MATRIKS No. 10 1 ISSN: ISSN:233-8352 TEKNIK SIPIL Agustus ...

77
JURNAL MATRIKS TEKNIK SIPIL Volume 6 MATRIKS TEKNIK SIPIL No. 10 1 70 Hal. Parepare, April 2019 ISSN:233-8352 Analisa Perbandingan Penggunaan Semen Portland Dengan Sisa Pembakaran Batu Bara (Bottom Ash) Sebagai Filler Pada Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC) Jasman Analisa Pengaruh Curah Hujan Terhadap Debit Tersedia dan Terpakai di Sungai Sadang Bendung Benteng kab. Pinrang Andi Bustan Didi Pengaruh Penambahan Serbuk Bentonit Pada Campuran Beton Terhadap Kuat Tekan Beton Hendro Widarto Penentuan Insentif Tenaga Kerja Berdasarkan Waktu Baku Pada Pembuatan Paving Blok Mustakim Studi Pergerakan Transportasi Laut (Studi Kasus Ujung Lero Parepare) Muh. Nashir T Studi Karakteristik HRS-WC Menggunakan Pasir Sungai Balusu, Kab. Barru Hamsyah

Transcript of MATRIKS No. 10 1 ISSN: ISSN:233-8352 TEKNIK SIPIL Agustus ...

MATRIKS

TEKNIK SIPIL Volume 1 No. 1 1 – 100 Hal. Parepare,

Agustus 2012

ISSN:

JURNAL

JURNAL

MATRIKS TEKNIK SIPIL

Volume 6 MATRIKS

TEKNIK SIPIL No. 10 1 – 70 Hal. Parepare,

April 2019

ISSN:233-8352

Analisa Perbandingan Penggunaan Semen Portland Dengan Sisa Pembakaran Batu Bara (Bottom Ash) Sebagai Filler Pada Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC)

Jasman

Analisa Pengaruh Curah Hujan Terhadap Debit Tersedia dan Terpakai di Sungai Sadang Bendung Benteng kab. Pinrang Andi Bustan Didi

Pengaruh Penambahan Serbuk Bentonit Pada Campuran Beton Terhadap Kuat Tekan Beton

Hendro Widarto

Penentuan Insentif Tenaga Kerja Berdasarkan Waktu Baku Pada Pembuatan Paving Blok Mustakim

Studi Pergerakan Transportasi Laut (Studi Kasus Ujung Lero – Parepare) Muh. Nashir T

Studi Karakteristik HRS-WC Menggunakan Pasir Sungai Balusu, Kab. Barru Hamsyah

i

KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga jurnal “Jurnal Matriks Tekinik SIpil” Fakultas Teknik Universitas

Muhammadiyah Parepare dapat di terbitkan. Pemberian nama baru ini merupakan

implementasi dari beberapa sumber ilmu yang merupakan sarana penelitian dan

perancangan serta pengembangan teknologi.

Adapun program yang dilaksanakan, jurnal ini akan diterbitkan dua kali dalam

setahun, untuk edisi 2019, redaksi telah memilih 6 artikel ilmiah yang masuk ke meja

redaksi untuk dimuat. Adapun kompotensi dosen yang dimuat yaitu Teknik Sipil.

Akhir kata, pengurus redaksi jurnal menyampaikan terima kasih kepada semua

pihak yang berperan aktif sehingga jurnal ini dapat terbit. Penghargaan yang tinggi kami

sampaikan kepada lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang atas bantuannya

sehingga jurnal ini bisa terbit, dan khususnya bagi para penulis yang jurnal ilmiahnya

dimuat. Redaksi juga dibuka untuk menerima kritik dan saran guna kesempurnaan jurnal

ini di masa yang akan datang.

Redaksi

ii

Volume 6, No.10, April 2019 ISSN : 233-8352

DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................................... ii

Susunan Redaksi ..................................................................................................................... iii

Analisa Perbandingan Penggunaan Semen Portland Dengan Sisa Pembakaran Batu Bara

(Bottom Ash) Sebagai Filler Pada Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC)

Jasman .......................... ............................................................................................... 1 - 12

Analisa Pengaruh Curah Hujan Terhadap Debit Tersedia dan Terpakai di Sungai Sadang

Bendung Benteng kab. Pinrang

Andi Bustan Didi ......................................................................................................................... 13-24

Pengaruh Penambahan Serbuk Bentonit Pada Campuran Beton Terhadap Kuat Tekan

Beton

Hendro Widarto.......................................................................................................................... 25-41

Studi Kerusakan Lentur Pada Permukaan Jalan Pada Poros Jalan Wajo-Bone Misbahuddin.......................................................................................................................... 42-50

Studi Pergerakan Transportasi Laut (Studi Kasus Ujung Lero – Parepare)

Muh. Nashir T .................................................................................................................... 51-60

Studi Karakteristik HRS-WC Menggunakan Pasir Sungai Balusu, Kab. Barru Hamsyah .................................................................................................................................... 61-70

iii

JURNAL

MATRIKS TEKNIK SIPIL

Penanggung jawab:

H. Hakzah, ST., M.T

Pimpinan Redaksi:

Rahmawati, ST., M. Eng

Anggota Redaksi:

Abdul Muis B, ST., M.T

Andi Sulfanita, ST., M.T

Jasman, ST., M.T

Penyunting Ahli:

Andi Bustan Didi, ST., M.T

Hendro Widarto, ST., M.T

Mustakim, ST., M.T

Pelaksanan Teknis:

Hamka Wakkang, ST., M.T

Imam Fadly, ST

Sekretariat:

Kasmaida, ST

Hendra

Distribusi:

Asnita Virlayani, ST., M.T

Hamsyah, ST

Penerbit:

Program Studi Teknik Sipil

Alamat Sekretariat/Redaksi:

Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Parepare

Jl. Jend. A. Yani Km.06 Lapadde Parepare

Telp.0421-22757

E-mail: [email protected]

JURNAL MATRIKS TEKNIK SIPIL diterbitkan dua kali setahun merupakan jurnal yang

memuat artikel ilmiah hasil penelitian; abstarak skripsi, bagi mahasiswa yang akan

menyelesaikan studi; laporan bidang teknologi; hasil pemikiran konseptual (non

penelitian); dan tinjauan buku. Penerbitan jurnal ini bertujuan sebagai media komunikasi

untuk menyebarluaskan hasil-hasil mahasiswa yang berkaitan dengan teknologi yang

berguna bagi masyarakat.

1

Analisa Perbandingan Penggunaan Semen Portland Dengan Sisa Pembakaran Batu Bara (Bottom Ash) Sebagai Filler Pada Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC)

Jasman

Staff Pengajar Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Parepare

Email : @gmail.com

ABSTRACT

This study is an experiment to search for an alternative replacement filler material as the stone grey asphalt concrete mix that corresponds to the technical specifications that have already begun to hard to come by due to lack of availability of grey stone material. In this case, try using a mixture of Asphalt Concrete Wearing Course by doing the use of portland cement and bottom ash as a substitute Alternatively of filler. The purpose of this study is to (1) find out the value of the levels of optimum asphalt and marshall test value which includes: stability, flow, air voids, voids in mineral aggregate, marshall quotient, and density of portland cement filler and bottom ash on Asphalt Concrete mix Wearing Course (2) analyse the comparison of portland cement and bottom ash as filler against the characteristics of asphalt concrete AC-WC.

The research method of experimental testing conducted in the lab of making the test objects from these three types of filler as much as 45 pieces.

The results of this research show that the value of the optimum asphalt levels obtained from these three types of filler average 5.95%. At Marshall, which includes parameter stability, VMA, MQ, flow, VFB, VIM, and density for the third type of filler qualify specifications Bina Marga 2010 Revision 3. The greatest stability value i.e. 1638 kg in portland cement filler, the value of the greatest VMA grey filler mixture i.e. 17.2%, the value of the greatest i.e. MQ 558 kg/mm filler on portland cement, the most largest flow value of 3.25% in the bottom ash filler, the value of the largest VFB i.e. 48.8% in portland cement filler, the greatest value of VIM that is 4% on filler grey , and for most of the largest density value that is 2.33%.

Keywords: Asphalt Concrete Wearing Course (AC-WC), Filler, Portland cement, Bottom Ash, the characteristics of the mixture.

ABSTRAK

Kajian ini merupakan eksperimen untuk mencari alternatif pengganti filler material abu batu sebagai

campuran beton aspal yang sesuai dengan spesifikasi teknis yang sudah mulai sulit didapat karena kurang tersedianya material abu batu. Dalam hal ini dicoba dengan menggunakan campuran Asphalt Concrete Wearing Course dengan melakukan penggunaan semen portland dan bottom ash sebagai alternatif pengganti filler. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui nilai kadar aspal optimum dan nilai marshall test yang meliputi : stability, flow, air void, void in mineral aggregate, marshall quotient, dan density pada filler semen portland dan bottom ash pada campuran Asphalt Concrete Wearing Course (2) menganalisa perbandingan semen portland dan bottom ash sebagai filler terhadap karakteristik aspal beton AC-WC.

Metode penelitian ini melakukan pengujian eksperimental yang dilakukan di laboratorium dengan membuat benda uji dari ketiga jenis filler sebanyak 45 buah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai kadar aspal optimum yang didapatkan dari ketiga jenis filler rata-rata 5.95 %. Pada parameter Marshall yang meliputi stability,VMA, MQ, flow,VFB,VIM, dan density untuk ketiga jenis filler memenuhi syarat spesifikasi Bina Marga 2010 Revisi 3. Nilai stability terbesar yaitu 1638 kg pada filler semen portland, nilai VMA terbesar pada campuran filler abu batu yaitu 17.2 %, nilai MQ yang paling besar yaitu 558 kg/mm pada filler semen portland, nilai flow yang paling terbesar 3.25 % pada filler bottom ash, nilai VFB terbesar yaitu 78.5 % pada filler semen portland,

2

nilai VIM yang paling besar yaitu 4 % pada filler abu batu, dan untuk nilai density paling terbesar yaitu 2.33 %. Kata kunci : Asphalt Concrete Wearing Course (AC-WC), Filler, Semen Portland, Bottom Ash, Karakteristik Campuran.

3

PENDAHULUAN

Latar Belakang Jenis bahan filler(bahan pengisi) secara

umum terdiri dari, Abu batu, kapur, debu dolomite, semen Portland, abu layang atau fly ash, atau bahan mineral tidak plastis lainnya. Adapun fungsi filler yaitu sebagai material kadar air dan penstabil lapisan, untuk mengeraskan aspal yang menyelimuti partikel-partikel agregat sehinga diperoleh kedudukan agregat lebih stabil dan kuat, dalam campuran karena filler dapat mengisi rongga-rongga yang lebih kecil dan menambah bidang kontak antara butir agregat.

Pada umumnya jenis filler yang biasa digunakan dalam pencampuran aspal beton yaitu Abu batu. Jika digunakan terus menerus tanpa mencari alternatif jenis filler lainnya maka ketersediaan abu batu tersebut menjadi berkurang seiring semakin tingginya kebutuhan sarana transportasi yakni jalan raya. Maka dari itu kami mencoba bahan alternatif yaitu semen Portland dan Bottom ash (sisa pembakaran batu bara) sebagai filler dalam campuran aspal beton.

Semen Portland merupakan salah satu material yang sering digunakan untuk berbagai jenis pekerjaan konstruksi, sehingga penggunaan semen Portland memberikan peluang alternatif sebagai salah satu material penyusun campuran beraspal. Material tersebut adalah bahan non plastis yang telah disetujui oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai filler pada campuran beraspal panas. Selain itu keberadaan semen Portland banyak dijumpai di tempat penjualan material bangunan, sehingga untuk mendapatkan semen Portland tersebut relatif lebih mudah dibandingkan dengan material lainnya serta semen Portland juga sudah teruji sebagai bahan penyusun suatu konstruksi bangunan.

Adapun penggunaan Bottom ash (Limbah Abu Batubara) dalam penelitian ini adalah pemanfaatan Limbah Abu batubara yang dihasilkan oleh pabrik semen dalam hal ini PT. Semen Tonasa yang terletak di Kabupaten Pangkep.

Abu batubara sebagai limbah tidak seperti gas hasil pembakaran, karena merupakan bahan padat yang tidak mudah larut dan tidak mudah menguap sehingga akan lebih merepotkan dalam penanganannya. Apabila jumlahnya banyak dan tidak ditangani dengan baik, maka abu batubara tersebut dapat mengotori lingkungan terutama yang

disebabkan oleh abu yang beterbangan di udara dan dapat terhisap oleh manusia dan hewan juga dapat mempengaruhi kondisi air dan tanah di sekitarnya sehingga dapat mematikan tanaman. Akibat buruk terutama ditimbulkan oleh unsur-unsur Pb, Cr dan Cdbiasanya terkonsentrasi pada fraksi butiran yang sangat halus (0,5 – 10 μm). Butiran tersebut mudah melayang dan terhisap oleh manusia dan hewan, sehingga terakumulasi dalam tubuh manusia dengan konsentrasi tertentu dapat memberikan akibat buruk bagi kesehatan. (Putra,D.F. et al, 1996)

Penumpukan abu batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan.Upaya pemanfaatan limbah ini telah dilakukan untuk berbagai macam keperluan termasuk untuk konstruksi.Abu batu bara yang berupa abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) dapat digunakan sebagai mineral filler untuk pengisi voids dan memberikan titik sentuh antar agregat pada campuran asphalt concrete. (Prijatama, Herry, Eko TS, 1996). Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diketahui beberapa permasalahan, antara lain : 1. Berapa besar nilai kadar aspal optimum

dan nilai marshall test yang meliputi :stability,VMA,MQ,flow, VFB,VIM, dan densityada kadar filler (Semen Portland dan Bottom ash) pada campuran Asphalt Concrete - Wearing Course (AC-WC).

2. Bagaimana perbandingan penggunaan semen Portland dan Bottom Ash terhadap karakteristik aspal beton AC-WC. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahuinilai kadar aspal optimum

dan nilai marshall test yang meliputi : stability,VMA,MQ,flow, VFB, VIM, dan densitypada filler Semen Portland dan bottom ashpada campuran Asphalt Concrete - Wearing Course ( AC - WC ).

2. Untuk menganalisa perbandingan semen Portland dan bottom ashsebagai filler terhadap karakteristik aspal beton, AC- WC.

4

METODE PENELITIAN Jenis Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental, artinya pengujian ini akan dilakukan secara eksperimen di laboratorium. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi pengambilan agregat (kasar dan halus) yaitu PT. Alpindo Perkasa di Kab. Pinrang, sedangkan limbah abu batu bara diperolah dari PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep Kepulauan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Bahan Jalan Bina Marga Dinas Prasarana Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Km. 16 Kota Makassar (Baddoka). Adapun tanggal pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai tanggal 10Januari 2017hingga bulan Februari 2017. Tahap Studi Pendahuluan

Dalam kegiatan penelitian ini dimulai dengan tahap studi pendahuluan, yaitu kegiatan yang meliputi : tinjauan pustaka, permasalahan yang muncul dalam penelitian, menentukan tujuan daripermasalahan yang muncul dalam penelitian, menentukan tujuan dariruang lingkup penelitian, serta menyusun program kerja dari penelitian inisampai pada pembahasan dan kesimpulan dari penelitian ini. Penyiapan Material

Kegiatan pengujian sifat bahan dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik dari setiap bahan uji, apakah bahan tersebut mempunyai karakteristik yang memenuhi spesifikasi untuk digunakan. Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu aspal penetrasi 60/70, semen portland, limbah batu bara (bottom ash), pasir, dan batu pecah.

Untuk material aspal diperoleh dari Gudang Aspal Baddoka. Material semen portland dan limbah batu bara (bottom ash) diperoleh dari PT. Semen Tonasa, sedangkan untuk material batu pecah dan bahan pengisi diperoleh dari PT. Alfindo Perkasa. Pemeriksaan Karakteristik Material

Setelah semua material campuran siap, maka dilakukan pemeriksaan di laboratorium untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing jenis material.

Setiap pemeriksaan dilakukan berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan dalam American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO), dan Manual Pemeriksaan Bahan Jalan (MPBJ). Perencanaan Campuran

Prinsip penentuan proporsi agregat untuk mendapatkan gradasi gabungan yang memenuhi spesifikasi adalah sebagai berikut : 1. Penentuan gradasi setiap fraksi yang digunakan berdasarkan persen berat lolos saringan. 2. Dengan menggunakan metode Trial and Error dilakukan penggabungan agregat dan diperoleh persen proporsi masing-masing fraksi dari berat total agregat. 3. Persen proporsi agregat masing-masing, dikalikan dengan persen lolos setiap saringan dari masing-masing fraksi dan jumlahkan untuk gradasi gabungan pada nomar saringan.

Dari hasil analisa saringan, dilakukan penggabungan agregat dengan menggunakan metode Trial and Error, prinsip kerja Trial and Error adalah : 1. Memahami batasan gradasi yang disyaratkan. Setelah itu memasukkan data spesifikasi gradasi pada kolom spesifikasi. Dan selanjutnya memasukkan presentase lolos saringan, masing-masing jenis batuan kedalam persentase passing. 2. Memasukkan spesifikasi ideal yaitu nilai salah satu dari spesifikasi ideal yang di isyaratkan. Mengambil salah satu dari spesifikasi ideal dengan jenis yang ada, dalam hal agregat kasar, halus dan filler. Kemudian campuran ketiganya dengan jumlah 100 % dan nilai penggabungannya mendekati nilai spesifikasi ideal yang telah kita ambil. 3. Jika sudah mendekati salah satu nilai spesifikasi ideal dari ketiga agregat tadi, yang lain dihitung dengan persentase yang sama. Sehingga dapat dipergunakan sebagai gradasi untuk campuraan aspal panas sebagai perkerasan jalan. Pembuatan Benda Uji

Setelah komposisi campuran telah diperoleh maka kita dapat memulai membuat benda uji dengan 5 jenis kadar aspal yang didapatkan dari perhitungan kadar aspal rencana. Interval penambahan 0,5 % masing-masing sebanyak 3 (tiga) buah briket untuk satu variasi kadar aspal. Pengujian Marshall

Pengujian dengan alat Marshall ini dimaksudkan untuk mengetahui nilai stabilitas terhadap kelelahan plastis dari campuran aspal. Dari hasil pengujian Marshall ini juga dapat dihitung sifat-sifat campuran lainnya antara lain flow, Marshall quetiont, VFA, VMA, VIM, dan Density.

Sifat-sifat campuran diatas akan dibuat dalam bentuk grafik perbandingan antara setiap

5

sifat campuran terhadap variasi kadar aspal yang digunakan. Dari grafik ini akan terlihat kadar aspal yang dapat memenuhi sifat-sifat campuran yang diisyaratkan. Pengujian Perendaman Marshal

Pengujian perendaman Marshall merupakan pengujian perendaman benda uji selama 30 menit pada bak berisi air dengan suhu konstan 60ºC. Setelah perendaman selesai dilakukan uji Marshall.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengujian 1. Hasil Pengujian Sifat Fisik Agregat Serangkaian hasil pengujian sifat fisik agregat untuk mengetahui kelayakan penggunaan agregat sebagai bahan campuran beraspal dilakukan dilaboratorium dengan menggunakan metode pengujian SNI. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Rekapitulasi pemeriksaan agregat halus berupa abu batu yang diperoleh dari PT. Alpindo Perkasa dinyatakan memenuhi standar spesifikasi yang ada. Sedangkan hasil pemeriksaan karakteristik agregat kasar dapat dilihat pada tabel berikut ini : Pemeriksaan agregat kasar yang ada pada tabel 13 ini menunjukkan bahwa agregat kasar yang diperoleh dari PT. Alpindo Perkasa memenuhi standar spesifikasi yang disyaratkan, sehingga agregat kasar dan halus ini dapat digunakan untuk campuran Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC). Dan hasil

pemeriksaan karakteristik filler dapat dilihat pada tabel berikut ini : Pemeriksaa filler pada tabel 14 ini menunjukkan bahwa ketiga jenis filler tersebut memenuhi standar spesifikasi yang disyaratkan, sehingga agregat dapat digunakan sebagai bahan tambah untuk campuran Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC). 2. Hasil Pengujian Sifat Bahan Aspal Penetrasi 60/70 Pengujian sifat-sifat fisik aspal pen 60/70 menggunakan metode SNI. Hasil dari pengujian karakteristik aspal pen 60/70 menunjukkan hasil yang sesuai dengan standar spesifikasi yang ada melalui beberapa pengujian dinyatakan bahwa aspal pen 60/70 dapat digunakan sebagai bahan pengikat untuk agregat yang digunakan pada Asphalt Concrete – Wearing Course (AC-WC). Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini : 3. Penentuan Gradiasi Campuran Gradasi agregat mrnggunakan gradasi terbuka (open grade) yang menggunakan agregat kasar dan halus, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

6

Gabungan agregat yang ditunjukkan pada tabel 15 digunakan metode trial dan error yaitu memahami batasan gradasi yang disyaratkan.sehingga memenuhi porsi yang sesuai untuk aspal ac-wc. Hasil gabungan agregat, setelah melalui pencampuran hingga membentuk sebuah briket uji menghasilkan combainedyang sesuai untuk aspal ac-wc, berikut gambar dari grafik yang dihasilkan. 4. Penentuan Kadar Aspal Rencana Penentuan kadar aspal rencana digunakan perhitungan sesuai dengan metode Asphalt Institute dengan rumus : Pb = 0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%FF) + K Diketahui : CA = 100 – Saringan No.8 = 59,76 FA = Saringan No.8 – Saringan No.200 = 32,62 FF = Saringan No.200 = 7,62 Penyelesaian : Pb = 0,035(59,76) + 0,045(32,62) + 0,18(7,62) + 0,5 = 5,43 5,5 % Catatan : Diambil kadar aspal 4,5 %, 5 %, 5,5 %, 6 %, 6,5 %. 5. Hasil Pengujian Marshall Test Rekapitulasi Pengujian Marshal

a. Stabilitas Stabilitas merupakan kemanpuan suatu campuran aspal beton dalam menahan beban sampai runtuh. Nilai stabilitas menunjukkan kemanpuan aspal beton dalam menahan deformasi akibat beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk seperti alur dan gelombang. Stabilitas campuran terjadi bila adanya penguncian antara partikel agregat, geseran antar agregat dan daya lekat yang baik antar aspal dan agregat. Hasil penelitian nilai stabilitas beton aspal disajikan pada gambar berikut : Grafik diatas menampilkan hubungan kadar aspal dan stabilitas. Kadar aspal 4.5 % pada filler abu batu 1267.85 kg, pada filler bottom ash nilainya 1274.81 kg, dan filler semen nilainya 1379.45 kg. Kadar aspal 5 % pada filler abu batu 1362.91 kg, pada filler bottom ash nilainya 1339.2 kg, dan filler semen nilainya 1556.4 kg.Kadar aspal 5.5 % pada filler abu batu 1513.96 kg, pada filler bottom ashnilainya 1565.92 kg, dan filler semen nilainya 1672.47 kg. Kadar aspal 6 % pada filler abu batu 1432.51 kg, pada filler bottom ash nilainya 1527.86 kg, dan filler semen nilainya 1645.83 kg. Kadar aspal 6.5 % pada filler abu batu 1350.18 kg, pada filler bottom ash nilainya 1400.38 kg, dan filler semen nilainya 1459.37 kg. Terlihat bahwa campuran dengan filler semen mempunyai nilai stabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan filler bottom ash maupun abu batu. Hal ini terjadi karena campuran dengan filler bottom ash dan abu batu mempunyai rongga didalam campuran lebih besar dibandingkan filler semen sehingga interlocking antar agregat tidak berjalan baik. Kondisi ini yang menyebabkan stabilitas campuran filler bottom ash dan abu batu nilainya lebih rendah dibandingkan dengan campuran filler semen. Dilihat dari ketiga jenis campuran filler nilai stabilitasnya memenuhi spesifikasi standar Bina Marga yaitu minimal 800 kg.

7

b. Kelelehan (Flow) Kelelehan (flow) menunjukkan besarnya depormasi campuran beton aspal akibat adanya beban yang bekerja sampai batas runtuh. Nilai flowtinggi mengindikasikan bahwa suatu campuran mempunyai fleksibilitas tinggi yang akan mengalami deformasi permanen akibat beban yang bekerja. Sebaliknya nilai flowrendah mengindikasikan suatu campuran yang kaku sehingga kadar aspal tidak cukup kuat untuk menahan adanya retak awal. Hasil penelitian nilai kelelehan beton aspal disajikan pada Gambar 6. Grafik diatas menampilkan hubungan kadar aspal dan kelelehan. Kadar aspal 4.5 % pada filler abu batu 2.94 mm, pada filler bottom ash nilainya 2.70 mm, dan filler semen nilainya 2.79 mm. Kadar aspal 5 % pada filler abu batu 2.96 mm, pada filler bottom ash nilainya 2.93 mm, dan filler semen nilainya 2.62 mm. Kadar aspal 5.5 % pada filler abu batu 2.75 mm, pada filler bottom ash nilainya 2.87 mm, dan filler semen nilainya 2.84 mm. Kadar aspal 6 % pada filler abu batu 3.09 mm, pada filler bottom ash nilainya 3.36 mm, dan filler semen nilainya 2.96 mm. Kadar aspal 6.5% pada filler abu batu 3.51 mm, pada filler bottom ash nilainya 3.64 mm, dan filler semen nilainya 3.60 mm. Terlihat campuran yang menggunakan filler abu batu mempunyai nilai flowlebih rendah dibandingkan campuran dengan filler semen dan bottom ash. Hal ini terjadi karena filler abu batu mengisi diantara rongga agregat dengan baik sehingga campuran menjadi lebih padat. Campuran yang padat bila menerima beban maka deformasi yang terjadi menjadi lebih kecil. Dilihat dari nilai kelelehannya dapat dilihat bahwa campuran dengan filler abu batu, bottom ash, dan semen memenuhi standar dari Bina Marga yaitu 2 – 4 mm. c. Hasil Bagi Marshall (Marshall Quotient) Marshal Quotient merupakan hasil bagi antara stabilitas dan kelelehan. Nilai Marshal Quotient menunjukkan fleksibilitas suatu

campuran aspal beton. Campuran yang mempunyai nilai Marshal Quotient tinggi berarti campuran tersebut kaku dan fleksibilitasnya rendah. Sebaliknya campuran dengan Marshal Quotient rendah berarti campuran tersebut fleksibilitasnya tinggi dan mudah berdeformasi bila menerima beban lalu lintas. Campuran aspal beton yang kaku apabila tidak didukung oleh ketebalan dan daya dukung lapisan dibawahnya yang memadai akan menyebabkan lapisan mudah retak. Hasil penelitian nilai Marshal Quotient beton aspal disajikan pada Grafik diatas menampilkan hubungan kadar aspal dan nilai Marshall Quotient (MQ). Kadar aspal 4.5 % pada filler abu batu 431.14 kg/mm, pada filler bottom ash nilainya 472.03 kg/mm, dan filler semen nilainya 493.72 kg/mm. Kadar aspal 5 % pada filler abu batu 459.93 kg/mm, pada filler bottom ash nilainya 457.8 kg/mm, dan filler semen nilainya 592.99 kg/mm. Kadar aspal 5.5 % pada filler abu batu 550.2 kg/mm, pada filler bottom ash nilainya 545.93 kg/mm, dan filler semen nilainya 589.66 kg/mm. Kadar aspal 6 % pada filler abu batu 463.55 kg/mm, pada filler bottom ash nilainya 454.55 kg/mm, dan filler semen nilainya 555.4 kg/mm. Kadar aspal 6.5 % pada filler abu batu 384.27 kg/mm, pada filler bottom ash nilainya 384.65 kg/mm, dan filler semen nilainya 405.57 kg/mm. Terlihat bahwa pada campuran dengan filler semen mempunyai nilai MQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan bottom ash dan abu batu. Hal ini terjadi karena nilai stabilitas semen lebih tinggi dan flownya rendah dibandingkan dari campuran dengan filler bottom ash dan abu batu. Dilihat dari nilai Mqnya, baik campuran abu batu, bottom ash dan semen sudah memenuhi standar Bina Marga yaitu minimal 200 kg/mm. d. Rongga Terisi Aspal (VFB) Rongga terisi aspal merupakan prosentaserongga diantara agregat yang terisi olehaspal. Faktor-faktor yang mempengaruhinilai VFB adalah gradasi agregat,kepadatan campuran dan kadar aspal.Hasil penelitian nilai rongga terisi aspaldisajikan pada Gambar 8.

8

Grafik diatas menampilkan hubungan kadar aspal dan nilaiVFB. Kadar aspal 4.5 % pada filler abu batu 53.53 %, pada filler bottom ash nilainya 55.43 %, dan filler semen nilainya 54.4 %. Kadar aspal 5 % pada filler abu batu 61.23 %, pada filler bottom ash nilainya 62.61 %, dan filler semen nilainya 62.41 %. Kadar aspal 5.5 % pada filler abu batu 69.65 %, pada filler bottom ash nilainya 72.4 %, dan filler semen nilainya 73.25 %. Kadar aspal 6 % pada filler abu batu 79.91 %, pada filler bottom ash nilainya 78.22 %, dan filler semen nilainya 77.19 %. Kadar aspal 6.5 % pada filler abu batu 82.53 %, pada filler bottom ash nilainya 83.24 %, dan filler semen nilainya 82.95 %. Nilai prosentase VFB ini terpenuhi pada kadar aspal 5.5 %, 6 %, dan 6.5 % untuk ketiga jenis filler. Kurva pada grafik ini mengarah keatas menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar aspal yang digunakan, maka semakin tinggi rongga dalam campuran yang terisi aspal. Terlihat bahwa pada campuran dengan filler semen mempunyai nilai VFB yang lebih tinggi dibandingkan dengan bottom ash dan abu batu. Hal ini terjadi karena jumlah rongga diantara agregat (VMA) pada campuran filler bottom ash dan abu batu lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah rongga diantara agregat (VMA) pada campuran filler semen sehingga dengan kadar aspal yang sama jumlah rongga yang tidak terselimuti aspal pada campuran filler bottom ash dan abu batu menjadi lebih banyak, akibatnya nilai VFB rendah. Namun demikian, nilai VFB yang didapatkan dari tiga jenis variasi filler telah memenuhi standar spesifikasi Bina Marga yaitu minimal 65 % pada kadar aspal 5.5 % keatas. e. Rongga Diantara Agregat (VMA) Rongga diantara agregat merupakanvolume rongga yang terdapat diantarabutir-butir agregat suatu campuran beraspal yang dinyatakan dalam persen. Nilai rongga diantara agregat (VMA) perlu dibatasi untuk menyediakan rongga yang cukup untuk pengikatan agregat oleh aspal. Standar Bina Marga (2010) revisi 3 mensyaratkan nilai VMA minimum 15 %. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai VMA adalah gradasi agregat.Hasil penelitian nilai rongga di antara agregat disajikan pada Gambar 9.

