Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

7
68 Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas Online Brand dalam Membangun Brand Love Volume V Nomor 1 April 2017 ISSN 2301-9816 JURNAL KOMUNIKASI INDONESIA Rakhmania Anindhita Pithaloka Abstrak/Abstract Kata kunci/Keywords: Brand Love merupakan salah satu konstruk baru dalam pemasaran untuk mengukur hubungan emosional antara brand dan konsumen. Brand love didasarkan pada dugaan bahwa brand memiliki karakter manusia dan konsumen memiliki perasaan emosional terhadap brand. Penelitian mengenai brand love umumnya mengunakan pendekatan hubungan in- terpersonal dimana peranan identitas dan identifikasi menjadi penting. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bah- wa komunikasi pemasaran dalam komunitas online brand melalui variable social interactive engagement berpengaruh terhadap brand Love, yang termediasi oleh social identity. Penelitian dilakukan melalui metode survei terhadap sample yang dikumpulkan secara purposive terhadap anggota komunitas online brand berusia 20-44 tahun dan bekerja di area Sudirman-SCBD Jakarta. Hipotesis kemudian diuji menggunakan Partial Least Square Structural Equation Modeling. Pe- nelitian menemukan adanya hubungan positif antara interaktivitas anggota komunitas online terhadap Brand Love yang termediasi variabel identitas sosial dan. Penelitian ini memberikan sumbangsih bagi perkembangan teori Brand Love teru- tama pada indikator-indikatornya dan saran bagi marketer untuk memanfaatkan komunitas online sebagai bagian strategi integrated marketing communication. Brand Love is a new construction in marketing to measure emotional relationship between brand and consumers. Brand love was founded based on an assumption that brand keeps human characters and consumers develop an emotional feeling toward brand. Research about brand love generally uses interpersonal relationship approach, where the role of identity and identification matters. The research aims to prove marketing communication in the virtual brand community using variable social interactive engagement impacts on Brand Love which is mediated by social identity. The research uses survey as a method with samples collected on purpose among virtual brand community members aged 20-44 and working in Sudirman-SCBD Jakarta. The hypothesis is tested by using Partial Least Square Structural Equation Modeling. This research finds a positive correlation between interactivity of the online community and Brand Love which is mediated by social identity. This research contributes to theoretical development of Brand Love particularly on indicators and suggests marketers to utilize online community as a part of integrated marketing commu- nication strategy. Merek, Brand Love; Virtual Brand Community; Social Interactive Engagement; identitas sosial Brand, brand love; Virtual Brand Community; social interactive engagement, social identity Pascasarjana Manajemen Komunikasi UI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kampus UI Salemba 16424 [email protected] Pendahuluan Studi mengenai kecintaan konsumen terhadap merek relatif baru dan hanya ada beberapa ar- tikel mengenai brand love dibanding studi men- genai hubungan konsumen-brand secara umum (Bergkvist & Bech-Larsen, 2010). Studi awal mengenai hubungan merek dengan konsumen diawali oleh Belk (1988) mengenai kepemilikan dan extended self. Sedangkan salah satu studi paling terkenal dari brand love adalah Carroll & Ahuvia (2006) yang merumuskan brand love se- bagai tingkatan keterikatan emosional yang pas- sionate yang dimiliki konsumen yang puas terha- dap salah satu merk. Brand love menjadi penting, karena ikatan emosional target konsumen dengan brand memi- liki dampak positif untuk pertumbuhan merek

Transcript of Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

Page 1: Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

68

Mediasi Identitas Sosial Konsumen di KomunitasOnline Brand dalam Membangun Brand Love

Volume VNomor 1

April 2017ISSN 2301-9816

JURNALKomUNIKASIINdoNeSIA

Rakhmania Anindhita Pithaloka

Abstrak/Abstract

Kata kunci/Keywords:

Brand Love merupakan salah satu konstruk baru dalam pemasaran untuk mengukur hubungan emosional antara brand dan konsumen. Brand love didasarkan pada dugaan bahwa brand memiliki karakter manusia dan konsumen memiliki perasaan emosional terhadap brand. Penelitian mengenai brand love umumnya mengunakan pendekatan hubungan in-terpersonal dimana peranan identitas dan identifikasi menjadi penting. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bah-wa komunikasi pemasaran dalam komunitas online brand melalui variable social interactive engagement berpengaruh terhadap brand Love, yang termediasi oleh social identity. Penelitian dilakukan melalui metode survei terhadap sample yang dikumpulkan secara purposive terhadap anggota komunitas online brand berusia 20-44 tahun dan bekerja di area Sudirman-SCBD Jakarta. Hipotesis kemudian diuji menggunakan Partial Least Square Structural Equation Modeling. Pe-nelitian menemukan adanya hubungan positif antara interaktivitas anggota komunitas online terhadap Brand Love yang termediasi variabel identitas sosial dan. Penelitian ini memberikan sumbangsih bagi perkembangan teori Brand Love teru-tama pada indikator-indikatornya dan saran bagi marketer untuk memanfaatkan komunitas online sebagai bagian strategi integrated marketing communication.

