Melafazkan Niat

8
MELAFAZHKAN NIAT SHALAT (Soal-Jawab A.Hassan, 1-2 hal.91) “Apabila engkau hendak berdiri shalat hendaklah engkau berwudhu’, kemudian engkau menghadap kiblat, lalu engkau takbir.” (HSR.Muslim) A.Hassan, Soal-Jawab 1-2, hal.428 Niat itu artinya Sengaja, tiap-tiap perbuatan yang kita kerjakan dengan sengaja itu, sudah berarti kita berniat. Kalau kita kerjakan suatu perbuatan di waktu kita mengigau atau latah, tidak dinamakan kita berniat, karena dengan tidak sengaja. 1. Yang dikatakan agama itu ialah perintah-perintah dan beberapa larangan Allah dan Rasul; Perintah-perintah itu ada 2(dua) macam : a. Perintah-perintah yang berhubungan dengan keduniaan; Perintah-perintah yang berhubungan dengan keduniaan harus kita kerjakan, tetapi cara- caranya tidak mesti sama dengan perbuatan Nabi. Misalnya Perang, Nabi kita melakukannya dengan pedang dan panah, maka tidak ada halangan kita kerjakan dengan senapan dan meriam, karena yang diperintah dan yang dimaksudkan itu perangnya, bukan caranya. b. Perintah-perintah yang berhubungan dengan hal ‘ibadah. Wajib kita kerjakan menurut sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW., tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, karena perkara ibadah itu, tak dapat diatur-atur dan dipikir-pikir oleh manusia. Misalnya, dapatkah kita pikirkan dengan jelas mengapa kita diperintah tayammum ketika tidak ada air, dan mengapa di waktu Shubuh diwajibkan dua raka’at saja, sedang Dzuhur empat rakaat, padahal Shubuh waktunya lebih lapang? 1

description

Melafazkan Niat

Transcript of Melafazkan Niat

Page 1: Melafazkan Niat

MELAFAZHKAN NIAT SHALAT(Soal-Jawab A.Hassan, 1-2 hal.91)

“Apabila engkau hendak berdiri shalat hendaklah engkau berwudhu’, kemudian engkau menghadap

kiblat, lalu engkau takbir.” (HSR.Muslim)

A.Hassan, Soal-Jawab 1-2, hal.428Niat itu artinya Sengaja, tiap-tiap perbuatan yang kita

kerjakan dengan sengaja itu, sudah berarti kita berniat. Kalau kita kerjakan suatu perbuatan di waktu kita mengigau atau latah, tidak dinamakan kita berniat, karena dengan tidak sengaja.

1. Yang dikatakan agama itu ialah perintah-perintah dan beberapa larangan Allah dan Rasul;Perintah-perintah itu ada 2(dua) macam :a. Perintah-perintah yang berhubungan dengan

keduniaan;Perintah-perintah yang berhubungan dengan keduniaan harus kita kerjakan, tetapi cara-caranya tidak mesti sama dengan perbuatan Nabi. Misalnya Perang, Nabi kita melakukannya dengan pedang dan panah, maka tidak ada halangan kita kerjakan dengan senapan dan meriam, karena yang diperintah dan yang dimaksudkan itu perangnya, bukan caranya.

b. Perintah-perintah yang berhubungan dengan hal ‘ibadah.

Wajib kita kerjakan menurut sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW., tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, karena perkara ibadah itu, tak dapat diatur-atur dan dipikir-pikir oleh manusia. Misalnya, dapatkah kita pikirkan dengan jelas mengapa kita diperintah tayammum ketika tidak ada air, dan mengapa di waktu Shubuh diwajibkan dua raka’at saja, sedang Dzuhur empat rakaat, padahal Shubuh waktunya lebih lapang?

2. Setiap perkara dunia, pada asalnya mubah, yaitu boleh kita kerjakan boleh tidak, melainkan yang mana diwajibkan oleh agama, maka wajib kita kerjakan dan mana yang dilarang tidak boleh kita kerjakan.

