Materi SBM 1
-
Upload
apuadi-antonio -
Category
Documents
-
view
27 -
download
0
description
Transcript of Materi SBM 1
Dasar-dasar Strategi Belajar-Mengajar
1. Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar
Yang dimaksud dengan strategi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
garis besar haluan bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Menurut Newman dan Logan, dalam bukunya yang berjudul Strategy Policy and
Central Management(1971 : 8), strategi dasar dari setiap usaha akan mencakup
keempat hal sbb :
a. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil seperti apa yang
harus dicapai dan menjadi sasaran usaha itu yang sesuai dengan aspirasi dan
selera masyarakat.
b. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama manakah yang
dipandang paling efektif guna mencapai sasaran tersebut.
c. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah apa saja yang akan
ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut.
d. Mempertimbangkan dan menetapkan kriteria dan patokan ukuran yang harus
dipergunakan untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan usaha tersebut.
2. Menetapkan Sasaran Kegiatan Belajar-Mengajar dalam Rangka
Mengidentifikasi Entering Behavior Siswa
a. Sasaran-Sasaran Kegiatan Belajar-Mengajar
Setiap kegiatan belajar mengajar pasti mempunyai tujuan tertentu. Tujuan
tersebut bertahap dan berjenjang mulai dari sangat operasional dan konkret
sampai yang bersifat universal. Tujuan itu pada akhirnya harus diterjemahkan
dalam ciri-ciri / sifat-sifat wujud perilaku dan pribadi dari manusia yang dicita-
citakan. Sistem pendidikan harus melahirkan para warga Negara yang memiliki
empat kemampuan, kecakapan dan sifat utama, yaitu :
Self realization, maksudnya manusia harus mampu mewujudkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya seoptimal mungkin.
Human relationship ( hubungan antarinsan )
Economic efficiency (efisiensi ekonomi
Civil responsibility, manusia harus memiliki tanggung jawab sebagai warga
Negara.
b. Entering Behavior Siswa
Meskipun terdapat keragaman dari berbagai paham dan teori tentang makna
perbuatan belajar, namun teori manapun pada akhirnya cenderung untuk sampai pada
konsensus bahwa hasil perbuatan belajar itu dimanifestasikan dalam perubahan
perilaku dan pribadi baik secara material-substansial, struktural-fungsional, maupun
secara behavioral. Tingkat dan jenis karakteristik perilaku siswa yang telah dimilikinya
pada saat akan memasuki kegiatan belajar mengajar inilah yang dimaksudkan dengan
Entering Behavior. Entering Behavior ini akan dapat kita identifikasikan dengan
berbagai cara, antara lain :
1. Secara tradisional, lazimnya para guru memulai dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan mengenai bahan-bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan
bahan baru.
2. secara inovatif, guru-guru sudah mulai mengembangkan instrumen pengukuran
prestasi belajar dengan cara melakukan pre-test sebelum memulai kegiatan belajar
mengajar.
Dengan mengetahui gambaran tentang entering behavior, siswa akan memberikan
banyak sekali bantuan kepada guru, antara lain :
1) Untuk mengetahui seberapa jauh kesamaan individual antarsiswa dalam taraf
kesiapannya, kematangannya, serta tingkat penguasaan dari pengetahuan dan
keterampilan dasar sebagai landasan bahan baru.
2) Dengan mengetahui disposisi perilaku siswa tersebut, guru akan dapat
mempertimbangkan dan memilih bahan, metode, teknik, dan alat bantu belajar
mengajar yang sesuai.
3) Dengan membandingkan nilai hasil pre-test dengan nilai hasil akhir, guru akan
memperoleh indikator yang menunjukkan seberapa banyak perubahan perilaku
yang terjadi pada siswa.
Mengingat hakikat perubahan perilaku itu dapat berupa penambahan, peningkatan
hal-hal baru terhadap hal lama yang telah dikuasai, atau bahkan berupa pengurangan
terhadap perilaku lama yang tidak diinginkan (merokok, mencontek, dsb) , maka
sekurang-kurangnya ada tiga dimensi dari entering behavior itu yang perlu diketahui
guru adalah :
a. Batas-batas cangkupan ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan
dikuasai siswa.
b. Tingkatan dan urutan tahapan materi pengetahuan, terutama kawasan pola-pola
sambutan atau kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor yang telah dicapai dan
dikuasai siswa.
c. Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikomorik, proses-proses kognitif,
pengalaman, mengingat, berpikir, afektif, emosional, motivasi, dan kebiasaan.
