MDGs as My Development Goals - versi Indonesia

download MDGs as My Development Goals - versi Indonesia

of 113

description

MDGs as My Development Goals - versi Indonesia

Transcript of MDGs as My Development Goals - versi Indonesia

MDGs as My Development Goals

MDGs as My Development Goals

Edited by Puthut EA

MDGs as My Development Goals

Edited by Puthut EA

Penderitaan Berkelanjutan Orang-orang PengungsianOleh Ishak Salim

W

arna bibirnya merah menyerupai mawar. Bila ia meludah maka cairannya juga berwarna merah mawar, namun segera lebur dalam resapan tanah yang kehitaman penuh debu karbon. Rambutnya, seluruhnya berwarna putih. Kerudung yang dikenakannya juga berwarna putih. Namun di sana sini, baik rambut maupun kerudung itu dilumuri noda hitam dari serbuk karbon yang tercipta dari ratusan usapan jemarinya yang hitam karena bebatuan mangan yang menyita seluruh harinya di tempat ini. Perempuan sepuh itu terus mengais bebatuan bersama tiga cucunya. Memilih kerikil mangan dan mengumpulnya satu demi satu hingga memenuhi embernya dan lalu cucunya akan memasukkan ke dalam sebuah karung hingga menjadi seberat 50 kilogram. Satu meter di depannya, sebuah lubang yang menganga sedalam tiga meter telah tergali oleh seorang pria paruh baya dan dua nyong (pemuda) tanggung berbadan tegap lagi hitam legam warna tubuhnya. Mangan yang melekat dalam tanah semakin jelas terlihat. Orang-orang ini sudah membayangkan berkilo-kilogram mangan akan dikumpulkan hingga satu hari ini. Satu per satu sekop tanah bercampur butiran mangan dilemparkan ke atas tepat disamping nenek dan adik-adik ini. Itulah yang kemudian mereka kais dan pilah satu per satu butiran mangan dari tumpukan tanahnya. Yang tua dan yang masih

balita hanya mampu mengais dan memunguti kerikil mangan. Dan yang kuat tenaganya memilih menggali, dan mencongkel mangan di lima lubang yang telah mereka gali sekitar satu bulan ini. Nenek itu, Martina (67), tiba-tiba tertawa mendengar celoteh seorang cucunya dalam bahasa Timor Lorosae yang juga sedang mengais tumpukan kerikil mangan tepat di sampingnya. Dari dalam mulutnya, dua warna terlihat merah dan putih. Sirih, pinang, dan kapur sirih yang dikunyahnya mewujud merah dan di sebagian gigi yang masih tersisa memberi putih, serupa warna bendera dari negara yang sepuluh tahun lalu dipilihnya sebagai tempat untuk tinggal, Republik Indonesia. Di area tambang mangan ini, Desa Sukaernaruk, Kabupaten Belu, NTT, bekerja seratusan keluarga pengungsi eks-Timor Lorosae yang mengungsi sejak akhir Agustus 999 lalu. Area ini adalah milik seorang guru SD di Oenari yang baik hati, Siprianus Wempimanek (42) yang merasa beruntung menyadari tanah perkebunannya mengandung berton-ton mangan. Kebetulan Siprianus kenal baik dengan Victor Bordes (45), salah seorang pengungsi yang menjadi guru di tempat yang sama. Victor mengabarkan bahwa ia memiliki kawan-kawan yang siap menambang mangan milik Siprianus. Sejak penyampaian Victor atas pekerjaan baru ini kepada seluruh warga di kelurahan Fatuk Bot,

My Development Goals

Kecamatan Atambua Selatan, NTT, datanglah 36 orang pertama yang siap bekerja. Awalnya mereka tidak langsung menggali tambang itu, namun bergotong royong membuka jalan bagi sejumlah truk yang akan mengangkut batubatu mangan nanti. Selama dua hari mereka menebangi pepohonan di sana sejauh sekira seratus meter dan mengeraskan jalan dengan perlengkapan seadanya, seperti parang, linggis, cangkul, dan sekop. Barang-barang ini pulalah yang akan digunakan oleh mereka untuk menambang di hari berikutnya. Pengungsi ini menetap di kampung Usuulun sejak akhir 2005 yang jaraknya berkisar 0 kilometer dari lokasi mangan. Sebelumnya mereka tinggal di kamp pengungsian Lolowa blok B yang dihuni 97 KK sejak lima September 999. Mereka hidup dalam keadaan darurat dan kesulitan di seluruh hari masa pengungsian. Memang benar, tak ada hari yang benarbenar indah bagi pengungsi ini. Setiap hari adalah perjuangan untuk sesuap nasi. Mereka adalah para petani kopi yang kini tak memiliki sepetak lahan sekalipun dan itu seperti burung kehilangan sayap untuk terbang di angkasa. Sejak kepindahan dari kampung halaman di Ailelo, Manusae, Maubesi, Dilli, atau beberapa tempat lainnya di Timor Lorosae akibat konflik politik yang tak mereka inginkan, mereka hanya tinggal di dalam tenda-tenda darurat sekian tahun tanpa pekerjaan yang layak dan tinggal dalam lingkungan yang buruk, kumuh dan miskin prasarana fisik dan sosial. Hanya berbekal kemampuan yang ada, mereka berupaya keluar dari malapetaka pengungsian ini tanpa mengharap banyak uluran tangan dari pemerintah daerah setempat. Mereka mulai mengorganisir diri mereka sendiri sesuai kemampuan.

Adalah Jose Maia dos Santos (5), salah seorang yang menjadi pemompa semangat keluargakeluarga pengungsi Asuulun, yang turut membantu sekumpulan keluarga ini mencari jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi. Kami butuh pekerjaan dan rumah yang layak, demikian Jose mengekspresikan semangat tujuh tahun lalu.

T

***

ahun 200, masa tanggap darurat penanganan pengungsi berakhir. Bantuan terhadap mereka menjadi terbatas. Tapi hari tak bisa menunggu dan hidup harus berjalan sesuai putaran waktu. Mereka lalu bekerja apa saja untuk makan dan membiayai sekolah anak-anak. Dalam keadaan di mana hidup tidak layak, tanpa tanah dan air untuk mengandalkan kemampuan sebagai keluarga petani mereka mencari pekerjaan. Bekerja apa saja selama empat tahun pengungsian di Lolowa. Yang penting tidak mencuri. begitu prinsip mereka seperti diutarakan oleh Jose Maia dos Santos yang memiliki seorang istri dengan delapan anak. Awal Agustus 2005, saat kebutuhan akan tempat tinggal yang layak sudah begitu mendesak muncul keinginan untuk pindah dari kamp pengungsian Lolowa. Satu-satunya harapan datang dari para pekerja sosial CIS Kupang. Mereka membantu keluarga pengungsi ini dalam membangun kesepakatan warga membeli sebidang tanah untuk rumah bagi 48 KK ini. Saat itu, pemerintah daerah memang benar-benar kehilangan perannya di mata para pengungsi ini. Pada awal tahun 2006, mereka mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli tanah. Kebetulan saat itu, ada seorang ibu dari Belu, Martha Mada, yang memiliki lahan kebun yang cukup untuk menampung 40 keluarga dengan 40

2

My Development Goals

My Development Goals

3

rumah tinggal seukuran 0-5 meter persegi. Atas bantuan seadanya dari CIS Kupang, pengorganisasian pengungsi untuk kepindahan tempat hidup yang lebih nyaman segera dimulai. Mereka, 40 keluarga pengungsi ini, akhirnya bernegosiasi dengan ibu pemilik tanah seluas 57 X 79,60 meter ini. Harga yang harus dibayar adalah tujuh juta rupiah dan sejak saat itu seluruh keluarga mulai mengumpulkan uang dengan bekerja apa saja. Sayang, saat tiba masa pembayaran tanah itu, hanya terkumpul uang sebanyak Rp. 4.050.000,- dan masih harus melunasi segera sebesar Rp. 2.950.000,-. Untunglah, ibu Martha bersedia menerima pembayaran itu dan sisanya menyusul kemudian. Tanah pun terbeli. Dengan ikatan sependeritaan dan semangat untuk terus hidup mereka mulai membersihkan belukar dan pepohonan di lahan tersebut. Sebenarnya, lahan ini lebih mirip kebun yang masih menyimpan pepohonan besar dan tanaman singkong sehingga mereka harus bekerja keras membersihkannya dan menggambar denah kampung mereka serta rumah tinggal mereka. Luas 0 x 5 meter tentu bukan bilangan halaman yang besar. Hanya akan cukup dengan sebuah kamar tidur bagi istri dan anak-anak perempuan mereka dan sedikit teras. Tentu tak ada sisa lahan untuk sekedar bercocok tanam. Padahal sebagian besar dari mereka adalah petani. Petani tentu selalu butuh lahan. Dan di sini mereka tidak menemukan lahan itu. Ungkapan Makankah kami hari ini? adalah tanya yang setiap pagi harus diucapkan, harus dipikirkan, dan tentu saja harus didapatkan. Orang lalu bekerja apa saja karena hari baru terus menggelinding. Setiap orang harus bangkit dan menjaga kehormatan keluarga dengan tidak mengalami kelaparan. Belum lagi urusan pendidikan anak. Putus sekolah adalah pilihan

yang tak bisa dihindarkan karena tingginya pengeluaran untuk transportasi sehari-hari. Bagi yang bermental baja, berjalan kaki setiap hari selama dua jam adalah satu pilihan sulit yang harus ditempuh. Bila ada sedikit uang barulah naik ojek. Beberapa dari mereka memilih menjadi penjaja sayur-mayur yang dibelinya dari pasar Lolowa Atambua dan menjualnya ke rumah-rumah atau di pinggir jalan yang ramai. Sebagian lagi memilih menjadi tukang batu bata, tukang gali sumur, membersihkan rumput di kebun orang atau terlibat dalam pekerjaan proyek infrastruktur pemerintah di desa-desa tertentu. Sejak bantuan bagi mereka di tahun 200 terhenti, peran pemerintah nyaris tak terasakan lagi. Seringkali tetesan air mata mampir di mata Jose Maia dos Santos begitu menyadari tak ada apapun yang bisa di makan oleh diri sendiri, istri, dan anak-anaknya. Mereka seperti orang buangan di kampung sendiri sebagai orang Timor. Di rumah kecil mereka, tinggal istri Jose yang bernama Saturlina Exposto (40), bersama empat anaknya, masing-masing bernama Jelia Maia (9), Leonito Maia (6), Marcelina Exposto (4), dan Paul Maia (7). Kini seluruhnya sedang menggantungkan diri pada mangan. Anakanaknya yang lain tidak lagi serumah karena telah berkeluarga. Berdasarkan pengalaman sulitnya hidup, Jose lalu menabung serupiah demi serupiah untuk membeli dua ekor babi dan dipeliharanya hingga kini. Pernah pula ia dapat bantuan 2 ekor kambing dan kemudian ia pelihara hingga dewasa. Babi dan kambing ini benarbenar ia pelihara saja dan walaupun keadaan hidupnya demikian sulit dia tak pernah berpikir menjualnya. Suatu saat akan tiba waktunya untuk menjual ternak tersebut di saat yang tepat. Rupanya, ternak ini adalah aset masa

4

My Development Goals

depan bagi anak-anaknya kelak, khususnya untuk menjamin kelangsungan pendidikan.

T

***

anggal 9 Juni 200, Suara dari sebuah truk menderu-deru dari kejauhan. Waktu saat itu menunjukkan pukul 3.00 waktu Timor. Di salah satu tenda, dua puluhan anak kecil, lelaki dan perempuan, sedang menikmati bubur jagung yang dihidangkan oleh Saturlina Exposto, istri Jose Maia dos Santos. Ini adalah makan pertama bagi mereka sejak pagi tadi di mana mereka terbangun dan langsung bekerja memunguti kerikil mangan. Demikian pula bagi orang dewasa yang sebentar lagi menyusul untuk makan siang. Perut mereka sudah terasa begitu laparnya karena sejak semalam dan pagi ini tak ada santapan sedikitpun. Mereka memilih untuk makan sekali dalam sehari saja. Bila harus ada makan malam lagi, maka pengeluaran akan tambah dan uang yang akan dibawa pulang akan terus berkurang. Tidak makan di malam hari adalah pilihan paling realistik bagi mereka untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Truk itu mulai memasuki area tambang di mana para penambang ini berada. Berkarungkarung mangan terlihat siap ditimbang untuk kemudian dimasukkan ke dalam truk berkapasitas 8 ton ini. Namun, karena medan jalan yang bergelombang dan mendaki, sang supir hanya berani mengangkut 4 5 ton saja. Bila penimbangan sudah dimulai, maka si empunya mangan akan datang membantu proses penimbangannya. Setiap karung hanya dibatasi 50 kg saja dan setelah itu karung plastik berwarna putih ini dijahit dengan tak rapih lalu dimasukkan ke atas truk. Bila sudah masuk, maka si pencatat, Fransisco (42), akan segera menuliskan di buku lusuhnya: nama dan jumlah karung mangan yang telah ditambangnya.

