MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

26
1 Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis Eddy Surjanto, Juli Purnomo Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1-3 Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen menyebabkan inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin (Ig)E. Terdapat tiga gejala utama yaitu bersin, hidung tersumbat dan mucous discharge. 3 Mukosa hidung dan bronkus memiliki banyak kemiripan. Kebanyakan pasien asma mempunyai gejala rinitis yang mendukung konsep “one airway one disease”. Akan tetapi tidak semua pasien rinitis menderita asma. 4 Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terjadi bersamaan pada setiap negara. Prevalensi penderita asma tanpa rinitis kurang dari 2% sedangkan penderita asma dengan rinitis berkisar antara 10%-40%. Pasien dengan rinitis persisten lebih banyak menderita asma. 5 Anak dan dewasa yang menderita asma dan rinitis secara bersamaan lebih banyak pergi ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan lebih lanjut dibanding menderita asma saja. Suatu penelitian menemukan pasien tersebut lebih banyak tidak masuk kerja dan menurunkan produktivitasnya tetapi dalam penelitian lain tidak menemukan hal tersebut. 6 Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara mukosa hidung dan bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis. Kebanyakan pasien asma

Transcript of MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

Page 1: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

1

Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis Eddy Surjanto, Juli Purnomo Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang

berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan

atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas

yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa

pengobatan.1-3 Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah

terpajan alergen menyebabkan inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin

(Ig)E. Terdapat tiga gejala utama yaitu bersin, hidung tersumbat dan mucous

discharge.3

Mukosa hidung dan bronkus memiliki banyak kemiripan. Kebanyakan

pasien asma mempunyai gejala rinitis yang mendukung konsep “one airway one

disease”. Akan tetapi tidak semua pasien rinitis menderita asma.4 Penelitian

epidemiologis menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terjadi bersamaan

pada setiap negara. Prevalensi penderita asma tanpa rinitis kurang dari 2%

sedangkan penderita asma dengan rinitis berkisar antara 10%-40%. Pasien

dengan rinitis persisten lebih banyak menderita asma.5

Anak dan dewasa yang menderita asma dan rinitis secara bersamaan

lebih banyak pergi ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan lebih lanjut

dibanding menderita asma saja. Suatu penelitian menemukan pasien tersebut

lebih banyak tidak masuk kerja dan menurunkan produktivitasnya tetapi dalam

penelitian lain tidak menemukan hal tersebut.6

Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara mukosa hidung dan

bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis. Kebanyakan pasien asma

Page 2: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

2

mempunyai riwayat rinitis tetapi hanya sedikit pasien rinitis menderita asma

meskipun kebanyakan mempunyai riwayat hiperreaktivitas bronkus. Interleukin

(IL)-5 dan vascular endothelial growth factor merupakan sitokin penting dalam

terjadinya hiperreaktivitas bronkus pada pasien rinitis alergi. Jumlah yang rendah

IL-4 dan IL-13 berhubungan dengan ketiadaan gejala asma dengan

hiperreaktivitas bronkus. Hidung sampai alveoli mempunyai kesamaan sel epitel

dan sel inflamasi sehingga diperkirakan merupakan satu kesatuan penyakit.

Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam hal pajanan alergen dan zat

berbahaya, hidung lebih banyak terpajan daripada saluran napas bawah.7

Beberapa pasien dengan rinitis alergi mempunyai hiperreaktivitas

bronkus terhadap metakolin atau histamin, terutama selama dan beberapa saat

setelah musim serbuk sari (pollen season).8 Pasien dengan perennial rhinitis

memiliki reaktivitas bronkus yang lebih tinggi dibanding pasien seasonal

rhinintis.9

HYGIENE HYPOTHESIS Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah

banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan

teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan

lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi.10

Hipotesis tersebut berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun pada bayi

didominasi oleh sitokin T helper (Th)2. Setelah lahir pengaruh lingkungan akan

mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi

tertentu (M. tuberculosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan

antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap.

Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi

antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu

kucing.11 Untuk lebih jelasnya faktor yang menentukan keseimbangan sitokin tipe

Th1 dan Th2 dapat dilihat dalam gambar 1 di bawah.

Page 3: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

3

Gambar 1. Keseimbangan sitokin Th1 dan Th2

Dikutip dari 14

Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi

IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2

dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh

plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasenta

berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, ini

merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40

tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi

antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi

akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan

kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12

Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya

akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon

gama (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih

jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah.

Page 4: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

4

Gambar 2. Pengaturan sintesis IgE limfosit B oleh limfosit T

Dikutip dari 12

Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi

baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah

seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel.

Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di

atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment dan

aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony

stimulating factor (GM-CSF), eotaksin dan regulation on activation normal T cell

expressed and secreted (RANTES).7

MEKANISME INFLAMASI SALURAN NAPAS Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan

asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan

mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma.14

Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas.

Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin

dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke

sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil.14 Eosinofil sirkulasi masuk

ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan rolling

Page 5: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

5

(menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami aktivasi,

adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis.15 Eosinofil berinteraksi dengan selektin

kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di

superfamili immunoglobulin protein adhesi yaitu vascular-cell adhesion molecule

(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.7,14

Gambar 3. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi

Dikutip dari 15

Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke

saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperi RANTES,

eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory

protein (MIP)-1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan

mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran

napas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan

inflamasi saluran napas yang persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentang

proses inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah.

Page 6: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

6

Gambar 4. Proses inflamasi pada saluran napas Dikutip dari 14

Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang

dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa

asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa

lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belum

diketahui secara pasti.16

Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting

baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi

sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efek

fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast

terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi.

Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam

merespons inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat

dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas

atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis

alergi daripada asma.7

Page 7: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

7

Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi

melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel.

Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan

melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan

kinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melalui

pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran

napas dan juga pada reseptor otot polos.12

Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan akan

menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada

saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea.

Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi,

hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan mengi.12 Gejala rinitis

maupun asma yang timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel

di bawah.

Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit

MEDIATOR

TANDA DAN GEJALA

RINITIS ASMA

HISTAMIN

LEUKOTRIENS

KININS

PROSTA-

GLANDINS

ENDOTELIN

HIDUNG GATAL, BERSIN,

RINOREA, OBSTRUKSI

RINIOREA, OBSTRUKSI

OBSTRUKSI

OBSTRUKSI

HIDUNG GATAL, BERSIN,

RINOREA

BRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI

PROTEIN PLASMA, SEKRESI

MUKUS

BRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI

PROTEIN PLASMA, SEKRESI

MUKUS

BRONKOKONSTRIKSI, BATUK

BRONKOKONSTRIKSI (PROSTA-

GLANDIN E2ά, PROSTAGLANDIN

D2), ANTI BRONKOKONSTRIKTOR

(PROSTAGLANDIN E2), BATUK

(PROSTAGLANDIN F2ά)

BRONKOKONSTIKSI

Dikutip dari 12

Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen

disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, respons

tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi.7 Reaksi fase lambat diawali

Page 8: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

8

dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4,

selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5

dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yang

teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor, enzim elastase dan

metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1ά, eotaksin), mediator lipid dan

sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus.17

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Mekanisme inflamasi tipe cepat dan lambat

Dikutip dari 17

Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan

kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin mempunyai

peran dalam patogenesis asma fase lambat.18 Untuk lebih jelasnya peran dari

masing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil dapat dilihat dalam gambar 6.

Page 9: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

9

Gambar 6. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.

Dikutip dari 18

Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada

saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian

respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan

oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas dan

peningkatan reaktifitas saluran napas.19 Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi dan

asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast,

limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan

jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh eosinofil.20

Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediator

yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyak

cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma dan

rinitis. Salah satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan atau

meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluh

darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting

dalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl

leukotrien pada receptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna

pada penderita rinitis dan asma.7

Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih

belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama dan

Page 10: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

10

berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan

proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaian

utama saluran napas atas dan bawah adalah sama. Rangkaian utamanya adalah

akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel maupun protein matriks melalui

matriks spesifik yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi

leukotrien.7

Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan

refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pasti

apakah airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atau

anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapi

bukan merupakan proses analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari

perbedaan respons end organ.21 Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin,

mediator lipid dan growth factor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi

mukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein

toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic

protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan

syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan mediator

lipid.22 Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan

angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang síntesis

protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6, IL-

11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan

diferensiasi dan migrasi fibroblas.22

Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor (FGF)-2

mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas. Eosinofil

menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel endotel

diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi sel epitel,

síntesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat eosinofil

yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά..22 Pengaruh eosinofil terhadap remodeling

jalan napas dapat dilihat pada gambar 7.

Page 11: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

11

Gambar 7. Pengaruh eosinofil terhadap remodeling jalan napas

Dikutip dari 22

Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paru

adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan.

Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokin

tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapat

waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama pada

saluran napas bawah dibanding atas setelah terpajan antigen.7

Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal

epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebih

sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkan

zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dan

sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadi

pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebih

besar daripada atas akan menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama.7

Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos

saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses

autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapat

perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapat

menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yang

bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi.7

Page 12: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

12

Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen dan

iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekul

efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis pada

hidung dibandingkan pada paru.23 Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat

persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel efektor dan

mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal tersebut akan

menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rinitis

alergi dan asma.7

SITOKIN PADA ASMA Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons

terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator

pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan

tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel

(pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh

(fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk

sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor

atau produksi sitokin (antagonisme).15

Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering

pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan

berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama).

Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyata

karena ada kompensasai sitokin lain.15 Sifat-sifat sitokin dapat dilihat pada

gambar 8.

Page 13: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

13

Gambar 8. Sifat – sifat sitokin

Dikutip dari 15

Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain.

Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor

sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatan

dengan reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadap

kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran

yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran.15

Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growth

factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponen

jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.13

Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai : 13

1. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,

2. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1ß,

3. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,

4. Growth factor seperti transforming growth factor –ß dan epidermal growth

factor.

Page 14: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

14

Berikut ini akan dibahas peran dari masing-masing sitokin tersebut di atas.

1. Sitokin Th2

Di antara sitokin yang dihasilkan oleh Th2, IL-4 dan IL-5 mempunyai

peranan yang paling penting.13

Interleukin-4

Interleukin-4 merupakan sitokin utama dalam patogenesis respons alergi.

Hal tersebut berhubungan dengan sekresi IgE oleh limfosit B. Respons imun

yang dimediasi oleh IgE ditingkatkan oleh IL-4 melalui kemampuannya

memperbaiki reseptor IgE di permukaan sel. Reseptor tersebut antara lain

reseptor IgE yang dengan afinitas rendah (FcεRI, CD23) pada limfosit B dan sel

mononuklear, serta reseptor IgE dengan afinitas tinggi terhadap sel mast dan

basofil. Aktivasi sel mast tergantung IgE yang dirangsang oleh IL-4 ini

mempunyai peran yang penting dalam perkembangan reaksi alergi tipe cepat.

Mekanisme lain dimana IL-4 menyebabkan obstruksi saluran napas adalah

melalui induksi gen musin dan hipersekresi mukus. Interleukin-4 meningkatkan

ekspresi eotaksin dan sitokin inflamasi yang lain dari fibroblas yang akan

menyebabkan inflamasi dan airway remodelling.23

Aktivitas IL-4 yang penting dalam merangsang inflamasi pada pasien

asma adalah melalui rangsangan vascular cell adhesión molecule (VCAM)-1

pada endotel vaskuler.24 Melalui interaksi VCAM-1, IL-4 secara langsung

menyebabkan migrasi limfosit T, monosit, basofil dan eosinofil ke daerah

inflamasi. Interleukin-4 juga menghambat apoptosis eosinofil dan menyebabkan

inflamasi eosinofilik dengan merangsang kemotaksis dan aktivasi eosinofil

melalui peningkatan ekspresi eotaksin.25

Aktivitas biologis IL-4 yang penting dalam perkembangan inflamasi alergi

adalah kemampuannya mengendalikan diferensiasi sel limfosit T helper tipe Th0

menjadi Th2. Sel Th2 ini bisa mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 tetapi tidak

bisa mensekresikan IFN-γ.26

Page 15: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

15

Interleukin -5

Peran utama IL-5 adalah dalam hal maturasi eosinofil di sumsum tulang

dan pelepasannya ke darah. Interleukin-5 pada manusia bekerja hanya pada

eosinofil dan basofil yang akan menyebabkan maturasi, pertumbuhan, aktivasi

dan kemampuan hidupnya.13 Pasien asma atopi mempunyai peningkatan

ekspresi sitokin tipe Th2 (IL-2, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF) pada cairan

bronchoalveolar lavage (BAL) maupun biopsi bronkus dibanding dengan orang

normal, tetapi tidak ada perbedaan dalam ekspresi sitokin Th1. Pasien asma

atopi berhubungan dengan aktivitas IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.28 Gen mRNA

IL-5 juga ditemukan pada eosinofil dan sel mast jaringan yang teraktivasi pada

pasien dermatititis alergi, rinitis alergi dan asma. Hal ini meningkatkan dugaan

bahwa IL-5 terdapat pada pasien atopi.13

Interleukin-5 merupakan sitokin utama yang mengaktifkan eosinofil pada

respons tipe lambat setelah pajanan antigen. Interleukin-5 merupakan sitokin

penting dalam recruitment dan survival eosinofil. Sebaliknya IL-5 tidak penting

dalam respons inflamasi tipe cepat pada pasien asma. Interleukin-5 tidak

didapatkan di cairan BAL pada pasien asma ringan segera setelah terpajan

alergen. Interleukin-5 juga berperan penting dalam recruitment eosinofil dari

darah ke jaringan. Hal ini dibuktikan dengan pemberian lokal recombinant human

IL-5 di hidung pada pasien rinitis alergi merangsang akumulasi eosinofil dalam

mukosa hidung. Interleukin-5 juga merangsang aktivasi eosinofil yang berada di

jaringan yang mengalami inflamasi.28

Interleukin-13

Kadar IL-13 juga meningkat pada pasien asma dan mempunyai aktivitas

biologis yang sangat mirip dengan IL-4. Hal ini bisa dilihat dari struktur

reseptornya. Terdapat bukti bahwa kloning DNA terhadap IL-13 yang

memperlihatkan bahwa reseptor IL-4 rantai ά merupakan komponen reseptor IL-

13. Pemberian antagonis reseptor IL-4 dapat menghambat reseptor IL-4 maupun

IL-13.29 Peran IL-13 terhadap asma diantaranya adalah :

Page 16: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

16

1. Fungsinya overlap dengan IL-4.

2. Merangsang sel B untuk mensintesis imunoglobulin E.

3. Mengatur ekspresi FcεRII (reseptor imunoglobulin E dengan afinitas

rendah).

