MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam...

38
MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM KITAB AL-MABSUTH KARYA IMAM AS-SARKHASI Oleh: Azhariah Khalida A. Pendahuluan Al-Mabsuth merupakan kitab fikih yang sangat lengkap dalam Mazhab Hanafi. Kitab ini merupakan salah satu dari beberapa karya Imam as-Sarakhasi. 1 Kitab ini terdiri dari 10 jilid materi; terdiri dari 20 juzu‟, dan 1 jilid indeks (indeks ditulis oleh Syekh Khalil al-Mais, seorang ulama Libanon, ketika buku ini diterbitkan pada tahun 1409 H/ 1989 M oleh penerbit Dar al- Ma‟rifah, Beirut). Penulisan kitab ini, oleh Imam as-Sarakhasi dilakukan ketika ia berada dalam penjara, dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya, tanpa merujuk pada literatur apapun, sehingga dalam buku ini tidak mencantumkan catatan kepustakaan, yang memang belum biasa pada waktu itu. 1 Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as- Sarakhsi. Ia adalah salah seorang ulama terbesar mazhab Hanafi. Ia berada pada peringkat ke-3 dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi setelah Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pada peringkat pertama, dan Imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi, pada peringkat ke dua. Sekalipun as-Sarakhsi tergolong ulama besar, namun riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran timur laut), tetapi tahun kelahirannya tidak tercatat. Sedangkan tahun wafatnya ada beberapa versi ; menurut Abu al-Wafa‟ al-Afghani, penahkik buku Ushul as-Sarakhsi, Imam as-Sarakhsi wafat tahun 483 H/1090M. Sedangkan menurut Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir, pengarang kitab al-Jawahir al-Mudi‟ah fi Tabaqat al-Hanafiyyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), Imam as- Sarakhsi wafat pada akhir tahun 490 H/1097 M, sedangkan tempat wafatnya tidak tercatat. Imam As-Sarakhsi belajar fikih pada Abdul Aziz bin Ahmad al-Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang bergelar Syams al-a‟immah (matahari para imam). Karena penguasaannya yang sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya pun kemudian dijadikan gelar Imam as-Sarakhsi sendiri. Bahkan jika disebut Syams al-a‟immah, tanpa penjelasan di belakangnya, maka yang dimaksud adalah Imam as-Sarakhsi. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta; P.T. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), jilid 5, h. 1608.

Transcript of MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam...

Page 1: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

MELACAK METODE USHUL FIKIH

MAZHAB HANAFI DALAM KITAB AL-MABSUTH

KARYA IMAM AS-SARKHASI

Oleh: Azhariah Khalida

A. Pendahuluan

Al-Mabsuth merupakan kitab fikih yang sangat lengkap

dalam Mazhab Hanafi. Kitab ini merupakan salah satu dari

beberapa karya Imam as-Sarakhasi.1 Kitab ini terdiri dari 10 jilid

materi; terdiri dari 20 juzu‟, dan 1 jilid indeks (indeks ditulis

oleh Syekh Khalil al-Mais, seorang ulama Libanon, ketika buku

ini diterbitkan pada tahun 1409 H/ 1989 M oleh penerbit Dar al-

Ma‟rifah, Beirut). Penulisan kitab ini, oleh Imam as-Sarakhasi

dilakukan ketika ia berada dalam penjara, dengan cara

mendiktekan kepada murid-muridnya, tanpa merujuk pada

literatur apapun, sehingga dalam buku ini tidak mencantumkan

catatan kepustakaan, yang memang belum biasa pada waktu itu.

1Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-

Sarakhsi. Ia adalah salah seorang ulama terbesar mazhab Hanafi. Ia berada

pada peringkat ke-3 dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi setelah

Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pada

peringkat pertama, dan Imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi,

pada peringkat ke dua. Sekalipun as-Sarakhsi tergolong ulama besar, namun

riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di

Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran timur laut), tetapi tahun

kelahirannya tidak tercatat. Sedangkan tahun wafatnya ada beberapa versi ;

menurut Abu al-Wafa‟ al-Afghani, penahkik buku Ushul as-Sarakhsi, Imam

as-Sarakhsi wafat tahun 483 H/1090M. Sedangkan menurut Muhyiddin Abu

Muhammad Abdul Qadir, pengarang kitab al-Jawahir al-Mudi‟ah fi Tabaqat

al-Hanafiyyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), Imam as-

Sarakhsi wafat pada akhir tahun 490 H/1097 M, sedangkan tempat wafatnya

tidak tercatat. Imam As-Sarakhsi belajar fikih pada Abdul Aziz bin Ahmad

al-Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang

bergelar Syams al-a‟immah (matahari para imam). Karena penguasaannya

yang sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya pun

kemudian dijadikan gelar Imam as-Sarakhsi sendiri. Bahkan jika disebut

Syams al-a‟immah, tanpa penjelasan di belakangnya, maka yang dimaksud

adalah Imam as-Sarakhsi. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk (ed.), Ensiklopedi

Hukum Islam, ( Jakarta; P.T. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), jilid 5, h. 1608.

Page 2: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

50 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Hal ini juga menunjukkan kepandaian dan daya ingat Imam as-

Sarakhasi yang luar biasa.

Tulisan ini akan memaparkan beberapa contoh persoalan

fikih yang terdapat dalam kitab al-Mabsuth dan melacak metode

istimbath yang digunakan ulama Hanafiyah dalam membuat

kesimpulan hukum yang meliputi masalah ibadat, munakahat,

jinayat dan mu‟amalat.

B. Analisa Metode Ushul dalam Kitab Al-Mabsuth

1. Bab Ibadat

Masalah ibadah yang akan penulis kemukakan dalam

tulisan ini adalah bab shala2

Imam as-Sarakhasi memulai

pembahasan kitab fikihnya dengan Kitab Shalat, berbeda dengan

kitab-kitab fikih pada umumnya, karena shalat adalah rukun

Islam yang paling utama setelah keimanan (syahadat). Menurut

ulama Hanafiyah, shalat itu ada empat macam, yaitu : 3

a. Shalat fardhu „ain, seperti shalat lima waktu

b. Shalat fardhu kifayah, seperti shalat jenazah

c. Shalat wajib4, yaitu shalat witir, mengqadha shalat nafilah

yang rusak (batal) setelah shalat itu dilakukan dan shalat „id

(„Idul Fithri dan „Idul Adha).

2Shalat menurut bahasa adalah do‟a dan pujian, sedangkan menurut

istilah syarak adalah sebutan untuk beberapa rukun tertentu yang terdiri dari

do‟a dan selainnya. Syamsu ad-ddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, dalam al-

Maktabah asy-Syamilah, (Sumber kitab : Mauqi‟ al-Kitab. http://www.al-

islam.com), juz 1, h. 5 3Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, judul asli al-Fiqh „ala al-

Mazahib al-Arba‟ah, penerjemah Chatibul Umam dan Abu Hurairah, (Jakarta

: Darul Ulum Press, 1994), Jilid 2, h. 10 4 Ulama Hanafiyah membedakan hukum fardhu dan wajib. Fardhu

adalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil yang

qath‟I, tidak ada syubhat (keraguan) padanya, seperti rukun Islam yang 5

yang ditetapkan dengan Nash Alquran, dan yang ditetapkan dengan sunnah

mutawatir atau masyhur, seperti bacaan Alquran dalam shalat. Adapun wajib

Page 3: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 51

d. Shalat nafilah, baik yang sunnat ataupun yang mandub.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan menelaah

beberapa shalat yang dihukum wajib menurut ulama Hanafiyah,

yaitu shalat witir dan shalat „id.

a. Jumlah rakaat Shalat Witir

Tentang wajibnya shalat Witir, Imam Abu Hanifah

berdalil dengan hadits Nabi SAW yaitu :

ما فصلوىاإن الل ت عال زادكم صلة أل وىي الوت ر ، ب ي العشاء إل طلوع الفجر

Sesungguhnya Allah Ta‟ala menambahkan untukmu

satu shalat, ketahuilah, ia adalah shalat witir, maka

lakukanlah olehmu shalat witir antara waktu Isya‟

sampai terbit fajar.

Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah)

yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi bagi orang yang

tidak melakukannya tidak menjadikan dia kufur, karena

kewajiban tersebut ditetapkan dengan sunnah.5

Shalat witir berjumlah 3 rakaat dengan satu salam

pada rakaat terakhir. Berbeda dengan pendapat Imam Asy-

adalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil zhanni

yang masih terdapat keraguan padanya, seperti shadaqah al-fitri, shalat witir

dan dua shalat „id, yang ditetapkan dengan dalil zhanni yaitu khabar wahid.