Brand Love is a new construction in marketing to measure emotional relationship between brand and consumers. Brand love was founded based on an assumption that brand keeps human characters and consumers develop an emotional feeling toward brand. Research about brand love generally uses interpersonal relationship approach, where the role of identity and identification matters. The research aims to prove marketing communication in the virtual brand community using variable social interactive engagement impacts on Brand Love which is mediated by social identity. The research uses survey as a method with samples collected on purpose among virtual brand community members aged 20-44 and working in Sudirman-SCBD Jakarta. The hypothesis is tested by using Partial Least Square Structural Equation Modeling. This research finds a positive correlation between interactivity of the online community and Brand Love which is mediated by social identity. This research contributes to theoretical development of Brand Love particularly on indicators and suggests marketers to utilize online community as a part of integrated marketing commu-nication strategy.

Merek, Brand Love; Virtual Brand Community; Social Interactive engagement; identitas sosial

Brand, brand love; Virtual Brand Community; social interactive engagement, social identity

Pascasarjana Manajemen Komunikasi UI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia, Kampus UI Salemba 16424

[email protected]

PendahuluanStudi mengenai kecintaan konsumen terhadap merek relatif baru dan hanya ada beberapa ar-tikel mengenai brand love dibanding studi men-genai hubungan konsumen-brand secara umum (Bergkvist & Bech-Larsen, 2010). Studi awal mengenai hubungan merek dengan konsumen diawali oleh Belk (1988) mengenai kepemilikan dan extended self. Sedangkan salah satu studi paling terkenal dari brand love adalah Carroll & Ahuvia (2006) yang merumuskan brand love se-bagai tingkatan keterikatan emosional yang pas-sionate yang dimiliki konsumen yang puas terha-dap salah satu merk.

Brand love menjadi penting, karena ikatan emosional target konsumen dengan brand memi-liki dampak positif untuk pertumbuhan merek

Page 2: Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

69

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

dari segi emosional maupun pembelian (Carroll dan Ahuvia, 2006; Batra, Ahuvia, Bagozzi, 2012)

Brand love bisa terjadi jika ada beberapa vari-abel anteseden yang mendukung. Hasil riset Carroll & Ahuvia (2006) menyimpulkan bahwa merek dengan manfaat hedonistic menimbulkan brand love yang lebih kuat, dan merek yang bisa menambah atau merefleksikan sosial dan individ-ual self dari konsumen juga bisa menimbulkan brand love yang lebih tinggi.

Identitas dan identifikasi menjadi sebuah syarat penting bagi terciptanya hubungan emosional an-tara brand dengan konsumen. Bhattacarya & Sen (2003) menyatakan bahwa identifikasi berkai-tan dengan kepuasan dari kebutuhan konsumen akan pendefinisian diri mereka. Sementara studi dari Bergkvist & Bech-Larsen (2010) membukti-kan bahwa identifikasi identitas konsumen den-gan identitas brand menjadi variabel anteseden untuk brand love.

Pemasaran kemudian menjadi cara bagi sebuah merek untuk menciptakan identifikasi tersebut dengan konsumen. Dengan adanya perkemban-gan teknologi munculah media-media baru (new media). Lievrouw & Livingstone (2002) memilih untuk mendefinisikan media baru terkait dengan keknologi komunikasi informasi dan asosiasinya terhadap konteks sosial, termasuk tiga elemen: artefak dan alat teknologi, aktivitas dan penggu-naan, dan pengaturan sosial dan organisasi yang terbentuk di seputar alat dan penggunaannya.

Salah satu fitur media baru yaitu komunitas online virtual menjadi sarana bagi merek untuk menciptakan keterhubungan dengan konsumen nya. Hal ini mengubah konsumen dari yang han-ya partisipan pasif di pemasaran menjadi pencip-ta dan pengaruh aktif (Kozinets et al, 2008). Salah satu hal yang dimungkinkan bagi merek dengan adanya media sosial adalah adanya komunitas brand virtual. Komunitas brand virtual adalah serangkaian struktur dari hubungan sosial mer-ek dengan konsumen yang diartikulasikan secara online (Muniz dan O’Guinn, 2001).

Studi Vernuccio, Pagani & Pastore (2015) men-emukan bahwa brand love dalam komunitas yang berbasis jaringan online bisa terjadi jika ada social interactive engagement yang membentuk identitas sosial dan kemudian mempengaruhi brand love. Dengan adanya kondisi-kondisi tersebut diatas, studi ini bermaksud untuk melihat apakah ada pengaruh dari interaksi konsumen di komunitas brand virtual dengan brand love, melalui peran-tara peranan identifikasi brand dengan identitas sosial konsumen.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah un-tuk melihat apakah social media brand mempen-garuhi hubungan emosional konsumen dan mer-ek, dalam hal ini adalah brand love. Hubungan tersebut terutama terkait dengan proses identi-fikasi antara identitas sosial konsumen dengan persepsi nya mengenai komunitas online brand tersebut.

Brand Love: Hubungan Interpersonal Konsumen dengan Brand

Beberapa peneliti berusaha melihat bahwa brand memiliki karakter seperti manusia (Aaker & Fournier, 1995; Maehle & Shneor, 2009) seh-ingga muncul beberapa dugaan bahwa konsumen mengembangkan hubungan emosional dengan brand.