1

Page 2: Melafazkan Niat

3. Tidak boleh kita beribadah dengan kemauan dan cara kita sendiri. Tidak dinamakan ibadah yang sebenarnya jika tidak diperintah agama serta ditunjukkan oleh nabi.

4. Berbuat bid’ah itu dilarang keras di dalam agama, sebagaimana sabda Nabi Saw.:“Tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di neraka”Bahkan dipuji orang yang mengadakan bid’ah yang baik di perkara dunia, dengan sabdanya :“Barangsiapa mengadakan di dalam Islam suatu cara (keduniaan) yang baik, maka ia dapat pahalanya dan (juga sebanyak) pahala orang-orang yang turut mengerjakannya dengan tidak kurang sedikitpun daripada pahala mereka itu.”

5. Tidak boleh kita katakan perkara itu wajib atau sunat, haram atau makruh, kalau tidak ada keterangan dari agama, karena hal itu menyangkut pahala dan yang tidak disukai oleh Allah. Maka bagaimana mungkin kita mengetahui hal yang ghaib itu, jika tidak diterangkan oleh agama?

6. Di dalam agama dibenarkan Qias, tetapi hanya di hukum-hukum keduniaan saja, tidak sekali-kali di hukum ibadah. Imam Syafi’i mengatakan, “Tidak ada Qias dalam (hukum) ibadah”“Barangsiapa menganggap baik satu (ibadah), berarti ia telah membikin agama.”Imam Ar-Ruyani, “dan barangsiapa membikin agama, kufurlah ia.”Apabila seseorang menganggap baik akan suatu perkara ibadah dengan tidak ada keterangan dari agama, maka berarti orang itu menambah satu ibadah, maka barangsiapa menambah suatu ibadah, tidak syak lagi ia menjadi kafir.

7. Kita wajib menerima Ijma’ tetapi supaya tidak jadi salah faham, Ijma’ yang wajib kita terima adalah ijma’ sahabat Nabi SAW.

2

Page 3: Melafazkan Niat

Mengikuti ijma’ itu bukan berarti turut hukum yang mereka buat dengan kemauan mereka sendiri, tetapi kita turut mengerjakan salah satu ibadah atau hukum yang mereka secara bersama-sama telah setuju mengerjakannya dengan keyakinan kita bahwa mustahil mereka bersetuju mengerjakan sesuatu, kalau tidak mereka lihat Nabi saw mengerjakan di hadapan mereka.Sabda Rasulullah saw., “Hendaklah kamu berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara khalifah-khalifah yang lurus yang terpimpin.”

Sesudah ada beberapa kaidah tersebut di atas, maka akan mudah kita memahami suatu hukum. Melafazhkan niat waktu berwudhu’, mandi atau shalat itu tidak ada dalam Al-Quran, Hadits, perbuatan para sahabat Nabi dan tidak pula dipandang sunat oleh Imam yang empat. Namun ada sebagian ‘ulama madzhab Syafi’i (bukan Imam Syafi’i) menyunatkannya, dan golongan itu, terbagi atas beberapa bagian :

1. Ada yang berkata, bahwa menyebut niat dengan lidah itu menolong hati. Lantaran itu menjadi sunat.Jawab: Bahwa alasan itu bukan dari agama dan tidak

dibenarkan oleh agama, karena dengan alasan itu, bertambah satu ibadah, sedang menambah ibadah itu terlarang keras. Bahwa lidah menolong hati itu, tidak betul sekali-kali, karena lidah orang yang sadar itu, tidak akan menyembunyikan sesuatu, kalau tidak hatinya terlebih dulu hendak menyembunyikannya. Jadi, hatilah yang menggerakkan lidah, bukan lidah yang menggerakkan hati.