Misalnya, ia menulis Ernesto 50, 50, 50, 50, 50 dan seterusnya, hingga ia menuliskan sejumlah bilangan untuk menentukan berapa karung ia miliki. Perolehan mangan dari setiap penambang dewasa sejauh ini tidak jauh berbeda. Sepertinya, tidak ada keserakahan dalam diri mereka. Seseorang akan berhenti mengumpulkan mangan bila dirasanya sudah cukup dan lalu membiarkan yang lain untuk menjadi pengumpul berikutnya di dalam satu lubang. Rerata, mereka akan dapat 30-40 karung dalam sehari dan sejauh ini beberapa diantara nyong di sana sudah mengumpul hingga ton mangan. Bila sudah ditimbang uang pun segera ditangan. Di sebuah gudang tak jauh dari area tambang ini, sudah menunggu pemasok mangan bernama Rudi keturunan Tionghoa-Atambua. Walau usianya masih relatif muda, 23 tahun, ia memahami bisnis mangan ini. Siprianus Wempimanek juga menjual mangannya di sini dengan harga Rp. .700,- perkilonya. Ada sekian pemilik lahan yang menjualnya kepada Rudi dan di Atambua ini, ia tidak sendiri, ada 8000 pemasok lainnya yang juga membeli dari banyak pemilik lahan tambang di Atambua. Sebutlah A Hui, seorang pemasok dari Kupang, lalu Mr. Cheng, Mr. Ma dari China, Mr. Lee dari Korea, dan beberapa dari Philipina, India, dan Taiwan. Dengan menggunakan nalar bisnisnya, Rudi menduga sebenarnya hanya ada seorang pembeli tungal entah siapa dan entah di mana yang menggunakan sejumlah pemasok seolah sebagai pembeli langsung. Harga mangan sendiri sudah lebih baik dibanding harga awal beberapa bulan sebelumnya yang berkisar Rp. 250 Rp. 300 per kilonya. Kini harganya dari tangan penambang ke pemilik lahan sudah mencapai Rp. 000,- dan pemilik lahan menetapkan harga dikisaran .600 hingga .700My Development Goals

5

kepada pemasok, dan pemasok menjualnya seharga antara Rp. .850 hingga Rp. 2.250,- per kilonya kepada pembeli asing. Untuk pembeli asing yang masuk ke Atambua ini, kehadirannya secara legal adalah dengan menggunakan visa bisnis. Biasanya, para pendatang asing ini, tidak ingin lagi berurusan dengan pemerintah menyangkut surat-surat perizinan (SKAB) dan masalah keamanan atau jatah bagi polisi. Untuk setiap pembeli, Rudi selalu menyiapkan beberapa dokumen, dukungan beberapa polisi berpengaruh, dan truk pengangkut ke pelabuhan untuk dibawa ke Surabaya atau tempat lainnya. Menjelang sore, seluruh penambang akan berhenti bekerja. Mereka segera bersiap menuju sungai kering yang masih memiliki beberapa buah genangan air yang tersisa di awal kemarau ini. Jaraknya cukup jauh, sekira 20 menit mendaki dan menurun. Dalam perjalanan

menuju sungai itu, rupanya masih ada sekitar lima titik penambangan mangan serupa milik orang lain. Para penambangnya juga adalah pengungsi eks-Timor Timur, hanya saja mereka dari kamp lain seperti Lolowa, Sukaernarut, Raknamo, Manusak, Oefeto, dan lainnya. Mereka sudah lebih dulu di tempat ini, sudah lebih dari tiga bulan bermukim dan hanya sesekali pulang ke rumah untuk menyimpan uang lalu kembali lagi esok paginya untuk tinggal seminggu atau lebih lagi. Tiba di sungai mereka lalu mencari genangan serupa kolam kecil di sana, yang berdiameter tak lebih 0 meter dan kedalaman hanya setinggi lutut saja. Pada awalnya air itu terlihat jernih dan begitu segar menikmati mandi di sana. Tapi, jumlah mereka cukup banyak dan air ini rupanya tak mengalir. Sebentar saja, air ini menjadi keruh lalu menghitam setelah debu-debu mangan yang menempel bahkan melekat di kulit mereka

6

My Development Goals

tersapu. Busa sabun di badan mereka dibilas saja dalam kolam itu dan menyerap bersama debu mangan di seluruh genangan air kolam itu. Tapi, mereka tak peduli dan tak perlu peduli dengan hal itu semua. Sisa air ini tentu jauh lebih baik ketimbang kering pada beberapa hari mendatang saat kemarau benar-benar tak lagi ramah dengan satu dua kali turun hujan. Anak-anak lelaki seluruhnya membuka baju dan celana mereka dan bermain cipratan air sesama mereka sambil tertawa-tawa. Lelaki dewasa akan mencari kolam lain yang lebih tinggi di atas sana dan nona-nona akan ke bawah dengan genangan air atau kolam yang lain yang lebih tersembunyi. Di sana, salah satu kolam berdiameter meter ada mata air yang walau begitu perlahan terus menerus mengeluarkan air jernih yang segar. Mereka menjaganya dan menutupnya dengan daun gebang setiap kali ditinggalkan oleh mereka. Di sinilah mereka mengangkut jerigen demi jerigen air minum mereka. Biasanya, setiap anak akan membawa sejerigen air untuk dibawa ke tenda dan lalu dimasak untuk air minum mereka. Bagi yang haus setiba di sungai ini, meminumnya langsung sangatlah menyegarkan dan melepaskan dahaga. Harapan mereka, semoga air ini tak hilang meski kemarau menggila. Yang sulit bila hendak buang air besar. Dengan jarak tempuh 20 menit itu, anak-anak lebih memilih buang air tak jauh dari lokasi tambang ini. Mereka memilih semaksemak. Tentu saja tak ada air dan seringkali mereka membersihkan dubur dengan dedaunan dan terkadang menggosok dengan batu yang ada.

pertanyaan dari sebuah wawancara pendek dengannya. Dalam bahasa Lorosae Jelia menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan aspek pribadi si nenek, seperti usia, jumlah anak dan cucu, dan alasan bekerja dipertambangan mangan ini. Rupanya ia tinggal di sebuah rumah bersama dua orang cucunya. Ia tak lagi tinggal bersama anak-anaknya yang telah berkeluarga. Sebuah sikap yang banyak ditunjukkan oleh orang tua lanjut usia Timor yang tak ingin tinggal serumah dengan anakanaknya sepanjang ia mampu dan memilih tinggal dan memelihara cucu-cucu yang mungkin mereka pelihara. Dia butuh membeli sirih dan pinang, sabun, juga beras dan minyak goreng. demikian Jelia menerjemahkan jawaban nenek itu. Ia tetap mengais tanah-tanah dihadapannya, memilah kerikil mangan, dan meletakkannya satu demi satu ke dalam ember miliknya. Sesekali ia menggaruk lengannya yang infeksi padahal kuku dan jemarinya sudah dipenuhi debu karbon. Begitu gatalnya dan begitu kuatnya ia menggaruk lengannya luka-luka goresan mulai terkuak, awalnya putih dan lalu merah darah mulai memenuhi luka. Ia tak peduli. Bahkan ia meludahinya dan menggosok luka bersama cairan merah sirih itu. Maksudnya tentulah untuk membersihkan sisa karbon yang menempel dari kuku-kukunya tadi. Selanjutnya ia memunguti kerikil-kerikil mangan itu lagi dan memasukkan ke dalam ember kecilnya. Cucu yang membuatnya tertawa tadi, yang rambutnya keriting lembut, membantunya menambah bilangan kerikil mangan. Sejauh ini, di hari kedelapan ia di sini, telah empat karung ia kumpulkan. Setiap karungnya berisi pada kisaran 50 kilogram mangan dan setiap kilogram mangan akan dihargai seribu rupiah. Bilangan pastinya belum bisa ia ketahui, karena belum tiba giliran batu-batu manganMy Development Goals

D

***

i penambangan Sukaernaruk, sepasang mata Nenek Martina nyalang menatap Jelia (4) yang sedang menerjemahkan

7

miliknya untuk ditimbang. Si penimbang, bapak Fransisco, masih sibuk mencatat berat mangan yang telah diperoleh dari setiap orang dan memastikan berapa rupiah harus diberikan kepada penambang yang seluruhnya kumal oleh karbon ini. Tapi, tentu saja kekumalan itu tidak terlihat dari pancaran semangat dan senang di wajah para pengungsi ini. Ini adalah pekerjaan yang paling pantas dan jelas bagi mereka. Ada kerja, ada uang, dan beta bisa makan. Di area tambang ini, lima lubang telah tergali dalam. Debu-debu mangan beterbangan bila angin bertiup kencang. Lubang-lubang itu mengerikan bila tidak diperlakukan secara benar. Kemarin, 26 Juni 200, di pertambangan mangan di Sukaerbadak, desa Fatuketi, beberapa kilometer dari lokasi tambang ini, tiga orang mati tertimbun. Mereka, Jose Pareira (36), Jorjana Gama (40), dan anaknya Ferjiana Gama (5) telah menggali kuburannya sendiri. Beruntung seorang diantaranya, Abilio Do Santos (28) berhasil menghindar dan mengalami luka berat. Untuk sementara ia berhasil menyelamatkan diri dan begitu pula bagi orang-orang yang masih bekerja sepanjang pagi sampai sore hari hingga hari ini dengan tanpa bekal pelindung sama sekali. Ketiganya mati mengenaskan sebelum organ dalam tubuh mereka benar-benar mati karena kandungan racun dalam mangan yang setiap hari dihirup. Mereka mencari mati. ucap salah seorang penambang Sukaernaruk begitu mengetahui bahwa penggalian yang mereka lakukan memang menyalahi ketentuan. Mereka terlalu dalam membuat ceruk ke samping dan lupa meruntuhkan tanah di atasnya sebelum ceruk itu digali lebih dalam ke sisi kiri atau kanan. Lubang-lubang menyerupai kuburan itu terus saja mereka gali. ***

anggal 27 Juni ini adalah hari ke-25, dan sampai sejauh ini jumlah berat mangan yang dicapai menurut Siprianus Wempimanek sudah menembus angka 00 ton dan berarti sudah 00 juta uang mereka terima. Jumlah penambang ini mendekati angka seratus lima puluh orang yang terbagi dalam lima kelompok yang seluruhnya adalah keluarga pengungsi yang tinggal di Asuulun dari tiga RT berbeda, yakni RT 2, 22, dan 23. Jose Maia dos Santos sesekali datang memantau pekerjaan warganya. Ia harus memastikan bahwa keamanan kerja warganya terjamin. Ia senantiasa memperingatkan mereka untuk berhati-hati dan saling berbagai. Dan satu hal yang lebih penting adalah menjaga agar ceruk tidak begitu dalam dibuat dan sebaiknya segera diruntuhkan agar terhindar dari runtuh tanah berbatu ini. Sepanjang siang dan malam, kampung pengungsi ini sepi. Hanya bilangan jari kita bisa melihat warga lalu lalang. Selebihnya tinggal di lokasi tambang mangan yang hanya beratapkan tenda terpal yang koyak, malam yang dingin menusuk tulang, dan makan yang hanya sekali dalam sehari, cukup di siang hari saja. Dua kali makan berarti mengurangi jumlah uang yang didapat. Beruntung istri Jose Maia dos Santos datang membantu memasak di salah satu tenda bagi warga RT 2. Butuh seember mangan untuk sekali mangan (makan). Bagi anak-anak dan orang tua seusia nenek tadi cukup ember kecil mangan berisi tujuh kilogram, sedangkan bagi mereka yang dewasa dan lebih kuat harus menyetor seember mangan seberat 6 kilogram. Tak ada setoran seember mangan berarti merana tanpa santap siang! Demikian Aleksius Leki (29) bergumam ceria menikmati santap siangnya yang hanya terdiri nasi putih dan mie rebus.