Bila seseorang mengingkari sesuatu yang fardhu akan menjadikan orang

tersebut kufur, tetapi bila mengingkari yang wajib tidak mengakibatkannya

jatuh kepada kufur. Meninggalkan sesuatu yang fardhu akan mengakibatkan

suatu ibadah menjadi batal (tidak sah), namun tidak demikian halnya bila

meninggalkan sesuatu yang wajib. Lihat Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh

al-Islami, (Damsyik ; Dar al-Fikri, tt), juz. 1, h. 47 5 Kamal bin Hummam, Fath al- Qadir, dalam Maktabah Syamilah, juz

2, h. 347.

Page 4: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

52 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Syafi‟i, shalat witir itu satu raka‟at (sekurang-kurangnya.

pen), dan menurut Imam Malik, shalat witir itu 3 rakaat

dengan dua salam. Imam asy-Syafi‟i berdalil dengan hadits

Nabi SAW, yaitu :

ب الوت ر فأوتروا يا أىل القرآن إن الل وت ر ي

Sesungguhnya Allah itu witir (ganjil), Dia menyukai

witir, maka lakukanlah witir wahai ahlu Alquran.

Sedangkan Imam Malik berdalil dengan hadits dari

Ibnu Umar dan amal sahabat, yaitu :

عن هما قال النب صلى الل ابن عمر رضي الل ت عال عن بح عليو وسلم} صلة الليل مث ن مث ن فإذا خشيت الصلو { وكان سعد بن أب وقاص فأوتر بركعة يوت ر لك ما ق ب

ت عال عنو يوتر بركعة واحدة ر ضي الل

Dari Ibnu Umar r.a, Nabi SAW berkata : (Shalat

malam itu dua-dua rakaat. Tetapi sekiranya kamu

khawatir terburu masuknya waktu subuh, maka

lakukanlah witir satu rakaat, untuk mewitirkan

rakaat-rakaat sebelumnya) dan Sa‟ad bin Abi

Waqash melakukan witir satu rakaat.

Sementara Ulama Hanafiyah menggunakan dalil

hadits dari Aisyah r.a, khabar dari Ibnu Mas‟ud, khabar dari

Ibnu Abbas tentang fi‟liyah Nabi SAW dan khabar yang

disandarkan kepada Umar r.a, yaitu :

Page 5: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 53

ها كما روي نا ) ولنا ( حديث عائشة رضي الل ت عال عن } ف صفة قيام رسول الل صلى الل عليو وسلم ث يوتر

بثلث {

Dalil kami adalah hadits Aisyah r.a sebagaimana

kami riwayatkan mengenai sifat shalat malam

Rasulullah SAW kemudian Rasulullah SAW

melakukan shalat witir 3 rakaat.

و لت راقب } وب عث ابن مسعود رضي الل ت عال عنو أمت أنو أوت ر وت ر رسول الل صلى الل عليو وسلم فذكر

بثلث ركعات ق رأ ف الول سبح اسم ربك العلى وف الثانية قل يا أي ها الكافرون وف الثالثة قل ىو الل أحد

وق نت ق بل الركوع {

Ibnu Mas‟ud R.A mengutus ibunya untuk

memperhatikan Rasulullah SAW melaksanakan

shalat witir. Kemudian ibunya memberitahukan

bahwa Rasulullah SAW shalat witir tiga rakaat, pada

rakaat pertama beliau membaca “sabbihisma

rabbikal a`la”. Pada rakaat kedua beliau membaca “

qul ya ayyuhal kafirun”. Pada rakaat ketiga beliau

membaca”qul huwa Allahu ahad” dan beliau

berqunut sebelum ruku‟.

Page 6: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

54 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

هما حي بات وىكذا ذكر ابن عباس رضي الل ت عال عن عليو عند خالتو ميمونة لي راقب وت ر رسول الل صلى الل

وسلم

Demikian pula Ibnu Abbas r.a menyebutkan ketika

dia bermalam di (rumah) bibinya Maimunah untuk

memperhatikan shalat witir Rasulullah SAW.

ا رأى عمر رضي الل ت عال عنو سعدا يوتر بركعة ولما قال ف قال ما ىذه ها أو لوذي نك وإن راء لتشفعن البت ي

عليو وسلم ذلك ؛ لن الوت ر اشتهر } أن النب صلى اللراء { ن هى عن البت ي

Tatkala Umar r.a melihat Sa‟ad melakukan shalat

witir satu rakaat, beliau berkata, Bukankah ini al-

butaira‟ (rakaat yang terpotong), engkau harus

pasangkan dengan rakaat lainnya, atau aku akan

mencelamu. Umar berkata seperti itu karena

sesungguhnya (tata cara) shalat witir itu telah

termasyhur (sesungguhnya Nabi SAW melarang

(melakukan) al-butaira‟).

رت وقال ابن مسعود رضي الل ت عال عنو والل ما أخركعة قط ولنو لو جاز الكتفاء بركعة ف شيء من

Page 7: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 55

فر ة الصلوات لدخل ف الفجر قصر بسبب الس ول حج 6 لو

Ibnu Mas‟ud r.a berkata : Demi Allah aku tidak akan

mengakhirkan shalat dengan satu rakaat saja, karena

sungguh kalaulah boleh mencukupkan satu rakaat

saja dalam rakaat shalat-shalat, tentu masuk pula

hukum qashar pada shalat fajar (subuh) dengan sebab

perjalanan, tapi tidak ada hujjah untuk hal itu.

Memperhatikan semua dalil yang digunakan oleh

ulama Hanafiyah di atas, hadits atau khabar tersebut

tergolong khabar ahad dan atsar sahabat. Akan tetapi

terdapat kesamaan materi yang disampaikan dalam

hadits/khabar dan atsar tersebut, sehingga masing-

masingnya terhadap yang lain saling menguatkan.

Ulama Hanafiyah dalam menerima khabar ahad

sebagai hujjah membagi perawi kepada dua kelompok, yaitu

perawi yang ma‟ruf (dikenal) dan perawi yang majhul.

Perawi yang ma‟ruf ada dua segi, yaitu, dari segi dikenal

sebagai faqih dan memiliki kemampuan berijtihad dan dari

segi dikenal dengan „adalahnya, baik dhabit dan hafalnya

tetapi kurang dalam bidang fikih. Termasuk dalam

kelompok pertama, seperti para khulafa‟ al-rasyidin, Zaid

bin Tsabit, Mu‟az bin Jabal, Abu Musa al-„Asy‟ari, Aisyah

dan selain mereka dari kalangan sahabat yang dikenal

sebagai ahli fikih. Khabar mereka diterima sebagai hujjah

dan menjadi landasan dalam beramal. Bahkan apabila

khabar tersebut berbeda dengan qiyas, maka ditinggalkan

qiyas dan beramal berdasarkan khabar ahad. Termasuk

kelompok ke dua (ma‟ruf dengan „adalah, dhabit dan

6Imam As-Sarakhsi, op.cit, juz 1, h. 478-479.

Page 8: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

56 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

hafiznya) seperti Abu Hurairah dan Anas bin Malik dan

selain mereka yang terkenal bersama Rasulullah SAW dari

kalangan sahabat dan mendengar dari beliau dalam waktu

yang panjang, ketika mukim dan safar.7

Dalil yang digunakan oleh ulama Hanafiyah di atas

diriwayatkan oleh para sahabat yang tergolong ma‟ruf dari

segi kefakihan dan kemampuan mereka dalam berijtihad,

seperti „Aisyah dan Umar. Demikian pula dengan Ibnu

Mas‟ud8 dan Ibnu Abbas.

Dalil yang digunakan ulama Syafi‟iyah, bahwa shalat

witir itu (paling kurang) satu rakaat adalah hadits innallaha

witrun dst. Karena Allah itu satu, maka witru diartikan

dengan satu, sehingga dipahami bahwa shalat witir itu satu

rakaat. Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah menggunakan

7Ahmad bin Abi Sahal as-Sarakhsi, Ushul as-Sarakhsi, ditahqiq oleh

Abu al-Wafa‟ al-Afghani, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), Cet.ke 2,

jilid 1, h. 338-339. 8Nama lengkapnya Abdullah bin Mas‟ud bin Ghafil bin Hubaib (w.33

H/652 M). Ia adalah sahabat besar dan termasuk orang pertama masukIslam.

