MATERI 1 TAFSIR SURAT AL-FÂTIHAHmerupakan bagian dari Surat Al-Fâtihah(Ibn. Katsir, Tafsir...
Transcript of MATERI 1 TAFSIR SURAT AL-FÂTIHAHmerupakan bagian dari Surat Al-Fâtihah(Ibn. Katsir, Tafsir...
MATERI 1
TAFSIR SURAT AL-FÂTIHAH
A. Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bab tentang tafsir Surat Al-Fâtihah, diharapkan Saudara
dapat menguasi kemampuan-kemampuan khusus sebagai berikut: Pertama
menterjemahkan teks ayat perayat dari Surat Al-Fâtihah dengan benar. Kedua,
mengidentifikasi dan menjelaskan kata kunci (musfradat) yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kandungan makna dari ayat-ayat yang terdapat dalam Surat Al-Fâtihah.
Ketiga, menyebutkan nama-nama lain dari Surat Al-Fâtihah sekaligus menjelaskan
argumentasinya. Kempat, menjelaskan fenomena basmalah dalam Surat Al-Fâtihah.
Kelima, menjelaskan kandungan makna Surat Al-Fâtihah dengan benar. Keenam,
menerapkan kandungan makna Surat Al-Fâtihah dalam hidup sehari-hari.
B. Tafsir Surat Al-Fâtihah
1. Teks Ayat dan Terjemah
Artinya:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
(1). Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2). Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang (3). Yang menguasai di hari Pembalasan (4). Hanya Engkaulah yang
Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan (5).
Tunjukilah Kami jalan yang lurus (6), (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat (7).
2. Kata Kunci (Mufradât)
Untuk memahami dan menjelaskan tafsir suarat Al-Fâtihah Saudara dapat
mengambil beberapa kata kunci (Mufradât) sebagai berikut:
-nama Allah. Dia memiliki banyak nama, yakni Asmâ al-Husna (nama = اسن هللا
nama yang baik), jumlahnya ada 99 nama. Diantaranya termaktub dalam Surat Al-
Fâtihah, seperti: ar-Rahmân (Maha Pemurah), ar-Rahîm (Maha Penyayang), dan al-
Mâlik (Maha Memiliki)
kami menyembah. Kata na‟budu diambil dari kata abada. Kata ini sudah = عثد
diserap dalam bahasa Indonesia diataranya dalam bentuk kata benda yakni ibadah
yang diartikan sebagai perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari
ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya;
awna, yang‟/ عىى kami minta pertolongan. Kata ini diambil dari kata = ستعيي
berarti pertolongan. Dibentuk dalam wazan استفعل/istafala berarti meminta, jadi kata
dalam bentuk mudhari dalam ayat di atas dapat difahami akan selalu meminta ستعيي
pertolongan hanya kepada Allah swt.
jalan yang lurus. Yakni jalan yang benar, seperti jannya para = صزاط الوستقين
nabi, orang-orang yang mencintai kebenaran, para syuhada dan jalan orang-orang
yang shaleh (Q.S. An-Nisa/4: 69).
الوغضىب = orang yang dimurkai. Kata ini diambil dari akar kata
ghadhaba, yang merupakan lawan dari kata ridha yang berarti rela atau senang/غضة
(Lisan al-„Arabi, Juz I: 648). Orang yang dimurkai atau tidak disenangi perbuatannya
adalah orang yang berkarakter membangkang dan tidak taat aturan.
الضاليي = orang yang sesat. Kata ini diambil dari akar kata ضلل/dlalala, lawan
dari kata hudan yang berarti petunjuk. الضاليي/adh-dhâllîn, adalah bentuk isim fâil
yang berarti orang yang tidak memiliki petunjuk atau orang yang sesat.
3. Tafsir
Mengenai apakah basmalah termasuk dalam Surat Al-Fâtihah, terdapat
perbedaan pendapat. Ibn Katsir berhujjah dengan berbagai riwayat dan pendapat
beberapa imam madzhab termasuk Imam Syafi‟i dan Imam Hambali, bahwa ia
merupakan bagian dari Surat Al-Fâtihah(Ibn. Katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Azdim,
Maktabah Syamilah, Juz I: 117). Adapun Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
mengatakan bukan bagian dari Surat Al-Fâtihah. Sebab itu dalam kaitannya dengan
bacaan yang harus dibaca dalam setiap rakaat shalat, bagi yang berpendapat basmalah
termasuk dalam Surat Al-Fâtihah, maka mereka menjaharkan dalam bacaa shalatnya.