T

8

My Development Goals

Jose Maia dos Santos memilih menjaga kampung mereka. Ia tak pernah bermalam di pertambangan ini. Kampung mereka di Asuulun perlu dijaga karena nyaris seluruh lelaki bermalam di Sukaernaruk. Malam itu, walaupun di banyak tempat di Atambua orang beramai-ramai menonton siaran langsung piala dunia antara Korea Utara vs Portugal, ia memilih berkeliling kampung dengan senternya. Memasuki lorong-lorong sempit yang menghubungkan rumah-rumah berdinding bebak ini. Kampung pengungsi sangat rentan dimasuki maling. Sudah sering kejadian itu berlangsung. Penerangan jalan yang tidak memadai menambah rawan daerah ini dan Jose mengabdikan diri untuk itu. Pukul dua malam ia baru kembali ke rumah dan akan tidur sejenak. Karena terbiasa terjaga pada pukul empat pagi maka ia akan bangun setelah dua jam tertidur. Itupun tidur-tidur ayam di mana ia akan terjaga bila mendengar suara mencurigakan. Ketika pagi tiba, Jose Maia dos Santos mengeluarkan dua ekor babi yang dimilikinya dari sebuah kandang. Tak lama kemudian ia menambatkan tali yang menggantung di leher babi berwarna hitam legam di atas tanah yang kering. Babi yang dipeliharanya sejak dua tahun

lalu merupakan tabungan keluarga kecilnya sejak tinggal di Asuulun ini. Suasana tampak lengang. Nyaris tak ada orang lalu lalang di perumahan yang padat ini. Sumur-sumur dengan cap Uni Eropa ini sepi. Tak terlihat aktivitas mencuci dan mandi sebagaimana beberapa minggu sebelumnya. Sebagian besar sedang di pertambangan mangan. Rumah Jose Maia dos Santos sederhana saja. Hanya ada lima kursi plastik, sebuah meja, dan lemari kayu di ruang tamu dan ruang belakang. Ada juga sebuah kamar yang ditinggali istri dan anak-anak perempuannya yang hanya berpintukan sehelai kain. Di belakang rumah, ada ruang dapur yang terpisah dari bangunan rumah ini. Hari itu sepi. Anak-anak dan istrinya sedang di Sukaernaruk menambang mangan. Kebetulan, saat itu sedang libur sekolah dan itu berarti kesempatan bagi setiap keluarga pengungsi ini mengumpulkan bebatuan mangan untuk menambah pendapatan keluarga. Sebelum ada tambang mangan, pemukiman di sini ramai oleh aktivitas keseharian warga dan pekerjaan mereka lebih beragam. Banyak diantara ibuibu keluarga di sini yang membeli berikat-ikat

My Development Goals

9

sayuran untuk dijual secara berkeliling ke rumah-rumah penduduk Belu. Banyak pula kios mini di beberapa rumah di sini. Namun karena kurangnya warga khususnya anak-anak tiga minggu terakhir, membuat mereka memilih menutup kios dan mengikuti jejak anggota keluarga lain yang sudah lebih dulu berada di Sukaernaruk. Menjelang malam, mereka seluruhnya sudah selesai membersihkan badan. Lima buah tenda dari lima kelompok besar mulai terisi satu persatu. Anak-anak Jose Maia masih bermain di tengah tubuh-tubuhnya yang letih. Sebentar lagi mereka akan tertidur pulas. Etilia saromento Borjes () dan Sulestiana De Castros (2) serta beberapa temannya sudah tak tahan lagi, ia masuk ke dalam tenda dan berharap bermimpi membeli seragam sekolah, buku-buku sekolah, dan kerupuk. Kakak-kakak mereka masih masih asyik bercengkerama sambil mendengarkan lagu-lagu pop dari salah satu handphone mereka. Tak lebih dari pukul sembilan malam mereka pun akan masuk karena istirahat begitu pentingnya bagi mereka malam ini. Tenda akan terisi penuh, berdesak-desakan dan tak ada pilihan lain selain tidur dengan posisi apa adanya.

bekerja, dan bila perlu mengenakan sarung tangan. Jose terdiam menyelami kata-kata pak guru dan membenarkan tindakan itu. Anak-anak mereka yang berusia 3-7 tahun ada di sana dan orang tua mereka yang berusia di atas 60 tahun juga berjibaku dengan racun-racun tambang ini. Sekali lagi ia merenungkan perkataan pak Guru akan beberapa dampak dari kerja di pertambangan ini; batuk, sulit tidur, gangguan pernapasan akut, batuk darah, sakit pada dada bagian kiri, diare berlendir dan berdarah, hingga yang paling parah tumbuh tumor di kemaluan. Ia menyimpan kata-katanya dalam hati, Tapi, kami butuh uang untuk makan, anak-anak kami butuh uang untuk membeli seragam, buku, dan pulpen, dan ongkos ojek. Sebelum ia beranjak, ia hanya berujar, Akan saya sampaikan saran Pak Guru. Ia pun kembali ke rumahnya menyimpan gelisahnya. Cahaya senternya berkelebat menyentuh dinding rumah, pepohonan, dan tanah di depannya. ooOoo

M

***

alam itu, Jose Maia mengunjungi Guru Dominggus. Hanya keluarga ini yang tak pergi ke pertambangan mangan. Sebagai guru di salah satu sekolah negeri dan posisi sebagai Pegawai Negeri Sipil Dominggus tahu dan menyadari bahwa betapa berbahayanya anak-anak bekerja dipertambangan mangan. Ia menganjurkan kepada Jose agar sering mewanti-wanti warganya akan pentingnya mencuci tangan sebelum makan, menggunakan masker saat

0

My Development Goals

My Development Goals

2

My Development Goals

Perempuan Magma SamosirOleh Anwar Jimpe Rachman

T

ak pernah terlintas di benak Kostina Sinurat (46) kalau anaknya, Sandro Sitanggang (27), tidak mau melanjutkan sekolahnya. Padahal tujuh saudara Sandro justru sebaliknya. Saya sampai sekarang tidak mengerti mengapa, ujar Kosti. Suara perempuan bertubuh besar nan sehat ini tanpa ragu, mantap dan bulat seperti bunyi baligasebatang alat tenun yang ia pakai merapatkan tiap helai benang ulos setiap hari. Tatapan matanya tajam dan penuh konsentrasi sebagaimana jika ia menenenun ulos, kain khas Suku Batak. Saat itu Rabu sore, pekan ketiga Mei. Sandro adalah anak sulung pasangan Kosti Sinurat dan Sintong Sitanggang. Sandro kini tinggal di Jakarta, mencari nafkah sebagai sopir angkutan kota. Tapi kita sudah coba mendorong dia tetap sekolah. Kalau anaknya memang yang tidak mau, ya mau apa lagi, begitu Kosti mengujar pasrah. Ia berhenti menggerakkan baliga sebentar dan melanjutkan kerjanya. Adik-adik Sandro berpendidikan beres. Elis (25) lulusan Ekonomi Manajemen Univesitas Katolik Santo Thomas Medan kini mengurus administrasi Radio Samosir Green; Verawaty alumni D Medikom Medan sekarang kerja di PNPM Samosir; Esra yang lahir 30 Oktober

My Development Goals

3

988 masih kuliah kebidanan; Domuraja (20) lulus PMDK di Bandung; Hendra Priyantoni (8) di kelas II SMA, mengulang kelas karena menganggur setahun lantaran kakinya patah dalam sebuah kecelakaan Agustus 2009; Apriyoni yang lahir pada 27 April 996 sekarang kelas III; sedang si bungsu, Elisabeth yang berusia 2 tahun duduk di SMP Kelas I, Dapat ranking dia, ujar Kosti bangga. Kosti tak lain salah seorang penenun di komunitas kecil yang bermukim di Huta Lumban Nabolak, Buhit Pardugul. Huta (kampung) ini berada di pinggir Danau Toba, yang secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Kampung yang terletak sekisar 0 kilometer dari Pangururan, ibukota Samosir, dihuni oleh enam marga, yakni Sinurat, Sitanggang, Malau, Nainggolan, Naibaho, dan Sihotang. Tampaknya tradisi terjaga di huta ini. Di sana masih terawat rumah adat kuno, rumah ganjang (panjang) dan rumah bolon (rumah besar), lengkap dengan foto pastor berwarna sepia di samping kanan pintu utamanya. Konon, sosok yang ada dalam foto itu adalah pastor pertama yang mengabdi di Huta Lumban Nabolak. Ada pula tempat tidur kayu yang sudah berumur 200-an tahun. Itu pusaka orang dulu. Pusaka yang menurun ke kita. Hanya atapnya yang diganti seng. Dapurnya sudah di belakang. Semua, dari dinding sampai tiangnya masih asli. Dulu di situ tinggal enam keluarga. Makanya, dapur mereka dulu di tengah, jelas Kosti di keesokan paginya, sambil menunjuk rumah besar yang tepat berada di samping rumahnya, tanpa dinding! sergah Kosti, seperti tahu pertanyaan susulan penjelasannya tadi. Kosti melakoni kerja menenun ulos setiap hari, mulai pagi hingga menjelang senja. Para

tukang tenun Buhit Pardugul mengerjakan ulos bermotif Karo. Ulos motif Karo memang tidak ditenun di kampungnya melainkan dikerjakan oleh perempuan-perempuan Samosir. Jarak Karo dari Samosir membutuhkan perjalanan pergi pagi pulang malam. Ya, kalau lancar, kata Kosti, sambil menatap ke atas, satu lembar itu bisa selesai tiga atau empat hari, lanjut Kosti. Dia lalu mengambil selembar kain berwarna merah marun campur coklat dari kantong plastik menunjukkan contoh hasil kerajinan tangannya. Beban Kosti menyelesaikan sehelai seperti itu menjadi ringan berkat bantuan dua anak perempuannya yang terakhir. Elisabeth menggulung benangbahan baku tenunan yang dibeli di Karo; sementara Apriyoni membantu mangani (menjajar benang ke dalam alat tenun). Matahari mulai redup di balik gunung seberang Danau Toba. Awan mulai menjingga. Kosti berhenti menenun. Penahan punggung, tundalan, ia lepaskan. Pagabe (penjepit kain) dan giun (pemisah helaian benang) ia dekatkan ke pemapan (penahan benang). Sementara turak (tempat benang pengisi) dimasukkannya ke kaleng bekas bundar bekas tempat camilan bercampur dengan gulungan-gulungan benang. Perempuan berambut lurus itu segera duduk menyeruput segelas teh dan kue gabin, berbaur dengan para kerabatnya. Sambil meregangkan badan ia berkata, Yang paling sering sakit kalau habis menenun itu paha dan bahu. Kosti lalu memalingkan wajahnya ke Derita Sitanggang (3) yang duduk di sampingnya. Keduanya berbicara bahasa Bataksepertinya menanyakan sesuatu. Derita yang punya panggilan akrab Nai Dimpos ini sejak tadi menemani Kosti menenun, sambil bermain dengan bayinya yang berumur setahun di atas matras hijau terang. Rumah Nai Dimpos hanya

4

My Development Goals

diantarai tiga rumah dari rumah Kosti. Beberapa kerabat Kosti, kebanyakan bocah, berkumpul di halaman rumah Kosti bermain. Sesekali terdengar suara babi dari kandang yang berjarak hanya tiga atau empat meter dari tempat Kosti menenun. Menurut Kosti, hasil tenunannya dijemput langsung para tok (pedagang kain ulos) di Lumban Nabolak. Para pedagang inilah juga yang biasanya membawakan mereka bahan baku tenunan dari Karo. Dulu, waktu kami (saya) belum berkeluarga, kamilah yang bawa dan pasarkan sendiri ulos kami ke Karo. Karena sekarang repot mengurus anak, ya mereka (tok) mulai datang lagi ke sini, jelas Nai Dimpos. Harga ulos seperti hasil kerajinan tangan Kosti dihargai Rp. 300.000,- per helai. Setiap helainya, Kosti mendapat keuntungan bersih Rp. 20.000,. Kosti peroleh laba itu dari hitungan sebagai berikut: biaya kerja Rp. 20.000,- (Rp. 30.000,- 4 hari kerja) + Rp.60.000,- (modal bahan) = Rp. 80.000,-. Harga Rp. 300.000,- per helai bisa menjadi dua kali lipat bahkan lebih bila pedagang ulos sudah menjualnya di pasar. Harga ini sekisar tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan ulos hasil rajutan mesin. Harga itu, menurut pedagang-pedagang di onan, pasar pekanan di Parurungan, tenunan manusia jauh lebih rapi dan lebih rapat dibanding buatan mesin. Awalnya ulos hanya digunakan masyarakat Batak dalam acara ritual siklus hidup, seperti kelahiran, acara adat perkawinan dan kematian. Namun belakangan ini pemakaian ulos dalam

masyarakat Batak semakin meningkat. Mulai dari acara kelahiran, pembaptisan, naik sidi, memasuki rumah baru, acara adat perkawinan dan kematian. Pihak dari keluarga perempuan (istri) akan membawa ulos, sedangkan dari pihak laki-laki (suami) memberikan tumpak (uang). Ulos yang terkumpul, jika banyak, sebagian akan dijual ke pedagang ulos. Banyak tidaknya ulos tergantung besarnya undangan, misalnya pada saat acara adat perkawinan. Ulos yang terkumpul bisa dijual untuk menutupi biaya pesta perkawinan. Mereka (para pedagang ulos) akan datang dan menunggu pesta selesai. Begitu pesta selesai atau keesokan harinya, mereka akan datang menawar kain-kain ulos itu, tutur aktivis KSPPM Parapat, Delima Silalahi, mengenang pengalaman pesta pernikahannya tahun 2002 lalu. Menurut Kosti, sebagaimana halnya yang terjadi pada komoditas lain, harga ulos pun bisa naik turun. Di waktu-waktu tertentu seperti Ramadan (banyak orang Karo yang memeluk agama Islam) dan menjelang masuk sekolah, harga ulos sering turun. Karena para pembeli kan lebih mendahulukan membeli sembako untuk puasa, pas menjelang tahun baru, atau beli seragam atau buku tulis anak yang mau masuk sekolah, terang Kosti. Keterampilan menenun ulos diturunkan pula oleh Kosti ke anak-anak perempuannya sedari mereka kecil. Mulai dari Elis, anak perempuan tertuanya, sampai ke Elisabeth yang bungsu. Si bungsu sejak duduk di bangku SD belajar menggulung benang. Pewarisan pengetahuan itu berjalan alami. Biasanya kan gitu anak-anak... kalau lihat kita kerja, dia juga minta diajari karena lihat saya sama kakaknya menggulung benang. Sejak SD

Sebutan onan berasal dari bahasa Batak Toba, on (di sana) dan an (di sini), yang merujuk banyaknya barang yang tersedia/dijual di pasar setiap pekan itu.