Grafik diatas menampilkan hubungan kadar aspal dan nilaiVMA. Kadar aspal 4.5 % pada filler abu batu 18.23 %, pada filler bottom ash nilainya 17.72 %, dan filler semen nilainya 17.99 %. Kadar aspal 5 % pada filler abu batu 17.88 %, pada filler bottom ash nilainya 17.56 %, dan filler semen nilainya 17.60 %. Kadar aspal 5.5 % pada filler abu batu 17.47 %, pada filler bottom ash nilainya 16.92 %, dan filler semen nilainya 16.76 %. Kadar aspal 6 % pada filler abu batu 16.83 %, pada filler bottom ash nilainya 17.13 %, dan filler semen nilainya 17.32 %. Kadar aspal 6.5 % pada filler abu batu 17.59 %, pada filler bottom ash nilainya 17.46 %, dan filler semen nilainya 17.51 %. Terlihat bahwa dengan menggunakan filler semen, persentase rongga terhadap agregat lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan filler bottom ash maupun abu abu. Hal ini terjadi karena semen memiliki tingkat kehalusan yang tinggi, jadi volume rongga diantara butiran agregat lebih kecil dibandingkan dengan bottom ash maupun abu batu. Namun demikian, nilai VMA dari ke tiga jenis filler memenuhi spesifikasi Bina Marga yaitu minimal 15 %. f. Rongga Dalam campuran (VIM) Rongga dalam campuran merupakan prosentase rongga udara di antara agregat terhadap volume padat suatu campuran. Rongga dalam campuran menunjukkan porositas suatu campuran, dimana nilainya tergantung pada prosentase rongga yang terisi aspal. Faktor-faktor yang mempengaruhi rongga dalamcampuran adalah gradasi agregat, kadar aspal, kepadatan campuran, suhupemadatan dan energi pemadatan. Hasil penelitian persentase nilai ronggaterhadap campuran disajikan pada Gambar 10.

9

Grafik diatas menampilkan hubungan kadar aspal dan nilaiVIM. Kadar aspal 4.5 % pada filler abu batu 8.47 %, pada filler bottom ash nilainya 7.90 %, dan filler semen nilainya 8.21 %. Kadar aspal 5 % pada filler abu batu 6.93 %, pada filler bottom ash nilainya 6.56 %, dan filler semen nilainya 6.62 %. Kadar aspal 5.5 % pada filler abu batu 5.30 %, pada filler bottom ash nilainya 4.67 %, dan filler semen nilainya 4.48 %. Kadar aspal 6 % pada filler abu batu 3.38 %, pada filler bottom ash nilainya 3.37 %, dan filler semen nilainya 3.95 %. Kadar aspal 6.5 % pada filler abu batu 3.07 %, pada filler bottom ash nilainya 3.64 %, dan filler semen nilainya 3.60 %. Terlihat bahwa dengan menggunakan filler semen, persentase rongga dalam campuran lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan filler bottom ash maupun abu batu. Hal ini terjadi karena kadar aspal yang menyelimuti rongga pada filler bottom ash dan abu batu lebih kecil sedangkan rongga diantara agregat besar, sehingga menyebabkan prosentase rongga di dalam campuran juga menjadi besar. Namun demikian, kadar aspal yang memenuhi spesifikasi Bina Marga 3 – 5 % yaitu pada kadar aspal 5.5 % sampai 6.5 % untuk filler bottom ash dan semen, sedangkan untuk filler abu batu pada kadar aspal 6 % sampai dengan 6.5 %. g. Kepadatan (DENSITY) Density atau kepadatan merupakan rasio antara berat benda uji kering dengan volume benda uji. Faktor-faktor yang mempengardan kadar aspal. Hasilpenelitian persentase nilai density disajikan pada Gambar 11.

Grafik diatas menampilkan hubungan kadar aspal dan nilaiberat isi / kepadatan density. Kadar aspal 4.5 % pada filler abu batu 2.26 %, pada filler bottom ash nilainya 2.27 %, dan filler semen nilainya 2.26 %. Kadar aspal 5 % pada filler abu batu 2.28 %, pada filler bottom ash nilainya 2.29 %, dan filler semen nilainya 2.29 %. Kadar aspal 5.5 % pada filler abu batu 2.30 %, pada filler bottom ash nilainya 2.32 %, dan filler semen nilainya 2.32 %. Kadar aspal 6 % pada filler abu batu 2.33 %, pada filler bottom ash nilainya 2.33 %, dan filler semen nilainya 2.33 %. Kadar aspal 6.5 % pada filler abu batu 2.32 %, pada filler bottom ash nilainya 2.33 %, dan filler semen nilainya 2.33 %. Terlihat bahwa semakin tinggi kadar aspal semakin tinggi nilai kepadatan density.Hal ini terjadi dikarenakan semakin banyaknya kadar aspal yang mengikat agregat agar semakin rapat satu sama lain. Namun demikian, nilai density dari ketiga jenis filler tersebut memenuhi spesifikasi yaitu minimal 2,2 gr/cm

2.

h. Kadar Aspal Optimum 1. Penentuan KAO untuk filler abu batu. Gambar 12. Grafik Penentuan KAO Abu Batu Grafik tersebut menunjukkan penentuan KAO pada filler abu batu. Nilai stabilitas,kelelehan, Marshall Quotient dan VMA terpenuhi pada setiap kadar aspal. Untuk nilai

10

VFB terpenuhi pada kadar aspal 5.15 % - 6.5 % sementara nilai VIM terpenuhi pada kadar aspal 5.5 % - 6.4%. Selanjutnya dari batas maksimum dan minimum tersebut akan diperoleh nilai

tengah dengan cara

.

2. Penentuan KAO untuk filler bottom ash. Gambar 13. Grafik Penentuan KAO bottom ash

Grafik diatas menunjukkan penentuan KAO

pada filler bottom ash. Nilai stabilitas, kelelehan, Marshall Quotient dan VMA terpenuhi pada setiap kadar aspal. Untuk nilai VFB terpenuhi pada kadar aspal 5.15 % - 6.5 % sementara nilai VIM terpenuhi pada kadar aspal 5.5 % - 6.4%. Selanjutnya dari batas maksimum dan minimum tersebut akan diperoleh nilai tengah dengan

cara

3. Penentuan KAO untuk filler semen. Gambar 13. Grafik Penentuan KAO semen

Grafik diatas menunjukkan penentuan KAO pada filler bottom ash. Nilai stabilitas, kelelehan, Marshall Quotient dan VMA terpenuhi pada setiap kadar aspal. Untuk nilai VFB terpenuhi pada kadar aspal 5.15 % - 6.5 % sementara nilai VIM terpenuhi pada kadar aspal 5.5 % - 6.4%. Selanjutnya dari batas maksimum dan minimum tersebut akan diperoleh nilai

tengah dengan cara

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Nilai kadar aspal optimum yang

didapatkan dari ketiga jenis filler rata-rata 5.95 %. Padaparameter Marshall yang meliputi stability,VMA, MQ, flow,VFB,VIM, dan densityuntuk ketiga jenis fillermemenuhi syarat spesifikasi Bina Marga 2010 Revisi 3. Nilai stabilityterbesar yaitu 1638 kg pada filler semen portland, nilai VMA terbesar pada campuran filler abu batu yaitu 17.2 %, nilai MQ yang paling besar yaitu 558 kg/mm pada filler semen portland, nilai flow yang paling terbesar 3.25 % pada filler bottom ash, nilai VFB terbesar yaitu 78.5 % pada filler semen portland, nilai VIM yang paling besar yaitu 4 % pada filler abu batu, dan untuk nilai density paling tesbesar yaitu 2.33 %.

2. Penggunaan Semen Portland dan Bottom Ash dapat meningkatkan kinerja campuran. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan filler Semen Portland dan Bottom Ash terhadap campuran aspal AC-WC maka karakteristik campuran aspal beton mengalami peningkatan dibandingkan dengan penggunaan filler Abu Batu.

SARAN

Berdasarkan dari kesimpulan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Semen Portland dan Bottom ash dapat

digunakan sebagai filler pada campuran aspal beton dikarenakan dapat meningkatkan kinerja campuran yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai karakteristik aspal beton.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut dilapangan untuk meneliti lebih dalam pengaruh filler Semen portland dan Bottom Ash terhadap pengaruh beban lalu lintas

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan filler Semen Portland dan Bottom Ash pada jenis campuran aspal beton lainnya.

4. Perlu adanya penelitian terhadap jenis bottom ash lainnya yaitu wet bottom ash sebagai filler pada campuran aspal beton.

11

DAFTAR PUSTAKA

AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officals). 1998a. Standart Specifications for Transportation Materials and Methods of Sampling and Testing Part I: Specifications, 19

th edition,

Washington, D.C. AASHTO (American Association of State

Highway and Transportation Officals). 1998b. Standart Specifications for Transportation Materials and Methods of Sampling and Testing Part II: Test, 19

th edition, Washington, D.C.

ASTM C151, Autoclave Expansion of Portland

Cement, USA. Badan Standar Nasional Indonesia, 2015,

“Penulisan Standar Nasional Indonesia”,BSN, Jakarta.

Balitbang ( Badan Penelitian dan

Pengembangan ) Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil). 2008. Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas, Jakarta.

Bina Marga, 1988, “Buku Pemeriksaan

Peralatan Pencampuran Aspal (Asphalt Mixing Plant)”, Jakarta.

Bina Marga, 1988, “Buku Pemerikasaan

Peralatan Pemecah Batu (Stone Crusher)”, Jakarta.

Bina Marga, 1988, “Buku Pemeriksaan

Peralatan Penghampar Aspal (Asphalt Finisher)”, Jakarta.

Bina Marga, 1999, “Panduan Perencanaan

Campuran Beraspal Berdasarkan Kepadatan Mutlak”, SK NO. 76/KPTS/Db/1999, Jakarta.

Christianto Tanzil,Michael, 2012. Kajian

Laboratorium Sifat Marshall dan Durabilitas Aspal Concrete – Wearing Course (AC-WC) dengan Membandingkan Penggunaan antara Semen Portland dan Abu Batu (Fly Ash) sebagai filler, Jakarta.

Coal Bottom Ash/Boiler Slag-Material Descripsio,, 2009.

Departemen Permukiman dan Prasarana

Wilayah. (2004).”Spesifikasi Proyek Pembangunan Jalan dan Jembatan Propinsi Jawa Tengah”, Direktorat Jendral Prasarana Wilayah, Jakarta.

Dwiana Lestiani, Diah. 2011. Karakteristik Unsur

Pada Abu Dasar Dan Abu Terbang Batu Bara Menggunakan Analisis Aktivasi Neutron Instrumental, Batam.

Harold N. Atkins, PE. 1997. Highway Materials,

Soils and Concretes, 3th Edition: Prentice Hall, New Jersey.

Indriani Santoso. 2003. Pengaruh Penggunaan

Bottom Ash Terhadap Karakteristik Campuran Aspal Beton. Tesis Magister, UKP, Surabaya.

Krebs, R.D., and Walker, R.D. (1971), Higway

Materials, McgrawHill Book Company, New York.

Lasmini Ambarawati. 2009. Pengaruh Kadar

Abu Batubara Sebagai Filler TerhadapKarakteristik Dan Indeks Kekuatan Sisa (Iks) Pada Campuran Hot Rolled Sheet (Hrs), UBM, Malang.

Muhammad Harry, 2012. Studi Karakteristik

Campuran Aspal Concrete – Wearing Course (AC-WC) Dengan Serat Ijut Sebagai Bahan Tambah, Makassar.

Melkisedek Paku, Layuk. 2014. Studi Kinerja

Campuran Aspal Concrete – Wearing Course (AC-WC) Menggunakan BGA-ASBUTON Sebagai Bahan Pengikat, Makassar.

Putrowijoyo, R. 2006. Kajian Laboratorium Sifat

Marshall dan Durabilitas Aspalt Concrete-Wearing Course (AC-WC) Dengan Membandingkan Penggunaan Antara Semen Portland dan Abu Bata Sebagai Filler. Semarang:Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Spesifikasi Umum Bina Marga Devisi 6 Revisi 3.

2010. Perkerasan Aspal, Jakarta.

12

Sukirman, S., 2003. BAB II Perkerasan Jalan

Raya, Penerbit NOVA, Bandung. Said Jalalul Akbar. 2012. Stabilitas Lapis

AspaConcrete – Wearing Course(AC – WC) Menggunakan Abu Sekam Padi, Aceh.

Sayful dan Satiana Mulyawan. 2013. Studi

Penambahan Abu Batubara Sebagai Filler Pada Campuran Beraspal. UIK, Bogor.

13

Analisa Pengaruh Curah Hujan Terhadap Debit Tersedia dan Terpakai di Sungai Sadang Bendung Benteng kab. Pinrang

Andi Bustan Didi

Staf Pengajar Program studi teknik sipil, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Parepare.

e-mail : [email protected]

Abstract

Sadang watershed area that passes several districts and even across two provinces is the watershed which has the largest discharge and extent of irrigation services in eastern Indonesia, some districts including kab. Toraja Land, Kab. Enrekang, Kab. Pinrang.This study aims to determine the effect of rainfall on Debit available and used in Bendung Benteng Pinrang district. This research was conducted in Pinrang Regency through the method Quantitative by collecting secondary and primary data from Related agencies. Rainfall data were analyzed by using Algebra Average method, Polygon Thiessen and for frequency analysis Using Gumbel method. Polygon Thiessen analysis results Indicates that the average rainfall is 108.5 mm with Ratio of area 55,38% with total area 6700 km². For results Analysis of rainfall plan with Gumbel method for 2 years = 137 mm, 5 years = 152 mm, 10 years = 143 mm, 20 years = 148 mm, 50 years = 158 mm, 100 years = 169mm. For the river discharge planning analysis Sadang with Gumbel method for 2 years = 524 mᶟ /sec, 5 years = 647 mᶟ /sec, 10 years = 576 mᶟ /sec, 20 years = 587 mᶟ /sec, 50 years = 663 mᶟ / sec, and 100 years = 670 mᶟ / sec.

Keywords : rainfall, debit available, debit used, weir.

Abstrak

Wilayah DAS Sadang yang melintasi beberapa kabupaten dan bahkan melintasi dua provinsi merupakan DAS yang mempunyai debit dan luas layanan irigasi yang terbesar di Indonesia timur, beberapa kabupaten diantaranya kab. Tanah Toraja, kab. Enrekang, Kab. Pinrang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh curah hujan terhadap debit tersedia dan terpakai di Bendung Benteng kabupaten Pinrang. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pinrang melalui metode Kuantitatif dengan mengumpulkan data-data sekunder dan primer dari instansi yang terkait. Data curah hujan dianalisa dengan menggunakan metode Rata – rata Aljabar, Polygon Thiessen dan untuk analisa frekuensi menggunakan metode Gumbel. Hasil analisa Polygon Thiessen menunjukan bahwa besaran curah hujan rata – rata 108,5 mm dengan rasio luasan 55,38 % dengan luas total areal 6700 km². Untuk hasil analisa curah hujan rencana dengan metode Gumbel untuk 2 tahun = 137 mm, 5 tahun = 152 mm, 10 tahun = 143 mm, 20 tahun = 148 mm, 50 tahun = 158 mm, 100 tahun = 169 mm. Untuk analisa debit rencana Sungai Sadang dengan metode Gumbel untuk 2 tahun = 524 mᶟ/dtk, 5 tahun = 647 mᶟ/dtk, 10 tahun = 576 mᶟ/dtk, 20 tahun = 587 mᶟ/dtk, 50 tahun = 663 mᶟ/dtk, dan 100 tahun = 670 mᶟ/dtk.

Kata Kunci : curah hujan, debit tersedia, debit terpakai, bendung.

14

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan Sumber Daya Air sangat penting untuk menjaga Volume ketersedian air di berbagai sektor. Daerah aliran sungai adalah salah sektor yang penting dalam menjaga kontiunitas air bagi kebutuhan masyarakat baik dalam sektor pertanian, PDAM dan kelistrikan. DAS memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung ketersedian air pada suatu jaringan irigasi. Oleh sebab itu perlu adanya berbagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan Sumber Daya Air yang berhasil, berguna,efisien dan terukur. DAS Sadang merupakan sumber air yang sangat penting dalam menunjang kebutuhan air pada daerah irigasi sadang. (Nippon Koel, Ltd 2007)

DAS Sadang yang melintasi beberapa kabupaten dan bahkan melintasi dua provinsi merupakan DAS yang mempunyai debit dan luas layanan irigasi yang terbesar di Indonesia timur, adapun kabupaten dan provinsi yang dilintasi yaitu Kabupaten Tator, kabupaten Enrekang kabupaten Mamasa dan Kabupaten Pinrang sebagai muaranya, sedangkan provinsi yang dlintasi oleh DAS Sadang adalah provinsi Sulawesi Barat dan provinsi Sulawesi Selatan. DAS Sadang mempunyai sumber air dari beberapa sungai yang berada dihulu yaitu Sungai Sadang Tanah Toraja, Sungai Massupu Tanah Toraja, sungai Baruppu Tanah Toraja, Sungai Mata Allo Enrekang dan Sungai Mamasa. kelima sungai ini mempunyai debit yang berbeda satu dengan yang lainnya, besar kecilnya debit yang mengalir dari kelima sungai ini sangat tergantung pada pengaruh curah hujan yang ada . air Sungai Sadang yang di Bendung Benteng seringkali menjadi suatu masalah setiap tahun, baik pada waktu musim hujan maupun pada musim kemarau. Dimana pada musim hujan debit Sungai Sadang dapat mengakibatkan banjir di bagian hulu dan hilir Bendung Benteng sedangkan pada musim kemarau debit yang ada tidak mencukupi untuk melayani areal sawah irigasi pada daerah irigasi Sadang. Hal ini disebabkan oleh minimnya system analisis data yang dapat memprediksi debit tersedia dan terpakai Sungai Sadang yang disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang ada di DAS Sadang. Untuk itu penulis mencoba meneliti pengaruh curah hujan yang dapat mempengaruhi debit tersedia dan terpakai di

Sungai Sadang yang diukur di Bendung Benteng, sehingga dalam melayani kebutuhan air di tiga kabupaten pada daerah irigasi Sadang dapat tercapai.

Tujuan dari penelitian adalah: (1). untuk mengetahui pengaruh curah hujan pada DAS Sadang. (2). untuk mengetahui debit tersedia dan terpakai Sungai Sadang di Bendung Benteng.

TINJAUAN PUSTAKA

Hidrologi

Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya pergerakan dan distribusi air di bumi, meliputi berbagai bentuk air yang menyangkut perubahan – perubahannya antara keadaan cair, padat dan gas dalam atmosfir baik di atas maupun di bawah permukaan tanah, serta reaksinya terhadap lingkungan dan hubungannya dengan kehidupan.

Hidrologi teknik adalah bagian dari hidrologi yang berkaitan dengan perkiraan limpasan dan pergerakan air dari suatu tempat ke tempat lain yang berguna untuk perencanaan, pengendalian dan penggunaan air.

Analisa Curah Hujan

Dalam analisa hidrologi data curah hujan sangat di perlukan baik untuk menghitung debit bulanan / tahunan, suatu sungai atau aliran maupun untuk menghitung debit banjir.

Hal tersebut terutama apabila data curah hujan untuk selang waktu pengamatan yang cukup panjang dapat di peroleh. Data curah hujan rata – rata bulanan yang di gunakan untuk menentukan besarnya debit tahunan pada suatu alur sungai, sedangkan data hujan bulan maksimum tahunan di gunakan untuk menentukan curah hujan rancangan.

Untuk analisa curah hujan umumnya di inginkan adalah data curah hujan rata – rata

15

Daerah Aliran Sungai ( DAS ) untuk menghitung besaran ini dapat di tempuh beberapa cara yang saat ini lazim di gunakan adalah :

1. Rata – rata aljabar 2. Polygon Theissen 3. Analisa Frekuensi

Analisa Frekuensi

Yang dimaksud analisa frekuensi adalah analisa berulangnya suatu peristiwa, baik jumlah frekuensi persatuan waktu maupun periode ulangnya atau dengan kata lain, analisa kegiatan yang diharapkan N terjadi rata – rata sekali dalam N tahun atau dengan kata lain periode ulang sekian tahun.

Analisa frekuensi mengenai debit banjir atau kekeringan adalah peristiwa atau kejadian dengan besaran tertentu akan terjadi sampai satu kali atau dilampaui beberapa kali dalam jangka waktu periode tertentu, jadi kejadian tersebut tidak berulang secara teratur setiap kala ulang. Dalam istilah hidrologi biasanya disebut dengan kala ulang ( return periode ).

Debit Sungai

Sungai adalah tempat dan wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari sumber air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan, yaitu garis luar pengaman sedangkan Pengertian debit adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang melintang sungai/saluran persatuan waktu. Pengukuran debit adalah proses pengukuran dan perhitungan kecepatan aliran , kedalaman dan lebar aliran serta perhitungan luas penampang basah. untuk menghitung debit di sungai dan saluran terbuka . pengukuran mempunyai beberapa metode antara lain metode pengukuran langsung dan metode yang melalui bangunan ukur.

METODE PENELITIAN

Bendung benteng adalah bendung yang terbesar di wilayah Indonesia timur yang terletak di Kel. Benteng,Kec. Patampanua + 14 Km dari Pusat Kota Pinrang atau + 196 Km dari Kota Makassar dan merupakan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1937 dan selesai pada tahun 1939. dalam perjalanan

waktu bendung benteng sudah berumur 77 tahun dan sampai sekarang masih berdiri kokoh yang pengelolaannya masuk pada Satuan Wilayah Sungai (SWS) Sadang yang dikelola langsung oleh UPTD PSDA Wilayah Sungai Sadang Dinas PSDA Provinsi Sulawesi Selatan.Bendung Benteng yang membentang pada daerah aliran sungai (DAS) Sadang yang merupakan sumber air baku bagi tiga kabupaten, yaitu Kab. Pinrang,Kab Sidrap dan Kab. Wajo.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan selama satu bulan yaitu mulai bulan maret sampai dengan bulan april 2017. Penelitian ini dilaksanakan di UPTD PSDA Wilayah Sungai Sadang Kab. Pinrang. Pertimbangan memillih UPTD PSDA Wilayah Sungai Sadang Kab.

Data Curah Hujan

Untuk mengetahui perkembangan jumlah dan pengaruh curah hujan pada suatu wilayah tertentu diadakan pengukuran pada beberapa station penakar curah hujan yang terdekat, pada Analisa Pengaruh Debit yang ada diBendung Benteng diambil 6 ( enam ) Stasiun Penakar Curah Hujan yaitu :

1. SPH Bendung Benteng 2. SPH Talang riaja 3. SPH Salubarani 4. SPH Maroanging 5. SPH Salukarajae 6. SPH Nanggala Data debit sungai

Untuk mengetahui kisaran dan jumlah besaran debit sungai sadang dibendung benteng. Data debit yang dicatat setiap hari dapat dilihat pada lampiran tabel.

Sumber Data

Sumber data adalah Kantor UPTD PSDA Wilayah Sungai Sadang akan lebih mudah diidentifikasikan dengan cara melakukan pengklasifikasian data menjadi dua jenis data. Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, adapun sumber perolehannya adalah sebagai berikut :

1. Data primer

16

Data primer adalah data-data asli yang berhubungan langsung di lapangan yaitu :

a). Data curah hujan

b). Data Debit sungai

Masing-masing selama 10 tahun terakhir mulai tahun 2007 s/d 2016

2. Data sekunder Data sekunder yaitu data yang memberikan gambaran secara umum tentang hal-hal mengenai objek dari penelitian. Data sekunder ini berupa :

a) . Data Potensi jaringan Irigasi b) . Data Petak Tersier c) . Data Potensi Areal sawah beririgasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perhitungan Curah Hujan

Dalam perhitungan analisa curah hujan dipakai data curah hujan dari stasiun curah hujan Bendung Benteng, Maroanging .SalukarajaeTalangriaja, Nanggaladan Salubarani mulai dari tahun 2007 - 2016 dari data curah hujan tersebut kemudian diturunkan data hujan 1 (satu) harian maksimum. Data Hujan 1 (satu) harian maksimum ditentukan dengan mengambil nilai terbesar dari 1 (satu) harian yang terjadi dalam periode 1 (satu) tahun untuk stasiun yang bersangkutan, ini dapat dilihat pada table 5 dibawah ini. Untuk analisa data curah hujan yang digunakan pada perhitungan ini, dipakai metode rata – rata aljabar dan metode polygon thiessen, dari keenam stasiun curah hujan yaituBendung benteng, Maroanging,Salukarajae,Talangriaja,Nanggala dan Salubarani.

Metode Rata – Rata Aljabar

Analisa curah hujan dengan Metode Rata – Rata Aljabar pada ke enam stasiun curah hujan dapat dilihat dibawah ini :

Tahun 2007 P =

( 214 + 83 + 98+ 154 +

118+ 100 ) = 127mm

Tahun 2008 P =

(140 + 102 + 57 + 103 +

87 +97) = 98mm

Tahun 2009 P =

(146 + 104 + 59+ 100 +

131+ 90) = 104mm

Tahun 2010 P =

(81 + 138 + 65 + 145 +

135+ 110) = 112 mm

Tahun 2011 P =

(82 + 66+ 53+ 90 +

94 + 125) = 85 mm

Tahun 2012 P =

(130 + 72 + 69 + 100 +

98 + 105) = 96 mm

Tahun 2013 P =

(96 + 69 + 86 + 97 +

112 + 100) = 93 mm

Tahun 2014 P =

(73 + 106 + 92+ 64 +

117 + 103) = 93 mm

Tahun 2015 P =

(87 + 80 + 49 + 123 +

96 + 95) = 88 mm

Tahun 2016 P =

(89 + 85+ 67+ 110 + 99

+ 97) = 91 mm

Untuk perhitungan selanjutnya ditabelkan seperti terlihat pada tabelberikut :

Tabel.5.Perhitungan Curah Hujan Harian Maksimum dengan Metode Rata – Rata Aljabar.

Bendung

bentengTalangriaja Salubarani Maroanging

Salu

Karajae

2007 214 83 98 154 118 100 128

2008 140 102 57 103 87 98 98

2009 146 104 59 100 131 97 106

2010 81 138 65 145 135 110 112

2011 82 66 53 90 94 125 85

2012 130 72 69 100 98 105 96

2013 96 69 86 97 112 100 93

2014 73 106 92 64 117 103 93

2015 87 80 49 123 96 95 88

2016 89 85 67 110 99 97 91

Total 1138 905 695 1086 1087 1030 990

Rerata 114 91 70 109 109 103 99

STASIUN CURAH HUJAN

TAHUN RERATANanggala

17

Metode Polygon Thiessen

Analisa curah hujan dengan Metode Polygon Thiessen pada keenam stasiun curah hujan dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:

P = A1 x P1 + A2 x P2 +A3 x P3 + A4 x P4+ A5 x P5 + A6 x P6

A1 + A2 + A3 + A4 + A5+ A6

Perhitungan rasio luas daerah keenam stasiun curah hujan dapat dilihat sebagai berikut:

1. Bendung benteng= 114x 367.132 ( 6700 ) = 6,25 %

2. Talang Riaja= 91 x 399.493 ( 6700)

= 5,43 %

3. Salubarani= 70 x 1331.799 ( 6700)

=13,91 %

4. Maroanging = 109x 362.832

( 6700)

= 5,97%

5. Salukarajae= 109x 367.132

( 6700)

= 5,97 %

6. Nanggala= 103x 1195.332%

( 6700)

=18,37

Hasil perhitungan rasio luas daerah keenama stasiun curah hujan dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel.6.Rasio Luas Daerah Stasiun Curah Hujan

Berdasarkan rumus tersebut diatas maka besar curah hujan setiap stasiun jikadikali dengan ratio luasnya adalah sebagai berikut :

Stasiun Bendung benteng P1 = 114 x 367.132= 41.853mm

Stasiun Talang Riaja P2 =91 x 399.493 = 36.353 mm

Stasiun Salubarani P3 = 70 x 1331.799 =93.225 mm

Stasiun Maroanging P4 = 109 x 362.832= 39.548 mm

StasiunSalukarajae P5 = 109 x 367.132 = 40.017mm

Stasiun Nanggala P6 = 103 x 1195.332 = 123.119 mm

Selanjutnya hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut

Tabel.7.Perhitungan Curah Hujan Tahunan Maksimum dengan MetodePolygon ThiessenTahun 2007 untuk keenam stasiun

Berdasarkan tabel7 tersebut diatas maka besaran curah hujanrata ratakawasan dari keenam stasiun selama 1tahun dapat diketahui dengan rumus :

No Stasiun C.H P A (m2 / km) P X A

1 Bendung Benteng 214 367.132 78566.248

2 Talangriaja 83 399.493 33157.919

3 Salubarani 98 1331.799 130516.302

4 Maroanging 154 362,832 55876128

5 Salukarajae 118 367,132 43321576

6 Nanggala 100 1195.332 119533.2

733257.756 99559477.67Jumlah

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

1085

109

Tahun

Rata Rata (mm) 136 95 104 91 109 104

TOTAL =

RERATA =

115 140 92 99

No Nama Stasiun LUAS (KM2) RATIO (%)

1 Bendung Benteng 367.132 6,25

2 Talangriaja 399.493 5,43

3 Salubarani 1331.799 13,91

4 Maroanging 362.832 5,97

5 Salukarajae 267.132 5,97

6 Nanggala 1195.332 18,37

3923.720 55,90

18

P =99526802,92= 136mm

733257,756

Untuk tahun 2008 s/d 2016curah hujanrata rata kawasan dapat diketahui dengan perhitungan seperti diatas dan selanjutnya ditabelkan:

Tabel.8. Rata – Rata Curah Hujan DAS Sadang dengan Metode Polygon Thiessen

Gambar.6. Grafik Curah Hujan Rerata DAS Sadang dengan dengan metode polygon tiessen

Untuk tampilan grafik curah hujan rata-rata menggunakan metode polygon thiessen, pada tahun 2007 sampai tahun 2011 intensitas curah hujan bervariasi sedangkan pada tahun 2011 sampa tahun 2016 intensitas curah hujannya cenderung rata. Dari kedua metode analisis curah hujan diatas, diambil curah hujan yang terbesar, sehingga Metode Polygon Thiessen yang dipakai dalam analisis curah hujan keenam stasiun tersebut.

