Matrik SDA 01

27

description

Penjelasan tentang upaya konservasi dalam pelestarian SDA

Transcript of Matrik SDA 01

  • KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

  • Konservasi A.1. Lahan Kri8s DAS Ciliwung seluas 34.700 ha merupakan salah satu DAS yang mencakup dua wilayah provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta dan melintasi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Jakarta, dan bermuara di teluk Jakarta. Panjang sungai utama Sungai Ciliwung 117 km (Pawitan 2002). Berdasarkan wilayah pengelolaannya DAS Ciliwung dibagi ke dalam Pga bagian yaitu bagian hilir, bagian tengah dan bagian hulu.

    Wilayah bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk dalam wilayah pemerintahan Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, dan kemudian mengarah ke hilir lagi hingga masuk ke saluran buatan Kanal Barat. Di wilayah hilir ini Sungai Ciliwung melintasi wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. SubDAS bagian tengah, aliran Sungai Ciliwung melintasi wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede, dan Cimanggis), Kota Bogor (Bogor Timur, Bogor Utara, dan Tanah Sereal) dan Kota Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya, dan Beji). Bagian hulu DAS Ciliwung melipuP sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cisarua, dan Sukaraja), dan Kota Bogor (sebagian kecil Kecamatan Bogor Timur). DAS Ciliwung Hulu seluas 14.860 ha terdiri dari 6 sub-DAS (Sub DAS Ciesek seluas 2.504,76 ha terletak di Kecamatan Megamendung dan Cisarua; Sub DAS Ciliwung Hulu seluas 5.885,78 ha terletak di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua; Sub DAS Cibogo seluas 1.375,40 ha terletak di Kecamatan Ciawi, Megamendung dan Cisarua; Sub DAS Cisarua seluas 2.218,92 ha terletak di Kecamatan Cisarua; Sub DAS Cisukabirus seluas 1.696,91 ha terletak di Kecamatan Ciawi dan Megemendung; Sub DAS Ciseuseupan seluas 1.178,23 ha terletak di Kecamatan Ciawi dan Megamendung). Secara administraPf DAS Ciliwung Hulu mencakup 30 desa di Kabupaten Bogor yaitu 2 desa (Kecamatan Sukaraja), 7 desa (Kecamatan Ciawi), 10 desa (Kecamatan Cisarua), 11 desa (Kecamatan Megamendung) dan 1 desa di Kecamatan KotaBogor Timur.

  • Konservasi A.1. Lahan Kri8s Sub DAS Ciliwung Hulu mempunyai batas sebagai berikut:

    (1) sebelah Pmur berbatasan dengan DAS Cikarang Gabah, DAS Citarum (2) sebelah barat berbatasan dengan DAS Cisadane (3) sebelah utara berbatasan dengan DAS Cikeas Bekasi (4) sebelah selatan berbatasan dengan DAS Cikundul.

    Berdasarkan data kalangan akademisi yang fokus mengkaji tata ruang dan perubahan alih fungsi lahan di kawasan Puncak,saat ini pembangunan vila/penginap hingga restoran dalam satu tahun terakhir (2013) semakin sporadis. PeneliP senior dari Pusat Pengkajian Pengembangan Pembangunan Wilayah (P4W) InsPtut Pertanian Bogor (IPB) Ernan RusPadi menjelaskan, semakin maraknya pembangunan di wilayah Puncak serta lemahnya pengendalian dan pengawasan tata ruang di Pngkat pemerintah baik pusat maupun daerah berdampak pada kian kriPsnya kondisi kawasan Puncak. Tim Survei yang beranggotakan 5 orang mahasiswa IPB memaparkan hasil survei potensi lahan kriPs yang tersebar di Sub DAS Ciliwung Hulu (Mei 2015) di hadapan Walikota dan Bappeda Kodya Bogor serta pihak swasta peduli terhadap lingkungan. Dalam penjelasan ini dijelaskan bahwa potensi lahan kriPs yang ditemui di Sub DAS Ciliwung Hulu sebanyak 6796,38 hektar. Dari total potensi lahan kriPs tersebut, sebanyak 15% lahan telah terkonrmasi dapat dihijaukan.

