Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

43
PENDIDIKAN MORAL Oleh: Rukiyati 1. Istilah-istilah dalam pendidikan moral Pendidikan moral sering juga disamakan dengan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan karakter atau pendidikan akhlak. Untuk lebih jelasnya, perlu dikaji istilah-istilah yang digunakan dan persamaan maupun perbedaannya. Kirschenbaum (1995: 57) mengatakan bahwa pendidikan moral dan pendidikan nilai itu merupakan satu bidang yang sama. Selanjutnya, Kirschenbaum mengatakan: ”Values Education is used as the shorthand term for the field of values education and moral education. Values Education and Moral Education is described as an educational field or endeavor with two complementary goals – helping students lead personally satisfying and socially constructive lives.” Pendidikan nilai digunakan sebagai terma untuk bidang pendidikan nilai dan pendidikan moral yang memiliki dua tujuan saling melengkapi, yaitu membantu subjek didik 1

Transcript of Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

Page 1: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

PENDIDIKAN MORALOleh:

Rukiyati

1. Istilah-istilah dalam pendidikan moral

Pendidikan moral sering juga disamakan dengan pendidikan nilai, pendidikan

budi pekerti, pendidikan karakter atau pendidikan akhlak. Untuk lebih jelasnya, perlu

dikaji istilah-istilah yang digunakan dan persamaan maupun perbedaannya.

Kirschenbaum (1995: 57) mengatakan bahwa pendidikan moral dan pendidikan nilai itu

merupakan satu bidang yang sama. Selanjutnya, Kirschenbaum mengatakan: ”Values

Education is used as the shorthand term for the field of values education and moral

education. Values Education and Moral Education is described as an educational field

or endeavor with two complementary goals – helping students lead personally

satisfying and socially constructive lives.”

Pendidikan nilai digunakan sebagai terma untuk bidang pendidikan nilai dan

pendidikan moral yang memiliki dua tujuan saling melengkapi, yaitu membantu subjek

didik menuju pada kehidupan personal yang memuaskan dan kehidupan sosial yang

konstruktif.

Ada empat ”gerakan” utama di dalam pendidikan nilai di Amerika yaitu Realisasi

Nilai, Pendidikan Karakter, Pendidikan Kewargaan, dan Pendidikan Moral. Gerakan

Realisasi Nilai merupakan pendekatan pendidikan nilai yang dikemukakan oleh Sidney

B. Simon pada tahun 1980, bertujuan membantu individu menentukan, mengenali,

melaksanakan, melakukan dan mencapai nilai-nilai kehidupan. Proses memperoleh

nilai-nilai kehidupan ini bersifat kepuasan personal. Sering juga disebut sebagai

1

Page 2: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

pendidikan kecakapan hidup (life skills education), yaitu pembelajaran kecakapan dan

pengetahuan yang membantu membimbing anak-anak muda dalam kehidupan yang

kompleks, dunia yang terus berubah. Apapun namanya, banyak metode pendidikan dan

kurikulum yang telah dikembangkan oleh gerakan ini untuk membantu anak-anak muda

memiliki kecakapan untuk merealisasikan nilai-nilainya, agar mereka menjadi orang

yang efektif dalam berbagai situasi, dan dapat menemukan makna hidup.

Realisasi Nilai memberikan pembekalan berbagai hal yaitu: mengenal diri sendiri

(perasaan, keyakinan dan prioritas), self ssteem (menghargai diri sendiri), kemampuan

menentukan tujuan, kecakapan berpikir (berpikir kritis, berpikir kreatif), kecakapan

membuat keputusan, kecakapan komunikasi, kecakapan sosial dan pengetahuan tentang

dunia (Kirschenbaum, 1995: 16-20)

Pendidikan Karakter memfokuskan pada pembelajaran nilai-nilai tradisional

tertentu yang menjadi fondasi kebajikan dan perilaku yang bertanggung jawab. Oleh

karena istilah nilai-nilai tradisional mempunyai makna ambigu dan kontroversial, maka

para ahli pendidikan lebih memilih menggunakan istilah ”Pendidikan Karakter”.

Karakter yang hendak diwujudkan dalam pendidikan karakter adalah respek

(respek terhadap diri sendiri, respek pada orang lain, respek pada benda-benda, dan

respek pada lingkungan), responsibilitas atau tanggung jawab sering juga digambarkan

sebagai dapat dipercaya, dapat diandalkan, dan jujur (terhadap diri sendiri dan orang

lain), compassion (istilah yang lain adalah baik hati, penolong, ramah, empatik, human

dan toleran), disiplin diri (termasuk di dalamnya bekerja keras, kemampuan menunda

kesenangan, moderasi), kesetiaan, yaitu kesiapan untuk bertahan dalam waktu lama, yaitu

untuk mempertahankan hubungan ketika dalam kesulitan, kesetiaan bekerja, tetap

2

Page 3: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

percaya diri, kesetiaan melindungi dan menyayangi seseorang. Selain itu, ada pula watak

terpuji lain yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, yaitu keberanian, toleransi,

etos kerja dan reverence (Kirschenbaum, 1995: 21-23).

Gerakan ketiga adalah Pendidikan Kewargaan yang memfokuskan pada nilai-nilai

kewargaan yang menjadi fondasi suatu negara dan dari nilai-nilai tersebut dikembangkan

atau dijabarkan prinsip-prinsip politik dan produk hukum. Nilai-nilai fundamental

menjadi kurikulum utama dari pendidikan kewargaan. Di Amerika Serikat yang menjadi

nilai-nilai fundamental adalah public good, individual rights, justice, equality, diversity,

truth, patriotism (Kirschenbaum, 1995: 23-24). Tentu saja, setiap negara mempunyai

nilai-nilai fundamental kenegaraan yang berbeda yang menjadi materi Pendidikan

Kewargaan. Di Indonesia, Pendidikan Kewargaan mengacu pada nilai-nilai Pancasila

sebagaimana termaktub di dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.

Gerakan keempat dalam pendidikan nilai adalah Pendidikan Moral, di dalamnya

tercakup pendekatan dan metode yang mengajarkan subjek didik berbagai pengetahuan,

sikap, keyakinan, kecakapan dan perilaku agar menjadi orang yang baik, adil, ramah

dalam satu kata yaitu moral. Beberapa pendekatan dalam gerakan ini dapat disebut

sebagai pengajaran ”moral literacy” (melek moral). Tujuan pendidikan moral adalah

untuk menghasilkan individu yang otonom, yaitu mengetahui nilai-nilai moral dan

berkomitmen untuk bertindak secara konsisten berdasarkan nilai-nilai moral tersebut

(Kirschenbaum, 1995: 26-27).

