media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

25
ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si. Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 89 MEDIA KOMUNITAS DAN JURNALISME LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (Studi pada Situs www.suarakomunitas.net dalam Pemberitaan Isu-isu Perubahan Iklim) Oleh: ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si. 1 Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bakrie - Jakarta Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan - 12920. HP: 0818467664, E-mail: [email protected] Abstrak: Mempertahankan sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai kearifan lokal yang kontekstual bukanlah perkara mudah. Ada banyak tantangan yang akan dihadapi. Salah satunya adalah kealpaan media massa untuk menyebarluaskan nilai-nilai budaya lokal agar langgeng di tengah masyarakat guna menyelesaikan beragam persoalan. Peran media massa sebagai media penyebarluasan nilai-nilai kearifan lokal memang harus ditingkatkan, terutama soal pencegahan kerusakan lingkungan yang amat terkait dengan perubahan iklim. Untuk ini, jangan berharap besar pada media massa arus utama yang sangat berpihak pada modal. Media komunitas siber berbasis jurnalisme warga menjadi jalan keluarnya. Pada media ini, dimana modal bukan menjadi tujuan utama, apa saja bisa diberitakan dari, oleh, dan untuk siapapun. Situs www.suarakomunitas.net (dalam penelitian ini akan disebut Suara Komunitas) adalah salah satu media komunitas siber yang memiliki ciri tersebut. Kata Kunci: Jurnalisme Lingkungan, Media Siber, Media Komunitas, Kearifan Lokal, Jurnalisme Warga, Suara Komunitas, Perubahan Iklim Pendahuluan Menurut Murdiyarso (2003: 11), perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka panjang (50 100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi

Transcript of media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

Page 1: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 89

MEDIA KOMUNITAS DAN JURNALISME

LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (Studi pada Situs www.suarakomunitas.net

dalam Pemberitaan Isu-isu Perubahan Iklim)

Oleh: ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.1

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bakrie - Jakarta

Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan - 12920.

HP: 0818467664, E-mail: [email protected]

Abstrak:

Mempertahankan sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai kearifan lokal yang kontekstual bukanlah perkara mudah. Ada banyak tantangan yang akan dihadapi. Salah satunya adalah kealpaan media massa untuk menyebarluaskan nilai-nilai budaya lokal agar langgeng di tengah masyarakat guna menyelesaikan beragam persoalan. Peran media massa sebagai media penyebarluasan nilai-nilai kearifan lokal memang harus ditingkatkan, terutama soal pencegahan kerusakan lingkungan yang amat terkait dengan perubahan iklim. Untuk ini, jangan berharap besar pada media massa arus utama yang sangat berpihak pada modal. Media komunitas siber berbasis jurnalisme warga menjadi jalan keluarnya. Pada media ini, dimana modal bukan menjadi tujuan utama, apa saja bisa diberitakan dari, oleh, dan untuk siapapun. Situs www.suarakomunitas.net (dalam penelitian ini akan disebut Suara Komunitas) adalah salah satu media komunitas siber yang memiliki ciri tersebut.

Kata Kunci: Jurnalisme Lingkungan, Media Siber, Media Komunitas, Kearifan Lokal, Jurnalisme Warga, Suara Komunitas, Perubahan Iklim

Pendahuluan

Menurut Murdiyarso (2003: 11), perubahan iklim adalah

perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka panjang (50 – 100 tahun)

yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi

Page 2: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

90 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

gas rumah kaca (GRK). Dalam penelitian United Nations Development

Programme (UNDP) soal sisi lain perubahan iklim yang ditulis oleh

Mudiarta & Stalker (2007:3), Perubahan iklim bukanlah hal baru.

Iklim global sudah selalu berubah-ubah. Jutaan tahun yang lalu,

sebagian wilayah dunia yang kini lebih hangat, dahulunya

merupakan wilayah yang tertutupi oleh es. Dan beberapa abad

terakhir ini, suhu rata-rata telah naik-turun secara musiman, sebagai

akibat fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau akibat letusan

gunung berapi secara berkala. Namun, perubahan iklim yang ada saat

ini dan yang akan datang lebih diutamakan karena disebabkan bukan

hanya oleh peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas

manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberikan

dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat

pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan kayu,

misalnya, serta pembabatan hutan. Pembakaran ini mengeluarkan

karbondioksida yang merupakan GRK utama. Masalahnya,

pepohonan yang mampu menyerap GRK tersebut sudah di tebang di

berbagai penjuru dunia. Brazil, dan termasuk Indonesia, serta banyak

negara lainnya sudah menggunduli jutaan hektar hutan dan merusak

lahan rawa (Mudiarta & Stalker, 2008:4).2 Dengan berkurangnya

penyerapan dan terus bertambahnya emisi, menurut

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) – masih dalam

Mudiarta & Stalker, GRK di atmosfer kini menjadi lebih tinggi

ketimbang yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah, yakni

meningkat sebanyak 379 ppm (parts per million) di tahun 2005 dari

280 ppm di tahun 1750 dan terus meningkat dengan kecepatan 1,9

2 Kehancuran hutan Indonesia berlangsung cepat – yaitu dari 600.000 hektar per tahun pada tahun 1980an menjadi sekitar 1.6 juta hektar per tahun di penghujung tahun 1990an. Akibatnya, tutupan hutan menurun secara tajam – dari 129 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 82 juta di tahun 2000, dan diproyeksikan menjadi 68 juta hektar di tahun 2008, sehingga kini setiap tahun Indonesia semakin mengalami penurunan daya serap karbon dioksida. Di tingkat dunia, menurut laporan FAO 2010 (dalam Jatmiko, 2012), penggundulan hutan terjadi rata-rata 5,6 juta hektar per tahun.

Page 3: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 91

ppm perhari. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat

naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat.

Dampak perubahan iklim ini dapat dilihat pada naiknya

permukaan air laut yang bahkan sulit dicegah. Sejumlah pakar iklim

dunia, di London, mengatakan kenaikan permukaan laut beberapa

tahun ke depan tak bisa bisa dihentikan (Kompas, 4 Juli 2012, hal. 9).