Analisa Frekuensi

Dalam analisa frekuensi, perhitungan curah hujan rencana dilakukan dengan metode Gumbel karena dari hasil analisa data hanya metode Gumbel yang mendekati syarat Koefisien Skewness (Cs) dan Koefisien Kortosis (Ck).Data curah hujan yang digunakan adalah data curahhujan harian maksimum tahunan yang merupakan curah hujan tertinggi yang terjadi dalam tahun tersebut pada keenam stasiun yang ada. Metode Gumbel

Pada metode Gumbel data curah hujan regional disortir dari yang terbesar sampai yang terkecil. Contoh perhitungannya adalah sebagai berikut:

1. Jika Xi= 140,00 dan Xr = Rata – rata = 108,50

Sehingga : Xi– Xr =140,00 - 108,50 = 31,50 ( Xi – Xr = ( 31,50 = 992.25

( Xi – Xr = ( 31,50 = 31255,88 2. Jika Xi= 136,00 dan Xr = Rata – rata =

108,50 Sehingga: Xi – Xr =136,00 - 108,50 = 27,50

( Xi – Xr = ( 27,50 = 756,25

( Xi – Xr = (27,50 = 20796,88 Perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:

Tabel.9. Analisa Curah Hujan Dengan Metode GumbelStasiun :Bendung benteng, Talangriaja, Salubarani, Maroanging. Kalosi losi dan Nanggala

No Xi ( mm ) Xr ( Xi - Xr ) (Xi - Xr )2

(Xi - Xr )3

(Xi - Xr )4

1 140 31,50 992,25 31255,88 984560,06

2 136 27,50 756,25 20796,88 571914,06

3 115 6,50 42,25 274,63 1785,06

4 109 0,50 0,25 0,13 0,06

5 104 -4,50 20,25 -91,13 410,06

6 104 -4,50 20,25 -91,13 410,06

7 99 -9,50 90,25 -857,38 8145,06

8 95 -13,50 182,25 -2460,38 33215,06

9 92 -16,50 272,25 -4492,13 74120,06

10 91 -17,50 306,25 -5359,38 93789,06

Jml 1085,000 108,50 0,000 2682,50 38976,00 1768348,63

108,50

Sehingga perhitungan statistiknya adalah :

n ( Jumlah Variant ) = 10

Yn = 0,4952

Sn = 0,9497

Sd = 15,1014

Sd / Sn = 15,9012

Cs = 0,285

CK = 4,5730

Nilai Yn, Sn dan Yt dapat dilihat pada lampiran tabel Contoh perhitungan Hujan rencana periode ulang sebagai berikut :

Xr = +

x Sd

X2= 140 + –

x 15,1014 =136,99 mm

X5 = 136 + –

x 15,1014 =151,97 mm

X10=115 + –

x 15,1014 =142,90 mm

19

X20 = 109 + –

x 15,1014 = 148,35mm

X50 =104 + –

x 15,1014 =158,17 mm

X100=104 + –

x 15,1014 =169,27 mm

Untuk selanjutnya hasil analisa curah hujan dengan Metode Gumbel ditampilkan pada tabel:

Tabel.10. Rekapitulasi perhitungan curah hujan (mm)

Kemudian hasil perhitungan curah hujan rencana dengan menggunakan metode diatas dapat dilihat pada tabel:

Tabel.11.Curah Hujan Rencana

Dengan Metode Gumbel Stasiun :Bendungbenteng,Talangriaja,Salubarani, Maroanging,Salukarajae dan Nanggala

158.17

50 100

169.27

T (Tahun)

GUMBEL

2 5 10 20

136.99 151.97 142.90 148.35

Gambar.7. Grafik Curah Hujan Rencana DAS Sadang dengan metode gumbel

Untuk Grafik curah hujan rencana dengan metode Gumbel dapat dilihat bahwa curah

hujan rencana tersebut cenderung naik pada setiap kala ulang

Debit Sungai

Dari urutan penyelesaian rumus diatas merupakan salah satu sampel yang dipakai dalam menetukan besaran debit actual yang ada di Bendung Benteng selanjutnya ditabelkan selama 10 tahun, mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2016

Tabel.12. Debit Sungai Sadang Rata – Rata Bulanan

Gambar.8. Grafik Debit rata – rata sungai Sadang

Grafik debit rata rata Sungai Sadang yang ada diatas dapat diketahui bahwa volume debit sungai rata rata sesuai dengan data debit normal Sungai Sadang pada data debit desain yaitu 200m3/dtk sampai dengan 600m3/dtk.

a. Perhitungan Debit Andalan Selanjutnya dalam analisa debit Andalan Sungai Sadang dalam bentuk tabel debit dan

CU

RA

H H

UJA

N (

mm

)

TAHUN

GRAFIK CURAH HUJAN RENCANA DAS SADANG DENGAN METODE GUMBEL

1 2007 348

2 2008 384

3 2009 222

4 2010 545

5 2011 297

6 2012 317

7 2013 399

8 2014 300

9 2015 291

10 2016 537

No

320 305 307 787 624 423229 638 756 1044 565 442

121 68 40 32 51 157211 590 446 883 490 400

432 260 164 97 86 394396 174 267 369 344 614

493 376 121 106 300 665240 292 201 761 617 616

333 167 112 110 191 299190 396 411 697 568 327

131 75 90 111 423 485367 224 376 532 510 245

285 527 628 549 961 657189 344 668 590 782 364

199 97 71 65 76 190247 189 295 422 588 220

199 169 200 259 773 549

209 120 232 343

184 159 578 757 412 373

Des.Rata

210 335 332 1027 545 419 241 164

Juni Juli Agustus Sept. Oktober Nop.Tahun

JanuariPebruari Maret April Mei2 50 0,3065 -0,1887 136.99

5 20 1.4999 1.0047 151.97

10 10 2.2504 1.7552 142.90

20 5 2.9702 2.4750 148.35

50 2 3.9019 3.4067 158.17

100 1 4.6001 4.1049 169.27

Xr ( mm )Tr ( Thn ) P ( % ) Y Y-Yn

DEB

IT S

UN

GA

I(M

3/D

TK)

TAHUN

GRAFIK DEBIT RATA RATA SUNGAI SADANG

20

DEBIT TERSEDIA DAN TERPAKAI SUN DEBIT TERSEDIA DAN TERPAKAI

SUNGAI SADANG ( WATER BALANCE )

TAHUN Deb

it (

m3

/dtk

)

Propabilitas

% Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept. Oktober Nop. Des.

1 10% 396 638 756 1044 782 616 493 527 628 787 961 665

2 20% 367 590 668 1027 617 614 432 376 307 549 773 657

3 30% 247 396 578 883 585 442 333 305 209 259 624 549

4 40% 240 344 446 761 568 419 320 260 200 120 423 485

5 50% 229 335 411 757 565 400 285 169 164 111 300 423

6 60% 211 292 376 697 545 373 241 167 121 110 232 394

7 70% 210 224 332 590 510 364 199 164 112 106 191 343

8 80% 190 189 295 532 490 327 199 97 90 97 86 299

9 90% 189 174 267 422 412 245 131 75 71 65 76 190

10 100% 184 159 201 369 344 220 121 68 40 32 51 157

NoBulan

DEB

IT S

UN

GA

I(M

3/D

TK)

BULAN

GRAFIK DEBIT ANDALAN 80% SUNGAI SADANG

dirangking mulai dari debit rata – rata actual terbesar ke debit rata – rata actual terkecil dengan propabilitas dari 10% s/d 100%, dari tabel tersebut diketahui debit andalan 80% dengan “plotting position” Pada deret angka 80%. Selanjutnya hasil perhitungan ditabelkan:

Tabel.13. Debit Andalan Sungai Sadang 80%

Gambar.9. Grafik Debit andalan 80% Sungai Sadang

Untuk Grafik Debit Andalan 80% Sungai Sadang dapat dilihat bahwa debit andalan dari terkecil 86m3/dtk dan terbesar 532 m3/dtk, ini menandakan bahwa debit andalan Sungai Sadang lebih besar dari pada kapasitas debit

maximum yang terpakai.di daerah irigasi Sadang.

Analisa Debit Aktual Tersedia dan Terpakai (water balance)

Selanjutnya dalam proses analisa water balancedata debit sungaidihitung berdasarkan data debit sungai actual pada table 8 dan di urai berdasarkan data perhitungan debit yang tersedia dan debit yang terpakai dalam satu bulan. Untuk itu dapat dilihat pada tabel:

Tabel.14. Debit Tersedia dan Terpakai Sungai Sadang

Gambar.10. Grafik Debit tersedia dan terpakai Sungai Sadang

Untuk Grafik debit tersedia dan terpakai terlihat jelas bahwa debit Sungai Sadang masih surplus dalam suplay air ke tiga kabupaten, terbukti hasil perhitungan diatas yang di gambar dalam grafik menyatakan bahwa ketersedian debit di Bendung Benteng lebih besar dari pada debit yang terpakai di irigasi dan keperluan lainnya. Analisa Debit Rencana dengan Metode Gumbel

TAHUN TERPAKAI (M3/dtk )

TERSEDIA (M3/dtk )

2007 53 348

2008 61 390

2009 62 221

2010 42 535

2011 78 293

2012 57 321

2013 58 402

2014 59 299

2015 57 289

2016 59 539

21

Pada metode Gumbel data debit sungai disortir dari yang terbesar sampai yang terkecil. Contoh perhitungannya adalah sebagai berikut:

1. Jika Xi = 545,00 dan Xr =Rata – rata = 364.00

Sehingg : Xi – Xr = 545– 364.00

= 181.00 ( Xi – Xr =( 181.00

= 32761.00

( Xi – Xr = (181.00

= 5929741.00

2. Jika Xi =537,00 dan Xr =Rata – rata = 364.00

Sehingga: Xi – Xr =537,00 - 364.00 = 173.00

( Xi – Xr = (173.00

= 29929.00

( Xi – Xr = (173.00

= 5177717.00

Perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada Tabeldibawah ini:

Tabel.15.Analisa Debit Sungai sadang Dengan Metode Gumbel

No Xi ( M3/dtk ) Xr ( Xi - Xr ) (Xi - Xr )2

(Xi - Xr )3

(Xi - Xr )4

1 545 181.00 32761.00 5929741.00 1,073,283,121

2 537 173.00 29929.00 5177717.00 895,745,041

3 399 35.00 1225.00 42875.00 1,500,625

4 384 20.00 400.00 8000.00 160,000

5 348 -16.00 256.00 -4096.00 65,536

6 317 -47.00 2209.00 -103823.00 4,879,681

7 300 -64.00 4096.00 -262144.00 16,777,216

8 297 -67.00 4489.00 -300763.00 20,151,121

9 291 -73.00 5329.00 -389017.00 28,398,241

10 222 -142.00 20164.00 -2863288.00 406,586,896

Jml 3640 364.00 0.000 100858.00 7235202.00 2447547478.00

364.00

Sehingga perhitungan statistiknya adalah :

n ( Jumlah Variant ) = 10

Yn = 0,4952

Sn = 0,9497

Sd = 103,716

Sd / Sn = 109,209

Cs = 1,0187

CK = 5,7261

Nilai Yn, Sn dan Yt dapat dilihat pada lampiran tabel Contohdebit rrencana periode ulang sebagai berikut :

Xr = +

x Sd

X2=545+ –

x103,716= 524,392m3/dtk

X5=537+ –

x103,716=646,722 m3/dtk

X10= 384 + –

x 103,716 =

575,684m3/dtk

X20= 317+ –

x103,716= 587,292

m3/dtk

X50= 291 + –

x103,716= 663,043

m3/dtk

X100 = 222 + –

x103,716= 670,292

m3/dtk

Untuk selanjutnya hasil analisa debit sungai dengan Metode Gumbel ditampilkan pada tabel:

Tabel.16.Rekapitulasi perhitungan debit sungai (m3/dtk

Kemudian hasil perhitungan debit sungairencana dengan menggunakan metode diatas dapat dilihat pada tabel:

Tabel. 17Debit sungai Rencana denganMetode Gumbel(m3/dtk)

22

2 524,392

5 646,722

10 575,684

20 587,292

50 663,043

100 670,292

T ( Tahun ) Gumbel (m3/dtk)

Gambar.11. Grafik Debit rencana Sungai Sadang Untuk Grafik debit Rencana sungai sadang sesuai dengan hasil perhitungan metode Gumbel yang digambarkan pada grafik diatas di ketahui bahwa grafik debit rencana mengikuti grafik curah hujan rencana yang menandakan bahwa grafik debit rencana pada penelitian ini berbanding lurus dengan grafik curah hujan rencana. Untuk mengetahui perbandingan antara curah hujan rencana dan debit rencana dengan menggunakan metode gumbel pada kala ulang tertentu, selanjutnya ditabelkan dan dibuatkan grafik:

Tabel.18. Perbandingan antara Curah Hujan Rencana dan Debit Rencana Menggunakan Metode Gumbel.

2 137 524,392

5 152 646,722

10 143 575,684

20 148 587,292

50 158 663,043

100 169 670,292

T ( Tahun )Debit Rencana Gumbel

(m3/dtk)

CH Rencana Gumbel

(mm)

DEB

IT S

UN

GA

I(M

3/D

TK)

TAHUN

GRAFIK DEBIT RENCANA SUNGAI SADANG

De

bit

(m

3/d

tk d

an C

ura

h H

uja

n (

mm

)

Kala Ulang (Tahun)

GRAFIK PERBANDINGAN ANTARA CURAH HUJAN RENCANA DAN DEBIT RENCANA MENGGUNAKAN

METODE GUMBEL

CURAHHUJANRencana(mm)

DEBITRencana(m3/dtk)

23

Gambar.12. Grafik perbandingan antara curah hujan rencana dan Debit rencana menggunakan metode gumbel

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa keadaan curah hujan rencana dan debit rencana pada DAS sadang berbanding lurus artinya jika setiap terjadi curah hujan rendah atau tinggi maka debit sungai sadang akan berubah seiring dengan tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi pada DAS sadang.

Gambar.13. Grafik perbandingan antara pengaruh Curah hujan terhadap Debit tersedia dan terpakai

Dari ketiga grafik diatas dapat diketahui bahwa untuk curah hujan grafiknya mulai dari 90 mm sampai dengan 136mm ini menunjukan bahwa curah hujan yang terjadi dari tahun ketahun masih nilainya tidak terlalu jauh.sedangkan untuk debit tersedia debitnya mulai 200m3/dtk sampai dengan 539 m3/dtk ini menunjukan bahwa debit yang tersedia di Bendung Benteng masih surplus apabilah di bandingkan dengan debit yang terpakai karena

seperti yang ada pada grafik diatas debit yang terpakai mulai dari 53m3/dtk sampai dengan 78 m3/dtk.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Curah hujan rencana dan debit rencana pada DAS Sadang berbanding lurus, artinya jika setiap terjadi curah hujan rendah atau tinggi maka debit Sungai Sadang akan berubah seiring dengan tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi pada DAS Sadang.

2. Rata – rata Debit tersedia di Sungai Sadang mulai tahun 2007 sampai tahun 2016 sebesar 364 mᶟ/dtk, Sedangkan Rata – rata Debit terpakai di Sungai Sadang mulai tahun 2007 sampai tahun 2016 sebesar 59 mᶟ/dtk.

Saran

1. Untuk menghitung debit dan curah hujan rencana sebaiknya lamanya pengamatan atau N tahun curah hujan dipakai periode pengamatan yang relatif panjang supaya hasil yang diperoleh lebih akurat, sehingga kemungkinan kesalahan / penyimpangan dapat diperkecil.

2. Dari analisis perhitungan yang dilakukan untuk Rasio luasan yang diwakili oleh setiap stasiun curah hujan ternyata masih kurang dari 100 %. Untuk itu, usulan bagi instansi terkait bahwa perlu penambahan stasiun curah hujan pada catmen area Daerah Aliran Sungai Sadang.

3. Untuk hasil analisis perhitungan neraca air (water balance) pada Daerah Irigasi Sadang ternyata air yang terbuang masih lebih banyak daripada yang terpakai. Untuk itu, usulan bagi pemerhati Sumber Daya Air dan Instansi terkait, kiranya dapat melakukan kajian lebih lanjut sehingga air yang terbuang percuma dapat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilhat pada grafik water balance debit Sungai Sadang pada BAB IV.

DAFT AR PUST AKA Bam bang T r ia tm od jo , Mare t 200 8 , H id ro log i T e rapan , Be ta O f f se t Yogyakarta

Deb

it (

m3

/dtk

dan

Cu

rah

Hu

jan

(m

m)

GRAFIK PERBANDINGAN ANTARA PENGARUH CURAH HUJAN TERHADAP

DEBIT TERSEDIA DAN TERPAKAI

DebitTersedia(m3/dtk)

2 50 0,3065 -0,1887 524,392

5 20 1,4999 1,0047 646,722

10 10 2,2504 1,7552 575,684

20 5 2,9702 2,4750 587,292

50 2 3,9019 3,4067 663,043

100 1 4,6001 4,1049 670,292

Xr ( m3/dtk )Tr ( Thn ) P ( % ) Y Y-Yn

24

Direktorat Penyelidikan Masalah Air, 1983, Analisa Hidrograf, Bahan Kursus Hidrologi , DPMA, Bandung Debit Banjir Rencana, Jurnal Pasir, No.22 – Th 6, KW-II Departemen PU, Petunjuk Hidrologi Volume I. Curah Hujan dan Debit Sungai Departemen PU, Petunjuk Hidrologi Volume III. Penggunaan Data Hidrologi Iman Subarkah, 1992, Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air, Penerbit Idea Dharma Bandung Ir .Sunggono kh Nova Ban, 1984, Perhi tungan Teknik s ip i l , Nova Bandung Joesron Loeb is , 1992, Banj i Rencana Untuk Bangunan air , Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta Joyce Martha w, Wanny Adidarma, 1983, Mengenal Dasar — dasar Hidrologi, Penerbit Nova, Bandung Nippon Koel,Ltd 2007, Pedoman Operasi dan pemeliharaan Bendung Benteng, Ray K. Linsley, Joseph B. Franzini, Djoko Sasongko, 1977, Teknik Sumber Daya Air, Edisi Ketiga, Jilid I, Erlangga, Jakarta

Sudjana, Dr.MA. Msc, 1975, Metode Statistik, Tarsito, Bandung

Soemarto,Ir.BIE,1987,Hidrologi,Teknik,Penerbit Usaha Nasional, Surabaya

Soewamo, 1992, Pengaruh lama Pencatatan Debit Terhadap Perkiraan

Soewarno, 1991, Ketelitian Pengukuran Debit Metode Alat Ukur Arus di

Pos Duga Air Sungai Atau Saluran Irigasi, Jurnal Informasi Teknik No

Soewamo, 1994, Pengukuran Kehilangan Air di Saluran lrigasi, Jurnal Informasi Teknik No. 12

Soewamo, 1995, Hidrologi Aplikasi Statistik Untuk Analisa Data Jilid 1, Nova, Bandung

Soewarno, 1991, Hidrologi, Pengukuran dan Pengelolaan Data Aliran Sungai, Hidrometrik, Nova, Bandung

Sriharto BR 1986, Analisis Hidrologi

Soewarno dan Suprihadi, 1982, Cara Perhitungan Untuk Publikasi

Besaran Aliran Sungai, Bahan Kursus Hidrologi DPMA Bandung

Wismp 2007 . Study Rasionalisasi Jaringan Hidrologi UPTD PSDA Wilayah Sungai Sadang

25

Pengaruh Penambahan Serbuk Bentonit Pada Campuran Beton Terhadap Kuat Tekan Beton

Hendro Widarto Staff Pengajar Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik,

Universitas Muhammadiyah Parepare e-mail : [email protected]

Abstract

Jumardi Safri, increasing the influence bentonite powder to concrete mixture concerning the compressive strength of concrete (Guided by H. Hakzah and Hamsyah). This research purposed to analyzing the bentonite powder with the mixture concrete for the strength of concrete K 225 and evaluating the comparison bentonite powder to concrete mixture concerning the compressive strength of concrete K 225. With development the concrete construction in this country Indonesia,so this reseach more leads to quality improvement concrete by using added bentonite materials. From the reseach results can be drawn a conclusion that is the addition of bentonite on concrete mixture will increase the compressive strength of concrete the highest strength value that achieved for the concrete with bentonite degrees 10 %, with average results as amount 22,175 Mpa. And then, bentonite degree 25 % and 50 %. The concrete become decreased compressive strength of concrete as amount 16.301 and 9,979 Mpa. Compressive strength of concrete with added bentonite degree as amount 10 %, 25 % and 50 % with average compressive strength amount 22,175 Mpa, 16,301 Mpa and 9,979 Mpa not reached the standard specification quality of concrete K225.

Keyword: Compressive strength, Slump value, Bentonite.

Abstrak

Jumardi Safri. Pengaruh penambahan serbuk bentonit pada campuran beton terhadap kuat tekan beton. (Dibimbing oleh H. Hakzah dan Hamsyah). Penelitian ini bertujuan untuk. Menganalisa pengaruh penambahan serbuk bentonit pada campuran beton terhadap kuat tekan beton K 225, mengevaluasi perbandingan serbuk bentonit pada campuran beton terhadap kuat tekan beton K 225. Dengan berkembangnya pembangunan konstruksi beton di negara Indonesia, maka penelitian ini lebih mengarahkan pada peningkatan mutu beton dengan menggunakan bahan tambah bentonit. Dari hasil analisa penelitian dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu penambahan bentonit pada campuran beton akan meningkatkan kuat tekan beton. Nilai kuat tekan tertinggi diperoleh pada beton dengan kadar bentonit 10%, dengan hasil rata-rata sebesar 22,175MPa. Sedangkan pada kadar bentonit 25 % dan 50 %, beton mulai mengalami penurunan kuat tekan sebesar 16,301 MPa dan 9,979 Mpa. Kuat tekan beton dengan kadar penambahan bentonit sebesar 10 %, 25 %, 50 % dengan rata-rata kuat tekan sebesar 22,175 Mpa, 16,301 Mpa dan 9,979 Mpa tidak mencapai spesifikasi standar mutu beton K 225 (22,5 Mpa).

Kata kunci : Kuat tekan, nilai slump, bentonit.

26

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH

Bentonit merupakan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. Terdiri dari dua tipe yaitu Na bentonit dan Ca bentonit, sebagai negeri yang kaya akan tambang dan mineral merupakan potensi bagi kita untuk menggalinya. Permasalahannya adalah bahwa potensi ini belum dikelola secara maksimal sehingga kebutuhan bentonit nasional hingga saat ini masih sangat kurang. Bentonit yang digunakan

untuk beberapa penelitian masih impor, sehingga perlu diupayakan peningkatan mutu bahan lokal, sehingga dengan pemakaian bahan lokal diharapkan harganya lebih murah dan efisiensinya lebih meningkat. Sehingga dapat diupayakan untuk memanfaatkan potensi bahan baku yang ada dalam negeri. Bentonit adalah istilah untuk lempung yang mengandung monmorillonit dalam dunia pertambangan dan termasuk dalam kelompok dioktohedral. Penamaan jenis lempung berdasarkan dari

penemu atau peneliti, misal ahli geologi, mineralogi, mineral industry dan lain-lain. Bentonit mempunyai ciri khas yaitu kalua diraba seperti lilin dan teksturnya seperti sabun. Bagian yang dekat dengan permukaan tanah condong berwarna hijau kekuningan atau abu-abu dan menjadi terang pada waktu dikeringkan. Endapan yang ada dibawah permukaan tanah condong berwarna abu-abu kebiruan, selain itu ada pula yang berwarna putih, coklat terang dan coklat kemerahan. Berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua, yaitu (1). Tipe Wyoming (Na bentonit). Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan kedalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu didalam air. (2). Mg (Ca bentonit). Tipe bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan kedalam air dan tetap terdispersi didalam air, tetapi secara alami mempunyai sifat menghisap yang baik. Potensi endapan bentonit ditanah air tersebar dipulau jawa, sumatera, sebagian Kalimantan dan Sulawesi dengan cadangan diperkirakan lebih

dari 380 juta ton, serta pada umumnya terdiri dari jenis kalsium (Ca bentonit). Beberapa lokasi yang sudah dan sedang dieksploitasi, yaitu di Tasik Malaya, Leuwiliang, Nanggulan dan lain-lain. Indikasi endapan Na bentonit terdapat di Pangkalan Brandan, Sorolangun-Bangko dan Boyolali. Indonesia sebagai negeri yang kaya akan tambang dan mineral merupakan potensi besar untuk digali.

Hamparan bentonit diwilayah jawa barat khususnya wilayah Bogor barat meliputi kecamatan, leuwisadeng, Nanggung, Cigudeg, Jasinga, Tenjo dan Runpin, kandungan bentonit lebih dari 100 hektar dan diperkirakan tidak akan habis dalam kurung waktu 50 tahun kedepan. Sehingga dalam tugas akhir ini peneliti mencoba membuat beton normal dengan menggunakan bahan tambahan bentonit. Beton Normal (Normal concrete) didefinisikan sebagai beton yang mempunyai kekuatan 20 - < 35 MPa. Upaya untuk mendapatkan beton mutu tinggi yaitu dengan meningkatkan mutu

material pembentuknya, misalnya kekerasan agregat dan kehalusan butir semen. Peningkatan mutu beton dapat dilakukan dengan memberikan bahan tambah, diantaranya Silicafume, Slag, Fly ash, Namun penekanan peneliti lebih mengarahkan pada peningkatan mutu beton dengan menggunakan bahan tambah (Additive) pada campuran beton, bahan tambah Additive telah banyak diterapkan dalam peningkatan mutu beton seiring dengan tingkat penggunaan beton sebagai bahan konstruksi yang lebih menekankan kearah kekuatan dan kemampuan beton dalam menerima beban. Dengan berkembangnya pemba-ngunan konstruksi beton di negara Indonesia, Maka peneliti mencoba mem-berikan konstribusi pemikiran secra akademis dengan cara melakukan penelitian tentang “Pengaruh penambahan serbuk bentonit pada campuranbeton terhadap kuat tekan beton”

RUMUSAN MASALAH Permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian ini antara lain : 1. Bagaimana pengaruh penambahan serbuk

bentonit pada campuranbeton terhadap kuat tekan beton K. 225.

2. Bagaimana perbandingan serbuk bentonit dalam campuranbeton terhadap kuat tekan beton K. 225.

MAKSUD DAN TUJUAN Dari kondisi di atas maka ada beberapa

permasalahan yang menarik yang ingin dibahas dan diteliti untuk perkembangan beton dimasa yang akan datang dengan tujuan : 1. Menganalisa pengaruh penambahan serbuk

bentonit pada campuran beton terhadap kuat tekan beton K. 225.

2. Mengevaluasi perbandingan serbuk bentonit pada campuran beton terhadap kuat tekan beton K. 225

27

Manfaat penelitian

Penelitian tentang penambahan bentonit pada campuran beton tentunya akan memberikan manfaat yang besar. Secara teoritikal ini akan memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap karakteristik beton (baik dari segi kelebihan ataupun kekurangannya), sehingga dengan karakteristik tersebut perkembangan teknologi beton bisa lebih ditingkatkan mutu atau kualitasnya. Secara praktik, penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan hasil yang nyata terhadap peningkatan berupa perbaikan karakteristik beton (kuat tekan) sehingga mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan dunia teknik sipil.

BATASAN PENELITIAN Untuk menghindari adanya kesalahan

penelitian sesuai dengan tujuan yang dimaksud, maka dalam penelitian ini diperlukan adanya batasan –batasan masalah sebagai berikut :

1. Bahan tambah yang digunakan adalah Bentonit local tipe(Na-bentonit-sodium bentonit).

2. Semen yang digunakan adalah semen Portland atau PC (semen Tonasa) dengan kemasan dalam kantong 50 kg.

3. Penelitian yang dilakukan meliputi kuat tekan.

4. Variasi penambahan bentonit sebanyak 10%, 25%, dan 50%

5. Pengujian kuat tekan beton pada umur 7, 14, 21 dan 28 hari untuk seluruh benda uji.

6. Jumlah benda uji yg dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 36 buah dalam bentuk silinder

SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian yang digunakan adalah dengan membagi beberapa kerangka masalah dalam beberapa bagian, yang kemudian disusun dalam tiga bab yang dimaksudkan agar masalah yang hendak dikemukakan, dipahami dan dimengerti. Untuk mendapatkan gambaran keseluruhan isi dari pada penulisan ini setiap bab terdiri dari : 1. BAB I Pendahuluan

Bab ini mengemukan dan menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

2. BAB II Tinjauan Pustaka Mengemukakan tentang studi kepustakaan oleh peneliti terdahulu yang melakukan studi

terhadap pengertian beton, kinerja beton, penggunaan bahan tambah bentonit dalam campuran beton.

3. BAB III Metodologi Penelitian Bagian ini menguraikan perihal mengenai jenis penelitian yang digunakan, gambaran lokasi penelitian, tahap-tahap dan metode penelitian, dan bagan alir penelitian.

4. BAB IV Hasil Dan Pembahasan Bab ini memberikan hasil-hasil penelitian yang menjelaskan secara detail dari rangkaian proses penelitian. Hasil-hasil penelitian disajikan baik berupa tabel, gambar maupun grafik.

5. BAB V Kesimpulan Dan Saran Pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan dari seluruh rangkaian proses penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah serta diberikan beberapa saran-saran terkait dengan kekurangan penelitian dan upaya-upaya yang akan dilakukan untuk menyempurnakan penelitian ini.

TINJAUAN PUSTAKA

A. BETON Beton adalah campuran antara semen,

agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau tanpa bahan campuran tambahan yang membentuk massa padat. Dalam pengertian umum beton berarti campuran bahan bangunan berupa pasir dan kerikil atau koral kemudian diikat semen bercampur air, maupun perbandingan pencampurannya. Untuk mendapatkan beton yang optimum pada penggunaan yang khas, perlu dipilih bahan yang sesuai dan dicampur secara tepat. Kebaikan dan keburukan beton dibandingkan dengan bahan bangunan lain adalah sebagai berikut. 1. Kelebihan beton

a. Harganya relatif murah karena menggunakan bahan lokal

b. Mempumyai kekuatan tekan yang tinggi, serta mempunyai sifat yang tahan terhadap pengkaratan dan pembusukan oleh kondisi lingkungan.

c. Adukan beton mudah diangkut maupun dicetak dalam bentuk dan ukuran sesuai keinginan.

d. Kuat tekan beton jika dikombinasikan dengan baja akan mampu memikul beban yang berat.

e. Adukan beton dapat disemprotkan dipermukaan beton lama yang retak maupun diisikan kedalam retakan beton dalam proses perbaikan. Selain itu dapat

28

pula dipompakan ketempat yang posisinya sulit.

f. Biaya perawatan yang cukup rendah karena termasuk tahan aus dan tahan kebakaran.