    Menanggapi hasil survei tersebut, para peserta diskusi menyatakan dukungannya terhadap gerakan penghijauan di Sub DAS Ciliwung Hulu. Bahkan dukungan langsung secara penuh diberikan oleh Walikota Bogor, Bima Arya serta Dan Paspampres yang juga pendiri Paguyuban Budiasih, Mayjen (TNI) Doni Monardo. Selain dukungan, beberapa saran juga diutarakan oleh para peserta diskusi agar penghijauan yang akan dilaksanakan berjalan opPmal. Para peserta meminta agar kegiatan penghijauan melakukan pendekatan kultural terhadap masyarakat sekitar Sub DAS agar masyarakat juga merasa memiliki terhadap sePap pohon yang akan ditanam.

  • Konservasi A.1. Lahan Kri8s Pengelolaan DAS merupakan masalah serius karena luas lahan kriPs meningkat yang diakibatkan oleh pengelolaan lahan yang Pdak sesuai dengan kesesuaian dan kemampuannya dan Pdak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air, serta perubahan po la penggunaan lahan bervegetasi.

    Tekanan pembangunan yang Pnggi pada sub DAS Ciliwung Hulu menyebabkan DAS ini tergolong salah satu DAS yang mengalami degradasi. Kondisi ini dicirikan oleh pengelolaan lahan yang Pdak sesuai dengan kemampuannya dan Pdak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air, serta perubahan pola penggunaan lahan bervegetasi. Fakhrudin (2003) mengemukakan bahwa, berdasarkan hasil analisis penggunaan lahan, luas permukiman di sub DAS Ciliwung meningkat secara subtansial dari 1990 sampai 1996 (meningkat 67,88%). Penurunan luas lahan pertanian dan hutan, dan peningkatan luas lahan terbangun tersebut telah meningkatkan debit puncak hidrograf pada Stasiun Katulampa dari 150 m3 dt-1 menjadi 205 m3 dt-1. Jenis penggunaan lahan pada suatu DAS sangat mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut. Penggunaan lahan tahun 2010 yang terdapat di DAS Ciliwung Hulu berdasarkan proses delineasi adalah kebun campuran (38%), hutan sekunder (19,9%), tegalan/ladang (17%), perkebunan (15,5%), pemukiman (7%), hutan primer (1,8%), semak/belukar (0,7%) dan tanah terbuka (0,1%).

  • Konservasi A.1. Lahan Kri8s

    Gambar: Teras Bangku

    Gambar: Penanaman Lorong Gambar: Strip Rumput

    Teknik Konservasi Tanah dan Air Secara Sipil Teknis: 1. Teras gulud 2. Teras bangku Secara VegetaPf: 1. Pertanaman lorong (alley cropping) 2. Silvipastura 3. Strip rumput 4. Pemberian bahan mulsa Secara Kimiawi: Pemberian soil condiPoner

  • Konservasi A.1. Lahan Kri8s Terdapat beberapa teknik konservasi tanah dan yang sering diterapkan adalah konservasi dengan cara; teras bangku, penanaman menurut kontur dan penanaman strip. Dari kePga teknik konservasi tanah yang diaplikasikan, berdasarkan hasil peneliPan teknik konservasi teras bangku merupakan teknik konservasi yang paling efekPf dalam menghambat aliran permukaan hingga 79,21 %. Sedangkan penggunaan aplikasi hanya dapat menghambat aliran permukaan hingga 56,09%.

    Gambar: Aliran permukaan (mm) tahun 2011 Gambar: Aliran permukaan (mm) tahun 2011 setelah aplikasi teras bangku dan agroforestri

  • Konservasi A.1. Lahan Kri8s Secara keseluruhan, berdasarkan hasil survei dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu jumlah total potensi lahan kriPs, jumlah total bibit yang dibutuhkan dalam program penghijauan ke depannya, serta skenario penghijauan yang diprediksi dapat mengurangi 42% atau 677 mm/tahun aliran limpasan di Sub DAS melalui metode SWAT (Soil and Water Assessment Tool). Tim Survei juga merekomendasikan beberapa hal terkait penghijauan yang akan dilakukan di Sub DAS Ciliwung Hulu, seperP penyuluhan dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat sekitar, pemberian bibit graPs yang bertahap sesuai dengan kemampuan masyarakat, serta kondisi bibit yang bagus dan bebas penyakit. Ide pemberian insenPf (reward) bagi masyarakat yang bersedia merawat hasil penghijauan juga muncul dari para peserta diskusi. Hal ini ditujukan agar penghijauan yang kelak dilakukan Pdak hanya bermanfaat bagi lingkungan, namun juga dapat menunjang perekonomian warga sekitar. Sehingga animo warga untuk menghijaukan lahannya dengan berbagai jenis pohon semakin meningkat dan antusias.

