MATERI KOMISI BAHTSUL MASAIL DINIYAH...
Transcript of MATERI KOMISI BAHTSUL MASAIL DINIYAH...
MATERI
KOMISI BAHTSUL MASAIL
DINIYAH MAUDLU’IYAH
Ketua : KH. Afifuddin Muhajir
Sekretaris :
KH. Arwani Faishal
Anggota : H. Sa'dullah Affandi
KH. Abdullah Kafabihi Mahrus Ali KH. Fuad Thohari
Syafiq Hasyim H. Nahari Muslih
Afdholi Ali Rahman KH. Nasrullah Jasam
KH. Hudallah Ridwan KH. Imam Jazuli
H. M. Taufiq Damas H. Fais Syukron Makmun
H. Abdul Jalil KH. Muhibbul Aman Aly
KH. Muqsith Ghazali
I. METODE ISTINBATH HUKUM (Bayani - Qiyasi – Maqashidi)
Deskripsi :
Kebutuhan bagi tersedianya metode istinbath hukum sederhana dan yang siap pakai
adalah cukup mendesak. Ini karena banyaknya kasus-kasus fikih baru yang tak mudah
ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih keislaman klasik. Untuk menangani kasus-kasus
baru tersebut, NU sudah membuatkan patokan, “Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum
dipecahkan dalam kitab, maka masalah /kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul-
masail bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan mulhiq, mulhaq
dan mulhaq bih.
Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa ditanggulangi dengan prosedur ilhaq, maka NU
memutuskan demikian, “Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya
mulhiq, mulhaq dan mulhaq bih sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan instinbath secara
jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id fiqhiyyah untuk ilhaq. Dengan ini jelas bahwa NU
telah memberikan mandat intelektual agar istinbath jama’i tersebut dilakukan.
Pertanyaannya, bagaimana istinbath jama’i dengan mempraktekkan qawa’id
fiqhiyyah itu mesti diselenggarakan di lingkungan Nahdhatul Ulama. Dengan tetap
mengacu pada kitab-kitab ushul fikih, tulisan ini coba membuat kerangka metodologi
sederhana, bukan hanya untuk memenuhi mandat intelektual NU melainkan juga untuk
menjawab persoalan-persoalan fikih baru dengan tetap mengacu pada bangunan
metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Metode itu adalah metode bayani,
metode qiyasi, dan metode istishlahi atau maqashidi.1
A. Metode Bayani
Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode pengambilan hukum
dari nash (al-Qur’an dan al-Sunnah).2 Istilah lain dari metode ini adalah manhaj
istinbaath al-ahkam min al-nushuush. Nash dimaksud dapat berupa nash juz’i-tafshili,
nash kulli-ijmali, dan nash yang berupa kaedah umum. Dalam rangka istinbaath
hukum dari nash dengan metode bayani, ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengkaji sabab al-nuzul/wurud, baik yang makro atau yang mikro. Yang
dimaksud asbāb al-nuzūl mikro adalah sebab khusus (asbāb al-nuzūl al-khāshsh)
yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau hadits. Sedangkan yang
1 ‘Atha’ al-Rahman al-Nadawiy, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”, dalam
Dirasat al-Jami’ah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006, Jilid III, h. 82. 2 ‘Atha’ al-Rahman al-Nadawi, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”, Jilid III, h. 82.
dimaksud asbāb al-nuzūl makro adalah sebab umum (asbāb al-nuzūl al-‘āmm)
yang menjadi konteks sosial-politik, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi dari
proses tanzīl al-Qur'ān dan wurūd al-hadīts.
2. Mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawa’id al-
ushuliyyah al-lughawiyah). Kajian teks dari perspektif kaedah bahasa ini meliputi
tiga kajian secara simultan, yaitu kajian lafazh (al-tahlil al-lafzhi), kajian makna
(al-tahlil al-ma’na), dan kajian dalalah (al-tahlil al-dalali), yang secara rinci akan
dijelaskan pada beberapa paragraf berikutnya.
3. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang berkaitan (rabth al-
nushuush ba’dlu’ha bi ba’dlin). Nash yang sedang dikaji harus dihubungkan
dengan nash yang lain, karena nushūsh al-syarī’ah (Alqur’an dan Hadis)
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, ayat
yang satu terkait dengan ayat yang lain, hadis yang satu terkait dengan hadis
yang lain, ayat terkait dengan hadis dan hadis terkait dengan ayat. Suatu nash
terhadap nash yang lain dapat berfungsi sebagai taukīd (penguat), bayān al-
mujmal (menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyīd al-muthlaq
(membatasi lafal muthlaq), takhashīsh al-`āmm (membatasi keumuman lafal
`āmm), atau taudlīh al-musykil (menjelaskan lafal musykil/ambigu).
4. Mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan maqashid al-syari’ah (rabth al-
nushush bi al-maqaashid). Maqāshid al-syarī`ah (tujuan umum syariat) yang
sekaligus merupakan kulliyah al-syarī`ah (totalitas syarī`ah) memiliki hubungan
saling terkait dengan nushūsh al-syarī`ah. Maqāshid al-syarī`ah lahir dan
mengacu pada nushūsh al-syarī`ah, sementara nushūsh al-syarī`ah dalam
menafsirinya harus mempertimbangkan maqāshid al-syarī`ah. Ini masuk dalam
kategori mengaitkan yang juz’ī (partikular) dengan yang kullī (universal).3
Konkretnya, syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia zhāhir-bāthin dan dunia-akhirat. Maka, perumusan hukum dari nash
hendaknya sejalan dengan kemaslahatan manusia yang menjadi tujuan syariat
itu, dengan syarat apa yang diasumsikan sebagai maslahat tidak bertentangan
dengan nash itu sendiri.
3 Al-Jizani, Manhaj al-Salaf fi al-Jam’i bayn al-Nushush wa al-Maqashid wa Tathbiqatuha al-
Mua’ashirah, Riyadl: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa’udiyyah Wizarah al-Ta’lim al-‘Ali, 2010, h. 42-43.
Dengan mengaitkan nushūsh dengan maqāshid, maka rumusan-rumusan
hukum yang ditarik dari nushūsh tidak sepenuhnya tekstual, tapi juga
kontekstual. Maka kita menjadi maklum, mengapa fuqahā` membolehkan
mengeluarkan qīmah (harga) pada zakat biji-bijian, kambing dan unta,4 padahal
instruksi Nabi pada sahabat Mu`aż bin Jabal menjelang keberangkatannya ke
daerah Yaman jelas mengatakan:
ال اذة عن معاذ ان بلا مان ال ا ن ااذل حا ال ا سا اع او إلا الاه ا ا عهاو ل ا مان أن رسااللعهار من اإل ر الغن رة من اللا 5 .اللا
“Diriwayatkan dari Mu`adz bin Jabal bahwa Rasulullah mengutusnya ke Yaman
lalu beliau bersabda, Ambillah (zakat berupa) biji-bijian dari biji-bijian, seekor
kambing dari kambing, seeokor unta ba`īr dari unta, dan seekor sapi dari sapi.”
Fuqaha' memahami bahwa tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah
memberikan kemudahan kepada muzakkī (orang yang mengeluarkan zakat) dan
mustahiq (yang berhak menerima zakat). Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat
dengan mengeluarkan qīmah lebih mudah, tidak ada alasan untuk tidak
membolehkannya.
Dalam hal ini tanpa memperhatikan maqāshid di dalam menafsirkan
nushush, kita tidak akan dapat memahami adanya larangan buang air besar di
atas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi SAW.:
ائ ال ذء الد ال لن أحدك يالا
“Janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir)”
Maksud dari hadits di atas tidak hanya melarang seseorang membuang air
kencing di air yang menggenang sebagaimana pendapat Ahlu al-Zhahir, tapi juga
melarang mengotori air dan menjadikannya najis dengan cara apapun.6
5. Mentakwil nash (ta’wiil al-nushush) bila diperlukan. Pada prinsipnya, setiap
lafal/nash yang multi makna atau interpretable harus dibawa pada makna
dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rājih. Akan tetapi, kajian yang
komprehensip terhadap nash bisa menggiring kita untuk melakukan ta`wīl, yakni
memalingkan lafal/nash dari makna dasarnya yang jelas, hakiki dan rājih kepada
4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 165 5 Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, Juz IV, h. 189. 6Al-Jizani, Manhaj al-Salaf fi al-Jam’i.., h. 41.
makna lain yang tersembunyi, majāzī atau marjūh.7 Ta`wīl tidak boleh dipahami
sebagai upaya menundukkan nash kepada kemauan hawa nafsu atau
menyesuaikan syariat dengan situasi, karena ta`wīl hanya bisa dilakukan ketika
ada dalil yang memicunya.
Ulama ushul fiqh membagi ta`wīl kepada dua bagian:8 Pertama, ta`wīl
qarīb (dekat/dangkal), seperti men-ta`wīl حرمت عهك أمهذتك dengan حرم عهك نكذح
merupakan نكذح Men-ta`wīl ayat ini dengan menghadirkan semacam kata .أمهذتك
tuntutan (اقتضذء), karena status hukum seharusnya disandangkan kepada
perbuatan mukallaf sebagai mahkūm fīh (obyek hukum), sedangkan ayat tersebut
menyandarkan hukum haram pada żat, yaitu ibu. Maka, tanpa ta`wīl, ayat tersebut
tidak bisa dipahami dengan benar. Termasuk bagian ta`wīl ini adalah takshīsh al-
`āmm, taqyīd al-muthlaq, dan mengartikan lafal zhāhir dengan makna marjūh-
nya. Kedua, ta`wīl ba’īd (jauh/dalam). Ta`wīl macam ini tidak sembarang orang
dapat melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Ibnu Abbas ra.:
الع ن ذء الراسخ قس تاعرو الع
"ada bagian tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama yang mendalam ilmunya".
Ta`wīl tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta`wīl terhadap suatu nash
harus dilakukan setelah mengetahui tafsir nash itu. Jadi, ta`wīl itu setelah tafsir
ياا اعااد التايسااهر) Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa .(التأ
kajian teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawa’id al-ushuliyyah
al-lughawiyyah) harus bertumpu pada kajian lafazh, makna, dan dalalah dengan
penjelasan:
1) Kajian Lafal (الت ه اليظي)
Kajian lafal berkisar pada hal-hal sebagai berikut: (a). antara `āmm dan
khāshsh. (b). antara muthlaq dan muqayyad, (c). antara haqīqah dan majāz,
(d). antara muhkam, mujmal dan mutasyābih, (e). antara zhāhir dan nash, (f).
antara musytarak dan mutarādif, dan (g). antara amr dan nahy.
7Al-Suyūthī, al-Kaukab al-Sāthi` Nazhm Jam’i al-Jawami’, Maktabah Ibn Taymiyyah, 1998, h. 212. 8 Zakariya al-Anshāri, Ghāyah al-Wushūl, h. 83.
Setiap lafal dapat memiliki lebih dari satu kategori, misalnya lafal م اد. Lafal
ini dari satu sisi masuk katagori khāshsh karena tidak memiliki cakupan
makna yang luas, sementara dari sisi yang lain masuk kategori nash sebab
tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan makna yang lain. Contoh lain
yaitu lafal أساد كلهار. Lafal ini dari satu sisi masuk katagori muqayyad karena
lafal أسد ber-qayyid (dibatasi) dengan lafal كلهار, sedangkan dari sisi yang lain
masuk kategori zhāhir karena lafal أساد tampak dalam makna singa dan ada
kemungkinan untuk bermakna seorang pemberani, dan lafal ini ketika
dimaknai singa, masuk kategori haqīqah, dan bila dimaknai pemberani
masuk kategori majāz.
Contoh konkrit dalam al-Qur’an adalah firman Allah SWT.; الها قا (bangunlah
pada waktu malam). Lafal قا dari satu sisi termasuk kategori khāshsh karena
cakupan maknanya terbatas, dan dari satu sisi disebut amr sebab berisi
tuntutan untuk melakukan sesuatu (bangun). Sementara dari sisi yang lain,
disebut zhāhir karena Shīghatul-amri tampak dalam makna wujūb
(kewajiban) dan mungkin untuk ditarik pada selain makna wujūb. Yang pasti,
lafal `āmm bukan khāshsh, muthlaq bukan muqayyad, muhkam bukan
mutasyābih, haqīqah bukan majāz, zhāhir bukan nash, amr bukan nahy, dan
musytarak bukan mutarādif.