2. Kekurangan beton a. Beton memiliki kuat tarik yang rendah

sehingga mudah retak. Oleh karena itu perlu diberi baja tulangan, tulangan kasa (meshes).

b. Adukan beton menyusut saat pengeringan sehingga perlu dibuat dilatasi (expansion joint). Untuk struktur yang panjang untuk memberi tempat bagi susut pengerasan dan pengembangan beton.

c. Beton keras (beton) mengembang dan menyusut bila terjadi perubahan suhu, sehingga perlu dibuat dilatasi untuk mencegah terjadinya retak-retak akibat perubahan suhu.

d. Beton sulit untuk kedap air secara sempurna, sehingga selalu dapat dimasuki air, dan air yang membawa kandungan garam dapat merusak beton.

e. Beton bersifat gelas (tidak daktail) sehingga harus dihitung dan di detail secara seksama agar setelah dikomposisikan dengan baja tulangan menjadi bersifat daktail, terutama pada struktur tahan gempa.

3. Sifat-sifat beton Untuk keperluan perancangan dan

pelaksanaan struktur beton, maka pengetahuan tentang sifat-sifat adukan beton maupun sifat-sifat beton yang telah mengeras perlu diketahui sifat-sifat tersebut antara lain:

a. Kuat tekan Beton dapat mencapai kuat hancur sampai

80 N/mm², atau lebih tergantung pada perbandingan air-semen serta tingkat pemadatannya. Kuat tekan dari beton dipengaruhi oleh sejumlah faktor, selain oleh perbandingan air-semen dan tingkat pemadatannya. Faktor-faktor pen-ting lainnya yaitu:

1) Jenis semen dan kualitasnya, mempengaruhi kekuatan rata-rata dan batas kuat beton.

2) Jenis dan lekak-lekuk bidang permukaan agregat. Kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan agregat akan menghasilkan beton, dengan kuat tekan maupun tarik yang lebih besar dari penggunaan kerikil halus dari sungai.

3) Efisiensi dari perawatan (curring). Kehilangan kekuatan sampai 40 % dapat

terjadi bila pengeringan diadakan sebelum waktunya. Perawatan adalah hal yang sangat penting pada pekerjaan lapangan dan pembuatan benda uji.

4) Suhu, pada umumnya kecepatan pengerasan beton bertambah dengan bertambahnya suhu. Pada titik beku kuat tekan beton akan tetap rendah untuk waktu yang lama.

5) Umur, pada keadaan yang normal kekuatan beton akan bertambah dengan umumnya kecepatan bertambahnya kekuatan tergantung pada jenis semen.

b. Durability (keawetan) Merupakan kemampuan beton untuk

bertahan seperti yang direncanakan tanpa terjadi korosi dalam jangka waktu yang direncanakan. Dalam hal ini perlu pembatasan nilai faktor air maksimum maupun pembatasan dosis semen minimum yang digunakan sesuai dengan kondisi lingkungan. c. Kuat tarik

Kuat tarik beton berkisar seper-delapan belas kuat desak pada waktu umurnya masih muda, dan berkisar seper-sepuluh sesudahnya. Biasanya tidak diperhitungkan di dalam perencanaan beton. Kuat tarik merupakan bagian penting di dalam menahan retak-retak akibat perubahan kadar air dan suhu. Pengujian kuat tarik diadakan untuk pembuatan beton konstruksi jalan raya dan lapangan terbang. d. Modulus elastisitas

Modulus elastisitas beton adalah perbandingan antara kuat tekan beton dengan regangan beton biasanya ditentukan pada 25-50 % dari kuat tekan beton.

e. Rangkak

Merupakan salah satu sifat beton dimana beton mengalami deformasi terus-menerus menurut waktu dibawah beban dipikul. f. Susut

Merupakan perubahan volume yang tidak berhubungan dengan pembebanan. g. Kelecakan (workability)

Workability adalah sifat-sifat adukan beton atau mortar yang ditentukan oleh kemudahan dalam pencampuran, pengangkutan, pengecoran, pemadatan, dan finishing. Atau workability adalah besarnya kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan kompaksi penuh.

B. AGREGAT

29

Agregat merupakan butiran mineral alami atau buatan yang berfungsi sebagai bahan pengisi campuran beton. Agregat menempati 70 % volume beton, sehingga sangat berpengaruh terhadap sifat ataupun kualitas beton, sehingga pemilihan agregat merupakan bagian penting dalam pembuatan beton. Jenis agregat yang digunakan sebagai bahan susun beton adalah agregat halus dan agregat kasar. 1. Agregat halus

Agregat halus adalah semua butiran lolos saringan 4,75 mm. Agregat halus untuk beton dapat berupa pasir alami, hasil pecahan dari batuan secara alami, atau berupa pasir buatan yang dihasilkan oleh mesin pemecah batu yang biasa disebut abu batu. Agregat halus tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5 %, serta tidak mengandung zat-zat organik yang dapat merusak beton. Kegunannya adalah untuk mengisi ruangan antara butir agregat kasar dan memberikan kelecakan. 2. Agregat Kasar.

Agregat kasar ialah agregat dengan besar butiran lebih dari 5 mm atau agregat yang semua butirannya dapat tertahan di ayakan 4,75 mm. Agregat kasar untuk beton dapat berupa kerikil sebagai hasil dari disintegrasi alami dari batu – batuan atau berupa batu pecah yang diperoleh dari pemecahan manual atau mesin. Agregat kasar harus terdiri dari butir–butiran yang keras, permukaan yang kasar, dan kekal. Agregat harus memenuhi syarat kebersihan yaitu, tidak mengandung lumpur lebih dari 1 %, dan tidak mengandung zat–zat organik yang dapat merusak beton.

Menurut Tjokrodimulyo (1996), beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan agregat untuk pekerjaan campuran beton, antara lain : 1. Bentuk Agregat

Bentuk agregat dipengaruhi oleh dua sifat, yaitu kebulatan dan sperikal. Kebulatan atau ketajaman sudut, ialah sifat yang dimiliki , yang tergantung pada ketajaman relatif dari sudut dan ujung butir. Sedangkan sperikal ialah sifat yang tergantung pada rasio antara luas bidang permukaan butir dan volume butir. Bentuk butiran agregat lebih berpengaruh pada beton segar dari pada setelah beton mengeras. Berdasarkan bentuk butiran agregat dapat dibedakan menjadi : agregat bulat, bulat sebagian, bersudut, panjang dan pipih 2. Tekstur Permukaan Butir

Tekstur pemukaan ialah suatu sifat permukaan yang tergantung pada ukuran, halus atau kasar, mengkilap atau kusam. Pada

dasarnya tekstur permukaan butir dapat dibedakan menjadi : sangat halus (glassy), halus, granuler, kasar, berkristal, berpori, dan berlubang–lubang. Tekstur permukaan butir tergantung pada kekerasan, ukuran molekul, tekstur batuan, dan besar gaya yang bekerja pada permukaan butiran yang menyebabkan kehalusan permukaan agregat. 3. Berat Jenis Agregat

Berat jenis agregat adalah rasio antara massa padat agregat dan massa air dengan volume sama pada suhu yang sama. Karena butiran agregat umumnya mengandung butiran pori–pori yang ada dalam butiran tertutup/tidak saling berhubungan, maka berat jenis agregat dibedakan menjadi dua istilah yaitu, berat jenis mutlak, jika volume benda padatnya tanpa pori dan berat jenis semu, jika volume benda padatnya termasuk pori–pori tertutupnya. 4. Berat Satuan Dan Kepadatan

Berat satuan agregat ialah berat agregat dalam satu satuan volume, dinyatakan dalam kg/liter atau ton/m3. Jadi berat satuan dihitung berdasarkan berat agregat dalam suatu tempat teretntu, sehingga yang dihitung volumenya ialah volume padat (meliputi pori tertutup) dan volume pori terbuka. 5. Ukuran Maksimum Agregat

Ukuran maksimum butir agregat yang biasanya dipakai adalah 10mm, 20 mm, atau 40 mm. 6. Gradasi Agregat

Gradasi agregat ialah distribusi ukuran butiran dari agregat. Bila butir–butir agregat mempunyai ukuran yang sama (seragam), maka volume pori akan besar. Sebaliknya bila ukuran butirannya bervariasi akan terjadi volume pori yang kecil. Hal ini karena butiran yang kecil mengisi pori diantara butiran yang lebih besar, sehingga pori–porinya menjadi sedikit, dengan kata lain kemampatannya tinggi.

Tabel 1. Batas gradasi dari agregat kasar sesuai SK-SNI-T-15-1990-03( jokrodimulyo 1996 : 22)

7. Kadar Air Agregat

Kandungan air didalam agregat dibedakan menjadi beberapa tingkat, yaitu: (1) kering tungku, yaitu benar-benar tidak berair atau dapat secara penuh menyerap air, (2) kering

30

udara, yaitu butir-butir agregat kering permukaannya tetapi mengandung sedikit air di dalam porinya, (3) jenuh kering muka, yaitu tidak ada air di permukaan tetapi butir-butirnya berisi air sejumlah yang dapat diserap. Dengan demikian butiran tidak menyerap dan tidak menambah jumlah air bila dipakai dalam campuran adukan beton, (4) basah, yaitu butir-butir mengandung banyak air baik di permukaan maupun di dalam butiran, sehingga bila dipakai dalam campuran akan menambah air. Keadaan jenuh kering muka (Saturated Surface Dry, SSD) lebih dipakai sebagai standar, karena merupakan kebasahan agregat yang hamper sama dengan agregat dalam beton, sehingga agregat tidak akan menambah dan mengurangi air dari pastanya, dan kadar air di lapangan lebih banyak mendekati keadaan SSD dari pada kering tungku. 8. Kekuatan dan Keuletan Agregat

Kekerasan agregat tergantung dari kekerasan bahan penyusunnya.Butiran agregat dapat bersifat kurang kuat disebabkan oleh dua hal yaitu, karena terdiri dari bahan yang lemah atau terdiri dari partikel–partikel yang kuat tetapi tidak terikat kuat.

C. SEMEN PORTLAND

Semen portland ialah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker yang terdiri dari silikat - silikat kalsium yang bersifat hidrolis dengan gips sebagai bahan tambahan (PUBI–1982). Fungsi semen ialah untuk merekatkan butir–butir agregat agar terjadi suatu massa yang kompak atau padat, selain itu juga untuk mengisi rongga diantara diantara butiran–butiran agregat. Semen portland dibuat melalui beberapa langkah, sehingga sangat halus dan memiliki sifat adhesif maupun kohesif. Semen diperoleh dengan membakar karbonat atau batu gamping) dan argillaceous (yang mengandung aluminia) dengan perbandingan tertentu. Bahan tersebut dicampur dan dibakar dengan suhu 1400º C-1500º C dan menjadi klinker. Setelah itu didinginkan dan dihaluskan sampai seperti bubuk. Lalu ditambahkan gips atau kalsium sulfat (CaSO4) kira–kira 2–4 % persen sebagai bahan pengontrol waktu pengikatan. Bahan tambah lain kadang ditambahkan pula untuk membentuk semen khusus misalnya kalsium klorida untuk menjadikan semen yang cepat mengeras. Semen biasanya dikemas dalam kantong 40 kg / 50 kg.

Tabel 2. Susunan oksida semen Portland

Menurut SNI 15-2049-04 semen dibagi menjadi 3 jenis yaitu. 1. OPC (Ordinary Portland Cement) adalah

semen hidrolis yang dipergunakan secara luas untuk konstruksi umum atau bangunan yang tidak membutuhkan persyaratan khusus.

2. PCC (Portland Composite Cement) adalah semen dari hasil penggilingan terak semen portland, gipsum, dan satu atau lebih bahan anorganik, untuk konstruksi beton umum, pasangan batu bata, plesteran, selokan, pembuatan elemen bangunan khusus seperti beton pracetak, beton pratekan, dan paving block.

3. PPC (Portland Pozzoland Cement) adalah semen hidrolis yang terbuat dari penggilingan terak (clinker) semen portland dengan gipsum dan bahan pozzolan, untuk bangunan umum dan bangunan yang memerlukan ketahanan sulfat dan panas hidrasi sedang seperti jembatan, jalan raya, perumahan, dermaga, beton massa, bendungan, dan bangunan irigasi.

D. AIR

Air merupakan bahan yang diperlukan untuk proses reaksi kimia, dengan semen untuk pembentukan pasta semen. Air juga digunakan untuk pelumas antara butiran dalam agregat agar mudah dikerjakan dan dipadatkan. Air dalam campuran beton menyebabkan terjadinya proses hidrasi dengan semen. Jumlah air yang berlebihan akan menurunkan kekuatan beton. Namun air yang terlalu sedikit akan menyebabkan proses hidrasi yang tidak merata. Air yang dipergunakan harus memenuhi syarat sebagai beikut : 1. Tidak mengandung lumpur dan benda

melayang lainnya yang lebih dari 2 gram perliter

2. Tidak mengandung garam atau asam yang dapat merusak beton, zat organik dan sebaginya lebih dari 15 gram per liter.

3. Tidak mengandung klorida (Cl) lebih dari 1 gram per liter.

31

4. Tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram per liter.

E. BENTONIT

Bentonit adalah istilah untuk lempung yang mengandung monmorillonit dalam dunia perdagangan dan termasuk kelompok diokto hedral. Bentonite mempunyai ciri khas, yaitu kalau diraba seperti lilin dan teksturnya seperti sabun. Bagian yang dekat dengan permukaan tanah condong berwarna hijau kekuningan atau abu-abu dan menjadi terang pada waktu dikeringkan. Endapan yang ada dibawah permukaan tanah condong berwarna abu-abu kebiruan. Selain itu ada pula yang berwarna putih, coklat terang dan coklat kemerahan. Bentonit merupakan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, akan tetapi belum optimal pemanfaatannya. Secara umum, mula jadi endapan bentonit ada empat macam, yaitu hasil pelapukan, hydrothermal, transformasi, dan sedimentasi. 1. Endapan hasil pelapukan

Faktor pembentukan endapan bentonit hasil pelapukan adalah kondisi komposisi mineral batuan, komposisi kimia dari air, dan daya lalu air pada batuan asal. Yang terakhir ini dapat dikemukakan sebagai : iklim, berbagai relief dan tumbuh-tumbuhan tang ada diatas batuan. Pembentukan bentonite hasil pelapukan adalah akibat reaksi antara ion-ion hidrogen dalam air tanah dengan senyawa silikat. Ion Hiddrogen tersebut berasal dari asam karbon akibat pembusukan zat-zat organik didalam tanah. Mineral penting saat pembentukan lempung adalah plagioklas, kalium-feldspar, biotik, muskovit, sedikit kandungan senyawa aluminia dan ferro-magnesia. Plagioklas sangat reaktif, berjumlah banyak dan sumber utama dari kation dan silika dalam air tanah.

2. Larutan hidrotermal Larutan hidrotermal merupakan larutan

bersifat asam dengan kandungan klorida, belerang, karbon dioksida dan silika. Komposisi larutan berubah karena ada reaksi dengan batuan gamping menjadi larutan alkali yang bersifat basa, lalu terbawa keluar dan akan tetap bertahan selama unsur alkali dan alkali tanah tetap terbentuk akibat penguraian batuan asal. Pada alterasi hidotermal relative lemah, mineral-mineral asal menentukan hasil alterasi tersebut. Pada alterasi sangat lemah, mineral-mineral yang kaya dengan unsur magnesium cenderung membentuk klorit. Pada alterasi lemah adanya unsur alkali dan alkali tanah akan membentuk

monmorillonit kecuali kalium, mika, feromagnesia dan feldspar, monmorillonit terjaadi karena adanya unsur magnesium. 3. Endapan transformasi

Endapan bentonit hasil transformasi / devirtifikasi debu gunung api terjadi dengaan sempurna apabila debu diendapkan didalam cekungan seperti danau atau laut. Mineral gelas gunung api lambat laun akan mengalami devirtifikasi. 4. Endapan sedimen

Monmorillonit bisa juga terjadi sebagai endapan sedimen dalam kondisi basa (alkalin). Mineral hasil sedimentasi terbentuk dalam cekungan dan bersifat basah dan tidak berasosiasi dengan tufa, seperti atapulgit, sepiolit, monmorillonit, karbonat, silika pipih, fosfat laut dan sebagainya. Lingkungan ini banyak mengandung larutan silika yang terendapkan dalam bentuk flint, kristobalit, atau senyawa aluminium dan magnesium. Secara umum, Ca bentonit terjadi dari alterasi mineral dalam batuan beku dan metaforik yang biasanya terdapat dekat dengan permukaan. Hal ini disebabkan ion Na dalam lempung bentonit bersifat tidak mantap dan mudah diganti oleh ion Ca, dan juga ion H pada tingkat pelapukan selanjutnya. Sebaliknya, keberadaan Na bentonit di daerah tropis hanya dijumpai pada tempat dalam yang mengalami prose pelapukan yang tidak berkepanjangan.

Bentonit terdiri dari dua tipe yaitu Na bentonit dan Ca bentonit: a. Tipe Wyoming (Na-bentonit /Swelling

bentonite). Na bentonit memiliki daya mengembang

hingga delapan kali apabila dicelupkan kedalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu didalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih atau cream, pada keadaan basah dan terkena sinar matahari akan berwarna mengkilap. Perbandingan soda dan kapur tinggi.

b. Mg(Ca-bentonite/non swelling bentonite). Tipe bentonit ini kurang mengembang

apabila dicelupkan kedalam air dan tetap terdispersi didalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik dalam keadaan kering berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan coklat.

Endapan bentonit di Indonesia tersebar dipulau: Jawa, Sumatera, sebagian Kalimantan dengan cadangan persediaan diperkirakan lebih dari 380 juta ton, serta pada umumnya terdiri dari jenis kalsium/Ca-bentonit (Riyanto,

32

1994).Beberapa lokasi yang sudah dan sedang dieksploitasi, yaitu di Tasikmalaya, Leuwiliang, Nanggulan dan lain-lain.

Indikasi endapan Na-bentonit terdapat di Pangkalan Brandan, Sorolangun-Bangko dan Boyolali (Anonymous, 1995). Pemanfaatan bentonit untuk industri dalam negeri atara lain, industri berbasis kimia, industri kosmetika, industri pengeboran minyak dan gas, industr beton. Namun potensi ini belum dikelola secara maksimal sehingga kebutuhan bentonit nasional hingga saat ini masih defisit 20 %, permasalahannya adalah bagaimana agar bentonit lokal ini harus dapat didaya gunakan dimasa mendatang agar bentonit lokal ini mempunyai daya kompetitif dipasaran internasional. Dalam 10 tahun terakhir industri yang membutuhkan bentonit meningkat sangat pesat, pemasaran industri bentonit saat ini sangat luas terutama pasar dalam negeri dan peluang ekspor yang masih terbuka lebar. Pemanfaatan bentonit dalam bidang Teknik sipil masih terbatas pada pembangunan konstruksi beton, seperti jembatan, bendungan dan bangunan yang berhubungan langsung denga air tanah dan air laut.

F. KUAT TEKAN

Kuat tekan beton yang diisyaratkan fc adalah kuat tekan beton yang ditetapkan oleh perencana struktur (benda uji berbentuk silinder diameter 150 mm dan tinggi 300 mm), dipakai dalam perencanaan struktur beton, dinyatakan dalam Mega Paskal atau Mpa (SK SNI-T-15-1991-03).

Nilai kuat tekan beton didapatkan melalui tata cara pengujian standar, menggunakan mesin uji dengan cara memberikan beban tekan bertingkat dengan kecepatan peningkatan beban tertentu atas benda uji silinder beton (diameter 150 mm, tinggi 300 mm) sampai hancur. Tata cara pengujian yang umumnya dipakai adalah standar ASTM (American Sosiety for Testing Material), C39-86. Menurut Dipohusodo (1994: 7), kuat tekan masingmasing benda uji ditentukan oleh tegangan tekan tertinggi (fc) yang dicapai benda uji umur 28 hari akibat beban tekan selama percobaan.

Menurut Tjokrodimuljo (1996: 59), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kekuatan beton antara lain faktor air semen, umur beton, jenis semen, jumlah semen, dan sifat agregat 1. Faktor Air Semen

Faktor air semen adalah perbandingan antara berat air yang digunakan dengan berat semen. Hubungan antara faktor air semen (f.a.s) dengan kuat tekan beton secara umum dapat ditulis dengan rumus yang diusulkan Duff Abrams (1919) dalam Samekto dan Rahmadiyanto (2001: 43), sebagai berikut:

Fc =

1.5x............................(1)

Dengan : fc : kuat tekan beton pada umur tertentu x : f.a.s (yang semula dalam proporsi

volume) A,B : konstanta

Dari rumus di atas tampak bahwa semakin rendah nilai f.a.s semakin tinggi kuat tekan betonnya, namun kenyataannya pada suatu nilai f.a.s tertentu semakin rendah nilai f.a.s kuat tekan betonnya semakin rendah pula, seperti terlihat pada gambar 1.

Dari gambar di bawah, jika nilai f.a.s terlalu rendah adukan beton sulit dipadatkan. Dengan demikian ada suatu nilai f.a.s tertentu yang optimum yang menghasilkan kuat tekan maksimum (Tjokrodimuljo 1996: 60).

Gambar 1. Hubungan antara kuat tekan dengan faktor air semen (Tjokrodimuljo 1996: 60) 2. Umur Beton

Kuat tekan beton bertambah sesuai dengan bertambahnya umur beton itu. Kecepatan bertambahnya kuat tekan beton tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : f.a.s dan suhu perawatan. Semakin tinggi nilai f.a.s semakin lambat kenaikan kekuatan betonnya, dan semakin tinggi suhu perawatan semakin cepat kenaikan kekuatan betonnya (Tjokrodimuljo 1996: 60).

Kekuatan beton semakin lama semakin besar. Kekuatan beton pada umur 28 hari dianggap telah mencapai 100%, sedangkan kenaikan kekuatan beton setelah umur 28 hari akan bertambah secara asymtotis.

33

Gambar 2. Hubungan antara umur dan kuat tekan beton (Suroso 2001:97)

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa laju kenaikan kuat tekan beton DPP (dengan pasir pantai) sebelum umur 28 hari ternyata lebih tinggi dibandingkan beton TPP (tanpa pasir pantai). Adapun setelah mencapai umur diatas 28 hari laju kenaikan kuat tekan beton DPP lebih rendah dibandingkan beton TPP.

Tabel 3. Perbandingan kekuatan beton pada berbagai umur (Samekto dan Rahmadiyanto, 2001 : 44)

2. Jumlah Semen Menurut Tjokrodimuljo (1996: 61) jumlah

kandungan semen berpengaruh terhadap kuat tekan beton. Jika nilai f.a.s sama (nilai slam berubah), Beton dengan jumlah kandungan semen tertentu mempunyai kuat tekan tertinggi. Jumlah semen yang terlalu sedikit, berarti jumlah air sedikit akan mengakibatkan sulitnya pemadatan adukan beton, sehingga kuat tekan beton rendah. Namun jika jumlah semen berlebihan berarti jumlah air juga berlebihan sehingga beton mengandung banyak pori dan akibatnya kuat tekan beton rendah.

Jika nilai slump sama (nilai f.a.s berubah). Beton dengan kandungan semen lebih banyak mempunyai kuat tekan lebih tinggi, hal ini karena pada nilai slump sama jumlah air hampir sama, sehingga penambahan semen berarti pengurangan nilai f.a.s yang berakibat penambahan kuat tekan beton.

Menurut Wahyono (dalam Harmulif 2004: 30) pengaruh jumlah semen terhadap kuat tekan beton mempunyai pola yang sama dengan pengaruh pasta terhadap kuat tekan beton, tetapi memiliki jumlah semen optimum yang relatif sama untuk semua nilai f.a.s, yaitu 352 Kg/m3.

Gambar 4. Hubungan antara jumlah semen dan kuat tekan beton untuk setiap nilai f.a.s. (Wahyono 2000 dalam Harmulif) 3. Sifat Agregat

Menurut Samekto dan Rahmadiyanto (2001: 11) agregat adalah butiran mineral sebagai pengisi dalam campuran mortar dan beton. Kuat tekan beton (Mpa) Jumlah Semen (Kg/m3 Beton) Sifat agregat yang paling banyak berpengaruh terhadap kekuatan beton ialah kekasaran permukaan dan ukuran maksimumnya (Tjokrodimuljo 1996: 61).

Pemakaian ukuran butir maksimum agregat yang lebih besar, memerlukan jumlah pasta yang sedikit untuk mengisi rongga-rongga antara butirnya, berarti sedikit pula pori–pori pada beton, sehingga kuat tekannya lebih tinggi. Namun sebaliknya karena butiran agregatnya besar, maka luas permukaannya lebih sempit, sehingga lekatan antara permukaan agregat kurang kuat, sehingga retakan–rekatan kecil pasta disekitar agregat akan mudah terjadi. Dengan alasan ini maka pada beton dengan kuat tekan tinggi disarankan menggunakan agregat dengan ukuran besar butir maksimum 20 mm.

Bentuk agregat yang bersudut (batu pecah) mempunyai luas permukaan yang lebih besar (kerikil), sehingga mempunyai daya lekat dengan pasta yang lebih kuat. Dengan adanya lekatan antara batuan dan pasta yang baik, dimana retak rambut atau mikro crack akibat gaya tekan biasanya dimulai, maka kekuatan beton lebih tinggi (Tjokrodimuljo 1992: 43).

Menurut Wahyono (dalam Harmulif 2004: 31), pengaruh kekerasan permukaan agregat terhadap kuat tekan beton adalah pada f.a.s yang sama.Pemakaian agregat kasar dari batu pecah akan mempunyai kuat tekan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemakaian agregat dari kerikil alami, karena agregat kasar batu pecah mempunyai ikatan antara butir yang baik sehingga membentuk daya lekat yang kuat. Dengan lekatan yang kuat menjadikan kekuatan beton menjadi lebih tinggi.

34

Gambar 5. Hubungan antara jumlah semen dengan kuat tekan beton pada jenis agregat yang berbeda, yaitu batu pecah ukuran maksimum 40 mm dan kerikil alami ukuran 40 mm (Wahyono, 2000) G. PENELITIAN SEBELUMNYA

Penelitian terdahulu tentang penggunaan bentonit pada bahan campuran adukan beton memberikan hasil sebagai berikut: 1. Rizqurrachman, berdasrkan nilai kuat lentur

yang diperoleh dalam penelitian ini, maka beton serat yang tidak menggunakan bentonite dan beton serat yang menggunakan bentonite 3% memenuhi standar yang digunakan sebagai perencanaan perkerasan kaku, sedangkan beton serat yang menggunakan bentonite 6% dan 9% tidak memenuhi standar yang digunakan dalam perencanaan perkerasan kaku.

2. Rudi Djamaluddin, dari hasil penelitian pelat beton serat yang menggunakan bentonit 3% yang retak pada pembebanan 63 KN bila dikonfersi pada pelat dengan tebal 30 cm diperoleh beban maksimal 56,3 ton. Dengan demikian lapisan rigid pavement ini aman dilalui untuk jenis kendaraan berat yang mempunyai sumbu muatan terberat 10 ton.

3. Bentonit terbagi 2 jenis, yaitug Ca-bentonit dan Na-bentonit. Pada penelitian ini yang digunakan adalah Ca-bentonit yang memiliki kadar kapur yang tinggi dan kadar natrium yang rendah. Perlu penelitian lebih lanjut tentang penggunaan Na-bentonit yang memiliki kadar natrium yang tinggi dan kadar kapur yang rendah.

METODE PENELITIAN

ALIR PENELITIAN

JENIS PENELITIAN

Adapun metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki sebab akibat antara satu sama lain dan membandingkan hasilnya. Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengujian benda uji silinder beton untuk menentukan kuat tekan beton dan kualitas mutu beton.

Metode penelitian berisikan prosedur penyediaan bahan yang digunakan dalam penelitian, yaitu ; agregat halus, agregat kasar, semen, air dan bahan tambahan berupa cangkang kemiri.

Faktor yang paling utama dalam penelitaian ini adalah bahan, peralatan dan langkah-langkah yang dilakukan pada saat penelitian adalah sebagai berikut:

1. BAHAN DAN BENDA UJI PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Air Air yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laboratorium Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhamma-diyah Parepare. b. Semen Semen yang digunakan adalah Semen Tonasa (50 kg) atau Semen Tipe I c. Agregat

35

a) Agregat halus : Agregat halus berupa pasir

b) Agregat kasar : Agregat kasar berupa batu pecah

d. Bentonit Bentonit yang digunakan adalah bentonitlokal tipe Na-bentonit(swelling bentonit).

LOKASI PENELITIAN Lokasi Pengambilan agregat (kasar dan

halus) yaitu Pt. Lumpue indah Parepare. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium struktur dan bahan Universitas Muhammadiyah Parepare.

WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu pada tanggal 02 Mei- 2017 hingga tanggal 17Agustus- 2017.

PARIABEL PENELITIAN

Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Variabel juga dapat diartikan sebagai faktor–faktor yang berperan penting dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Variabel dalam penelitian ini adalah bentonitdengan komposisi 10 %, 25 % dan 50 % dari berat semen.

ALAT PENELITIAN Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini

alah sebagai berikut : a. Ayakan

Ayakan yang digunakan dalam menentukan gradasi agregat menggunakan lubang ayakan 25 mm, 19,5 mm, 9,5 mm, 4,75 mm, 2,36 mm, 1,18 mm, 0,60 mm, 0,30 mm,dan 0,15 mm.

b. Timbangan Timbangan digunakan untuk menimbang bahan-bahan benda uji

c. Oven Oven digunakan untuk mengeringkan agregat pada pengujian kadar air dan berat jenis.

d. Gelas ukur Digunakan untuk mengukur banyaknya air yang digunakan pada pembuatan beton.

e. Kerucut Abrams Digunakan untuk mengukur kelecekan adukan beton (nilai slump).

f. Cetakan Beton Cetakan beton yang digunakan adalah cetakan yang berbentuk silinder dengan ukuran 15cm x 30 cm.

g. Penggaris siku-siku Digunakan untuk mengukur penurunan saat pengujian slump.

h. Batang Baja Digunakan untuk memadatkan adukan beton.

i. Mesin Uji Tekan Digunakan untuk menguji kuat tekan benda

uji beton.