My Development Goals

5

mereka menggulung, sambil belajar mangani. Sudah tamat menggulung baru belajar mangani. Di kelas III SMP sampai SMA mereka belajar menenun. Usia SMA mereka bisa kerja satu sarung seminggu. Kalau kami dua atau tiga per minggu, cerita Kosti. Kerja menenun ulos itu membantu Kosti dan Sintong, suaminya, mengelola rumah tangga yang mereka bangun sejak 982 silam. Hasil penjualan lembar-lembar ulos Kosti-lah yang membantu Sintong yang bergiat di sawah. Tentu dengan syarat, Bila kita tidak terganggu panen atau musim tanam. Malam pun mulai merayap. Lampu di ruang keluarga Kosti sudah menyala. Orangtua dan anak-anak yang berkumpul di halaman sudah pulang. Hanya dua ekor anjing peliharaan Kosti yang berjaga di halaman. Kosti membungkus alat tenunnya dengan sarung lalu naik ke rumahnya.

militer, Sintong mengambil sirih dan kapur dan segera dia lumat. Ia berangkat membantu memanen di sawah salah seorang kerabatnya. Para petani Samosir masih menerapkan konsep marsiadapari (gotong-royong) kala memanen. Sawah siapa yang pertama dikerjakan, tergantung diskusi para penyumbang tenaga di waktu istirahat. Mereka bergerak sampai semua padi milik sekelompok petani itu sudah dituai. Siapa padi yang masak duluan itu yang dikerjakan, terang Sintong. Mereka tidak digaji. Tapi yang punya sawah menyediakan makanan buat yang bekerja, ujar Kosti menambahkan. Sintong dan Kosti lalu memencar. Sang suami berjalan kaki, sementara Hendra sudah menunggu di atas motor untuk mengantar ibunya ke tempat penjemuran. Di penjemuran, dengan bantuan Hendra, Kosti mengeluarkan enam atau tujuh karung gabah dari lumbung keluarga yang berada di kilang penggilingan padi adik bungsu Kosti. Di belakang penggilingan, di seberang Danau Toba, tampak Pusuk Buhit, yang disebut-sebut sebagai ubun-ubun Sumatera Utaratempat awal suku bangsa Batak pertama beranak pinak.3 Di lumbung itulah persediaan makanan pokok kebutuhan keluarga tersimpan untuk setahun. Karena sawah-sawah di siklus panen di Samosir hanya sekali setahun. Selesai menghampar bulir-bulir padi, Kosti menghitung kebutuhan beras keluarga.

K

***

eesokan harinya, cuaca Lumban Nabolak bersih dan cerah. Dari barat, dari arah Danau Toba, angin sejuk bertiup pelan. Elisabeth dan Apriyoni sejak pagi sudah ke sekolah diantar ayahnya. Elis yang belum berangkat kerja, memasak lauk di dapur. Sementara di halaman, alat-alat tenun Kosti menganggur. Hari ini, Kosti harus menghampar dan menjemur gabah hasil panen sawah milik keluarga Kosti seluas 9 rante2 yang ditanami di bulan Desember tahun lalu. Sintong yang baru pulang mengantar anakanaknya ke sekolah, tak bisa membantu Kosti. Hari itu, dengan kupluk dan kaos dalaman motif

3 2 Rante, ukuran satuan Sumatera Utara untuk 400 meter persegi lahan.

Pemerintah Belanda menamakan wilayah sebagai Centraal Batakland yang artinya Tanah Pusat Suku Bangsa Batak. Lihat Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli 1915-1940, Jakarta: KPG, 2001.

6

My Development Goals

Hasilnya kurang lebih 60 kaleng4 untuk satu tahun. Hasil itu diperoleh dari kebutuhan makan tujuh anggota keluarganya per hari yang berkisar 0 mok atau ,5 liter beras untuk tiga kali makan dikali 2 bulan. Petak-petak sawahnya menghasilkan 200 kaleng atau dua ton padi di tahun 200. Cukup untuk biaya hidup. Sisanya kami jual, kata Kosti. Tapi hasil penjualan itu belum jadi keuntungan bersih. Dia dan suaminya masih harus menghitung pupuk (Urea 3 sak dan TSP sak untuk 9 rante). Harga beras Rp. 95.000,-/kaleng (0 liter). Menurut tetua Huta Lumban Nabolak, Rido Dori Sitanggang (72), meski terhitung besar, hasil panen itu hanya sepertiganya untuk kebutuhan keluarga. Selebihnya, dua pertiga, berdasarkan

pengalamannya, habis untuk biaya adat seperti perkawinan, kelahiran anak, kematian, atau acara lain. Setiap keluarga harus mengirim ulos atau setidaknya uang Rp. 50.000, kata Rido Dori. Hasil penjualan panen itu akan Kosti simpan, dari yang masuk ke rekening bank sampai dalam bentuk arisan, baik arisan kelompok tani sampai arisan PKK. Kalau bulat-bulat uangnya tidak ada. Lebih banyak uang di arisan daripada di bank. Ada sisa-sisa belanja, ya ditabung dari 500 ribu sampai satu juta baru ditabung ke bank, ungkap Kosti. Jumlah yang Kosti harus setor setiap bulan dalam arisan tidak kurang Rp. 2.500.000,-. Semua itu, menurut Kosti, ia lakukan karena tanggungjawabnya membiayai pendidikan anak-anaknya. Setiap bulan perempuan tamatan SMA ini mesti mengirim uang untukMy Development Goals

4

Kaleng, satuan ukuran Samosir untuk ukuran 0 liter.

7

Domuraja yang kuliah di Bandung dan Verawaty di Medan, masing-masing Rp. .500.000,-. Itu belum termasuk biaya makan keluarga minimal Rp. 300.000,- setiap minggu dan anak-anaknya yang bersekolah di Samosir. Dua anak gadis terakhir Kosti masuk dalam daftar tanggungan asuransi pendidikan Bumi Asih sejak akhir 2009. Setiap tanggal enam saban bulan, Kosti menyetor Rp. 50.000,-/bulan kepada pegawai Bumi Asih Pangururan yang datang menjemput setoran ke Lumban Nabolak. Sebenarnya itu uang mereka dari kerja mangani mereka, hasil kerja dari penjualan tenun disisihkan. Nanti kalau sudah tamat SMA biar ada tambah-tambah kalau mereka masuk kuliah, kata Kosti mengungkapkan. Namun itu juga tampak sebagai mekanisme yang Kosti lakukan memberi perlindungan bagi masa depan putri-putrinya. Dalam sistem pewarisan harta di masyarakat Batak, anak laki-lakilah yang berhak atas harta peninggalan keluarga, sebagaimana yang terjadi pada keluarga Kosti. Ia punya enam saudara. Semua perempuan, kecuali yang bungsu. Pada si bungsu-lah jatuh hak waris harta seperti penggilingan padi, tempat Kosti menyimpan lumbung keluarga tadi. Kosti lalu tertawa menampakkan gigi putihnya yang berjajar rapi. Dia ingat pernah setengah bergurau kepada si bungsu, Elisabeth, untuk tidak kuliah bila nanti sudah masanya. Kamu tidak usah kuliah nanti kalau besar. Kamu jaga mama saja, bujuk Kosti. Ah, nggak mau! kata si bungsu, berkeras. Mama kan sudah tua kalau kamu sudah kuliah. Masak kakak-kakak semua kuliah aku nggak! Bilang sama kakak-kakak nanti bantu Mama. Aku paling kecil, aku yang nggak kuliah!

Kosti tamatan SMA Negeri Pangururan. Di sekolah dulu ia suka Matematika. Setamat SMA ia menikah dengan pemuda Sintong yang tamat SMP-- meski berhentinya Sintong bukan keinginannya. Ketika itu, terang Kosti, orangtua Sintong sakit keras. Pendidikan nomor satu kalau di sini. Pendidikan itu karena zaman makin meningkat. Semakin anak kita bisa sekolah, makin tinggi pendidikannya, makin bisa dia mengejar apa yang dicita-citakannya. Masa depannya juga bisa terjalin kelak kalau sudah berumah tangga. Bisa menghidupi anak-anaknya nanti. Kita nggak sekolah, kita usahakanlah anak kita sekolah setinggi-tingginya, semampu kita, papar Kosti. Suaranya tetap bulat dan mantap. Di lingkup rumah tangga, Kosti menerapkan disiplin pembagian tugas dan kemandirian pada anak-anaknya. Setiap anak punya tugas sendiri sesuai kemampuannya dan mereka mengingatnya dengan baik. Elisabeth, menanak nasi di pagi hari. Selesai itu, ia pun berangkat mandi. Usai berseragam, dia sarapan dengan nasi yang ditanaknya tadi. Sesekali minta tolong kepada kakaknya, Elis, untuk menggorengkannya ikan. Sepulang sekolah, si bungsu belajar menggulung benang. Jam empat atau setengah lima sore pergi cuci piring. Sudah itu, cerita Kosti, masak nasi lagi untuk malam. Apriyoni membantu ibunya mangani. Setelah itu cuci pakaian seluruh anggota keluarga di sungai atau danau. Sementara Hendra bekerja untuk menambang pasir. Itu Hendra kerjakan sepulang sekolah. Untuk sekubik pasir, Hendra mendapat penghasilan Rp50 ribu dengan menjual hasil tambangnya pada pamannya, saudara bungsu ibunya, yang juga punya motor truk pengangkut pasir pengantar bahan bangunan. Praktis untuk biaya sekolah anak-anak ini sudah tidak ada tanggungan. Orang-orang ini (anak-

8

My Development Goals

My Development Goals

9

20

My Development Goals

anak) nggak pernah jajan. Nggak boleh. Mereka kan pagi-pagi diantar sekolah. Setiap Rabu diberi ongkos tiap orang Rp. 0.000,- per minggu, ungkap Kosti. Namun peraturan itu berlaku hanya di Senin sampai Sabtu. Hari Minggu, semua tugas perorangan berhenti. Uang jajan pun seperti satu hal yang harus ada. Masuk gereja sebuah keharusan. Biarlah suka-suka orang-orang itu. Mau main, mau tidur, istirahatlah. Hari minggu itu kami masak bareng. Habis itu mandi baru ke gereja. Wajah Kosti terlihat serius.

Parapat, bercita-cita mengembangkan prakarsa masyarakat dengan memampukan rakyat dalam mengubah sistem yang menindas, baik dalam sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Dana itu digulirkan kepada siapa yang hendak meminjam, dengan batasan besaran pinjaman bisa tiga kali lebih besar dari saham yang sudah dimasukkan orang yang bersangkutan. Kelebihannya adalah bunga dua persen yang menurun berdasarkan pada sisa pinjaman. Misalnya Rp. 2.000.000,- dipinjam sepuluh kali pembayaran. Jadi bunganya pertama kan Rp. 40.000,- per bulan. Kalau misalnya bayar pinjaman di bulan pertama Rp. 240.000,- (angsuran + bunga) berarti tinggal Rp. .760.000,-. Nah, besaran bunga nanti berdasarkan Rp. .760.00,- tadi. Bukan bunga tunggal seperti bank, begitu Dimpos merinci. Pinjaman terbesar dalam CU Bulutorus berkisar untuk modal pertanian, pendidikan anak, dan usaha menenun seperti yang Kosti dan kerabatnya lakoni. Pengurus sementara ini membatasi pinjaman untuk enam orang anggota saja, dengan memberi batasan jumlah pinjaman maksimal Rp. 2.000.000,- saja. Pertimbangannya semata-mata agar anggota mendapat kesempatan meminjam yang sama mengingat terbatasnya modal CU Bulutorus. Kosti pun sudah beberapa kali meminjam dana CU untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Angsurannya Rp. 240.000,-, kita kasih Rp. 250.000,-, yang Rp. 0.000,- untuk ditabung (jadi simpanan sukarela), jelas Kosti. Di dunia usaha dalam pengertian sebenarbenarnya, pihak penanam modal yang tidak saling kenal merupakan perihal lazim, karena didorong oleh sebuah tendensi: menanam modal sebanyak-banyaknya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal lain yang