Pendidikan moral mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen:

pengetahuan moral tradisi, penalaran moral, belas kasih dan altruisme, serta

kecenderungan moral. Lickona (Kirschenbaum, 1995: 28) menggambarkan

3

Page 4: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

kecenderungan moral meliputi berhati nurani, mencintai kebaikan, dapat menguasai diri,

rendah hati, kebiasaan moral dan kehendak baik (will).

Di dalam empat gerakan ini terdapat bermacam-macam pendekatan khusus seperti

pendidikan hukum, pelatihan empati, klarifikasi nilai dan pembelajaran kooperatif. Ada

banyak sekali variasi teknik dan metode serta aktivitas yang dapat digunakan dalam

berbagai pendekatan tersebut. Kesemuanya dirangkum oleh Kirschenbaum menjadi 100

cara dalam bukunya: 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth

Settings (1995).

Pendapat ahli lainnya adalah Cooper, dkk. (1998: 162), yang mengatakan bahwa

pendidikan nilai memiliki peran sebagai berikut:

Values education, both formal and informal, may encourage students to: develop their own personal moral codes and have concern for others; reflect on experiences and search for meaning and patterns in those

experiences; have self-respect and respect for commonly held values such as honesty,

truthfulness and justice; make socially responsible judgement and be able to provide justification for

decision and actions.

Dari pendapat Cooper tersebut, dapat ditarik pengertian bahwa pendidikan nilai

mempunyai empat tujuan, yaitu mendorong subjek didik mengembangkan aturan/kode

moral pribadi dan kepedulian terhadap sesama, merefleksikan pengalaman hidupnya dan

mencari makna dan pola-pola dari pengalamannya tersebut, menghargai diri sendiri dan

menghargai nilai-nilai bersama seperti kejujuran, kebenaran dan keadilan, serta

mendorong subjek didik untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan

secara sosial dan mampu memberikan justifikasi/pembenaran atas keputusan dan

4

Page 5: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

tindakannya. Jadi, dimensi yang tercakup di dalam pendidikan nilai tidak berhenti pada

dimensi kognitif, tetapi difokuskan pada dimensi afektif dan perilaku.

Dalam konteks Indonesia, Marpu Muhidin (2007: 5) mengatakan bahwa ada

banyak istilah yang sering digunakan untuk pendidikan nilai seperti Pendidikan Budi

Pekerti, Pendidikan Moral, Pendidikan Akhlak, Pendidikan Karakter. Muhidin

berpendapat bahwa terma yang mungkin lebih tepat digunakan adalah ”pendidikan budi

pekerti”, karena yang menjadi sasaran kegiatan pendidikan adalah ”budi” (kesadaran) dan

”pekerti” (tingkah laku atau perbuatan) subjek didik, agar terarah pada nilai-nilai yang

luhur.

Ki Hadjar Dewantara (1977: 20) mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti

sebagai bagian penting dari pendidikan secara keseluruhan berrtujuan untuk menjadikan

subjek didik dapat menguasai diri sehingga ia dapat melenyapkan atau mengalahkan

tabiat-tabiat biologis yang tidak baik. Jika pendidikan budi pekerti dapat dilaksanakan

dengan baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkheid) dan

”karakter” (jiwa yang berazas hukum kebatinan), maka subjek didik akan senantiasa

dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli, yang biologis tidak baik.

Terminologi pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara

umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di ruang kelas dan

sekolah. Dalam praktiknya, pendidikan moral cenderung menjadi pengajaran etika yang

lebih menekankan pada penyampaian nilai-nilai yang baik dan nilai-nilai yang buruk.

Sedangkan penerapan nilai-nilai itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat tidak

mendapat porsi yang memadai. Dengan kata lain, pendidikan moral menjadi sangat

normatif dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan perilaku siswa. Namun

5

Page 6: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

demikian, terminologi ini dapat dikatakan sebagai terminologi tertua dalam menyebut

pendidikan yang bertujuan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia

(Marpu Muhidin, 2007:6).

Pendidikan akhlak merupakan terminologi yang sering muncul dalam diskursus

pendidikan Islam. Sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih (Marpu Muhidin, 2007:

8) bahwa pendidikan akhlak merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang

mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari

seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria baik dan buruk untuk menilai perbuatan

yang muncul merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber tertinggi

ajaran Islam. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak dimaksud

masih cenderung pada pengajaran akhlak seperti halnya pendidikan moral.

Sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan

kembali, terutama di Amerika Serikat. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya

melalui karyanya: The Return of Character Education, sebuah buku yang menyadarkan

dunia Barat secara khusus, tempat Lickona hidup dan dunia pendidikan secara umum,

bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan (Marpu Muhidin, 2007:8). Lickona

di dalam situsnya (www.cortland.edu/character/articles) mendefinisikan pendidikan

karakter sebagai upaya mengembangkan kebajikan, yaitu keunggulan manusia sebagai

fondasi dari kehidupan yang berguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat

yang adil, penuh belas kasih dan maju. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa karakter yang

baik meliputi tiga komponen utama, yaitu : moral knowing, moral feeling, moral action.

Moral knowing meliputi: sadar moral, mengenal nilai-nilai moral, perspektif, penalaran

moral, pembuatan keputusan dan pengetahuan tentang diri. Moral feeling meliputi:

6

Page 7: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

kesadaran hati nurani, harga diri, empati, mencintai kebaikan, kontrol diri dan rendah

hati. Moral action meliputi kompetensi, kehendak baik dan kebiasaan.

Sejalan dengan Lickona, Ryan dan Bohlin (1999: 5) mengatakan bahwa karakter

mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai

kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan

karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik (mulia).

Dengan demikian, pendidikan karakter adalah sebuah upaya membimbing perilaku

manusia menuju standar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai

persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan subjek didik, baik di rumah, sekolah

maupun di lingkup masyarakat yang lebih luas. Fokus pendidikan karakter adalah pada

tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang

penting yang mencakup perkembangan sosial subjek didik.

Tidak hanya di Amerika Serikat, akhir-akhir ini terma ”pendidikan karakter” di

Indonesia juga lebih populer dari pada pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral.