PROSEDUR PENELITIAN Persiapan dan pemeriksaan bahan susun

beton dilakukan diLaboratorium Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Parepare. Bahan dan tahapan pemeriksaan meliputi : 1. Pemeriksaan berat jenis pasir Langkah–

langkah pemeriksaan berat jenis pasir adalah sebagai berikut: a. Pasir dikeringkan dalam tungku pemanas

(oven) dengan suhu sekitar 105 derajat sampai beratnya tetap.

b. Pasir direndam di dalam air selama 24 jam.

c. Air bekas rendaman dibuang dengan hati–hati sehingga buturan pasir tidak ikut terbuang, pasir dibiarkan diatas nampan dikeringkan sampai tercapai keadaan jenuh kering muka. Pemeriksa

d. an kondisi jenuh kering muka dilakukan dengan memasukkan pasir ke dalam kerucut terpacu dan dipadatkan dengan menumbuk sebanyak 25 kali. Pada saat kerucut diangkat pasir akan runtuh tetapi pasir masih berbentuk kerucut.

e. Pasir diatas sebanyak 500 gr (B0) dimasukkan ke dalam piknometer kemudian dimasukan air sampai 90% penuh. Untuk mengeluarkan udara yang terjebak dalam butiran pasir, piknometer diputar dan diguling–gulingkan.

f. Air ditambahkan hingga piknometer penuh kemudian piknometer ditimbang (B1).

g. Pasir dikeluarkan dari piknometer kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 2 x 24 jam sampai beratnya tetap (B2).g.

h. Piknometer dibersihkan lalu diisi air sampai penuh kemudian ditimbang (B3).

2. Pemeriksaan gradasi pasir Langkah-langkah pemeriksaan gradasi

agregat halus pasir sebagai berikut : a. Pasir yang akan diperiksa dikeringkan

dalam oven dengan suhu 105 derajat sampai beratnya tetap.

36

b. Ayakan disusun sesuai dengan urutannya, ukuran terbesar diletakkan pada bagian paling atas, yaitu 4,8 mm diikuti dengan ukuran ayakan yang lebih kecil berturut–turut 2.4, 1.2, 0.6, 0.3, dan 0.15 mm.

c. Pasir dimasukkan ke dalam ayakan yang paling atas dan diayak dengan cara digetarkan selama ±10 menit.

d. Pasir yang tertinggal pada masing–masing ayakan dipindahkan ketempat atau wadah yang tersedia kemudian ditimbang.

e. Gradasi pasir diperoleh dengan menghitung jumlah kumulatif prosentase butiran yang lolos pada masing–masing ayakan. Nilai modulus butiran jalus dihitung dengan menjumlahkan prosentase kumulatif butiran tertinggal, kemudian dibagi seratus.

3. Pemeriksaan kandungan lumpur pada pasir Langkah–langkah pemeriksaan kandu-ngan

lumpur untuk agregat halus pasir sebagai berikut :

a. Pasir kering oven ditimbang beratnya (B1).

b. Pasir dicuci di atas ayakan no. 200. c. Pasir yang tertinggal di atas ayakan

dipindahkan pada piring dan dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam.

d. Pasir dikeluarkan dari oven dan ditimbang.

4. Pemeriksaan berat jenis batu pecah (Kerikil)

Langkah–langkah pemeriksaan berat jenis batu pecah sebagai berikut:

a. Batu pecah dicuci sampai bersih untuk menghilangkan kotoran yang ada.

b. Batu pecah dimasukkan ke dalam oven selama 2 x 24 jam sehingga menjadi kering dan ditimbang beratnya (B1).

c. Batu pecah direndam dalam air selama 24 jam, selanjutnya dikeluarkan dan dikeringkan dengan kain sampai kondisinya jenuh kering muka dan ditimbang beratnya (B2).

d. Batu pecah kemudian dimasukan ke dalam keranjang kawat dan kemudian ditimbang beratnya kedalam air (B3).

5. Pemeriksaan gradasi batu pecah Langkah–langkah pemeriksaan gradasi batu

pecah adalah sebagai berikut: a. Batu pecah yang akan diperiksa

dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 derajat sampai beratnya tetap.

b. Ayakan disusun sesuai dengan urutannya, ukuran terbesar diletakkan dibagian paling atas, yaitu 40 mm diikuti dengan ukuran ayakan yang lebih kecil berturut–turut adalah 20 mm, 10 mm, dan 5 mm.

c. Batu pecah dimasukkan ke dalam ayakan yang paling atas dan diayak dengan cara digetarkan selama ± 10 menit.

d. Batu pecah yang tertinggal pada masing-masing ayakan dipindahkan pada tempat yang tersedia dan kemudian ditimbang.

e. Gradasi batu pecah diperoleh dengan menghitung jumlah kumulatif prosentase butiran yang lolos pada masing–masing ayakan. Nilai modulus dihitung dengan cara menjumlahkan prosentase kumulatif butiran yang tetinggal kemudian dibagi seratus.

6. Pemeriksaan ketahanan aus agregat. Pemeriksaan dilakukan dengan

menggunakan mesin Los Angeles, dengan langkah–langkah sebagai berikut :

a. Batu pecah dalam kondisi kering mutlak dimasukan kedalam bejana Los Angeles, bersamaan dengan bola–bola baja sesuai dengan gradasinya.

b. Mesin ditutup kemudian diputar dengan kecepatan 30 rpm sampai 33 rpm, sebanyak 1000 putaran.

c. Batu pecah dikeluarkan dan diayak dengan ayakan φ1.7 dan ditimbang.

7. Pemeriksaan kekerasan agregat Dilakukan dengan menggunakan Bejana

Rudeloff, dengan langkah- langkah sebagai berikut :

a. Contoh batu pecah atau agregat kasar ukuran 10 dan 20 mm sebanyak 1,1 liter dalam kondisi kering mutlak dimasukkan ke dalam Bejana Rudeloff.

b. Ratakan permukaan batu pecah dalam bejana, kemudian diberi beban 20 ton dalam waktu 90 detik. Setelah beban mencapai 20 ton, ditahan selama 30 detik.

c. Batu pecah diambil, kemudian ditimbang beratnya.

d. Batu pecah diayak dengan ayakan berdiameter lubang 2 mm.

e. Batu pecah yang tertinggal dalam ayakan ditimbang beratnya.

8. Pemeriksaan semen. Semen diperiksa dengan mengamati secara

visual kemasan kantong atau zak dalam keadaan tertutup rapat, bahan butiran halus tidak menggumpal.

37

9. Pemeriksaan air. Air diperiksa warna dan kejernihannya

secara visual. TAHAP PENGADUKAN BETON,

PEMERIKSAAN SLUMP DAN PEMBUATAN BENDA UJI

Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini antara lain : 1. Pemeriksaan bahan susun beton

a. Membuat agregat dalam keadaan jenuh kering muka dengan cara menyiram agregat dan menutupnya dengan karung basah dan dibiarkan selama 24 jam.

b. Menimbang bahan susun beton yaitu semen, agregat, dan air sesuai dengan berat yang telah ditetapkan dalam perencanaan campuran adukan beton.

c. Mempersiapkan kerucut abrams, cetakan beton, dan peralatan lain yang diperlukan.

2. Pengadukan campuran beton. a. Memasukan air sekitar 80% dari yang

dibutuhkan kedalam mesin pengaduk kemudian dimasukan agregat campuran dan semen.

b. Mesin pengaduk diputar dan sisa air dimasukan sedikit demi sedikit sampai airnya habis dalam waktu tidak kurang dari 3 menit.

c. Pengadukan dilakukan sebanyak satu kali untuk setiap macam campuran dan setiap pengadukan dilakukan pemeriksaan nilai slump.

3. Pemeriksaan slump. a. Masukkan adukan beton segar kedalam

kerucut abrams dalam tiga lapis. Masing–masing sepertiga dari tinggi kerucut.

b. Setiap lapis adukan ditusuk–tusuk dengan batang baja sebanyak 25 kali.

c. Setelah lapis beton terakhir selesai ditusuk, kemudian ditunggu selama 30 detik dan kerucut ditarik ke atas.

d. Nilai slump adalah selisih tinggi antara kerucut abrams dengan permukaan atas adukan beton setelah kerucut ditarik.

e. Pengujian slump dilakukan sebanyak 2 kali untuk setiap pengadukan kemudian hasilnya dirata–rata.

4. Pembuatan benda uji a. Adukan beton dimasukkan dalam cetakan

silinder yang sebelumnya telah diberi minyak pelumas pada bagian dalamnya.

b. Cetakan diisi dengan adukan beton sebanyak tiga lapis kemudian dipadatkan dengan cara ditusuk–tusuk dengan tongkat pemadat. Untuk setiap lapis adukan beton dilakukan sebanyak 25 kali

tusukan secara merata sampai cetakan penuh.

c. Permukaan beton diratakan dengan tongkat perata sehingga permukaan atas adukan beton rata dengan bagian atas cetakan.

TAHAP PERAWATAN BENDA UJI Sehari setelah beton dicetak, kemudian

cetakan dibuka dan benda uji diberi tanda, kemudian benda uji diselimuti karung goni dan disiram air atau direndam didalam bak air dengan periode tertentu.

TAHAP PENGUJIAN KUAT TEKAN Pengujian kuat tekan beton bertujuan untuk

mengetahui berapa besar kuat tekan beton sesuai umur beton rencana yaitu 7, 14, 21, 28 hari.Pada pengujian kuat tekan beton, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Menimbang berat benda uji sebelum

pengujian dilakukan. 2. Meletakakan benda uji pada Universal

Testing Machine. 3. Menghidupakan universal testing machine

dan benda uji akan mengalami penambahan beban sehingga dapat dibaca besarnya kekuatan tekan yang ditujukkan dengan manometer.

4. Benda uji akan retak pada saat beban mencapai maksimum bahkan dapat pula pecah. Pada saat retak, jarum manometer akan berhenti pada titik maksimum yang mampu ditahan oleh benda uji.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil pengujian agregat Pengujian agregat berdasarkan pada SNI

(Standar Nasional Indonesia) dilakukan terhadap agregat kasar, agregat halus dang agregat pengganti. Hasil rekapitulasi masing-masing pengujian ditunjukkan dalam tabel 5, 6, dan 7 di bawah ini.

1. AGREGAT KASAR Tabel 4. Hasil rekapitulasi pengujian agregat kasar (kerikil)

38

Dari pengujian agregat kasar diatas didapatkan hasil untuk pengujian agregat kasar kerikil sebagai berikut.

a. Kadar lumpur Dari pengujian agregat kasar diatas dari 2

sampel didapatkan hasil sebesar 0,52 % dan 0,84 % kemudian dirata-ratakan didapatkan hasil 0,68 % yang lebih kecil dari interval 1 % sehingga agregat dapat dijadikan bahan campuran beton.

b. Keausan agregat

Pemeriksaan ketahanan aus agregat kasar menggunakan mesin Los Angeles. Berdasarkan spesifikasi karakteristik agregat kasar SNI (standar nasional Indonesia), interval untuk Keausan yaitu Maks 50%. Jadi nilai persentase Keausan agregat kasar yang diperoleh dari hasil pemeriksaan 2 sampel yaitu 22,80 % dan 26,20 % dan nilai rata-rata adalah 24,50 % sesuai dengan spesifikasi. Jadi bahan tersebut dapat dipakai untuk bahan campuran beton. c. Kadar air

Dari pengujian kadar air agregat kasar dari 2 sampel sebesar 1,42 dan 1,90 didapatkan nilai rata-rata sebesar 1,66 % yang lebih kecil dari 2 % sehingga agregat kasar dapat digunakan pada pencampura beton. d. Berat volume

Dari pengujian berat volume rongga agregat kasar dari 2 sampel didapatkan hasil 1,64 dan 1,66 dan dirata-ratakan didapatkan nilai sebesar 1,65 pada kondisi lepas. Pada keadaan kondisi padat didapatkan hasil dari 2 sampel yaitu 1,77 dan 1,78 yang apabila dirata-ratakan didapatkan hasil sebesar 1,77 lebih kecil dari interval 1,6 – 1,9 kg/liter sehingga agregat dapat dijadikan sebagai bahan pencampuran beton. e. Penyerapan air

Dari pengujian agregat yang meliputi pengujian penyerapan air agregat kasar didapatkan hasil dari 2 sampel yaitu 0,58 % dan 0,56 % dan dirata-ratakan didapatkan hasil sebesar 0,75% yang lebih kecil dari interval maksimum 4 %sehingga agregat dapat dijadiakan bahan pencampuran beton. f. Berat jenis

Pemeriksaan yang dilakukan pada 2 sampel benda uji, yaitu dengan hasil 2,55 dan 2,47 kemudian dirata-rata didapatkan hasil sebesar 2,56 untuk berat jenis nyata. Berat jenis dasar kering didapatkan nilai rata-rata sebesar 2,52. Dan untuk berat jenis kering permukaan didapatkan hasil pengujian sebesar 2,54 lebih kecil dari interval 1,6 – 3,3 sehingga agregat dapat dijadikan bahan campuran beton. g. Kekerasan agregat

Berdasarkan spesifikasi karakteristik agregat kasar (kerikil) SNI (standard nasional Indonesia), interval untuk Modulus Kehalusan yaitu berada antara 6,0 - 8,0. Yang diperoleh dari hasil pemeriksaan 2 sampel yaitu 7,42 dan 7,44 Jadi nilai Modulus Kehalusan yang diperoleh dari hasil rata-rata pemeriksaan yaitu 7,43 adalah sesuai dengan spesifikasi. Jadi bahan agregat tersebut dapat dipakai untuk bahan campuran beton.

2. AGREGAT HALUS Tabel 6. Hasil rekapitulasi pengujian agregat halus (Pasir)

Dari pengujian agregat kasar diatas didapatkan hasil untuk pengujian agregat kasar kerikil sebagai berikut.

a. Kadar lumpur Dari pengujian agregat kasar diatas dari 2

sampel didapatkan hasil sebesar 3,2% dan 2,40% kemudian dirata-ratakan didapatkan hasil 280% yang lebih kecil dari interval 5 % sehingga agregat dapat dijadikan bahan campuran beton. b. Kadar Organik

39

Pemeriksaan Kadar Organik untuk mengetahui kandungan lumpur yang ada pada agregat tersebut. Berdasarkan spesifikasi karakteristik agregat halus SNI (standar nasional Indonesia), interval untuk Keausan yaitu Min. Jadi nilai persentase kadar lumpur agregat halus yang diperoleh dari hasil pemeriksaan 2 sampel No 2dan sesuai dengan spesifikasi. Jadi bahan tersebut dapat dipakai untuk bahan campuran beton. c. Kadar air

Dari pengujian kadar air agregat halus dari 2 sampel sebesar 3,73 dan 2,25 didapatkan nilai rata-rata sebesar 2,99% yang lebih kecil dari 2%- 5% sehingga agregat kasar dapat digunakan pada pencampura beton. d. Berat volume

Dari pengujian berat volume rongga agregat kasar dari 2 sampel didapatkan hasil 1,46 dan 1,45 dan dirata-ratakan didapatkan nilai sebesar 1,46 pada kondisi lepas. Pada keadaan kondisi padat didapatkan hasil dari 2 sampel yaitu 1,58 dan 1,59 yang apabila dirata-ratakan didapatkan hasil sebesar 1,59 lebih kecil dari interval 1,4 – 1,9 kg/liter sehingga agregat dapat dijadikan sebagai bahan pencampuran beton. e. Penyerapan air

Dari pengujian agregat yang meliputi pengujian penyerapan air agregat kasar didapatkan hasil dari 2 sampel yaitu 1,01% dan 1,01% dan dirata-ratakan didapatkan hasil sebesar 1,01 % yang lebih kecil dari interval maksimum 0,2% - 2% sehingga agregat dapat dijadiakan bahan pencampuran beton. f. Berat jenis

Pemeriksaan yang dilakukan pada 2 sampel benda uji, yaitu dengan hasil 2,36 dan 2,50 kemudian dirata-rata didapatkan hasil sebesar 2,43 untuk berat jenis nyata. Berat jenis dasar kering didapatkan nilai rata-rata sebesar 2,37. Dan untuk berat jenis kering permukaan didapatkan hasil pengujian sebesar 2,39 lebih kecil dari interval 1,6 – 3,3 sehingga agregat dapat dijadikan bahan campuran beton. g. Modulus kehalusan agregat

Berdasarkan spesifikasi karakteristik agregat halus (pasir) SNI (standard nasional Indonesia), interval untuk Modulus Kehalusan yaitu berada antara 1,50 – 3,80. Yang diperoleh dari hasil pemeriksaan 2 sampel yaitu 2,25 dan 2,30 Jadi nilai

Modulus Kehalusan yang diperoleh dari hasil rata-rata pemeriksaan yaitu 2,28 adalah sesuai dengan spesifikasi. Jadi bahan agregat tersebut dapat dipakai untuk bahan campuran beton.

B. JUMLAH KEBUTUHAN BAHAN SUSUSN

BETON Perencanaan adukan beton dihitung dengan

cara Laboratorium yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut: Perbandingan kebutuhan semen, kerikil, pasir

dan air untuk 1 adalah 1. Semen = 585,71 Kg 2. Kerikil = 850,28 Kg 3. Pasir = 600,33 Kg 4. Air = 183,68 Kg 5. Bentonit 10 %, 25 % dasn 50 % dan dari

berat semen Analisa kebutuhan semen, kerikil pasir, dan

air untuk 12 selinder beton dengan diameter 150 mm dan panjang 300 mm

1. Volume 12 selinder= 12 x

x 3,14 x x

0,30= 0,063585 Sehingga kebutuhan untuk 12 selinder adalah: Semen = 0,063585 x 585,71 Kg

= 34,24 Kg Kerikil = 0,063585 x 850,28 Kg

= 54,06 Kg Pasir = 0,063585 x 600,33 Kg = 38.17 kg

Air = 0,063585 x 183,68 Kg = 11,689 Kg Bentonit = (Variasi campuran / 100 % x Berat

semen) x pebandingan semen dengan bentonit

- variasi 10 % = ( 10 / 100 x 36,899Kg ) x 0,641Kg = 2,364 Kg

- variasi 25 % = ( 25 / 100 x 36,899 Kg ) x 0,641 Kg = 5,912 Kg

- variasi 50 % = ( 50 / 100 x 36,899 Kg ) x 0,641 Kg = 11,825 Kg

variasi 100 % = (100 / 1 x 36,899 Kg ) x 0,641 KG = 23,652 Kg

- Untuk beton normal (100 % semen) = 585,71 Kg x 0,063

= 36,899 Kg

C. KELECEKAN ADUKAN

Pada penelitian ini, pemeriksaan nilai slump yang dilakukan diperoleh hasil seperti pada tabel 7 dibawah ini.

40

Tabel 7 :Hasil pengukuran nilai slump

Secara umum dapat dikatakan bahwa

semakin banyak jumlah bentonit yang dicampurkan dalam adukan beton, maka nilai workability akan semakin menurun.

Dari penelitian diatas, tampak bahwa nilai

slump turun dengan bertambahnya kadar bentonit, hal ini terjadi karena dengan jumlah pasta semen (jumlah air dan semen) yang tetap namun terjadi penambahan bahan yang dapat mengurangi keenceran atau menambah kekentalan adukan beton. Menurut Suroso (2001: 89) dengan tebalnya lapisan pasta pada setiap butir agregat mengakibatkan pergeseran antar butir agregat lebih mudah terjadi, sehingga tampak lebih encer dan mempunyai nilai slump yang lebih tinggi.Tabel 8. Jumlah kebutuhan bahan susun beton untuk 12 silinder D. Kuat Tekan Beton

Setelah melakukan pembuatan dan perawatan benda uji, selanjutnya dilakukan pengujian tekan benda uji tersebut. Pengujian kuat tekan beton dilakukan pada benda uji umur7, 14, 21 dan 28 hari sebanyak 36 sampel dengan 3 variasi penambahan bentonit yaitu 10 %, 25 % dan 50 %. Hasil pengujian dapat dilahat secara lengkap pada tabel 8, 9, 10 dan 11.

Tabel 8 : Hasil pengujian kuat tekan sampel 10 % bentonit.

Dari data hasil pengujian tekan beton diatas

dapat diketahui bahwa untuk pengujian tekan beton umur 7, 14, 21, 28 hari dengan penambahan bentonit sebesar 10 % dengan jumlah benda uji yaitu 12 silinder diperoleh hasil untuk rata-rata kuat tekan sebesar 22,175 (Mpa).

Tabel 9. Hasil pengujian kuat tekan sampel 25 % bentonit.

Dari data hasil pengujian tekan beton diatas

dapat diketahui bahwa untuk pengujian tekan beton umur 7, 14, 21, 28 hari dengan penambahan bentonit sebesar 25 % dengan jumlah benda uji yaitu 12 silinder diperoleh hasil untuk rata-rata kuat tekan sebesar 16,301 (Mpa).

Tabel 10 : Hasil pengujian kuat tekan sampel 50 % bentonit

Dari data hasil pengujian tekan beton diatas dapat diketahui bahwa untuk pengujian tekan beton umur 7, 14, 21, 28 hari dengan penambahan bentonit sebesar 50 % dengan jumlah benda uji yaitu 12 silinder diperoleh hasil

41

untuk rata-rata kuat tekan sebesar 9,979 (Mpa).Berikut ini adalah gambar grafik hubungan antara kadar bentonit dengan kuat tekan beton. Untuk mengetahui hubungan yang dimaksud dapat dilihat pada gambar 7 dibawah. Dari hasil penelitian dibawah dapat diketahui bahwa penambahan bentonit pada campuran betondapat meningkatkan nilai kuat tekan beton. Semakin kecil persentase kadar bentonit maka kuat tekan betonakan mengalami peningkatan.

Gambar 7 :Hubungan antara kadar bentonit dengan kuat tekan beton

Berdasarkan data penelitian diatas untuk

kadar bentonit 10 % rata-rata kuat tekan betonsebesar (22,175 Mpa), untuk kadar bentonit 25 % rata-rata kuat tekan beton sebesar (16,301 Mpa). Sedangkan untuk kadar bentonit 50 % rata-rata kuat tekan beton sebesar (9,979 Mpa). Sehingga kuat tekan tertinggi terjadi pada kadar bentonit 10 % dan kuat tekan beton terendah terjadi pada kadar bentonit 50 %. DAFTAR PUSTAKA Dipohusodo, I. (1999), Struktur Beton Bertulang

Berdasarkan SK SNI-T-17-1991-03 Departemen Pekerjaan Umum RI. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Duff Abrams, (1919), Rumus hubungan antara factor air semen dengan kuat tekan beton.

Gani, M.S.J. Cement and Concrete. Chapman & Hall, Melbourne.

Ilmu-konstruksi. 2012/11, pengertian beton, jenis beton, kelebihan beton.

(http : //www.ilmu-konstruksi.blog spot.com) Mulyono, T. (2003), Teknologi Beton. Andi,

Yogyakarta. PU Departemen. (2003). Tata Cara Pembuatan

Rencana Campuran Beton Normal, SNI 03-2834-1993, Badan Penelitian Dan Pengembangan Jakarta.

Raldi Artono Koestoer, 2010, Sekilas Mengenai Bentonit.

Riyanto, A, 1994, Bahan Galian Industri Bentonite, PPTM, Bandung.

Samekto dan Rahmadiyanto, (2001), Teknologi Beton, Kanisius, Yogyakarta.

Suroso, H. (2001), Pemanfaatan Pasir Pantai Sebagai Bahan Agregat Halus Pada Beton, Skripsi, Universitas Gadja Mada, Yogyakarta.

Tjokrodimulyo, (1996), Faktor-faktor yang mempengaruhi kuat tekan beton.

Tjokrodimulyo, K. (1996) Teknologi Beton, Nafiri, Yogyakarta.

Tosima sipil. 2013/07, Teknologi bahan konstruksi.

(http : //www.tosima sipil.blog spot.com) Wospakrik, Hans. (1996), Mekanika Bahan.

Erlangga, Surabaya. Wahyudi, M. H. (2009). Studi Penelitian

Pengaruh Penambahan Bentonit Pada Campuran Beton Terhadap Kuat Tekan Beton. Sekolah Tinggi Teknik, Jakarta.

42

Studi Kerusakan Lentur Pada Permukaan Jalan Pada Poros Jalan Wajo-Bone

Misbahuddin Staf Pengajar Program studi teknik sipil, Fakultas Teknik

Universitas Muhammadiyah Parepare. e-mail : [email protected]

Abstract

Study of Flexural Damage on Road Surface On Wajo - Bone Poros. This research is aimed. To identify kiads of damaga happened on highway Wajo – Bone. To know the level of damage happened on Wajo’s higway surface Bone. The result of this research showed the type of damage on Wajo –Bone highway (Km 0 – Km 29 ), To the left side of the allaigator cracking ( 2,00 % ), block cracking ( 0,50 % ), depression ( 1,34 % ), logitudinal & transversal cracking ( 1,10 % ), patching & utility cut paching ( 3,00% ), potholes ( 0,32% ), shoving ( 0,48 % ), wheathering / raveling ( 1,43 % ),To the right side of the allaigator cracking ( 2,01 % ), block cracking ( 1,69 % ), depression ( 1,07% ), logitudinal & transversal cracking ( 3,52 % ), patching & utility cut paching ( 4,05 % ), potholes ( 0,19 % ), shoving ( 1,69 % ), wheathering / raveling ( 1,9 % ). Type of damage occur dominantly severa is allaigator cracking ( 2,01 % ), patching & utility cut paching ( 4,05 % ), shoving ( 1,69 % ). Condition value flexible pavement roads Wajo – Bone as follows. Average that is left side amount 20 and right side 17. So included in the category very poor. Keywords. Road Of Demage, Pavement Condition Index ( PCI ).

Abstrak

Studi Kerusakan Lentur pada permukaan Jalan Pada Poros Wajo – Bone. Penelitian ini bertujuan untuk. Mengetahui jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada permukaan jalan pada poros Wajo – Bone. Mengetahui tingkat kerusakan pada permukaan jalan pada poros Wajo - Bone. Hasil penelitian menunjukkan jenis kerusakan yang ada pada poros Wajo– Bone (Km 0 – Km 29) Untuk sisi kiri yaitu retak kulit buaya (2,00 %), retak kotak (0,50 %), amblas (1,34 %), retak diagonal (1,10 %), tambalan (3,00 %), lubang (0,32 %), sungkur (0,48 %), dan pelepasan butir (1,43 %).Untuk sisi kakan retak kulit buaya (2,01 %), retak kotak (1,69 %), amblas (1,07 %), retak diagonal (3,52 %), tambalan (4,05 %), lubang (0,19 %), sungkur (1,69 %), dan pelepasan butir (01,9%). Jenis kerusakan yang terjadi dominan parah adalah retak kulit buaya (2,01 %), tambalan (4,05 %), sungkur (1,69 %). Nilai kondisi perkerasan lentur ruas jalan Wajo Bone sebegai berikut. rata – rata yaitu sisi kiri sebesar 20 dan sisi kanan sebesar 17, sehingga termasuk dalam kategori very poor (Sangat buruk). Kata kunci : Kerusakan jalan, Pavement Condition Index ( PCI ).

43

PENDAHULUAN Kerusakan jalan yang terjadi di berbagai daerah saat ini merupakan permasalahan yang kompleks dan menimbulkan kerugian cukup besar terutama bagi pengguna jalan, seperti terjadinya waktu tempuh yang lama,kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan lain-lain. Penyebab kerusakan jalan akibat kendaraan yang melalui jalur-jalur utama disejumlah daerah melebihi kapasitas maksimum. Dimana berkisar 8 sampai 20 ton atau disebebkan karena beban lalu lintas berulang yang berlebihan overloaded

panas/suhu udara, air dan hujan, serta kualitas jalan yang jelek. Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat merupakan gabungan dari penyebab yang saling kait-mengait. Sebagai contoh adalah retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis di lubang-lubang disamping melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya. Departemen Pekerjaan Umum

dalam Tengku Habibi (2013 : 2). Pemeliharaan jalan rutin maupun berkala perlu dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan jalan bagi pengguna dan menjaga daya tahan/keawetan sampai umur rencana. (Suwardo & Sugiharto, 2004). Pemeliharaan jalan rutin maupun berkala perlu dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan jalan bagi pengguna dan menjaga daya tahan/keawetan sampai umur rencana. (Suwardo & Sugiharto, 2004). kerusakan jalan ada berbagai sebab yakni umur rencana jalan yang telah dilewati, genangan air pada permukaan jalan yang tidak dapat mengalir akibat drainase yang kurang baik, beban lalu lintas berulang yang berebilahan (overloaded) yang menyebabkan umur pakai jalan lebih pendek dari perencanaan. Perencanaan yang tidak tepat, pengawasaan yang kurang baik dan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan rencana yang ada.

RUMUSAM MASALAH Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas. maka penulis dapat merumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana jenis kerusakan yang terjadi

pada permukaan jalan pada poros Wajo-Bone ?

2. Bagaimana tingkat kerusakan pada permukaan jalan pada jalan poros Wajo-Bone ?

TUJUAN PENELITIAN Sehubungan dengan permasalahan kerusakan lentur pada permukaan jalan yang mempengaruhi tingkat pelayanan jalan, maka tugas akhir ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui jenis –jenis kerusakan yang terjadi pada permukaan jalan pada poros Wajo-Bone.

2. Mengetahui tingkat kerusakan pada permukaan jalan.

MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai masukan bagi perencana dalam perbaikan jalan yang baik untuk jangka waktu yang panjang. Serta hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebegai acuan tugas peneliti selanjutnya.

BATASAN MASALAH Agar penulisan tugas akhir ini dapat terarah dan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan batasan masalah, sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian ini hanya dilakukan pada

jalan poros wajo – bone. 2. Penulis hanya membahas kondisi kerusakan

lentur pada permukaan jalan sebagai dasar penentuan jenis kerusakan.

3. Analisa dilakukan dengan menggunakan metode Pavement Condition Index (PCI).

SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan sistematika penelitian dibuat agar dapat memudahkan pembahasan dari tugas akhir ini. Penjelasan mengenai sistematika penulisan ini dapat di jelaskan sebagai berikut: 1. BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memberikan gambaran awal mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah , tujuan penelitian manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan.

2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan konsep serta teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, prosedur penyelesaian secara manual dengan, langka-langka dan prosedur penyelesaian, dan studi yang berkaitan dengan kerusakan lentur permukaan jalan.