Surat Al-Fâtihah menjadi sangat penting kedudukannya bagi umat Islam
antara lain disebabkan karena ia menjadi bagian inti (rukun) dari shalat. Dikatakan
bahwa tidak sah shalat seseorang apabila tidak membaca Surat Al-Fâtihah.
Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw., sebagai berikut:
امت أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال ل صلة لمن ل ي قرأ بفاتة عن عبادة بن الص (417الكتاب )رواه البخاري: يف صحيحو :
Dari Ubadah bin ash-Shamit sesungguhnya Rasulullah saw., bersabda, “Tidak
ada shalat (sah shalatnya) bagi orang yang belum membaca Surat Al-Fâtihah (H.R.
Bukhari, dalam Kitab Shahihnya, hadis nomor: 714)
Dalam riwayat Muslim Surat Al-Fâtihah ketika dibaca dalam shalat, menjadi
dialog yang sangat mesra antara Pencipta dan hamba-Nya. Seperti sebuah hadis Qudsi
sebagai berikut:
آن القر عن أب ىري رة عن النب صلى اللو عليو وسلم قال من صلى صلة ل ي قرأ فيها بأم رأ با يف مام ف قال اق ر تام فقيل لب ىري رة إنا نكون وراء ال ن فسك فإن فهي خداج ثلثا غي
ل عت رسول اللو صلى اللو عليو وسلم ي قول قال اللو ت عال قسمت الص ة ب ين وب ي سال عبدي نصفي ولعبدي ما سأل فإذا قال العبد } المد للو رب العالمي { قال اللو ت ع
دن عبدي وإذا قال } الرحن الرحيم { قال اللو ت عال أث ن علي عبدي وإذا قال } مالك حض إل عبدي فإذا قال } إياك ن عبد وإيا ين { قال مدن عبدي وقال مرة ف و ك ي وم الد
راط المستقيم نستعي { قال ىذا ب ين وب ي عبدي ولعبدي ما سأل فإذا قال } اىدنا الص الي { قال ىذا لعبدي ولعبدي صراط الذين أن عمت عليهم غي المغضوب عليهم ول الض
(865ما سأل )رواه مسلم يف صحيحو :
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Siapa yang shalat, di
dalam shalatnya belum memabca Surat Al-Fâtihah, maka shalatnya kurang (tiga
kali) yakni tidak sempurna. Sebab itu ada riwayat bahwa sesungguhnya kami berada
di belakang Imam, lalu Imam tersebut memerintahkan, “Bacalah Surat Al-Fâtihah
dalam dirimu karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, Allah
-Ku dua bagian, bagi
hamba- a Hamba tersebut membaca الحود لله
maka Allah menjawab, hamba-Ku telah memujiku, lalu ketika membaca ,رب العالويي
حين حوي الزه maka Allah menjawab, hamba-Ku telah berterima kasih keda-Ku, ketika الزه
ia membaca يي maka Allah menjawab, hamba-Ku telah memuliakan-Ku هالل يىم الد
dan habis-habisan memuji-Ku. Ketika ia membaca إيهاك عثد وإيهاك ستعيي maka Allah
menjawab ini adalah bagian antara-Ku dan antara hamba-Ku dan bagi hamba-Ku
apa yang dia minta. Lalu ketika ia membaca عوت عليهن زاط الوستقين صزاط الهذيي أ اهدا الص
اليي mak Allah menjawab inilah bagian hamba-Ku dan bagi غيز الوغضىب عليهن ول الضه
hamba-Ku apa yang dia minta”
Atas dasar hadis di atas, maka setiap kali Saudara mengakhiri bacaan Surat
Al-Fâtihah diajurkan membaca ta‟min (Amin). Dan ketika Saudara sedang shalat
berjama‟ah, jangan lewatkan untuk membaca ta‟min bersamaan dangan ta‟minnya
imam. Karena bisa menghapus dosa-dosa di masa lalu. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw. berikut:
نوا فإنو مام فأم من وافق تأمينو عن أب ىري رة أن النب صلى اللو عليو وسلم قال إذا أمن الم من ذنبو )رواه البخاري: يف صحيحو : تأمي الملئكة غفر لو (738ما ت قد
Atinya:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Nabi saw., bersabda, “Apabila seorang Imam
membaca takmin dalam shalat, lalu diikuti oleh para makmum. Maka siapa saja
takminnya berbarengan dengan takmin imam itu seperti takminnya malaikat. Maka
dia akan diampuni dosa-dosanya di masa lalu” (H. R. Bukhari, dalam Kitab
Shahihnya dengan No. Hadis:738)
Surat Al-Fâtihah sebagai umm al-Kitab, isinya secara garis besar mencakup
seluruh kandungan Al-Qur‟an. Mushthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa
kandungan surat ini meliputi;
Pertama, memuat masalah tauhîd. Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa,
hal ini terdapat dalam ayat 2, yang dinyatakan dengan tegas bahwa segala puji dan
ucapan syukur atas suatu nikmat itu bagi Allah, karena Allah adalah Pencipta dan
sumber segala nikmat yang terdapat dalam alam ini. Diantara nikmat itu ialah :
nikmat menciptakan, nikmat mendidik dan menumbuhkan, sebab kata Rab dalam
kalimat Rabbul-'âlamîn tidak hanya berarti Tuhan atau Penguasa, tetapi juga
mengandung arti tarbiyah yaitu mendidik dan menumbuhkan. Oleh karena keimanan
(ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka didalam Surat Al-Fâtihah
tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh
ayat 5, yaitu : إيهاك عثد وإيهاك ستعيي (hanya Engkau-lah yang kami sembah, dan hanya
kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan).