Pendidikan karakter menjadi wacana yang ramai dibicarakan oleh para ahli dan pembuat

kebijakan. Bahkan, sudah ada kebijakan kurikulum di tingkat pusat mengenai

implementasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah.

Dalam kaitan dengan berbagai istilah tersebut, penulis menggrisbawahi adanya

variasi gerakan pendidikan nilai menjadi empat pendekatan sebagaimana dinyatakan

oleh Kirschenbaum. Intinya, pendidikan moral atau pendidikan nilai dengan berbagai

pendekatan dan istilah yang berkembang mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar nilai-

nilai luhur kemanusiaan mempribadi dalam diri peserta didik. Hanya saja, di dalam

praktiknya terjadi reduksi-reduksi yang mengakibatkan praktik pendidikan nilai tidak

7

Page 8: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

komprehensif, karena lebih mengedepankan pada pengajaran nilai-nilai saja (sisi kognitif

lebih ditekankan). Akibatnya, tujuan pendidikan nilai kurang tercapai.

2. Pendidikan moral sebagai salah satu tujuan pendidikan sekolah

Sekolah merupakan lingkungan mikrosistem. Bronfenbrenner (1979: 22)

mengatakan bahwa mikrosistem adalah sebuah pola dari aktivitas, peran dan relasi

interpersonal yang dialami oleh seseorang yang sedang tumbuh berkembang di dalam

setting tertentu dengan karakteristik fisik khusus, yaitu suatu lingkungan kehidupan yang

di dalamnya seorang individu menghabiskan sebagian besar waktunya, seperti keluarga,

teman sebaya, sekolah dan lingkungan tetangga. Di dalam mikrosistem ini, seorang

individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru-guru, teman sebaya dan yang lain.

Seorang anak bukan penerima pasif dari pengalaman, tetapi bersifat interaksi timbal balik

dengan yang lain dan membentuk mikrosistem masing-masing.

Sebagai sebuah mikrosistem, sekolah diperkirakan mempunyai pengaruh yang kuat

yang dapat dilihat secara langsung dalam diri subjek didik. Terlebih lagi di zaman

sekarang, ketika banyak orang tua menaruh harapan sangat besar terhadap sekolah untuk

menjadikan anak-anaknya pintar dan baik. Sekolah yang baik merupakan keniscayaan

agar pengaruhnya terhadap anak menjadi positif. Sekolah merupakan bentuk pendidikan

formal.

Noeng Muhadjir (2003: 16-18) mengatakan bahwa ditinjau dari segi antropologi

kultural dan sosiologi, ada tiga fungsi utama pendidikan, yaitu menumbuhkan kreativitas

subjek-didik, menumbuhkembangkan nilai-nilai insani dan Ilahi pada subjek didik dan

satuan sosial masyarakat, dan meningkatkan kemampuan kerja produktif pada subjek

didik. Dengan kata lain, fungsi sekolah terkait dengan upaya menumbuhkan nilai-nilai

8

Page 9: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

akademik, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai religius. Ketiga kelompok nilai inilah yang

sekarang menjadi wacana dengan istilah yang populer: kecerdasan intelektual, kecerdasan

emosional dan kecerdasan spiritual.

Secara lebih rinci, John I. Goodlad (1984: 51-56) mengemukakan mengenai tujuan

sekolah yang dikelompokkan menjadi empat tujuan, yakni: academic goals, vocational

goals, social-civic and cultural goals dan personal goals.

Academic goals atau tujuan akademis mencakup dua hal penting yaitu penguasaan

siswa akan kecakapan dasar dan proses mendasar dalam belajar di satu sisi, dan

pengembangan intelektual di sisi yang lain.

Vocational goals atau tujuan vokasional meliputi lima hal berikut:

a. Belajar memilih suatu jabatan atau profesi yang secara personal memuaskan dan

sesuai dengan minat dan keahliannya;

b. Belajar membuat keputusan berdasarkan pada kesadaran dan kemampuan diri untuk

memilih karir;

c. Mengembangkan keahlian dan pengetahuan khusus yang akan menjadikan seseorang

memiliki kemandirian ekonomi;

d. Mengembangkan kebiasaan dan sikap seperti kebanggan sebagai pekerja yang baik

yang akan membuat seseorang menjadi produktif di dalam kehidupan ekonomi;

e. Mengembangkan sikap positif terhadap kerja, termasuk pengakuan akan kebutuhan

membangun kehidupan dan penghargaan terhadap nilai-nilai sosial dan kehormatan

dalam bekerja.

Social, civic and cultural goals atau tujuan sosial, kewargaan dan budaya

merupakan tujuan yang berkaitan dengan empat hal, yaitu: pemahaman interpersonal,

9

Page 10: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

partisipasi kewarganegaraan, enkulturasi, pengembangan karakter moral dan etik.

Terkait dengan tujuan inilah terdapat peran utama pendidikan nilai di sekolah.

Khusus untuk pengembangan karakter moral dan etik, Goodlad mengatakan bahwa

pengembangan tersebut mencakup lima hal, yaitu: mengembangkan penilaian untuk

mengevaluasi peristiwa dan fenomena sebagai sesuatu yang baik atau buruk,

mengembangkan komitmen terhadap kebenaran dan nilai-nilai, belajar menggunakan

nilai-nilai dalam membuat pilihan-pilihan, mengembangkan integritas moral,

mengembangkan pemahaman akan pentingnya tingkahlaku moral.

Sejalan dengan pendapat Goodlad, tujuan sekolah dari aspek sosial budaya dan

kewargaan juga ditekankan oleh Henry Giroux (1988: xxxiv) yang mengatakan bahwa

sekolah berfungsi sebagai ruang publik yang demokratis. Sekolah sebagai tempat

demokratis yang didedikasikan untuk membentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dalam

arti ini, sekolah adalah tempat publik bagi subjek didik untuk dapat belajar pengetahuan

dan keahlian yang dibutuhkan untuk hidup dalam demokrasi yang sesungguhnya.

Sekolah bukan sebagai perluasan tempat kerja atau sebagai lembaga garis depan dalam

pertempuran pasar internasional dan kompetisi asing, sekolah sebagai ruang publik yang

demokratis dibangun untuk membentuk siswa dapat mengajukan pertanyaan kritis,

menghargai dialog yang bermakna dan menjadi agensi kemanusiaan. Subjek didik belajar

wacana tentang organisasi umum dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, sekolah

berfungsi untuk mewujudkan warga negara yang aktif dalam masyarakat yang

demokratis.