2) Kajian Makna (الت ه العني)
Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan, apakah: (a). lafal
dimaksud dimaknai secara haqīqī ataukah dipalingkan pada makna
majaznya? (b). Lafal zhāhir dimaksud tetap pada makna rājih-nya ataukah
dipalingkan kepada makna marjūh-nya? (c). Makna dimaksud adalah makna
lughāwī, syar`ī ataukah `urfī? (d). Yang manakah diantara makna-makna lafal
musytarak yang diambil, atau semuanya diambil? (e). Lafal dimaksud,
disamping memiliki makna lughāwī, apakah memiliki makna syar`ī atau `urfī,
dan makna yang manakah yang dipakai? (f). Shīghatul-amri dimaksud tetap
pada makna primernya (باب ) ataukah dipalingkan pada makna sekundernya
selain (باب )? (g). Shīghatun-nahyi dimaksud tetap pada makna primernya
?(ت ري ) ataukah dipalingkan pada makna sekundernya selain (ت ري )
3) Kajian Dalālah ( الت ه الداللي)
Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari nash. Dalam
hal ini terdapat dua metode:
Pertama, metode jumhūr al-ushuliyyun. Menurut jumhūr ushūliyyīn, makna
(hukum) suatu nash, disamping bisa diambil dari manthūq-nya, kadang bisa
diambil dari mafhūm-nya. Manthūq terbagi menjadi dua: (1) sharīh, dan (2)
ghairu sharīh. Sedangkan Manthūq ghairu sharīh itu sendiri ada tiga : (1)
isyārah; (2) iqtidlā`, dan (3) īmā`. Sementara mafhūm itu ada dua: (1) mafhūm
muwāfaqah, dan (2) mafhūm mukhālafah. Kedua, metode Hanafiyah. Menurut
Hanafiyah, makna (hukum) nash dapat diambil dari empat pendekatan: (1)
`ibārah al-nash; (2) isyārah al-nash; (3) iqtidlā` al-nash; dan (4) dalālah al-
nash (mafhūm muwāfaqah dalam istilah Jumhūr).9
Sesungguhnya tidak ada perbedaan substansial antara pendekatan Jumhūr
dan pendekatan Hanafiyyah, kecuali dalam soal mafhūm mukhālafah.
Menurut Jumhūr, mafhūm mukhālafah menjadi salah satu jalan untuk
mengambil makna dari nash, sedangkan menurut Hanafiyyah tidak.
B. Metode Qiyasi
Yang dimaksud dengan metode qiyasi adalah ijtihad melalui pendekatan
qiyas.10 Dalam konteks ini, ada baiknya saya kemukakan pernyataan Imam Syafi’i:
نص من إال تاؤح ال الحكذم أن 11نص ع ح أ
“Hukum (Islam) itu hanya bisa diambil dari nash atau dari penggabungan pada nash”.
Salah satu isi surat Umar ibn al-Khatthab ra. kepada Abu Musa al-Asy’ari adalah:
9 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 143-152. 10Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Juz IV, h. 189. 11 Sayyid Mubarak, Mashadir al-Fiqh al-Islami, (16 Maret 2012).
الم ذل الشلذه اعرف قس ر 12 لك عند الم
“Hendaklah kamu tahu tentang persoalan-persoalan yang serupa dan persoalan-persoalan yang sama, dan ketika itu lakukan qiyas menyangkut berbagai persoalan”.
Terkait pernyataan tersebut, ada dua hal yang perlu dikemukakan. Pertama,
dua pernyataan tersebut bukanlah dalil yang berposisi sebagai hujjah atas
keabsahan qiyas, karena dalil yang sesungguhnya adalah nash kulli. Kedua, bahwa
dua pernyataan tersebut mengandung makna bahwa hukum-hukum yang diambil
secara langsung dari nash bisa diperluas jangkauannya pada kasus-kasus lain yang
tidak manshush, salah satunya dengan cara qiyas. Namun, perlu digarisbawahi
bahwa hukum-hukum yang bisa diperluas jangkauannya melalui qiyas hanyalah
hukum-hukum yang ma’qul al-ma’na yang ditandai dengan adanya ‘illat sebagai
landasan perluasan tersebut.
1. Pengertian Qiyās
Qiyās bisa dijelaskan dengan definisi sebagai berikut: menyamakan kasus
yang tidak memiliki acuan nash dengan kasus lain yang memiliki acuan nash
dalam hal ketentuan hukumnya, ketika keduanya memiliki ‘illat yang sama.13
Sebagai contoh, minum khamr adalah kasus yang memiliki acuan nash tentang
hukumnya yaitu haram. Sedangkan minum bir adalah kasus lain yang tidak
memiliki acuan nash tentang hukumnya. Berhubung khamr dan bir memiliki illat
yang sama yaitu memabukkan, maka minum bir disamakan dengan minum
khamr dalam hukumnya, yaitu haram.
2. Rukun Qiyās
Qiyās terdiri dari empat unsur (rukun) sebagai berikut :
a. al-ashlu, yaitu kasus yang memiliki ketentuan hukum berdasar nash. Al-Ashlu
disebut al-maqīs `alaih (yang di-qiyās-i) atau al-musyabbah bih (yang
diserupai) seperti khamr dalam contoh di atas.
12 Khudlariy Bik, Thaarikh al-Tasyrii’ al-Islaamiy, h. 116. 13 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 52.
b. al-far`u, yaitu kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum berdasar nash. Al-
Far`u disebut dengan al-maqīs (yang di-qiyās-kan) atau al-musyabbah (yang
diserupakan), semisal masalah minuman keras (bir dalam contoh di atas).
c. hukm al-ashli, yaitu hukum yang terdapat pada ashl yang ditetapkan
berdasarkan nash, misalnya hukum haramnya khamr dalam contoh di atas.
Keempat, adalah Illat (al-`illah), yaitu sifat yang menjadi titik persamaan (al-
jāmi`) antara al-ashlu dan al-far`u, seperti sifat memabukkan (al-iskār) dalam
contoh di atas. Rukun ini merupakan unsur paling mendasar dalam qiyās.
Sebab, dengan illat inilah hukum-hukum yang terdapat dalam nash dapat
ditularkan pada kasus baru yang muncul kemudian. 14
3. Syarat-syarat Qiyās
Tiap-tiap rukun qiyās memiliki syarat. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. al-ashlu harus memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash.
b. al-far`u harus tidak memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash.
c. hukm al-ashl harus memenuhi beberapa syarat: (a). berupa hukum syar’ī
`amalī yang ditetapkan berdasar nash. (b). Berupa hukum yang ma`qūl al-
ma`nā atau ta`aqqulī. (c). Berupa hukum yang tidak hanya berlaku pada ashl.
Sebab itulah, tidak boleh meng-qiyās-kan umat Muhammad dengan kanjeng
Nabi Muhammad dalam soal bolehnya mengawini perempuan lebih dari
empat.15
d. Illat
Illat adalah sifat yang menjadi titik persamaan (al-jāmi`) antara al-ashl dan al-
far`u. Tidak semua sifat yang melekat pada al-ashl dapat dijadikan illat
hukum, melainkan harus memenuhi beberapa syarat; (a). harus berupa sifat
yang zhāhir seperti ījāb dan qabūl yang menjadi indikasi adanya kerelaan
kedua belah pihak (mazhinnah al-tarādlī) merupakan illat bagi keabsahan
transaksi. Sedangkan al-tarādlī sendiri sebagai hikmah al-hukmi tidak dapat
dijadikan illat karena tidak zhāhir. (b). harus berupa sifat yang mundlabith
(terukur), seperti al-safar yang menjadi indikasi adanya masyaqqah
14 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60. 15 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60-61.
merupakan illat bagi bolehnya meng-qashar salat. Sedangkan masyaqqah
sendiri tidak dapat dijadikan illat karena tidak mundlabith. Masyaqqah di sini
tidak mundlabith karena dapat berbeda-beda intensitasnya dan berat-
ringannya tergantung pada kondisi alam dan setiap indivividu yang
menjalaninya. (c). harus berupa sifat munāsib (memiliki relevansi dengan
hukum). Artinya menyandarkan hukum terhadap illat itu pada umumnya
dapat mewujudkan maslahat. Misalnya, diharamkannya khamr, karena illat
memabukkan dapat melahirkan kemaslahatan, yaitu hifzh al-`aql. Dengan
demikian, al-iskār adalah sifat munāsib.16
4. Macam-macam Qiyās
Illat sebagai unsur terpenting dalam mekanisme qiyās ada dua, yaitu
manshūshah (diketahui melalui nash) dan mustanbathah (diketahui melalui
upaya penggalian). Illat manshūshah lebih jelas daripada illat yang
mustanbathah. Qiyās dilihat dari segi illat ini dibagai kepada jalī dan khafī. Qiyās
jalī adalah qiyās yang didasarkan atas illat yang manshūshah (jelas karena ada
nash-nya) seperti meng-qiyās-kan nifās kepada haid dalam hal tidak bolehnya
seorang wanita digauli oleh suaminya, dengan illat ażā; atau didasarkan atas illat
mustanbathah, tetapi antara al-ashl dan al-far`u dipastikan tidak adanya fāriq
(hal yang membedakan), atau ada fāriq tapi tidak signifikan.17
Contoh qiyās jalī pertama yaitu meng-qiyās-kan memukul orang tua
kepada berkata “uff” dengan illat al-īżā` (meyakiti). Dengan illat ini diyakini tidak
ada perbedaan antara perkataan “uff” dan memukul karena keduanya sama-
sama menyakitkan orang tua. Contoh qiyās jalī yang kedua ialah meng-qiyās-kan
budak perempuan kepada budak laki-laki dalam hal al-sirāyah (menjalarnya
kemerdekaan sebagian kepada seluruhnya). Perbedaan jenis kelamin, secara
syar’ī tidak memiliki pengaruh dalam ahkām al-`itqi (pemerdekaan). Qiyās jalī
mencakup qiyās awlawī dan qiyās musāwī.
Sedangkan qiyās khafī adalah qiyās yang didasarkan pada illat yang
mustanbathah (illat yang digali dari al-ashl) ketika antara al-ashl dan al-far`u
terdapat fāriq yang signifikan.18 Seperti men-qiyās-kan pembunuhan dengan
16 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 68-70. 17 Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islamiy, Dimisyqa: Dar al-Fikr, 1986, Juz I, h. 703. 18 Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islami, h. 704.
menggunakan benda tumpul kepada pembunuhan yang menggunakan benda
tajam dalam kewajiban adanya qishāsh dengan illat al-qatl al-`amdu al-`udwān
(pembunuhan sengaja dan melanggar hukum). Dan sangat mungkin perbedaan
antara al-ashl dan al-far’u memiliki pengaruh. Sebab itu, menurut Abu Hanifah,
pembunuhan dengan benda tumpul tidak dikenakan qishāsh. Qiyās khafī
semakna dengan al-qiyās al-adnā.
5. Mekanisme Qiyās
Qiyās merupakan salah satu sumber hukum yang paling subur untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang ketentuan hukumnya tidak termaktub
secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi memiliki al-ashl (induk) di
dalam nash dan atau ijmā` ulama. Contohnya yaitu pemberian kepada pejabat
adalah kasus yang sudah ada ketentuan hukumnya yaitu haram berdasarkan
nash hadis,
ذل ىدايذ 19 كهذ حرام الع
“Seluruh hadiah atau pemberian terhadap pejabat adalah haram.”
Keharaman ini didasarkan pada illat (alasan hukum), yaitu khauf al-mail
(tidak fair) (pemberian tersebut dapat memengaruhi penerima untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap pemberi, mengikuti keinginan pemberi,
dan memberikan kebijakan yang tidak adil). Illat khauf al-mail itu tentu tak
hanya ada pada hadaya al-`ummal melainkan juga pada kasus-kasus lain.
Dengan demikian, membawa illat khauf al-mail pada kasus baru, maka banyak
hal yang bisa ditangani.