Kedua berisi wa‟ad dan waîd (janji dan ancaman). Janji memberi pahala
terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk. Yang
dimaksud dengan يي ialah pada hari (Yang Menguasai Hari Pembalasan) هالل يىم الد
itu Allah-lah yang berkuasa, segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya sambil
mengharap nikmat dan takut kepada siksaan-Nya. Hal ini mengandung arti janji
untuk memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap
perbuatan yang buruk.
Ketiga memuat tentang hukum-hukum. Jalan kebahagiaan dan bagaimana
seharusnya menempuh jalan itu untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Maksud "Hidayah" disini ialah hidayah yang menjadi sebab dapatnya keselamatan,
kebahagiaan dunia dan akhirat, baik yang mengenai kepercayaan maupun akhlak,
hukum-hukum dan pelajaran.
Keempat memuat tentang Kisah-kisah. Kisah para Nabi dan kisah orang-
orang dahulu yang menentang Allah. Sebahagian besar dari ayat-ayat Al Quran
memuat kisah-kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang. Yang
dimaksud dengan orang yang diberi nikmat dalam ayat ini, ialah para Nabi, para
shiddîqîn (orang-orang yang sungguh-sungguh beriman), syuhadâ' (orang-orang
yang mati syahid), shâlihîn (orang-orang yang saleh). Orang-orang yang dimurkai
dan orang-orang yang sesat, ialah golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Penulisan kata تسن dalam basmalah tanpa menggunakan huruf alif berbeda
dengan kata yang sama pada awal Surat Al-„Alaq, yang tertulis dengan tata cara
penulisan baku, yakni menggunakan huruf alif ( تاسن). Persoalan ini menjadi
pembahasan para pakar dan ulama. M. Quraish Shihab mengutip beberapa pendapat
ulama tersebut, antara lain; Pakar tafsir Al-Qurtubiy (w.671H) berpendapat bahwa
penulisan tanpa huruf alif pada basmalah adalah karena pertimbangan praktis
semata-mata. Kalimat ini sering ditulis dan diucapkan, sehingga untuk
mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa alif.
Az-Zarkasyi (w. 7940) menguraikan dalam kitabnya Al-Burhan fi Ulum Al-
Qur‟an bahwa tata cara penulisan Al-Qur‟an mengandung rahasia-rahasia tertentu.
Dalam hal menanggalkan alif pada tulisan satu kata dalam Al-Qur‟an, Al-Zarkasyi
mengemukakan kaidah yang intinya adalah bahwa penanggalan huruf alif itu
mengisyaratkan adanya sesuatu dalam rangkaian katanya yang tidak dapat dijangkau
oleh panca indra. Kata Alllah demikian juga al-Rahman pada Basmalah tidak dapat
terjangkau hakekatnya. Kedua kata tersebut tidak dapat digunakan kecuali untuk
menunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Kata bismi yang dirangkaikan dengan kata Allah
dan Al-Rahman bermaksud mengisyaratkan hal itu. Atas dasar itu pula kata bismi
pada Surat Al-„Alaq ditulis dengan menggunakan huruf alif, karena di sana yang
dikemukakan adalah yang disifati dengan rab/pemelihara, sedangkan pemeliharaan
Tuhan cukup jelas terlihat pada seluruh hamba-hambanya.
Kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apa bila disebut
kata Allah berarti sebutan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain. Dan
jika disebutkan nama-Nya yang lain, maka ia hanya menggambarkan sifat itu.