4. Mengatur dalam penurunan produksi sitokin proinflamasi (TNF-α dan IL-

1β), kemokin (RANTES) dan IL-12.

5. Mengatur peningkatan ekspresi VCAM-1 tapi bukan ICAM-1.

6. Meningkatkan survival eosinofil.

7. Kemotaksis dan aktifasi fibroblas.

8. Merangsang produksi mukus.

Pemberian antibodi anti IL-4 selama sensitisasi menunjukkan efek inhibisi

dalam perkembangan Th2. Hal ini menunjukkan IL-4 penting dalam repons

antigen tipe cepat. Interleukin-4 jika diberikan pada hewan yang telah mengalami

sensitisasi kurang berpengaruh dalam menurunkan produksi sitokin Th2, refluks

eosinofil dan hiperresponsivitas bronkus. Sebaliknya IL-13 lebih berperan

daripada IL-4 setelah pajanan antigen sekunder 13

Interleukin-9

Interleukin-9 dihasilkan oleh Th2 dan eosinofil. Interleukin-9 merangsang

proliferasi sel T yang telah teraktivasi, meningkatkan produksi IgE dari sel B,

merangsang proliferasi dan diferensiasi sel mast dan merangsang ekspresi

kemokin CC di sel epitel paru. Interleukin-9 berperan dalam hiperplasia sel

goblet dan perkembangan sel mast.30 Pengaruh IL-9 terhadap asma adalah

sebagai berikut :30

1. Merangsang proliferasi sel T yang teraktivasi.

2. Meningkatkan produksi imunoglobulin E

3. Mengatur rantai ά pada reseptor FcεRII

4. Meningkatkan ekspresi IL-5, deferensiasi dan survival eosinofil

5. Merangsang proliferasi dan deferensiasi sel mast

6. Merangsang ekspresi kemokin CC pada epitel paru.

Page 17: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

17

2. Sitokin proinflamasi

Sitokin lain yang berperan dalam patogenesis asma adalah sitokin

proinflamasi yaitu TNF-α dan IL-1ß. Pengaruh TNF-ά diantaranya recruitment

leukosit melalui pengaturan molekul adhesi pada sel endotel vaskuler dan

merangsang sintesis sitokin dan kemokin. Sitokin TNF-ά juga bisa merangsang

sel mesenkim seperti fibroblas atau sel otot polos. Hal ini akan menyebabkan

airway remodelling. Inhalasi TNF-ά pada orang sehat menyebabkan peningkatan

hiperresponsivitas saluran napas dan jumlah neutrofil sputum.31`

Bukti menunjukkan bahwa TNF-ά merupakan elemen penting dalam

menentukan derajat keparahan asma. Sampel sputum dan biopsi dari pasien

asma berat menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil. Salah satu perangsang

utama dalam recruitmen neutrofil adalah pajanan endotoksin. Keparahan gejala

asma berhubungan dengan endotoksin dalam debu rumah dibanding alergen.

Penelitian pada hewan menunjukkan efek yang dimediasi endotoksin terjadi

karena terlepasnya TNF-ά endogen.32 Serangan asma akut juga dipengaruhi

oleh jumlah TNF-ά. Penelitian terhadap cairan BAL pasien asma terpasang

ventilator karena asma berat terdapat peningkatan kadar neutrofil dan sitokin

pro-inflamasi seperti TNF-ά.33

Sitokin GM-CSF merupakan salah satu colony stimulating factor (CSF)

yang bekerja dalam mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan aktivasi sel

hematopoetik termasuk sel inflamasi seperti eosinofil dan neutrofil. Sitokin GM-

CSF dihasilkan oleh beberapa sel saluran napas yaitu makrofag, eosinofil, sel T,

fibroblas, sel epitel, sel endotel dan sel otot polos saluran napas. Sitokin tersebut