Money Politic adalah kasus baru (al-far`u) yang tidak ditemukan
ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam nash atau ijmā`. Akan tetapi, kasus
ini dapat disamakan dengan hadāyā al-`ummāl karena keduanya memiliki illat
yang sama, yaitu khauf al-mail (dikhawatirkan terjadi kecenderungan pada salah
satu pihak). Dengan demikian, hukum money politic adalah haram. Terlebih
dalam negara demokrasi yang menerapkan sistem pemilihan pemimpin secara
langsung, setiap warga negara yang punya hak pilih memiliki kedudukan yang
19 Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Tanpa Tahun, Juz VI, h. 353.
sangat strategis (al-siyādah fī yadi al-sya`bi), tidak kalah strategis dengan pejabat
negara atau hakim dalam menentukan putusan hukum.
Qiyās dinilai benar secara metodologis bila memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas. Qiyās yang tidak memenuhi rukun-
rukun dan syarat-syarat tersebut adalah sebuah kekeliruan. Mekanisme inilah
yang membedakan antara qiyās dengan dalil-dalil sekunder lainnya.
C. Metode Istishlahi
Ijtihad dengan metode istishlahi ialah ijtihad yang mengacu pada maqashid
al-syariah, yaitu tujuan umum dari pensyariatan hukum Islam. Karena itu ia juga
bisa disebut ijtihad maqashidi. Para fuqaha’ menyimpulkan bahwa syariat Islam
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) manusia lahir dan
batin, dunia dan akhirat. Kesimpulan ini mereka peroleh dari hasil penelitian
(istiqra’) yang mereka lakukan terhadap nash-nash tasyri’ (al-Quran dan al-Sunnah),
hukum-hukum syar’iy, illat-illatnya dan hikmah-hikmahnya.20 Dengan demikian
maqashid al-syariah tidak bisa dipisahkan dari nushush al-syariah, bahkan maqashid
al-syariah tidak terwujud tanpa nushush al-syariah. Di pihak lain, nushush al-syariah
dalam penafsiran dan penjelasan maknanya perlu/harus memperhatikan maqashid
al-syariah sehingga ketentuan hukum yang digali daripadanya tidak hanya bersifat
tekstual, tetapi juga kontekstual.
Maqashid al-syariah tidak hanya penting diperhatikan dalam menafsirkan
nash, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menggali hukum syar’i yang tidak
memiliki acuan nash secara langsung. Dalil-dalil sekunder semacam istihsan,
mashlahah mursalah, dan ‘urf pada hakikatnya merujuk pada maqashid al-syariah.
1) Istihsān
Istihsan dalam pengertian sederhana ialah kebijakan mujtahid yang
menyimpang dari ketentuan al-qiyas yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum
umum. Secara lebih bagus, syeikh Abdul Wahhab al-Khallaf mengatakan: istihsan
ialah kebijakan mujtahid dengan berpegang kepada qiyās khafī dengan
meninggalkan qiyās jali; atau meninggalkan hukum kulli dengan berpegang pada
20 Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 173.
hukum juz’ī-istitsnā’ī (hukum pengecualian) karena ada dalil yang menghendaki
demikian.21
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua dalil qiyās yang satu jalī dan
yang lain khafī, maka pada dasarnya mujtahid harus berpegang pada dalil yang
rājih, yaitu qiyās jalī. Namun, atas pertimbangan-pertimbangan (dalil) tertentu,
mujtahid bisa meninggalkan qiyās jalī yang rājih dengan mengambil qiyās khafī
yang marjūh. Cara kerja inilah yang dikenal dengan istihsān.
Begitu juga, jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua ketentuan
hukum, yang satu hukum kullī dan yang lain hukum juz’ī-istitsnā’ī, kemudian
mujtahid mengambil hukum yang juz’ī-istitsnā`ī dan meninggalkan hukum kullī
atas dasar pertimbangan kebutuhan (dlarūrah atau hājah), ini juga disebut
istihsān. Contoh, dalam hukum (ketentuan) umum ditetapkan bahwa obyek
transaksi (ma`qūd `alaih) harus berupa sesuatu yang telah nyata ada. Akan
tetapi, dari ketentuan hukum ini ada beberapa transaksi yang dikecualikan atas
dasar kebutuhan masyarakat, seperti ijārah, salam, istishnā’ (mirip akad salam),
dan lain-lain.
Kedudukan istihsān sebagai salah satu pertimbangan penetapan hukum
adalah masalah khilāfiyyah (kontroversial), sebagian menerima dan sebagian
lain menolak. Imam Syafi'i merupakan salah seorang yang menolak istihsān,
dengan ungkapannya yang sangat terkenal د است سن من barang siapa) شرع ا
menggunakan istihsān sebagai dalil, berarti ia telah membuat-buat syariat baru).
Walau demikian, istihsān dengan pengertian di atas sesungguhnya secara de facto
diamalkan oleh hampir semua fuqahā`, termasuk Imam Syafi'I sendiri. Sedangkan
istihsān yang ditolak al-Syāfi'ī bukan istihsān dengan pengertian di atas melainkan
istihsān yang didasarkan atas keinginan subjektif seseorang tanpa pijakan dalil yang
dapat dipertanggungjawabkan.22
Istihsān sesungguhnya bukanlah keinginan nafsu seseorang dalam proses
penetapan hukum. Sebaliknya, istihsān mempunyai pijakan dalil yang muaranya
tak lain untuk memelihara kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Pada
kenyataannya, dalam berbagai kasus hukum, penggunaan istihsān tidak dapat
dihindari.
21 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 79-80. 22 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 83.
2) Al-Mashlahah al-Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah dan
manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlahah juga diartikan
sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti menuntut ilmu adalah
mashlahah karena dapat mendatangkan manfaat, berdagang adalah mashlahah
karena membawa manfaat, dan seterusnya. Sedangkan dalam terminologi ushūl
fiqh, mashlahah adalah setiap hal yang menjamin terwujud dan terpeliharanya
maksud tujuan syāri` (maqāshid al-syarī`ah), yaitu hifzh al-dīn, hifzh al-nafs, hifzh
al-`aql, hifzh al-nasl/hifzh al-`irdl, dan hifzh al-māl.23
Para ulama membagi mashlahah ke dalam tiga bagian, yaitu24: Pertama,
adalah mashlahah mu`tabarah, yaitu mashlahah yang diapresiasi syāri` melalui
nash al-Qur’an atau Sunah, seperti diharamkannya setiap minuman yang
memabukkan. Kedua, adalah mashlahah Mulghā, yaitu mashlahah yang dinafikan
oleh syāri` melalu nash Alqur'an atau Sunah, seperti penyamaan pembagian
harta waris antara anak laki-laki dan anak perempuan yang dianggap sebagai
mashlahah. Ketiga, adalah mashlahah Mursalah, yaitu mashlahah yang tidak
memiliki acuan nash, baik nash yang mengakui (i`tibār) ataupun yang
menafikannya (ilghā`), seperti merayakan maulid Nabi Muhammad saw.,
penulisan dan penyatuan al-Qur'an dalam satu mushhaf, pencatatan pernikahan,
dan lain-lain.
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah
dengan mashlahah mursalah. Walau begitu, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, syariat Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi `ibādah dan
dimensi mu`āmalah. Ulama sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat
dijadikan acuan hukum dalam wilayah `ibādah. Sebab, `ibādah berbasis pada
ketundukan dan kepasrahan secara total, karena nilai mashlahah-nya tidak dapat
dinalar akal pikiran manusia.25
Sedangkan dalam wilayah mu`āmalah, ulama berbeda pendapat tentang
kehujjahan mashlahah mursalah. Ulama yang menerima mashlahah mursalah
23 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 197-205. 24 Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, Mu’assasah Qurthubiyyah, Tanpa Tahun, h. 236-
237. 25 Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, h. 238.
sebagai acuan hukum menetapkan syarat-syarat sebagai berikut: (a). harus
berupa mashlahah haqīqiyyah-qath`iyyah (faktual), bukan mashlahah wahmiyyah
(semu). (b). harus berupa mashlahah `āmmah-kulliyah (kemaslahatan umum),
bukan mashlahah fardiyyah-khāshshah (personal-subjektif). (c). harus tidak
berlawanan dengan hukum atau prinsip-prinsip yang ditetapkan berdasar nash
atau ijmā`.26 (d). Al-Ghazālī menambahkan satu syarat, yaitu: mashlahah
dimaksud bersifat dlarūriyyah (keharusan).27
3) `Urf
`Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal bersama dan dijalani oleh
masyarakat, baik berupa perbuatan (`amalī) ataupun perkataan (qawlī).28 `Urf
dan `ādah adalah dua kata yang mafhūm-nya berbeda tetapi mā shadaq-nya
sama. Artinya, dua kata tersebut memiliki akar yang berbeda. Akan tetapi
sesuatu yang disebut `urf sekaligus juga disebut `ādah dan sesuatu yang bisa
disebut `ādah sekaligus juga bisa disebut `urf. Dengan demikian, `urf dan `ādah
merupakan kata yang sinonim yang dalam bahasa indonesia disebut tradisi.29
Para ulama membagi `urf dari segi wilayah berlakunya ke dalam dua
bagian. (a). `urf `āmm, yaitu `urf yang berlaku pada seluruh atau mayoritas umat
manusia pada masa tertentu. (b). `urf khāshsh, yaitu `urf yang berlaku pada
masyarakat, komunitas atau daerah tertentu pada masa tertentu.30 Sementara
dari segi kesesuaiannya dengan nash dan prinsip-prinsip syariat, `urf dibagi
menjadi dua macam; (a). `urf shahīh, yaitu `urf yang tidak bertentangan dengan
nash al-Qur’an atau Sunnah dan tidak menghalalkan sesuatu yang haram atau
mengharamkan yang halal. (b). `urf fāsid, yaitu `urf yang bertentangan dengan
nash sharīh Alqur’an atau Sunah, menghalalkan yang haram, atau
mengharamkan yang halal.31
26 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 86-87. 27 Abd al-Hayy al-Farmawi, “Syuruth al-‘Amal bi al-Mashlahah al-Mursalah” dalam Hadyu al-
Islam, (Selasa, 6 Juli 2010). 28 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 89. 29 Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-‘Urf, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun, h. 86-87. 30 Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-Majallah al-
Urduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah, (2005), ke-1. 31 Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-Majallah al-
Urduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah. Lihat juga Mahmud ‘Abud Harmusy, al-‘Urf, Beirut: Jami’ah al-Jinan, Tanpa Tahun., h. 5.
Namun, ada pandangan tunggal tentang kebolehan berhujjah dengan `urf.
Walau demikian, para ulama sepakat bahwa `urf fāsid tidak dapat dijadikan
acuan dalam penetapan hukum. Sedangkan `urf shahīh diperselisihkan di
kalangan mereka. Aimmah al-mażāhib al-arba`ah menjadikan `urf shahīh sebagai
acuan penetapan hukum, tapi dengan kadar berbeda. Imam Mazhab yang dikenal
paling banyak menggunakan `urf adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i.32
Contoh-contoh `urf. (a). Perempuan yang haid dengan teratur, dalam
menentukan kadar haid dapat berpedoman pada `urf-nya. (b). Pemberian
pranikah terhadap calon istri tidak dipandang sebagai bagian dari maskawin
berdasarkan `urf yang berlaku di sebagian daerah di Indonesia. (c). kata “al-
marhūm” dalam `urf Indonesia hanya digunakan untuk orang yang meninggal
dunia. Padahal arti asalnya (yang dirahmati Allah) bisa digunakan untuk orang
hidup atau orang mati.
Ada beberapa kaidah terkait dengan peranan `urf sebagai acuan hukum, di
antaranya :
عرف ال ط عرذ ر 33شرطذ كذل
“Sesuatu yang telah dikenal sebagai suatu kebiasaan, sama halnya dengan
sesuatu yang dianggap sebagai syarat”
34 ذلنص كذل ذت ذلعرف ال ذت
“Sesuatu yang telah ditetapkan oleh `urf sama halnya dengan sesuatu yang telah
ditetapkan oleh nash”
Di samping sebagai acuan hukum, sesungguhnya `urf dapat dijadikan
sebagai pertimbangan dalam menjabarkan (tafsīr) ketentuan-ketentuan hukum
yang bersifat ijmālī dan tidak memiliki standar praktis. Dalam kitab al-Asybāh
Wa al-Nazhā‘ir dikatakan:
32 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 90. Lihat juga: Mahmud ‘Abud Harmusy, al-‘Urf, h.