U

***

ntuk menopang tabungan, Kosti pun bergabung di dalam credit union (CU). Sebenarnya, Vera yang atas nama kartu CU Bulutorus. Tatkala Vera berangkat kuliah ke Medan, Kosti-lah yang melanjutkan keanggotaan itu. Di awal berdiri pada Agustus 998, CU hanya beranggotakan 20 orang. Kini sistem kredit mandiri ini beranggotakan 72 orang yang berasal dari dua desa, Desa Pardugul dan Parlondut, dengan total aset berkisar Rp. 48.000.000,-. Bulutorus mewajibkan anggotanya untuk memasukkan uang pangkal Rp. 5.000,-; simpanan pokok Rp. 0.000,-; dan simpanan wajib Rp. 5.000,- setiap bulan. Kalau memang ada uangnya lebih, bisa menyetor simpanan sukarela, kata Bendahara CU Bulutorus, Nai Dimpos. CU tak lain sebentuk usaha simpan pinjam dengan segala kemaslahatannya diperuntukkan bagi anggota. CU merupakan formula perekonomian berbasis swadaya masyarakat diadopsi dari Jerman, yang diperkenalkan oleh Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). KSPPM merupakan lembaga swadaya masyarakat yang berkantor di

My Development Goals

2

lebih berkilau bak intan justru ada dalam sistem credit union ini. Perspektif utama yang digunakan untuk melihat anggota-anggota CU seperti Bulutorus, yakni manusia sebagai makhluk sosial. Anggota Bulutorus yang ingin meminjam dana, harus mendapat persetujuan dari panitia kredit. Panitia kredit sendiri merupakan kumpulan orang-orang yang kenal baik dengan anggotaanggotanya. Berdasarkan penjelasan Nai Dimpos, mereka tahu kesanggupan si calon peminjam, karena tahu di mana rumahnya dan apa pekerjaan sehari-harinya. Kalau panitia kredit tidak setuju, maka pengucuran dana pinjaman urung. Kalau pun mendapat persetujuan dan dalam proses pengembalian modal sampai menunggak, peminjam yang bersangkutan dikenai denda sebesar dua persen dari kewajiban angsuran per bulannya. Seluruh anggota CU adalah perempuan. Mereka pun rutin tiap bulan bertukar pikir. Lantaran semua anggotanya adalah jemaat gereja, para anggota CU menggelar diskusi itu di kantor jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Buhit. Kalau memang (ada yang) tidak hadir pertemuan, kita harus cek kenapa tidak hadir. Kita harus hadir. Kita kan bukan hanya kumpulan uang. Kita ini kumpulan masyarakat! Kali ini kening Dompis berkerut, memberi tekanan di kalimat akhirnya. Dalam diskusi yang bisa berlangsung sampai empat jam itu, mereka membahas beragam hal, mulai dari soal menu masakan, mengolah sampah plastik, pupuk organik, sampai masalah politis seperti pemilihan kepala daerah langsungbagaimana menjadi pemilih yang cerdas. Kalau hari lingkungan hidup, hari pangan, kita ke kantor DPRD. Nggak demo-lah. Cuma aksi saja, ujar Dompis seraya tertawa, Begitu juga

kalau Pilkada. Kami akan membahas bagaimana menjadi pemilih cerdas. Kami tidak sebut siapa calonnya, tapi hanya kita lihat program-program mana yang paling peduli masyarakat. Jangan asal pilih saja, imbuh Dompis. Bagaimana dengan bunga yang terkumpul? Seperti halnya badan usaha, setiap tahun CU Bulutorus menggelar rapat anggota tahunan (RAT). Pendapatan dibagi ke semua anggota. Namun tergantung saham. Tidak seperti di bank. Kita di bank kan untuk orang tertentu. Kalau di CU, semakin banyak kita meminjam, semakin banyak bunga yang kita dapat nanti, jelas Dompis. Pernah dalam sebuah RAT, agar punya nuansa yang berbeda, mereka mengundang calon anggota legislatif. Tapi, Mana pernah datang! sergah Dompis. Menurut Delima, sebenarnya bank-bank sekarang takut sama CU. Ada pula CU-CU besar yang disokong oleh lembaga gereja Katolik namun sangat profesional sebagaimana halnya dengan bank. Jadi anggota lain nggak kenal siapa-siapa saja yang menjadi anggota di CU tersebut. Kalau ini kan mereka harus bertemu setiap bulan, sharing (membahas bersama) isuisu yang berhubungan dengan petani dan isu lainnya. Jadi yang mengurus mereka... ya mereka juga. Tidak orang lain! jelas Delima.

K

***

osti sekeluarga bermukim di daerah berbukit. Cuara secerah bagaimana pun udara tetap sejuk dan matahari tak sampai terik menusuk. Itu karena letak Samosir 000 meter di atas permukaan laut. Itu ditambah lagi oleh rimbun pokok kemiri, pohon mangga, kopi dengan buah merah dan hijau bercampur di tangkai-tangkainya, dan pokok randu yang tumbuh di kisaran rumahnya. Buah

22

My Development Goals

randu yang mencoklat di pekan ketiga Mei itu mulai pecah dan menebarkan kabu-kabunya ke segala arah, pertanda musim kemarau telah tiba. Selain memberi pasokan oksigen yang memadai, pepohonan itu juga menambah penghasilan buat keluarga Kosti, selain kemiri di kebunnya yang satu rante, 400 meter persegi. Kosti menjual kemiri bulat dengan harga Rp. 35.000/ kaleng (0 liter). Para penadah datang sendiri ke Lumban Nabolak untuk membeli biji-biji kemiri panenan Kosti. Selain dari pekarangan, Kosti sekeluarga mendapatkan buah-buahan dari kebun. Di sana tumbuh pisang, alpukat, mangga, dan jagung. Kalau (alpukat) lagi berbuah, kita bawa pulang bikin jus di rumah. Kalau sedang ada uang, kita tambah susu, Kosti tertawa, seraya menyeka keringat di keningnya. Mungkin ia membayangkan lezatnya jus itu di tengah cuaca cerah, sehabis mengeringkan gabah di sekitar penggilingan saudaranya. Namun karena pohon-pohon itu berbuah musiman, pasar tiap Rabu menjadi alternatif keluarga ini mendapat pasokan buah-buahan. Di pasar itu pula Kosti rutin membeli daging. Kalau nggak ada uang kita untuk beli sekilo, ya beli setengah kilo, kalau nggak setengah kilo ya sepuluh ribu, katanya enteng. Ia mengaku, resep ini sejak dulu ia terapkan di rumahnya, kendati belakangan anjuran yang sama disampaikan oleh petugas puskesmas setempat. Kondisi alam dan pola asupan yang diterapkan Kosti membuat seluruh anggota keluarga hidup sehat. Anak-anak saya sangat jarang sakit. Kalau pun sakit ya pilek biasa aja. Itu pun kita tidak bawa ke puskesmas. Kita telepon saja bidan, ia akan datang ke rumah periksa dan dikasih obat. Nggak pernah disuntik, jelas Kosti.

Riwayat sakit terparah justru ada pada Sintong. Kondisi hati (lever) suami Kosti itu akut di tahun 997 sampai harus dibawa ke rumah sakit di Medan. Di sana mendapat perawatan selama dua minggu, mengharuskan Kosti yang kala itu mengandung Elisabeth 4,5 bulan ikut ke Medan. Sepulang rumah sakit, Kosti merawat sang suami dengan pengobatan alternatif di sekitar Belawan. Saya nggak ingat obat apa, tapi yang jelas akar-akaran dimasak, kata Kosti, seraya memainkan gelang mambang kuningnya. Karena penyakit hati itu, Sintong tidak boleh mengecap makanan bergaram selama setahun penuh. Santapan sehari-harinya hanya ikan tawar yang dibakar dan sayur rebusan kacang panjang. Makanya dia tidak merokok lagi. Dulu dia peminum. Sekarang udah kena dia, berubahlah dia. Nggak judi lagi, nggak mabuk lagi, kata Kosti dengan suara yang merendah. Sintong kini mengganti rokok dengan sirihkebiasaan awam di Lumban Nabolak. Untungnya ketika itu, Kosti dan Sintong punya tabungan yang cukup. Tanggungan mereka belumlah sebanyak sekarang, ketika anakanaknya masih kecil-kecil. Sampai-sampai tabungan waktu itu ada Rp. 50.000.000,-an juta. Barulah pas sekolah kuliah begini sudah susah, ungkap Kosti. Matanya tak berkedip. Ia melanjutkan meratakan hamparan gabah dengan tangan. Seperti magma yang menumpuk lalu membentuk Pulau Samosir, serta memberi kehidupan seratus tiga puluh ribu jiwa, begitu pula Kosti dengan sekuat dayakendati bergerak dalam senyapmenghidupi orangorang terdekatnya. ooOoo

My Development Goals

23

24

My Development Goals

Memahat Jejak Di Atas PasirOleh EM. Ali

S

ukarman, 53 tahun, memarkir sepeda motor berwarna biru di pinggir jalan berpasir. Tanpa melepas helm, dia masuk ke lahan yang dibatasi pohon kelor sebagai pembatas dengan lahan garapan petani lain. Lahan pasir seluas 20 x 40 meter terhampar dihadapannya. Pasir pantai lembut yang sudah bercampur dengan pupuk kandang legam ditimpa matahari pagi. Sejenak dia memandang lahan pasir yang siap menerima keringatnya. Saya mau mencoba memakai mulsa untuk lahan ini, kata Sukarman pendek dengan intonasi suara tinggi, khas intonasi orang pesisiran, suaranya lantang meski tidak berteriak. Penggunaan mulsa -- pemakaian plastik untuk menutup bedengan untuk mengurangi penguapan -- merupakan teknik baru yang dikembangkan Sukarman dalam bertani cabe (Capsicum annum l) di lahan pasir pantai selatan Panjatan, Kulon Progo. Sukarman, sosok rendah hati yang banyak tertawa itu, merupakan sosok berani mengambil risiko. Ketika petani lain asyik menanam dan menikmati hasil cabe dengan sistem yang sudah mapan, Sukarman mencoba teknik lain dalam bertani cabe. Petani kalau mau aneh aneh, kalau belum ada buktinya tidak mau, ujarnya sembari tertawa, harus ada yang berani mencoba. Kemarin sudah saya coba sekali, hasilnya bagus. Tapi menurut saya belum maksimal. Harus dicoba

lagi. Saya lihat teknik ini digunakan petani di Sleman. Mereka tanahnya tidak sekering di sini, tapi masih menggunakan mulsa. Saya pikir, pasti bagus kalau digunakan di lahan berpasir yang tingkat penguapannya lebih tinggi, lanjut bapak dua anak ini tentang teknik yang digunakannya. Sebagai ketua kelompok tani Gisik Pranaji yang juga dipandang sebagai empu cabe, Sukarman sering diminta datang untuk menghadiri panen raya di tempat lain. Di situ dia mengamati dan belajar pada petani lain bagaimana mereka menanam. Hasil pengamatan dan belajar itu kemudian dicoba di lahannya sendiri. Dia menyediakan dirinya untuk ujicoba sebelum petani lain meniru teknik yang dia gunakan. Tidak lama berselang, Wahyu Purwo, 23 tahun, anaknya yang paling besar menyusul ke lahan. Dia bergabung dengan bapaknya. Wahyu memindahkan tali plastik panjang yang digunakan untuk membuat bedengan. Sepagi itu, dua bedengan hampir selesai dikerjakan Sukarman. Ya, itu pekerjaan Bapak. Selalu mencoba dan mencoba. Bapak nggak pernah takut gagal, Wahyu mengomentari penggunaan mulsa untuk tanaman cabe yang akan dilakukan.