juga bisa memperlama daya tahan hidup sel eosinofil. Sitokin GM-CSF dapat

merangsang pelepasan anion superoksid dan cys-LTs dari eosinofil. Sitokin GM-

CSF dapat merangsang sintesis dan pelepasan beberapa sitokin lain termasuk

IL-1 dan TNF-ά dari monosit. Ekspresi gen GM-CSF pada epitel tikus dengan

menggunakan vektor adenovirus menyebabkan akumulasi eosinofil dan

makrofag yang berhubungan dengan fibrosis yang irreversibel. Hal ini

Page 18: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

18

menunjukkan bahwa GM-CSF mengakibatkan eosinofilia kronis dan airway

remodeling pada asma.34

Imunomodulatory cytokine

Inflamasi saluran napas tidak hanya dirangsang oleh peningkatan

ekspresi sitokin Th2 tetapi juga oleh penurunan ekspresi sitokin yang

berlawanan. Immunomodulatory cytokines penting yang terlibat adalah IL-12,

IL-18, interferon gamma (IFN-γ) dan IL-10.1

Interleukin -12, interleuikin-18 dan interferon gamma

Ekspresi IL-12 menunjukkan penurunan pada biopsi bronkus pasien

asma. Interleukin-12 dihasilkan oleh antigen-precenting cells (APC) yang

berperan penting dalam differensiasi Th1/Th2 selama presentasi antigen primer.

Sel APC utama yang terlibat dalam proses sensitisasi aeroalergen adalah sel

dendrit di epitel saluran napas. Sel dendrit menunjukkan uptake antigen yang

tinggi tetapi mempunyai kapasitas yang rendah sebagai APC. Penelitian pada

binatang menunjukkan bahwa pemberian IL-12 selama proses sensitisasi primer

akan menekan perkembangan Th2 yang diinduksi alergen. Interleukin-5

merangsang produksi IFN-γ dan menurunkan produksi IL-5 akibat pelepasan

IL-10.35

Interleukin-12 dan IL-18 mempunyai kerja yang sinergis. Interleukin-18

disekresi oleh makrofag dan dikatakan sebaagai IFN-γ releasing factor. Tidak

adanya IL-18 meningkatkan eosinofilia yang diinduksi oleh antigen. Interleukin-

12 dan IL-18 bekerja sinergis dalam merangsang IFN-γ dan menghambat

sintesis IgE yang tergantung IL-4. Hal tersebut akan menghambat

hiperresponsivitas saluran napas yang dinduksi alergen.36

Interleukin-10

Interleukin-10 merupakan sitokin yang mempunyai potensi untuk

menurunkan proses inflamasi yang diatur oleh Th1 maupun Th2. Interleukin-10

juga mempunyai efek yang menguntungkan dalam airway remodelling. Sitokin

Page 19: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

19

IL-10 menurunkan sintesis kolagen tipe I dan proliferasi otot polos vaskuler.37

Efek IL-10 terhadap respons saluran napas masih kontradiksi.13 Satu penelitian

menunjukkan bahwa IL-10 menurunkan respons saluran napas,34 tetapi

penelitian lain mendapatkan bahwa IL-10 menaikkan respons saluran napas

yang dinduksi alergen meskipun terdapat penurunan recruitment eosinofil.39

Dari keterangan terebut di atas dapat disimpulkan bahwa kejadian asma

tidak hanya dipengaruhi oleh peningkatan sitokin Th2 tapi juga oleh penurunan

immunomodulatory cytokine.13 Untuk lebih jelasnya peran sitokin dalam

patogenesis asma dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Sitokin yang terlibat dalam patogenesis asma

Dikutip dari 13

3. Growth factor

Asma kronik berhubungan dengan airway remodeling dengan terjadi

fibrosis (terutama dibawah epitel), penebalan lapisan otot polos saluran napas,

peningkatan jumlah mucus-secreting cell dan angiogenesis. Perubahan ini

sebagai akibat growth factor yang disekresikan oleh sel inflamasi dan sel saluran

napas.35 Growth factor yang berperan yaitu platelet-derived growth factor (PDGF)

dan trasnsforming growth factor (TGF)-β.

Platelet-derived growth factor

Platelet-erived growth factor dilepaskan dari beberapa sel di saluran

napas. Sumber PDGF antara lain platelet, makrofag, sel endotel, fibroblas, sel

Page 20: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

20

epitel saluran napas dan sel otot polos vaskuler. Beberapa rangsangan seperti

IFN-γ dari makrofag alveoli, hipoksia, basic fibroblast growth factor (bFGF), stres

mekanik sel endotel, TNFά, IL-1 dan TGF-β fibroblas dapat merangsang

pelepasan PDGF. Jumlah reseptor PDGF diatur oleh TGF-β yang dapat

meningkatkan ekspresi resptor PDGF kulit manusia. Platelet-derived growth

factor mengaktivasi fibroblas untuk berproliferasi dan mensekresi kolagen pada

otot saluran napas. Kemampuannya mengekspresikan TGF-β dapat

meningkatkan peran eosinofil dalam remodeling jalan napas.34

Transforming growth factor-β

Makrofag paru menyimpan banyak TGF-β selama proses inflamasi.