Seperti jika disebut Al-Rahman, Al-Malik dan sebagainya, maka ia hanya
menggambarkan sifat Rahmat atau sifat Kepemilikan-Nya. Di sisi lain nama Allah
tidak dapat disandang oleh siapapun, sedang sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum
– dapat disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Dan secara tegas Tuhan Yang Maha
Esa sendiri yang menamai dirinya Allah. Seperti firman-Nya: “Sesungguhnya Aku
adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” (Thaha /20:14)
Kata Allah mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata yang
lainnya; ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya dan sempurna maknanya.
Dari maknanaya seperti dijelaskan di atas bahwa makananya mencakup segala sifat-
sifat-Nya, karena itu jika dikatakan Allah, maka semua nama-nama dan sifat-sifat-
Nya sudah tercakup oleh kata tersebut. Sedang dari segi lafadznya juga terlihat
keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah (هللا) dengan
menghapus huruf awalnya, akan berbunyi Lillah (لل ) dalam arti Milik/bagi Allah;
kemudian huruf awal dari kata Lillah itu akan terbaca Lahu (له ) dalam arti bagi-Nya;
selanjutnya hapus lagi huruf awal dari kata Lahu, akan terdengar dengan ucapan Hu
yang berarti Dia (yang menunjuk Allah). Dan bila ini pun dipersingkat akan dapat
terdenganr suara Ah yang sepintas atau tampak lahirnya mengandung makna
keluahan, tetapi pada hakekatnya adalah seruan permohonan kepada Allah.
Demikian, maka para ulama berkata bahwa kata Allah itu akan terucapkan oleh
semua manusia sengaja atau tidak sengaja. Dan inilah salah satu bukti adanya Fitrah
dalam diri manusia. Yang juga ditegaskan dalam Al-Qur‟an seperti sikap orang-
orang musyrik ; “Apabila kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan
langit dan bumi, pastilah mereka berkata Allah” (az-Zunmar/39;38)
حين حوي الزه الزه kedua kata ini berakar dari kata rahim yang juga telah masuk
dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, dalam arti peranakan. Apabila di sebut kata
rahim, maka yang dapat terlintas dalam hati adalah ibu dan anak, dan ketika itu
dapat terbayang betapa besar kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada
anaknya. Tetapi, jangan disimpulkan bahwa sifat Rahmat Tuhan disamakan dengan
sifat rahmat sang ibu, betpapun besarnya kasih sayang ibu. Karena telah menjadi
keyakinan kita bahwa Allah swt., adalah Tuhan yang tidak memiliki persamaan
dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan apapun, baik yang nyata atau pun dalam
khayalan, dan dengan demikian hakekat kapasitas rahmat-Nya tidak dapat
dipersamakan dengan hakekat kapasitas rahmat siapapun.
Bekaitan dengan rahmat Allah, rasulullah saw. menggambarkan dengan
sabdanya; “Allah menjadikan rahmat seratus bagian. Dia menyimpan di sisi-Nya
sembilan puluh sembilan bagian dan diturunkan-Nya ke bumi ini satu bagian. Satu
bagian inilah yang dibagikan ke seluruh makhluk. (Begitu meratanya, sampai-
sampai satu bagian yang dibagikan itu diperoleh pula oleh) seekor binatang yang
mengangkat kakinya karena dorongan kasih sayang, kuatir jangan sampai menginjak
anaknya” (HR. Muslim)
Curahan rahmat Tuhan secara aktual dilukiskan dengan kata Raman, sedang
sifat yang dimiliki-Nya seperti yang tergambar dalam hadits di atas, dilukiskan
dengan kata Rahim. Gabungan kedua kata itu menyiratkan bahwa Allah
mencurahkan rahmat kepada makhluk-Nya, karena memang Dia Zat yang memjiliki
sisat itu, bukan karena pengaruh atau sebab lain. Dengan kata Al-Rahman,
digambarkan bahwa Tuhan mencurahkan rahmat-Nya, sedang dengan ar-Rahim
dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya. Menurut
pendapat lain, kata ar-Rahman sebagai sifat Allah swt. Yang mencurahkan rahmat
yang bersifat sementara di dunia, sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat
kekal di akhirat. Ar-Rahim Allah khusus diberikan kepada hamba-hambanya yang
beriman kelak di akhirat.
Dimulainya Surat Al-Fâtihah dengan basmalah dimaksudkan untuk memberi
petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memulai sesuatu pekerjaan dengan lafadz
tersebut, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam sebuah hadits,
كل أمر ذي بال ل ي بدأ فيو ببسم اهلل ف هو أقطع
“Setiap pekerjaan yang mempunyai manfaat yang tidak dimulai dengan
bimillah maka perbuatan itu akan terputus”
Kemudian berkenaan dengan apakah lafadz حين حوي الزه هللا الزه termasuk تسن
bagian dari Surat Al-Fâtihah atau bukan terdapat perdebatan dikalangan para ulama.