Salah satu konsep mengenai hubungan emo-sional brand dengan konsumen yang menarik perhatian peneliti adalah brand love. Brand love merupakan salah satu konstruk marketing yang akhir-akhir ini menarik perhatian akademisi dan praktisi (Bergkvist, 2010). Brand love merupakan salah satu elemen penting dalam marketing, kare-na brand love bisa menimbulkan keinginan untuk brand re-purchase yang lebih tinggi, kemauan un-tuk membayar dengan harga lebih tinggi, positif dari mulut ke mulut, dan resistensi terhadap in-formasi negatif (Batra, Ahuvia & Bagozzi, 2011). Brand love menjadi penting dalam konteks mar-keting karena memiliki korelasi positif dengan brand loyalty dan word of mouth (Caroll & Ahu-via, 2006).

Ahuvia & Caroll (2006) mendefinisikan brand love sebagai tingkatan keterikatan emosion-al yang dimiliki konsumen yang puas terhadap suatu produk tertentu. Ada lima karakter yang mendeskripsikan brand love yaitu ketertarikan terhadap brand, keterikatan terhadap brand, evaluasi positif terhadap brand, emosi positif terhadap brand, dan pernyataan cinta terhadap brand tersebut.

Kerangka pemikiran mengenai brand Love umumnya berasal dari pendekatan-pendekatan sosial-psikologis terutama dari teori mengenai hubungan interpersonal. Dari paparan peneli-tan-penelitian yang mendasari brand Love dari kajian hubungan emosional konsumen dengan brand umumnya didasarkan pada dugaan bahwa kemungkinan konsumen mengatribusikan karak-ter kemanusiaan kedalam brand (Aaker, 1997; Fournier, 1998). Ketika brand memiliki karakter seperti manusia dan konsumen mengembangkan hubungan emosional dengan brand, maka harus dikaji pula perjalanan pendekatan-pendekatan dari sudut pandang interpersonal, terutama da-lam mengkaji hubungan.

Hubungan yang dianggap bisa mengembang-kan konsep mengenai eksistensial diri, juga men-dasari salah satu penelitian paling awal menge-nai hubungan emosional brand dengan konsumen yang dimulai oleh Belk (1998) dengan studinya mengenai kepemilikan dan extended self. Menurut Belk (1998: 139), kepemilkan adalah kontributor terbesar dan merupakan cerminan dari identitas kita. Belk juga menyimpulkan bahwa konstruk dari extended self melibatkan perilaku konsumen daripada hanya perilaku pembeli, sehingga pe-nelitian selanjutnya diperlukan untuk mengkaji hubungan antara konsep diri dengan pemilihan brand (Belk, 1998).

Page 3: Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

70

Rakhmania Anindhita Pithaloka, Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas Online Brand dalam Membangun Brand Love

Namun ketika mengembangkan konstruk brand love, definisi cinta disini sedikit berbeda dengan hubungan interpersonal. Dalam bahasa sehari-hari, orang sudah menerapkan kata-kata “cinta” untuk hubungan yang sangat penting atau perasaan yang sangat kuat, mungkin untuk skala 6 keatas dalam 7 skala brand love (Rauschnabel & Ahuvia, 2014). Dari sisi konsumen, misalkan, 3 atau 4 dalam skala brand love tidak menghasil-kan hubungan yang cukup intens untuk beberapa orang katakan sebagai cinta. Tapi skala 3 atau 4 menghasilkan peningkatan yang berarti untuk loyalty, WOM, dan resistensi terhadap informasi negatif (Batra et al, 2012). Dari segi perspektif managerial, konsumen tidak perlu memiliki cinta yang intens terhadap brand, mereka hanya perlu mencintai brand itu sedikit lebih dibandingkan kompetisi (Rauschnabel & Ahuvia, 2014).

Caroll & Ahuvia (2006) menggarisbawahi bahwa brand love termasuk kemauan untuk mendeklarasikan cinta (Brand seperti orang) dan melibatkan integrasi dari brand ke consum-er identity. Kecintaan konsumen terhadap brand akan semakin besar untuk brand yang memiliki peranan penting dalam membentuk identitas kon-sumen. Karena itu, self-expressive brand merupa-kan persepsi konsumen sampai ke titik dimana brand tertentu memperkaya social self dan/atau merefleksikan inner self dari seseorang (Caroll & Ahuvia, 2006).

Studi dari Batra, Ahuvia &Bagozzi (2012) merumuskan higher order dari model brand love. Mereka memulai penelitian mengenai dimensi brand love dengan menyatukan beberapa pene-litian mengenai brand love yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumya dengan perjala-nan teori umumnya terdiri dari (a) substitusi dari review literature mengenai interpersonal love un-tuk dasar penelitian eksplotarori mengenai brand love untuk meletakkan dasar yang kuat bagi pene-litian mendatang; (b) kegagalan untuk membeda-kan mengenai love emotion dan love yang jangka panjang dan hubungan yang lebih kompleks; (c) peniadaan penggunaan domain brand love terha-dap prototype yang sekarang sekarang digunakan untuk mengidentifikasikan dan mendefinisikan berbagai tipe dari cinta (Batra et al, 2011: 30).