Sebelum merencanakan dan melaksanakan kegiatan mengajar, guru harus dapat
menjawab pertanyaan :
a) Sejauh mana batas-batas materi pengetahuan yang telah dikuasai dan diketahui oleh
siswa yang akan diajar.
b) Tingkat dan tahap serta jenis kemamupuan manakah yang telah dicapai dan dikuasai
siswa yang bersangkutan.
c) Apakah siswa sudah cukup siap dan matang untuk menerima bahan dan pola-pola
perilaku yang akan diajarkan.
d) Seberapa jauh motivasi dan minat belajar yang dimiliki oleh siswa sebelum belajar
dimulai.
3. Pola-pola Belajar Siswa
a. Mengidentifikasi pola-pola belajar siswa
Gagne (Lefrancois 1975:114-120) mengkategorikan pola-pola belajar siswa ke
dalam 8 tipe dimana yang satu merupakan prasyarat bagi yang lainnya/yang lebih tinggi
hierarkinya. Kedelapan tipe belajar itu ialah:
Tipe I:Signal Learning (belajar signal atau tanda, isyarat)
Tipe belajar ini menduduki tahapan hierarki (yang paling dasar). Signal learning
dapat didefinisikan sebagai proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat
involunter (tidak disengaja dan didasari tujuannya). Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya tipe belajar ini ialah diberikan stimulus secara serempak perangsang-
perangsang tertentu dengan berulang-ulang.
Tipe II:Stimulus-Respons Learning (belajar stimulus-respons, sambut rangsang)
Tipe belajar II ini termasuk ke dalam operant or instrumental condition (Kible,1961)
atau belajar dengan trial and error (Thorndike). Kondisi yang diperlukan untuk dapat
berlangsungnya tipe belajar ini ialah faktor reinforcement.
Tipe III:Chaining (mempertautkan) dan tipe IV:Verbal Association (asosiasi
verbal)
Kedua tipe belajar ini setaraf, ialah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang
satu dengan yang lainnya. Tipe III berkenaan dengan aspek-aspek perilau psikomotorik
dan tipe IV berkenaan dengan aspek-aspek belajar verbal. Kondisi yang diperlukan bagi
berlangsungnya proses belajar ini antara lain secara internal terdapat pada diri siswa
harus sudah terkuasai sejumlah satuan-satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun
verbal. Di samping itu, prinsip contiguity, repetition, dan reinforcement masih tetap
memegang peranan penting bagi berlangsungnya proses chaining dan association
tersebut.
Tipe V:Discrimination Learning (belajar mengadakan perbedaan)
Dalam tahap belajar ini, siswa mengadakan diskriminasi (seleksi dan pengujian)
di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya kemudian memilih
pola-pola sambutan yang dipandangnya paling sesuai. Kondisi yang utama untuk dapat
berlangsungnya proses belajar ini ialah siswa telah mempunyai kemahiran melakukan
chaining dan association serta memiliki kekayaan pengalaman (pola-pola satuan S-R)
Tipe VI:Concept Learning (belajar konsep, pengertian)
Berdasarkan pesamaan cirri-ciri adari sekumpulan stimulus dan juga objek-
objeknya ia membentuk suatu pengertian atau konsep-konsep. Kondisi utama yang
diperlukan bagi proses berlangsungnya belajar tipe ini ialah terkuasainya kemahiran
diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.
Tipe VII:Rule Learning (belajar membuat generalisasi, hukum-hukum)
Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep
(pengertian) dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal sehingga siswa
dapat membuat konklusi tertentu.