P

***

anjatan, tahun 985. Seorang lelaki tanpa pekerjaan, berusia 27 tahunan, berjalan menyusur pasir pantai hitam. Angin laut

My Development Goals

25

dan sinar matahari membakar wajahnya yang kecoklatan. Mendadak langkahnya terhenti. Di antara rerumputan liar, tiga batang cabe menjulang. Buah cabe merah ranum memenuhi rantingnya. Sukarman lelaki muda itu. Dia terdiam, memandang pohon cabe penuh takzim. Disentuhnya buah cabe masak itu. Buah cabe merah yang sehat. Cabe bisa tumbuh di lahan pasir? Sukarman muda yang sudah lelah mencari pekerjaan di kota, mendapat gagasan dari tiga batang cabe yang ditemuinya itu. Dengan latar belakang pendidikan D3 Akprind jurusan maintenance, salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta, pada tahun 985, Sukarman memulai usaha pertanian lahan pasir di pesisir pantai selatan Kulon Progo. Sesuatu yang sama sekali di luar bayangannya. Awalnya hanya satu kepek atau satu petak lahan kering. Warga Panjatan memandang aneh yang dilakukan Sukarman. Dia dianggap mengadaada karena menanam cabe di lahan pasir. Apalagi dia seorang sarjana, buat apa sarjana kerja susah-susah menanam cabe? Mereka tidak percaya pada saya karena saya tidak punya ilmu (pertanian), ungkap Sukarman. Tapi dia punya keyakinan sendiri. Cabe yang liar dan tidak dirawat saja bisa tumbuh dengan baik, apalagi kalau dirawat. Pasti hasilnya jauh lebih baik. Tapi keyakinan saja tidak cukup, perlu langkah nyata. Hal terpenting yang dilakukan Sukarman, bukan hanya membuktikan pada warga Panjatan, tapi membuktikan pada dirinya sendiri bahwa keyakinan benar: cabe bisa tumbuh dengan baik di lahan pasir. Sukarman menyiapkan bibit cabe. Dia melapisi tanah pasir dengan pupuk kandang, kemudian membuat bedengan. Setelah bibit siap, dia

memindahkan bibit cabe ke lahan. Di lahan pasir, suplai air untuk tanaman menjadi persoalan tersendiri. Air cepat hilang dari permukaan tanah. Dengan gotong royong dibantu tetangga, Sukarman membuat sumur. Mereka menggunakan bronjong, anyaman dari bambu, untuk menahan dinding sumur agar tidak longsor. Rata-rata kedalaman sumur di lahan pesisir pantai 5-7 meter. Dua bulan kemudian, cabenya berbuah rimbun. Sukarman tersenyum melihat hasil kerja kerasnya. Melihat keberhasilan Sukarman mengembangkan budidaya cabe di lahan pasir, warga Panjatan pun mulai ikut melakukan budidaya cabe di lahan pasir. Sukarman sendiri bukan orang yang pelit berbagi pengetahuan. Saya belajar pada tanaman. Mereka (petani) bisa belajar hanya dengan melihat saya menanam. Untuk penyemprotan, tinggal melihat tutupnya pasti bisa, kata Sukarman dengan suara keras, khas intonasi orang pesisiran yang berusaha mengalahkan angin dan deru ombak tentang teknik pertanian yang dilakukan di awal budidaya cabe. Sukarman melihat roda hidup di Panjatan menggeliat. Dia tidak membayangkan apa yang dilakukannya akan diikuti oleh banyak orang. Meski begitu, tapi dia sebenarnya belum memutuskan untuk jadi petani cabe. Ijasah D3 masih mengodanya dengan pikiran yang lain. Saya masih ingin kerja di tempat lain. Saya punya istri dan satu orang anak. Petani di lahan berpasir belum menjanjikan seperti sekarang, katanya memberi alasan di teras rumahnya. Sukarman mengenakan sarung dan kopiah. Dia lebih rapi dan bersih sore itu. Sudah menjadi kebiasaannya, setiap selesai dari lahan dan menggurus sapi-sapinya, Sukarman membersihkan diri dan siap menghadap Sang

26

My Development Goals

Maha Pencipta di masjid yang terletak tepat di depan rumahnya. Sukarman termasuk orang yang religius, tidak pernah dia melewatkan waktu untuk mendekatkan diri pada Sang Pemilik Hidup. Di tengah keraguan itu, Sukarman tetap menanam cabe dan membuat bibit untuk keperluan sendiri. Baru tiga tahun kemudian atau tepatnya tahun 990, Sukarman memutuskan untuk benar-benar menjadi petani cabe. Dia menyimpan ijasah kesarjanaannya di lemari dan tidak pernah membukanya lagi. Rasa pedas cabe terasa seperti semilir segar angin laut yang berhembus lembut bagi warga Panjatan. Geliat hidup warga Panjatan terus membakar. Lahan pasir yang hampa aktivitas berlahan riuh rendah oleh teriakan-teriakan dan tawa warga Panjatan. Petak-petak lahan pasir yang kosong dengan cepat menyusut berganti hijau dedaunan cabe atau ranum kemerahan buah cabe masak. Saat jumlah petani cabe bertambah semakin banyak, kebutuhan bibit juga semakin besar. Petani cabe Panjatan. Cabe yang ditanam di Panjatan dari jenis varietas TM 999, Helix, Lado, Alligator dan Volcano. Waktu itu harga cabe jelek, kemudian saya pilih yang bagus, saya jemur, saya bibitkan. Duapuluh kilogram cabe saya semai, hasilnya melebihi 000 meter persegi lahan cabe. Prospek benih lebih menguntungkan karena saya yang menentukan harga. Kalau harga cabe, yang menentukan pasar. Jadi saya bisa menikmati harga cabai dan bibitnya. Kalau saya menanam harga bagus, saya jual. Kalau harga jelek, saya tidak menanam, saya beli untuk membuat bibit, cerita Sukarman. Sukarman memulai usaha pembibitanya pada tahun 990. Dia menjual langsung bibitnya ke

lahan. Petani sudah melihat langsung kualitas bibit Sukarman, tidak ragu mengambil bibit dari Sukarman. Usaha pembibitan Sukarman berkembang dengan cara gethok tular, dari mulut ke mulut. Usaha ini juga diikuti oleh banyak petani lain. Di awal 990-an, ada sekitar 50 petani yang membuat usaha pembibitan. Tapi tidak lama usaha pembibitan mulai menurun Ya, seleksi alamlah. Sekarang paling tersisa lima orang pembibit yang masih bertahan. Memang butuh ketelatenan untuk usaha pembibitan, ujarnya. Dari yang tersisa itu, Sukarman tetap yang terbesar. Petani cabe yang datang ke rumah Sukarman tidak hanya dari Panjatan, Petani Kabupaten Bantul yang mulai mengembangkan budidaya tanaman cabe di lahan pasir juga mengambil bibit dari tempatnya. Pengelolaan pembibitan cabe itu di serahkan pada istrinya. Dalam satu hari, lima sampai sepuluh orang datang ke lahan pembibitan Sukarman untuk

My Development Goals

27

membeli bibit. Bu Karman, 38 tahun, akan wira-wiri ke lahan pembibitan setiap kali ada orang datang. Tidak sedikit di antara pembibit, bertanya-tanya pada Sukarman bagaimana cara bertani di lahan pasir yang baik. Sukarman dengan suka hati akan berbagi ilmu. Keuntungannya kalau sedang bagus hasilnya, per kilogram dari cabe basah yang saya beli seharga Rp. 30.000,- saat sudah menjadi bibit bisa mencapai harga Rp. 20.000,-. Tetapi jika hasil tidak sedang bagus, per kilogramnya antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 80.000,-. Kebutuhan bibit cabe sangat besar, bisa sampai 2 ton cabe basah. kata Sukarman yang memiliki delapan ekor sapi jenis limosin. Dia memelihara sapi, selain untuk usaha penggemukan, kotorannya digunakan untuk penyemaian bibit. Dia tidak pernah menggunakan kotoran sapinya untuk memupuk lahan. Pupuk untuk lahan didatangkan dari Bantul. Untuk lahan-lahan lain, pupuk kandang juga didatangkan dari luar Kulon Progo. Dalam sekali musim tanam, bila kualitas bibit yang dihasilkannya bagus. Bu Karman bisa mengantongi uang sebesar Rp. 80.000.000,-. Hasil ini belum ditambahkan dari kulit cabe yang jumlahnya tidak sedikit. Kulit cabe dijual ke masakan padang, dijadikan tepung sambal. Itu sudah ada yang ngambil, kata Bu Karman dengan suara pelan. Kalau di pembibitannya, saya bagian pemasaran. Bapak hanya membuat persemaian. Setelah jadi saya akan jual kemana saja terserah, lanjut perempuan bertubuh subur itu. Sebenarnya saya bukan petani cabe, saya pembibit cabe, kata Sukarman tertawa keras. Mengenai usaha pembibitan yang dikelola istrinya, Sukarman berujar pendek. Biar istri saya mandirilah secara ekonomi, tidak

tergantung. Saya paling cuma bantuin saat penyemaian. Setelahnya, semua istri saya yang ngurus. Tapi dengan begitu, saya tidak khawatir lagi kalau harus pergi untuk menghadiri pertemuan di tempat-tempat yang jauh. Sukarman sering diminta berbagi ilmu dengan para petani cabe di berbagai tempat. Tidak jarang dia harus pergi selama berhari-hari untuk membagi-bagikan ilmunya pada kelompok tani lain.

C

***

ara bertani petani cabe berkembang untuk mensiasati alam yang keras. Tahap selanjutnya berkembangnya teknologi pertanian sederhana di Panjatan terbentuk pada penggunaan sumur. Sumur pasir Panjatan pernah hampir menelan tubuh karena longsor. Pasir merupakan jenis tanah yang tidak punya perekat dan mudah longsor. Untuk menghindari bahaya, sumur bronjong yang ada di lahan diperkeras dengan semen. Setelah bis beton dikenal masyarakat, sumur bronjong diganti dengan bis beton. Sementara proses penyiraman yang biasa dilakukan pagi hari tetap dengan cara manual. Air ditimbah, ditampung pada ember, kemudian disemprotkan dengan mengunakan gembor, alat semprot yang terbuat dari seng. Dulu dibutuhkan waktu yang lama untuk menyiram sepetak tanaman cabe. Bisa satu harian di lahan, kata Maryono yang sempat tertimpa longsoran sumur. Penggunaan gembor untuk menyiram lahan seluas 2000 meter persegi dibutuhkan waktu hampir satu harian. Petani cabe Panjatan berpikir itu tidak efektif dan membutuhkan banyak tenaga, sementara untuk membuat banyak sumur di lahan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

28

My Development Goals

My Development Goals

29

Alam yang kering dan keras mengajari petani cabe Panjatan meningkatkan daya pikir untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Petani cabe meletakkan base beton sejajar dengan sumur yang sudah dibuat. Setiap bis beton berjarak ,5 meter. Hanya satu bis beton setinggi 50 centimeter yang diletakan, bagian bawahnya diperkeras, ditambahkan bambu sebagai penganti pipa paralon. Saat menyiram cabe, petani tinggal menimba dan memasukkan air ke dalam dari sumur utama, kemudian lewat bambu yang sudah dipasang, mengalirkan air ke sumur penampungan yang lain. Setelah sumur penampungan penuh, baru petani cabe menyiram tanaman dengan mengambil air dari sumur penampungan. Petani cabe tidak perlu lagi memikul air ke sisi lahan yang jauh. Selain hemat tenaga, teknogi sederhana ini juga memperpendek waktu penyiraman. Sumur hasil olah pikir petani cabe Panjatan itu kemudian dikenal secara luas dengan sebutan sumur renteng. Sejak usaha budidaya pertanian yang dirintis mencapai kesuksesan, Sukarman sering diundang jadi narasumber pertanian lahan kering di berbagai tempat, termasuk kalangan universitas seperti UGM (Universitas Gadjah Mada), UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan banyak lagi yang lagi sering memintanya memberi kuliah untuk pertanian lahan kering. Lahan yang saya kerjakan ini lahan penelitian UGM, ujarnya sambil menunjuk luas lahan yang bedengannya baru dikerjakan. Sekarang sudah jauh lebih enak. Kalau ada masalah dengan hama, saya bisa minta pendapat ahliahli pertanian. Saya tinggal mencobannya di lahan saya. Setelah berhasil, baru saya kasih tahu petani-petani lain. Dan sering juga mereka minta pendapat saya, mungkin karena saya pelaku langsung.

Cabe telah memberikan lapangan pekerjaan yang tidak ada habisnya di Panjatan. Seperti bunga, cabe didatangi oleh banyak orang karena hasilnya yang menggiurkan. Berkembangnya pertanian lahan kering, membuat banyak orang panjatan tertarik bertani cabe. Ini didukung lahan pasir yang sangat luas. Bahkan tidak sedikit anak muda yang terjun jadi petani cabe. Menjadi petani yang biasanya merupakan pekerjaan tidak bergengsi, di Panjatan yang terjadi sebaliknya. Ada dua orang anak muda datang ke tempat saja. Mereka sudah empat tahun jadi TKI di Malaysia. Mereka ingin jadi petani cabe, kata Diro, salah seorang ketua kelompok tani di Panjatan. Anak muda memilih menjadi petani merupakan fenomena menarik di Panjatan. Lahan pasir yang tersedia luas, harga cabe yang tinggi menjadi magnet besar bagi anak muda untuk terjun menjadi petani cabe. Di sini anak SMA sudah bantu-bantu orang tuanya di lahan. Sebenarnya dia yang jadi tulang punggung keluarga. Begitu lulus, tidak mau meneruskan sekolah, dia memilih menjadi petani cabe, tutur Sukarman tentang semangat anak muda yang mau menjadi petani cabe, termasuk Wahyu anaknya yang tertua. Saya dapat Rp. 5.000.000,- untuk sekali panen kemarin, kata Wahyu sembari tertawa. Harganya lagi bagus kemarin. Wahyu baru saja menyelesaikan pendidikan D3 jurusan olah raga di UNY Wates. Dia menjadi guru olah raga di sebuah sekolah di Kulon Progo dan sedang mengambil S untuk meneruskan pendidikannya. Dia guru sekaligus petani cabe seperti bapaknya. Sekarang semua tidak harus dikerjakan sendiri. Pekerjaan petani seperti menyiram, membersihkan rumput dan memetik

30

My Development Goals

buah cabe bisa diupahkan pada orang lain, katanya memberi alasan. Manisnya harga cabe tidak hanya dinikmati petani cabe Panjatan, tapi sudah melebar ke kampung-kampung sekitar, terutama dalam penggunaan tenaga kerja. Dulu memang semua dikerjakan secara gotong royong, tapi sekarang tidak lagi, tutur Sukarman, untuk membuat bibit, saya mengupah ibu-ibu tua. Ibu-ibu ini tenaganya sudah tidak dipakai di industri. Dari pada nganggur di rumah, saya minta untuk bantubantu. Lumayan ada penghasilan tambahan buat mereka. Mereka bisa mengupas cabe, menjemur sebelum dibuat persemaian. Itu hanya untuk pembibitan, belum untuk panen. Kalau musim panen lebih banyak tenaga yang dibutuhkan. Saya biasanya hanya minta sepuluh orang. Dari sepuluh orang ini akan berkembang. Buruh panen membawa saudara atau temannya. Padahal tanaman cabe dalam sekali masa tanam bisa 25 kali petik. Rata-rata tenaga yang dibutuhkan dalam sekali masa tanam bisa seratus orang. Coba saja hitung berapa tenaga petik yang dibutuhkan. Itu belum kalau lagi panen raya. Ibu-ibu pemetik ini, kalau cabe lagi berharga bagus, satu hari bisa dapat Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,- rupiah, kata Diro yang mengupahkan seluruh proses bertani cabenya. Saat ini produksi cabe Panjatan atau yang lebih dikenal di luar daerah dengan sebutan cabe Wates rata-rata mencapai 50 ton perhari. Dengan produksi sebesar itu, tentu tidak dengan mudah cabe wates melenggang ke konsumen. Pedagang besar dengan mudah bisa mencium wangi bau cabe Wates yang diminati konsumen. Berbondong-bondong mereka datang ke Panjatan untuk mendapatkan harga termurah dari petani.