5. 33 Ahmad bin Muhammad al-Zarqā, Syarh al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Dimisyqa: Dar al-Qalam, 1989,
h. 237. 34 Abdul Aziz Muhammad Azzām, al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Hadits, 2005, h. 196.
رع و رد مذ ك ذ، ال 35 . العرف إل هو ياربع الغة، ي ال هو، لو ضذط ال مط
"Setiap sesuatu yang datang dari syāri` secara muthlak dan tidak ada batasan
baginya, baik dalam syari’at maupun dalam kebahasaan, maka sesuatu tersebut
dikembalikan pada `urf (kebiasaan)"
Dengan menjadikan `urf sebagai salah satu acuan hukum maka hukum
Islam menjadi sangat dinamis. Sebab, hukum dapat berubah karena berubahnya
`urf. Dalam kaidah ushūl fiqh dikatakan
لنهة الحكذم ر العرف ع ال مكذنذ زمذنذ تاغهره تاتاغها36
“Hukum-hukum yang didasarkan pada tradisi bisa berubah sebab perubahan
waktu dan tempat keberadaan tradisi tersebut.”
Istinbath hukum berdasarkan ‘urf masuk dalam lingkup ijtihad istishlahi.
Ini artinya, menjadikan maslahah sebagai tujuan syariat berkonsekuensi logis
pada keharusan memperhatikan ‘uf manusia, selama tidak bertentangan dengan
syariat. ***
II. KHASHAISH AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH
Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah adalah firqah yang memiliki khashaish (kekhususan)
yang membedakan dengan berbagai firqah yang lain di dalam Islam. Khashaish itu
merupakan berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh berbagai firqah yang lain.
Khashaish sebagai keistemewaan itu, antara lain:
1. Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah merupakan satu-satunya firqah (golongan) diantara
berbagai firqah di dalam Islam yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai firqah ahli
surga. Mereka adalah para shahabat Nabi SAW. yang dikenal dengan sebutan As-
Salafush Shalih yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Nabi. SAW. dan
dilanjutkan oleh tabi'in dan tabi'it tabi'in, dua generasi yang memiliki keutamaan
35 Al-Suyūthi, al-Asybāh wa al-Nadlāir fi al-Furū`, Semarang: Toha Putra, Tanpa Tahun, h. 69. 36 Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 91.
sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. Kemudian diikuti oleh para pengikutnya
sampai sekarang.
2. Menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dua sumber pokok syari'at Islam, dan
menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma' dan qiyas.
3. Memahami syari'at Islam dari sumber Al-Qur'an dan As-Sunnah melalui:
a. sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku dan saksi
ahli dalam periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan berbagai
pemikiran yang diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas tasyri'
(penetapan hukum syar'i) setelah beliau wafat. Mereka terutama empat
shahabat yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai Al-Khulafa' al-Rasyidun telah
menyaksikan langsung dan memahami dengan cermat pelaksanaan tasyri'
yang dipraktikkan oleh Nabi SAW.
b. sanad dua generasi setelah shahabat, yakni tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah
meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri'. Mereka telah mengembangkan
perumusan secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum,
kaidah-kaidah ushuliyyah dan lainnya. Mereka adalah para Imam mujtahid,
Imam hadits dan lainnya.
4. Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah secara menyeluruh berdasarkan kaidah-
kaidah yang teruji ketepatannya, dan tidak terjadi mu'aradlah (pertentangan)
antara satu nash dan nash yang lain. Dalam hal, diakui dan diterima:
a. empat Imam mujtahid termasyhur sekaligus Imam madzhab fiqh dari kalangan
tabi'in dan tabi'it tabi'in yang telah merumuskan kaidah-kaidah ushuliyyah dan
menerapkannya dalam melaksanakan tasyri' yang kemudian menjadi pedoman
bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Empat mujtahid besar itu; a. Imam
Abu Hanifah An-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H.), b. Imam Malik ibn Anas (93-
173 H.), c. Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi'i (150-204 H.), dan Imam
Ahmad ibn Hanbal (164-241 H.).
b. para Imam madzhab aqidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324), dan Abu
Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).
c. keberadaan tashawwuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori taqarrub
(pendekatan) kepada Allah SWT. melalui aurad dan dzikir yang diwadahi dalam
thariqah sebagai madzhab, selama sesuai dengan syari'at Islam. Dalam hal ini
menerima para Imam tashawwuf, seperti Imam Abul Qasim Al-Junaid al-
Baghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).
5. Melaksanakan syari'at Islam secara kaffah (komprehensif), dan tidak mengabaikan
sebagian yang lain.
6. Memahami dan mengamalkan syari'at Islam secara tawassuth (moderat), dan tidak
ifrath dan tafrith.
7. Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan tidak
mengklaim bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat lain
dianggap salah.
8. Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari'at Islam meskipun
dengan cara masing-masing.
9. Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/arif), dan
tanpa tindak kekerasan dan paksaan.
10. Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya, dan
menolak keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap mereka, apalagi
menuduh kafir.
11. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi SAW. adalah ma'shum (terjaga) dari
kesalahan dan dosa.
12. Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari berbagai hal
yang dapat menimbulkan permusuhan.
13. Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong,
menyayangi, menghormati, dan tidak saling memusuhi.
14. Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk agama
lain.
Dasar Penetapan : 1. Al-Qur'an
ل اتايرق ك عن سلهو. لك ﴿ ا الس ال تاتلع ه. ذ ذتلع ه راطي مست ذك و أن ىا ن ) ﴾لعك تاتا (153النعذم:
لو مذ تا ﴿ ؤمنهن نا ياتلع غهار سله ال سذءت من ي ذقق الرسل من اعد مذ تالاهن لو الهدى و بهن ن ل هرا (115: النسذء) ﴾م
يكن الرسل عهك شههدا﴾ ) ا شهداء ع النذس ن سطذ لتك نذك أمة كلك بع (143اللرة: ﴿
ا من قا م قد ض اء قا ا أى ال تاتلع ي دينك غهار ال ق ا ا عن ﴿ق يآ أى الكتذب ال تاغ ض ا ك هرا أض ل
له ﴾ )الذئدة: اء الس (77س
ا لك ذع ذ ياتلعن ﴿إن ل يستجهل اءى أن ال ياهدي أى إن ا اه غهر ىدى من ا ن اتالع ى من أض مهن﴾ م الظذل (.50)الص: ال
ا ﴿ ال تاتلع ة كذ ي الس ا ا ادح ملهن يذأياهذ الين ءامن هطذن إنو لك عد ات ال (208)اللرة: ﴾حط
ن سهح عهس ا ذ ال إال ال ق إن ا ع ا ل ال تا ي دينك ا تو ﴿يآأى الكتذب ال تاغ ك مري رسل اذىذ إل مري احد أل ذ ا إلو ا حهارا لك إن ا ثالثة اناتاه ل ال تا رسو ا ذ ح منو آمن سل ذنو أن يكن لو ر
كهال﴾ )النسذء: كي ذ ي الرض مذ ات ي الس لد لو مذ 171) اع ﴿ ا ال تايرق هعذ ب ا ل ا (103)آل عران: ﴾ت
د اس ا ياؤمن ذ ن يكير ذلطذغت ين قد تالاهن الرشد من الغي ي الد ثا ال ﴿ال إكراه ة ال سك ذلعر تذم لهذ هع عه ﴾ )اللرة: اني ا س 256)
بذدله ذلتي ىي أحسن إن رك ى عظة ال سنة ال ة ن ض عن سلهو ﴿ادع إل سله رك ذل ك أع
هتدين﴾ )الن : أع ذل ى 125) ن إ ﴿ ا ا لعك تارح اتا يك ا اهن أح ة أ ؤمنن إح ذ ال (10)ال جرات: ﴾ن ك من ديذرك أن تالارى ﴿ ل يخرب ين ي الد ك عن الين ل ياذت س ال ياناهذك ا تا ي ا إلهه إن ا ط
سطهن (8)النت نة: ﴾ال
2. As-Sunnah
س : )لهأتهن ع أمتي مذ عهو ا ر قذل: قذل رسل ا ن ع عن علد ا أت ع ني إسرائه حإن ني إسر الناع ذلنا نع لك، ي أمتي من ي ائه تايرقت ع ع حت إن كذن مناه من أت أمو عالنهة لكذن
ي ا سلعهن مة، كه تايترق أمتي ع ثالث سلعهن مة من ىي يذ رسل ثنتاهن ا: " احدة( قذل لنذر إال مة اه الترمي ذي(. ر أ ؟" قذل: )مذ أنذ عهو ا
عظ قال عهانذ ا م ث أ ا عهو س ات يا نذ رسل ا عظة هغة عن العرذض ن سذرية: نذ م
كأن ىه ذل قذئ يذ رسل ا ب ا بت مناهذ ال ذل: رت مناهذ العهن ذ ا تاعهد إلهانذ، ا دع عظة م مسهار إن علدا حل هذ إنو من يعش منك اعدى الطذعة ع الس ى ا هك تا هك ى احتالذ ك هرا )أ اع
سنة الخيذء اب سنت ا عهاهذ ذلنا عض ا هذ سك هديهن الراشدين ت ر إن ك ال م دثذت الم إيذك اه أ داد ك دعة ضاللة(. ر م دثة دعة
س قذل: )إن ني إسرائه تايرقت ع عهو ا ن مذلك أن رسل ا رقة عن أنس سلعهن إحدى
رقة اهكت ت سلاعن احدة ح إن أمتي ستايترق ع رقة رقة اثا سلعهن سلعهن اتاهك نتاهن إحدى ك اليرقة؟ قذل: )رقة تخص من ت ا: يذ رسل ا ذعة ( قذل ذعة الج اه أحدالج (. ر
عهو ا ن مذلك قذل: قذل رسل ا رقة عن أنس سلعهن س : )إن ني إسرائه ااتارقت ع إحدى
احدة ي النذر إال رقة، كهذ سلعهن إن أمتي ستايترق ع ثنتاهن ذعة ىي الج اه ان مذبو (. ر
ن يزيد، عن علهدة عن قاتاهلة ن سعهد ر، عن إاراىه ص، عن من الح ري، قذال: حدثانذ أ ىنذد ن السس : ) عهو ا ، قذل: قذل رسل ا ، عن علد ا ذني رن ال الس ني، حهار أمتي ال ث الين ين يا
ناه ناه يا م تسلق شهذدة ث الين يا هنو شهذدتو ، ث يجيء قا ي هنو ي حدي و، « أحدى ي رن ل يكر ىنذد الام قا عهو(. متيق قذل قاتاهلة: ث يجيء أ
ذ س : )إن الو عهو ذن قذل: قذل رسل الو قذل رسل عن ثا ضهن(، قذل: ة ال أحذف ع أمتي الئ
س : ) الو عهو ال يضرى من يخله حت يأتي أمر الو(. ق ظذىرين ال تازال طذئية من أمتي ع الالو اه الترمي ر
س ، قذل: ) عهو ا ر، أن نلي ا ن ع ع الو عن ا ذعة أمتي ع ضاللة ال يج يد الو ع الج دا، أ
اد العظ ، إنو ا الس ي النذر ىكا، ذتلع اه ال ذك «. من ش ش ر
ع ى لة س غداة الع عهو ا ن علذس قذل: قذل رسل ا طت لو عن ا ا ط لي ح قتو ال نذا( ث قذل يال أم ذل ىؤالء )ذرم ي كيو جع يانايضهن الخف هذت ىن ح : )يذ أياهذ النذس سلع ح
ين إنو أىك من ي الد الغ أحد إيذك اليظ لو(. ان مذبو ) اه النسذئي ي الدين(. ر كذن قالاك الغ
ذة عن مذلك ن أنس رضي ا عنو: ) اه اللههيعدل كه ال (. ر
ذي م عن عر ان الخطذب، قذل: )أ اه رزينأيه اقاتديات اىتديات (. كذلنج ر
س : ) عهو ا ذيعن أي ىريارة، قذل: قذل رسل ا ا أ ذي، ال تسل ا أ الي نايسي ال تسل ، ا أن أحدك أنايق م أحد ىلذ، مذ أدرك هيو(. متيق عهومد أحدى هده ل ال ن ،
س قذل: ) ا عهو ذ: أن رسل ا ر رضي ا عناه ن ع د عن علد ا ر، ا ذ رب قذل لحهو يذ كذ أي
ذ(. منيق عهو ء هذ أحدى ذ
3. Aqwal al-Ulama لهذؤه آل أ : 110، ص 1م د ن علد الرحن ن م د العذي ال نلي، ج ، رسل ا
.أى السنةاإلسنذد من حذئص ىه المة، ى من حذئص اإلسالم، ث ى ي اإلسالم من حذئص
اب أ ال سن عي ن إسذعه ن إس ذق ن سذل ن إسذعه ن علد ا ن ، رسذلة إل أى ال غر لذب الرة، عذدة الل ث س الشعري، علد ا شذكر م د الجنهدي، الدينة الن مس ن أي ردة ن أي م
:172، ص 1ج العي،
ا ع الكف عن كر ال ذة ن و، ع أبع أنه أحق أن ين ر م ذسنه ، عهه السالم إال خهر مذ يكرلو رسل ا أحسن الاى مت هن ي لك ل أن نظن ه أحسن الظن، يتس لعذله أض الخذرج، ى إال خهر الكر. *** ا(. قذل أى الع معن لك ال تكر ا عهو س : )إ ا كر أ ذي أمسك
III. PASAR BEBAS (FREE TRADE)
Deskripsi
Sebagai bagian dari warga dunia, Indonesia tidak bisa menghindar dari system
perdagangan global yang mempertukarkan barang dan jasa dengan mekanisme
tertentu. Ada banyak mekanisme perdagangan global, salah satunya adalah
diberlakukannya pasar bebas, dimana penjualan produk antar negara tidak lagi
dikenakan pajak, bea masuk atau hambatan perdagangan lainnya. Peran pemerintah
kurang lebih seperti wasit yang memastikan tidak ada kecurangan, sementara aturan
mainnya ditentukan oleh regulasi internasional seperti GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade), WTO (World Trade Organisation), GATS (General Agreement on Trade
in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right), TRIMs (Trade Related
Invesment Measures), AoA (Agreement on Agriculture) dan sebagainya.