3. BAB III : METEDOLOGI PENELITIAN

44

Bab ini memuat gambaran terstruktur tahap demi tahap proses pelaksanaan penelitian

4. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil pengolahan data yang telah di capai dan karekteristik dari hasil survey atau laboratorium.

5. BAB V : PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan yang merupakan uraian atau pencapaian dari tujuan penelitian serta saran-saran yang berisi masukan bagi kelanjutan penelitian yang telah di lakukan serta masukan bagi penanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA. LAMPIRAN.

TINJAUAN PUSTAKA kerusakan jalan adalah akibat beban roda kendaraan berat yang lalulalang (berulang-ulang), kondisi muka air tanah yang tinggi, akibat dari salah pada waktu pelaksanaan, dan juga bisa akibat kesalahan perencanaan. Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan pengikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai adalah batuan pecah atau batu belah ataupun bahan lainnya. Bahan ikat yang dipakai adalah aspal, semen ataupun tanah liat. Adapun jenis perkerasan lalu lintas, harus dapat memfasilitasi sejumlah pergerakan lalu lintas, apakah berupa jasa angkutan lalu lintas, berupa jasa angkutan manusia, atau berupa jasa angkutan barang berupa seluruh komoditas yang diijinkan untuk berlalu lalang disitu. Dengan beragam jenis kendaraan dengan angkutan barangnya, akan memberikan variasi beban ringan, sedang sampai berat. Jenis kendaraan penumpang akan memberikan pula sejumlah variasi. Dan hal itu harus didukung oleh perkerasan jalan, daya dukung perkerasan jalan raya ini akan menentukan kelas jalan yang bersangkutan, misalnya jalan kelas 1 akan menerima beban besar dibanding jalan kelas 2. Maka dilihat dari mutu perkerasan jalan sudah jelas berbeda. Persyaratan umum dari suatu jalan adalah dapatnya menyediakan lapisan permukaan yang selalu rata dan kuat, serta menjamin keamanan yang tinggi untuk masa hidup yang cukup lama, dan yang memerlukan pemeliharaan yang sekecil-kecilnya dalam berbagai cuaca. Tingkatan sampai dimana kita akan memenuhi persyaratan tersebut tergantung dari imbangan antara tingkat kebutuhan lalu

lintas, keadaan tanah serta iklim yang bersangkutan. Sebagaimana telah dipahami bahwa yang dimaksud dengan perkerasan adalah lapisan atas dari badan jalan yang dibuat dari bahan-bahan khusus yang bersifat baik/konstruktif dari badan jalannya sendiri. FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN

Menurut Silvia Sukirman (1999) Kerusakan-kerusakan pada konstruksi perkerasan jalan dapat disebabkan oleh: 1. Lalu lintas, dapat berupa peningkatan dan

repetasi beban. 2. Air, yang dapat berupa air hujan, sistem

drainase yang tidak baik, naiknya air akibat kapilaritas.

3. Material konstruksi perkerasan, dalam hal ini disebabkan oleh sifat material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengelolaan bahan yang tidak baik.

4. Iklim, Indonesia beriklim tropis dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi, yang merupakan salah satu penyebab kerusakan jalan.

5. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, kemungkinan disebabkan oleh sistem pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat tanah yang memang jelek.

METODE PAVEMENT CONDITION INDEX (PCI)

Menurut Shahin (1994) dalam Hardiyatmo (2007), bahwa indeks kondisi perkerasan adalah tingkatan dari kondisi permukaan perkerasan dan ukuran yang ditinjau mengacu pada kondisi dan kerusakan di permukaan perkerasan yang terjadi. PCI ini merupakan indeks numerik yang nilainya berkisar diantara 0 sampai 100. Nilai 0 menunjukkan perkerasan dalam kondisi sangat rusak, dan nilai 100 menunjukan perkerasan masih sempurna seperti ditunjukkan dalam Tabel 2. Nilai PCI ini didasarkan pada hasil survey kondisi visual. Tipe kerusakan, tingkat keparahan kerusakan, dan ukurannya diidentifikasikan saat survei tersebut. PCI dikembangkan untuk memberikan indeks dari integritas struktur perkerasan dan kondisi operasional permukaannya. Informasi kerusakan yang diperoleh sebagai bagian dari survei kondisi PCI. Penilaian terhadap kondisi

45

perkerasan jalan merupakan aspek yang paling penting dalam hal menentukan kegiatan pemeliharaan dan perbaikan jalan. Hary Christady Hardiyatmo dalam Aris Munandar Dkk ( 2010 : 2).

JENIS-JENIS KERUSAKAN PERKERASAN JALAN

Secara garis besar kerusakan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerusakan struktural, mencakup kegagalan perkerasan atau kerusakan dari satu atau lebih komponen perkerasan yang mengakibatkan perkerasan tidak dapat lagi menanggung beban lalu lintas; dan kerusakan fungsional yang mengakibatkan keamanan dan kenyamanan pengguna jalan menjadi terganggu sehingga biaya operasi kendaraan semakin meningkat (Sulaksono, 2001). Menurut Shahin (1994), ada beberapa tipe jenis kerusakan pada perkerasan jalan : 1. Retak kulit buaya (Alligator Cracking)

Retak yang berbentuk sebuah jaringan dari bidang persegi banyak (polygon) yang menyerupai kulit buaya, dengan lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. Retak ini disebabkan oleh kelelahan akibat beban lalu lintas berulang-ulang. Kemungkinan penyebabnya adalah bahan perkerasan/kualitas material kurang baik sehingga menyebabkan perkerasan lemah atau lapis beraspal yang rapuh (britle).

2. Keriting (Corrugation) Bentuk kerusakan ini berupa gelombang pada lapis permukaan, atau dapat dikatakan alur yang terjadi yang arahnya melintang jalan. Kerusakan ini umunya terjadi pada tempat berhentinya kendaraan, akibat pengereman kendaraan.

3. Amblas (Depression) Bentuk kerusakan yang terjadi berupa amblas/turunnya permukaan lapisan permukaan perkerasan pada lokasi-lokasitertentu dengan atau tanpa retak. Kedalaman retak ini umumnya lebih dari 2cm dan akan menampung/meresapkan air.

4. Cacat tepi perkerasan (Edge Cracking) Kerusakan ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya. Penyebab kerusakan ini dapat terjadi setempat atau sepanjang tepi perkerasan dimana seringterjadi perlintasan

roda kendaraan dari perkerasan ke bahu atau sebaliknya. Bentuk kerusakan cacat tepi dibedakan atas „gompal‟ (edge break) atau „penurunan tepi‟ (edge drop).

5. Joint Reflection Cracking Kerusakan ini pada umumnya terjadi pada permukaan aspal yang telah dihamparkan di atas perkerasan aspal. Retak terjadi pada lapis tambahan (overlay) aspal yang mencerminkan pola retak dalam perkerasan beton lama yang berada dibawahnya. Pola retak dapat kearah memanjang, melintang, diagonal, atau membentuk blok.

6. Penurunan bahu pada jalan (Lane) Bentuk kerusakan ini terjadi akibat terdapatnya beda ketinggian antara permukaan perkerasan dengan permukaanbahu/tanah sekitarnya, dimana permukaan bahu lebih rendah terhadap permukaan perkerasan.

7. Retak memanjang dan melintang (Longitudinal & Transfer Cracks) Jenis kerusakan ini terdiri dari macam kerusakan yaitu retak memanjang dan retak melintang pada perkerasan. Retak ini terdiri berjajar yang terdiri dari beberapa celah.

8. Tambalan pada galian utilitas Tambalan dapat dikelompokkan kedalam cacat permukaan,karena pada tingkat tertentu (jika jumlah/luas tambalan besar) akan menggangu kenyamanan berkendara. Berdasarkan sifatnya, tambalan dikelompkkan menjadi dua, yaitu tambalan sementara; berbentuk tidak beraturan mengikuti bentuk kerusakan lubang, dan tambalan permanen berbentuk segi empat sesuai rekonstruksi yang dilaksanakan.

9. Lubang (Potholes) Kerusakan ini berbentuk seperti mangkok yang dapat menampung dan meresapkan air pada bahu jalan. Kerusakan ini terkadang terjadi di dekat retakan, atau di daerah drainasenya kurang baik (sehingga perkerasan tergenang oleh air).

10. Alur (Rutting) Bentuk kerusakan ini terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan dan berbentuk alur.

11. Sungkur (Shoving) Kerusakan ini membentuk jembulan pada lapisan aspal. Kerusakan biasanya terjadi pada lokasi tertentudimana

46

kendaraan berhenti pada kelandaian yang curam atau tikungan tajam. Terjadinya kerusakan ini dapat diikuti atau tanpa diikuti oleh retak.

12. Weathring/Raveling(pelepasan butir) Kerusakan ini berupa terlepasnya beberapa butiran-butiran agregat pada permukaan perkerasan yang umumnya terjadi secara meluas. Kerusakan ini biasanya dimulai dengan terlepasnya material halus dahulu yang kemudian akan berlanjut terlepasnya material yang lebih besar (material kasar), sehingga akhirnya membentuk tampungan dan dapat meresap air ke badan jalan.

METODE PERBAIKAN PADA KERUSAKAN JALAN

Perbaikan jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan, rehabilitas, penunjangan dan peningkatan jalan. Tanpa pemeliharaan dan perbaikan jalan secara memadai, baik rutin maupun berkala, akan dapat mengakibatkan kerusakan yang besar pada jalan, sehingga jalan akan lebih cepat kehilangan fungsinya. Melihat kondisi perkerasan yang telah mengalami kerusakan sebaiknya segera dilakukan perbaikan. Metode perbaikan yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis kerusakannya, sehingga diharapakan dapat meningkatkan kondisi perkerasan jalan tersebut. Pemeliharaan yang rutin adalah penangan jalan yang hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk dapat meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun. Pemeliharaan yang rutin adalah penangan jalan yang hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk dapat meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian digunakan dalam penelitian ini dengan cara . Diskriptif berarti penelitian memusatkan pada masalah-masalah yang ada pada saat sekarang. Keadaan perkerasan jalan didaerah penelitian dapat diperoleh data yang

akurat dan cermat, sedangkan Analisis berarti data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis.

LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Wajo pada bulan Januari hingga Maret 2017. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana karakteristik retakan perkerasan jalan pada jalan poros Wajo-Bone.

METODE PENGUMPULAN DATA 1. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung dilokasi penelitian dan sejumlah responden yang terpilih. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, instansi/lembaga yang terkait dan literatur yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Observasi

Dalam menggunakan observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen pertimbangan kemudian format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan. Dari peneliti berpengalaman diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian kepada skala bertingkat. Misalanya memperhatikan reaksi penonton televisi, bukan hanya mencatat rekasi tersebut, tetapi juga menilai reaksi tersebut apakah sangat kurang, atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki (Arikunto, 2006: 229).

b. Wawancara Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian (Emzir, 2010: 50). Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara

47

bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.

c. Dokumentasi Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna (Faisal, 1990: 77).

A. ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder, akan disusun dan disajikan serta dianalisis dengan menggunakan diskriptif kualitatif berupa pemaparan yang kemudian dianalisis dan dinarasikan sesuai masalah penelitian. 1. Penelitian ini dilakukan dengan cara analisis

diskriptif yaitu : a. Mengidentifikasi permasalahan yang

signifikan untuk dipecahkan melalui metode diskriptif.

b. Merumuskan permasalahan yang jelas c. Menentukan tujuan dan manfaat

penelitian d. Mengumpulkan informasi mengenai lokasi

penelitian e. Mengumpulkan data mengenai kerusakan

yang terjadi pada perkerasan jalan pada perkerasan yang terjadi retakan

f. Perhitungan kondisi retakan jalan g. Penentuan karakteristik retakan jalan

dengan pavement condition index (PCI) h. Membuat kesimpulan i. Memberikan saran

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Ruas jalan poros Wajo – Bone merupakan jalan Provinsi dengan melayani arus lalu lintas dua arah. Survey visual kondisi

permukaan perkerasan jalan dilakukan untuk tiap lajur ( lebar 7 meter ) dengan pembagian segmen, pada masing-masing arah lalu lintas. A. Perhitungan Metode Pavement Condition

Index (PCI) 1. Perhitungan Density (Kadar kerusakan)

dan penetapan deduct value (Nilai pengurangan).

Rumus :

( (

( (

Dimana :

Ad = Luas total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m²)

Ld = Panjang total jenis kerusakan untuk tiap tingkat kerusakan (m)

As = Luas total unit segmen (m²)

Penyelesaian :

( (

( (

= 0,42

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan maka didapat rekapitulasi penetapan deduct value ruas poros jalan Wajo – Bone baik sisi kiri maupun sisi kanan jalan seperti tersaji pada tabel 10 dan tabel 11. Tabel 10. Rekapitulasi penetapan deduct value sisi kiri ruas jalan Poros Wajo – Bone.

48

Tabel 11. Rekapitulasi penetapan deduct value sisi kanan pada poros jalan Wajo – Bone.

Berdasarkan table rekapitulasi di atas ada beberapa nilai deduct value tertinggi yang didapat dari grafik hubungan antara nilai density dengan kerusakan sentry level nilai itulah yang akan digunakan dalam perhtungan selanjutnya. 2. Menghitung Allowable Maximum deduct

value (m) : Nilai m dihitung dengan persamaan (3). Untuk perhitungan nilai kondisi disisi kiri pada poros jalan Wajo – Bone, deduct value tertinggi adalah 90 sehingga nilai m menjadi : M = 1 + (9/98)*(100 - 60) = 4,67 m. Jika deduct value dikurangkan

terhadap m maka didapat hasil seperti pada tabel 12. Tabel 12. Tabel perbandingan (DV- m) terhadap m untuk sisi kiri jalan.

Karena terdapat nilai hasil selisih deduct value yang < m, maka data deduct value untuk poros jalan Wajo – Bone sisi kiri dapat digunakan semua. Dengan Persamaan (3) juga dihitung nilai m untuk poros jalan Wajo – Bone sisi kanan yaitu didapatkan nilai m = 4,67 perbandingan selisih setiap deduct value dikurangi m terhadap m untuk ruas jalan sisi kanan seperti tersaji pada tabel 13. Tabel 13. Tabel perbandingan (DV– m) terhadap m untuk sisi kanan jalan.

Karena terdapat nilai hasil selisih deduct value yang < m, maka data deduct value untuk

49

poros jalan Wajo – Bone sisi kanan dapat digunakan semua. 3. Menentukan CDV (Corrected Deduct Value).

a. Menentukan jumlah deduct value yang nilainya > 2 atau disebut sebagai nilai q. Pada ruas jalan sisi kiri, ada lima deduct value yang lebih besar dari 2 yang berarti nilai q adalah 5 . Dengan analogi yang sama maka nilai q untuk ruas jalan sisi kanan adalah 6.

b. Menentukan total deduct value (TDV) untuk setiap sisi ruas jalan dengan menjumlah seluruh deduct value. Untuk sisi kiri TDV = 132, sedangkan untuk sisi kanan TDV = 140

c. Menentukan CDV didasarkan pada nilai q dan TDV dengan menggunakan kurva CDV. Setelah dilakukan penelusuran pada kurva, didapatkan nilai CDV untuk sisi kiri adalah 72 dan nilai CDV untuk sisi kanan adalah 58. d. Deduct Value yang mendekati nilai 2, dijadikan = 2 sehingga nilai q akan berkurang dan kemudian dilakukan kembali langkah a) hingga c) sampai diperoleh nilai q = 1. Hasil iterasi CDV baik untuk sisi kiri maupun sisi kanan jalan diberikan pada tabel 14 dan tabel 15.

Tabel 14. Hasil Iterasi CDV untuk sisi kiri jalan.

Tabel 15. Hasil Iterasi CDV unyuk sisi kanan jalan.

e. Berdasarkan tabel 14 dan tabel 15,

didapat nilai CDV maksimum untuk ruas

jalan sisi kiri sebesar 80, dan ruas jalan sisi kanan sebesar 83. 4. Menentukan Nilai Pavement Condition

Index (PCI). PCI = 100 – CDVmaks Dimana : PCI : Nilai Pavement Condition

Index CDV : Nilai Corrected Deduct Value

Berdasarkan perhitungan nilai CDV maksimum di atasa, didapatkan nilai PCI untuk setiap sisi sebagai berikut : a. PCI sisi kiri = 100 - 80 = 20 b. PCI sisi Kanan = 100 - 83 = 17

Berdasarkan penilaian PCI diatas maka kondisi perkerasan pada poros jalan Parepare – Pinrang termasuk dalam kategori poor (buruk).

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengamatan secara visual serta perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat 8 jenis kerusakan pada

perkerasan lentur ruas jalan Wajo – Bone,Untuk sisi kiri yaitu retak kulit buaya (2,00 %), retak kotak (0,50 %), amblas (1,34 %), retak diagonal (1,10 %), tambalan (3,00 %), lubang (0,32 %), sungkur (0,48 %), dan pelepasan butir (1,43 %).Untuk sisi kakan retak kulit buaya (2,01 %), retak kotak (1,69 %), amblas (1,07 %), retak diagonal (3,52 %), tambalan (4,05 %), lubang (0,19 %), sungkur (1,69 %), dan pelepasan butir (1,9 %). Jenis kerusakan yang terjadi dominan parah adalah retak kulit buaya (2,01 %), tambalan (4,05 %),sungkur (1,69 %).

2. Nilai kondisi perkerasan lentur ruas jalan Wajo Bone sebegai berikut. rata – rata yaitu sisi kiri sebesar 20 dan sisi kanan sebesar 17, sehingga termasuk dalam kategori very poor (Sangat buruk).

A. SARAN

50

Penulis tugas akhir ini terdapat beberapa pilihan saran penanganan yang di ajukan sebagai bahan pertimbangan : 1. Pengamatan kerusakan jalan harus

dilakukan secara berkala untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan.

2. Perbaikan jalan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar terutama saluran drainase yang ada, sehingga manfaatnya bias dirasakan oleh pengguna jalan.

3. Kondisi jalan akan lebih baik jika tidak terjadi genangan air bila terjadi hujan.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penanganan terhadap kerusakan jalan yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suswandi, Wardhani S., Hary C., Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan.

Depertemen pemukiman dan prasarana wilayah, tata cara pemeliharaan perkerasan kaku ( Right Pavement), 1992

Depertemen Pekerja Umum Direktorat Jendral Bina Marga, Petunjuk Praktis Pemeliharaan Rutin Jalan Upr. 02.1 Tentang Pemeliharaan Rutin Perkerasan Jalan.

Hardiyatmo, 2007. Kerusakan Pada Perkerasan Rigid Pavement.

Nanang Supriyadi, 2013.T Perkerasan-lentur Margareth evelyn bolla, Pci Penilaian Kondisi

Perkerasan Suardo dan Sugiharto, 2004. Tentang

Kerusakan Jalan Kurniawan, A. (2010). Penilaian Perkerasan

Jalan Dengan Metode Pavement Condition Index (Studi kasus: Jalan Lubuk Alung – Kurai Taji).

ngreni, I. . . ”Metode Penilaian Kerusakan Jalan Berdasarkan Evaluasi Visual untuk kondisi perkerasan jalan beraspal”, Tesis, FTSP-ITS, Surabaya, 2000.

Mulyono, A.T (2011), faktor–faktor penyebab kerusakan pada perkerasan jalan.

Susanti Djalante, (2011) Evaluasi Kondisi Dan Kerusakan Perkerasan Lentur Di Beberapa Ruas Jalan

Shahin,M.Y. 1996, Pavement for Airports, Roads, Parking Lots, Chapman and Hall, Dept. BC., New York.

Silvia Sukirman (1999) Kerusakan-kerusakan pada konstruksi perkerasan jalan.

Kurniawan, A. (2010). Penilaian perkerasan jalan dengan metode Pavement Condition Index (Studi kasus: Jalan Lubuk alung – Kurai taji).

Nathasya, Putri. 2012. Perencanaan tebal perkerasan lentur dengan program kenpave dan studi parameter pengaruh tebal lapis dan modulus elastis terhadap nilai tegangan. Regangan dan repetisi beban. Jakarta: Universitas Bina Nusantara

51

Studi Pergerakan Transportasi Laut (Studi Kasus Ujung Lero – Parepare)

Muh. Nashir T Staf Pengajar Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Universitas Muhammadiyah Parepare Email : [email protected]

Abstract

This research aims to identify the characteristics of the traveler and the movement pattern of use sea transport modes in the village of Ujung Lero of Parepare, analyzing sea transport trip generation moving from Ujung Lero to Parepare, and analyze the condition of sea transport means moving from Ujung Lero to Parepare. This research was conducted in the village of Ujung Lero by survey method using questionnaires and interviews. The population in this study is rural community Ujung Lero with a sample of 341 peoples were taken randomly. Origin zone is divided into four zones namely A hamlet Ujung Lero, hamlet Adolang zone B, zone C Butung hamlet, and zone D Ujung Labuang. The results showed that the characteristics of the movement of population in Ujung Lero village Parepare heading into town sea transport modes, the traveler more dominated by farmers/ranchers /fishermen, housewives and self employed with the intention of the movement is still dominated by the activities people, as outlet for shopping, trade/sell, and to work with alternative sea transport is the most widely used katinting ship. Ujung Lero population movement more Parepare heading into town with a percentage of 89,76% zone A, zone B was 87,10%, zone C of 94,81%, and 97,73% for the D zone.

Keywords : Characteristic Movements, Generation, Sea Transport

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik pelaku perjalanan dan pola pergerakan penggunaan moda angkutan laut di desa Ujung Lero ke kota Parepare, menganalisa bangkitan pergerakan transpotrasi laut yang terjadi dari desa Ujung Lero Kabupaten Pinrang ke kota Parepare, dan menganalisa kondisi sarana angkutan laut yang bergerak dari Ujung Lero ke Parepare. Penelitian ini dilaksanakan di desa Ujung Lero Kabupaten Pinrang dengan metode survey menggunakan kuisioner dan wawancara. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Ujung Lero dengan sampel sebanyak tiga ratus empat puluh satu orang diambil secara acak. Zona asal di bagi menjadi empat yaitu zona A dusun Ujung Lero, zona B dusun Adolang, zona C dusun Butung, dan zona D Ujung Labuang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pergerakan penduduk pada desa Ujung Lero menuju ke kota Parepare dengan penggunaan moda angkutan laut, pelaku perjalanan lebih banyak didominasi oleh petani/peternak/nelayan, ibu rumah tangga, dan wiraswasta dengan maksud pergerakan masih didominasi oleh aktivitas keseharian masyarakat, seperti ke pasar untuk belanja, berdagang/menjual, dan ke kantor dengan alternatif angkutan laut yang paling banyak digunakan adalah kapal katinting. Pergerakan penduduk desa Ujung Lero lebih banyak menuju ke kota Parepare dengan persentase zona A sebesar 89,76%, zona B sebesar 87,10%, zona C sebesar 94,81%, dan zona D sebesar 97,73%.

Kata Kunci : Karakteristik Pergerakan, Bangkitan, Transportasi Laut

52

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ujung Lero merupakan salah satu daerah yang berada di pesisir pantai yang masuk pada wilayah pemerintahan Kabupaten Pinrang. Untuk mencapainya kita dapat menempuh jalur laut dan jalur darat. Jika melalui jalur laut ke dermaga yang ada di parepare, waktu yang ditempuh sekitar 10-15 menit, berbeda dengan jalur darat yang membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit, selain efektif dari segi waktu perjalanan pemilihan alternatif jalur laut juga efisien dari segi biaya perjalanan. Dari pertimbangan itu masyarakat Ujung Lero cenderung memilih alternatif jalur laut untuk melakukan suatu pergerakan ke kota Parepare demi memenuhi beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kebutuhan setiap harinya. Besarnya interaksi yang terjadi antara Ujung Lero ke kota Parepare telah berdampak pada meningkatnya kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi. Peningkatan kuantitas dan kualitas moda transportasi umum dalam melayani pergerakan masyarakat menjadi suatu keharusan dan tak terhindarkan. Berbagai alasan dan pertimbangan yang mendasari pelaku perjalanan dalam melakukan pemilihan moda transportasi. Dengan mengetahui perilaku perjalanan yang mempengaruhi probabilitas pemilihan moda, maka akan dapat dilakukan upaya perbaikan dan peningkatan utilitas dari moda transportasi tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka perlu adanya sebuah penelitian yang Insya Allah akan dituangkan dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul ―STUDI PERGERAKAN TRANSPORTASI LAUT (STUDI KASUS UJUNG LERO

PINRANG – PAREPARE).

1.2. Rumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang menjadi bahasan dalam penelitian ini ialah:

1. Bagaimana karasteristik pelaku perjalanan dan pergerakan transportasi laut dari Ujung Lero ke kota Parepare ?

2. Bagaimana menganalisis bangkitan pergerakan transportasi laut dari Ujung Lero ke Kota Parepare ?

3. Bagaimana kondisi sarana angkutan laut yang bergerak dari Ujung Lero ke Parepare ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik pelaku perjalanan dan pola pergerakan penggunaan moda angkutan laut di desa Ujung Lero Kabupaten Pinrang ke kota Parepare.

2. Menganalisa bangkitan pergerakan transpotrasi laut yang terjadi dari desa Ujung Lero Kabupaten Pinrang ke kota Parepare.

3. Menganalisa kondisi sarana angkutan laut yang bergerak dari Ujung Lero ke Parepare.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Transportasi Transportasi berasal dari Bahasa Latin yaitu transportare, dimana trans berarti seberang atau sebelah lain, dan portare berarti mengangkut atau membawa (Kamaludin, 1987: 9). Transportasi menurut Bowersox, 1981 dalam Kodoatie (2005: 258), mendefinisikan transportasi adalah perpindahan barang atau penumpang dari suatu lokasi ke lokasi lain, dimana produk yang digerakkan atau dipindahkan tersebut dibutuhkan atau diinginkan oleh lokasi lain tersebut. Menurut Miro (2005: 4), transportasi diartikan sebagai usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut atau mengalihkan obyek dari satu tempat ke tempat lain, sehingga obyek tersebut menjadi lebih bermanfaat atau berguna untuk tujuan tertentu. Alat pendukung yang dipakai untuk melakukan kegiatan tersebut bervariasi tergantung dari bentuk obyek yang akan dipindahkan, jarak antara suatu tempat dengan tempat lain, dan maksud obyek yang akan dipindahkan tersebut. Dari beberapa pengertian di atas, terlihat bahwa terdapat lima unsur pokok dalam transportasi, yaitu (Munawar, 2005: 2):

1. Ada manusia, sebagai yang membutuhkan transportasi,

2. Ada barang yang dibutuhkan manusia,

53

3. Ada kendaraan sebagai sarana/alat angkut,

4. Jalan sebagai prasarana, dan

5. Organisasi sebagai pengelola transportasi.

2.2. Transportasi Laut

Indonesia adalah negara maritim dan atau negara kepulauan terbesar di dunia, sudah sejak lama kepulauan Indonesia dijadikan perlintasan transportasi dunia dan ramai dilalui sarana atau moda transportasi yang menghubungkan antar benua. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim (UU RI No. 17 2008 Pasal 1). Keselamatan dan keamanan pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim. Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah (UU RI No. 17 2008 Pasal 116).

2.3. Konsep Pergerakan Transportasi

Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan (trip) antara tempat asal (origin) dan tujuan (destination). Dalam suatu perjalanan, ada perjalanan yang merupakan pergerakan yang diawali dari rumah (home based trip) dan ada juga perjalanan yang asal maupun tujuannya adalah bukan rumah (nonhome based trip) (Tamin, 1997: 94) misalnya, dari tempat kerja ke pasar, dari terminal bus ke kampus, dan lain sebagainya.

Konsep dasar transportasi tersebut menurut Tamin (1997: 12) terbagi menjadi dua dan akan dijelaskan berikut ini. 1. Konsep ciri pergerakan nonspasial (tanpa batas ruang) di dalam kota 2. Konsep ciri pergerakan spasial

(dengan batas ruang) di dalam kota.

2.4. Bangkitan Pergerakan Model transportasi merupakan suatu model yang digunakan untuk memberikan gambaran hubungan antara tata guna lahan dengan jaringan transportasi melalui model persamaan matematis.

Bangkitan pergerakan (trip generation) adalah tahapan pemodelan transportasi yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona atau tata

guna lahan. Adapun model bangkitan pergerakan mencakup:

1. Jumlah lalulintas yang meninggalkan suatu lokasi (trip production).

2. Jumlah lalulintas yang menuju atau tiba pada suatu lokasi (trip attraction). Tujuan dasar tahap bangkitan pergerakan adalah menghasilkan model hubungan yang mengaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju kesuatu zona atau jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Model ini sangat dibutuhkan apabila efek tata guna lahan dan pemilikan pergerakan terhadap besarnya bangkitan pergerakan berubah sebagai fungsi waktu. tahap ini mempelajari dan meramalkan besarnya tingkatan bangkitan dengan lingkungan tata guna lahan.

2.5. Matriks Pergerakan

MAT adalah matriks berdimensi dua yang berisi informasi mengenai besarnya pergerakan antarlokasi (zona) di dalam daerah tertentu. Baris menyatakan zona asal dan kolom menyatakan zona tujuan, sehingga sel matriksnya menyatakan besarnya arus dari zona asal ke zona tujuan. Dalam hal ini, notasi Tid

menyatakan besarnya arus pergerakan (kendaraan, penumpang, dan barang) yang bergerak dari zona i asal ke zona tujuan d selama selang waktu tertentu (Tamin, 1997).

Jumlah zona dan nilai setiap sel matriks adalah dua unsur penting dalam MAT karena jumlah zona menunjukkan banyaknya sel MAT yang harus didapatkan dan berisi informasi yang sangat dibutuhkan untuk perencanaan transportasi. Setiap sel membutuhkan informasi jarak, waktu biaya, atau kombinasi ketiga informasi tersebut yang digunakan sebagai ukuran aksesibilitas (kemudahan) (Tamin, 1997).

2.6. Pemilihan Moda Moda atau jenis transportasi yang umumnya dikenal dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (Munawar, 2005) :

1. Udara, yaitu dengan moda pesawat dan prasarana bandara.

2. Air, yaitu dengan moda kapal dan prasarana dermaga atau pelabuhan.

54

3. Darat, yaitu: jalan raya (dengan moda berupa mobil, bus, sepeda motor), jalan rel (kereta api), lain-lain (kabel, pipa dan sebagainya).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda menurut Miro (2005: 118121) adalah sebagaimana dijelaskan berikut ini.