Bagaimana caranya bisa mengontrol harga cabe agar tidak dimainkan pedagang besar? tanya Sukarman mewakili keresahan petani cabe. Sebagai ketua kelompok tani, rumah Sukarman merupakan base camp, tempat berkumpul petani cabe untuk mendiskusikan dan mencari solusi petani dalam menghadapi masalah. Dari pertemuan kelompok itu munculah gagasan pasar lelang untuk menstabilkan harga cabe, sistem lelang tertutup. Gagasan pasar lelang tahun 2002. Waktu panen ada bakul (pedagang) seenaknya membuat harga. Barangnya dibawa dulu. Dulu di sini banyak tengkulak, sekarang sudah tidak ada. Sekarang dari kelompok langsung ke Jakarta, tutur Sukarman. Dalam pasar lelang, cabe dari petani dikumpulkan di kelompok lelang. Satu atau dua hari sebelum lelang dilakukan, ketua kelompok menggundang pedagang-pedagang besar untuk datang ke Panjatan. Pedagang diharuskan mendaftar sebelum ikut lelang. Lelang dimulai pada jam 8 malam. Sebelum lelang dimulai kelompok menetapkan harga terendah yang jadi patokan. Harga terendah mengikuti harga pasar saat itu. Saat semua pedagang sudah datang, panitia lelang menyerahkan kertas ke pedagang. Pedagang harus menuliskan harga yang diinginkan untuk setiap kilogram cabe. Pedagang yang berani mengambil harga tertinggi yang berhak membeli cabe dari kelompok. Lelang itu benar-benar inisiatif kelompok tani. Lelang tidak bisa menentukan harga tapi setidaknya bisa mengontrol, kata Sukarman menegaskan. Saat ini di Panjatan ada 35 kelompok tani yang tergabung dalam 2 kelompok lelang. Kelompok

My Development Goals

3

lelang ini menyebar mulai dari Panjatan, Bugel, sampai Garongan. Di sepanjang jalan Daendels, bila malam menjelang, dengan muda bisa ditemukan kelompok lelang. Lelang dilakukan di teras-teras rumah kelompok tani. Gedung lelang bantuan dari dinas pertanian, baru beberapa tahun kemudian dibangun, letaknya hanya sepuluh meteran dari rumah Sukarman. Biasalah. Kalau sudah jadi aja pemerintah mau terlibat. Tidak ada gedung lelang juga lelang tetap berjalan di kelompok-kelompok. Namanya juga bantuan, jadi kita terima saja. Saya juga diberi mesin pengering cabe untuk pembibitan. Tapi tidak pernah saya gunakan. Bagaimana mungkin, saya mengeringkan cabe 2 ton dengan mesin pengering yang hanya berkapasitas 30 kilogram? kata Sukarman menyimpan senyum. Lha, dulu pemerintah buat semacam pasar lelang tidak pernah jadi. Pasar lelang sekarang cuma diganti asartan (asosiasi pasar petani). Awalnya hanya pasar lelang digabung, dibina, dikasih penyuluhan nanti akan dibantu fasilitasi. Di data, berapa perhari, perbulan, panen banyak berapa. Data diambil mereka. Yah, mereka biasanya mencari tahu terus dilaporkan ke atasan, sudah. Dinas Pertanian Kulon Progo mulai mendampingi petani cabe Panjatan tahun 2000. Dinas mulai memberikan penyuluhan pada petani tentang cara bertanam cabe. Rumah Sukarman yang menjadi jujugan dinas Pertanian. Sukarman menerima mereka dengan ramah dan memfasilitasi mereka ke kelompok tani. Pada prinsipnya, Sukarman akan menerima siapa saja yang bermaksud membantu petani cabe dengan ramah. Pelatihan yang barusan dilakukan oleh dinas propinsi di rumah Sukarman adalah pelatihan Standar Operation Procedure (SOP) yang dilakukan pada tanggal 8-9 Juni 200. Pelatihan untuk meningkatkan kualitas cabe petani dilakukan selama dua hari

dengan peserta perwakilan kelompok tanki sePanjatan. Dinas propinsi masih berani. Tapi kalau dinas kabupaten tidak. Sejak ada rencana penambangan pasir besi, mereka takut datang ke sini. Suara Sukarman seperti tercekat saat mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Sebuah persoalan memang sedang menghadang kehidupannya dan kehidupan warga lain di Panjatan.

D

***

usun Bugel, Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Yogyakarta memiliki potensi lahan pasir seluas kurang lebih tiga ribu hektar yang terbagi dalam wilayah: Galur, Panjatan, Temon dan kecamatan Wates dan di sepuluh desa, yaitu Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan, Jangkaran dan Karangwuni. Lahan itu merupakan lahan tidur yang awalnya tidak dipergunakan untuk kegiatan produktif. Status pemilikan lahan terbagi menjadi 2: tanah merah dan tanah letter C. Tanah merah status pemilikannya masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Warga menganggap tanah merah milik negara, sedang pihak Pakualaman mengklaim bahwa tanah di lahan pesisir itu milik Pakualaman. Pada masa lalu, seluruh tanah yang ada di Yogyakarta berada di bawah kekuasaan dua kerajaan besar: Kesultanan Jogjakarta dan Kadipaten Pakualaman. Kesultanan Yogyakarta dengan raja Hamengku Buwono adalah Sultan Jogya sekarang, sedang Pakualaman, raja bentukan pemerintah Kerajaan Inggris. Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles pada tahun 83 atas perjanjian politik Pemerintah Inggris

32

My Development Goals

My Development Goals

33

dengan Kesultanan Yogyakarta. Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I merupakan anak dari Hamengku Buwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta. Pemerintahan Kadipaten Pakualaman merupakan negara dependen dibawah Pemerintah Kerajaan Inggris Hindia Timur (East Indian). Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Nederland, Kadipaten Pakualaman dikelola bersama antara Paku Alaman dan pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian itu juga menandai pecahnya hak pemilikan tanah di Kesultanan Yogyakarta. Wilayah yang terletak di sepanjang pesisir pantai Kulon Progo berada di bawah kekuasaan Pakualaman atau yang sekarang dikenal warga Panjatan dengan sebutan tanah merah. Sementara untuk tanah letter C merupakan tanah pribadi yang kepemilikannya ada di tangan warga Panjatan. Budidaya pertanian cabe lahan pasir yang diawali Sukarman, sebagian berada di atas tanah merah. Tanah yang kelak menjadi sengketa berkepanjangan antara warga dan pemerintah karena munculnya penambangan pasir besi. Sebelum budidaya cabe berkembang, lahan pasir bisa merupakan lahan tidur. Lahan tidak produktif. Memang ada beberapa warga mencoba menanam ketela pohon, tapi jumlahnya tidak banyak. Itu pun hanya dilakukan warga pada musim hujan. Selepas musim hujan, tanah itu bongkor atau tidak dipergunakan untuk aktivitas apa pun. Warga Panjatan berduyun-duyun pergi ke kota menjadi buruh. Kota-kota yang menjadi tujuan warga Panjatan: Jogjakarta karena merupakan kota terdekat, kemudian Jakarta, Bandung, Surabaya,

bahkan tidak sedikit anak muda yang menjadi TKI keluar negeri seperti ke Malaysia, Hongkong, dan Taiwan. Tidak ada orang pergi pergi ke pantai. Lahan itu lahan tidak produktif dan tidak berpenghuni, Sukarman menegaskan kondisi kampungnya sebelum budidaya cabe berkembang. Secara ekonomi Panjatan di masa lalu merupakan daerah minus, daerah tertinggal. Rumah-rumah penduduk berdiri dengan material kayu dengan dinding dari gedhek atau anyaman bambu, bahkan tidak sedikit rumah yang beratap welit, anyaman daun kelapa, dinding juga terbuat dari bahan yang sama, dan berlantai tanah. Sebagai daerah yang terletak di pantai selatan dan menghadap langsung ke samudra Indonesia, Penduduk Panjatan tidak mempunyai tradisi melaut atau bekerja sebagai nelayan. Di sepanjang pantai yang membentang sepanjang 22 km, tidak banyak ditemukan perahu nelayan bersandar. Sebuah fenomena menarik untuk daerah pesisir. Mungkin karena laut selatan terkenal memiliki ombak yang besar dan ganas sehingga penduduk takut untuk melaut, atau mungkin karena mereka sebenarnya pendatang dari bagian pedalaman Jawa yang kental dengan tradisi agraris sehingga laut sama sekali tidak menarik buat mereka. Bisa saja. Dulu saya penebang tebu dan pencari batu apung, kenang Sukarman. Pada siklus musim tertentu, saat langit ditutup tirai malam, warga Panjatan berbondongbondong ke tepi pantai, bukan untuk bertani, bukan untuk melaut, tapi untuk berburu belalang. Ada ribuan belalang bermigrasi ke lahan pasir. Entah untuk apa. Belalang ini membuka mata pencaharian bagi penduduk Panjatan.

Wikipedia.com. Diakses 9 Juli 200, pukul 9.2 WIB.

34

My Development Goals

Saya berburu belalang. Dijual sampai ke Gunung Kidul. Satu kilo harganya 20 ribu rupiah, kata Sukarman menggenang pekerjaan yang pernah dilakukan. Guratan diwajahnya terlihat jelas seperti garis hidup yang dipahatkan waktu. Tapi nggak tahu, setelah ada cabe, belalang tidak lagi sebanyak dulu. Mungkin sudah habis dimakan manusia, tawa kerasnya kembali bergema menggetarkan dinding rumahnya.

H

***

ari itu, 27 Oktober 2008. Panjatan hening. Jalan-jalan kampung hampa beban. Petani cabe merayakan kegembiraan di lahan. Anak-anak pergi ke sekolah. Segerombolan orang tidak dikenal menepi di jalan Deandles. Mereka diam-diam mendekati pos-pos penjagaan yang dibangun di jalan-jalan masuk kampung. Sejak berita penambangan pasir besi menyebar di Panjatan pada tahun 2006, petani cabe dengan tegas menolak usaha penambangan pasir besi. Petani cabe yang tergabung dalan Petani Pengarap Lahan Pasir Kulon Progo (PPLP KP) melakukan perlawanan dengan melakukan demonstrasi besar-besar dengan sasaran DPRD Propinsi DIY, Kepatihan, PemKab Kulon Progo, dan DPRD Kulon Progo. Pada tanggal 27 Agustus 2007 di depan ribuan massa demonstrasi, Bupati dan Ketua DPRD Kulon Progo berjanji akan membatalkan proyek Penambangan Pasir Besi di pesisir selatan Kulon Progo. Kesediaan Bupati dan Ketua DPRD Kulon Progo dibuktikan dengan menandatangani atau mendukung penolakan penambangan. Dan sebagai bentuk pengingkaran tersebut sesuai pernyataan, maka Bupati dan Kepala DPRD