Dari hasil penelitian mereka, urutan tertinggi dari brand love yang menyatukan anteseden, inti, dan konsekuensi brand love. Pada penelitian ini digunakan dimensi dari inti brand love yang disi-mpulkan terdiri dimensi passion-driven behavior (hasrat menggebu untuk mengunakan, kemauan untuk investasi, keterlibatan di masa lalu), self brand intergration (identitas diri yang diharap-kan, identitas diri sekarang, makna hidup, fre-quent thoughts), koneksi emosional yang positif (kecocokan dengan intuisi, keterikatan emosional, afeksi positif), hubungan jangka panjang, perpisa-han yang sudah diantisipasi, valensi sikap secara keseluruhan, kepastian.

Komunitas Online Brand dan Hubungan Kon-sumen dengan Brand: Social Interactive En-gagement

Menurut Calder et al (2009: 327), social inter-active engagement dimotivasi baik secara intrin-sik dan ekstrinsik, tapi dalam kasus ini, relevansi sosial dibanding dengan kualitas personal atau individual yang teraosiasiasi dengan pengala-man yang lebih luas dengan media. Dimensi yang dipergunakan oleh Calder et al (2009) inilah yang kemudian digunakan dalam penelitian Vernucio et al (2015) dengan indikator bersosialisasi di site, kontribusi dalam percakapan, tertarik dengan masukan dari anggota komunitas, salah satu ala-san menyukai site ini adalah karena anggotanya, site mengundang pengunjung untuk berkontribu-si, ingin bertemu dengan anggota lain yang sering berkontribusi, tertarik dengan hal yang sebelum-nya tidak tertarik karena anggota komunitas, site memberikan pengetahuan.

Terkait dengan komunitas online, kom-ponen kognitif bergantung pada kesadaran keang-gotaan seseorang dalam komunitas tersebut (self categorization) (Vernuccio, 2015: 708). Keanggota-an online juga menghasilkan perasaan keterli-batan emosional (komitmen afektif) dan konotasi nilai positif atau negatif (kepercayaan diri kolek-tif) (Vernuccio, 2015, hal. 708)

Pengalaman sosial di komunitas online memperkaya hubungan afektif antara brand-kon-sumen jika partisipasi dan aktivitas bersosialisasi memproduksi efek psikologis mengenai bagaima-na seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial (Dholakia et al, 2014).

H1: Dalam komunitas online brand, semakin kuat social interactive engagement semakin kuat pengaruh bagi identitas sosial

Peranan Identitas dalam Hubungan Konsumen dengan Brand, Kaitannya dengan Brand Love

Fournier (1998) kemudian mengembangkan penelitian untuk mengaplikasikan teori mengenai hubungan dalam penelitian mengenai konsumen. Fournier (1998: 345-346) menggunakan kajian terhadap teori hubungan dari pendekatan psy-cho-cultural, fenomena multipleks, dan perspektif dinamis untuk mendukung hipotesisnya dalam memperpanjang analogi partnership ke dalam domain brand. Konsumen cenderung mengang-gap identitas brand lebih menarik ketika brand sejalan dengan pandangan diri mereka karena identitas itu memungkinkan mereka untuk mem-pertahankan dan mengekspresikan pandangan diri mereka secara utuh dan autentik (Bhattacha-rya & Sen, 2003).

Bhattacarya & Sen (2003) menyatakan bahwa identifikasi berkaitan dengan kepuasan dari kebutuhan konsumen akan pendefinisian diri mereka. Lebih jauh lagi karena konsumen memiliki kebutuhan untuk self-consistency dan self-esteem, brand yang mampu untuk memantap-kan high self congruity tidak hanya memperkaya

Page 4: Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

71

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

identifikasi konsumen-brand, tapi juga sikap posi-tif terhadap brand (Hamilton & Xiaolan, 2005).

Self-concept, self-consistency dan self continuity saling terkait. Brand akan dianggap menarik jika bisa membantu orang untuk mengekspresikan dirinya, dan ketika orang mengidentifikasikan dirinya dengan brand (Belk, 1988). Aaker (1999) beranggapan bahwa brand digunakan untuk mengekspresikan diri dan merefleksikan konsep diri.

Mc Ewen (2005) melihat bahwa konsumen cenderung untuk membuat hubungan yang kuat dengan brand karena mereka mengekspresikan dan memperkaya identitas seseorang, yang me-mainkan peranan penting dalam kehidupan ses-eorang. Bahkan jika hubungan ini tidak inter-personal, brands bisa mengambil peran sebagai “yang lain” yang konsumen identifikasikan, ter-utama jika konsumen menganimasikan, meng-humanisasi, dan entah bagaimana memperson-alisasikan brand (Fournier, 1998: 346). Persepsi mengenai brand dan entitas sosial memfasilita-si identifikasi konsumen dengan brand (Scott & Lane, 2000). Identifikasi disini adalah identifikasi dengan obyek yang memiliki makna, yang terkait dengan individu, fungsi sebagai pseudo person, se-mentara konsumen mempersepsikan makna dan karakteristiknya sendiri.