Hal itu terjadi karena suhu panas telah menerobos jauh ke laut,

menghangatkan air laut, dan menghasilkan suatu kumpulan suhu

panas gabungan dari berbagai wilayah laut berbeda. Bahkan, jika

suhu rata-rata global turun dan lapisan permukaan laut mendingin,

panas masih akan menerobos ke lapisan lautan lebih dalam dan

menyebabkan naiknya permukaan air laut. Diprediksi, meskipun

mitigasi yang paling agresif dilakukan, seperti mengurangi

pemanasan global hingga 2 persen di atas nilai praindustri tahun

2100 dan dengan penurunan suhu global di abad ke-22 dan ke-23,

permukaan laut akan terus meningkat setelah tahun 2100. Masih

menurut artikel tersebut, naiknya permukaan laut telah mengancam

sekitar sepersepuluh penduduk dunia. Terutama mereka yang

tinggal di dataran rendah, di pesisir dan pulau-pulau yang berisiko

banjir, termasuk Karibia, Maladewa, dan gugusan pulau di Asia

Pasifik.3 4

3 Sementara berdasarkan Laporan ke-4 Working Group II – International Panel on Climate Change (IPCC), yang diterbitkan pada Bulan April 2007 lalu, kenaikan temperatur rata-rata sejak 1850-1899 hingga 2001-2005 adalah 0.760C dan muka air laut global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm/tahun dalam rentang waktu 40 tahun terakhir (1961-2003). Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada awal abad 20 diperkirakan sebesar 17 cm (Buletin Tata Ruang, Mei - Juni 2011, hal. 28). 4 Di Provinsi Kepulauan Riau, sekitar 120 pulaunya terancam tenggelam akibat

abrasi dan perubahan iklim (Kompas, 11 Juni 2012, hal. 3). Dalam artikel itu

pula, disebutkan bahwa, saat ini, permukaan laut Indonesia naik paling rendah 3

milimeter pertahun. Kenaikan tersebut dapat merusak pesisir dengan

ketinggian hingga 0,6 meter. Sehingga dalam 10 tahun, 120 pulau tersebut

diprediksi akan tenggelam. Perubahan iklim telah mampu mencairkan es dan

gletser di kutub sehingga debit air laut terus bertambah.

Page 4: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

92 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

Secara khusus, UNDP menjelaskan dampak perubahan iklim

terhadap Indonesia. Selain telah dan masih akan naiknya permukan

laut, temperatur yang tinggi berdampak pada El Niño-Southern

Oscillation yang setiap beberapa tahun memicu berbagai peristiwa

cuaca ekstrem kita (Mudiarta & Stalker, 2008:5). El Niño berkaitan

dengan berbagai perubahan arus laut di Samudera Pasifik yang

menyebabkan air laut menjadi luar biasa hangat. Kejadian

sebaliknya, arus menjadi amat dingin, yang disebut La Niña. Yang

terkait dengan peristiwa ini adalah ‘Osilasi Selatan’ (Southern

Oscillation) yaitu perubahan tekanan atmosfer di belahan dunia

sebelah selatan. Perpaduan seluruh fenomena inilah yang dinamakan

El Niño-Southern Oscillation atau disingkat ENSO. Pada saat terjadi El

Niño, kita biasanya lebih sering mengalami kemarau. Ketika terjadi

La Niña kita lebih sering dilanda banjir.5

Studi kearifan lokal dalam menghadapi perubahan iklim telah

banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah studi kearifan lokal

pemanfaatan lahan gambut untuk usaha tani dalam mengantisipasi

dampak perubahan iklim di Kalimantan Tengah (Firmansyah &

Mokhtar, 2011). Studi ini menunjukkan bahwa petani gambut

pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah menggunakan

sistem pembakaran terbatas dan terkendali dan pemberian tanah

mineral subur, sedangkan petani gambut lebak di Tanjung Pinang,

5 Di jelaskan dalam penelitian UNDP ini, dalam kurun waktu 1844-2006, dari 43

kemarau panjang, sebanyak 37 kali berkaitan dengan El Niño. ENSO ini adalah

juga salah satu faktor utama meningkatnya kekerapan kebakaran besar hutan

dan terbentuknya kabut asap di atmosfer yang menyesakkan napas. Bahaya lain

yang berkaitan dengan iklim di Indonesia adalah lokasi dan pergerakan siklon

tropis di wilayah selatan timur Samudera India (Januari sampai April) dan

sebelah timur samudera Pasifik (Mei sampai Desember). Di beberapa wilayah

Indonesia hal ini dapat menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi

yang dapat berlangsung hingga berjam-jam atau berhari-hari. Angin kencang

juga sering terjadi selama peralihan angin munson (angin musim hujan) dari

arah timur laut ke barat daya.

Page 5: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 93

yang juga berada di Kalimantan Tengah, menggunakan sistem

pemanfaatan vegetasi alami sebagai mulsa lungpar (gulung-hampar)

dan menghindari pembakaran. Hal ini mampu mengurangi degradasi

pada lahan gambut dan pemanfaatannya pada usahatani. Studi

lainnya adalah mengenai kearifan lokal petani Dayak Bakumpai

dalam pengelolaan padi di lahan pasang surut Kabupaten Barito

Kuala (Wahyu & Nasrullah, tahun tidak diketahui). Studi ini

menemukan bahwa masyarakat Bakumpai membuat siklus tertentu

untuk bercocok tanam, yakni dengan mensiasati menunggu masa

panen yang dilakukan setiap setahun sekali. Sehingga sambil

menunggu panen, masyarakatnya bisa melakukan aktivitas lain

sambil mengontrol pertumbuhan tanaman. Selain itu, mereka juga

melakukan teknik mengolah lahan yang dilakukan turun-temurun,

yakni memanfaatkan rumput yang ditebas untuk dijadikan pupuk

alami. Alat yang digunakan petani Bakumpai untuk memotong

rumput, tidak sampai membalikan permukaan tanah yang

mempengaruhi kadar keasaman.

Menurut penulis, media, dalam konteks jurnalisme, memiliki

peran dalam memproduksi dan menyebarluaskan berita yang berisi

informasi, sekaligus membantu penyadaran masyarakat, tentang

pentingnya menjaga alam dan mempersiapkan diri untuk

menghadapi kondisi akibat perubahan iklim, terutama berdasarkan

kearifan lokal. Jurnalisme, atau yang bisa pula disebut pers, memiliki

fungsi menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, dan

mempengaruhi (Effendy, 2003:93-94). Media massa dianggap

sebagai wahana yang vital dalam mengembangkan kesadaran

masyarakat yang bermuara pada peningkatan peran serta

masyarakat. Misinya sebagai wahana pendidikan dan wahana kontrol

sosial merupakan penunjang yang amat penting bagi pembangunan

berkelanjutan berwaasan lingkungan (Hardjasoemantri dalam

Atmakusumah, 1996:71-72). Tapi apakah sebegitu gampangnya

media arus utama memberikan porsi pemberitaanya untuk hal-hal

semacam ini? Ketika media telah berorientasi pada modal, maka pola

pemberitaannya akan selalu disiapkan untuk mengeruk keuntungan

sebesar-besarnya. Berita yang dihadirkan adalah berita-berita yang

propasar (Chesney, 1998). Dengan asumsi itu, maka jangan terlalu

Page 6: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

94 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

berharap banyak pada media jenis ini untuk memberitakan masalah

yang sifatnya lokal. Solusinya adalah melirik jurnalisme warga pada

media-media alternatif, salah satunya adalah Suara Komunitas,

sebuah portal berita siber berbasis jurnalisme warga yang dapat

diakses melalui: www.suarakomunitas.net. Suara Komunitas dikelola

oleh media-media komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia.