Tipe VIII:Problem Solving (belajar memecahkan masalah)
Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan dan memecahkan masalah
(memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau
membangkitkan situasi problematik) dengan menggunakan berbagai rule yang telah
dikuasainya. Menurut John Dewey (Loree,1970:438-439) dalam bukunya How We
Think, proses belajar pemecahan masalah itu berlangsung sebagai berikut:
Become aware of the problem (menyadari adanya masalah)
Clarifying and defining the problem (menegaskan dan merumuskan masalahnya)
Searching for facts and formulating hypotheses (mencari fakta pendukung dan
merumuskan hipotesis)
Evaluating proposed solution (mengevaluasi alternatif pemecahan yang
dikembangkan)
Experimental verification (mengadakan pengujian atau verifikasi secara
eksperimental, uji coba)
b. Memilih system belajar mengajar (pengajaran)
Dewasa ini, para ahli teori belajar telah mencoba mengambarkan cara
pendekatan atau system pengajaran atau proses belajar-mengajar. Diantara berbagai
system pengajaran yang banyak menarik perhatian orang akhir-akhir ini ialah:
Enquiry-Discovery Learning (belajar mencari dan menemukan sendiri)
Dalam system belajar-mengajar ini, guru menyajikan bahan pelajaran yang tidak
dalam bentuknya yang final. Siswalah yang diberikan kesempatan untuk mencari dan
menemukannnya sendiri dengan menggunakan teknik pendekatan pemecahan
masalah. Secara garis besar prosedurnya yaitu stimulasi-perumusan masalah-
pengumpulan data-analisis data-verifikasi-generalisasi.
System belajar-mengajar ini dikembangkan oleh Bruner (Lefrancois,1975:121-
126). Pendekatan belajar ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif.
Kelemahannya, antara lain memakan waktu yang banyak dan kalau kurang terpimpin
dan terarah, dapat menjurus kepada kekaburan atau materi yang dipelajarinya.
Expository Learning
Dalam sistem ini, guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah
dipersiapkan secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingg asiswa tingal menyimak dan
mencernanya secara teratur dan tertib. Secara garis besar prosedurnya ialah periapan-
petautan-penyajian-evaluasi. Ausubel berpendapat bahwa pada tingkat-tingkat belajar
yang lebih tinggi, siswa tidak selau harus mengalami sendiri. Siswa akan mampu dan
lebih efisien memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-
singkatnya. Yang penting siswa dikembangkan penguasaannya atas kerangka konsep-
konsep dasar atau pla-pola pengertian dasar tentang sesuatu hal sehingga dapat
mengorganisasikan data, informasi, dan pengalaman yang bertalian dengan hal
tersebut.
Mastery learning (belajar tuntas)
Proses belajar yang berorientasi pada prinsip mastery learning ini harus dimulai
dengan penguasaan bagian terkecil untuk kemudian baru dapat melanjutkan ke dalam
satuan (modul) atau unit berikutnya. Atas dasar itu maka dewasa ini telah
dikembangkan system pengajaran berprogram dan juga system pengajaran modul,
bahkan Computer Assisted Instruction (CAI). Dengan tercapainya tingkat penguasaan
hasil pelajaran yang tinggi, maka akan menunjukkan sikap mental yang sehat pada
siswa yang bersangkutan.
Humanistic Education
Teori belajar ini menitikberatkan pada upaya membantu siswa agar ia sanggup
mencapai perwujudan diri (self realization) sesuai dengan kemampuan dasar dan
keunikan yang dimilikinya. Karakteristik utama metode ini, antara lain bahwa guru
hendaknya tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam dengan siswa. Sasaran akhir
dari proses belajar mengajar menurut paham ini ialah self actualization yang seoptimal
mungkin dari setiap siswa.
c. Pengorganisasian satuan kelompok belajar siswa
Gage dan Barliner (1975:447-450), juga Norman MacKenzie dan rekan-rekannya
(UNESCO,1972:126) menyarankan pengorganisasian kelompok belajar siswa ke dalam
susunan sebagai berikut:
N=1. Pada situasi ekstrem, kelompok belajar mungkin hanya terdiri atas seorang
siswa atau seorang siswa bekerja individual saja.metode belajarnya bisa disebut
dengan tutorial, pengajaran berprogram, studi individual, atau independent study,
N=2-20. Kelompok belajar kecil, mungkin terdiri atas 2 sampai 20 siswa. Mtode belajar
seperti ini biasanya disebut dengan metode diskusi atau seminar.