Kulon Progo harus mundur dari jabatannya.2 Pada tanggal Maret 2008, warga Bugel, Panjatan melakukan aksi blokir jalan kampung karena truk proyek PT Jogja Magasa Iron (JMI) yang membawa material telah merusak jalan swadaya warga. Aksi ini menandai Bupati Kulon Progo dan DPRD Kulon Progo yang semula mendukung warga menolak keberadaan pasir besi di Kulon Progo. Pada tangal 23-25 Oktober PPLP KP menduduki kantor DPRD Kulon Progo. Tapi dalam aksi tersebut warga gagal menemui anggota dewan, bahkan petani tidak direspon sama sekali. Siang itu, orang-orang tidak dikenal itu merusak tujuh posko warga, membakar satu posko dan satu rumah warga yang menolak pasir besi. Sepanduk-sepanduk berisi penolakan dilepas dihancurkan orang-orang tidak dikenal itu. Warga yang tahu segera pulang dari lahan, tapi orang-orang tidak dikenal menghilang dengan cepat dari Panjatan. Masyarakat mau dikriminalisasikan. Masyarakat dipancing, tapi kami tidak terpancing. Mereka juga menyebar isu, misalnya, si A ikut penambangan. Maksudnya, biar kita saling bertengkar sendiri, tutur Diro. Menurut Diro, dalam tata ruang Kabupaten Kulon Progo daerah pesisir peruntukannya untuk pariwisata dan pertanian. Tapi setelah ada pertambangan berubah. Masyarakat tidak pernah diberitahu, kapan perubahan tata ruang itu dilakukan. Tidak pernah ada sosialisai yang sampai di masyarakat. Masih menurut dia yang pernah ikut demo ke DPR pusat, Jakarta, tanah

2

http://awalpraludi.blogspot.com/2008//penambangan-pasir-besi-kulon-progo-di.html diakses 6 Juli 200, pukul 2.8

My Development Goals

35

untuk penambangan pasir itu tanah kritis, tidak ada orang dan tidak berpenghuni. Sekarang coba lihat, apakah tanah pesisir itu lahan kritis? Ada manipulasi data hingga di Jakarta sampainya seperti itu, Sukarman balik bertanya. Setelah 20 tahun lebih pertanian lahan kering berkembang, tidak ada lahan pesisir pantai di Kulon Progo yang bisa disebut lahan kritis. Daerah pesisir pantai merupakan lahan produktif yang mengerakkan roda perekonomian warga, bahkan memberi pemasukan pada Kabupaten Kulon Progo. Pada hari Selasa, 4 Maret 2008, Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Purnomo Yusgiantoro, Bupati Kulon Progo dan pihak PT Jogja Magasa Iron (JMI) menandatangani nota kesepakatan kontrak karya tentang penambangan pasir besi di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo. Kontrak karya ini menetapkan daerah pesisir pantai sepanjang 22 km melintasi Galur, Panjatan, Temon dan kecamatan Wates dan di sepuluh desa, yaitu Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan, Jangkaran dan Karangwuni sebagai dari ekplorasi untuk penambangan pasir besi.3 JMI merupakan perusahaan berbentuk modal penanam asing (PMA). Saham JMI 30% milik PT Jogja Magasa Mining dari Indonesia, sedang 70% milik Indomines Limited dari Australia. Dulu kita ngobrol 4-5 orang gini, pasti diintip sama intel. Sekarang sudah lumayan tenang. Tapi kalau di Garongan beda, ada orang tidak

dikenal masuk pasti ditanyai macam-macam. tutur Sukarman. Suasana yang tenang di Panjatan, bukan ketenangan biasa. Di jalan besar (warga menyebut jalan itu dengan sebutan: Jalan Daendels) begitu mau masuk ke Dusun Bugel dengan mudah ditemukan banyak tulisan: Tolak Pasir Besi. Tulisan-tulisan itu menempel di pohon-pohon di sepanjang sisi jalan. Tulisantulisan itu dipasang kembali oleh warga. Siang itu ketegangan masih menggantung di langit Panjatan. Sukarman kemudian menggambil kertas dan menggambarkan lokasi yang akan digunakan sebagai penambangan pasir besi. Tempat ini sampai sungai, tidak termasuk Glagah, 22 km. Jarak dari sini (rumah Sukarman) ke pantai ,8 km, di Garongan lebih pendek lagi, sekitar ,3 km. Batasnya masuk ke dalam dari laut sampai jalan Daendels. Dari mana tiga ribu hektar itu? Lahan cabe aja hanya seluas 500 hektar. ,8 km itu tidak semuanya tanah merah. Sebagian adalah tanah leter C, tanah pribadi warga. Sukarman berhenti sejenak. Kalau mau digunakan untuk penambagan pasir besi seluas tiga ribu hektar, berarti tanah warga ikut dihitung, itu pun luasnya tidak tiga ribu hektar. Dari mana hitungan tiga ribu hektar itu? Kalau mau membodohi kami, mbok ya jangan terlalu. Padahal kami sudah tahu, lanjutnya. Kalau harus ada Priok 2 di Panjatan, kami tidak takut, suara Maryono lantang. Priok yang dimaksud laki-laki itu adalah sebuah peristiwa penggusuran lahan di daerah utara Jakarta pada pertengahan tahun 200. Penggusuran untuk area pelabuhan terbesar di Indonesia tersebut mendapatkan perlawanan dari warga sehingga berakhir dengan kerusuhan.

3

http://www.tempointeraktif.com/hg/ nusa/2009/03/24/brk,20090324-66386,id.html diakses 9 juli 200, pukul 0.9

36

My Development Goals

Untuk melawan perusahaan petani cabe Panjatan membentuk Paguyupan Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP). LBH Jogja mendampingi mereka dalam proses hukum yang terus berlangsung. Pemerintah kalau bicara produk Kulon Progo bisa dialihfungsikan jadi produk lain, sebenarnya hanya untuk kepentingan pejabat pemerintah pribadi. Kalau (Warga) Panjatan, tidak mendukung. Panjatan sudah menjadi ciri khas tingkat nasional. Cabe Kulon Progo terkenal. Tidak mudah dari komoditas lokal diangkat menjadi ciri khas nasional. Kulon Progo diangkat petani dari nol. Sebelum didampingi sudah maju. Kemudian didampingi dinas tambah maju. Beberapa tahun ini sudah tidak diurus dinas. Orang dinas takut dipindah, Diro menerangkan panjang lebar. Secara ekonomis, dari rantai produksi sampai distribusi saja sudah melibatkan jumlah manusia yang fantastis. Dalam hitungan yang kasar, ada 35 kelompok petani cabe yang masing anggotanya kurang lebih seratus orang. Total jumlah kelompok tani 3.500 orang. Jika ratarata jumlah keluarga pertani cabe tiga orang,

jumlahnya aka mencapi 0.500 orang. Untuk sekali musim panen dibutuhkan buruh petik rata-rata sepuluh orang untuk satu petani yang rata-rata memiliki dua ribu meter persegi. Buruh yang dibutuhkan dalam satu masa panen 35.000.000 orang, itu belum termasuk buruh penggarap, tenaga penyediah pupuk kandang yang didatangkan dari Kabupaten Bantul, tenaga untuk makanan ternah, tenaga pengepakan sebelum cabe dibawa keluar kota. Ketika Penambangan pasir besi dilakukan berapa puluh ribu orang yang akan kehilangan mata pencarian mereka? Kehilangan hak hidup mereka? Tapi kami siaga terus. Kalau sesuatu terjadi, kami siap! tandas Diro. oOo

My Development Goals

37

38

My Development Goals

Nyong-nyong Soe Di Persimpangan Batu PutihOleh Ishak Salim

S

uara kendaraan menderu dari utara. Puluhan anak belasan tahun bersiap berdiri menajamkan pendengaran mereka. Berusaha memastikan ini suara bis atau truk. Keranjang plastik beraneka warna cerah segi empat berisi keripik pisang dan keripik ubi, telur rebus, kacang goreng pun mulai diusung di atas telapak tangan kanan atau kiri mereka. Seluruhnya serentak bangkit begitu diyakini suara tersebut benar-benar sebuah bis. Dua orang di antara mereka sudah berlari ke tengah jalan, bersiap mengejar bis ini dari sisi kiri. Yang lain mulai melakukan sprint dari sisi kanan begitu moncong bis benar-benar datang meluncur dari kelokan dengan sisa kecepatan berkisar 70 km/jam yang akan berhenti sekitar 20 atau 40 meter ke depan. Bagai kawanan singa menyerbu seekor zebra di gurun Afrika sana, anak-anak remaja ini berlari sekencangkencangnya mengejar pantat bis yang nyaris berhenti beberapa meter lagi. Bis itu berhenti tepat di depan sebuah pos polisi dan setiap jendela kaca bis ini dan dua pintu di depan dan belakang sudah dipenuhi oleh remaja-remaja yang menjajakan dagangannya. Tak ada satu pun yang diperbolehkan naik dan menjajakan di dalam bis. Begitulah kesepakatan mereka. Bagi yang tak kebagian jendela, akan mundur perlahan dan kembali ke tempat awal mereka, duduk melanjutkan candaan dengan yang lain yang tak kebagian ruang menjaja sambil memperbaiki napas yang tersengal-

sengal usai berlari. Satu demi satu penumpang mulai menjulurkan tangan mereka meraih satu dua bungkus kripik atau telur rebus untuk dinikmati di sisa perjalanannya yang masih panjang. Inilah persimpangan Batu Putih, atau akrab dikenal sebagai Cabang. Tepatnya di desa Oebobo, kecamatan Batu Putih, kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Dan mereka, para penjaja ini, adalah Nyong-nyong Soe (baca Soe). Cabang adalah persimpangan yang difungsikan sebagai tempat transit bagi ratusan bis dari arah Kupang, yang akan menuju: Soe di Timur Tengah Selatan, Atambua dan Besikama di Belu, Kolbano, Kefa di Timor Tengah Utara, atau Timor Lorosae di ujung Pulau Timor ini. Demikian pula bagi bis-bis dari arah sebaliknya yang terus menerus datang silih berganti, akan berhenti sekadar memberi peluang rezeki bagi Nyongnyong Soe dari banyak penumpang yang lapar atau sekadar ingin menikmati cemilan dalam perjalanan ini. Jumlah mereka berkisar 60 lelaki berusia di kisaran 6 24 tahun dan jumlah ini dapat bertambah dua hingga empat kali lipat di hari-hari libur sekolah, Paskah dan Natal. Mereka berasal dari berbagai desa di kecamatan Timor Tengah Selatan ini, seperti Oenai, Amanatun, Kualin, Soe, Amanuban, dan tentu saja dari desa Oebobo di kecamatan Batu Putih ini. Beberapa dari mereka sudah datang pada pukul empat pagi, saat bis-bis dari Kolbano mulai masuk di kawasan ini.

My Development Goals

39

Jonni Sakbana (2), salah satu dari mereka, mengenakan kaos oblong dan topi berwarna putih serta celana pendek bermotif kotakkotak cokelat telah kembali bergabung dengan nyong lain di teras sebuah bangunan ruko milik seorang saudagar Bugis tepat di persimpangan. Rambutnya hitam keriting khas anak Timor dengan warna kulit gelap. Ia tersenyum kepada kawan-kawannya yang lain. Baris giginya yang rapi dan putih masih menyisakan sisa merah dari sirih yang dikunyahnya beberapa jam lalu. Terlihat terawat dan bersih. Sendal jepit yang mulai menipis berwarna biru melindungi tapak kakinya selama berlari di aspal panas. Ia menggenggam lembaran dua puluh ribu, sepuluh ribu, dan dominan angka seribu atau lima ribu rupiah. Sudah terkumpul Rp. 80.000,sebuah bilangan yang cukup hingga siang hari ini di mana ia akan mengantongi Rp. 8.000,dari potongan sepuluh persen sebagai haknya. Nyong-nyong Soe kembali duduk santai setelah bis ini berangkat menuju Besikana. Beberapa anak terlihat menghitung lagi uang yang telah didapat hingga di tengah hari ini. Memastikan berapa rupiah yang akan mereka tabung untuk persiapan beberapa bulan mendatang ketika Natal menjelang dan harus pulang kampung membawa hasil jerih payah mereka untuk anggota keluarga yang menanti. Jonni memiliki dua orang adik yang tinggal bersama ayahnya di desa Oenai, kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan. Ia bercerita kalau terpaksa meninggalkan adik-adiknya saat usia Jonni masih begitu belia, tahun! Semua berawal pada suatu malam yang tragis di tahun 2000. Ibunya sudah kontraksi dan akan segera melahirkan. Desa Oenai saat itu sudah dibungkus pertengahan malam dengan gelap gulita. Tak ada bidan yang dapat membantu persalinan penting ini. Rasa sakit sudah tak

tertahankan. Bapak Jonni keluar mencari orang yang dapat membantunya membawa sang istri ke Puskesmas terdekat di Oinlasi, kecamatan Kie. Sebuah bemo didapat dan siap mengantar ibu Jonni ke Puskesmas yang waktu tempuhnya sekira satu jam. Malam sudah menunjukkan pukul satu ketika mereka berhasil tiba di Puskesmas. Namun, rupanya sudah terlambat. Sang ibu meninggal sebelum jabang bayi yang dikandung berhasil lahir ke dunia. Persalinan yang terlambat ini segera berjalan. Si bayi itu dikeluarkan dari rahim setelah sembilan bulan damai di dalam sana. Menangis sejenak, namun akhirnya juga menyusul ibunya kembali ke surga.

T

***

ak lama setelah kepergian ibu dan adiknya, salah satu paman Jonni, Om Thomas, mengajaknya ke desa Oebobo. Saat itu Jonni duduk di kelas empat SD dan terpaksa berhenti sekolah untuk memenuhi hidupnya secara mandir