upaya pemberantasan korupsi. Ketiga, untuk meningkatkan akuntabilitasnya, mulai
tahun 2005, BPK tidak lagi menerima biaya pemeriksaan langsung dari auditee.
BPK membantu pemerintah untuk mempercepat implementasi Ketiga Undang-
Undang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 melalui empat cara. Pertama, menyatukan
anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN. Kedua, memperjelas peranan
dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan. Ketiga, mendorong proses

7
penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran yang lebih transparan. Keempat,
meningkatkan transparansi keuangan negara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah,
BUMN serta BUMD maupun institusi swasta bersubsidi. Dalam restrukturalisasi BUMN.
Pada tahun 2006, BPK telah mendorong Pemerintah mempercepat restrukturalisasi kredit
bermasalah bank-bank negara dan restrukturalisasi PT Garuda Indonesia. BPK mendorong
Pemerintah untuk mempercepat restrukturalisasi Perguruan Tinggi Negeri menjadi BHMN.
Semakin terbukanya BPK tercermin dari peningkatan komukasinya dengan semua
pihak terkait (stakeholders) dan semakin terbukanya kontak langsung dengan pejabatnya.
Berbeda dengan masa Orde Baru, kini, Laporan Pemeriksaan BPK sudah terbuka luas bagi
masyarakat dan dimuat secara utuh dalam websitenya setelah diserahkan kepada DPR/DPRD.
Cara penyajian Laporan Pemeriksaan BPK itu sendiri, kini sudah semakin disempurnakan
agar dapat difahami oleh pembaca awam. Berbeda dengan pada masa lalu, kini, semua
stakeholders dapat melakukan kontak langsung dengan BPK. Stakeholders itu dapat berupa
instansi pemerintah serta BUMN/BUMD yang merupakan auditee, rakyat dan DPR/DPRD
pemegang hak bujet, LSM, investor pembeli Surat Utang Negara (SUN) maupun penegak
hukum yang melakukan penyidikan berdasarkan laporan audit BPK.
Pada tahun 2005 BPK telah menyampaikan sepuluh laporan indikasi tindak pidana
korupsi kepada penegak hukum: masing-masing satu untuk DPR dan Kapolri dan delapan
kepada Kejaksaan Agung dengan total nilai kerugian negara Rp2.9 triliun dan US39 juta.
Pada semester I tahun 2006, dilaporkan lima dugaan tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan
Agung dengan jumlah kerugian negara Rp218 milyar dan US$4.2 juta. Rekapitulasi temuan
yang berindikasi kerugian negara itu dimuat dalam Tabel 1. Dalam masa dekat mendatang,
laporan indikasi tindak pidana korupsi oleh BPK diperkirakan akan semakin meningkat
berkenaan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya, semakin luasnya cakupan
audit serta jaringan kantor perwakilannya maupun karena adanya perluasan kapasitas
telekomunikasi serta peralatan kerjanya. Peningkatan laporan audit dugaan tindak pidana
korupsi oleh BPK juga berkaitan dengan semakin baiknya kerjasamanya dengan para
penegak hukum seperti KPK dan PPATK.

8
TABEL 1 DAFTAR REKAPITULASI TEMUAN PEMERIKSAAN BERINDIKASI KERUGIAN NEGARA
TAHUN 2005 S.D. SEMESTER I 2006
Juta Rupiah dan ribu Valas
Kerugian Negara/ Telah Diselamatkan/ Sisa Daerah Disetor ke Kas Negara Kerugian Negara No Periode
Pemeriksaan
Kelompok Penanggung Jawab Kasus Nilai Kasus Nilai Kasus Nilai
1 TA 2005 Pemerintah 701 7.713.057,46 104 2.507.869,90 597 5.205.187,56 Pusat US$ 5.526,83 US$ 504,40 US$ 5.022,43 Pemerintah 2.330 1.352.224,56 226 89.187,12 2.104 1.263.037,44 Daerah BUMN 23 4.761.596,75 0 0,00 23 4.761.596,75 3.054 13.826.878,77 330 2.597.057,02 2.724 11.229.821,75 US$ 5.526,83 US$ 504,40 US$ 5.022,43
2 Semester I Pemerintah 165 16.055.783,27 18 142.972,78 147 15.912.810,49 TA 2006 Pusat Pemerintah 1.530 1.868.803,01 3 293,11 1.527 1.868.509,90 Daerah BUMN 26 1.320.940,03 5 56.287,32 21 1.264.652,71 1.721 19.245.526,31 26 199.553,21 1.695 19.045.973,10 Jumlah 4.775 33.072.405 356 2.796.610 4.419 30.275.795 US$ 5.526,83 US$ 504,40 US$ 5.022,43

9
5. Pemulihan independensi dan peningkatan kemampuan BPK
UUD 1945 memberikan posisi yang tinggi pada BPK sebagai suatu lembaga
tinggi negara tersendiri agar dapat memeriksa seluruh sumber keuangan negara,
penyimpanannya maupun penggunaannya secara objektif, sebagaimana adanya. Laporan
hasil pemeriksaan (LHP) BPK itu berguna bagi auditee untuk memperbaiki sistem
internalnya, bagi rakyat dan DPR/DPRD dalam melaksanakan hak bujetnya. LHP
menjadi referensi bagi investor pembeli Surat Utang Negara untuk mengetahui posisi
keuangan negara. LHP yang sama merupakan dasar bagi penegak hukum untuk
melakukan penyidikan.
Dalam realita, BPK di masa Pemerintahan Orde Baru berada di bawah kontrol
pemerintah. Pemerintah mengontrol BPK melalui pengaturan organisasinya, personilnya,
anggarannya, pemilihan objek dan metoda pemeriksaan maupun pelaporannya. Objek
pemeriksaan BPK pun diatur oleh pemerintah sehingga tidak semua sumber penerimaan,
tempat penyimpanan dan arah penggunaan keuangan negara terbuka bagi pemeriksaan
BPK. Kantor perwakilan BPK hanya ada sembilan di seluruh Indonesia dan hanya ada
dua di Pulau Jawa. Padahal, Pulau Jawa merupakan tempat tinggal 2/3 penduduk
Indonesia, menyerap sebagian terbesar dari anggaran negara dan merupakan penyumbang
terbesar pada penerimaan pajak di luar rente ekspolitasi sumber daya alam. Kualitas
auditor dan kemampuan internal BPK serta kapasitas telekomunikasi dan komputernya
pun jauh di bawah lembaga pengawasan internal pemerintah seperti BPKP.
BPK dilarang untuk melakukan audit berbagai jenis penerimaan negara, baik dari
sumber pajak maupun nonpajak, audit stok utang negara maupun instansi serta
perusahaan negara yang sangat rawan terhadap KKN pada saat itu. Instansi atau lembaga
pemerintah serta BUMN yang di luar jangkauan pemeriksaan BPK tersebut cukup
diawasi oleh BPKP saja atau oleh pengawas internal instansi yang bersangkutan.
Misalnya, Pasal 34 UU No. 17 Tahun 2000, tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 6
Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, beserta penjelasannya,
menyebutkan bahwa BPK-RI dapat mendapatkan informasi mengenai wajib pajak hanya
dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak. Aturan serupa juga
dikandung dalam UU Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan
Bangunan serta berbagai jenis pajak dan nonpajak lainnya.

10
Jika tidak dilarang untuk melakukan pemeriksaan, laporan pemeriksaan BPK
dibahas dulu dengan pemerintah dan isinya pun disesuaikan agar tidak “mengganggu
stabilitas politik”. Contohnya laporan pemeriksaan BPK atas ketiga instansi yang
langsung di bawah kendali Sekneg, yakni Gelora Senayan, bekas Lapangan Udara
Kemayoran dan Bulog. Padahal, dengan seijin Sekneg kompleks Gelora Senayan sudah
semakin beralih fungsi dari fasilitas olahraga menjadi kawasan komersil. Melalui kontrak
jangka panjang yang senantiasa dapat diperpanjang, kepemilikannya pun sudah semakin
beralih dari negara kepada individu keluarga para pejabat tinggi Orde Baru.
Perubahan mendasar dan pemulihan independensi serta kemandirian BPK baru
dilakukan setelah terbitnya UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK sebagai pengganti UU
No. 5 Tahun 1973. Perluasan audit BPK dilakukan setelah krisis ekonomi tahun 1997-
1998 yang telah menimbulkan biaya yang sangat mahal bagi perekonomian Indonesia
hingga saat ini. Sebagaimana disebut di atas, liberalisasi, deregulasi serta privatisasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru hanya memindahkan hak monopoli sektor negara
kepada sekelompok individu yang menjadi kroni penguasa politik. Risiko proyek yang
dialihkan pemilikannya itu, seperti listrik, telepon dan air minum, menjadi contigent
liabilities pemerintah. Beban anggaran negara menjadi semakin bertambah besar karena
kebijakan blanket guarantee mengalihkan semua kerugian yang diderita oleh industri
perbankan dalam negeri beserta dunia usaha, yang menjadi nasabahnya, kepada
pemerintah pada saat krisis tahun 1997-1998.
Sejalan dengan perubahan statusnya, Bank Indonesia menjadi objek pemeriksaan
BPK sejak dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Karena
besarnya kerugian mereka yang secara langsung atau tidak langsung digeser kepada
negara, BPK juga mulai mengaudit bank-bank negara. Perluasan audit BPK pada BUMN
semakin meluas karena DPR meminta BPK untuk mengaudit subsidi BBM, listrik dan
pupuk, kontrak pertambangan dan bahkan Semburan Lumpur Panas Lapindo di Sidoarjo,
Jawa Timur. Karena diduga menggelapkan bantuan internasional untuk pemeliharaan
kesehatan masyarakat miskin, Bank Dunia minta BPK mengaudit kecurangan penyaluran
bantuannya melalui Depkes. Dalam masa Orde Baru, BI, bank-bank negara, Pertamina
dan berbagai BUMN lainnya maupun kontrak pertambangan merupakan objek
pengawasan BPKP yang tidak boleh dicampuri oleh BPK.

11
Dalam masa transisi sekarang ini, BPK masih melakukan audit BUMN/BUMD
yang sangat membebani keuangan negara. Pada saat ini, keuangan BUMN/BUMD belum
terpisah dari keuangan negara karena kerugiannya merupakan contigent liabilities negara.
Governance BUMN/BUMD Indonesia juga belum baik karena campur tangan
pemerintah masih besar dalam penentuan pengurus maupun dalam pengambilan
kebijakannya sehari-hari. Para pengurus BUMN/BUMD itu terdiri dari pejabat negara
yang pada umumnya hanya mengharapkan tambahan penghasilan dari gaji dan honornya
dari badan usaha milik negara itu. Objek pemeriksaan BPK semakin bertambah luas
karena UU No. 17 Tahun 2003 menugaskan BPK untuk memeriksa laporan keuangan
Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah yakni kabupaten dan kotamadya berikut
BUMD-nya yang menerima aliran dana negara.
Untuk dapat melakukan pemeriksaan atas objek yang semakin bertambah luas itu,
BPK telah mengambil empat langkah strategis. Pertama, meningkatkan kualitas kerja
melalui perbaikan gaji dan honor auditor serta meningkatkan disiplin kerja maupun
ketaatannya atas kode etik auditor BPK. Keterampilan auditor BPK ditingkatkan melalui
pendidikan dan latihan kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua, memperluas
kantor perwakilan dan menambah tenaga auditor. Ketiga, menambah kapasitas
telekomunikasi dan komputernya sehingga dapat menjangkau seluruh objek pemeriksaan
di seluruh pelosok tanah air. Keempat, seperti halnya dengan negara-negara yang sudah
lebih tertib, BPK akan secara bertahap menyerahkan audit keuangan kepada Kantor
Akuntan Publik (KAP) dan akan semakin beralih pada audit kinerja ataupun audit
investigasi.
UU No. 15 Tahun 2006 meningkatkan keterbukaan BPK melalui empat cara.
Pertama, mewajibkan BPK untuk memuat laporan hasil pemeriksaannya dalam website
agar semua pihak dapat menilai cara kerjanya. Kedua, menetapkan keikut sertaan unsur
profesi dan akademisi dari luar untyuk duduk dalam Majelis Kehormatan Kode Etik
BPK. Sementara itu, sistem pengendalian mutu BPK akan dilakukan oleh BPK negara
lain yang menjadi anggota organisasi BPK sedunia (INTOSAI). Ketiga, pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik.
Keempat, memberikan kemandirian dan independensi BPK dalam hal organisasi,
personil, anggaran maupun pengambilan keputusan termasuk penentuan objek

12
pemeriksaan, pemilihan metoda maupun cara pelaporan audit pemeriksaan.

1
Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
untuk Membangun Industri Keuangan Yang Sehat1
1. Pengantar
Bertolak belakang dengan program penanggulangan korupsi yang dicanangkan
oleh Presiden SBY, sudah mulai kelihatan adanya erosi komitmen nasional untuk
melakukan restrukturalisasi industri perbankan yang praktis telah bangkrut diterpa krisis
ekonomi pada tahun 1997. Dilihat dari nilai aktiva dan jaringan kantornya, pada saat ini
sektor perbankan merupakan inti dari industri keuangan di Indonesia. Sebagaimana
diketahui, di luar rekapitalisasi, peningkatan transparansi serta akuntabilitas maupun
kualitas sumber daya manusia (SDM) industri perbankan dan dunia usaha merupakan
program terpenting dari upaya restrukturalisasi tersebut. Komitmen untuk meningkatkan
transparansi, akuntabilitas serta SDM perbankan, dengan jadwal pelaksanaan yang jelas,
tercermin dalam Matriks Kebijakan Inpres No. 5 tanggal 15 September 2003 dan
Kebijakan Bank Indonesia maupun Arsitektur Perbankan Indonesia (API)-nya. Ketiga
dokumen itu disusun sendiri oleh Pemerintah dan BI, tanpa bantuan IMF dan Bank
Dunia, sebagai pengganti program IMF.
Erosi atas komitmen atas penerapan aturan prudensial industri perbankan nasional
tercermin pada setidaknya empat hal. Pertama, masih maraknya skandal di berbagai
bank-bank milik negara, seperti L/C fiktif Bank BNI sebesar Rp1,2 triliun pada tahun
2003. Kedua, belum adanya penerapan UU No. 10 Tahun 1988 tentang Perbankan yang
menuntut akuntabilitas ataupun tanggung jawab semua pihak yang bertanggung jawab
bank-bank bermasalah pemilik, pengurus, akuntan publik, maupun nasabah. Ketiga,
bertentangan dengan UU perbankan itu, beberapa mantan pemilik dan pengurus bank
yang sudah tercemar tersebut kini sudah diperbolehkan kembali menjadi pemilik
pengendali maupun pengurus bank. Keempat, adanya kampanye gencar dan sistematis
1 Keynote Speech pada Seminar “Penanganan Tindakan Korupsi di Perbankan”, Harian Bisnis Indonesia, Diamond Room, Hotel Nikko, Jl. M.H. Thamrin, Rabu, 26 April 2006, pkl. 9:00-10:00. Makalah pada Pendidikan Kepemimpinan Eksekutif dalam Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI), (30 Juni 2006)

2
dari sementara politisi, pejabat otorita serta pengurus bank-bank negara untuk menolak
pemeriksaan BPK maupun pengumuman Laporan Pemeriksaan BPK itu secara luas
kepada masyarakat. Padahal masyarakat luas itulah yang kemudian menanggung beban
kerugian bank-bank negara akibat dari kesalahan pengambil kebijakan maupun pengurus
bank tersebut. Kampanye seperti ini berusaha melemahkan kembali transparansi dan
akuntabilitas industri perbankan nasional yang telah menjadi penyebab utama krisis
ekonomi tahun 1997-1998.
2. Dampak ekonomi bank yang sakit
Adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa Laporan Pemeriksaan BPK
terhadap bank-bank negara telah memperlambat pemulihan ekonomi karena transparansi
laporan itu telah menghambat ekspansi fiskal maupun ekspansi kredit perbankan.
Menurut mereka, pemuatan nama penunggak kredit dalam Laporan Pemeriksaan BPK
telah menyebabkan bank-bank negara menjadi takut memberikan kredit. Dengan
demikian, bank-bank akan semakin banyak menempatkan dananya dalam portepel yang
mengandung risiko kecil, seperti Reksadana (SUN), SBI, Fasbi, devisa maupun pinjaman
antar bank. Pada saat yang sama, nasabah bank-bank negara juga pindah ke bank-bank
lain agar namanya tidak diumumkan secara luas jika menunggak kredit.
Pendapat di atas adalah keliru karena sumber penyebab utama kelambatan
pertumbuhan kredit industri bank-bank nasional disebabkan oleh dua hal yang tidak ada
kaitannya dengan transparansi pemeriksaan oleh BPK. Penyebab pertama kelambanan
ekspansi kredit bank itu adalah karena masih belum pulihnya kesehatan industri
perbankan nasional tersebut. Penyebab yang kedua adalah karena besarnya beban
penyehatannya setelah dilanda oleh krisis ekonomi delapan tahun yang lalu pada tahun
1997-1998. Pada gilirannya, krisis ekonomi dan perbankan itu terjadi karena gabungan
kebijakan ekonomi yang salah dan buruknya transparansi dan akuntabilitas keuangan
negara serta badan usaha di Indonesia. Akibatnya, laporan keuangan negara, bank dan
badan usaha tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui dan mengantisipasi
keadaan serta menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Dalam keadaan seperti itu
pemerintahan Presiden Suharto maupun Presiden Habibie memutuskan untuk
merekapitalisasi semua bank nasional karena tidak dapat dibedakan mana bank yang

3
masih viable dan mana yang tidak. Biaya rekapitalisasi perbankan dan pembersihan
kredit bermasalah perbankan nasional seluruhnya digeser menjadi tanggungan negara
sehingga menjadi beban rakyat yang tidak berdosa.
Berbeda dengan Cina yang membiayai sebagian dari rekapitalisasi bank-bank
nasionalnya dengan menggunakan cadangan luar negerinya yang sangat besar, Indonesia
hanya mampu merekap industri bank nasional dengan mengeluarkan surat utang negara
(SUN). Pada saat itu, untuk melunasi kewajiban luar negeri yang jatuh waktu saja
Indonesia tidak mampu karena tidak memiliki stok cadangan luar negeri yang cukup.
Suntikan dana segar dalam bentuk valuta asing hanya disediakan pada Bank Indover
dalam bentuk penempatan pledge deposit cadangan luar negeri Bank Indonesia. Jumlah
SUN yang dikeluarkan mencapai sekitar Rp640 triliun atau setara dengan 50 persen dari
nilai PDB kita pada tahun 1999. Jumlah itu juga setara stok dengan hutang luar negeri
Pemerintah yang ada pada saat itu. Diukur dari persentase terhadap PDB itu, biaya krisis
perbankan di Indonesia merupakan yang termahal di seluruh dunia dalam sejarah
manusia. Mulai sejak krisis itulah anggaran negara tidak lagi dapat dipergunakan sebagai
motor penggerak pertumbuhan ekonomi karena besarnya porsi pengeluaran negara untuk
melunasi beban hutang pemerintah. Selain membayar hutang, porsi pengeluaran negara
juga cukup besar untuk membayar subsidi dan mengatasi konflik horisontal di berbagai
daerah. Karena kurangnya anggaran, infrastruktur ekonomi kita sudah lama tidak terurus,
kesehatan masyarakat dan pendidikan nasional sudah lama kurang terpelihara.
Karena Pemerintah Republik Indonesia hanya mampu memberikan tambahan
modal bank dalam bentuk SUN yang kurang likuid, kredit perbankan nasional tidak dapat
ditingkatkan. Kurang likuidnya SUN terjadi karena pasar-nya yang masih sempit dan
dangkal. Dewasa ini, secara praktis, bank-bank negara hanya beroperasi sebagai narrow
bank, jual beli SUN, karena lebih dari separuh dari portepelnya adalah berupa surat utang
negara (SUN), SBI dan Fasbi. Pada gilirannya, industri perbankan nasional yang kurang
likuid itu tidak mampu melakukan ekspansi kredit. SUN yang kurang likuid tersebut
memberikan balas jasa kupon dari negara yang sangat likuid guna dapat memenuhi
kegiatan operasional bank dan melakukan ekspansi kredit. Selain dari menebus kembali
yang sudah diserahkan kepada BPPN, sebagian dari kredit bank diberikan untuk kredit
konsumsi untuk membeli barang-barang konsumsi tahan lama (durable goods), seperti

4
kendaraan bermotor maupun telepon genggam. Bank dapat menebus kembali asset BPPN
dengan menggunakan SUN. Hambatan ekspansi kredit bank juga berkaitan dengan
buruknya iklim investasi, kurang terpeliharanya infrastruktur fisik dan meningkatnya
militansi serikat pekerja dalam era demokratisasi dan era otonomi daerah dewasa ini.
Akibatnya, upaya menggerakkan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan investasi
swasta juga tersendat. Kalaupun ada peningkatan ekspor hanya terjadi karena adanya
kenaikan harga komoditas primer di pasar dunia dan bukan karena peningkatan daya
saing. Akibatnya pengangguran tenaga kerja menjadi semakin meningkat.
Industri perbankan nasional yang masih belum sehat sekaligus meningkatkan
tingkat suku bunga deposito bank didalam negeri dan erosi nilai tukar ataupun devaluasi
rupiah. Tingginya tingkat suku bunga deposito bank itu terjadi karena adanya crowding
out di pasar uang dan modal nasional yakni persaingan antara sektor negara dengan
sektor swasta untuk memperebutkan tabungan nasional yang semakin mengecil dalam era
pertumbuhan ekonomi yang rendah. Perbedaan (spread) antara tingkat suku bunga kredit
dengan tingkat suku bunga deposito juga ikut naik bersamaan dengan peningkatan tingkat
suku bunga deposito bank itu. Peningkatan spread bank, antara lain, didorong oleh
peningkatan biaya modernisasi peralatan, seperti information technology, maupun biaya
penghapusan kredit macet. Pada gilirannya, spread bank yang meningkat itu
meningkatkan tingkat suku bunga pinjamannya pula. Sebelum krisis, hanya Bank Central
Asia (BCA) di antara bank-bank nasional yang memiliki teknologi yang canggih dan
menggunakan satelit Palapa untuk menghubungkan jaringan semua kantor dan ATM-nya.
Pada waktu itu, Bank Indonesia dan bank-bank negara tidak punya fasilitas teknologi
secanggih milik BCA itu. Baru setelah krisis, semua bank nasional melakukan
modernisasi teknologi yang sangat mahal biayanya. Sementara itu, peningkatan harapan
akan penurunan nilai tukar Rupiah terjadi karena peningkatan permintaan valuta asing
untuk keperluan impor dan pelunasan hutang luar negeri melebihi penghasilan ekspor dan
pemasukan baru modal asing. Gabungan antara peningkatan tingkat suku bunga (deposito
serta kredit) di dalam negeri dengan peningkatan harapan kemerosotan nilai tukar Rupiah
telah menyebabkan tingkat suku bunga di Indonesia senantiasa lebih tinggi daripada di
luar negeri.

5
3. Peningkatan kualitas pengolahan badan usaha
Kurang seriusnya kita meningkatkan transparansi, akuntabilitas serta SDM
perbankan maupun dunia usaha juga telah sekaligus menghambat pemulihan kegiatan
perekonomian nasional. Setelah mengalami krisis, negara lain segera berupaya
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan keuangan negara (good
and clean government) maupun pengelolaan badan usahanya (good corporate
governance). Setelah terjadinya rangkaian skandal dunia usaha (seperti Worldcom dan
Enron) Amerika Serikat mengintrodusi the Sarbanes-Oxley Act tahun 2002. Aturan itu
menegaskan kembali tanggung jawab semua pihak terkait: pengurus badan usaha,
akuntan publik, penasehat hukum, investment bank dan pemain pasar modal. Dalam
industri perbankan, transparansi itu meliputi pengetatan aturan prudensial (seperti the
Basel core principles), penyempurnaan sistem pembukuan dan peningkatan keterbukaan
(disclosures) untuk mewujudkan akuntabilitas semua pihak terkait: otoritas atau pejabat
pengatur, pemegang saham, nasabah maupun industri perbankan itu sendiri. Nasabah
kredit bank juga dipaksa agar menjadi lebih transparan dan akuntabel. Di negara lain itu,
sistem hukum ditingkatkan agar dapat menjadi lebih efektif dan efisien dalam
menyelesaikan konflik kepentingan secara adil sehingga tidak bertele-tele dan tidak perlu
pakai cara ancam mengancam ataupun menggunakan jasa debt collectors.
Di negara lain, kualitas bankir ditingkatkan melalui proses pengujian kepatutan
dan kelayakan (fit and proper test) maupun pendidikan berjenjang. Korea Selatan
meningkatkan pendidikan khusus dalam bidang-bidang ilmu yang belum dikuasai oleh
para bankirnya, seperti derivatives. Kekurangan mutu SDM bank-bank di Asia di bidang
ini merupakan salah satu pemicu krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Selain
mendapatkan hukuman berat, pemilik dan pengurus bank dilarang untuk menjadi pemilik
pengendali maupun pengurus bank. Pejabat yang bertanggung jawab penyebab krisis juga
mendapatkan hukuman yang setimpal. Korea Selatan telah menghukum dua mantan
presiden, mantan pangab dan jenderal bintang 4, beserta kerabatnya karena terlibat KKN.
Sebaliknya, good corporate governance di Indonesia baru berupa semboyan yang hampa
belaka sedangkan sistem hukum kita masih belum efektif dan efisien menyelesaikan
perkara ekonomi.

6
4. Empat kritik terhadap Laporan Pemeriksaan BPK atas bank-bank negara
Ada empat jenis kritik yang dilontarkan oleh sekelompok orang terhadap Laporan
Pemeriksaan BPK atas bank-bank negara yang memuat nama-nama penunggak kredit.
Kritik pertama adalah bahwa pengumuman seperti itu adalah bertentangan dengan UU
Perbankan tahun 1988. Oleh karena itu, kelompok ini menyarankan agar BPK tidak perlu
memeriksa BUMN, termasuk bank-bank negara, terutama yang sudah menjual saham di
bursa efek (go public). Bank-bank itu cukup diperiksa oleh KAP, Bank Indonesia dan
Bapepam. Pendapat dan tuduhan seperti ini tidak benar. Sebagaimana disebut di muka,
kualitas pemeriksaan ketiga pihak itu yang sangat tidak memadai telah menjadi salah satu
sumber pemicu krisis pada tahun 1997-1998. Peranan ketiganya pun sangat terbatas
apakah pada waktu pemerintah dan IMF menetapkan bank mana yang akan dibubarkan
rekap, merjer maupun diteruskan pada tahun 1997-1998 maupun dalam melakukan audit
tentang BLBI yang telah membebani rakyat.
Sementara itu, pemeriksaan bank yang wajib dirahasiakan menurut UU Perbankan
tahun 1988 adalah yang dilakukan oleh Bank Indonesia karena sebagai bank sentral
memeriksa seluruh aspek kegiatan usaha bank. Di lain pihak, mandat BPK hanya terbatas
pada pemeriksaan yang berkaitan dengan keuangan negara saja. Pemuatan nama nasabah
kredit bermasalah dalam Laporan Pemeriksaan BPK adalah dalam rangka peningkatan
keterbukaan (disclosures), tidak mengungkapkan jumlah simpanan nasabah yang dilarang
oleh pasal-pasal tentang kerahasian bank yang diatur dalam UU Perbankan Tahun 1998.
Pengumuman nama nasabah penunggak kredit sudah dimulai oleh BPPN sejak awal
berdiri pada tahun 1988 hingga masa akhir tugasnya pada tahun 2003. Dari daftar nama
BPPN itu terungkap bahwa sebagian besar dari penerima kredit murah dari bank-bank
negara, dan yang tidak melunasi hutangnya, adalah pihak yang erat kaitannya dengan
praktik KKN penguasa politik Orde Baru. Sungguh bertolak belakang dengan pemerataan
yang diindoktrinasikan dalam Penataran P-4 selama masa pemerintahan itu.
Adalah juga tidak benar bahwa para nasabah penunggak kredit yang namanya
diumumkan dalam Laporan BPK akan pindah ke bank-bank lain. Alasannya adalah
karena para nasabah tersebut bukanlah merupakan nasabah yang berharga (nonvalued
customers) dan, karena reputasinya yang buruk, akan sulit mendapatkan kredit dari bank
lain. Biasanya, nasabah yang baik pindah dari satu ke bank lain adalah karena pelayanan

7
banknya yang lama kurang baik dan produknya yang terbatas. Karena tidak bankable di
tempat lain, nasabah yang diumumkan namanya dalam Laporan Pemeriksaan BPK itu
justru berusaha memperbaiki citranya dengan semakin melunasi hutangnya kepada bank-
bank negara tersebut2. Dalam hal yang terakhir ini, bank sentral serta bank-bank negara
seyogyanya berterimakasih kepada BPK yang secara tidak langsung berfungsi sebagai
penagih hutang (debt collector).
Alasan ketiga pihak yang mengkritisi Laporan Audit BPK adalah bahwa
disclosures akan menghambat ekspansi kredit oleh bank-bank BUMN. Padahal,
hambatan terbesar dari ekspansi kredit BUMN adalah karena struktur portepelnya yang
kurang likuid, seperti yang disebut di atas. Sementara itu, sebagaimana disebut di atas,
laporan BPPN mencerminkan bahwa cukup besar porsi kredit bank-bank negara di masa
lalu yang diberikan berdasarkan KKN dan bukan berdasarkan analisis kredit berdasarkan
kemampuan, karakter, kolateral maupun ketersediaan modal pemohon kredit. Cukup
besar pula porsi kredit bank-bank negara tersebut yang digunakan untuk menambah
kapasitas terpasang, yang selain tidak produktif juga hanya menyumbang pada
peningkatan kredit bermasalah (NPL) dengan biaya yang digelembungkan atau di-mark
up pula. Sebagian dari kredit bank negara masa Orde Baru digunakan oleh penerimanya
untuk pelarian modal ataupun melakukan ekspansi usahanya di luar negeri. Skandal L/C
fiktif di Bank BNI tahun 2003 adalah pencurian dan bukan kredit.
Pengkritik Laporan Pemeriksaan BPK itu pun tidak faham struktur BUMN di
Indonesia yang sangat berbeda dengan di negara-negara lain yang lebih maju dan teratur.
Di negara lain itu, modal BUMN memang merupakan uang negara yang dipisahkan dan
kerugiannya tidak lagi merupakan kewajiban kontijensi negara. Pengurusnya pun
akuntabel dan bertanggung jawab penuh kepada prestrasi kerja perusahaan yang
diurusnya. Sebaliknya, walaupun BUMN di Indonesia sudah go public, pemerintah masih
tetap memiliki golden share dalam perusahaan itu. Artinya, Pemerintah Indonesia masih
memiliki kekuasaan yang dominan dalam menentukan pengurus maupun arah kebijakan
perusahaan itu. Dengan demikian, segala kerugiannya merupakan kewajiban kontijensi
pemerintah. Lihatlah, misalnya, Bank BNI yang sudah go public jauh sebelum krisis
2 Peningkatan pelunasan hutang kepada negara setelah diperiksa oleh BPK juga terjadi pada beberapa dari 16 Bank-Bank Dalam Likuidasi (BDL), yang dilikuidir pada tahun 1997.

8
tahun 1997-1998. Pengurusnya masih tunjukan pemerintah dan pemberian kreditnya pun
tidak beda dengan sebelum go public kental dengan nuansa KKN. Setelah krisis tahun
1997-1998 masih juga terjadi skandal L/C fiktif pada tahun 2003 yang menambah beban
rakyat. Belum ada satu pun pengurus BUMN pada era krisis dan pada masa skandal
sesudahnya yang sudah masuk penjara sesuai dengan Undang-Undang Perbankan yang
disebut di atas.
Tanpa adanya peningkatan transparansi dan akuntabilitas maupun mutu SDM
industri perbankan maupun badan usaha, tidak mungkin kita dapat meningkatkan
efisiensi perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan efiensi seperti ini akan
memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita mampu berperan dalam era
globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun pasar dunia. Lihatlah prestasi
kantor cabang bank-bank nasional kita atau Indover, bank milik BI, di luar negeri.
Hampir seluruhnya merupakan proyek rugi, menghamburkan aset bangsa karena hanya
mengandalkan penempatan dana dari Kantor Pusatnya di Indonesia. Hampir semua kredit
yang diberikan oleh kantor-kantor cabang di luar negeri itu menjadi bermasalah dan
cukup besar yang diberikan kepada kepada nasabah-nasabah di Indonesia atas dasar KKN
yang dalam istilah sekarang dapat disebut sebagai money laundering. Kita bercita-cita
membuat Bank BNI, misalnya atau bank milik nasional lainnya setidaknya dapat
menyamai Development Bank of Singapore (DSB) yang mampu bersaing di pasar
regional dan internasional. Kita juga ingin melihat perusahaan penerbangan kita mampu
bersaing dengan Silk Air jika belum mampu menyaingi Singapore Airlines. Untuk
merubah citra perusahaan, tidak cukup hanya dengan sekedar merubah logo yang banyak
membuang uang. Citra hanya dirubah melalui peningkatan kualitas pelayanan, ekspansi
dan perolehan keuntungan usaha.
5. Peran BPK dalam mengkatkan transparansi dan akuntabilitas bank negara
Sebagaimana diketahui UUD 1945 maupun ketiga UU dibidang keuangan negara
yang disebut di atas menugaskan BPK melakukan pemeriksaan setiap sen uang negara
dari mana pun sumbernya, di manapun disimpan dan untuk apapun dipergunakan. Dalam
kaitan ini ada berbagai peran yang dilakukan oleh BPK untuk ikut meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas keuangan negara termasuk bank-bank negara, apakah milik

9
Pemerintah Pusat dan daerah, anak perusahaan maupun milik yayasan yang terkait
dengan kedinasan. Peran yang pertama adalah untuk meningkatkan kualitas
pemeriksaannya. Pemeriksaan BPK terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama,
adalah berupa pemeriksaan secara umum (keuangan, kinerja, atau pemeriksaan lainnya).
Kelompok kedua adalah pemeriksaan khusus yang ditujukan untuk mendeteksi terjadinya
tindak korupsi melalui pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus (investigative
and fraud audit). Pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus itu dilakukan oleh
BPK mulai tahun 1999 berkenaan dengan pemeriksaan BLBI. Laporan Pemeriksaan atas
BLBI itu telah diserahkan oleh BPK untuk ditindak lanjuti kepada DPR dan Kejaksaan
Agung pada tanggal 4 Agustus 2000.
Tindak lanjut Laporan Pemeriksaan Khusus BPK mengenai BLBI sangat lambat,
baik untuk menghukum para pelakunya maupun para pejabat negara yang terlibat.
Pelacakan pelarian modal periode krisis 1997-1998 pun tidak pernah dilakukan, apalagi
recovery-nya. Padahal, sangat mudah dan murah untuk melakukan pelacakan pelarian
modal hasil korupsi dan BLBI itu dengan meminta daftar nama orang yang memindahkan
uangnya keluar negeri pada periode itu yang disimpan pada tape computer beberapa bank
devisa utama yang berkantor di Jakarta. Asal kita serius, penegak hukum negara lain pun
bersedia membantu recovery hasil korupsi dan BLBI yang dilarikan dari Indonesia itu.
Selama tahun 2005, BPK telah menyampaikan kurang lebih 14 temuan yang
mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan nilai
sebesar Rp2,9 triliun dan US$ 39,08 juta.
Peran kedua yang dilakukan oleh BPK adalah untuk ikut mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi. Peran ini dilakukan BPK melalui partisipasi aktif dalam
perombakan sistem administrasi keuangan negara yang sangat tidak transparan dan tidak
akuntabel selama masa Pemerintahan Orde Baru. Sebagaimana diketahui, anggaran
negara dalam masa Orde Baru dibagi dalam dua bagian, yakni anggaran rutin dan
anggaran pembangunan. Anggaran rutin dikontrol oleh Ditjen Anggaran sedangkan
Anggaran Pembangunan dikendalikan oleh Bappenas. Anggaran pembangunan juga
meliputi suplemen anggaran rutin seperti honor dan gaji maupun biaya perjalanan
pelaksana proyek. Di samping anggaran resmi juga ada anggaran nonbujeter yang
bersumber dari yayasan, dana pensiun, koperasi/badan usaha. Baik modal awal maupun

10
kegiatan usaha instansi ataupun perusahaan satelit, pada hakikatnya, adalah bersumber
dari induk instansinya.
Tiga Paket UU di Bidang Keuangan Negara3 yang dikeluarkan tahun 2003–2004
telah memberikan design sistem akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Tidak ada
lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan sedangkan
anggaran nonbujeter semakin ditiadakan. Tiga UU tersebut ditambah dengan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP
telah merubah jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem
akuntansi berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan
terkomputerisasi, dan menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara
berjenjang. Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004
menggambarkan bahwa sistem akuntabilitas keuangan negara yang diatur dalam ketiga
paket UU tersebut belum sepenuhnya berjalan. BPK tidak dapat menyatakan pendapat
(disclaimer) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2004 karena adanya
kelemahan-kelemahan signifikan dalam Sistem Pengendalian Intern, pelaksanaan standar
maupun ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Beberapa temuan signifikan yang diperoleh BPK adalah belum berjalannya sistem
akuntansi pemerintahan dengan baik. Dewasa ini, terdapat 957 rekening pribadi
(termasuk yang sudah lama meninggal dunia) yang menyimpan uang negara dengan nilai
sebesar Rp20,55 triliun. Berbagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan piutang
negara lainnya tidak dilaporkan dan disetorkan ke kas negara. Contohnya adalah berupa
denda pengganti hukuman yang dipungut oleh Kejaksaan Agung sebesar Rp6,6 triliun.
Sudah menjadi pengetahuan umum dan ditemukan oleh pemeriksaan BPK berbagai
penyelewengan atas penjualan tanah negara, royalti penambangan ataupun iuran hasil
hutan ataupun dana pemeliharaan lingkungan oleh perusahaan pertambangan dan
perkayuan. Di lain pihak, Australia, negara yang jauh lebih kaya daripada Indonesia,
telah menjual gedung kedubesnya di Tokyo pada dasawarsa 1980-an untuk melunasi
pembayaran hutang luar negerinya. Masih lemahnya sistem akuntansi keuangan negara
3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

11
sekaligus mencerminkan bahwa good and clean government di Indonesia masih berupa
cita-cita yang memerlukan waktu dan kerja keras untuk mewujudkannya.
Secara bertahap, BPK akan memeriksa BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang
menerima aliran dana yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemda.
Sebagaimana diketahui, porsi APBN yang diserahkan kepada daerah telah meningkat
dengan pesat dari 4% (2000) menjadi lebih dari sepertiga dewasa ini. Dana itu disalurkan
kepada daerah dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus serta Dana
Penyeimbang. Sebagian dari dana tersebut ditempatkan oleh Pemda pada BPD-nya
masing-masing. Pada gilirannya, BPD-BPD itu mendaurulangkan dengan menempatkan
dana tersebut dalam bentuk Reksadana, SBI dan Fasbi serta pinjaman antar bank di
Jakarta. Padahal, berbagai daerah mengeluh kekurangan dana. Daur ulang dana APBN
seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab mengapa menjamurnya
pembukaan kantor-kantor cabang BPD berbagai daerah dilokasi mahal di Jakarta. Tidak
jelas, arah kebijakan Pemerintah dan API yang membiarkan ekspansi kantor cabang BPD
di Jakarta dan dengan penempatan dana yang seperti itu.
Pasal 17 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebut bahwa penerima utama Laporan
Pemeriksaan BPK adalah DPR dan DPD tingkat nasional serta DPRD Provinsi serta
Kabupaten/Kota. Ketiga tingkat DPR itu merupakan pemegang hak bujet di daerahnya
masing-masing. Pasal 14 UU tersebut mewajibkan BPK melaporkan secara khusus hal-
hal yang diduga mengandung aspek kriminal kepada penegak hukum Kejaksaan Agung,
Kepolisian maupun KPK. Pasal 19 menyebut bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan yang
telah disampaikan kepada lembaga perwakilan terbuka untuk umum. Berdasarkan
ketentuan Pasal 19 itu, BPK memuat laporannya secara lengkap di website-nya untuk
dapat diketahui dan dikritisi oleh umum. Disclosures seperti inilah yang tidak disukai
oleh sekelompok politisi, bankir dan pengusaha itu.

1
Keuangan Negara1
1. Pengantar
Berhasil tidaknya reformasi sosial yang digalakkan sejak runtuhnya pemerintahan
Orde Baru juga tergantung pada kemampuan kita semua menegakkan transparansi dan
akuntabilitas serta good governance, apakah pada sektor publik maupun dunia usaha.
Pada gilirannya, transparansi, akuntabilitas dan good governance itu sangat ditentukan
oleh perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum nasional. Sebagaimana diketahui,
reformasi yang kita lakukan dewasa ini adalah menyangkut sistem politik, sistem
pemerintahan dan sistem perekonomian.
Sistem politik kita tengah beralih dari sistem otoriter masa pemerintahan Orde
Baru pada sistem demokrasi. Pada gilirannya demokrasi politik sekaligus menuntut
adanya transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistis kita rubah menjadi otonomi daerah yang
sangat luas. Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas, akan terjadi saling curiga dan
cekcok antar daerah maupun antar suku di negara yang majemuk seperti Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, kita meninggalkan sistem perencanaan dengan campur tangan
pemerintah yang berlebihan dan beralih pada sistem pasar serta masuk arus globalisasi.
Sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika, sistem
akuntansi dapat menjamin adanya transparansi informasi. Sementara itu, sistem hukum
seyogyanya dapat melindungi hak milik individu, memaksakan berlakunya kontrak serta
menyelesaikan konflik kepentingan secara efektif dan efisien. Distorsi pasar berdasarkan
transaksi yang tidak transparan, atau seperti “jual kucing dalam karung”, sangat tidak adil
dan merugikan pembeli. Penyelesaian hukum yang bertele-tele dan tidak adil
meningkatkan biaya transaksi pasar.
Berbagai kasus perbankan dan dunia usaha (seperti Perusahaan Jawatan Kereta
Api) yang terjadi akhir-akhir ini, menggambarkan bahwa mutu kerja akuntan nasional
kita masih perlu ditingkatkan untuk dapat memelihara transparansi serta akuntabilitas 1 Keynote Speech pada Konggres Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) X, dengan topik “Peran Profesi Akuntan dalam Penegakan Good Governance antara Tuntutan dan Kemampuan”, Krakatau Room, Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta, tanggal 21 November 2006, pukul 10:30-12:00.

2
laporan keuangan maupun peningkatan governance sektor publik dan dunia usaha.
Peningkatan kualitas kerja akuntan kita tidak cukup hanya sekedar menterjemahkan
standar akuntasi internasional kedalam Bahasa Indonesia dan, melalui upacara besar-
besaran, mencanangkan penggunaan good governance dalam sektor publik dan dunia
usaha. Perbaikan sistem hukum kita pun masih sebatas wacana, belum dapat melindungi
hak milik pribadi dan memaksakan berlakunya kontrak dengan cepat secara efektif dan
efisien. Kurang tertibnya sistem hukum dan sistem akuntansi nasional merupakan, antara
lain, telah merupakan faktor penyebab akan kurang menariknya iklim usaha serta
investasi di Indonesia.
2. Reformasi keuangan sektor publik
Dalam kaitan dengan reformasi sistem sosial yang disebut di atas, pemerintah
tengah melakukan reformasi struktur keuangan negara serta sistem akuntabilitasnya.
Reformasi fiskal itu tercermin dalam ketiga paket UU Bidang Keuangan Negara yang
diundangkan pada tahun 2003-2004 maupun dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) bulan Juli 2005. Ketiga UU dan
SAP tersebut telah merubah design sistem akuntabilitas keuangan negara, struktur
anggaran negara serta jenis maupun format laporan keuangan negara. Ketiga UU dan PP
itu menerapkan perbendaharaan negara yang terpadu, memberlakukan sistem akuntansi
berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan terkomputerisasi serta
menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang.
Dalam APBN sekarang ini, tidak ada lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan
anggaran pembangunan yang dikenal dalam APBN Orde Baru. Dalam APBN masa
pemerintahan Orde Baru, hutang luar negeri disebut sebagai penerimaan pembangunan
dan merupakan penyeimbang APBN berimbang selama masa itu. Dalam APN sekarang
ini, hutang dalam negeri dalan luar negeri disebut sebagai hutang dan tetap merupakan
sumber pembelanjaan defisit anggaran negara. Penerimaan oleh berbagai instansi negara
dari sumber nonpajak yang diatur, diadministrasikan dan digunakannya sendiri selama
masa Orde Baru, kini semakin ditertibkan. Sementara itu, penyimpanan keuangan negara
semakin dipadukan dalam suatu single treasury account dan tidak lagi disimpan dalam

3
rekening pribadi pejabat negara, termasuk anggota IAI yang sudah lama meninggal
dunia, yang sangat marak selama masa pemerintahan Orde Baru.
Reformasi fiskal sekaligus menuntut reformasi pengelolaan badan usaha milik
negara (termasuk BUMN dan BUMD) untuk meningkatkan governance-nya maupun
kemampuannya agar dapat menyumbang pada keuangan negara serta perekonomian
nasional. Sebagaimana diketahui, sektor publik di Indonesia bukan saja memproduksi apa
yang disebut oleh ilmu ekonomi sebagai public goods.2 Melalui badan usaha milik
negara, sektor negara juga memproduksi private goods, komoditi yang dengan jelas dapat
diidentifikasikan konsumennya.
Pada hakikatnya, produksi private goods merupakan porsi dunia usaha swasta dan
biaya pengadaannya tercermin pada harga pasar produk yang dibayar oleh konsumen.
Biaya pengadaan berbagai jenis public goods yang penggunanya dapat diidentifikasikan
dengan jelas juga dapat dibebankan langsung kepada konsumennya. Untuk memelihara
ketertiban anggaran negara, penerimaan negara dari sumber ini, yang disebut sebagai
penerimaan nonpajak, harus diatur oleh UU dan dipertanggung jawabkan kepada
DPR/DPRD. Public goods yang dapat dibebankan pada konsumennya, adalah termasuk
biaya pemeriksaan oleh BPK pada auditee yang mampu maupun, biaya pembuatan KTP,
Ijin Mendirikan Bangunan serta biaya pengadilan perkara perdata.
3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK
2 Menurut ilmu ekonomi mikro serta ilmu keuangan negara, public goods memiliki dua ciri khusus, yakni:
(i) ‘nonrival’ dan (ii) ‘nonexcludability’. ‘Nonrival’ berarti bahwa konsumsi seseorang akan komoditi
publik itu tidak mengurangi konsumsi bagi konsumen lainnya. Contoh dari komoditi publik adalah
perlindungan Pemerintah, TNI dan Polisi yang menciptakan rasa aman dan tertib. ‘Nonexcludability’
artinya bahwa semua orang yang tinggal di Indonesia, apakah suka atau tidak suka, baik yang kaya maupun
yang miskin dan baik penjahat maupun orang baik-baik, menikmati perlindungan keamanan dan ketertiban
yang sama dari Pemerintah, TNI dan Polri yang sama. Satu-satu-nya cara bagi seseorang yang tidak
menyukai perlindungan Pemerintah, TNI dan Polri adalah meninggalkan wilayah Indonesia.

4
UU No. 15 Tahun 2006, tanggal 30 Oktober 2006, telah memulihkan
independensi BPK. Dalam sistem politik otoriter masa lalu, pemerintah mengontrol BPK
tidak saja melalui organisasinya, personil dan angggarannya. Objek pemeriksaannya pun
diredusir sehingga tidak mencakup objek-objek yang merupakan “tambang emas”
penguasa pada waktu itu dan rawan KKN. Objek-objek tersebut, antara lain, adalah
penerimaan pajak, berbagai penerimaan negara bukan pajak, bank-bank negara,
kehutanan, Pertamina maupun kontraktor minyak asing. Di masa lalu, dengan alasan agar
tidak mengganggu stabilitas nasional, Laporan Pemeriksaan BPK atas beberapa objek
tertentu, seperti Bulog, Gelora Senayan dan Kompleks Kemayoran diatur sedemikian
rupa agar sejalan dengan selera pemerintah. Pada masa tersebut, Laporan Pemeriksaan
BPK hanya tersedia bagi pemerintah serta DPR dan tidak tersedia bagi konsumsi umum.
Dalam dua tahun terakhir, pemerintah dan DPR telah memberikan fleksibilitas
dalam hal pengaturan organisasi dan personil BPK. Anggarannya pun telah semakin
bertambah untuk menambah auditor, meningkatkan penghasilannya agar setara dengan
penghasilan karyawan BPKP dan memperluas jaringan kantor agar dapat memeriksa
keuangan provinsi, kabupaten dan kota sesuai dengan tuntutan UU No. 15 Tahun 2004.
Dengan tersedianya anggaran yang memadai dari sumber APBN, mulai tahun 2005, BPK
tidak lagi menerima dana pemeriksaan dari auditee. Dalam dua tahun terakhir, jumlah
tenaga auditor BPK telah bertambah dari sekitar 2.851 orang (2004) menjadi 3.463 orang
(2006), sedangkan jumlah kantor perwakilannya bertambah dari 7 menjadi 16. Kecuali
untuk melakukan audit penerimaan pajak, ruang lingkup pemeriksaan BPK pun sudah
semakin melebar dan mendalam dalam memeriksa keuangan negara. Karena latar
belakang pendidikan auditornya adalah terutama dalam ilmu akuntansi dan ilmu hukum,
maka kemampuan BPK melakukan audit kinerja (performance audit) masih sangat
terbatas.
Pemulihan independensi BPK memudahkan pekerjaan BPK untuk menjalankan
amanat konstitusi agar dapat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
setiap sen uang negara darimana pun asalnya dan di mana pun disimpan serta untuk
apapun dipergunakan. Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa BPK
bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam arti luas,
baik untuk keperluan produksi public goods maupun private goods. Secara kelembagaan,

5
produksi kedua jenis komoditi itu dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum (BLU),
BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara, termasuk
yayasan-yayasan yang terkait dengan kedinasan. Barangkali, hanya Bank Indonesia yang
merupakan satu-satunya bank sentral di dunia yang memiliki bank komersil, yakni
Indover. Anak perusahaan Bank Mandiri termasuk Semen Kupang.
Akuntabilitas publik menuntut agar BPK mengumumkan temuan pemeriksaannya
mengenai keuangan negara, program serta hasil kerja pemerintah kepada semua pihak
terkait (stakeholders) melalui website-nya. Pihak terkait itu adalah masyarakat luas yang
menanggung pajak dan beban pengeluaran negara, DPR/DPRD yang merupakan
pemegang hak bujet, instansi penyelenggaran pemerintahan maupun pemberi pinjaman
serta investor yang membeli surat utang negara (SUN).
UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang
BUMN masih membatasi akses BPK melakukan pemeriksaan penerimaan pajak maupun
BUMN yang sudah go public. Larangan mengaudit penerimaan pajak membuat Ditjen
Pajak sebagai monster yang tidak akuntabel dan transparan. Hampir 43% dari konsulen
pajak adalah pensiunan karyawan Ditjen Pajak sendiri. Buruknya administrasi pajak yang
tidak dapat diaudit itu menjadi salah satu alasan pokok mengapa rasio penerimaan pajak
terhadap PDB di Indonesia merupakan salah satu yang terendah didunia dan tidak dapat
ditingkatkan dari sekitar 13% setelah 60 tahun merdeka. Dalam kondisi administrasi
pajak yang buruk itu, Indonesia tetap menggunakan tarif pajak berlapis dengan
pengurangan (deductions) dan pengecualian (exemptions) yang kompleks namun rawan
terhadap interpretasi subjektif oleh oknum petugas maupun wajib pajak.
Sementara itu, skandal seperti L/C fiktif di Bank BNI masih terus terjadi pada
bank-bank negara yang sudah go public. Karena pemerintah masih memiliki golden
share, pengurus BUMN yang sudah go public masih terdiri dari pejabat negara yang
ingin mendapatkan tambahan penghasilan. Akibatnya, governance-nya masih tetap
rendah. Sebagai ilustrasi, pemberitaan surat kabar menyebut bahwa Compliance Director
Bank BNI justru memberikan uang pelicin berupa success fee kepada oknum Bareskrim,
Mabes Polri. Padahal, Compliance Director itu justru diciptakan untuk mencegah

6
terjadinya perbuatan seperti itu. Kepala BPKP yang bertugas mengawasi keuangan
negara diangkat menjadi komisaris BUMN yang diawasinya.
4. Penggunaan KAP dan Akuntan Publik/KAP
Walaupun konstitusi memberikannya posisi sebagai otorita tunggal pemeriksaan
keuangan negara, BPK tidak mungkin dapat melakukan sendiri pemeriksaan keuangan
seluruh sektor negara. Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 9 UU No. 15 Tahun
2006 memberikan peluang bagi BPK untuk “menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga
pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK”. Untuk keperluan
pemeriksaan keuangan negara itu, BPK mengundang partisipasi Kantor Akuntan Publik
(KAP), baik untuk pemeriksaan BUMN dan BUMD maupun untuk instansi
pemerintahan.
Pemeriksaan keuangan negara ada persamaannya dengan pemeriksaan industri
perbankan. Keduanya memerlukan dua jenis pemeriksaan. Pertama adalah pemeriksaan
finansil (financial audit) untuk memeriksa apakah transaksi keuangan sudah dilakukan
sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Jenis audit yang kedua adalah compliance
audit atau audit kepatuhan kepada undang-undang maupun peraturan serta kebijakan
Pemerintah yang berlaku.
Karena keunikan akuntansi pemerintahan maka BPK akan mewajibkan individu
akuntan yang akan melakukan pemeriksaan keuangan negara untuk mengikuti program
pelatihan khusus mengenai pemeriksaan keuangan negara dan mendapatkan sertifikat
tanda lulus program. Program pelatihan ini akan diorganisir oleh BPK sendiri dengan
kurikulum yang akan ditetapkan olehnya sendiri pula. Program khusus ini diperlukan
karena kurikulum ilmu akuntansi pada universitas kita hanya terfokus pada kebutuhan di
sektor swasta. Barangkali, baru Business School pada Universitas Wina di Austria yang
sudah memasukkan masalah public goods dalam kurikulumnya. Undang-Undang,
peraturan dan kebijakan tentang keuangan negara (Pusat dan Daerah) serta sistem
akuntansi maupun auditnya merupakan topik pelajaran tersendiri dalam program tersebut.
BPK memberikan ijin kepada individu akuntan dan KAP yang telah memiliki
sertifikat program pemeriksaan keuangan negara untuk melakukan pemeriksaan
keuangan negara dalam arti luas. Nama individu akuntan bersertifikat tersebut akan

7
dimuat dalam daftar yang akan diumumkan secara luas dan diedarkan oleh BPK kepada
semua instansi Pemerintah serta BUMN/BUMD. Instansi pemerintah ataupun
BUMN/BUMD yang bersangkutan dipersilahkan memilih sendiri akuntan yang akan
digunakannya dari daftar yang disusun oleh BPK itu. Instansi Pemerintah dan
BUMN/BUMD yang bersangkutan sekaligus menegosiasikan berapa besarnya biaya
pemeriksaan keuangannya berdasarkan tarif komersil yang berlaku. Untuk mengurangi
beban keuangan negara, instansi (seperti universitas) ataupun badan usaha milik negara
(BUMN dan BUMD) yang mampu akan membayar sendiri biaya jasa KAP yang
dipergunakannya.
Akuntan dan/ataupun KAP yang memeriksa instansi Pemerintah serta
BUMD/BUMN wajib menyerahkan copy Laporan Pemeriksaannya kepada BPK. Pada
gilirannya, BPK mempelajari laporan itu dan memeriksanya apakah telah memenuhi
standar akuntansi pemerintahan yang berlaku. Menggunakan kewenangan quasi-judicial-
nya, BPK dapat mengeluarkan nama akuntan ataupun KAP yang bersangkutan dari daftar
pemeriksa keuangan sektor publik jika ternyata tidak memiliki dasar ilmu akuntansi yang
memadai, tidak mengikuti standar akuntansi pemerintahan yang berlaku dan/ataupun
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan etika akuntan profesional.
Program pendidikan akuntan bersertifikat pemeriksaan keuangan negara itu
diharapkan akan dapat dimulai pada awal tahun 2007 mendatang.

BPK dan Pemeriksaan Keuangan Negara1
1. Tugas dan peranan BPK
UUD 1945 memberikan posisi yang sangat tinggi pada BPK sebagai suatu lembaga
negara sendiri. Tugas BPK adalah memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek
keuangan negara. BPK bertugas untuk memeriksa semua asal usul dan besarnya penerimaan
negara dari mana pun sumbernya. BPK bertugas untuk memeriksa di mana uang negara itu
disimpan. BPK sekaligus bertugas untuk memeriksa untuk apa uang negara tersebut
dipergunakan. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian kedua, keuangan negara
di Indonesia bukan saja tercermin pada APBN dan APBD. Keuangan negara itu juga
tercermin pada kegiatan BUMN dan BUMD, yayasan, dana pensiun maupun perusahaan
yang terkait dengan kedinasan. Bahkan, keuangan negara juga mencakup bantuan atau
subsidi kepada lembaga sosial milik swasta.
Dewasa ini, BPK belum mampu melakukan audit kinerja guna menilai efisiensi,
efektifitas maupun nilai ekonomi kegiatan instansi pemerintah. Alasannya karena pemerintah
sendiri belum menetapkan indikator tujuan kegiatannya. Sementara itu, kemampuan BPK
sendiri masih perlu ditingkatkan agar dapat menilai efektifitas, efisiensi dan ekonomisnya
kebijakan pemerintah. Prioritas pemeriksaan BPK sekarang ini masih bertumpu pada
perbaikan tata kelola keuangan negara. Tata kelola keuangan negara itu kini beralih dari
sistem Orde Baru yang kurang tertib menuju implementasi Paket Tiga Undang-Undang
Keuangan Negara tahun 2003-20042. Buruknya tata kelola keuangan negara dalam masa
Orde Baru merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada
tahun 1997-1998. Belum baiknya transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus merupakan
salah satu faktor penyebab akan lambannya pemulihan kegiatan ekonomi Indonesia dalam 10
tahun terakhir dan belum baiknya governance BUMN serta BUMD.
Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara diperlukan untuk mewujudkan empat
aspek sasaran perbaikan sistem sosial Indonesia, terutama sejak era reformasi setelah
1 Makalah dalam “Pertemuan Gubernur se Kalimantan dengan Aparat Penegak Hukum dalam rangka pelaksanaan Good Governance di Kalimantan”, Hotel Borobudur, Jakarta, 25 April 2007; Makalah dalam Seminar Nasional "Membangun Sistem Manajemen Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan sesuai Tata Kelola yang Baik" LKKFH-UI (26 April 2007) disampaikan pada kuliah tamu Permulaan Semester Genap TA 2006/2007 Universitas Brawijaya, Malang (14 Maret 2007) 2 Ketiga Undang-Undang mengenai Keuangan negara itu adalah masing-masing: (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanngung Jawab Keuangan Negara.

runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Sasaran yang pertama reformasi itu adalah untuk
menggantikan sistem politik yang otoriter dengan demokrasi. Demokrasi politik bukan saja
meniadakan peran aktif TNI/POLRI dalam kancah politik, menjamin kebebasan bersuara dan
berserikat, menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur serta adil secara periodik.
Demokrasi juga menuntut transparansi dan akuntabilitas keuangan negara agar rakyat melalui
DPR/DPRD dapat menggunakan hak bujetnya. Sasaran kedua reformasi adalah untuk
menggantikan sistem pemerintahan yang sentralistis dengan memberikan otonomi luas
kepada kabupaten/kota. Sistem sosial Indonesia yang majemuk memerlukan transparansi dan
akuntabilitas fiskal sebagai perekat bagi terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia agar tidak ada rasa curiga maupun kecemburuan antara satu kelompok dan daerah
dengan kelompok dan daerah lainnya.
Sasaran ketiga dari reformasi adalah untuk menggantikan sistem ekonomi yang
mengandalkan perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan dengan
sistem yang semakin banyak menggunakan mekanisme pasar dan memasuki persaingan
global. Sistem perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan di masa
lalu itu telah menghasilkan distorsi dan inefisiensi maupun korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebaliknya, mekanisme pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada
perbaikan kualitas informasi pasar. Pada gilirannya kualitas informasi pasar dapat
ditingkatkan melalui perbaikan transparansi dan akuntabilitas pelaku ekonomi, termasuk
negara. Jika di negara lain, liberalisme dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
ekonomi nasional, di Indonesia justru menimbulkan inefisiensi yang berujung pada krisis
ekonomi tahun 1997-1998. Hal ini terjadi karena, a.l., liberalisasi, deregulasi, privatisasi Orde
Baru hanya memindahkan hak monopoli dari sektor negara kepada segelintir kroni penguasa
yang tidak punya modal, keahlian, maupun pengalaman.
Transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus memudahkan pemerintah untuk
mengetahui setiap saat posisi keuangannya sendiri agar dapat melakukan pengaturan arus kas
dengan baik. Krisis tahun 1997-1998 terjadi, antara lain, karena pemerintah tidak memiliki
informasi dan kontrol atas posisi keuangannya sendiri yang tersebar di berbagai instansi dan
BUMN/BUMD serta di berbagai rekening individu pejabat negara. Transparansi serta
akuntabilitas fiskal itu perlu adalah untuk meyakinkan investor pembeli SUN. Masyarakat
akan enggan membayar pajak dan investor ragu membeli SUN jika tidak ada transparansi
dan akuntabilitas fiskal. Rating SUN di pasar keuangan internasional tetap rendah di bawah
investment grade. Akibatnya tingkat suku bunga yang berlaku untuk Indonesia tetap lebih
tinggi daripada tingkat suku bunga dunia.

Reformasi sistem keuangan negara sekaligus dimaksudkan agar membuatnya semakin
bermakna sebagai alat manajemen dan perencanaan pemerintah. Untuk dapat mencapai kedua
sasaran ini, anggaran negara harus mencerminkan alokasi sumber-sumber ekonomi yang
dikuasai dan dialokasikan oleh negara.
Sasaran yang keempat adalah untuk meningkatkan governance dunia usaha nasional,
utamanya BUMN/BUMD, agar mampu bersaing di pasar global. Transparansi dan
akuntabilitas perekonomian, termasuk keuangan negara, sekaligus merupakan prasyarat bagi
perekonomi nasional agar mampu bersaing di pasar dunia. Tanpa adanya informasi yang
akurat dan terbuka mengenai keuangan negara, tidak mungkin pemerintah dapat menjual
obligasi atau surat hutang di pasar keuangan nasional dan internasional guna menutup defisit
anggarannya. Ketergantungan pembelanjaan defisit anggaran negara dengan penjualan
obligasi di pasar komersil semakin meningkat sejak tahun 1998. Pada waktu itu, SUN dijual
di pasar komersil dalam negeri untuk menambah modal bank-bank nasional yang telah
bangrut secara teknis setelah dilanda oleh krisis. Penjualan SUN di pasar komersil
internasional dimulai pada tahun 2004. Governance BUMN dan BUMD yang kurang baik
membatasi akses mereka untuk memasuki pasar global. Pada saat ini, BUMN dan BUMD
Indonesia bukan merupakan saingan BUMN Singapura.
2. Pemulihan independensi dan kemandirian BPK
Sebagaimana dengan lembaga negara lainnya, BPK di masa pemerintahan otoriter
masa lalu, adalah berada di bawah pengaturan pemerintah. Pada waktu itu, pemerintah
mengatur BPK melalui pembatasan objek pemeriksaannya, kontrol organisasinya, kontrol
anggarannya, kontrol personil termasuk karyawannya maupun pengawasan atas pemilihan
metoda pemeriksaan serta isi laporan pemeriksaannya. UU Pajak yang diintrodusi pada masa
Orde Baru mencegah BPK untuk mengaudit penerimaan negara dari perpajakan. Melalui
kontrol seperti itu, BPK di masa lalu tidak lebih dari tukang stempel keinginan pemerintah.
Agar tidak mengganggu ”stabilitas nasional”, laporan pemeriksaan BPK disesuaikan dengan
selera pemerintah. Sektor negara di masa rezim otoriter itu juga sangat tidak transparan
karena maraknya anggaran nonbujeter, luasnya perusahaan dan yayasan yang terkait dengan
kedinasan yang tidak dicatat dalam APBN, tidak seijin Departemen Keuangan dan di luar
pengetahuan DPR/D PRD serta rakyat banyak.
Berkat kerja keras Panitia Kerja (Panja) Undang-Undang itu dan Komisi XI DPR serta
Pemerintah, UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK telah dapat diterbitkan dalam masa satu
tahun pembahasan untuk menggantikan UU No. 5 Tahun 1973. Penerbitan UU baru itu telah

memulihkan kembali independensi dan kemandirian BPK secara formal. UU BPK yang baru
tersebut sudah lebih dekat dengan keinginan independensi serta kemandirian lembaga
pemeriksa keuangan sebagaimana diharapkan oleh Deklarasi Lima yang dihasilkan oleh
Kongres IX INTOSAI3, organisasi BPK sedunia, di kota Lima, Peru, pada Oktober 1977.
Independensi BPK bukan saja menyangkut organisasinya yang secara formal berada di luar
cabang eksekutif, legislatif maupun judikatif pemerintahan. Independensi BPK, menurut
Deklarasi Lima, seyogyanya juga tercermin dalam hal independensi personilnya dalam
pengambilan keputusan, independensi dalam bidang keuangan serta anggaran. Independensi
BPK sekaligus seharusnya tercermin dalam hal kewenangannya untuk melakukan
pemeriksaan pada semua sumber penerimaan negara termasuk penerimaan pajak maupun
bukan pajak. BPK yang independen juga memiliki kewenangan untuk memeriksa
penyimpanan maupun penggunaan keuangan negara. Independensi yang tidak kurang
pentingnya adalah dalam hal kebebasan untuk memilih metoda audit serta dalam penyusanan
laporannya agar tidak distortif.
Menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan laporan pemeriksaannya
kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD dan DPRD). Segera setelah diserahkan
kepada Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat itu, BPK wajib untuk memuatnya dalam
website agar dapat diakses oleh masyarakat luas. Hal-hal yang mengandung unsur pidana
dilaporkan oleh BPK kepada penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK-Komisi
Pemberantasan Korupsi). Pada gilirannya pemerintah, Lembaga-Lembaga Perwakilan dan
para penegak hukum tersebut menindaklanjuti temuan pemeriksaan serta rekomendasi BPK.
Sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak bujet, DPR dan DPRD dapat menerbitkan
undang-undang dan mendesak pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan uang serta
asetnya. Lembaga Perwakilan Rakyat juga dapat meneruskan kasus tindakan kriminal untuk
diusut lebih lanjut oleh penegak hukum.
Selain memulihkan hak independensi dan kemandirian BPK, UU No 15 Tahun 2006
tersebut sekaligus semakin membuka BPK agar juga menjadi transparan dan akuntabel.
Keterbukaan BPK Dalam UU No. 15 Tahun 2006 tercermin dari setidaknya empat hal.
Pertama, pemuatan laporan pemeriksaannya secara utuh pada website-nya sehingga dapat
dibaca oleh umum. Kedua, Pasal 30, UU No. 15 Tahun 2006, menetapkan ikut sertanya unsur
profesi dan akademis sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Ketiga, Pasal 32,
UU tersebut menyebut bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
3 INTOSAI-The International Organisation of Supreme Audit Institutions.

tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik. Keempat, Pasal 33 UU itu menetapkan bahwa
sistem pengendalian mutu BPK dilakukan oleh BPK negara lain yang menjadi anggota
organisasi pemeriksa keuangan negara sedunia (INTOSAI). Ringkasan perbandingan antara
BPK di masa lalu dengan sekarang dimuat dalam Tabel 1.
Tabel 1
Perbandingan BPK Pada Masa Orde Baru
Dengan Orde Reformasi
Di bawah UU No. 5
Tahun 1973 dan Dalam
Masa Pemerintahan Orde
Baru
Sejak Tahun 2005 dan Di
bawah UU No. 15 Tahun
2004 dan UU No. 15
Tahun 2006
1. Kantor Perwakilan di
daerah
Tidak diatur Ada di setiap Ibukota
Provinsi
2. Jumlah Ketua, Wakil
Ketua dan Anggota
7 orang 9 orang
3. Pemilihan Pimpinan Diangkat oleh Presiden
atas usul DPR
Dipilih dari dan oleh
Anggota BPK sendiri
4. Independensi
4.1 Organisasi Diatur oleh Menpan Ada fleksibilitas
4.2. Keuangan Bersumber dari APBN Anggaran tersendiri dalam
APBN
4.3 Kepegawaian PNS PNS tapi lebih fleksibel
4.4 Laporan
Pemeriksaan
Dikonsultasikan dengan
Pemerintah agat tidak
mengganggu stabilitas
nasional
Diumumkan dalam website
BPK segera setelah
diserahkan kepada
DPR/DPRD
5. Akuntabilitas
5.1 Kode etik Tidak jelas Mengikat dan
pelaksanaannya diawasi oleh
Majelis Kode Etik yang
anggotanya termasuk unsure
profesi dan akademisi dari

luar BPK
5.2 Pemeriksaan
Anggaran BPK
Dilakukan oleh BPKP dan
tidak diumumkan kepada
publik
Dilakukan oleh Kantor
Akuntan Publik dan
diumumkan secara luas
5.3 Penilaian mutu
kerja BPK
Tidak ada Dilakukan oleh BPK negara
lain anggota INTOSAI
5.4 Laporan
Pemeriksaan
Tidak terbuka untuk
umum
Terbuka untuk umum
sehingga dapat dinilai oleh
masyarakat luas
6. Objek Pemeriksaan
6.1 Penerimaan
Negara
Hampir tidak ada Mulai memeriksa kontrak
pertambangan, termasuk
migas, dan PNBP. Namun,
UU Pajak tetap menutup
akses BPK pada pemeriksaan
penerimaan pajak
6.2 Penyimpanan
Uang Negara
Hampir tidak ada Mulai melakukan
pemeriksaan dan pada Tahun
2005 BPK melaporkan
sebanyak 957 rekening
pribadi pejabat negara yang
menyimpan uang negara dan
tahun 2006 sebanyak 1.303
rekening
6.3 Pengeluaran
Negara
Terbatas pada Pemerintah
Pusat saja dan dari sumber
APBN dan beberapa
provinsi yang dapat
dijangkau oleh kantor
perwakilan BPK.
Meliputi seluruh tingkat
Pemerintahan: Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota
dan termasuk dari anggaran
nonbujeter
6.4 Bank Indonesia,
Pertamina dan
BUMN lainnya
BI, Pertamina dan
sebagian BUMN lainnya
adalah bukan merupakan
Merupakan objek
pemeriksaan BPK

objek pemeriksaan BPK
7. Jadwal waktu
penyusunan dan
pemeriksaan serta
pertanggungjawaban
anggaran belanja
negara
Tidak diatur Diatur dengan jelas dalam
Bab IV UU No. 15 Tahun
2004
8. Laporan Pemeriksaan a.Disampaikan kepada
DPR;
b.Dugaan kriminal
dilaporkan kepada
Pemerintah;
c.Tidak dipublikasikan
untuk kepentingan
umum
a. Disampaikan kepada DPR,
DPD dan DPRD;
b. Seluruh laporan yang
disampaikan kepada
DPR/DPRD/DPD dimuat
dalam website BPK agar
diketahui oleh masyarakat
luas;
c. Dugaan kriminal
dilaporkan kepada
Kepolisian, Kejaksaan dan
KPK
9. Tindak lanjut
temuan
Tidak diatur Dilakukan oleh pejabat
negara dan pelaksaannya
dipantau dan dilaporkan
kepada BPK serta adanya
sanksi pidana bagi yang tidak
melaksanakan tindak lanjut.
10. Pengenaan Ganti
Kerugian Negara
Tidak diatur Ditetapkan oleh BPK dengan
tatacara yang ditentukannya
sendiri
11. Standar pemeriksaan
keuangan negara
Ditetapkan oleh BPK
secara sepihak tanpa
konsultasi dengan
Pemerintah, akademisi
dan praktisi
Ditetapkan oleh BPK setelah
konsultasi dengan
Pemerintah, akademisi dan
praktisi

12. Penggunaan Kantor
Akuntan Publik
untuk memeriksa
sektor publik:
Pemerintah, BUMN
dan BUMD
Dilakukan dengan
menerbitkan cover letter
Diatur menurut ketentuan
BPK. Akuntan publik dilatih
tentang standar pemeriksaan
maupun peraturan mengenai
keuangan negara dan
memberikannya sertifikat
dan surat ijin bagi yang telah
lulus ujian.
13. Peraturan yang
menyangkut
pemeriksaan
keuangan negara
Tidak ada kewenangan Sebagai otorita, BPK dapat
menerbitkan peraturan yang
menyangkut pemeriksaan
keuangan negara
Apa yang dimaksud dengan keuangan negara?
Di negara seperti di Indonesia, Keuangan negara bukan saja meliputi APBN tapi juga
meliputi anggaran nonbujeter serta BUMN/BUMD, yayasan maupun perusahaan yang terkait
dengan kedinasan serta lembaga swasta yang mendapatkan subsidi dari negara. Ada dua
alasan penggunaan definisi keuangan negara yang luas itu. Pertama adalah karena praktik
dari jaman revousi kemerdekaan di mana tiap unit pasukan tentara dan pemerintah sipil,
dengan Doktrin Perlawanan Rakyat Semesta, mencari dana sendiri, masih tetap dilanjutkan
oleh pemerintah Orde Baru. Alasan kedua adalah karena sektor negara di Indonesia bukan
saja memproduksi jasa-jasa publik ataupun public goods. Pada saat yang sama, negara juga
memiliki badan usaha yang menghasilkan private goods ataupun mixed goods yang
merupakan kombinasi dari keduanya4. Karena negara sekaligus memproduksi ketiga jenis
komoditi itu, keuangan negara di Indonesia bukan saja tercermin dalam APBN, tapi juga 4 public goods memiliki dua ciri, yakni: (i) nonexcludability dan (ii) tidak bersaing konsumennya dalam menikmati komoditi yang sama. Contoh dari komoditi ini adalah jasa pertahanan dan keamanan negara. Suka atau tidak suka, semua penduduk yang tinggal dalam suatu negara menikmati perlindungan dan rasa aman yang sama, termasuk teroris, penjahat maupun gerombolan yang ada dirumah tahanan. Alokasi harga dalam mekanisme pasar tidak berlaku bagi produksi maupun distribusi public goods. Satu-satunya cara untuk tidak menikmati perlindungan dan rasa aman di satu negara adalah pindah ke negara lain. Karena jelas dapat diidentifikasikan siapa yang menikmatinya maka konsumen private goods membayar sendiri harga barang dan jasa yang dinikmatinya itu. Produsen private goods itu merupakan porsi dunia usaha sektor swasta yang tertarik oleh besarnya keuntungan yang diperolehnya dari kegiatan produksi serta distribusi komoditi itu. Mekanisme pasar dapat berfungsi secara efektip dan efisien untuk mengatur pengadaan maupun alokasi atau distribusi private goods. Karena mekanisme pasar dan alokasi harga tidak dapat berfungsi dalam pengadaan public goods maka pengadaannya diambil alih oleh negara dan alokasinya dilakukan denghan mekanisme nonharga.

pada BUMN/BUMD, yayasan maupun badan usaha lainnya yang terkait dengan kedinasan.
Badan pelayanan umum milik swasta, seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan serta
lembaga sosial lainnya juga mendapat subsidi dari negara.
Sebagian dari public goods, seperti perkara perdata maupun administrasi nikah, talak
dan rujuk, dapat didentifikasikan siapa yang menikmatinya. Oleh karenanya, biaya yang
menikmati public goods seperti itu dapat dibebankan langsung kepada penggunanya.
Penerimaan negara dari kegiatan seperti ini disebut sebagai penerimaan negara bukan pajak
(PNBP). Pada saat ini, berbagai instansi pemerintah memuat aturan sendiri untuk melakukan
pungutan tanpa merujuk pada UU PNBP yang berlaku dan tanpa seijin DPR serta
Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Pungutan liar seperti itu sekaligus
diadministrasikan oleh instansi yang bersangkutan dan dipergunakannya tanpa dipertanggung
jawabkan pada DPR sebagai pemegang hak bujet.
3. Reformasi BPK
Peningkatan peran BPK sudah dimulai dalam masa dua tahun belakangan ini, sebelum
terbitnya UU No. 15 Tahun 2006 di atas. Peningkatan peran BPK untuk mewujudkan cita-
cita reformasi tercermin dalam Rencana Strategis BPK Tahun 2005-2010. Selama dua tahun
terakhir ada empat peranan BPK yang menonjol. Keempat peranan itu digambarkan pada tiga
lapis bawah dalam segitiga pada Grafik-1. Peran pertama adalah meningkatkan kegiatan
dalam pemberantasan KKN. Kedua, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan
negara. Dalam hal ini, BPK telah meningkatkan kualitas pemeriksaannya dan telah semakin
memperluas objek pemeriksaan yang tadinya tersumbat selama Orde Baru. Ketiga, BPK
membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan Paket tiga UU tentang Keuangan Negara
Tahun 2003-2004. Keempat, selama dua tahun terakhir BPK pun telah membantu pemerintah
untuk melakukan reformasi institusional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan badan
pelayanan umum, seperti sekolah/ Universitas dan rumah sakit. Peran seperti ini merupakan
bagian dari tugas BPK untuk memberikan opini, kesimpulan dan rekomendasi untuk
ditindaklanjuti oleh auditee serta oleh pemerintah.
Secara bertahap BPK akan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan audit
kinerja guna menilai efisiensi, nilai ekonomi maupun efektifitas kegiatan instansi pemerintah.
Dengan semakin berkembangnya BPK, diharapkan lembaga ini dapat memberikan
kecenderungan serta pemikiran jangka panjang sebagai bahan pertimbangan bagi badan
legislatif dan eksekutif serta masyarakat luas untuk mengambil keputusan. Berbeda dengan di
negara-negara maju, hingga saat ini BPK belum memiliki kemampuan melakukan audit

kinerja maupun pemikiran jangka panjang seperti itu. Sasaran jangka panjang kegiatan BPK
digambarkan pada ketiga lapis atas (dengan garis patah) Grafik-1.
Grafik 1. Peranan BPK Masa Kini dan Masa Datang
Untuk membantu pemberantasan korupsi, pada tahun 2005, BPK telah menyampaikan
10 laporan dugaan tindak pidana korupsi kepada DPR dan penegak hukum. Masing-masing
satu dari laporan itu diserahkan kepada DPR dan Kapolri dan 8 kepada Kejaksaan Agung,
dengan nilai total kerugian negara sebesar Rp2,9 triliun dan US$4.2 juta. Sebagai badan
legislatif, DPR memiliki kewenangan untuk meneruskan kasus itu kepada penegak hukum,
Membantu masyarakat dan
pengambil keputusan untuk
melakukan alternatif pilihan masa depan
Mendalami kebijakan dan masalah publik
Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi kebijakan
pemerintah serta ketaatan atas aturan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan
Membantu Pemerintah melakukan perubahan struktural BUMN maupun badan pelayanan umum seperti sekolah, universitas dan
rumah sakit
Membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan paket ketiga UU tentang keuangan negara tahun 2003-2004 melalui: a. Penyatuan anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN; b. Memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua
tingkatan; c. Mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara
yang transparan dan akuntabel . d. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan antara
instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah serta antara keduanya maupun antara Pemerintah dengan BUMN, BUMD serta perusahaan swasta yang mendapatkan subsidi dari negara.
Upaya Pemberantasan Korupsi dengan melaporkan dugaan tindakan kriminal kepada penegak hukum; Kepolisian; Kejaksaan Agung / Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi

menciptakan undang-undang maupun mendesak pemerintah untuk melakukan koreksi dan
perbaikan sistem guna mencegah terjadinya kembali kerugian negara.
Rekapitulasi temuan yang berindikasi kerugian negara yang dilaporkan oleh BPK
selama dua tahun terakhir dimuat dalam Tabel 2. Segera mungkin di masa mendatang,
laporan BPK tentang indikasi tindak pidana korupsi akan semakin bertambah dengan adanya
(i) peningkatan kemampuannya; (ii) perluasan objek pemeriksaannya; (iii) perluasan jaringan
kantor perwakilannya; (iv) perbaikan peralatan kerja serta perluasan jaringan
telekomunikasinya; (v) peningkatan kerjasamanya dengan lembaga penegak hukum, terutama
dengan KPK serta PPATK.
Ada tujuh langkah yang telah dilakukan oleh BPK untuk membantu pemerintah
mengimplementasikan Paket tiga UU Tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Pertama,
membantu pemerintah untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan. Kedua, menetapkan
standar pemeriksaan keuangan negara, setelah menerima masukan pemikiran dari
pemerintah, akademisi dan kalangan profesi. Ketiga, mendorong agar pemerintah
menggunakan tenaga-tenaga akuntansi dalam posisi struktural pengelola keuangan negara,
baik di tingkat pusat hingga daerah, BUMN maupun BUMD. Keempat, mendorong dan
membantu pemerintah untuk menyatukan semua anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi
fiskal kedalam APBN. Kelima, membantu Pemerintah memperjelas peranan dan tanggung
jawab lembaga negara pada semua tingkatan. Keenam, mendorong proses penyiapan,
pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang transparan dan akuntabel. Ketujuh,
membantu pemerintah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan
negara antar instansi pemerintah, antara Pemerintah Pusat dan daerah maupun antara
pemerintah dengan BUMN/BUMD serta yayasan maupun lembaga swasta yang memperoleh
subsidi dari pemerintah.