Fibroblas paru merupakan sumber TGF-β. Sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil

dan sel otot polos dpat mensekresikan TGF-β. Sitokin TGF-β berada di epitel

saluran napas bawah normal. Sitokin TGF-β terdiri dari famili growth-modulating

cytokine yang dapat berperan penting dalam pembentukan protein matriks.

Sitokin TGF-β dapat merangsang maupun menghalangi proliferasi fibroblas,

tergantung interaksinya dengan sitokin lain. Sitokin TGF-β merangsang

transkripsi fibronektin yang dapat berfungsi sebagai agen kemotaktik dan growth

factor pada fibroblas manusia.34

Sitokin TGF-β juga terlibat dalam perbaikan epitel saluran napas yang

mengalami kerusakan, TGF-β merupakan perangsang utama dalam diferensiasi

sel epitel normal. Sitokin TGF-β merupakan sitokin profibrotik utama dalam

merangsang fibrosis untuk meningkatkan sintesis dan sekresi matriks

ekstraseluler. Sitokin TGF-β juga merupakan kemoatraktan penting beberapa sel

seperti monosit, fibroblas dan sel mast. 34 Sitokin TGF-β mengaktivasi monosit

untuk memproduksi sitokin lain seperti TNF-ά, TGFά dan PDGF-B dan IL-1.

Sitokin TGF-β mempunyai cara kerja kompleks pada sistem imun. Sitokin

TGF-β1 menghambat sel T dan B. Sitokin TGF-β menghambat proliferasi IL-1-

dependent lympocyte, menghalangi perangsangan resptor IL-2 di sel T yang

dimediasi IL-2, menghambat proliferasi sel otot polos saluran napas.34

Page 21: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

21

Secara garis besar pengaruh sitokin terhadap patogenesis asma dapat

dilihat pada keterangan di bawah :13

Limfokin Pengaruh

*IL-2 Eosinofilia pada invivo

Perkembangan dan diferensiasi sel T

*IL-3 Eosinofilia pada invivo

Faktor hemopoetik yang penting

*IL-4 Meningkatkan perkembangan eosinofil

Menaikkan sel Th2, menurunkan sel Th1

Menaikkan IgE

*IL-5 Maturasi eosinofil

Menurunkan apoptosis eosinofil

Hiperreaktivitas bronkus meningkat

*IL-13 Mengativasi eosinofil

Menurunkan apoptosis eosinofil

Menaikkan IgE

*IL-15 Seperti IL-2

*IL-16 Migrasi eosinofil

Growth factor dan kemotaksis sel T (CD4)

Sitokin proinflamasi

*IL-1 Meningkatkan adesi pada endotel vaskuler, akumulasi eosinofil invivo

Growth factor untuk sel Th2

Growth factor sel B, kemoatraktan netrofil, aktivasi sel T dan epitel

Hiperrektivitas bronkus meningkat

*TNF-ά Mengaktivasi epitel, endotel, APC, monosit / makrofag

Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus

*IL-6 Growth factor sel T

Growth factor sel B

Meningkatkan IgE

Page 22: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

22

*IL-11 Growth factor sel B

Mengaktivasi fibroblas

Meningkatkan hipereaktivitas bronkus

*GM-CSF Mengaktifkan dan menurunkan apoptosis eosinofil

Merangsang pelepasan leukotrien

Maturasi dan diferensiasi sel hematopoetik, migrasi endotel

Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus

*SCF Meningkatkan VCAM-1 pada eosinofil

Growth factor sel mast

Sitokin inhibisi

*IL-10 Menurunkan survival eosinofil

Menurunkan sel Th2

Menurunkan aktivasi makrofag/monosit, menaikkan sel B

Menaikkan pertumbuhan sel mast

Menurunkan hiperreaktivitas bronkus

*IL-Ira Menurunkan proliferasi sel Th2

Menurunkan hiperreaktivitas bronkus

*IFN-γ Menurunkan influk eosinofil

Menurunkan sel Th2

Mengaktivasi sel endotel, sel epitel, makrofag / monosit alveoli

Menurunan IgE

Menurunkan hiperreaktivitas bronkus

*IL-18 Melepaskan IFN-γ dari sel Th1

Mengaktivasi sel natural killer (NK) dan monosit

Menurunkan IgE

Growth factor

*PDGF Proliferasi fibroblas dan otot polos saluran napas

Melepaskan kolagen

*TGF-β Menurunkan proliferasi sel T, menghalangi efek IL-2

Page 23: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

23

Proliferasi fibroblas

Kemoaktraktan monosit, fibroblas dan sel mast

Menurunkan proliferasi otot polos saluran napas

4. Kemokin Kemokin merupakan sitokin kemotaksis yang berperan dalam menarik sel

inflamasi ke jaringan. Recruitment sel inflamasi ke dalam mukosa saluran napas

memerlukan kerjasama dengan aktivitas imunoregulasi sel Th2, ekspresi molekul

adhesi pada endotel vaskuler dan aktivitas kemokin. Berdasar jumlah dan letak

sistein dalam urutan asam amino, kemokin dikategorikan sebagai C, CC, CCX

atau CX3C. Kemokin CXC atau kemokin-ά berfungsi menarik neutrofil sehingga

berhubungan dengan proses inflamasi akut. Saat ini yang menjadi perhatian

dalam proses inflamasi alergi terfokus pada kemokin CC atau kemokin-β.