Ibnu Katsir menjelaskan sebagai berikut.
1). Menurut riwayat al-Hakim Abu Abdillah di dalam kitab Mustadraknya, dan
diriwayatkan secara mursal oleh Said Ibn Jubair, dan dalam Shahih Ibn
Huzaimah dari Ummi Salamah r.a. bahwa Rasulullah SAW. membaca
basmalah pada awal Al-Fâtihah dan menilainya sebagai bagian ayat dari Al-
Fâtihah.
2). Menurut riwayat Umar bin Harun al-Balkhiy – mengandung kelemahan – dari
Ibnu Jurair dari Ibn Abi Malikah yang diikuti Abi Hurairah dan Riwayat
serupa dari Ali, Ibu Abbas dan Lainnya, bahwa basmalah termasuk ayat dari
setiap surat, kecuali Surat al-Taubah.
3). Menurut Ibn Abbas r.a., Ibn Umar, Ibn al-Zubair, Abu Hurairah, dan Ali, seta
dari kalangan Tabi‟in seperti Atha‟, Thawus, Sa‟id bin Jubair, Mahkul bin
Salam, Imam Malik, Abu Hanifah dan para pengikut keduanya, bahwa
basmalah bukan bagian dari surat-surat lainnya.
4). Menurut al-Syafi‟i pada sebagian ucapannya dan sebagian pengikut
madzhabnya bahwa basmalah termasuk bagian dari ayat setiap surat lainnya.
5). Menuruit Dawud bahwa basmalah merupakan ayat yang berdiri sendiri pada
setiap awal surat, dan bukan merupakan bagian dari setiap surat tersebut.
Riwayat ini berasal dari Imam Ahmad bin Hambal sebgaimana diceritrakan
oleh al-Razi dari abi al-Hasan sl-Kurkhy yang keduanya termasuk sahabat
senior Abu Hanifah.
Masih berkenaan dengan polemik basmalah, Ahmad Mushthafa al-
Maraghiy memaparkan bahwa sebhagian sahabat seperti Abu Hurairah, Ali Ibn
Abbas dan Ibn „Umar serta sebagian tabi‟in seperti Sa‟id bin Jabir,‟Athaal-Zuhri,
Ibn Mubarak dan sebagian para ahli fiqih juga ahli Qira‟at, mekkah seperti Ibn katsir
serta sebagian ahli Qira‟at dan ahli Fiqih Kufah seperti „Ashim, al-Kisa‟I, al-Syafi‟I
dan ahmad berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dari setiap surat yang
terdapat di dalam Al-Qur‟an. Adapun argumentasi yang mereka yang digunakan
dalam hal ini adalah sebagai berrikut;
1). Para sahabat dan orang-orang sesudahnya sepakat menetapkan basmalah di dalam
mushaf, yaitu pada awal setiap surat selain Surat Al-Taubah/Al-Bara‟ah, disertai
perintah agara menjahui segala sesuatu yang tidak termasuk Al-Qur‟an. Dengan
demikian mereka agar tidak menulis lafaz آهيي pada akhir Surat Al-Fâtihah.
2). Keterangan yang terdapat dalam berbagai hadits, di antaranya Imam Muslim
dalam Kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas r.a., mengatakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda: „Tiba-tiba turun kepadaku sebuah surat, maka ia
membaca حين حوي الزه هللا الزه Selanjutnya Abu Dawud dan Ibn Abbas . تسن
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahui akhir sebuah surat
sehingga kepada turun حين حوي الزه هللا الزه Kemudian al-Darul Quthniy dari . تسن
Abi Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menyatakan jika kamu
membaca الحود لل maka bacalah حين حوي الزه هللا الزه Al-Fâtihah itu merupakan , تسن
Ummul Qur‟an, al-Sabul Matsaniy, dan حين حوي الزه هللا الزه merupakan salah تسن
satu ayat surat Al-Fâtihah.
3). Kaum muslimin sepakat bahwa diantara dua kitab (الدفتيي ) terdapat firman Allah,
basmalah termasuk diantara keduanya dan harus dijadikan bagian dari
kalamullah.