Dalam konteks lokal Asia Tenggara, Negara-Negara yang tergabung didalam
ASEAN telah sepakat untuk memberlakukan pasar bebas yang disebut AFTA (Asean Free
Trade Area) pada bulan Desember 2015. Beberapa point kesepakatan AFTA antara lain
adalah penghapusan pembatasan komoditas dan penghapusan bea masuk impor
komoditas yang berada dalam kategori General Exception (GE). Di luar GE, diberlakukan
CEPT- AFTA (Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area), yakni
tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif. Komoditas CEPT- AFTA
umumnya adalah komoditas yang terkait dengan keamanan nasional, keselamatan, atau
kesehatan manusia, binatang, dan tumbuhan, serta untuk melestarikan obyek-obyek
arkeologi dan budaya.
Dengan diberlakukannya AFTA, arus barang, jasa, investasi, tenaga terampil
dan modal akan berputar secara bebas diantara Negara ASEAN. Mereka yang memiliki
daya saing tinggi akan meraup keuntungan besar, sementara yang tidak memiliki daya
saing akan menjadi pasar bagi pihak lain. Berdasarkan data, Indeks Daya Saing Global
(Global Competitiveness Index/GCI) Indonesia tahun 2014 berada di peringkat 34,
sementara Singapura berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 20, dan Thailand
yang berada di peringkat ke-31. Sementara Filipina berada di peringkat 52, Vietnam di
peringkat 68, Laos di peringkat 93, Kamboja di peringkat 95, dan Myanmar di peringkat
134.
Dengan posisi ini, dapat dikatakan bahwa posisi Indonesia belum terlalu siap.
Namun sekarang bukan waktunya mempertanyakan kesiapan Indonesia, karena AFTA
akan dimulai beberapa bulan lagi. Pada aras inilah NU perlu tampil ambil bagian.
Sebagai ormas keagamaan terbesar, NU diharapkan mampu memberikan landasasan
syar’i agar penanganan pasar bebas (free trade) tetap mengacu kepada fitrah
kemanusiaan. Sementera di level praksis, NU diharapkan mampu menyodorkan konsep
yang mampu mengayomi warga dari serangan modal yang kian masif.
Pertanyaan
1. Bagaimana pandangan Islam tentang pasar bebas?
2. Bagaimana keberpihakan Negara kepada rakyat dan ekonomi nasional?
3. Apa yang perlu dilakukan oleh NU sebagai jam’iyyah?
Jawaban 1. Pandangan Islam Tentang Pasar Bebas
Dalam pandangan Islam, manusia adalah alkaun al-jami’ yang diharapkan
mampu ber-relasi secara baik secara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri),
interpersonal (hubungan dunia sosial dan alam) dan transpersonal (hubungan
dengan Allah). Oleh karena itu, setiap orang diperintahkan untuk hidup seimbang.
Disamping harus berserah diri kepada Allah dengan beribadah (mahdlah), ia juga
berkewajiban mencari penghidupan (ma’isyah) untuk mempertahankan hidupnya.
Antara dunia dan akhirat, antara ibadah dan ma’isyah, antara masjid dan pasar,
tidak berdiri secara diametral, namun berada dalam formasi keseimbangan
اا أحساان كااذ أحساان الااو إل ااهلك ماان الاادناهذ ال تااانس ن ار اوحاارة هااذ آتااذك الااو الااد ال تالاا تاا هااك يسدين ) ال ي الرض إن الو ال ي (77اليسذد
الة ذنات ر ا الو ك هرا لعك تاي ن إ ا قضهت ال ا كر ض الو ا من ااتاغ ي الرض ا
اع وحرتك كأنك تت غدا اع لدنهذك كأنك تعهش ادا
ال نظذم الدين اال نظذم الدنهذ ذن الدنهذ مزرعة الحرة ى اولاة الاة الا ا الدنهذ احهاذء ( الدين م الدين, لن يانتهض 117, 4ع داد عه ة مناهج الس ال ي ط ذد من ل يالزم ( لن يانذل رتالة االقت
ي طلهذ آداب ا رياعة مذ ل ياتأدب سهاة إل اوحرة الدناهذ رياعة من ط م الدين, (ل , 2احهذء ع62)
Mengingat bahwa kemampuan seseorang berbeda antara yang satu dengan
lainnya, maka untuk memenuhi kebutuhan, mereka harus melakukan pertukaran.
Pertukaran ini dilakukan oleh sebuah mekanisme yang dikemudian hari dikenal
dengan istilah mekanisme pasar. Mekanisme pasar adalah proses yang berjalan atas
dasar gaya tarik-menarik supply dan demand sehingga terjadi kesepakatan pada
titik equilibrium.
Mekanisme pasar tersebut harus diakui telah terbukti berguna untuk
memecahkan banyak permasalahan ekonomi. Oleh karena itu, Islam pada dasarnya
mengakui keberadaan mekanisme pasar. Harga sebuah barang atau jasa diserahkan
kepada keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan ini terjadi bila
antara penjual dan pembeli bersikap saling merelakan. Jadi, harga ditentukan oleh
kemampuan penjual untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli,
dan kemampuan pembeli untuk mendapatkan barang tersebut dari penjual. Dalam
posisi pasar sempurna seperti ini, Negara tidak boleh melakukan intervesi pasar.
الك اهااانك ذللذطاا إال أن تكاان تجااذرة عاان تااارا ا أماا ا ال تااأك آمناا ا يااذ أياهااذ الااين تااا ال تا ض ماانك
ذ ) (29أنايسك إن الو كذن ك رحه
ذب مناهذ ن أتذىذ أ تعذل ائد ا اق م م الدين, ( الس (410, 1احهذء ع
. النجااذر يسااكنذن قريااة اليكاان ههااذ الزراعااة الجااداد ااذن اليااالح رااذ يسااكن قريااة لااهس ههااذ اليالحااة يهتذبذن ال اليالح ههتذج احدىذان ي رة يهتذج اليال ح الههذ لال مذعناده لالحرحتا ياأ حمناو لذلضر
ذال يهتذج اليالح ا عرضو الك طريق العذضة االان النجذرم ال ا اط من اليالح الغاءذلتو راليال ح ا ا ط اولاة مان النجاذر ذلطعاذم راذ كاذن عناده طعاذم اي الاك لك القت ال التو ال يلهعو
ذب القت اليهتذج الهو تعق الغرا دهذاذحلهذار ا ال حذنت يجع الة ك انذعة لهتر ض ذ ضطراليذهاااذت يجاااع الههذمذي ااا الياااال حااان ه اااتريو مااانه اااذح االهاااذت لهترااادو اراااذب ال ذباااذت الخذزن ه اليالح ال لب ذ ا ل يذدف مهتذبذ ذعهاذ ا ن اق ال ذبذت ظهرت لالك االس
ح.رحهص من اللذعة ه زن ذب ال ذبذت طعذ الر م الدين, (نهذ انتظذر أر (222, 3احهذء ع
ذل - ا عهو س -عن أنس قذل غال السعر ع عهد رسل الو ا يذ رسل الو سعر لنذ.ا ذل اذض سعر ال ال ظاة ا إن الو ى لهس أحد مانك يطلنا ر إن لرب أن أل اللذسط الرزاق
ال هح.«. مذل دم عهس ىا حديث حسن قذل أ رد را عي رضي الو عنو : " أحلارنذ الد اد ، قذل ال ذ ذسا ان م اذر ، عان ال د ان اذلح الت ي ، عن دا
ههااذ زهاا اا اااهن يديااو غرارتااذن اان أااي اتاعااة سااق ال سااألو عاان عاان عاار ، أنااو ماار ذطاا ، سااعر لااو مااد ذ ىاا سااعرى لااة ماان الطااذئف ت اا زهلااذ ، ثت عهاار م ين اادرى ، اااذل عاار : لااد حااد
إماذ أن تادح زهلاك اللاهات اتلهعاو كهاف ا ياعتلرن ساعرك ، إماذ أن تاراع اي الساعر ، ذ رباع شات ، ا نايسو ، ث أتا حذطلاذ اي داره ااذل لاو : إن الاي قاات لاك لاهس عزياة مناي ر حذس ال قضاذء ، ع
كهاف شات لاع هث شت شيء أردت و الخهار لى اللاد ، ذ ى ىاا إن عي ( لاع . ) قاذل ال اذاه من رى عن ر لكنو رى اعض ال ديث ، أ ذ رى مذلك لهس خالف ل ىا ال ديث مستا و ،
قل : لن النذس م و أ آحره ، ل ال ديث ال شهذ أت أ اله ، لهس لحد أن يأحىذ سطن ع أمىا لهس مناهذ ")ال ذي, اضع التي تازمه ي ال أنايسه ، إال (407, 5مناهذ غهر طه
ل ي قت الغال ا أمتعته إال ) تنلهو ( قذل ي الغني ي رم التسعهر الي السقة أن ال يلهع ء أن يأمر الاله قضااهة كالمهاا أن لااك ال يخااتص ذلطعااة ىاا كاالك )اعذنااة كااا لتضااههق عاا النااذس ااي أماا
(25,3الطذللهن,
Dalam masalah tertentu, misalnya soal distribusi pendapatan,
ketidaksempumaam pasar, dan eksternalitas, dimana mekanisme pasar tidak
mampu menyelesaikan dengan baik, Pemerintah wajib turun tangan dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi pasar untuk menjaga
kesinambungan perniagaan dalam kehidupan masyarakat.
Apabila penyababnya adalah perubahan pada permintaan dan penawaran,
maka mekanisme stabilisasi pasar dilakukan melalui intervensi pasar. Sedangkan
bila penyebabnya adalah distori terhadap permintaan dan penawaran, maka
mekanisme pengendalian dilakukan melalui penghilangan distorsi.