    Gambar: Walikota Bogor Gambar: Rapat Koordinasi Gambar: Paguyuban Budiasih

  • Konservasi A.2. Ruang Terbuka Hijau Ketersediaan RTH eksisPng yang dapat dikategorikan sebagai RTH publik di DKI Jakarta adalah sebesar 10,46% dari luas DKI Jakarta. Jakarta Timur memiliki luas RTH (diluar RTH Private) terPnggi di susul oleh Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, sedangkan Jakarta Pusat memiliki RTH kurang lebih 10% dari keseluruhan RTH yang ada Kurang lebih 57% dari RTH yang ada adalah RTH Hijau Umum, disusul RTH Rekreasi dan RTH taman masing-masing sebesar kurang lebih 16% dan 12 %. RTH lindung (di luar Kepulauan Seribu) hanya terdapat pada Jakarta Utara Pengembangan RTH terkendala oleh:

    1) semakin luasnya lahan terbangun sejak Pga dekade yang lalu; 2) harga lahan akan semakin sangat Pnggi; sistem penguasaan dan pemilikan lahan; 3) okupasi lahan peruntukan terbuka hijau tanpa ijin; 4) keterbatasan pendanaan Pemerintah dalam penyediaan dan pemeliharaan RTH; 5) kendala dalam proses pembebasan lahan untuk RTH; 6) pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan RTH menyangkut berbagai pihak; 7) masih terbatasnya peranserta masyarakat dalam penyediaan dan peningkatan kinerja RTH.

  • Konservasi A.3. Penyempitan Badan Air Upaya konservasi air Pdak harus dilakukan dengan membangun bendungan besar (seperP waduk Ciawi), karena pembangunan prasarana pengairan dengan biaya yang besar harus diPnjau dari B/C nya. Pengelolaan air untuk penanggulangan banjir atau kekeringan di suatu DAS harus memperPmbangkan aspek sumberdaya lahan, hidrologi dan iklim. Dengan memperPmbangkan kePga aspek tersebut, pembangunan dam parit (channel reservoir) di wilayah hulu dapat dijadikan pilihan untuk menanggulangi kekurangan air di musim kemarau dan banjir di musim hujan, disamping pembangunan waduk dan rehabilitasi situ di wilayah tengah. Sungai Ciliwung yang berhulu di daerah Puncak, Bogor (komplek Gunung Gede dan Pangrango) dan bermuara di Jakarta mempunyai karakterisPk yang cenderung menyebabkan rawan banjir. Daerah tangkapan air Sungai Ciliwung baik bagian Tengah (Bogor-Depok) maupun di Hulu (Puncak) telah terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan bertanaman (permeable) menuju ke lahan impermeable. Sementara itu di bagian Hilir (Jakarta) nampak perubahan penggunaan lahan permeable ke impermeable bukan saja terjadi pada areal yang jauh dari sungai, namun telah banyak terjadi pula di wilayah bibir sungai sehingga bukan saja areal resapan yang makin sempit, tetapi daya tampung sungai juga mengecil pula. Dengan demikian maka daerah aliran sungai Ciliwung menjadi sangat rawan terhadap banjir. Disisi lain kekeringan merupakan kondisi kekurangan air pada suatu daerah untuk suatu periode waktu tertentu yang mengakibatkan terjadi desit kelembaban tanah. Faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan adalah anomali iklim, strategi pengelolaan air yang Pdak esien dan pemilihan komoditas yang Pdak sesuai dengan ketersediaan air. Bila dilihat secara sepintas daerah sekitar Bogor sebagai kota hujan hampir Pdak mungkin terjadi kekeringan, namun kenyataannya akibat anomali iklim dan perubahan penggunaan lahan daerah ini masih terjadi kekeringan meterologis yang berdampak pula terjadinya kekeringan, agronomis dan sosio-ekonomis selama beberapa bulan di musim kemarau.

  • Konservasi A.3. Penyempitan Badan Air Dam parit dibangun pada badan sungai orde 2 atau 3 dapat menampung aliran permukaan dengan kapasitas tertentu untuk memperbesar daya tampung sungai, menghambat kecepatan aliran (waktu respon) dan mengurangi volume.

    Kegiatan peneliPan (2005) yang pernah dilakukan di Sub DAS Cibogo yang mempunyai luas daerah tangkapan air seluas 124,5 ha dan areal target irigasi seluas 26,4 ha. Aliran mikro sungai Cibogo secara hirarkhi sungai termasuk orde 3 akan mengalir melalui anak sungai sub DAS Sukabirus (orde 4) yang kemudian bermuara di sungai Ciliwung di Gadog (orde 5). Sub DAS Cibogo secara administrasi termasuk ke dalam wilayah desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.