Ibnu Mas‟ud adalah pembantu Nabi SAW yang terpercaya dan

setiamengikuti beliau di rumah, di perjalanan maupun dalam peperangan. Ia

ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah, shalat ke dua kiblat : Baitul Maqdis

dan Ka‟bah, mengikuti perang Badar, Uhud, Khandaq, Bait ar-Ridwan dan

lain-lain. Dialah orang yang menebas kepala Abu Jahal sewaktu perang

Badar. Nabi SAW memberi jaminan bahwa ia akan masuk surga. Ibnu

Mas‟ud banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Di dalam kitab hadits

Shahih Bukhari dan Muslim, ia meriwa yatkan 848 hadits. Di antara para

sahabat yang menerima riwayat dari Ibnu Mas‟ud adalah Ibnu Abbas, Ibnu

Umar, Abu Musa, Imran bin Husain, Ibnu Zubair, Jabir, Anas, Abu Sa‟id dan

Abu Hurairah. Pada masa pemerintahan Umar, ia ditugaskan ke Kufah

bersama-sama „Ammar bin Yasir. Amar sebagai gubernur dan Ibnu Mas‟ud

sebagai guru dan pembantu „Ammar. Di Kufah, ia mengajarkan hadits-hadits

Nabi. Ia menjadi guru dan hakim. Pada masa pemerintahan Utsman, ia

kembali ke Madinah dan meninggal di Madinah dalam usia 60 tahun lebih.

Lihat Abdullah al-Musthofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fikih Sepanjang

Sejarah, judul asli : Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyin, Penerjemah:

Husein Muhammad, (Yogyakarta; LKPSM, 2001), h. 51

Page 9: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 57

dalalah isyarah (isyarat Nash).9 Sedangkan ulamaHanafiyah

menggunakan hadits dari „Aisyah dan riwayat Ibnu Mas‟ud

yang secara jelas menunjukkan bahwa Nabi melakukan

shalat witir sebanyak 3 rakaat. Dalam hal ini ulama

Hanafiyah menggunakan dalalah „ibarah (ibarat Nash).10

Oleh ulama Hanafiyah, apabila berbenturan antara dalalah

„ibarah dengan dalalah isyarah,maka didahulukan

mengambil pengertian dari dalalah ibarah, karena itulah

yang lebih jelas.

b. Membaca qunut pada shalat witir

Berdasarkan kebanyakan sunnah, Nabi SAW

berqunut dalam shalat witir. Menurut Imam Asy-Syafi‟i

Nabi SAW tidak berqunut kecuali pada separoh terakhir dari

bulan Ramadhan berdasarkan riwayat dari Umar r.a bahwa

Umar menyuruh Ubay bin Ka‟ab menjadi imam pada

malam-malam Ramadhan dan menyuruhnya berqunut pada

separoh terakhir bulan Ramadhan. Menurut pendapat kami

(as-Sarakhasi) takwilnya adalah yang dimaksud dengan

berqunut (dalam riwayat Umar itu) adalah memanjangkan

bacaan shalat, bukan berqunut dalam shalat witir.11

Menurut ulama Hanafiyah, membaca qunut

waktunya sebelum ruku‟ sebagaimana yang diriwayatkan

dalam atsar, karena qunut bermakna bacaan, yaitu

9

Isyarat Nash adalah suatu pengertian yang ditangkap darisuatu

lafaz,sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat)

dan bukan dari ungkapan itu sendiri. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-

Fiqh, penerjemah : Saefullah Ma‟shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994),

h.205. 10

Dalalah ibarah ialah: makna yang dipahami dari lafaz, baik lafaz

tersebut berupa zahir maupun Nash, muhkam maupun tidak. Atau setiap

pengertian yang dipahami dari keadaan lafaz yang jelas.(Ibid, h. 204). 11

As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, op.cit., h. 480

Page 10: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

58 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Allahumma innaa nasta‟inuka ….- ditulis dalam mushaf

Ubay bin Ka‟ab dan Ibnu Mas‟ud dalam dua surat, dan

bacaan itulah yang dinamakan qunut menurut kami

(Hanafiyah). Sedangkan menurut Asy-Syafi‟i, qunut dibaca

sesudah ruku‟, dan tidak ada atsar yang menjadi hujjah

berqunut pada shalat witir. Yang ada hanyalah atsar untuk

berqunut pada shalat subuh, maka disamakan dengannya

waktu qunut witir.12

Menurut ulama Hanafiyah tidak ada qunut dalam

shalat-shalat lain, selain pada shalat witir. Sedangkan oleh

Asy-Syafi‟i, beliau berqunut dalam shalat subuh pada rakaat

ke dua sesudah ruku‟ dengan berdalil pada hadits riwayat

Anas r.a yaitu:

عليو وسلم ي قنت ف صلة الفجر } كان النب صلى اللن يا { إل أن فارق الد

Menurut Asy-Syafi‟i, sah berqunut pada shalat subuh

dan siapa yang mengatakan bahwa hal itu sudah dinasakh,

maka hal itu harus ditetapkan dengan dalil. Asy-Syafi‟i juga

berdalil dengan amalan „Ali r.a yang melakukan qunut pada

shalat subuh.

Sedangkan Hanafiyah menggunakan hadits riwayat

Ibnu Mas‟ud, riwayat Anas dan atsar sahabat, yaitu :

12

Ibid

Page 11: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 59

ت عال عنو } أن النب صلى حديث ابن مسعود رضي اللالل عليو وسلم ق نت ف صلة الفجر شهرا يدعو على

حي من أحياء العرب ث ت ركو {

Sesungguhnya Nabi SAW berqunut dalam shalat

subuh selama sebulan untuk memohon keselamatan

hidup bangsa Arab, kemudian beliau

meninggalkannya.

عن أنس رضي الل ت عال عنو قال } ق نت رسول الل عليو وسلم ف صلة الفجر شهرا أو قال أربعي صلى اللي وما يدعو على رعل وذكوان وي قول ف ق نوتو اللهم اشدد وطأتك على مضر واجعلها عليهم سني كسن ا ن زل ق ولو ت عال } ليس لك من المر شيء يوسف ف لم

ت رك ذلك { أو ي توب عليهم { الية

Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata (bahwa

Rasulullah SAW berqunut dalam shalat subuh

selama sebulan atau katanya empat puluh hari untuk

mendoakan Ra‟al dan Zakwan dan Nabi berdoa

dalam qunutnya “Allahumma usydud wath-ataka „ala

mudhara waj‟alha „alaihim siniina kasinii Yusufa” ,

maka ketika turun firman Allah “Laisa laka minal

amri syai-un aw yatuba „alaihim”, beliau

meninggalkannya.

Page 12: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

60 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

هدي رضي الل ت عال عنو صليت وقال أبو عثمان الن سني وخلف عمر كذلك ف لم أر واحدا خلف أب بكر

هما ي قنت ف صلة الفجر . من

Abu Utsman an-Nahdiy r.a berkata : Aku shalat di

belakang Abu Bakar selama beberapa tahun, dan

(aku shalat) di belakang Umar demikian juga, aku

tidak pernah menyaksikan seorangpun dari keduanya

berqunut dalam shalat subuh.

Jadi menurut Hanafiyah bahwa memang Nabi pernah

berqunut dalam shalat subuh (qunut nazilah), tetapi hal itu

sudah dinasakh. Demikianlah, perbuatan Nabi yang

kemudian menasakh perbuatan Nabi yang terdahulu. Mereka

tidak menyangkal kesahan melakukan qunut dalam shalat

maghrib sebagaimana juga berqunut dalam shalat subuh, tapi

kemudian hal itu telah dinasakh.13

Dalam persoalan ini, ulama Hanafiyah menerapkan

nasakh terhadap fi‟liyah Nabi yang pernah berqunut pada

shalat subuh, yaitu nasakh dengan ayat Alquran, yaitu:

14} ليس لك من المر شيء أو ي توب عليهم {

Hal ini dijelaskan oleh riwayat Ibnu Mas‟ud dan

riwayat Anas serta perkataan Abu Utsman an-Nahdiy yang

menceritakan tentang amalan Abu Bakar dan Umar (atsar

sahabat) di atas. Sementara qunut pada shalat witir tetap

dilakukan.

13

Ibid, h. 481 14

Alquran Surat Ali Imran, ayat 128

Page 13: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 61

c. Dua Shalat „Id („Idul Fitri dan „Idul Adha).