N=2-40. Kelompok besar mungkin berkisar antar 20-40 siswa. Metode ini disebut
metode belajar mengajar kelas. Metodenya mungkin bervariasi, sesuai dengan
kesenangan dan kemampuan guru unuk mengelolanya.
N=40 lebih besar atau ukuran kelompok melebihi 40 orang. Metode belajar-mengajar
lazim disebut (ceramah) atau the lecture.
4. Beberapa metode dan Teknik Mengajar
Sejak ratusan tahun yang lalu, orang telah mengembangkan berbagai metode
dan teknik mengajar untuk dapat membantu siswa dalam proses menerima materi
pelajaran.
Menurut Joice dan Weil (Gage and Barliner, 1975:444-447) telah
mengelompokkan model-model belajar ke dalam empat orientasi, yaitu :
(1) information processing orientation
(2) social-interaction orientation
(3) person orientation
(4) behavior-modification orientation
Beberapa metode mengajar yang banyak digunakan oleh para guru antara lain:
(1) Metode Ceramah
Ceramah atau kuliah merupakan metode belajar tradisional dimana bahan disajikan
oleh guru secara monologue sehingga pembicaraan lebih bersifat satu arah. Peran guru
lebih banyak dalam hal keaktifannya untuk memberikan materi pelajaran, sementara
siswa mendengarkan dengan teliti serta mencatat yang pokok-pokok dari pernyataan
yang dikemukakan oleh guru.
(2) Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan cara lain dalam belajar-mengajar dimana guru dan
siswa, bahkan antarsiswa terlibat dalam suatu proses interaksi secara aktif dan timbal
balik dari dua arah.
5. Menetapkan Strategi Evaluasi Belajar Mengajar
Tujuan akhir dari tindakan evaluasi, serta bagaimana mengembangkan dan
memilih instrumennya yang memenuhi syarat telah kita bahas dalam unit-unit terdahulu.
Yang menjadi persoalan sekarang, kapan pengukuran dan evaluasi itu dilakukan, serta
bagaimana menafsirkan hasilnya bagi pengambilan keputusan dan tindak lanjutnya.
a. Beberapa Model Desain Pelaksanaan Evaluasi Belajar
Berdasarkan maksud atau fungsinya, terdapat beberapa model desain
pelaksanaan evaluasi belajar-mengajar. Di antaranya ialah evaluasi; sumatif, formatif,
refleksi, dan kombinasi dari ketiganya.
Evaluasi sumatif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan setelah
berakhirnya kegiatan belajar-mengajar, atau sering juga kita kenal dengan istilah lain,
yaitu post test. Pola evaluasi ini dilakukan kalau kita hanya bermaksud mengetahui
tahap perkembangan terakhir dari tingkat pengetahuan atau penguasaan belajar
(mastery learning) yang telah dicapai oleh siswa. Asumsi yang mendasarinya ialah
bahwa hasl belajar itu merupakan totalitas sejak awal sampai akhir, sehingga hasil akhir
itu dapat kita asumsikan dengan hasil. Hasil penilaian ini merupakan indikator
mengenai taraf keberhasilan proses belajar-mengajar tersebut. Atas dasar itu, kita
dapat menentukan apakah dapat dilanjutkan kepada program baru atau harus diadakan
pelajaran ulangan seperlunya.
Evaluasi formatif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan selama masih
berjalannya proses kegiatan belajar-mengajar. Mungkin kita baru menyelesaikan
bagian-bagian atau unit-unit tertentu dari keseluruhan program atau bahan yang harus
diselesaikan. Tujuannya ialah apabila kita menghendaki umpan-balik yang secara
(immediate feedback), kelemahan-kelemahan dari proses belajar itu dapat segera
diperbaiki sebelum terlanjur dengan kegiatan lebih lanjut yang mungkin akan lebih
merugikan, baik bagi siswa maupun bagi guru sendiri. Bila dibiarkan kesalahan akan
berlarut-larut. Dengan kata lain, evaluasi formatif ini lebih bersifat diagnostik untuk
keperluan penyembuhan kesulitan-kesulitan atau kelemahan belajar-mengajar
(remedial teaching and learning), sedangkan reevaluasi sumatif (EBTA) biasanya lebih
berfungsi informatif bagi keperluan pengambilan keputusan, seperti penentuan nilai
(grading), dan kelulusan.