10

Page 11: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

3. Pendekatan komprehensif dalam pendidikan moral

Pendidikan moral pada masa sekarang menghadapi berbagai tantangan seiring

dengan kemajuan zaman yang ditandai oleh keterbukaan informasi dan kecanggihan

teknologi. Hal ini tentu berbeda sekali dengan masa lalu. Di lingkungan masyarakat

religius tradisional, moral diwariskan kepada generasi berikutnya secara given yaitu

indoktrinasi. Artinya suatu ajaran moral harus diterima karena memang sejak dahulu

diajarkan demikian. Setelah itu, ajaran tersebut dilaksanakan. Peran akal sebatas

berupaya memahami alasannya dan konsekuensinya. Selain itu, ada pula keteladanan.

Keteladanan atau uswatun khasanah, merupakan bentuk mengestafetkan moral yang

digunakan oleh masyarakat religius tradisional, dan digunakan pula oleh masyarakat

modern sekarang ini. Dalam masyarakat tradisional, keteladanan diterima secara given

tanpa harus mengejar argumentasi rasionalnya; sedangkan pada masyarakat modern

sekarang keteladanan diterima dengan pemahaman dan argumentasi rasional (Muhadjir,

2004: 163)

Dalam masyarakat liberal, moral diperkenalkan lewat proses klarifikasi, penjelasan

agar terjadi pencerahan pada subjek didik. Seberapa jauh sesuatu moral diterima oleh

anak, sangat ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak diberikan kebebasan untuk

memutuskan sendiri. Pendekatan klarifikasi nilai adalah salah satu contoh yang

memberikan kebebasan untuk anak menentukan nilai-nilainya. Sebagaimana dinyatakan

oleh Sidney B. Simon, dkk (1974: 6) bahwa pendekatan klarifikasi nilai mencoba untuk

membantu anak-anak muda menjawab beberapa pertanyaan dan membangun sistem nilai

sendiri. Di dalam bukunya: Values Clarification, Simon menjelaskan 79 strategi

klarifikasi nilai yang dapat diterapkan, khususnya oleh para guru di sekolah. Strategi-

11

Page 12: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

strategi yang disajikan di dalam buku tersebut disusun oleh Louis Raths yang diturunkan

dari pemikiran John Dewey. Berbeda dengan pendekatan teoritis yang lain, Raths tidak

mempermasalahkan isi dari nilai-nilai yang dimiliki seseorang, tetapi lebih

memperhatikan proses penilaian. Fokusnya adalah bagaimana orang sampai pada

keyakinan tertentu yang dipegangnya dan membentuk pola perilaku tertentu.

Di Indonesia, strategi klarifikasi nilai telah diperkenalkan sejak tahun 1980-an dan

banyak para pendidik yang mengkritik dan menolaknya. Hal-hal yang tidak dapat

diterima, adalah yang terkait dengan pilihan anak, misalnya anak dibiarkan tidak

mendirikan sholat, sebelum anak sadar akan pentingnya sholat. Jika dibiarkan, maka

dikhawatirkan anak tidak akan melakukan sholat sampai ia dewasa.

Pendidikan nilai yang bertumpu pada strategi tunggal sudah tidak memadai untuk

dapat menjadikan subjek didik memiliki moral yang baik. Oleh karena itu diperlukan

berbagai pendekatan yang oleh Kirschenbaum disebut pendekatan komprehensif

(Darmiyati, 2009: 35).

Pendekatan komprehensif dalam pendidikan moral dan nilai diharapkan dapat

memberikan pemecahan masalah yang relatif lebih tuntas dibandingkan dengan

pendekatan tunggal. Menurut Kirschenbaum (Darmiyati, 2009: 36-37), istilah

komprehensif dalam pendidikan moral mencakup berbagai aspek sebagai berikut:

Pertama, isi pendidikan moral harus komprehensif, meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan etika secara umum.Kedua, metode pendidikan nilai juga harus komprehensif, termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan ketrampilan-ketrampilan hidup yang lain. Generasi muda perlu memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, guru dan masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai

12

Page 13: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu memperoleh kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya dan mempelajari ketrampilan–ketrampilan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri. Ketiga, pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan semua aspek kehidupan. Beberapa contoh mengenai hal ini, misalnya kegiatan belajar berkelompok; penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan; penggunaan strategi klarifikasi nilai dan dilema moral; pemberian teladan tidak merokok, tidak korup, tidak munafik, dermawan, menyayangi sesama makhluk Allah, dan sebagainya.Keempat, pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan nilai memengaruhi kualitas moral generasi muda.

Selain pendapat di atas, Noeng Muhadjir (2003: 164) menawarkan alternatif model

pengembangan nilai moral lewat proses internalisasi. Nilai moral diperkenalkan pada

subjek didik dengan mengajak partisipasi dalam perbuatan, diberi pemahaman

rasionalitasnya, sampai berpartisipasi aktif untuk mempertahankan perbuatan moral

tersebut. Pada sisi lain, subjek didik perlu pula ditumbuhkembangkan penghayatan

emosionalnya, konasinya, sampai keimanannya lewat internalisasi atau menghayati nilai

moral pada ketiga dataran tersebut. Oleh karena keimanan itu dapat menebal atau

menipis, maka internalisasi baik secara rasional maupun lewat penghayatan lain,

diharapkan dapat mempertebal moral dan keimanan subjek didik.

Di samping keempat aspek di atas (isi, metode, proses dan pendidik), pendidikan

nilai juga memerlukan evaluasi yang komprehensif. Evaluasi dilakukan untuk

mengetahui ketercapaian tujuan. Tujuan pendidikan nilai meliputi tiga kawasan, yakni

penalaran nilai/moral, perasaan nilai/moral dan perilaku nilai/moral. Maka, evaluasi

pendidikan nilai juga mencakup tiga ranah tersebut. berupa evaluasi penalaran moral,

evaluasi karakteristik afektif, dan evaluasi perilaku (Darmiyati, 2009: 51).