Dua shalat „id (hari raya) disyari‟atkan berdasarkan

hadits riwayat Anas, yaitu :

ي الل عنو قال } : قدم رسول الل حديث أنس رض صلى الل عليو وسلم المدينة ولم ي ومان ي لعبون فيهما هما را من ف قال : قد أبدلكم الل سبحانو وت عال بما خي

15الفطر والضحى {

Rasulullah SAW datang ke Madinah, sedangkan

mereka sedang berhura-hura selama dua hari.

Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah

telah menggantikan yang lebih baik dari dua hari itu

untukmu, yaitu hari „Idul Fitri dan „Idul Adha.

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, shalat „id itu

hukumnya wajib. Al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah,

bahwa shalat ‟id hukumnya wajib bagi orang yang

diwajibkan melaksanakan shalat jum‟at. Dasarnya adalah :

ل يصلى التطوع ف الماعة ما خل قيام رمضان مس وكسوف الش

Tidak dilakukan shalat tathawwu‟ itu secara

berjama‟ah selain qiyam Ramadhan (shalat tarawih)

dan gerhana matahari.

Itu adalah dalil bahwa shalat „id itu hukumnya wajib.

Yang jelas adalah bahwa minimal ia adalah sunat, karena ia

merupakan bendera agama, mengambilnya adalah petunjuk

15

As-Sarakhsi, op.cit., juz. 2, h. 356

Page 14: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

62 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

dan meninggalkannya adalah kesesatan. Sesungguhnya pada

dua hari „id itu keluarlah penduduk negri-negri besar selain

penduduk al-qura dan sawad, sebagaimana yang kami

riwayatkan :

} ل جعة ول تشريق إل ف مصر جامع {Tidak ada shalat jumat dan tidak ada shalat tasyriq

kecuali di negri yang (berpenduduk) banyak.

Yang dimaksud dengan shalat tasyrik adalah shalat

„id berdasarkan hadits :

16عد التشريق {} ل ذبح إل ب

Tidak ada penyembelihan, kecuali sesudah shalat

tasyriq („id).

Menurut Hanafiyah, terhadap shalat „id disyaratkan

khutbah sebagaimana disyaratkan pula khutbah dalam shalat

jumat. Hanya perbedaannya, khutbah pada shalat jum‟at

dilakukan sebelum shalat sedangkan pada shalat „id,

waktunya sesudah shalat. Di samping itu khutbah pada

shalat jum‟at menempati posisi sebagai syarat sah shalat

jum‟at seperti juga halnya khutbah pada hari „Arafah.17

Menurut pendapat mereka, berjamaah merupakan

syarat sah shalat „id, seperti halnya shalat jum‟at,

berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW maka tidak boleh

melakukannya selain seperti yang dilakukan oleh Rasulullah

SAW. Bila seseorang tertinggal oleh imam, maka ia tidak

dituntut mengqadhanya, baik pada waktu itu juga ataupun

setelahnya. Sebagaimana pada seseorang yang tertinggal

dalam shalat jum‟at, hendaklah ia melaksanakan shalat

16

Ibid, h. 357 17

Ibid, h.358

Page 15: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 63

zuhur empat rakaat seperti pada hari-hari yang lain. Apabila

ia ingin juga melakukan shalat, hendaklah ia melakukan

shalat dua rakaat atau empat rakaat seperti shalat dhuha pada

hari-hari yang lain, berdasarkan hadits riwayat „Umarah bin

Ruwaybah, hadits riwayat Ibnu Mas‟ud dan hadits riwayat

„Ali r.a, yaitu :

بة رضي الل عنو } كان رسول الل حديث عمارة بن روي صلى الل عليو وسلم ي فتتح الضحى بركعت ي { ولديث عليو عنو } كان رسول الل صلى الل ابن مسعود رضي الل

ركعات ف صلة الضحى { وسلم ي واظب على أربع والذي يتص بذا الي وم حديث علي رضي الل عنو عن رسول الل صلى الل عليو وسلم قال } : من صلى ب عد

ن بت ن بت العيد أربع ركعات كتب الل ت عال لو بكل 18وبكل ورقة حسنة {

Hadits „Umarah bin Ruwaibah r.a (bahwa Rasulullah

SAW membuka shalat dhuha dengan dua rakaat),

dan hadits Ibnu Mas‟ud r.a (bahwa Rasulullah SAW

mengerjakan dengan teratur empat rakaat pada shalat

dhuha), dan hadits yang khusus tentang hari „Id ini

adalah hadits riwayat Ali r.a, dari Rasulullah SAW,

beliau bersabda : Siapa yang shalat sesudah shalat „id

empat rakaat, Allah akan menuliskan untuknya amal

kebaikan pada setiap tumbuhan yang tumbuh dan

pada setiap daun.

18

Ibid, h. 364

Page 16: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

64 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam

Abu Hanifah menetapkan wajibnya dua shalat „id,

berdasarkan hadits dari Anas bahwa hari raya „idul fitri dan

„idul adha ditetapkan Allah SWT kepada umat Nabi

Muhammad menggantikan kebiasaan bangsa Arab pada

waktu itu yang berhura-hura pada dua hari tertentu. Dan

Rasulullah menyebutnya dengan hari yang lebih baik dari

hari-hari lainnya. Selain itu ada hadits yang menjelaskan

secara khusus (takhsish) tentang shalat tathawwu‟ (sunat)

yang dikerjakan secara berjamaah, yaitu shalat tarawih dan

shalat gerhana matahari. Sedangkan shalat „id tidak

termasuk pada shalat ini, padahal shalat „id selalu dilakukan

oleh Rasulullah SAW secara berjamaah.

Di samping itu dalam pelaksanaan shalat „id,

disyaratkan adanya khutbah, seperti halnya pada shalat

jum‟at, tetapi khutbah tersebut dilakukan setelah shalat dan

tidak menjadi syarat sah shalat „id. Agaknya Abu Hanifah

melihat terdapat banyak kesamaan antara pelaksanaan shalat

jum‟at dengan shalat „id, sekalipun terdapat beberapa

perbedaan, sehingga melaksanakan shalat „id wajib bagi

orang yang diwajibkan melakukan shalat jum‟at. Semua hal

tersebut, menurut Abu Hanifah mempunyai landasan hadits

qauli maupun fi‟li yang disandarkan kepada Rasulullah

SAW, walaupun hadits-hadits tersebut tidak sampai pada

derjat mutawatir atau masyhur. Oleh karenanya shalat „id

adalah wajib, bukan fardhu.

2. Bab Munakahat

Page 17: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 65

Sebagai contoh masalah fikih dalam bab munakahat ini,

penulis akan mengemukakan tentang pernikahan19

bikir (gadis),

pernikahan tsayib (janda) dan nikah tanpa wali, karena dalam

persoalan tersebut, mazhab Hanafi sangat berbeda dengan

mazhab lainnya.

a. Pernikahan bikir

Menurut Abu Hanifah, apabila seorang ayah

menikahkan anak perempuannya yang bikir yang sudah

dewasa/baligh, sedangkan dia diam, hal itu menunjukkan

kerelaannya ,maka nikah itu boleh. Tetapi bila dia enggan

19

Nikah, menurut bahasa, adalah ungkapan untuk watha‟. Makna

hakikatnya adalah adh-dhammu (berkumpul). Kemudian kata ini dipinjamkan

untuk akad sebagai majaz, karena akad adalah sebab syar‟i yang

membolehkan watha‟. Atau dalam akad terdapat makna adh-dhammu, maka

akad itu menggabungkan antara satu orang dengan yang lainnya menjadi

seperti satu individu dalam mencapai kemaslahatan hidup. Menurut Imam

Asy-Syafi‟I, istilah nikah dalam syari‟at hanya mencakup akad saja. Namun

menurut Hanafiyah tidaklah demikian. Hal itu dapat dipahami dari firman

Allah, di antaranya :

} حتى إذا ب لغوا النكاح { Maksudnya adalah ihtilam (bermimpi), maka orang yang bermimpi itu

melihat dalam tidurnya gambaran watha‟. Begitu pula dengan firman Allah :

} الزىان ل ي نكح إلى زانية {

Maksudnya adalah watha‟. Pada tema yang lain,kata nikah digunakan untuk

akad. Hal itu sebagai dalil tentang kaitan antara nikah dengan penyebutan

akad atau khitab kepada para wali, seperti dalam firman Allah :

} وأنكحوا اليامى منكم { Atau disyaratkan izin keluarga perempuan untuk nikah, seperti dalam firman

Allah :

إذن أهلهن {} فانكحوهن ب

(As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Libanon : Dar al-Ma‟rifah, 1989), juz. 4, h.