Evaluasi reflektif ialah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan sebelum proses
belajar-menagjar dilakukan atau sering kita kenal dengan sebutan pre-test. Sasaran
utama dari evaluasi reflektif ini ialah untuk mendapatkan indikator atau informasi awal
tentang kesiapan (readliness) siswa dan disposisi (keadaan taraf penguasaan) bahan
atau pola-pola perilaku siswa sebagai dasar penyusunan rencana kegiatan belajar-
menagjar dan peramalan tingkat keberhasilan yang mungkin dapat dicapainya setelah
menjalani proses belajar-menagjar nantinya. Jadi, evaluasi reflektif lebih bersifat
prediktif.
Pengguanaan teknik pelaksanaan evaluasi itu secara kombinasi dapat dan
sering juga dilakukan terutama antara reflektif dan sumatif atau model pre-post test
design. Tujuan penggunaan model dilaksanakan evaluasi ini ialah apabila kita ingin
mengetahui taraf keefektivan proses belajar-mengajar yang bersangkutan. Dengan cara
demikian, kita akan mungkin mendeteksi seberapa jauh konstribusi dari komponen-
komponen yang terlibat dalam proses belajar-mengajar tersebut. Sudah barang tentu
model ini pun lebih bersifat diagnostik, tetapi lebih komprehensif.
b. Beberapa Cara untuk Menginterprestasikan Hasil Penilaian
Untuk dapat menafsirkan hasil penilaian dari evaluasi yang dilaksanakan, kita
perlu patokan atau ukuran baku atau norma. Dalam evaluasi, kita mengenal dua norma
yang lazim dipergunakan untuk menumbang taraf keberhasilan belajar-menagjar, yaitu
apa yang disebut (1) criterion referenced dan (2) norm referenced, seperti telah
disinggung di atas.
Criterion referenced evaluation ( PAP = Penilaian Acuan Patokan ) merupakan
cara mempertimbangkan taraf keberhasilan siswa dengan memperbandingkan prestasi
yang dicapainya dengan kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu (preestabilished
criterion).
Norm referenced evaluation ( PAN = Penilaian Acua Norma) merupakan cara
memertimbangkan taraf keberhasilan belajar siswa, dengan jalan memperbandingkan
prestasi individual siswa dengan rata-rata prestasi temannya, lazimnya kelompoknya.
Atas dasar kedua norma itulah seseorang dinyatakan lulus atau tidak lulus, atau
berhasil atau tidak berhasil (pass-fail). Norma kelulusan itu biasanya disebut batas lulus
(passing grade).
Dalam criterion referenced evaluation ( PAP ) angka batas lulus itu lazimnya
dipergunakan angka nilai 6 dalam skala 10 atau 60 dalam skala 100, atau 2+ slaam
skala -4, atau C dalam skala A-E. adapaun filosofi yang melandasi sistem penilaian ini
ialah teory mastery learning, dimana seseorang dapat dianggap memenuhi syarat
kecakapannya (qualified) kalau menguasai minimal 60% dari hasil yang diharapkan.
Dalam konteks sistem pendidikan di Indonesia persayaratan ini dikenakan terutama
terhadap mata pelajaran dasar yang penting yaitu PMP, agama, bahasa Indonesia dan
sebaginya, yang berarti bahwa sistem pendidikan di Indonesia sangat mengutamakan
pembinaan warga negara yang baik, beragama dan berdasarkan kebudayaan
bangsanya.
Dalam norm referenced evaluation ( PAN ), norma itu dapat dipergunakan dengan
berbagai cara, misalnya (1) ukuran rata-rata prestasi kelompoknya, (2) ukuran
penyebaran nilai prestasi kelasnya, dan (3) ukuran penyimpangan dari ukuran rata-rata
prestasi kelompoknya (mean,range, and standard deviation).