    Teknologi dam parit dapat dipilih untuk mengatasi banjir dan kekeringan, bila dibandingkan dengan teknologi sejenis seperP embung, keunggulan dam parit antara lain adalah:

    1. Dapat menampung air dalam volume besar, karena mencegat dari saluran / parit. 2. Tidak menggunakan areal produkPf. 3. Dapat mengairi lahan cukup luas, karena dibangun berseri (cascade series) di seluruh DAS. 4. Dapat menurunkan kecepatan aliran permukaan, sehingga dapat mengurangi erosi permukaan

    (tanah lapisan atas yang subur), dan sedimentasi. 5. Terdapat kesempatan (waktu dan volume) meresap/ menyimpan air ke dalam tubuh tanah

    (recharging) di seluruh DAS, sehingga mengurangi risiko kekeringan pada musim kemarau. 6. Biaya pembuatan relaPf lebih murah (50 s/d 100 jt).

  • Konservasi A.3. Penyempitan Badan Air

    Gambar: DAS Cibogo

    Dari hasil peneliPan diperoleh h a s i l s e b a g a i b e r i k u t : Pembangunan 2 buah dam parit berPngkat dengan daya tampung 800 m3 dan 1200 m3 dapat memberikan pengurangan debit puncak s ebesa r 66% dan penambahan waktu respon 1 jam 6 menit. Di musim kemarau terkering (Agustus-September) air yang ditampung dalam dam par i t dapat meningkatkan ketersediaan air bagi kebutuhan tanaman, ternak dan domesPk dari 4% sebelum ada dam parit menjadi 98% dengan pengaturan pemberian air sesuai dengan kebutuhan.

  • Konservasi A.3. Penyempitan Badan Air

    Pembangunan waduk di wilayah tengah seluas 25 ha, biayanya akan setara dengan pembangunan 2000 s/d 5000 dam parit, dan manfaatnya hampir setara pembangunan waduk Ciawi.

  • Konservasi A.3. Penyempitan Badan Air

    Luas Situ menurut Daerah Aliran Sungai Luas Situ menurut Kabupaten/Kota

    Dafar Situ-Situ yang Hilang Sumber : WJEMP 3-9

    Gambar: Situ Babakan 30 Ha

  • Konservasi A.4. Air Tanah Air tanah merupakan komponen dari suatu sistem daur hidrologi (hydrology cycle) yang terdiri rangkaian proses yang saling berkaitan antara proses atmosferik, proses hidrologi permukaan dan proses hidrologi bawah permukaan. Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang Pdak pernah berhenP dari atmosr ke bumi dan kembali ke atmosr melalui evaporasi , transpirasi, kondensasi dan presipitasi. Sumber air tanah berasal dari air yang ada di permukaan tanah (air hujan, air danau dan sebagainya) kemudian meresap ke dalam tanah/akuifer di daerah imbuhan (recharge area) dan mengalir menuju ke daerah lepasan (discharge area). Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan aliran air tanah di dalam akuifer dari daerah imbuhan ke daerah lepasan cukup lambat, memerlukan waktu lama bisa puluhan sampai ribuan tahun tergantung dari jarak dan jenis batuan yang dilaluinya. Pada dasarnya air tanah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui akan tetapi jika dibandingkan dengan waktu umur manusia air tanah bisa digolongkan kepada sumber daya alam yang Pdak terbaharukan. Air tanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akuifer) di bawah permukaan tanah, mengisi ruang pori batuan dan berada di bawah water table. Akuifer merupakan suatu lapisan, formasi atau kumpulan formasi geologi yang jenuh air yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan meluluskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis, serta bentuk dan kedalamannya terbentuk kePka terbentuknya cekungan air tanah. Cekungan air tanah (CAT) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperP proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Potensi air tanah di suatu cekungan sangat tergantung kepada porositas dan kemampuan batuan untuk meluluskan (permeability) dan meneruskan (transmissivity) air. Kelulusan tanah atau batuan merupakan ukuran mudah atau Pdaknya bahan itu dilalui air. Air tanah mengalir dengan laju yang berbeda pada jenis tanah yang berbeda. Air tanah mengalir lebih cepat melalui tanah berpasir tetapi bergerak lebih lambat pada tanah liat.