Suara Komunitas adalah kantor berita terbuka untuk semua pihak,

khususnya masyarakat akar rumput, untuk bersuara dan membentuk

opini publik. Melalui media semacam ini, informasi lokalitas

terutama menyangkut kearifan lokal tak perlu takut untuk tidak

ditayangkan/diberitakan. Harapannya, sekaligus peluang, budaya

kearifan lokal bisa terus tumbuh dan dipraktekkan oleh masyarakat

setempat dan mendapat dukungan yang positif oleh negara dengan

tujuan utama: pemberdayaan masyarakat dalam menekan emisi GRK.

Tinjauan Pustaka

Jurnalisme Warga, Media Komunitas , dan Konsep Jurnalisme

Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal

Jurnalisme warga, disebut pula citizen journalism atau pula

jurnalisme publik, adalah jenis jurnalisme yang menitikberatkan

pada pubik atau warga sebagai sorotan utamanya. Selama ini, media

sering menyingkirkan warga dalam pemberitaannya (Santana,

2005:27). Suara warga tersingkirkan karena media arus utama lebih

memilih berita-berita yang menjual untuk ditayangkan. Warga jarang

mendapatkan kesempatan memperoleh informasi yang menurutnya

penting dan menarik. Bahkan, warga pun tak dilibatkan dalam proses

pembuatan berita. Warga ditempatkan sebagai objek semata tanpa

bisa berpartisipasi lebih jauh. Contoh praktek jurnalisme warga

berbasis media siber bisa dilihat di

http://www.jurnalismewarga.com/,

http://www.kabarindonesia.com/, atau http://kayuhbaimbai.org/.

dalam ketiga situs jurnalisme warga tersebut warga diposisikan

sebagai peliput. Warga bekerja persis sebagai jurnalis pada media

arus utama. Editor yang berhak melakukan penyuntingan dipilih

Page 7: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 95

karena memiliki kapasitas yang baik dalam jurnalistik. Prinsipnya

adalah dari, oleh, dan untuk warga. Dengan pola semacam ini,

informasi tak melulu dkuasai oleh media arus utama.

Tempat dimana berita hasil liputan para jurnalis warga ini

ditayangkan/diterbitkan pada sebuah media yang tentu saja bukan

merupakan media arus utama, melainkan media alternatif. Disebut

alternatif karena media ini pada dasarnya merupakan perwujudan

resistensi khalayak terhadap media arus utama (Downing dalam

Maryani, 2011:65-67). Dari sisi isi, menurut Downing lebih lanjut,

media alternatif mencakup berita-berita yang tidak dilaporkan atau

dimuat media arus utama. Dengan cara itu maka media alternatif

dapat meligitimasi kehidupan orang-orang biasa sebagai sebuah

berita. Selain itu, media alternatif umumnya berskala kecil dan

bentuknya beragam serta mengeksprsikan visi alternatif dari

kebijakan, prioritas dan presfektif yang bersifat hegemonik.

Media alternatif ini bisa berupa media komunitas yang hadir

di sebuah komunitas tertentu, seperti: radio komunitas, majalah

komunitas, ataupun media siber komunitas. Komunitas sendiri

merujuk pada istilah community yang berarti semua orang yang

hidup di suatu tempat, atau sekelompok orang dengan kepentingan

atau ketertarikan yang sama. Dengan kata lain, komunitas bisa

terbentuk berdasarkan batasan wilayah geografis, kesamaan

identitas, dan kesamaan minat (Sudibyo, 2004:234-235). Salah satu

contohnya adalah situs Suara Komunitas (www.suarakomunitas.net)

yang menjadi sorotan dalam penelitian ini. Suara Komunitas dikelola

oleh media-media komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia.

Bentuknya berupa kantor berita yang terbuka untuk semua pihak,

khususnya masyarakat akar rumput, untuk bersuara dan membentuk

opini publik. Pengelola dan jurnalisnya berasal dari beragam radio

komunitas dan media komunitas lokal lainnya yang tersebar di

seluruh wilayah Indonesia. Mereka memberitakan beragam isu yang

terjadi di sekitar mereka yang mungkin tak pernah diangkat dalam

media arus utama. Media seperti inilah, yang menurut penulis, amat

berpeluang memberitakan isu-isu lingkungan yang terkait dengan

perubahan iklim dan kearifan lokal. Dengan kata lain, jurnalisme

Page 8: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

96 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

lingkungan yang berfokus pada kearifan lokal bisa diterapkan di

media jenis ini tanpa diganggu-gugat oleh kemauan pasar.

Apa itu jurnalisme lingkungan? Di bagian inilah penulis akan

memaparkannya sekaligus mengaitkannya dengan kearifan lokal.

Jurnalisme lingkungan (hidup) adalah jurnalisme yang berfokus pada

hal ihwal yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Hardjasoemantri

dalam Atmakusumah, 1996:72). Perwujudannya dapat berupa

pemberitaan, uraian, komentar serta lontaran pendapat para pakar,

peminat, dan pengamat tentang lingkungan hidup dengan berbagai

masalahnya. Mereka yang berkecimpung dalam jurnalisme

lingkungan, mulai dari jurnalis di lapangan sampai redaktur/editor

diharapkan senantiasa mengikuti perkembangan isu lingkungan

hidup. Hal ini karena isu lingkungan hidup bukanlah isu yang

sederhana, melainkan isu yang holistic menyangkut berbagai sudut

kehidupan manusia dan sangat mempengaruhi kehidupan. Oleh Adi

(2007), jurnalisme lingkungan adalah kegiatan pemberitaan

(meliputi: mengumpulkan, memproses, dan menerbitkan informasi

yang bernilai berita) atas masalah-masalah lingkungan hidup. Luaran

dari jurnalisme ini adalah berita lingkungan yang memilki ciri:

menunjukkan interaksi saling mempengaruhi antarkomponen

lingkungan, berorientasi dampak lingkungan, dan pemberitaan

menyeluruh mulai dari level gen hingga level biosfer. Dengan kata

lain berita lingkungan adalah berita yang tak jauh-jauh mengangkat

persoalan lingkungan dengan ciri di atas.

Jurnalis yang mencoba mengusung jurnalisme lingkungan,

maka ia harus memihak pada proses-proses yang meminimalkan

dampak negatif kerusakan lingkungan hidup. Adi, menyebutkan

jurnalis lingkungan harus menumbuhkan sikap mendukung atas

keberlanjutan lingkungan hidup agar bisa dinikmati generasi

sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk

ikut menikmatinya juga; biosentris atau mengakui bahwa setiap

spesies memilki hak terhadap ruang hidup sehingga perubahan

lingkungan hidup harus memperhatikan dan mempertimbangkan

keunikan setiap spesies dan ekosistemnya; mendukung keadilan

lingkungan dan berpihak kepada kaum lemah agar mendapatkan

Page 9: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 97

mendapatkan akses setara terhadap lingkungan yang bersih dan

terhindar dari dampak negative kerusakan lingkungan; dan

memahami materi ataupun isu-isu lingkungan hidup serta

menjalankan kaidah jurnalistik, kode etik, dan menaati hukum.