Kemokin tersebut mempunyai aktifitas kemotaktik terhadap eosinofil, sel dendrit,

limfosit T, basofil dan monosit. Beberapa kemokin CC melekat pada reseptor

CCR3, seperti RANTES, MCP-3, MCP-4 dan ligan spesifik CCR3 yaitu eotaksin.

Pelepasan eotaksin berhubungan dengan derajat hiperresponsivitas bronkus.

Blokade reseptor CCR3 menggunakan antibodi monoklonal atau modifikasi

protein RANTES seperti Met-RANTES atau AOP-RANTES terbukti efektif pada

percobaan binatang.13

KESIMPULAN

1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

banyak sel dan elemennya.

2. Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen

sehingga merangsang inflamasi yang dimediasi IgE.

3. Asma dan rinitis alergi mendukung konsep ”one airway one disease”.

4. Terdapat persamaan dan perbedaan mukosa hidung dan bronkus dalam

patogenesis asma dan rinitis alergi.

Page 24: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma pedoman, diagnosis dan penatalaksaan di

Indonesia. Jakarta : Balai penerbit UI, 2003.

2. Boushey HA, Corry DB, Fahy JV. Asthma. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA,

editors. Textbooks of respiratory medicine. 4th, ed. Philadelphia:WB Saunders company :

2005.p.1169 -201.

3. Bousquet J, Khaltaev K, Cruz. A, Denburg, Fokkens W, Togias A, et al. Allergic Rhinitis and

its Impact on Asthma (ARIA). Allergy 2008; 63: 8–160.

4. Demoly P, Bousquet. J. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced. Allergy

2008; 63: 251–4.

5. Downie SR, Andersson M, Rimmer J, Leuppi JD, Xuan W, Akerlund A, et al. Association

between nasal and bronchial symptoms in subjects with persistent allergic rhinitis. Allergy

2004; 59: 320–6.

6. Price D, Zhang Q, Kocevar VS, Yin DD, Thomas M. Effect of a concomitant diagnosis of

allergic rhinitis on asthma related health care use by adults. Clin Exp Allergy 2005; 35: 282–

7.

7. Alan R, David M, Jeffrey MD, Klause FR, Stephen PP, Robert MN, et al. Immunobiology of

Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care

Med 1999: 160: 1778–87.

8. Riccioni G, Della Vecchia R, Castronuovo M, Di Pietro V, Spoltore R, De Benedictis M, et al.

Bronchial hyperresponsiveness in adults with seasonal and perennial rhinitis: is there a link

for asthma and rhinitis? Int J Immunopathol Pharmacol 2002; 15: 69-74.

9. Sohn SW, Lee HS, Park HW, Chang YS, Kim YK, Cho SH, et al. Evaluation of cytokine

mRNA in induced sputum from patients with allergic rhinitis: relationship to airway

hyperresponsivenes. Allergy 2008; 63: 268–73.

10. Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ 1989; 299: 1259–60.

11. Alfven T, Braun-Fahrlander C, Brunekreef B, von Mutius E, Riedler J, Scheynius A, et al.

Allergic diseases and atopic sensitization in children related to farming and anthroposophic

lifestyle – the PARSIFAL study. Allergy 2006; 61: 414–21.

12. Peter H. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment. BMJ

1998; 316: 758-61.

13. Kips J. Cytokines in asthma. Eur Respir J 2001; 18: 24–33.

14. Busse WW, Lemanske RF. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62.

15. Karnen GB. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI, 2006.

16. Shaver JR, O’Connor J, Pollice M, Cho SK, Kane GC, Fish JE. Pulmonary inflammation after

segmental ragweed challenge in allergic asthmatic and nonasthmatic subjects Am J Respir

Crit Care Med 1995; 152: 1189–97.

Page 25: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

25

17. Jay WH. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of asthma. J Clinic Invest

2000; 105: 1331-2.

18. Millos F, Snezana C. The role of eosinophil in asthma. Medicine and biology 2001; 8: 6-10.

19. Iliopoulos O, Proud J F, Adkinson PS, Norman A, Kagey-Sobotka LM, Naclerio RM.

Relationship between the early, late and rechallenge reaction to nasal challenge with antigen:

observations on the role of inflammatory mediators and cells. J Allergy Clin Immunol 1999;

86: 851–61.