Page 18: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

66 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

dan menolak, maka dia tidak boleh dinikahkan. Alasannya

adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abu

Musa al-Asy‟ari, yaitu :

لل عليو وسلم رد نكاح بكر زوجها } أن النب صلى اأبوىا وىي كارىة { وف حديث آخر قال } ف البكر ي زوجها ولي ها : فإن سكتت ف قد رضيت وإن أبت ل

ه 20ا .تكره { وف رواية : فل جواز علي

Sesungguhnya Nabi SAW menolak nikah bikir yang

dinikahkan oleh ayahnya sedangkan ia

membencinya). Dalam hadits yang lain, Nabi berkata

(tentang pernikahan bikir yang dinikahkan oleh

walinya: jika dia diam, maka dia rela dan jika dia

enggan, tidak boleh dipaksa), dan dalam satu

riwayat: maka tidak dibolehkan menikahkannya.

Dalil yang lain adalah hadits yang diriwayatkan dari

al-Khansa‟, yaitu :

حديث النساء } فإن ها جاءت إل النب صلى الل عليو وسلم ف قالت : إن أب زوجن من ابن أخيو وأنا لذلك

عليو وسلم أجيزي ما صنع أبوك كارىة ف قال : صلى اللل رغبة فيما صنع أب ف قال صلى الل عليو ف قالت ما

وسلم : اذىب فل نكاح لك انكحي من شئت ف قالت

20

Ibid., juz 5, h. 2

Page 19: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 67

أجزت ما صنع أب ولكن أردت أن ي علم النساء أن ليس ء {للباء من أمور ب ناتم شي

Sesungguhnya dia datang kepada Nabi SAW

kemudian dia berkata: Sesungguhnya ayahku

menikahkan aku dengan anak saudaranya sedangkan

aku membenci pernikahan itu. Maka Nabi SAW

berkata : apakah engkau berkenan dengan apa yang

diperbuat ayahmu, maka dia berkata : aku tidak

menyukai apa yang diperbuat ayahku. Kemudian

Nabi SAW berkata : pergilah engkau, tidak (sah)

pernikahanmu, menikahlah kamu dengan orang yang

kamu inginkan. Kemudian dia berkata : apakah aku

boleh melakukannya terhadap ayahku, akan tetapi

aku ingin para wanita mengetahui bahwa tiada

satupun hak (untuk memaksa) bagi para ayah dalam

urusan anak perempuan mereka.

Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW tidak

mengingkari pernyataan al-Khansa‟, dan tidak dijelaskan

bahwa dia seorang bikir atau tsayib (janda). Hal itu

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hukum terhadap

keduanya. Dalam hadits yang ma‟ruf dinyatakan bahwa

“Bikir itu dimintakan persetujuannya, dan diamnya

menunjukkan kerelaannya”. Hadits ini menjadi dalil bahwa

pada dasarnya persetujuan dari seorang perempuan itu

dihargai.21

Dalam hal ini ulama Hanafiyah tidak membedakan

antara hak bikir dengan tsayib, bahwa keduanya berhak atas

dirinya untuk menentukan pasangan hidup (suami) mereka

berdasarkan keumuman makna hadits al-Khansa di atas dan

hadits-hadits yang secara khusus menjelaskan bahwa

pernikahan bikir hendaklah dengan persetujuannya yang

21

Ibid.

Page 20: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

68 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

diriwayatkan oleh para rawi dari kalangan sahabat yang

ma‟ruf yaitu Abu Hurairah dan Abu Musa al-Asy‟ari.

b. Pernikahan tsayib (janda)

As-Sarakhasi mengemukakan bahwa terdapat hadits

Rasulullah SAW tentang pernikahan seorang janda, yaitu :

} ب لغنا رسول الل صلى الل عليو وسلم أن رجل زوج يانا ف فرق رسول اب نتو ، وىي كارىة ، وىي تريد عم صب

ن ها وب ي الذي زوجها منو الل صلى الل عليو وسلم ب ي أبوىا ث زوجها عم ولدىا {

Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada kami

bahwa sesungguhnya seorang laki-laki menikahkan

anak perempuannya, sedangkan dia tidak suka, dan

dia ingin menikah dengan paman anak-anaknya,

maka Rasulullah SAW menceraikan antara dia

dengan orang yang menikahinya karena keinginan

ayahnya, kemudian Rasulullah menikahkan

perempuan tersebut dengan paman anaknya.

Dalam hadits tersebut perempuan yang dimaksud

adalah seorang janda, karena perawi mengatakan “hiya

turiidu „amma shibyaniha”. Hadits ini menjadi dalil bahwa

seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya (janda)

tidak akan berlaku tanpa kerelaan anaknya itu, dan hal ini

disepakati oleh para ulama. Akan tetapi oleh Imam Asy-

Syafi‟I, hadits ini tidaklah menjadi hujjah bahwa ia juga

berlaku untuk bikir, karena lawan dari hukum ini

diberlakukan kepada bikir yang diambil dari mafhum hadits

tersebut. Sementara menurut Hanafiyah, mafhum tidak dapat

Page 21: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 69

dijadikan hujjah, karena pengkhususan tsayib yang

disebutkan dalam hadits itu dan takhsis tsayib yang

disebutkan dalam hadits tidak menunjukkan/ tidak menjadi

dalil bahwa hukum terhadap selainnya adalah lawannya

(Hanafiyah tidak menerima hujjah dengan mafhum

mukhalafah).

Kemudian hadits di atas juga menjadi dalil bahwa

bila seorang wali menghalangi pernikahan (putrinya), maka

imam/sultan dapat menikahkan perempuan tersebut dengan

sebab seorang ayah menghalangi pernikahan putrinya

dengan orang yang disukainya. Dalam hal ini Rasulullah

menikahkan perempuan tersebut dengan wewenang beliau

sebagai imamah (kepala negara). Hadits ini juga menjadi

dalil bahwa memilih suami adalah hak seorang perempuan

bukan hak walinya, karena perempuan tersebutlah yang akan

bergaul dengan sang suami, maka baiknya pergaulan dapat

dicapai bersama orang yang dipilihnya, bukan dengan

seseorang yang dipilih oleh seorang wali.22

Dalam hal ini ulama Hanafiyah tidak memandang

sebab yang khusus pada hadits di atas (kasus terkait dengan

seorang janda), tetapi memandang maksud dari tindakan

Nabi SAW bahwa seorang perempuan berhak atas dirinya

untuk menentukan pilihannya dalam menentukan calon

suami. Hal ini menunjukkan penghargaan terhadap hak yang

dimiliki seseorang, tidak berbeda antara yang bikir dengan

yang janda.

c. Nikah tanpa wali

22

Ibid, h. 10

Page 22: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

70 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Imam As-Sarakhasi mengemukakan perkataan „Ali

bin Abi Thalib tentang perkara yang diajukan kepadanya

yaitu :

عن علي بن أب طالب رضي الل عنو أن امرأة زوجت اب نت ها برضاىا فجاء أولياؤىا فخاصموىا إل علي رضي

عنو فأجاز النكاح اللSesungguhnya seorang perempuan telah menikahkan

putrinya dengan persetujuan putrinya itu, kemudian

para walinya datang, lalu mereka memperkarakan

perempuan itu kepada „Ali r.a, maka Ali

membolehkan pernikahan tersebut.

Riwayat dari Ali bin Abi Thalib tersebut menjadi

dalil bahwa seorang perempuan yang menikahkan dirinya

sendiri atau meminta orang lain selain wali untuk

menikahkannya, maka pernikahan tersebut boleh. Imam Abu

Hanifah r.a berpendapat demikian, seorang perempuan yang

menikahkan dirinya sendiri, maka nikahnya itu boleh,

berdasarkan zahir riwayat Ali r.a tersebut, baik perempuan

itu seorang bikir atau janda, dan sama saja apakah suaminya

sekufu dengannya atau tidak, maka nikahnya sah. Apabila

sang suami tidak sekufu dengan perempuan itu, maka

walinya berhak mengajukan keberatan.

Terhadap persoalan ini, terdapat perbedaan pendapat

di kalangan ulama Hanafiyah. Menurut riwayat al-Hasan,

jika (calon) suami tersebut sekufu dengan si perempuan,

maka nikahnya boleh. Sedangkan jika mereka tidak sekufu,

maka nikahnya tidak boleh. Sedangkan menurut Abu Yusuf,

pada mulanya dia mengatakan bahwa pernikahan tersebut

tidak boleh, baik keduanya sekufu maupun tidak, bila

Page 23: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 71

perempuan itu masih memiliki wali. Kemudian dia

mengatakan, jika keduanya sekufu, boleh nikahnya, tetapi

bila tidak sekufu maka tidak boleh. Kemudian Abu Yusuf

kembali menyatakan pandangannya, bahwa nikahnya shahih,

baik keduanya sekufu atau tidak.