Jurnalis lingkungan dituntut untuk mencerdaskan

masyarakat mengenai lingkungan hidup dan keterpautannya dengan

kehidupan sehari-hari (Atmakusumah, 1996:63). Syarat yang harus

dipenuhi untuk ini adalah jurnalis yang bersangkutan harus memiliki

dasar pengetahuan mengenai lingkungan hidup yang memadai.

Dengan kemampuan ini si jurnalis mampu memetakan persoalan

lingkungan dengan jelas dan focus dalam ruang lingkup liputannya

apakah soal pencemaran, perubahan iklim, dsb. Selain itu, jurnalis

harus menyadari dan memahami keterkaitan lingkungan hidup

dengan bidang dan kegiatan lainnya, terutama dengan proses

pembangunan. Semua ini akan membantu jurnalis memahami

keterkaitan lingkungan hidup dan penyebabnya.

Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,

pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang

menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas

ekologis (Keraf dalam Suhartini, 2009). Semua bentuk kearifan lokal

tersebut dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari

generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia

terhadap sesame manusia, alam maupun gaib. Selanjutnya Francis

Wahono (masih dalam Suhartini, 2009) menjelaskan bahwa kearifan

lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam

semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-

abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran

manusia.

Apa saja prinsip-prinsip kearifan lokal tersebut? Nababan

(dalam Suhartini, 2009) mengemukakan prinsip-prinsip konservasi

dalam pengelolaan sumber daya alam secara tradisional (baca:

karifan lokal) sebagai berikut:

Page 10: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

98 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) Hubungan

manusia dengan alam sekitarnya. Masyarakat tradisional

memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri

2. Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan

atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan

bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini

mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan

sumberdaya bersama ini dari pihak luar.

3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge

system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat

untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi

dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.

4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang

tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam

setempat

5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa

mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan

berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh

masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat

tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang

mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu

kesatuan sosial tertentu.

6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber

daya milik bersama yang dapat mencegah munculnya

kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak

adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah

pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat

yang berlaku.

Contoh dari bentuk kearifan lokal adalah, seperti yang telah

disebutkan di awal tulisan, menanam padi merah (slegereng) yang

tahan di tanah dengan kadar air rendah, tahan hama penyakit, dan

tumbuh di sawah maupun tegalan. Masyarakat di Kabupaten

Wonogiri, Jawa Tengah pun menyukai makan beras dari padi merah

itu. Padi merah amat cocok dengan kondisi tanah di Wonogiri yang

Page 11: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 99

memiliki kadar air rendah. Masyarakat diajak berdamai dengan alam

sekaligus merawatnya. contoh lain adalah sistem pengelolaan hutan

adat di sejumlah wilayah, tata cara pertanian tanpa merusak alam,

dan pengairan yang merata tanpa harus mengeksploitasinya.

Teramat banyak contoh kearifan lokal yang telah ada pada

masyarakat lokal kita.6

Bagi penulis, untuk menjaga kelanggengan kearifan lokal,

media komunitas melalui prinsip jurnalisme lingkungan harus punya

andil. Yang bisa dilakukan oleh media komunitas untuk menjaga

kelestarian kearifan lokal dan mengembangkannya adalah kerap

memberitakan isu-isu lingkungan secara holistik kepada

komunitasnya tanpa lupa menginformasikan dan mengkampanyekan

kearifan lokal itu sendiri. Tentu saja yang berada di garis depan

pemberitaan ini adalah jurnalis, baik di lapangan maupun di ruang

redaksi. Jurnalis lingkungan memiliki tiga misi penting

(Atmakusumah, 1996:22), yakni: pertama, menumbuhkan kesadaran

masyarakat terhadap masalah-masalah lingkungan. Kedua, dalam

kaitannya dengan media tempat si jurnalis bekerja, media massa

merupakan wahana pendidikan untuk masyarakat dalam menyadari

perannya dalam mengelola lingkungan. Dan ketiga, pers memiliki hak

mengoreksi dan mengontrol masalah lingkungan hidup dalam

tataran pemberitaan dan harapannya mampu memberikan

perubahan berarti dalam pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

Pendek kata, ketika jurnalis lingkungan mengangkat isu-isu kearifan

lokal, maka pengetahuan soal kearifan lokal harus pula dikuasai

selain persoalan-persoalan lingkungan pada umumnya. Tanpa

memahami kearifan lokal dengan mendalam, akan sia-sia mengemas

liputan lingkungan yang berbasis pada kearifan lokal.

Temuan dan Pembahasan

Suara Komunitas (www.suarakomunitas.net), menurut

profilnya (http://suarakomunitas.net/web/siapa_kami, dilihat pada

27 Juli 2012, pukul 13.51 WIB), adalah media siber berbasis

Page 12: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

100 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

jurnalisme warga yang dikelola oleh media-media komunitas yang

tersebar di seluruh Indonesia. Media komunitas yang tergabung

dalam Suara Komunitas adalah radio komunitas, media cetak

komunitas, telecenter, dan kontributor individual. Suara Komunitas

ibarat kantor berita yang terbuka untuk semua pihak, khususnya

masyarakat akar rumput, untuk bersuara dan membentuk opini

publik. Pengkasesnya adalah para pihak di atas pula. Merekalah yang

nantinya akan menyebarluaskan berita-berita yang ditampilkan di

Suara Komunitas jika komunitas mereka tidak memiliki akses

internet untuk mengakses Suara Komunitas.7

Media siber komunitas ini didirikan pada 2008 sebagai

wahana menyuarakan suara-suara masyarakat, khsususnya akar

rumput. Semangat pendiriannya adalah semangat perlawanan, yakni

mereka (pendiri Suara Komunitas) melihat terjadi pengacuhan

terhadap kondisi nyata di masyarakat. Para elit politik dan ekonomi

sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak melihat secara mendalam

tentang kondisi nyata di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat

sebenarnya memiliki potensi kekuatan yang besar untuk

menentukan arah perubahan yang terjadi. Maka diperlukan

komunikasi dua arah antara pihak-pihak yang berwenang dengan

masyarakat di akar rumput. Untuk itulah media komunitas

dibutuhkan. Suara Komunitas hadir mengusung Jurnalisme Warga.

Masih menurut profil Suara Komunitas, topik pemberitaan

yang biasanya diangkat adalah topik dan karya apa saja yang dari

komunitas atau masyarakat luas, sepanjang tidak menimbulkan

7 Suara komunitas menerapkan “konvergensi” untuk menjawab tantangan jika

berita di situs Suara Komunitas tidak bisa diakses oleh komunitas yang tidak

memiliki infrastruktur internet. Prinsip konvergensi ini adalah memadukan

beragam media untuk menyampaikan informasi. Jadi, Suara Komunitas

menyiapkan bulletin yang bisa diunduh secara berkala oleh media-media

komunitas jaringannya untuk dicetak dan dibagikan secara cuma-cuma. Paket

berita audio juga disiapkan agar bisa disiarkan bersama-sama secara serentak di

radio komunitas jaringan mereka. Isi beritanya adalah kumpulan berita yang

diambil dari Suara Komunitas.