13

Page 14: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

a. Evaluasi penalaran moral

Supaya tujuan pendidikan nilai yang berwujud perilaku yang diharapkan dapat

tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam

permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam

menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini, Kohlberg berdasarkan

penelitian longitudinal, telah berhasil meredefinisi pemikiran Dewey mengenai

reflective thinking dan memvalidasi karya Piaget mengenai perkembangan berpikir,

menyusun tingkat-tingkat perkembangan moral (Mosher dalam Darmiyati, 2009: 51).

Reimer (1983: 45) mengatakan bahwa Kohlberg menyelesaikan karya Piaget yang

belum selesai, tetapi dalam proses tersebut justru Kohlberg secara cemerlang

memperluas dan merevisi temuan-temuan orisinal Piaget.

Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dibagi menjadi tiga

tingkat dan dalam setiap tingkat ada dua tahap sehingga seluruhnya ada enam tahap

penalaran moral. Tiga tingkat tersebut adalah prakonvensional, konvensional, dan,

mulai dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Sama seperti Piaget, Kohlberg

mengatakan bahwa perkembangan manusia atau perubahan dalam perilakunya

berjalan melalui tahap-tahap yang berlaku universal. Lebih tinggi tingkat berpikir

adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi (Zakaria dalam

www.pdk.go.id).

Sebagaimana dinyatakan oleh Darmiyati (2009: 51-52) bahwa tingkat

prakonvensional menurut Kohlberg ditandai oleh keyakinan bahwa benar berarti

mengikuti aturan konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku yang benar

14

Page 15: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

adalah yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan penguasa. Pada tingkat

konvensioanl, benar berarti memenuhi harapan masyarakat. Keinginan bertindak

sesuai dengan harapan masyarakat mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang

baik. Pandangan sosial, loyalitas dan persetujuan oleh pihak lain merupakan perhatian

utama orang yang penalarannya pada tingkat konvensional. Tingkat

pascakonvensional atau berprinsip ditandai oleh kebenaran, nilai atau prinsip-prinsip

yang bersifat universal yang menjadi tanggung jawab, baik individu maupun

masyarakat untuk mendukungnya.

Enam tahap dalam tingkat penalaran moral dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tahap pertama disebut moralitas heteronomi. Tahap ini digambarkan sebagai suatu orientasi pada hukuman dan kepatuhan. Penentuan benar atau salah didasarkan pada konsekuensi ragawi suatu tindakan. Penalaran pada tahap ini sangat egosentrik, penalar tidak dapat mempertimbangkan perspektif orang lain. Tahap kedua disebut tujuan instrumental, individualisme dan pertukaran (kebutuhan dan keinginan). Tahap ini ditandai oleh pemahaman baik atau benar sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan, baik diri sendiri maupun orang lain. Kebutuhan pribadi dan kebutuhan orang lain merupakan pertimbangan utama penalaran pada tingkat ini. Tahap ketiga adalah harapan, hubungan dan penyesuaian antarpribadi. Mengerjakan sesuatu yang benar pada tahap ini berarti memenuhi harapan orang-orang lain, loyal terhadap kelompok, dan dapat dipercaya dalam kelompok tersebut. Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain dianggap hal yang penting. Kesadaran akan perlunya saling menaruh harapan dan saling memberikan persetujuan terhadap perasaan dan perspektif orang lain, serta minat kelompok menjadi perspektif sosial seseorang.Tahap keempat adalah sistem sosial dan hati nurani. Mengerjakan sesuatu yang benar pada tahap ini berarti mengerjakan tugas kemasyarakatan dan mendukung aturan sosial yang ada. Tanggung jawab dan komitmen seseorang haruslah menjaga aturan sosial dan menghormati diri sendiri.Tahap kelima adalah kontrak sosial dan hak individual. Yang dianggap benar menurut tahap ini adalah mendukung hak-hak dan nilai-nilai dasar, serta saling menyetujui kontrak sosial, bahkan jika mengerjakan hal itu bertentangan dengan undang-undang dan aturan kelompok sosial. Orientasi penalaran tahap kelima adalah pada memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan menghargai kemauan golongan mayoritas, di samping menjaga hak-hak golongan minoritas. Apabila undang-undang dan aturan yang ada dianggap tidak sesuai, misalnya bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan, penalar tahap kelima ini dapat

15

Page 16: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

mengkritisinya danmengusahakan perubahan. Tahap kelima ini memiliki sifat utilitarianism rational, yakni suatu keyakinan bahwa tugas dan kewajiban harus didasarkan pada tercapainya kebahagiaan bagi sebagian besar manusia. Dapat terjadi pertentangan antara kebenaran menurut hukum dan kebenaran secara moral, dalam hal ini penalar akan mempelajari cara mengatasinya.Tahap keenam adalah prinsip etis universal. Pada tahap ini yang dianggap benar adalah bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip pilihan sendiri yang sesuai bagi semua manusia. Prinsip-prinsip diterima oleh orang yang berada pada tahap ini bukan disebabkan oleh persetujuan sosial, tetapi prinsip-prinsip tersebut berasal dari ide dasar keadilan, yaitu persamaan hak-hak kemanusiaan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Penalar pada tahap ini sudah dapat membuat keputusan moral secara otonomi. Perhatian utamanya pada tercapainya keadilan melalui penghargaan terhadap keunikan hak-hak individu (Darmiyati, 2009: 52-53).Selanjutnya, Kohlberg menggunakan dilema moral untuk mengetahui

kedudukan seseorang dalam tahap-tahap perkembangan penalaran moral. Dari

keputusan seseorang dalam menghadapi dilema tersebut, disertai alasan yang

mendasari keputusan, akan dapat ditentukan tahap perkembangan penalaran orang

tersebut (Darmiyati, 2009: 53).

Mengetahui tahap-tahap perkembangan penalaran moral seseorang tidak sama

dengan mengetahui tindakan moral orang tersebut, karena antara pemikiran dan

tindakan dapat terjadi tidak seiring sejalan. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi

lain yang dapat mengungkap aspek sikap maupun perilaku.

b. Evaluasi karakteristik afektif

Dupon (Darmiyati, 2009: 54) telah menemukan tahap-tahap perkembangan

afektif sebagai berikut:

a. Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya.b. Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal.c. Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral.d.

16

Page 17: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

e. Psychological-personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain atau komitmen pada sesuatu yang ideal.

f. Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi.g. Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri secara sadar.

Selanjutnya, dikatakan oleh Darmiyati bahwa untuk menentukan seseorang

berada pada tahap perkembangan afektif yang mana, Dupont menggunakan instrumen

yang menuntut adanya respons yang melibatkan perasaan.