Del Rio et al (2001) membedakan antara fungsi identifikasi personal dan identifikasi social dari brand. Identifikasi personal berarti konsumen bisa mengidentifikasi dengan brand tertentu dan mengembangkan perasaan affinity dengan brand, dimana identifikasi social mengacu ke kemam-puan brand untuk memanifestasikan hasrat un-tuk mengintegrasikan dengan atau memisahkan dari kelompok atau individu yang membentuk lingkungan social terdekat mereka (Del Rio et al. 2001: 412).

Pemikiran anthropomorphic membuat hubun-gan brand dan konsumen lebih kuat yang mem-buat integrasi yang lebih kuat dari brand kedalam identitas konsumen, atau disebut self congruence (Rauschnabel & Ahuvia, 2014). Meskipun peneli-tian-penelitian sebelumnya sudah menunjukkan bahwa self-congruence membuat orang lebih ter-ikat dengan brand, anthropomorphism membuat hubungan antara konsumen dengan brand men-jadi lebih seperti hubungan interpersonal.

H2: Dalam komunitas online brand, semakin

kuat identitas social, semakin kuat pengaruhnya bagi Brand Love

H3: Dalam komunitas online brand, identitas social memediasi hubungan antara social interac-tive engagement dan Brand Love.

Metode PenelitianRiset mengenai brand love, sebagaimana riset

marketing lainnya, menggunakan pendekatan kuantitatif (Carroll & Ahuvia, 2006; Batra et al, 2012; Vernuccio et al, 2012). Metode survei di-gunakan untuk menguji model yang diajukan.

Pengumpulan data dilakukan melalui online self administered. Karena kerangka sampel ti-dak diketahui, maka sample dilakukan melalui pendekatan non-probabiltas dengan metode pur-posif. Metode sampling ini juga dilakukan di riset sebelumnya mengenai brand love (Batra et al, 2012; Vernuccio, 2015)

Karena penelitian bertujuan melihat pengaruh komunitas online brand terhadap brand love, maka kriteria utama populasi adalah menjadi an-ggota dari komunitas virtual brand. Berdasarkan Nielsen Media Index Month 2 (2014), 55% peng-guna media sosial (Facebook) terkonsentrasi di Jakarta. Sebanyak 2% dari pengguna ada di usia 20-40, 36% di usia 15-19. Usia 15-19 dianggap ma-sih terlalu muda untuk riset ini. Vernuccio et al (2015) juga memulai populasi penelitian diatas 18 tahun. Jadi dianggap usia 20-40 tahun lebih cocok untuk populasi penelitian ini. Populasi dari riset ini adalah siapapun menjadi anggota komunitas brand virtual mengikuti akun brand di Facebook/Instagram/Twitter/forum), tinggal di Jakarta, usia 20-40.

Kemudian target populasi dipertajam menjadi pekerja di daerah perkantoran Jalan Surdiman, usia 20-4 tahun, dengan mempertimbangkan ke-mampuan interaksi dengan brand melalui daya beli mereka. Total sebanyak 126 sampel yang siap untuk diproses. Jumlah sampel ini cukup untuk pendekatan non probabilitas. Responden kemudi-an ditanyakan apakah mereka mengikuti komu-nitas online brand (Facebook/Instagram/Forum/Website) dan diharapkan untuk menyebutkan nama dari brand. Setelah itu, semua pertanyaan dari kuesioner akan mengacu kepada brand terse-but.Tabel 1. Kategori brand

Tabel 2. Nama brands yang disebut

Category Persentase

Pakaian / fashion 33.3%Kecantikan 25.2%Teknologi 15.4%makanan 10.6%Travel dan fotografi 5.7%Lainnya 9.8%

Kategori Frekuensi

Pakaian / fashion Nike (9), Zalora (3), Hijup (3), Cottonink (2), LifeBehindBars (2)Kecantikan Wardah (5), Sephora (2), NYX (2), Oriflame(2),SKII(4), Sociolla (2), Dove (2), Garnier (2)Teknologi Samsung(9),Makanan Starbucks (6), Burger King (2), CarlsJr (2), McD (2)Traveldanfotografi Fujifilm(2),GarudaIndonesia(2)Lainnya Honda (1), Lazada (1), Peugeot(1),BNI(1)

Page 5: Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

72

Rakhmania Anindhita Pithaloka, Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas Online Brand dalam Membangun Brand Love

Sementara demografi sampel penelitian adalah sebagai berikut. Sebanyak 64,2% responden ada-lah wanita dan 35,8% laki-laki. Dari sisi usia, re-sponden berusia, 20-25 tahun sebanyak 25%, 25-29 sebanyak 41.1%, 30-34 sebanyak 19.4%, dan usia 35-40 sebanyak 14.5%. Dari sisi pendapatan, responden dengan pendapatan Rp 1-5 Juta se-banyak 36.9%, Rp 5-9 Juta sebanyak 32%, dan diatas 9 Juta sebanyak 31.1%. Untuk Pendidikan, responden dengan pendidikan terakhir SMA se-banyak 12.2%, Sarjana 78%, Pascasarjana 9.8%. Sementara untuk keanggotaan komunitas, se-banyak 39.7% responden sudah menjadi anggota komunitas selama 1-2 tahun, 27,6% selama 2-3 tahun, 6,9% selama 3-5 tahun, dan 5.2% selama 5 tahun.