Page 13: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 101

konflik --terlebih yang berkaitan dengan SARA. Suara Komunitas

lebih mengharapkan informasi-informasi lokal yang selama ini jarang

terliput oleh media-media arus utama. Komunitas dianggap bukan

lagi sebagai pembaca atau penonton saja, namun sudah saatnya juga

ikut memroduksi berita yang penting dan terjadi di sekitar

komunitas. Karena basis media yang ditonjolkan adalah siber, maka

dimungkinkan untuk memberitakan berita-berita yang tak hanya

berbentuk teks, melainkan bisa berupa foto, video, dan audio. Agar

berita yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan secara

jurnalistik, maka sebanyak 26 editor yang tersebar di seluruh

Indonesia dipilih untuk memilkul tanggung jawab mengedit naskah

para jurnalis. Jadi, berita dari mana saja dapat diedit kapan saja dan

diterbitkan/ditayangkan tanpa harus menunggu lama.

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil temuan

produk jurnalistik Suara Komunitas yang terkait dengan perubahan

iklim dan kearifan lokal apakah sudah memenuhi standar atau

kriteria ideal seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Pada berita

Tanpa Kebudayaan, Manusia Kehilangan Karakter yang dipublikasi

pada tanggal 4 Januari 2012 belum mencerminkan produk

jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal. Lihatlah tabel berikut:

Tabel 2

Analisis pada Berita: Tanpa Kebudayaan, Manusia Kehilangan

Karakter (4 Januari 2012)

Kriteria Penjelasan 1. Mengandung

unsur perubahan iklim dan kearifan lokal

Tulisan ini memuat unsur perubahan iklim dan kearifan lokal, seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini: Acara ini merupakan suatu yang sangat unik karena mensosialisasikan perubahan iklim melalui pagelaran wayang kulit. Wabup Sergai Ir. H. Soekirman menghimbau masyarakat untuk terus melestarikan dan melaksanakan budaya bangsa Indonesia sendiri karena melalui nilai-nilai yang terkandung dalam budaya, masyarakat akan dapat mencintai pekerjaan yang dia tekuni dan dapat mensyukuri nikmat rejeki yang diterima serta menghargai budaya hormat kepada leluhur.

Page 14: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

102 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

Kriteria Penjelasan Tapi sayang, penjelasan soal budaya lokal yang dimaksud tidaklah jelas alias terlalu umum. Bahkan tidak dijelaskan dalam paragraf yang lain.

2. Istilah populer

Tak banyak mengangkat istilah-istilah rumit. Hanya saja istilah “Gareng Kepanasan” yang tidak umum. Meski begitu istilah “Gareng Kepanasan” tidak dijelaskan dengan baik. Lihat kutipan di bawah ini: Demikian halnya Ki Dalang Noto dalam lakonnya yang berjudul “Gareng Kepanasan” mengatakan perubahan iklim di bumi semakin menghawatirkan. Dengan adanya pagelaran wayang kulit yang mensosialisasikan perubahan iklim membuat kita lebih menyadari betapa besarnya dampak perubahan iklim mulai dari hal yang terkecil hingga yang besar. Padahal, pembaca harus tahu apa sebenarnya cerita atau synopsis “Gareng Kepanasan”. Menurut penulis, disinilah poin menarik dari beritanya.

3. Pembahasan menyeluruh

5W+1H terjawab, tapi tidak mendalam. Hanya menghadirkan fakta apa adanya. Secara etika jurnalistik, sudah layak. Meskipun demikian,iIstilah perubahan iklim tidak dijelaskan dengan baik. Hanya membicarakan soal dampak (itupun secara umum), bukan penyebab dan bagaimana cara nyata menghadapinya.

4. Menampilkan konflik/drama

Tidak ada konflik/drama. Tulisan ini datar

5. Penampilan /kemasan berita

Tampilan tidak kaya. Hanya mengandalkan teks semata. Batas paragraf juga tidak jelas.

6. Verifikasi berlapis

Tak perlu verifikasi karena tidak menimbulkan pro dan kontra.

Sumber: diolah dari hasil temuan

Kendala yang muncul pada tulisan tersebut tidak bisa

menjelaskan secara menyeluruh apa itu “perubahan iklim” dan cerita

“Gareng Kepanasan”. Tampilannya juga standar, meski 550 orang

pembaca telah mengakses tulisan ini (per 30 Juli 2012, pukul 10.49

WIB). Sementara pada berita Wisata Berbasis Kearifan Lokal

Page 15: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 103

Dikembangkan di SembalunTiga yang dipublikasi 14 Januari 2012,

lagi-lagi, tidak menjelaskan secara mendalam soal poin kearifan lokal

yang dimaksud dalam pemberitaan. Tulisan tersebut melihat

kearifan lokal yang “dilekatkan” pada sebuah bangunan yang akan

dibangun oleh pemerintahan setempat yang berfungsi untuk menarik

peminat wisata sekaligus tempat transaksi hasil bumi penduduk

lokal di Gunung Rinjani. Pesan terputus sampai disitu tanpa

menjelaskan apa poin kearifan lokal yang dimaksud dan gagal

menghubungkannya dengan perubahan iklim. Andai jurnalisnya

mau bekerja lebih peka, tulisan tersebut berpotensi menjadi tulisan

yang lebih menarik dengan berupaya melihat sisi lain, tidak sekedar

mengutip pernyataan langsung dari pejabat Dinas Budaya dan

Pariwisata setempat terkait proses pembangunan. Berita tersebut

telah dibaca sebanyak 422 kali (per 30 Juli 2012, pukul 11.22 WIB).

Lihat tabel berikut:

Tabel 3.

Analisis pada Berita: Wisata Berbasis Kearifan Lokal

Dikembangkan di SembalunTiga (14 Januari 2012)

Kriteria Penjelasan 1. Mengandung

unsur perubahan iklim dan kearifan lokal

Beberapa kali menyebut kearifan lokal, lihat kutipan berikut: Sembalun yang semula bernama Sembahulun Kabupaten Lombok Timur, selain dikenal dengan sajian wisata alam Gunung Rinjani yang indah, juga dikembangkan wisata berbasis kearifan lokal… …Dana pembangunan bale adat ini bersumber dari APBN senilai 1 miliar rupiah lebih, yang tujuannya untuk meningkatkan pemukiman yang mengandung nilai budaya dan kearifan lokal…

2. Istilah populer Tidak ada istilah rumit yang dipakai 3. Pembahasan

menyeluruh 5W+1H terpenuhi, tapi jurnalis tidak masuk lebih mendalam mengupas isu kearifan lokal dan mengaitkannya ke perubahan iklim. Beritanya lugas, tapi dangkal.

Page 16: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

104 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

Kriteria Penjelasan 4. Menampilkan

konflik/drama Tidak ada konflik/drama. Penokohan tidak dipakai untuk mengalirkan cerita.

5. Penampilan /kemasan berita

Sudah ada foto, tapi tidak ada keterangannya

6. Verifikasi berlapis

Ada baiknya jurnalis juga mewawancarai penduduk setempat untuk melengkapi temuan.