Selain itu, ada juga pengukuran dengan menggunakan skala sikap seperti yang

dikembangkan oleh Likert atau Guttman dan semantic differential yang

dikembangkan oleh Nuci, dan peneliti lainnya. Walaupun dinamakan skala sikap,

karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula mencakup minat, motivasi, apresiasi,

kesadaran akan harga diri dan nilai.

Cara mengevaluasi capaian belajar dalam ranah afektif dapat dilakukan dengan

mengukur afek atau perasaan seseorang secara tidak langsung, yaitu dengan

menafsirkan ada atau tidaknya afek positif (atau negatif) yang muncul dan intensitas

kemunculan afek dari tindakan atau pendapat seseorang.

Di antara skala pengukuran yang ada, skala Likert paling banyak digunakan,

sebab relatif lebih mudah pengembangannya dan dapat memiliki reliabilitas yang

tinggi. Skala Likert telah diadaptasi dengan sukses untuk mengukur berbagai

karakteristik afektif.

c. Evaluasi perilaku

Perilaku moral sangat sulit untuk dievaluasi. Perilaku moral hanya mungkin

dievaluasi secara akurat dengan melakukan observasi (pengamatan) dalam jangka

waktu yang relatif lama dan secara terus-menerus. Dari pengamatan tersebut dapat

17

Page 18: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

ditarik kesimpulan apakah perilaku orang yang diamati telah menunjukkan watak atau

kualitas akhlak yang akan dievaluasi. Misalnya, apakah orang tersebut benar-benar

jujur, adil, memiliki komitmen, beretos kerja, tanggung jawab, dan sebagainya.

Pengamat harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diobservasi agar

penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah (Darmiyati, 2009: 55).

4. Pendidikan nilai dan pengajaran bermutu: Dua sisi mata uang pembelajaran

Terry Lovat (2009: 1) mengatakan bahwa penelitian pendidikan akhir-akhir ini

telah menemukan beberapa kelemahan dalam penelitian terdahulu mengenai

keterbatasan peran guru dan sekolah untuk melakukan perubahan yang efektif

terhadap prestasi siswa. Penelitian terdahulu cenderung menempatkan pengajaran

dan persekolahan hanya sedikit berperan (peran marginal) dibandingkan dengan

peran yang dimainkan oleh rumah dan latar belakang subjek didik. Lovat

mencontohkan hasil-hasil penelitian terdahulu seperti penelitian Talcott Parsons

(1955) yang menyimpulkan bahwa keluargalah yang menghasilkan kepribadian

manusia, Christopher Jencks (1972) menyimpulkan bahwa karakter dari luaran

(output) sebuah sekolah sangat tergantung pada masukan (input) tunggal, yaitu

karakteristik dari anak-anak yang masuk. Diperkirakan hasil penelitian yang sangat

berpengaruh dan terkenal dalam menyetujui keyakinan ini adalah Plowden Report

(Central Advisory Council 1967) di Inggris yang menunjukkan betapa sulitnya anak-

anak yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung untuk meraih keberhasilan di

sekolah. Siapapun yang telah mengajar di sekolah akan menggaungkan penemuan-

penemuan tersebut. Masalahnya, Parson, Jencks dan Plowden tidak dapat menjawab

18

Page 19: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

pertanyaan berikut: “Mengapa hal itu dapat terjadi?” “Dapatkah diadakan rezim

pengajaran yang dapat membuat perubahan secara cerdas?” “Adakah pedagogi lain

yang dapat mengubah semua ini?”.

Lovat mengatakan bahwa banyak dari para ahli memandang dengan pesimis

mengenai kapasitas dari agen sosial pengajaran dan persekolahan.

Akibatnya, generasi guru sampai pada keyakinan bahwa hanya ada sedikit

manfaat dalam usaha yang mungkin dapat dilakukan, sehingga peran sekolah terbatas

hanya untuk memberikan kesempatan pada subjek didik yang telah siap belajar

sambil meminimalkan kerusakan bagi subjek didik yang hanya mempunyai sedikit

kesempatan. Lebih jauh lagi Lovat (2009: 1- 2) mengatakan bahwa:

Furthermore, if school could have such limited impact even on the easily measurable learning related to cognitive development, what hope could they have of dealing with the less easily measurable dimensions of personal, social and moral development? In other words, the only sensible stance for teachers and school to take on the issue of values was one of values-neutrality. This belief was most apparent in the public regime but was not altogether absent in the average private and religious school. Worldwide, these beliefs are now being re-evaluated. Internationally, one finds huge efforts devoted to matters of civics, citizenship, character education, ethics of persistent and debilitating problems of age-old conflicts, racism, AIDS and new terrorisms inspired by the most explicit of values-based beliefs.

Dari kutipan tersebut dapat diketahui pemikiran Lovat mengenai peran sekolah

secara luas terkait dengan pendidikan nilai/moral. Jika sekolah hanya berdampak

sedikit bahkan hanya pada pembelajaran yang mudah diukur keberhasilannya terkait

perkembangan kognitif, maka apa yang dapat diharapkan dari dimensi yang sulit

diukur semisal perkembangan personal, sosial dan moral subjek didik? Dengan kata

lain, para guru dan pihak sekolah hanya bersikap netral dalam masalah-masalah nilai

19

Page 20: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

di sekolah. Keyakinan ini tampak sekali di sekolah-sekolah negeri, tetapi tidak

demikian halnya untuk sekolah swasta dan sekolah-sekolah agama.

Keyakinan yang disebutkan di atas, sekarang ini sedang dievaluasi kembali.

Secara internasional, ada usaha besar untuk mewujudkan pendidikan

kewarganegaraan, pendidikan kewargaan, pendidikan karakter, etika dan pendidikan

nilai sebagai perjuangan kemasyarakatan untuk menemukan cara-cara baru

menghadapi masalah-masalah konflik rasisme, AIDS dan terorisme baru yang

diilhami oleh keyakinan berbasis nilai-nilai yang sangat jelas.

Contoh yang sangat terkenal dalam penilaian kembali ini adalah UNESCO

mensponsori sebuah program internasional Pendidikan Nilai yang dijalankan di 84

negara dan pada tahun 2005 telah dilakukan evaluasi program di lima benua. Usaha

UNESCO tersebut dilakukan berdasarkan penelitian pada pertengahan tahun 1990an

yang hasilnya kontradiktif dengan penemuan penelitian Parson, Jencks dan Plowden.