1) Beberapa model ukuran rata-rata prestasi kelompok
JADI JUTAWAN DENGAN LANGKAH
SEDERHANA
Bisnis Jadi Jutawan dgn Langkah Sederhana.
Terbukt
Bisnis SMS Dahsyat
1.MODAL AWAL 50b JADIKAN
INTERNET PENGHASIL UANG
Investasi Rp75ribu SOFTWARE
PENGUMPUL UANG OTOMATI
JUTAAN RUPIAH UANG MENGALIR
KEREKENING ANDA TERBUK
MAU Rp.200.000 PER HARI??(HANYA DI
SINI!)(Garansi)
Software Penghasil Uang
Otomatis.Bergaransi!
Hasilkan UANG dengan MUDAH HANYA
75.000
EMULA DAPAT min.Rp.400rb TIAP HARI
dengan MUDAH!
HANYA Rp.75rb!!.ATM BERTAMBAH
TERUS min.Rp.500rb/h
DAPAT UANG TERUS
min.500rb/hari!!.HANYA Rp.75rb.
Pemula Sukses & Kaya Bersama Sistem
Bisnis
Rahasia Dahsyat Imcome Melimpah Dari
Internet
Di jalankan dari hp/cara Khusus
Software penghasil uang .Cocok untuk
pemula,24 jam
BERKAT SMS saldo di ATM BERTAMBAH
TERUS-MENERUS
Tiap hari dapat TAMBAHAN saldo di ATM
minimal 300r
Modul Sakti Penghasil Income
TERBUKTI Berhasil 100% Hanya Rp130rb.
Dijamin!
CARA MUDAH & CEPAT PEMULA
HASILKAN 500Rb-2JT/Hr
Ingin PASSIVE INCOME Bertambah Terus -
Menerus?
Praktis,Cepat,Beroperasi 24 Jam Kini, Anda pun juga bisa menjadi
JUTAWAN, Dijamin
KumpulBlogger.com
a) Mean (ukuran rata-rata hitung), dapat dicari dengan jalan membagi jumlah nilai dari
seluruh anggota kelompok (∑ fxi) dengan jumlah anggota kelompok yang bersangkutan
(N). yang dinyatakan dengan formula ialah sebagai berikut :
Mean ( X ) = (∑ fxi)
N
Kalau dalam kurikulumnya diadakan sistem pembobotan (weighing) seperti dengan
menggunakan sistem kredit (SKS), sebelum dijumlahkan, setiap nilai henndaknya
dikaitkan dahulu dengan bobotnya (W).
Selanjutnya, maka formulanya menjadi :
X = ( ∑ fxi W )
N
b) Median ialah suatu titik yang membagi dua ( 50% di atas dan 50% di bawah) dari
keseluruhan jumlah anggota kelompok. Angka titik tengah ini dapat diperoleh dengan
jalan menambahkan angka 1 pada jumlah seluruh peserta (N), kemudian dibagi 2. Yang
mana dinyatakan :
Median (Mdn) = N + 1
2
Mdn = Nilai tertinggi + Nlai terendah
2
c) Mode ialah hasil suatu klarifikasi nilai yang sama yang paling banyak anggota yang
memperoleh nilai tersebut atau frekuensinya (f).
Dengan diketahuinya ukuran rata-rata ini, kita dapat membandingkan apakah nilai yang
dicapai oleh seseorang itu mendekati atau sangat jauh di bawah atau di atas nilai rata-
rata tersebut.
2) Beberapa model ukuran penyebaran (distribusi angka nilai prestais kelompok)
a) Range ialah jarak rentangan antara score tertinggi (maksimum) dan nilai score
terendah (minimum).
Range diperoleh dengan formula :
Rentangan = nilai tertinggi – nilai terendah
Range = maximum score – minimum score
b) Centile ialah suatu titik yang menunjukkan berapa persen dari keseluruhan jumlah
anggota kelompok tersebut. Misalna, yang berada di bawah quartil pertama (Q1)
menunjukkan bahwa 25% dari keseluruhan anggota kelompok di bawah angka atau titik
tersebut. Biasanya sebagai patokan-patokan penyebaran digunakan Q1, Q2, Q3.