TABEL 2
DAFTAR REKAPITULASI TEMUAN PEMERIKSAAN BERINDIKASI KERUGIAN NEGARA
TAHUN 2005 S.D. SEMESTER I 2006*
Juta Rupiah dan ribu Valas
Kerugian Negara/ Telah Diselamatkan/ Sisa
Daerah Disetor ke Kas Negara Kerugian Negara No Periode
Pemeriksaan
Kelompok
Penanggung
Jawab Kasus Nilai Kasus Nilai Kasus Nilai
1 TA 2005 Pemerintah 701 Rp 7,713,057.46 104 Rp 2,507,869.90 597 Rp 5,205,187.56
Pusat US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43
Pemerintah 2,330 Rp 1,352,224.56 226 Rp 89,187.12 2,104 Rp 1,263,037.44
Daerah
BUMN 23 Rp 4,761,596.75 0 Rp 0.00 23 Rp 4,761,596.75
3,054 Rp 13,826,878.77 330 Rp 2,597,057.02 2,724 Rp 11,229,821.75
US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43
2 Semester I Pemerintah 165 Rp 16,055,783.27 18 Rp 142,972.78 147 Rp 15,912,810.49
TA 2006 Pusat
Pemerintah 1,530 Rp 1,868,803.01 3 Rp 293.11 1,527 Rp 1,868,509.90

Daerah
BUMN 26 Rp 1,320,940.03 5 Rp 56,287.32 21 Rp 1,264,652.71
1,721 Rp 19,245,526.31 26 Rp 199,553.21 1,695 Rp 19,045,973.10
Jumlah 4,775 Rp 33,072,405 356 Rp 2,796,610 4,419 Rp 30,275,795
US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43
Catatan: Dari total kerugian negara pada tahun 2005 dalam Tabel 2 ini (sebesar Rp13,8 triliun dan USD5,5 juta) hanya Rp2,9 triluin dan
USD4,2 juta saja yang dilaporkan kepada penegak hukum karena mengandung dugaan unsur pidana. Lainnya adalah berupa kerugian negara
yang wajib diganti oleh bendahara.

Seperti yang tercermin pada Tabel 2, audit BPK telah menyumbang pada peningkatan
penerimaan negara, antara lain, dari pemeriksaannya atas kontrak kerja sama kontraktor bagi
hasil (KKKS) dengan perusahaan migas. Sumbangan pemeriksaan BPK kepada
penyelamatan uang negara, antara lain, tercermin dari pemasukan pada kas negara uang
setidaknya sebesar Rp3 triliun dari laporan pemeriksaannya pada tahun 2005 atas 957
rekening perorangan pejabat negara yang menyimpan uang negara pada berbagai bank senilai
Rp20,44 triliun. Pada tahun berikutnya BPK melaporkan adanya 1.303 rekening dan deposito
pejabat negara pada berbagai bank yang menyimpan uang negara dengan nilai Rp8,54
triliun.Penghematan terhadap pengeluaran, antara lain, digambarkan oleh penghematan
pengeluaran negara atas subsidi listrik, pupuk maupun bahan bakar minyak. Rendahnya gaji
dan penghasilan BPK telah menyulitkan bagi lembaga itu untuk memperoleh tenaga auditor
yang berkualitas. Tuntutan akan tenaga auditor yang berkualitas semakin penting untuk dapat
melakukan audit di luar keuangan, termasuk audit kinerja.
Pasal 22 UU No. 15 Tahun 2004 memberikan kekuasaan quasi judisial kepada BPK
dalam mengenakan ganti kerugian negara. Ketentuan ini juga berlaku bagi perusahaan yang
sedikitnya 51% dari sahamnya dimiliki oleh negara. Berdasarkan kekuasaan tersebut, BPK
menerbitkan surat keputusan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan
kas ataupun barang yang terjadi. Surat keputusan BPK bersifat final tanpa harus melalui
proses hukum di pengadilan. BPK sekaligus memantau penyelesaian ganti kerugian negara
tersebut. Dalam kaitan ini, setelah konsultasi dengan pemerintah, BPK tengah menyusun
tatacaranya agar jelas bagi semua pihak.
Untuk dapat meningkatkan kinerjanya, BPK juga telah melakukan pembenahan
internal termasuk peningkatkan disiplin karyawannya serta ketaatannya terhadap kode etik.
Auditor di mana pun di dunia ini, termasuk di BPK, wajib memelihara hubungan baik dengan
auditee, memelihara kepercayaan dan harga diri auditee, dan tidak boleh memata-matainya.
Perbuatan yang menyimpang dari aturan dan tindak pidana korupsi pun harus dibicarakan
secara terbuka dan di rekonfirmasikan dengan auditee. Auditor BPK juga bukan seorang
whistle blower karena informasi tentang sesuatu adalah diperolehnya karena kewenangan
yang diberikan kepadanya oleh BPK. Auditor BPK tidak boleh menyampaikan sendiri
temuan pemeriksaannya kepada siapapun di luar BPK, tanpa prosedur dan aturan yang
berlaku, apalagi mengumumkannya sendiri kepada publik.
Dengan bantuan Pemerintah dan DPR, anggaran BPK telah dapat ditingkatkan guna
memperluas jaringan kantor perwakilan, menambah tenaga auditor, memodernisasi peralatan
serta jaringan telekomunikasi, memperbaiki sistem penggajian serta penghasilan auditor.

BPK juga menerima bantuan pinjaman gedung perwakilan dari berbagai Pemda provinsi.
Gambaran perkembangan jumlah dan komposisi personil, peralatan dan anggaran BPK
selama tiga tahun terakhir, 2004-2006, dimuat dalam Tabel 3.
Secara bertahap, BPK akan semakin menambah auditornya dari berbagai disiplin ilmu
agar mampu semakin meninggalkan audit keuangan dan melakukan audit investigasi serta
audit kinerja. Seperti halnya dengan di negara-negara lain, secara bertahap, pemeriksaan
keuangan akan semakin banyak diserahkan kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan
pengawasan dari BPK. Sesuai dengan tuntutan UU No. 15 Tahun 2004, pemeriksaan BPK
akan semakin beralih pada audit kinerja, audit lingkungan serta pembangunan berkelanjutan
maupun audit lainnya sebagaimana digambarkan dalam lapisan atas Gambar 1.
Pemanfaatan KAP dalam pemeriksaan sektor publik juga semakin mendesak dilakukan
karena bertambah luasnya objek pemeriksaan BPK yang tersebar luas diseluruh Indonesia
dan mencakup ketiga tingkatan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Perluasan
jaringan kantor perwakilan serta tambahan tenaga auditor dan peralatan, termasuk jaringan
telekomunikasi, saja tidak mungkin untuk melaksanakan tugas yang cakupannya semakin
bertambah luas itu. KAP yang akan digunakan untuk memeriksa sektor publik untuk dan atas
nama BPK itu akan diseleksi, disertifikasi dan diawasi oleh BPK. Kurikulum, silabus dan
modul yang harus dikuasai oleh KAP meliputi, antara lain, Standar Akuntansi Pemerintahan
dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara serta berbagai peraturan yang menyangkut sektor
publik.
Adanya tambahan anggaran, perbaikan alat kerja serta peningkatan penghasilan
karyawan BPK sejak tahun 2005 telah memungkinkan lembaga itu untuk tidak lagi menerima
dana pemeriksaan dari auditee sehingga mengurangi KKN. Walaupun nantinya, BPK
kembali memobilisiasi dana tambahan dari luar anggaran negara, pengenaan, administrasi
serta penggunaannya harus tetap mengacu kepada undang-undang dan aturan yang berlaku
dan dipertanggungjawabkan kepada publik secara terbuka. UU No. 15 Tahun 2006
menambah dua orang Anggota BPK, memperluas pemeriksaan maupun lingkup pekerjaannya
di masa datang. Dalam dua tahun terakhir, laporan pemeriksaan BPK sudah semakin
diperbaiki agar lebih mudah dibaca oleh publik. Sementara itu, kapasitas website-nya sudah
semakin ditambah agar laporan BPK semakin mudah diakses oleh masyarakat. Strategi
komunikasi BPK semakin disempurnakan agar masyarakat dapat memahami fungsi dan
peranan BPK serta manfaatnya bagi kepentingan umum.

Tabel 3
Kondisi Personil, Peralatan dan Anggaran BPK, 2004 – 2006
2004 2005 2006
1.Jumlah Kantor Perwakilan 7 9 17
2.Jumlah karyawan 2.851 2.991 3.498
2.1 Kantor Pusat 1.682 1.673 1.771
a. Auditor 1.399 1.357 1.080
b. Administrasi/Teknik 283 316 691
2.2 Kantor Perwakilan 1.169 1.318 1.727
a. Auditor 963 1.021 981
b. Administrasi/Teknik 206 297 746
2.3 Tingkat pendidikan
a. S-3 1 1 5
b. S-2 318 386 415
c. S-1 1.790 1.826 2.264
d. D-III, D-II dan D-I 162 162 164
e. SMU kebawah 580 616 650
2.4 Bidang Studi
a. Akuntansi 1.061 1.255 1.483
b. Ilmu Hukum 155 185 232

2004 2005 2006
c. Ekonomi/Kebijakan
Publik
557 479 480
d. Teknologi 36 39 42
e. Lainnya 462 417 611
f. SMU 580 616 650
3. Peralatan kerja
a. Kapasitas komputer Memory (RAM) 128 MB,
Processor Pentium IV 2 GHz, HD
40 GB
Memory (RAM) 512 MB
Processor Pentium IV 3 GHz,
HD 40 GB
Memory (RAM) 512 MB,
Processor Pentium IV 3 GHz
HD 40 GB
b. Kapasitas website 64 Kbps 256 Kbps 1 MB
c. Jumlah workstations 1.046 buah 1.290 buah 1.352 buah
d. Jumlah laptop 517 buah 650 buah 718 buah
e. Jenis program komputer:
i. Words/grafik
ii. Akuntansi
iii. Statistik/Ekonometri
iv. Earth Google
Ada
Tidak ada
SPSS*
Ada
Ada
Tidak ada
SPSS*
Ada
Ada
Tidak ada
SPSS*
Ada
f. Kendaraan operasional 84 kendaraan 103 kendaraan 116 kendaraan
4. Jumlah judul koleksi buku ±6,250 judul ±6,500 judul ±7.000 judul

2004 2005 2006
perpustakaan
5. Anggaran Belanja
Tahunan**
Rp234.613,50 juta Rp329.395,75 juta Rp690.131,16 Juta
6. Penghasilan rata-rata
Eselon
a. Eselon I A
b. Eselon IB
c. Eselon II A
d. Eselon III A
e. Eselon IV A
NonEselon
a. Golongan IV
b. Golongan III
c. Golongan II
d. Golongan I
Gaji
6.073.505
6.087.105
4.164.712
2.306.387
1.759.875
1.319.906
718.686
800.751
680.638
Tunjangan
2.455.000
1.992.000
1.372.000
772.000
531.000
493.000
474.000
400.000
312.500
Gaji
7.145..300
7.161.300
4.899.661
2.713.397
2.070.441
1.552.831
958.247
942.060
800.751
Tunjangan
2.700.000
2.150.000
1.500.000
850.000
625.000
600.000
550.000
475.000
400.000
Gaji
7.859.830
7.877.430
5.389.627
2.984.737
2.277.485
1.708.114
1.277.663
1.162.408
988.047
Tunjangan
3.913.022
3.130.418
2.666.113
1.812.857
1.424.445
1.210.778
1.277.663
1.162.408
988.047
Catatan:
*) Statistical Package for the Social Sciences; **) Mulai Tahun 2005, seluruh anggaran BPK adalah bersumber dari APBN dan tidak lagi menerima biaya pemeriksaan dari auditee.

19
4. Perbaikan Sistem Keuangan Negara
Pelaksanaan tugas BPK untuk melakukan audit keuangan negara telah semakin
dipermudah dengan terbitnya paket tiga Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003-
2004. Paket tiga UU itu mengoreksi kelemahan sistem pengelolaan keuangan negara
masa Orde Baru dengan mengubah jenis, format dan struktur laporan keuangan negara
dan menetapkan jadwal penyusunan pertanggungjawabannya dengan jelas. UU Keuangan
Negara tahun 2003-2004 tersebut memberlakukan sistem pembukuan berpasangan,
menggunakan sistem akuntansi terpadu dan dikomputerisasi, serta menerapkan
desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di
kantor pusat maupun di daerah. Dalam hal jadwal pertanggungjawaban, ketiga UU
Keuangan Negara itu mewajibkan pemerintah segera menyusun laporan keuangannya
selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir dan menyerahkannya
kepada BPK melakukan pemeriksaan.
Pada gilirannya, menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan
pemeriksaannya atas laporan keuangan pemerintah kepada Lembaga Perwakilan Rakyat
(DPR,DPD dan DPRD) selambatnya setelah dua bulan setelah menerima laporan
tersebut. Sementara itu, ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga
perwakilan selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya semester yang
bersangkutan. Di antara ketiga lembaga perwakilan rakyat itu hanya DPR dan DPRD
yang memiliki hak bujet. DPD menyampaikan saran-saran kepada DPR. Laporan hasil
pemeriksaan oleh BPK itu memuat opini, temuan, kesimpulan dan rekomendasi.
Sistem keuangan masa Orde Baru merupakan sistem kuno, warisan dari ICW
(Indonesische Comtabiliteistswet) warisan kolonial. Sistem ICW itu menggunakan single
entry dan tidak ada suatu standar pencatatan transaksi pemerintah untuk keperluan
anggaran. Karena didasarkan atas pengeluaran tunai (berbasis kas) selama tahun
anggaran, kewajiban kontinjensi pemerintah tidak tercermin dalam APBN. Keuangan
BUMN/BUMD tidak terintegrasi dengan APBN dan APBD. Padahal, kerugian mereka
senantiasa dialihkan kepada pemerintah melalui Penyertaan Modal Pemerintah (PMP),
penggunaan Rekening Dana Investasi (RDI) dan berbagai pengeluaran subsidi. Setelah
terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998, seluruh kerugian bank-bank nasional,
termasuk para nasabahnya, telah digeser menjadi beban anggaran negara. Dengan

20
demikian, laporan keuangan itu tidak memuat informasi tentang apa kewajiban anggaran
yang akan dihadapi oleh pemerintah di masa datang. Oleh karena itu, APBN dan laporan
keuangan negara tidak banyak manfaatnya sebagai instrumen manajemen pemerintahan.
Sistem ICW juga kurang bermanfaat sebagai instrumen perencanaan karena tidak
memuat informasi tentang alokasi penggunaan sumber-sumber ekonomi. APBN Orde
Baru tidak membedakan antara pengeluaran untuk menambah stok barang modal dengan
pengeluaran operasional. Dalam kelompok “Pengeluaran Pembangunan” pada APBN era
Orde Baru juga dikandung honorarium serta biaya perjalanan penyelenggara
pembangunan yang pada hakikatnya merupakan pengeluaran rutin.
Di luar APBN resmi, berbagai instansi pemerintahan dalama era Orde Baru juga
memiliki anggaran nonbujeter yang jumlahnya cukup besar. Ada dua sumber utama
penerimaan dalam anggaran nonbujeter selama masa Orde Baru. Sumber pertama adalah
PNBP yang dipungut berdasarkan aturan yang dibuat sendiri oleh instasi pemungutnya,
tanpa referensi pada undang-undang maupun peraturan yang dibuat oleh Menteri
Keuangan sebagai Bendaharawan Negara. Uang yang dipungut dari sumber PNBP ilegal
itu juga disimpan dan digunakan sendiri oleh instansi yang bersangkutan tanpa
dilaporkan dalam APBN ataupun dilaporkan kepada DPR/DPRD sebagai pemegang hak
bujet. Sumber yang kedua adalah keuntungan dari usaha milik instansi yang
bersangkutan. Di masa lalu, berbagai instansi pemerintah, termasuk TNI/POLRI,
memiliki badan usaha, yayasan dan koperasi yang menggerogoti instansinya ataupun
menggunakan wibawa serta kewenangan instansi yang bersangkutan untuk mendapatkan
penghasilan. Dengan demikian, pengertian BUMN/BUMD pada masa Orde Baru itu
sangat luas. Perolehan dana oleh suatu instansi pemerintahan adalah berbanding lurus
dengan kekuasaaan yang dimiliki oleh instansi tersebut.
Berbagai kelemahan Sistem Keuangan Negara masa Orde Baru tersebut di atas
telah dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004 dan
2005. Kelemahan pertama adalah pada sistem internal keuangan negara. Di masa Orde
Baru, tidak ada Laporan Realisasi (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan
LRA Kementerian/Lembaga Negara, Laporan Arus Kas (LAK), dan catatan atas laporan
keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara maupun
yayasan yang terkait dengan kedinasan. Hingga saat ini tidak ada konsistensi antara

21
besarnya dana yang ditransfer dari pusat dengan jumlah penerimaan dana oleh daerah
maupun oleh satuan instansi pemerintahan serta badan pelayanan umum.
Kelemahan yang kedua dari Sistem Keuangan Negara Orde Baru adalah tidak
adanya suatu single treasury account yang terpadu sebagaimana diamanatkan oleh UU
no. 1 Tahun 2004. Akibatnya, sebagaimana telah disebut di atas, uang negara disimpan
pada berbagai rekening yang tersebar di banyak instansi negara termasuk ribuan individu
pejabat negara. Individu pejabat negara yang sudah lebih dari sepuluh tahun meninggal
dunia masih juga memiliki rekening deposito bank yang menyimpan uang negara. Uang
negara yang disimpan dalam berbagai rekening pejabat negara itu tidak jelas statusnya
dan tidak terintegrasi dengan rekening Bendahara Umum Negara (BUN).
Akibat dari terseraknya penyimpanan uang negara di berbagai rekening instansi
dan pribadi pejabat negara, Pemerintah tidak mengetahui posisi keuangannya sendiri dan
dana itu tidak dapat dimanfaatkannya untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya.
Kelemahan ketiga sistem keuangan negara adalah kurang patuhnya pada undang-undang
serta peraturan yang berlaku di bidang keuangan negara. Termasuk dalam kelompok ini
adalah lembaga negara yang menetapkan pungutan sendiri, mengadministrasikannya dan
menggunakannya sendiri pula. Hal itu dilakukan tanpa mengacu pada UU Penerimaan
Negara Bukan Pajak dan tanpa sepengetahuan Departemen Keuangan sebagai bendahara
negara. Kelemahan keempat adalah belum adanya gambaran yang utuh atas besarnya Sisa
Anggaran Lebih (SAL). LRA melaporkan besarnya SAL per 31 Desember 2004 sebesar
Rp31,56 triliun sedangkan neraca menyebutnya sebesar Rp25,59 triliun sehingga ada
perbedaan yang tidak jelas sebesar Rp7 triliun.
5. BPK dalam pergaulan dunia
Di lingkungan internasional, BPK telah meningkatkan kerjasama melalui
ASOSAI (Asian Organisation of Supreme Audit Institutions) maupun INTOSAI beserta
kelompok kerja kedua organisasi itu. BPK melakukan kerjasama dalam hal pemeriksaan,
perumusan kebijakan, pertukaran informasi serta pengalaman maupun pelatihan dengan
rekannya dari luar negeri, apakah melalui forum INTOSAI, ASOSAI maupun forum
lainnya. BPK sekaligus menerima bantuan asing untuk meningkatkan kapasitasnya
sendiri mutu sumber daya manusia (SDM), modernisasi peralatan maupun perombakan

22
organisasi menuju independensi dan kemandiriannya. Forum kerjasama dengan auditor
negara lain semakin ditingkatkan setelah terjadinya gempa tektonik yang diikuti oleh
gelombang tsunami yang melanda Provinsi NAD dan Sumut pada tanggal 26 Desember
2004. Sebagaimana diketahui gempa itu berkekuatan 9 skala richter dan terjadi akibat
pergeseran lempengan tektonik Australia-Asia di sekitar 150 kilometer di Selatan
Meulaboh. Gelombang tsunami yang ditimbulkannya telah melanda seluruh kawasan
Lautan Hindia hingga ke Asia Selatan, Jazirah Arab dan Afrika. Bencana alam itu telah
menelan korban sebanyak 160 ribu jiwa orang dan kerusakan dahsyat di Provinsi NAD
dan Pulau Nias sehingga telah menarik simpati dan bantuan internasional. Pada waktu itu,
Provinsi NAD juga tengah dilanda konflik bersenjata karena pemberontakan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), yang sudah berlangsung selama hampir tiga puluh tahun.
Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri akan
penyaluran bantuannya pada korban bencana alam di NAD dan Sumut, BPK telah
melakukan audit atas bantuan tersebut. Dengan bantuan ADB (Asian Development Bank),
BPK telah menyelenggarakan konferensi internasional tentang Promoting Financial
Accountability in Managing Funds Related to Tsunami, Conflict and Other Disasters di
Jakarta pada tanggal 25-27 April 2005. Konferensi itu dihadiri oleh 142 orang peserta
dari enam negara yang mengalami bencana, 14 negara donor dan perwakilan 16 lembaga
internasional. Konferensi itu antara lain menghasilkan kesepakatan untuk membantu BPK
melakukan pemeriksaan, baik berupa pemberian bantuan teknis maupun kerjasama
melakukan pemeriksaan. Bantuan teknis diberikan melalui Dewan Penasehat BPK (BPK
Advisory Board) yang dengan jumlah anggota 12 orang dari 12 negara dan sudah bertemu
dan memberikan nasehat kepada BPK pada bulan April 2006 di Jakarta. Menimba
pelajaran dari Indonesia, pada tahun 2006, INTOSAI membentuk Task Force on Audit
and Accountability of Disaster Related Aid yang diketuai oleh Ketua BPK Negeri
Belanda dengan dua orang wakilnya yakni Ketua BPK Indonesia dan Korea Selatan.
Salah satu pelajaran dari Indonesia adalah bahwa berbeda dengan di negara lain, seperti
Sri Lanka dan Kashmir, Indonesia menggunakan bencana alam tersebut sekaligus
memulihkan perdamaian dengan GAM berdasarkan perjanjian Helsinki pada Agustus
tahun 2005.

23
Meneruskan yang sudah ada sejak tahun 2004, BPK menjadi Anggota Steering
Committee dari The INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA).
Sampai dengan Kongres ke-10 ASOSAI di Shanghai pada September 2006, BPK menjadi
salah satu dari auditornya. BPK sudah mulai diundang oleh lembaga-lembaga PBB untuk
mencalonkan diri sebagai auditor eksternal. Walaupun akhirnya belum terpilih, BPK
telah masuk dalam short list calon external auditor International Labor Office yang
berkedudukan di Jenewa, Swiss, untuk periode 2008-2011. Dalam Seminar Ulang Tahun
ke-60 bulan Januari 2007 y.l., BPK mengundang rekan-rekannya dari Australia, Brunei
Darussalam, Iran, Malaysia, Rusia dan Thailand. Dari Rusia, BPK ingin mempelajari
peranan auditor dalam negara yang mengalami transisi ke sistem demokratis. Sebagai
Republik Islam yang pertama, Iran memberikan pengalamannya dalam mengelola
akuntansi sistem keuangan yang berbasis Islam yang pada hakikatnya menjalankan
prinsip bagi hasil. Malaysia juga sudah memiliki financial center yang berbasis Islam.
Dengan negara tetangga BPK sekaligus telah menandatangani MOU untuk meningkatkan
kerjasama mengenai hal-hal yang merupakan kepentingan bersama seperti audit
kebakaran hutan, keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan penanggulangan penyakit
flu burung. BPK Thailand mengungkapkan dugaan penggelapan pajak dan transaksi yang
bermasalah yang dilakukan oleh keluarga PM Thaksin Shinawatra selama masa
pemerintahannya. Praktik KKN seperti ini telah menjadi salah satu alasan bagi
pemakzulannya oleh angkatan bersenjata di negara itu.
Dalam rangka STAR-SDP Project (State Audit Reform Sector Development
Program) tahun 2005-2009, BPK menerima dana dari pinjaman ADB dan hibah dari
Pemerintah Belanda guna meningkatkan mutu SDM, perluasan jaringan serta modernisasi
sistem komputer dan perombakan organisasi guna mewujudkan kemandirian dan
independensinya. Bantuan teknis dalam upaya peningkatan SDM berupa pelatihan dan
beasiswa juga diterima oleh BPK dari Bank Dunia, USAID, AusAid, India, JICA, Negeri
Belanda, Philipina, Swedia maupun ASOSAI serta INTOSAI. Amerika Serikat, Australia
dan New Zealand memberikan kesempatan bagi auditor BPK untuk bekerja selama
setahun pada lembaga pemeriksanya guna menimba ilmu dan pengalaman praktis.
Perancis mengikut sertakan auditor BPK dalam penugasan PBB di negara-negara yang
dilanda konflik bersenjata, seperti Kongo, Eritrera dan Kosovo. Dengan bantuan tenaga

24
pelatih asing, BPK melakukan kerjasama dengan instansi penegak hukum (Kepolisian,
Kejaksaan, KPK serta PPATK) dalam pelatihan audit investigasi.
Jakarta, 25 April 2007

1
Peranan dan Strategi Bpk dalam Pemberantasan Korupsi1
1. Pengantar
Pemberantasan korupsi memerlukan peningkatan transparansi serta akuntabilitas
sektor publik dan dunia usaha. Pada gilirannya hal ini memerlukan upaya terpadu
perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum guna meningkatkan mutu kerja serta
memadukan pekerjaan lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan (seperti BPK, Irjen,
Bawasda dan PPATK) dengan penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun
Kehakiman). Sebagaimana sudah kita alami sendiri, kelemahan dan korupsi dalam satu
mata rantai kelembagaan itu telah membuat negara kita dewasa ini sebagai salah satu
negara yang terkorup di dunia dan telah menyengsarakan rakyat sendiri. Akibat dari
kelemahan dan ulah sendiri tersebut, perekonomian dan seluruh sendi-sendi kehidupan
sosial kita telah runtuh sendiri pada tahun 1997-1998 itu. Timor Timur memisahkan diri
dari NKRI dan Indonesia dianggap the sick man of Asia hingga saat sekarang ini.
Makalah ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama memuat dampak buruknya
sistem akuntansi dan sistem hukum bagi perekonomian nasional. Bagian kedua
membahas peran BPK untuk memberantas korupsi. Bagian ketiga merupakan program
reformasi BPK untuk meningkatkan perannya dalam perbaikan sistem keuangan negara
dan BUMN maupun meningkatkan kualitas pemeriksaannya dalam rangka
pemberantasan korupsi itu. Bagian terakhir menguraikan reformasi yang dilakukan oleh
BPK dalam sistem politik yang beralih dari sistem otoriter Orde Baru ke sistem
demokrasi serta peralihan sistem pemerintahan sentralistis Orde Baru ke otonomi daerah
yang luas dewasa ini.
2. Rapuhnya fundamental ekonomi dan stagnasi perekonomian nasional
Dampak dari buruknya fundamental perekonomian, berupa sistem akuntansi serta
sistem hukum tersebut, sudah kita rasakan dewasa ini. Laporan keuangan negara maupun 1 Keynote Speech pada Seminar “Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery” dalam rangka Ulang Tahun ke-4 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ruang Chandra, Gedung Bank Indonesia Lt. 6, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa, 4 April 2006, pukul 9:00 WIB.

2
badan usaha di Indonesia yang kurang transparan dan kurang akuntabel sebelum krisis
tahun 1997 tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengetahui dan mengantisipasi
keadaan serta menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Semua bank di rekapitalisasi
karena tidak dapat dibedakan mana yang masih viable dan mana yang tidak. Biaya
rekapitalisasi perbankan dan pembersihan kredit bermasalah perbankan nasional
seluruhnya digeser menjadi tanggungan negara sehingga menjadi beban rakyat yang tidak
berdosa. Biaya tersebut mencapai sekitar Rp640 triliun atau setara dengan 50% dari nilai
PDB kita pada tahun 1999. Diukur dari persentase terhadap PDB itu, biaya krisis
perbankan di Indonesia merupakan yang termahal di seluruh dunia dalam sejarah
manusia, mulai dari Nabi Adam hingga generasi kita sekarang ini.
Sejak delapan tahun terakhir, anggaran negara tidak dapat dipergunakan sebagai
motor penggerak pertumbuhan ekonomi karena besarnya porsi pengeluaran negara untuk
melunasi beban hutang pemerintah, membayar subsidi dan mengatasi konflik horisontal
di berbagai daerah. Karena kurangnya anggaran, infrastruktur ekonomi kita sudah lama
tidak terurus, kesehatan masyarakat dan pendidikan nasional sudah lama kurang
terpelihara. Kredit perbankan nasional tidak dapat ditingkatkan karena sebagian besar
dari modal dan portepelnya adalah berupa surat utang negara (SUN), SBI dan Fasbi.
Karena masih sempit dan dangkalnya pasar SUN, menyebabkan surat berharga itu kurang
likuid. Sementara itu, upaya menggerakkan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan
investasi swasta tersendat karena rendahnya produktivitas ekonomi nasional dan
buruknya iklim investasi. Kalaupun ada peningkatan ekspor hanya terjadi karena adanya
kenaikan harga komoditas primer di pasar dunia dan bukan karena peningkatan daya
saing. Akibatnya pengangguran tenaga kerja menjadi semakin meningkat.
Kurang seriusnya kita memperbaiki sistem hukum dan sistem akuntasi itu juga
telah sekaligus menghambat pemulihan kegiatan perekonomian nasional setelah
terjadinya krisis tahun 1997-1998. Setelah mengalami krisis, negara lain segera berupaya
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem akuntansinya sebagai bagian dari
peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara (good and clean government) maupun
pengelolaan badan usahanya (good corporate governance). Setelah terjadinya rangkaian
skandal dunia usaha (seperti Dotcom dan Enron) Amerika Serikat menyempurnakan
sistem akuntansinya dengan mengintrodusi the Sarbannes-Oxley Act tahun 2002. Dalam

3
industri perbankan, transparansi itu meliputi pengetatan aturan prudensial (seperti the
Basel core principles), penyempurnaan sistem pembukuan dan peningkatan keterbukaan
(disclosures) untuk mewujudkan akuntabilitas semua pihak terkait: otoritas atau pejabat
pengatur, pemegang saham, nasabah maupun industri perbankan itu sendiri. Nasabah
kredit bank juga dipaksa agar menjadi lebih transparan dan akuntabel. Sistem hukum
ditingkatkan agar dapat menjadi lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan konflik
kepentingan secara adil sehingga tidak bertele-tele dan tidak perlu memaakai cara ancam-
mengancam ataupun menggunakan jasa debt collectors.
Di negara lain, kualitas bankir ditingkatkan melalui proses pengujian kepatutan dan
kelayakan (fit and proper test) maupun pendidikan berjenjang. Para pelaku kejahatan
maupun pejabat yang bertanggung jawab penyebab krisis dihukum berat. Sedangkan
Korea Selatan telah menghukum dua mantan presiden, mantan Pangab dan Jenderal
Bintang 4, beserta kerabatnya karena terlibat KKN. Di negara lain, bankir bermasalah
dikenakan hukuman penjara atau dilarang menjadi pengurus ataupun pemilik pengendali
bank.
3. Lambannya perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum di Indonesia
Di lain pihak, Indonesia dewasa ini belum banyak kemajuan dalam perbaikan
sistem akuntansi dan sistem hukum maupun dalam meningkatkan mutu personil bankir,
pengusaha serta birokratnya. Pihak-pihak yang ikut bertanggung jawab terjadinya krisis
di Indonesia masih banyak yang belum disentuh hukum. Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (LKPP) yang mendapatkan opini disclaimer sejak tahun 2004. Praktik buruk Orde
Baru yang menyimpan uang negara atas nama pribadi pejabat Depkeu (termasuk yang
sudah lama meninggal dunia) masih terus berlanjut. Berbagai penerimaan negara bukan
pajak maupun piutang lainnya belum dilaporkan dan dimasukkan ke kas negara. Yang
lebih menyedihkan lagi adalah bahwa Menteri Keuangan sendiri menganggap enteng hal
seperti ini dan mengatakan Don’t worry, be happy. Padahal, APBN dan perekonomian
nasional sudah lama ambruk dan rakyat sudah lama menderita. Akibat buruknya
administrasi dan kondisi keuangan negara dan perekonomian tersebut, rating kita di pasar
internasional masih tetap rendah sehingga kupon surat utang negara yang kita tawarkan di
pasar internasional tetap relatif tinggi dan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak

4
serta retribusi sulit untuk ditingkatkan. Walaupun Ditjen Pajak telah dapat meningkatkan
jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebesar empat kali lipat dalam waktu
sebulan, tax ratio Indonesia tidak bergeming dari tingkat 13-14% dari PDB.
Sementara itu, komitmen nasional untuk melakukan restrukturalisasi industri
perbankan dalam rangka program IMF mulai ditinggalkan satu demi satu. Bankir yang
sudah tercemar, kini diperbolehkan kembali menjadi pengurus serta pemilik pengendali
bank. Sebagian bankir BUMN dan politisi kita mulai mengemukakan secara terbuka
keberatan mereka atas pengumuman nama nasabah kredit bermasalah bank-bank negara
dalam laporan audit BPK. Ada pula yang berkeinginan agar BPK tidak memeriksa
BUMN, termasuk bank-bank negara. Alasan pihak yang mengkritisi Laporan
Pemeriksaan BPK itu antara lain karena pengumuman seperti itu melanggar UU
Kerahasian Bank dan UU Perbankan Tahun 1998. Menurut mereka, pengumuman seperti
itu sekaligus mendorong nasabah yang namanya diumumkan itu akan pindah ke bank-
bank lain. Tuduhan seperti itu tidak benar karena pemuatan nama nasabah kredit
bermasalah tersebut adalah dalam rangka peningkatan keterbukaan (disclosures), tidak
melanggar undang-undang kerahasian bank maupun dengan Pasal 33 UU Perbankan
Tahun 1998. Pengumuman nama nasabah penunggak kredit sudah dimulai oleh BPPN
sejak awal berdiri pada tahun 1988 hingga masa akhir tugasnya pada tahun 2003. Dari
daftar nama BPPN itu terungkap bahwa sebagian besar dari penerima kredit murah dari
bank-bank negara, dan yang tidak melunasi hutangnya, adalah pihak yang erat kaitannya
dengan praktik KKN penguasa politik Orde Baru. Sungguh bertolak belakang dengan
pemerataan yang diindoktrinasikan dalam Penataran P-4 selama masa pemerintahan itu.
Nasabah yang tidak melunasi hutangnya yang disebut namanya dalam Laporan
Pemeriksaan BPK itu bukanlah nasabah yang berharga (nonvalued customers) dan,
karena reputasinya yang buruk, akan sulit mendapatkan kredit dari bank lain. Biasanya,
nasabah yang baik pindah dari satu ke bank lain adalah karena pelayanan banknya yang
lama kurang baik dan produknya yang terbatas. Karena tidak bankable di tempat lain,
nasabah yang diumumkan namanya dalam Laporan Pemeriksaan BPK itu justru berusaha
memperbaiki citranya dengan semakin melunasi hutangnya kepada bank-bank negara

5
tersebut2. Dalam hal yang terakhir ini, bank sentral serta bank-bank negara seyogyanya
berterimakasih kepada BPK yang secara tidak langsung berfungsi sebagai penagih hutang
(debt collector).
Alasan kedua pihak yang mengkritisi Laporan Audit BPK adalah bahwa
disclosures akan menghambat ekspansi kredit oleh bank-bank BUMN. Padahal,
hambatan terbesar dari ekspansi kredit BUMN adalah karena struktur portepelnya yang
kurang likuid, seperti yang disebut di atas. Sementara itu, sebagaimana disebut di atas,
Laporan BPPN mencerminkan bahwa cukup besar porsi kredit bank-bank negara di masa
lalu yang diberikan berdasarkan KKN dan bukan berdasarkan analisis kredit berdasarkan
kemampuan, karakter, kolateral maupun ketersediaan modal pemohon kredit. Cukup
besar pula porsi kredit bank-bank negara tersebut yang digunakan untuk menambah
kapasitas terpasang, yang selain tidak produktif juga hanya menyumbang pada
peningkatan kredit bermasalah (NPL) dengan biaya yang digelembungkan atau di mark
up pula. Sebagian dari kredit bank negara masa Orde Baru digunakan oleh penerimanya
untuk pelarian modal ataupun melakukan ekspansi usahanya di luar negeri. Skandal L/C
fiktif di Bank BNI tahun 2003 adalah pencurian dan bukan kredit.
Pengkritik Laporan Pemeriksaan BPK itu pun tidak faham struktur BUMN di
Indonesia yang sangat berbeda dengan di negara-negara lain yang lebih maju dan teratur.
Di negara lain modal BUMN memang merupakan uang negara yang dipisahkan dan
kerugiannya tidak lagi merupakan kewajiban kontijensi negara. Pengurusnya pun
akuntabel dan bertanggung jawab penuh kepada prestrasi kerja perusahaan yang
diurusnya. Sebaliknya, walaupun BUMN di Indonesia sudah go public, Pemerintah masih
tetap memiliki golden share dalam perusahaan itu. Artinya, Pemerintah Indonesia masih
memiliki kekuasaan yang dominan dalam menentukan pengurus maupun arah kebijakan
perusahaan itu. Dengan demikian, segala kerugiannya merupakan kewajiban kontijensi
pemerintah. Lihatlah misalnya Bank BNI yang sudah go public jauh sebelum krisis tahun
1997-1998. Pengurusnya masih tunjukan pemerintah dan pemberian kreditnya pun tidak
beda dengan sebelum go public kental dengan nuansa KKN. Setelah krisis tahun 1997-
1998 masih juga terjadi skandal L/C fiktif pada tahun 2003 yang menambah beban
2 Peningkatan pelunasan hutang kepada negara setelah diperiksa oleh BPK juga terjadi pada beberapa dari 16 bank-bank yang dilikuidasi pada tahun 1997.

6
rakyat. Belum ada satu pun pengurus BUMN pada era krisis dan pada masa skandal
sesudahnya yang sudah masuk penjara sesuai dengan Undang-Undang Perbankan yang
disebut di atas.
Tanpa adanya perbaikan sistem hukum dan sistem akuntansi itu, tidak mungkin
kita dapat meningkatkan efisiensi perekonomian dan badan usaha nasional. Peningkatan
efiensi seperti ini akan memungkinkan perekonomian dan badan usaha nasional kita
mampu berperan dalam era globalisasi dan dapat bersaing di pasar nasional maupun pasar
dunia. Lihatlah prestasi kantor cabang bank-bank nasional kita atau Indover, bank milik
BI, di luar negeri. Hampir seluruhnya merupakan proyek rugi, menghamburkan aset
bangsa karena hanya mengandalkan penempatan dana dari kantor pusatnya di Indonesia.
Hampir semua kredit yang diberikan oleh kantor-kantor cabang di luar negeri itu menjadi
bermasalah dan cukup besar yang diberikan kepada nasabah-nasabah di Indonesia atas
dasar KKN yang dalam istilah sekarang dapat disebut sebagai money laundering. Kita
bercita-cita membuat Bank BNI atau bank milik nasional lainnya setidaknya dapat
menyamai Development Bank of Singapore (DSB) yang mampu bersaing di pasar
regional dan internasional. Kita juga ingin melihat perusahaan penerbangan kita mampu
bersaing dengan Silk Air jika belum mampu menyaingi Singapore Airlines. Untuk
merubah citra perusahaan, tidak cukup hanya dengan sekedar merubah logo yang banyak
membuang uang. Citra hanya dirubah melalui peningkatan kualitas pelayanan, ekspansi
dan perolehan keuntungan usaha.
4. Peran BPK dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi
Ada berbagai peran yang dilakukan oleh BPK untuk ikut memberantas korupsi
dalam menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara.
Peran yang pertama adalah untuk meningkatkan kualitas pemeriksaannya. Pemeriksaan
BPK terdiri dari dua kelompok besar. Kelompok pertama, adalah berupa pemeriksaan
secara umum (keuangan, kinerja, atau pemeriksaan lainnya). Kelompok kedua adalah
pemeriksaan khusus yang ditujukan untuk mendeteksi terjadinya tindak korupsi melalui
pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus (investigative and fraud audit).

7
Pemeriksaan investigasi dan pemeriksaan khusus itu dilakukan oleh BPK mulai tahun
1999 berkenaan dengan pemeriksaan BLBI. Laporan Pemeriksaan atas BLBI itu telah
oleh BPK kepada DPR dan Kejaksaan Agung pada tanggal 4 Augustus 2000. Tindak
lanjut Laporan Pemeriksaan BPK tersebut sangat lambat, baik untuk menghukum para
pelakunya maupun para pejabat negara yang terlibat. Pelacakan pelarian modal periode
krisis, 1997-1998, pun tidak pernah dilakukan, apalagi recovery-nya. Padahal, sangat
mudah dan murah untuk melakukan pelacakan pelarian modal hasil korupsi dan BLBI itu
dengan meminta daftar nama orang yang memindahkan uangnya keluar negeri pada
periode itu yang disimpan pada tape computer beberapa bank devisa utama yang
berkantor di Jakarta. Asal kita serius, penegak hukum negara lain pun bersedia membantu
recovery hasil korupsi dan BLBI yang dilarikan dari Indonesia itu. Selama tahun 2005,
BPK telah menyampaikan kurang lebih 14 temuan yang mengindikasikan terjadinya
tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dengan nilai temuan sebesar Rp2,9
triliun dan US$ 39,08 juta.
BPK melaporkan secara khusus hal-hal yang diduga mengandung aspek kriminal
kepada penegak hukum. Yaitu pada Kejaksaan Agung, Kepolisian maupun KPK.
Penerima utama Laporan Pemeriksaan BPK adalah DPR tingkat nasional serta DPRD
Provinsi serta Kabupaten/Kota. Ketiga tingkat DPR itu merupakan pemegang hak bujet di
daerahnya masing-masing. Laporan Pemeriksaan BPK juga dimuat selengkapnya di
website-nya untuk dapat diketahui dan dikritisi oleh umum.
Peran kedua yang dilakukan oleh BPK adalah untuk ikut mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi. Peran ini dilakukan BPK melalui partisipasi aktif dalam
perombakan sistem administrasi keuangan negara yang sangat tidak transparansi dan
tidak akuntabel selama masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, anggaran negara dalam
masa Orde Baru dibagi dalam dua bagian, yakni anggaran rutin dan anggaran
pembangunan. Anggaran rutin dikontrol oleh Ditjen Anggaran sedangkan Anggaran
Pembangunan dikendalikan oleh Bappenas. Anggaran pembangunan juga meliputi
suplemen anggaran rutin seperti honor dan gaji maupun biaya perjalanan pelaksana
proyek. Di samping anggaran resmi juga ada anggaran nonbujeter yang bersumber dari
yayasan, dana pensiun, koperasi/badan usaha. Baik modal awal maupun kegiatan usaha

8
instansi ataupun perusahaan satelit, pada hakikatnya, adalah bersumber dari induk
instansinya.
Tiga Paket UU di Bidang Keuangan Negara3 yang dikeluarkan tahun 2003 – 2004
telah memberikan design sistem akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Tidak ada
lagi pemisahan antara anggaran rutin dengan anggaran pembangunan sedangkan
anggaran nonbujeter semakin ditiadakan. Tiga UU tersebut ditambah dengan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan telah merubah
jenis dan format laporan keuangan negara, memberlakukan sistem akuntansi
berpasangan, menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan terkomputerisasi, dan
menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang. Sebagaimana telah
disebut di atas, temuan oleh BPK selama pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (LKPP) tahun 2004 menggambarkan bahwa sistem akuntabilitas keuangan negara
yang diatur dalam ketiga paket UU tersebut belum sepenuhnya berjalan. Sebagaimana
telah disebut di atas, BPK tidak dapat menyatakan pendapat atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat tahun 2004 karena adanya kelemahan-kelemahan signifikan dalam
sistem pengendalian intern serta ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
dalam penyajian laporan keuangan tahun 2004. Beberapa temuan signifikan yang
diperoleh BPK adalah belum berjalannya sistem akuntansi pemerintahan dengan baik.
Dewasa ini, terdapat 957 rekening pribadi (termasuk yang sudah lama meninggal dunia)
yang menyimpan uang negara dengan nilai sebesar Rp20,55 triliun. Berbagai penerimaan
negara (PNBP) dan piutang negara lainnya yang tidak dilaporkan dan disetorkan ke kas
negara. Contohnya adalah berupa denda pengganti hukuman yang dipungut oleh
Kejaksaan Agung sebesar Rp6,6 triliun. Sudah menjadi pengetahuan umum dan
ditemukan oleh pemeriksaan BPK berbagai penyelewengan atas penjualan tanah negara,
royalti penambangan ataupun iruan hasil hutan ataupun dana pemeliharaan lingkungan
oleh perusahaan pertambangan dan perkayuan. Di lain pihak, Australia negara yang jauh
lebih kaya daripada Indonesia, telah menjual gedung Kedubesnya di Tokyo pada
dasawarsa 1980-an untuk melunasi pembayaran hutang luar negerinya.
3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

9
5. Reformasi BPK
Hal ketiga yang dilakukan oleh BPK dalam meningkatkan peran sertanya dalam
pemberantasan korupsi adalah melakukan reformasi dan membangun kembali lembaga
itu. Reformasi BPK dimuat secara lengkap dalam Rencana Strategis 2006-2010. Sama
dengan lembaga negara lainnya, BPK dewasa ini juga tengah mengalami proses
reformasi. Reformasi tersebut terjadi akibat, pertama, dari perubahan sistem politik kita
dari sistem otoriter Orde Baru ke sistem politik yang demokratis. Kedua, adanya
perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistis pada masa Orde Baru ke sistem
dengan otonomi daerah yang luas dewasa ini. Dalam sistem politik dan sistem
pemerintahan yang baru itu, Pasal 23 E Perubahan UUD 1945 menuntut BPK untuk dapat
memeriksa setiap sen uang negara darimana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan
untuk apapun dipergunakan. UUD 1945 dan UU No. 15 Tahun 2004 menugaskan BPK
melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan ketiga tingkat
pemerintahan. Pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia.
Dalam segi kelembagaan, BPK berusaha untuk menjadi suatu lembaga pemeriksa
yang benar-benar independen, bebas dan mandiri, sesuai dengan harapan UUD 1945. Di
masa pemerintahan otoriter, baik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde
Baru, BPK berada di bawah kendali eksekutif. Kendali cabang pemerintahan eksekutif
pada BPK tercermin dalam hal pemilihan anggota, pengaturan organisasi, karyawan,
penetapan anggaran, pembatasan objek pemeriksaan dan penetapan metodologi
pemeriksaan. Di masa itu, pemutahiran laporan pemeriksaan BPK dikonsuiltasikan
dengan pemerintah agar tidak menganggu stabilitas politik. Setelah lebih dari 60 tahun
Indonesia merdeka, kini BPK baru memiliki kantor perwakilan di 14 provinsi dan 5 di
antaranya baru dibuka tahun 2005 y.l. termasuk di provinsi besar seperti Jawa Barat dan
Jawa Timur. Kantor-kantor perwakilan baru itu menggunakan fasilitas yang sangat
terbatas milik Pemda. Jumlah karyawan BPK hanya sepertiga dari karyawan BPKP
dengan kualitas pendidikan yang lebih rendah pula.
Perubahan sikap, mental dan moral pemeriksa BPK merupakan kunci sukses
perubahannya. Untuk itu dilakukan melalui empat cara. Cara yang pertama adalah

10
menerapkan kode etik dan menegakkan aturan yang berlaku dengan lebih tegas. Sesuai
dengan aturan dan kode etiknya, pemeriksa BPK tidak boleh mengungkapkan informasi
yang diperolehnya dari pemeriksaannya kepada pihak lain di luar BPK. Pengungkapan
laporan pemeriksaan dilakukan oleh BPK sebagai dan dan bukan oleh individu
perseorangan ketua, anggota maupun karyawannya. Sebagaimana disebut di atas, ada
tatacara penyampaian dugaan perbuatan kriminal kepada penegak hukum. Pemeriksa
BPK bukan whistle-blower karena informasi itu ia peroleh adalah semata-mata karena
kewenangan yang diperolehnya secara hukum sebagai pejabat ataupun petugas BPK.
Pengungkapan informasi tentang auditee sewenang-wenang kepada pihak lain adalah
bagaikan seorang Pastor Katolik Roma yang menceritakan kepada pihak lain aib jemaah
yang mengaku dosa kepadanya. Cara kedua adalah menjatuhkan hukuman, termasuk
pemberhentian dengan tidak hormat, auditor BPK yang diketahui menerima uang suap
dari auditee. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, BPK telah memecat karyawannya
pada tahun 2005 yang terbukti menerima suap pemeriksaan Dana Abadi Umat,
Departemen Agama.
Cara ketiga untuk merubah moral pemeriksa BPK adalah dengan mengupayakan
perbaikan penghasilan karyawan dan memberikan tanda jasa serta kenaikan pangkat
dipercepat kepada auditor berprestasi. Dengan bantuan tambahan anggaran dari DPR dan
pemerintah, mulai tahun 2005, BPK tidak lagi menerima dana pemeriksaan dari auditee.
Mulai tahun 2006, penghasilan auditor BPK sudah dapat ditingkatkan sehingga setara
dengan penghasilan karyawan Departemen Keuangan maupun BPKP. Tambahan
anggaran untuk modernisasi peralatan komputer, gaji dan pendidikan lanjutan di luar
negeri maupun tenaga ahli untuk pendidikan audit investigasi serta fraud audit dan
penyusunan rencana strategis diperoleh dari sumbangan organisasi internasional maupun
berbagai lembaga pemberi bantuan asing. Cara keempat adalah dengan melakukan rotasi
kerja di antara pemeriksa agar tidak sempat mempunyai hubungan emosional dengan
auditee yang diperiksanya.
Sebagai otoritas pemeriksa keuangan negara, BPK berwenang mengeluarkan
peraturan terkait pemeriksaan keuangan negara, menguji dan mengambil sumpah Kantor
Akuntan Publik (KAP) yang melakukan pemeriksaan keuangan negara serta memeriksa
hasil kerjanya. Secara teknis, BPK akan membina pengawas internal, termasuk Irjen dan

11
Bawasda, yang menjadi mitra kerjanya. Pendelegasian wewenang seperti ini sangat
penting karena selain tidak akan mampu, BPK pun tidak perlu melakukan sendiri audit
semua lembaga dan organisasi pemerintahan, termasuk BUMN dan BUMD. Sebagian
besar dari pekerjaan audit tersebut akan didelegasikan kepada KAP sedang BPK akan
berkonsentrasi pada audit objek-objek pemeriksaan yang sangat penting dan strategis
saja.
UUD 1945 sekaligus memberikan kewenangan legislasi kepada BPK. Kewenangan
quasi-judicial seperti itu memberikan kewenangan kepada BPK untuk menetapkan ganti
rugi kerugian negara dalam hal pelanggaran administrasi keuangan negara.
Pemerintah Orde Baru sangat membatasi objek pemeriksaan BPK. Di masa itu,
Bank Indonesia, Pertamina, bank-bank negara dan berbagai BUMN lainnya bukan
merupakan objek pemeriksaan BPK. Tanpa seijin Menkeu dan Dirjennya sendiri, BPK
tidak dapat memeriksa Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Demikian juga dengan BUMN yang
sudah go public maupun yayasan yang terkait dengan kedinasan. Dewasa ini objek
pemeriksaan BPK diperluas meliputi seluruh aspek keuangan negara, sejalan dengan
amanat UUD 1945 dan Paket UU tentang Keuangan Negara yang telah disebut di atas.
Mengingat luasnya objek pemeriksaannya dan terbatasnya kemampuannya, prioritas
audit BPK dewasa ini diarahkan pada aspek pengeluaran dan penerimaan negara dan
Pemda terpenting.
Pada sisi pengeluaran, pemeriksaan BPK diprioritaskan pada objek-objek yang
sangat membebani keuangan negara, seperti bank-bank pemerintah, Pertamina, Bank
Indonesia, serta BUMN lainnya. Priotas kedua adalah pengeluaran negara yang rawan
KKN, seperti pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah. Sebagai contoh, tidak mungkin
Indonesia memiliki angkatan bersenjata yang tangguh jika dikorupsikan anggaran yang
terbatas untuk membeli peralatan. Tidak mungkin prajurit mau mengikuti perintah
komandan yang menilap anggaran kesatuan termasuk asuransi dan tabungan hari tuanya.
Prioritas ketiga pemeriksaan BPK adalah sektor-sektor yang strategis bagi
perekonomian dan penting bagi hajat hidup orang banyak, seperti Departemen
Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pemukiman dan Prasarana
Wilayah, Bulog dan Perusahaan Listrik Negara. Pada sisi penerimaan, pemeriksaan BPK

12
diprioritaskan pada penerimaan pajak, penerimaan negara nonpajak, penjualan aset
negara dan Pemda, termasuk divestasi aset PPA, dan tukar guling aset negara.

Sistem Sosial Indonesia1
1. Pendahuluan
Kedudukan BPK sebagai suatu lembaga negara sendiri sangat penting dan strategis
dalam membantu Bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita reformasi sistem sosial. Tugas
BPK adalah untuk memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keuangan negara.
BPK bertugas untuk memeriksa sejauh mana laporan keuangan negara telah disajikan sesuai
dengan kaidah akuntansi yang berlaku, sejauh mana keuangan negara telah dikelola secara
efektif dan efisien, dan apakah semua ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan
keuangan negara telah dipenuhi dalam mengelola negara. Untuk menjalankan amanah rakyat
sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 tersebut jelas sekali bahwa sebuah badan pemeriksa
yang profesional, mandiri, independenden, dan unggul dalam hal teknologi pemeriksaan
sangat diperlukan di samping perlu juga didukung oleh regulasi mengenai keuangan negara
yang lebih baik.
Kenyataan menunjukkan bahwa selama jaman Orde Baru yang lalu, lembaga BPK
telah dikerdilkan sebagaimana nampak dengan banyaknya hambatan dan larangan untuk
memeriksa departemen pemerintah serta BUMN-BUMN. BPK di masa itu tidak lebih dari
‘tukang stempel’ keinginan pemerintah. Agar tidak mengganggu ‘stabilitas nasional’, laporan
hasil pemeriksaan BPK disesuaikan dengan selera pemerintah. Namun sejarah telah
menunjukkan bahwa buruknya tata kelola keuangan negara dalam masa Orde Baru menjadi
salah satu faktor penting penyebab terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997-
1998. Sejarah juga menunjukkan bahwa setelah kita memasuki era reformasi pun buruknya
transparansi dan akuntabilitas fiskal serta belum baiknya governance BUMN dan BUMD
secara bersama-sama menjadi penyebab lambannya pemulihan kegiatan ekonomi Indonesia
dalam sepuluh tahun terakhir.
Transparansi dan akuntabilitas keuangan negara merupakan kunci untuk mewujudkan
empat aspek sasaran perbaikan sistem sosial Indonesia, terutama sejak era reformasi setelah
runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Sasaran yang pertama reformasi itu adalah untuk
menggantikan sistem politik yang otoriter dengan demokrasi. Demokrasi politik bukan saja
meniadakan peran aktif TNI/POLRI dalam kancah politik, menjamin kebebasan bersuara dan
berserikat, menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur serta adil secara periodik. Namun,
1 Makalah kuliah umum di Universitas Tanjungpura, Pontianak pada tanggal 3 Maret 2007.

demokrasi juga menuntut transparansi dan akuntabilitas keuangan negara agar rakyat melalui
DPR/DPRD dapat menggunakan hak bujetnya. Sasaran kedua reformasi adalah untuk
menggantikan sistem pemerintahan yang sentralistis dengan memberikan otonomi luas
kepada kabupaten/kota. Sistem sosial Indonesia yang majemuk memerlukan transparansi dan
akuntabilitas fiskal sebagai perekat bagi terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia agar tidak ada rasa curiga maupun kecemburuan antara satu kelompok dan daerah
dengan kelompok dan daerah lainnya.
Sasaran ketiga dari reformasi adalah untuk menggantikan sistem ekonomi yang
mengandalkan perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan dengan
sistem yang semakin banyak menggunakan mekanisme pasar dan memasuki persaingan
global. Sistem perencanaan terpusat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan di masa
lalu itu telah menghasilkan distorsi dan inefisiensi maupun korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebaliknya, mekanisme pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada
transparansi dan akuntabilitas pelaku ekonomi, termasuk negara. Liberalisasi, deregulasi,
privatisasi Orde Baru hanya memindahkan hak monopoli dari sektor negara kepada segelintir
kroni penguasa yang tidak punya modal, keahlian, maupun pengalaman. Jika di negara lain,
liberalisme dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi nasional, di Indonesia
justru menimbulkan inefisiensi yang berujung pada krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Sasaran keempat adalah untuk meningkatkan governance dunia usaha nasional,
utamanya BUMN/BUMD, agar mampu bersaing di pasar global. Transparansi dan
akuntabilitas perekonomian, termasuk keuangan negara, sekaligus merupakan prasyarat bagi
perekonomi nasional agar mampu bersaing di pasar dunia. Tanpa adanya informasi yang
akurat dan terbuka mengenai keuangan negara, tidak mungkin pemerintah dapat menjual
obligasi atau surat utang di pasar keuangan nasional dan internasional guna menutup defisit
anggarannya. Para calon investor dan kreditur tentu saja tidak ingin berisiko
menginvestasikan ataupun meminjamkan dananya ke lambaga atau kegiatan yang sama sekali
tidak mereka ketahui (gelap).
2. Pemulihan independensi dan kemandirian BPK
Berangkat dari kondisi BPK seperti pada masa Orde Baru tersebut serta adanya empat
tujuan reformasi sistem sosial yang harus dicapai, dari manakah pembaharuan dari sisi
pemeriksaan keuangan harus dimulai?
Sebagai negara yang mengakui supremasi hukum, pemberdayaan BPK dan perbaikan
infrastruktur sistem keuangan negara Indonesia hanya bisa dilakukan jika ada regulasi baru

Yang memungkinkan untuk itu. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, upaya perbaikan tata
kelola keuangan negara telah dimulai dengan diterbitkannya Paket tiga Undang-Undang
Keuangan Negara tahun 2003-2004. Dari sudut pemeriksaan, UU No. 5 Tahun 1973 juga
telah diganti dengan UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Penerbitan UU baru tersebut telah memulihkan kembali independensi dan
kemandirian BPK secara formal. UU BPK yang baru tersebut sudah lebih dekat dengan
keinginan independensi serta kemandirian lembaga pemeriksa keuangan sebagaimana
diharapkan oleh Deklarasi Lima yang dihasilkan oleh Kongres IX INTOSAI2, organisasi
BPK sedunia, di kota Lima, Peru, pada bulan Oktober 1977. Independensi BPK bukan saja
menyangkut organisasinya yang secara formal adalah berada di luar cabang eksekutif,
legislatif maupun judikatif pemerintahan. Independensi BPK, menurut Deklarasi Lima,
seyogyanya juga tercermin dalam hal independensi personilnya dalam pengambilan
keputusan, independensi dalam bidang keuangan serta anggaran. Independensi BPK
seharusnya tercermin dalam hal kewenangannya untuk melakukan pemeriksaan pada semua
sumber penerimaan negara termasuk penerimaan pajak maupun bukan pajak.
Regulasi baru tersebut juga mempertegas dan memperjelas cakupan pemeriksaan
BPK, yaitu mencakup seluruh aspek keuangan negara. Di negara seperti di Indonesia,
keuangan negara bukan saja meliputi APBN tapi juga meliputi anggaran nonbujeter serta
BUMN/BUMD, yayasan maupun perusahaan yang terkait dengan kedinasan serta lembaga
swasta yang mendapatkan subsidi dari negara. Ada dua alasan penggunaan definisi keuangan
negara yang luas itu. Pertama adalah karena praktik dari zaman revolusi kemerdekaan di
mana tiap unit pasukan tentara dan pemerintah sipil, dengan Doktrin Perlawanan Rakyat
Semesta, mencari dana sendiri, masih tetap dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru. Alasan
kedua adalah karena sektor negara di Indonesia bukan saja memproduksi jasa-jasa publik
ataupun public goods. Pada saat yang sama, negara juga memiliki badan usaha yang
menghasilkan private goods ataupun mixed goods yang merupakan kombinasi dari keduanya.
Karena negara sekaligus memproduksi ketiga jenis komoditi itu, keuangan negara di
Indonesia bukan saja tercermin dalam APBN, tapi juga pada BUMN/BUMD, yayasan
maupun badan usaha lainnya yang terkait dengan kedinasan. Badan pelayanan umum milik
swasta, seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan serta lembaga sosial lainnya juga
mendapat subsidi dari negara.
2 INTOSAI-The International Organization of Supreme Audit Institutions.