Beberapa tokoh kunci dalam penelitian terbaru ini adalah orang Amerika: Fred

Newmann (1996), Linda Darling-Hammond (1997, 2000), Linda Darling-Hammond

dan Youngs (2002). Penelitian Newmann dipusatkan pada efek-efek dari ‘dinamika

pedagogik” dalam mempengaruhi prestasi belajar subjek didik. Dinamika yang

dimaksud adalah sebuah gabungan mulai dari ketrampilan teknis sebagai bagian dari

ketrampilan guru-guru sampai pada sifat-sifat yang lebih dalam seperti “koherensi

sekolah” dan penciptaan “lingkungan yang mendukung dan dapat dipercaya” (Lovat,

2009: 2).

Darling-Hammond melakukan penelitian dengan keyakinan untuk menunjukkan

kekuatan pedagogi dalam membuat perubahan terhadap potensi subjek didik,

20

Page 21: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

termasuk di dalamnya kapasitas untuk mengatasi kekurangan subjek didik yang

berasal dari latar belakang keluarga, bahkan ketidakmampuan subjek didik dalam hal-

hal tertentu. Darling-Hammond menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat jelas

antara pengajaran yang disebutnya sebagai “Pengajaran Bermutu” (Quality Teaching)

dan pengajaran yang biasa yang disebut sebagai “pengajaran tidak efektif”.

Baik penelitian Newman maupun Darling-Hammond, keduanya menegaskan

bahwa Pengajaran Bermutu meliputi kompetensi teknis guru di sekitar masalah-

masalah materi pembelajaran dan strategi pembelajaran, tetapi yang lebih penting

adalah tentang guru-guru itu sendiri (juga kapasitas sekolah secara menyeluruh) untuk

membangun hubungan positif dan memberikan keteladanan/contoh yang positif.

Inilah petunjuk penting berkaitan dengan peran yang dapat dilakukan oleh Pendidikan

Nilai (Values Education).

The Carnegie Corporation’s Task Force on Learning pada tahun 1996 (Lovat,

2009: 3) menunjukkan titik tolak yang menentukan dalam perkembangan pemikiran

tentang pengajaran bermutu. Penelitian ini menantang hasil penelitian terdahulu

mengenai kekuatan guru-guru dan persekolahan dalam perubahan prestasi belajar

siswa. Hasil penelitian tersebut antara lain menyatakan bahwa salah satu masalah

yang harus diatasi adalah usaha reformasi sekolah, karena selama ini telah tertanam

keyakinan bahwa perbedaan dalam kinerja sekolah terutama merupakan hasil dari

perbedaan kemampuan siswa untuk dapat belajar (atau tidak).

Lovet menyebut guru-guru yang berkualitas sebagai “especially teachers”

untuk menunjukkan optimisme bahwa tanpa melihat pada konteks sekolah, tetap ada

guru-guru yang merasa bahwa perannya mulia. Tanggung jawab akhir untuk

21

Page 22: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

keberhasilan siswa terletak pada sekolah dan terutama pada guru-guru yang dapat

melakukan perubahan. Tanpa mengesampingkan perkembangan intelektualitas

sebagai sasaran mendasar dari pengajaran dan persekolahan, penelitian Carnegie

Corporation menyatakan secara jelas bahwa pembelajaran yang luas dihubungkan

dengan keahlian komunikasi, empati, refleksi dan manajemen diri.

Pengertian “kedalaman intelektual” begitu sentral bagi kelompok “pengajaran

nilai”, dari awal ditentukan bukan bersifat instrumental, sederhana dan sempit, tetapi

dalam pengertian yang seluas mungkin dikonotasikan dengan kompetensi interpretasi,

komunikasi, negosiasi dan refleksi, dengan fokus pada manajemen diri. Jadi,

pekerjaan guru mengatasi bentuk-bentuk pekerjaan yang selama ini dikenal sebagai

jenis-jenis prestasi yang sangat mudah diukur dengan tes yang terstandar atau

obeservasi sederhana, lebih jauh lagi adalah bagaimana guru dapat membuat subjek

didiknya belajar secara layak untuk mencapai “kapasitas komunikatif” dan “refleksi

diri”. Jelaslah, bahwa hasil pembelajaran tidak dengan mudah direduksi ke dalam

bentuk pengukuran yang bersifat intrumentalistik, tetapi lebih dari itu hasil belajar

akan sampai pada tujuan Pendidikan Nilai.

Petunjuk awal tentang Pendidikan Nilai seperti pengertian “kapasitas

komunikatif” memiliki potensi yang besar untuk menyampaikan sikap dan perilaku

yang diperlukan bagi keberhasilan kesadaran sosial yang lebih tinggi, di samping

“refleksi diri” atau “melihat ke dalam diri” yang juga memiliki potensi yang sama

sebagai alat penting dalam pengembangan moralitas personal yang benar-benar

terintegrasi. Ringkasnya, Pengajaran Bermutu bukan sekedar pembelajaran di

permukaan yang bersifat faktual sebagaimana karakteristik pendidikan pada masa

22

Page 23: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

lalu, tetapi pembelajaran dalam arti sekarang adalah sebuah pembelajaran yang

melibatkan pribadi keseluruhan dalam aspek kognisi, kematangan sosial dan

emosional, juga pengetahuan diri sendiri.

Pengajaran bermutu telah memberi sinyal pada komunitas pendidikan akan

potensi besar dari pengajaran, termasuk di dalamnya implikasi terhadap dimensi

pembelajaran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai personal dan sosial. Kelompok

pengajaran bermutu memiliki relevansi yang luas terhadap dunia dalam

mengusahakan Pendidikan Nilai yang tidak akan pernah usang. Bila dipahami secara

benar dan komprehensif, Pendidikan Nilai mempunyai potensi untuk menggantikan

dan melengkapi tujuan implisit dalam Pengajaran Bermutu (Lovet, 2009: 4).

Dari uraian Lovet tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajaran nilai pada masa

sekarang telah menjadi bagian penting dalam pendidikan nilai. Pengajaran nilai

mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajarkan nilai-nilai yang

bersifat kognitif, tetapi mencakup pengembangan berbagai dimensi dalam diri

peserta didik mulai dari kecakapan berkomunikasi, manajemen diri, kesadaran sosial,

dan kematangan emosional yang bersifat integratif.