اح أن عار ان الخطاذب مار ذطا ساه ساف عان ساعهد ان ال نس ان ي ثني عن مذلك عن ي ن أاي دن الخطذب إمذ أن تزيد اي الساعر ر ذل لو ع ق ا يلهع زهلذ لو ذلس ى إماذ أن تاراع مان ساقنذ اتاعة
طأ, (942,4)م ، رة النذس إلههذ إال زياذدة عا الهاة العراة ذب السع من هعهذ مع ضر أمذ ال ذني أن يتنع أر
ا اذ ال معنا لتساعهر إال إلازامه هاة ال ا ، هجا أن يتزما هنذ يج عهه هعهذ هة ال ، ا أن ال يلهاع الطعاذم أ غهاره إال أناذس معران ، ألزمه أ مان ىاا أن يكان الناذس قاد التزما ا و .
ظهية تؤح من اللذئع ذ ل ا ذع غهرى لك منع ، إمذ ظ نهذ ى ، التلذع تك السع إال له ، ث يلهع هاث ال يلهعان إال هاة ال ا ، ، أ غهر ظ ، لذ ي لك من اليسذد ، هنذ يجا التساعهر عاهه
ال النذس إال هة ال ال تردد ي لك عند أحد من العذء )ال سلة, ن أم (29, 1ال ي تر لي المر إن أبلر أى النذعذت ع مذ ت تاذج إلهاو الناذس مان انذعذته كذليالحاة الد ىنذ : أن
اللنذيااة إنااو ياادر أباارة ال اا ، ال ال هذكااة ااال يكاان السااتع ماان نااص أباارة الااذنع عاان لااك ، كالك ابا ، يكن الذنع من الطذللة أك ر من لك حهث تعهن عهاو العا ، ىاا مان التساعهر البسار ل ارب غهار لاك هساتع اأبرة إ ا احتذج النذس إل من يانع لها آالت الجهاذد مان ساالح
ال العذل من مطذللته زيذدة عا حها ماع ال ذباة إلاهه . ال ، ال يكن الستعن من ظه (40, 1ها تسعهر ي العذل . )ال سلة,
Dalam kasus perdagangan internasional, pemerintah diperkenankan
menerapkan tarif dan bea masuk impor. Disamping untuk menambah kas Negara,
hal ini juga dimaksudkan untuk menstabilkan harga barang yang beredar di pasar.
Negara harus memastikan tidak boleh ada mekanisme pasar yang potensial
melakukan ketidakadilan, sehingga mengganggu terpenuhinya hak dasar seseorang,
baik yang sifatnya individual (private goods) seperti sandang, pangan dan papan,
maupun yang bersifat publik (public goods) seperti pendidikan, kesehatan,
kelestarian lingkungan, bebas polusi, dan lain-lain.
ال ، أ ال ياؤح من حري دح دارنذ رس غني اشاتارط علذرة ال تجذرة نضاطر ن ان إلهاهاذ اإن لا نضاطر ع أك اار ما نو اي ناا ز د يج أك ار من ع ر التجذرة بذز ل مذم عهه أح شيء أعياذى اإل لا ع ن ناا
ال ياؤحااا شااايء مااان ال مهاااة إال إن شااارط عههاااذ ماااع الجزياااة .ا ىاااا .)ت ياااة ال تاااذج باااذز تجاااذرة ماااي ,220,40)
( لاو ض ماع شارحو ق ر إن دح ال جذز مغني ال من غهر متجر دح أمذن لو ) ال يأح منو شهذ ( قمع لك ل أ ن لو دح ال شيء عهو لو ) إن كذن ه رم اإل ن ( أي أيضذ لعدم التزامو مذال اه ع ش ق
ظاذىر كالمها اي الانهج علاذرة الل ض ظذىر الر حالذ لغني مهذ إلخ ( ذقذ لنهذية كذ أشرنذ إن حاو اللهناي ذلامي قاذل إن ال راي ال الدحل لتجذرة أنو ال رق اهن الامي غهاره ىا كالك
ال أ تجذرة نضاطر يكن من دحل ال جذز ل ي دح دارنذ رس ال يؤح من حر تجذرة اه علذرة الغني نو ي ز د يج ل أك ر من ع ر التجذرة بذز اشترط اإلمذم عهه أح شيء ن ن إلههذ إن ل نضطر ال مهة إال إن شرط عههذ مع الجز ال يؤح شيء من تجذرة مي ل أعيذى بذز ع ع أك ر من ن ياة ن
كذن رط إلخ ( عطف ع مهذ لو ) اء أكذنذ ذل جذز أم غهره ق ض ن ىذ ي شرحو س اه ي الرلو ) ههه للهع ( أي خالف مذ إ ا شرط أن يأح مان تجاذرته أي متاذعه ا اه ق ل أ دل ال ال
لو ) ل ل نضطر لو ) اإن شارط اه مغني أي يهه إل ثالثة أيذم أق كذ يأتي ق له ق إلخ ( مل قلاو ) ال يكيان ( ا إلخ ( أي خالف مذ ل شرط أن يأح من تجذرتهذه أسن ق عهه ع ر ال ن أمهط لو ) عضذ عنو ( أي ال ر ط من ثن متذع التجذرة ق لو ) دلو ( أي دل ال ر أي اللهع اه ع ش ق
ط لو ) ي قدره ( أي ال ر لو ) كذ كذن عر رضاي ا تعاذل عناو يأحا إلاخ ( إناو كاذن من ال ن ق قيأحاا نااف الع اار ماان ال نطااة ا إلاا الدينااة ع اار عااض المتعااة كذلطهيااة يأحاا ماان الاالط إ ا اتجاار
ان , (282, 9ال عهر ترغهلذ له ي حهذ ل ذبة إلههذ اه مغني )ال ر
2. Keberpihakan Negara Kepada Rakyat dan Perekonomian Nasional
Dalam pandangan Islam, negara sebagai artikulasi kekuasaan Allah di muka
bumi, mempunyai tugas mewujudkan kemaslahatan di antara rakyatnya secara
dhahir dan batin. Dalam soal ekonomi, Negara wajib menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan secara adil, mendistribusikan kekayaan negara secara merata kepada
rakyat, sehingga tidak terjadi konsentrasi perputaran modal diantara mereka yang
kaya saja. Negara harus memastikan bahwa sumber daya (resources) yang ada
dikelola untuk sebesar-besarnya memberikan kemakmuran bagi rakyatnya.
Oleh karena itu, negara harus menciptakan struktur ekonomi yang sehat dan
adil. Resources diprioritaskan untuk menutup kebutuhan dlaruriyat (necessities), dan
hanya surplus resources yang dicurahkan untuk hal-hal yang hajiyyat (comforts) dan
hal-hal yang tahsiniyyat (luxuries). Rakyat harus diberi akses yang sama untuk
mengakses sumber daya alam, memproduksi, mendistribusi, dan mengambil
keuntungan dari modal tersebut, asal dilakukan secara fair, adil, dan tidak
menimbulkan mafsadah, baik secara mikro ataupun makro.
Pada saat yang bersamaan, baik negara maupun rakyat harus sama-sama
merevolusi mentalnya. Negara harus berkomitmen tinggi untuk menjadi
pemerintahan yang bersih, jujur, adil dan konsisten memerangi segala tindakan
yang menjadi virus bagi penyehatan ekonomi Nasional. Sementara rakyat harus
meningkatkan kreativitas dan kapasitasnya agar mampu bebuat di pasar bebas.
Tentu lagi-lagi negara harus turun tangan mendampingi mereka, melindungi,
mendidik, meningkatkan skill dan memberinya akses yang luas terhadap
permodalan.
Apabila cara ini sengaja tidak dilakukan, atau dilakukan dengan main-
main, maka rakyat harus melakukan amar ma’ruf kepada pemerintah sesuai
porsinya untuk menghindari tindakan anarkis. Mengharapkan orang terus bersabar
menahan lapar, sementara lingkunganya bergelimang dengan segala kemewahan,
tentu sangat tidak bermoral. Al-Qur'an menyebut manusia jenis ini sebagai
pendusta agama.
ثنا ع، عان علاد الاو رضاي الاو عناو: أ ح ثني ناذ د، حدثانذ ي ه ، عن علاهاد الاو، قاذل: حاد ن رسال مسدس قذل: ا عهو سل عن رعهتو، ذلمهر الي ع »الو مسل كك راع ى النذس راع
الارأة راعهاة عا اهات اعهاذ مسال عاناه ، ى الرب راع ع أى اهتو لة عناه ، ىاي مسا لاده ىاا مساال عناا العلااد راع عاا مااذل سااهده ككاا مساال عاان رعهتااو عااناه ، ككاا راع اه « و، أال )ر
اللخذري(
لاهس لاو منازل اهتخا لاي لناذ عاال سا ياال مان الها عهاو عت النلي لهسات لاو س منازال أذب شه زبة اهتاز من أ ة لهست لو داة اهتخ دا لهس لو حذدم اهتخ حذدمذ أ ذ سى لك ج أ
غذل )احد( اه
ال عناهذ ة ط اليرات لرأياتني مسؤ ع ارت اغ ل ا )عر ن الخطذب( أمذم ا
بهاو أ عظا بساو مان حسان شاكو أ مالحاة اع أن م ة الرعهة اي الساطذن لهسات اي اتاو إناذ ما ته هاو مان حهاث إضاذتة إلاهه ، اإن ب ذنو أ اتسذع عو أ بدة حطو أ ثب ىناو،
ىي نسلة هن منتس ر اإلضذهة، السطذن من الم لهن. هة السطذن أنو الذلك لرعهة الذئ الك الاية التاي لاو مان حهاث إضاذتو لها الرعهة مان لهاذ ساطذن، رى عهه ، ذلسطذن من لو رعهة ي أماعهااذ ماان الجاادة كااذن حاا ت نااو يكهاا ااإ ا كذناات ىااه الكااة ىااي التااي تساا الكااة ىااي ك
به إن كذنات الد من السطذن ع أت ال ، إنهذ إن كذنت بهة ذل ة كذن لك ما ة لها ، إىالكذ لهز )مدمة, ( 96, 1سهة متعسية كذن لك ضررا عهه
لاة اي حياظ حاق الد رية لك، ىي الهذم عا الجلذياذت ظذئف الضر ظهية من ال اع أن ىه التدير أ إحذء ا لعسذكر أسذئه ، الخرج ع اي الدح الربا رزاقها ارف أعطهاذته اي إذنذتهاذ،
رة اي كتااذب شااذىد لاة، ىااي كهاذ مسااط مااو تاك العااذل، قهذرمااة الد انهن التااي يرتلهاذ ق لاك إلاا الام او إال الهارة مان أىا تاك الخرح ملني ع بزء كلهر من ال سذب، ال يا تيذه لك ي الدح
يس لك الكتذب ذل ان )مدمة,العذل، ( 129, 1دي أل رعله قب الرعذيذ حت السلذب العدة أمدى ذلة ذنظر كهف سط ا تعذل السالطهن
ا أبزاء اللد كأنهذ أبازاء كهف ىدى السالطهن إل طريق إالح اللالد حت رتل كرىذ ا له طعذ أ عناحد ينتيع اللعض احد تتعذن ع غرض زعاذء شخص الساجن الضذة ا الرؤسذء منهذ ذللعض رتل
التعذن حتا اذر ال اداد ينتياع ذلاذب ألزمى التسذعد ا الخق إل قذنن العدل اضطر اق السينتياع ال اراث ذل جاذم كه ينتيعن ذل داد ذر ال جذم ينتيع ذل راث الخلذز سذئر أى اللد
احااد ساا احااد كاا بعااو كااذ يتعااذن كاا انضاالذطه ت اات ترتهاا السااطذن ابتااذعه ل تاارتهله ينتيع عضهذ لعض بهع أعضذء اللدن
الذعدة الخذمسة ترف اإلمذم ع الرعهة منط ذل ة ( ىه الذعدة نص عههذ ال ذعي قذل منزلةلي من الهته قت : أ لك : م ر ي سننو قذل حدثنذ أ اإلمذم من الرعهة منزلة ال ذ أحربو سعهد ن من
الحص عن أي إس ذق عن اللراء ن عذزب قذل : قذل عر رضي ا عنو : إني أنزلت نيسي من مذل ا الي الهته إن احتجت أحت منو إ ا أيسرت رددتو إن استغنهت استعييت ال ان قذل لي -نزلة
ر راعذة ال ه منهذ : أنو لهس لو العي عن المر مأم ة ال م ة ي ح النذس ع ع الكرالذص مجذنذ لنو حالف ال ة إن رأى ال ة ي الذص اقتص أ ي الدية أحىذ منهذ : أنو
ج ج ع الح ز لو أن يدم ي مذل هت الذل غهر الح النظذئر ال يج / ص 1)ج -شذعي -الشلذه 233)
سكهن )الذعن ال ي ض ع طعذم ال لك الي يدع الهته ين ب ذلد )3-1: أرأيت الي يك
تعطا مذت لىاذ ذلعادل النطعات الخا د ا تنذ حق الدنهذ زادا لعذد لهتنذل منهذ ماذ ياح لتازلكااانه تنذ مذت سااات ال ذباااة إلااا ساااطذن يسساااه اليهاااذء لااادت منهاااذ الخااا ات ت لىاااذ ذل اااه
طرياق التساط اهن الخاق إ ا احتذج السطذن إل قذنن يسسه و ذليهو ىا العاذل اذنن السهذساة مرشااده إلاا طاارق سهذسااة الخااق ضاالطه لهنااتظ ات كااذن اليهااو معاا السااطذن ا كاا ال ااه تنااذزع
اساطة الادنهذ اإن الادنهذ ذستذمته لعاري إناو متعاق أيضاذ ذلادين لكان ال نيساو ا رى ي الدنهذ أمم الدين, ال يت الدين إال ذلدنهذ )احهذء ع ( 17, 1مزرعة اوحرة
الناها ابلااذت ال ارع ناهاي عاان منكار ( أي : المار عارف ي عان م رمذتااو إ ا لا يخاف عاا ) اأمر ال يانكر إال م قع ، ا نكر ال ع غهره ميسدة أعظ من ميسدة ال مذلو أ ذ يارى اليذعا ت رياو نايسو أ
ع عرضو م.ر أ لو ع نايسو( أى ف عا الغهار إىاا اللجهرما عا الانهج )قا ي ارم ماع الخا غهره 248الجزء الراع ص :
و كال إن قا كاذ شا مذلاو ه عضا عرف أن ياأمن عا نايساو بب المر اذل عرضاو شرط مها ا ذ ى ي رم مع ا ك قع ا نكر ال ع غهره أن يخذف عهو ميسدة أك ار من ميسدة ال ف ع ظذىر لخ
لاذء ذلهاد إلا التاهكاة مخ الناهي عن اإل ف ع النايس يسن مع الخ ه الغهر ن ا اص غهار الجهاذد تا طع ناي نكر عهو ال يا أن يأمن أيضذ أن ال قات ع حرام غهر زنذ كره ع ال ك ىا م تاذج إلهاهاذ و
ااش ال يانتاا إلاا مااذ ىاا أ ت اا أم ال اناتاهاات يزيااد عنااذدا ر ي نكااذر أظاان أن الااأم م اإل اء ااي لااز ساا )182حذشهة الج ع شرح النهج الجزء الخذمس ص : (
3. Yang perlu dilakukan oleh NU sebagai jam’iyyah
Umumnya, ekonomi warga NU tumbuh secara natural karena adanya
sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya
insentif artifisial, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan
kelimpahan sumber daya alam, sumber daya manusia, serta peluang pasar.