Penelitian diukur dengan meng-gunalan skala interval ( Likert dengan 7 titik), mengacu pada studi brand love dari Batra et al (2012) dan komunitas brand virtual dari Ver-nuccio et al (2015). Brand love sebagaimana kon-struk psikologi, diukur dengan skala umumnya 1-7 (Rauschnabel et al, 2013). Semua variabel di-ukur dengan skala 1=sangat tidak setuju sampai 7=sangat setuju.

Hasil PenelitianPada tahap pertama, data diproses dengan

menggunakan software SPSS 23 untuk mengukur reliabilitas dengan menggunakan Cronbach’s Alpha dan validitas melalui Exploratori Factor Analysis terhadap 30 sample sebagai pretest. Re-liabilitas diuji dengan Cronbach’s Alpha dengan skala 0.00-1.00. Variabel akan dinyatakan relia-bel jika Cronbach’s Alpha > 0.5. Semua variable di riset ini memiliki Cronbach’s Alpha >0.5 berkisar antara 0.801-0.988 yang berarti semua variabel dinyatakan reliable dan konsisten internal (All Variables: 0,990; Social Interactive Engagement: 0,910; Social Identity: 0,801; Brand Love: 0.988).

Validitas diukur dengan Factor Analysis den-gan pengukuran Keiser-Meyer Olkin Measure of Sampling Adequacy dan Berlett’s Test of Spherici-ty. Jika KMO > 0.5 dan BTS < 0.05 maka variabel dinyatakan valid. Hampir semua variabel valid, kecuali variabel brand love yang mengalami Non Positive Defi nite.

Table 4. Hasil Analisis Faktor Kmo and BTS

Tabel 3. operasionalisasi Konsep

Page 6: Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

73

Jurnal Komunikasi Indonesia Volume VI, Nomor 1, April 2017

Variabel brand love mengalami kasus Non Posi-tive Defi nite yang disebabkan adanya linear de-pendencies, yaitu dua atau lebih variable sangat

berhubungan satu sama lain. Karena itu, peneliti melihat lagi angka korelasi antar indikator, dan mensortir angka korelasi antar indikator yang lebih dari 0.8 dan mengeliminasi indikator-ind-

ikator yang saling berhubungan.Peneliti juga menilai pertanyaan kuesioner

yang diturunkan dari pertanyaan orisinil yang dikembangkan oleh Bagozzi, Batra, & Ahuvia (2014). Setelah melakukan perbaikan dengan mengeliminasi 40 pertanyaan-pertanyaan indika-tor yang mirip dan memiliki linear dependencies, faktor analysis diulangi lagi dan menghasilkan angka KMO 0.630 sehingga dinyatakan valid. Setelah melakukan perbaikan terhadap variabel brand love, semua variabel dalam penelitian ini dinyatakan valid.

Di fase kedua, digunakan Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS SEM) un-tuk menguji model. SEM memiliki keunggulan dibanding korelasi, regresi, dan uji rata-rata (Lowry & Gaskin, 2014). Korelasi, regresi, dan uji rata-rata terkadang membatasi kemampuan model terutama di hubungan kausal atau kom-pleks, salah satu keuntungan utama SEM ada-lah kemampuannya untuk memasukkan variable tidak teramati (laten) di model kausal (Lowry & Gaskin, 2014).

Ada dua jenis SEM, Covariance Based (CB) dan Partial Least Square (PLS). PLS SEM digunakan ketika variabel lebih dari 40-50 dan ukuran sam-ple cukup kecil (Lowry & Gaskin, 2014). Karena riset ini menggunakan lebih dari 50 variabel, dan ukuran sample 126, maka PLS SEM lebih dipilih dibanding CB SEM.

1 Outer Model Pada pengukuran outer validity, diukur dengan

convergent validity terhadap masing-masing vari-abel. Pada variabel brand love, salah satu indika-tor self brand integration memiliki nilai 0.408 < 0.5 sehingga harus dieliminasi dari analisis.Kri-teria kedua untuk outer validity adalah dengan membandingkan akar dari Average Variance Ex-tracted (akar AVE) untuk setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk lainn-ya dalam model. Model mempunyai discriminant validity yang cukup jika akar AVE > korelasi an-tar konstruk. Semua variable dalam penelitian ini ternyata memiliki nilai akar AVE > korelasi antar konstruk.

Kemudian dilakukan uji reliabilitas konstruk dengan kriteria Cronbach’s Alpha dan Compos-ite Reliability. Variabel dinyatakan reliable jika

Cronbach’s Alpha > 0.5. Semua variabel dalam penelitian ini memiliki nilai Cronbach’s Alpha > 0.5 sehingga dinyatakan reliabel.

2 Inner Model (Model Struktural)Inner model dijalankan untuk melihat me-

nilai hubungan dan signifi kansi pengaruh mas-ing-masing variabel.