1. Karakteristik perjalanan (Travel characteristic factor).

2. Karakteristik pelaku perjalanan (Traveler characteristic factor).

3. Karakteristik sistem transportasi (Transportation system characteristic factor).

4. Karakteristik kota dan zona (Special characteristic factor).

2.7. Pemilihan Rute

Dalam kasus ini, pemilihan moda dan rute dilakukan bersama-sama. Untuk angkutan umum, rute ditentukan berdasarkan moda transportasi. Untuk kendaraan pribadi, diasumsikan bahwa orang akan memilih moda transportasinya dulu baru rutenya.

Seperti pemilihan moda, pemilihan rute juga tergantung pada alternatif terpendek, tercepat, dan termurah, dan juga diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai informasi yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan) sehingga mereka dapat menentukan rute terbaik.

2.8. Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh obyek/subyek itu.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2009 : 80). Dalam penyusunan sampel perlu disusun kerangka sampling yaitu daftar dari semua unsur sampling dalam populasi sampling, dengan syarat:

a. Harus meliputi seluruh unsur sampel.

b. Tidak ada unsur sampel yang dihitung dua kali.

c. Harus up to date.

d. Batas-batasnya harus jelas.

e. Harus dapat dilacak di lapangan.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian gabungan yang menjelaskan suatu pendekatan kualitatif dan kuantitatif, agar masalah yang dihadapi dapat diselesaikan dengan maksud dan tujuan penelitian.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Ujung

Lero Kecamatan Suppa Kabupaten

Pinrang yang dilaksanakan pada tanggal

11 Maret sampai dengan tanggal 11 April 2013.

3.3. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu :

1. Data primer, data yang dikumpulkan secara langsung dari obyek penelitian dengan cara observasi, wawancara, dan kuesioner.

2. Data sekunder, merupakan data pendukung yang dikumpulkan secara tidak langsung dari obyek. Misalnya data-data diperoleh dari tulisan seperti buku-buku teori, buku laporan, peraturan-peraturan, dan dokumen baik yang berasal dari instansi terkait maupun hasil kajian literatur.

3.4. Metode Analisis Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif, yaitu memberikan interpretasi terhadap data-data yang diperoleh, baik dari data primer maupun data sekunder. Teknik kuantitatif digunakan untuk mengukur data berupa angka atau numerik, sedangkan teknik kualitatif digunakan untuk mengetahui hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara kuantitatif.

55

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi

Desa Ujung Lero merupakan salah satu daerah yang menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Kecamatan Suppa

Kabupaten Pinrang. Luas wilayah desa Ujung Lero mencapai sekitar 47 Ha, yang berbatasan dengan beberapa desa sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Ujung Labuang

2. Sebelah Timur berbatasan dengan teluk Parepare

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Makassar

4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Wiring Tasi

Dalam Buku Potensi Penduduk

Kabupaten Pinrang Berdasarkan Data Base Tahun 2012 menerangkan bahwa jumlah penduduk desa Ujung Lero mencapai 8578 jiwa, 4246 adalah laki-laki dan 4332 perempuan. Ada tiga dusun daerah tersebut yaitu Dusun Ujung Lero, Dusun Adolang, dan Dusun butung. Di desa Ujung Lero terdapat empat dermaga yaitu dermaga Labuang, dermaga Butung, dermaga Kampung

Masjid, dan dermaga Pasir Putih.

4.2. Karakteristik Responden

4.2.1. Distribusi responden menurut jenis kelamin

Distribusi responden pada zona A Dusun Ujung Lero didasarkan pada jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan dengan tingkat persentase sebesar 51,97% dan laki-laki sebesar 48,03%, sementara pada zona B Dusun Adolang jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki dengan jumlah persentase sebesar 62,37% dan perempuan sebanyak 37,63%, pada zona C Dusun Butung jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki sebesar 74,03% dan perempuan sekitar 25,97%, sedangkan pada zona D Dusun Ujung Labuang jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan dengan tingkat persentase sebesar 52,27% dan laki-laki sebesar 47,73%.

4.2.2. Distribusi responden menurut jenis pekerjaan

Responden terbanyak pada zona A Dusun Ujung Lero menurut jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga dengan tingkat persentase terbesar 33,07%. Pada zona B Dusun Adolang distribusi responden terbanyak adalah petani/peternak/nelayan dengan tingkat persentase sebesar 41,94%. Sementara zona C Dusun Butung distribusi responden terbanyak adalah petani/peternak/nelayan dengan tingkat persentase sebesar 41,56%. Sedangkan distribusi responden terbanyak pada zona

D Dusun Ujung Labuang adalah petani/peternak/nelayan dan ibu rumah tangga dengan tingkat persentase sebesar yaitu 40,91%.

4.2.3. Distribusi responden menurut umur Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa responden terbanyak menurut umur pada zona A Dusun Ujung Lero adalah umur 40 – 59 tahun sebesar 33,07%. Pada Zona B Dusun Adolang responden terbesar adalah umur 40 – 59 tahun dengan persentase sebesar 37,93%. Pada zona C Dusun Butung persentase terbesar adalah responden dengan umur

40 – 59 tahun sebesar 31,17%, sedangkan pada zona D Dusun Ujung Labuang responden terbesar adalah umur 40 – 59 tahun dengan tingkat persentase sebesar 47,73%, dan umur 30 – 39 tahun sebesar 29,55%.

4.2.4. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan

Distribusi responden menurut tingkat pendidikan didominasi oleh responden yang menempuh jenjang pendidikan sampai tingkatan Sekolah Dasar (SD) saja. Dengan persentase masing-masing zona A Dusun Ujung Lero sebesar 54,33%. Pada zona B Dusun Adolang sebesar 56,99%, zona C Dusun Butung sebesar 53,25%, dan zona D Dusun Ujung Labuang tingkat persentase pendidikan SD mencapai 72,73%.

4.2.5. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden pada zona A Dusun Ujung Lero yang terbesar adalah dengan rata-rata per bulan adalah <Rp.300.000,- dengan persentase sebesar 33,07%, begitu pula pada zona B Dusun Adolang dengan persentase 34,41%. Sama dengan kedua zona sebelumnya,

56

responden dengan tingkat pendapatan <Rp.300.000 pada zona C Dusun Butung juga merupakan responden terbesar dengan persentase 29,87%. Sedangkan pada zona D Ujung Labuang rata-rata pendapatan perbulan berkisar Rp.300.000 – Rp.500.000,dengan persentase mencapai 43,18%.

4.3. Analisis Karakterisik Pergerakan Penduduk

4.3.1. Pola pergerakan penduduk Pola pergerakan penduduk zona A dusun Ujung Lero pelaku perjalanan didominasi oleh ibu rumah tangga, petani/peternak/ nelayan, dan wiraswasta. Pada zona B dusun Adolang lebih banyak didominasi oleh pelaku perjalanan petani/peternak/ nelayan, dan ibu rumah tangga. Sedangkan pada zona C dusun Butung pelaku perjalanan juga didominasi oleh petani/peternak/nelayan dan wiraswasta. Zona D Ujung Labuang dimana pelaku perjalanan didominasi oleh petani/ peternak/nelayan dan ibu rumah tangga. Dari total pelaku perjalan tersebut diperoleh persentase terbesar adalah petani/peternak/nelayan dengan tingkat persentase mencapai 36,66%, kemudian ibu rumah tangga dengan tingkat persentase sebesar 24,34%, dan wiraswasta sebesar 14,96%.

4.3.1.1. Waktu terjadinya pergerakan Waktu puncak pergerakan rata-rata pada masing-masing zona terjadi pada jam

06.00 – 08.00 pagi dan pada jam 08.00 – 10.00 pagi.

4.3.1.2. Maksud pergerakan Pergerakan penduduk terbanyak pada zona A adalah untuk belanja dengan tingkat persentase mencapai 41,73%. Pada zona B responden melakukan pergerakan terbanyak dengan maksud untuk belanja dengan persentase sebesar

36,56%. Sementara pada zona C pergerakan terbesar responden juga dengan maksud untuk berdagang/ menjual dengan persentase sebesar 40,26%. Sedangkan pada zona D responden melakukan pergerakan dengan maksud untuk belanja sebesar 56,82%.

4.3.1.3. Angkutan yang digunakan Pengguna angkutan lebih banyak memilih angkutan transportasi laut (kapal katinting) untuk

melakukan pergerakan ke zona tujuan kota Parepare.

4.3.1.4. Intensitas rata-rata perjalanan setiap hari Intensitas rata-rata perjalanan dalam setiap harinya yang tertingi pada zona A wilayah dusun Lero sebanyak 1 kali perjalanan dalam sehari dengan tingkat persentase sebesar 88,19% dengan pelaku perjalanan tertinggi adalah ibu rumah tangga, petani/peternak/nelayan, dan wiraswasta. Pada zona B dusun Adolang intensitas rata-rata perjalanan setiap hari sebanyak 1 kali perjalanan dengan persentase sebesar 86,02% dengan pelaku perjalanan terbanyak adalah petani/peternak/nelayan, ibu rumah tangga, dan wiraswasta. Pada zona C dusun Butung intensitas rata-rata perjalanan terbanyak 1 kali dengan persentase sebesar 85,71% dengan pelaku perjalanan terbanyak adalah petani/peternak/nelayan, dan wiraswasta.

Pada zona D Ujung Labuang intensitas rata-rata perjalanan sebanyak 1 kali sehari dengan persentase mencapai 93,18% dengan pelaku perjalanan petani/peternak/ nelayan, dan ibu rumah tangga.

4.3.1.5. Jarak perjalanan dari rumah ke tempat tujuan

Pada zona A dusun Lero jarak perjalanan dari rumah ke tempat tujuan rata-rata > 25 Km dengan persentase tertinggi sebesar 45,67% dengan pelaku perjalanan terbanyak adalah petani/ peternak/nelayan, dan ibu rumah tangga dengan domonasi maksud pergerakan ke pasar untuk berbelanja dengan alternatif pengguna angkutan tertinggi dominasi menggunakan kapal laut dimana tujuan pergerakan tertinggi menuju ke pasar Lakessi dimana kapal laut yang digunakan sandar di Labukkang kota Parepare.

Pada zona B dusun Adolang perjalanan dari rumah ke tempat tujuan jarak ratarata tertinggi adalah > 25 Km dengan persentase 45,16% dengan pelaku perjalanan lebih banyak petani/peternak/ nelayan, ibu rumah tangga, dan wiraswasta dimana pergerakan yang terjadi lebih dominasi menuju parepare menggunakan angkutan angkutan laut, dan beberapa nelayan diantaranya melakukan juga pergerakan sampai di wilayah laut Majene Sulawesi Barat dan Kendari Sualwesi Tenggara.

57

Pada zona C persentase tertinggi jarak perjalanan dari rumah menuju ke tempat tujuan sebesar 38,96% dengan rata-rata jarak tertinggi > 25 Km dengan pelaku perjalanan petani/peternak/nelayan, wiraswasta, dan ibu rumah tangga dimana tujuan pergerakan menuju kota Parepare dengan menggunakan jasa angkutan laut kapal katinting.

Sedangkan pada zona D wilayah Ujung Labuang perjalanan menuju ke tempat tujuan rata-rata berjarak 20 – 25 Km dengan tingkat persentase sebesar 40,91% dan dengan pelaku perjalanan lebih banyak petani/peternak/nelayan, ibu rumah tanggga, dan pedagang dengan alternatif pengguna angkutan yang dominasinya sama dengan zona lainnya yaitu menggunakan kapal laut ke kota Parepare.

4.3.1.6. Lama perjalanan dari asal ke tujuan Zona A dusun Lero lamanya perjalanan dari asal ke tempat tujuan adalah 50 – 70 menit dengan persentase sebesar 48,03% pelaku perjalanan terbanyak petani/peternak/nelayan, ibu rumah tangga, dan wiraswasta. Pada zona B dusun Adolang lama perjalanan dari asal ke tempat tujuan rata-rata berkisar 50 – 70 menit dengan tingkat persentase sebesar 46,24% dengan pelaku perjalanan petani/peternak/nelayan. Sementara pada zona C dusun Butung lama perjalanan dari asal ke tempat tujuan rata-rata berkisar 20 – 30 menit dengan persentase sebesar 46,75% dengan pelaku perjalanan petani/ peternak/nelayan dan wiraswasta. Sedangkan pada zona D Ujung labuang lama perjalanan dari asal ke tempat tujuan 30 – 50 menit dengan tingkat persentase sebesar 45,45% dimana pelaku perjalanan didominasi petani/peternak/nelayan dan ibu rumah tangga.

4.4. Analisis Bangkitan Pergerakan

4.4.1. Distribusi pergerakan penduduk Pergerakan penduduk yang terjadi pada zona asal A dusun Ujung Lero dominasi menuju ke zona tujuan A kota Parepare dengan persentase sebesar 89,76% dengan pelaku perjalanan didominasi oleh ibu rumah tangga, petani/peternak/nelayan, wiraswasta, dan pedagang. Pergerakan penduduk dari zona B dusun Adolang dominasi yang menuju ke zona tujuan A kota Parepare tingkat persentase sebesar 87,10% dengan pelaku perjalanan paling banyak adalah petani/peternak/nelayan,

ibu rumah tangga, wiraswasta, dan mahasiswa/pelajar.

Pergerakan penduduk dari zona C dusun Butung yang menuju ke zona tujuan A kota Parepare tingkat persentase tertinggi sebesar 94,81% dengan pelaku perjalanan paling banyak adalah petani/peternak/nelayan, wiraswasta, ibu rumah tangga, dan pedagang.

Pergerakan penduduk dari zona D Ujung Labuang yang menuju ke zona tujuan A kota Parepare tingkat persentase sebesar 97,73% dengan pelaku perjalanan adalah petani/peternak/nelayan, ibu rumah tangga, dan pedagang.

4.5. Analisis Kondisi Sarana Angkutan Laut

Kondisi sarana angkutan laut merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja dari pelayanan angkutan laut, maka persepsi dari masyarakat selaku pengguna angkutan dapat digunakan untuk mengetahui informasi mengenai kondisi sarana angkutan laut pada Desa Ujung Lero

4.5.1. Kenyamanan

4.5.1.1. Terhadap jenis kendaraan

Jenis kendaraan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas perjalanan terutama ukuran dan kapasitas angkutan. Ukuran dan kapasitas sebuah angkutan semestinya dapat disesuaikan dengan jumlah penumpang rata-rata. Adapun jenis angkutan laut yang paling sering digunakan oleh pelaku perjalanan adalah kapal katinting dengan kapasitas seat rata-rata 25 sampai dengan 30 orang. Adapun jenis kapal yang berkapasitas 50 orang merupakan bantuan dari pihak pemerintah setempat yang digunakan khusus untuk mengangkut para pelajar.

4.5.1.2. Waktu tempuh perjalanan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap waktu tempuh perjalanan angkutan laut sampai ke tujuan dengan menggunakan kapal katinting pada zona A wilayah dusun Lero adalah sedang atau

20 – 40 menit dengan persentase sebesar 87,40%. Pada zona B wilayah dusun Adolang waktu tempuh perjalanan juga termasuk dalam kategori sedang atau 20 – 40 menit dengan

58

persentase sebesar 70,97%. Pada zona C wilayah dusun Butung waktu tempuh perjalanan menurut responden adalah sedang dengan kisaran waktu 20 – 40 menit dengan persentase sebesar 67,53%. Dan pada zona D Ujung Labuang menurut persepsi responden waktu tempuh perjalanan menuju ke tujuan juga termasuk dalam kategori sedang dengan waktu berkisar 20 – 40 menit dengan persentase sebesar 84,09%.

4.5.1.3. Waktu tunggu

Hasuil Penelitian menujukkan waktu menunggu angkutan laut (kapal katinting) pada setiap zona dianggap sangat lama dengan kisaran waktu 50 - 60 menit, dengan persentase untuk zona A dusun Lero sebesar 45,67%, pada zona B dusun Adolang sebesar 44,09%, pada zona C dusun Butung 46,75%, dan persentase pada zona D Ujung Labuang sebesar 45,45%. Lamanya waktu tunggu ini disebabkan bukan kerena tidak adanya kapal namun hal tersebut disebabkan karena kapal harus menunggu hingga semua kursi penumpang terisi kemudian berangkat.

4.5.1.4. Kecepatan angkutan

Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pada zona A dusun Lero persepsi pengguna mengenai kecepatan angkutan dianggap lambat yaitu 30 – 50 km/jam dengan persentase 52,76%. Pesrsepsi pengguna mengenai kecepatan angkutan pada zona B dusun Adolang juga diangggap lambat yaitu 30 – 50 km/jam dengan persentase tertinggi mencapai 83,87%. Sedangkan pada zona C kecepatan angkutan juga masih dinggap lambat dengan kecepatan rata-rata 30 – 50 km/jam persentase sebesar 59,74%. Demikian pula pada zona C Ujung Labuang kecepatan angkutan rata-rata juga dianggap lambat dengan kisaran 30 – 50 km/jam dengan persentase sebesar 81,82%.

4.5.2. Kemudahan

4.5.2.1. Jarak perjalanan dari rumah ke tempat menunggu

angkutan (dermaga) Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa jarak berjalan menuju tempat menunggu angkutan yaitu dermaga pada zona A dusun Lero dianggap dekat yaitu kisaran 50 – 100 meter

dengan persentase sebesar 37,80%. Sedangkan pada zona B dusun Adolang jarak berjalan menuju dermaga dianggap jauh dengan kisaran jarak rata-rata >400 meter dengan persentase mencapai 75,27%. Pada zona C dusun Butung persepsi masyarakat mengenai jarak berjalan menuju dermaga dianggap sedang yaitu sekitar 100 – 200 meter dengan persentase 38,96%. Sedangkan pada zona D Ujung Labuang jarak berjalan menuju dermaga dianggap dekat dengan jarak rata-rata 50 – 100 meter dengan tingkat persentase 61,36%.

4.5.3. Keamanan 4.5.3.1. Kemungkinan terjadinya

gangguan dalam angkutan

(kapal)

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa responden masin-masing zona rata-rata mengaku mengalami gangguan pada saat menggunakan kapal laut (katinting) dengan tingkat persentase pada zona A dusun Lero sebesar 71,65, zona B dusun Adolang 69,89%, zona C dusun Butung 59,74%, dan zona D Ujung Labuang dengan persentase tertinggi 86,36%.

Gangguan yang sering terjadi menurut responden adalah gangguan pada mesin kapal yang terkadang macet pada saat sedang mengangkut penumpang dan gangguan lain yang biasanya terjadi adalah gangguan ombak dan angin yang biasanya terjadi pada saat cuaca yang kurang baik.

4.5.3.2. Fasilitas P3K Angkutan (kapal katinting) yang beroperasi di semua zona desa Ujung Lero tidak menyediakan fasilitas P3K dengan persentase melebihi 90%. Kurangnya pengetahuan dan kepedulian pemilik angkutan tentang pentingnya penyediaan fasilitas P3K di atas kendaraan menjadi penyebab utama dalam masalah ini. 4.5.4. Tarif Angkutan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tarif angkutan di setiap zona dikategorikan sedang yaitu Rp.5.000,- – Rp.10.000,dan masih dianggap murah dan terjangkau oleh pengguna, adapun pengguna yang tariff angkutannya <Rp.5000,- adalah para pelajar.

PENUTUP

Kesimpulan

59

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Karakteristik pergerakan penduduk pada desa Ujung Lero menuju ke kota Parepare dengan penggunaan moda angkutan laut, pelaku perjalanan lebih banyak didominasi oleh petani/peternak/nelayan, ibu rumah tangga, dan wiraswasta dengan maksud pergerakan masih didominasi oleh aktivitas keseharian masyarakat, seperti ke pasar untuk belanja, berdagang/menjual, dan ke kantor dengan alternatif angkutan laut yang paling banyak digunakan adalah kapal katinting.

2. Bangkitan pergerakan yang terjadi di desa Ujung Lero menuju kota Parepare dapat dikatakan sangat besar dengan perolehan rata-rata mencapai 92,35%, dengan persentase zona asal A dusun Lero sebesar 89,76% dengan pelaku perjalanan didominasi oleh ibu rumah tangga, petani/peternak/nelayan, wiraswasta, dan pedagang, zona asal B dusun Adolang sebesar 87,10% dengan pelaku perjalanan paling banyak adalah petani/peternak/nelayan, ibu rumah tangga, wiraswasta, dan mahasiswa/pelajar, zona asal C dusun Butung sebesar 94,81% dengan pelaku perjalanan paling banyak adalah petani/peternak/nelayan, wiraswasta, ibu rumah tangga, dan pedagang, sedangkan pada zona asal D Ujung Labuang sebesar 97,73% dengan pelaku perjalanan adalah petani/peternak/nelayan, ibu rumah tangga, dan pedagang. Tingginya persentase pergerakan penduduk menuju kota Parepare disebabkan karena wilayah ini terdapat pusat pembelanjaan yaitu pasar sentral Lakessi dan pusat pertokoan, selain itu juga disebabkan karena dinilai efektif dari segi waktu perjalanan dengan pemilihan alternatif jalur laut serta efisien dari segi biaya perjalanan.

3. Kondisi sarana angkutan laut yang bergerak dari desa Ujung Lero ke kota Parepare belum dapat dianggap layak karena belum tersedianya fasilitas P3K di atas kapal, selain itu masyarakat mengaku sering mengalami gangguan pada saat menggunakan alat transportasi laut tradisional (katinting) ini, terutama pada gangguan dari mesin kapal itu sendiri yang sering mengalami kemacetan disaat beroperasi, ditambah lagi

dengan waktu menunggu kapal yang membutuhkan waktu kisaran 50 – 60 menit hingga kapal berangkat. Lamanya waktu tunggu ini disebabkan bukan kerena tidak adanya kapal namun hal tersebut disebabkan karena kapal harus menunggu hingga semua kursi penumpang terisi kemudian berangkat.

Saran

1. Perlu adanya petugas khusus yang bertanggung jawab dan standby disetiap dermaga yang ada di Ujung Lero demi meningkatkan pelayanan dan jaminan keselamatan terhadap pengguna angkutan.

2. Kepada pihak pemerintah setempat diharapkan dapat melakukan peremajaan sarana transportasi laut terutama kapal-kapal yang dianggap sudah tidak layak beroperasi sehinga resiko terjadinya kemungkinan terburuk dapat diminimalisir. Selain itu pemerintah setempat juga diharapkan dapat merehabilitasi pasar yang sudah ada di desa Ujung Lero ataupun menyediakan pusat-pusat pembelanjaan yang lebih refresentatif dan memenuhi standar kelayakan pasar mengingat besarnya jumlah pergerakan yang terjadi menuju kota Parepare dengan tujuan pergerakan terbanyak adalah berdagang/menjual dan belanja.

3. Kepada Pemerintah kota Parepare diharapkan dapat menyediakan dermaga dan fasilitas pendukung lainnya yang lebih layak terkhusus untuk di kawasan Labukkang dan belakang pasar Lakessi yang sering menjadi tempat sandarnya kapal katinting yang berasal dari Desa Ujung Lero.

4. Perlu adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat kepada masyarakat selaku pengguna angkutan mengenai standar atau aturan keselamatan dan keamanan angkutan perairan.

5. Kepada semua pihak yang bermaksud untuk melanjutkan studi ini agar kiranya dapat menambahkan data pelengkap lainnya terutama jumlah nilai uang yang beredar dari hasil pergerakan yang terjadi dari desa Ujung Lero menuju kota Parepare.

DAFTAR PUSTAKA

(1) Edward k, Morlok. 1984. Pengantar Teknik dan Perencanaan

60

Transportasi. Jakarta: Erlangga.

(2) Kamaludin, Rustian. 1987. Ekonomi Transportasi (Cetakan Pertama). Jakarta: Ghalia Indonesia.

(3) Kodoatie, Robert J. 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Relajar. (4) Leksmono S, Putranto. 2008. Rekayasa Lalu Lintas, Jakarta: Pt. Macan Jaya Cemerlang.

(5) Liliani S, Titi. Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas. Bandung: Teknik Sipil dan Transportasi ITB.

(6) Miro, Fidel. 2005. Perencanaan

Transportasi. Jakarta: Erlangga.

(7) Munawar, Ahmad. 2005. Dasardasar Teknik Transportasi.

Yogyakarta: Beta Offset.

(8) Nashir T, Muh. 2006. Karakteristik Pergerakan Penduduk Pada Kawasan Tepi Kota Parepare. Makassar : Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

(9) Nikson, Willem S. 2009. Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Transportasi Laut. Jakarta : Badan Koordinasi Keamanan.

(10) Riyanto, Bambang. 2006. Transportasi. Materi Kuliah Sistem Prasarana Wilayah dan Kota. Semarang: MPPWK Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

(11) Subiyakto, Bambang, 2004, Infrastruktur Pelayaran Sungai Kota Banjarmasin Tahun 1900-1970. (Online), http://www.indieindonesie. nl/content/documents/papersurban% 20history/Bambang%20Subiyakto2.p df. Diakses tanggal 23 Nopember 2006.

(12) Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

(13) Tamin, Ofyar Z. 1997. Perencanaan dan Permodelan Transportasi (Edisi 2). Bandung: Penerbit ITB.

(14) Triatmodjo, Bambang. 2008. Pelabuhan (Cetakan ke-8).

Yogyakarta: Beta Offset

(15) UU RI Nomor 17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran

61

Studi Karakteristik HRS-WC Menggunakan Pasir Sungai Balusu, Kab. Barru

Hamsyah

Staff Pengajar Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Parepare

e-mail : [email protected]

Abstract

This research aims to (1) determine the characteristics of the sand that is in the Balusu river, Kab. Barru (2) determine the characteristics of a mixture Marshall HRS - WC that use sand of Balusu river, Kab. Barru.

This research was conducted in the Laboratory of Materials Inspection of Roads and Bridges Highways Infrastructure Department of South Sulawesi province Km. 16 Baddoka of Makassar with briquetting / specimen for 2 sampling point river sand were then tested by Marshall testing.

The results of this study indicate that (1) the value of the characteristics sand of Balusu river, Kab. Barru meet the requirements of the Highways for fine aggregate (2) KAO values obtained in samples 1 and 2 it is same, is 6.6%. Marshall characteristic value at KAO is the value of stability in samples 1 and 2, are 1725 kg and 1550 kg meet the requirements of at least 800 kg. VIM Void In Mix samples 1 and 2 are 4.4% and 4.3% meet the requirements of 3%-6%. VMA Void In Mineral Aggregate samples 1 and 2 are 16.4% and 16.3% meets the minimum specification of 16%. VFB Void Filled Bitumen samples 1 and 2 are 73% and 73.5% meet the minimum specification of 68%. Flow samples 1 and 2 are 3.85 mm and 3.7 mm meet the specifications of at least 3 mm. Marshall Quotient value of samples 1 and 2, are 445 kg/mm and 415 kg/mm meet the requirements of at least 250 kg / mm. It can be concluded sand of Balusu River, Kab. Barru meet the requirements of Marshall characteristics and can be used on pavement. Keywords: HRS - WC, Marshall characteristics, Sand of Balusu River Kab. Barru.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui karakteristik pasir yang ada di Sungai Balusu, Kab. Barru (2) mengetahui karakteristik Marshall dari campuran HRS – WC yang menggunakan pasir Sungai Balusu, Kab. Barru.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Bahan Jalan dan Jembatan Bina Marga Dinas Prasarana Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Km. 16 Baddoka Kota Makassar dengan pembuatan briket / benda uji untuk 2 titik pengambilan sampel pasir sungai yang kemudian di uji Marshall dengan alat Marshall.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) nilai karakteristik pasir Sungai Balusu, Kab. Barru memenuhi persyaratan dari Bina Marga untuk agregat halus (2) nilai KAO yang didapatkan pada pasir 1 dan 2 sama yaitu 6.6%. Nilai karakteristik Marshall pada KAO adalah nilai stabilitas pada pasir 1 dan 2 yaitu 1725 kg dan 1550 kg memenuhi persyaratan minimal 800 kg. VIM Void In Mix pasir 1 dan 2 yaitu 4.4% dan 4.3% memenuhi persyaratan 3% – 6%. VMA Void In Mineral Aggregate pasir 1 dan 2 yaitu 16.4% dan 16.3% memenuhi spesifikasi minimal 16%. VFB Void Filled Bitumen pasir 1 dan 2 yaitu 73% dan 73.5% memenuhi spesifikasi minimal 68%. Flow pasir 1 dan 2 yaitu 3.85 mm dan 3.7 mm memenuhi spesifikasi minimal 3 mm. Nilai Marshall Quotient pasir 1 dan 2 yaitu 445 kg/mm dan 415 kg/mm memenuhi persyaratan minimal 250 kg/mm. Maka dapat disimpulkan pasir Sungai Balusu Kab. Barru memenuhi persyaratan karakteristik Marshal dan dapat digunakan pada lapisan perkerasan.

Kata kunci : HRS – WC, Karakteristik Marshall, Pasir Sungai Balusu Kab Barru.

62

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jalan merupakan pendukung utama untuk perkembangan pembangunan di Indonesia. Jalan juga melayani 80-90 % mobilisasi seluruh angkutan barang dan orang. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan pada jalan tidak dapat dihindari karena beban yang ditanggung akibat aktivitas mobilisasi angkutan orang dan barang tersebut, serta diperparah juga oleh situasi iklim di Indonesia yang tropis, kelembaban dan curah hujan yang tinggi mengakibatkan intensitas sinar matahari yang tinggi sepanjang tahun, curah hujan yang tinggi juga dapat memperpendek umur jalan sehingga banyak ditemui jalan-jalan yang sudah rusak.

Beton aspal adalah jenis perkerasan jalan yang terdiri dari campuran agregat dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan. Material-material pembentuk aspal dicampur di instalasi pencampur pada suhu tertentu, kemudian diangkat ke lokasi, dihamparkan, dan dipadatkan. Suhu pencampuran umumnya antara 145-150

0C.

Pada kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, Hot Rolled Sheet (HRS) telah banyak digunakan di Indonesia sebagai lapisan permukaan karena sifatnya yang kedap air serta tahan lama. Dengan sifat agregatnya yang bergradasi senjang dan mengandung sangat sedikit agregat yang berukuran sedang, sehingga campuran tersebut dapat menyerap kadar aspal yang relatif tinggi. Hal ini menyebabkan Hot Rolled Sheet (HRS) juga memberikan suatu permukaan yang sanggup menerima beban tanpa retak.

Hot Rolled Sheet adalah salah satu jenis campuran aspal panas yang terdiri dari campuran agregat halus, agregat kasar, filler, dan aspal. Hot Rolled Sheet memiliki susunan agregat bergradasi senjang, dimana terdapat satu bagian fraksi yang tidak terdapat dalam campuran. Hot Rolled Sheet memiliki fungsi sebagai lapisan penutup untuk mencegah masuknya air dari permukaan ke dalam konstruksi perkerasan bawahnya hingga dapat mempertahankan kekuatan konstruksi.