  • Konservasi A.4. Air Tanah Jakarta, ibu kota Republik Indonesia, terus berkembang dengan sangat pesat, hingga kini banyak dibangun infrastruktur di bawah tanah. Sejak awal berdirinya, air tanah merupakan sumber air yang penPng untuk ibu kota ini. Jumlah penduduk dan akPvitas pembangunan telah menyebabkan tekanan pada air tanah Jakarta. Penggunaan air tanah dari dasawarsa ke dasawarsa yang terus meningkat hingga saat ini telah menimbulkan beberapa dampak penPng, baik kuanPtas maupun kualitas, yang perlu segera diatasi.

    Konservasi air tanah telah dilakukan dan perlu terus dilakukan untuk mengatasi dampak tersebut. Jakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan industri di Indonesia pun kini dituntut untuk mampu menata ruang di bawah tanahnya. Dalam kaitan ini, upaya konservasi air tanah Jakarta perlu menjadi perhaPan, karena pembangunan di bawah tanah Jakarta jangan sampai berbenturan dengan upaya konservasi air tanah tersebut. Untuk itu, bukan saja kondisi batuan di bawah tanah Jakarta yang terlebih dahulu harus diketahui, melainkan juga keadaan air tanahnya. Informasi terkini tentang air tanah dan kendala yang mungkin diPmbulkannya dalam pembangunan bawah tanah Jakarta mutlak diperlukan dan dipahami terlebih dahulu oleh semua pihak yang terkait pembangunan tersebut. Guna memenuhi kebutuhan akan air domesPk, Jakarta belum dapat sepenuhnya mengandalkan fasilitas pengolahan air bersih yang bersumber dari air permukaan. Sebagai contoh, pada pertengahan 1990 produksi pengolahan air tercatat sebesar 347 juta m3 per tahun yang diperkirakan hanya mampu melayani 25-30% dari total kebutuhan domesPk dan 45% dari jumlah kebutuhan industri dan kegiatan komersial lainnya dan hingga saat inipun hanya mampu dilayani 56% dari kebutuhan. Oleh sebab itu kebutuhan akan air tanah menjadi besar. Pemenuhan kebutuhan akan air tanah untuk industri dan komersial diperoleh dari sumur bor dalam (deep wells).

  • Konservasi A.4. Air Tanah Sebagai akibatnya, di Jakarta terjadi penurunan kuanPtas, kualitas, dan lingkungan air tanah seperP debit air tanah yang menurun secara drasPs, pencemaran air tanah, dan amblesan tanah. Keadaan ini dan pengaruhnya terhadap bangunan bawah tanah perlu diketahui secara lebih terinci dan dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan ruang bawah tanah Jakarta. Air dari sumur bor yang dibangun pada 1848 di Benteng Fort Prins Hendrik Batavia, daerah sekitar Masjid IsPqlal Jakarta kini, selain sumber air bagi kebutuhan Jakarta juga merupakan awal pemanfaatan air tanah pada sistem akuifer dalam (deep aquifer system) di Indonesia. Secara hidrogeologi, pembentukan air tanah terjadi dalam suatu sistem yang disebut cekungan air tanah (CAT), demikian pula di Jakarta. CAT Jakarta terdiri atas beberapa sistem akuifer dan akuitar yang masing-masing memiliki kedalaman, ketebalan dan transmisivitas tertentu bergantung batuan penyusun, posisi, geometri, dan hubungan di antaranya. Akuifer (Inggris:aquifer ) merupakan lapisan batuan yang mampu menyimpan dan mengalirkan air tanah dalam jumlah ekonomis, sedangkan akuitar (aquitard ) sebaliknya, yaitu lapisan batuan yang Pdak mampu atau kurang mampu menyimpan dan mengalirkan air tanah secara ekonomis. Secara umum akuifer dibagi menjadi akuifer tertekan yang umumnya berada lebih dalam, yaitu akuifer yang dibatasi oleh akuitar yang sempurna di bagian atas dan bawahnya, dan akuifer tak tertekan yang biasanya dijumpai lebih dangkal, yaitu akuifer yang bagian atasnya Pdak dibatasi oleh akuitar. Di masyarakat umum, air tanah Dalam sistem hidrogeologi Jakarta, akuitar yang dibentuk oleh endapan Holosen (kl. 11.000 tyl - sekarang) dan aquifer yang dibentuk oleh batuan kipas volkanik berumur Pleistosen Atas (kl. 2 juta 11.000 tyl) merupakan satuan yang dapat diidenPkasi dengan mudah. Secara umum, sangatlah sulit atau bahkan Pdak mungkin mengidenPkasi sePap unit akuifer dan akuitar yang dijumpai dalam urutan (sekuen) endapan laut dan non laut berumur Kuarter.