Ath-Thahawi menambahkan pendapat Abu Yusuf

tersebut, bila si laki-laki sekufu dengan perempuan itu,

hakim akan menyuruh wali untuk mengizinkan akad. Jika

wali mengizinkannya, maka pernikahan itu boleh. Tetapi

jika wali enggan memberi izin, tidak difasakh nikah tetapi

hakim yang memberi izin, maka nikahnya boleh.

Sedangkan menurut pendapat Muhammad bahwa

ditangguhkan nikahnya sampai dibolehkan oleh wali, baik

perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki

yang sekufu atau pun tidak sekufu. Jika wali

membolehkannya, maka nikahnya boleh, dan jika wali

membatalkannya, maka nikah itu batal, kecuali apabila si

suami sekufu dengan si perempuan, cukuplah hakim

memperbaharui akadnya apabila wali enggan untuk

menikahkannya.23

Sementara menurut pendapat Imam Malik dan Imam

Asy-Syafi‟i, perempuan yang menikahkan dirinya sendiri

batal dalam segala kondisi dan dia tidak bisa melakukan

akad nikah dengan memandang bahwa dia perempuan

semata-mata, baik dia menikahkan dirinya sendiri, atau

putrinya, atau ibunya atau dia mewakilkan nikahnya kepada

seseorang.

Menurut mazhab Syafi‟i, nikah tidak boleh tanpa

adanya wali, berdasarkan hadits-hadits berikut ini :

23

Ibid, h. 11

Page 24: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

72 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

ها أن النب صلى الل عليو حديث عائش ة رضي الل عن ا امرأة نكحت بغي إذن وليها فنكاحها وسلم قال : أيباطل باطل باطل وإذا دخل با ف لها المهر با استحل

لطان من ف رجها ل وكس ، ول شطط فإن تشاجرا فالس ول من ل ول لو

Hadits Aisyah r.a, Sesungguhnya Nabi SAW berkata:

Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin

walinya,maka nikahnya batal, batal, batal. Apabila

dia telah dicampuri, maka dia berhak atas mahar

dengan sebab untuk menghalalkan kehormatannya,

tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Jika

keduanya berselisih,maka sultan adalah wali bagi

siapa yang tidak mempunyai wali.

عليو وسلم قال وف الديث المشهور أن النب صلى الل ل نكاح إل بول :

Dalam hadits yang sudah masyhur, sesungguhnya

Nabi SAW berkata: tidak (sah) nikah kecuali dengan wali.

هما أن النب صلى وف حديث ابن عباس رضي الل عن الل عليو وسلم قال : كل نكاح ل يضره أرب عة ف هو

سفاح خاطب وول وشاىدا عدل Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas r.a : Sesungguhnya

Nabi SAW berkata : Setiap nikah yang tidak dihadiri

oleh empat orang maka itu adalah perzinaan, yaitu

orang yang menikah, wali dan dua saksi yang adil.

Page 25: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 73

وف حديث أب ىري رة رضي الل عنو أن النب صلى اللو وسلم قال : ل ت نكح المرأة المرأة ، ول المرأة علي

ا الزانية ىي الت ت نكح ن فسها ، ن فسها وإنDalam hadits riwayat Abu Hurairah r.a,

sesungguhnya Nabi SAW berkata Tidak bisa seorang

perempuan menikahkan perempuan lainnya dan tidak

bisa pula seorang perempuan menikahkan dirinya.

Sesungguhnya perempuan yang berzina itu dia yang

menikahkan dirinya sendiri.

Selain hadits-hadits di atas, mereka juga

menggunakan qaul Aisyah yaitu :

ها كانت تضر النكاح وتطب وأن عائشة رضي الل عن 24 ث ت قول اعقدوا فإن النساء ل ي عقدن

Sesungguhnya „Aisyah r.a menghadiri pernikahan

dan dia berpidato kemudian dia berkata lakukanlah

akad olehmu maka sesungguhnya perempuan tidak

dapat mengakadkan.

Adapun ulama yang membolehkan nikah tanpa

adanya wali menggunakan dalil-dalil nash berikut ini :

{ بقولو ت عال } فل جناح عليكم فيما ف علن ف أن فسهن ره { وبقولو ت عال } حت ت نكح زوجا غي

لقولو ت عال } أن ي نكحن أزواجهن {

24Ibid.

Page 26: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

74 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Dalam ayat-ayat tersebut menyandarkan akad kepada

perempuan, maka hal itu menjadi dalil bahwa perempuan

memiliki hak dalam pergaulan. Menurut ibarat Nash dari

ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa perempuan

mempunyai kekuasaan (wewenang) terhadap dirinya sendiri.

Selanjutnya dalil berupa khabar adalah :

1) Sabda Rasulullah SAW :

بن فسها من ق ولو صلى الل عليو وسلم } : الي أحق وليها {

Yang dimaksud denhan al-ayyimu adalah seorang

perempuan yang tidak mempunyai suami baik ia bikir

atau janda, dan inilah yang paling sahih menurut ahli

bahasa. Sementara Al-Karkhiy mengatakan bahwa al-

ayyimu dari kalangan perempuan sama halnya dengan

orang yang membujang dari kalangan laki-laki. Berbeda

dengan pendapat Muhammad, bahwa al-ayyimu adalah

sebutan untuk janda.

2) Sabda Rasulullah SAW bahwa tidak ada hak wali suatu

urusanpun terhadap janda :

ليس للول مع الث يب أمر{{ عليو وسلم وقال صلى الل

3) Hadits riwayat Khansa‟ seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya ;

Page 27: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 75

وحديث النساء حيث } قالت : ب ي يدي رسول الل أن ت علم النساء أن صلى الل عليو وسلم ولكن أردت

ليس إل الباء من أمور ب ناتم شيء {4) Sabda Rasulullah ketika menikahi Ummu Salamah :

ها اعتذرت ا خطب رسول الل أم سلمة رضي الل عن ولم بأعذار من جلتها أن أو لياءىا غيب ف قال : صلى الل

عليو وسلم ليس ف أوليائك من ل ي رضى ب قم يا عمر ف زوج أمك من رسول الل صلى الل عليو وسلم خاطب

سني { بو عمر بن أب سلمة وكان ابن سبع Ketika Rasulullah SAW meminang Ummu Salamah

r.a, sementara dia telah pernah menikah beberapa

kali sebelumnya, sesungguhnya para walinya ghaib,

maka Rasulullah SAW berkata: Wali-walimu itu

tidak ada yang tidak ridho denganku, bangunlah hai

Umar dan nikahkanlah ibumu dengan Rasulullah

SAW. Maka Umar bin Abi Salamah menikahkan

ibunya padahal dia anak yang berumur tujuh tahun.

5) Riwayat dari Umar dan Ali serta Ibnu Umar

radhiyallahu anhum bahwa mereka membolehkan nikah

tanpa wali.

6) Riwayat dari Aisyah r.a :

ها زوجت اب نة أخيها وأن عائشة رضي الل ت عال عن حفصة بنت عبد الرحن من المنذر بن الزب ي ، وىو ا رجع قال : أومثلي ي فتات عليو ف ب ناتو ، غائب ف لم

Page 28: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

76 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

ها : أوت رغب عن ف قالت عائشة رضي الل ت عال عن المنذر ؟ والل لتملكنو أمرىا

Sesungguhnya Aisyah r.a menikahkan anak

perempuan saudaranya Hafshah binti Abdurrahman

dengan Munzir bin Zubair, sedangkan dia

(Abdurrahman) ghaib. Ketika dia kembali, dia

berkata : apakah seperti terhadapku difatwakan

atasnya tentang anak perempuannya, maka Aisyah

r.a berkata : apakah engkau tidak suka dengan

Munzir? Demi Allah, sungguh dia (Hafshah)

memiliki kekuasaan terhadap urusan(nikah)nya.