Gambar 1.model Pengaruh Social Interactive engagement terhadap

Brand Love lewat mediasi Identitas Sosial

Korelasi dinyatakan positif dengan melihat nilai positif koefi sien jalur, dan signifi kansi bila Nilai P <0,05 atau statistik T> 1,96. Dalam model efek langsung, baik penciptaan nilai dan keterli-batan interaktif sosial memiliki pengaruh positif di 0.687dan signifi kan di 0.000 terhadap Social Identity. Identitas Sosial juga Memiliki dampak positif Brand Love (0,562) dan signifi kan pada 0,000. Dalam pengaruh tidak langsung (dimedi-asi), Interaktif Sosial positif pada 0,386, dan sig-nifi kan di nilai P 0,000> 0,05.

DiskusiTujuan penelitian ini adalah untuk menilai

apakah pemasaran di media baru mempen-garuhi hubungan emosional antara konsumen dan merek, terutama yang berkaitan dengan proses identifi kasi dalam komunitas online vir-tual, dan pengaruhnya terhadap Brand Love yang dimediasi oleh peran identitas sosial.Dalam proses komunikasi di komunitas online virtual, penelitian ini melihat konsumen sebagai subjek (social interactive engagemetn). Social Interactive Engagement adalah ketika orang mendapatkan nilai lebih dari bersosialisasi dan berpartisipa-si dan dari masukan yang mereka terima dari pengguna lain di dalam komunitas (Vernuccio et al, 2015).

Terbukti bahwa social interactive engagement (H1) menciptakan identifi kasi konsumen antara identitas sosialnya dengan identitas komunitas online brand. Dan melalui prosesnya, bagaima-na orang mengidentifi kasi diri mereka dengan kelompok sosial memiliki efek positif pada cinta mereka terhadap brand (H3).

Ini adalah temuan yang memperkaya dari pe-nelitian sebelumnya dari Bergkvist & Bech-Lars-en (2010) yang menyebutkan bahwa identifi kasi merek merupakan anteseden dari brand love. Di

Table 5. Pengauh Langsung Antar Variabel Table 6. Pengaruh Tidak Langsung Antar Variabel

Page 7: Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas

74

Rakhmania Anindhita Pithaloka, Mediasi Identitas Sosial Konsumen di Komunitas Online Brand dalam Membangun Brand Love

era digital dimana media baru menjadi bagian dari komunikasi pemasaran terpadu, pengaruhnya ter-hadap hubungan merek-konsumen dipertanyakan. Salah satu cara merek memanfaatkan media baru adalah dengan menciptakan komunitas merek vir-tual. Komunitas online brand ini ternyata merupa-kan antecedent proses identifikasi merek, teruta-ma dengan identitas sosial konsumen.

KesimpulanPenelitian ini membuktikan bahwa penggu-

naan media baru dalam strategi pemasaran, ter-utama dengan terbentuknya komunitas online dari brand akan sangat mempengaruhi brand love. Brand love penting untuk menjadi sebuah konstruksi dalam strategi pemasaran karena brand love mampu menciptakan keinginan untuk melakukan pembelian kembali, kemauan mem-bayar dengan harga lebih tinggi, kata positif dari mulut ke mulut, dan penolakan dari informasi negatif (Batra, Ahuvia & Bagozzi, 2012). Brand

love menjadi penting dalam konteks pemasaran karena menciptakan korelasi positif dengan loyal-itas merek dan kata dari mulut ke mulut (Carroll & Ahuvia, 2006).

Di antara komunikasi yang dibutuhkan untuk menciptakan proses identifikasi dalam komuni-tas online virtual, untuk mempengaruhi brand love yang dimediasi oleh peran identitas sosial, keduanya saat konsumen terlibat secara aktif (so-cial interactive engagement). Sehingga implikasi dari penelitian ini bagi pemasar merupakan saran untuk menciptakan aktivitas yang mendorong konsumen untuk secara aktif terlibat dalam in-teraksi dalam komunitas virtual, dan untuk men-ciptakan makna dan nilai melalui praktik jejaring sosial, keterlibatan masyarakat, dan manajemen kesan.

Penelitian ini memiliki keterbatasan karena sampel yang digunakan adalah non probabilitas sehingga tidak dapat digeneralisasikan kepada populasi.

Aaker, J. & Fournier,S. (1995). A Brand As a Character, a Partner and a Per-son: Three Perspectives on the Question of Brand Personality. Da-lam Kardes, F.R & Sijan, M (eds) Advances in Consumer Research (pp. 391-395). Provo, UT : Association for Consumer Research.

Bagozzi, R., Batra, R. & Ahuvia, A. (2014). Brand Love: Construct Validity, Managerial Utility, and New Conceptual Insights. Working Paper. University of Michigan, Ann Arbor.

Batra, R., Ahuvia, A. & Bagozzi, R.P. (2012). Brand Love. Journal of Market-ing Article Postprint, American Marketing Association.

Belk, R. W. (1988). Possesions and the Extended of Self. Journal of Con-sumer Research, 15 (2) 139-168.

Bergkvist, L. & Bech-Larsen, T. (2010). Two Studies And Actionable An-tecedents of Brand Love, Journal of Brand Management, 17, 504-518.