  • Konservasi A.4. Air Tanah

    Peta Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta tanpa skala, berbatasan dengan CAT Karawang-Bekasi di sebelah Pmur, CAT Bogor di selatan, dan CAT Serang-Tanggerang di barat, dengan garis warna biru menunjukkan batas CAT, mengandung informasi t en t ang po ten s i a t au produkPvitas air tanah yang ditunjukkan oleh warna peta, yaitu: produkPvitas/potensi sangat Pnggi-Pnggi, warna biru tua-biru; sedang-rendah (hijau-hijau muda), sangat rendah daerah langka air tanah (kuning coklat)

  • Konservasi A.4. Air Tanah Akibatnya, sekuen tersebut sulit dibedakan, dan merupakan sistem akuifer-akuitard yang sangat kompleks. Untuk alasan prakPs, dalam pembagian sistem akuifer yang dibentuk oleh endapan Kuarter, mengacu kepada Soekardi Poespo Wardoyo (1987), digunakan acuan kedalaman berikut:

    0-40 meter di bawah muka tanah setempat (m bmt), 40-140 m bmt, 140-200 m bmt, dan 200-250 m mt sebagai pembatas.

    Alas sistem akuifer-akuitar ini dibentuk oleh endapan Miosene (kl. 23 juta s.d 5 juta tyl) yang tersingkap di sekitar batas selatan cekungan. Endapan cekungan tersebut terdiri atas endapan Kuarter yang memiliki ketebalan mencapai sekitar 300 m.

  • Konservasi A.4. Air Tanah Menurut Schmidt dan Haryadi (1985), pada 1918 kePka masa awal pemanfaatan air tanah di Jakarta, jumlah pengambilan air tanah (Qabs) yang berasal dari sistem akuifer kedalaman 0-60 m, 60-100 m, 100-150 m, 150-200 m, 200-250 m, dan 250-300 m tercatat sekitar 3,42 juta m3/tahun. Pengambilan air tanah berkembang secara intensif sejak 1968 dengan 10,3 juta m3 volume air tanah per tahun diambil dari sistem akuifer produkPf melalui 325 sumur bor yang terdafar.

    Volume pengambilan air tanah maksimum sekitar 33,8 juta m3 terjadi pada 1994 yang dipompa melalui 3.018 sumur produksi. Terjadi penurunan pengambilan air tanah yang cukup berarP dari 22,6 juta m3 per tahun pada 1997 hingga 16,4 juta m3 per tahun pada 1999. Hal ini mungkin disebabkan krisis ekonomi. Namun, pada periode setelah itu, pengambilan air tanah terus meningkat sePap tahunnya hingga mencapai 23,6 juta m3 pada 2004. Data terakhir, yakni 2012, menunjukkan volume pengambilan air tanah yang naik kembali menjadi sebedar 45,55 juta m3 yang diambil melalui sebanyak 1.887 sumur bor produksi. Pengambilan air tanah sejauh ini telah menimbulkan beberapa dampak yang menimbulkan kerugian atau ancaman bagi lingkungan. Dampak tersebut antar lain berupa penurunan jumlah air tanah yang cukup mencolok, penyusupan air laut ke dalam sistem air tanah di darat (intrusi air laut) sehingga kadar garam (salinitas) air tanah di beberapa tempat meningkat, dan amblesan tanah.Jumlah air tanah di Jakarta telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang terus menurun. Hal ini diketahui berdasarkan turunnya muka air tanah (MAT) yang diukur pada sumur, baik sumur dangkal milik penduduk, maupun sumur dalam atau sumur bor melalui pemantauan secara berkala.

  • Konservasi A.4. Air Tanah Pada 1910, muka piezometrik di daerah Jakarta Utara berada pada 12,5 m di atas muka laut (m.aml). Kedudukan muka piezometrik tersebut berubah menjadi berada pada kedudukan sekitar muka laut (0 m.aml) pada 1970, dan kemudian berubah semakin dalam menjadi antara 30-50 m di bawah muka laut (m.bml) pada 1990. Hasil pemantauan MAT Jakarta selama periode 1982-1994 menunjukkan adanya penurunan MAT pada sePap sistem akuifer.