Oleh karenanya, NU perlu meningkatkan daya saing global jama’ahnya agar
mampu bersaing di pasar bebas. Beberapa tindakan yang cukup mendesak untuk
dilakukan antara lain adalah:
1. Perluasan akses warga NU terhadap sumber-sumber daya produktif
(prasarana sosial ekonomi, permodalan, informasi, teknologi, dan inovasi
teknologi, serta pelayanan publik dan pasar);
2. Pengingkatan kualitas SDM masyarakat NU;
3. Mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja dengan meningkatkan
produktifitas dan nilai tambah usaha pertanian dan penumbuhan aktivitas
ekonomi non pertanian;
4. Peningkatan kualitas pelayanan-pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan,
permukiman, infrastruktur ekonomi, dll);
5. Peningkatan partisipasi masyarakat NU dalam proses pengambilan keputusan
Negara;
6. Pemantapan kelembagaan dan organisasi ekonomi berbasis masyarakat NU;
7. Peningkatan koordinasi lintas bidang, baik dalam internal NU, maupun
dengan pihak terkait. ***
IV. HUTANG LUAR NEGERI
Deskripsi :
Sejarah bangsa Indonesia ternyata sangat lekat dengan utang luar negeri. Sejak
Indonesia merdeka pada tahun 1945, utang luar negeri tidak pernah terlepas dari kita.
Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir
triwulan I-2015 mencapai 298,1 miliar dollar AS. Utang tersebut terdiri dari utang luar
negeri pemerintah sebesar 132,8 miliar dollar AS (44,5%) dan utang sektor swasta
sebesar 165,3 miliar dollar AS (55,5%). Posisi ini tumbuh melambat yakni 7,6 % (yoy)
dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni 10,2 % (yoy).
Jika dibandingkan dengan data kekayaan sumber daya alam, kondisi tersebut
sangat ironis dan mengkhawatirkan, walau pemerintah dengan indikator ekonomi
makro masih menyatakan aman. Akumulasi hutang yang menumpuk membuat
pertumbuhan ekonomi tidak bergerak, rawan resiko, dan menimbulkan disinsentif bagi
pengelola ekonomi untuk mencapai kinerja baik akibat terlalu besarnya transfer keluar
untuk memenuhi kewajiban hutang luar negeri.
Sebagai bangsa yang mendambakan kemandirian dan bermartabat di mata
dunia, kita menginginkan negara yang bebas utang. Walau tidak mudah, sudah saatnya
kita merenungkan kembali kebijakan defisit anggaran yang digunakan untuk
mendukung ekspansi fiskal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita tidak
boleh selamanya terjebak pada skema pembiayaan utang untuk membiayai
pembangunan. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi baru agar pembiayaan
pembangunan tidak lagi mengandalkan dari utang.
Pertanyaan
1. Dalam situasi apa negara boleh utang
2. Untuk kepentingan apa uang hasil utang bisa digunakan
3. Apa yang perlu dilakukan agar negara terbebas dari hutang?
Jawaban
1. Dalam situasi apa negara boleh utang
Allah menjadikan manusia secara berpasangan, ada yang kaya dan ada yang
miskin. Lazimnya, utang dilakukan oleh si miskin karena adanya ketidakseimbang
pengeluaran (out put) dan pemasukan (input). Oleh karena itu, mencari pertolongan
berupa pinjaman kepada orang lain untuk menambal selisih input dan out put tidak
dilarang. Sementara meminjami orang/pihak lain yang tengah tertimpa musibah
“ketidakseimbangan input dan out put” dipandang sebagai kebaikan.
Berkaitan dengan transaksi hutang, Islam mengajarkan sebisa mungkin dapat
menahan diri dari berhutang. Jika terpaksa dilakukan, maka sejak awal harus selalu
berusaha untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan waktu yang disepakati, atau
seketika punya kemampuan untuk membayar. Sengaja mengulur pembayaraan
dipandang sebagai sebuah kedzaliman. Dari sisi kreditur, Islam mengajarkan
hendaknya dalam memberikan pinjaman, kreditur tidak bermaksud lain kecuali
menolong, apalagi mencari utung. Jika sudah jatuh tempo, tapi pihak debitur benar-
benar dalam kondisi tidak mampu, dianjurkan untuk memberi tenggang waktu dengan
rescheduling atau membebaskannya.
Demikian juga negara. Sejauh ia dapat membiayai dirinya sendiri, posisi tidak
mengambil hutang adalah jauh lebih baik. Hutang hanya diperkenankan dalam posisi
yang sangat membutuhkan untuk pembangunan yang sifatnya produktif sehingga dapar
segera membayar kembali.
م ذحلو من يض الدين إن تو تضعف الرب حالل ثالث ي يدين من إال. مذت إ ا الهذمة ي ي قاريو يكينو مذ يجد ال مس عنده يت رب . عده ا لعد و يتى هستدين ا سله دين إال ية نيسو ع ا حذف رب . م ىؤالء عن يضي ا إن. دينو ع ح هة هنكح العز ان) الهذمة ي
(مذبو اإل من سن – س عهو ا – النل ع لرب كذن قذل – عنو ا رض – ىريارة أ عن
ا« . أعطه » – س عهو ا – اذل ياتاذضذه جذءه ا ا ، سنو طل قاهذ سنذ إال لو يجد ا ، أاهتن اذل « . أعطه » اذل . حهذرك إن » – س عهو ا – النل قذل . ك الو
قضذء أحسنك
ال أح من » قذل – س عهو ا – النل عن – عنو ا رض – ىريارة أ عن يريد النذس أمداءىذ الو أتايو إتالاهذ يريد أح من ، عنو الو أدى أ
ا ، ظ الغن مط » قذل – س عهو ا – الو رسل أن – عنو ا ضر – ىريارة أ عن إ اهتلع م ع أحدك أتلع من معسرا اهانظر – ظو الو يظو أن أح لو لهضع أ
2. Untuk kepentingan apa uang hasil utang bisa digunakan
Sesuai dengan maqamnya, utang hanya diperkenankan untuk membiayai
hal-hal yang sifatnya mendesak (hajiyyat), dan diprioritaskan untuk pendanaan hal-
hal yang berimplikasi pada hajat hidup rakyat, seperti pembangunan energy dan
infrastruktur. Hal ini karena tugas negara pada hakikatnya adalah menegakkan
keadilan dan kesejahteraan bagi semua, terutama bagi kalangan rakyat lemah, tanpa
membeda-bedakan latar belakang keyakinan agama dan kesukuan mereka. Rakyat
kecil dan lemah itulah yang senantiasa harus menjadi prioritas kerja negara, baik
dengan uang sendiri atau uang pinjaman. Dana utang sama sekali tidak
diperkenankan untuk membiayai pos-pos yang menguntungkan sebagian kecil
rakyat, apalagi dengan cara-cara yang tidak halal.
اإ يال كذن -س عهو ا - الو رسل أن ىريارة أ عن ؤمن تا الو رسل عهد العهو -س عهو ا - ين ا إن «. قضذء من لدينو تارك ى » اهسأل الد . ناع قذل عهو إن ا ا» قذل . ال قذل ذ«. ذحلك ع لو ع الو اتح ا ح رس ل أنذ» قذل اليت أ
ؤمنهن ن أنايسه من ذل عهو تا مذال تارك من قضذؤه اع دين رثتو اه ل عو كنت -س عهو ا - النل أحدم كنت قذل مذلك ن أنس عن اله » يال ك هرا أسال زن اله من ك أع إن ضع ين غلة الد كره مذ اعض كر «. الربذل ه .التا
لعض تك . ق أ دين س عهو ا ا نلي يط رب بذء قذل علذس ان عن إن س عهو ا ا رسل ذل. و س عهو ا ا رسل ذة ه الكالم يضهو حت ذحلو ع سطذن لو الدين ذح
3. Apa yang perlu dilakukan agar negara terbebas dari hutang?
Secara prinsip, negara harus berkomitment untuk segera melunasi semua
hutangnya. Postur APBN harus ditata sedemikian rupa agar pembangunan tetap
berjalan, namun pada saat yang sama hutang juga terbayar. Untuk kepentingan ini,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pada dasarnya yang wajib kita bayar adalah utang-utang pokok,
bukan beban bunga. Oleh karena itu sah apabila Pemerintah RI menuntut
pembebasan bunga dari negara-negara kreditor.
Kedua, Pemerintah harus secara tegas mengontrol anggaran agar tidak
bocor, dan menarik kembali uang negara yang telah dijarah oleh para koruptor, baik
dari kalangan pejabat atau pengusaha.
Ketiga, pemerintah sedapat mungkin melakukan efisiensi dengan
menggunakan barang dan jasa dalam negeri yang dibarengi dengan kebijakan pro
growth, pro job, pro poor, dan pro environment.