Hadits ini menjelaskan bahwa hadits yang

dipakai oleh kelompok ulama (Syafi‟iyah dan

Malikiyah) yang mereka riwayatkan dari Aisyah (yaitu

hadits nikah tanpa wali adalah batal) tidak sahih, karena

fatwa rawi (dalam hadits ini) berbeda dengan hadits itu,

dan jalur hadits tersebut melalui az-Zuhri, sedangkan az-

Zuhri mengingkarinya, maka bolehlah nikah tanpa

wali.25

Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan ulama

Hanfiyah di atas, berupa Nash Alquran, secara umum

mengisyaratkan bahwa para perempuan dapat

menentukan urusannya sendiri dalam hal yang terkait

dengan pernikahan. Demikian pula dalil-dalil berupa

hadits/khabar menjelaskan hal tersebut. Yaitu perkataan

Nabi bahwa seorang perempuan memiliki hak atas

dirinya untuk menentukan urusannya, termasuk dalam

masalah nikah, kemudian Nabi SAW juga tidak

mengingkari pernyataan al-Khansa‟, ditambah pula

25

Ibid., h. 12

Page 29: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 77

pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah yang dilakukan

oleh anaknya yang belum baligh, menjelaskan bahwa

perempuan, baik bikir atau janda memiliki kekuasaan

atas dirinya dalam pernikahan. Di samping itu terdapat

pula riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat Nabi

SAW yaitu Umar, Ali dan Ibnu Umar membolehkan

nikah tanpa adanya wali, bahkan Aisyah pernah

menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya.

Sementara dalil yang menjelaskan bahwa nikah tanpa

wali adalah batal, menurut pandangan ulama Hanafiyah

hadits itu tidak shahih, karena perawinya (Aisyah) tidak

beramal seperti periwayatannya, kemudian az-Zuhri

(rawi berikutnya) juga mengingkarinya. Oleh karena itu

mazhab ini berpendapat bolehnya nikah tanpa wali.

Selain itu menurut ulama Hanafiyah, perempuan

(Imraatun) dalam hadits tersebut ditakwilkan bahwa yang

dimaksud adalah imra‟ atun shaghirah (perempuan yang

masih kecil/belum dewasa).

Dalam penjelasan selanjutnya ulama Hanafiyah

menjelaskan bahwa bolehnya nikah tanpa wali adalah

sebagai jalan keluar bagi seorang perempuan bila dalam

keadaan yang tidak biasa, misalnya wali „adhal/enggan

karena wali tidak menyukai calon suami yang dipilih oleh si

perempuan, atau walinya ghaib. Namun di antara mereka

(Hanafiyah) ada yang berpendapat bahwa apabila

perempuan itu tidak sekufu dengan calon suaminya atau

dikhawatirkan akan memberi mudharat bagi perempuan itu,

maka walinya boleh mengajukan keberatan.

d. Bab Jinayat

Page 30: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

78 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Persoalan jinayat yang akan penulis bahas adalah

tentang had zina. Had adalah istilah untuk hukuman yang

bentuk dan ukurannya ditentukan yang merupakan hak Allah

SWT. Terhadap orang yang berzina, hukumannya ada dua

bentuk yaitu rajam bagi orang yang muhshan dan jilid bagi

ghairu muhshan.

Pada mulanya hukuman bagi orang yang berzina

adalah penahanan di rumah dan dicela dengan lisan,

berdasarkan firman Allah (fa amsikuhunna fil buyut) dan (fa

aazuuhuma).26

Kemudian hal itu dinasakh dengan hadits

yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit, bahwa Nabi

SAW berkata :

} خذوا عن قد جعل الل لن سبيل البكر بالبكر جلد مائة ورجم مائة وت غريب عام والث يب بالث يب جلد

بالجارة {Ambillah dariku, sungguh Allah telah memberikan

jalan bagi mereka, bikir dengan bikir (yang berzina)

dijilid seratus kali dan diasingkan selama setahun dan

tsayib dengan tsayib (yang berzina) dirajam dengan

batu.

Hukuman tersebut diterapkan sebelum turunnya ayat

Surat an-Nur (ayat 2). Setelah turunnya surat an-Nur ayat 2,

maka hadits di atas dinasakh. Maka ditetapkanlah hukuman

jilid terhadap pelaku zina yang ghairu muhshan dan

hukuman rajam bagi muhshan. Tentang hukuman jilid bagi

ghairu muhshan disepakati di kalangan ulama, sedangkan

hukuman rajam bagi pelaku zina yang muhsan ditetapkan

dengan sunnah. Kelompok Khawarij mengingkari hukuman

26

Alquran, Surat An-Nisa‟ ayat 15-16.

Page 31: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 79

rajam kerena tidak ditetapkan dengan sunnah mutawatir.

Dalil bahwa raja madalah had bagi pelaku zina yang muhsan

adalah sebagai berikut :

} أن النب صلى الل عليو وسلم رجم ماعزا ب عد ما سأل عن إحصانو ورجم الغامدية ، وحديث العسيف حيث

س إل امرأة ىذا فإن اعت رفت فارجها قال : واغد يا أن ي }27

Sesungguhnya Nabi SAW merajam Ma‟iz setelah

bertanya tentang ihshannya dan merajam al-

Ghamidiyah, dan juga hadits al-„Asif ketika Nabi

berkata: Pergilah segera hai Unais kepada perempuan

ini, maka jika dia mengaku, rajamlah dia.

Selain itu dalilnya adalah perkataan Umar r.a di atas

mimbar: Sesungguhnya di antara yang diturunkan di dalam

Alquran adalah apabila orang-orang yang telah tua berzina,

maka rajamlah keduanya.

Menurut As-Sarakhasi mengumpulkan antara jilid

dan rajam terhadap orang muhshan tidak disyari‟atkan.

Sedangkan menurut pendapat Zhahiriyah dilakukan

keduanya sebagai had bagi muhshan berdasarkan zhahir

hadits Nabi SAW :

والث يب بالث يب جلد مائة ورجم بالجارة Dan berdasarkan riwayat Ali r.a, bahwa dia menjilid

Syurahah al-Hamdaniyah, kemudian merajamnya, kemudian

27

Ibid., juz 9, h. 36

Page 32: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

80 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

dia berkata : jilidnya berdasarkan kitabullah dan rajamnya

berdasarkan sunnah.

Sedangkan hujjah yang dikemukakan As-Sarakhasi

adalah hadits tentang Ma‟iz dan al-Ghamidiyah, bahwa

Rasulullah SAW hanya merajam keduanya dan tidak

menjilid mereka. Begitu pula dengan hadits yang ke dua

yang telah dikemukakan di atas. Maksud dari hukuman

tersebut adalah sebagai pencegahan terjadinya sebab (zina).

Apabila maksud dari hukuman telah tercapai dengan satu

hukuman saja, maka tidak ada faedahnya menggabungkan

dua hukuman. Karena menurut kaidah umum, hukuman

yang lebih ringan (jilid) sudah tercakup oleh hukuman yang

lebih berat (rajam).

Mengumpulkan antara jilid dan rajam menurut As-

Sarakhasi telah dinasakh. Sedangkan hadits “jaldu mi‟atin

wa rajmu bil hijarah” ditakwilkan dengan : jilid adalah

hukuman bagi tsayib yang ghairu muhshan dan rajam adalah

hukuman untuk tsayib yang muhshan. Sedangkan hadits dari

Ali r.a takwilnya adalah: Dia menjilidnya karena tidak

diketahui tentang ihshannya, kemudian setelah ihshannya

diketahui, maka dia merajamnya, dan itu adalah qiyas.28

Terhadap masalah di atas, tentang hukuman bagi

orang yang berzina, metode istimbath yang dipakai adalah

nasakh. Nasakh disini berarti mengganti. Pada mulanya

dinyatakan bahwa hukuman bagi orang yang berzina

berdasarkan firman Allah, yaitu menahannya di rumah dan

mencelanya dengan lisan. Kemudian ayat tersebut dinasakh

oleh hadits bahwa untuk bikir hukumannya dijilid dan

diasingkan selama setahun dan untuk tsayib hukumannya

dijilid dan dirajam. Dalam hal ini terjadi nasakh ayat dengan

28

Ibid, h.37

Page 33: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 81

sunnah dan hal ini boleh menurut ulama Hanafiyah jika

sunnah tersebut mutawatir atau masyhur.