    Muka air tanah freaPk umumnya turun dengan relaPf kecil, sekitar 0,40 m/ tahun selama 10 tahun. Adapun MAT piezometrik cenderung turun dengan kecepatan 0,5-1,5 m/tahun untuk akuifer tertekan bagian atas, dan turun 0,6-1,2 m/tahun untuk akuifer tertekan bagian bawah. Peta sebaran lokasi MAT freaPk dan MAT piezometrik telah dibuat berdasarkan data hasil pengukuran pada Desember 2011 oleh Taat SePawan, d.r.r.. Hasilnya menunjukkan telah hadirnya kerucut penurunan MAT (cone of groundwater depression) suatu indikasi telah terjadinya degradasi air tanah yang berbahaya bagi lingkungan dengan sebaran sbb: 1) pada sistem akuifer Pdak tertekan di Pmur laut (daerah Cilincing dan Kelapagading, MAT mencapai 3,0 m bml); 2) pada sistem akuifer tertekan di barat laut (daerah Penjaringan, MAT 53 m. bml), dan 3) di bagian Pmur daerah dataran (daerah Cakung, MAT 40 m.bml). Hingga sekitar 1970, sejumlah volume air tanah dilepaskan ke laut di utara Jakarta karena landaian hidraulik air tanah garis batas antara MAT dan muka air laut - dominan mengarah ke pantai. Setelah periode 1970, kePka pengambilan air tanah mulai melonjak, landaian hidraulik air tanah berbalik, mengarah ke darat. Hal ini mengakibatkan air laut mulai menyusup ke dalam sistem akuifer (di darat). PerisPwa ini dikenal sebagai intrusi air laut. Volume penyusupan air laut sekitar 2,0 juta m3/tahun pada pertengahan 1980 (Schmidt & Soefner, 1988).

  • Konservasi A.4. Air Tanah Pengisihan Air Tanah Groundwater Recharging Berdasarkan hasil groundwater monitoring 51 sumur di sekitar Jakarta, dapat disimpulkan bahwa level muka air jakarta atau lapisan aquifer berada pada kedalaman; 0-40 meter, 40-95 meter, 95-140 meter, 140-190 meter dan 190-250 meter. Berdasarkan hasil groundwater monitoring 51 sumur di sekitar Jakarta, dapat disimpulkan bahwa level muka air jakarta atau lapisan aquifer berada pada kedalaman; 0-40 meter, 40-95 meter, 95-140 meter, 140-190 meter dan 190-250 meter. Area recharge dari aquifer pada kedalaman lebih dari 40 m berada di daerah selatan Jakarta, dan air dari wilayah Bogor menjadi aliran permukaan pada wilayah selatan Jakarta karena adanya formasi Bojong Manik (membendung aliran dalam tanah). Sementara itu untuk aquifer recharge pada kedalaman sekitar 95 m berasal dari wilayah Tenggara dan Barat Daya dari basin area. Dan yang terakhir aquifer recharge pada kedalaman sekitar 140 m berada di wilayah Tenggara dari basin area. Berkaitan dengan hal tersebut di atas daerah disekitar lokasi studi sangat tepat bila dijadikan sebagai aquifer recharge baik untuk aquifer dengan kedalam sekitar 90 m atau 140 m.

  • Konservasi A.4. Air Tanah

    Discharge Area

    Recharge Area

    Recharge Area

    Discharge Area

    Groundwater management issues in the Great Jakarta area, Indonesia

  • Konservasi A.5. Pantai dan Hutan Bakau Suaka Margasatwa Muara ANGKE terletak di Jakarta Utara, DKI Jakarta, memiliki luas 25,02 ha. Kawasan konservasi insitu ini ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 097/Kpts-II/1988, 29 Februari 1988. Suaka margasatwa Muara Angke dihuni oleh burung dengan jenis cangak abu(Ardea cinerea), pecuk ular (Anhinga melanogaster), bluwok (Mycteria cinerea), kowak malam(NycIcorax nicIcorax), cangak merah (Ardea purpurea), kuntul besar (EgreLa alba), kuntul kecil (EgreLa garzeLa), kuntul sedang (EgreLa intermedia), kuntul karang (EgreLa sacra), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), roko-roko (Plegadis falcinellus), pelatuk besi (Threskiornis melanocephalus) dan sebagainya, oleh karena sebagian besar burung tersebut mencari makan di pesisir Teluk Jakarta. Macaca fascicularis yang dikenal sebagai Monyet Ancol juga menghuni kawasan ini, yang diperkirakan jumlahnya Pnggal 40 ekor. Fauna liar lainnya yang dijumpai adalah kelompok repPlia, seperP Biawak (Varanus salvator), Kadal (Mabula mulPfasciata), ular Hijau (Dryophis prasinus) dan ular Cincin (Boiga dendrophila)