SEBAGIAN dari public goods, seperti perkara perdata maupun administrasi nikah,
talak dan rujuk, dapat diidentifikasikan siapa yang menikmatinya. Oleh karenanya, biaya
yang menikmati public goods seperti itu dapat dibebankan langsung kepada penggunanya.
Penerimaan negara dari kegiatan seperti ini disebut sebagai penerimaan negara bukan pajak
(PNBP). Pada saat ini, berbagai instansi pemerintah memuat aturan sendiri untuk melakukan
pungutan tanpa merujuk pada UU PNBP yang berlaku dan tanpa seijin DPR serta
Departemen Keuangan sebagai Bendahara Negara. Pungutan liar seperti itu sekaligus
diadministrasikan oleh instansi yang bersangkutan dan dipergunakannya tanpa
dipertanggungjawabkan pada DPR sebagai pemegang hak bujet.
Menurut UU No. 15 Tahun 2004, BPK wajib menyerahkan laporan pemeriksaan-nya
kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR, DPD dan DPRD). Segera setelah diserahkannya
kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat itu, BPK wajib untuk memuatnya dalam website
agar dapat di akses oleh masyarakat luas. Hal-hal yang mengandung unsur pidana dilaporkan
oleh BPK kepada penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK-Komisi Pemberantasan
Korupsi). Pada gilirannya pemerintah, lembaga-lembaga perwakilan dan para penegak
hukum tersebut menindaklanjuti temuan pemeriksaan serta rekomendasi BPK. Sebagai
lembaga legislatif yang memiliki hak bujet, DPR dan DPRD dapat menerbitkan undang-
undang dan mendesak pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan uang serta asetnya.
Lembaga perwakilan rakyat juga dapat meneruskan kasus tindakan kriminal untuk diusut
lebih lanjut oleh penegak hukum.
Selain memulihkan hak independensi dan kemandirian BPK, UU No 15 Tahun 2006
tersebut sekaligus semakin membuka BPK agar juga menjadi transparan dan akuntabel.
Keterbukaan BPK tercermin dari setidaknya empat hal. Pertama, pemuatan laporan
pemeriksaannya secara utuh pada website-nya sehingga dapat dibaca luas oleh umum. Kedua,
Pasal 30, UU No. 15 Tahun 2006, menetapkan ikut sertanya unsur profesi dan akademisi
sebagai anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.
Ketiga, Pasal 32, UU tersebut menyebut bahwa pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab Keuangan tahunan BPK dilakukan oleh akuntan publik. Keempat, Pasal 33
UU itu menetapkan bahwa sistem pengendalian mutu BPK dilakukan oleh BPK negara lain
yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan negara sedunia (INTOSAI).
Ringkasan Perbandingan antara BPK di masa lalu dengan sekarang dimuat dalam Tabel 1.
Tabel 1

Perbandingan BPK Pada Masa Orde Baru
Dengan Orde Reformasi
Uraian
Di bawah UU No. 5
Tahun 1973 dan Dalam
Masa Pemerintahan Orde
Baru
Sejak Tahun 2005 dan Di
bawah
UU No. 15 Tahun 2004 dan
UU No. 15 Tahun 2006
1. Kantor Perwakilan di
daerah
Tidak diatur Ada di setiap Ibukota Provinsi
2. Jumlah Ketua, Wakil
Ketua dan Anggota
7 orang 9 orang
3. Pemilihan Pimpinan Diangkat oleh Presiden
atas usul DPR
Dipilih dari dan oleh Anggota
BPK sendiri
4. Independensi
4.1 Organisasi Diatur oleh Menpan Ada fleksibilitas
4.2. Keuangan Bersumber dari APBN Anggaran tersendiri dalam
APBN
4.3 Kepegawaian PNS PNS tapi lebih fleksibel
4.4 Laporan
Pemeriksaan
Dikonsultasikan dengan
Pemerintah agat tidak
mengganggu stabilitas
nasional
Diumumkan dalam website
BPK segera setelah diserahkan
kepada DPR/DPRD
5. Akuntabilitas
5.1 Kode etik Tidak jelas Mengikat dan pelaksanaannya
diawasi oleh Majelis Kode Etik
yang anggotanya termasuk
unsure profesi dan akademisi
dari luar BPK
5.2 Pemeriksaan
Anggaran BPK
Diperiksa sendiri oleh
auditor BPK yang
membidangi Lembaga
Tinggi Negara (Lettina)
dan hasilnya tidak
diumumkan secara luas
Dilakukan oleh Kantor
Akuntan Publik dan
diumumkan secara luas

Uraian
Di bawah UU No. 5
Tahun 1973 dan Dalam
Masa Pemerintahan Orde
Baru
Sejak Tahun 2005 dan Di
bawah
UU No. 15 Tahun 2004 dan
UU No. 15 Tahun 2006
5.3 Penilaian mutu
kerja BPK
Tidak ada Dilakukan oleh BPK negara
lain anggota INTOSAI
5.4 Laporan
Pemeriksaan
Tidak terbuka untuk
umum
Terbuka untuk umum sehingga
dapat dinilai oleh masyarakat
luas
6. Objek Pemeriksaan
6.1 Penerimaan
Negara
Hampir tidak ada Mulai memeriksa kontrak
pertambangan, termasuk
migas, dan PNBP. Namun, UU
Pajak tetap menutup akses
BPK pada pemeriksaan
penerimaan pajak
6.2 Penyimpanan
Uang Negara
Hampir tidak ada Mulai melakukan pemeriksaan
dan pada Tahun 2005 BPK
melaporkan sebanyak 957
rekening pribadi pejabat
negara yang menyimpan uang
negara dan tahun 2006
sebanyak 1.303 rekening
6.3 Pengeluaran
Negara
Terbatas pada Pemerintah
Pusat saja dan dari sumber
APBN dan beberapa
provinsi yang dapat
dijangkau oleh kantor
perwakilan BPK.
Meliputi seluruh tingkat
Pemerintahan: Pusat, Provinsi
dan Kabupaten/Kota dan
termasuk dari anggaran
nonbujeter
6.4 Bank Indonesia,
Pertamina dan
BUMN lainnya
BI, Pertamina dan
sebagian BUMN lainnya
adalah bukan merupakan
objek pemeriksaan BPK
Merupakan objek pemeriksaan
BPK

Uraian
Di bawah UU No. 5
Tahun 1973 dan Dalam
Masa Pemerintahan Orde
Baru
Sejak Tahun 2005 dan Di
bawah
UU No. 15 Tahun 2004 dan
UU No. 15 Tahun 2006
7. Jadwal waktu
penyusunan dan
pemeriksaan serta
pertanggungjawaban
anggaran belanja
negara
Tidak diatur Diatur dengan jelas dalam Bab
IV UU No. 15 Tahun 2004
8. Laporan Pemeriksaan a.Disampaikan kepada
DPR;
b.Dugaan kriminal
dilaporkan kepada
Pemerintah;
c.Tidak dipublikasikan
untuk kepentingan
umum
a. Disampaikan kepada DPR,
DPD dan DPRD;
b. Seluruh laporan yang
disampaikan kepada
DPR/DPRD/DPD dimuat
dalam website BPK agar
diketahui oleh masyarakat
luas;
c. Dugaan kriminal dilaporkan
kepada Kepolisian,
Kejaksaan dan KPK
9. Tindak lanjut
temuan
Tidak diatur Dilakukan oleh pejabat negara
dan pelaksaannya dipantau dan
dilaporkan kepada BPK serta
adanya sanksi pidana bagi
yang tidak melaksanakan
tindak lanjut.
10. Pengenaan Ganti
Kerugian Negara
Tidak diatur Ditetapkan oleh BPK dengan
tatacara yang ditentukannya
sendiri
11. Standar pemeriksaan
keuangan negara
Ditetapkan oleh BPK
secara sepihak tanpa
konsultasi dengan
Ditetapkan oleh BPK setelah
konsultasi dengan Pemerintah,
akademisi dan praktisi

Uraian
Di bawah UU No. 5
Tahun 1973 dan Dalam
Masa Pemerintahan Orde
Baru
Sejak Tahun 2005 dan Di
bawah
UU No. 15 Tahun 2004 dan
UU No. 15 Tahun 2006
Pemerintah, akademisi
dan praktisi
12. Penggunaan Kantor
Akuntan Publik
untuk memeriksa
sektor publik:
Pemerintah, BUMN
dan BUMD
Dilakukan dengan
menerbitkan ‘cover letter’
Diatur menurut ketentuan
BPK. Akuntan publik dilatih
tentang standar pemeriksaan
maupun peraturan mengenai
keuangan negara dan
memberikannya sertifikat dan
surat ijin bagi yang telah lulus
ujian.
13. Peraturan yang
menyangkut
pemeriksaan
keuangan negara
Tidak ada kewenangan Sebagai otorita, BPK dapat
menerbitkan peraturan yang
menyangkut pemeriksaan
keuangan negara
14. Kekebalan,
perlindungan dan
bantuan hukum serta
jaminan keamanan
Tidak diatur a. Anggota BPK tidak
dapat dituntut dalam
menjalankan tugas,
kewajiban dan wewenangnya
b. Anggota BPK,
Pemeriksa dan pihak lain
yang bekerja untuk dan atas
nama BPK diberikan
perlindungan hukum dan
jaminan keamanan oleh
instansi berwenang.
c. BPK berhak atas
bantuan hukum dengan biaya
negara apabila terjadi
gugatan dalam pelaksanaan

Uraian
Di bawah UU No. 5
Tahun 1973 dan Dalam
Masa Pemerintahan Orde
Baru
Sejak Tahun 2005 dan Di
bawah
UU No. 15 Tahun 2004 dan
UU No. 15 Tahun 2006
tugas dan wewenangnya.
3.Penataan struktural BPK
Pemulihan independensi dan kemandirian yang dimiliki oleh BPK hanyalah
merupakan sarana untuk menciptakan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan
akuntabel, sebagaimana diamanatkan dalam Paket Tiga Undang Undang Keuangan Negara.
Hal ini menuntut BPK untuk lebih meningkatkan perannya dan sekaligus melakukan
penataan struktural melalui pengembangan kapasitas dan kapabilitas organisasional yang
memadai, sesuai dengan demand akan kebutuhan pemeriksaan yang meningkat drastis selama
beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan perubahan lingkungan yang cepat di sektor publik
seperti diberlakukannya otonomi daerah, restrukturisasi pengelolaan rumah sakit dan
universitas, dan peningkatan pengucuran dana ke pemerintah daerah. Berbagai bencana alam
seperti banjir, gempa bumi, tsunami, dan flu burung turut meningkatkan kebutuhan akan
pemeriksaan oleh BPK.
Syukurlah, dalam masa dua tahun belakangan ini, sebelum terbitnya UU No. 15
Tahun 2006, BPK sudah menegaskan komitmen dan mempersiapkan diri untuk mengawal
cita-cita reformasi sistem sosial Indonesia seperti tercermin dalam Rencana Strategis BPK
Tahun 2005-2010. Selama dua tahun terakhir ada empat peranan BPK yang menonjol
sebagaimana digambarkan pada tiga lapis bawah dalam segitiga pada Grafik-1, yaitu (i)
meningkatkan kegiatan pemberantasan KKN; (ii) meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara. Dalam hal ini, BPK telah meningkatkan kualitas
pemeriksaannya dan telah semakin memperluas objek pemeriksaan yang tadinya tersumbat
selama Orde Baru; (iii) membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan Paket tiga UU
tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004; dan (iv) membantu Pemerintah untuk
melakukan reformasi institusional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan badan pelayanan
umum, seperti sekolah/ Universitas dan rumah sakit. Peran seperti ini merupakan bagian dari
tugas BPK untuk memberikan opini, kesimpulan dan rekomendasi untuk ditindak lanjuti oleh
auditee serta oleh pemerintah.

Secara bertahap, BPK akan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan audit
kinerja guna menilai efisiensi, nilai ekonomi maupun efektivitas kegiatan instansi
pemerintah. Dengan semakin berkembangnya BPK, diharapkan lembaga ini dapat
memberikan kecenderungan serta pemikiran jangka panjang sebagai bahan pertimbangan
bagi badan legislatif dan eksekutif serta masyarakat luas untuk mengambil keputusan.
Berbeda dengan di negara-negara maju, hingga saat ini BPK belum memiliki kemampuan
melakukan audit kinerja maupun pemikiran jangka panjang seperti itu. Sasaran jangka
panjang peranan BPK digambarkan pada ketiga lapis atas (dengan garis patah) Grafik-1.
Meskipun masih jauh untuk bisa menilai keberhasilan Renstra 2005-2010, namun
selama dua tahun terakhir ini BPK telah mampu meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
organisasional secara cukup signifikan, seperti dalam peningkatan jumlah auditor dengan
latar belakang berbagai disiplin ilmu, kelengkapan infrastruktur pemeriksaan seperti
teknologi informasi, peningkatan jumlah kantor perwakilan di setiap provinsi dan penguatan
tenaga administratif penunjang. Berkat bantuan mitra kerja kami, DPR RI, di tahun 2007 ini
BPK memperoleh alokasi dana sebesar Rp1,1 triliun. Pembenahan tidak hanya terfokus pada
penambahan karyawan dan fasilitas kerja, namun juga menyangkut pembenahan budaya,
etika kerja, sistem kompensasi dan metode kerja. Sistem remunerasi yang lebih sehat juga
diperlukan agar para auditor BPK tetap tegar dalam menjalankan tugas walaupun
menghadapi bermacam-macam risiko seperti risiko ancaman phisik, penyuapan, dan berbagai
macam bentuk hambatan kerja di lapangan. Perbaikan sistem remunerasi juga semakin
diperlukan manakala diingat bahwa BPK tidak diperbolehkan mengutip fee untuk
meningkatkan kesejahteraan staffnya atas keberhasilan mereka menyelamatkan uang negara.
Hal ini berbeda dengan pejabat Pemda yang mendapat upah pungut Pajak Bumi dan
Bangunan ataupun beberapa departemen pemerintah yang diperbolehkan memiliki sumber
dana tambahan di luar APBN yang bersumber dari pengeluaran izin. Sampai saat ini semua
pejabat BPK juga dilarang menjadi Komisaris BUMN karena hal itu akan menyebabkan
conflict of interest.
Grafik 1. Peranan BPK Masa Kini dan Masa Datang
Membantu masyarakat dan
pengambil

Peningkatan kapasitas dan kapabilitas organisasi akan terus dilakukan, sejalan dengan
tuntutan perubahan lingkungan. Dalam jangka panjang, seperti praktik umum di berbagai
negara dan seusuai dengan semangat UU No. 15 Thaun 2004, pemeriksaan keuangan akan
semakin banyak diserahkan kepada akuntan publik, dengan pengawasan dari BPK. KAP yang
akan melakukan pemeriksaan sektor publik untuk dan atas nama BPK, akan diseleksi,
disertifikasi dan diawasi oleh BPK. Selanjutnya, fokus pemeriksaan BPK akan lebih banyak
pada pemeriksaan kinerja, lingkungan serta pembangunan berkelanjutan maupun
pemeriksaan lainnya sebagaimana digambarkan dalam lapisan atas Grafik 1.
Penataan struktural yang dilakukan BPK dalam dua tahun terakhir ini telah terbukti
menjadi faktor penting yang menunjang pencapaian kinerja BPK yang pada gilirannya
membantu perwujudan sasaran reformasi sistem sosial. Dalam rangka membantu
pemberantasan korupsi, pada tahun 2005, BPK telah menyampaikan sepuluh laporan dugaan

tindak pidana korupsi kepada DPR dan penegak hukum. Masing-masing satu dari laporan itu
diserahkan kepada DPR dan Kapolri serta delapan kepada Kejaksaan Agung, dengan nilai
total kerugian negara sebesar Rp2,9 triliun dan US$4.2 juta. Sebagai badan legislatif, DPR
memiliki kewenangan untuk meneruskan kasus itu kepada penegak hukum, menciptakan
Undang-Undang maupun mendesak Pemerintah untuk melakukan koreksi dan perbaikan
sistem guna mencegah terjadinya kembali kerugian negara. Adapun rekapitulasi temuan yang
berindikasi kerugian negara yang dilaporkan oleh BPK selama dua tahun terakhir dimuat
dalam Tabel 2. Di masa mendatang, laporan BPK tentang indikasi tindak pidana korupsi akan
semakin bertambah dengan adanya (i) peningkatan kemampuannya; (ii) perluasan objek
pemeriksaannya; (iii) perluasan jaringan kantor perwakilannya; (iv) perbaikan peralatan kerja
serta perluasan jaringan telekomunikasinya; (v) peningkatan kerjasamanya dengan lembaga
penegak hukum, terutama dengan KPK serta PPATK.

TABEL 2
DAFTAR REKAPITULASI TEMUAN PEMERIKSAAN BERINDIKASI KERUGIAN NEGARA
TAHUN 2005 S.D. SEMESTER I 2006*
Juta Rupiah dan ribu Valas
Kerugian Negara/ Telah Diselamatkan/ Sisa
Daerah Disetor ke Kas Negara Kerugian Negara No Periode
Pemeriksaan
Kelompok
Penanggung
Jawab Kasus Nilai Kasus Nilai Kasus Nilai
1 TA 2005 Pemerintah 701 Rp 7.713.057,46 104 Rp 2.507.869,90 597 Rp 5.205.187,56
Pusat US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43
Pemerintah 2.330 Rp 1.352.224,56 226 Rp 89.187,12 2.104 Rp 1.263.037,44
Daerah
BUMN 23 Rp 4.761.596,75 0 Rp 0,00 23 Rp 4.761.596,75
3.054 Rp 13.826.878,77 330 Rp 2.597.057,02 2.724 Rp 11.229.821,75
US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43
2 Semester I Pemerintah 165 Rp 16.055.783,27 32 Rp 532.051,78 133 Rp 15.523.731,49
TA 2006 Pusat
Pemerintah 1.530 Rp 1.868.803,01 3 Rp 293,11 1.527 Rp 1.868.509,90
Daerah
BUMN 26 Rp 1.320.940,03 5 Rp 56.287,32 21 Rp 1.264.652,71
1.721 Rp 19.245.526,31 40 Rp 588.632,21 1.681 Rp 18.656.894,10
Jumlah 4.775 Rp 370 Rp 4.405 Rp

33.072.405,08 3.185.689,23 29.886.715,85
US$ 5,526.83 US$ 504.40 US$ 5,022.43
Catatan: Dari total kerugian negara pada tahun 2005 dalam Tabel 2 ini (sebesar Rp13,82 triliun dan USD5.52 juta) hanya Rp2,9 triluin dan
USD4,2 juta saja yang dilaporkan kepada penegak hukum karena mengandung dugaan unsur pidana. Lainnya adalah berupa kerugian negara
yang wajib diganti oleh bendahara.

15
Di sisi penyelamatan keuangan negara, hasil kerja BPK bisa dilihat dari
pemasukan pada Kas Negara, setidaknya sebesar Rp3 triliun dari laporan pemeriksaannya
pada tahun 2005 atas 957 rekening perorangan pejabat negara yang menyimpan uang
negara pada berbagai bank senilai Rp20,44 triliun. Pada tahun berikutnya BPK
melaporkan adanya 1.303 rekening dan deposito pejabat negara pada berbagai bank yang
menyimpan uang negara dengan nilai Rp8,54 triliun.Penghematan terhadap pengeluaran,
antara lain, digambarkan oleh penghematan pengeluaran negara atas subsidi listrik, pupuk
maupun bahan bakar minyak.
Di samping itu, BPK menemukan berbagai kelemahan sistem Keuangan Negara
yang merupakan warisan sistem Orde Baru pada saat melakukan pemeriksaan atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004 dan 2005. Kelemahan pertama
adalah dalam sistem internal keuangan negara. Pada masa Orde Baru, tidak ada Laporan
Realisasi (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian/Lembaga
Negara, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang
dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara maupun yayasan yang terkait
dengan kedinasan. Hingga saat ini tidak ada konsistensi antara besarnya dana yang
ditransfer dari pusat dengan jumlah penerimaan dana oleh daerah maupun oleh satuan
instansi pemerintahan serta badan pelayanan umum.
Kelemahan kedua sistem keuangan negara di masa Orde Baru adalah tidak adanya
suatu single treasury account yang terpadu sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 1
Tahun 2004. Akibatnya uang negara disimpan pada berbagai rekening yang tersebar di
banyak instansi negara termasuk ribuan individu pejabat negara. Individu pejabat negara
yang sudah lebih dari sepuluh tahun meninggal dunia masih juga memiliki rekening
deposito bank yang menyimpan uang negara. Uang negara yang disimpan dalam berbagai
rekening pejabat negara itu tidak jelas statusnya dan tidak terintegrasi dengan rekening
Bendahara Umum Negara (BUN). Akibat dari terseraknya penyimpanan uang negara di
berbagai rekening instansi dan pribadi pejabat negara, pemerintah tidak mengetahui
posisi keuangannya sendiri dan dana itu tidak dapat dimanfaatkannya untuk mengatasi
kesulitan likuiditasnya.
Kelemahan ketiga sistem keuangan negara adalah kurang patuhnya pada undang-
undang serta peraturan yang berlaku di bidang keuangan negara. Termasuk dalam

16
kelompok ini adalah lembaga negara yang menetapkan pungutan sendiri,
mengadministrasikannya dan menggunakannya sendiri pula. Hal itu dilakukan tanpa
mengacu pada UU Penerimaan Negara Bukan Pajak dan tanpa sepengetahuan
Departemen Keuangan sebagai bendahara negara. Kelemahan keempat adalah belum
adanya gambaran yang utuh atas besarnya Sisa Anggaran Lebih (SAL). LRA melaporkan
besarnya SAL per 31 Desember 2004 sebesar Rp31,56 triliun sedangkan neraca
menyebutnya sebesar Rp25,59 triliun sehingga ada perbedaan yang tidak jelas sebesar
Rp6 triliun.
Menyikapi temuan tersebut, BPK mengambil tujuh agenda utama dalam rangka
membantu Pemerintah mengimplementasikan Paket Tiga UU Tentang Keuangan Negara
Tahun 2003-2004. Pertama, membantu pemerintah untuk menyusun standar akuntansi
pemerintahan. Kedua, menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara, setelah
menerima masukan pemikiran dari pemerintah, akademisi dan kalangan profesi. Ketiga,
mendorong agar pemerintah menggunakan tenaga-tenaga akuntansi dalam posisi
struktural pengelola Keuangan negara, baik di tingkat pusat hingga daerah, BUMN
maupun BUMD.
Keempat, mendorong dan membantu pemerintah untuk menyatukan semua
anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN. Kelima, membantu
pemerintah memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua
tingkatan. Keenam, mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran
negara yang transparan dan akuntabel. Ketujuh, membantu pemerintah meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan negara antar instansi pemerintah, antara
Pemerintah Pusat dan daerah maupun antara pemerintah dengan BUMN/BUMD serta
yayasan maupun lembaga swasta yang memperoleh subsidi dari pemerintah.
Penataan struktural juga dilaksanakan terkait dengan Pasal 22 UU No. 15 Tahun
2004 yang memberikan kekuasaan quasi judisial kepada BPK dalam mengenakan ganti
kerugian negara. Ketentuan ini juga berlaku bagi perusahaan yang sedikitnya 51% dari
sahamnya dimiliki oleh negara. Berdasarkan kekuasaan tersebut, BPK menerbitkan surat
keputusan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas ataupun
barang yang terjadi. Surat keputusan BPK bersifat final tanpa harus melalui proses
hukum di pengadilan. BPK sekaligus memantau penyelesaian ganti kerugian negara

17
tersebut. Dalam kaitan ini, setelah konsultasi dengan pemerintah, BPK tengah menyusun
tatacaranya agar jelas bagi semua pihak.
Untuk dapat meningkatkan kinerjanya, BPK juga telah melakukan pembenahan
internal termasuk peningkatkan disiplin karyawannya dan ketaatannya terhadap kode
etik. Auditor di mana pun di dunia ini, termasuk di BPK, adalah wajib memelihara
hubungan baik dengan auditee, memelihara kepercayaan dan harga diri auditee dan tidak
boleh memata-matainya. Perbuatan yang menyimpang dari aturan dan tindak pidana
korupsi pun harus dibicarakan secara terbuka dan direkonfirmasikan dengan auditee.
Auditor BPK juga bukan seorang whistle blower karena informasi tentang sesuatu adalah
diperolehnya karena kewenangan yang diberikan kepadanya oleh BPK. Auditor BPK
tidak boleh menyampaikan sendiri temuan pemeriksaannya kepada siapapun di luar BPK,
tanpa prosedur dan aturan yang berlaku, apalagi mengumumkannya sendiri kepada
publik.
4. BPK dalam pergaulan dunia
Upaya BPK untuk mewujudkan cita-cita reformasi sistem sosial tidak hanya
dilakukan dengan pembenahan ke dalam, tapi juga dengan meningkatkan pergaulan BPK
di lingkungan regional dan global. Di lingkungan internasional, BPK telah meningkatkan
kerjasama melalui ASOSAI (Asian Organisation of Supreme Audit Institutions) maupun
INTOSAI beserta kelompok kerja kedua organisasi itu. BPK melakukan kerjasama dalam
hal pemeriksaan, perumusan kebijakan, pertukaran informasi serta pengalaman maupun
pelatihan dengan rekannya dari luar negeri, baik melalui forum INTOSAI, ASOSAI
maupun forum lainnya. BPK sekaligus menerima bantuan asing untuk meningkatkan
kapasitasnya sendiri mutu sumber daya manusia (SDM), modernisasi peralatan maupun
perombakan organisasi menuju independensi dan kemandiriannya. Forum kerjasama
dengan auditor negara lain semakin ditingkatkan setelah terjadinya gempa tektonik yang
diikuti oleh gelombang Tsunami yang melanda Provinsi NAD dan Sumut pada tanggal 26
Desember 2004. Sebagaimana diketahui gempa itu berkekuatan 9 skala richter dan terjadi
akibat pergeseran lempengan tektonik Australia-Asia di sekitar 150 km di Selatan
Meulaboh. Gelombang tsunami yang ditimbulkannya telah melanda seluruh kawasan
Lautan Hindia hingga ke Asia Selatan, Jazirah Arab dan Afrika. Bencana alam itu telah

18
menelan korban sebanyak 160 ribu jiwa orang dan kerusakan dahsyat di Provinsi NAD
dan Pulau Nias sehingga telah menarik simpati dan bantuan internasional. Pada waktu itu,
Provinsi NAD juga tengah dilanda konflik bersenjata karena pemberontakan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), yang sudah berlangsung selama hampir tiga puluh tahun.
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri akan
penyaluran bantuannya pada korban bencana alam di NAD dan Sumut, BPK telah
melakukan audit atas bantuan tersebut. Dengan bantuan ADB (Asian Development Bank),
BPK telah menyelenggarakan konferensi internasional tentang Promoting Financial
Accountability in Managing Funds Related to Tsunami, Conflict and Other Disasters di
Jakarta pada tanggal 25-27 April 2005. Konferensi itu dihadiri oleh 142 orang peserta
dari enam negara yang mengalami bencana, 14 negara donor dan perwakilan 16 lembaga-
lembaga internasional. Konferensi itu antara lain menghasilkan kesepakatan untuk
membantu BPK melakukan pemeriksaan, baik berupa pemberian bantuan teknis maupun
kerjasama melakukan pemeriksaan. Bantuan teknis diberikan melalui Dewan Penasehat
BPK (BPK Advisory Board) yang dengan jumlah anggota 12 orang dari 12 negara dan
sudah bertemu dan memberikan nasehat kepada BPK pada April 2006 di Jakarta.
Menimba pelajaran dari Indonesia, pada tahun 2006, INTOSAI membentuk Task Force
on Audit and Accountability of Disaster Related Aid yang diketuai oleh Ketua BPK
Negeri Belanda dengan dua orang wakilnya yakni Ketua BPK Indonesia dan Korea
Selatan. Salah satu pelajaran dari Indonesia adalah bahwa berbeda dengan di negara lain,
seperti Sri Lanka dan Kashmir, Indonesia menggunakan bencana alam tersebut sekaligus
memulihkan perdamaian dengan GAM berdasarkan perjanjian Helsinki pada bulan
Agustus tahun 2005
Meneruskan yang sudah ada sejak tahun 2004, BPK menjadi anggota Steering
Committee dari the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA).
Sampai dengan Kongres ke-10 ASOSAI di Shanghai pada bulan September 2006, BPK
adalah menjadi salah satu dari auditornya. Dewasa ini BPK juga mencoba ikut
berkompetisi dengan BPK luar negeri untuk menjadi external auditor organisasi
internasional. Dengan negara tetangga sekaligus diharapkan peningkatan kerjasama
mengenai hal-hal yang merupakan kepentingan bersama seperti audit kebakaran hutan,
keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan penanggulangan penyakit flu burung.

19
Dalam rangka STARSDP Project (State Audit Reform Sector Development
Program) tahun 2005-2009, BPK menerima dana dari pinjaman ADB dan hibah dari
Pemerintah Belanda guna meningkatkan mutu SDM, perluasan jaringan serta modernisasi
sistem komputer dan perombakan organisasi guna mewujudkan kemandirian dan
independensinya. Bantuan teknis dalam upaya peningkatan SDM berupa pelatihan dan
beasiswa juga diterima oleh BPK dari Bank Dunia, USAID, AusAid, India, JICA, Negeri
Belanda, Philipina, Swedia maupun ASOSAI dan INTOSAI. Amerika Serikat, Australia
dan New Zealand memberikan kesempatan bagi auditor BPK untuk bekerja selama
setahun pada lembaga pemeriksanya guna menimba ilmu dan pengalaman praktis.
Perancis mengikutsertakan auditor BPK dalam penugasan PBB di negara-negara yang
dilanda konflik bersenjata, seperti Kongo, Eritrea dan Kosovo. Dengan bantuan tenaga
pelatih asing, BPK melakukan kerjasama dengan instansi penegak hukum (Kepolisian,
Kejaksaan, KPK serta PPATK) dalam pelatihan audit investigasi.
Penutup
Pemeriksaan terhadap keuangan negara tidak bisa dilihat semata-mata untuk
keperluan menemukan kesalahan dalam pelaporan keuangan pemerintah. Lebih dari itu
pemeriksaan juga berperan untuk memastikan bahwa pemerintah telah membuat
kebijakan yang tepat dalam memakai uang rakyat (policy analysis), bahwa kebijakan itu
dilaksanakan secara efektif dan efisien (i.e., hasil performance audit), dan bahwa dampak
positif kebijakan itu benar-benar dirasakan seluruh golongan rakyat (fungsi keadilan
sosal). Sejarah membuktikan tanpa kekuatan Pemeriksa yang memadai (di luar fungsi
eksekutif-legeslatif-yudikatif) pengelolaan uang negara secara ugal-ugalan dalam
konteks pembangunan di masa lalu ternyata justru menimbulkan kebocoran, utang LN,
dan kesengsaraan rakyat. Jelas sekali di sini bahwa seluruh elemen masyarakat punya
kepentingan untuk membantu terciptanya BPK “masa depan” yang independent, mandiri,
dan mampu mengemban amanat rakyat. Dalam hal kerja sama dari lingkungan perguruan
tinggi, seperti Universitas Tanjungpura, sangatlah penting. Lakukan riset dan ciptakanlah
metodologi pemeriksaan yang canggih. Bantulah kami dengan mengirim para lulusan
yang bermoral baik serta menguasai teknologi audit yang sempurna. Masa depan
keberhasilan reformasi sistem sosial Indonesia berada di tangan kita semua.

1
Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara di Indonesia1
1. Pengantar
Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi
keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak
krisis ekonomi tahun 1997-1998. Di sektor ekonomi kita ingin beralih dari sistem
perencanaan terpusat kepada sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar.
Perencanaan terpusat dan kredit program pada masa Orde Baru telah menciptakan KKN.
Privatisasi dan deregulasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik negara
kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, efisiensi perekonomian nasional kita menjadi
semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997-1998.
Dalam bidang politik, reformasi itu ingin menggantikan sistem politik otoriter
masa lalu dengan sistem demokrasi. Sistem politik yang demokratris itu memberikan
jaminan kebebasan berserikat dan bersuara termasuk mendirikan partai politik. TNI dan
Polri tidak lagi memiliki wakil di DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil
presiden serta kepala-kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan
platform atau janji politiknya dan tidak lagi dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu,
MPR sekaligus menyusun GBHN. Dalam siste politik yang demokratis rakyat sekaligus
menuntut pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan
akuntabel.
Dalam sistem pemerintahan, kita ingin merombak sistem pemerintahan
sentralistis masa lalu diganti dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada
daerah. Transparansi dan akuntabilitas fiskal mengurangi sumber konflik antara
Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah sehingga dapat dipelihara keutuhan negara
kesatuan Republik Indonesia.
The founding fathers kita yang menyusun UUD 1945 sadar akan pentingnya
transparansi dan akuntabilitas fiskal untuk mewujudkan bhinneka tunggal ika. Bab VIIIA, 1 Makalah untuk luncheon discussion Musyawarah Nasional Ketiga Asosiasi Pemerintah Provinsi Indonesia, Surabaya, Senin, 22 Oktober 2007.

2
Pasal 23 E sampai dengan Pasal 23 G, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya
badan pemeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara pada ketiga
lapis pemerintahan Republik Indonesia, yakni: pusat, provinsi dan kabupaten/kota2.
Berbeda dengan di negara lain, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai suatu lembaga
negara sendiri yang sejajar dengan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Di negara
lain, lembaga sebagai BPK merupakan aparat DPR sebagai pemegang hak bujet ataupun
merupakan bagian dari cabang eksekutif.
Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan
efisien jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang
simetris. Yang terakhir ini termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Sistem politik yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi
daerah juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu,
rakyat tidak akan mau membayar pajak dan investor enggan membeli Surat Utang
Negara. Konflik antar daerah dapat dipicu oleh perasaan curiga karena tidak transparan
dan tidak akuntabelnya keuangan negara.
Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua
membahas berbagai elemen perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara untuk
menjadikannya transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan era reformasi. Bagian
ketiga membahas temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005 dan 2006. Bagian keempat
membahas kelemahan insitusional pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan otonomi.
Bagian kelima membahas peranan yang dapat dilakukan oleh DPR dan DPRD untuk
menindaklanjuti temuan BPK.
2. Upaya perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara,
pemerintah dalam era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh atas sistem
keuangan negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi 2 Penjabaran lebih lanjut ketentuan UUD 1945 mengenai BPK dituangkan dalam Paket Tiga Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. Ketiga UU Keuangan Negara itu adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

3
pertama adalah degan mengintegrasikan anggaran negara dengan meniadakan pembedaan
antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Kontrol atas APBN kini sepenuhnya
berada ditangan Menteri Keuangan. Sementara itu, peranan anggaran nonbujeter semakin
dikurangi.
Administrasi dan pertanggungjawaban keuangan negara dirubah secara mendasar.
Jenis dan format laporan keuangan negara kini memberlakukan sistem pembukuan
berpasangan, menggunakan sistem akuntansi terpadu yang dikomputerisasi serta
menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit
akuntansi baik di kantor pusat maupun di daerah. Perubahan mendasar atas struktur
APBN dan jenis, format serta cara pelaporannya dimuat dalam ketiga Undang-Undang di
bidang Keuangan Negara tahun 2003-2004. Koreksi yang kedua adalah dengan
mengintrodusi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni 20053. SAP
ini merupakan yang pertama dikeluarkan oleh pemerintah setelah 60 tahun Republik
Indonesia berdiri. Koreksi yang ketiga adalah dengan menerbitkan UU No. 15 Tahun
20064 yang memulihkan kebebasan dan kemandirian BPK dan sekaligus memperluas
objek pemeriksaannya.
Setelah 60 tahun kita berbangsa dan bernegara, pertanggungjawaban keuangan
negara yang transparan dan akuntabel baru dimulai dalam LKPP Tahun 2004. Walaupun
masih jauh dari sempurna LKPP itu memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang
disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah
dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk
neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu
tonggak sejarah kemajuan dan bagian dari perwujudan demokrasi politik yang juga
menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara.
LKPP yang merupakan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk baru
seperti sekarang ini adalah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan peralihan Pasal 36 ayat (2) UU No.
17/2003 tentang Keuangan Negara itu menyatakan bahwa ketentuan mengenai LKPP
dalam bentuk sekarang ini akan berlaku mulai APBN Tahun 2006. Namun demikian, UU
3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005. 4 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggantikan UU No. 5 Tahun 1973.

4
No. 28 Tahun 2003 tentang APBN Tahun 2004 telah memajukan awal mulai berlakunya
penerapan LKPP format baru dimaksud. Undang-undang APBN Tahun 2004 tersebut
menyebutkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN oleh presiden sudah berupa
LKPP format baru.
LKPP format baru sekarang ini adalah berbeda dengan laporan keuangan
Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Sistem
Akuntansi Pemerintah dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)5. LKPP yang
berlaku sekarang ini adalah terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat
yang disusun berdasarkan LRA Kementerian Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus
Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan Negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci,
tertib dan sistematis tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi transparansi fiskal
dan peningkatan akuntabilitas publik.
3. Temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN pada tingkat kementerian
negara/lembaga dan APBD di daerah belum seluruhnya direviu oleh aparat pengawasan
internal, sebagaimana diharapkan oleh undang-undang. Padahal, dewasa ini, pengawasan
internal pemerintah di Indonesia merupakan yang terumit didunia dan terdiri dari empat
lapis, yakni BPKP, Irjen/SPI, Bawasda Tingkat I dan Bawasda Tingkat II6. Keempat
pengawas internal pemerintah itu, terutama BPKP, memiliki jumlah sumber daya
manusia, jaringan kantor, peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada
BPK-RI. Seharusnya BPKP itu dapat digunakan oleh pemerintah untuk membangun
sistem akuntansi dan pertanggungjawaban keuangan negara serta mengatasi kelangkaan
tenaga akuntan pada instansi teknis agar dapat mengimplementasikan Paket Ketiga UU
tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004.
5Surat Keputusan tersebut adalah SK Menteri Keuangan No.337/KMK/0.12/2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/KMK.06/2005 tentang hal yang sama. Kedua SK ini menggantikan Surat Keputusan No. 476/KMK.01/191 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 295/KMK.012/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembukuan dan Pelaporan Keuangan pada Departemen/Lembaga. 6 Pada masa Orde Baru, ada Irjenbang (Inspektur Jenderal Pembangunan) yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

5
Dari segi teknis, setidaknya ada tujuh kelemahan sistem pengendalian internal
keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP pada tahun anggaran
2004, 2005 dan 2006. Kelemahan tersebut adalah, pertama, masih perlunya perbaikan
mendasar sistem akuntansi keuangan negara agar dapat diseragamkan sesuai dengan
sistem yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua,
perlunya sinkronisasi sistem komputer instansi pemerintah agar menjadi terintegrasi dan
kompatible antara satu dengan lainnya. Sebagaimana telah disebut dimuka, dewasa ini,
sistem komputer pemerintah belum dapat menyamai sistem komputer perbankan.
Ketiga, perlunya mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal agar uang
negara tidak lagi tersebar diberbagai rekening yang tidak terpadu dan dikonsolidasikan.
Termasuk di dalamnya adalah rekening individu pejabat negara yang sudah lama
meninggal dunia. Karena tidak dikonsolidasikan, dana-dana yang tersebar itu tidak segera
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Agar dapat
mengetahui posisi keuangannya setiap saat, pemerintah perlu segera menerapkan sistem
perbendaharaan tunggal.
Keempat, perlunya inventarisasi aset negara baik di tingkat pusat dan daerah.
Dalam kaitan ini, perlu ada perbaikan administrasi penempatan modal pemerintah pada
BUMN dan BUMD. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening Dana Investasi (RDI),
yang merupakan bagian dari modal pemerintah itu, merupakan praktik KKN. RDI
menjadi alternatif bagi kredit bank dan diberikan kepada badan usaha yang sebenarnya
mampu meminjam dari industri perbankan (bankable). Alokasi RDI, yang berbunga
rendah dan risiko yang hampir tidak ada, dibuat oleh pejabat Depkeu dengan cara yang
kurang transparan dan penagihannya kembali pun hampir tidak pernah dilakukan secara
serius. Kelima, perlunya penyediaan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit
instansi pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Keenam, perlunya
pembangunan jaringan sistem komputer pemerintah yang kompatibel antara satu dengan
lainnya
Ketujuh, perlunya transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara baik yang
bersumber dari pajak, migas dan penambangan sumber daya alam lainnya maupun dari
PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang
perubahan ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

6
Perpajakan telah mengelimir kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa
penerimaan pajak. Sistem menghitung pajak sendiri (self asessment) yang digunakan
sejak tahun 1983, tanpa audit internal, telah membuka peluang bagi penyelewengan, baik
oleh wajib pajak maupun oleh petugas pajak. Akibatnya, rasio perpajakan (tax ratio)
tidak dapat ditingkatkan dari 13,5 dari PDB dewasa ini. Penetapan cost recovery oleh BP
Migas yang tidak rasional sangat menganggu penerimaan negara di tingkat pusat maupun
daerah penghasilnya. Sampai dengan bulan September 2007, Mahkamah Agung menolak
pemeriksaan BPK atas biaya perkara yang dipungutnya
Ketujuh temuan pemeriksaan di atas telah menyebabkan BPK memberikan opini
disclaimer pada LKPP selama tiga tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2004, 2005 dan
2006. Pemberian pendapat BPK atas pemeriksaan LKPP ketiga tahun anggaran itu adalah
didasarkan pada ketentuan Pasal 16, Ayat (1), UU No. 15 Tahun 2004 BPK. Opini
pemeriksaan BPK diberikannya berdasarkan tingkat kewajaran informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan negara berdasarkan kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, efektifitas sistem pengendalian internal
dan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku.
Pemeriksaan terhadap LKPP selama tiga terakhir ini belum ditujukan untuk
menilai kinerja pemerintahan yang meliputi aspek ekonomi, efisiensi dan efektifitas.
Salah satu alasannya adalah karena Pemerintah sendiri belum menetapkan tolok ukur
sasaran kegiatannya. Karena disusun berbasis kas, LKPP tidak memperhitungkan
kewajiban kontijensi Pemerintah. LKPP juga tidak mengungkapkan strategi pemerintah
untuk menunda pembayaran kepada kreditur maupun kontraktornya sebagai cara untuk
mengurangi defisit anggaran berbasis kas itu.
Perbaikan ketujuh kelemahan mendasar administrasi pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan di atas merupakan upaya preventif bagi penanggulangan
KKN. Hanya orang yang tidak mengerti tata negara dan tidak memahami ilmu akuntansi
serta keuangan negara yang mengatakan bahwa temuan pemeriksaan BPK itu bernuansa
politik. Dengan opini LKPP seperti ini, sulit kiranya bagi pemerintah untuk
meningkatkan peringkat SUN (Surat Utang Negara) yang dijualnya di pasar dunia
sehingga mencapai investment grade agar dapat menurunkan kupon atau tingkat suku
bunganya.

7
4. Kelemahan institusional pemerintah daerah untuk mewujudkan otonomi
Karena lemahnya institusi Pemda, berbagai kelemahan internal dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban yang terjadi pada Pemerintah Pusat semakin
menonjol pada Pemerintah Daerah. Hampir semua daerah melanggar UU karena
menggunakan APBD untuk “membantu” instansi vertikal. Instansi vertikal yang
“dibantu” pada umumnya adalah yang punya kekuasaan, seperti Kepolisian, Kejaksaan,
Kehakiman dan TNI dan bukan guru-guru agama. Bentuk bantuan Pemda itu juga bukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya, membangun pos polisi
dipersimpangan jalan untuk mengatur lalu lintas. ‘Bantuan’ itu biasanya diberikan
sebagai “uang lelah” pada saat pejabat pindah.
Selain dari penggunaan anggaran yang tidak tepat, sebagaimana disebut di atas,
ketidak tertiban pengelolaan keuangan di berbagai daerah juga tercermin pada berbagai
faktor lainnya. Pertama, pertanggungjawaban keuangan tidak disertai dengan bukti-bukti
pengeluaran yang lengkap, benar dan sah. Kedua, penggunaan anggaran yang tidak
hemat. Ketiga, penyelesaian uang muka/UUDP yang berlarut-larut. Keempat, adanya
pembebanan kegiatan di luar mekanisme APBD.
Kelemahan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan semakin terasa
pada provinsi dan kabupaten/kota yang baru dimekarkan. Berbagai daerah itu dimekarkan
bukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan kelayakan ekonomi yang rasional, tapi
karena ambisi elit politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan. Pemekaran
di berbagai daerah justru dipicu oleh konflik horisontal berdasarkan suku dan agama yang
justru menimbulkan kesengsaraan rakyat. Sejak reformasi, jumlah provinsi telah
bertambah sebanyak tujuh dan kabupaten/kota sebanyak 141. Dengan demikian jumlah
provinsi telah bertambah dari 27 pada tahun 1988 menjadi 33 pada tahun 2007. Dalam
periode yang sama, jumlah kabupaten/kota telah meningkat dari 292 menjadi 483.
Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari RI pada tahun 2000 untuk menjadi negara
sendiri.
Ada dua faktor penyebab ketidak siapan Pemda untuk untuk melaksanakan
otonomi daerah. Penyebab pertama adalah karena, berbeda dengan di negara-negara lain,

8
otonomi daerah di Indonesia diberikan langsung kepada kabupaten/kota. Di lain pihak,
kabupaten/kota belum memiliki lembaga atau personil yang mampu menjalankan tugas
otonomi itu. Ini berbeda dengan di berbagai negara lain yang memberikan otonomi
kepada provinsi yang sudah memiliki perangkat kelembagaan dan personil. Penyebab
kedua adalah karena Pemda sendiri yang menciptakan kebijakan yang distortif sehingga
memperburuk iklim usaha dan menimbulkan high cost di daerahnya sendiri yang
menyebabkan perekonomian daerah tidak mampu bersaing di pasar dunia. Ini berbeda
dengan Pemda di RRC yang justru berlomba menarik sebanyak mungkin investor asing
untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan merangsang alih teknologi.
Lemahnya institusi Pemda tercermin dalam berbagai hal. Pertama, lemahnya
kemampuan aparat daerah untuk merumuskan kebijakan untuk dapat memanfaatkan
potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat di
daerahnya. Kedua, lemahnya kemampuan aparat daerah untuk mengimplementasikan
kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan
rakyat tersebut. Ketiga, kurang tersedianya sumber daya manusia untuk melaksanakan
tugas otonomi. Diperlukan ahli teknik untuk dapat memelihara dan membangun
prasartana ekonomi. Diperlukan perawat dan dokter untuk dapat mengelola Puskesmas
dan Rumah Sakit dan guru yang bermutu untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Berbagai Pemda memboroskan APBD untuk mendapatkan gelar akademis, termasuk
doktor dan professor, bagi pejabat daerah tanpa adanya tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pembangunan ekonomi daerahnya.
Dalam kesempatan ini, saya beritahukan bahwa untuk pertama sekali dalam
sejarah Republik Indonesia, dewasa ini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas dana-
dana yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat kepada setiap Pemda. Hasil pemeriksaan itu
akan dapat menjawab kesuaian jumlah yang ditransfer dari pusat dengan yang diterima
oleh daerah, penempatan serta penggunaan dana-dana tersebut.
5. Peranan DPR dan DPRD untuk menindaklajuti temuan BPK
Peranan DPR dan DPRD masih perlu ditingkatkan untuk dapat mewujudkan

9
transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Peranan DPR itu, disatu pihak, dapat
dilakukan dengan melakukan sinkronisasi undang-undang agar jangan bertentangan
antara satu dengan lainnya. Contoh pertentangan antara undang-undang itu adalah UU
Perpajakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Paket tiga UU Keuangan Negara
Tahun 2003-2004. Di lain pihak, peranan DPR dan DPRD untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas fiskal juga dapat diwujudkan melalui tindak lanjut temuan
BPK untuk menyempurnakan sistem pengendalian internal keuangan negara,
Untuk dapat menindak lanjuti perbaikan kelemahan mendasar administrasi
keuangan negara tersebut, BPK telah menyarakan kepada DPR untuk dapat membentuk
suatu Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Di Parlemen negara asing PAP itu disebut
sebagai PAC-Public Account Committee. Dinegara lain itu, PAP diketuai oleh anggota
DPR dari partai oposisi untuk menjaga check and balance. PAP merupakan perwujudan
dari kekuasaan DPR dan DPRD sebagai pemegang hak bujet. DPR dan DPRD di
Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran untuk membahas rencana anggaran negara
tingkat Pusat dan Daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisi-komisi yang
mengawasi penggunaan anggaran dan kinerja sektoral Departemen teknis. Namun, DPR
dan DPRD kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan RAPBN dan RAPBD
secara keseluruhan. Misalnya, tidak pernah dilakukan pengecekan oleh DPR dan DPRD
bagaimana suatu instansi negara membelanjai dirinya, berapa dari sumber APBN/APBD
dan berapa dari sumber lainnya.
Contoh dari anggaran nonbujeter yang tidak masuk dalam APBN adalah dana
nonbujeter yang tidak dilaporkan DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). Contoh
lainnya adalah pungutan Mahkamah Agung atas biaya perkara yang dipungutnya dari
pihak yang berperkara atas dasar aturan yang dibuat oleh MA sendiri. Aturan internal
MA itu tidak mengacu kepada UU PNBP dan penerbitannya tidak memperoleh ijin dari
Depkeu sebagai bendaharawan negara. Otonomi daerah yang menyerahkan pengurusan
sekolah dasar dan menengah, rumah sakit dan sebagian dari infrastruktur kepada daerah
menuntut cara pengorganisasian dan pembelanjaan yang berbeda daripada pada masa
pemerintahan yang sentralistis di masa lalu.

1
Peran Auditor dalam Perwujudan Good Governance
Governance is the exercise of political, economic, and administratif authority to manage a nation’s affair at all levels”.
UNDP
ABSTRACT
he role of audit is vital in ensuring the proper financial and performance accountability report. Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertations about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence between these
assertations and established criteria and communicating the results to interested users. Audit is an examination that provides an objective and constructive assessment of the extent to which financial, human and physical resources are managed with due regard to economy, efficiency and effectiveness; and accountability relationships are reasonable served. Audit contributes in implementing good governance through government financial audit, performance audit, and special audit (Act # 15 year 2004). State losses could be found out by implementing an effective audit such as forensic audit, investigative audit, or other types of auditing. Audit opinion for government financial report will trigger government to work in better manner, more transparent, participative, and accountable. The misuse of public office for private gain, the improper and unlawful behavior of public-service officials, both politicians and civil servants, whose positions create opportunities for the diversion of money and assets from government to themselves and their accomplices can be detected and found by audit. .
This paper analyzes the auditor role in implementing good governance concerning financial accountability, transparency, and participation in order to achieve better public services. Discussion will be derived to find out the understanding of auditor role and good governance terminology fits for Indonesia environment. The purpose of this paper is to achieve common knowledge about government auditing implemented in Indonesia. Besides, reader will find out explanation from both theoretical approach and pragmatical approach as well.
TT

2
Pendahuluan
Globalisasi ekonomi telah menghasilkan praktik-praktik bisnis transnasional, di
mana aktor utamanya terkonsentrasi di berbagai organisasi transnasional. Hal ini tentunya
menuntut kewaspadaan dari anggota masyarakat internasional terhadap potensi
munculnya konsentrasi kekuasaan ekonomi, etatisme ekonomi, dan pasar bebas tanpa
regulasi. Salah satu wujud kepedulian masyarakat internasional terhadap hal tersebut,
maka dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO)
sebagai produk Putaran Uruguay dan persetujuan umum tentang Bea Masuk dan
Perdagangan (GATT), yang memberlakukan aturan-aturan perdagangan internasional
yang lebih bersifat liberal, dengan aturan-aturan yang merupakan rambu-rambu yang
disepakati bersama untuk menghindarkan kerugian yang tidak perlu terjadi akibat
perbedaan kemampuan ekonomi antar negara. Kesemuanya itu mendorong seluruh
negara-negara di berbagai belahan dunia untuk mempersiapkan diri menyongsong era
perdagangan bebas dalam rangka menurunkan hambatan perdagangan dan investasi yang
konsisten dengan keputusan GATT/WTO.
Berbagai forum kerjasama ekonomi juga dibentuk seperti Tata Ekonomi Dunia
Baru (TEDB), kerjasama antar negara Gerakan NonBlok (GNB), Kelompok 15 (G-15),
kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang
dibentuk oleh Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang diharapkan
menjadi sarana kerjasama ekonomi yang berkualitas dan berorientasi pada pasar bebas; di
samping kerjasama perdagangan lainnya seperti Konferensi Perdagangan dan
Pembangunan PBB (UNCTAD), Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC),
dan lain-lain.
Serbuan globalisasi yang semakin ganas dari segala penjuru disertai liberalisasi
perdagangan dan investasi menjadikan perekonomian Indonesia semakin terbuka yang
perlu disikapi dengan seksama. Perkembangan dan perubahan yang mendasar sudah
mulai nampak jelas bagi kita semua. Terjadinya pergeseran dari ekonomi industri
menjadi knowledge-based economy, dari input-driven growth ke innovation-driven
growth, dari scarcity of resources ke abundance of knowledge (Thurow:1999), dari

3
diminishing returns ke increasing returns, dari stability ke discontinous change, dan dari
perfecting the known ke imperfectly seizing the unknown (Prahalad: 1999).
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang
berpusat di Paris menyiratkan bahwa pemikiran liberal harus didukung dengan perlunya
mengajukan gagasan dan implementasi mengenai prinsip hak azasi manusia dan rule of
law, good governance, representative government, demokrasi parlementer, competitive
market economy, dan concern for the environment dalam kehidupan masyarakat dan
pemerintahan.
Sementara itu, kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter masih sangat
memprihatinkan. Krisis perekonomian di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari lingkup
global, yakni krisis perekonomian di Asia. Berdasarkan kajian world bank (Saefuddin
Hasan, 2000), perusahaan di Asia termasuk kategori perusahaan bubble, yakni
perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban jangka
pendek dan bermasalah dalam pencapaian kinerja kompetitifnya.
Menurut Asian Development Bank (ADB), ada beberapa penyebab krisis moneter
di Asia, yakni (a) Dewan komisaris dan dewan direktur yang tidak efektif; (b) adanya
kebocoran dalam pengendalian internal perusahaan; (c) tidak menyajikan pengungkapan
memadai dalam laporan keuangan perusahaan; (d) laporan keuangan perusahaan
disajikan secara tidak wajar (creative accounting); dan (e) kurang patuh terhadap
kebijakan organisasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kondisi yang dialami oleh perekonomian Indonesia lebih kompleks lagi, yakni di
samping lima hal yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan munculnya
dualisme dalam praktik usaha. Dualisme tersebut mencakup adanya kebijakan pemerintah
yang positif, antara lain semangat deregulasi dalam arus pasar bebas, disisi lainnya adalah
orientasi yang negatif berupa indikasi tingkat korupsi yang tinggi. Orientasi positif dan
negatif ini mencerminkan kondisi pengelolaan perusahaan yang tidak baik. Secara
agregat hal ini akan mengakibatkan “pembusukan” perekonomian nasional dan
merugikan pihak-pihak lain (stakeholders) yang tidak berperan secara langsung dalam
operasional organisasi, termasuk masyarakat luas.
Dalam menghadapi lingkungan (turbulence environment) seperti sekarang ini,
berkerja dengan baik saja tidak akan banyak bermanfaat. Tuntutan yang terus mengalir,

4
baik dari masyarakat dalam negeri maupun dunia internasional adalah perlunya reformasi
manajemen dalam rangka perwujudan good governance dengan ketiga pilarnya yaitu:
(1) Transparency, yakni keterbukaan dalam pengelolaan pemerintahan dan
pengelolaan lingkungan ekonomi;
(2) Accountability, yakni suasana pemerintahan yang bertanggung jawab mulai dari
individu (intern/spiritual accountability) dan unit kerja yang paling kecil sampai
dengan instansi/lembaga puncak (kepresidenan dan yang sederajat) atas
pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi, sosial, politik keuangan, dan praktik-praktik
penyelenggaraan/pelayanan pemerintah pada masyarakat;
(3) Partisipatif, yang bermakna penerapan pengambilan keputusan yang demokratis
dan pengakuan atas hak kebebasan manusia/hak azasi manusia (HAM), kebebasan
pers, dan kebebasan ekspresi aspirasi masyarakat.
Kondisi dan tuntutan good governance
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
ditampilkan dalam pencapaian kinerja sebagaimana komitmen yang telah ditetapkan.
Melalui perbaikan kinerja, pemerintah dapat melakukan komunikasi dua arah dengan
rakyatnya dalam rangka mencari titik temu pemecahan masalah-masalah yang terjadi..
Dalam melaksanakan pembangunan nasional, pemerintah memiliki tiga peran penting
yaitu pelaksanaan fungsi alokasi (berkaitan dengan alokasi faktor-faktor produksi),
fungsi distribusi (berkaitan dengan masalah seperti pemerataan pendapatan), dan fungsi
stabilitasi (berkaitan dengan stabilitas bidang ekonomi, moneter, politik, sosial, budaya,
hankamnas, dan sebagainya), yang perlu didukung dengan mekanisme pengukuran
kinerja yang baik.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menguraikan mengenai azas akuntabilitas dalam
penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk
mewujudkan suatu pemerintahan yang responsif, bebas KKN serta berkinerja, kondisi
akuntabilitas merupakan sufficient condition (kondisi yang harus ada) untuk dipenuhi.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah berupaya mewujudkan good
governance di Indonesia. Upaya yang sedang sangat gencar dilakukan oleh pemerintah

5
saat ini adalah untuk menciptakan pemerintah yang bersih (clean government) dan bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penciptaan pemerintah yang bebas dari KKN merupakan
hal yang niscaya mengingat korupsi menekan pertumbuhan iklim investasi di Indonesia
selama ini.
Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk
mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara.
Dalam rangka itu, perlu dipadukan pengembangan dan penerapan sistem
pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan-nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih,
bertanggung jawab, dan bebas dari KKN.
Good governance adalah penataan hubungan antara lembaga-lembaga tinggi
negara, antar lembaga pemerintah, termasuk juga hubungannya dengan masyarakat
sebagai pihak yang memiliki kedaulatan dalam suatu negara demokrasi. Hubungan di
antara ketiga komponen negara yakni pemerintah (state), kelompok bisnis (commercial),
dan masyarakat madani (society) harus berjalan secara paralel, dalam level yang sama,
tidak ada yang superior dan inferior. Terjadinya ketimpangan-ketimpangan
mengindikasikan bahwa negara berada dalam kondisi berbahaya sebagai akibat
munculnya ketidakpuasan di antara para komponen negara tersebut.
Salah satu tonggak penting reformasi manajemen pemerintahan adalah dengan
diberlakukannya Undang Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Semangat reformasi terlihat dari ketentuan-ketentuan yang terkait dengan asas-asas
umum pengelolaan keuangan negara yang mengakomodasikan praktik-praktik terbaik
dalam kaitan dengan penyelenggaraan good governance. Diperkenalkannya asas
akuntabilitas berorientasi hasil (Result Oriented Accountability) atau yang umumnya
dikenal dengan istilah akuntabilitas kinerja (Performance Accountability) dan
transparansi (Tranparency) dalam pengelolaan keuangan negara merupakan perubahan
paradigma yang signifikan.
Selanjutnya, diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa anggaran
merupakan pernyataan kebijakan publik. Artinya, anggaran yang disusun oleh pemerintah
dan kemudian akan disyahkan oleh DPR haruslah mendapatkan persetujuan dari publik.

6
Untuk itu, pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan policy outcome yang
menunjukkan kondisi perbaikan yang akan dicapai pemerintah sebagai wujud
pelayanannya kepada masyarakat.
Pesan dari PP tersebut jelas bahwa pengaturan bidang akuntansi dan pelaporan
dilakukan dalam rangka untuk menguatkan pilar akuntabilitas dan transparansi. Dalam
rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan, pemerintah daerah
wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa (1) Laporan Realisasi Anggaran, (2)
Neraca, (3) Laporan Arus Kas, dan (4) Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang dapat
dipergunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau kegiatan suatu
entitas dengan pihak-pihak yang berkaitan (stakeholders) dengan data atau aktivitas dari
entitas tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan antara lain
adalah pihak manajemen, investor, pemegang saham, kreditor, pemerintah, karyawan dan
serikat buruh, pemasok, konsumen, dan masyarakat umum lainnya yang pada dasarnya
dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni pihak internal dan pihak eksternal.
Dari pihak-pihak tersebut manajemen merupakan pihak yang berkewajiban menyusun
laporan keuangan entitas karena merekalah yang berada di dalam entitas dan merupakan
pengelola aset entitas secara langsung. Di lain pihak, investor, pemegang saham, kreditor,
dan pemerintah sebagai pihak yang menanamkan modalnya pada entitas tertentu,
memberikan pinjaman pada entitas serta memiliki kepentingan dalam kaitannya untuk
memperoleh dana pembangunan dalam bentuk pajak, merupakan pihak-pihak yang
sangat berkepentingan dengan informasi laporan keuangan yang disajikan oleh pihak
manajemen.
Akuntansi berkembang dengan adanya kompleksitas transaksi dan tumbuhnya
spesialisasi dalam ekonomi dan perkembangan organisasi. Dengan semakin modern
organisasi, maka pemisahan antara fungsi kepemilikan dengan fungsi pengelolaan
menjadi semakin-nyata. Dalam hubungan di antara keduanya pemilik berlaku sebagai
principal dan manajemen bertindak sebagai steward. Ijiri (1975) dalam Dickhaul dan
McCabe (1997) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan akuntabilitas, terdapat tiga
pihak yang saling terkait. Ketiga pihak tersebut adalah pihak accountee (steward) yang
berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan implementasi amanah yang diterima

7
kepada pihak accountor (prinsipal). Agar informasi dalam pertanggungjawaban tersebut
dapat mencapai tingkat kredibilitas yang diinginkan, keberadaan pihak ketiga yang
independen menjadi penting. Pihak ketiga tersebut adalah accountant (auditor) yang
berperan untuk meningkatkan kredibilitas informasi pertanggungjawaban dari accountee
kepada accountor dan stakeholders lainnya.
Masalahnya kemudian, bahwa perkembangan akuntansi sektor publik belum
diikuti dengan tersedianya sumberdaya manusia yang memadai dalam disiplin ilmu
akuntansi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa konsentrasi akuntan yang bekerja
pada sektor publik berada pada lembaga pemeriksa (dan juga pengawas) seperti BPK,
BPKP, Inspektorat Jenderal, dan bawasda. Sementara kuantitas maupun kualitas akuntan
yang bekerja pada unit-unit pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah masih
memprihatinkan. Manajemen keuangan pemerintah masih jauh dari yang diharapkan.
Peran auditor yang diharapkan
Sejak awal perkembangannya, akuntansi telah dipersiapkan untuk memenuhi
kebutuhan informasi bagi hubungan antara trustor dengan trustee. Sebagai driver bagi
berjalannya akuntansi, transaksi bergerak kearah yang semakin kompleks dan diikuti
dengan tumbuhnya spesialisasi dalam ekonomi dan perkembangan organisasi. Dalam
kondisi semakin modernnya organisasi, pemilik semakin sulit untuk melaksanakan
sendiri fungsi-fungsi pengelolaan. Oleh karena itu, pemisahan antara fungsi kepemilikan
dengan fungsi pengelolaan menjadi semakin-nyata. Dengan berbagai keterbatasan,
pemilik sumber daya (capital suppliers) mempercayakan (trust = amanah) pengelolaan
sumber daya tersebut kepada pihak lain (steward = manajemen) yang lebih capable dan
siap. Mereka saling percaya bahwa pihak pengelola akan bertindak sesuai dengan
keinginan (interest) pemilik. Stewardship theory mendasarkan pada adanya kepercayaan
dari pihak pemilik kepada pihak lain untuk mengelola sumber dayanya.
Kebijakan akuntansi merupakan suatu proses pemilihan metode pelaporan
alternatif, sistem pengukuran, dan teknik pengungkapan tertentu dari semua yang
mungkin tersedia dan dapat membantu bagi pelaporan keuangan organisasi
(Hendrickson, 1982). Sebagai pihak yang mempunyai kebebasan dan kreativitas,
manajemen dapat melakukan pilihan-pilihan tertentu terhadap berbagai alternatif

8
prosedur yang tersedia.
Dalam perkembangannya, accounting choice merupakan salah satu cara dalam
creative accounting practices (Mulford dan Comiskey, 2002). Praktik-praktik ini
memberikan peluang bagi organisasi untuk melakukan berbagai penyelewengan dan
korupsi. Dalam kasus Enron, perusahaan menerapkan creative accounting untuk hal-hal
seperti off balance sheet SPEs, timing of revenue recognition and estimation of value of
merchant investment. Dengan pemilihan metode akuntansi, perusahaan secara kreatif
dapat merancang tampilan kinerja yang diinginkan manajemen sebagaimana yang terjadi
dalam income smoothing (Moses, 1997).
Realita menunjukkan ketidakberdayaan profesi akuntan dalam mewujudkan good
governance, yang dipicu dengan terjadinya korupsi dalam permintaan dan penawaran.
(Tanzi, 1998). Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) Regulasi dan
Otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) Karakteristik tertentu dari sistem
perpajakan dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan
dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung
korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) konrol atas institusi yang tidak
memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, pengawasan memainkan peranan yang
penting dalam monitoring implementasi pelaksanaan tugas dan pencapaian tujuan yang
tercantum dalam anggaran entitas. Berbagai penelitian dalam pengawasan menyimpulkan
bahwa prinsipal (pemberi amanah) menginginkan jasa pengawasan dalam rangka
mengurangi permasalahan tersebut yang juga disebut sebagai konflik keagenan (Chow,
1981; Simunic, 1980; DeAngelo, 1981 dan Watts & Zimmerman, 1983). Pengawasan
merupakan fungsi yang tidak terpisah dari pengelolaan organisasi modern. Fungsi
pengawasan diperlukan untuk membantu setiap manajemen yang bertanggung jawab
pada suatu aktivitas atau kegiatan, untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara yang
paling sejalan dengan kepentingan organisasi. Dengan kondisi yang semakin turbulence
yang mendorong complexity dan chaos (Sanders, 1998) dan tuntutan akan social
acceptance yang semakin besar, kualitas jasa dan produk menjadi indikator kinerja yang
harus dicapai organisasi. Pengawasan dituntut untuk memberi added value dalam proses
pembentukan dan pencapaian nilai organisasi. Fungsi pengawasan terdiri dari beberapa

9
kegiatan, di antaranya adalah kegiatan pemeriksaan (audit).
Pemeriksaan (audit), sebagai salah satu kegiatan dalam fungsi pengawasan,
menurut the American Accounting Association adalah suatu proses sistematik untuk
memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan
kegiatan dan kejadian ekonomi. Hal ini diperlukan untuk menentukan tingkat kesesuaian
antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta
mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi, kegiatan audit sangat
esensial. Hasil audit akan memberikan umpan balik bagi semua pihak yang terkait
dengan organisasi. Untuk itulah keseluruhan proses audit harus dilakukan secara berhati-
hati dan konsisten dengan kaidah-kaidah profesi. Proses audit melalui prosedur yang
berjenjang, dan setiap tahapan akan melibatkan judgmen auditor atas suatu kejadian atau
fakta.
Dalam menjalankan tugas-tugas auditnya auditor menggunakan keahliannya
dalam pengumpulan bukti-bukti termasuk dengan judgmen. Menurut Kida (1984) auditor
membuat judgment dalam mengevaluasi pengendalian intern, menilai risiko audit,
merancang dan mengimplementasikan pemilihan sampel dan menilai serta melaporkan
aspek-aspek ketidakpastian. Auditor secara eksplisit maupun implisit memformulasikan
suatu hipotesis terkait dengan tugas-tugas judgemen mereka. Setelah hipotesis itu
dibingkai, kemudian mereka mencari data untuk menguji hipotesis-hipotesis (dugaan-
dugaan) yang diformulasikan.
Sebelum tahun 1900, audit difokuskan untuk memenuhi kebutuhan akan
independent check pada balance sheet audit. Auditor melaksanakan berbagai tugas audit,
termasuk di dalamnya pengamatan pada pemeriksaan fisik barang, verifikasi dan inspeksi
dokumentasi yang mendukung angka – angka dalam neraca, konfirmasi pada pihak
ketiga, dan lainnya. Untuk memenuhi audit ini, auditor harus memahami metode
pembukuan (bookkeeping) dan prosedur pencatatannya. Pada akhir abad ke-19, akuntansi
dan auditing mengalami perubahan yang cukup radikal, dikarenakan masyarakat barat
berpindah dari sistem pertanian ke sistem industri. Perubahan ini berpengaruh pula pada
akuntansi dan auditing pada saat sekarang ini, terutama dalam hal pengambilan keputusan
oleh manajemen berdasarkan informasi laporan keuangan.

10
Lebih jauh, guna memelihara hubungan antara masyarakat anggota organisasi
dengan manajemen, pelaksanaan kegiatan audit dipandang sebagai pendekatan atau solusi
yang paling ekonomis dan praktis (Wallace, 1987). Fungsi yang dimaksudkan disini
diharapkan dapat menjadi kepanjangan tangan dan mata masyarakat untuk menilai
dengan kompetensi khusus tindakan dan laporan yang disampaikan oleh manajemen.
Karena itu, dewasa ini sukar ditemukan organisasi sosial dan ekonomi yang berorientasi
pada hak-hak demokrasi anggotanya yang eksis tanpa lembaga audit. Dengan demikian,
audit merupakan fungsi yang sangat instrumental dalam perwujudan manajemen yang
dapat beroperasi dengan good corporate governance.
The Economic Development Institute (EDI) of the World Bank dengan berbagai
pihak dalam rangka upaya memberantas KKN, telah memperkenalkan konsep yang
disebut Pillars of integrity. (Langseth, Stapenhurst, and Pope, 1997; Dye and
Stapenhurst, 1998). Konsep mengenai sistem integritas nasional tersebut setidaknya
melibatkan 8 (delapan) lembaga yang disebut Pillars of integrity, yaitu (1) lembaga
eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga
pengawas ("watchdog" agencies), (5) media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan
(8) lembaga-lembaga penegakkan hukum. Termasuk ke dalam pilar lembaga-lembaga
pengawas antara lain badan-badan pemeriksa/pengawas, kantor-kantor akuntan publik,
lembaga anti korupsi dan ombudsman. Sedangkan yang termasuk pilar sektor swasta
antara lain kamar dagang, asosiasi industri, dan asosiasi profesional. Organisasi sosial
kemasyarakatan, lembaga keagamaan, dan LSM termasuk ke dalam pilar masyarakat
sipil.
Akuntan adalah bagian dari lembaga pengawas karena pada umumnya berprofesi
sebagai auditor adalah akuntan. Akuntan adalah lembaga profesional oleh karena itu juga
dapat masuk ke dalam pilar sektor swasta atau lembaga eksekutif. Kondisi tersebut di atas
menjadikan lembaga profesi akuntan mempunyai tugas dan kewajiban terhadap
auditornya yang terlibat dalam proses pemeriksaan akuntan (auditing) agar tetap
menjunjung tinggi profesionalisme mereka. Tuntutan profesionalisme bagi auditor antara
lain: (1) meningkatkan dan mengembangkan ilmu dan seni akuntansi, (2) menjaga
kepercayaan publik kepada profesi, (3) mengadakan dan menjalankan setiap program dan
kegiatan profesi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas jasa yang diberikan profesi.

11
Sebagai lembaga profesional di samping harus mampu membina auditornya, juga harus
mampu mengawasi dan menindak anggotanya yang melanggar kode etik profesi. tugas
dan kewajiban akuntan publik dalam hal ini memang tidak mudah tetapi bukan hal yang
tidak mungkin.
Dengan demikian lingkup aktivitas profesi akuntan yang semakin luas, tentunya
memilki implikasi yang luas pula salah satunya adalah tantangan bagaimana akuntan
mampu mengembangkan kualitas profesinya. Sebab untuk dapat melaksanakan aktivitas-
aktivitas di atas, maka keahlian yang perlu disiapkan oleh para akuntan juga menjadi
semakin kompleks. Disisi lain, peningkatan lingkup aktivitas tersebut, juga merupakan
peluang bagi profesi akuntan untuk memperluas jasa-jasa yang ditawarkan.
Dalam konteks ini, untuk mengimbangi luasnya lingkup aktivitas profesi akuntan,
maka keahlian-keahlian atau pengetahuan berikut perlu dimiliki para akuntan. Pertama
pengetahuan tentang hukum bisnis. Tujuannya adalah, agar para akuntan mampu
mengidentifikasi perilaku-perilaku bisnis (seperti monopoli, kartel, oligopoli, dan
sebagainya). Kedua, pemahaman tentang ekonomi industri. Pemahaman ini diperlukan
agar para akuntan mampu mengidentifikasi struktur industri serta posisi entitas dalam
industri.
Ketiga, keahlian sebagai analis. Kenyataan di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa peran analis future ternyata jauh di atas dibandingkan peran laporan auditing
(yaitu 70%, sedangkan laporan auditing 30%). Mengapa demikian?
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut: (1) para analis
mampu membuat laporan keuangan menjadi lebih hidup melalui analisa-analisa
kuantitatif (seperti analisis rasio, prediksi kebangkrutan melalui data-data keuangan, dan
sebagainya), (2) selain analisis kuantitatif para analis juga memberikan analisis kualitatif,
seperti budaya perusahaan, keunggulan manajemen, prospek pertumbuhan, dan strategi
pencapaiannya yang kesemuanya tidak terekam dalam laporan keuangan.
Secara institusi, dengan adanya tuntutan yang begitu besar terhadap peran akuntan
dalam mewujudkan good governance, IAI perlu menata kembali aktivitas yang dilakukan
para anggotanya. Selain membekali berbagai keahlian seperti tersebut di atas, melalui
berbagai program Pendidikan Profesi Berkelanjutan, secara legalitas IAI juga perlu
memperkuat landasan bagi profesi akuntan. Dalam konteks ini, jika selama ini standar

12
akuntansi dan auditing yang telah ditetapkan IAI masih mengacu pada catatan keuangan
(kuantitatif) semata, maka kini saatnya klausul-klausul kualitatif, ikut tercakup dalam
standar.
Dengan demikian, bagi IAI kini sudah saatnya untuk mempertimbangkan
membuat suatu standar agar klausul-klausul kualitatif menjadi bagian dalam pelaporan
keuangan yang terpublikasi. Sementara itu, pertimbangan penentuan opini terhadap
sebuah laporan keuangan, juga sudah tidak relevan lagi jika hanya didasarkan pada
kewajaran laporan keuangan, tetapi juga termasuk di dalamnya perlu dipertimbangkan
klausul-klausul kualitatif yang terjadi pada perusahaan, seperti kewajaran transaksi.
Zeune (1994:150) menyatakan bahwa salah satu peran penting akuntansi dalam
upaya preventif terhadap korupsi adalah melalui kredibilitas pengungkapan informasi
akuntansi. Permasalahan dalam pelaporan akan mengurangi upaya preventif dalam
mencegah berlangsungnya praktik korupsi. Hal ini sesuai dengan pengungkapan dari
global corruption report 2001 yang menyatakan bahwa organisasi yang korup akan
berupaya untuk tidak transparansi kepada publik. Klitgard (1988), menyatakan bahwa
salah satu komponen dalam strategi pembersihan korupsi adalah dengan menciptakan
sistem evaluasi kinerja yang dilakukan oleh kegiatan audit.
Dengan tuntutan yang sedemikian besarnya terhadap auditor, maka perlu
dipersiapkan auditor yang mampu memenuhi harapan semua pihak tersebut. Kemampuan
yang harus dimiliki oleh auditor mencakup kemampuan untuk menggambarkan posisi
keuangan dan kinerja keuangan pemerintah, apakah telah disajikan secara wajar serta
didukung dengan bukti-bukti yang handal. Messier Jr (2003) menyebutkan bahwa
terdapat dua jenis audit yaitu financial audit dan compliance audit.
Dalam banyak praktik untuk aktivitas entitas komersial dan nirlaba, hanya mereka
yang memikiki sertifikat akuntan publik saja yang kapabel dan kompeten untuk
melakukan financial audit. Kantor akuntan publik biasanya akan ditunjuk oleh entitas
komersial untuk melakukan audit terhadap laporan keuangannya. Dengan opini yang
diberikan oleh akuntan publik terhadap laporan keuangan tersebut, pengguna laporan
keuangan meliputi pemegang saham, kreditur, dan pemerintah akan mendapatkan
keyakinan mengenai kredibilitas laporan keuangan entitas tersebut.