Dari paparan tersebut di atas nyatalah bahwa persoalan basmalah pada awal
Surat Al-Fâtihah adalah masalah khilafiyah. Masing-masing pendapat mempunyai
argumentasi yang sama-sama kuat. Untuk itu perlu dikembangkan sikap toleransi,
dengan memberikan keleluasaan kepada umat untuk dapat memilih pendapat dimana
mereka lebih condong. Dengan demikian perselisihan pendapat tersebut akan
membawa rahmat bukan sebaliknya menyebabkan konflik.
Kata الحود yang diawali dengan alif dan lam oleh pakar bahasa dinamai al
istighrak dalam arti mencakup segala sesuatu. Itu sebabnya الحود لل sering kali
diterjemahkan dengan segala puji bagi Allah.
الحود لل segala puji bagi Allah. Huruf lam/bagi, yang menyertai kata Allah
mengandung makna pengkhususan bagi-Nya. Ini berarti bahwa segala pujian hanya
wajar dipersembahkan kepada Allah swt. Dia dipuji karena Dia yang menciptakan
segala sesuatu. Dan Dia menciptakannya dengan baik penuh kesadaran tanpa
paksaan.
Ulama berbeda pendapat tentang fungsi kalimat الحود لل dalam ayat ini,
apakah ia merupakan berita tentang kewajaran Allah semata untuk dipuji,
sebagaimana terlihat dari lahir redaksinya, atau redaksi yang berbentuk berita itu
dimaksudkan sebagai perintah untuk memuji-Nya dengan mengucapkan kalimat
semacam itu. Tetapi mayoritas ulama memahaminya dalam arti perintah dari Allah
swt. kepada manusia untuk memuji-Nya. Bahwa redaksinya dalam bentuk berita, itu
karena ia dimaksudkan untuk menetapkan kemantapan, kekhususan, dan
kesinambungan pujian itu kepada Allah swt. sesuai dengan keagungan dan
kebesaran-Nya.
Adapun pengungkapan pujian diredaksikan dengan bentuk pesona ketiga,
seakan-akan yang dipuji tidak berada dihadapan yang dipuji, merupakan suatu
pelajaran bagi kita agar pujian hendaknya tidak disampaikan langsung dihadapan
orang yang dipujinya.
Ayat ini dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Allah itu رب العالويي , dengan
menyebut kata rab, ini menjadi tuntunan bahwa ketika kita menyebut nama Allah
supaya dapat terbayang dalam benak kita segala sifat-sifat Allah swt. baik sifat, fi‟il
(perbuatan) maupun sifat dzat-Nya, yakni baik yang dapat berdampak kepada
makhluk-Nya maupun tidak. Sifat Allah ar-Rahman, ar-razzaq, dan semacamnya
dapat menyentuh makhluk-Nya berupa rahmat dan rezki, tetapi sifatdzat-Nya seperti
Uluhiah/Ketuhanan sama sekali dan sedikitpun tidak dapat menyentuh-Nya.
Kata (عالويي ) adalah bentuk jama dari kata عالن . Ia terambil dari akar kata
yang sama dengan علن atau عالهة (tanda). Dari sini dapat difahami dalam arti alam
raya atau segala sesuatu selain Allah. Sementara pakar tafsir memahami kata alam
dalam arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna
maupun terbatas. Hidup ditandai dengan gerak, rasa dan mengetahui. Seperti alam
malaikat, alam manusia, alam binatang, mereka tidak mengatakan alam batu, atau
alam tanah.
Ayat ketiga ini tidak dapat dinyatakan sebagai pengulangan kandungan
sebagian dari ayat pertama (Basmalah). حين حوي الزه dalam ayat ketiga ini الزه
mempunyai tujuan untuk menjelaskan bahwa pedidikan dan pemeliharaan Allah
sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang kedua, sama sekali bukan untuk
kepentinag Allah atau sesuatu pamrih, seperti halnya seseorang atau perusahaan
yang menyekolahkan karyawannya. Penekanan sifat Rahman dan Rahim di sini
dapat juga memberikan kesan pemeliharaan dan pendidikan Tuhan yang tidak
semena-mena meskipun Dia memiliki kuasa mutlak. Penggabungan sifat rab dan
Rahman-Rahim dapat menghapuskan kesan sifat semena-mena bagi Allah dalam
memelihara alam raya ini.