Berapa banyaknya anggota kelompok yang termasuk ke dalam quartil yang
bersangkutan, dapat dicari dengan formula :
Q1 = ( N + 1 )
4
Q2 = ( Q3 – Q1 )
2
Q3 = 3 ( N + 1 )
4
3) Beberapa model penyimpangan dari ukuran rata-rata hitung
a) Average Deviation ( AD ), deviasi rata-rata, diperoleh dengan formula :
AD = ∑ f1 X1 - X
N
b) Standard Deviation ( SD ), dapat diperoleh dengan mengoperasikan formula.
HAKIKAT STRATEGI BELAJAR MENGAJAR
Konsep dan Prinsip Belajar dan Pembelajaran
Belajar memiliki tiga atribut pokok ialah:
1. Belajar merupakan proses mental dan emosional atau aktivitas pikiran dan
perasaan.
2. Hasil belajar berupa perubahan perilaku, baik yang menyangkut kognitif,
psikomotorik, maupun afektif.
3. Belajar berkat mengalami, baik mengalami secara langsung maupun mengalami
secara tidak langsung (melalui media). Dengan kata lain belajar terjadi di dalam
interaksi dengan lingkungan. (lingkungan fisik dan lingkungan sosial).
4. Supaya belajar terjadi secara efektif perlu diperhatikan beberapa prinsip antara
lain:
1. Motivasi, yaitu dorongan untuk melakukan kegiatan belajar, baik motivasi
intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik dinilai lebih baik,
karena berkaitan langsung dengan tujuan pembelajaran itu sendiri.
2. Perhatian atau pemusatan energi psikis terhadap pelajaran erat kaitannya
dengan motivasi. Untuk memusatkan perhatian siswa terhadap pelajaran
bisa didasarkan terhadap diri siswa itu sendiri dan atau terhadap situasi
pembelajarannya.
3. Aktivitas. Belajar itu sendiri adalah aktivitas. Bila fikiran dan perasaan
siswa tidak terlibat aktif dalam situasi pembelajaran, pada hakikatnya siswa
tersebut tidak belajar. Penggunaan metode dan media yang bervariasi dapat
merangsang siswa lebih aktif belajar.
4. Umpan balik di dalam belajar sangat penting, supaya siswa segera menge-
tahui benar tidaknya pekerjaan yang ia lakukan. Umpan balik dari guru
sebaiknya yang mampu menyadarkan siswa terhadap kesalahan mereka dan
meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran tersebut.
5. Perbedaan individual adalah individu tersendiri yang memiliki perbedaan
dari yang lain. Guru hendaknya mampu memperhatikan dan melayani siswa
sesuai dengan hakikat mereka masing-masing. Berkaitan dengan ini catatan
pribadi setiap siswa sangat diperlukan.
5. Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan belajar yang terdiri dari unsur:
tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan guru.
Semua unsur atau komponen tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi; dan
semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada tujuan
Variabel Strategi Belajar Mengajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan strategi belajar-mengajar ialah: tujuan,
bahan pelajaran, alat dan sumber, siswa, dan guru.
1. Gagne mengklasifikasikan hasil-hasil belajar yang membawa implikasi terhadap
penggunaan strategi belajar-mengajar, sebagai berikut:
1. Keterampilan intelektual dengan tahapan-tahapannya:
1. Diskriminasi (mengenal benda konkret).
2. Konsep konkret (mengenal sifat-sifat benda/objek konkret).
3. Konsep terdefinisi (kemampuan memahami konsep terdefinisi).
4. Aturan (kemampuan menggunakan aturan, rumus, hukum/dalil,
prinsip).
5. Masalah/aturan tingkat tinggi (kemampuan memecahkan masalah
dengan menggunakan berbagai aturan).
2. Strategi kognitif (kemampuan memilih dan mengubah cara-cara
memberikan perhatian, belajar, mengingat, dan berfikir).
3. Informasi verbal (kemampuan menyimpan nama/label, fakta, pengetahuan
di dalam ingatan).