    Secara keseluruhan, kawasan hutan yang ada di Provinsi DKI Jakarta dibedakan atas; hutan lindung, hutan koservasi, dan hutan kota. Hutan lindung mempunyai fungsi khusus sebagai pelindung tata air, pencegah erosi, banjir, abrasi pantai dan pelindung terhadap Pupan angin. Kawasan hutan lindung yang ada di DKI Jakarta seluruhnya merupakan hutan payau/bakau, pada tahun 2010 luasnya mencapai 44,76 Ha dan Pdak mengalami perubahan selama kurun waktu 2010. Hutan konservasi di DKI Jakarta mencapai 188,02 Ha terdiri dari hutan cagar alam dan suaka margasatwa seluas 88,20 Ha dan hutan taman wisata alam seluas 99,82 Ha. Sedangkan Hutan Kota di DKI, sampai dengan tahun 2010, tersebar di 47 lokasi dan diperkirakan luasnya sekitar 571,82 Ha. Luas hutan kota ini jauh lebih besar dibandingkan dengan luas hutan alami (hutan lindung dan hutan konservasi) yang ada di DKI Jakarta atau sekitar 70,68 persen dari total luas hutan di DKI Jakarta (809,00 Ha).

  • Konservasi A.5. Pantai dan Hutan Bakau Pantai, laut dan ombak adalah sisPm alam. Ombak yg menerjang pantai dapat diperhitungkan, tetapi bagaimana kalau Pba-Pba ada daratan baru?. SisPm ombak lama kelamaan akan bergeser, dan bisa mengakibatkan daratan di seberangnya atau di sebelahnya, tergerus ombak. Atau ombak itu bisa bergeser Pdak ke pantai utara Jakarta, tetapi Pba-Pba lari ke pantai Sumatra bahkan bisa ke Negara tetangga. Oleh karena itu dalam revitalisasi harus benar-benar diperhitungkan pola arus banjir dan aerodinamika laut dalam Analisa mengenai Dampak Lingkungan (Amdaldemi kelestarian lingkungan.

    Hutan mangrove (hutan bakau) salah satu yang harus di buat jika mau me-reklamasi pantai.

    Hutan bakau (mangrove): hutan bakau termasuk ke dalam Ppe hutan pantai yang paling umum dijumpai di daerah pantai yang relaPve terlindungi dari hempasan gelombang baik itu di daerah tropis maupun subtropis. Kemampuannya untuk bertahan di rawa-rawa dengan tanah yang anoxic (minim oxygen terlarut) merupakan kunci keberhasilan beradaptasi di daerah transisi ini. Species bakau sangat beragam, ada bakau merah (Rhizophora), bakau tancang, api-api, dll.

    Hutan bakau atau hutan pantai/pesisir memegang peranan penPng baik itu dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem pantai maupun kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya. Ekosistem hutan pantai sangat kaya, sehingga Pdak heran kalau hutan pantai bisa memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, tentunya dengan pengelolaan yang bijaksana dan berkesinambungan. Selain sebagai sumber makanan, sumber bahan obat-obatan, bahan bangunan, arang, tempat berkembang biak ikan, dan menahan erosi pantai, hutan pantai juga bisa berfungsi sebagai hutan wisata (contohnya hutan lindung di pantai pangandaran).

  • Konservasi A.5. Pantai dan Hutan Bakau

    Gambar: Tumpukan sampah di hutan bakau Jakarta

    Akhir-akhir ini, hutan pantai juga dianggap sebagai salah satu upaya miPgasi bencana alam ekstrim seperP tsunami dan badai gelombang. Hutan pantai secara umum memang teradaptasi dengan baik untuk menahan angin kencang, badai, dan juga semburan garam (salt sprays). Namun, kemampuanyya untuk menahan gelombang raksasa tsunami masih dalam perdebatan di antara para peneliP.

    Gambar: hutan bakau di Filipina yang sengaja ditanam untuk industri

    Perlu diingat pula bahwa di banyak belahan bumi ini pantai adalah sumber segala-galanya. Belanda adalah negara yang maju karena bisa memnfaatkan pantainya dengan sangat bijak. Sebaliknya, Bangladesh adalah adalah satu negara yang merana gara-gara berdekatan dengan laut. Kondisi topography mereka yang berada di muara sungai Gangga yang menjadikannya sangat rentan banjir baik itu yang datang dari sungai (darat) maupun dari laut (badai laut) yang hampir sePap tahun menimpa Teluk Bengala dan memakan banyak korban jiwa.

  • Konservasi A.6. Pencemaran