Ada dua bacaan populer menyangkut ayat ini, yaitu (هلل ) Malik yang berarti
Raja, dan (هالل ) Malik yang berarti Pemilik. Ayat keempat surat ini dapat dibaca
dengan kedua bacaan itu, dan keduanya adalah bacaan Nabi saw., yang berdasarkan
pada riwayat-riwayat yang dapat dipertanggung-jawabkan keshahihannya
(mutawatir)
Allah swt., adalah Raja sekaligus Pemilik, ini terbaca dengan jelas antara
lain sebagai berikut: “Katakanlah: „Wahai Tuhan yang Pemilik kerajaan, Engakau
memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau mencabut
kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Dan di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu” (QS. Ali „Imran/3: 26)
Dan kerajaan Allah mencakup kerajaan langit da bumi, juga kerajaan dunia
dan akhirat. Sebagaimana firman-Nya dalam Surat az-Zuhruf/43: 85 , “Maha suci
Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan bumi dan apa yang ada di
antar keduanya”. Dan dalam suarat Al-An‟am/6 ayat 73, “milik-Nya
kerajaan/kekuasaan pada hari ditiup sangkakala”.
Allah adalah يي Yaum dapat diterjemahkan dengan hari. Kata ini . هلل يىم الد
di dalam Al-Qur‟an terulang sebanyak hari-hari dalam setahun, yakni 365 kali.
Meski tidak semua yaum tersebut mengandung pengertian yang sama dengan hari
yang kita kenal di dunia ini. Al-Qur‟an menggunakan kata yaum dalam arti waktu
atau periode yang terkadang sangat panjang menurut ukuran kita, seperti alam
diciptakan dalam enam hari. Enam hari di sini bukan berarti 6 X 24 jam.
Adapun kata يي dalam ayat ini diartikan sebagai pembalasan, perhitungan الد
atau ketaatan, karena pada hari itu (hari kiyamat) terjadi perhitungan dan
pembalasan Allah, dan juga karena ketika itu semua makhluk tanpa kecuali
menampakkan ketaatannya kepada Allah swt. dalam bentuk yang sangat nyata.
Redaksi إيهاك عثد . Kata Iyyaka mengandung arti pengkhususan, yakni tidak
ada selain Engkau. Sedang kata Na‟budu biasa diterjemahkan dengan menyembah,
mengabdi, dan taat. Jika menyatakan إيهاك عثد , maka ketika itu tidak sesatu apapun,
baik diri seseorang itu atau segala sesuatu yang berkaitan dengannya kecuali telah
dijadikan milik Allah. Diabdikan kepada-Nya.
dan kami mohon bantuan. Bantuan dapat berarti , وإياهك ستعيي
mempermudah melakukan sesuatu yang sulit diraih oleh yang memintanya.
Permohonan bantuan kepada Allah adalah permohonan agar Dia mempermudah apa
yang tidak mampu diraih oleh yang memohon dengan upaya sendiri
Redaksi إيهاك عثد وإياهك ستعيي dengan menggunakan pesona bentuk
mukhaththab, dapat dijelaskan bahwa dalam beribadah dan memohon bantuan Allah
seorang muslim itu seakan-akan harus berhadapan langsung dengan Allah. Dan
menggunakan bentuk mutakallim ma‟al ghair “kami” adalah mengandung semangat
kebersamaan.
Adapun redaksi mendahulukan kata na‟budu dari nasta‟in kemudian
mengulangi kata iyyaka, ini menunjukkan bahwa upaya mendekatkan diri kepada
Allah itu harus didahulukan ketimbang memohon pertolongan.
Kata (اهدا ) terambil dari akar kata هدي yang artinya berkisar pada dua hal,
yakni tampil ke depan memberi petunjuk dan menyampaikan dengan lemah lembut.
Dari sini muncul kata hadiah yang merupakan penyampaian dengan lemah lembut
guna menunjukkan simpati.
Kata hidayah yang terdapat dalam ayat ini, mengandung petunjuk yang
membawa tercapainya sesuatu yang diharapkan. Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy
menjelaskan Hidayah Allah yang diberikan kepada manusia sebagai berikut:
1). Hidayah al-Ilham, yaitu yang diberikan kepada bayi sejak kelahirannya, seperti
perasaan butuh terhadap makanan dan ia menangis karena mengharapkan
makanan tersebut.
2). Hidayah al-hawas. Hidayah ini dan hidayah yang pertama kedua-duanya
diberikan kepada manusia dan binatang, bahkan kedua hidayah tersebut lebih
sempurna pada binatang dibandingkan pada manusia. Karena kedua hidayah ini
pada manusia pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dari binatang yang
ketika lahir sudah dapat bergerak, makan, berjalan dan sebagainya.