13
Dalam sektor publik (baca pemerintahan), UU nomor 15 tahun 2004 telah secara
jelas mengatur mengenai masalah pemeriksaan (audit). BPK adalah Badan Pemeriksa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UUD tahun 1945. BPK melaksanakan
pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan
tersebut meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU
nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan
oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan
tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.
Dalam menjalankan tugasnya, auditor harus memiliki kemampuan hal-hal berikut
ini:
(a) menilai aktivitas atau informasi yang disajikan dengan membandingkannya
terhadap recognized framework atau pre-determined-criteria.
(b) Mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung penilaian tersebut.
(c) Berdasarkan bukti-bukti yang telah berhasil dikumpulkan, auditor kemudian
menyiapkan opini audit yang disajikan dalam laporan hasil audit.
Dengan demikian, dalam financial audit, auditor harus mampu memberi
keyakinan bahwa financial statement yang disajikan secara keseluruhan telah sesuai
dengan kriteria yakni standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. Untuk itulah, auditor
diharapkan mampu mengumpulkan bukti-bukti, menganalisis, dan menginterpretasikan
semua data yang dikumpulkan untuk memperoleh keyakinan mengenai laporan keuangan
entitas. Dengan kemampuan tersebut, auditor akan sampai kepada pemberian opini yang
sesuai terhadap laporan keuangan tersebut.
Kemampuan lainnnya yang dituntut bagi independent auditor adalah
melaksanakan audit ketaatan (compliance audit). Audit ini ditujukan untuk menguji
apakah auditan telah mematuhi prosedur, aturan, dan kebijakan tertentu yang telah
ditetapkan oleh organisasi di atasnya (Arens et al, 2005). Untuk itu, auditor dituntut untuk
memiliki kemampuan memahami berbagai peraturan baik pada Pemerintah Pusat maupun
pemerintah daerah. Auditor harus memiliki kemampuan untuk memahami manajemen
publik, manajemen keuangan, manajemen pelayanan publik, dan kebijakan publik.

14
Penutup
Agar Good Governance menjadi kenyataan dan sukses, dibutuhkan komitmen
dari semua pihak, pemerintah,sektor privat, dan masyarakat. Good governance yang
efektif menuntut adanya alignment (keselarasan, keserasian, dan keseimbangan) yang
baik dan interpretasi serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan
konsep Good Governance sebagai praktik yang baik dalam penyelenggaraan kekuasaan
pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri, akan tetapi masih bisa dilaksanakan.
PP nomor 24 tahun 2005 menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan
kebijakan publik. Artinya, anggaran yang disusun oleh pemerintah dan kemudian akan
disyahkan oleh DPR haruslah mendapatkan persetujuan dari publik. Untuk itu,
pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan policy outcome yang menunjukkan kondisi
perbaikan yang akan dicapai pemerintah sebagai wujud pelayanannya kepada
masyarakat. Standar Akuntansi Pemerintahan mensyaratkan adanya empat komponen
laporan keuangan. Keempat komponen tersebut yaitu (a) Neraca, (b) Laporan Realisasi
Anggaran,(c) Laporan Arus Kas, dan (d) Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan-
laporan tersebut merupakan satu kesatuan yang harus disajikan sebagai
pertanggungjawaban. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, keberadaan akuntan sektor
publik harus terus diupayakan untuk memenuhi perkembangan akuntansi sektor publik.
Pengguna utama laporan keuangan pemerintah adalah masyarakat, para wakil
rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, kreditor, investor, dan
pemerintah itu sendiri. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan informasi semua kelompok pengguna. Laporan keuangan
tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan informasi spesifik. Sebagai pengguna utama
laporan keuangan dan laporan kinerja pemerintah, DPR/DPRD perlu memahami serta
membaca mengenai content laporan tersebut. Tanpa memahami substansi laporan
tersebut, DPR/DPRD akan bias dalam melakukan pengambilan keputusan baik politis
maupun ekonomis.
Berkaitan dengan hal tersebut, auditor (akuntan) harus ikut memaksimalkan
kontribusinya dalam peningkatan profesionalisme melalui peningkatan kapabilitas dan
kompetensi. Oleh karena itulah, Ikatan Akuntansi Indonesia sebagai lembaga tempat
bernaungnya seluruh akuntan di Indonesia perlu mencanangkan visi yang kuat dalam

15
pembinaan kepada semua anggota. IAI harus berupaya keras agar kiprahnya dapat
dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah secara kongkrit melalui penciptaan informasi
akuntansi yang kredibel. Harus benar-benar dicanangkan bahwa IAI ada karena
masyarakat. Dengan demikian, peran dan fungsinya adalah untuk mencegah munculnya
malpraktik anggota yang sangat merugikan negara dan masyarakat.
BBAAHHAANN BBAACCAAAANN Alatas, Syed Hussein. 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES Arkin, Herbert. 1982. “Sampling Methods for Auditors: An Advanced
Treatment.”McGraw-Hill Book Company. New York Asian Development Bank, Juni 1998, Kebijakan Anti Korupsi, Jakarta Arens, Alvin A. Randal J. Elder, dan Mark S. Beasley , 2005. Auditing, Assurance
Services an Integrated approach, 9th ed. ,New Jersy\ey : Prentice Hall inc, hal 2 Auditor Geneneral Western Australia, 1997. Examining and Auditing Public Sector
Performance, Auditor General ,Western Australia Bologna G. Jack dan Robert J. Lindquist. 1995, Fraude Auditing and Forensic
Accounting, John Willey and Son, Inc Boynton, William C. Raymod N. Johnson and Walter G. Keil ,2001. Modern Auditing,
sixth and seventh edition, John Willey and Son, Inc. Carmichael and John J. Willingham, 1990. Auditing Concepts and Method, a guide to
current auditing theory and practice, international edition, McGraw Hill Center for The Study of Democracy, 1998. Accounting for Corruption: economic
structure, Democratic Norms, and Trade, University of California Irvine. Chan, Thomas, 1993. Planning in the Fight Against Corruption, Makalah ynag
disampaikan pada International Anti Corruption Conferrence, Cancun-Mexico. Chow, C.W. 1983, The Impact of Accounting Regulation on Bondholder and Shareholder
Wealth: The Case of the Securities Acts. The Accounting Review, 38 (3). Comptroller and Auditor-General of Bangladesh, 2000. Performance Audit Manual,
Comptroller and Auditor-General of Bangladesh, Dhaka Coram, Paul; Gurdarshan S. Gill 1994. Study Guide to a Company Modern Auditing,
Australia, John Willey & Sons Australia ltd. DeAngelo, L.E. 1981, Auditor Independence, “Low Bailing,” and Disclosure Regulation.
Journal of Accounting and Economics 3 (2):113-127. Donaldson, Lev and James H. Davis,, June 1991. Stewardship Theory or Agency Theory:
CEO Governance and Shareholder Returns, Australian Journal of Management, University of New South Wales.
Eliot, Kimberly Ann, 1997. Corruption and the Global Economy, Washington, DC, Institute for Internation Economics.

16
Hendrickson, Eldon (1982), Accounting Theory, Richard D Irwin, Inc, Homewood, Illinois,
Herbert, Leo, 1979. Auditing, The Performance of Management, Belmont, California: Wadsworth, Inc, Life Learning Publications.
Moeler, Robert and Herbert N. Witt, 1999. Internal Auditing, 5th ed. New York, John Willey & Son,
Moeler, Robert N. 2004. Sarbanes Oxley and the New Internal Auditing Rules, Canada, John Wiley and Son.
Moses G.D 1987, Income Smoothing and Incentives, Empirical Test Using Accounting Changes, Accounting Review, April:358-377.
Klitgaard, Robert, 1988. Controlling Corruption, Oxford, England, University of California Press.
Langseth, Petter, 1999. Prevention, An Effective Tool to Reduce Corruption, Vienna Lanham, D. Weinberg, M. Brown, K.E. & Ryan, G.W. 1987. Criminal Fraud, Law Book
Company, Sidney Messier Jr, William F. 2003. Auditing and Assurance Services, Third Edition, Irwin, New
York, McGraw Hill. Mulford, Charles W. dan Eugene E. Comiskey, 2002. The Financial Numbers
Game, New York, NY , John Willey and Son inc. OECD, 2004, “OECD Principles of Corporate Governance.” Pope, J. 2000. TI Source Book 2000, Confronting Corruption, The Elements of a
National Integrity System. Germany:Transparency International. Pavarala, Vinod, 1996, Interpreting Corruption Elite Perspectives in India, Sage
Publication, London. Prahalad, C K 1999, The End of Corporate Imperialism, Harvard Business Review. Sawyer, Lawrence B. et al, 2003. Sawyer’s Internal Auditing, The practice of Modern
Internal Auditing, 5th Edition, Florida, The Institute of Internal Auditors. Snyder. Gary, 1990, The Paradise of the Wild, San Francisco, North Point Press Thurow, Lester Carl, 1999, Head to Head. Watts, Ross L, and Jerold L. Zimmermann, 1986, “Positive Accounting Theory,” New
Jersey: Prentice Hall International Inc. Watts, Ross L, and Jerold Zimmermann, 1990, “Positive Accounting Theory, a Ten Year
Perspective” the Accounting Review, Vol 65, No 1, January, p 131-156. Zeune, Gary D, 1994, The CEO’s Complete Guide to Committing Fraude, Columbus,
Ohio, Lori Pingel and Association.

1
PUBLIC OPINION AND ETHICS:
A COMPLEX RELATIONSHIP
NATIONAL AUDIT CONVENTION
IN CONJUNCTION WITH 100th ANNIVERSARY OF THE AUDIT
INSTITUTION OF MALAYSIA
14 FEBRUARY 2006, MALAYSIA
Introduction Ladies and Gentlemen, Thank you for this opportunity to share with you my views and experiences on the relationship between ethical conduct and public opinion in the public sector audit environment from an Indonesian perspective. This morning Yang Berbahagia Datuk Dr. Sulaiman bin Mahbob made his excellent presentation about Accountability and Good Governance: Public Expectations and the Auditors’ Role. My presentation will expand on this theme by showing that tension arises because the public does not always fully understand many of the critical and complex constraints placed upon our public sector auditors. Recent events in Indonesian have highlighted the fact that public expectations are generally not in alignment with the legal and ethical environment in which our public sector auditors currently operate. The need for eradicating corruption is indeed undeniable. For example, as documented in a recent World Bank report titled “Indonesia: Beyond Macro-Economic Stability”, there is a clear correlation between national economic performance and corporate governance. Unfortunately, Indonesia ranks last among Southeast Asian markets when corporate governance is measured by a combination of factors. This clearly emphasizes the urgent need to delineate the roles and responsibilities of the various government agencies empowered to improve corporate governance. As we all know, the media plays a prominent role in shaping public opinion, and it is therefore imperative that the media be well informed and educated regarding the purpose, function, and limitations of a modern supreme audit institution.

2

3
Public Expectations and Ethical Issues: Key Questions for Public Auditors Early last year, during the course of an investigative audit, we uncovered corruption in a prominent government agency. This particular case highlighted gaps between public opinion and our governing rules and regulations, and further demonstrated that we need to do a better job of educating our professional staff in their statutory roles and responsibilities. Probably the highest priority question was how auditors should report suspicions of corruption that may arise during the course of their audit work. We all agree that corruption must ultimately be reported to the correct authorities; however, the procedures and sequencing of these reports is the question at hand. Related to this question is whether or not a public sector auditor should be involved in conducting investigative work directly with police agencies and, if so, what procedures should be followed under these circumstances. We must always keep in mind that everything we do, including joint operations with other agencies, must be in accordance with our constitutional mandates and legislative and regulatory environment. Does the end justify the means? Certainly not. As I will point out during this presentation, we are building a nation based on the rule of law in Indonesia, and there is never a justification for breaking laws to catch law breakers. May an auditor use his or her audit or investigation to “blow the whistle” to external parties? In keeping with the scenario that I have laid out, let us for a moment consider whether an auditor who uncovers corruption in the course of his or her routine audit duties should independently decide to report the matter to an external police agency. It is generally accepted that the audit process is not an investigation in the sense of a police inquiry, but rather a systematic process that leads to assertions made as to the veracity of financial statements and the effectiveness of government policies and programs. Clearly, the audit process is not designed for the primary purpose of identifying corrupt activity. Of course, it is logical to expect that compliance audits, by highlighting areas of noncompliance, could indicate areas of concern and it is incumbent upon the auditor to report these matters in the audit report. As a matter of public responsibility, suspicions of fraud or other corruption should be reported as they arise. I have instructed my staff to prepare procedures to deal this issue.

4
In particular, I want these procedures to clearly define content, timeframes, and channels of communication, both internally and externally. In addition, clear guidance should be provided in the procedures as to whether or not to continue with the standard audit process when potential corruption has been uncovered. There is a risk of contaminating evidence when an audit is continued when a suspicion of fraud or corruption remains unresolved. Is a “sting operation” an acceptable audit procedure? Clearly the answer to this question is “NO”. Auditors are not criminal investigators and as a rule are not trained in criminal investigation techniques. While “sting operations” may appeal to a public that is hungry for action in the fight against corruption, they are beyond the responsibility of an audit organization. This is a key example of the discrepancy between public opinion and the deliverable outputs of a supreme audit institution. The media fuels the public hunger, often at the expense of a greater public awareness of the true role of the public auditor. There are several clear problems with audit institutions conducting sting operations including a loss of objectivity and the creation of potential and actual conflicts of interest, which will inevitably result in a diminished capacity to produce fair and unbiased audit reports. Ultimately, these ethical dilemmas will damage the integrity that is at the heart of the audit function and must be avoided as a matter of course. As with “whistleblowing”, no other conclusion is possible except that procedures must be in place to provide clear direction to auditors faced with the ethical dilemmas arising from participation in “sting operations”. Must auditors always conform to constitutional restraints and mandates of the SAI? YES.. We are public servants who are legally bound to uphold the Constitution of our Republic. As professional auditors, we are not only bound by constitutional restraints and mandates, but also by codes of conduct, professional standards, and peer group scrutiny. Failure to adhere to these restraints and mandates may actually be criminal acts in some circumstances. We must make all efforts to ensure our staff are properly supported and

5
protected by the full force of our Constitutional Republic while still holding our organization accountable to the public at large. As with the other topics we have discussed, these issues must be clearly addressed in audit standards and procedures manuals, and we must ensure that our professional staff are adequately trained and proficient in their application. Does the end justify the means? NO.. This is more than a philosophical statement. If we do not follow lawful procedures at every step of the way, all of our conclusions, findings, and recommendations will be tainted. The proper end can only be reached in a meaningful way if lawful procedures are followed. All auditors must know the correct procedures for dealing with matters of ethical concern, and have the willingness and support to act accordingly. This requires an organizational commitment to doing audits the right way. It is not sufficient that the public and the media be the only mechanisms to hold us accountable on these issues. We ourselves must monitor our procedures and ensure that they align with the ethical expectations of the government and people of Indonesia. At all times compliance must be monitored and violations of ethical guidelines must be identified, assessed, and rectified. As Indonesia’s supreme audit institution, we must hold ourselves to a higher level of ethical standards than those we wish to enforce our standards upon. Failure to comply with these standards will result in very specific costs to our nation including, but not limited to, the loss of institutional integrity, loss of public trust, civil actions against government officials, and, ultimately, the evasion of law by criminal elements in our society. By way of conclusion, it is common knowledge that when Soeharto stepped down in May of 1998, he left behind a bureaucracy embedded with massive corruption. Understandably, but unreasonably, the Indonesian people expected a quick fix. Putting corruptors behind bar was the order of the day. Unfortunately, many ethical and other issues were conveniently ignored and the role of the supreme audit institution was jumbled at times in the rush to achieve good governance. I hope this discussion has helped us to continue to progress toward a more mature public understanding of the roles and responsibilities of a modern public sector audit organization.

1
Negara di Lingkungan TNI/Polri1
Sebagaimana diamanatkan dalam UU NO.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, salah satu tugas Polri adalah menciptakan keamanan dan
ketertiban masyarakat. Sebagai penegak Kamtibmas, Polri diharapkan dapat
menegakkan tertib hukum dengan menindaklanjuti penyidikan temuan BPK yang
berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi. Sebagai aparat penegak hokum, Polri
sekaligus dituntut untuk menjadi panutan dalam menaati segala peraturan
perundangan dan peraturan di bidang pengelolaan keuangan negara. Reformasi
manajemen keuangan negara telah dimulai dengan lahirnya Paket Tiga Undang-
Undang di bidang keuangan negara2. Ketiga undang-undang tersebut telah
memberikan dasar yang kuat untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi
pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini, Polri hendaknya menjadi pelopor dalam
mengimplementasikan Paket Tiga UU di bidang keuangan negara tersebut.
Sebagaimana diketahui, Paket UU Keuangan Negara itu harus sudah
dimplementasikan paling lambat akhir Desember 2006. Namun dalam kenyataan,
masa transisi dari sistem administrasi keuangan negara ke sistem keuangan yang lebih
tertib berdasarkan paket ketiga UU di atas masih memerlukan waktu. Ini terjadi di
seluruh instansi pemerintahan dan bukan saja merupakan ciri khas Polri. Masa transisi
yang lebih panjang itu terjadi karena tiga hal. Pertama, sistem akuntansi keuangan
negara yang baku belum tersedia untuk menerapkan ketiga UU keuangan negara
tahun 2003-2004 tersebut. Kedua, neraca awal negara tidak kita miliki, antara lain,
karena tidak adanya daftar stok kekayaan maupun hutang/piutang negara. Ketiga,
tenaga pelaksana yang menguasai dasar-dasar ilmu akuntansi masih sangat langka di
seluruh jajaran instansi pemerintahan kita, termasuk di Polri.
Karena ketiga alasan di atas, maka berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan di
untuk TA 2005 dan TA 2006, BPK masih menemukan enam jenis kelemahan
administrasi keuangan negara di lingkungan Polri sebagai berikut. Kelemahan
pertama adalah bahwa pertanggungjawaban keuangan yang ada hanya bersifat
formalitas dan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Kedua, penerimaan jasa 1 (Ceramah Ketua BPK RI pada Rakernis Itwasum Polri Jakarta 17 Januari 2007 2 Ketiga undang-undang mengenai Keuangan negara itu adalah (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

2
pelayanan Polri tidak atau terlambat disetorkan ke kas negara dan ada sebagian yang
dikelola di luar sistem APBN. Ketiga, adanya duplikasi sumber pembiayaan untuk
kegiatan operasi pengamanan pilkada dan kegiatan penerimaan anggota Polri baru.
Keempat, penjualan sebagian alokasi Bahan Bakar Minyak dan Pelumas (BMP) untuk
mendukung operasional. Praktik dalam butir kedua dan keempat merupakan
kebiasaan di masa lalu yang menambah anggaran formal dengan anggaran nonbujeter.
Kelima, denda keterlambatan pengadaan barang dan jasa tidak dikenakan. Kelemahan
yang keenam adalah kelebihan pembayaran kepada rekanan pengadaan barang dan
jasa.
Karena berbagai kelemahan dalam penatausahaan keuangan negara tersebut,
tindak lanjut rekomendasi pemeriksaan BPK atas keuangan negara di lingkungan
Polri masih juga belum seperti yang diharapkan. Dari sebanyak 212 temuan
pemeriksaan BPK sampai dengan Semester I TA 2006, dengan nilai sebesar Rp342,47
miliar, US$7.17 juta dan Euro 2.38 juta baru ditindaklanjuti sebanyak 120 temuan
pemeriksaan (56,60%) dengan nilai sebesar Rp86,29 miliar, US$ 1.13 juta dan Euro
1.45 juta. Sisa temuan sebanyak 92 temuan pemeriksaan dengan nilai sebesar
Rp256,17 milyar, US$ 6.03 juta dan Euro 0.92 juta sampai dengan akhir semester I
TA 2006 belum ditindaklanjuti oleh Polri. Prestasi Polri untuk menindaklanjuti
temuan BPK adalah berada di bawah rata-rata prestasi intansi pemerintahan lainnya.
Belum optimalnya tingkat tindak lanjut atas rekomendasi BPK dapat mengakibatkan
munculnya permasalahan berulang karena sumber penyebab yang menjadi perhatian
BPK tidak segera diselesaikan.
Dewasa ini pemeriksaan BPK bertujuan untuk memperbaiki tata kelola
keuangan negara agar lebih transparan dan akuntabel sehingga dapat mencapai empat
aspek sasaran reformasi sistem social Indonesia. Sasaran reformasi tersebut adalah (i)
menggantikan sistem politik yang otoriter dengan demokrasi, (ii) menggantikan
sistem pemerintahan yang sentralistis dengan memberikan otonomi luas kepada
daerah, yakni kabupaten/kota (iii) menggantikan sistem ekonomi terpusat dan
intervensi pemerintah dengan sistem mekanisme pasar dan persaingan global dan (iv)
meningkatkan governance dunia usaha nasional, utamanya BUMN/BUMD, agar
mampu bersaing di pasar global. Pemisahan Polri dari TNI dan pengakhiran TNI/Poiri
dari politik praktis atau, Dwifungsi yang excessive di masa lalu, merupakan bagian
dari transformasi sistem sosial ke arah yang demokratis, otonomi daerah, good
governance serta globalisasi itu.

3
Terbitnya UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK menggantikan UU No. 5 Tahun
1973 telah memulihkan kembali independensi dan kemandirian BPK. UU BPK yang
baru tersebut lebih menjamin independensi BPK dalam hal organisasi, personil,
keuangan dan operasional pemeriksaan. BPK yang independen berwenang melakukan
pemeriksaan pada semua sumber penerimaan negara termasuk penerimaan pajak
maupun bukan pajak. BPK yang independen juga memiliki kewenangan untuk
memeriksa penyimpanan maupun penggunaan setiap sen keuangan negara.
Independensi yang tidak kurang pentingnya adalah dalam hal kebebasan untuk
memilih metoda audit dan penyusanan laporan audit yang bebas dari intervensi
auditee dan stakeholder lainnya. Laporan pemeriksaan BPK disampaikan kepada
DPR/DPRD sebagai pemegang hak bujet maupun kepada masyarakat luas.
Masyakarakat akan enggan membayar pajak dan investor enggan membeli Surat
Utang Negara tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Peningkatan peran BPK di bidang pemeriksaan keuangan negara telah dilakukan
dua tahun sebelum terbitnya UU BPK yang baru tersebut. Peranan BPK yang
menonjol dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik tersebut antara lain
(i) meningkatkan kegiatan pemberantasan KKN dengan melaporkan temuan
berindikasai TPK kepada aparat penegak hukum, (ii) meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara dengan meningkatkan kualitas pemeriksaan dan
memperluas objek pemeriksaan, (iii) membantu pemerintah untuk
mengimplementasikan Paket tiga UU tentang Keuangan Negara dan (iv) membantu
pemerintah untuk melakukan reformasi institusional melalui pemberian opini,
kesimpulan dan rekomendasi hasil pemeriksaan.
Dalam dua tahun terakhir BPK RI telah mengambil berbagai inisiatif untuk
membantu pemerintah mengimplementasikan paket tiga UU Tentang Keuangan
Negara Tahun 2003-2004. Inisiatif pertama, membantu pemerintah untuk menyusun
standar akuntansi pemerintahan. Inisiatif kedua, menetapkan standar pemeriksaan
keuangan negara. Inisiatif ketiga, mendorong pemerintah agar menggunakan tenaga-
tenaga akuntansi dalam posisi struktural pengelola keuangan negara. Inisiatif
keempat, mendorong dan membantu pemerintah untuk menyatukan semua anggaran
nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN.
Inisiatif kelima, membantu pemerintah memperjelas peranan dan tanggung
jawab lembaga negara pada semua tingkatan. Inisiatif keenam, mendorong proses
penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang transparan dan

4
akuntabel. Inisiatif ketujuh, membantu pemerintah meningkatkan akuntabilitas dan
transparansi transaksi antar instansi pengelola keuangan negara. Inisatif kedelapan,
membantu pemerintah melakukan perubahan struktural BUMN maupun Badan
Layanan Umum, seperti Universitas, sekolah dan rumah sakit.
Tidak hanya sekadar mendorong, BPK juga telah memberi contoh bagi
pemerintah dan stakeholder lainnya untuk menciptakan transparansi dan
akuntabilitas. Selain memulihkan hak independensi dan kemandirian BPK, UU No.
15 Tahun 2006 semakin membuka BPK agar juga menjadi transparan dan akuntabel.
Dewasa ini, segera setelah diserahkan pada DPR/DPRD, sebagai pemegang hak bujet,
laporan pemeriksaan BPK adalah dimuat secara utuh pada website-nya. Dengan
demikian, laporan pemeriksaan BPK dapat dibaca secara luas dan dikritik oleh
umum. Unsur profesi dan akademisi ikut serta sebagai anggota Majelis Kehormatan
Kode Etik BPK. Kode etik BPK itu mengikat seluruh lapisan karyawannya, mulai
dari ketua hingga pejabat terendah. Mulai tahun 2007, pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan tahunan BPK diperiksa oleh akuntan publik dan diumumkan secara
luas. Sementara itu, reviu sistem pengendalian mutu BPK akan dilakukan oleh BPK
negara lain anggota organisasi pemeriksa keuangan negara sedunia (INTOSAI).
Perbaikan internal yang telah dilakukan BPK dalam dua tahun terakhir antara
lain pengembangan organisasi melalui pembukaan kantor perwakilan baru,
pembentukan unit investigasi. Penyempurnaan metodologi audit telah dilakukan BPK
dengan merevisi standar audit, menyusun petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis,
dan menyempurnakan Panduan Manajemen Pemeriksaan. Prosedur yang terkait
stakeholder juga telah dilakukan BPK melalui berbagai nota kesepakatan bersama
antara BPK dengan DPR, DPRD, POlri, Kejakgung, KPK dan PPATK. Pembinaan
sumber daya manusia dilakukan BPK melalui proses rekrutmen pegawai dengan
standar yang ketat, pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, serta kerja sama training
dengan lembaga lain baik dalam maupun luar negeri. Di samping itu BPK sedang dan
terus mengupayakan perbaikan penghasilan bagi para pemeriksa termasuk dengan
perbaikan struktur anggaran biaya pemeriksaan sebagai salah satu prasyarat
independensi, integritas dan profesionalisme BPK.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam rangka implementasi Paket UU
Keuangan Negara setiap Kementerian/lembaga, termasuk Polri, wajib menyusun
laporan keuangan yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca dan
Catatan Atas Laporan Keuangan (CAlK). Laporan tersebut harus disampaikan kepada

5
BPK RI paling lambat dua bulan setelah akhir tahun anggaran. Di lain pihak BPK RI
harus menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya tersebut kepada DPR paling
lambat enam bulan setelah akhir tahun anggaran. Jangka waktu dua bulan untuk
penyusunan laporan keuangan dan empat bulan untuk pemeriksaan laporan keuangan
seharusnya dapat dipersingkat. Hal ini diperlukan agar BPK RI dapat segera beralih
pada tahapan perkembangan peran yang lebih signifikan.
Selama ini titik berat pemeriksaan BPK RI lebih banyak pada masalah
akuntansi, ketidapatuhan pada perundang-undangan maupun pengungkapan KKN. Ini
merupakan peran dasar bagi lembaga pemeriksaan sektor publik. BPK RI berupaya
menambah auditornya dari berbagai disiplin ilmu agar rnampu semakin meninggalkan
audit keuangan. Pemeriksaan keuangan juga akan semakin banyak diserahkan pada
Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan pengawasan dari BPK RI. Sesuai dengan
tuntutan UU No. 15 Tahun 2004, pemeriksaan BPK RI akan semakin beralih pada
audit kinerja, audit lingkungan serta pembangunan berkelanjutan maupun audit
lainnya.
Secara bertahap, BPK RI akan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan
audit kinerja guna menilai efisiensi, nilai ekonomi maupun efektivitas kegiatan serta
melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan publik yang telah maupun akan diambil
oleh pemerintah. Dalam Gambar 1, pada halaman terakhir makalah ini, sifat
pemeriksaan BPK akan bergerak dari lapisan dasar segitiga fungsional ke atas.
Evaluasi atas kinerja aparat dan berbagai kebijakan publik dirasakan lebih ditunggu
masyarakat karena hal tersebut merupakan bukti dari janji kampanye politisi yang
disampaikan pada setiap pemilu. Dengan semakin berkembangnya BPK RI,
diharapkan lembaga ini dapat memberikan kecenderungan serta pemikiran jangka
panjang sebagai bahan pertimbangan bagi badan legislatif dan eksekutif serta
masyarakat luas untuk mengambil keputusan.
Pada 2007 BPK RI tetap melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu untuk
menilai pelaksanaan anggaran pada beberapa satuan utama (satlama) di lingkungan
Polri seperti Sdelog Polri, Direktorat Polisi Udara, Polda NAD, Polda Maluku dan
Polda Sulawesi Tengah. Di samping itu BPK RI juga akan melakukan pemeriksaan
atas pengadaan alat utama dengan fasilitas kredit ekspor, pemeriksaan operasi
pengamanan daerah konflik, pemeriksaan pengelolaan aset Polri dan pemeriksaan atas
pengelolaan rekening keuangan negara di lingkungan Polri. Selain itu, BPK RI pada
2007 ini mulai melakukan audit kinerja di lingkungan Polri. BPK RI akan mengambil

6
beberapa fungsi penunjang dan pendukung seperti rumah sakit Polri sebagai obyek
pemeriksaan kinerja. Dalam jangka panjang diharapkan BPK RI akan memiliki
kemampuan untuk melakukan penilaian kinerja atas fungsi utama Polri seperti
pelayanan jasa (SSB) dan pengamanan wilayah (operasi di daerah konflik), perang
melawan terorisme, pemberantasan narkoba maupun perdagangan manusia. Untuk
keperluan itu, BPK telah mengirimkan auditornya di bawah bendera PBB untuk
mengaudit daerah konflik di Congo, Eritrea dan Kosovo. Dalam pandangan BPK RI
masih banyak pelayanan Polri yang perlu lebih ditingkatkan dan tidak hanya sebagai
penghasil pendapatan saja. Untuk itu diperlukan peran APIP dalam merancang
standar pelayanan minimal yang berguna sebagai indikator kinerja unit-unit pelayanan
tersebut.
Dalam rangka meningkatkan peran BPK RI menjadi lebih dibutuhkan
masyarakat, diperlukan kontribusi APIP dalam mengembangkan sistem yang dapat
mencegah, mendeteksi dan mengoreksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
negara. Dalam hal ini, Itwasum Polri dan jajarannya harus dapat membantu Pimpinan
Polri untuk membangun sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih transparan
dan akuntabel. Itwasum Polri juga harus melakukan reviu yang memadai atas draft
Laporan Keuangan Polri sebelum ditandatangani oleh Kapolri dan diserahkan kepada
BPK RI untuk diaudit.
Dalam melakukan reviu tersebut, Itwasum Polri harus memastikan bahwa
klausul dalam representasi manajemen terpenuhi, antara lain (i) laporan keuangan
telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi pemerintah, (i1) semua
transaksi yang material sudah dicatat dalam catatan akuntansi yang melandasi laporan
keuangan, (iii) semua rekening terkait dengan keuangan negara telah dicatat dan
diungkapkan dalam laporan keuangan, dan (iv) sistem pengendalian intern telah
dirancang, diaplikasikan, dipantau dan dievaluasi efektivitasnya dalam hal keandalan
pelaporan keuangan dan ketaatan pada peraturan yang berlaku.
Mulai tahun 2007, BPK RI akan melakukan audit atas Laporan Keuangan
Kementerian/Lembaga dengan menghasilkan opini dalam laporan auditnya. Audit
laporan keuangan akan dititikberatkan pada pengujian lima asersi yaitu keberadaan
dan keterjadian, kelengkapan, hak dan kewajiban, penilaian serta penyajian dan
pengungkapan. Opini tersebut didasarkan atas penilaian kewajaran laporan keuangan
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kepatuhan entitas terhadap
peraturan perundangan dan efektivitas sistem pengendalian intern. Bedasarkan hasil

7
pemeriksaan Laporan Keuangan Polri TA. 2005 masih ditemukan permasalahan
signifikan antara lain: (i) asset dalam bentuk persediaan dan barang tidak bergerak
(BTB) tidak seluruhnya dilaporkan dalam neraca, (ii) penerimaan hibah dan bantuan
pihak ketiga tidak dicatat sebagai pendapatan dalam LRA, (iii) kewajiban jangka
pendek berupa utang daya dan jasa listrik, telepon, gas dan air (LTGA) serta BMP
tidak tercatat dalam neraca. Permasalahan tersebut tentunya mempengaruhi kewajaran
penilaian dan penyajian laporan keuangan.
Di samping itu, Polri belum menerapkan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dan
Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) sebagaimana yang diwajibkan
berlaku secara nasional. Kelemahan sistem tersebut jika tidak segera diperbaiki akan
terus menyebabkan salah saji material yang dapat mempengaruhi kewajaran laporan
keuangan. Berbagai temuan di lingkungan sattama Polri yang merupakan
penyimpangan dari peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan negara
juga dapat mempengaruhi kewajaran penilaian dan pengungkapan laporan keuangan
Polri secara keseluruhan. Hasil pemeriksaan pemeriksaan BPK yang lalu tersebut
hendaknya merupakan masukan berharga bagi APIP dalam melakukan berbagai
pembenahan agar masalah yang sama tidak berulang. Pasal 26 Ayat (2) Undang-
Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara menyebut bahwa pejabat yang tidak menindaklanjuti temuan BPK
dapat "dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak 500 juta rupiah".
Realitanya, barang tidak bergerak (BTB), terutama tanah, merupakan porsi
terbesar dalam neraca pada tiap departemen/lembaga. Oleh karena itu, BPK RI akan
menitikberatkan pada akun aktiva tetap, di samping tetap memperhatikan akun aktiva
lancar. Untuk itu dengan memperhatikan hasil pemeriksaan BPK RI yang lalu dan
prioritas pemeriksaan tahun 2007 Polri perlu segera melakukan inventarisasi
kekayaan negara yang dikelolanya. Hal ini agar publik tahu berapa sebenarnya
kekayaan negara yang dikelola Polri dan bagaimana mengoptimalisasikan
pemanfatannya.
Di samping itu dengan keterbatasan sumber daya, baik tenaga (auditor), dana
(anggaran pemeriksaan) dan waktu (jadwal pemeriksaan) yang dimiliki BPK RI,
maka BPK RI mengharapkan kontribusi Itwasum Polri dan jajarannya untuk
melakukan reviu secara memadai. Semakin baik reviu yang dilakukan oleh APIP,
maka semakin mudah audit yang dilakukan BPK. Sesuai dengan UU No. 15 Tahun

8
2004 BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan APIP dalam menentukan rencana
pemeriksaan. Dalam hal ini, hasil reviu APIP pun dapat digunakan BPK RI sebagai
salah satu input dalam menilai efektivitas SPI yang akan menentukan luas lingkup uji
petik yang diperlukan.
Grafik 1. Peranan BPK Masa Kini dan Masa Datang
Membantu masyarakat dan
pengambil keputusan untuk
melakukan alternatif pilihan masa depan
Mendalami kebijakan dan masalah publik
Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi kebijakan pemerintah
serta ketaatan atas aturan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan
Membantu Pemerintah melakukan perubahan struktural BUMN maupun badan pelayanan umum seperti sekolah, universitas dan rumah sakit
Membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan paket ketiga UU tentang keuangan negara tahun 2003-2004 melalui: a. Penyatuan anggaran nonbujeter dan kegiatan quasi fiskal kedalam APBN; b. Memperjelas peranan dan tanggung jawab lembaga negara pada semua tingkatan; c. Mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara yang
transparan dan akuntabel . d. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi keuangan antara instansi
pemerintah di tingkat pusat dan daerah serta antara keduanya maupun antara Pemerintah dengan BUMN, BUMD serta perusahaan swasta yang mendapatkan subsidi dari negara.
Upaya Pemberantasan Korupsi dengan melaporkan dugaan tindakan kriminal kepada penegak hukum; Kepolisian; Kejaksaan Agung / Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi

1
Keterkaitan antara Tugas BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
dengan BUMN dan Bank-bank Negara1
Sebagaimana kita ketahui bersama, sistem sosial kita, termasuk perekonomian
nasional, telah hancur berkeping keping setelah dilanda krisis pada tahun 1997-1998.
Delapan tahun telah berlalu, hingga saat ini, kita belum dapat bangkit dari krisis
tersebut. Tingkat laju pertumbuhan ekonomi kita masih tetap rendah dan investasi
swasta masih belum bergerak. Kini, Indonesia menjadi tempat yang semakin kurang
menarik bagi investor swasta asing. Daya saing kita di pasar dunia maupun di pasar
domestik menjadi semakin menurun. Karena volumenya tidak meningkat, nilai ekspor
kita hanya tergantung kepada perkembangan tingkat harganya. Bahan baku maupun
barang konsumsi kita semakin tergantung kepada impor.
Di bidang fiskal, Indonesia menghadapi masalah struktural yang sangat serius.
Sebagian besar dari pengeluaran negara (APBN) hanya diserap oleh kewajiban
pembayaran hutang, subsidi BBM dan pengeluaran untuk mengatasi perang saudara
yang berkepanjangan dan tetap marak diberbagai daerah. Karena penerimaan pajak
tidak dapat ditingkatkan sejalan dengan pertumbuhan penggeluaran negara,
pemerintah menempuh tiga jenis strategi fiskal. Strategi yang pertama adalah untuk
membatasi defisit anggaran hingga 1-2 persen dari PDB kita. Tujuannya adalah untuk
mencegah adanya akumulasi hutang negara yang berlebihan yang merupakan beban
bagi generasi yang akan datang. Strategi yang kedua adalah membatasi pengeluaran di
luar ketiga jenis pengeluaran pembayaran hutang, subsidi BBM dan perang saudara
yang disebut di atas. Korban pengurangan anggaran adalah terutama untuk
pemeliharaan maupun pembangunan infrastruktur fisik dan pengeluaran bagi
perbaikan tingkat kesehatan serta pendidikan rakyat. Cobalah perhatikan kualitas bus
kota kita pesawat terbang, gerbong kereta api dan feri penyeberangan, semuanya
sudah tua barang rongsokan bekas pakai dari luar negeri. Selain mengganggu
pemerataan distribusi pendapatan strategi pemotongan anggaran negara seperti ini
sekaligus mengorbankan potensi pertumbuhan perekonomian nasional. Strategi yang
ketiga adalah tercermin pada cara pembelanjaan defisit APBN tersebut. Dewasa ini,
1Pokok-Pokok Pengarahan kepada Pengurus Bank-Bank Negara, Gedung Kantor Pusat Bank BNI 1946, Jakarta, 4 Agustus 2005.

2
Indonesia semakin tergantung pada penjualan obligasi di pasar dalam negeri maupun
pasar internasional. Obligasi negara itu sangat sensitif terhadap tingkat suku bunga
dan tingkat laju inflasi di dalam maupun di luar negeri serta pada kurs devisa kita.
Sebagian dari defisit APBN itu ditutup melalui penjualan asset negara, termasuk
privatisasi BUMN.
Kesulitan ekonomi selama delapan tahun terakhir telah menganggu sistem
sosial kita. Karena daya beli yang semakin merosot dan tingkat pengangguran tenaga
kerja telah mulai mempengaruhi tatanan hidup kita berbangsa dan bermasyarakat
disiplin semakin mengalami erosi dan kita menjadi semakin impulsif. Kita pun sudah
mulai mengekspor berbagai penyakit sosial itu ke luar negeri, terutama ke negara-
negara tetangga.
Saya kira, semua kita yang hadir dalam ruangan ini faham betul akan
pentingnya adanya suatu industri perbankan yang sehat. Kebijakan moneter untuk
memelihara stabilitas internal maupun eksternal perekonomian tidak mungkin
berjalan dengan baik tanpa adanya industri perbankan yang sehat. Industri perbankan
yang sehat itu sekaligus diperlukan untuk memperlancar sistem pembayaran nasional
dan mobilisasi dana bagi keperluan pembelanjaan dunia usaha secara efisien.
Selain dari iklim usaha yang tidak mendukung, rendahnya investasi dunia
usaha nasional kita selama delapan tahun terakhir, antara lain, adalah karena
lambannya proses restrukturalisasi industri perbankan maupun dunia usaha nasional
kita. Program restrukturalisasi perbankan yang disaranlkan oleh IMF pada masa krisis
tahun 1997-1998 bukan saja memperbaiki kondisi keuangannya saja. Aspek lain dari
restrukturalisasi perbankan itu adalah untuk memperbaiki kinerja pengelolaannya.
Sebagaimana diketahui, kondisi keuangan bank-bank nasional kita yang secara
teknis sudah bangkrut pada saat krisis tahun 1997-1998 diperbaiki melalui dengan
empat cara. Pertama, untuk sementara, melonggarkan aturan prudensial seperti: CAR,
NPLK dan cara perhitungannya. Kedua, dengan mencukupi modalnya dengan
menyuntikkan modal baru. Cara ketiga adalah dengan membersihkan pembukuan
bank-bank nasional dengan mengambil alih kredit bermasalah dan memindahkannya
pada BPPN. Cara keempat adalah dengan menyediakan blanket guarantee bukan saja
pada deposito masyarakat tapi juga pada kewajiban lain industri perbankan baik
kepada pihak dalam negeri maupun mitra usahanya di luar negeri. Dengan perkataan
lain, segala jenis risiko usaha bank diambil alih oleh pemerintah. Agar tidak terjadi
eksodus sektor negara dari bank-bank negara ke bank-bank asing, Pemerintah

3
menghimbau BUMN serta instansi pemerintah tetap menggunakan jasa bank-bank
negara. Himbauan seperti ini merupakan perlindungan khusus kepada bank-bank
negara dari persaingan pasar yang semakin ketat. Dunia usaha, nasabah bank,
diberikan pemotongan hutang dan berbagai kemudahan lainnya.
Hutang pemerintah yang meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 1998
adalah untuk membiayai penyehatan kondisi keuangan bank-bank dan dunia usaha
nasional tersebut. Ini menggambarkan besarnya komitmen Pemerintah untuk
mengembangkan bank-bank nasional dan dunia usaha. Berbeda dengan berbagai
negara-negara lain, seperti New Zealand, Mexico dan Cheko, Indonesia masih ingin
punya bank nasional sendiri termasuk bank negara. Dewasa ini, baik dilihat dari nilai
aktiva dan maupun luas jaringan kantor cabangnya, industri perbankan merupakan inti
dari industri keuangan nasional Indonesia. Peranan kelompok bank negara masih
sangat dominan dalam industri perbankan nasional tersebut. Oleh karena itu, sebagian
terbesar dari hutang baru pemerintah adalah digunakan oleh kelompok bank-bank
milik negara. Jumlah bank negara kini tinggal emapat dari enam sebelum krisis
karena tiga bank lama (BDN, BBD dan Eksim) membentuk bank baru yaitu Bank
Mandiri.
Dari pemantauan kami sebagai auditor, kegagalan kita yang terbesar adalah
dalam hal melakukan perubahan industri perbankan di bidang kinerja nonkeuangan
itu. Belum ada perubahan yang menonjol dalam hal modus operansi, kinerja dan
internal kontrol di bank-bank negara sebelum dan setelah krisis maupun sebelum dan
setelah go public. Perilaku dan kinerja pimpinan dan karyawan bank-bank negara
masih mengikuti pola Orde Baru, di mana bank-bank negara tidak lebih dari
perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan. Perilaku dan kinerja mereka belum
dapat menyesuaikan diri seperti yang diharapkan oleh bank-bank yang betul-betul
komersil. Supervisi Meneg BUMN, RUPS, Komisaris, Komite Audit, dan Satuan
Pengawas Internal tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kasus L/C fiktif Bank BNI
tahun 2003 sudah dicium oleh pengawas internalnya dan sudah dilaporkan kepada
pengurus bank itu. Ternyata pengurus bank tidak berbuat apa-apa dan menutup
masalah dari pantauan pemeriksa Bank Indonesia. Aturan kita rubah mengacu kepada
aturan Basel, arsitektur kita bangun dan semboyan kita ciptakan agar bank-bank
nasional dapat menjadi world class. Tapi pelaksanaannya, sangat jauh dari harapan.
Inilah yang membedakan kita dengan di negara-negara lain yang juga mengalami
krisis perbankan negara-negara Skandinavia, Korea Selatan Thailand dan Malyasia.

4
Resistensi untuk melakukan perubahan internal mendasar tersebut bersumber
dari seluruh arah Pemerintah, politisi maupun internal perbankan itu sendiri. Sama
dengan pada masa Orde Baru, ukuran sukses pimpinan bank-bank negara di Indonesia
masih ditentukan pada kepatuhannya pada pemilik saham dan bukan pada aturan main
maupun indikator pasar sebagai badan usaha. Tiga tahun yang lalu Meneg BUMN,
Kepala BPPN serta Direksi bank-bank termasuk bank-bank negara bersekongkol
menentang aturan Bank Indonesia tentang restrukturalisasi kredit bermasalah. Padahal
aturan BI itu mengacu kepada the best practices diseluruh dunia. Politisi pun ikut-
ikutan untuk bersuara pada masalah-masalah yang sangat teknis yang merupakan
porsi Pemerintah ataupun manajemen bank itu sendiri. Dengan biaya mahal,
pengamat murahan disewa untuk menulis success story restrukturalisasi bank-bank
BUMN. Ternyata sekarang ini bahwa ketidak taatan atas aturan Bank Indonesia itu
justru merupakan akar masalah bagi memburuknya kondisi keuangan bank-bank
negara. Kasus L/C fiktif di PT Bank BNI tahun 2004 dan rangkaian skandal di
banyak kantor cabangnya memberikan gambaran akan kelemahan sistem
pengendalian internalnya. Rangkaian kasus kredit PT Bank Mandiri yang ditangani
oleh Tipikor dewasa ini mencerminkan bahwa cara pemberian kredit oleh bank-bank
negara tidak banyak beda dengan pada masa pemerintahan Orde Baru bukan
berdasarkan pertimbangan 4 c’s tapi atas dasar politik dan KKN. Hal yang sama juga
terjadi pada bank-bank negara lainnya BRI, BTN dan BPD.
Kegagalan restrukturalisasi perbankan nasional sekaligus tercermin pada
neraca bank-bank itu sendiri. Modalnya masih tetap bertumpu pada obligasi rekap. Di
RRC tambahan modal bank diberikan dalam bentuk uang tunai dengan menggunakan
cadangan luar negerinya. Sebailknya, di Indonesia yang tidak sekaya RRC, tambahan
modal itu diberikan dalam bentuk obligasi rekap yang tidak likuid. Pemupukan modal
dalam bentuk retained earnings terhambat antara lain karena pemerintah perlu uang
untuk menutup defisit dan pengurus minta tantiem. Padahal, sumber penerimaan
bank-bank negara itu adalah terutama bersumber bukan dari kegiatan pemberian
kredit maupun investasi. Pendapatan bank-bank nasional selama delapan tahun
terakhir ini adalah dari bunga obiligasi rekapnya sendiri yang diperdagangkannya
maupun bunga SBI serta Fasbi dan keuntungan dari jual beli devisa.
Sebagian terbesar dari kredit bank-bank nasional dewasa adalah untuk
keperluan konsumsi, utamanya membeli kendaraan bermotor dan ruko. Seperti kredit
KIK/KMKP masa lalu, risiko kredit dapat digeser oleh bank kepada perusahaan

5
asuransi. Namun demikian, pengalaman kita sendiri pada waktu itu maupun
pengalaman Korea Selatan pasda awal dasawarsa ini perlu anda-anda cermati agar
tidak lagi menimbulkan masalah karena negara kita tidak akan mampu untuk
melakukan recap ulang perbankan.
Restrukturalisasi bank-bank negara merupakan porsi kewenangan Meneg
BUMN sebagai pemiliknya dan Bank Indonesia sebagai otorita regulatornya, dan
bukan merupakan bidang tugas BPK. Bagaimana caranya merubah orientasi bank-
bank Negara menjadi bank komersil betulan yang mampu bersaing di pasar yang
semakin ketat merupakan bidang tugas Meneg BUMN. Perlindungan pasar khusus
kepada bank nasional, utamanya kepada bank-bank negara, tidak lagi dibenarkan oleh
komitmen kita sendiri pada WTO. Bagaimana mengatur, mengawasi dan memaksakan
berlakunya aturan yang berlaku pada industri perbankan merupakan bidang kerja
Bank Indonesia. Sama dengan bank-bank lainnya, swasta nasional maupun asing,
bank Negara harus tunduk kepada aturan yang sama.
Sekarang saya ingin masuk pada pertanyaan yang mungkin ada dibenak anda:
Apa urusan BPK dengan BUMN dan bank-bank negara? BPK bukan otoritas moneter.
BPK bukan pemilik BUMN dan bank-bank negara itu. Apakah BPK akan menyeret
satu per satu pengurus BUMN dan bank-bank negara ke KPK dan Tipikor? Untuk
menjawab pertanyaan ini, perlu dilihat apa fungsi dan peranan BPK sebagai auditor
keuangan negara dan kaitan antara keuangan negara dengan pembukuan BUMN dan
bank-bank.
Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya auditor
yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di
mana pun disimpan dan dipergunakan. Tujuan dari audit seperti itu adalah untuk
menegakkan transparansi fiskal sehingga membantu lembaga perwakilan rakyat
menjalankan hak bujetnya. Rangkaian UU tentang keuangan negara tahun 2003-20042
memperluas tugas BPK sehingga mencakup keuangan Pemda Tingkat II.
Pimpinan BPK sekarang ini dilantik tanggal 3 Desember 2004. Pada masa
jabatan kami, kami ingin mengimplementasikan amanat UUD 1945 dengan (a)
meningkatkan kualitas audit BPK; dan (b) memperluas objek pemeriksaannya. Dalam
hal kualitas pekerjaan audit, kami ingin meneruskan dan mengintensipkan audit
2 Ketiga paket UU keuangan negara itu adalah: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

6
investigasi dan fraud audit, yang telah dirintis oleh pimpinan sebelumnya diawali
dengan audit BLBI. Audit secara umum dan dangkal yang dilakukan di masa lalu,
karena BPK hanya merupakan tukang stempel penguasa, telah menjadi sumber
bencana dan malapetaka nasional. Kita semua, termasuk ”wong cilik” yang tidak
berdosa, ikut menderita karenanya. Krisis tahun 1997-1998 terjadi karena sistem
hukum dan sistem akuntansi kita sangat lemah sehingga laporan keuangan dan dan
nasabahnya tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Akibatnya, laporan
keuangan dan audit tidak ada nilainya untuk melakukan antisipasi maupun dasar bagi
pengambilan keputusan.
Kami menginginkan agar BPK juga independen dalam memilih objek
pemeriksaannya dan menentukan kebijakan, prosedur serta metode pemeriksaan
maupun dalam menyusun laporan auditnya. Artinya, BPK bebas dari pengaruh
intervensi sehingga tidak lagi hanya merupakan tukang stempel cabang-cabang
pemerintahan eksekutif, legislatif maupun judikatif.
Kami menginginkan untuk memperluas objek pemeriksaan BPK, baik pada
sisi pengeluaran maupun sisi penerimaan neraca keuangan negara. Untuk itu
diperlukan koreksi Undang-Undang maupun kebijakan Pemerintah yang masih
menghambat. Undang-Undang itu, antara lain berupa UU Perseroan dan BUMN, UU
Pajak, UU tentang Yayasan berdasarkan dalih lex specialis, yang ternyata hanya
menutupi kecurangan. Pada era Orde Baru, objek pemeriksaan BPK hanya terbatas
pada beberapa objek pada sisi pengeluaran negara saja. Pada waktu itu, Bank
Indonesia, Pertamina dan bank-bank negara adalah di audit oleh BPKP yang
merupakan auditor internal Pemerintah. Penerimaan pajak dan penerimaan negara
bukan pajak tidak pernah diaudit secara serius oleh BPK.
Perluasan objek pemeriksaan BPK juga mengacu kepada pengalaman yang
kita timba dari krisis 1997-1998. Pelajaran pertama adalah bahwa kerugian BUMN
dan bank-bank negara merupakan contingent liabilities keuangan negara karena
BUMN dan bank-bank negara itu tidak boleh bangkrut. Sebagaimana telah disebut di
atas, hutang negara bertambah 100 persen pada tahun 1998 adalah untuk merekap
bank-bank negara. Pelajaran yang kedua adalah bahwa induk organisasi pemerintah
dan BUMN dirongrong melalui perusahaan satelitnya, apakah berupa anak-anak
perusahaan, yayasan maupun dana pensiunnya. Oleh karena itu, pemeriksaan BPK
kepada sesuatu objek akan dilakukan secara consolidated dengan mengaudit semua
lembaga dan badan usaha yang terkait dengannya.

7
Diakui bahwa kemampuan BPK pada saat ini masih jauh dari harapan.
Keterbatasan BPK tercermin pada jumlah dan mutu SDM BPK, peralatan, anggaran
maupun jaringan kantornya. Di masa lalu, hanya Pemerintah, utamanya BPKP, yang
memanfaatkan penggunaan dana pinjaman Bank Dunia untuk pendidikan akuntan.
Apakah karena gajinya yang kecil maupun karena alasan lainnya, moral auditor BPK
pun tidak beda dengan perilaku auditor lainnya: mau terima sogok. Organisasi,
tambahan personil, peralatan, gedung kantor BPK dikontrol ketat oleh pemerintah
melalui Menpan sedangkan anggarannya merupakan bagian dari APBN biasa ataupun
diperoleh dari auditee. Sesuai dengan tersedianya tambahan anggaran dari sumber
APBN, mulai tahun 2006, BPK akan meniadakan perolehan biaya pemeriksaan dari
pihak auditee. Idealnya, mengikuti negara-negara lain, anggaran BPK itu adalah
bagian dari anggaran DPR.
Dalam menghadapi keterbatasan BPK itu, kami menempuh dua jenis
kebijakan. Pertama, menetapkan prioritas objek pemeriksaan. Prioritas utama
diberikan kepada objek-objek yang paling memberati pengeluaran negara. Prioritas
kedua diberikan kepada objek-objek yang menyangkut kehidupan Rakyat banyak.
Prioritas ketiga, adalah objek-objek yang secara politik sangat sensitip. Objek-objek
lainnya merupakan prioritas berikutnya. Dalam priotas utama itu termasuk bank-bank
negara serta Pertamina karena pengeluaran pembayaran hutang dan subsidi telah
menelan lebih dari sepertiga pengeluaran negara. Sebagaimana telah disebut di atas,
beban pembayaran hutang meningkat sejalan dengan kenaikan tingkat suku bunga dan
tingkat laju inflasi serta pelemahan kurs devisa maupun harga minyak mentah yang
tinggi dewasa ini. Prioritas kedua adalah audit Departemen Kesehatan dan Pendidikan
Nasional, KPU serta Dana Abadi Umat milik para jemaah haji.
Kebijakan yang kedua adalah untuk menyerahkan pelaksanaan audit instansi
pemerintah, BUMN dan BUMD kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) maupun
auditor internal pemerintah menurut standar yang ditetapkan oleh BPK. Untuk
melaksanakan ini, BPK sebagai otorita pemeriksa keuangan negara ingin memiliki
independensi legislasi. Artinya, BPK punya kewenangan untuk menguji dan
mengambil sumpah KAP yang diberi kewenaganan untuk memeriksa pembukuan
sektor negara, termasuk BUMN dan BUMD.
Hal lain yang barangkali mengganggu pikiran anda adalah apakah secara
bergiliran pimpinan BUMN dan bank-bank negara akan diserahkan untuk diproses
oleh Polisi, KPK maupun Tipikor. Patut anda ketahui bahwa BPK bukan merupakan

8
bagian dari penegak hukum yang melakukan upaya pemberantasan korupsi dan BPK
adalah tidak bekerja bagi keperluan mereka. Namun demikian, perlu diketahui bahwa
BPK diwajibkan oleh Undang-Undang untuk menyerahkan laporan auditnya kepada
DPR dan DPRD, sebagai pemegang hak bujet. BPK pun wajib memuat laporan
auditnya di website agar dapat diketahui secara luas oleh masyarakat dan sekaligus
menguji mutu auditnya itu. Dewasa ini, BPK pun wajib menyerahkan laporan audit
itu kepada DPD. Hanya temuan-temuan yang mengandung unsur pidana yang wajib
diserahkan oleh BPK kepada penegak hukum (Polisi, kejaksaan dan KPK).
Temuan-temuan BPK ditindak lanjuti oleh auditee sendiri yang melakukan
koreksi sesuai dengan rekomendasi BPK. Melalui hak legislasinya DPR dan DPRD
berwenang untuk menindak lanjuti temuan-temuan BPK. Proses penindakan hukum
merupakan kewenangan Polisi, Jaksa, KPK serta peradilan dan bukan BPK. Dari
pihak BPK, masalah BLBI, misalnya, sudah selesai lima tahun yang lalu BPK sama
sekali tidak berperan dan berwenang untuk membuka ulang kasus lama ataupun
menghentikannya. Yang dapat kita pantau hanyalah bahwa Pemerintahan SBY-MJK
sekarang ini, nampaknya lebih serius dalam memberantas KKN dibandingkan dengan
pemerintahan sebelumnya. Oleh karena itulah mengapa kejaksaan, Polri dan KPK
lebih sibuk sekarang ini daripada di masa lalu.

1
1. Pengantar
Sebagaimana diketahui, BPK bukanlah otoritas perbankan maupun pemilik bank.
Otoritas Bank Indonesia hanya ada satu di Indonesia, yakni Bank Indonesia. Meneg
BUMN merupakan satu-satunya wakil pemerintah dalam pengelolaan BUMN,
termasuk bank-bank negara, sedangkan Pemda merupakan pemilik BPD. BPK ikut
campur dalam urusan perbankan adalah karena modal dan kerugian industri
perbankan nasional bermasalah pada saat terjadinya krisis pada tahun 1997-1998 telah
diambil ailih oleh Pemerintah sehingga menjadi contigent liabilities keuangan negara.
BPK melakukan audit dana pemerintah yang disuntikkan untuk menguatkan modal
industri perbankan nasional bermasalah itu dan mengambil alih kredit macetnya.
Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam enam bagian. Bagian kedua
menguraikan berbagai program kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk
mengatasi krisis perbankan pada tahun 1997-1998. Bagian ketiga membahas dampak
fiskal nasionalisasi industri perbankan nasional yang bermasalah. Bagian keempat
menjelaskan berbagai aspek kekurangberhasilan program restrukturalisasi industri
perbankan Indonesia, terutama dalam hal governance-nya. Bagian kelima menjelaskan
peranan BPK dalam Audit BUMN dan Perbankan. Bagian keenam menguraikan
keterbatasan kemampuan BPK dan skala prioritas auditnya. Bagian terakhir
menjelaskan kaitan BPK dengan Penegak Hukum.
2. Program Restrukturalisasi Perbankan Nasional
Pembangunan kembali industri perbankan, yang secara teknis sudah bangkrut
pada tahun 1997-1998, terdiri dari berbagai jenis program. Program yang pertama
adalah untuk menyehatkan kembali kondisi keuangannya. Program yang kedua,
menciptakan jaring pengaman industri perbankan. Program yang ketiga,
menyempurnakan aturan prudensial dan meningkatkan kualitas pemeriksaan bank.
Program yang keempat, menunda pelaksanaan deregulasi guna menyehatkan
persaingan pasar perbankan. Program yang kelima adalah memperbaiki governance
industri perbankan untuk meningkatkan kinerjanya. Program yang keenam adalah
untuk mengembangkan pasar modal dan obligasi guna mengurangi ketergantungan
pembelanjaan dunia usaha pada kredit perbankan.
Sebagaimana telah disebut di atas, untuk menyehatkan kondisi keuangan

2
industri perbankan yang telah memburuk pada saat krisis tahun 1997-1998,
Pemerintah telah menasionalisir saham bank-bank nasional yang mengalami kesulitan
keuangan itu dan mengambil alih kredit macet mereka. Bahkan, pemerintah
mengambil alih kewajiban bank, dan nasabahnya, kepada pihak ketiga, termasuk
kewajiban luar negeri. Dalam hal ini, Pemerintah bertindak melebihi fungsinya
sebagai the lender of the last resort. Modal bank yang mengalami kesulitan keuangan
dicukupi dengan menyuntikkan modal baru. Sementara itu, pembukuan bank
dibersihkan dengan mengambil alih kredit bermasalah dan memindahkannya pada
BPPN. Bank-bank swasta yang mendapatkan suntikan dana Pemerintah lebih dari 80
persen dari modalnya dikelola oleh BPPN.
Guna mengurangi keperluan rekapitalisasi perbankan dilakukan dua tindakan.
Pertama melonggarkan aturan prudensial perbankan untuk sementara waktu seperti
CAR, NPL dan cara perhitungannya. CAR, misalnya, diturunkan selama masa krisis
dari 8% menjadi 4%. Kedua, mendorong penggabungan beberapa bank menjadi satu.
Merjer diharapkan akan menciptakan bank yang lebih kokoh dan, secara tidak
langsung, sekaligus membubarkan bank yang tidak lagi layak sebagai badan usaha.
Di lain pihak, membubarkan bank besar menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang
lebih besar pula (too big to fail). Selama masa krisis, empat bank negara (Bank Bumi
Daya, Bank Dagang Negara, Bapindo dan Bank Eksim) dibubarkan dan diciptakan
Bank Mandiri sebagai penggantinya, sehingga jumlah bank negara kini tinggal empat
dari enam sebelum krisis. Selama krisis itu sebanyak 77 bank swasta nasional serta
bank campuran yang dilikuidasikan. Bank asing yang membuka cabang baru setelah
krisis adalah Bank of China dari RRC (Tabel l).
Tabel 1. Jumlah Bank dan Kantor Cabangnya, 1977 – 2004
Perusahaan Kelompok kepemilikan Oktober
1997 Likuidasi Merger Baru
Oktober
2004
1. Bank Negara 2. Bank Pembangunan Daerah
3. Bank Swasta Nasional/Bank
Campuran
7
27
194
10
-
1
77
4
-
23
2
-
-
5
26
94
11

3
4. Bank Asing
Sumber : Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Juni 2000 dan Juni
2005.
Program penyelamatan yang kedua untuk menguatkan kondisi keuangan bank
adalah dengan menyediakan blanket guarantee. Fasilitas jaminan bukan saja
disediakan pada deposito masyarakat seperti yang lazim dijamin oleh Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) di seluruh dunia. Blanket guarantee yang disediakan oleh
Pemerintah pada waktu itu juga mencakup kewajiban lain industri perbankan balk
kepada pihak dalam negeri maupun pada mitra usahanya di luar negeri1. Dengan
perkataan lain, segala jenis risiko usaha bank, dan nasabahnya, diambil alih oleh
Pemerintah. Setelah BPPN didirikan pada akhir Januari 1988, program penjaminan
bank diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3) yang
merupakan bagian daripadanya. Di masa dekat mendatang, blanket guarantee ini
akan diganti dengan partial guarantee yang hanya menjamin deposito saja dalam
jumlah yang terbatas pula. Perubahan objek dan jumlah jaminan seperti ini akan
diintrodusi bersamaan dengan pendirian LPS yang akan menggantikan UP3. Jenis
jaring pengaman kedua yang telah diciptakan oleh Pemerintah adalah fasilitas kredit
dari Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan Iikuiditas bank jangka pendek.
Idealnya, premi asuransi deposito dan biaya operasional LPS seluruhnya.
bersumber dari bank dan deposan sendiri dan tidak lagi membebani keuangan negara.
Namun, di lain pihak, partial guarantee yang disediakan oleh LPS tersebut belum
dapat menjawab masalah bank runs yang terjadi pada saat krisis. Apakah misalnya,
Pemerintah benar-benar bersedia akan menghentikan kegiatan operasi dan mencabut
ijin usaha bank-bank karena bangkrut jika terjadi krisis baru? Masalah koordinasl
antara Bank Indonesia dengan Departemen Keuangan juga perlu diperbaiki melalui
LPS itu terutama dalam menghadapi krisis. Seperti halnya pada tahun 1997-1998,
pada akhirnya, Departemen Keuangan yang bertindak sebagai the lender of the first
resort mengambil alih semua beban keuangan penyehatan struktural industri
1 Karena tidak boleh bankrut, sebelum krisis, Pemeri ntah, secara implicit, menyediakan blanket gurantee pacta bank· bank negara.

4
perbankan itu.
Perbaikan aturan prudensial pcrbankan dilakukan dengan mengacu
kepada Basel core principles yang berlaku secara universal terutama bagi
bank-bank yang melakukan kegiatan luar negeri. Secara bertahap, rasio-
rasio yang merupakan indikator finansial perbankan akan diukur berbasis
risiko dan berdasarkan harga pasar yang berlaku. Bersamaan dengan
peningkatan kualitas pemeriksaan bank, implementasi aturan prudensial
tersebut pun telah semakin ditingkatkan oleh Bank Indonesia. Mengikuti
trend di berbagai negara, selambat-Iambatnya pada tahun 2010, akan
didirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan melakukan
pengawasan atas semua jenis lembaga keuangan, baik bank maupun
nonbank. Tugas pengawasan industri perbankan akan diserahkan oleh
Bank Indonesia pada lembaga baru OJK itu dan bank sentral hanya
memusatkan tugasnya pada pengendalian moneter saja.
Jauh sebelum terjadinya krisis, Oktober 1988, Pemerintah sendiri
telah melakukan deregulasi industri perbankan nasional. Deregulasi itu
semakin gencar dalam rangka pemenuhan komitmen internasional
Indonesia pada WTO. Deregulasi itu termasuk kemudahan untuk
mendirikan bank baru dan ijin operasi sebagai bank devisa. Rangkaian
merjer dan pembubaran bank setelah krisis telah mengurangi lebih dari
sepertiga jumlah bank nasional. Kelompok bank asing telah meningkatkan
penetrasi mereka pada pasar dalam negeri yang dimungkinkan oleh
deregulasi. Porsi pasar yang dikuasai bank asing menjadi semakin besar
setelah kolapsnya industri perbankan nasional dan merosotnya rasa
kepercayaan masyarakat atas bank-bank nasional itu. Porsi pemodal asing
pada bank-bank nasional menjadi semakin bertambah setelah divestasi
bank-bank yang diambil alih BPPN dan privatisasi bank-bank negara
maupun bank-bank swasta naslonal.
Pada awalnya, deregulasi perbankan sekaligus mengakhiri kebijakan
pemerintah yang memberikan perlindungan khusus kepada bank-bank
Negara miliknya sendiri. Diintrodusi pada tahun 1967, kebijakan itu
mewajibkan inst.msi Pemerintah dan BUMN untuk menggunakan jasa
bank-bank negara. Namun, kebijakan ini terpaksa ditunda sementara
untuk menghindarkan terjadinya eksodus deposito sektor negara dari

5
bank-bank negara ke bankbank asing yang dapat mengganggu stabilitas
industri perbankan. Oleh karena itu, hingga saat ini, instansi pemerintah
dan perusahaan negara masih tetap dihimbau untuk menggunakan jasa
bank-bank negara.
Upaya untuk memperbaiki pengelolaan (corporate governance) serta kinerja
bank-bank nasional dilakukan melalui berbagai cara. Cara-cara itu termasuk
memisahkan secara tegas antara pemilik dengan pengurus bank dan mengatur
hubungan antara keduanya, membatasi pemberian kredit bank kepada orang dalam
(legal lending limits), sebagaimana diatur oleh peraturan tentang batas maksimum
pemberian kredit (BMPK), meningkatkan transparansi dan perluasan pengumuman
informasi kegiatan bank, memberikan ijin kerja kepada pengurus yang mengelola
bank melalui fit and proper, menunjuk Compliance Director dan Komite Audit serta
Komisaris Independen, menerapkan asas pengenalan nasabah (know your customers
principle) serta mendirikan Unit Investigasi Kejahatan Perbankan di Bank Indonesia.
Sebagaimana akan dibahas dalam Bagian 4, dalam hal peningkatan kualitas
pengeloaan dan kinerja inilah Indonesia belum banyak berhasil karena lemahnya
sistem hukum dan sistem akuntansi kita.
Sebagai hasil program rekapitalisasi, kondisi keuangan industri perbankan
nasional sudah jauh lebih baik dewasa ini dibandingkan dengan pada masa krisis
(Tabel 2). Perbaikan kondisi keuangan industri perbankan itu tercermin pada semua
indikator, yakni CAR, NPL, maupun ROA. Sementara itu, Dana masyarakat yang
dimobilisasi oleh perbankan juga sudah meningkat dan industri perbankan pun sudah
mulai memberikan kredit. Namun, industri perbankan nasional kita masih tetap
beroperasi sebagai narrow bank karena modal, asset, maupun sumber pendapatannya
masih bertumpu kepada obligasi rekapitalisasi. Sebagian terbesar dari kredit bank-
bank nasional (termasuk melalui kartu kredit) dewasa adalah untuk keperluan
konsumsi, utamanya membeli kendaraan bermotor dan ruko. Seperti kredit
KIK/KMKP masa lalu, risiko kredit dapat digeser oleh bank kepada perusahaan
asuransi. Namun demikian, pengalaman kita sendiri pada waktu itu,maupun
pengalaman Korea Selatan yang melakukan ekspansi kartu kredit pada awal
dasawarsa ini, perlu dicermati agar tidak lagi menimbulkan masalah karena negara
kita tidak akan mampu untuk melakukan rekap ulang perbankan. Kualitas kredit
korporasi juga tidak begitu baik, antara lain, tercermin dari permintaan pengurus
Bank Mandiri sekarang ini untuk dapat mengalihkan sebagian dari kredit mereka

6
yang bermasafah kepada Asset Management Unit, walaupun BPPN sudah berakhir
mulai 31 Desember 2004. Sisa asset BPPN yang belum terjual dialihkan kepada
Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Pembangunan pasar modal dan obligasi, untuk meningkatkan peranan obligasi dan
saham dalam pembelanjaan usaha, adalah jauh lebih sulit daripada untuk membangun industri
perbankan. Pembangunan pasar modal dan obligasi itu memerlukan peningkatan transparansi
dan akuntabilitas keuangan perusahaan yang mengeluarkan saham maupun obligasi ataupun
surat hutang lainnya. Pada gilirannya, ini menuntut kepastian hukum maupun sistem
akuntansi yang lebih baik agar dapat meng enforce kontrak usaha.
Dec 2003 June 2003 Dec
2004
Feb
2005
Total Aset
DPK (RpT)
Kredit (RpT)
Aktiva Produktif (RpT)
NII
LDR (%)
LDR Incremental (%)
ROA (%)
NPL Gross (%)
NPL Net (%)
CAR (%)
Kredit / AP (%)
BOPO (%)
1.196,2
888,6
477,2
1.072,4
3,2
43,2
126,7
2,5
8,2
3,0
19,4
44,5
88,8
1.185,7
912,8
528,7
1.102,8
5,4
46,4
143,3
2,7
7,6
2,1
20,9
47,9
87,0
1.273,1
963,1
595,1
1.146,1
6,3
50,0
158,2
3,5
5,8
1,7
19,4
51,9
76,7
1.262,5
948,8
601,8
1.156,6
6,7
50,5
173,6
3,4
6,0
1,7
22,0
52,0
81,4
3. Dampak Fiskal Nasionalisasi Industri Perbankan Nasional
Impilikasi dari kebijakan Pemerintah untuk menasionalisir saham dan kerugian
industri perbankan telah menimbulkan beban fiskal yang tercermin pada peningkatan stok
hutangnya maupun kenaikan beban keuangan negara untuk membayar bunga hutang. Karena

7
Pemerintah Indonesia tidak kaya2, ia hanya mampu menambah modal bank dan mengambil
alih kerugian mereka dengan mengeluarkan surat utang negara (SUN) atau obligasi. Untuk
membiayai penyehatan kondisi keuangan bank-bank dan dunia usaha nasional tersebut,
Pemerintah telah mengeluarkan SUN senilai Rp430,4 triliun (Tabel 3) atau sekitar 50 persen
dari nilai PDS kita pada tahun 1999. Oleh karena itu, stok hutang pemerintah telah meningkat
menjadi dua kali lipat menjadi sekitar 100 persen dari PDS pada tahun 1999.
Adanya suntikan dana pemerintah yang sangat besar pada industri perbankan dan
dunia usaha nasional menggambarkan akan besarnya komitmen Pemerintah Indonesia
untuk mengembangkan bank-bank nasional dan dunia usaha nasionalnya. Berbeda
dengan berbagai negara-negara lain, seperti New Zealand, Mexico dan Cheko,
Indonesia masih ingin punya bank nasional sendiri termasuk bank negara. Dewasa
ini, baik dilihat dari nilai aktiva dan maupun luas jaringan kantor cabangnya, industri
perbankan merupakan inti dari industri keuangan nasional Indonesia. Peranan
kelompok bank negara masih sangat dominan dalam industri perbankan nasional
tersebut. Oleh karena itu, sebagian terbesar dari hutang baru pemerintah adalah
digunakan oleh kelompok bank-bank milik negara.
Tabel3. Jumlah, Jenis dan Penerima Obligasi Pemerintah Yang Diterbitkan Pada Saat
Rekapttalisasi Perbankan 1998-1999
BANK FbcedRate.(FR) Variable Rate(VR) (B) TOTALBUMN 114.885.690.000.000 131249.000.000.000 36.807.310.000.000 282.942.000.000.000 Bank Mandiri 42.611000.000.000 108.749.000.000.000 26.640.000 178.000.000.000.000 Bank Negara 31.408.500.000.000 22.500.000.000.000 7.879.500. 61.788.000.000.000Bank Rakyat 29,149.000.000.000 29,149.000,000.000 Bank Tabungan 11.717.190.000.000 2.287,810, 11.717.190.0003.000 Swasta Nasional 17.970.953.000.000 18.931.437.000.000 36.902.390.000.000 BII 1.535.000.000.000 7.179.000.000.000 8.714,000,000.000Bank Lippo 1.144.000.000.000 6.585.237.000.000 7.729.237.000.000 Bank Universal 313.000.000.000 4.273.000.000.000 4.586.000.000.000 Bank Bukopin 129.000,000.000 251.800.000.000 380.800.000.000Bank Prima 47.000.000,000 486.400.000.000 533.400.000.000 Bank AlIa Media 22.000.000,000 108.000.000,000 130.000.000.000
Bank Patriot 4.000.000.000 48.000.000.000 52.000.000.000 2 Pada tahun 1997-1998, Pemerintah RRC menggunakan sebagian dari cadangan luar
negerinya untuk memperkuat modal bank-bank negaranya.