Kemudian hal tersebut dinasakh lagi oleh ayat

Alquran dengan turunnya surat An-Nur ayat 2, bahwa

hukuman bagi ghairu muhshan adalah dijilid 100 kali

(hukuman had) dan tidak ditambah dengan hukuman

pengasingan. Sedangkan hukuman bagi muhshan tidak

menggabungkan jilid dan rajam, tetapi hanya rajam saja bagi

yang muhshan berdasarkan hadits Nabi SAW. Dalam hal

yang pertama, yaitu hukuman bagi ghairu muhshan, terjadi

nasakh sunnah dengan ayat, sedangkan untuk yang ke dua,

hukuman bagi muhshan, adalah nasakh sunnah dengan

sunnah.

e. Bab Mu’amalat

Masalah mu‟amalah yang penulis kemukakan pada

bab ini adalah tentang wakaf karena dalam persoalan wakaf,

pendapat ulama Hanafiyah berbeda dengan mazhab lainnya

terutama dalam hal sifat akad wakaf dan akibat wakaf.

Wakaf adalah menahan benda yang dimiliki dari

kepemilikan orang lain. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa

akad wakaf tidak menjadikannya lazim, karena wakif

menahan ain benda miliknya dan memberdayakan

manfaatnya untuk keperluan yang ditentukan. Akad wakaf

menempati posisi „ariyah, sedangkan „ariyah itu jaiz (boleh),

bukan sesuatu yang lazim (kemestian). Namun kalau

seseorang berwasiat bahwa ia akan berwakaf setelah dia

meninggal, maka wakaf menjadi lazim, ia menempati posisi

sebagaimana wasiat.29

29

Ibid, juz 12, h.27

Page 34: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

82 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

Wakaf disyari‟atkan berdasarkan hadits yang

diriwayatkan dari Sakhr bin Juwairiyah dari Nafi‟, bahwa

Umar bin Khattab r.a memiliki tanah yang produktif,

kemudian dia bertanya kepada Nabi SAW tentang hal

terbaik yang harus dilakukannya. Maka Nabi SAW

mengatakan supaya dia bersedekah, sedangkan asalnya tidak

boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh

diwariskan, tetapi diinfakkan buah/hasilnya. Kemudian

Umar bersedekah untuk fi sabilillah, kepada orang-orang

miskin, ibnu sabil dan karib kerabatnya.

Rasulullah SAW menyuruh Umar berwakaf dapat

dipahami dari perkataan beliau :

ق بأصلو ل ي باع ، ول يوىب ، ول يورث تصدDan pernyataan Nabi tersebut menjadi hujjah bagi

orang yang berpendapat bahwa wakaf itu lazim

(mengakibatkan hilangnya kepemilikan).

Akad wakaf tidak menghilangkan kepemilikan,

seperti yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf

dan Muhammad. Hanya saja wakaf itu menahan „ain benda

dari masuknya ke dalam milik orang lain. Ia tidak bisa

diwariskan setelah meninggalnya wakif, karena benda yang

diwariskan berganti menjadi milik orang yang mewarisi.

Dalam hal ini menurut riwayat Abu Yusuf, pada awalnya dia

mengikuti pendapat Abu Hanifah, tetapi ketika ia pergi

melaksanakan haji dan melihat wakaf-wakaf para sahabat di

Madinah dan sekitarnya dia mengubah pendapatnya bahwa

wakaf menjadi lazim setelah meninggalnya wakif.

Alasannya adalah atsar yang telah masyhur dari Rasulullah

SAW dan para sahabat beliau. Bahwa mereka semua seperti

Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Hafshah,

berwakaf dan wakafnya tetap kekal sampai hari ini.

Page 35: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 83

Demikian pula wakaf Nabi Ibrahim al-Khalil AS tetap

bertahan sampai hari ini. Dan kita disuruh untuk

mengikutinya, seperti terdapat dalam firman Allah :

30فاتبعوا ملة إب راىيم حنيفا

Jadi, Abu Yusuf kemudian mengubah pendapatnya

bahwa akad wakaf menjadi lazim, atau menghilangkan

kepemilikan wakif, bila wakif telah meninggal dunia

berdasarkan atsar para sahabat Rasulullah SAW.

Selanjutnya As-Sarakhasi menjelaskan bahwa jika

pada tanah yang diwakafkan itu dibangun mesjid untuk

kaum muslimin secara umum dan telah dikumandangkan

azan di dalamnya dan telah dilakukan shalat jamaah di

dalamnya sekali shalat atau lebih, maka pemiliknya (wakif)

tidak boleh kembali kepadanya (menarik kembali tanahnya).

Jika dia meninggal, tanah itu tidak boleh diwariskan, karena

ia sudah terlepas dari miliknya dan ia menjadi milik Allah,

berdasarkan firman Allah: wa anna al-masaajida lillah, dan

hadits Nabi SAW: “Siapa yang membangun mesjid untuk

Allah, maka Allah akan mendirikan rumah untuknya di

surga”. Maka tidak boleh lagi kembali kepadanya setelah

menjadikannya milik Allah, seperti halnya sedekah.31

Dalam masalah wakaf ini, ulama Hanafiyah berbeda

dengan mazhab lainnya dalam memahami akibat wakaf.

Menurut mereka, wakaf tidak mengakibatkan berpindahnya

milik karena tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut.

Mereka menyamakan wakaf dengan „ariyah, bahwa ia jaiz.

Hanya saja wakaf menghalangi berpindahnya benda wakaf

menjadi milik orang lain, yang dipahami dari hadits Umar di

30

Ibid, h. 28 31

Ibid, h. 34

Page 36: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

84 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

atas, bahwa benda yang diwakafkan tidak boleh dijual,

dihibahkan dan diwariskan. Dalam hal ini mereka bersandar

pada hadits dan atsar. Akad wakaf menjadi lazim apabila

dikaitkan dengan kematian (menjadi wasiat) dan apabila

wakaf ditujukan untuk masjid (berdasarkan nash alquran dan

hadits) dan setelah wakif meninggal (pendapat Abu Yusuf).

C. Kesimpulan

Dari beberapa contoh masalah fikih yang telah

dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa metode

istimbath ushul mazhab Hanafi yang ditemukan dalam contoh-

contoh persoalan tersebut adalah :

1. Dalam masalah ibadah, yaitu tentang shalat witir dan shalat

„id, ulama Hanafiyah lebih banyak menggunakan dalil

berupa hadits, termasuk hadits ahad dan atsar sahabat.

Ketika memahami dalil-dalil tersebut, mereka

mendahulukan penggunaan dalalah ibarah daripada dalalah

isyarah.

2. Dalam masalah munakahat, yaitu tentang pernikahan bikir,

tsayib dan nikah tanpa wali, disamping merujuk kepada dalil

Alquran dan hadits, ulama Hanafiyah juga menggunakan

ra‟yu yaitu mempertimbangakan hak seorang perempuan

(yang telah dewasa) untuk menentukan pernikahannya.

Untuk menerima hadits ahad sebagai hujjah, ulama

Hanafiyah mensyaratkan bahwa amalan perawi tidak

berbeda dengan riwayatnya.

3. Dalam masalah jinayat, yaitu tentang hukuman bagi pezina,

dalam menentukan hukuman terhadap pezina yang

bersumber dari nash, ulama Hanafiyah mengakui terjadi

nasakh hukum terdahulu dengan hukum yang datang

kemudian. Selain itu mereka juga mempertimbangkan

tujuan/maksud hukuman.

Page 37: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Azhariah Khalida

Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 85

4. Dalam masalah mu‟amalat, khususnya dalam masalah

wakaf, ketika tidak ada dalil nash yang menjelaskan secara

rinci, ulama Hanafiyah menggunakan amalan sahabat dan

juga ra‟yu.

Page 38: MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi

Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi

dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi

86 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014

DAFTAR PUSTAKA

al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqh Empat Mazhab, judul asli al-Fiqh

„ala al-Mazahib al-Arba‟ah, penerjemah Chatibul Umam

dan Abu Hurairah, Jakarta : Darul Ulum Press, 1994, jilid

2.

Kamal bin Hummam, Fath al- Qadir, dalam Maktabah

Syamilah, juz 2.

al-Maraghi, Abdullah al-Musthofa, Pakar-pakar Fikih

Sepanjang Sejarah, judul asli : Fath al-Mubin fi Tabaqat

al-Ushuliyin, Penerjemah: Husein Muhammad,

Yogyakarta; LKPSM, 2001

as-Sarakhasi, Ahmad bin Abi Sahal, Ushul as-Sarakhasi,

ditahqiq oleh Abu al-Wafa‟ al-Afghani, Beirut : Dar al-

Kutub al-Ilmiyah, 2005, Cet.ke 2, jilid 1.

As-Sarakhasi, Al-Mabsuth, Libanon : Dar al-Ma‟rifah, 1989,

juz. 4

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Penerjemah: Saefullah

Ma‟shum dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damsyik ; Dar al-

Fikri, tt, juz. 1