3). Hidayah al-aql, yaitu hidayah yang kedudukannya lebih tinggi dari pada yang
pertama dan ke dua. Hidayah ini hanya untuk manusia, karena manusia
diciptakan untuk hidup bersama dengan yang lainnya, sedang ilhan dan
hawasnya tidak cukup untuk mencapai kehidupan bersama itu. Untuk mencapai
kehidupan bersama dengan yang lainnya itu harus disertai dengan akal yang
dapat memperbaiki kesalahan yang dibuat panca indra. Panca indra itu
terkadang melihat tongkat yang sebenarnya lurus menjadi bengkok ketika di
dalam air; dan terkadang merasa pait terhadap makanan yang sebenarnya tidak
pait bahkan manis, dan sebagainya.
4). Hidayah al-adyan wa al-syara‟, yaitu hidayah yang ditunjukkan kepada manusia
yang cendrung mengikuti hawa nafsunya, membiarkan dirinya terpedaya akan
kelezatan duniawi dan syahwat menempuh jalan keburukan dan dosa, saling
bermusuhan antara sesamanya, saling mengalahkan antara yang satu dengan
yang lainnya, yang semuanya itu karena akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu.
Dalam keadaan seperti ini perlu dijelaskan batas-batas dan aturan, agar mereka
berpegang teguh kepadanya. Batas-batas dan aturan tersebut adalah hidayah al-
din yang diberikan oleh Allah kepada manusia.
Sedang Al-Shirath Al-mustaqim dimaksud dalam ayat ini adalah suatu
perangkat yang menyeluruh yang dapat menyampaikan pada kebahagian dunia dan
akhirat, berupa aqidah, hukum-hukum, adab, dan syariat keagamaan seperti ilmu
yang benar tentang Allah, kenabian, tingkahlaku pribadi dan masyarakat.
عوت عليهن jalam orang-orang yang telah Engakau (yaitu) صزاط الهذيي أ
anugerahi nikmat adalah jalan orang-orang yang dapat melaksanakan pesan-penan
ilahi, yaitu orang-orang yang memperoleh nikmat terbesar. Mereka itu adalah orang-
orang pilihan yang telah ditegaskan oleh Allah dalam surat An-Nisa [4] ayat 60,
“dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-
sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para
shiddiqin, para syhada, dan orang orang shalih. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya”
adalah orang-orang yang menolak agama yang benar yang غيز الوغضىب عليهن
disyariatkan Allah kepadanya. Mereka berpaling dari kebenaran dan tetap mengikuti
apa yang diwariskan nenek moyang mereka, dan semua itu yang menyebabkan
mereka di murkai oleh Allah.
ول الضآليي adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak
mengetahui sesuatu secara benar, yaitu orang-orang yang kepadanya tidak sempai
risalah, atau sampai risalah kepada mereka namun mereka enggan mengikutinya.
C. Rangkuman
Surat Al-Fâtihah termasuk surat Makkiyah, terdiri dari 7 ayat. Disebut Al-Fâtihah
karena dengan surat inilah dibuka dan dimulainya Al Quran. Nama-nama lainnya
diantaranya adalah Ummul Qurân atau Ummul Kitâb,dan as-Sab'ul Matsâny (tujuh yang
berulang-ulang).
Mengenai Basmalah, dalam Surat Al-Fâtihah, terdapat perbedaan pendapat. Ibn
Katsir berhujjah dengan berbagai riwayat dan pendapat beberapa imam madzhab
termasuk Imam Syafi‟I dan Imam Hambali, bahwa ia merupakan bagian dari Surat Al-
Fâtihah(Ibn. Katsir, Juz I: 117). Adapun Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
mengatakan bukan bagian dari Surat Al-Fâtihah. Sebab itu dalam kaitannya dengan
bacaan yang harus dibaca dalam setiap rakaat shalat, bagi yang berpendapat basmalah
termasuk dalam Surat Al-Fâtihah, maka mereka menjaharkan dalam bacaa shalatnya.
Surat Al-Fâtihah sebagai umm Al-Kitab, isinya secara garis besar mencakup
seluruh kandungan Al-Qur‟an. Mushthafa Al-Maraghi menjelaskan bahwa kandungan
surat ini meliputi; masalah tauhîd, wa‟ad dan waîd (janji dan ancaman), hukum-hukum,
dan kisah-kisah.
Hidayah adalah petunjuk yang membawa tercapainya sesuatu yang diharapkan.
Hidayah meliputi; hidayah al-ilham, hidayah al-hawas. hidayah al-aql, dan hidayah al-
adyan wa al-syara‟.
Al-Shirath Al-Mustaqim dimaksud dalam ayat ini adalah suatu perangkat yang
menyeluruh yang dapat menyampaikan pada kebahagian dunia dan akhirat, berupa
aqidah, hukum-hukum, adab, dan syariat keagamaan seperti ilmu yang benar tentang
Allah, kenabian, tingkahlaku pribadi dan masyarakat.