8
Bank Niaga 9.462.596.000.000 9,482596,000.000 Bank Bali 5.314.357.000.000 5.314.357.000.000BT01998 33.949.825.000.000 75.397.525.000.000 109.347.350.000.000 BankTiaraa Asia 345.177 .000.000 1.164.926.000.000 1.510.103.000.000 Bank Central Asia 2.752.316.000,000 58.124.684.000.000 60.877.000.000.000 Bank Oanamon 30.816,713.000.000 14.775.034.000000 45.591.747.000.000 Bank PDFCI 35.619.000.000 1.332.881.000.000 1.368.500.000,000 BPD 410.067.000.000 820.383.000.000 1.230.450.000.000 OKI Jakarta 89.526.000.000 83.169.000.000 172.695.000.000 Aceh 18.321.000.000 49.338.000.000 67.659.000.000 Sumalera Utara 70.980.000.000 231.891.000.000 302.871.000,000 Bengkulu 4.941.000.000 4.941.000.000 Lampung 8.895.000.000 2.375.000.000 11.270.000,000 JawaTengah 101.703.000.000 287.719.000.000 389.422.000,000 Jawa Tengah 61.149.000.000 61.149.000.000Kalimantan Barat 15,927.000.000 31.471,000.000 47.398.000.000 Sulawesi Utara 10.012.000.000 8.470.000.000 18.482.000.000 Maluku 14.085.000.000 125.458,000,000 139.543.000.000 NTB 14.062.000.000 492.000.000 14.554.000.000 NTT 486.000.000 466.000.000 TOTAL 167.216.535.000.000 226.398.345.000.000 36.807.310.000.000 430.422.190.000.000
Sumber: Bank Indonesia
Peningkatan beban pembayaran hutang negara telah menimbulkan masalah
struktural yang sangat serius pada keuangan negara (fiskal) Indonesia. Hampir
separuh dari pengeluaran negara (APBN) Indonesia Tahun 2004 hanya diserap oleh
tiga mata pengeluaran utama, yakni: kewajiban pembayaran hutang, subsidi Rp88
miliar dan pengeluaran untuk mengatasi perang saudara yang berkepanjangan dan
masih tetap marak di berbagai daerah.
Karena penerimaan pajak tidak dapat ditingkatkan sejalan dengan
pertumbuhan penggeluaran negara, Pemerintah menempuh tiga jenis strategi fiskal.
Strategi yang pertama adalah untuk membatasi defisit anggaran hingga 1-2 persen
dari PDB kita. Tujuannya adalah untuk mencegah adanya akumulasi hutang negara
yang berlebihan yang merupakan beban bagi generasi yang akan datang. Strategi
yang kedua adalah membatasi pengeluaran di luar ketiga jenis pengeluaran
pembayaran hutang, subsidi 88 miliar dan perang saudara yang disebut di atas.
Korban pengurangan anggaran terutama untuk pemeliharaan maupun pembangunan
infrastruktur fisik dan pengeluaran bagi perbaikan tingkat kesehatan serta pendidikan

9
rakyat. Gaji pegawai negeri dan anggota TNI, POLRI terus menerus mengalami erosi
karena kenaikannya tidak dapat mengimbangi kenaikan tingkat laju inflasi.
Memburuknya kondisi infrastruktur kita tercermin dari kualitas bus kota, pesawat
terbang, gerbong kereta api dan feri penyeberangan. Semuanya sudah tua, barang
rongsokan bekas pakai yang diimpor dari luar negeri. Karena pemerintah tidak
mampu untuk membeli peralatan baru. Selain mengganggu pemerataan distribusi
pendapatan strategi pemotongan anggaran negara seperti disebut di atas adalah
sekaligus mengorbankan potensi pertumbuhan perekonomian nasional.
Strategi pemerintah yang ketiga adalah tercermin pada cara pembelanjaan
defisit APBN tersebut. Dewasa ini, Indonesia semakin tergantung pada penjualan
obligasi di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Obligasi negara itu sangat
sensitif terhadap tingkat suku bunga dan tingkat laju inflasi di dalam maupun di luar
negeri serta pada kurs devisa kita. Sebagian dari defisit APBN itu ditutup melalui
penjualan asset negara, termasuk privatisasi BUMN maupun divestasi aset BPPN dan
PPA.
Karena cara pemotongan anggaran negara yang anti pemerataan dan sekaligus
anti pertumbuhan ekonomi tersebut di atas, kesulitan ekonomi tersebut di atas,
kesulitan ekonomi selama delapan tahun terakhir telah melemahkan sendi-sendi dasar
sistem sosial kita. Daya beli yang semakin merosot dan tingkat pengangguran tenaga
kerja yang semakin meningkat telah mulai mempengaruhi tatanan hidup kita
berbangsa dan bernegara, disiplin mengalami erosi dan manusia Indonesia menjadi
impulsif. Kita pun sudah mulai mengekspor pengangguran dan berbagai penyakit
sosial itu ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara tetangga.
Masalah fiskal yang bersifat struktural tidak dapat diatasi hanya dengan
sekedar meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional belaka. Politik burung onta
yang dijalankan oleh pemerintah selama delapan tahun terakhir, hanya sekedar
menunda masalah dan tidak akan menyelesaikan persoalan. Dari sisi penerimaan,
pemerintah menjalankan kebijakan yang mirip dengan sistem ijon, yakni, meminta
wajib pajak untuk melunasi kewajiban pembayaran pajaknya sebelum jatuh waktu.
Pada sisi pengeluarannya, Pemerintah menunda pembayaran kepada rekanannya.
Kebijakan seperti ini sangat mengganggu arus kas yang, pada gilirannya,
menimbulkan kesulitan likuiditas kepada wajib pajak. BUMN, seperti Pertamina,
terus menerus merugi dan menghadapi masalah arus kas yang serius karena terkena
kedua kebijakan anggaran pemerintah itu.

10
Perbaikan posisi fiskal Indonesia yang bersifat struktural dewasa ini hanya
dapat diatasi dengan mengintrodusi rangkaian kebijakan yang bersifat simultan. Di
sisi penerimaan, perlu dilakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan
penerimaan pajak. Mengingat masih lemahnya sistem hukum, sistem akuntansi
maupun sistem administrasi perpajakan nasional, seyogyanya sistem pajak yang ada
perlu disederhanakan dan mudah diterapkan dengan biaya yang relatif murah pula.
Contohnya adalah dengan menerapkan flat rate yakni satu tarif saja bagi pajak
pendapatan, baik pendapatan perorangan maupun bagi pendapatan badan usaha.
Secara bertahap, sistem administrasi perpajakan tersebut serta pelayanan pajak
semakin disempurnakan, sistem hukum maupun sistem akuntansi semakin diperbaiki
dan kesadaran masyarakat membayar pajak semakin ditingkatkan. Sementara itu,
penerimaan negara bukan pajak juga perlu semakin ditingkatkan.
Pada sisi pengeluaran, perlu diupayakan keringanan pembayaran hutang dalam
negeri maupun hutang luar negeri dan pengurangan subsidi BBM. Keringanan
pembayaran hutang luar negeri melalui jalur bilateral di luar Paris Club dan Program
IMF hanya dapat diupayakan jika Indonesia dapat memposisikan dirinya penting
dalam pertimbangan politik dan militer serta sosial negara-negara donor. Penundaan
pelunasan pokok hutang dalam negeri dapat dilakukan dengan reprofiling, gali lobang
tutup lobang. Berkurangnya pengeluaran militer setelah tercapainya perdamaian di
Provinsi NAD telah menambah kemampuan Pemerintah untuk membelanjai
keperluan pengeluaran lainnya.
4. Kegagalan restrukturalisasi industri perbankan Indonesia
Selain dari iklim usaha yang tidak mendukung, rendahnya investasi dunia
usaha nasional Indonesia selama delapan tahun terakhir, antara lain, adalah karena
lambannya proses restrukturalisasi industri perbankan maupun dunla usaha nasional.
Indonesia gagal dalam menjalankan program restrukturalisasi perbankan yang
disarankan oleh IMF pada masa krisis tahun 1997-1998. Sebagaimana telah diuraikan
pada Bagian 2, Program IMF itu tidak saja sekedar memperbaiki kondisi keuangan
industri perbankan itu saja. Aspek lain dari restrukturalisasi perbankan dalam
program IMF tersebut adalah untuk memperbaiki kinerja pengelolaannya maupun
kondisi ekonomi makro Indonesia. Dalam hal perbaikan kinerja pengelolaan
perbankan nasional dan perbaikan kondisi ekonomi makro itulah Indonesia gagal
total. Lambannya restrukturalisasi industri perbankan nasional telah mengganggu

11
pelaksanaan kebijakan moneter untuk memelihara stabilitas internal maupun eksternal
perekonomian. Lambatnya pemulihan kondisi industri perbankan itu sekaligus telah
menghambat proses intermediasi yakni mobilisasi dana bagi keperluan pembelanjaan
dunia usaha secara efisien.
Kegagalan Indonesia yang terbesar dalam program restrukturalisasi industri
perbankannya adalah dalam hal melakukan perubahan kinerja nonkeuangan industri
itu. Delapan tahun setelah berlalunya krisis, belum ada perubahan yang menonjol
dalam hal governance bank-bank nasionai, baik modus operansi, kinerja dan internal
kontrolnya. Governance bank-bank nasional belum banyak berubah, sama saja sebelum
dan setelah krisis maupun sebelum dan setelah go public. Demikian pula dengan
perilaku dan kinerja pimpinan dan karyawan bank-bank nasional. Bank-bank negara
dan BPD tidak lebih dari perpanjangan tangan birokrasi pemerintahan. Berbagai
pelanggaran BMPK menggambarkan bahwa bank-bank swasta nasional masih tetap
digunakan oleh pemiliknya untuk memobilisasi dana masyarakat bagi pembiayaan
kelompok perusahaan miliknya sendiri. Ini menggambarkan bahwa perilaku dan
kinerja bank-bank nasional belum dapat menyesuaikan diri seperti yang diharapkan
oleh bank-bank komersil.
Supervisi Meneg BUMN, RUPS, Komisaris, Komite Audit, dan Satuan
pengawas Internal tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kasus L/C fiktif Bank BNI
tahun 2003 sudah dicium oleh pengawas internalnya dan sudah dilaporkan kepada pengurus
bank itu. Ternyata pengurus bank tersebut tidak berbuat apa-apa dan menutup masalah dari
pantauan pemeriksa Bank Indonesia. Aturan prudensial sudah kita rubah dan dibuat mengacu
kepada aturan Basel, arsitektur perbankan sudah diciptakan dan semboyan pun sudah
dicanangkan agar bank-bank nasional dapat menjadi world class. Seperti halnya dengan di
negara lain, pengurus bank pun sudah diperlakukan seperti sopir taksi, diberi Iisensi
memimpin dan mengelola bank melalui fit and proper oleh Bank Indonesia. Tapi
pelaksanaan aturan prudensial maupun perwujudan fit and proper itu, sangat jauh dari
harapan. Inilah yang membedakan kita dengan di negara-negara lain yang juga mengalami
krisis perbankan negara-negara Skandinavia, Korea Selatan Thailand dan Malaysia.
Resistensi untuk melakukan perubahan internal mendasar tersebut bersumber dari
seluruh arah pemerintah, politisi maupun internal perbankan itu sendiri. Sama dengan pada
masa Orde Baru, ukuran sukses pimpinan bank-bank negara di Indonesia masih ditentukan
pada kepatuhannya pada pemilik saham dan bukan pada aturan main maupun indikator pasar
sebagai badan usaha tiga tahun y.l. Meneg BUMN, Kepala BPPN serta Direksi bankbank

12
termasuk bank-bank negara bersekongkol menentang aturan Bank Indonesia tentang
restrukturalisasi kredit bermasalah. Padahal aturan BI itu mengacu kepada the best
practices di seluruh dunia. Politisi pun ikut-ikutan untuk bersuara pada masalah-masalah
yang sangat teknis yang merupakan porsi otorita perbankan ataupun otorita manajemen bank
itu sendiri. Dengan biaya mahal, para bankir negara berupaya mempengaruihi opini publik
dengan menyewa pengamat murahan untuk menulis success story restrukturalisasi bank-bank
mereka.
Ternyata sekarang ini bahwa ketidak taatan atas aturan prudensial yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia justru telah merupakan akar masalah bagi memburuknya kondisi
keuangan bank-bank nasional. Kasus L/C fiktif di PT Bank BNI tahun 2003 dan
rangkaian skandal di banyak kantor cabangnya memberikan gambaran akan
kelemahan sistem pengendalian internalnya. Rangkaian kasus kredit PT Bank
Mandiri yang ditangani oleh Tipikor dewasa ini mencerminkan bahwa cara
pemberian kredit oleh bank-bank negara tidak banyak beda dengan pada masa
pemerintahan Orde Baru, bukan berdasarkan pertimbangan 4 c’s tapi atas dasar
politik dan KKN. Hal yang sama juga terjadi pada bank-bank negara lainnya BRI,
BTN, dan BPD. Ketidaktaatan BOB, Bank Asiatic maupun Bank Global pada aturan
BMPK dan aturan prudensial lainnya telah menyebabkan faktor penyebab
memburuknya kondisi keuangan bank-bank tersebut dan pencabutan ijin usahanya.
Pelanggaran BMPK oleh bankbank itu mencerminkan masih menyatunya
kepemilikan bank swasta dengan pengurusnya. Sementara pemilik bank swasta masih
menggunakan perusahaan fiktif untuk menggerogoti bank miliknya sendiri. Praktik-
praktik seperti ini belum sejalan dengan harapan good corporate governance maupun
oleh aturan prudensial Bank Indonesia.
Kegagalan restrukturalisasi perbankan nasional sekaligus tercermin pada
neraca bank-bank itu sendiri. Sebagaimana disebut di muka, modal, asset maupun
sumber pendapatan bank-bank nasional masih tetap bertumpu pada obligasi rekap.
Sebagaimana telah disebut di atas, Pemerintah RRC memberikan tambahan modal
bank negaranya pada tahun 1997-1998 dalam bentuk uang tunai dengan
menggunakan cadangan luar negerinya. Sebaliknya, di Indonesia yang tidak sekaya
RRC, tambahan modal itu hanya dapat diberikan dalam bentuk obligasi atau SUN
yang tidak likuid. Pemupukan modal dalam bentuk retained earnings terhambat
antara lain karena pemerintah perlu uang untuk menutup defisit dan pengurus minta
tantiem. Padahal, sumber penerimaan bank-bank negara itu adalah terutama

13
bersumber bukan dari kegiatan pemberian kredit maupun investasi. Pendapatan bank-
bank nasional selama delapan tahun terakhir ini adalah dari bunga obiligasi rekapnya
sendiri yang diperdagangkannya maupun bunga SBI serta Fasbi dan keuntungan dari
jual beli devisa.
Restrukturalisasi bank-bank negara merupakan porsi kewenangan Meneg
BUMN sebagai pemiliknya dan Bank Indonesia sebagai otoritas regulatornya, dan
bukan merupakan bidang tugas BPK. Bagaimana caranya merubah orientasi bank-
bank negara menjadi bank komersil betulan yang mampu bersaing di pasar yang
semakin ketat merupakan bidang tugas Meneg BUMN. Perlindungan pasar khusus
kepada bank nasional, utamanya kepada bank-bank negara, tidak lagi dibenarkan oleh
komitmen kita sendiri pada WTO. Bagaimana mengatur, mengawasi dan memaksakan
berlakunya aturan yang berlaku pada industri perbankan merupakan bidang kerja
Bank Indonesia. Sama dengan bank-bank lainnya, swasta nasional maupun asing,
bank Negara harus tunduk kepada aturan yang sama.
5. Peranan BPK dalam audit BUMN dan perbankan
Sebagaimana telah disebut di atas, BPK bukanlah otoritas moneter dan bukan
pula merupakan pemilik BUMN, termasuk bank-bank negara itu. Untuk menjawab
pertanyaan apa urusan BPK dengan kredit bermasalah, terutama milik bank-bank
negara perlu dilihat apa fungsi dan peranan BPK sebagai auditor keuangan negara dan
kaitan antara keuangan negara dengan pembukuan BUMN dan bank-bank.
Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya auditor
yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab setiap sen keuangan
negara dari mana pun sumbernya dan di mana pun disimpan atau dipergunakan.
Tujuan dari pokok dari audit BPK adalah untuk menegakkan transparansi dan
akuntabilitas fiskal sehingga membantu lembaga perwakilan rakyat menjalankan hak
bujetnya. Transparansi dan akuntabilitas fiskal sekaligus menguatkan fundamental
perekonomian nasional dan badan usaha kita, terutama BUMN dan BUMD.
Transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan elemen pokok demokrasi politik.
Transparansi dan akuntabilitas fiskal juga merupakan kunci untuk meniadakan rasa
cemburu dan keeurigaan antar sesama komponen bangsa kita. Rangkaian UU tentang

14
Keuangan Negara tahun 2003-20043 memperluas tugas BPK sehingga meneakup aidit
keuangan Pemda Tingkat II mulai tahun 2006.
Pimpinan BPK sekarang ini dilantik tanggal 3 Desember 2004. Pada masa
jabatannya sekarang ini, pimpinan BPK ingin mengimplementasikan amanat UUD
1945 dengan (a) meningkatkan kualitas audit BPK (b) memperluas objek
pemeriksaannya dan (c) menuntut independensi dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam
hal kualitas pekerjaan audit, BPK akan meneruskan dan mengintensipkan audit
investigasi dan fraud audit, yang telah dirintis sebelumnya diawali dengan audit
BLBI. Audit secara umum dan dangkal yang dilakukan di masa lalu, karena BPK
hanya merupakan tukang stempel penguasa, telah menjadi sumber bencana dan
malapetaka nasional. Laporan keuangan dan laporan audit tidak ada nilainya untuk
melakukan antisipasi maupun dasar bagi pengambilan keputusan. Akibatnya, kita
semua, termasuk wong cilik yang tidak berdosa, ikut menderita karena buruknya
sistem hukum dan sistem akuntansi sehingga laporan keuangan dan dan nasabahnya
tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
BPK sekarang ini juga menginginkan adanya independensi dalam pemilihan
objek pemeriksaannya dan dalam menentukan kebijakan, prosedur serta metoda
pemeriksaan maupun dalam menyusun laporan auditnya. Artinya, BPK menginginkan
kebebasan dari pengaruh intervensi cabang-cabang pemerintahan eksekutif, judikatif
maupun legislatif.
Memenuhi amanat konstitusi, Pimpinan BPK sekarang ini menginginkan untuk dapat
memperluas objek pemeriksaannya, baik pada sisi pengeluaran maupun sisi penerimaan
neraca keuangan negara serta pada stok hutang maupun piutangnya. Untuk itu diperlukan
koreksi Undang-Undang maupun kebijakan Pemerintah yang masih menghambat. Undang-
Undang itu, a.1. berupa UU Perseroan dan BUMN, UU Pajak, UU tentang Yayasan
berdasarkan dalih lex specialis, yang ternyata hanya menutupi kecurangan. Pada era Orde
Baru, objek pemeriksaan BPK hanya terbatas pada beberapa objek pada sisi pengeluaran
negara saja. Pada waktu itu, Bank Indonesia, Pertamina dan bank-bank negara, misalnya,
diaudit oleh BPKP yang merupakan auditor internal Pemerintah. Penerimaan pajak dan
penerimaan negara bukan pajak tidak pemah diaudit secara serius oleh BPK.
Perluasan objek pemeriksaan BPK juga mengacu kepada pengalaman yang kita timba
3 Ketiga paket UU keuangan Negara itu adalah (i) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan (iii) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan TAnggung Jawab Keuangan Negara.

15
dari krisis 1997-1998. Pelajaran pertama, sebagaimana telah disebut di atas, bahwa kerugian
bank-bank rekap, bank negara atau bukan, merupakan contingent liabilities keuangan negara
karena bank-bank tersebut tidak boleh bangkrut. Sebagaimana telah disebut di atas, hutang
negara bertambah 100% pada tahun 1998 adalah semata-mata untuk merekap bank-bank
nasional tersebut. Pelajaran yang kedua adalah bahwa induk organisasi pemerintah dan
BUMN dirongrong melalui rangkaian perusahaan satelitnya, apakah berupa anak-anak
perusahaan, yayasan maupun dana pensiunnya. Oleh karena itu, pemeriksaan BPK kepada
sesuatu objek akan dilakukan secara consolidated dengan mengaudit semua lembaga dan
badan usaha yang terkait dengannya.
6. Prioritas pemeriksaan BPK
Kemampuan BPK pada saat ini masih jauh dari harapan. Keterbatasan BPK
tercermin pada jumlah dan mutu SDM BPK, peralatan, anggaran maupun jaringan
kantornya yang jauh di bawah auditor internal Pemerintah (Tabel 4). Di masa lalu,
hanya auditor internal pemerintah, utamanya BPKP, yang memanfaatkan penggunaan
dana pinjaman Bank Dunia untuk pendidikan akuntan. Apakah karena gajinya yang
kecil maupun karena alasan lainnya, moral auditor BPK pun tidak beda dengan
perilaku auditor lainnya: mau terima sogok organisasi, tambahan personil, peralatan,
gedung kantor BPK dikontrol ketat oleh Pemerintah melalui Menpan sedangkan
anggarannya merupakan bagian dari APBN biasa ataupun diperoleh dari auditee.
Sesuai dengan tersedianya tambahan anggaran dari sumber APBN, mulai tahun 2006,
BPK akan meniadakan perolehan biaya pemeriksaan dari pihak auditee. Idealnya,
mengikuti negara-negara lain, anggaran BPK itu adalah bagian dari anggaran DPR.
Hingga kini, BPK baru memiliki kantor perwakilan di sembilan ibukota
provinsi, yakni di Banda Aceh, Medan, Palembang, Jakarta, Yogyakarta,
Banjarmasin, Denpasar, Ujung Pandang dan Jayapura. Pada tahun 2005 direncanakan
BPK akan membuka lima kantor perwakilan baru di Pakanbaru, Bandung, Surabaya,
Pontianak dan Manado. Kantor di Banda Aceh dapat dibuka dengan bantuan
keuangan Bank Pembangunan Asia untuk menyewa gedung kantor dan membeli
peralatan kantor. Kantor-kantor di Jakarta dan di lima kota lain yang akan dibuka itu
memperoleh pinjaman gedung kantor dari Pemda setempat.
Dalam menghadapi keterbatasan kemampuan di atas, Pimpinan BPK
dewasa ini menempuh dua jenis kebijakan. Pertama, menetapkan prioritas
objek pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK sendiri. Prioritas utama

16
diberikan kepada objek-objek yang paling memberati pengeluaran negara.
Prioritas kedua diberikan kepada objek-objek yang menyangkut
kehidupan Rakyat banyalk. Prioritas ketigar adalah objek-objek yang
secara pclitik sangat sensitif. Objek-objek lainnya merupakan prioritas
berikutnya. Dalarn prioritas utama itu termasuk bank-bank negara serta
Pertamina karena pengeluaran pembayaran hutang dan subsidi telah
menelan lebih dari sepertiga pengeluaran negara. Sebagaimana telah
disebut di atas, beban pembayaran hutang meningkat sejalan dengan
kenaikan tingkat suku bunga dan tingkat laju inflasi serta pelemahan kurs
devisa maupun harga minyak mentah yang tinggi dewasa ini. Termasuk
juga prioritas pertama adalah audit Departemen Kesehatan dan
Pendidikan Nasional, KPU serta Dana Abadi Umat milik para jemaah
haji.
Kebijakan yang kedua adalah untuk menyerahkan pelaksanaan audit
instansi pemerintahr BUMN dan BUMD kepada Kantor Akuntan Publik
(KAP) maupun auditor internal pemerintah menurut standar yang
ditetapkan oleh BPK. Untuk melaksanakan ini, BPK sebagai otorita
pemeriksa keuangan negara ingin memiliki independensi legislasi.
Artinya, BPK punya kewenang,ln untuk menguji dan mengambil sumpah
KAP yang diberi kewenaganan untuk memeriksa pembukuan sektor
negarar termasuk BUMN dan BUMD.
Tabel 4. Daftar Data Perbandingan BPK RI dengan
BPKP (per 1 Juli 2005)
Uraian BPKRI BPKP Keterangan Pegawai: 2.850 7.600* *Sebanyak ± 400 orang pindah ke MenPAN/dalam lingkungan Deputy Akuntabilitas a) - Administrasi 418 2.200 - Teknis/Auditor 2.382 5.000
b)Jenjang Pendidikan:

17
-SMA 644 376 - D3 132 1.102 - S1 1.754 5.110
S2 319 602
- 83 I 10
- Jumlah Kantor 9* 25 *Termasuk Perwakilan NAD
- Luas Gedung 3.471 m2 -
Peralatan kantor : 1.202 2.400 Komputer (pC clan
Notebook)
Transportasi (kendaraan 136 210 empat)
Anggaran Rp.273 M* Rp. 421 M *Termasuk bantuan luar negeri Rp. 18 M.
7. Kaitan BPK dengan penegak hukum
Hal lain yang barangkali mengganggu pikiran para bankir adalah
apakah secara bergiliran pimpinan BUMN dan para bankir, utamanya
pimpinan bank sentral maupun bank-bank negara, akan diserahkan oleh
BPK untuk diproses oleh Polisi, KPK maupun Tipikor? Untuk menjawab
pertanyaan ini, patut diketahui bahwa BPK bukan merupakan bagian dari
penegak hukum yang melakukan upaya pemberantasan korupsi dan BPK
adalah tidak bekerja bagi keperluan mereka. Namun demikian, perlu
diketahui bahwa BPK diwajibkan oleh undang-undang untuk
menyerahkan laporan auditnya kepada DPR dan DPRD, sebagai
pemegang hak bujet. Dewasa ini, BPK pun wajib menyerahkan laporan
auditnya itu kepada DPD. Temuan-temuan yang mengandung unsur
pidana wajib diserahkan oleh BPK kepada penegak hokum Polisi,
kejaksaan dan KPK. Undang-Undang pun mewajibkan BPK untuk
memuat laporan auditnya di website agar dapat diketahui secara luas oleh
masyarakat dan sekaligus memberikan kesempatan kepada masyarakat

18
untuk menguji mutu dan keabsahan auditnya itu.
Temuan-temuan BPK ditindak lanjuti oleh auditee sendiri yang melakukan
koreksi sesuai dengan rekomendasi BPK. Melalui hak legislasinya DPR dan DPRD
berwenang untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK. Proses penindakan hukum
merupakan kewenangan Polisi, Jaksa, KPK serta peradilan dan bukan BPK. Dari
pihak BPK, masalah BLBI, misalnya, sudah selesai lima tahun yang lalu BPK sama
sekali tidak berperan dan berwenang untuk membuka ulang kasus lama ataupun
menghentikannya. Yang dapat kita pantau hanyalah bahwa Pemerintahan SBY-MJK
sekarang ini, nampaknya lebih serius dalam memberantas KKN dibandingkan dengan
pemerintahan sebelumnya. Oleh karena itulah mengapa kejaksaan, Polri dan KPK
lebih sibuk sekarang ini dalam upaya pemberantasan korupsi daripada di masa lalu.

1
Cost Recovery dalam Kontrak Production Sharing Migas dan Gas Bumi
di Indonesia1
1.Peranan sektor migas dalam perekonomian Indonesia
Sebagaimana diketahui, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Tadinya Indonesia merupakan negara
pengekspor neto minyak maupun gas bumi. Kini Indonesia merupakan pengimpor
neto minyak bumi karena produksi nasional sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan
nasional. Di lain pihak, Indonesia dewasa ini merupakan salah satu produsen dan
eksportir gas alam terbesar di dunia.
Hampir seluruh kegiatan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia
dilakukan oleh perusahaan asing. Karena terus menerus dilanda KKN, peranan
Pertamina dalam ekplorasi dan penambangan migas jauh tertinggal dari perusahaan
yang lebih muda seperti Petronas dan Citic. Karena pemberian hak monopoli, peranan
Pertamina yang menonjol hanya pada pengilangan dan distribusi di dalam negeri.
Karena keterbatasan modal, keahlian dan pengalaman, keikut sertaan perusahaan
swasta nasional dalam eksplorasi dan penambangan minyak baru pada tahap awal.
Kasus semburan lumpur di Sidoarjo menggambarkan keterbatasan perusahaan swasta
nasional dalam ekplorasi dan eksploitasi migas.
Walaupun sumbangan industri atau sektor minyak dan gas bumi terhadap
perekonomian Indonesia sudah semakin menurun dibandingkan dengan masa jayanya
pada dasawarsa 1973-1983, peranannya masih tetap penting. Pada 2004, sebesar 9,3
dari PDB Indonesia adalah bersumber dari sektor itu. Hampir seperempat dari nilai
ekspor Indonesia adalah berupa ekspor minyak dan gas bumi. Minyak dan gas bumi
sekaligus merupakan penyumbang utama bagi penerimaan negara. Hampir seperlima
dari pajak penghasilan adalah dipungut dari sektor ini. Dengan demikian, hampir 9%
dari Pajak Dalam Negeri, 8% dari Penerimaan Perpajakan dan hampir 6% dari
Penerimaan Negara dan Hibah adalah berasal dari migas dan gas bumi. Penerimaan
negara dari perusahaan penambangan migas adalah diterima dalam bentuk mata uang
US Dollar, dalam mata uang mana komoditi migas pada umumnya diperdagangkan di
1 Makalah untuk Seminar “Cost Recovery: Daya Tarik Investasi Atau Beban Bagi Negara”, Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti, Senin, 11 Juni 2007, pukul 10:00-14:00, Ruang Seminar Gedung D, Lantai 8, Universitas Triksakti, Jakarta.

2
pasar dunia. Oleh karena itu, penerimaan negara dari migas sekaligus menutup defisit
anggarannya maupun defisit neraca pembayaran luar negeri. Dengan demikian
jelaslah bahwa kenaikan harga, maupun produksi migas serta perolehan negara dari
industri migas, sangat menentukan bagi perekonomian Indonesia.
2. Sekilas tentang kontrak bagi hasil (Production Sharing)
Sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia adalah didasarkan pada
Kontrak Bagi Hasil (PSC-Production Sharing Contract). Pada masa itu, berdasarkan
UU No 8 Tahun 1971, tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara, Pertamina ditunjuk oleh Pemerintah untuk mewakilinya dalam melakukan
kontrak dengan pengusaha migas, yang pada umumnya merupakan perusahaan asing.
Artinya, untuk dan atas nama pemerintah, Pertamina melakukan kontrak dengan
perusahaan asing dan sekaligus mengawasi pelaksanaan kontrak tersebut.
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merubah PSC menjadi
Kontrak Kerjasama (KKKS). Undang-Undang ini sekaligus mengalihkan pengelolaan
kontrak dengan perusahaan pertambangan dari Pertamina kepada Badan Pelaksana
Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2002, BPMIGAS merupakan aparat pemerintah.
Dalam PSC, Pemerintah (c.q. Pertamina) membagi hasil produksi bersih
menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi bersih merupakan selisih antara
hasil penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya pokok atau biaya operasinya.
Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh pemerintah dengan kontraktor migas
disebut sebagai Equity to be Split (ETBS). Perhitungan bagi hasil antara pemerintah
dengan perusahaan migas itu dilakukan setiap tahun. Pada hakikatnya, biaya operasi
yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC adalah diganti atau ditanggung oleh
pemerintah. Kontraktor membayar terlebih dahulu (menalangi) nilai pengeluaran
untuk biaya operasi tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib
menyediakan teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan
eksploitasi migas tersebut dan menanggung semua risiko yang timbul daripadanya.
Penggantian biaya operasi oleh Pemerintah tersebut dalam perhitungan bagi hasil
disebut sebagai Cost Recovery.
3. Realisasi PCS tahun 2001-2005

3
Sebagaimana telah disebut di atas, pendapatan yang diperhitungkan dalam
perhitungan bagi hasil adalah nilai pendapatan yang merupakan nilai produksi
atau lifting yang biasanya merupakan nilai pengiriman/ penyerahan baik ekspor
maupun domestik dari minyak dan gas bumi. Sementara itu, jumlah biaya yang
merupakan cost recoverable selama tahun tertentu terdiri dari:
1. Insentif Investment Credit. Investment Credit adalah insentif yang diberikan oleh
pemerintah kepada kontraktor untuk merangsang kontraktor menambah
investasinya. Insentif diberikan berupa pengembalian (recovery) sejumlah nilai
tertentu (biasanya sebesar prosentase tertentu yang ditetapkan dalam kontrak)
dari investasi yang langsung berhubungan dengan pembangunan fasilitas
produksi migas (direct production oil/ gas facilities).
2. Cost Recovery (CR) yang merupakan biaya operasi yang dimintakan
penggantiannya yang terdiri atas biaya eksplorasi, biaya produksi (termasuk
penyusutan), dan biaya administrasi (termasuk interest recovery)
Seperti yang telah diuraikan di atas, perbedaan antara pendapatan
penjualan lifting dengan cost recoverable merupakan ETBS yang dibagi antara
Pemerintah dengan perusahaan migas berdasarkan kontrak perjanjian PSC.
Tabel 1 menggambarkan realisasi perhitungan bagi hasil operasi minyak
bumi selama periode 2001-2005. Tabel 2 mencerminkan realisasi perhitungan
bagi hasil operasi gas alam dalam periode yang sama. Kedua tabel itu
menguraikan besarnya volume lifting kedua komoditi itu, hasil penjualan
produksi, cost recovery maupun ETBS serta pembagiannya antara pemerintah dan
perusahaan migas.
Tabel 1 Perhitungan Bagi Hasil dari Operasi Minyak Bumi (Oil
Operation)

4
Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005
Lifting Ribu Barrels (MBBL) 436.402 407.136 367.835 337.070 364.375 Revenue (US$000) 10.305.587 10.009.023 10.557.198 12.354.540 19.203.739Cost Recovery (US$000) 2.729.609 3.055.054 3.177.983 3.181.713 4.358.532 ETBS (US$000) 7.575.978 6.953.969 7.379.215 9.172.827 14.845.207
Government Share (US$000) 6.599.327 6.288.679 6.691.213 8.267.043 13.015.574Contractor Share (US$000) 976.651 665.290 688.002 905.784 1.829.633 Sumber: Diolah dari Laporan BPMIGAS.
Tabel 2. Perhitungan Bagi Hasil dari Operasi Gas Bumi (Gas
Operation)
Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 Lifting (MMCF) 1.647.490 1.828.467 1.967.690 1.804.121 2.209.755 Revenue (US$000) 6.207.247 6.655.897 7.972.673 9.695.570 13.163.254Cost Recovery (US$000) 1.618.290 2.004.971 2.339.369 2.421.366 3.324.978 ETBS (US$000) 4.588.957 4.650.926 5.633.304 7.274.204 9.838.276
Government Share (US$000) 3.504.436 3.343.972 4.154.172 5.204.324 6.905.977 Contractor Share (US$000) 1.084.521 1.306.954 1.479.132 2.069.880 2.932.299 Sumber: Diolah dari Laporan BPMIGAS.
Tabel 1 dan 2 menggambarkan adanya kenaikan nilai pendapatan negara dari
penambangan minyak dan gas bumi selama periode 2001-2005. Sumber utama dari
kenaikan peneriman itu adalah akibat dari kenaikan harga kedua komoditi itu di pasar
dunia. Kedua Tabel itu menggambarkan bahwa kenaikan volume lifting minyak dan
gas bumi tidak begitu besar. Lambatnya kenaikan produksi migas itu, antara lain
adalah karena lambatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas karena adanya
gangguan pada stabilitas nasional sejak terjadinya krisis perekonomian nasional tahun
1997-1998.
4.Berbagai masalah dalam penerapan konsep Cost Recovery

5
Berbagai konsep dalam perpajakan2 dapat digunakan untuk menganalisis
konsep cost recovery yang dipergunakan dalam industri minyak dan gas bumi di
Indonesia. Konsep-konsep itu adalah upaya untuk menghindari pembayaran pajak (tax
avoidance) ataupun menggelapkannya (tax evasion), ketidaktaatan akan aturan pajak
(noncompliace), laporan atas pendapatan yang terlalu rendah (missreporting) maupun
perhitungan biaya (recoverable cost) yang lebih tinggi. Termasuk dalam kelompok
penerimaan adalah pemasaran serta harga dan transfer pricing atas penjualan kepada
anak ataupun induk perusahaan di luar negeri. Di lain pihak, pengadaan dari anak
perusahaan sendiri menggunakan tingkat harga yang lebih tinggi daripada harga pasar
(over pricing). Sebagian dari masalah ini adalah tergantung pada penafsiran atas hal-
hal yang tidak diperhitungkan atau dikecualikan (exemptions) dalam perhitungan
besarnya beban pajak ataupun komponen yang dapat dikurangkan (deductions) dari
perhitungan beban itu.
Dengan menggunakan konsep perpajakan itu, dapatlah disimpulkan bahwa
perlu diperhatikan berbagai hal-hal berikut dalam mendesain maupun mengontrol
pelaksanaan cost recovery. Pertama, laporan tentang produksi (lifting) minyak dan gas
bumi. Kedua, bagaimana pemasaran produk itu, tingkat harga serta kemungkinan
adanya transfer pricing. Ketiga, apa komponen yang masuk dalam perhitungan biaya.
Keempat, apakah tidak ada over priving dari supplier milik sendiri?
Kelima, komponen apa saja yang dapat dikecualikan (exemptions) dalam
menghitung biaya. Keenam, komponern apa saja yang dapat dikeluarkan
(deductables) dari perhitungan biaya. Jika perhitungan itu tidak cermat dan
definisinya tidak tegas, dapat merugikan pemerintah atau perusahaan migas. Di satu
pihak, biaya yang dapat dibayar kembali (recoverable) itu seyogyanya dapat
memberikan insentif bagi perusahaan migas untuk melakukan kegiatan usahanya
dengan risiko tinggi itu. Di lain pihak, biaya produksi yang tidak rasional akan
mengurangi ETBS sehingga mengurangi porsi yang akan dibagi oleh pemerintah
dengan perusahaan migas. Dalam biaya produksi yang terlalu tinggi itu, perusahaan
sudah mengambil keuntungan terlebih dahulu yang disembunyikan dalam bentuk
biaya. Praktik seperti ini akan merugikan pemerintah akan rugi walaupun porsi
pembagian ETBS kepada negara cukup besar.
2 Lihat, misalnya, Joel Slemrod, 2007. “Cheating Ourselves: The Economics of Tax Evasion”. dan Michael J. Graetz, 2007, “Tax Reform Unraveling”. Keduanya ada dalam The Journal of Economic Perspectives Vol. 21, No. 1, Winter, masing-masing pada halaman 25-48 dan 69-1990.

6
5.Temuan BPK-RI selama periode 2004-2005
Hasil Pemeriksaan BPK-RI atas Cost Recovery beberapa KKKS untuk tahun
buku 2004 dan 2005 mencerminkan masih perlunya peningkatan kontrol BPMIGAS
dan Departemen ESDM pada implementasi cost recovery. Hasil Pemeriksaan itu
sudah disampaikan ke DPR-RI per 8 Augustus 2006. Nilai seluruh Temuan
Pemeriksaan BPK itu lebih dari Rp14,20 Triliun. Jumlah ini merupakan nilai koreksi
pengurangan cost recovery yang direkomendasikan oleh BPK-RI untuk perhitungan
bagi hasil sesuai kontrak PSC pada lima KKKS tersebut di atas. Cost recoverable
yang terlalu tinggi itu telah mengurangi porsi pemerintah atas penambangan minyak
dan gas bumi. Memenuhi permintaan DPR, dewasa ini, BPK-RI juga tengah
menyelesaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak PSC tahun 2005
pada beberapa KKKS lainnya.
Temuan BPK-RI atas pelaksanaan kontrak PSC terutama menyangkut nilai
cost recoverable yang terdiri dari insentif dan cost recovery umumnya terjadi karena:
i. Adanya pasal-pasal terbuka yang mencerminkan adanya aturan yang sangat
longgar mengenai biaya-biaya yang dapat diperhitungkan dalam cost recovery,
termasuk deductions serta exemptions.
ii. Adanya pasal tertentu yang terkesan “saling bertentangan” satu sama lain. Hal ini
dapat dilihat dari pasal dalam kontrak PSC (induk) yang mengatur tidak dapat
dibebankannya biaya bunga ke dalam biaya operasi, namun dalam lampiran
kontrak PSC (yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kontrak PSC/ induk)
membolehkan pembebanan biaya bunga ke dalam biaya operasi dalam rangka
cost recovery.
6. Saran
Pemerintah, khususnya BPMIGAS, memerlukan ahli hukum pertambangan
migas yang handal, ahli teknik yang piawai serta akuntan yang prima untuk dapat
menyempurnakan dan mengawasi pelaksanaan konsep-konsep yang berkaitan dengan
cost recovery maupun untuk menerapkannya. Koreksi itu, adalah, antara lain berupa
upaya pencegahan dan pengendalian sebagai berikut:
a. Mengaktifkan fungsi perencanaan, penganggaran, monitoring, dan
pengendalian kegiatan yang dilakukan oleh KKKS melalui persetujuan kegiatan

7
berbentuk Work Program and Budget (WP&B) dan Authorization For
Expenditure (AFE) oleh BPMIGAS. Pengendalian ini akan lebih efektif apabila
di internal BPMIGAS telah berjalan suatu kebijakan dan prosedur yang
memadai agar tujuan pengendalian dapat tercapai dalam rangka pengendalian
finansial operasi KKKS;
b. Mengambil tindakan korektip berupa kegiatan pemeriksaan off-site maupun on-
side, baik yang dilakukan oleh BPMIGAS dan Pemerintah RI maupun oleh
Badan Pemeriksa Keuangan;
c. Mengawasi jumlah dan jenis produksi (lifting), distribusi serta pemasaran
maupun kewajaran harganya;
d. Memperjelas komponen perhitungan biaya dan definisinya secara rinci;
e. Memperjelas apa yang disebut dengan exemptions beserta definisinya;
f. Memperjelas komponen deductibles beserta definisinya.

1
Accountability for and Audit of Tsunami-related Aid:
Indonesian Experience 1
1. Background The Indian Ocean tsunami that occurred on 26 December 2004 had three unique,
international features. First, it was the world’s first global natural disaster, covering
countries in two continents, Asia and Africa, on the rim of the Indian Ocean. Second,
thanks to prompt and wide news coverage, the response to the disaster has been global in
a way rarely seen before. Indonesia, like other tsunami hit countries, immediately
received donations and technical assistance from public and private sources around the
world. Third, the value of assistances provided by private sector, both corporate donors
and NGOs during the emergency phase was much bigger than that of public sector.
The tsunami was spawned by a magnitude 9.0 earthquake that happened at 8 AM
local time in deep seas off west coast of Sumatra around 150 km from the city of
Meulaboh2. The earthquake set off a string of powerful tidal waves, radiated at speeds of
up to 800 km per hour across Indian Ocean, that caused one of the worst natural disasters
in recorded human history. The destructions were magnified as environmental
degradation in Aceh began long before the tsunami. Zoning was not properly followed,
building codes were not strictly implemented and environmental regulations were
disregarded. Meanwhile, the traditional exercise to immediately rush to higher ground
right after a powerful earthquake and receding sea water is no longer practiced.
The combined destructive earthquake and tsunami caused not only loss of
people’s life but also the collapse of the economic, social, and government infrastructure
of those areas. Out of 157,314 people were dead or missing during the disaster, 110.229
people killed in Indonesia alone and virtually everyone suffered immensely through the 1 A paper prepared for International Symposium on Strengthening Global Government Audit: The Contribution of the International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), as illustrated by the Audit of Tsunami Relief Funds, Vienna, 20 June 2006 . 2 Sits on the world’s most active tectonic Australian and Eurasian Plates and the Pacific Ring of Fire, the Indonesian Archipelago is prone to both earthquakes and volcanic eruptions. Indonesia has 76 active volcanos, the highest number in the world. The quake in Yogyakarta on June 3, 2006, with a magnitude of 6.3, took 5,857 lives, caused 37,229 injuries, destroyed 84,643 houses, and damaged 323,282 houses. Prior to the quake, it was expected eruption of Mount Merapi, a towering 3,000 meter high volcano just north of the epicenter of the quake that has been active for sometime.

2
loss of friends, relatives, and livelihoods. Around 120,000 houses damaged, 2,663
bridges destroyed, 2,112 schools collapsed and over 60,000 hectares of agriculture land
was either damaged or contaminated by salted sea water. The damage and loss, it was
estimated, to be US$4,5 billion.
2. Government Responses
The handling of the tsunami in Indonesia has two it own unique characteristics.
The first characteristic is because the Indonesian government adopted an open policy to
overcome its own limited capacity. Second, because the government used the disaster as
a catalyst to end the long period of nearly 30 year military conflict with the local
separatist group for restoring peace in Aceh.
2.1. Relief Phase
When the disaster struck, Indonesia was unprepared to cope with such unexpected
natural disaster of that scale. The Government of Indonesia quickly declared a national
disaster on the same day the calamity occurred. The government did not have a strong
and well functioning organization for mobilizing the needed resources at both national
and local levels. Local capacities in Aceh was further weakened by the long period of
nearly 30 years of civil war and destruction of government infrastructures by the national
calamity. Meanwhile, an internal control system was yet to be developed.
The Bakornas, the National Coordination Agency for Mitigation and Refugee
Management, a government agency with responsibility to coordinate the management of
disasters and refugees during the relief phase, did not perform adequately. This is because
it lack of authority, budget and equipments. The Vice President, acting as the Head of
Bakornas PBP, rushed to Banda Aceh to lead the rescue operation, and brought with him
much-needed supplies and medical team. At the national level, the functions of Bakornas
were taken over by another organization, the National Team to Deal with Disaster
Management of Aceh and Nias (Tim Nasional Penanganan Bencana Aceh dan Nias) that
was established right after the disaster struck. Implementation at the local level was
coordinated by the Implementing Units (Satkorlak).
To overcome weak domestic capacity, the Government adopted an open policy.
The government welcomed participations of foreign government agencies and troops,
multilateral organizations and international NGOs to extend assistance to the victims in

3
the locations of their liking, the groups of people they prefer and in the sector of their
own choices.
A great number of official, military and rescue units and private domestic
agencies and international organizations and NGOs (Appendix 1) worked hand in hand
to rebuild the physical and human infrastructure needs as well as lives and communities,
particularly among those who have lost their loved ones, homes, jobs, and meager assets.
Foreign troops from eighteen countries were allowed to bring in their state-of-the-art
machines of war to perform valuable humanitarian rescue operations. The rescue
operation in Aceh may be the largest noncombat military operation since World War II.
The open policy serves two purposes. First, it has greatly improved the delivery of
the assistance to the needy, including the rebels who have also been suffering from the
same natural disaster. The second objective of the open policy has been to enhance
transparency and accountability. By adopting this policy, we adopt the saying: “sun light
is the best disinfectant to kill germs” in practice. The open policy has not been limited
only to the relief phase, but also continues into the recovery and reconstruction phase.
During the relief phase, ended on 26 March 2005, the Government of Indonesia
mobilized funds from general public, state-owned enterprises, and local governments
through nearly 1,200 state-sponsored collecting agencies (Pos Pengumpul) scattered all
over the country. The agencies, however, were not properly linked and coordinated with
both the Satkorlak and the Bakornas. As a result, some of the funds were used and
retained by themselves and not transferred to the centralized funds controlled and
administered by the Ministry of Finance. Some of the aid provided by the collecting
agencies was improperly distributed and did not meet the intended purposes.
Indonesian Government-channeled aid to Aceh and Nias during the relief phase
was estimated to reach Rp2,658 trillion (or $265.8 million at the exchange rate Rp10,000
to the dollar) and of this Rp1,9 trillion ($190 million) came from government budget and
Rp758 billion ($78.8 million) raised by the government collecting agencies. The budget
funds were directly channeled through 11 Ministries and Agencies directly involved in
relief efforts3. The Ministry of Public Works was in charge of activities for land clearing, 3 These are Office of the Vice President, the Office of the Coordinating Minister for Social Welfare, the Ministry of Public Works, the Ministry of Social Affairs, the Ministry of Health, the Ministry of National

4
building, repairing bridges, roads and building temporary shelters. The Ministry of Social
Affairs provided the essential for survivals, such as food, drinking water and clothes. The
Ministry of Health provided medicine and helped to prevent the spread of communicable
diseases. The Ministry of Education set up temporary schools and provided learning
materials. The task to find the missing, identify and bury those who did not survive were
jointly performed by the armed forces, the police, volunteers, NGOs and local
communities. The relief phase, focusing on humanitarian activities to save lives, bury
those who did not survive and prevent further ensuing disaster such as the outbreak of
communicable diseases.
2.2. Rehabilitation and Reconstruction Phase
To speed-up the recovery process in Aceh and Nias, the government developed a
master plan with two critical elements. The first was to establish the BRR (Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias), the Agency for Rehabilitation and
Reconstruction of Aceh and Nias on 30 April 2005 with Government Decree
2/2005(which later became Law 10/2005). BRR is a ministerial level institution to
provide leadership of the recovery and rebuilding process. The second role of the BRR is
to coordinate community-driven recovery and reconstruction programs performed by
both domestic and foreign institutions in the tsunami hit areas of Aceh and Nias. Head
Office of the BRR is located in Banda Aceh, the capital city of Aceh Province, with
branch offices in both Aceh and Nias and a representative office in Jakarta. The BRR is
scheduled to operate throughout the recovery and reconstruction process until 2009.
The recovery and reconstruction process is now more feasible with the end of
military conflict and restoration of peace in the Province of Aceh. Mediated by the
former President of Finland, Martti Ahtisaari, the government signed a peace agreement
with the separatist group of Aceh in Helsinki on August 15, 2005, ending a civil war that
had been raging for nearly 30 years.
Education, the Ministry of Defense, the Ministry of Home Affairs and the Financial and Development Supervisory Agency (BPKP)

5
3. Aid during Relief, Rehabilitation and Reconstruction Phases
The cost of rehabilitation and construction of the tsunami-affected regions is estimated to
US$6 billion. As shown in Table 1, 96 percent of assistances to these regions came from
international community both from the public sector as well as from the private sector. It
is also interesting to note that private donations from international community to the
tsunami affected areas surpassed the sizable government aid commitments and for the
first time corporate donors figured prominently among private donors. Over one hundred
international NGOs and many local NGOs, now are operating in Aceh and Nias. In
March 2005, the Paris Club agreed to provide Indonesia the moratorium worth US$2.6
billion until the end of 2009. The availability of the new funds and debt relief helps ease
the audit opinion during the audit of Bakornas financial report. Findings showed that this
figure was highly under presented.
Table 1: Amount of Aid (Goods, Funds and Services) to Aceh-Nias during Relief and Rehabilitation and Reconstruction
Total Aid 1) Note Source of Aid Domestic Foreign (US$ million)
Foreign Governments direct to activities in Aceh-Nias
998 998
Multilateral Organizations direct to activities in Aceh-Nias
484 484
Private Companies direct to activities in Aceh-Nias
28 2)
Fund Raising Companies direct to activities in Aceh-Nias
636 636 2)
NGOs direct to activities in Aceh-Nias 977 977 2) Fund Raising Multidonor Funds/Multilaterals direct to activities in Aceh-Nias
94 94
Central GoI Ministries 374 374 Local Aceh-Nias Governments 210 210 BRR 1,391 1,391 Communities direct to activities in Aceh-Nias 48 137 3) Fund-raising State-Owned Institutions 100 488 588 4)
148 5,652 5,917 Source: Compiled from Various Sources such as UN-OCHA FTS(for aid received during relief phase), BRR’s RAN Database (of NGOs’ and other donors’ aid during rehabilitation and reconstruction phase), Indonesian Government budget documents and other sources.

6
Note: 1. The total flows is being studied by the INTOSAI Task Force. The final result is to be discussed at the end of October 2006 in the Task Force meeting in Australia 2. Most of these donors are foreign donors. 3. The amount US$ 48 million is quoted from PIRAC(Public Interest Research and Advocacy Center). The US$ 48 million is the amount raised by 30 Indonesian printed and electronic media up to 31 January 2005,quoted from PIRAC presentation in June 2005. Foreign aid figure can not be comfortably calculated as the difference between the total amount and the domestic amount 4.Domestic and foreign sources as reported by Bakornas (unaudited). BPK did not issue
Pressures on fiscal policy and the balance of payments of these countries
particularly during this time when Indonesian economy has not fully recovered from the
economic crisis of 1997.
At the annual meeting of Indonesia’s international donors held in mid-January,
2005 an International Multidonor Trust Fund for Aceh and Nias was established to
support the rehabilitation and reconstruction of the disaster areas in 2005-2009. The
Multi-Donor Fund brings together a pool of over US$ 525 million from 15 donors4 and is
a partnership of the Indonesian government, international community and civil society to
support the recovery in Aceh and Nias. The World Bank administers the Fund and acts as
its Trustee.
The aid are delivered through multiple channels: directly by the organizations
themselves, through the Government of Indonesia (GOI), multilateral organizations (like
UN bodies), multi donor funds (such as Multi Donor Trust Fund on Aceh Nias –MDTF)
as well as nongovernmental organizations (NGOs) like ICRC. The government
institutions of Indonesia include central ministries (such as Ministry of Health and the
Armed Forces), local governments (such as Aceh and North Sumatra provincial
governments) and BRR.
It is difficult to make distinction between the use of aid, for the relief purposes or
for rehabilitation and reconstruction efforts. Only aid channeled through Indonesian
Government system, such as BRR, central GoI or Aceh-Nias local governments, where 4 Multi-Donor Fund has members from Asian Development Bank, World Bank, European Commission, governments of Canada, United Kingdom, Netherlands, Norway, Denmark, Sweden, Germany, United States, Finland, Belgium, New Zealand and Ireland.

7
the budget allocation was directly linked to each phase, can be clearly categorized
according to these purposes.
4. Auditing the Funds
BPK has the authority to audit the collection and the use of funds channeled
though the state budget or the public sector at large. As shown in Chart-1, mandate of
BPK includes auditing foreign assistances channeled through the public sector as shown
by channels numbers 1,2, 5, 15, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27 and 28, 29 and 33 in Chart 1.
The channels through the Government of Indonesia could pass through the state budget
or treasury, line ministries (such as the Ministries of Health, Social Welfare and Public
Works), local governments in Aceh and Nias, and BRR. These only cover 43 percent of
the total aid.
About 25 percent of the aid was directly channeled by through foreign
government agencies and multilateral organizations and, therefore, are audited by their
auditors. The other 32 percent of the assistance to the tsunami hit areas are provided by
NGOs including the corporate donors. Many large, international NGOs, such as Oxfam
or Save the Children, are matured, established and adopting the practice of having their
financial statements audited and published to bring public trust in their operation. From
their financial statements, public might get insights on their activities in Aceh-Nias.
Large and well established international NGO, such as Oxfam and Save the Children are
generally adopted the best practices of having their financial statements audited by
reputable international accounting firms. Financial statements of large domestic NGOs
are also required by laws to be audited by private accounting firms. Tempo Magazine of
11 June 2006, however, reports frauds in operations of FIG (Forder und
Interresengemeinschaft)-Indonesia, Oxfam and Save the Children in Aceh including
discrepancies between the houses reported as built with the actually constructed,
discrepancies in the number of boats donated, mark up in labor and construction costs of
the assistances and low quality of houses built. These institution have taken corrective
measures.

As of 6 June 2006 8

9
The coverage of BPK’s financial audit for the relief phase is only Rp2.18 trillion
or 81.6 percent of the total funds. Taking into account the foreign funds of Rp17.2
trillion, both from official sources and private sector, BPK’s audit coverage in this phase
is only 11 percent of the total committed fund assistance. 5
To implement its mandate to audit relief phase, BPK established two teams in
2005. The first team audited the National Compilation Financial Report of Aid for the
natural disasters in Aceh and Nias. The second team audited the activities conducted by
the line ministries which received budget from the state budget during the relief phase.
The audit was conducted by from October 2005 to January 2006 to verify Bakornas’
Financial Report released in August 2005. The long release of the Bakornas’ Report
delayed audit work of BPK. Completed on 17 April 2006, the Audit Report of BPK was
delivered to both the Parliament and the Government.
In its audit during the relief phase, BPK finds many critical aspects need to be
improved. These included the weakness in organizational structure, function and
authority, coordination, implementation, monitoring, activities evaluation and
accountability report. We also found the absence of proper accounting system to record
and report the money and logistics coming from local and international donors. BPKP
assisted Bakornas to formulate accounting and internal control system as early as January
2005. Over 700 financial report received from the state-sponsored collecting agencies
were not compiled into National Compilation Financial Report. There was inadequate
supporting data to ascertain the amount of goods received from foreign countries.
Verification and supervision systems did not exist to verify and check the reporting
system of the aid collection units. Neither Bakornas nor Satkorlak had authority to
mobilize, monitor and evaluate the activities conducted by the line ministries and the
armed forces. We found that some distribution of daily needs and procurements such as
food packages were not distributed on time which later caused damages to these supplies.
Some medical kits and equipments in both areas were useless as they did not match with 5 As previously mentioned, bigger audit coverage, 43 percent, would be reached in auditing the rehabilitation and
reconstruction phase.

10
the actual needs in the tsunami affected areas. Some temporary shelters were unused
because of lack of planning in determining location, number of refugees and low quality
of construction.
The focus of BPK audit was mainly financial audit because its capacity to do
performance audit was limited. Gradually BPK strengthens its capacity to do cross-
sectoral audits particularly in high risks areas, such as public sector procurements and
construction of infrastructure. Audit on the environment will be integrated in the
performance audit, while the audit of internal controls will be important part of the
financial and performance audits.
6. Administrative costs
There is some information on administrative costs. But, not all of them can be
classified as program delivery cost. For example, in health sector, the salary of the
program management unit staff, office rent and maintenance is the administrative cost
while the salary of the doctors which carry out health improvement program should be
categorized as program delivery cost. In general, the lower the administrative cost, the
more efficient the program is delivered. Conceptually, the administrative cost is harder to
determine in the relief phase than in the rehabilitation and reconstruction phase because
of the inherent nature of these phases.
As mentioned earlier, the focus of humanitarian activities during the relief phase
is to save lives and prevent further ensuing disaster such as the outbreak of diseases.
Because of this, the result and effectiveness of the program is the primary concern rather
than the efficiency as some time it was carried out at all cost. It is reasonable to expect
that the program delivery cost is so high and highly inefficient. For example, one of the
BPK’s audit finding indicates that several contractors from neighboring provinces were
contracted to remove the debris in Aceh during the relief phase. The contrcators brought
in heavy equipments such as excavators, bulldozers, wheel- loaders and dump trucks with
high transportation costs from Medan, about 500 kilometers from Banda Aceh.
Aside from coordinating efforts by other institutions, BRR also carry out the
rehabilitation and reconstruction activities in Aceh and Nias. As an government agency it
receives funding mainly from central government budget. There are four expenditure
categories in BRR’s budget, namely: (1) Salary and Honorarium (belanja pegawai),

11
Other NonCapital Expenditure (belanja barang), Capital Expenditure (belanja modal),
and Social Assistance Expenditure (belanja bantuan sosial). We looked at further
breakdown of these categories to get to a proper administration cost.
As it directly related to program delivery, honorarium for medical practitioners,
amounted to of US$ 13.4 million can be reclassified as the program delivery cost (either
as Capital Expenditure or Social Assistance Expenditure). On the other hand, salary and
honorarium can be categorized as administrative cost (see Appendix 3 for breakdown of
these costs). With this classification, total administration cost is amounted to Rp315
billion or 12.7 percent of total cost of Rp2,492 billion.
Administrative costs of some tsunami-related aid agencies are shown in Tabel 2.
Table 2
Administrative cost of Some Tsunami-Related Aid Agencies in Aceh and Nias
No. Organization Administrative Cost
1. Multi Donor Fund (MDF) 1.2%
2. Oxfam 3%
3. Sukma Bangsa Foundation <6%
4. BRR-RAN Trust Fund 0%
5. BRR- Overall 12.7%
The Multi Donor Trust Funds (MDF) has the lowest administrative cost at 2% to
administer, appraise, supervise and monitor the constructions of the projects. It has the
lowest cost because MDF finances big projects with a value above US$1 million. In
addition, MDF can use the facilities of its partner agencies such as the World Bank, ADB
and the UN Organizations to reduce overhead costs. Oxfam does not release information
on its operational cost in Aceh and Nias. However, its 2004-2005 Annual Review
provides information of its global administrative cost at 3%6. The administrative cost of 6 Oxfam Annual Review 2004/5, p. 51, Oxfam The report can be downloaded from www.oxfam.org.uk

12
BRR-RANTF (Recovery Aceh Nias Trust Fund) is zero as it is a trust fund established by
BRR to receive donations for rehabilitation and reconstruction activities in Aceh-Nias
and is directly operated by the BRR. Founded by an Indonesian mass-media
conglomerate, the Sukma Bangsa Foundation collects donations from general public to
build schools and social infrastructure in Aceh and Nias has administrative cost at 6
percent.
7. International Cooperation
To avoid audit duplication and repetition as well as to increase the efficiency and
effectiveness in audit of tsunami-related aid, BPK promotes cooperation with SAIs and
auditors of donor countries, regional and multilateral institutions and NGOs.
Along this line, with the help of Asian Development Bank, BPK organized an
International Conference on Promoting Financial Accountability in Managing Funds
Related to Tsunami, Conflict and Other Disaster in Jakarta in April 2005. The conference
was well attended by 142 delegates from SAIs from tsunami hit countries in Asia, donor
countries as well as auditors and/or representatives of regional and international
organizations. The conference recommends, among others, to arrange joint audits among
auditors of aid-recipient and donor counties to enhance audit efficiency, facilitate
technology and knowledge transfers, and help build institutional capacity. Related to this
BPK is seeking all kinds of cooperation with its counterparts, ranging from advisory
function, exchange of information and audit reports separately prepared by individual
SAI, to joint audit. Cour des Comptes, SAI of France has kindly helped BPK to build up
its internal capacity in auditing military conflicts and auditing NGOs.
As the follow up of the Jakarta conference of 2004, the BPK Advisory Board has
been established consisting of representatives from 12 SAIs7. During the inaugural
meeting held in Jakarta on April 24-25 April, 2006, the Advisory Board recommended to
share information on the aid flows and audit reports. In particular, donor and recipient
countries can exchange information on the amount of aid (both goods and funds), timing
of aid, purpose of aid and their effectiveness. Difficult issue such as joint audit by two or
more SAI’s was not discussed as it requires sharing key decisions on joint audit

13
methodology, approach and strategy. In addition, joint audit between two SAIs is more
difficult to do as each of them is constitutionally binding to report only to their respective
legislative bodies.
In line with the recommendation of the Jakarta conference of 2004, an INTOSAI
Task Force on the Audit of Disaster-Related Aid was created in the 54th Governing Board
Meeting of INTOSAI on 10 -11 November 2005. SAI of the Netherlands chairs the task
force and assisted by two vice-chairs: BPK and SAI of South Korea. The task force shall
not be directly engaged in auditing and has two objectives. The first is to enhance
transparency and accountability of tsunami-related aid in order to prepare the ground for
the efficient and effective of planning, monitoring, and auditing of aid flows. The second
is to formulate best practices and guidelines for the accountability and audit of disaster-
related aid. The Chart 1 we produce here is the result of the Initiative.
8. Conclusions
In conclusion, BPK has a critical role to play in the effectiveness of the
rehabilitation and reconstruction efforts. Stakeholders have high expectations of the role
in ensuring (1) the tsunami fund are properly accounted for and used efficiently and
effectively for the purposes intended, and (2) transparency and accountability of the
accounting, reporting and monitoring of the assistance fund balances and progress of the
rehabilitation and reconstruction programs.
Due to the complexity of the financial scheme and the limited audit coverage that
could be conducted by BPK, I envisage cooperation in regards to:
(1) Exchange of reports and information on the audits of various aspects of
funding for the tsunami and other natural disasters, the amount of aid, the timing
of deliverance, purpose of aid , their effectiveness and efficiency.
(2) Exploring new fields and tools such as environmental audits and GIS with
particular reference to the audits of the Tsunami and other natural disasters;
(3) Closer cooperation between various SAIs, particularly between aid-donor
and recipient countries and accounting firms under the auspices of the SAIs of
the various donor entities to exchange experiences, methodology, approach and 7 They are SAIs from Australia, Denmark, European Union, France, Japan, the Netherlands,

14
strategy. From this we can also exchange experiences and challenges
encountered during the audits. From the lessons learned, INTOSAI and other
regional organizations of SAI could develop audit and accountability guidelines
and as well as awareness of natural-disaster-specific frauds for future reference. Norway, United Kingdom, United States, Saudi Arabia, South Korea and Sweden.

15
Appendix 1. Contributions from Donor Countries
No.
Country
Personnel
Contributions
1. Afghanistan
20 medical workers Food and medicines
2. Australia 288 medical workers, 35 nonmedical workers, 600 soldiers
1 mother ship, 4 Sea King heli, 4 Hercules planes, 1 Boeing 707 plane, 2 big ship, medicines, food, clothing, evacuation equipment, generators
3. Armenia 4 medical workers 4. Netherland
s 4 medical workers, 3 soldiers
Medicines, humanitarian and emergency relief aid, communication equipment.
5. Brazil 21 soldiers 6. Brunei 15 medical
workers, 46 soldiers2 Black Hawk helis, medicines.
7. Chechnya 12 soldiers 8. Czech
Republic 22 nonmedical workers
Drinking water
9. China 35 medical workers and 89 nonmedical workers
10. Chili 5 medical workers and 1 expert
11. Cuba 23 medical workers 12. Estonia 15 medical workers 13. Philippines 25 medical workers Medicines, humanitarian and
emergency relief aid, water equipment
14. Hungary 14 medical workers 15. India Floating hospital, medical boat,
medicines, and aid in emergency relief.
16. United Kingdom
3 nonmedical workers, 3 experts, 40 soldiers
1 navy ship, some helis, 11 Hercules planed, medicines, aid in emergency relief, water equipment.
17. Italy 7 medical workers 18. Japan 23 medical
workers, 1000 soldiers
3 ships, 5 helis, 2 hovercrafts, 2 Hercules planes, humanitarian and emergency relief aid.
19. Germany 310 soldiers 1 ships, 2 Sea King helis, flying hospital, medicines, evacuation equipment, humanitarian and

16
emergency relief aid. 20. South
Korea 32 medical workers, 91 nonmedical workers
Medicines, clothings, humanitarian and emergency relief aid.
21. Kuwait 56 heavy equipment, 150 ships 22. Malaysia 383 medical
workers, 265 soldiers
2 Hercules planes, 2 Nuri heli, 1 CN 235 plane, medicines, food, drinking water, clothings, humanitarian and emergency relief aid, water equipment, first aid kits.
23. Mexico 5 experts 2 floating hospitals, 3 helis 24. Egypt 6 medical workers 25. Nigeria 31 medical workers 26. Norway 31 medical workers Hospitals, medicines 27. New
Zealand - 1 Kiwi planes, humanitarian and
emergency relief aid 28. Pakistan 300 medical
workers, 200 soldiers
1 hospital, 2 floating hopitals, 3 helicopters
29. France 72 medical workers, 1 team of nonmedical workers, 2 experts, 205 soldiers
2 mother ships, 8 Super Puma helis, medicines, food, drinking water, clothing, humanitarian and emergency relief aid, water equipment, first aid kits
30. Portugal 24 medical workers Traveling hospital, generators 31. Rusia 150 soldiers Some II-76 planes, 7 Air Force planes,
6 trucks, 5 heavy equipment, 1 hospital, humanitarian and emergency relief aid
32. Singapore 2 medical workers, 1,112 soldiers
6 Chinox heli, 2 Super Puma heli, 1 mother ship, planes, medicines, food, drinking water, clothing, humanitarian and emergency relief aid, water equipment, first aid kits
33. Slovakia 4 medical workers 34. Spain 612 soldiers 1 battle ships, some helis, water
purifier, cadaver sacks, humanitarian and emergency relief aid, vehicles.
35. Sudan 4 medical workers 36. Switzerlan
d 2 medical workers, 17 experts, 50 soldiers
3 Super Puma heli, medicines, humanitarian and emergency relief aid, vehicles.
37. Syria 5 medical workers 38. Tunisia 13 soldiers

17
39. Turkey 37 medical workers Humanitarian and emergency relief aid
40. United Arab Emirates
31 medical workers Some trucks, clothing, humanitarian and emergency relief aid.
41 USA 14.000 soldiers 2 ships, 1 floating hospital, 75 helicopters, 8 battle ships, hovercrafts, 6 helicopters, medicines, drinking water, generators, first aid equipment.
42. Jordanian 32 medical workers, 24 soldiers
43. Greece 10 experts Some trucks, water purifiers, medicines, humanitarian and emergency relief aid.
Source: BAKORNAS PBP and other sources

18
Appendix 2: Rehabilitation and Reconstruction Progress (as at end of April 2006), unauditted
Damaged/
Requirement Progress
New Houses 120,000 units 41,734 School Teachers 2,500 teachers 2,430 (newly
trained/substitute) teachers
Schools 2,006 units 524 units Religious Facility 11,536 units 489 units Health Facilities 127 units 113 units
(7,380 health post) Fishing Boats - 6,160 units Saltwater Fishing Ponds 20,000 ha 9,258 ha
(rehabilitated) Paddy Fields 60,000 ha 37,926 ha Roads 3,000 km 490 km Bridges 120 41 Micro Credit 100,000 SMEs 147,823 SMEs Sea Ports 14 ports 2 (completed)
3(in-progress) Airports/ Airstrips 11
Airports/Airstrips 5 Airport/Air strip/helipad
Source: translated from “Membangun Tanah Harapan: Laporan kegiatan satu tahun Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Naggroe Aceh Darussalam dan Nias”, p.13, BRR, April 2006

19
Appendix 3. Calculation of BRR’s FY 2005 Administrative Cost (based on actual disbursements up to 30 April 2006)
Cost Component Amount (in IDR)
Honorarium for medical practitioners 194,166,500,000
Services 186,413,953,027
Maintenance 7,981,679,582 Land acquisition cost 88,318,093,100
Machinery and Equipments 264,480,978,485
Buildings 225,763,543,224 Road and Irrigation 550,020,109,946 Other Physical Infratructures 29,987,361,081 Donation – Education 43,331,416,926 Donation – religious institutions 13,175,486,000 Donation-others 572,938,219,092
Total Program Delivery Cost (87.3 %) 2,176,577,340,463
Honorarium 101,199,511,248
Tax Allowance 10,069,875,795
Expenditure for goods – operational 119,676,202,433 Expenditure for goods – nonoperational 66,827,895,783
Travel expenditures 18,020,466,333
Total Administrative Cost (12.7%) 315,793,951,592
Total Actual Cost (100%) 2,492,371,292,055
Source: BRR’s budget realization report. BPK-RI is currently auditing BRR’s
financial report as of 31 December 2005.