Bhattacarya, C.B. & Sen, S. (2003). Consumer-Company Identification: A framework for Understanding Consumers’ Relationship with Brands. The Journal of Marketing, 67(2), 76-88

Calder, B. J., Malthouse, E. C., & Schaedel, U. (2009). An Experimental Study of the Relationship Between Online Engagement and Ad-vertising Effectiveness.  Journal of Interactive Marketing,  23(4), 321-331.

Carroll, B. A. & Ahuvia, A.C. (2006). Some Antecedents and Outcomes of Brand Love. Market Letter, 17: 79-89.

Casaló, L. V., Flavián, C., & Guinalíu, M. (2008). Promoting Consumer’s Par-ticipation in Virtual Brand Communities: A New Paradigm in Brand-ing Strategy. Journal of marketing Communications, 14(1), 19-36.

Del Rio, A.B, Varquez R. , & Iglesias, V. (2001). The Effects of Brand Asso-ciations on Consumer Response, Marketing Science, 25, 740-59.

Dholakia, U. M., Bagozzi, R. P., & Pearo, L. K. (2004). A Social Influence Model of Consumer Participation in Network-and Small-Group-Based Virtual Communities.  International Journal of Research in Marketing, 21(3), 241-263.

Franke, N., & Piller, F. (2004). Value Creation by Toolkits for User Innovation and Design: The Case of the Watch Market. Journal of Product Innovation Management, 21(6), 401-415.

Fournier, S. (1998). Consumers and Their Brands: Developing Relation-ship Theory in Consumer Research.  Journal of consumer re-search, 24(4), 343-373.

Hamilton M., &Xialoan, S. (2005). Actual Self and Ideal Brand Image: An Application of Self Congruity to Brand Image Positioning. Diakse dari http://www.allacademic.com/meta/p14451_index.html. 2005

Hutter, K., Hautz, J., Dennhardt, S. & Fuller, J. (2013). The Impact of User Interactions in Social Media on Brand Awareness and Purchase Intention: The Case of Mini on Facebook. Journal of Product and Brand Management, 22 (5/6), 342-351.

Homburg, C., Wieseke, J., & Hoyer, W. D. (2009). Social Identity and the Service Profit Chain. Journal of Marketing, 73(2), 38-54.

Kozinets, R. V., Hemetsberger, A., & Schau, H. J. (2008). The Wisdom of Consumer Crowds: Collective Innovation in the Age of Networked. Journal of Macromarketing, 28(4), 339-354.

Laroche, M., Habibi, M. R., Richard, M. O., & Sankaranarayanan, R. (2012). The Effects of Social Media Based Brand Communities on Brand Community Markers, Value Creation Practices, Brand Trust and Brand Loyalty. Computers in Human Behavior, 28(5), 1755-1767.

Lievrouw, L. A., & Livingstone, S. (eds.). (2002). Handbook of New Media: Social Shaping and Consequences of ICTs. London: Sage Pub-lications.

Lowry, P. B., & Gaskin, J. (2014). Partial Least Squares (PLS) Structur-al Equation Modeling (SEM) for Building and Testing Behavioral Causal Theory: When to Choose it and How to Use it. IEEE Trans-actions on Professional Communication, 57(2), 123-146.

Mæhle, N. & Shneor, R. (2009). On Congruence between Brand and Hu-man Personalities. Journal of Product and Brand Management, 19 (1), 44-53.

McAlexander, J. H., Schouten, J. W., & Koenig, H. F. (2002). Building Brand Community. Journal of Marketing, 66(1), 38-54.

Mc Ewen, J.W. (2005). Married to the Brand, Why Consumer Bond with Some Brand for Life. New York: Gallup Press.

Moussa, S. (2015). I May be a Twin but I’m One of a Kind: Are Brand Attachment and Brand Love Different Names for the Same Construct?.  Qualitative Market Research: An International Jour-nal, 18(1), 69-85.

Muniz, A. M., & O’guinn, T. C. (2001). Brand Community. Journal of consum-er research, 27(4), 412-432.

Park, C. W. & MacInnis, D.J. (2006). What’s in and What’s Out: Questions on the Boundaries of the Attitude Construct. Journal of Consumer Research, 33, 16-18.

Rauschnabel, P. A., & Ahuvia, A. C. (2014). You’re so Lovable: Anthropo-morphism and Brand Love. Journal of Brand Management, 21(5), 372-395.

Schau, H. J., Muñiz Jr, A. M., & Arnould, E. J. (2009). How Brand Community Practices Create Value. Journal of marketing, 73(5), 30-51.

Shimp, T. A., & Madden, T. J. (1988). Consumer-Object Relations: A Con-ceptual Framework Based Analogously on Sternberg’s Triangular Theory of Love.  Advances in Consumer Research, 15.

Sternberg, R. J. (1986). A Triangular Theory of Love. Psychological Re-view, 93(2), 119.

Tajfel, H. (1981). Human Groups and Social Categories. Cambridge: Cam-bridge University Press

Vernuccio, M., Pagani, M. & Pastore, A. (2015). Antecedents of Brand Love in Online Network-Based Communities. A Social Identity Perspec-tive. Journal of Product and Brand Management, 24 (7), 706-719.

Daftar Pustaka