Sumber: diolah dari hasil temuan

Bagaimana dengan berita yang lain? Pada berita Adaptasi

dengan Pijakan Kearifan Tradisional: Masyarakat Adat & Perubahan

Iklim yang dipublikasi 21 April 2012, sudah mampu menjelaskan

kearifan lokal dengan baik. Dalam berita tersebut, dipaparkan

dengan jelas bentuk-bentuk kearifan lokal dari masyarakat Haruku,

Timor Tengah Selatan, dan Kepulauan Mentawai. Tapi sayangnya,

penjelasan soal penyebab perubahan iklim tidak dibahas mendalam.

Hanya dampaknya saja yang dikemukakan. Berita ini juga

menampilkan dua foto mengenai diskusi yang membahas kearifan

lokal. Tapi, foto tersebut tidak memiliki penjelasan. Meskipun berita

ini sudah lumayan komprehensif, sayangnya, hanya dibaca sebanyak

195 kali (per 30 Juli 2012, pukul 11.58 WIB). Di sisi lain, meski sudah

ada konflik atau drama sebagai daya tariknya tapi masih terasa

lemah. Konflik dapat dilihat ketika para tokoh yang menjadi

narasumber berkisah mengenai kearifan lokal di wilayahnya masing-

masing. Lihat tabel di bawah ini:

Tabel 4.

Analisis pada Berita Adaptasi dengan Pijakan Kearifan

Tradisional: Masyarakat Adat & Perubahan Iklim

(21 April 2012)

Kriteria Penjelasan 1. Mengandung

unsur perubahan iklim dan kearifan lokal

Tulisan memuat cerita/istilah perubahan iklim dan kearifan lokal, berikut kutipan dari berita: Eliza Kiyas, Kepala Kewang Negeri Haruku mengisahkan bahwa secara turun temurun masyarakat Haruku telah mengenal sasi, yaitu larangan untuk tidak merusak lingkungan. “Hal ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan adaptasi atau mitigasi. Sasi sudah kita kenal

Page 17: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 105

Kriteria Penjelasan selama ratusan tahun. Sekarang ada lagi upaya membangun talud, padahal hal itu mengakibatkan masyarakat tidak tanggap bahaya. Selama ini tanpa talud, orang kampung sudah tahu kalau air naik sekian meter berarti mereka harus bersiap-siap,” ungkap Eliza Kiyas. Di paragraf lain: Kearifan juga terasa di bidang arsitektur tradisional yang menggunakan kayu. Terbukti saat gempa, semua rumah beton hancur, dan yang bertahan adalah rumah kayu. “Kita dulu dibohongi pengusaha. Dikatakan bahwa lebih kuat seng dan semen. Bahkan dibilang kalau atap seng akan membuat rumah lebih mewah karena berkilat-kilat.” Papar Kortanius. Kini setelah masyarakat tahu bahwa ternyata kayu lebih kuat, mereka ingin kembali membangun rumah kayu. Masalahnya, sekarang kayu susah dicari. Sebagai solusinya, warga kini banyak yang kembali menanami kayu. “Tapi kami tidak tahu lagi kalau hutan sudah diganti dengan kelapa sawit, semakin habislah kami,” lanjut Kortanius dengan lirih.

2. Istilah populer Relatif tidak ada kata-kata asing yang butuh diterjemahkan ke dalam bentuk yang lebih populer.

3. Pembahasan menyeluruh

Berita ini sudah mendalam. Pesan-pesan kearifan lokal dipaparkan. Tapi kurangnya adalah pembahasan “perubahan iklim” yang terlalu sederhana, terutama soal penyebabnya untuk disikapi bersama. Dalam berita, pembaca dianggap sudah mengetahui apa itu perubahan iklim dan penyebabnya.

4. Menampilkan konflik/drama

Sedikit terasa ketika para tokoh adat dihadirkan dalam berkisah. Namun, akan sangat menarik, jika penokohan disampaikan di depan tulisan untuk membawa pembaca menikmati tulisan.

5. Penampilan /kemasan berita

Foto ada, tapi hanya sekedar foto saat saresehan berlangsung, itupun tidak dilengkapi dengan keterangan/penjelasan gambar.

6. Verifikasi berlapis

Narasumber sangat kuat. Sejumlah tokoh adat menjadi narasumber.

Sumber: diolah dari hasil temuan

Page 18: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

106 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

Kesimpulan dari analisis yang sederhana ini adalah berita

ketigalah yang mulai ideal, terlepas dari panjang-pendeknya isi

tulisan dan masalah redaksional, yakni soal penulisan kata dan tata

kalimat. Berita ketiga menunjukkan kemampuan jurnalis dalam

memaparkan persoalan dalam hal ini perubahan iklim dan kearifan

lokal. Sementara berita pertama dan kedua, masih teramat dangkal

mengupas atau memasukkan isu perubahan iklim dan kearifan

meskipun dua istilah tersebut telah diperlihatkan. Dari sisi kuantitas,

berita-berita lingkungan terkait perubahan iklim dan kearifan lokal

jumlah sangat minim dalam kurun waktu 6 bulan terakhir. Angka ini

jauh banyak dari jumlah berita keseluruhan yang ditampilkan dalam

waktu 6 bulan terakhir tesebut yakni 1369 berita.8 Sementara itu,

pemanfaatan keunggulan media siber secara optimal juga belum

dilakukan. Hal ini bisa dilihat pada tidak adanya link terkait dengan

berita untuk memudahkan pembaca melihat berita sejenis. Yang ada

hanyalah konten berita dan komentar terbaru yang ditempatkan di

sisi kanan berita. Begitu pula penggunaan file-file audio dan visual,

tidak ada sama sekali dalam ketiga berita di atas. Hanya fotolah yang

terlihat, itupun tidak dilengkapi penjelasan foto. Berita ditampilkan

seadanya. Padahal jika ada, setidaknya, akan mendongkrak daya tarik

berita. Apa sebab?

Rifky Indrawan, editor Suara Komunitas untuk wilayah

Lampung, menjelaskan Isu lingkungan dan pengelolaannya ternyata

bukanlah isu yang paling diprioritaskan dalam pemberitaan.

Kebijakan ini diperoleh dari Pertemuan Nasional Radio Suara

Komunitas di Cirebon pada bulan April 2010. Pertemuan ini dihadiri

editor dari seluruh wilayah Indonesia. Rifky menuturkan:

“…isu lingkungan menjadi nomor sekian. Fokus utama kita

adalah pelayan publik. Warga sudah direpotkan dengan

pelayan publik yang kacau, jalan rusak, kesehatan. Ini jadinya

yang diprioritaskan..” (wawancara 31 Juli 2012)

8 Angka ini belum mengalami pengurangan. Karena dalam mesin pencari tidak

dibedakan mana berita, mana tulisan opini, ataupun cerita pengalaman.