1
Auditing the Hot Mud Eruption In Sidoarjo, East Java, Indonesia with Environmental Perspectives1
Introduction
The mud eruption that started in Porong, District of Sidoarjo, East Java on May
29, 2006 at 5,000 m3/day (currently reaching 170,000 m3/day) at an exploration well
owned by PT Lapindo Brantas Inc. (LBI) was a tragic event to be sure. The
catastrophe and its handling indicate a number of issues. First, it is the result of the
negligence of a certain company. The company, LBI, a public company listed in
Delaware, USA, contracted the un-reputable company which most likely its own
subsidiary to do the exploration. The company explored the well using risky and
careless techniques such as drilling through an overpressure formation without
adequate casing and drilling a high risk exploration well close to a densely populated
area without in-depth and comprehensive survey and risk assessment. Furthermore,
the drilling process was done by inexperienced and incompetent personnel using
inadequate equipment.
Secondly, the government’s response in handling the impact of mud is very slow.
The Government acted slowly in helping the victims and relocating them and the vital
infrastructures, such as gas pipe and electricity power transmission, to the safe areas.
The victims, who have lost more than 11 thousands homes and two dozen business
that have been buried in more than 6 sq km under 20 m deep covering nine villages in
Sidoarjo area, could not be helped immediately due to the absence of protection of
property rights. Moreover, the choked-off of transportation to the main seaport of
Tanjung Perak and Juanda Airport, near Surabaya, the capital of East Java, has also
negatively affected the economy of hinterland in the southern part of East Java. All of
these governmental delays induced wide-spread negative impacts to the environment
and economy.
Furthermore, the little progress in prosecution of who are responsible for the
drilling failure is also the indication of the government’s slow response. It took nine
months for the police to complete the investigation; however, the case has yet to go to
trial. Only individual employee and contractor, not the company, are being probed as
suspects. 1 A paper prepared for the Eleventh Meeting of INTOSAI-WGEA, Arusha, Tanzania, on June 28, 2007.

2
The absence of effective, low cost of enforcement of contract caused a slower
response in helping the victims. On 4 December 2006, six months after the eruption
occurred, LBI agreed to buy the entire victim’s destroyed properties and pay the
compensation cost. The implementation of the agreement was very slow. Few dozen
victims have begun to receive compensation promised by LBI.
The slow response of the government is partly because the LBI is owned by the
family of Mr. Aburizal Bakrie, the Coordinating Minister for Social Affair whose in-
charge in coordinating the handling of the eruption. The minister is a prominent
member of the leading political party. The Bakrie group is a local business
conglomerate that has interest in many business sectors, mainly trading and
plantations. LBI is the first interest of the group in oil exploration and exploitation.
The Source of Disaster
The eruption started just 150 meters away from the exploratory Banjarpanji-1
well at the time of drilling.(exhibit 1). Banjarpanji-1 well was located in the Brantas
Block concession area, operated by Lapindo Brantas Incorporated.
Exhibit 1. Banjarpanji-1 well and the center of the eruption
The Brantas Block concession was awarded to Huffco Brantas Inc. in 1990. The
name of the operator, Huffco Brantas Inc, was amended to P.T. Lapindo Brantas Inc.
(LBI) on April 10, 1996. LBI is owned by PT. Kalila Energy Ltd and Pan Asia
Enterprises. After the amendment, the participating interests of the Brantas Block
(exhibit 2), have been changed many times from, Huffco Brantas Inc to, finally, LBI
(50%), PT. Medco Brantas E&P (32%) dan Santos Brantas Pty Ltd.(18%), as from
2006. LBI acted as the operator. LBI is controlled by the family of Abu Rizal Bakrie,

3
the Coordinating Minister of Welfare, Republic of Indonesia and a prominent leader
of the majority party in the Indonesian Parliament.
In exploring the Banjarpanji-1 well, the company sub-contracted the Integrated
Drilling Project Management (IDPM) to PT Medici Citra Nusa (MCN), a private
company. MCN further subcontracted the work to other companies and acted as the
coordinator for the project. The company started to drill (spud in) Banjarpanji-1 well,
on March 8, 2006 and reached the depth of 9,279 feet on May 27, 2006. At this depth,
the exploration of the Banjarpanji-1 well suffered from a number of drilling
problems, such as well kicks, where fluid from the formation penetrates the bore hole,
and losses, where fluid or mud from the bore hole leeches out to the formation. When
the well reached a depth of 2,834 meters, an eruption of steam, water, and a minor
amount of gas was observed at 05:00 a.m. just 150 meters southwest of the well. A
mud volcano was born.
Exhibit 2. Location of Brantas Block and Banjarpanji-1 well
The Cause of Mud Eruption
Majority of experts, including the geologists and drilling consultants who
assisted BPK in the audit, concluded that insufficient handling of well drilling by LBI
had caused a crack in the formation and created channels for the mud in the clay/shale
stone formation to flow to the surface. This conclusion is also corroborated by
Richard I. Davies and Richard Swarbrick et.al. in the article “The Birth of Mud
Volcano, East Java, 29 May, 2006” published in GSA Today, February 2007. They
Banjarpanji-1

4
stated that the eruption was the direct result of connection (caused by the drilling
activities) of a high-pressure fluid at depth with shallow sediments at a depth at which
fractures could be initiated. Once initiated, the fractures would have propagated to the
surface, driven by the deep pressure (ref. the illustration of the cause of the eruption
below).
Other group of experts indicated that earthquakes can create cracks that allow
trapped mud to bubble to the surface. On 27 May 2006, an earthquake shook
Yogyakarta on the central part of Java Island, and this could have cracked the ground,
potentially helping to release the mud. However, the quake's epicenter was some 300
kilometers away from the mud volcano which means it was felt in the area of the
drilling at approximately 2 on the Richter scale. On top of that, Davies and Swarbrick
mentioned that the primary reasons for not considering the earthquake to be the
trigger or a significant contributing factor are (a) no other mud volcano eruption was
reported in Java at the same time; (b) the earthquake preceded the eruption by two
days; seismogenic liquefaction usually occurs during earthquake-induced shaking of
sediment (at the same time) (e.g., Ambraseys, 1988); (c) there are no reports of a
“kick” during the earthquake or immediately afterward; and (d) sand, rather than mud,
is more conducive to liquefaction due to earthquake shaking because it is a
noncohesive, granular sediment.
Operational Negligence Had Initiated the Birth of One of Huge Mud Volcanoes
No steel casings to protect the well created open-hole section of the Bajar Panji-1
well plus insufficient handling of the well problems had caused a crack in the
Illustration of the cause of the eruption (the Birth of Mud Volcano, East Java, 29 May, 2006, GSA Today)
A B

5
formation and created channels for the mud in the clay/shell stone formation to flow
into the surface Compared to other similar phenomena, Lusi eruption has a
significant volume, duration, and spatial extent. (Table 1).
Table 1. Volume, Duration, Aerial Coverage And Rate of Selected Large Scale Modern Eruption From The South Caspian Sea and Trinidad Compared to Lusi2
Lokbatan
(Azerbaijan, 2001)
Koturdag (Azerbaijan, 1950 – present)
Piparo (Trinidad, 2001)
Lusi (East Java, 2006)
Volume 0.0003 km3 0.00045 km3 0.025 km3 0.012 km3Duration 30 Minutes 18.200 days 1 day 173 days**Area 0.098 km2 0.3 km2 2.5 km2 3.6 km2Average rate*
0.0144 0.000000025 0.025 0.00007 – 0.0015
* Cubic km/days **As of February 2007
Started at a rate of 5,000 cubic meters/day, the mudflow reached 170,000 cubic
meters at the time of the audit (February 2007)(appendix 1). At the current rate, the
cumulative amount of mud within the next 10 years would be able to submerge the
whole of Sidoarjo Regency at one meter depth. Geologists are still facing big
quandaries in predicting the future of the mudflow. According to Richard I. Davies
and Richard Swarbrick et.al., prediction of the next developmental stages is fraught
with difficulty, but the unabated very active eruption indicates that a large aquifer has
been penetrated. Those experts are confident that some sort of eruptive activity
(perhaps at lower-level) will continue for many months and possibly years to come. A
region several kilometers wide should undergo sag-like subsidence over the coming
months with more dramatic collapse surrounding the main vent. In order to predict
what the future impact the Lusi mud volcano has on the local population, a geological
modeling and direct measurement of the inevitable land subsidence will help the
efforts to mitigate the disaster impact.
The importance of Sidoarjo Regency
The worst affected area is Sidoarjo Regency, a densely populated area with
2,843 person/square kilometer, 1/3 of the density of Hong Kong (6,294 persons/sq.
km). This area is a buffer zone of Surabaya, the capital city of East Java
Province and the second largest industrial zone in Indonesia after Jakarta (table 2). 2 Birth of a mud volcano : East Java 29 May 2006, GSA Today, February 2007

6
Table 2. The Characteristics of Sidoarjo Regency 1. Area of the land : a. Rice field 28,763 Ha b. Sugar cane plantation 8,000 Ha c. Fishpond 15,729 Ha d. Others (manufacturing and residence) 10,998 Ha Total the area of land 63,490 Ha 2. Population 1,682,000 persons 3. Population Density (in 2003) 2,843 persons/sq. km
Sidoarjo Regency plays significant economic roles not only for the neighboring
areas such as Surabaya municipality, Gresik Regency in the north, Pasuruan Regency
in the south, Mojokerto Regency in the west and Strait Madura in the east, but also
for areas such as other provinces in Java and Bali (exhibit 3). Many important
infrastructures are functioning as the aorta for goods and services distribution for East
Java Province such as: gas pipeline transmission system which supplies gas to a
fertilizer-factory in Gresik, toll road and railways which functions as the distribution
channel for goods and services for all of East Java, an Electricity Power Transmission
which acts as a back-bone system for Sumatera and most of Java (exhibit 4 and
appendix 2).
Exhibit 3. Sidoarjo Regency
Exhibit 4. The vital infrastructures map
Sidoarjo
Bali

7
Government Initiatives
In the beginning, the central government gave the initiatives to handle the
disaster to both the company and local (provincial and district) government. The
initial efforts failed due to the lack of power, expertise, and resources. In spite of the
magnitude of the destruction, the government has not declared the mudflow as
disaster.
After the failed efforts, the central government took over the management of the
disaster through a Presidential decree in September 2006. The government set up the
National Team for Handling the Mud Flow in Sidoarjo (National team). This ad hoc
unit, which worked for eight months, was assigned to handle the eruption and liaise
with various institutions related to the gas and oil mining industry, including local
governments at the provincial and sub provincial level, Ministry of Environment,
Department of Energy, Mining, and Natural Resources. In general, there are three
objectives that the national team wanted to reach: 1) stopping the eruption, 2)
mitigating the impacts of the eruption and 3) minimizing the social, economic, and
environmental impacts.
With regard to the first objective to halt the eruption, so far, four strategies have
been attempted, namely: a) capping the wellhead from above, b) snubbing the well
from the sides, c) digging three relief wells and again tried plugging the mudflow
from the sides, and d) dropping concrete balls linked by chains to the mud volcano.
All the four strategies ended up in failure, making the National Team unable to realize
Gas Pipe line
Toll Road
Railroad Electricity Net work

8
its first aim, even after spending US$ 21.83 million. Currently, the government is
considering to use a new but untested strategy, namely, to plug the mud by building a
dam around the crater. The amassing mud will be used to counterweight against the
out flowing mud from the mouth of the volcano. Many experts, however, believe the
flow is unstoppable.
The efforts at mitigating the impacts of the eruption had realized some
achievements. A network of dams and barriers has been erected to contain the mud.
On September 26, 2006 barriers failed, resulting in the flooding of more villages.
Further strengthening of the dam system appeared to contain the sludge and since the
end of September no further reports on breaches have been released. However, the
government was blamed for not effectively relocating infrastructure and for delay in
determining the alternative route for transportation of goods and services. This delay
caused excessive traffic along public roads, causing increased transportation costs.
The third objective had been realized with some successes. As the company is
expected to fully compensate the victims and some of the clear cost, the National
Team facilitated an agreement between the company and the mud eruption victims. In
December 2006, the government declared that LBI, the operator of the well, would
have to pay US$351 million in compensation to people whose houses had been
destroyed by the mud. In addition, the company was expected to pay about US$182
million for efforts to stop the mud between January and March 2007. As of the time of
the audit (February 2007), the company had compensated refugees in 9 villages. The
company has given US$ 1.837.400,00 for living allowance, US$ 1.794.000,00 for
renting allowance, and US$ 164.000,00 for moving allowance (appendix 3). In
addition to that, the company also has given US$ 292.631,58 to 21 families to replace
homes that had been destroyed by the mud3.
On March 31, 2007, one year after the mudflow started, a new team has been
established by the central government to handle the mudflow. The team could not
work optimally due to insufficient authority, expertise, and resources.
3 Media center, Monday, March 26, 2007

9
Damage and Loss Assessment
The mud eruption has become an ecological disaster that shows no slowing
down. At the beginning of the eruption, the volume of flow was 5,000 meter
cubic/day and as of February, it reached 170,000 meter cubic /day. The
unprecedented event had made a river of mud on the surface, flooding and
submerging the surrounding areas. The hot torrential mudflow has buried 9 villages,
10,426 units of houses, 18 schools, 2 local government offices, 15 places of worship,
23 factories, and displaced 26,317 people. It has already inundated and contaminated
306 Ha of paddy fields, 64 Ha of sugar cane field, and 2 Ha of various crops
(Appendix 3). The total area that has been inundated is 470 Ha (exhibit 5), which is
equivalent in size to the Kingdom of Monaco. (Appendix 1). At present, the sludge is
still flowing despite all efforts to halt it.
Exhibit 5. The area impacted by the mud eruption
Infrastructure has been damaged extensively, including toll roads, railway tracks,
power transmission systems, gas pipelines and national artery roads, major public
roads and the railroad. The gas pipeline transmission blew out in November 21, 2006,
taking a number of fatalities. The accident occurred because the ground subsided
2 meters due to the significant outflow of mud and water, and a dike collapsed
causing the state-owned Pertamina gas pipeline to rupture. The damage impacted 20%
of the national fertilizer supply. The damage has since been repaired. A major toll
road was forced to close on November 22, 2006 due to subsidence effect. Another
example is the electricity system. Disruptions to the electricity power transmission
system will negatively impact the economy in Java, and is likely to affect Bali as well
(exhibit 6).
On August 21, 2006, inundated area 350 Ha and the extent of the mud pool 150 Ha
On March 11, 2007, inundated area 470 Ha and the extent of the Pond 252 Ha.

10
Exhibit 6. Infrastructure Dysfunctions
A giant volume of unprocessed mud that was pumped into the Porong River had
significantly decreased the water quality therein through contaminating it with
hazardous chemicals such as phenol, H2S, and hydrocarbon (table 3).
Table 3. The substance of the mud and the water of the mud Parameter Measurement Parameter Measurement
DHL 4475-6500 um/cm Chrom Total 0.21 – 0.93 mg/L
COD 2350-2525 mg/L Amonia 4,460 -6,557 mg/L
Phenol 10,37-13,17 H2S 0.007-200.008 mg/L
Chrom (VI) 0.033-200,036 mg/L
Source: Brawijaya University Report on Environmental Impacts Assessment of the Mud Flow, 2006
The contaminated water will surely endangers all aquatic biotas in the Porong
river ecosystem, threatening its biodiversity. The solid particle of the hot mud poured
into the river would solidify thus making layers that would decrease the depth of the
Railroad destruction Toll Road Destruction
High voltage transmission The gas pipe line (The blue line)

11
estuary. This sedimentation effect to Porong river will put Surabaya municipality and
other areas at an increased risk of flooding.
In the long run, the mud and the water of the mud will threaten the lives of the
people who depend on the river for their daily needs. The contaminated fish, through
the food chain, will impact the health of the people.
The eruption also puts the region at increased risk of subsidence. In several
places around the mud eruption hole, many houses have fissures and many land
surfaces have shifted down around 1-5 meters. In the future, the subsidence effect
could destroy local infrastructure such as the houses, roads, bridges, and the gas pipe.
The unabated mudflow and the resulting floods had induced further ramifications
that have lowered the life-supporting capacity of the submerged area, disrupted
economic activities, thus reducing the economic capacities of the affected regions.
The ecological disaster has brought about social and economic losses to the people in
the Sidoarjo Regency and surrounding regions. The economic losses and financial
costs are summarized in Table 4.
Table 4 : Economic and Financial Costs to Sidoarjo and the Surrounding
Regions in the period of 2006 – 2015 (US$ thousand) Direct Economic Cost 2,093,722.53Indirect Economic Cost 779,730.53Economic Cost for Recovering 589,385.26Total Economic Cost 3,462,838.32Financial Cost 516,290.76Gap (Economic Cost v.s. Financial Cost) 2,946,547.56Note :
1. Economic Cost : The value of the negative effect to the assets and people’s income
2. Financial Cost : The value of cash that has been paid plus commitments 3. US$ 1 = Rp9.500,00
Source: Brawijaya University Report on Economy Impacts Assessment of the Mud Flow, 2006

12
It should be noted that the difference between economic costs and financial costs
to Sidoarjo totaled to US$ 2,946,547,560.00 The gap has to be borne by the people in
and around Sidoarjo regency. This gap has decreased their quality of life and slowed
the development of the regency. Higher inflation has been also observed. The biggest
part of the economic costs have and would be borne by the people (84 %), whilst the
remaining portions were borne by the government (7%), Private Companies (6%) and
State-owned enterprises (3 %) (Appendix 4).
The Roles of BPK
BPK audited the hot mud flow in Sidoarjo with the assistance of the
environmental, geology and regional economy consultants. The main purpose of this
audit is to assess the activities in the exploration of the Banjarpanji-1 well, including
the concession granting process, the subsequent disaster management processes, and
the overall impact to the economy and the environment. The audit focused on
evaluating whether all of the activities are in accordance with the law and regulations.
Moreover, the audit also used risk based audit methodologies in selecting key areas to
be audited. With this approach, the audit has selected the activities above to be the key
areas.
Relating to the environmental aspect, BPK focused the audit on the impact of the
National Team activities in mitigating the impacts of the eruption. BPK-RI evaluated
the impact of building the mud embankments, efforts to terminate eruption, efforts to
dispose of the mud in the river. BPK also conducted limited research with
environmental consultants in order to assess the quality of the river. BPK also
attempted to forecast the impact to environment for the next ten years. In doing this,
BPK and the consultants made many assumptions in order to predict the
environmental impact in the next two and ten years.
Audit Results and Recommendations
BPK found the following aspects that need to be improved by the government in
managing the mud flow in Sidoarjo :
• Some regulations related to the exploration of gas or oil wells have not
sufficiently protected the people and the environment. Current regulation only

13
requires the company that wants to explore a gas and oil well to have shallow
survey efforts instead of in-depth survey efforts including important impact
and risk evaluation.
• There are weaknesses in government monitoring system on oil and gas
exploration and exploitation to enforce the rules and regulations and contracts.
The monitoring system needs to be revised and improved in order to ensure
the exploration and exploitation processes conducted by the production
sharing companies, are done prudently in accordance to the best practices.
• The government responses to address the mudflow disaster have been very
slow. This has exacerbated the negative impacts of the mishap to the society,
environment, and economy.
• In handling the eruption, the government has never conducted a thorough risk
assessment in order to develop detailed action plans or activities. Many of the
activities including the building of the mud dams were based on temporary
(short term) plans.
• There is no consistent result from the researchers about the toxic sludge and
water of the mud. The researchers’ opinions are divided into two main groups.
One group said that there is no toxic chemical substance in the mud, while
another group said there were toxic chemicals in the mud. However, people in
nearby villages complained that toxic sludge and water have invaded their
drinking water, river, agriculture fields, fish ponds, marine ecosystem, and
homes.
In order to improve the quality of the handling of the eruption, BPK made the
following recommendations:
• The Government together with other related entities or people should thoroughly
investigate the causes of the eruption and prosecute those responsible for causing
it.
• The government should officially declare the mudflow as a disaster and take over
the management of the disaster to handle the mishap and mitigate its social and
environmental impacts.

14
• The government should immediately help the disaster victims, restore their
livelihood, and restore the economy activities of the province by rebuilding and
relocating the damaged infrastructures.
• The government should conduct a comprehensive research to ensure the toxicity
of the sludge and water.
• The Government should revise and upgrade the policy implementation and
monitoring system of the oil and gas exploration and exploitation activities in
order to protect the people’s life, the environment, and the economy..
• Based on Indonesia’s experiences on previous natural disasters and this man-made
mishap, the government should develop a comprehensive disaster policy and build
its institutional capacity to cope with those unexpected problems.
Lessons learnt
Handling the Eruption
• The continuous and uncertain status of this particular disaster requires the phases
of handling the disaster to be simultaneously conducted. The rehabilitation and
reconstruction phases have to be done in the same time when the mud still
continues to erupt and give impacts to the surrounding. In this kind of condition,
the disaster management has to be supported not only with a sufficient amount of
fund, but also skillful, competent, and dedicated people which could work under
uncertainty situation. The government needs to make a comprehensive assessment
in order to develop a comprehensive and systematic strategy in managing the
eruption.
• Moreover, the government should develop disaster regulation(s) or procedure(s)
that can be followed by government institutions in handling disasters on this order.
When the mud erupted, the government gave all responsibility to the company to
handle things. It did not effectively evaluate the magnitude of the disaster.

15
Furthermore the audit showed that the slow reactive actions from the government
in fact caused additional losses.
Auditing the Handling of the Eruption
• BPK-RI hired environmental and regional-economic experts to assist the audit
team in analyzing the environmental and economy impacts of the eruption.
However, it could not discharge the responsibility of BPK-RI to draw audit
conclusions. For future audits, BPK-RI needs to have a panel of experts to ensure
the rightness and the sufficiency of the methodology and assumptions used by the
experts in an audit project including the validity of the data and information.
Furthermore, BPK-RI needs auditors with environmental expertise to anticipate
the increasing demand of audit with environmental perspectives from the
stakeholders. Continuous professional educations for auditors were needed to cope
with the most recent environmental issues.
• Auditing comprehensive activities for mitigating the impacts of the eruption
needed a lot of resources. Therefore, BPK-RI should select the key activities that
provide the highest impact to the environment, society and economy. BPK-RI has
to develop and increase the institutional capability to anticipate more complicated
audit tasks.
Conclusion
Defective policies and deficient implementation of the policies have created
opportunities for conflict of interest to flourish. This, in turn, has impaired the
governance as shown by inconclusive actions by the government towards the private
sector linked to the disaster.
In the future, BPK should be more concerned with the environmental
perspectives in conducting any audit. In doing this, BPK should be equipped by
sophisticated and applicable methodologies and supported by highly competent
auditors with environmental expertise.
The government should re-orient their strategies to overcome the disaster
impacts comprehensively, as recommended by BPK.

16
Appendix 1
A. The Volume of the eruption, Inundated area, and the extent of the pond
Month Volume of the eruption
(M3/day) Inundated area (Ha)
The extent of the Pond (Ha)
0 29 May (Beginning) 5,000.00 0 0
1 June 25,000.00 110.84 109.00
2 July 30,000.00 178.89 151.32
3 August 50,000.00 349.76 150.00
4 September 50,000.00 349.76 251.90
5 October 120,000.00 349.76 251.90
6 November 150,000.00 390.07 251.90
7 December 150,000.00 390.07 251.90
8 January 150,000.00 450.00 251.90
9 February 170,000.00 470.00 251.90

17
B. The Location of the Pond, Capacity, and Volume
Ponds Village Area (Ha)
Capacity (m3)
Volume (Estimation)
(m3)
Volume (%)
Pond A Renokenongo 23 920,000 920,000 100Pond B Renokenongo 6.5 260,000 247,000 95Pond C-1 Kedungbendo 3 60,000 57,000 95Pond C-2 Jatirejo 6.5 130,000 123,500 95Pond Snubbing
BJP-1 (Siring) 35.4 2,124,000 2,017,800 95
Pond Jatirejo
Jatirejo 46.5 2,790,000 2,650,500 95
Pond 1 Jatirejo 5.5 330,000 313,500 95Pond 2 Jatirejo 5.5 330,000 313,500 95Pond 3 Jatirejo 20 800,000 640,000 80Pond 4 Jatirejo 10 400,000 320,000 80
Pond 5
Mindi Pejarakan Kedungcangkring Besuki
90 3,600,000 1,800,000 50
Total 251.9 11,744,000 9,402,800 80,06The Capacity of the Pond available to be used 2,341,200 19,94
As of 11 December 2006 (National Team’s Progress Report

18
Appendix 2
The volume of Goods and Services transported through Sidoarjo
Year Volume of Good(s)/Service(s) in one year Train
Goods* People** Electricity***Toll Road**** Container***** Gas******
2000 1,022,648
5,210,605 70 - 150 N.A 786,113 140
2001 1,038,356
4,470,393 70 - 150
63,853,536 825,418 140
2002 966,919
4,033,857 70 - 150
67,085,217 866,689 140
2003 1,007,632
3,894,687 70 - 150
63,338,174 910,024 140
2004 1,030,987
4,673,624 70 - 150
62,816,463 955,525 140
2005 999,376
5,328,886 70 - 150
63,268,772 1,003,301 140
2006 876,509
5,872,841 70 - 150 N.A 1,053,466 140
* Only for the refined fuel oil (Kilo Liter/year) ** Assumption 45% total PT. KAI Surabaya (base 2006) *** Kilo Volt **** Vehicles/year ***** in teus (twenty equivalent Units). From many sources with the assumption 5% increase every year (Base 2006) ****** MMScfd

19
Apendix 3
A. The villages and The Productive Land that have already covered by the mud/villages
Area (Ha) No Village
Rice FieldSugar Cane
Crops Planted
1. Siring 22.25 0 0
2. Renokenongo 77.35 7.79 0
3. Jatirejo 29.60 5.63 0
4. Mindi 10.00 17.30 0
5. Sentul 25.00 0 0
6. Besuki 79.00 3.00 0
7. Pejarakan 36.00 17.60 0
8. Kedungcangkring 27.00 12.70 0
9. Ketapang 0 0 2
Total 306.20 64.02 2
B. The Drowned Infrastructures
No Infrastructure Village Unit
1. Houses Siring 395 Jatiredjo 858 Renokenongo 1,007 Kedungbendo 7,066 Ketapang 1,100 Total 10,426 2. School 18 3. Government Office 2 4. Manufactures 23 5. Mosque 15

20

21
C. The Victims/refugees of the Eruptions
No Village The Number I The First Batch (before the blast
of the pipe line) Family Person
1 Renokenongo 496 1,8232 Siring 799 2,6063 Jatiredjo 872 3,3884 Kedungbendo 758 2,9045 Besuki 189 7826 Pejarakan 9 46 Total 3,123 11,549II The Second Batch (after the blast
of the pipe line)
1. Perum Citra Pesona 10 362. Renokenongo 782 2,7523. Perum TAS 2,132 7,1644. Kedungbendo (outside the Perum
TAS) 846 3,454
5. Pejarakan 78 3006. Besuki 10 607. Kedungcangkring 149 5768. Renokenongo 25 799. Ketapang 93 347 Total 4,125 14,768
D. The Realization of the compensation for the refugees before the blast of the gas pipe (US$ Thousand)

22
No. Village
Housing/renting
(US$ thousand)
Moving
(US$ thousand)
Living Allowance (US$ thousand)
Adm. Bank
(US$ thousand)
Total
l(US$ thousand)
1. Besuki 99 10 99 2 210
2. Jatirejo 455 46 530 9 1,039
3. Kedungbendo 382 40 489
10 921
4. Pejarakan 5 0 2 0 8
5. Renokenongo 259 26 329 5 618
6. Siring 351 42 357 6 756
7 Jatirejo/Ponpes - - 4 - 4
Total 1,550 164 1,811
32 3,557
E. The Realization of the compensation for the refugees After the blast of the gas pipe (US$ Thousand)

23
No. Villages
Family
Person
Housing/
renting
(US$ thousand)
Living Allowance
(US$ thousand)
Total
(US$ thousand)
1 Kedungbendo (Perum TAS I) 33 114 21 0.2 20.9
2 Kedungbendo (Perum TAS I) 21 78 14 0.2 13.7
3 Ketapang 93 344 64 0.9 65.1
4 Kedungbendo (Perum TAS I) 41 164 23 4.3 27.1
5 Kedungbendo (Perum TAS I) 58 226 34 6.0 40.1
6 Kedungbendo (Perum TAS I) 39 146 20 2.5 23.0
7 Kedungbendo (Perum TAS I) 125 490 68 12.1 80.3
Total 410 1,562 244 26.4 270.1
Appendix 4
A. Direct Economic Cost1) 2006 - 2015 (US$ Thousand)

24
No. Cost Component
2006 2007-20151)
Total
1 The Lost of Asset
131,467 1,729,972
1,861,439
2 The Lost of Income
16,736
215,547 232,283
Total 148,203 1,945,519
2,093,722
1) 15 % Discount Factors.
B. Indirect Economic Cost1) 2006-20015 (US$ Thousand)
No. Cost Component Cost % 1 The Decrease of the value of the asset 459,696.
84 58.9
6 2 The decrease the bus income 1.50 0.19 3 The Decrease of the Income of Small Bus 0.23 0.03 4 The Decrease of the income of the truck 1.20 0.15 5 The increase of the cost for private
transportation 5.70
0.73 6 The Decrease of the hotel income 5.57 0.71 6 The Decrease of Restourant Income 1.53 0.20 7 The Decrease of the Trade income 2.21 0.28 8 The decrease of the fish Pond owner
income 288,890.
53 37.0
5 9 The Increase of the cost to maintain the
Porong River 13.20
1.69 Total 748,618.
51 100 1) 15% Discount Factor
C. The Economic Cost for Recovering the People in Inundated Area1), 2006-2015 (US$ Thousand)
No
Cost Component Cost %
1 The Increase of the cost to recover the area
281,017
47.68
2 The increase the cost to recover the business
89,452
0.02

25
3 The increase the cost to recover the public infrastructure
218,917
37.14
Total 589,385
100
1) 15% Discount Factor

26
D. The proportion of the Economic Cost Charge1), 2006-2015 (US$ Thousand)
1) 15% Discount Factor 2) Conclusive and inclusive : definite and indefinite Indirect cost,
D. Prediction of the cost for replacement based on the components (financial cost) (US$ Thousand)
The prediction
value No Cost Component (at the end of January
2007)
US$ %
1 The expenditure for land and building :
1.1.Land
127,091 24.6
1.2.Building
108,012 20.9
1.3.Total
235,102 45.5 2 The cost to replace the wage of the drowned
companies’ employees
901 0.2 3 The cost for housing and moving: -
3.1. To Contract the house
1,665 0.3
3.2. Moving
174 0.0
3.3. Total
1,839 0.4 4
The cost for social walfare
5,611 1.1 5
The cost for replacing the productive land
47,711 9.2 6
Estimation of the cost of the company
30,865 6.0 7 The cost to replace the loss because of the
infrastructure disfunction
9,140 1.8
Total 4,5,6,7
93,327 18.1
conclusive2) Nonconclusive2) No Sector Value % Value %
1 Government 247,368 7,14 268,421 7.31 2 State-owned
Enterprise 22,105 0,64
106,316 2.89
3 Private Company 102,105 2,95 206,421 5.62 4 People 3,091,158 89,27 3,091,789 84.18
TOTAL 3,462,737 100 3,672,947 100

27
The prediction value No
Cost Component (at the end of January 2007)
US$ %
8 Handling the Mud Cost: -
8.1. To Stop the Eruption
84,175 16.3
8.2. Surface Management
99,675 19.3
8.3. Social
1,272 0.2
8.4. Total
185,122 35.8 TOTAL
516,291
100

1
Auditing of Tsunami Funds with Geophysical and Environmental
Perspectives1
1. Background
The Indian Ocean tsunami that occurred on 26 December 2004 had two unique,
international features. First, it was the world’s first global natural disaster, covering
countries in two continents, Asia and Africa, on the rim of the Indian Ocean. Second, the
response to the disaster has also been global as private sector, nongovernmental
organizations, governments, and international institutions quickly provided badly needed
helping hands. The tsunami was spawned by a magnitude 9.0 earthquake that occurred at
8 AM local time on Boxing Day in deep seas off the west coast of Sumatra. The epicenter
of the earthquake was on the Australia-Asia tectonic plate around 150 km south of
Meulaboh and 250 km from Banda Aceh. The earthquake set off a string of powerful
tidal waves that caused one of the worst natural disasters in recorded human history. The
powerful waves generated by the earthquake radiated at speeds of up to 800 km per hour
across the Indian Ocean, directly impacting coastal areas of the Asian and African
continents.
In Indonesia, within 20 minutes after the earthquake, the tsunami crashed into the
western coast of Sumatra and northern part of Aceh, as well as islands in this region such
as Nias and Simeuleu Islands (Exhibit 1). Waves as tall as a three-story building smashed
into Banda Aceh, the capital city of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Province, located
in northern tip of Sumatra. In some places, waves traveled inland 6 km from the
coastline. In Meulaboh, Calang, and Lamno – cities located in the western coastline of
Aceh – 12-meter waves submerged areas up to 10 km from the coastal line. As
illustrated, the red zone shows the extent of salt-water penetration from the ocean caused
by the tsunami. Walls of water flushed away entire towns, villages, infrastructures,
tropical rain forests and agriculture lands. Coastal landscapes, habitats and fish ponds at 1 A paper prepared for the Tenth Meeting of INTOSAI-WGEA, Moscow, the Russian Federation, 27 October to 1 November 2005.

2
numerous locations have been completely washed away, leaving only minor fractions of
the original landscape.
Exhibit 1. Northeast Indian Ocean Region Tectonic Setting
Exhibit 2. Map of Aceh and Nias
Exhibit 3. Tsunami Impacted Areas in Aceh

3
The worst affected areas were the cities mentioned above, Banda Aceh, Meulaboh
and Calang, and other towns and villages along the northwest and northern coast of that
province in the four districts of Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Jaya and
Aceh Besar and the Banda Aceh Municipality. Even before the tsunami struck, many
buildings and basic infrastructure collapsed or failed due to the earthquake, and there is
some evidence of land subsidence in coastal areas (Exhibit 3). The ensuing tsunami swept
debris and sea water into homes and buildings, crushing them and further damaging
roads, bridges, telecommunications, water and electricity systems, coastal forests, rice
fields and plantations, irrigation channels, fisheries, and factories (Exhibit 4).
The Government of Indonesia quickly declared a national disaster on the same day
the calamity occurred. The Vice President, acting as the Head of Bakornas PBP, the
Indonesian Emergency Relief Coordination Agency, rushed to Banda Aceh to lead the
rescue operation, and brought with him much-needed supplies and medical team. It took
several days, however, before the full impact of the event was recognized.
Exhibit 4. Damaged Coastal Areas
Exhibit 5. Damaged Bridge
Another Earthquake in Nias
Then, a scant three months after the Boxing Day disaster, another massive
earthquake of magnitude 8.7 struck around midnight on March 28, 2005, near the island
of Nias in North Sumatra Province, just south of Aceh. The quake’s epicenter was located

4
close to the epicenter of the first earthquake on the same Australia-Asia plate, located
between the islands of Nias and Simeuleu, about 200 miles to the northwest of Medan,
the capital city of North Sumatra.
The combined destructive impact of the earthquake and the tsunami will never be
fully known. Official casualty figures as of May 2005 are 129,738 people buried, 37,090
people missing, and 517.278 people displaced (Appendix 1). About 16% of the
population of Banda Aceh died in the catastrophe, and virtually everyone suffered
immensely through the loss of friends, relatives, and livelihoods.
2. Damage And Loss Assessment The World Bank office in Jakarta, in cooperation with the National Development
Planning Agency, made a preliminary estimate of damages and losses in January 2005.
Total damages and losses were put at about $4.5 billion, of which around 12% or $0.5
billion, constitutes direct environmental costs such as damage to mangroves, coral reefs,
seaweed beds, rice fields, losses of livestock, increased air pollution, and solid wastes.
These estimates have not been updated due to the emphasis on the rehabilitation and
reconstruction process.
The impact of the earthquake and tsunami has affected 654 villages in 18 districts/
cities in Aceh and North Sumatra. The economic costs in some areas, particularly those
located on the western coast and northern tip of Sumatra, are sizeable. Homes, economic
and social infrastructure and thousands of hectares of forest and agriculture land have
been destroyed and washed away by the powerful tidal waves. The sand and seabed mud
deposits on the agricultural fields plus erosion and salinization means that much of the
agricultural land is either permanently lost or will suffer reduced crop yields for years to
come. Meanwhile, the industrial complexes suffered possible contamination, including
negative effects to human health and the environment, caused by the damage of industrial
installations.
3. Domestic And International Assistance
Thanks to prompt and wide coverage on TV and other mass media, the response to
the Indian Ocean tsunami has been global in a way rarely seen before. In addition to

5
assistance from domestic source, Indonesia, like other tsunami hit countries, immediately
received donations and technical assistance from private and official sources around the
world. In major donor countries, such as the UK, Germany, Italy, and the US, private
donations surpassed the sizable government aid commitments and for the first time
corporate donors figured prominently among private donors. Over one hundred
international NGOs with a total committed assistance amounted about US$920 million
and many local NGOs, now are operating in Aceh and Nias (Appendix 3).
Donor assistance came in the form of cash, goods and services, including the
valuable services provided by military units being sent to the disaster areas. The services
included vital helicopter flights carrying drinking water, food, blankets, medicines, and
tents to many of the traumatized survivors in the remnants of remote villages cut off by
landslides, buckled roads and destroyed bridges. The helicopters were also the only
means for carrying many of the injured from those devastated areas. Domestic and
foreign voluntary groups provided badly needed medical treatments for the wounded,
helped bury dead bodies, restored basic infrastructure, and cleared the debris. The USS
Abraham Lincoln, an aircraft carrier, of the US Navy was the first foreign military vessel
to arrive off the coast of Meulaboh for immediate rescue operation followed by others
(Appendix 4). The foreign militaries leaved Aceh and Nias in March 2005 at the end of
emergency phase and replaced by civilian to continue providing valuable assistance.
As of March 22, 2005, domestic donations amounting to almost US$ 140 million
had been channeled to the devastated areas in Aceh and Nias. At the annual Indonesia
donor’s meeting held in mid-January, an International Multidonor Trust Fund for Aceh
and Nias was established to support the rehabilitation and reconstruction of the disaster
areas in 2005-2009. Administered by the World Bank Representative Office in Jakarta,
which is acting as the Trustee, eight donors, including the World Bank, pledged US$ 444
million to the fund. In addition, the Paris Club official creditors have offered a debt
moratorium to tsunami-affected countries. In March 2005, the Paris Club agreed to
provided Indonesia the moratorium worth US$2.6 billion until the end of 2005. The
availability of the new funds and debt relief helps ease pressures on fiscal policy and the
balance of payments of these countries particularly during this time when Indonesian
economy has not fully recovered from the economic crisis of 1997.

6
4. BPK Initiatives The constitution gives independent status to BPK with the responsibility to audit
state finances in three tiers of government, from the national level down to the provincial
and sub provincial or district levels. BPK also audits state-owned enterprises either
owned by the central government or by the lower levels of government.
As the supreme state audit institution, the scope of audit work of BPK includes
auditing public funds channeled to the tsunami-hit areas of Aceh and Nias. BPK is
currently auditing the financial report prepared by (1) the Bakornas PBP for relief
operations during the emergency period, between December 26, 2004, to April 30, 2005,
and (2) the Aceh Rehabilitation and Reconstruction Agency or BRR (Badan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Aceh) for the rehabilitation and reconstruction period, beginning on
May 1, 2005. Established by the President of the Republic on April 16, 2005, the BRR is
an agency tasked to coordinate community-driven rehabilitation and reconstruction
programs in the Provinces of Aceh and Nias of North Sumatra. Based in Banda Aceh,
with a branch office in Nias and a representative office in Jakarta, the BRR is scheduled
to operate throughout the reconstruction process until 2009.
Because of the international character of the disaster, BPK, with the cooperation of
Asian Development Bank (ADB), organized an International Conference on Promoting
Financial Accountability in Managing Funds Related to Tsunami, Conflict and Other
Disasters in Jakarta on 25-27 April 2005. The conference was attended by 142 delegates
from State Audit Institutions (SAIs) from both tsunami hit countries in Asia and major
donor countries, as well as auditors and/or representatives of regional and international
organizations. SAIs from tsunami-hit countries in Africa were invited, but none
responded. Participants from tsunami-hit countries in Asia included the Maldives, Sri
Lanka, India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, and Indonesia. SAIs from major donor
countries include the USA, Germany, UK, Netherlands, Japan, and Australia. The
international organizations represented by, among others, the UN, INTOSAI, ASOSAI,
the World Bank, IMF, and ADB.
The agenda of the conference included a one-day visit on 26 April to the tsunami-hit
areas in Aceh so that the participants could see for themselves the severity of the calamity
and talk to the local governments. The clear weather allowed them to observe from the

7
sky the destruction in the cities of Meulaboh and Calang along the west coast of Aceh.
They continued on land to see the destruction in the business and residential areas in the
city of Banda Aceh, the totally destroyed main seaport of Ulee Lhee, and the devastated
cement plant owned by Lafarge of France in the city of Lhonga, about 30 kilometers to
the southwest of the capital city.
The main purpose of the April conference was to enhance financial accountability
and transparency in managing funds related to the tsunami, conflict and other disasters.
The topic of auditing in a conflict area was included in the agenda as the province of
Aceh and Sri Lanka were both in a state of military conflict when the tsunami struck. The
tsunami is a natural disaster and the military conflict caused by man. When the tsunami
hit in December, Aceh was under a second period of civil emergency. An extension of
the preceding martial law, the civil emergency imposed restrictions on the local
population. It is encouraging to note that the tsunami has been the catalyst for a peace
agreement in Aceh with the local rebels. Facilitated by the Former President Martti
Ahtisaari of Finland, a Memorandum of Understanding between the Free Aceh
Movement (GAM) and the Government of Indonesia was signed in Helsinki on August
15, 2005, ending a civil war that had been raging for the last 30 years.
The Jakarta conference identified a number of recommendations that included:
• To develop internal control systems in the recipient countries to ensure the
assistance funds are disbursed efficiently, effectively and economically for the
purposes intended.
• To ensure transparency and accountability of the accounting, reporting and
monitoring of the assistance fund balances and progress of the rehabilitation
and reconstruction programs.
• To arrange joint audits among auditors of donor countries and local auditors to
enhance audit efficiency, facilitate technology and knowledge transfers, and
help build institutional capacity.
• To establish an independent advisory body, consisting of representatives of
SAIs of donors, INTOSAI and BPK. Through this body matters such as
coordinated audits could be mapped out to ensure adequate audit coverage,

8
eliminate duplication of audit efforts, maximize audit efficiency and minimize
costs.
• To create an ad-hoc task force under the auspices of INTOSAI to create an
audit manual and conduct audits of disaster relief activities.
Prior to the April conference, BPK opened a new Representative Office in Banda
Aceh to help local governments and the BRR to strengthen their internal control systems,
to speed up the auditing process, and to work closely with external auditors of donor
countries and international and regional organizations operating in the region.
To build up its internal capacity in conflict auditing, BPK, with the assistance of
Cour des Comptes (SAI of France), has sent its auditors to join a UN audit team
conducting audits in conflict areas within Congo, Eritrea, and Kosovo in 2005. Moreover,
in January – March 2006, BPK will work together with a French audit team to conduct
audits of tsunami funds from the French Government.
In line with the recommendations of the Jakarta conference, BPK has also conducted
a performance audit with an environmental perspective in Aceh. The focus of the audit
was on the planning and implementation of a coastal forests rehabilitation program to
built greenbelts or natural buffers in earthquake and tsunami prone areas in Aceh and
Nias. The audit was another new challenge for BPK since it was our first environmental
audit. Our lack of expertise in doing such audits led us to seek assistances from other
SAIs. During the preliminary audit, our team received valuable technical assistance from
the Office of Auditor General of Norway in developing the audit methodology and
research questions. The results of this environmental audit will be explained further in a
parallel session.
5. Recommendation to Support the Reconstruction of the Environment in Aceh The process of environmental degradation in NAD began long before the tsunami.
Tropical forests had been either damaged by logging activities or transformed into
modern plantations producing commercial crops. Mangrove forests replaced by fish and
shrimp ponds, and swamps near major cities refilled for housing complexes. The eco-
development has often been mentioned, but hardly implemented in practice. Of course

9
the tsunami accelerated this devastation. To ensure long-term sustainable development,
geophysical and environmental considerations must be emphasized in the rehabilitation
and reconstruction programs. These are particularly important as the livelihood of the
affected population largely depends on primary industries including traditional and
subsistence agriculture, fishing, and exploitation of natural resources.
As mentioned above, peace has only been recently restored in NAD. To speed up the
healing process, BPK should also strive to ensure that the rebuilding of that province
regains the hearts and minds of local population. For this objective the programs should
take into account the unique social and cultural conditions of the local population.
As the rehabilitation and reconstruction process requires the coordinated work of
many government and nongovernment organizations, it is essential that this coordination
be conducted effectively and efficiently. This coordination must encompass all sectoral
efforts and cannot be divided into discrete sectors. For example, land use and
development of the housing sector cannot be separated from geophysical factors and
environmental issues such as water, sanitation, illegal logging, and the creation of
greenbelts or buffer zones. BPK will play a role here to ensure that BRR maintains a
focus on the importance of geophysical and environmental concerns during the
rehabilitation and reconstruction effort.
BPK is making the following recommendations to support Aceh’s environmental
reconstruction:
• Integrated environmental consideration for sustainable reconstruction. All
reconstruction planning and action should consider environmental issues. To use
natural buffers or greenbelt in earthquake and tsunami prone areas. Several trees
or plant species, such as mangrove, can be used effectively.
• Land-use policies should take into consideration geophysical factors. Seismic
zoning and building codes must be used and enforced.
• Environmental friendly and disaster resilient spatial planning. Sound spatial
planning principles and strategy should be established prior to any sectoral
reconstruction.

10
• Environmentally sound planning of temporary housing and other installations.
Selection of locations for temporary housing should consider potential long-term
environmental implication.
• Participatory rebuilding of the environment. The involvement of local
communities and civil society organizations will ensure that environmental issues
are taken into consideration in the reconstruction process, thereby ensuring
sustainability.
• Ecosystem based restoration. The restoration should take place utilizing
ecosystem recovery potential and in such a manner that ecosystem goods and
services are used for local livelihoods.
• A comprehensive environmental assessment of disaster damages should be
conducted as a follow up to preliminary assessment.
6. Conclusion In conclusion, BPK, the State Audit Board of Indonesia pursues three key objectives
in the rehabilitation and reconstruction of Aceh, namely (1) to ensure that the tsunami
fund are properly accounted for and used efficiently and effectively for the purposes
intended, (2) to ensure that geophysical, geological and seismological information and
environmental concerns and issues of sustainable development are considered in all
rehabilitation and reconstruction efforts; (3) to engage the hearts and minds of the local
population in the reconstruction effort.

11
Appendix 1. Number of People Affected by the Aceh Tsunami As Of May 2005)
Region Population(*) Killed(*) Missing(*) Refugee(**) Total Affected
Affected/Population
1 City of Banda Aceh 260,478 15,394 49,921 157,481 60.46%2 Aceh Besar District 302,405 15,176 98,223 113,399 37.50%3 City of Sabang 26,303 25 108 3,712 3,845 14.62%4 Pidie District 517,898 4,401 877 81,532 86,810 16.76%5 Bireun District 361,528 461 58 49,945 50,464 13.96%6 Aceh Utara District 523,717 1,583 218 30,510 32,311 6.17%7 City of Lhokseumawe 167,362 189 11 2,494 2,694 1.61%8 Aceh Timur District 331,636 52 - 12,422 12,474 3.76%9 Langsa District 122,865 - - 6,156 6,156 5.01%
10 Aceh Tamiang District 225,011 - - 3,396 3,396 1.51%11 Aceh Jaya District 98,796 16,797 77 40,422 57,296 57.99%12 Aceh Barat District 195,000 10,874 2,911 72,689 86,474 44.35%13 Nagan Raya District 143,985 1,077 865 17,040 18,982 13.18%14 Aceh Barat Daya District 115,358 3 - 3,480 3,483 3.02%15 Aceh Selatan District 167,052 1,566 1,086 16,148 18,800 11.25%16 Simeuleu District 77,761 44 1 18,009 18,054 23.22%17 Aceh Singkil District 124,758 22 4 105 131 0.11%18 Aceh Tengah District 160,453 192 277 5,288 5,757 3.59%19 Aceh Tenggara District 150,776 44 - 809 853 0.57%20 Gayo Lues District 86,448 - 3 158 161 0.19%21 Bener Meriah District 112,000 2 - 819 821 0.73%
Total 4,271,590 129,498 37,066 513,278 679,842 15.92%
1 Nias District 422,170 233 24 4,000 4,233 1.00%2 Nias Selatan District 275,422 1 n/a n/a 1 0.00%3 Tapanuli Tengah District 272,333 1 n/a n/a 1 0.00%4 Serdang Bedagai District 549,091 4 n/a n/a 4 0.00%5 Mandailing Natal District 369,691 1 n/a n/a 1 0.00%
Total 1,888,707 240 24 4,000 4,240 0.22%Source:
(*) United Nation Information Management Service, May 19, 2005(**) Bakornas, May 17, 2005
Aceh Province
92,166
North Sumatra Province

12
Appendix 2. Assessment of Damages and Losses in Aceh and Nias
Sector Damages and Losses
Housing Number of affected house in Aceh and North Sumatra
Permanent House Semi permanent House
Permanent House
Semi permanent House
Permanent House
Semi permanent House
1 Aceh 227,456 432,235 43,148 42,174 53,041 89,330 2 North Sumatra 315,445 91,107 3,155 9,111 3,155 9,111
Total 542,901 523,342 46,303 51,285 56,196 98,441
No ProvinceBefore earthquake & tsunami
After earthquake & tsunamiTotal Damage Major Damage
Source: National Development Planning Agency
Education
Number of victims include 1.823 teachers and 17.228 students Number of affected education facilities are:
NAD North SumatraPreschools and Primary Schools (TK + SD) 1,144 642 Junior Secondary Schools (SMP) 246 75 Senior Secondary Schools (SMA) 154 31 Vocational Senior Secondary Schools (SMK) 16 10 Schools for Disabled (SLB) 5 - Higher Education Institutions 18 -
Total 1,583 758
Education LevelNumber of Damaged Facilities
Source: www.eduforaceh.org as of 27 April 2005

13
Health Number of affected health facilities are:
Total Damage
Moderate Damage
Minor Damage
Hospital-Public 1 2 1 4-Private 2 0 0 2Public health center 26 10 5 41Public health sub-center 37 12 10 59Polindes 172 109 109 390Private health center 2 2 2 6District health office 1 2 0 3Laboratory 0 1 0 1Port healt facility 3 0 0 3District drug warehouse 1 1 1 3Health Poly technic 4 4 0 8Ambulance 14 0 0 14Mobile health facility 0 39 0 39Health training complex 0 1 0 1
Facilities
Damage
Total
Source: National Development Planning Agency
Religion and Culture
Number of damaged worships facilities are: Aceh Nias
Mosques/ Meunasah/Prayer Room 1059 2Churches 8 8Confucian Temples/Temples 2
Total 1069 10 Source: National Development Planning Agency

14
Infrastructure Road condition before and after tsunami and earthquake:
Good Minor Damage Major DamageBefore tsunami and earthquake 1139.22 1249.02 1096.36After tsunami and earthquake 990.43 1244.47 1249.70
Description Road Condition (km)
Source: Ministry of Transportation
The total damage of the bridge is estimated reached 25 % of the bridge length, which is 21,340 m for the national bridges and 14,015 m for the provincial bridges. The Directorate-General of Sea Communication reported that five ports were heavily damaged and eleven ports were lightly damaged. Two airport infrastructures were seriously damaged and two airports were lightly damaged, whereas three airports are in an operation-worthy condition
Energy
The majority of the damage in the energy sector is in the distribution networks in both electric power and petroleum fuel supply. Electric power supply suffered light damage to generation capacity, no damage to the transmission network but substantial damage to the distribution network in the affected areas. The damaged distribution network includes: (i) the isolated m-system Voltage Network particularly in the central and west parts of NAD territory, including the Medium Voltage Network (JTM) as far as 1,046 km (11.76%); (ii) Low Voltage Network (JTR) as far as 2,394 km (21.61% ); (iii) Distribution relay station as many as 736 units (16.24%); (iv) House Connections (SR) for as many as 119,253 customers (18%); and (v) Connecting Relay Stations (GH) as many as 6 units (7.44%). Damaged power stations includes 16 units of diesel powered electric generators (PLTD) or 7.44 percent; whereas other damages includes electronic meters as many as 246 units (41.48 percent) and office buildings as many as 6 units. Pertamina reported heavy damage to its two depots, and lesser damage to its three depots. Many SPBU’s (Roadside Fuel Stations) have been damaged, particularly in Banda Aceh. Pertamina’s branch office in Banda Aceh has also suffered some damage.

15
Communication Nineteen post offices were seriously damaged. Telecommunications suffered severe damage, primarily to the fixed connection services and to transceiver facilities for cellular phones. The rural telephone facilities with PFS technology were damaged including up to 66 lines in the Province of Aceh, and up to 6 lines in Nias -North Sumatra. Facilities using radio technology were damaged up to 62 lines in the Province of Aceh and 9 lines in Nias -North Sumatra. Total damages were estimated to be Rp40 billion.
Water Supply and Sanitation Damage
Sanitation facilities such as sewage systems, septic tanks, pit latrines, waste disposal, and sludge treatment facilities were severely damaged. Virtually the entire network of macro and micro drainage systems do not function as they are covered with sand, mud, and ruins of buildings. Reports indicate that the damage to both urban and rural water supply systems was significant. Water supply facilities such as laboratories, equipment, and water piping networks were destroyed. Thousands of wells and boreholes are either fully or partly destroyed or contaminated, and require replacement, cleaning, and disinfections. The World Bank estimated that the total losses for water supply and sanitation are Rp276 billion.
Flood Control, Coastal Protection, and Irrigation
The assessment from Ministry of Public Works stated that the total areas affected by tsunami are estimated at 33,142 ha (technical, semi technical and simple irrigation system), comprising 13,698 ha in the coastal area and 19,444 ha in the noncoastal area. The degree of damage varies but it appears that the northern and western part of the province experienced the maximum damage. In addition to irrigation facilities, the flood protection infrastructure (about 46.2 km in length) and sea wall system (about 35.06 in length) were damaged. Satellite photos showed that about 2 kilometers of flood control embankment for the recently constructed floodway in Aceh River was damaged.
Agriculture
Damages and losses based on Master Plan (Main Book) and Ministry of Agriculture of Indonesia included rice fields 34,600 ha, dry land crops 22.785 ha, food crops 27,905 ha, irrigation areas 8.257 ha, estate crops 43.500 ha (coconut 23.533 ha, rubber 5.395 ha, coffee 6.242 ha, mente 6.931 ha, oil palm 1.600 ha, areca nut 2.761 ha, cacao 2.768 ha, patchouli 710 ha, clove 4.600 ha, nutmeg 1.808 ha and ginger 218 ha). Losses for livestock base on the same sources were cattle 46,002, buffaloes 50,781, goats 68,934, sheep 8,481, poultry 1,401,768, ducks 534,783 and livestock housing 24,617.

16
Fisheries The report from Ministry of Marine Affairs and Fisheries shows that the total damage is estimated at Rp1.2 trillion with details as follow:
(Rp million)Description Total
Fishing ports 38 unit 147,300 Fishing boats 14,949 unit 286,220 Fishing equipments 161,953 Brackish water culture ponds 14,523 ha 586,314 Fishing production 21,407
Total 1,203,194
Physical
Enterprises A report from Ministry of Industry stated that 92.000 small/house industries in Aceh and 12.500 in Nias were damaged. Assuming that each small business had around Rp30 million in total assets and that all of this was a destroyed-this amounts to a total damage figure of Rp31 trillion. The assessment from Ministry of Trade estimated that about 65 shopping centers, 123 traditional markets (54 permanent and 69 semi permanent), 69 wholesale markets, 1 cattle market, 19 fish markets, 25 private banks, and 4 ROE’s banks were damaged.
Regional Governments
The total of losses among Central and Local government personnel are 3.374 death and 3.528 missing. Seriously damaged facilities and infrastructure of office buildings in the province of Aceh are found in (1) the Provincial Government of Aceh, (2) Banda Aceh City, (3) Aceh Barat, District (4) Aceh Besar District and (5) Aceh Jaya District. At sub-district level, 24 of 241 sub-districts were not functioning. Fifty percent of sub-district in Aceh Jaya was not functioning. At village level, 640 of 5,947 villages are not functioning. The earthquake on March 28, 2005 also damaged the Simeuleu District Office, Nias District Office and 4 sub-district offices in Nias
Financial
The number of Commercial and Rural Banks affected by the tsunami is up to 17.6 percent (25 units) and 8.9 percent (4 units) respectively. About Rp.2 trillion of the total Rp.3.9 trillion in credits/loans extended by the banks is estimated to become bad credits (IDB, January 2005).

17
Environment The damage is estimated to occur to 90% of the 525 ha of mangrove, 30% of the 97,250 ha of coral reef and 20% of the 600 ha of seaweed farming. 654 of 5,736 villages in 18 districts/cities are estimated to have been affected by the disaster. The impact of disaster is estimated to have reached 667,066 ha out of around 4 million ha of land in 18 districts/cities. The community’s damaged rice field has reached 20,101 ha. The nonagricultural land, which also experienced the disaster impact, includes 113,929 ha of plantation, 91,517 ha of state-owned land, 44,312 ha of housing, and 1,714 ha of industrial complexes. There are regions sinking in 4 kecamatans namely in sub district of Meuraya, Syiah Kuala, Kuta Raja and Jaya Baru

18
Appendix 3. Existing NonGovernmental Organizations in Aceh and Nias (US$ million)
No Non Governmental Organization Commited Assistance1 Action Contre 10.317 2 Agency for Cooperation and Technical Development 4.514 3 Aide Medical Internationale 0.335 4 ALISEI 8.000 5 American Redcross 35.000 6 Ananda Marga Universal Relief Aceh 1.700 7 Atlas Logistique 4.772 8 Australian Red Cross n/a9 Austria Red Cross n/a
10 Belgium Red Cross n/a11 British Red Cross Society 0.080 12 Bundesanstalt Technisches Hildswerk 7.996 13 Caritas Australia 4.000 14 Caritas Austria 0.903 15 Caritas Czech Republic 1.220 16 Caritas Germany n/a17 Catholic Organization for Relief and Development Aid 25.793 18 Catholic Relief Services 12.000 19 Center for Earthquake Resistant Houses 0.225 20 Child Fund Indonesia 0.279 21 Church World Service 10.000 22 Comite d Aide Medicale 0.967 23 Concern Worldwide 10.317 24 Consortium for Assistance and Recovery Toward 24.958 25 Croix-Rouge Francaise 25.148 26 Danish Red Cross Society 8.430 27 Deutch Gesellschaft Fuer Technische Zusammenarbeit 7.738 28 Emergency Architects 1.548 29 Enfants Refugies Du Monde n/a30 Fauna & Flora International 3.100 31 Food for the Hungry International 1.500 32 German Agro Action 16.121 33 German Red Cross 10.000 34 Global Peace Mission 2.750 35 Global Sikhs/Waves of Mercy 0.650 36 Greenhelmets 0.270 37 Handicap International 2.017 38 Helen Keller International 3.400 39 HELP eV Germany n/a40 HELP Hilfe zur Selbsethilfe 7.196 41 Hivos Foundation 3.224 42 Hong Kong Red Cross 10.875 43 Helping Orphaned Peoples Everywhere 0.322 44 Hilfswerk Austria 6.771 45 Indonesian Development of Education of Permactulture 0.500 46 International Personnel Services. LLC 2.000

19
(US$ million)No Non Governmental Organization Commited Assistance
47 International Catholic Migration Commission 7.000 48 International Disaster 5.000 49 International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies 200.000 50 International Relief Development 10.000 51 Istanbul International 1.000 52 Istanbul Metropolitan Municipality Banda Aceh Aid 5.000 53 Japanese Red Cross Society 20.000 54 Johns Hopkins Program for International Education in reproductive Health 5.000 55 Medical Emergency Relief 4.000 56 Medicine du Monde Canada 0.700 57 Medicine du Monde France 64.484 58 Medicine du Monde Greece 0.257 59 Medicine Sans frontieres 7.222 60 Medicos Del Mundo 0.645 61 Mercy Corps 20.000 62 Mercy-USA for Aid and Development. Inc 0.980 63 Muslim Aid Indonesia 2.579 64 Nehemia Christenhilfsdienst e.V. 0.167 65 Norfolk and Suffolk Islamic 0.150 66 Norlink International 74.383 67 North West Medical Team International 3.500 68 Norwegian Red Cross n/a69 Opportunity International 2.299 70 Oxfam Great Britain 67.000 71 Pelayanan advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian 2.150 72 Pharmaciens sans 0.546 73 Planete Urgence 1.031 74 Project Concern International 5.000 75 Project HOPE (The People to People Foundation. Inc) 8.000 76 Asih Eka Abadi. PT 0.300 77 Republic of Korea National 3.000 78 Saudi Red Crescent Society 0.010 79 Solidarites 0.124 80 Sos Desa Taruna Indonesia n/a81 Spanish Red Cross n/a82 Swiss Red Cross 0.017 83 Taiwan Red Organization 0.650 84 Terre des Hommes 11.607 85 The Foundation for Human Right and Freedom and Humanitarian Relief 0.370 86 The Mentor - Intiative n/a87 The Netherlands Red Cross 16.751 88 The Source (Yayasan Sumber Utama) 0.250 89 Triangle Generation Humanitaire 1.354 90 Union Aid Abroad - Australian People for Health Education 0.996 91 VIVAT International 8.000 92 World Harvest n/a93 World Relief 19.000 94 World Vision International 40.000

20
(US$ million)No Non Governmental Organization Commited Assistance
95 Yakkum Emergency Unit n/a96 "Berkati Indonesia" Foundation 5,500 97 "Bina Perdamaian" Foundation 0,792 98 "Dinamik Sistem" Foundation 2,299 99 " Jesuit Refugee Service Indonesia" Foundation 10,627
100 "Sosial Kreasi" Foundation 0,900 101 "Sumber Utama" Foundation 0,250 102 Zoe's Ark Foundation 2,579
Total 920,405 Source: Data from the Rehabilitation and Reconstruction Agency as of August 31, 2005
Appendix 4. International Assistance Received During Relief/Emergency Period No Countries
Assistance 1 Afghanistan 20 medics, relief goods 2 USA USS Abraham Lincoln, 6 Hercules C-130s, 12
helicopters, USS Essex, USNS Mercy, medicines, drinking water, relief and humanitarian goods, generators, emergency medical kit
3 Armenia 4 medics 4 Australia 288 medics and 35 nonmedics, 600 soldiers, 4 Hercules,
1 Boeing 707, Antonov, 3 helicopters, HMAS Kanimbla (ship), medicines, food, clothes, evacuation equipment, relief/humanitarian goods, generators
5 Brunei Darussalam 15 medics, relief goods 6 Netherlands 4 teams of nonmedics, medicines, emergency and relief
goods, mobile phone & radio equipments 7 Czech Republic 22 nonmedics, drinking water 8 China 35 medics and 89 nonmedics 9 Chile 5 medics and 1 expert 10 Estonia 15 medics 11 Philippines 23 medics, medicines, relief goods, water equipments 12 Hungary 14 medics 13 India Indian Naval ship “Nirupak” (floating hospital) and
“Khukri” (medical ships), medicines, relief goods 14 UK 3 nonmedics, 3 experts, vehicles, medicines,
humanitarian goods, water equipment 15 Italy 7 medics 16 Japan 23 medics, emergency medical kit, emergency and
humanitarian goods 17 Germany Flying hospital and rehabilitation of regional general
hospital “ Zainal Abidin), medicines, evacuation equipment, relief and humanitarian goods
18 South Korea 32 medics, 91 nonmedics, medicines, clothes, relief goods, emergency medical kit
19 Cuba 23 medics 20 Kuwait 56 heavy equipments and 150 boats

21
21 Malaysia 383 medics, medicines, food, drinking water, clothes, relief and humanitarian goods, water equipment, emergency medical kit
22 Mexico 5 experts, 2 Naval ships “Zapoteco” and “Usumacinta (floating hospital), 3 helicopters
23 Egypt 6 medics 24 Nigeria 31 medics 25 Norway 31 medics, 1 field hospital with 100 person capacity 26 Pakistan 300 medics, 1 field hospital, 2 Naval ships “PNS
Khaibar” and “PNS Moawin”, 3 helicopters 27 France 72 medics, 1 team of nonmedics, 2 experts, Antonov, 2
ships “Jeanne d’Arc” and “Gorges Leygues”, 8 helicopters, emergency hospital “Escrim”, medicines, food, evacuation equipments, relief and humanitarian goods, water equipment, vehicles
28 Portugal 24 medics, mobile hospital, generators 29 Russia 1 field hospital, relief and humanitarian goods 30 Singapore 2 experts, 800 soldiers, helicopters: 6 Chinook, 2 Super
Puma, 2 landing ships helicopters, several C-130 airplanes, medicines, food, drinking water, evacuation equipments, relief and humanitarian goods, generators
31 New Zealand 1 C-130 airplane, relief goods 32 Slovakia 4 medics 33 Spain 600 soldiers, 1 ships functioning as field hospital and
water purification, 5 airplanes, 2 helicopters, body bags, relief and humanitarian goods, vehicles
34 Sudan 4 medics 35 Switzerland 2 medics, 53 nonmedics, 17 experts, 3 helicopters,
medicines, relief and humanitarian goods, vehicles 36 Syria 5 medics 37 Turkey 37 medics, relief goods 38 United Arab
Emirates 31 medics, trucks, clothes, relief goods, emergency medical kit
39 Jordan 32 medics 40 Greece 10 experts, military trucks, water purification, medicines,
humanitarian goods Source: Report from the Indonesian Emergency Relief Coordination Agency as of March 22,2005.