Keempat, Pemerintah dianjurkan melakukan optimalisasi dana penerimaan
pajak, cukai dan pembiayaan non utang dari keuntungan pengelolaan aset negara,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah dari
penerimaan Rekening Dana Investasi (RDI), Rekening Pembangunan Daerah (RPD),
Rekening Pembangunan Hutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening
lainnya. ***
V. HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF HAM
Deskripsi
Islam secara tegas mensyariatkan hukuman mati yang lazim disebut
qishash. Yakni, hukuman mati sebagai sanksi hukum atas tindak kejahatan
pembunuhan. Hukuman mati juga diterapkan untuk berbagai tindak kejahatan
berat tertentu. Hukuman mati atas kejahatan berat yang sangat keji merupakan
peringatan dan ancaman keras bagi siapa pun agar tidak melakukannya.
Beberapa negara ternyata menerapkan hukuman mati untuk tindakan
tertentu yang membahayakan dengan berbagai tujuan. Namun, banyak lebih
banyak negara tidak menerapkan hukuman mati. Pro dan kontra hukuman mati
sampai sekarang menjadi perdebatan yang tidak berujung. Pihak yang setuju
penerapan hukuman mati mempunyai argumen yang rasional dan faktual, tetapi
pihak yang tidak setuju tentu tidak kurang alasan.
Pertanyaan 1. Mengapakah Islam menerapkan hukuman mati?
2. Apakah hukuman mati tidak melanggar Hak Asasi Manusia?
Jawaban 1. Islam Menerapkan Hukuman Mati
Hukuman mati yang diterapkan dalam syari'at Islam merupakan bukti
upaya serius untuk memberantas kejahatan berat yang menjadi bencana
kemanusiaan. Misalnya, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan. Sanksi
hukuman mati itu merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi.
Hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, dan
menjadi pelajaran paling efektif bagi orang lain supaya tidak berbuat hal yang
sama.
Dengan demikian, dapat difahami bahwa hukuman mati pada hakikatnya
dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain; a. memberantas tuntas kejahatan
yang tidak dapat diberantas dengan hukuman yang lebih ringan, b. orang lain
akan terkendali untuk tidak melakukannya karena mereka tidak akan mau
dihukum mati, c. melindungi orang banyak dari tindak kejahatan itu.
2. Hukuman Mati Tidak Melanggar HAM
Hakikat disyari'atkannya hukuman mati sebagaimana paparan di atas
telah jelas, bahwa hukuman mati tidak dapat dinyatakan melanggar HAM
terkait dengan hak hidup seseorang. Akan tetapi hukumam mati justeru
memberantas pelanggaran HAM yang menjadi bencana kemanusiaan terkait
hak hidup banyak orang. Lebih jelas dan tegas, dapat disimpulkan beberapa hal,
antara lain:
b. Hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal dengan kejahatan berat
yang telah dilakukan, yakni pembunuhan, atau kejahatan berat lainnya yang
merebak dan sulit diberantas dengan hukuman yang lebih rendah.
c. Hukuman mati yang seimbang dengan perbuatannya itu merupakan
pelajaran yang paling efektif bagi siapa pun untuk tidak melakukan
kejahatan berat yang serupa.
d. Hukuman mati yang setimpal dengan kejahatannya itu merupakan cara
yang paling tepat untuk melindungi masyarakat luas dari berbagai bentuk
kejahatan berat khususnya.
B. Dasar Penetapan
Al-Qur'an
تا ﴾ )اللرة: ي ال ذص عهك ال ا كت (178﴿ يذأياهذ الين ءامن
لي الللذب لعك ذص حهذة يذ أ ي ال لك ن ﴾ )اللرة: ﴿ (179 تاتا
ك من أحهذىذ هعذ ذ قات النذس ب كأن ي الرض سذد هعذ ﴾ ﴿ من قات نايسذ غهر نايس أ ذ أحهذ النذس ب أن (32)الذئدة:
Al-Sunnah
س : )ال ي دم امرئ مس ، ي هد عن علد ا ن مسعد رضي ا عنو قذل: قذل رسل ا ا عهو ال النايس ذلنايس، الزاني، أني رسل ا، إال إحدى ثالث: ال اه تذرك لدينو اليذرق أن ال إلو إال ا،
ذعة(. مت ج اليظ لس .ل يق عهو
Al-Maraji'
معذل التنازي / تيسهر اللغي:لو تاعذل : ذص حهذة قا ي ال لك تنع عن ت ، ي ت إ ا ع أنو إ ا قات يا د ل ذ لك أن ال ذء، ، أي: ا
هو ا ت ، اهكن و. )معذل التنازي / تيسهر اللغي، ال سهن ن مسعد ن م د ن ال ت ذء من ى ذؤه اي، ال ق:اليراء اللغي، ت، دار إحهذء التراث العر ، 1ىا، ج 1420، سنة 1طلعة علد الرزاق الهدي، هر
(210ص
تيسهر الرآن العظه / تيسهر ان ك هر:أ يال تا انذ كتلنذ ع ني إسرائه أي شرعنذ له عد ذ ن آدم أحذه ظ نذى أنو من عذل : من أب قات ا ع
من أ هعذ ذ قات النذس ب كأن ي الرض سذد هعذ أي من قات نايسذ غهر نايس أ ذ أحهذ النذس ب كأن حهذىذ ال بنذية، است قاتاهذ ال سل ي الرض، سذد ذص أ من ق ذ قات النذس قات نايسذ غهر سل كأن
هعذ د س النذس كه منو ، لنو ال ارق عنده اهن نا ب د لك، ا اعتا من أحهذىذ، أي حرم قاتاهذ نايس، يس ن علذس ي عن ا قذل الع هعذ. ..... ذ أحهذ النذس ب كأن لها قذل لو ها االعتلذر، ذ قات النذس : ي قا كأن
هعذ قذل سعهد ن ب هعذ، م من قات النذس ب احدة حرمهذ الو، اه بلاهر: من است ، يال: من قات نايسذ هعذ، ذ است دمذء النذس ب كأن دم مس ى ل هعذ، ىا قا ذ حرم دمذء النذس ب كأن من حرم دم مس
م د ال ق:الظهر. )تيسهر الرآن العظه / تيسهر ان ك هر، أ اليداء إسذعه ن عر ن ك هر الرشي، ت، دار الكت العهة، (84-83، ص 3ىا، ج 1419ة سن، 1طلعة حسهن شس الدين، هر
أحكذم الرآن، أ كر أحد ن عي الرازي الجذص :
لو لرس ة إن كذن من أى الة، ع من عظت بريرتو ذلجذىرة ذلعهةقد يح إطالق ليظ ال ذرى زيد ن أس عن أهو أن عر ن الخطذب رأى معذ ا يلكي ذل: مذ يلكهك؟ قذل سعت الدله عهو مذ رة(، أطق لهذء ا د ذرز ا ذل ذر من عذدى أ ذ شرك س يل: )الهسهر من الر رسل ا ا عهو
ل يكر ة لهذء ا تعذل لك عهه اس ال ذر من حذرب مسذ ع أح مذلو ه معذد ل )أحكذم .الردة ي، ت، دار إحهذء التراث العر (51، ص 4ىا.، ج 1405الرآن، أ كر أحد ن عي الرازي الجذص، هر
الجنذيذت ي اليو اإلسالمي :
لو تعذل : }من أب لك كتلانذ ع ي الرض ي ق سذد ذ ني إسرائه أنو من قات نايسذ غهر نايس أ كأنهعذ هعذ{ )اوية قات النذس ب ذ أحهذ النذس ب كأن اض ة إل أن 32من أحهذىذ رة الذئدة( إشذرة بهة من س
إنذ تع ع الجتع كو؛ لنهذ تنتهك عة اإلسالمهة ال تعالجنذية ي نظر ال ري ع الجني عهو ط، إ ا كذن ضررىذ عذمذ إن العالج النذبع لهس ي ترك تعق تدمو، تق ىدءه، تهدد مسهرتو، حرمتو
تعهالت ال ت ة عن الجرمهن لسلذب اء التي تع عهذ ي درء الع الى ستند إل دله مذ اليسيذت اطن الداء ك حزم. إنذ ي مجذهة م الجنذيذت ي اليو اإلسالمي، حسن ) يؤدي إل إقالق شأن اومنهن،
. ***(37، ص 1، ج 2طلعة عي ال ذ لي، دار الكتذب الجذمعي،
VI. ASAS PRADUGA TAK BERSALAH
Deskripsi :
Di antara hadis yang sangat popular di kalangan kaum santri adalah sabda Nabi saw.:
د ك ل لد م .اليطرة ع يا
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Hadis ini mengandung arti bahwa pada dasarnya manusia itu putih, bersih, jujur,
adil, baik, dan seterusnya. Sejalan dengan prinsip dasar ini adalah suatu asas yang di
kalangan ahli hukum, baik hukum positif maupun hukum Islam, dikenal dengan istilah
asas praduga tak bersalah, yakni bahwa manusia pada dasarnya tidak bersalah. Kaidah
Fikih mengatakan;
مة ا اراءة ال .ل
“Pada asalnya, (seseorang) terbebas dari tanggung-jawab.”
Dalam ibarat yang lain dikatakan;
تاه داناتو تا لت حت ريء ال .إ
“Orang yang yang dicurigai bebas dari (kesalahan) sampai terbukti kesalahannya.”
Berdasarkan asas ini, bila terjadi sengketa antara dua pihak yang satu berstatus
sebagai pendakwa ( مدع) dan yang lain sebagai tersangka/terdakwa ( عهو مدع ), maka
yang memiliki posisi kuat adalah tersangka/terdakwa. Sedangkan pendakwa berada
dalam posisi lemah. Oleh karena itu, suatu gugatan/dakwaan tidak bisa diterima kecuali
memiliki alat bukti kuat yang dapat mengalahkan asas praduga tak bersalah, yaitu
bayyinah/saksi yang telah teruji integritasnya.
Apabila pendakwa tidak memiliki alat bukti yang kuat, maka terdakwa bisa
dimenangkan dengan hanya mengajukan hujah yang lemah, yaitu sumpah. Nabi saw.
bersabda;
اى النذس ياعط ل ال ربذل الدع دع م أم دمذءى قا لكن , نة عي ع اللاها د هن ال اله ع
.أنكر من
“Andaikan seseorang dituruti berdasarkan dakwaannya, tentu semua orang akan
menuntut darah orang lain dan hartanya, tetapi bukti adalah kewajiban pendakwa dan
sumpah merupakan kewajiban pihak yang mengingkari (dakwaan).”37
Pertanyaannya: dalam soal apa/dalam wilayah apa asas praduga tak bersalah ini
dapat menjadi pegangan?
Pertanyaan ini muncul karena banyak persoalan dimana asas ini tidak bisa
digunakan misalnya soal periwayatan (اية Riwayat dan .(شهذدة) dan kesaksian (ر
kesaksian seseorang tidak bisa diterima kecuali disampaikan/diberikan oleh orang
yang telah teruji integritasnya melalui prinsip tazkiyyah (semacam fit and propertest)
yang dilakukan secara jujur dan fair. Bahkan orang yang mastūr al-ʻadālah (orang yang
secara lahir tergolong sebagai orang yang baik-baik, tetapi belum diuji) tidak dapat
diterima riwayat dan kesaksiannya.
Ini periwayat dan saksi. Lalu bagaimana dengan pemimpin dan pejabat?
Di dalam kitab-kitab Fikih dijelaskan bahwa syarat-syarat pemimpin atau pejabat
baik legeslatif, eksekutif, maupun yudikatif tidak kalah sulit untuk dipenuhi dibanding
syarat-syarat periwayat dan saksi. Syarat terpenting adalah kapabelitas dan integritas,
kejujuran dan keadilan yang sudah dibuktikan, tidak hanya berdasarkan kondisi lahir
belaka.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asas praduga tak bersalah hanya
dijadikan pedoman dalam konteks tajrīm (untuk menghukum seseorang), bukan dalam
rangka takrīm (memberi kehormatan) dengan suatu jabatan atau amanat publik. Orang
yang sudah terlanjur memegang suatu jabatan kemudian terindikasi kuat melakukan
penyimpangan selayaknya mengundurkan diri dan tidak terus bertahan dengan dalil
asas praduga tak bersalah. ***
===== o0o =====
37
Al-Baihaqy, Al-Sunan al-kubra, X, 427, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, cetakan III.