2. Ada yang berkata, bahwa menyebut niat dengan lidah, ada dikerjakan Nabi dalam ibadah Hajji, oleh sebab itu diqiaskan perbuatan itu kepada shalat dan lainnya.Jawab: Bahwa riwayat Nabi, menyebut niat hajji itu,

tidak sah. Kalaupun sah, tidak boleh diqiaskan kepada Shalat, karena hajji itu diwajibkan atas

3

Page 4: Melafazkan Niat

orang Islam sesudah diwajibkannya Shalat. Maka, tidak ada kaidah membenarkan mengambil qias dari hukum terkemudian buat hukum yang terdahulu, dan lagi tidak boleh diqiaskan satu hukum dengan lainnya di dalam urusan ibadah. Kalau main Qias-qiasan dalam perkara ibadah, mengapa tidak diadakan adzan dan qamat di shalat jenazah, shalat Hari Raya, Shalat Tarwih, dll.

3. Ada yang berkata, bahwa melafazhkan niat itu, sungguh pun bid’ah tetapi bid’ah hasanah, karena perkara itu baik dan tidak pernah nabi berkata, “jangan kamu melafazhkan niat”Jawab: Bahwa setiap bid’ah dalam ibadah adalah bid’ah

dhalalah, tidak ada hasanah.Kalau tambahan itu dipandang baik, mengapa shalat shubuh tidak boleh ditambah dua raka’at, menjadi empat raka’at? Apakah tambahan dua raka’at itu tidak baik?, atau adakah Nabi pernah berkata, “Jangan kamu shalat shubuh empat rakaat?”

Kesimpulannya, Kewajiban Shalat itu didirikan sebagaimana yang dicontohkan Nabi, Nabi tidak pernah melafazhkan niat dengan mulutnya, maka janganlah kita berbuat Ibadah yang tidak dicontohkannya.

--------ooo000ooo--------

MELAFAZHKAN NIAT SHALATEnsiklopedia Bid’ah / hal.389, Hammud bin Abdullah al-Mathar.

Melafazhkan niat adalah bid’ah, sedang dengan suara nyaring lebih berdosa lagi. Yang sunnah adalah niat itu dalam hati, karena Allah SWT Maha Mengetahui yang rahasia dan tersembunyi.

4

Page 5: Melafazkan Niat

(16). Katakanlah (kepada mereka): "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." QS.Al-Hujurat (49):16

Melafazhkan niat tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW, tidak pula dari salah seorang sahabatnya, dan tidak juga dari para tokoh ulama yang mengikuti Sunnah. Dengan begitu, melafazhkan niat tidak disyari’atkan, bahkan itu merupakan bid’ah yang diada-adakan. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk. (fatwa Islamiyah, 1/315, Syaikh Ibnu Baz)

--------ooo000ooo--------MENGUCAPKAN NIAT44 Kesalahan Orang Shalat, Syaikh Muhammad Bayumi / hal.17

Mengucapkan niat dalam shalat adalah bid’ah yang diada-adakan, karena tidak terdapat satu dalil pun dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menganjurkan pengucapannya.

Menurut Syaikh Ali Mahfuzh, “Diantara bid’ah-bid’ah dalam shalat adalah melafazhkan niat dengan keras”. Ibnu Al-Haj dalam kitab Al-Madkhal mengatakan, “baik imam atau makmum, tidak boleh mengeraskan bacaan niat. Mengingat tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin atau para sahabat radiallahu anhum melafazhkannya dengan keras. Jadi, mengucapkan niat termasuk bid’ah.”

Syaikh bin Baz dalam fatwanya mengatakan, “melafazhkan niat adalah bid’ah dan mengeraskan dalam melafazhkannya lebih besar dosanya.” Yang disunnahkan adalah berniat dalam hati.

Menurut Ibnu Qudamah, “Niat artinya maksud atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Letaknya di dalam hati, tidak ada sangkut pautnya dengan lisan sama sekali. Karena itu tidak pernah didapati dari Rasulullah SAW., atau dari para Sahabat beliau, satupun lafazh niat.

Ungkapan-ungkapan yang dibaca saat bersuci atau ketika hendak memulai shalat, dijadikan momentum oleh syetan untuk memunculkan rasa was-was bagi yang melakukannya, membuat mereka tenggelam dalam keraguan, benar tidaknya lafazh niat yang dibaca. Sering

5

Page 6: Melafazkan Niat

seseorang yang bersusah payah mengulang-ulang lafazh niat berkali-kali, padahal pengucapan niat tidak termasuk dalam bagian shalat, baik rukun maupun syaratnya.

Niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu. Maka setiap orang yang memiliki keinginan kuat untuk melakukan sesuatu, dia telah berniat. Jadi, jangan dipisahkan antara niat dengan perbuatan, sebab tidak ada perbuatan yang tidak didahului kehendak melakukannya yang tidak lain adalah Niat .

Maka barangsiapa yang bangun untuk berwudhu, berarti ia telah berniat untuk berwudhu. Siapa yang bangun untuk melakukan shalat, maka ia telah berniat melakukannya. Hampir tidak mungkin, seseorang yang berakal melakukan sesuatu tanpa niat, terlepas apakah itu menyangkut masalah ibadah atau lainnya. Mengingat niat merupakan kelaziman bagi setiap aktifitas manusia. Jadi, niat tidak perlu dilakukan dengan susah payah.

Jika seseorang ingin memisahkan niat dari perbuatan apapun yang manusia dapat melakukannya atas kehendak sendiri, niscaya ia tak akan mampu melakukannya. Apabila Allah memerintahkan seorang hamba untuk shalat dan berwudhu’ tanpa niat, berarti Allah membebankan sesuatu yang tidak mampu dilakukan manusia. Jika demikian halnya, lalu apa yang sulit dalam masalah niat? Apabila seseorang ragu sudah berniat atau belum, maka sama saja dengan orang gila. Apabila seorang hamba telah menyadari dan meyakini akan keberadaan dirinya, lalu kenapa seseorang yang berakal meragukan keberadaan dirinya?

Barangsiapa yang akan melaksanakan shalat zhuhur di belakang imam, bagaimana mungkin ia meragukan perbuatan yang dilakukannya? Sekiranya waktu itu ia diajak seseorang untuk bekerja, pasti ia akan berkata,”saya sibuk, karena akan melaksanakan shalat zhuhur.”

Ironisnya, ada orang yang berdiri takbiratul ihram, diliputi keraguan dan was-was. Akhirnya, imam keburu ruku’. Ketika imam ruku’, ia sibuk takbiratul ihram dengan tergesa-gesa mengejar ruku’ imam. Pertanyaannya, jika niat tidak diperoleh waktu berdiri yang panjang, bagaimana mungkin ia mendapatkan niat pada saat sempit disertai kesibukan dirinya mengejar ketertinggalan ruku’.

Ibnu Qayyim al-jauziah mengatakan, “Rasulullah SAW. ketika hendak menunaikan shalat, beliau membaca Takbir,

6

Page 7: Melafazkan Niat

dengan tidak mengucapkan sepatah kata pun sebelum takbir dan sedikitpun tidak melafazhkan niat. Beliau juga tidak membaca, “Ushalli lillah shalaata kadzaa mustaqbil al qiblah arba’a raka’aat imaaman aw ma’muuman” (artinya: aku melaksanakan shalat (ini dan itu) seraya menghadap kiblat empat rakaat, jadi iman atau makmum)

Wallahuwa’lam bissawab….

N I A T

M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, hal.183Hakikat Niat ialah iradat yang berhadap ke arah

pekerjaan untuk mencari keridhaan Allah dan mengikuti hukum-NYA. Niat itu semata-mata amalan hati, lidah tidak turut campur. Karenanya melafazhkan niat tidak disyariatkan.

Ibnu Qayyim al-Jauziah mengatakan,”Niat ialah qasad (maksud) dan ‘azam (cita-cita) mengerjakan sesuatu, tempatnya di dalam hati dan tidak ada hubungannya dengan lidah. Karena itu tidak ada dinukilkan dari nabi SAW. dan sahabatnya tentang lafazh niat dan tidak ada pula yang dapat menerangkan adanya lafazh niat sewaktu memulai shalat.”

Seseorang dalam keadaan sadar, tidak dapat mengerjakan sesuatu tanpa niat. Niat adalah sesuatu yang harus ada bagi setiap perbuatan yang disengaja.

--------ooo000ooo--------

7