1
Meningkatkan Kemampuan Penanganan Bencana di Indonesia1
1. Pengantar
Laporan audit BPK dalam pemeriksaan rangkaian bencana alam maupun
bencana buatan manusia selama dua tahun terakhir ini menggambarkan bahwa
kemampuan kita untuk menghadapi bencana alam maupun buatan manusia sendiri
masih jauh dari harapan. Lemahnya kemampuan tersebut adalah sangat mendasar dan
menyangkut segala bidang. Kelemahan itu diawali dengan kurang adanya upaya
pencegahan karena ketidaktertiban kita sendiri dan lemahnya perijinan serta
penegakan aturan hukum. Organisasi kita yang kurang efektif, mulai dari tingkat
Pusat hingga Daerah. Peralatan kita yang tidak mencukupi. Keahlian personil untuk
menanggungi bencana dan menolong korbannya pun masih jauh dari harapan. Dana
pun kita sangat kekurangan apakah untuk menangani bencana itu, apalagi untuk
membangun kembali kehidupan masyarakat yang menjadi korbannya. Kekurangan
dana terjadi karena gabungan korupsi dengan keterbatasan anggaran negara yang
terasa sejak krisis ekonomi tahun 1997. Sementara itu, anggaran negara yang semakin
terbatas tersebut juga semakin banyak terserap oleh pengeluaran untuk membayar
hutang negara, mensubsidi BBM dan membelanjai pengeluaran militer untuk
memadamkan perang saudara dan teroris yang berkecamuk mulai dari Aceh, Jawa,
Bali, Kalimantan, Poso, Ambon hingga Papua. Akibatnya, porsi anggaran negara
yang tersedia bagi penanggulangan bencana menjadi semakin terbatas. Pada
gilirannya, penggunaan anggaran negara yang semakin besar bagi penanggulangan
bencana telah mengurangi penggunaan anggaran bagi keperluan lain yang lebih
penting, seperti penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan masyarakat dan
pemeliharaan serta pembangunan infrastruktur.
2. Bencana alam
Karena terletak dilempengan Australia-Asia, Indonesia sangat rawan terhadap gempa
bumi. Gesekan lempeng tersebut telah menyebabkan terjadinya tsunami di NAD dan
Nias pada bulan Desember 2004 maupun rente tan gempa setelah itu, termasuk di
Bantul pada tahun berikutnya. Sebagai negara yang memiliki gunung berapi yang
1 Keynote speech pada Seminar Nasional "Penanganan Bencana Yang Berorientasi Pad a Rakyat", Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang, 14 Maret 2007

2
terpadat didunia dalam gugusan ring of fire, yang mencakup Italia hingga Jepang,
Indonesia juga rawan pada letusan gunung berapi. Gunung Merapi di DIY meletus
setelah terjadinya gempa di Bantul pada tahun y.l. Indonesia juga rawan pada
kebakaran hutan karena memiliki hutan tropis yang merupakan salah satu yang terluas
didunia. Kebakaran hutan menjadi semakin rawan karena kurang baiknya
pengelolaannya maupun karena praktik pertanian ladang berpindah yang membakar
hutan. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan terjadi hampir setiap tahun telah
mengganggu keselamatan pelayaran di Selat Malaka maupun kesehatan penduduk di
negara-negara tetangga. Indonesia pun rawan akan banjir, apakah karena derasnya
hujan tropis, penggundulan hutan maupun pemeliharaan serapan air serta aliran
sungai yang kurang baik. Banjir semakin sering menimbulkan kerugian besar bagi
perekonomian pantai Utara pulau Jawa dan melumpuhkan kegiatan masyarakat di
DKI Jakarta.
3. Bencana karena ulah manusia
Bencana juga terjadi karena ulah manusia yang sebenarnya dapat dihindarkan.
Bencana karena ulah manusia itu terjadi karena gabungan antara tidak adanya tata
ruang dengan kelemahan law enforcement. Keadaan menjadi semakin parah dengan
maraknya korupsi, mulai dari tingkat perijinan, pembangunan serta pengadaan sarana
maupun inspeksi kelaikan operasional alat angkut serta fasilitas produksi. Hutan
bakau, yang berfungsi sebagai penahan deburan ombak, telah digantikan dengan
tambak udang dan ikan serta daerah pemukiman. Batu karang pelindung pantai
dijadikan pengeras jalan raya. Pulau di Kepulauan Riau tenggelam karena tanahnya
dijual bagi keperluan pengurukan Singapura. Keperluan akan lahan pemukiman
semakin besar karena pola hidup kita yang tinggal di single dwelling unit yang padat
lahan. Akibatnya, sawah, ladang, hutan, taman kota dan kawasan rekreasi semakin di
konversi menjadi daerah pemukiman dan usaha. Negara lain, seperti Malaysia, China
dan Singapura sudah menggunakan lahannya secara efisien dan tinggal di rumah
susun. Law enforcement kita masih sangat lemah, termasuk mengenai Aroda.
Monitoring dan supervisi ketaatan perusahaan pengusahan hutan, perkebunan,
pertambangan maupun industri pengolahan atas ketentuan yang berlaku hampir tidak
pernah dilakukan. Juga tidak di check kesediaan peralatan dan personil mereka untuk
menanggulangi bencana dan men test efektifitasnya. Peraturan mengatakan bahwa
perusahaan wajib memberikan laporannya secara periodik, setiap enam bulan, tidak

3
dilaksanakan dengan baik. Juga tidak ada alat untuk mendeteksi dan melaporkan titik
api kebakaran. Ketentuan Arodal hanya perhiasan yang tidak pernah di enforce.
Sungai dijadikan sebagai pembuangan lirnbah industri dan rumah tangga yang
merusak lingkungan dan menimbulkan penyakit bagi penggunanya.
Dalam kelompok bencana karena ulah manusia termasuk tenggelamnya kapal
ferry Senopati Nusantara karena kelebihan penumpang dan perawatan yang buruk.
Demikian pula dengan rangkaian kecelakaan kereta api dan penerbangan karena
kurangnya pemeliharaan alat angkut, buruknya inspeksi pengujian kelaikan operasi
serta landasan udara kita yang tidak memadai. Semua alat transportasi kita: pesawat
udara, kereta api dan kapallaut adalah barang rongsokan dari luar negeri. Kecelakaan
lalu lintas di jalan raya serta lintasan kereta api cukup tinggi karena buruknya
infrastruktur dan lemahnya penegakan hukum. Ditutupnya jalan toll karena lemburan
lumpur panas Lapindo di Sidoarjo menyebabkan lalu lintas Surabaya-Pandaan
menjadi rawan kecelakaan. Rel kereta api, pipa gas, aliran listrik serta prasarana
lainnya yang melintasi daerah itu menjadi rusak total tidak berfungsi. Kesalahan
manusia juga berperan pada semburan lumpur panas Lapindo tersebut karena diduga
melanggar prosedur dalam melakukan eksplorasi gas. Bencana Lapindo telah
menyebabakan lebih dari 10 ribu orang penduduk Sidoarjo menjadi pengungsi,
mematikan kehidupan perekonomian masyarakat di daerah itu dan sekaligus
melumpuhkan ekonomi Jawa Timur bagian Tengah dan Selatan.
4. Ilustrasi di sektor kehutanan dan perkebunan
llustrasi di bawah ini mengambil contoh kebakaran hutan dan perkebunan.
Kedua sektor ekonomi ini merupakan multi billion dollar industries yang seharusnya
tidak ada masalah untuk mendapatkan manajer yang mampu menjalankan roda
organisasinya, mengadakan peralatan yang cukup, melatih dan menggaji tenaga kerja
terampil serta menyediakan dana yang diperlukan. Kedua sektor ini merupakan objek
KKN yang pada masa Orde Baru sehingga mengkorupsikan dana yang dikumpulkan
untuk keperluan kebakaran hutan.
(1) Organisasi
Selain pada tingkat perusahaan pengusahaan hutan/perkebunan, ada tiga tingkat
organisasi pemerintahan yang menangani kebakaran hutan/perkebunan. Ketiga
tingkat organisasi penanggulangan kebakaran hutan/perkebunan itu adalah: (i)

4
Bakomas pada tingkat nasional; (ii) Satkorlak pada tingkat provinsi yang dipimpin
oleh gubernur (iii) dan Satlak pada tingkat kabupaten/kota yang dipimpin oleh
bupati/walikota. Ketiga tingkat organisasi pemerintahan itu mengkoordinasi 46 orang
dari berbagai instansi terkait, seperti pejabat Pemda, Kadis Perkebunan, Kehutanan,
Pertanian Tanaman Pangan, Kehewanan dan Peternakan, Pemukiman dan Prasarana
Wilayah, Energi dan SDM Perindustrian, Sosial, Pemberdayaan Perempuan,
Perhubungan dan Telkom, Informasi Daerah, maupun penegak hukum serta aparat
keamanan. Dalam realita, tidak ada perincian yang jelas akan tugas dan tanggung
jawab masing-masing instansi. Koordinasinya pun lemah dan semakin melemah
karena adanya konflik kepentingan di antara mereka. Berbeda dengan di Amerika
Serikat, gubernur dan bupati serta walikota di Indonesia, misalnya, tidak punya
otorita untuk memobilisasi seluruh tenaga maupun peralatan yang ada di daerahnya
untuk mengatasi bencana.
Koordinasi dalam suatu provinsi menjadi semakin lemah jika kabupaten dan
kota enggan dikoordinasikan oleh gubernur. Koordinasi antara provinsi yang
berdekatan juga belum seperti yang diharapkan.
(2) Peralatan
Selain tidak mencukupi, jenis peralatan pemadam kebakaranan yang dimiliki
oleh Satlah maupun Satkorlak adalah tidak memadai. Baik secara sendiri sendiri
maupun gabungan perusahaan tidak memiliki, misalnya, pesawat udara pemadam
kebakaran. Demikian juga kabupaten dan kota serta provinsi, baik secara sendiri-
sendiri rnaupun secara bersama. UPT Dephut BKSDA di Kalimantan Barat, misalnya,
hanya memiliki 240 orang personil dengan peralatan 24 unit Mobkar, 25 unit sepeda
motor, 624 unit peralatan tangan, 16 unit tenda dan 28 unit pompan jinjing. Dishutbun
Kabupaten rnemiliki 208 orang personil dengan peralatan 57 unit pompa, 186 unit
asesoris pompa dan 263 unit peralatan tangan. Satu perkebunan besar di Jawa atau
Sumatera mungkin memiliki peralatan pemadam kebakaran yang jauh lebih banyak
dan lebih canggih daripada milik kedua instansi itu. Padahal, luas Provinsi Kalbar
adalah sekitar tiga kali luas Pulau Jawa.
(3) Keterampilan dan keahlian tenaga kerja
Keterampilan teknis tidak dilatih secara periodik untuk meningkatkan
keterampilan petugas permadam kebakaran. Kekurangan latihan seperti itu terjadi
pada tingkat unit perusahaan maupun secara bersama sarna di antara sekelompok

5
perusahaan maupun latihan gabungan pada tingkat kabupaten, kota dan provinsi.
Dalam hal keuangan, tidak ada sistem akuntansi dan tidak ada tenaga yang
memahami bagaimana caranya menyusun pembukuan. Dalam kasus bencana tsunami,
Bakomas dan Menko Kesra yang menangani sehari hari tidak mendapatkan bantuan
dari BPKP baik berupa penyusunan sistem pembukuan maupun berupa tenaga kerja
yang memahami pembukuan. Justru kantor akuntan internasional (seperti
Pricewaterhouse and Coopers) yang menawarkan jasanya secara gratis untuk
menyusun sistem pembukuan bantuan internasional atas bencana tsunami itu.
5. Apa yang harus dilakukan?
(1) Kepatuhan kepada aturan perijinan, keselamatan serta tata ruang perlu
dipaksakan berlakunya (enforce) sehingga menjadi efektif untuk dapat
menghindarkan terjadinya bencana akibat dari ulah manusia;
(2) Peraturan yang berlaku untuk menanggulangi bencana perlu dilaksanakan
secara efektif;
(3) Sistem pengendalian bencana perlu difungsikan agar menjadi efektif,
organisasi, peralatan, dana dan keterampilan sumber daya manusia;
(4) Kerjasama kabupaten/kota dengan provinsi dalam menanggulangi bencana
perlu diefektifkan guna mengadakan peralatan bersama dan membiayai kegiatan
bersama pula. Demikian pula kerjasama antara kabupatan/kota/provinsi dan
negara yang berdekatan;
(5) Peralatan penanggulangan bencana perlu ditingkatkan dan disesuaikan dengan
medan daerah setempat. Pengadaan alat berat seperti mobil/kapal serta pesawat
udara pemadam kebakaran dapat dilakukan secara urunan atau patungan antar
berbagai perusahaan maupun gabungan unit pemerintahan;
(6) Latihan keterampuilan petugas penanggulangan bencana, termasuk pemadam
kebakaran, perlu ditingkatkan apakah pada tingkat perusahaan pengusahaan
hutan/perkebunan, kabupaten/kota, provinsi ataupun gabungan antar sesamanya
maupun gasbungan penggunaan berbagai jenis peralatan: pompa tangan, mobil
pemadam kebakaran, kapal pemadam kebakaran maupun pesawat udara;
(7) Secara bertahap dilakukan upaya peningkatan efisiensi penggunaan lahan,
dengan merobah pola hidup untuk tinggal di rumah susun. Dengan demikian
tekanan permintaan lahan bagi keperluan pemukiman dan komersil dapat
dikurangi.

Dissaster Management: Indonesian Experiences
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) is the Supreme Audit Institution of the
Republic of Indonesia. As a prompt response to the tsunami disaster in Aceh, BPK
decided early in 2005, to audit the disaster management and disaster auditing in
comparative way with two other disasters (Yogyakarta and Sidoarjo) although many
other disasters hit Indonesia such as forest fires in Sumatra and Kalimantan and
landslides and flash flood in Jember.
BPK first of all audited the disaster in order to induce government to enhance its
involvement in managing disasters. BPK is fully aware that the remedy of these
disasters also involved international community and aid. In view of this, BPK is in the
position to promote good governance by auditing and giving transparency of the
disaster and fund management for all stakeholders.
Indonesia has two important characteristics which pose the territory to potential
disasters. First, its geographical location is the cause of the frequent occurrence of
earthquakes and volcanic eruptions. Second, its large population and limited natural
resources tend to endorse excessive exploitation of natural resources for improving
the economy and people’s welfare, which might adversely affect the natural balance
and might eventually cause disasters.
Picture 1. Indonesia and Ring of Fire 1
As an archipelagic country geographically located between two continents (Asia
and Australia), two oceans (The Indian Ocean and Pacific Ocean), spread along the
equator and situated at the meeting point of three main tectonic plates of the world,

Indo – Australian Plate, Pacific Plate and Eurasian Plate, most of the Indonesian
territories are prone to disasters.Indonesia, with a population of approximately 230
million, comprising various ethnic groups and cultures as well as lifestyles, has made
the maximum possible efforts for obtaining the optimum benefits from the
exploitation of natural resources.
In exploiting natural resources, men often prioritize economic benefits over
environmental balance, which leads to increased risks of disaster. Many disasters in
Indonesia were caused by the over-exploitation of natural resources, such as excessive
logging and mineral mining activities. Excessive exploitation of natural resources
resulted in natural imbalance, such as floods and landslides in a number of regions in
Indonesia, including: Jakarta, Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) and North Sumatra,
West Java, South Sulawesi, and North Sulawesi, and hot mud flow in Porong,
Sidoarjo, East Java.
The aforementioned disasters could be divided into two large groups, namely
natural disasters and man-made disasters. Tsunami in Aceh and Nias, North Sumatra
and earthquake in Yogyakarta and Central Java were the worst natural disasters ever
hit Indonesia in the last five years. The tsunami that hit Aceh and Nias was the second
worst disaster in the world, while the earthquake that occurred in Yogyakarta and
Central Java was the fourth worst disaster in the world, based on the amount of losses
and number of casualties (see Table 1). Men cannot prevent natural disasters, but the
damages caused can be controlled and minimized.

Table 1. Comparison of Losses Caused by Natural Disasters in the World Period 1998-2005
DISASTERS LOSSES (USD Million)
COUNTRY Type of Disasters Date
CASUALTIES(Persons)
Estimate 2006
Constant Prices
1. Turkey Earthquake 17/08/1999 17.127 8,500 10,281 1. Indonesia (Aceh) Tsunami 26/12/2004 165.708 4,450 4,747
1. Honduras Hurricane Mitch
25/10 - 08/11/1998 14.600 3,800 4,698
1. Indonesia (DIY-
Central Java) Earthquake 27/05/2006 5.716 3,134 3,134
1. India
(Gujarat) Earthquake 26/01/2001 20.005 2,600 2,958
1. Pakistan Earthquake 08/10/2005 73.338 2,851 2,942
1. Thailand Tsunami 26/12/2004 8.345 2,198 2,345
1. Sri Lanka Tsunami 26/12/2004 35.399 1,454 1,551
1. India Tsunami 26/12/2004 16.389 1,224 1,306
Source: Bappenas from Asia Disaster Preparedness Center, Thailand, ECLAC, EM-DAT, World Bank

4
Hot mud flow in Sidoarjo and forest fires in Sumatera and Kalimantan as well as
flooding in several regions in Indonesia were caused by men . Natural disasters and
man-made disasters have greatly affected the economy. They destroyed large number
of vital infrastructures such as power grids, as well as transportation and
communication networks, hampering the flow of products and raw materials to and
from the affected areas. They eliminated people’s livelihoods and houses. A large
amount of money is required for reconstructing people’s houses and rehabilitating
their livelihoods. The economic impacts of the disasters were so severe that they
might affect the national economic growth. Disasters do not only affect the economy,
but also damage the environment, such as ecosystems and biodiversity. In Aceh, vast
area of agricultural land could not be planted for a short period of time because of salt
water contamination. Similarly, ± 470 hectares of productive land in Porong, Sidoarjo
(where the hot mud flow occurred) could no longer be used because they have been
inundated by mud. Furthermore, the disposal of mud to Porong River has decreased
the water quality and disrupted ecosystems along the river.
Tsunami in Aceh and Nias
The December 26th, 2004 tsunami was triggered by an earthquake of 9.0 on the
Richter scale and it caused massive damages in Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh)
Province and Nias Island, North Sumatra (see Picture 2). Because of the disaster,
167,000 people were killed or missing, 120,000 houses, 2,663 bridges, and 2,112
schools were damaged and more than 60,000 hectares of agricultural land were
contaminated by salt water. The losses were estimated to amount to US$4.45 billion .
The disaster was triggered by the movement of the Indo-Australian Plate, and
Eurasian Plate. Because of such movement, areas around Aceh and Nias are unstable
and prone to earthquake and tsunami. Data from BAKORNAS indicates that tsunami
might occur periodically in the two regions (in a cycle of 200 years).

5
Picture 2. Massive Destruction Caused by Tsunami in Aceh
Source: Bappenas
Picture 3. A Victim of Tsunami in Aceh and Nias
Source: Puspen TNI
Nanggroe Aceh Darrussalam (Aceh) is Indonesia’s westernmost province located on the north
tip of Sumatra Island. Aceh Province borders on North Sumatra on the South, the Indian Ocean on the
West, Malacca Strait on the East, and Benggala Bay on the North. Aceh covers an area of 56,500.51
km2 or 12.65% of Sumatra Island, comprising 119 islets, 73 large rivers and 2 lakes. Most of the areas
are in the form of forests (39,294.20 km2), small-scale plantations (3,675.01 km2), and mines (4.43
km2). According to BPS (updated data prior to the Presidential Election in 2004) inputted prior to the
earthquake and tsunami which occurred on December 26th, 2004, Aceh had a population of 3,899,290
peoples.
Nias Island is located ± 85 nautical miles from Central Tapanuli Regency. This island is 5,625
km2 in size or 7.8% of the total size of North Sumatra Province, comprising 132 islets of ± 120 Km
long and 40 Km wide, abreast of Sumatra Island, and is divided into two regencies, namely Nias
Regency of 3,799 km², with Gunung Sitoli as its capital, and South Nias Regency of 1,825 km², with
Teluk Dalam as its capital. The island is bordering on Banyak Island (Aceh) on the North, Mentawai
Island (North Sumatra) on the South, Mursala island (Central Tapanuli Regency) on the East, and the
Indian Ocean on the West. Nias Regency comprises 14 sub-districts with a total population of
433,668 (BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election), and most of them are farmers.

6
South Nias Regency comprises 8 sub-districts with a population of 276,463 (BPS, updated data
prior to the 2004 Presidential Election). Nias Island is an attractive tourist destination, especially for its
surfing beaches, traditional houses, diving, and rock jumping. Most of the residents depend on
agricultural and plantation products for their livelihoods. Fertile soil in Nias Island is very suitable for
the cultivation of rubber, coconut, coffee, clove and patchouli trees.
Earthquake in Yogyakarta and Central Java
An earthquake of 5.9 on the Richter scale that destroyed Yogyakarta and Central
Java on May 27th, 2006 is another example of natural disasters occurring in
Indonesia. More than 5,700 persons were killed and 2,165,488 persons lost their
houses, and 302,652 houses, 19 bridges, and other infrastructures were damaged. The
estimated losses amounted to US$3.1 billion . Experts speculated that the cause of the
earthquake was almost similar to the cause of the tsunami in Aceh and Nias, namely
the movement of Indo-Australian Plate and Eurasian Plate. As the consequence of
such movement, Indonesian regions, especially Java and Sumatra are prone to
earthquake. After the tsunami in Aceh and Nias, more earthquakes occurred
throughout Indonesia with a magnitude of 3 – 6 on the Richter scale. Bengkulu, South
Sumatra, 1,500 km away from Aceh, for example, had 372 earthquakes during the
Picture 4. Aceh Map
Picture 5. Nias Map

7
period of January – February 2005. Earthquake could occur at any time in regions
along the three plates.
Picture 6. Destruction Caused by Earthquake in Yogyakarta and Central Java
Picture 7. Children Affected by the Earthquake in Yogyakarta and Central Java
Special Region of Yogyakarta (or Yogyakarta) and often briefly called DIY is a
province located on the southern part of Java Island and borders on Central Java
Province on the north. Yogyakarta covers an area of 3,133.15 km2, and has a
population of 3,279,701 (BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election).
The dominant sources of livelihood are agriculture, trade, handicraft and
tourism.Yogyakarta is very famous for its history and cultural heritage. Yogyakarta
was the center of the Mataram Kingdom (1575-1640), and until now its Kraton
(Palace) is still functioning in the fullest actual sense. Yogyakarta is also the host of
many ancient temples and cultural artifacts left by ancient large kingdoms, such as
Borobudur Temple which was constructed in the 9th century by the Syailendra
dynasty. In addition to cultural heritage, Yogyakarta also has beautiful natural
sceneries. Green paddy fields can be easily found with Mount Merapi on the
backdrop, while the southern part of the province is decorated by unaltered natural
beaches.
There has been a concern that if another earthquake occurs with larger
magnitude or within epicenter closer to Yogyakarta or Central Java, it would damage
those cultural heritages and beautiful landscapes. Central Java Province is located in
the center of Java Island and bordering on West Java Province on the west, the Indian
Ocean and Special Region of Yogyakarta on the south, East Java on the east, and the

8
Java Sea on the north. It covers an area of 32,799.71 km², or approximately 25.04% of
the total area of Java Island. Central java has a population of 32,952,040 (BPS,
updated data prior to the 2004 Presidential Election). Most of its residents earn their
livelihood from the agricultural sector.
Picture 8. Map of Yogyakarta and Central Java
The disaster-affected regions as described above generally have strategic
position for Indonesia, either with regard to the size of their population or their roles
for the economy (agricultural and tourism regions). Their importance is closely
related to the roles of the central and regional governments in taking anticipative
measures so as to be prepared if such similar disasters occur again there.
Hot Mud Flow in Sidoarjo, East Java
One of the largest man-made disasters is the hot mud flow occurred on May 29,
2006. It was caused by gas exploration activities in Sidoarjo, East Java. Lapindo
Brantas Inc (LBI), a private company holding the license for the Brantas Block,
conducted gas exploration activities in a densely populated settlement area in Porong,
Sidoarjo, East Java. LBI drilled Banjarpanji – 1 well by disregarding the safety
principles in order to cut the expenses and increase the profits, which then lead to the
hot mud flow. Hot mud is still flowing and 470 hectares of agricultural land,
industries and houses have been submerged, while 7,248 households lose their houses.
The estimated economic losses amount to Rp32,895,970 million (equivalent to
approximately US $3.575 billion).

9
Picture 9. Areas Submerged by Hot Mud as per 21 August 2006 (350 Ha)
Picture 10. Areas Submerged by Hot Mud as per 11 March 2007 (470 Ha)
Sidoarjo Regency is a densely populated region with a population of approximately 1,737,977
(BPS, updated data prior to the 2004 Presidential Election) or 2,739.65 persons/km2 or equal to 1/3 of
the population density in Hongkong. Sidoarjo has a very important role for Surabaya (the second
largest city in Indonesia) as a buffer zone.
Many vital infrastructures in Sidoarjo were damaged by the hot mud flow, including roads for
the transportation of raw materials and products from and to Surabaya and the surrounding regions. The
damages would negatively affect the economy of East Java region and the surrounding areas.
The hot mud flow in Sidoarjo is an example of man-made disasters. It has slightly different
characteristics from other disasters, such as floods and landslides. This disaster is purported to have
direct correlation with human activities because the initial process of its occurrence was at the same
time as the exploration of natural gas well conducted by LBI near the center of the mud eruption. Such
allegation was later proved to have affected the accuracy and swiftness of efforts for handling the
victims.

10
Picture 11. Map of Sidoarjo Regency
Table 2. Comparative magnitude of the three disasters
Tsunami Earthquake Sidoarjo Hot Mud
Victims
- Deceased 129,738 5,773 0*
- Displaced 517,278 2,165,488 26,317
- Missing 37,090 0 0*
Total Victims 684.106 2.171.261 26.317
Losses (US$) 4.45 billion 3.1 billion 3.575 billion
* There are 13 indirect victims from the disaster
A more detailed comparison is attached hereto in Annex 2. If we compare those
three disasters, Aceh and Nias tsunami was the largest in terms of casualties, losses
and damaged infrastructure.
BPK’s Framework of Criteria
Based on general overall objectives on safeguarding life and resources in each
and every disaster as well as on good governance, BPK applies a framework of
criteria to evaluate the three cases of managing disasters:
A. Criteria on Disaster Management
1. The central government has the duty to protect the lives and resources of its
citizens from the threats of disasters:

11
a. There should be a comprehensive risk analysis followed by a plan to produce an
actual national disaster map.
b. There should be a permanent preparedness to anticipate and response forthwith
to any kind of disasters.
c. The status of the disaster should be declared immediately by the responsible
authority within the central government.
d. Central coordination should enable efficient and fast response activities.
2. There should be a central organization with full authority to mobilize necessary
resources.
3. Budget should be properly allocated and easily disbursed taking into account the
basic accountability principles.
4. The personnel of the organization who is responsible to handle the disaster should
be properly trained.
5. The public should be educated and well informed in case of the disaster.
B. Criteria on Disaster Auditing
1. BPK should conduct real time audits to provide assurance on a regular basis.
2. BPK should conduct performance and compliance audits in order to ensure the
government’s system and efforts comply with the above criteria mentioned under
A.
3. When international aid is given, BPK should cooperate in giving accountability and
transparency in the disaster fund management for all stakeholders.
Speed of responses
At the time of the Aceh tsunami, the President declared a national disaster on the
day of the occurrence (December 26, 2004). The armed forces of Indonesia,
Singapore, Australia, USA, etc. and police personnel were the first to react. They
were deployed to assist in evacuating victims, rescuing survivors, and burying the
casualties (Annex 5). The Vice President as the Chairperson of the National
Coordinating Agency for Disaster Management (BAKORNAS PBP) immediately
established coordination of all on-site emergency response efforts as well as
mobilization of funds and assistances. The speed of response of central government to
the Yogyakarta earthquakes was slower because it considered it in first instance as
regional problems. However, the central government changed the vision after

12
realizing the extent of the catastrophe and the incapability of the local government to
handle it. The central government did not respond adequately to the Sidoarjo Hot Mud
Flow, since they took over the responsibility 4 months after the disaster occurred. The
government preferred to keep the company allegedly responsible for the disaster,
namely Lapindo Brantas Inc (LBI), to lead the disaster management efforts. LBI was
the first party in taking informally the lead in the disaster-affected locations.
Managing the response activities
Many efforts were made for handling the tsunami disaster in Aceh and Nias
such as construction of barracks, provision of sanitation and clean water facilities,
food, clothes and medical services for the survivors; burial of the casualties; clean-up
of debris, provision of telecommunication facilities, electricity and fuel. Aid in form
of money and goods arrived from Indonesians and people all around the world which
were received and distributed by the government, NGOs, or delivered directly to the
victims. Unfortunately, BPK’s finding shows the lack of control by the central
government of the use of the money and coordination in distributing the aid in-kind.
In the Yogyakarta case, disaster response activities such as evacuating victims,
rescuing survivors and burying the casualties immediately after the event were carried
out by the Indonesian military and police personnel, as well as local government and
communities. Unlike the Aceh case, assistance from foreign military personnel came
after the third day of the disaster. Aid and donations (money, assistance and goods)
from foreign sources were channeled through the BAKORNAS and distributed by
Sakortlak and Satlak. At the initial phase of the Sidoarjo disaster, the government
preferred to keep the company, namely Lapindo Brantas Inc (LBI), responsible to
handle the disaster on its own. Personnel of the Indonesian National Military and
Indonesian National Police with assistance from LBI and local community evacuated
the victims and their belongings to nearby locations. Satlak representing the local
government started to assist the disaster victims on June 12th, 2006, 15 days after the
mud eruption. Aid from private parties, local communities and NGOs, which is
insignificant, did not arrive until early September 2006, reflecting public perception
that the Sidoarjo case was just a consequence of business carelessness. The central
government played very little role during the initial phase of the disaster. The central
government was formally involved after the formation of the National Team for the
Management of Sidoarjo Mud Flow Disaster in September 2006. Comparing the three

13
disasters, BPK concludes that different reaction from the central government has
caused different speed of response and follow up activities. This might have
influenced the magnitude of impact in terms of victims and losses.
Involvement of Third Parties (Local and International NGOs as well as Foreign
Governments) Local and international NonGovernmental Organizations (NGOs) as well as foreign governments
had a significant role during the disasters in Aceh, Nias, Yogyakarta and Central Java. However, they
did not have any significant role in responding to the hot mud flow disaster in Sidoarjo. Only local
NGOs contributed their assistance when the disaster occurred in Sidoarjo, even though it was
insignificant. There was no foreign government and international NGO involved in the provision of
assistance to the victims of Sidoarjo hot mud flow disaster.
Table 3. Aid for Disasters
Disaster
Private Paties &
local NGOs
International NGO
IDI Foreign Government
Remarks
Aceh and Nias Tsunami
USD250,000 USD1,204 Million
USD 443.4 Million
USD1,500 Million
Data taken from country report (commitment)
Yogyakarta and Central Java Earthquake
Rp16,050 billion
USD616,084Euro 3 million
N/A USD40,777 Data taken from audit report per September 2006
Hot Mud
Flow in
Sidoarjo
Insignificant N/A N/A N/A Data taken
from audit
report
Comparing the three disasters, it seems that:
1. The more central government is involved in the handling the disaster, the more it attracts foreign
and private aid in to help the victims.
2. The magnitude of the disaster is influencing the attention it attracts from international
community.
The Role of BPK

14
Audit on Natural Disaster
At tsunami in Aceh and Nias as well as earthquake in Yogyakarta and Central
Java, BPK conducted audits on the emergency response phase (R1) and the
Rehabilitation and Reconstruction phase (R2) within a week after the disaster.
In the emergency response phase, BPK conducted preliminary audits and
detailed audits. A preliminary audit is aimed at obtaining immediate and
comprehensive understanding of the disasters and the disaster management and
victims handling processes as well as the management of aid by the Government. The
targets of the audit in this phase were activities for handling the victims and managing
aid.
The methods applied in the preliminary audits were as follows:
1. Observation on the disaster-affected areas and the handling of victims and refugees
for obtaining immediate and comprehensive understanding of the disaster and its
management.
2. Interviews with the parties involved in the handling of victims and refugees as well
as the disaster management in order to understand the problems and the disaster
management process.
3. Collection of data and information related to disaster management and the
management of aid with a focus on the internal control system.
4. Analysis of data and information related to internal control, in order to identify
high-risk areas which will be used by the chairpersons of BPK in the decision
making process with regard to detailed audit.
Detailed audits at the emergency response phase were a follow-up to the
preliminary audits aimed at testing and assessing compliance with applicable
regulations, and assessing the effectiveness of the disaster management and handling
of victims, as well as the appropriateness of the use of aid by the relevant parties. The
targets of audit at this phase were activities for handling the victims and managing the
disaster as well as the use of aid by the relevant parties.
BPK found that the internal control system on the disaster management at the
central and local levels was not effective for ensuring celerity, accuracy and
compliance of the relevant parties in managing the disasters and aid. The internal
control system had various flaws, such as: the existing disaster management
organization is in the form of a coordinating board which does not have any authority
for mobilizing resources in managing disasters. There are also overlapping duties and

15
functions as well as lack of fund allocation due to inadequate budgeting policy
regarding disaster situation. This is reflected on, among others, the roles of the
Ministry of Social Affairs and the Secretariat of BAKORNAS PB, which have their
own budgets for handling the same activities, such as: distribution of aid for disaster
victims. As the result, the disaster management process is slow, not focused, and
prone to corruption.
Audit on Man-Made Disaster BPK has conducted audits on the hot mud flow disaster in Sidoarjo. A
preliminary audit was conducted two and a half months after the occurrence of the
disaster and was followed by a detailed audit one month after the completion of the
preliminary audit, which was concluded at the end of August 2006.
The preliminary audit was aimed at obtaining comprehension of the disaster
management process and the handling of the victims as well as the management of
aid. The targets of the audit were activities for handling the victims and managing aid,
including the activities conducted by the local government at the early stages of the
disaster. The methods applied were observation, collection of data and information,
interview and analysis, as well as review of the data obtained.
The results of the preliminary audit indicated additional needs to assess the
causes of the disaster, hence, there were additional objectives of the audit, namely to
identify the cause of the disaster and to assess the possibility of violation of laws in
the licensing process and the implementation of the exploration activities as well as to
assess the impacts of the disaster on the environment. Consequently, the scope of the
audit had to be expanded. Such expansion of the scope of the audit especially those
related to the alleged cause of the disaster and the impacts on the environment and
local economy were beyond the competence of the auditors of BPK. Therefore, BPK
also employed experts having competence in the fields of environment, geology and
local economy.
The audits conducted by BPK identified violation of laws in the licensing
process, exploration activities and government supervision on the implementation of
the drilling of Banjarpanji – 1 gas exploration well in Sidoarjo and the handling of the
impacts on the environment and local economy. The audits also concluded that there
has been alleged failure in the handling of the exploration problems by the company
which lead to the hot mud flow disaster.

16
Additional Role of BPK after the Disaster BPK had an active role in improving the effectiveness of disaster management
by conducting compliance and performance audits. In addition, in order to improve
the quality of accountability of the parties related to the disaster management, BPK
held an international conference on Promoting Financial Accountability in Managing
Fund Relating to Tsunami, Conflict and Other Disaster on 24 – 25 April 2005. The
conference was intended to improve coordination of audits among SAIs of donor
countries and SAIs of the affected countries.
As the result of the conference, a resolution was made to enhance cooperation
among SAIs in the implementation of audits on tsunami impacts. It also recommended
the formation of the BPK Advisory Board for providing inputs for BPK in order to
improve the quality of its audits and the creation of aid database to facilitate
monitoring on the management of aid . The first meeting of the BPK Advisory Board
was held in Jakarta on 24-25 April 2006 and the second meeting is planned to be held
in the first semester of 2008. BPK also took part in INTOSAI Task Force formed in
November 2005, in which ARK (Algemene Rekenkamer/SAI of Netherlands) acts as
the chair while the BPK and the SAI of South Korea act as vice chairs. BPK was
appointed as the coordinator for the development of Accountability Framework from
the perspective of recipient countries and SAI of South Korea acted as the
Coordinator for the development of guidelines and best practices on accountability
and audit of disaster-related fund. As the Coordinator, BPK has made a Country
Report on the Accountability for and Audit of Disaster-related Aid and presented it in
September 2007 to the Governing Board of INTOSAI in Nairobi, Kenya. The report
included lessons learned from the tsunami in Aceh and Nias in relation to
accountability and transparency. BPK is now conducting an initial assessment on the
use of Geographic Information System (GIS) for audit of disaster on the housing
sector in Banda Aceh.
Lesson Learned
Disaster Management by the Government Based on the experience and the results of the audits, BPK has identified the
following lessons learned in managing and auditing disasters:
1. Comparing the three disasters, it seems that:

17
- The more central government is involved in the handling the disaster, the more it
attracts foreign and private aid in to help the victims.
- The magnitude of the disaster is influencing the attention it attracts from
international community.
2. The speed of response of central government highly influences the deployment and
the quality of all rescue activities in the disaster-affected areas.
3. The government has general guidelines for disaster management which include the
handling of refugees, disaster management, and aid management. However, those
guidelines have not fulfilled the needs of the implementing agencies in managing
disasters. This has been proven in the management of tsunami in Aceh and Nias,
earthquake in Yogyakarta and Central Java, as well as the hot mud flow in
Sidoarjo, in which every implementing agency made new rules, which were more
comprehensive and detailed. Those rules resulted in different emergency response
activities for different disaster.
4. The government has not completely empowered the coordination functions of
national management organizations existing under the BAKORNAS PBP. When
tsunami hit Aceh and Nias, the government formed other similar organizations,
such as National Team for Disaster Management, National Coordination Desk for
Disaster Management, Secretariat of the National Team for Disaster Management,
and Enhanced Medan Disaster Management Unit. On the other hand,
BAKORNAS does not have any operational and resources mobilization
authorities, therefore, the disaster management tended to be running at a slow
pace.
5. The government does not have any mechanism for aid management that could be
applied in accordance with the on-site needs and could result in accountability and
transparency towards donors. The long bureaucratic process made aid from
foreign sources, such as medicine, food and clothes could not be distributed
immediately, so that they could not be used optimally.
6. The government does not have any contingency plan for the management of
emergency response activities meeting the aspect of accountability and immediate
handling:
a.Allocation and appropriation of resources;
b.Management of aid from foreign and domestic third parties.

18
7. The government should educate and inform the inhabitants about the specific
disaster risks in their area.
8. The government does not have any accounting system for financial management
and accountability of aid from domestic or international NGOs. This aid was not
included in the government financial accountability mechanism, either for the
State Budget or Regional Budget. There was a significant amount of such aid
especially at the time of tsunami in Aceh and Nias as well as earthquake in
Yogyakarta and Central Java.
Disaster Audits by BPK At the emergency response phase, BPK recommends for future disasters to
conduct a walk-through audit on the applied Disaster Management Internal Control
System in order to ensure veracity and accuracy in disaster management. Audits on
accountability and compliance should be conducted after the completion of the
emergency response phase. Auditors must determine the most appropriate time for
commencing the audits so that the execution of their audits will not disrupt the
disaster management. In such a way they can contribute to the improvement of the
quality of disaster management.
The scope of disaster-related audits should be focused on the disaster
management activities at the time of emergency response before moving on to other
activities after the completion of the emergency response.
In the future, BPK would prioritize performance audits in the emergency
response phase focusing on effectiveness of the management of available resources
including aid from other parties in order to improve the timely distribution.
When the scope of the audit especially those related to the alleged cause of the
disaster and the impacts on the environment and local economy go beyond the
competence of the auditors of BPK, BPK must employ experts having competence in
the fields of environment, geology and local economy.
Audit results must be effective to motivate the government to design and apply
disaster management control system to improve transparency and accountability.
Conclusion

19
Disaster Management
1. The central government has the duty to protect the lives and resources of its citizens
from the threats of disasters:
a. It should have a firm stance in performing its function as protector of the people
and servant of the public so that it could immediately and accurately distribute aid
in every natural or man-made disaster.
b. It must conduct a comprehensive risk assessment on possible occurrence of
disasters throughout the territory of Indonesia, therefore it should prepare
regulations on the implementation of disaster management and standard rescue
procedures, including internal control system for each type and cause of disaster.
c. It should be permanently prepared to anticipate and response forthwith to any kind
of disasters.
d. The status of the disaster should be declared immediately by the responsible
authority within the central government.
2. There should be a central organization with full authority to mobilize necessary
resources. Central coordination must enable efficient and fast response activities.
Management organizations, such as BAKORNAS and Satkorlak must be
strengthened to be more permanent and capable in employing funds and facilities
as well as infrastructures owned by central and regional governments. It is
expected that more authority would improve coordination among the parties
related to the disaster management and the quality of disaster management.
3. Budget should be properly allocated and easily disbursed.
4. The personnel of the organization who is responsible to handle the disaster should
be properly trained.
5. The public should be educated and well informed in case of the disaster.
Disaster Management Audit 1. In any circumstance, including disaster, the government must strive for preserving
sound public financial management.
2. Audit results must be effective to motivate the government to design and apply its
disaster management control system in an adequate manner which is capable
ensuring transparency and accountability.

20
3. BPK should conduct real time audits to provide assurance on a regular basis. At the
early phase of a disaster, BPK would conduct a walk through preliminary audit in
the context of observation, collection of data and information, as well limited
assessment on the control of disaster management activities.
4. BPK should conduct performance and compliance audits in order to ensure the
government’s system and efforts comply with criteria mentioned under VII.A.
BPK would prioritize the performance type of audit on the emergency response
phase by using effectiveness approach on the handling and management of
available resources including aid from other parties so that they could be
distributed on time and effectively.
5. When international aid is given, BPK should cooperate in giving accountability and
transparency in the disaster fund management for all stakeholders.
6. When the scope of the audit go beyond the competence of the auditors of BPK in
particular regarding to the alleged cause of the disaster and the impacts on the
environment and local economy, BPK must employ experts having competence in
the fields of environment, geology and local economy.

1
1. Pengantar
Untuk masa yang belum dapat diperkirakan kapan akan berakhirnya, Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda) tidak akan dapat mengandalkan
pembiayaan pembangunan dari sumber anggaran belanja negara maupun dari industri
perbankan nasional. Di tengah keterbatasan kemampuan APBN serta industri
perbankan nasional seperti itu, sumber pembiayaan yang dapat diharapkan bagi
pembangunan ekonomi adalah penghasilan ekspor maupun pemasukan modal asing.
Oleh karena itu, sebagaimana halnya dengan Pemerintah Pusat, Pemda dan dunia
usaha nasional sudah sepantasnya perlu belajar bagaimana memobilisasi modal di
pasar uang regional, seperti di Singapura, Hong Kong dan Tokyo.
Mengikuti ajaran Pahlawan Nasional Dr. Sam Ratulangi, Pemerintah Pusat
maupun Pemda di KTI (Kawasan Timur Indonesia) perlu memanfaatkan Asia Timur
bagi pembangunan nasional. Asia Timur yang tumbuh sangat pesat dan memiliki
surplus cadangan luar negeri yang besar serta teknologi canggih dapat dijadikan
sebagai pasar ekspor, negara asal turis dan sekaligus sebagai sumber faktor produksi
modal, teknologi maupun impor yang kita perlukan bagi konsumsi, investasi serta
pembangunan nasional. Jika Selat Malaka di Kawasan Barat merupakan alur angkutan
minyak dan gas bumi (oil route) dari Timur Tengah ke Asia Timur, Laut Arafura
merupakan steel route bagi kawasan itu karena merupakan jalur pelayaran yang
sangat penting bagi pengangkutan besi, hasil pertanian dan pertambangan lainnya dari
Australia.
Otonomi daerah yang sangat luas dewasa ini, memberikan kesempatan kepada
KTI untuk memanfaatkan potensi negara-negara Asia Timur, Australia dan Lautan
Pasifik yang secara geografis berdekatan dengannya.
Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua
membahas keterbatasan APBN dan industri perbankan nasional sebagai sumber
pembelanjaan pembangunan. Bagian ketiga menguraikan sistem perdagangan di
kawasan Asia-Pasifik. Bagian keempat menganalisis surplus neraca pembayaran luar
negeri negara-negara Asia Timur. Bagian kelima menjelaskan daya tarik KTI dilihat
dari pemilikan sumber daya alam dan lokasinya yang sangat strategis dalam alur
pelayaran regional. Bagian keenam mengemukakan berbagai kebijakan untuk
merangsang ekspor dan menarik pemasukan modal ke KTI.

2
2. Keterbatasan APBN dan industri perbankan nasional
2.1 Struktur APBN
Sejak perekonomian nasional dilanda krisis pada 1997-1998, sebagian besar
dari porsi pengeluaran dalam APBN adalah ditujukan untuk tiga jenis mata anggaran,
yakni membayar hutang, subsidi harga berbagai komoditi yang disediakan oleh
pemerintah (state-vended products) dan penanganan konflik bersenjata yang terjadi
secara beruntun di berbagai daerah seperti Aceh, Kalimantan, Poso, Maluku dan
Papua. Penanganan bom teroris di Jakarta, Bali dan di berbagai tempat lainnya juga
telah menelan korban, energi dan biaya yang cukup mahal pula.
Oleh karena penerimaan negara tidak dapat ditingkatkan sebesar kenaikan
pengeluaran itu, maka pilihan yang tersedia bagi pemerintah adalah menurunkan
pengeluarannya1. Karena tunduk pada tekanan-tekanan yang kelihatannya bersifat
populis, struktur pemotongan anggaran negara adalah bersifat anti pemerataan dan
anti pertumbuhan. Porsi anggaran nonhutang yang dikorbankan oleh pemerintah sejak
tahun 1998 adalah pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan dan
pendidikan. Padahal, selain bersifat propemerataan, ketiga jenis pengeluaran yang
disebut terakhir memegang peranan penting bagi pertumbuhan dan peningkatan
produktifitas perekonomian nasional.
Pengeluaran negara untuk melunasi hutang semakin bertambah berat karena
selain adanya pertambahan stok hutang yang sangat cepat, stukturnya pun semakin
berubah dengan syarat-syarat yang semakin berat. Pada masa Orde Baru, hutang
pemerintah hanya berupa hutang luar negeri yang berasal dari sumber resmi dengan
syarat-syarat yang ringan. Pada waktu terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998,
pemerintah menetapkan kebijakan untuk menghidupkan kembali industri perbankan
nasional yang praktis sudah bangkrut pada masa itu.
Karena merasa bahwa pemilikan dan pengelolaan bank bukanlah merupakan
tugas pokok sektor negara, tidak ada di antara IMF, Bank Dunia, ADB maupun
negara-negara donor yang bersedia memberikan bantuan maupun pinjaman guna
menambah modal industri perbankan nasional tersebut. Oleh karenanya, untuk
keperluan rekapitalisasi industri perbankan nasional itu, pemerintah telah
mengeluarkan SUN (Surat Utang Negara) dalam negeri yang dinyatakan dalam
1 Pada tahun 2005, Ditjen Pajak dapat meningkatkan jumlah pemilik NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sebanyak empat kali lipat, dari sekitar 2,5 juta menjadi 10 juta, dalama masa satu bulan. Namun rasio penerimaan pajak terhadap PDB tetap tidak bergeming dari tingkat 13-14 persen.

3
Rupiah dan dengan tingkat suku bunga komersil. Besarnya hutang baru ini adalah
setara dengan separuh nilai PDB Indonesia tahun 1999. Nilai SUN tersebut seimbang
dengan nilai stok hutang yang ada sehingga meningkatkan stok hutang Pemerintah
menjadi dua kali stok hutang pada awal krisis. Setelah berakhirnya program IMF,
mulai tahun 2004, pemerintah menutup defisit anggaran dengan menjual obligasi di
pasar uang internasional dengan syarat-syarat komersil.
Pada awal krisis, subsidi anggaran adalah terutama ditujukan untuk membantu
kelompok masyarakat miskin. Namun, karena tekanan politik semakin besar dari
subsidi pemerintah, seperti untuk BBM dan listrik yang dinikmati oleh kelompok
masyarakat yang berada. Barang-barang yang disubsidi, seperti BBM dan pupuk juga
disalah gunakan bagi keperluan yang tidak diharapkan, termasuk yang diseludupkan
oleh orang yang tidak bertanggungjawab ke luar negeri. Pemulihan keamanan di
Provinsi NAD berdasarkan Perjanjian Helsinki 14 Agustus 2005 diharapkan akan
dapat mengurangi pengeluaran militer sehingga semakin besar porsi pengeluaran
negara bagi keperluan lain yang lebih bermanfaat.
2.2 Keterbatasan industri perbankan nasional
Secara selintas kondisi keuangan industri perbankan sudah sangat sehat
ditinjau dari rasio kecukupan modal (CAR), rasio kreditnya yang bermasalah (NPL-
nonperforming loans) yang rendah dan keuntungannya yang sudah mulai ada. Namun,
sering dilupakan bahwa NPL yang kelihatannya rendah itu adalah tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Ternyata bahwa berbagai asset yang dibeli
kembali oleh bank-bank tersebut dari BPPN itu belum direstrukturalisasui dengan
tuntas sehingga masih tetap membebani perbankan. Sementara itu, komponen modal
industri perbankan yang memungkinkan peningkatan CAR-nya adalah terutama
berupa SUN yang kurang likuid. Modal yang kurang likuid ini tidak dapat
dipergunakan untuk melakukan ekspansi kredit.
Keuntungan bank yang sudah mulai positif adalah terutama bersumber dari
pendapatan nonbunga kredit, terutama dari balas jasa kupon SUN maupun balas jasa
dari SBI, FASBI serta pinjaman antar bank. Walaupun porsinya sudah semakin
menurun, lebih dari 40% dari portepel industri perbankan nasional dewasa ini masih
dalam bentuk SUN, SBI, FASBI dan pinjaman antar bank. Selain menjanjikan balas
jasa yang menarik, keempat bentuk investasi itu juga sama sekali tidak mengandung
risiko. Ini berarti bahwa industri perbankan nasional itu kini beroperasi sebagai

4
narrow bank, jual beli surat negara maupun SBI. Pemberian kredit oleh industri
perbankan nasional baru terbatas pada sektor konsumsi untuk pembelian barang-
barang konsumsi tahan lama, seperti kendaraan bermotor dan rumah murah. Sejak
sembilan tahun terakhir, hampir tidak ada investasi baru yang dibelanjai oleh kredit
bank. Penghasilan industri perbankan dari fee-based income masih terbatas karena
masih terbatasnya pasar uang nasional maupun jenis instrumen yang digunakan
didalamnya. Pembayaran penghasilan pegawai negeri, misalnya, belum sepenuhnya
dilakukan melalui sistem perbankan.
Seperti halnya dengan Bapindo dulu, sejak dari lahirnya, BPD (Bank-Bank
Pembangunan Daerah) belum dapat mencerminkan namanya dan berperan pada
pembiayaan pembangunan nasional. Seperti halnya dengan Bapindo, BPD pun
beroperasi sebagai bank komeresil. Bank-bank itu belum dapat memobilisasi dana
jangka panjang sebagaimana layaknya bank pembangunan. Pada umumnya BPD
hanya beroperasi sebagai kasir bagi Pemda pemiliknya karena sumber dananya
terutama adalah berupa dana jangka pendek milik Pemda. Kreditnya pun adalah
terutama berupa kredit jangka pendek yang diberikan kepada rekanan maupun
karyawan Pemda. Seperti halnya dengan Bapindo dulu, berbagai BPD juga tidak luput
dari skandal di mana kreditnya terutama diberikan kepada perusahaan milik keluarga
Gubernur yang sedang berkuasa. Sebagaimana diketahui, Bapindo kini merupakan
bagian dari PT Bank Mandiri sekarang ini.
Sejalan dengan penyerahan tanggung jawab pemerintahan yang lebih besar
kepada Pemda dalam rangka otonomi daerah, semakin besar pula porsi APBN
Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada daerah. Pemda penerima transfer dari
APBN itu menempatkan dana tersebut pada BPD setempat. Pada gilirannya, BPD
tersebut membawa kembali dana itu ke Jakarta guna diinvestasikan pada SUN, SBI,
FASBI dan pinjaman antar bank. Inilah alasan mengapa BPD dari berbagai daerah
mampu membuka kantor cabang di lokasi mahal di Jakarta. Ini juga menggambarkan
ironisnya para Pemda. Disatu pihak, Pemda ingin menarik modal ke daerahnya dan
menghimbau bank yang beroperasi di daerahnya untuk lebih banyak memberikan
kredit di daerah setempat. Di lain pihak, Pemda membiarkan BPD miliknya sendiri
membawa uangnya sendiri pula kembali ke Jakarta.
Penjualan SUN di pasar nasional dalam jumlah yang begitu besar guna
menambah modal industri perbankan telah menyebabkan terjadinya crowding out di
pasar uang nasional yang sangat sempit dan dangkal. Crowding out itu terjadi karena

5
terjadinya persaingan antara sektor negara dengan dunia usaha untuk memperebutkan
tabungan nasional yang semakin terbatas karena dilanda krisis. Gabungan antara NPL
bank yang masih tinggi dengan crowding out di pasar uang nasional meningkatkan
tingkat suku bunga di pasar nasional dan sekaligus menimbulkan tekanan pada
pelemahan nilai tukar Rupiah.
3. Sistem perdagangan di Asia Pasifik
Ronde Perundingan Perdagangan Doha, yang dimulai di Qatar bulan Nopember
2001, dan akan berakhir tahun depan, ternyata berjalan lambat dan tidak dapat
memenuhi harapan. Baik negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat belum
bersedia mengurangi subsidi pada sektor pertaniannya. Sebagian dari hambatan itu
adalah lambatnya konsesi liberalisasi pada sektor industri manufaktur dan jasa-jasa,
seperti perbankan, asuransi, industri hiburan dan jasa pengiriman surat serta barang.
Berbagai negara berkembang masih mempertahankan tingkat proteksi yang tinggi,
apakah berupa tarif maupun nontarif. Sementara itu, Amerika Serikat menuduh RRC
juga melindungi perekonomian dan merangsang ekspornya melalui kurs Yuan yang
terlalu kuat.
Kegagalan Ronde Doha telah mulai menunjukkan kecenderungan dunia
meninggalkan sistem perdagangan multilateral berdasarkan prinsip the most favored
nation (MFN) kembali pada sistem bilateral dan merkantilisme. MFN mencegah
terjadinya diskriminasi perdagangan antar negara karena perlakuan oleh suatu negara
anggota WTO pada suatu mitra dagangnya otomatis berlalu bagi negara lainnya yang
juga menjadi anggota WTO. Bilateralisme mengatur ketentuan perdagangan yang
berlaku hanya antar negara yang mendatanganinya secara timbal balik dan perjanjian
bilateral itu tidak berlaku bagi negara lain. Multilateralisme tercermin dari
didirikannya Organisasi Perdagangan Internasional atau WTO (World Trade
Organization) pada tanggal 1 Januari 1995 berkedudukan di Jenewa. WTO
merupakan forum pembuatan aturan dan perjanjian perdagangan yang berlaku secara
multilateral bagi negara-negara anggotanya. WTO sekaligus merupakan forum
penyelesaian konflik kepentingan antar negara.
Kemunduran dari multilateralisme dan peralihan menuju bilateralisme serta
merkantilisme tercermin dari semakin meluasnya dan kompleksnya perjanjian
perdagangan bilateral FTA (Free Trade Areas) dengan rules of origins yang berbeda-
beda (Grafik-1). Pada hakikatnya FTA yang juga menjamur di kawasan ini adalah

6
bertentangan dengan prinsip regionalisme terbuka APEC yang dipromosikan
sebelumnya.
Di lain pihak, FTA yang berkembang di Asia-Pasifik tidak akan memutar
balik proses deregulasi, liberalisasi serta privatisasi perekonomian yang dilakukan di
kawasan ini sejak awal dasawarsa 1980-an. Pada umumnya proses tersebut telah
meningkatkan efisiensi dan produktifitas perekonomian mereka sehingga dapat
meningkatkan kemakmuran ekonomi rakyatnya. Hanya beberapa negara, termasuk
Indonesia pada masa Orde Baru, yang menggunakan proses deregulasi itu sebagai
instrument KKN yang justru meningkatkan inefisiensi perekonomian nasional.
Grafik 1
Proses deregulasi, liberalisasi dan privatisasi telah meningkatkan integrasi
ekonomi antar negara di Asia Timur melalui peningkatan hubungan perdagangan serta
investasi swasta. Integrasi ekonomi di Asia Timur itu berlangsung secara horizontal
maupun vertikal. Contohnya, semua merk pesawat radio, TV maupun barang
elektronik kini menggunakan komponen berbagai merk yang dibuat di berbagai
negara. Thailand merupakan supplier terbesar ayam potong di Jepang. Contoh lainnya

7
adalah semakin besar porsi buah dan sayur yang dikonsumir di Manado, Ternate,
Ambon dan Jayapura yang berasal dari impor.
4. Surplus neraca pembayaran luar negeri di Asia Pasifik
Ditengah ketidakseimbangan global dewasa ini, hampir seluruh negara-negara di
Asia Timur justru mengalami surplus neraca pembayaran luar negeri (Tabel 1).
Surplus neraca berjalan pada neraca pembayaran merupakan surplus tabungan
nasional yang melebihi keperluan investasi2. Pada saat ini, bagian terbesar dari surplus
neraca berjalan negara-negara Asia Timur tersebut ditanamkan dalam bentuk obligasi
Pemerintah Amerika Serikat maupun dalam berbagai jenis surat-surat berharga yang
dinyatakan dalam satuan US Dollar. Dewasa ini, balas jasa investasi dalam bentuk US
dollar adalah lebih rendah daripada balas jasa dalam bentuk SUN, SBI maupun
obligasi serta saham perusahaan Indonesia.
Sedikit saja surplus negara-negara Asia Timur tersebut dapat ditarik oleh KTI
sudah cukup untuk membelanjai pembangunan daerahnya. Rangkaian perjanjian
regional semakin memungkinkan penarikan surplus negara-negara Asia Timur ke
Indonesia dan KTI. The New Miyazawa Plan yang merupakan kelanjutan dari CMI
(Chiang Mai Initiatives) tahun 2000. Untuk mengurangi ketergantungan pada
pinjaman jangka pendek dari perbankan, negara-negara Asia Timur ingin
mengembangkan obligasi sebagai alternatif sumber pembelanjaan pembangunan.
Tabel 1 Global Savings and Investment Trends
(as a percentage of GDP)
Average Average 2003 2004 Memo: 2 Secara formal, neraca berjalan atau CA (current account) dalam neraca pembayaran luar negeri merupakan penjumlahan surplus anggaran negara (T-G) dengan surplus tabungan masyarakat setelah dikurangi investasinya (S-I): CA = (T-G) + (S-I) di mana T adalah penerimman Negara; G merupakan pengeluaran negara; S merupakan tabungan sektor swasta dan I merupakan pengeluaran investasi oleh sektor swasta. CA itu sendiri merupakan perbedaan antara nilai ekspor dengan impor ditambah dengan balas jasa invetasi, penerimaan tenaga kerja serta transfer dari atau ke luar negeri. Perubahan cadangan luar negeri (∆R) merupakan sisa antara CA dengan CAP (pemasukan modal asing, apakah berupa investasi jangka panjang maupun aliran modal jangka pendek: ∆R = CA + CAP. Akumulasi cadangan luar negeri RRC bersumber dari surplus neraca berjalan maupun surplus neraca modalnya. Sebaliknya, pemasukan modal asing jangka pendek menutup defisit neraca berjalan dan memupuk cadangan luar negeri Indonesia. Derasnya aliran modal jangka pendek ke Indonesia dewasa ini (untuk membeli saham, SUN dan SBI) sekaligus menguatkan nilai tukar Rupiah,walaupun ekspor kita tidak banyak meningkat. Berbeda dengan penanaman modal langsung, modal jangka pendek sangat rawan untuk kembali ke luar negeri. Pelarian modal ke luar negeri itu disebut dengan capital flight.

8
1990-1999
2000-2002
1991-2004
World saving Advanced economies
United States Euro area Japan
Emerging economies Developing Asia China Latin America Central and eastern Europe
World investment Advanced economies
United States Euro area Japan
Emerging economies Developing Asia China Latin America Central and estern Europe
22.921.316.321.531.625.331.040.318.320.6
24.021.818.721.129.327.232.238.520.923.3
23.420.616.221.327.827.232.639.917.818.8
23.221.019.420.925.326.130.837.919.823.1
23.919.113.520.327.129.836.545.520.018.6
23.520.018.419.523.927.933.642.419.023.2
24.9 19.4 13.7 20.9 27.6 31.5 38.2 48.0 21.0 19.1
24.6 20.7 19.7 20.2 23.9 29.2 35.5 43.9 19.8 23.8
1.7
-2.8 -2.5 -1.1 -6.8 6.9 9.5 9.6 1.9
-7.0
0.1 -2.5 1.1
-2.9 -199.0
2.8 5.1 9.7 0.3
-2.9
Source : BIS Annual Report (2005)
EMEAP (Executives Meeting of East Asia and Pacific Central Banks), organisasi
11 bank sentral negara-negara Asia, Australia dan New Zealand mengintrodusi ABF1
(Asian Bond Funds 1) pada bulan Juni 2003. ABF1 mengumpulkan sebesar US$1
milyar dana cadangan luar negeri negara-negara anggota EMEAP dan
menanamkannya dalam obligasi jangka panjang yang dikeluarkan oleh negara-negara
tersebut. Obligasi dalam program ABF1 merupakan surat hutang yang dinyatakan
dalam satuan mata uang USD. Sukses ABF1 mendorong EMEAP untuk
mengintrodusi ABF2 yakni membeli obligasi negara-negara anggota yang dinyatakan
dalam satuan uang mata uang nasionalnya masing-masing. Surat hutang yang
dinyatakan dalam satuan mata uang nasional meniadakan risiko kurs. Risiko kurs
merupakan salah satu penyebab krisis perekonomian pada tahun 1997.
Selain dari EMEAP, Jepang juga menyediakan jaminan bagi obligasi negara-
negara miskin di Asia Timur yang ingin menjual obligasi dalam satuan Yen di Jepang.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) di Manila juga membantu negara-

9
negara anggotanya untuk menjual obligasi bagi keperluan pembelanjaan
pembangunan.
5. Daya tarik KTI
Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam dan lokasi strategis KTI
memiliki daya tarik yang sangat besar untuk investor. Sebagaimana disebut di atas,
lokasi KTI sangat dekat dengan Asia Timur, Australia maupun Lautan Pasifik.
Sumber daya alam KTI bukan saja berupa tanahnya yang subur untuk lahan pertanian,
lautnya yang kaya tapi juga berupa kekayaan hasil tambang, baik di darat maupun di
dasar laut. Sebagaimana telah disebut di muka, Laut Arafura merupakan alur
pelayaran penting bagi angkutan produk pertanian, hasil bumi dan pertambangan dari
Australia ke Asia Timur.
Salah satu bentuk kekayaan alam yang tersedia di KTI adalah aliran sungai
Mamberamo di Papua Timur. Menurut perkiraan, sungai tersebut dapat menghasilkan
tenaga listrik, dengan biaya murah, yang jauh lebih besar daripada seluruh kapasitas
pembangkit tenaga listrik terpasang di Indonesia saat ini. Tenaga listrik yang
dihasilkan oleh aliran sungai itu dapat digunakan sebagai tenaga untuk peleburan hasil
tambang (smelter) apakah yang berasal dari Papua sendiri ataupun dari tempat lain.
Tenaga listrik yang dihasilkan oleh Air Terjun Sigura-gura di Sungai Asahan yang
bersumber dari Danau Toba digunakan oleh perusahaan patungan dengan Jepang
untuk melebur biji bauxit asal Brasilia di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Negara
maju yang memiliki lahan yang sempit, seperti Jepang, tidak lagi mampu membangun
pabrik peleburan sendiri untuk mencegah polusi.
KTI yang secara geografis berdekatan dengan Asia Timur, Australia dan Pasifik
dapat dikembangkan menjadi daerah turis untuk menikmati keindahan alam maupun
budayanya. Keturunan tentara Jepang dan Sekutu yang gugur selama Perang Dunia
ke-2 di KTI dapat dirangsang sebagai turis untuk menjiarahi makam maupun bekas
daerah pertempuran keluarga mereka. Laut Arafura juga dapat dijadikan alur lomba
pelayaran rekreasi yang menghubungkan Asia dengan Australia dan New Zealand.
Meniru Provinsi Yunnan di RRC, Thailand, Malaysia dan Philipina, KTI dapat
dikembangkan menjadi daerah perikanan dan pertanian untuk melayani pasar
sekitarnya yang sangat besar. Karena lokasinya yang relatif jauh dari pasar dalam
negeri (Jawa) maupun pasar luar negeri, produk-produk yang secara ekonomis
menguntungkan dihasilkannya adalah komoditi yang memiliki nilai tambah yang

10
tinggi (high value added products). Karena penduduknya yang jarang, usaha pertanian
di KTI harus memiliki skala besar dan teknologi canggih.
Adalah tidak benar pemeo yang mengatakan bahwa KTI sulit dikembangkan
karena kurangnya infrastruktur dan terbatasnya SDM (sumber daya manusia). Melihat
geografisnya dalam bentuk kepulauan, KTI tidak memerlukan pembangunan jalan
raya seperti di Jawa maupun Sumatera dan Papua. Pulau-pulau di KTI hanya
memerlukan pembangunan kade pelabuhan yang tidak mahal harganya. Mengikuti
pola pembangunan prasarana di Australia, yang perlu diutamakan pembangunannya
adalah jaringan jalan raya di sepanjang garis pantai yang padat penduduknya dan aktif
kegiatan ekonominya. Untuk daerah terpencil, biarkan swasta membangun
infrastrukturnya sendiri seperti PT Freeport yang membangun prasarana jalan raya,
pipa, angkutan udara dan eskalator mulai dari Timika hingga Tembagapura dan
Puncak Jaya Wijaya.
Sebagaimana telah disebut dimuka, tentara Sekutu pada Perang Dunia ke-2, di
bawah pimpinan Jenderal McArthur dari Amerika Serikat, juga meninggalkan
prasarasana landasan kapal terbang dan pelabuhan laut di berbgai pelosok di KTI.
Pada waktu itu, fasilitas militer tersebut digunakan oleh tentara sekutu untuk merebut
kembali Philipina dan menyerbu Jepang. Prasarana militer itu merupakan warisan
berharga yang dapat digunakan untuk pembangunan ekonomi.
Keterbatasan SDM di KTI dapat ditanggulangi dengan menggunakan sebaik
mungkin dana yang diperoleh dari APBN dan perusahaan yang berperoperasi di
kawasan tersebut, apakah untuk keperluan pendidikan maupun kesehatan. Perusahaan
modern yang beroperasi di KTI sekaligus memberikan kesempatan alih teknologi bagi
tenaga kerja Indonesia yang bekerja padanya. Ahli teknologi juga dapat dirangsang
dengan meminta bantuan dari perantau asal KTI yang bermukim di berbagai pelosok
dunia maupun dengan bantuan teknis negara asing.
Berbeda dengan suku-suku lainnya di Indonesia, suku-suku asal KTI juga
banyak yang bermukim di luar negeri, seperti Manado dan Ambon yang tidak saja
melanglang buana ke Negeri Belanda tapi juga ke bagian dunia lainnya, seperti
Amerika Serikat. Para perantau itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi
pasar maupun teknologi serta modal.
6. Kebijakan untuk merangsang ekspor dan menarik modal asing

11
Peralihan sistem pemerintahan dari sistem sentralistis Orde Baru ke otonomi
daerah sangat luas, yang digalakkan sejak era reformasi dewasa ini, telah memberikan
peluang bagi Pemda untuk membangun daerahnya sendiri yang sesuai keunikan lokasi
geografis maupun sumber ekonomi yang dimilikinya. Dalam sistem yang sentralistis
masa Orde Baru itu, perencanaan pembangunan adalah terutama ditentukan dari
Pusat.
Otonomi Daerah dewasa ini memberikan kewenangan penuh kepada Pemda di
KTI untuk mengatasi berbagai masalah nonekonomi dan ekonomi yang menghambat
pembangunan ekonomi di daerahnya. Secara sederhana teori paritas daya beli atau
PPP (purchasing power parity) dalam teori ekonomi mengatakan bahwa daya saing
perekonomian suatu daerah atau negara dapat ditingkatkan jika ongkos produksi atau
tingkat harga-harga di daerah atau negara itu dapat dibuat menjadi lebih murah
daripada di daerah atau negara lain. PPP tidak lebih dari perbandingan tingkat harga
suatu jenis atau sekelompok barang tertentu di pasar suatu daerah atau di pasar dunia
dengan tingkat harga jenis ataupun kelompok barang yang sama di pasar suatu daerah
atau negara tertentu, diukur dalam satuan mata uang yang sama3. Pada gilirannya
REER juga dipengaruhi oleh trend produktifitas tenaga kerja dan perekonomian.
Tentu saja Pemda tidak punya kewenangan untuk menetapkan nilai tukar
Rupiah ataupun tingkat suku bunga karena kebijakan moneter merupakan monopoli
Bank Indonesia sebagai bank sentral. Daya saing ekonomi nasional menjadi semakin
berkurang karena adanya penguatan nilai tukar Rupiah akibat dari pemasukan modal
jangka pendek dewasa ini. Daya saing ekonomi nasional juga merosot karena pada
saat yang sama tingkat suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada di pasar dunia
dan kredit perbankan sangat terbatas. Pemda juga tidak dapat mempengaruhi berbagai
kebijakan Pemerintah Pusat yang mempengaruhi tingkat harga-harga. Di luar
kebijakan moneter maupun kebijakan lain yang menyangkut tingkat harga-harga itu,
ekonomi nasional juga tengah mengalami tiga jenis penyakit yang disebut oleh Ruchir
Sharma4, ekonom dari Morgan Stanley Management, sebagai “3L”, yakni local
regulations, legal uncertainty and labor rigidity.
3 REER=e.P*/P di mana REER adalah real effective exchange rate atau kurs riil efektip, merupakan nilai tukar mata uang, P* adalah indeks harga di pasar dunia dan P merupakan indeks harga dalam negeri. Formulasi sederhana ini dapat dibuat menjadi lebih kompleks dengan memperhitungkan berbagai hambatan perdagangan lainnya seperti biaya angkut dan biaya transaksi lainnya serta tarif bea masuk. 4 Ruchir Sharma, ‘Where Big Is Beautiful’, Newsweek, May 1, 2006, hal. 45.

12
Sebagian dari penyakit “3L” itu merupakan kewenangan Pemerintah Pusat,
DPR maupun serikat pekerja ditingkat nasional. Misalnya dalam penetapan Undang-
Undang Tenaga Kerja maupun dalam hal penetapan tingkat upah minimum nasional.
Namun, cukup banyak juga dari kebijakan Pemda sendiri yang menjadi faktor
penyebab penyakit “3L” itu. Berbeda dengan di RRC, Pemda di Indonesia setelah
Otoda justru telah berlomba-lomba membuat aturan ijin usaha, sistem perdagangan
maupun sistem pajak di daerahnya menjadi semakin kompleks dan distortif.
Sebaliknya, Pemda di RRC berlomba menarik investor asing dengan menawarkan
perlindungan hak milik, keamanan dan kepastian hukum di daerahnya serta berbagai
insentip ekonomi yang lebih menarik. Inilah rahasianya mengapa RRC, dewasa ini,
dapat menarik lebih dari 50% dari seluruh penanaman modal swasta yang mengalir ke
negara-negara berkembang.
Tindakan pertama yang dapat dilakukan oleh Pemda di Indonesia, termasuk
KTI, untuk merangsang ekspor dan menarik pemasukan modal adalah dengan
menurunkan biaya transaksi ekonomi di daerahnya. Pada gilirannya, biaya transaksi
ekonomi itu dapat diturunkan dengan memelihara stabilitas politik, melindungi hak
milik pribadi serta memelihara kepastian hukum di daerahnya. Sri Sultan
Hamengkubuwono X, Gubernur D I Yogyakarta, merupakan contoh Kepala Daerah
yang mampu menggunakan kekuasaan dan kharismanya untuk memelihara stabilitas
politik dan keamanan di daerahnya. Selain merusak harta benda maupun infrastruktur
yang ada dan merenggut nyawa keluarga sendiri, konflik horisontal yang disebut di
atas telah menghabiskan APBN untuk keperluan operasi militer yang tidak perlu.
Konflik horizontal di Poso, Maluku dan Maluku Utara serta pembakaran kebun pisang
modern milik keluarga Eka Cipta Widjaya di Halmahera setelah era reformasi telah
menakutkan investor masuk ke daerah ini.
Tindakan kedua yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah menyederhanakan
Peraturan Daerah (Perda), terutama aturan yang menyangkut perijinan usaha di
daerahnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah mengurangi hambatan, bea, retribusi
dan pungli atas transportasi maupun arus barang dan jasa maupun tenaga kerja antar
kabupaten, daerah maupun dengan luar negeri. Penyederhanaan Perda yang sangat
distortif tersebut merupakan bagian lain dari upaya menurunkan biaya transaksi untuk
meningkatan efisiensi dan daya saing perekonomian.
Tindakan ketiga yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dalam bidang
ketenagakerjaan. Betul bahwa Pemda tidak dapat berbuat apa-apa pada Undang-

13
Undang Perburuhan di Indonesia yang sangat distortif dewasa ini. Namun, Pemda
dapat menjelaskan kepada serikat pekerja setempat akan bahaya peningkatan militansi
tenaga kerja yang menakutkan dunia usaha. Juga perlu dijelaskan bahwa tingkat upah
minimum yang berlebihan di negara yang memiliki surplus tenaga kerja seperti di
Indonesia akan semakin mengurangi kemungkinan bagi pencari kerja baru untuk
memperoleh pekerjaan.
Tindakan keempat yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dengan
meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan ekonomi daerahnya. Di sini peranan
pendidikan dan ahli teknologi serta perbaikan kesehatan masyarakat sangat menonjol.
Selain mendirikan sekolah formal, ahli teknologi dapat dilakukan oleh dinas
pemerintahan seperti penyuluhan nelayan maupun pertanian. Ahli teknologi juga
dapat diperoleh dari lembaga asing seperti JETRO yang mengajari petani dan nelayan
Thailand tentang standar kesehatan dan kebersihan makanan di Jepang yang
merupakan negara tujuan ekspor hasil pertanian, peternakan dan perikanan Thailand.
Turis asing, terutama dari Australia, mengajari masyarakat Bali tentang pengelolaan
homestay, restoran maupun bar.
Tindakan kelima yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah untuk
menumbuhkan kewiraswastaan masyarakat setempat. Dalam kaitan penumbuhan
kewiraswastaan itu, praktik-praktik KKN dan pemangsa rente (rent seeking activities)
di masa Orde Baru tidak dapat lagi dapat diteruskan. Di berbagai provinsi di
Indonesia, ketangguhan dalam menghadapi krisis ekonomi sejak tahun 1997 justru
bersumber dari usaha kecil dan menengah, apakah disektor perdagangan, industri
pengolahan maupun disektor pertanian. Kesempatan untuk menjadi pengusaha harus
dibuat se transparan mungkin, tanpa ada KKN termasuk diskriminasi jender. Pada
umumnya, wanita yang menjadi pengusaha di sektor ini, dapat mengembalikan
kreditnya tepat waktu.