4. Keterampilan motorik (kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan fisik).
5. Sikap (kemampuan menampilkan perilaku yang bermuatan nilai-nilai).
2. Yang perlu dipertimbangkan dari faktor siswa di dalam menggunakan strategi
belajar-mengajar, antara lain:
1. Siswa sebagai pribadi tersendiri memiliki perbedaan-perbedaan dari siswa
lain.
2. Jumlah siswa yang mengikuti pelajaran.
3. Dari faktor alat dan sumber yang perlu dipertimbangkan ialah:
1. Jumlah dan karakteristik alat pelajaran dan alat peraga.
2. Jumlah dan karakteristik sumber pelajaran (bahan cetakan dan lingkungan
sekitar).
4. Dari faktor guru yang akan mempengaruhi penggunaan strategi belajar-mengajar
ialah kemampuan menguasai bahan pelajaran dan kemampuan membelajarkan
siswa.
Berbagai Jenis Strategi Belajar Mengajar
Berbagai jenis strategi Belajar Mengajar dapat dikelompokkan berdasarkan berbagai
pertimbangan.
1. Atas dasar pertimbangan proses pengolahan pesan.
1. Strategi Deduktif. Dengan Strategi Deduktif materi atau bahan pelajaran
diolah dari mulai yang umum, generalisasi atau rumusan, ke yang bersifat
khusus atau bagian-bagian. Bagian itu dapat berupa sifat, atribut atau ciri-
ciri. Strategi
Deduktif dapat digunakan dalam mengajarkan konsep, baik konsep
konkret maupun konsep terdefinisi.
2. Strategi Induktif. Dengan Strategi Induktif materi atau bahan pelajaran
diolah mulai dari yang khusus (sifat, ciri atau atribut) ke yang umum,
generalisasi atau rumusan. Strategi Induktif dapat digunakan dalam
mengajarkan konsep, baik konsep konkret maupun konsep terdefinisi.
2. Atas dasar pertimbangan pihak pengolah pesan.
1. Strategi Ekspositorik. Dengan Strategi Ekspositorik bahan atau materi
pelajaran diolah oleh guru. Siswa tinggal “terima jadi” dari guru. Dengan
Strategi Ekspositorik guru yang mencari dan mengolah bahan pelajaran,
yang kemudian menyampaikannya kepada siswa. Strategi Ekspositorik
dapat digunakan di dalam mengajarkan berbagai materi pelajaran, kecuali
yang sifatnya pemecahan masalah.
2. Strategi Heuristik. Dengan Strategi Heuristik bahan atau materi pelajaran
diolah oleh siswa. Siswa yang aktif mencari dan mengolah bahan pelajaran.
Guru sebagai fasilitator memberikan dorongan, arahan, dan bimbingan.
Strategi Heuristik dapat digunakan untuk mengajarkan berbagai materi
pelajaran termasuk pemecahan masalah. Dengan Strategi Heuristik
diharapkan siswa bukan hanya paham dan mampu melakukan suatu
pekerjaan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, akan
tetapi juga akan terbentuk sikap-sikap positif, seperti: kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, terbuka. Strategi Heuristik terbagai atas Diskoperi dan
Inkuiri.
3. Atas Dasar Pertimbangan Pengaturan Guru
1. Strategi Seorang Guru. Seorang guru mengajar kepada sejumlah siswa.
2. Strategi Pengajaran Beregu (Team Teaching). Dengan Pengajaran Beregu,
dua orang atau lebih guru mengajar sejumlah siswa.
Pengajaran Beregu dapat digunakan di dalam mengajarkan salah satu
mata pelajaran atau sejumlah mata pelajaran yang terpusat kepada suatu
topik tertentu.
4. Atas Dasar Pertimbangan Jumlah Siswa
1. Strategi Klasikal
2. Strategi Kelompok Kecil
3. Strategi Individual.
5. Atas Dasar Pertimbangan Interaksi Guru dengan Siswa.
1. Strategi Tatap Muka. Akan lebih baik dengan menggunakan alat peraga.
2. Strategi Pengajaran Melalui Media. Guru tidak langsung kontak dengan
siswa, akan tetapi guru “mewakilkan” kepada media. Siswa berinteraksi
dengan media.
Sumber Strategi Belajar Mengajar karya Udin S. Winataputra