Page 19: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 107

Tantangan lainnya adalah jurnalis warga, atau yang disebut

Suara Komunitas pewarta warga, banyak yang tidak mengerti model

pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Ada juga persepsi

bahwa berita-berita “kasus”, yakni berita-berita peristiwa yang

menyoal isu-isu hangat, adalah berita yang lebih pantas diangkat. Isu-

isu perubahan iklim dan kearifan lokal menjadi kurang diangkat

secara serius. Masyarakat, dari hasil pantauan editor, lebih suka

terhadap berita-berita kasus semacam ini. Rifky menjelaskan:

“Ada masyarakat terjepit kerena tertimpa sesuatu dan

mintanya diselesaikan, oleh kita (pewarta warga) berita itu

diangkat dan dipublikasi. Dan akhirnya masyarakatpun

menemukan solusinya..” (wawancara 31 Juli 2012)

Lebih lanjut, soal adanya jurnalis warga yang tidak mengerti

model pengelolaan lingkungan, apalagi soal perubahan iklim dan

kearifan lokal, Rifky menyimpulkan karena tidak ada pelatihan

khusus soal isu-isu tertentu untuk para jurnalis Suara Komunitas.9

Yang ada adalah pelatihan-pelatihan dasar jurnalistik. Itupun,

menurut Akhmad Fadli, editor Suara Komunitas untuk wilayah

Cilacap dan sekitarnya, pelatihan jurnalistik yang dimaksud bukanlah

pelatihan jurnalistik kelas, melainkan pelatihan jurnalistik ynag

dilakukan melalui milis. Fadli bertutur:

“Pelatihannya tidak khusus. Ada artikel-artikel yang selalu

muncul di milis antar pewarta warga soal bagaimana meliput

yang baik. Ada Tanya jawab yang difasilitasi oleh seorang

fasilitator…” (wawancara 31 Juli 2012)

9 Khusus di Lampung, Rifky yang juga pengurus Jaringan Radio Komunitas (JRK)

wilayah Lampung mengklaim pengetahuan ini sudah didapat sejak dari radio

komunitas dan organisasi yang menaungi radio. Maklum, wilayahnya

merupakan wilayah yang kerap bersinggungan dengan permasalahan

lingkungan. Karena tuntutan Suara Komunitas agar berita yang diangkat lebih

memprioritaskan kebijakan public, maka isu-isu lingkungan yang terkait dengan

perubahan iklim dan kearifan lokal ia tempatkan/tayangkan di radio komunitas.

Page 20: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

108 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

Jurnalis warga dituntut belajar secara mandiri untuk

mengetahui isu-isu yang tengah berkembang di ranah jurnalistik,

salah satunya adalah perubahan iklim dan kearifan lokal. Tuntutan

ini semakin bertambah tatkala pola kerja Suara Komunitas disepakati

bersifat sukarela. Maksudnya, jurnalis yang mengirimkan berita

dengan tidak dibayar.10 Sehingga jika jurnalis warga mau menulis

berita dan mengirimkannya ke Suara Komunitas maka haruslah

dianggap sebuah prestasi dan harus disyukuri. Akibatnya redaksi tak

bisa menuntut lebih. Pada perjalanannya, jurnalis warga harus

membagi energi sebaik mungkin, yakni tetap mencari nafkah untuk

keluarga, mengelola radio/media komunitas tempat ia bernaung, dan

mengirimkan berita ke Suara Komunitas. Ini belumlah selesai. Jika

jurnalis warga berasal dari media radio, maka ia harus bekerja dua

kali, yakni menulis berita untuk disiarkan di radio komunitasnya lalu

menulis berita untuk ditampilkan di Suara Komunitas. Harus

dipahami karakter berita radio berbeda dengan berita teks. Berita

radio berprinsip kalimat bertutur, sementara berita teks harus lebih

detil. Dengan kondisi semacam ini, tentu saja agak berat melakukan

pekerjaan yang idealis.

Penentuan topik pemberitaan di Suara Komunitas adalah

berdasarkan potensi di wilayah jurnalis warga masing-masing.

Kebebasan terbatas diberlakukan. Maksudnya jurnalis warga harus

terus memegang teguh kebijakan redaksi terutama soal prioritas

topik pemberitaan, yakni fasilitas publik. Tapi semakin kemari,

kontrol semakin longgar sehingga berita yang masuk terkadang tidak

10

Salah satu alasan Suara Komunitas berdiri adalah, adanya aset berupa sumber

daya manusia yang bernaung di sejumlah radio komunitas dan media komunitas

lainnya. Aset ini sangat berpotensi untuk diberdayakan melakukan peliputan.

Sehingga berita-berita yang dipasok ke Suara Komunitas pada dasarnya adalah

berita-berita yang diliput jurnalis warga yang memang juga diperuntukkan

untuk media komunitasnya sendiri. Prinsip sekali merengkuh dayung, dua – tiga

pulau terlampaui benar-benar diterapkan. Belum lagi ada sejumlah radio

komunitas yang mati, sementara awaknya masih mau berperan. Suara

Komunitas memberikan ruang untuk awak-awak semacam ini memberikan

kontribusinya sebagai jurnalis warga.

Page 21: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 109

sesuai karakter, seperti: berita kriminal yang bernuansa kekerasan

atau berita penokohan aparat pemerintahan yang terkesan sebagai

bentuk pencitraan.11 Kondisi juga mendukung lemahnya liputan-

liputan isu-isu tertentu. Sehingga dari semua masalah di atas

mengapa berita-berita perubahan iklim minim dan jikapun ada tidak

konsisten cara memberitakannya terjawab sudah. Penulis menilai,

fokus liputan yang merupakan hasil kebijakan redaksi yang tidak

menempatkan isu perubahan iklim dan kearifan lokal sebagai isu

prioritas, belum meratanya pengetahuan dan kemampuan jurnalis

untuk menulis berita-berita lingkungan yang terkait perubahan iklim

dan kearifan lokal termasuk menyiasati konten agar menarik dilihat

pembaca, serta terbatasnya jumlah jurnalis warga yang bisa meng-

cover liputan semacam ini dan tak bisa dituntut lebih karena sifat

pekerjaannya sukarela adalah penyebabnya.

Kesimpulan

Suara Komunitas meskipun berpotensi menjadi tandingan

media arus utama dalam hal penayangan informasi, khususnya

terkait perubahan iklim dan kearifan lokal, ternyata masih harus

berbenah. Bukan tidak mampu, tapi masih belum konsisten dan

belum memanfaatkan secara optimal memanfaatkan media siber

sebagai wilayah “bermainnya”. Bukan tanpa bukti, tiga berita yang

telah dianalisis oleh penulis menunjukkan bahwa berita soal

perubahan iklim dan kearifan memang ada. Tapi, sekali lagi, tidak

konsisten. Penyebarluasan isu-isu lingkungan hidup dan perubahan

iklim berbasis kearifan lokal tidak akan berjalan ideal jika media

penyampai informasinya tidak bisa menghasilkan berita yang

memuat nilai-nilai tersebut.

11

Fadli menjelaskan di wilayahnya, Cilacap, pembicaraan soal isu-isu khusus

(misalnya : lingkungan) pernah dilakukan dan menemukan kesepakan bersama.