1
1. Pendahuluan
Gabungan antara rangkaian deregulasi perekonomian yang dilakukan sejak
sebelum krisis tahun 1997-1998 dan reformasi sistem sosial Indonesia yang
diintrodusi setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru telah memberikan peluang
bagi daerah untuk mengeksploitir potensi ekonominya bagi kemakmurannya sendiri.
Deregulasi telah mengurangi peranan perencanaan yang sentralistis dan lebih banyak
menggunakan mekanisme pasar dalam pengaturan perekonomian. Deregulasi
sekaligus mengintegrasikan perekonomian nasional dengan perekonomian global.
Agar dapat bertahan dalam persaingan pasar yang semakin tajam dalam era
globalisasi itu, dunia usaha perlu memperbaiki governance-nya. BUMN/BUMD tidak
boleh lagi digunakan sebagai instrumen KKN oleh penguasa, seperti yang terjadi pada
masa Orde Baru. Sementara itu, reformasi politik telah merubah sistem politik
Indonesia dari sistem otoriter menjadi demokrasi. TNI/Polri tidak lagi berperan aktif
dalam politik dan tidak lagi punya wakil di badan legislatif, eksekutif maupun
judikatif. Kebebasan berbicara dan berkumpul dijamin penuh sedangkan pemilihan
dilakukan secara periodik, adil dan jujur. Reformasi telah merubah sistem
pemerintahan dari sistem yang tadinya sentralistis dengan memberikan otonomi yang
sangat luas kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Otonomi daerah era reformasi
sekarang ini adalah jauh lebih luas dari tuntutan PRRI/Permesta pada tahun 1950-an.
Dasar pertimbangan pemberian otonomi itu adalah karena Pemda dianggap lebih
memahami potensi daerah dan lebih mengetahui preferensi penduduk yang ada di
daerahnya.
Pemikiran Dr. Sam Ratulangi pahlawan nasional asal Tomohon, Sulawesi Utara,
dapat digunakan sebagai landasan strategi dasar dan orientasi pembangunan ekonomi
Provinsi Maluku maupun Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pemikiran beliau
dituangkan dalam buku yang ditulisnya pada tahun 1938 yang menganjurkan untuk
memperhatikan wilayah Pasifik. Menurut Dr. Sam Ratulangi, wilayah Pasifik,
khususnya Asia Pasifik, penting artinya bagi kita sebagai pasar ekspor barang dan jasa
yang kita hasilkan, sumber barang impor yang kita perlukan, termasuk faktor produksi
modal maupun teknologi. Observasi dan pemikiran beliau itu masih tetap relevan
dewasa ini. Gabungan antara membaiknya stabilitas politik dan keamanan regional,
setelah berakhirnya Perang Vietnam dan Perang Dingin, serta deregulasi

2
perekonomian di berbagai negara telah membuat perekonomian kawasan ini semakin
terikat antara satu dengan lain. Ikatan itu terjadi melalui jalinan perdagangan barang
dan jasa serta aliran modal maupun investasi Pemerintah dan swasta. Bahkan, pasar
tenaga kerja di kawasan pun semakin terjalin karena adanya lalu lintas tenaga kerja
antar negara. Kawasan ini juga aktip mempromosikan berbagai bentuk kerjasama
regional: ASEAN, ASEAN+3, serta APEC. Sebelas bank sentral di kawasan ini juga
bergabung dalam EMEAP1 yang bukan saja sebagai forum tukar menukar informasi
tapi juga memobilisasi dana bagi pengembangan pasar obligasi regional maupun
nasional. Dengan kata lain, orientasi masyarakat Maluku perlu dirubah dari Jawa serta
Eropa sentris ke arah Asia-Pasifik.
Selanjutnya makalah ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian kedua membahas
strategi pembangunan Provinsi Maluku dan KTI. Bagian kedua membahas strategi
pembangunan Provinsi Maluku dan KTI. Bagian ketiga membahas prasyarat bagi
suksesnya penyelenggaraan pembangunan daerah ini. Bagian keempat merupakan
usul bagi Universitas Pattimura agar dapat menjadikan dirinya sebagai pusat
pengembangan gagasan pembangunan KTI, khususnya Maluku, penasihat Pemda
serta pusat alih teknologi yang sangat diperlukan bagi pembangunan tersebut.
2. Strategi pembangunan Provinsi Maluku dan KTI
Dalam era perencanaan terpusat, ekonomi yang relatif tertutup dan sistem
pemerintahan yang sentralisasi di masa lalu, berbagai hal yang menyangkut ijin
berusaha, perdagangan, investasi maupun tenaga kerja harus diselesaikan di Jakarta
dengan birokrasi panjang yang menyita banyak waktu dan biaya. Sebagai percerminan
dari kebijakan ekonomi yang inward looking, sistem perdagangan dibuat sedemikian
rupa sehingga memaksa petani dan produsen hasil pertanian dan bahan mentah
terpaksa menjual produknya dengan harga yang berada di bawah tingkat harga
internasional kepada pabrikan dalam negeri yang pada umumnya berlokasi di Pulau
Jawa. Akibatnya muncullah dua bentuk kesenjangan. Pertama, kesenjangan regional.
Kedua kesenjangan rasial karena biasanya petani di luar Jawa adalah dari kalangan
pribumi sedangkan pabrikan di Jawa adalah umumnya adalah nonpribumi.
Rangkaian deregulasi dan reformasi sistem sosial itu telah memungkinkan
Provinsi Maluku dan KTI untuk memanfaatkan peluang pasar Asia-Pasifik. Karena
1 EMEAP adalah singkatan dari Executives Meeting of East Asia-Pacific Central Banks and Monetary Authorities.

3
berbagai alasan, adalah tidak begitu sulit untuk mengembangkan ekonomi KTI.
Alasan yang pertama adalah karena lokasi geographisnya yang berdekatan dengan
negara-negara Asia Timur dan Lautan Pasifik yang menjadi pasar dan sumber
teknologi dan modal yang penting. Alasan kedua adalah karena KTI adalah terdiri dari
pulau-pulau dan penduduknya yang jarang terutama bertempat tinggal di garis pantai.
Perhubungan dapat dilakukan dengan relatif murah melalui laut dan udara tanpa
memerlukan biaya tinggi untuk membangun pelabuhan laut maupun pelabuhan udara.
Pasukan Amerika Serikat, di bawah Jenderal McArthur, meninggalkan dua warisan
yang sangat berharga bagi KTI. Kedua warisan itu adalah landasan pelabuhan udara
serta pelabuhan laut di Morotai dan Biak. Meniru pembangunan di Australia, KTI
tidak memerlukan pembangunan prasarana jalan raya yang mahal yang membelah
pulau dan daratan yang berpenduduk jarang seperti di Papua. Pada awalnya, cukup
dibangun prasarana perhubungan laut ataupun jalan darat di sepanjang garis pantai.
Alasan ketiga adalah karena kualitas sumber daya manusia KTI yang tinggi.
Penduduk di wilayah ini, seperti Manado dan Ambon, sangat berbakat untuk
menguasai bahasa asing. Dengan penguasaan bahasa asing yang baik, lebih mudah
menyerap informasi, membaca petunjuk cara bercocok tanam dan cara perikanan
modern maupun membaca manual pengoperasian mesin-mesin. Alasan keempat
adalah bahwa warga Ambon dan Manado telah banyak yang merantau dan bermukim
di manca negara. Belajar dari warga Tionghoa, India dan Jahudi, jaringan
internasional seperti ini dapat dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi untuk
memperoleh informasi pasar, membangun jaringan hubungan perdagangan
internasional, mobilisasi modal, pengembangan sumber daya manusia maupun alih
teknologi. Setidaknya, dari keluarga yang berada di Negeri Belanda, warga Ambon
dan Manado dapat memperoleh bibit sayur, bunga, ayam maupun sapi unggul serta
teknologi kelautan, pertanian maupun peternakan modern.
Pasar Asia-Pasifik itu dapat menyerap berbagai jenis produk yang dihasilkan di
KTI seperti perikanan dan hasil laut, hasil hutan dan pertambangan serta produk
pertanian. Selama ini, hasil laut dari KTI langsung di ekspor ke negara konsumen
ataupun dikapalkan melalui Pelabuhan Udara Ngurah Rai di Denpasar atau diolah di
pusat-pusat pengolahan regional di General Santos di Mindanao ataupun di Thailand.
Tanah pertanian yang subur di KTI masih ditanami oleh komoditi tradisional yang
semakin kurang diminati oleh pasar sehingga menghasilkan nilai tambah yang
semakin rendah. Cengkeh dan rempah-rempah lainnya merupakan magnet yang

4
menarik orang Barat ke Timur pada abad 18 dan 19. Namun, komoditi itu bukan lagi
barang yang eksotis di pasar dunia sekarang ini sehingga menghasilkan nilai tambah
yang rendah. Untuk dapat meningkatkan kemakmuran ekonomi rakyat, lahan yang
subur itu harus dapat ditanami oleh komoditi pertanian yang menghasilkan nilai
tambah yang lebih tinggi. Nilai tambah yang lebih tinggi itu sekaligus untuk
mengatasi mahalnya biaya transportasi dari KTI ke pasar nasional maupun pasar
regional.
Asia Pasifik sekaligus merupakan sumber wisatawan yang selama ini menikmati
tamasya laut di Thailand, Vietnam, Bali, Australia Hawaii serta Pasifik Selatan.
Pengalaman Thailand dan Bali menunjukkan bahwa industri pariwisata dapat
digunakan sebagai leading sector pembangunan ekonomi untuk menjadi motor
penggerak pembangunan sektor-sektor perekonomian lainnya. Kedatangan turis
meningkatkan permintaan akan produk industri yang berkaitan dengan parawisata,
seperti tempat penginapan, rumah makan, bar maupun industri cenderamata.
Wisatawan asing itu sekaligus memberikan alih teknologi bagi pengusaha lokal
mengenai resep makanan, cara mencampur minuman, masalah standar mutu serta
kesehatan dan kebersihan maupun pengelolaan industri turisme itu. Resep makanan
dan minuman di Warung Made di Denpasar merupakan gabungan resep Barat dan
Bali karena “sang isteri” merupakan Putri Bali asli yang menikah dengan suami asal
Negeri Belanda. Selain berlibur, turis asing juga membeli produk-produk Indonesia
melalui Bali. Akibatnya, dewasa ini, Denpasar telah berkembang sebagai pusat
produksi dan perdagangan hasil laut, produk tekstil, kerajinan dan meubel. Wisatawan
asing itu sekaligus membawa teknologi di luar industri turisme dan menularkannya
pada warga setempat.
Pembangunan KTI memang memerlukan modal. Tabungan regional KTI
memang tidak besar karena besarnya transfer balas jasa modal, tenaga kerja dan
keuntungan modal asing yang keluar dari KTI. Bahkan, modal milik sendiri pun
banyak yang mengalir dari KTI, setidaknya ke Pulau Jawa. Untuk menarik pemasukan
modal yang diperlukan bagi pembangunan KTI, bukan tax holiday yang diperlukan
dan tidak pula dengan menekan tingkat upah tenaga kerja serendah mungkin.
Singapura dan Hong Kong yang memiliki tingkat upah tenaga kerja dan biaya hidup
yang tinggi terus menerus dapat menarik pemasukan modal (smart capital) dari
manca negara. Mengikuti von Thunen, seorang ahli ekonomi klasik terkemuka,
kebijakan yang dilakukan oleh kedua negara itu untuk menarik modal adalah dengan

5
memperbaiki infrastruktur perekonomiannya, baik berupa perangkat keras (hard
infrastructure) maupun perangkat lunak (soft infrastructure). Hard infrastructure
adalah berupa jalan raya, irigasi maupun pelabuhan udara serta laut. Soft
infrastructure terdiri dari kesehatan, keterampilan dan etos kerja tenaga kerja,
stabilitas politik dan keamanan, ketertiban dan kepastian hukum serta perlindungan
terhadap hak milik individu.
Tanpa soft instrastructure, sumber daya alam Indonesia yang kaya tidak dapat
kita eksploitir untuk mengkingkatkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan
Rakyat kita sendiri.Karena kekurangan soft infrastructure itu, hasil laut di Maluku
lebih banyak dinikmati oleh negara lain yang mengirimkan kapal penangkap ikannya,
secara legal maupun illegal, ke provinsi ini. Minyak dan gas bumi Indonesia, seperti
di Aceh, Riau dan Kaltim, adalah ditambang oleh perusahaan asing. Karena tidak
memiliki software, perusahaan nasional yang menambang gas di Sidoardjo justru
membawa malapetaka bagi penduduk di daerah itu dan melumpuhkan ekonomi Jawa
Timur bagian Selatan. Gunung copper serta emas di Papua adalah ditambang oleh
Freeport, perusahaan Amerika Serikat.
3. Kunci sukses pembangunan
Pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas politik dan keamanan.
Pembangunan ekonomi juga memerlukan perubahan perilaku masyarakat serta
pembangunan kelembagaan.
3.1. Perubahan perilaku masyarakat
Sebagaimana dengan janji Tuhan, sukses tidaknya kita melakukan pembangunan
adalah tergantung kepada perilkaku kita sendiri. Baik krisis perekonomian yang
terjadi pada tahun 1997-1998 maupun konflik horisontal di berbagai daerah (Aceh,
Kalimantan, Poso, Ambon dan Papua) adalah terutama karena sikap dan perilaku kita
sendiri. Krisis ekonomi terjadi karena perilaku kita sangat berbeda dengan “10
Perintah Tuhan” yang diterima oleh Nabi Musa di Bukit Sinai di masa lalu dalam
perjalanan pengungsian umatnya dari kejaran Fir’aun menuju Israel/ Palestina
sekarang ini. Walaupun Sepuluh Perintah Tuhan itu yang dikaji dan di hafal oleh
pemeluk Agama Islam dan Kristiani dalam Majelis Ta’lim Umat dan Persekutuan
Doa, dalam realita, ternyata bahwa perilaku kita sehari-hari sangat berbeda dengan
apa yang kita kaji dan hafal itu. Yang melakukan KKN-Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme adalah Pimpinan dan Rakyat Indonesia sendiri. Sama dengan di daerah

6
lain, konflik horizontal di Maluku menggambarkan bahwa kita sendiri yang merusak
dan membakar apa yang telah kita bangun di masa lalu dengan susah payah: rumah
tinggal, perkantoran, badan usaha maupun rumah peribadatan hingga membunuh
sesama saudara sekandung.
Oleh karena itu, untuk suksesnya pembangunan masyarakat kita sendiri, perilaku
kita harus dirubah sesuai dengan ajaran agama kita itu. Perilaku yang baik itu akan
menghasilkan tata kelola atau good governance yang baik, apakah pada lembaga
pemerintahan maupun badan usaha. Pada gilirannya, good governance yang baik itu
akan memungkinkan badan usaha memasuki persaingan pasar regional dan global
serta memungkinkan bagi Pemda untuk meminjam dari luar negeri guna membelanjai
pembangunan di daerahnya.
3.2. Pembangunan kelembagaan
Ada dua jenis lembaga pembangunan yang perlu dibangun. Pertama, lembaga
yang mampu menganalisis masalah dan memahami potensi daerah serta menyusun
kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut dan mengekspolitasi potensi
daerah bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya.
Lembaga yang kedua adalah yang mampu menjalankan kebijakan pembangunan yang
tepat itu.
3.2.1 Lembaga penyusun kebijakan pembangunan
Otonomi daerah telah melimpahkan begitu besar kewenangan dari Pemerintah
Pusat langsung kepada Pemerintah Kabupaten dan Kota. Kewenangan yang
dilimpahkan kepada daerah termasuk pendidikan dasar dan menengah, kesehatan serta
infrastruktur. Di lain pihak, Pemda belum memiliki institusi atau lembagta yang kuat
menerima limpahan kewenangan itu. Berbeda dengan Pemda di RRC, Pemda di
Indonesia juga belum mampu membuat kebijakan bagaimana menarik pemasukan
investasi swasta asing dan nasional untuk mengeksploitir potensi daerah itu,
menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat itu. Sebaliknya, karena alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah,
Pemda di Indonesia itu justru berlomba menciptakan distorsi yang memperburuk
iklim usaha dan investasi di daerah. Akibatnya perekonomian nasional Indonesia
menjadi tidak efisien dan high cost sehingga tidak dapat bersaing di pasar dunia.

7
Dalam penyusunan kebijakan itu, perlu diingat bahwa Indonesia tidak lagi
percaya pada perencanaan sentral yang kaku (rigid), mengurangi campur tangan
pemerintah dalam pengaturan perekonomian dan semakin banyak menggunakan
mekanisme pasar. Perekonomian yang semakin terintegrasi dengan pasar global
memberikan petunjuk bahwa pasar barang dan jasa, tenaga kerja serta pasar uang kita
telah semakin berintegrasi dengan pasar dunia. Pengalaman tahun 1997-1998
menunjukkan bahwa globalisasi perekonomian bukan saja memberikan peluang
positif tapi juga sekaligus dampak negatif yang sangat dahsyat. Krisis ekonomi pada
waktu itu telah menyebabkan penurunan tingkat laju pertumbuhan ekonomi tahun
1998 menjadi minus hampir 14%, inflasi yang sangat tinggi, nilai tukar Rupiah
merosot hampir tujuh kali dan biaya rekapitalisasi perbankan dan nasabahnya
mencapai 50% dari PDB Indonesia tahun 1998.
3.2.2 Kemampuan melakukan implementasi kebijakan
Sukses tidaknya pembangunan sangat tergantung kepada implementasi dari
strategi maupun instrumen kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk dapat menyusun
strategi dan kebijakan pembangunan serta mengimplementasikannya, diperlukan
tenaga-tenaga professional yang handal. Dalam kaitan ini, perasaan primordialisme
yang sempit untuk merekrut tenaga putra daerah, suku maupun agama merupakan
kebijakan yang salah. Menurut Deng Xio Ping, yang diperlukan adalah ”kucing yang
dapat menangkap tikus dan bukan warna tertentu dari bulunya”.
4. Peranan Universitas Pattimura
Unpatty merupakan bagian dari soft infrastructure atau perangkat lunak yang
disebut oleh von Thunen di atas. Sebagai Universitas yang menyandang nama
Pahlawan Nasional Pattimura, kiranya Unpatty dapat memberikan sumbangan bagi
pembangunan Provinsi Maluku dan KTI dalam Tri Dharmanya. Pertama, sebagai
pusat pendidikan sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan bagi pembangunan
Provinsi ini, KTI maupun Indonesia. Tanpa adanya SDM yang berkualitas, daerah ini
tidak akan maju dan investor tidak akan tertarik melakukan investasi di Provinsi
Maluku dan KTI.
Universitas Pattimura harus dapat menemukan jati dirinya dan menetapkan
bidang yang menjadi unggulannya dari Universitas lain yang ada di Indonesia dan,
bahkan, dunia. Dalam kaitan ini Unpatty dapat menjadikan studi Kawasan Indonesia

8
Timur dan Asia Pasifik sebagai objek unggulan studi serta penelitiannya. Studi
kewilayahan itu dapat menyangkut berbagai bidang politik, sosial-budaya maupun
ekonomi ataukah yang berkaitan dengan alam serta faunanya yang unik. Dari
unggulan seperti itu, Univeritas Pattimura dapat membina jaringan dengan Universitas
serta pusat studi serupa (APEC Centers) di kawasan Asia-Pasifik maupun di kawasan
Samudera Pasifik. Jaringan antar Universitas dan Pusat Studi dapat saling
memperkaya informasi, saling tukar menukar pengajar maupun peneliti serta
mahasiswa.
Dalam bidang pengabdian masyarakat Unpatty dapat diarahkan pada
pembangunan kelembagaan daerah, baik dalam penguatan policy formulating body,
pembuat strategi dan kebijakan pembangunan, maupun dalam pelaksanaannya.
Unpatty dapat memberikan jasanya kepada Pemda maupun dunia usaha setempat.
Dalam bidang administrasi keuangan, Unpatty dapat membantu Pemda untuk
membangunan sistem administrasi serta akuntansi Keuangan Provinsi, Kabupaten dan
Kota maupun BUMD, termasuk BPD Maluku, sebagaimana diharapkan oleh ketiga
UU tentang keuangan negara tahun 2003-2004. Unpatty sekaligus dapat mendidik
tenaga-tenaga di Biro Keuangan Pemda dan Bawasda maupun BUMD tentang dasar-
dasar ilmu akuntansi maupun hukum keuangan negara agar dapat menjalankan ketiga
Undang-Undang tentang Keuangan Negara tersebut. Sebagaimana telah disebut di
muka, peluang untuk membangun daerah telah semakin terbuka setelah Indonesia
melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Maluku dapat dijadikan
sebagai pusat rekreasi laut maupun pusat agribisnis serta perikanan laut guna
melayani pasar Asia Timur yang sangat besar.

1
Strategi Pembelanjaan Pembangunan Ekonomi dalam Era Ketidakseimbangan
Global
1. Pengantar
Pembangunan kembali perekonomian Indonesia dari krisis tahun 1997-1998
justru menuntut kita untuk semakin ikut dalam proses globalisasi, yakni, semakin
mengaitkan perekonomian Indonesia dengan dunia luar. Melalui pengaitan pasar
barang dan jasa, pasar finansil dan pasar tenaga kerja dengan pasar yang sama di luar
negeri, efisiensi perekonomian nasional dan ekspor akan dapat kita tingkatkan,
keperluan pembelanjaan pembangunan nasional akan dapat kita mobilisasi dan
penciptaan lapangan kerja akan dapat kita perluas. Keperluan untuk mengintegrasikan
ekonomi nasional dengan ekonomi global semakin meningkat karena adanya
ketidakseimbangan fiskal atau fiscal imbalances yang kita alami sejak krisis ekonomi
dan perbankan tahun 1997-1998. Ketidakseimbangan fiskal itu membatasi
kemampuan negara untuk membelanjai pembangunan nasional. Sementara itu,
kemampuan industri perbankan nasional juga masih sangat terbatas untuk pemberian
kredit bagi pembelanjaan dunia usaha di dalam negeri karena belum tuntasnya
restrukturalisasinya.
Agar ekonomi Indonesia mampu memanfatkan globalisasi, diperlukan adanya
perbaikan institusional serta perubahan kebijaksanaan mikro maupun makro ekonomi.
Kebijaksanaan mikro terdiri dari tiga aspek, yakni penguatan organisasi dunia usaha
nasional, peningkatan efektifitas dan efisiensi pasar dan penyehatan persaingan usaha.
Dalam hal ini menonjol upaya penegakan hukum, peningkatan transparansi serta
akuntabilitas kebijakan publik maupun pengikisan KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) yang merebak pada masa Pemerintahan Orde Baru. Sistem perijinan usaha
yang semakin rumit dan pungutan yang semakin meningkat setelah otonomi daerah
dan serikat pekerja yang semakin militan dalam era reformasi perlu dikoreksi agar
dapat merangsang penanaman modal dan penciptaan lapangan kerja baru. Sementara
itu, keterbatasan infrastruktur perekonomian, seperti listrik dan angkutan, perlu
dicarikan pemecahannya. Pengelolaan ekonomi makro meliputi pengendalian tingkat
laju inflasi serta kurs devisa guna memelihara kepastian berusaha, meningkatkan

2
investasi dan ekspor agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta
penerimaan negara.
Kebijakan ekonomi mikro dan makro itu sekaligus merubah strategi
pembelanjaan pembangunan nasional. Perubahan pertama adalah untuk semakin
merangsang pemasukan modal swasta asing karena terbatasnya kemampuan
pemerintah maupun dunia usaha nasional dalam kegiatan pembangunan. Perubahan
yang kedua adalah bahwa, mencontoh RRC dan Malaysia, merubah struktur modal
asing yang masuk tersebut. Berbeda dengan RRC dan Malaysia yang lebih menjukai
penanaman modal langsung swasta asing, sebelum krisis Indonesia lebih suka
meminjam modal jangka pendek dari luar negeri untuk membelanjai investasi jangka
panjang. Sebagaimana akan dibahas kemudian, ketergantungan akan modal jangka
pendek telah menimbulkan dua bentuk ketidak serasian (mismatches) yang pada
gilirannya merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua
menjelaskan secara ringkas kaitan antara krisis ekonomi tahun 1997 dengan
globalisasi. Bagian ketiga dan keempat, masing-masing, membahas masalah
ketidakseimbangan fiskal dan kondisi industri perbankan kita yang masih sulit, yang
membatasi peranan negara dan pembiayaan pembangunan nasional. Bagian kelima
membahas masalah ketidakseimbangan antara tabungan nasional dan investasi dunia
(global imbalances) dan dampaknya pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia,
pelemahan nilai tukar US dollar serta kenaikan tingkat suku bunga internasional.
Bagian keenam membahas pilihan kebijakan yang tersedia bagi Indonesia dalam
menentukan strategi pembelanjaan pembangunan ekonomi masa depan.
2. Krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan globalisasi
Krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 merupakan contoh dari dampak
negatif globalisasi finansial yang sangat dahsyat bagi perekonomian. Selain lebih
parah dan lebih mahal daripada di negara-negara lain, krisis ekonomi dan perbankan
yang terjadi di Indonesia belum juga dapat dipulihkan setelah delapan tahun berlalu.
Diukur dari berbagai segi, krisis ekonomi dan perbankan yang terjadi di Indonesia
pada tahun 1997-1998 itu merupakan salah satu yang terparah dalam sejarah hidup
manusia. Pemerintah telah mengeluarkan surat utang senilai Rp650,7 triliun atau
setara dengan separuh dari nilai produk domestik bruto kita pada tahun 1988-1999
untuk menambah modal bank nasional dan mengambil alih kerugiannya akibat dari

3
krisis. Akibat dari krisis itu, tingkat laju ekonomi pertumbuhan Indonesia telah
menurun dengan tajam, lebih dari minus 13%, tingkat laju inflasi dan tingkat suku
bunga meningkat hingga di atas 70% sedangkan nilai tukar Rupiah telah merosot
secara drastis, sekitar 80% pada tahun 1998 (Tabel 1).
Sama dengan di negara-negara lain, krisis ekonomi tahun 1997-1998 terjadi
karena besarnya pemasukan modal jangka pendek pada periode 1990-1996 sebelum
terjadinya krisis. Pemasukan besar-besaran modal swasta jangka pendek itu terjadi
akibat dari adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan deregulasi perekonomian
dan perbankan, liberalisasi perdagangan luar negeri dan privatisasi. Gabungan antara
rangkaian kebijakan itu dengan adanya kemajuan pesat dalam teknologi informasi,
pengolahan data maupun telekomunikasi telah memungkinkan terjadinya integrasi
perekonomian perekonomian nasional dengan perekonomian dunia. Liberalisasi
perdagangan itu semakin menggantikan kebijakan nontarif dan larangan impor dengan
kebijakan tarif. Sementara itu, tingkat perlindungan tarif tersebut menjadi semakin
dikurangi. Privatisasi semakin mengurangi kepemilikan negara dalam badan usaha
maupun kegiatannya dalam melaksanakan sendiri kegiatan ekonomi. Pemilikan
maupun pelaksanaan kegiatan ekonomi itu semakin dialihkan oleh negara kepada
sektor swasta, termasuk menjual saham BUMN kepada swasta.
Deregulasi, liberalisasi dan privatisasi telah memungkinkan terjadinya
peningkatan perdagangan barang dan jasa, lalu lintas modal maupun migrasi
penduduk antar negara sehingga semakin meintegrasikan pasar barang, pasar uang
maupun pasar tenaga kerja dunia. Migrasi penduduk untuk bekerja di luar negeri telah
mengurangi tekanan pengangguran di dalam negeri. Secara teoritis, di atas kertas,
perdagangan internasional yang semakin meningkat akan mendorong terjadinya
peningkatan spesialisasi atau pembagian tenaga kerja dan penurunan ongkos produksi.
Pada gilirannya, globalisasi itu akan meningkatkan kegiatan ekonomi dunia maupun
standar hidup dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kaitan antara tingkat laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat
serta penurunan kemiskinan absolut tercermin dari pengalaman RRC dan India
dewasa ini maupun pengalaman Indonesia sendiri sebelum terjadinya krisis tahun
1997.

4
TABEL 1INDIKATOR EKONOMI MAKRO, 1997-2004
Indicators Annual Average 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1980-89 1990-97
Real GDP, 1993 constant pricesTotal GDP (annual growth) 6.6 7.6 4.7 -13.1 0.8 4.9 3.5 3.7 4.1 5.13Expenditure components (annual growth)
Consumption 6.3 9.3 7.0 -7.1 4.3 2.0 3.9 4.7 4.6 4.6 Fixed Gross Capital Formation 8.2 10.3 8.6 -33.0 -18.2 16.7 6.5 0.2 1.4 15.7 Export Goods and Services 2.7 8.4 7.8 11.2 -31.8 26.5 2.9 -0.6 4.0 8.5Import Goods and Services 4.6 16.3 14.7 -5.3 -40.7 25.9 8.2 -5.0 2.0 24.9
Production components (annual growth)Agriculture 4.1 2.9 1.0 -1.3 2.2 1.9 1.7 2.0 2.5 4.1Industry 12.6 10.5 5.3 -11.4 3.9 6.0 3.1 3.4 3.5 6.2Services 4.7 3.5 3.6 -3.8 1.9 2.3 3.1 2.1 3.4 4.9
Expenditure components (as % of GDP)Consumption 66.6 67.3 71.3 76.2 78.8 76.7 77.0 77.7 78.1 67.9Fixed Gross Capital Formation 24.5 29.1 32.3 24.9 20.2 22.5 23.1 22.3 21.8 21.7Export Goods and Services 26.8 27.5 28.0 35.8 24.2 29.2 29.0 27.9 27.8 40.0 Import Goods and Services 17.4 26.4 32.3 35.2 20.7 24.9 26.0 23.8 23.3 32.6
Production components (as % of GDP)Agriculture 24.0 17.4 14.9 16.9 17.1 16.6 16.3 16.1 15.8 15.2Industry 16.1 22.8 24.8 25.3 26.1 26.4 26.3 26.2 26.1 28.3Services 12.3 9.9 8.8 9.7 9.8 9.6 9.5 9.4 9.3 9.1
Inflation Rate (y.o.y %) 8.2 8.5 11.6 77.63 2.01 9.35 12.6 10.03 5.06 6.40
Average Exchange Rate (domestic curr/US$) 1,197 2,205 4,650 8,025 7,100 9,595 10,400 8,940 8,465 9,290REER Index 2) 109.02 103.06 61.78 59.73 66.46 56.58 73.52 86.05 88.46 91.19 External Data
Non Oil Gas Export (fob, % annual growth) 18.8 15.1 17.2 -3.6 -4.6 22.8 -11.0 3.4 3.7 13.46Non Oil Gas Import (cif, % annual growth) 3.2 13.3 4.0 -30.2 -9.8 27.9 -15.5 -0.8 8.6 24.37Current Account/GDP -2.5 -2.6 -2.3 4 4.1 5.3 4.7 4.5 3.6 n.aCapital Account/GDP -0.2 -8.2 -4.2 -5.2 -5.2 -1.0 -1.6 n.aNet Private Capital Flows (billions US$) 0.625 5.077 -0.618 -12.722 -9.773 -9.513 -7.518 -1.603 -3.672 n.aExternal debt (billion US$)) 45.1 87.7 136.09 150.89 148.09 141.69 133.07 131.34 135.40 137.02International Reserves (million US$)) 21,418 23,762 24,352 29,394 28,016 32,037 36,296 36,320
Monetary Aggregates (annual growth)Base Money 14.6 21.6 34.26 60.89 35.50 23.40 1.74 8.18 20.42 19.81M1 15.8 18.7 22.20 29.20 23.20 30.10 9.59 7.99 16.60 13.41M2 25.5 25.5 23.20 62.30 11.90 15.60 12.99 4.72 8.12 8.14
Interest Rates (%) 1-month central bank rate 15.3 14.3 20 38.44 12.51 14.53 17.62 12.99 8.31 7.43Interbankovernight rate 12.2 14.3 40.67 39.71 12.06 11.41 15.66 8.89 4.65 3.761-month deposit rate 16.3 17.3 25.39 41.42 12.24 11.96 16.07 12.81 6.62 6.43working capital credit rate 19.5 25.4 34.75 20.68 17.65 19.19 18.25 15.07 13.41Investment credit rate 16.2 18.94 26.23 17.8 16.86 17.90 17.82 15.68 14.05
1) preliminary and projected figures
Kenyataan yang terjadi di Indonesia menggambarkan bahwa dampak globalilasi
berbeda dengan prediksi teori maupun kejadian di negara lain. Globalisasi menurut
teori maupun pengalaman negara lain akan meningkatkan kemakmuran masyarakat
sedangkan di Indonesia justru mendatangkan kemelaratan. Hal ini terjadi karena
adanya perbedaan yang mendasar antara deregulasi yang dilakukan di Indonesia
selama masa rejim Orde Baru dengan apa yang dimaksud oleh teori itu. Berbeda
dengan teori, deregulasi yang dilakukan di Indonesia selama rezim Orde Baru bukan
ditujukan untuk peningkatan efisiensi perekonomian nasional, tapi justru digunakan
oleh penguasa sebagai instrumen KKN maupun pencurian asset negara. Walaupun
sudah dilakukan deregulasi, peranan langsung pemerintah dalam menentukan
kebijakan maupun alokasi sumber-sumber ekonomi masih tetap besar. Campur tangan
Pemerintah dalam alokasi kredit bank-bank negara, misalnya, masih tetap dominan
walaupun sudah dilakukan deregulasi dan saham bank yang bersangkutan (seperti
Bank BNI1946) sudah dijual di bursa efek-efek jauh sebelum terjadinya krisis
ekonomi tahun 1997. Berbeda dengan saran teori, bank-bank negara, serta BUMN, di

5
Indonesia belum sepenuhnya diperlakukan sebagai badan usaha komersil, seperti
halnya dengan BUMN di Singapura.
Penggunaan bank-bank negara sebagai instrumen KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) dan pencurian aset negara oleh penguasa Orde Baru tercermin dari daftar
penerima kredit dari bank-bank tersebut yang kemudian macet dan dialihkan kepada
BPPN. Berbeda dengan ajaran indoktrinasi P-4 yang mendengungkan pemerataan,
daftar nama-nama penerima kredit itu menunjukkan bahwa ternyata bahwa hanya
sekelompok kecil orang saja yang menerima porsi terbesar kredit bersubsidi dari
bank-bank negara. Kelompok orang-orang penerima kredit yang kemudian macet itu
sangat erat kaitannya dengan penguasa politik Orde Baru. Sementara itu, liberalisasi
maupun privatisasi di Indonesia, selama masa Orde Baru, hanya mengalihkan hak
monopoli dari sektor negara kepada sekelompok individu tertentu yang juga dekat
kaitannya dengan penguasa politik. Contohnya adalah monopoli proyek-proyek
infrastruktur, cengkeh, angkutan LNG Pertamina, maupun perakitan mobil Korea
Selatan. Penerima hak monopoli pengusahaan proyek-proyek infrastruktur tersebut
sekaligus menikmati pinjaman luar negeri yang risikonya diambil alih oleh negara
melalui pinjaman luar negeri yang diatur pajunya oleh KTLN masa lalu. Bank-bank
swasta nasional sebelum terjadinya krisis telah digunakan oleh pemiliknya untuk
memobilisasi dana masyarakat bagi pembelanjaan kelompok perusahaannya saja
dengan melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Berbagai kasus
perbankan menggambarkan bahwa, pada umumnya, pemilik bank swasta pada masa
krisis telah menggunakan bank miliknya untuk merongrong fasilitas kredit eskpor dari
BI maupun BLBI untuk memperkaya diri sendiri dengan melarikan dana ke luar
negeri.
Gabungan dua jenis krisis (twin crises), yakni krisi ekonomi dan krisis
perbankan, terjadi karena bank dan perusahaan dalam negeri meminjam kredit jangka
pendek dalam bentuk valuta asing yang digunakan untuk membelanjai proyek jangka
panjang yang memberikan pendapatan dalam satuan mata uang nasional. Dengan
demikian terjadilah dua bentuk ketidaksesuaian atau ketidakserasian (mismatches)
yang sangat rawan terhadap risiko perubahan kurs devisa, tingkat laju inflasi maupun
tingkat suku bunga. Bentuk ketidakserasian pertama adalah ketidakserasian antara
jangka waktu kredit jangka pendek dengan masa pengembaliannya dari proyek jangka
panjang. Ketidakserasian yang kedua adalah perbedaan satuan mata uang kredit

6
dengan satuan mata uang penerimaan pendapatan proyek yang dibiayainya. Sebelum
krisis 1997, pemasukan modal jangka pendek dari luar negeri tertarik pada tingkat
suku bunga dan balas jasa investasi yang lebih tinggi di dalam negeri. Sementara itu
risiko perubahan kurs dijamin secara implisit oleh sistem kurs devisa tetap yang
digunakan oleh bank sentral. Penarikan kredit kembali oleh kreditur luar negeri
menimbulkan tekanan pada pelemahan kurs mata uang nasional karena bank maupun
dunia usaha memperebutkan pot devisa yang sama untuk melunasi hutang luar negeri
dalam bentuk valuta asing.
3. Defisit anggaran negara yang semakin besar
Defisit anggaran negara yang semakin besar sejak krisis 1997-1998 tidak akan
dapat berlangsung terus menerus (sustainable) dan akan semakin memberatkan
perekonomian nasional. Defisit anggaran semakin membengkak, antara lain, karena:
(1) besarnya kupon obligasi pemerintah sejak krisis 1997 telah senantiasa lebih tinggi
daripada nilai nominal pertumbuhan ekonomi dan (2) lebih tingginya pengeluaran
negara daripada penerimaannya1. Upaya untuk meniadakan defisit anggaran negara
tersebut tidak cukup hanya dengan sekedar meningkatkan kembali tingkat
pertumbuhan ekonomi saja. Selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemecahan
defisit anggaran negara juga memerlukan tindakan kebijakan yang mendasar pada sisi
penerimaan maupun pada sisi pengeluaran anggaran.
Kebijakan mendasar untuk meningkatkan penerimaan, antara lain, adalah
berupa reformasi sistem perpajakan untuk dapat meningkatkan tax ratio yang masih
rendah dewasa ini, sebesar 13-14% dari PDB. Reformasi sistem perpajakan perlu di
fokuskan pada perbaikan administrasinya yang masih lemah. Penerimaan negara
bukan pajak dapat ditingkatkan melalui berbagai kebijakan. Pertama menjual hak
milik atau kekayaan negara secara lelang atau pada tingkat harga pasar. Melalui
perannya sebagai regulator pemerintah dapat menjual ijin usaha yang diaturnya
1 Defisit anggaran negara, yang merupakan perbedaan antara pengeluaran dan penerimaannya, dapat dibelanjai dengan menambah hutang negara dan/atau menjual aktiva atau asset negara termasuk penggunaan dananya yang ada di perbankan. Untuk mencegah terjadinya inflasi Undang-Undang Bank Indonesia yang berlaku dewasa ini melarang bank tersebut mencetak uang untuk membelanjai defisit anggaran negara. Oleh karenanya, dinamika perubahan hutang pemerintah (b▪) dapat ditulis sebagai: b▪ = (g – t) + (r – x)b – a, di mana g merupakan rasio pengeluaran negara (di luar kewajiban pembayaran hutang) terhadap PDB; t merupakan rasio penerimaan negara terhadap PDB; x adalah rasio pertumbuhan ekonomi (PDB) dan a merupakan rasio penerimaan negara dari penjualan asetnya (termasuk penggunaan dananya di perbankan) terhadap PDB (Nasution, 2004).

7
seperti: operator telephone, listrik, serta infrastruktur lainnya, perbankan dan asuransi.
Kedua, menjual kekayaannya seperti privatisasi BUMN maupun penjualan tanah
negara pada penawar tertinggi. Ketiga, meningkatkan penerimaan dari konsesi
pengusahaan hutan, perikanan, pertambangan dan penggalian. Keempat, rasionalisasi
tarif bagi jasa-jasa pemerintahan maupun pungutan negara atas merit goods, barang
dan jasa yang jelas identifikasi individu yang menikmatinya. Sementara itu, BUMN
perlu di komersialkan agar dapat menyumbang balas jasa keuntungan kepada kas
negara.
(a) Mahalnya biaya rekapitalisasi perbankan
Lubang terbesar di sisi pengeluaran negara sejak krisis tahun 1997 adalah
industri perbankan dan badan usaha nasional. Dalam kelompok industri perbankan
nasional, termasuk NV Indover, bank komersil milik Bank Indonesia yang
berkedudukan di Negeri Belanda. Pengeluaran negara yang meningkat secara drastis
setelah krisis tahun 1997-1998 adalah terutama untuk menambah modal bank-bank
nasional yang telah mengalami erosi karena krisis. Melalui program blanket
guarantee, praktis, pemerintah telah menasionalisasi hutang bank-bank nasional yang
bermasalah maupun hutang nasabahnya, baik berupa hutang dalam negeri maupun
hutang luar negeri. Sebagaimana telah disebut di atas, untuk keperluan rekapitalisasi
bank nasional dan pengambil alihan hutangnya pemerintah telah menerbitkan Surat
Utang Negara (SUN) dalam jumlah besar pada tahun 1998-1999. Hanya Indover yang
mendapat tambahan modal berupa berupa uang tunai dalam bentuk valuta asing
karena Bank Indonesia menggunakan sebagian dari cadangan luar negerinya sebagai
block atau escrow account atau pledged deposits pada bank itu untuk menjamin
kredit-nya yang bermasalah yang diberikan kepada nasabah di Indonesia dengan
nuansa KKN. Oleh karena itu, prioritas utama kebijakan pada sisi pengeluaran negara
untuk mengatasi defisit APBN adalah untuk penyehatkan industri perbankan dan
badan usaha nasional atau menutup serta menjualnya agar tidak terus menerus
menjadi beban bagi anggaran negara.
Peningkatan beban hutang negara juga meningkat karena perubahan variable
ekonomi makro: kurs devisa, tingkat laju inflasi dan tingkat suku bunga maupun
penurunan tingkat laju pertumbuhan ekonomi. Pemeliharaan stabilitas ekonomi makro
karena hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri pemerintah adalah sangat
sensitip kepada ketiga variable ekonomi makro tersebut. Upaya pemeliharaan
stabilitas perekonomian semakin perlu dilakukan karena mulai sejak pemerintahan

8
Presiden Habibie, sudah terjadi perubahan mendasar dalam pembelanjaan defisit
anggaran negara.
Rejim Orde Baru hanya membelanjai defisit dari pinjaman luar negeri,
terutama dari sumber resmi bersyarat ringan dan berjangka panjang. Defisit anggaran
yang dibelanjai dengan cara seperti itu yang disebut sebagai ”anggaran berimbang”
selama rejim Orde Baru itu. Sebagaimana disebut di atas, mulai tahun 1998,
Pemerintahan Presiden Habibie menjual obligasi (SUN) di pasar dalam negeri, baik
untuk keperluan rekapitalisasi perbankan maupun pembelanjaan kredit program serta
modal PT Permodalan Nasional Madani. Mulai saat itulah terjadilah crowding out di
pasar keuangan dalam negeri yang semakin meningkatkan tingkat suku bunga.
Crowding out itu terjadi karena adanya persaingan antara sektor negara dengan sektor
swasta untuk memperoleh tabungan nasional yang semakin berkurang karena krisis.
Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, mulai tahun 2004, menjual obligasi
(SUN) di pasar keuangan internasional.
(b) Beban Pembayaran Hutang
Beban ekonomi pelunasan hutang luar negeri adalah lebih berat daripada
pelunasan hutang dalam negeri. Pemerintah perlu memupuk surplus anggaran
primernya untuk dapat melunasi hutang dalam negeri. Untuk dapat melunasi hutang
luar negeri, yang dinyatakan dalam satuan mata uang asing, Pemerintah juga perlu
menggalakkan ekspor selain dari memupuk surplus anggaran primer tersebut.
Pelunasan hutang luar negeri merupakan transfer sebagian daripada pendapatan
nasional kepada kreditur asing sehingga mengurangi kemakmuran ekonomi
masyarakat. Sebaliknya, pelunasan hutang pemerintah kepada warga negaranya
sendiri hanya merupakan transfer dari sektor negara kepada rakyat sendiri tanpa
mengurangi pendapatan nasional. Melalui kebijakan fiskal, rasio hutang pemerintah,
terhadap PDB, telah dapat diturunkan dari tingkat 100% pada tahun 1998 menjadi
63% pada tahun 20042. Indikator kemampuan pembayaran luar negeri, berdasarkan
DRS (debt service ratio) atau rasio kewajiban pembayaran hutang luar negeri
terhadap nilai ekspor, telah menurun dari 57,9% (1998) menjadi 32,3% (2003).
Namun demikian angka DSR ini masih jauh di atas ambang batas Bank Dunia sebesar
20%.
2 Angka ini sudah mendekati convergence criteria, sebesar maksiumum 60%, dalam Stability Pact peserta European Monetary Union (EMU) di Eropa Barat berdasarkan Perjanjian Maastrict tahun 1991.

9
Cara yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1997 untuk menurunkan
rasio stok hutangnya terhadap PDB adalah dengan mengorbankan pengeluaran
nonhutang. Mata anggaran yang paling banyak korban adalah pengeluaran untuk
pendidikan, kesehatan maupun pemeliharaan serta pembangunan prasarana ekonomi.
Padahal, ketiga jenis pengeluaran ini yang mengandung unsur pemerataan dan
sekaligus menyumbang bagi pertumbuhan ekonomi. Mata anggaran untuk
pemeliharaan keamanan nasional seperti konflik di Aceh, Kalimantan, Poso, Ambon
dan Papua maupun untuk penanggulangan rangkaian pemboman oleh teroris di
berbagai daerah tidak dapat ditunda. Sebelum dinaikkan pada bulan Oktober 2006 y.l.,
tekanan politik sangat besar untuk tidak mengurangi subsidi harga BBM. Sebagai
rasio terhadap PDB, jumlah pembayaran bunga hutang dan pengeluaran subsidi pada
tahun 2004, masing-masing, mencapai 3,1% dan 4,3%. Sebagai persentase terhadap
total pengeluaran anggaran Negara, besarnya kedua mata anggaran itu adalah masing-
masing sebesar 14,2% dan 19,7%. Sebagai perbandingan, dalam RAPBN 2005,
alokasi untuk pengeluaran pendidikan hanya mencapai 9,7% terhadap seluruh
pengeluaran negara, untuk sektor kesehatan sebesar 2,6% dan perl;indungan sosial
sebesar 0,7%. Sebagai rasio terhadap PDB, pengeluaran anggaran negara untuk sektor
kesehatan di Indonesia (sebesar 0,6%) jauh di bawah standar internasional, minimum
sebesar 5%.
Persetujuan damai dengan GAM pada bulan Agustus y.l. dan kenaikan harga
BBM pada bulan Oktober y.l. telah mengurangi secara drastis pengeluaran negara
untuk subsidi serta operasi militer. Diharapkan bahwa tambahan dana nonsubsidi dan
nonmiliter itu dapat dialihkan untuk keperluan perbaikan pemeliharaan kesehatan
masyarakat, pendidikan dasar dan perbaikan infrastruktur perekonomian yang sangat
besar bermanfaatnya bagi peningkatan potensi ekonomi maupun bagi pemerataan
pendapatan masyarakat.
Sejak krisis tahun 1997, Indonesia sudah tiga kali mendapatkan keringanan
penundaan jadwal pembayaran hutang luar negerinya melalui Paris Club, yakni pada
tahun 2000, 2002 dan 2003. Paris Club merupakan forum untuk meminta keringanan
pembayaran hutang luar negeri Pemerintah dari sumber resmi. Di lain pihak,
pemerintah dapat mengurangi kewajiban pembayaran hutang dalam negerinya melalui
inflasi seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Lama dahulu. Pada hakikatnya
inflasi merupakan pajak regresip yang semakin menurunkan daya beli kekayaan yang
ditanam dalam bentuk uang ataupun instrument finansil. Keringanan pembayaran

10
hutang hanya diberikan kepada negara yang bersedia mengikuti program IMF.
Walaupun tidak lagi memperpanjang Program IMF yang berakhir tanggal 31
Desember 2003, Indonesia masih memperoleh penjadwalan pembayaran hutang luar
negeri pada tahun 2005 karena musibah bencana alam tsunami akhir Desember 2004
di Aceh dan Nias.
Cara lain untuk mengurangi beban hutang resmi pada pihak luar negeri adalah
melalui pendekatan politik dengan negara kreditur pemberi pinjaman. Pendekatan
politik ini hanya ampuh jika negara yang berhutang mempunyai arti penting dalam
geopolitik negara kreditor, baik ditinjau secara ideologi, politik, militer, kultural,
ekonomi, maupun sosial-budaya. Mesir dan Polandia memperoleh keringanan
pembayaran hutang dari negara-negara kreditur Barat pada tahun 1991 dan Pakistan
memperolehnya karena kerjasama dengan Amerika Serikat melawan teroris
internasional termasuk di Afganistan. Mesir adalah negara penting di Timur Tengah
dan menjadi perantara antara Israel dengan negara-negara Arab. Polandia yang
tadinya negara komunis anggota Blok Timur berubah menjadi anggota MEE dan
NATO serta mengirimkan tentaranya membantu Amerika Serikat di Iraq. Termasuk
dalam kategori cara pengurangan beban hutang luar negeri seperti ini adalah debt
swap. Dalam cara ini negara kreditur asing memberikan ijin pengalihan penggunaan
kewajiban pembayaran hutang padanya untuk keperluan lain di dalam negeri kita
sendiri. Keperluan lain itu biasanya adalah pengeluaran yang merupakan public goods
internasional, seperti penanggulangan masalah lingkungan, termasuk penghijauan
kembali hutan kita yang sudah rusak karena kita tebang sendiri, masalah kesehatan
yang dapat berjangkit ke luar negeri, seperti flu burung, kemiskinan maupun
pendidikan dasar. Indonesia juga sudah beberapa kali mengurangi pembayaran hutang
luar negeri melalui fasilitas debt swap dari berbagai negara dengan jumlah yang
sangat terbatas.
4. Kondisi keuangan industri perbankan nasional yang masih sulit
Dilihat dari segi asset dan jaringan kantor cabangnya, industri perbankan
merupakan inti dari industri keuangan nasional Indonesia. Kemampuan industri
perbankan nasional untuk memberikan kredit bagi keperluan dunia usaha masih
sangat terbatas pada saat ini. Walaupun indikator keuangannya sudah jauh lebih baik
daripada pada masa krisis tahun 1997, perlu diingat bahwa injeksi modal yang
diberikan oleh pemerintah pada tahun 1998-1999 adalah berupa SUN yang kurang

11
likuid karena pasarnya yang sangat terbatas. Dewasa ini, sekitar 30.6% dari portepel
seluruh bank dan 34,6% dari portepel bank-bank negara berupa surat-surat berharga,
terutama berupa SUN. Sebagian lainnya dari asset bank-bank itu diinvestasikan
dalam bentuk SBI yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia ataupun dalam bentuk Fasbi
(Fasilitas Bank Indonesia). Karena menurut aturan, bobot risiko surat hutang negara
dan lembaga negara (SUN, SBI dan Fasbi) adalah sama dengan nol, maka porsi
portepel perbankan yang sangat besar dalam bentuk ketiga kekayaan itu sekaligus
meningkatkan rasio CAR mereka. LDR (Loan-to-deposit ratio) atau rasio kredit bank
terhadap depositonya hanya mencapai sekitar 51% (Maret 2005). Artinya, sebagian
besar dari kegiatan industri perbankan nasional hanya merupakan jual beli obligasi
negara maupun SBI dan bukan memberikan kredit bagi keperluan dunia usaha. Dalam
bahasa teknis, bank-bank seperti itu disebut sebagai narrow banks. Jika ditelusuri
lebih lanjut, kredit bank adalah terutama diberikan untuk membelanjai konsumsi
rumah tangga, utamanya pembelian sepeda motor atau kendaraan bermotor maupun
rumah-toko (ruko). Kredit seperti ini sangat sensitif terhadap kenaikan tingkat suku
bunga sehingga kenaikan tingkat suku bunga dapat meningkatkan kredit macet bank.
Sebesar 37% dari portepel bank-bank negara dan 39% dari portepel 15 bank
terkemuka adalah termasuk dalam kelompok aktiva yang mengandung timbangan
risiko sebesar 100%. Kelompok aktiva berisiko tinggi seperti ini adalah terutama
aktiva yang dijual kembali oleh BPPN kepada bank-bank tersebut. Berbagai aktiva itu
ternyata belum direstrukturalisasi dengan baik sehingga belum dapat beroperasi
kembali secara efisien. Sebagian dari restrukturalisasi yang dilakukan oleh BPPN
hanya berupa rekayasa finansial dengan mengurangi pokok hutang atau beban
bunganya (hair cut). Akibatnya aktiva seperti itu masih dikenakan provisi dan
cadangan yang tinggi. Cadangan seperti itu tidak menghasilkan balas jasa apa-apa dan
hanya menambah ongkos bagi bank karena tidak dapat diinvestasikan ataupun
dipinjamkan. Besarnya portepel industri perbankan dalam bentuk SUN dan kelompok
aset yang dikenakan provisi tinggi mengurangi kemampuan mereka memberikan
kredit bagi dunia usaha. Kecenderungan kenaikan tingkat suku bunga akan
menurunkan nilai aktiva bank dalam bentuk SUN seperti yang telah terjadi akhir-akhir
ini. Pada gilirannya, penurunan harga SUN itu telah mengakibatkan perpindahan
besar-besaran dana masyarakat dari reksadana (redemption reksadana) ke deposito
atau ke valuta asing. Perobahan portepel masyarakat seperti ini telah menurunkan
nilai aset perbankan telah semakin mengurangi nilai aset perbankan yang pada

12
gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk memberikan kredit. Sementara itu,
perubahan portepel pada kekayaan luar negeri merupakan pelarian modal.
Sebagaimana disebut dimuka, krisis ekonomi dan perbankan tahun 1997-1998
adalah dipicu oleh pinjaman jangka pendek yang meningkat tajam, antara lain oleh
industri perbankan, untuk membelanjai ekspansi kreditnya di dalam negeri. Pinjaman
jangka pendek dari luar negeri yang meningkat secara cepat sebelum krisis 1997
adalah juga berkaitan dengan deregulasi perbankan yang dilakukan pada tahun 1988.
Kemudahan mendirikan bank telah meningkatkan jumlah bank swasta nasional
menjadi hampir tiga kali lipat, dari 63 pada tahun 1988 menjadi 164 pada tahun 1996.
Dalam periode yang sama, jumlah kantor cabang bank asing dan campuran meningkat
dari 11 menjadi 41. Penghapusan sistem pagu memudahkan bank melakukan
pinjaman dari luar negeri yang dipergunakan untuk melakukan ekspansi kredit di
dalam negeri.
Karena mengalami kesulitan keuangan setelah diterpa krisis, 15 bank
dilikuidasi pada akhir tahun 1997 dan 52 bank dibekukan usahanya dan diambil alih
oleh BPPN pada tahun 1998. Jumlah bank negara yang sebelum krisis ada enam (BRI,
BBD, BDN, Eksim, BNI 1946 dan BTN) sekarang tinggal empat (Mandiri, BRI,
BNI1946 dan BTN). Dari 132 bank yang masih beroperasi di Indonesia, sebagian
terbesar dari pangsa pasar deposito dan kredit industri perbankan adalah dikuasai oleh
kelompok lima bank negara, dua bank swasta lainnya (BCA dan Danamon) serta
sepuluh kantor bank asing yang beroperasi di Indonesia. Sejak awal tahun 1998, dana
nasabah pada bank-bank nasional dijamin penuh oleh pemerintah melalui UP3 (Unit
Pelaksana Penjamin Simpanan) yang merupakan bagian dari BPPN. Setelah
didirikannya LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) tanggal 22 September, lembaga itu
mengambil alih fungsi UP3 dan besarnya jumlah deposito nasabah bank yang dijamin
akan semakin dikurangi secara bertahap.
Injeksi modal dari pemerintah telah meningkatkan CAR (capital adequacy
ratio) bank-bank nasional menjadi positif dari yang tadinya negatif pada saat krisis.
Pada bulan Maret 2005, rata-rata rasio CAR seluruh bank sudah cukup sehat sebesar
22% dan dengan gross NPL (nonperforming loans) sebesar 5,6% (Tabel 2). Sebelum
berakhirnya masa operasi BPPN, seluruh bank yang dikuasainya sudah dijual kepada
pemodal swasta dan mampu beroperasi normal setelah memenuhi kriteria keuangan
minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Namun demikian, tingkat
pengembalian (recovery rate) asset yang diambil alih oleh BPPN (termasuk bank)

13
sangat rendah, kurang dari 25%. Restrukturalisasi asset tersebut pun ternyata tidak
tuntas, sebagaimana tercermin dari masih tingginya kredit bermasalah PT Bank
Mandiri. Sementara itu, para konglomerat hitam maupun para pelaku pada saat krisis
mendapatkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) ataupun ijin
menjalani ”cuti sakit” berkepanjangan di luar negeri dari aparat penegak hukum kita
sendiri. Keadaan menjadi semakin bertambah berat karena skandal dalam industri
perbankan masih terus-menerus terjadi seperti L/C fiktif, dengan nilai Rp1,3 triliun,
pada bank BNI 1946 pada tahun 2003.
Penyehatan industri perbankan nasional hendaknya dapat ditujukan untuk
meningkatkan stabilitas sistem keuangan nasional karena, sebagaimana telah disebut
dimuka, industri ini merupakan inti dari industri keuangan nasional kita. Upaya
penyehatan industri perbankan tersebut sangat penting untuk mencapai dua sasaran
sekaligus, yakni (i) mengurangi tekanan kepada APBN apakah melalui rekapitalisasi
baru industri perbankan atau melalui LPS dan (ii) memungkinkan industri perbankan
memberikan kredit bagi pembelanjaan dunia usaha nasional. Dalam rangka
penyehatan industri perbankan nasional itu, konsep Arsitektur Perbankan Indonesia
yang sudah disusun oleh Bank Indonesia perlu diwujudkan dengan indikator maupun
dengan jadwal yang lebih singkat dari rencana semula pada tahun 2013, karena
ancaman bahaya krisis bank-bank swasta skala kecil sudah semakin dekat. Dengan
demikian, bank-bank pemerintah dan swasta nasional akan semakin dapat diperkuat
dan jumlahnya dikurangi melalui penggabungan usaha atau penutupan.
Pengawasan industri perbankan dan penerapan aturan prudensial merupakan
bagian pokok dari upaya penyehatan industri perbankan nasional terutama
menghadapi ketidak pastian perekonomian dunia yang akan diuraikan dalam bagian
berikut. Modal bank perlu diperkuat sedangkan provisi serta cadangan perlu
ditingkatkan guna menghadapi kemungkinan gejolak internasional yang akan melanda
ekonomi nasional. Dalam kaitan ini, Pemerintah sebagai pemilik bank perlu
mengambil tindakan tegas, jangan lagi memberikan toleransi maupun justru
meneruskan praktik-praktik KKN Orde Baru, seperti yang tercermin pada kasus PT
Bank Mandiri dan PTB Bank BNI 1946 belakangan ini. Bank-bank pemerintah itu
perlu dikomersialisasikan agar dapat menyumbang berupa pembagian keuntungan
kepada kas negara. Bankir yang memiliki reputasi buruk dan telah menimbulkan
kerugian negara yang sangat besar di masa lalu hendaknya jangan lagi diberikan

14
kesempatan untuk menjadi pemegang saham pengendali maupun pengurus bank
apalagi menjadi anggota Badan Supervisi Bank Indonesia.
TABEL 2. INDIKATOR KEUANGAN INDUSTRI PERBANKAN, 2003-2005
Indikator Utama Dec-2003 Mar-2004 Dec-2004 Mar-2005
Total Aset (T Rp) 1,196.2 1,150.0 1,272.3 1,280.6
Dana Pihak Ketiga (T Rp) 888.6 875.1 963.1 959.3
Kredit (T Rp)* 477.2 485.9 595.1 617.8
Aktiva Produktif (T Rp)** 1,072.4 1,080.3 1,146.8 1128.4
Pendapatan Bunga [Net
Interest Income] (T Rp) 3.2 5.7 6.3 6.0
Rasio Dana thd Kredit
[Loan to Deposit Ratio
(LDR)] (%)
43.2 43.7 50.0 51.3
LDR Incremental (%)*** 126.7 156.7 158.2 156.8
Return on Assets (%) 2.5 2.7 3.5 3.4
Kredit Bermasalah
[NonPerforming Loans]
Gross (%)
8.2 7.8 5.75 5.6
NPLs net (%) 3.0 2.7 1.72 1.9
Rasio Kecukupan Modal
[Capital Adequacy Ratio]
(%)
19.4 23.5 19.4 21.7
Kredit / Aktiva Produktif
(%) 44.5 45.0 51.9 54.7
Rasio biaya operasional thd
Pendapatan operasional dl
setahun terakhir (BOPO)
(%)
88.8 91.6 76.7 81.2

15
Sumber : Bank Indonesia, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan. 2005.
Prospek dan Perkembangan Perbankan. Mei.
Catatan : *) termasuk kredit yang disalurkan oleh bank yang dananya berasal dari
pihak lain;
**) Komposisi aktiva produktif seluruh bank tahun 2000-2005 (dalam %)
adalah sbb.:
Des. 1999 Des. 2003 Des.
2005
Kredit 36.36 43.20
56.10
SBI 12.20 9.80
4.40
Surat-Surat Berharga 46.30 35.4
26.20
Aktiva antar bank 4.90 10.9
12.80
Penyertaan 0.30 0.6
0.50
***) pertumbuhan kredit setahun dibagi dengan pertumbuhan DPK setahun.
5. Ketidakseimbangan antara Ttabungan dan investasi global
Ketidakseimbangan antara tingkat tabungan nasional (S) dengan investasi (I)
global diperkirakan akan melemahkan nilai tukar US dollar, meningkatkan tingkat
suku bunga dan menurunkan tingkat laju pertumbuhan ekonomi dunia. Resesi
ekonomi diperkirakan akan diawali di Amerika Serikat yang terus menerus
mengalami defisit (I-S). Defisit pengeluaran investasi dengan tabungan nasional suatu
negara adalah tercermin pada defisit neraca berjalan pada neraca pembayaran luar
negerinya3. Menurut perkiraan, besarnya defisit neraca berjalan Amerika Serikat akan
3 Perbedaan antara tingkat investasi (I) dengan tabungan sektor swasta (S) dapat ditulis sebagai: (I-S) = (M-X) + (T-G), di mana M merupakan nilai impor barang dan jasa ditambah dengan neto balas jasa investasi di luar negeri maupun neto transfer dari luar negeri; X merupakan nilai eskpor; T adalah penerimaan negara dan G merupakan pengeluaran negara. (M – X) = CA menggambarkan defisit neraca berjalan (CA) pada neraca pembayaran luar negeri sedangkan (T – G) menggambarkan surplus atau tabungan sektor negara.

16
terus meningkat pada tingkat yang unsustainable, sebesar 7 persen dari PDB-nya pada
tahun 2005.
Penurunan kegiatan ekonomi di Amerika Serikat diperkirakan akan mulai
terjadi pada industri perumahan (housing bubble) yang sensitif terhadap tingkat suku
bunga. Krisis akan berlanjut kepada anggaran negara jika pemasukan modal asing
tidak lagi mencukupi bagi keperluan untuk menutup defisitnya. Harapan dunia adalah
agar resesi ekonomi negara besar itu terjadi secara perlahan (soft landing) dan bukan
secara drastis (hard landing) karena kesulitan ekonomi negara tersebut akan besar
dampaknya pada bagian dunia lainnya. Sementara itu, proses deflasi yang terjadi di
berbagai negara (seperti Jepang dan RRC) selama beberapa tahun terakhir telah mulai
berakhir. Dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi dan harga beberapa komoditi
lainnya, tingkat harga-harga dunia sudah mulai meningkat. Kenaikan tingkat laju
inflasi itu diperkirakan akan terus berlangsung sehubungan dengan ekspansi kegiatan
ekonomi dalam negeri berbagai negara. Pada gilirannya, peningkatan tingkat laju
inflasi akan meningkatkan ekspektasi masyarakat akan tingkat laju inflasi, tingkat
suku bunga dan erosi nilai tukar mata uang di masa datang.
Barry Eichengreen (2005) membedakan empat pandangan yang merupakan
penyebab ketidakseimbangan antara tabungan dan investasi ataupun necara berjalan
global. Pandangan pertama melihat rendahnya tingkat tabungan nasional, utamanya
defisit anggaran negara di Amerika Serikat. Tabungan sektor rumah tanggal yang
masih positif di negara itu (2004: 1,2% terhadap PDB-nya) tidak dapat menutup
defisit fiskal (2004: -4.3% thd PDB-nya). Defisit anggaran menjadi bertambah besar
di negara tersebut karena, di satu pihak, lambatnya kenaikan penerimaan negara
sehubungan dengan keringanan pajak yang dilakukan sejak masa pemerintahan
Presiden Reagan yang berlanjut hingga Presiden Bush sekarang ini. Sementara itu,
pengeluaran negara semakin meningkat terutama setelah perang di Afganistan dan
Iraq maupun bencana alam berupa Angin Puyuh Katrina pada bulan September y.l.
Defisit anggaran di Amerika Serikat dibelanjai dengan penjualan obligasi negaranya
yang juga dibeli oleh pihak asing sehingga menyebabkan adanya pemasukan modal
asing. Beban pembelanjaan defisit anggaran melalui penjualan obligasi negara
semakin murah bagi pemerintah karena bank sentral negara itu terus menerus
menurunkan tingkat suku bunga setelah berhasil meredam tingkat laju inflasi pada
tahun 1990.

17
Pandangan kedua yang menjelaskan defisit neraca berjalan, meninjaunya dari
segi ekonomi baru dan menjelaskan bahwa pemasukan modal asing ke Amerika
Serikat terjadi karena tinggi balas jasa investasi di negara itu. Peningkatan balas jasa
tersebut tidak ada kaitannya dengan kebijakan moneter, tapi semata-mata karena
adanya peningkatan produktifitas di negara tersebut terutama di sektor teknologi
informasi. Pandangan ketiga melihat peningkatan pemasukan modal asing ke Amerika
Serikat karena adanya surplus tabungan internasional di bagian dunia lainnya.
Tabungan nasional yang tinggi di Jepang adalah berkaitan dengan rendahnya rasio
tanggungan penduduk produktif di negara itu. Tabungan nasional yang tinggi di
negara-negara industri maju di luar Amerika Serikat adalah berkenaan dengan
tingginya tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan keuntungan dunia usaha di negara-
negara tersebut. Kenaikan harga minyak dan gas bumi telah meningkatkan tabungan
nasional produsennya, seperti negara-negara Arab dan Rusia. Sistem keuangan yang
masih terbelakang di RRC mendorong rakyatnya untuk meningkatan tabungan agar
dapat membeli rumah, memelihara kesehatan maupun membiaya pengeluaran masa
pension di hari tua.
Pandangan keempat meninjaunya dari adanya saling ketergantungan negara-
negara Asia Timur, utamanya RRC, pada ekonomi Amerika Serikat. Tabel 3
memberikan gambaran bahwa sebagian besar dari surplus tabungan internasional
adalah berada di kawasan Asia Timur. Jepang memiliki surplus tabungan, setelah
dikurangi pengeluaran investasi, yang tertinggi dikalangan negara-negara industri
maju. Rata-rata surplus tabungan di Eropa Barat hanya mencapai 1% dari PDB-nya.
Di kalangan negara-negara berkembang, surplus tabungan global tersebut sebagian
besar adalah dimiliki oleh negara-negara Asia Timur, termasuk RRC. Krisis ekonomi
di Asia Timur tahun 1997-1998 hanya mengurangi pengeluaran investasi di negara-
negara itu sedangkan tingkat tabungan nasionalnya masih tetap tinggi.
Menurut kepemilikannya sebagian terbesar dari surplus tabungan di negara-
negara Asia Timur itu berada ditangan pemerintah, utamanya bank sentral. Di Asia,
hanya Jepang dan Korea yang memiliki perusahaan swasta yang bergerak secara
multinasional di berbagai negara. Melalui investasinya di mancanegara, perusahaan
swasta itu menanamkan sebagian dari cadangan luar negeri negaranya. Hingga awal
tahun ini, Malaysia menerapkan kontrol atas lalu lintas modal jangka pendek saja dan
tidak ada batasan atas penanaman modal swasta asing. Hingga sekarang, RRC
mengontrol lalu lintas modal baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kontrol

18
lalu lintas modal seperti ini membatasi peranan sektor swasta untuk menempatkan
cadangan luar negeri negaranya di luar negeri. Singapura membagi dua cadangan luar
negeri yang dikuasai oleh pemerintahnya atas dua komponen, yakni: (a) komponen
likuid yang dipergunakan untuk pengendalian nilai tukar mata uangnya dan (b)
komponen investasi untuk memperoleh balas jasa dari penanaman modal di luar
negeri. Investasi Singapura, melalui Temasek, dalam PT Bank Danamon, BII serta
Indosat, misalnya, merupakan bagian dari komponen cadangan luar negeri yang
diinvestasikan itu. Sekitar dua pertiga dari cadangan luar negeri dunia pada tahun
2004 adalah diinvestasikan dalam bentuk asset yang dinyatakan dalam US dollar,
sebesar 25% dalam bentuk Euro, 4% dalam Yen, 3% dalam Pound Sterling dan
sisanya dalam Swiss franc (IMF, 2005). Aset dalam US dollar dan Euro menjadi
populer sebagai penempatan cadangan luar negeri karena pasar uang dan modal
Amerika Serikat dan Eropa merupakan yang terbesar dan paling likuid di dunia.
Penempatan cadangan yang lebih besar dalam US dollar terjadi karena, berbeda
dengan negara-negara lain, Amerika Serikat relatif lebih stabil dan tidak pernah
dilanda peperangan setelah Revolusi Kemerdekaannya dan Perang Saudaranya di
masa lalu. Khususnya bagi negara-negara Asia Timur, peran Amerika Serikat bukan
saja penting sebagai tempat penempatan cadangan luar negeri, tapi juga penting
sebagai sumber asal penanaman modal, teknologi dan pasar ekspor.
Tabel 3
Kecenderungan Tabungan dan Investasi Global
(sebagai persentase terhadap PDB)
Rata-
rata
1990-
1999
Rata-
rata
2000-
2002
2003 2004
Memo:
1991-
2004
Tabungan dunia 22.9 23.4 23.9
24.9
1.7

19
Negara-negara maju
Amerika Serikat
Eropa Barat
Jepang
Negara-negara berkembang
Asia
RRC
Amerika Latin
Eropa Tengah dan Timur
Investasi Dunia
Negara-negara Maju
Amerika Serikat
Eropa Barat
Jepang
Negara-negara berkembang
Asia
RRC
Amerika Latin
Eropa Tengah dan Timur
21.3
16.3
21.5
31.6
25.3
31.0
40.3
18.3
20.6
24.0
21.8
18.7
21.1
29.3
27.2
32.2
38.5
20.9
23.3
20.6
16.2
21.3
27.8
27.2
32.6
39.9
17.8
18.8
23.2
21.0
19.4
20.9
25.3
26.1
30.8
37.9
19.8
23.1
19.1
13.5
20.3
27.1
29.8
36.5
45.5
20.0
18.6
23.5
20.0
18.4
19.5
23.9
27.9
33.6
42.4
19.0
23.2
19.4
13.7
20.9
27.6
31.5
38.2
48.0
21.0
19.1
24.6
20.7
19.7
20.2
23.9
29.2
35.5
43.9
19.8
23.8
-2.8
-2.5
-1.1
-6.8
6.9
9.5
9.6
1.9
-7.0
0.1
-2.5
1.1
-2.9
-199.0
2.8
5.1
9.7
0.3
-2.9
Sumber : Bank for International Settlements, BIS Annual Report (2005)
Negara adikuasa itu juga berfungsi sebagai stabilisator keamanan di antara
negara-negara Asia Timur yang masih rawan terhadap konflik internal, seperti Jepang
versus RRC dan Korea. Pertimbangan co-depencendency seperti ini merupakan alasan
tambahan bagi negara-negara Asia Timur untuk menanamkan cadangannya dalam
bentu surat-surat berharga yang dinyatakan dalam US dollar. Setelah kalahnya
referendum tentang konstitusi Eropa di Perancis dan Negeri Belanda pada awal tahun
ini, penempatan cadangan dalam Euro sedikit berkurang karena keraguan apakah
neraga-negara Eropa dapat menjadi satu kesatuan politik seperti yang diharapkan.
6. Apa yang dapat kita lakukan

20
Sebagaimana telah disebut di muka, modal asing yang lebih kita perlukan
adalah penanaman modal langsung ataupun obligasi jangka panjang terutama dalam
mata uang nasional kita sendiri. Pemasukan modal asing seperti itu dapat
menghindarkan mismatches yang merupakan sumber kegoncangan ekonomi seperti
yang kita alami pada tahun 1997-1998. Penanaman modal dapat meningkatkan
penciptaan lapangan kerja dan produksi nasional. Penggunaan manajer serta tenaga
kerja asing yang biasanya merupakan ikutan penanaman modal asing sekaligus
merangsang terjadinya alih teknologi. Pada gilirannya, kemajuan teknologi serta
tenaga kerja yang lebih terampil akan dapat meningkatkan efisiensi serta produktivitas
perekonomian nasional. Bila ada produknya yang diekspor akan menambah
penghasilan devisa serta memperluas jaringan pemasaran produk nasional di pasar
dunia.
Ada dua kelompok besar kebijakan yang dapat kita lakukan agar dapat
menarik surplus tabungan negara-negara Asia Timur dalam bentuk investasi modal
asing maupun obligasi jangka panjang. Pertama memanfaatkan kerjasama regional
yang telah ada. Kebijakan yang kedua adalah melakukan koreksi atas berbagai bentuk
kelemahan dalam negeri kita sendiri sehingga mudah diterpa oleh krisis pada tahun
1997-1998.
(a) Tatanan Regional
Berbeda dengan negara-negara di Eropa Barat, negara-negara di Asia Timur
masih tetap terperangkap pada pengalaman pahit selama peperangan, konflik politik,
serta sentimen perbedaan masa lalu. Untuk memelihara stabilitas dan perdamaian
regional di kawasannya sendiri, negara-neg