5. Modeling dan pengajaran bermutu

Pengajaran bermutu tidak pernah diartikan hanya bersifat instrumentalis murni.

Fokus pada nilai-nilai dan saling melengkapi dalam Pendidikan Nilai adalah satu cara

yang dapat dicapai. Tidak ada formula ajaib di dalamnya dan prestasi subjek didik

juga bersifat kompleks. Prestasi dalam pengertian yang sangat luas melibatkan

manusia sebagai keseluruhan dan semua kemampuan belajar yang dimiliki, termasuk

23

Page 24: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

yang berhubungan dengan kemampuan emosional, sosial, moral dan spiritual subjek

didik.

Pada gilirannya, pribadi keseluruhan dalam pembelajaran mensyaratkan

pendekatan holistik dalam pengajaran yang melibatkan para guru, sekolah dan sistem

yang ada di dalamnya. Jenis pengajaran direpresentasikan dengan baik dalam kriteria

Pengajaran Bermutu seperti teknik dan ketrampilan mengajar sama halnya dengan

keteladanan dan relasi yang positif dengan subjek didik (Lovat, 2009: 4).

Selanjutnya, Lovat (2009: 7) mengatakan bahwa ada tugas dua sisi yang tidak

terpisahkan dari Pendidikan Nilai dan Moral. Pertama, membangun terlebih dahulu

sebuah lingkungan yang di dalamnya ada respek, kepercayaan (trust) dan kepedulian,

sebelum sepatah kata diajarkan/diucapkan. Idealnya, melalui lingkungan yang

kondusif tersebut, subjek didik akan melihat orang-orang di sekitarnya dihargai oleh

seluruh komunitas sekolah yang sebelumnya mungkin subjek didik tidak memandang

respek sebagai sesuatu yang bernilai. Pembelajaran yang seperti itu merupakan

pelajaran yang sangat efektif untuk semua orang. Contohnya, di kalangan muslim,

seorang guru dan sekolahnya menunjukkan cara-cara yang mengakomodasi ekspresi

muslim seperti batasan berpakaian, makanan atau peribadatan. Bila semua anggota

komunitas sekolah terlibat dalam pemodelan ini, maka jelas transformasi keyakinan

dan perilaku akan lebih mudah untuk diwujudkan. Tetapi, di luar semua itu, pertama-

tama guru-guru hendaklah dilatih secara khusus tentang pembelajaran yang akan

melibatkan mereka. Apabila lingkungan sudah dirancang bagi terwujudnya respek,

trust dan penerimaan diri, tugas selanjutnya adalah menjelaskan atau memberikan

argumentasi tentang pentingnya lingkungan yang kondusif tersebut bagi umat

24

Page 25: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

manusia. Penjelasan tersebut adalah pengajaran atau aspek kurikulum dari Pendidikan

Nilai, berapapun usia subjek didik.

Tugas kedua adalah mendorong subjek didik belajar mengenai refleksi diri,

yaitu mengetahui diri sendiri yang akan membawa seseorang melangkah ke luar dari

bayang-bayangnya sendiri dan warisan budayanya, menantang tidak hanya

keyakinan-keyakinan yang bersifat prakonsepsi dan perilaku-perilaku yang sudah

turun-temurun secara budaya dilakukan, tetapi lebih dari itu agar subjek didik ke luar

dari zona nyaman keyakinan dan perilakunya. Tugas ini disebut dengan istilah

mentransformasi. Inilah arti penting Pendidikan Nilai di sekolah. Walaupun

transformasi itu menyakitkan, karena semakin lama seseorang berada pada zona

nyaman, semakin sulit ia akan berubah (Lovat, 2009: 8).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah mempunyai peran yang

cukup signifikan dalam pendidikan nilai. Pengajaran bermutu merupakan pengajaran

yang bersifat holistik karena dimensi nilai-nilai menjadi perhatian dan sebagai bagian

penting dalam prosesnya. Pendidikan nilai dan pengajaran bermutu adalah seperti dua

sisi koin yang tidak terpisahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bronfenbrenner, Urie. (1979). The ecology of human development- Experiments by nature and design. Diambil pada tanggal 18 Januari 2010 dari books.google.co.id

Cooper, Maxine, et.al. (1998). Practical strategies in values education. Dalam Joan Stephenson, et. al. Values in education. London and New York: Routledge.

Darmiyati Zuchdi. (2009). Humanisasi pendidikan – Menemukan kembali pendidikan yang manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.

25

Page 26: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

Goodlad, John I. (1984). A place called school – Prospects for the future. New York: McGraw – Hill Book Company.

Giroux, Henry A. (1988). Teachers as Intellectual - toward a critical pedagogy of learning New York: Bergin & Garvey.

Ki Hadjar Dewantara. (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara – Bagian pertama: pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Khoiron Rosyadi. (2004). Pendidikan profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lickona, Thomas. (1991). Educating for character – How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.

Lovat, Terry. (2009). Values education and quality teaching: two sides of learning coin. Dalam Terry Lovat & Ron Toomey (Eds.) Values education and quality teaching. [versi elektronik]. Diambil pada tanggal 15 Januari 2010 dari www.springer.com

Marzuki (2009). Prinsip-prinsip akhlak mulia. Yogyakarta: Debut Wahana Press bekerjasama dengan FISE UNY.

Noeng Muhadjir. (2003). Ilmu pendidikan dan perubahan sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Ramli Zakaria, T. (2006). Pendekatan-pendekatan pendidikan nilai dan implementasi dalam pendidikan budi pekerti. Diambil pada tanggal 11 Juli 2010 dari http://www.pdk.go.id/balitbang/publikasi/jurnal/no 026.

Reimer, Joseph, dkk. (1983). Promoting moral growth – from Piaget to Kohlberg. Second edition. New York & London: Longman Inc.

Shihab, M. Quraish. (1997). Wawasan Al-Quran – Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Penerbit Mizan.

Simon, Sidney B. dkk. (1978). Values clarification – a Handbook of practical strategies for teachers and students. Revised Edition. New York: Hart Publishing Company, Inc.

Wilds, Elmer H. & Lottich, Kenneth V. (1961). The foundations of modern education. New York: Holt, Rinehart and Winston.

26

Page 27: Materi 1 - Pengertian Pendidikan Moral

27