Sifat-sifat dari Hot Rolled Sheet antara lain adalah kedap terhadap air, tahan terhadap keausan lalu lintas, memiliki kekenyalan yang tinggi, mampu digunakan pada jalan dengan lalu lintas padat, tikungan tajam, perempatan jalan, dan daerah yang permukaan jalannya bisa menahan beban roda berat. (Ir. Masykur, M. M., 2001)

Peningkatan mutu jalan di Indonesia harus ditunjang dengan adanya bahan baku dan mutu yang baik. Di Indonesia mempunyai bahan baku yang cukup banyak yang pemanfaatannya tergantung dalam kemampuan dalam mengolah bahan baku tersebut untuk mencapai mutu yang baik dan guna pemberdayaan material lokal yang ada di daerah yang bersangkutan (Rifan Yuniartanto). Salah satu diantara bahan baku tersebut adalah pasir yang berada di Sungai Balusu Kab. Barru dengan ketersediaannya bahannya yang cukup besar.

Penelitian ini penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik campuran HRS–WC menggunakan material lokal dengan sifat yang spesifik sehingga dengan mengetahui karakteristik campuran, maka diharapkan perencana maupun pelaksana konstruksi dapat mengetahui kinerja campuran dengan menggunakan pasir balusu sebagai agregat halus.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah yang terjadi sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik pasir Sungai

Balusu Kab. Barru ? 2. Bagaimana karakteristik marshall hasil

campuran HRS-WC ?

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik pasir yang ada di

Sungai Balusu Kab. Barru. 2. Mengetahui karakteristik marshall dari

campuran HRS-WC yang menggunakan pasir dari Sungai Balusu, Kab. Barru.

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Pasir yang ada di Sungai Balusu dapat

digunakan dalam perkerasan jalan khususnya pada campuran HRS-WC.

2. Bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

63

Batasan Masalah / Ruang LingkupPenelitian Agar penelitian ini sesuai dengan yang

diharapkan, maka batasan masalah yang penulis angkat adalah : 1. Penelitian ini berupa penelitian

laboratorium. 2. Penelitian ini dilakukan di laboratorium PU

Baddoka kota Makassar. 3. Jenis perkerasan lentur yang dibuat adalah

Hot Rolled Sheet Wearing Course (HRS-WC).

4. Tidak mempertimbangkan reaksi kimia. 5. Material yang digunakan adalah:

a. Agregat kasar, agregat halus dan filler. b. Pasir Sungai Balusu, Barru. c. Aspal keras Pertamina dengan nilai

penetrasi 60/70. 6. Pengujian yang dilakukan yakni pengujian

berat jenis, berat isi, abrasi, indeks kepipihan dan Sand Equivalent untuk pemeriksaan agregat kasar dan halus. Pengujian berat jenis, penetrasi, kehilangan berat, titik nyala, titik lembek dan kelarutan dalam CHCl untuk pemeriksaan aspal dan pengujian Marshall untuk pemeriksaan benda uji.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini dikategorikan sebagai jenis penelitian kuantitatif. Data-data primer diambil dan diolah di laboratorium yang kemudian diteruskan menjadi data angka, tabel dan grafik.

.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Pemeriksaan Bahan Jalan Bina Marga Dinas Prasarana Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Km. 16 Kota Makassar (Baddoka). Adapun waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai 15 Januari 2017 hingga bulan Februari 2017.

Metode Pengumpulan Data

Data sekunder merupakan data pendukung yang dipakai dalam proses penyusunan laporan tugas akhir, dapat juga digunakan sebagai sumber dalam perhitungan optimasi proyek dengan melalui proses pengolahan data sehingga menjadi data yang siap digunakan.

Adapun data sekunder yang diperlukan adalah daftar kegiatan dan durasi waktu proyek. Sedangkan metode–metode penelusuran data yang digunakan adalah :

Metode Literatur Metode Wawancara

Alat dan Bahan

Material untuk pengujian pada penelitian ini yaitu :

Agregat berupa agregat kasar, agregat halus dan filler yaitu abu batu yang dapat diperoleh dari tambang lokal yang ada di Parepare (PT. Lumpue Indah).

Aspal keras pertamina pen 60/70. Pasir yang diambil dari 2 titik di Sungai

Balusu, Kab. Barru.

Gambar 3. lokasi pengambilan pasir Sungai Balusu ini terletak di Dusun Balusu,

Desa Balusu, Kecamatan Balusu Kab. Barru. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari masyarakat sekitar, sungai ini memiliki panjang lebih dari 10 km dan lebar sungai 10 – 15 m dengan ketebalan kandungan pasir sekitar 0.5 m. Jadi dapat dipastikan ketersediaan pasir di sungai ini cukup besar yaitu sekitar 75.000 m

3.

Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini yaitu : Pengujian berat jenis, berat isi, abrasi, indeks kepipihan dan Sand Equivalent untuk pemeriksaan agregat kasar dan halus. Pengujian berat jenis, penetrasi, kehilangan berat, titik nyala, titik lembek dan kelarutan dalam CHCl untuk pemeriksaan aspal.

Pengujian Marshall dilakukan terhadap 3 benda uji untuk masing-masing 5 kadar aspal, dengan total benda uji sebanyak 30 untuk 2 titik pengambilan pasir. Untuk menentukan rentang lima kadar aspal benda uji tersebut terlebih dahulu ditentukan kadar aspal yang menjadi nilai tengah atau perkiraan awal KAO (Pb). Selanjutnya dari nilai Pb tersebut dapat ditentukan keempat kadar aspal lainnya yaitu Pb - 1.0%, Pb - 0.5%, Pb + 0.5%, dan Pb + 1.0%.

64

Pemadatan untuk kondisi lalu lintas berat,

dilakukan sebanyak 75 kali, dengan menggunakan penumbuk Marshall. Benda uji setelah dipadatkan, disimpan pada suhu ruang selama 24 jam, kemudian benda uji ditimbang di udara, di dalam air dan dalam kondisi kering permukaan jenuh Saturated Surface Dry (SSD), untuk mendapatkan berat jenis bulk Bulk specific Gravity. Selanjutnya direndam pada temperatur 60 C selama 30 menit dan siap untuk diuji.

Pemeriksaan dimaksudkan untuk

menentukan ketahanan (stabilitas) terhadap kelelehan plastis flow dari campuran aspal dan agregat. Kelelehan plastis adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam mm.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dirancang untuk memaksimalkan penggunaan pasir pada lapisan perkerasan. Adapun hal-hal yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Kajian pustaka dan jurnal yang berhubungan

dengan judul 2. Pengambilan data hasil pemeriksaan

karakteristik material 3. Mendesain dan membuat benda uji 4. Pengujian karakteristik campuran HRS-WC

Langkah-langkah yang akan dilakukan pada penelitian ini yaitu : 1. Mengambil material agregat kasar, halus dan

filler. 2. Mengambil material pasir di 2 titik di Sungai

Balusu, Kab. Barru. 3. Melakukan pengujian agregat dalam hal ini :

a. Aspal pen 60/70 b. Agregat kasar, halus dan filler diambil dari

PT. Lumpue Indah c. Pasir diambil dari Sungai Balusu, Kab.

Barru 4. Apabila material telah sesuai dengan

spesifikasi yang digunakan, maka selanjutnya membuat benda uji.

5. Melakukan pengujian Marshall. 6. Menganalisa hasil pengujian dan membuat

kesimpulan.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Hasil pemeriksaan agregat

Analisa saringan, dilakukan terhadap chipping 1-2 sebanyak 4000 gr, chipping 0.5-1 sebanyak 2000 gr, abu batu sebanyak 1000 gr, pasir lokasi pertama dan kedua masing-masing 1000 gr.

Tabel 8. Analisa saringan agregat

1. Berat isi dilakukan untuk mengetahui nilai

berat isi agregat yang digunakan. Nilai berat isi chipping 1-2 yaitu 1.384 gr/cc, chipping 0.5-1 yaitu 1.416 gr/cc, abu batu yaitu 1.472 gr/cc, pasir lokasi pertama yaitu 1.427 gr/cc dan pasir lokasi kedua yaitu 1.425 gr/cc.

2. Berat jenis, dilakukan terhadap chipping 1-2, 0.5-1, abu batu, pasir lokasi pertama dan pasir lokasi kedua untuk mengetahui nilai berat jenis bulk, berat jenis kering permukaan jenuh, berat jenis semu dan absorpsi/penyerapan.

Tabel 9. Berat jenis agregat

3. Berat isi dilakukan untuk mengetahui nilai berat isi agregat yang digunakan. Nilai berat isi chipping 1-2 yaitu 1.384 gr/cc, chipping 0.5-1 yaitu 1.416 gr/cc, abu batu yaitu 1.472 gr/cc, pasir lokasi pertama yaitu 1.427 gr/cc dan pasir lokasi kedua yaitu 1.425 gr/cc.

4. Berat jenis, dilakukan terhadap chipping 1-2, 0.5-1, abu batu, pasir lokasi pertama dan pasir lokasi kedua untuk mengetahui nilai berat jenis bulk, berat jenis kering permukaan

65

jenuh, berat jenis semu dan absorpsi/penyerapan. Hasil pemeriksaan agregat secara

keseluruhan dapat dilihat pada tabel rekapitulasi agregat di bawah :

Tabel 10. Rekapitulasi hasil

B. Hasil Pemeriksaan Aspal

Hasil Pemeriksaan Aspal dilakukan Antara lain

1. Pemeriksaan titik nyala untuk contoh 1 dan 2

berada pada suhu 282 0C dan 279

0C.

2. Pemeriksaan kelarutan dalam CHCl untuk contoh 1 dan 2 diperoleh 99 % dan 99.5 %.

3. Pemeriksaan berat jenis untuk contoh 1 dan 2 didapatkan 1 dan 1.04.

4. Pemeriksaan berat yang hilang untuk contoh 1 dan 2 didapatkan 0.4 % dan 0.45 %. Hasil Pemeriksaan agregat halus secara

keseluruhan dapat dilihat pada tabel rekapitulasi di bawah :

Tabel 11. Rekapitulasi hasil pemeriksaan aspal

C. Penentuan Kadar Aspal Rencana

Perhitungan Pb untuk campuran yang menggunakan pasir lokasi 1 :

AK = 48.07 AH = 45.88 BP = 6.05 PB = 0.035 (48.07) + 0.045 (45.88) +

0.18 (6.05) + 1.5 = 6.34 ≈ 6.5

Angka Pb ini di bulatkan dari awalnya 6.34% menjadi 6.5% dikarenakan telah melebihi nilai tengah dari 6% – 6.5% yaitu 6.25%, juga untuk konstanta yang digunakan belum mencapai nilai maksimalnya yaitu 2.

Perhitungan Pb untuk campuran yang menggunakan pasir lokasi 2 :

AK = 48.04 AH = 45.96 BP = 6.00 PB = 0.035 (48.04) + 0.045 (45.96)

+ 0.18 (6.00) + 1.5 = 6.33 ≈ 6.5

Angka Pb ini di bulatkan dari awalnya 6.34% menjadi 6.5% dikarenakan telah melebihi nilai tengah dari 6% – 6.5% yaitu 6.25%, juga untuk konstanta yang digunakan belum mencapai nilai maksimalnya yaitu 2.

D. Analisa gabungan Agrega Penggabungan agregat adalah pencampuran

agregat kasar, aggregat halus serta filler menjadi suatu campuran yang homogen dan mempunyai susunan butir yang kita harapkan atau sesuai standar spesifikasi yang disyaratkan. Metode penggabungan agregat yang digunakan yaitu metode Trial and Error.

Prinsip kerja Metode Trial and Error

1. Memahami batas gradasi yang disyaratkan 2. Memasukkan data spesifikasi gradasi pada

kolom spesifikasi unit 3. Memasukkan prosentase lolos saringan,

masing-masing jenis batuan kedalam persentase passing

4. Memasukkan spesifikasi ideal pada kolom target value, yaitu nilai salah satu dari spesifikasi ideal yang disyaratkan.

5. Mengambil dari salah satu spesifikasi ideal dengan jenis yang ada, dalam hal ini agregat kasar, sedang dan halus kemudian dicampur ketiganya dengan jumlah 100 % dan nilai gabungannya mendekati nilai spesifikasi ideal yang kita ambil tadi Jika sudah mendekati salah satu nilai

spesifikasi ideal dari ketiga agregat tadi, yang lain dihitung atau combined dengan prosentase yang sama. Sehingga dapat dipergunakan sebagai gradasi untuk campuran aspal panas sebagai perkerasan jalan Gabungan agregat untuk campuran yang menggunakan pasir lokasi 1 dapat dilihat pada tabel dibawah :

Tabel 12. Analisa gabungan agregat

66

nilainya 90.45 dengan persyaratan antara 90-

100. Saringan 3/8” nilainya 84.16 dengan persyaratan 75-85. Saringan No.8 nilainya 51.93 dengan persyaratan 50-72. Saringan No.30 nilainya 36.54 dengan persyaratan 35-72. Terakhir saringan No.200 nilainya 6.05 dengan persyaratan 6-12. Grafik gabungan untuk pasir titik pertama ini sesuai dengan spesifikasi berada diantara batas atas dan batas bawah jadi kombinasi ini dapat digunakan pada titik pertama.

Gabungan agregat untuk campuran yang

menggunakan pasir lokasi 2 dapat dilihat pada tabel dibawah:

Grafik di atas menampilkan penggabungan material yang akan digunakan dalam pembuatan briket untuk pasir titik kedua. Saringan ½” nilainya 90.45 dengan persyaratan antara 90-100. Saringan 3/8” nilainya 84.16 dengan persyaratan 75-85. Saringan No.8 nilainya 51.96 dengan persyaratan 50-72. Saringan No.30 nilainya 36.4 dengan persyaratan 35-72. Terakhir saringan No.200 nilainya 6.00 dengan persyaratan 6-12. Grafik gabungan untuk pasir titik kedua ini sesuai dengan spesifikasi berada diantara batas atas dan batas bawah jadi kombinasi ini dapat digunakan pada titik kedua.

E. Hasil pemeriksaan Marshall

Hasil pengujian ini bertujuan untuk mencari kadar aspal optimum (KAO). Dari hasil pengujian kadar aspal rencana (Pb) didapatkan nilai sebesar 6.5%. Setelah didapatkan nilai Pbnya maka dilakukan pengujian pada beberapa variasi kadar aspal dengan Pb sebagai acuannya, variasi kadar aspalnya adalah sebagai berikut (5.5%, 6.0%, 6.5%, 7.0% dan 7.5%). Kadar aspal optimum (KAO) didapat dari tengah – tengah rentang karakteristik Marshall, yaitu VMA, VIM, VFB, Stabilitas, Flow dan Marshall Quotient yang memenuhi syarat campuran HRS-WC. Pengujian Marshall ini dibedakan menjadi 2 titik pengambilan pasir. Dilakukan terhadap 30 benda uji dengan 15 benda uji tiap 1 titik pengambilan pasir.

Hasil pengujian Marshall pada titik pertama dapat dilihat pada tabel dibawah :

67

Tabel di atas menampilkan nilai yang didapatkan dari pengujian Marshall. Nilai berat isi / kepadatan setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 2.229, 2.264, 2.299, 2.326 dan 2.351. Nilai stabilitas setiap kadar aspal berturut-turut adalah 1416.044 kg, 1677.664 kg, 1716.084 kg, 1689.593 kg dan 1459.367 kg memenuhi syarat minimal 800 kg. Nilai kelelehan setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 3.407 mm, 3.615 mm, 3.861 mm, 3.980 mm dan 4.310 mm memenuhi persyaratan minimal 3 mm. Nilai Marshall Quotient MQ setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 415.668 kg/mm, 464.050 kg/mm, 444.489 kg/mm, 424.521 kg/mm dan 338.600 kg/mm memenuhi persyaratan minimal 250 kg/mm. Nilai VIM Void In Mixture setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 8.886%, 6.772%, 4.665%, 2.867% dan 1.140% persyaratan 3% - 6% nilai ini terpenuhi pada kadar aspal 6.5%. Nilai VMA Void In Mineral Aggregate setiap kadar aspal berturut-turut 18.116%, 17.246%, 16.415%, 15.882% dan 15.434% dengan persyaratan minimal 16% terpenuhi pada kadar aspal 5.5%, 6% dan 6.5%. Nilai VFB Void Filled Bitumen setiap kadar aspal berturut-turut 50.948%, 60.731%, 71.578%, 81.946% dan 92.615% persyaratan minimal 68% nilai ini terpenuhi pada kadar aspal 6.5%, 7% dan 7.5%.

Tabel di atas menampilkan nilai yang didapatkan dari pengujian Marshall dengan spesifikasi dari setiap karakteristik Marshall. Nilai berat isi / kepadatan setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 2.216, 2.267, 2.283, 2.336 dan 2.350. Nilai stabilitas setiap kadar aspal berturut-turut adalah 1348.864 kg, 1443.487 kg, 1560.575 kg, 1556.404 kg dan 1525.540 kg memenuhi persyaratan yaitu minimal 800 kg. Nilai kelelehan setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 3.340 mm, 3.503 mm, 3.690 mm, 3.770 mm dan 4.331 mm memenuhi persyaratan yaitu minimal 3 mm. Nilai Marshall Quotient MQ setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 403.852 kg/mm, 412.032 kg/mm, 422.920 kg/mm, 412.839 kg/mm dan 352.210 kg/mm memenuhi persyaratan minimal 250 kg/mm. Nilai VIM Void In Mixture setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 9.241%, 6.494%, 5.168%, 2.294% dan 1.015% persyaratan 3% - 6% nilai ini terpenuhi hanya

pada kadar aspal 6.5%. Nilai VMA Void In Mineral Aggregate setiap kadar aspal berturut-turut adalah 18.469%, 17.032%, 16.886%, 15.415% dan 15.354% dengan persyaratan minimal 16% nilai ini terpenuhi pada kadar aspal 5.5%, 6% dan 6.5%. Nilai VFB Void Filled Bitumen setiap kadar aspal berturut-turut yaitu 49.963%, 61.872%, 69.396%, 85.119% dan 93.389% dengan persyaratan minimal 68% nilai ini terpenuhi pada kadar aspal 6.5%, 7% dan 7.5%.

F. Hubungan kadar aspal dan karakteristik Marshall

1. Kadar aspal dan berat isi/kepadatan Kepadatan / Density menunjukkan besarnya

kepadatan suatu campuran yang telah dipadatkan. Semakin besar nilai density menunjukkan bahwa kerapatannya semakin baik.

2. Kadar aspal dan stabilitas Stabilitas diartikan sebagai kemampuan lapis perkerasan dalam menerima beban lalu-lintas tanpa terjadi deformasi permanen seperti gelombang, alur atau retak 3. Kadar Aspal Dan Kelehan

Kelelehan Flow menunjukkan besarnya deformasi yang terjadi pada lapis keras akibat beban yang diterimanya

68

4. Kadar aspal dan Marshall Quotient

Marshall Quotient (MQ) didapatkan dari hasil bagi antara nilai stabilitas dengan nilai kelelehan Flow contoh pada kadar aspal 5.5% pada pasir 1, nilai stabilitas yaitu 1416.044 dan nilai kelelehan yaitu 3.407 maka didapatkan nilai MQ yaitu 1416.044 : 3.407 = 415.668 kg/mm

5. Kadar aspal dan VIM Void In Mixture VIM Void In The Mix menunjukkan

banyaknya pori dalam campuran. Semakin besar nilai VIM menunjukkan semakin porous campuran, sehingga aspal akan cepat teroksidasi.

6. Kadar aspal dan VMA Void In Mineral

Aggregate VMA Void In Mineral Aggregate

menunjukkan banyaknya rongga dalam agregat yang digunakan, semakin banyak rongga dalam agregat maka semakin banyak aspal yang diserap oleh agregat dan sebaliknya semakin sedikit rongga dalam agregat semakin sedikit pula aspal yang terserap oleh agregat

7. Kadar aspal dan VFB Void Filled Bitumen VFB Void Filled Bitumen akan menunjukkan

persen aspal yang terdapat di dalam rongga antar butiran. Semakin besar nilai VFB maka semakin banyak aspal yang terisi di dalam rongga, sehingga kekedapan campuran terhadap air dan udara semakin besar pula

G. Menentukan kadar aspal optimum (KAO) 1. Penentuan KAO campuran untuk pasir

pertama 2. Penentuan KAO campuran untuk pasir kedua

69

Setelah didapatkan nilai KAO pasir 1 dan 2 yaitu pada kadar aspal 6.6%, maka nilai karakteristik campuran pada kadar aspal tersebut :

Tabel 16. Hasil tes Marshall pada KAO

Hasil tes Marshall pada kadar aspal 6.6% yang merupakan nilai KAO yaitu berat isi / kepadatan nilainya 2.305 gr/cc untuk pasir 1 dan 2.30 gr/cc untuk pasir 2. Nilai stabilitas untuk pasir 1 dan 2 yaitu 1750 kg dan 1550 kg dengan persyaratan minimal 800 kg. Nilai VIM untuk pasir 1 dan 2 yaitu 4.3% dan 4.2% dengan persyaratan 3% - 6%. Nilai VMA untuk pasir 1 dan 2 yaitu 16.3% dan 16.3% dengan persyaratan minimal 16%. Nilai VFB untuk pasir 1 dan 2 yaitu 73.5% dan 74% dengan persyaratan minimal 68%. Nilai flow / kelelehan untuk pasir 1 dan 2 yaitu 3.85 mm dan 3.7 mm dengan persyaratan minimal 3 mm. Karakteristik terakhir yaitu MQ Marshall Quotient nilai untuk pasir 1 dan 2 adalah 452.5 kg/mm dan 420 kg/mm dengan persyaratan minimal 250 kg/mm.

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap campuran HRS-WC

menggunakan pasir Sungai Balusu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Nilai karakteristik pasir Sungai Balusu Kab.

Barru setelah dilakukan pengujian antara lain pengujian berat isi, pengujian berat jenis, dan pengujian Sand Equivalent didapatkan nilainya memenuhi spesifikasi yang dipersyaratkan oleh Bina Marga untuk agregat halus.

Nilai karakteristik Marshall setelah dilakukan

penelitian terhadap benda uji dari 2 titik pengambilan pasir maka didapatkan nilai karakteristik antara lain nilai stabilitas, VIM Void In Mix, VMA Voin In Mineral Aggregate, VFB Void Filled Bitumen, Flow / kelelehan dan Marshall Quotient memenuhi spesifikasi campuran HRS-WC yang dipersyaratkan oleh Bina Marga.

B. SARAN

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan pasir Sungai Balusu, Barru pada lapisan perkerasan lain misalnya pada campuran AC-WC.

Untuk penelitian selanjutnya dapat

difokuskan pada variasi campuran yang akan digunakan dalam lapisan perkerasan.

DAFTAR PUSTAKA AASHTO, ( 1993 ), Guide For Design of

Pavement Structure, Washington DC. Asphalt Institute, 2001, “Construction of Hot Mix

Asphalt Pavement”, Manual Series 22, Second Edition, USA.

Bina Marga. 2010. Spesifikasi Umum Bidang

Jalan dan Jembatan Revisi 3. Jakarta: Direktorat Bina Teknik.

British Standard Institution, ( 1992 ), BS 594 Part

1 & 2, Hot Rolled Asphalt for Roads and Other Paved Areas, London.

Darunifah, Nurkhayati. 2007. Pengaruh Bahan

Tambahan Karet Padat Terhadap Karakteristik Campuran Hot Rolled Sheet Wearing Course ( Hrs - Wc ). Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang

70

Departemen Kimpraswil, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Prasarana Transportasi (2002), Spesifikasi Campuran Beraspal Panas, Jakarta.

Departemen Kimpraswil. 2005. Campuran Aspal

Panas. Buku V Spesifikasi. Seksi 6.3, 25 – 44.

Departemen Pekerjaan Umum, 1987, Petunjuk

Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (Laston) untuk Jalan Raya, SNI 03-1737-1989; SKBI-2.4.26.1987, Direktorat Jenderal Bina Marga.

Departemen Pekerjaan Umum, 2005, “Panduan

Pemeliharaan Jalan”, Serial Panduan, Puslitbang Prasarana Transportasi.

Departemen Pekerjaan Umum, 2005,

“Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan”, Divisi 6 Perkerasan Aspal, Puslitbang Prasarana Transportasi.

Fauna, Adibroto. 2014. Studi Pemanfaatan Abu

Tanah Liat Bakar Asal Gunung Sarik Padang Sebagai Filler Pada Campuran Hot Rolled Sheet (HRS) – WC. Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Padang Kampus Limau Manis Padang

Krebs, D.Robert, Walker, D.Richard (1971),

Highway Material, Mcgraw-Hill Book Company New York, 385– 388.

Masykur, M. M, Ir. (2001), Analisa Uji Simulasi Pembebanan WTM pada Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston), Universitas Muhammadiah Metro

Natalia, Monika & Lusyana. 2010. Pengaruh

Penggunaan Pasir Sungai Pada Campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) Berdasarkan Spesifikasi Kimpraswil 2005. Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Padang Kampus Unand Limau Manis padang

Rahaditya, Dimas Reza. 2012. Studi

Penggunaan Serbuk Bata Merah Sebagai Filler Pada Perkerasan Hot Rolled Sheet – Wearing Course (Hrs-Wc). Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Jember.

Setiawan, Arief. 2011. Studi Penggunaan Pasir Sungai Podi Sebagai Agregat Halus Pada Campuran Hot Rolled Sheet Wearing Course (Hrs-Wc. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Tadulako. Palu

Standar Nasional Indonesia. 1991. Pengujian

Campuran Beraspal dengan Alat Marshal, SNI No. : 03-2489-1991

Sukirman, Silvia, 1992, Perkerasan Lentur Jalan

Raya, Nova, Bandung. Sukirman, Silvia, 2003. Beton Aspal Campuran

Panas, Edisi Kedua. Yayasan Obor

Indonesia. Jakarta.

Sukirman, Silvia, 2007. Beton Aspal Campuran Panas, Bandung.

Sukiman, Silvia, 2008. Beton Aspal Campuran Panas, Buku Obor, Jakarta

Sukirman, Silvia, 2012. Beton Aspal Campuran Panas, Institut Teknologi Nasional, Bandung.

Suparma, Latif budi dkk. 2008. Perancangan

Laboratorium Campuran Hrs Wc Dengan Penggunaan Buton Granular Asphalt (Bga) Sebagai Bahan Additive. Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM. Yogyakarta.

Surat dan Yasruddin, 2015. Studi Pasir Sungai

Sebagai Agregat Halus Pada Laston Permukaan (Asphaltic Concretewearing Course, Ac-Wc). Jurnal POROS TEKNIK.

Yuniartanto, S.T Rifan, Pengaruh Penggunaan

Agregat Halus (Pasir Besi) Pasur Blitar Terhadap Kinerja Hot Rolled Sheet (Hrs), Jurnal Penelitian.

Lay Out penulisan

21 cm

2,5 cm

Header 1,25 cm

3 cm 0,5 cm 2.5 cm

2 cm

FOOTER 1

Judul dibuat dengan huruf besar jenis serta ukuran font Arial 11 pt

Penulis11), Penulis21), dan Penulis3 1)

1)Lembaga Afiliasi, Alamat

2)Lembaga Afiliasi, Alamat

E-mail :

Bagian ini merupakan bagian tempat abstrak makalah yang ditulis. Jenis dan ukuran huruf yang

digunakan adalah Arial 11 point arial. Abstrak ditulis dalam bahasa

Indonesia dan English

Kata kunci: Maksimal 5 kata

Format penulisan jurnal ini terdiri dari 2

kolom dengan jarak antara kolom 0,5 cm

dengan :

o Paper size A4

o Width : 21 cm

o Hight: 29,7 cm

o Header: 1,25 cm

o Footer: 1 cm

o Top: 2,5 cm Bottom: 2,5 cm

o Left: 3 cm Rigth: 2,5 cm

PANDUAN PENULISAN

JURNAL MULTI TEKNIK REKAYASA

Judul dibuat dengan jenis serta ukuran font Arial huru f besar 11 pt

Penulis11), Penulis21), dan Penulis3 1) 1)Lembaga Afiliasi, Alamat 2)Lembaga Afiliasi, Alamat

E-mail :

Abstrak Bagian ini merupakan bagian tempat abstrak makalah yang ditulis. Jenis dan ukuran huruf yang digunakan adalah Arial 11 point Arial. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan English.

Kata kunci: Personal Computer, Automation, Future Trends, Smart Systems

1. PENDAHULUAN Struktur makalah harus ditulis dengan huruf jenis dan ukuran Arial font 11 pt. Dengan format rata kanan-kiri dan ukuran spasi adalah satu (single). Makalah dapat dituliskan dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja, berdasarkan abstrak yang ditulis. Seluruh persamaan – persamaan pada makalah pada makalah harus diberikan tanda penomoran persamaan seperti pada contoh di bawah ini.

( )

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh tabel, gambar, grafik dan gambar diagram skema harus diletakkan seperti pada gambar di bawah ini. Tabel 1 kinerja pada bagian koefisien (hasil pendahuluan)

Melalui penulisan makalah ini, penulis harus mencantumkan rujukan citisari dengan bentuk simbol angka [1], [2], atau [3]. Angka didasarkan pada peletakan pada bibliography, tidak menampilkan berdasarkan teks. Rujukan dibuat secara berurutan. Gambar 1 Rekonstruksi ruang fasa dari data yang menggunakan waktu delay yang telah ada pada visualisasi 3D (8pt).

1. KESIMPULAN

Format contoh ini memberikan penulis sebagai format siap cetak untuk JURNAL LOGIKA DAFTAR KEPUSTAKAAN [1] Tanuwijaya, Z.A.T, Liong, T.H. and

Adhipurna, L. G., “Identifikasi sistem dan prediksi deret waktu dengan teknik aproksimasi”, Seminar Komputasi 2001, Bandung, 7-8 November 2001.

[2] Balogh, L. and Kollar, I., “Generalization

of a Total Least Squares Problem in Frequency Domain System Identification”, IEEE Trans. Instrum. Meas. 51, 1353 (2002)

[3] Joe D, Hoffman, E., Numerical Methods

for Engineers and Scientists, New York, McGraw Hill, 1993, p. 88.

Tabel 1

Gambar 1

MATRIKS

TEKNIK SIPIL Volume 1 No. 1 1 – 100 Hal. Parepare,

Agustus 2012

ISSN:

JURNAL

JURNAL

MATRIKS TEKNIK SIPIL