20. Kroegel C, Virchow JC, Luttmann W, Walker C, Warner JA. Pulmonary immune cells in

health and disease: the eosinophil leukocyte. Eur Respir J 1998; 7: 519–43.

21. Shaver JR., Zangrilli JG, Cho SK, Cirelli RA, Pollice M, Hastie J et al. Kinetics of the

development and recovery of the lung from IgE-mediated inflammation: dissociation of

pulmonary eosinophilia, lung injury, and eosinophil-active cytokines. Am J Respir Crit Care

Med 1997; 155: 442–8.

22. Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med

2003; 167: 199-204.

23. John M S, Hirst J, Jose PJ, Robichaud A, Berkman N, Witt C, Twort HC et al. Human

airwaysmooth muscle cells express and release RANTES in response to Thelper 1 cytokines:

regulation by T helper 2 cytokines and corticosteroids..J Immunol 1999; 158:1841–7.

24. John WS, Larry B. Th2 cytokines and asthma — Interleukin-4: its role in the pathogenesis of

asthma, and targeting it for asthma treatment with interleukin-4 receptor antagonists.

Respiratory Research 2001; 2: 66-70.

25. Moser R, Fehr J, Bruijnzeel PL. IL-4 controls the selective endothelium driven transmigration

of eosinophils from allergic individuals. J Immunol 1992 ;149: 1432-8.

26. Hoontrakoon R, Kailey J, Bratton D. IL-4 and TNF-α synergize to enhance eosinophil survival

J Allergy Clin Immunol 1999;103: 239-41.

27. Seder RA, Paul WE, Davis MM, Fazekas GB. The presence of interleukin 4 during in vitro

priming determines the lymphokine-producing potential of CD4+ T cells from T cell receptor

transgenic mice. J Exp Med 1992; 176:1091-8.

28. Scott G, Shelby PU, Francis MC, Richard WC, Robert WE. Th2 cytokines and asthma — The

role of interleukin-5 in allergic eosinophilic disease. Respir Res 2001; 2(2): 71–9.

29. Humbert M, Durham SR, Kimmitt P, et al. Elevated expression of messenger ribonucleic acid

encoding IL-13 in the bronchial mucosa of atopic and nonatopic subjects with asthma. J

Allergy Clin Immunol 1997; 99: 657–65.

30. Yuhong Z, Michael M, Roy CL. Th2 cytokines and asthmaInterleukin-9 as therapeutic target

for asthma. Respir Res 2001;2:80–4

Page 26: MEKANISME SELULER DALAM PATOGENESIS ASMA DAN RINITIS_OK.pdf

26

31. Amrani Y, Panettieri RA Jr, Frossard N, Bronner C. Activation of the TNF Alpha-P55 receptor

induces myocyte proliferation and modulates agonist-evoked calcium transients in cultured

human tracheal smoothmuscle cells. Am J Respir Cell Mol Biol 1996; 15: 55–63.

32. Jatakanon A, Uasuf C, Maziak W, Lim S, Chung KF, Barnes PJ. Neutrophilic inflammation in

severe persistent asthma. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160: 1532–9.

33. Tillie-Leblond I, Pugin J, Marquette CH. Balance between proinflammatory cytokines and

their inhibitors in bronchial lavage from patients with status asthmaticus. Am J Respir Crit

Care Med 1999; 159: 487–94.

34. Peter JB, Fan CK, Clive PP. Inflammatory mediators of asthma: An update. The American

society for pharmacology and experimental therapeutics 1999; 50: 515-96

35. Kips JC, Brusselle GJ, Joos GF. Interleukin-12 inhibits antigen-induced airway hyper-

responsiveness in mice. Am J Respir Crit Care Med 1996; 153: 535–9.

36. Kodama T, Matsuyama T, Kuribayashi K. IL-18 deficiency selectively enhances allergen-

induced eosinophilia in mice. J Allergy Clin Immunol 2000; 105: 45–53.

37. Koulis A, Robinson DS. The anti-inflammatory effects of interleukin-10 in allergic disease.

Clin Exp Allergy 2000; 30: 747–50.

38. Tournoy KG, Kips JC, Pauwels RA. Endogenous interleukin-10 suppresses allergen-induced

airway inflammation and nonspecific airway responsiveness. Clin Exp Allergy 2000; 30: 775–

83.

39. Scott MR, Justice JP, Bradfield JF, Enright E, Sigounas A, Sur S. IL-10 reduces Th2 cytokine

production and eosinophilia but augments airwayreactivity in allergic mice. Am J Physiol Lung

Cell Mol Physiol 2000; 278: 667–74.