Tapi pada kenyataannya tidak berjalan semestinya. Ia beralasan hal ini karena

kekurangan jurnalis warga untuk meng-cover liputan-liputan tersebut

(wawancara 31 Juli 2012).

Page 22: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

110 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

Kunci dari semua ini adalah pada diri jurnalis dan redaksi.

Memang, isu lingkungan hidup dan perubahan iklim dalam kaitannya

dengan kearifan lokal adalah satu dari sekian banyak isu penting

yang terjadi di komunitas, meskipun demikian jurnalis warga tak

boleh luput memberitakannya secara komprehensif. Dampak

lingkungan hidup sangat besar bagi kehidupan manusia, kearifan

lokal adalah salah satu jalan keluarnya. Jurnalis warga yang berniat

meliput isu ini punya tanggung jawab agar pembaca bisa memahami

secara keseluruhan apa yang hendak disampaikan, tidak setengah-

setengah. Harapannya, dengan informasi yang komprehensif, tidak

ada multitafsir atas satu informasi dan terjadi gerakan bersama

untuk mengatasi perubahan iklim. Jurnalis warga juga bertanggung

jawab agar berita yang dibuatnya dibaca dengan sebaik-baiknya.

Dengan kata lain, jurnalis warga dengan segala keterbatasan yang

ada harus mampu mengemas beritanya dengan indah dan menawan.

Pada akhirnya, selain harus selalu berpihak pada masyarakat dan

mematuhi kode etik, mengutip Covach & Rosentiel, Jurnalis harus

berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan

sekaligus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif.

Daftar Pustaka

Adi, IGG Maha. 2007. Jurnalistik Lingkungan, dalam situs berita lingkungan http://www.greenpressreport.com, yang diakses pada 24 Juli 2012, pkl 13.39 WIB

Charity, Arthur. 1995. Doing Public Journalism, New York: The Guilford Press

Chesney, Robert Mc. 1998. Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Jakarta: AJI Jakarta.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Eriyanto. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana.

Page 23: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 111

Firmansyah, M. A & Mokhtar, M. S. 2011. Kearifan Lokal Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Usahatani dalam Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim di Kalimantan Tengah, sebuah Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor Pertanian, di Bandung 8 Nopember 2011.

Ishwara, Luwi. 2011. Jurnalisme Dasar, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Jatmiko, Tejo Wahyu. 2012. Rio+20: Indonesia Mau ke Mana?, dalam Kompas, 5 Juni 2012, hal. 6

Kovach, Bill & Rosentiel, Tom. 2001. Elemen-elemen Jurnalisme, Jakarta: ISAI.

Kusumaningrat, Hikmat & Kusumaningrat, Purnama. 2006. Jurnalistik: Teori & Praktek. Bandung: Rosda

Laksono, Dandhy Dwi. 2009. Menyingkap Fakta, Jakarta: AJI Indonesia

Maryani, Eni. 2011. Media dan Perubahan Sosial, Bandung: Rosda

Mudiarta, Rani & Stalker, Peter. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia harus Berpartisipasi untuk Melindungi Rakyat Miskinnya, Jakarta: UNDP Indonesia .

Murdiyarso, Daniel. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Santana, Septiawan. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: YOI

Hardjasoemantri, Koesnadi. 1996. Pendekatan Holistik dalam Jurnalisme Lingkungan, dalam Atmakusumah, Iskandar, dkk (ed.). Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa, Jakarta: YOI – LPDS

Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, sebuah makalah yang disajikan dalam prosiding seminar nasional Peneltian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.

Stovall, James Glen. 2005. Journalism: Who, What, When, Where, Why, and How, USA: Pearson

Page 24: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

112 | Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran, Jakarta: ISAI - LKIS

Wahyu & Nasrullah. Tahun tidak diketahui. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan Padi di Lahan Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala, diunduh dari http://sosiologi.upi.edu/artikelpdf/dayakbakumpai.pdf pada 19 Juli 2012, pukul 15.34 WIB.

Media Cetak

Abrasi, 120 Pulau Bisa Tenggelam Bisa Jadi Ancaman terhadap Titik Batas Negara, Kompas, 11 Juni 2012. Hal. 3

PERUBAHAN IKLIM Kenaikan Permukaan Laut Sulit Dikendalikan, Kompas, 4 Juli 2012. Hal. 9

Perubahan Iklim dapat Dikendalikan, Buletin Tata Ruang, Mei-Juni 2011, hal. 28

Konferensi Rio+20 : Indonesia dan Ekonomi Hijau, Kompas, 27 Juni 21012, hal. 14

Sumber Online

http://www.antaranews.com/berita/319027/klimatolog--perubahan-iklim-buat-petani-bingung, dilihat pada 18 Juli 2012, pukul 14.57 WIB.

http://www.redd-indonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=223&Itemid=83, dilihat pada 19 Juli 2012, pukul 09.04 WIB

http://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tentang_perubahan_iklim.pdf, diunduh 19 Juli 2012

http://rumahiklim.org/wp-content/uploads/2011/08/Kearifan-Lokal-Pengelolaan-Hutan-Adat-di-Kp-Hulu.pdf, diunduh pada 19 Juli 2012, pukul 15.44 WIB

www.suarakomunitas.net), menurut profilnya (http://suarakomunitas.net/web/siapa_kami, dilihat pada 27 Juli 2012, pukul 13.51 WIB

http://regional.kompas.com/read/2011/03/24/19410238/Kearifan.Lokal.Hadapi.Perubahan.Iklim, dilihat pada 19 Juli 2012, pukul 15.51 WIB

Page 25: media komunitas dan jurnalisme lingkungan berbasis kearifan lokal

ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.

Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal | 113

Oleh: ARYO SUBARKAH EDDYONO, S.Sos. M.Si.12

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bakrie - Jakarta

Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan, Jakarta Selatan - 12920.

HP: 0818467664, E-mail: [email protected]

12 Aryo adalah lulusan Strata-1 sosiologi Universitas Gadjah Mada tahun 2005 dengan fokus sosiologi media. Di tahun 2010, ia melanjutkan kuliah pada jenjang Strata-2 sebagai fellow pada program beasiswa untuk jurnalis kerjasama Medco Foundation – Universitas Paramadina dengan mengambil konsentrasi komunikasi politik. Di pertengahan tahun 2011, dalam masa studi 3 semester, ia akhirnya menyelesaikan studinya berpredikat cum laude. Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ini memulai karir jurnalistik penyiaran semasa kuliah di tahun 2000. Sejumlah media tempatnya menimba ilmu, diantaranya: Radio Swaragama FM Jogjakarta, Radio Eltira Jogjakarta (grup Kompas), Radio Elshinta Jakarta, ANTV, TPI (sekarang MNC TV), dan tvONE. Pada Juli 2011, ia memilih berhenti dari media arus utama dan fokus pada pendidikan tinggi yang telah ia jalani sejak tahun 2007 sembari bekerja di media. Pada Februari 2012, ia akhirnya memilih sebagai dosen tetap di Universitas Bakrie. Topik media komunitas dan demokratisasi adalah salah satu topik yang ia minati.