Materi 03. Good Governance

download Materi 03. Good Governance

of 25

Transcript of Materi 03. Good Governance

2.2.11 Good Corporate Governance Salah satu pemicu krisis ekonomi yang dialami rakyat Indonesia adalah redahnya kualitas good corporate governance yang diterapkan di negara-negara Asia pada umumnya dan khususnya the Five most-affected countries (Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia) dan mencuatnya skandal keuangan yang melibatkan perusahaan besar seperti Enron, WorldCom, Tyco, Global Crossing dan yang terakhir AOL-Warner, semakin memperkuat tuntutan akan peningkatan kualitas good corporate governance (Soegiharto, 2005: 38) Pembahasan mengenai good coporate governance pada penelitian ini diawali dengan pemaparan kasus Enron yang mencuat pada akhir tahun 2001 dan awal tahun 2002 yang merupakan salah satu contoh dimana perusahaan besar melakukan kejahatan dan kebijakan corporate governance yang buruk sehingga praktik corporate governance dan pengauditan harus diperbaiki. Enron adalah perusahaan perdagangan energi. Dimulai sebagai perusahaan jalur pipa minyak dan gas, Enron membangun sebuah model bisnis berdasarkan pada pembelian dan penjualan kapasistas lebih terutama pada jalur pipa dan kemudian juga merambah pada penjualan ekses kapasitas di beberapa area yang lain. Contohnya, pada sebuah penggunaan listrik mungkin memiliki sebuah perencanaan tenaga yang menghasilkan kelebihan beberapa juta kilowatt jam selama satu periode. Enron akan menetapkan untuk membeli hak terhadap tenaga tersebut dan kemudan menjualnya kepada perusahaan energi lain untuk mendapatkan hasil dari kelebihan kapasitas tersebut. Enron menerapkan konsep perdagangan ini pada beberapa area lainnya, seperti kapasitas pesan telepon, tanker miyak, dan penjernihan air. Dengan cepat Enron menjadi

perusahaan yang sangat besar dan mendapatkan perhatian investor. Pendekatan bisnisnya begitu agresif dan profitable. Kemudian, pada akhir 2001, ditemukan bahwa Enron tidak memberi tahu investor hal yang benar mengenai kondisi keuangannya. Diketahui bahwa Enron menggunakan off-balance sheet accounting untuk menyembunyikan beberapa saldo utangnya. Enron telah mentransfer transaksi keuangan yang signifikan pada catatan dari organisasi partnersip yang tidak terafiliasi yang tidak harus dikonsolidasikan pada pelaporan keuangan Enron. Transaksi personal tersebut tidak sesuai dengan Code of Conduct Enron, namun CFO meminta dewan untuk secara formal mengabaikannya. Dilindungi oleh auditor ekstenal, dewan kemudian menyetujui transaksi off balance sheet tersebut. Pada saat perilakuknya diketahui publik, Enron dipaksa untuk mengembalikan transaksi kembali ke dalam laporan keuangan konsolidasian, membuat sejumlah angka terlihat buruk dan menekan dilakukannya restatement earning. Beberapa jalur kunci dari kredit dan transaksi bank merdasarkan pada agrement Enron. Dengan earning yang direstated menyebabkan Enron berada dalam posisi melanggar agremen tersebut. Hasilnya adalah bahwa apa yang dilihat orang suatu hal yang kuat sebelumnya, ternyata bukanlah suatu perusahaan yang kuat, dan Enron dipaksa untuk menyatakan kebangkrutan di tahun 2002. Karena Enron merupakan sebuah perusahaan yang menonjol beberapa pertanyaan mengenai Bagaimana hal tersebut bisa terjadi muncul pada pers dan dari otoritas pemerintahan. Pertanyaan utama lain yang muncul adalah Di Manakah auditor? Komentator merasa bahwa seseorang seharusnya telah melihat apa yang akan terjadi. Perusahaan Arthur Andersen telah menjadi aduitor ekternal Enron dan juga melakukan fungsi audit internalnya melalui proses outsourcing.

Pemerintah federal mengindikasikan bahwa Andersen melakukan obstruction of justice. Pada bulan Juni 2002, Andersen dinyatakan bersalah oleh hakim Teksas. Dengan vonis tersebut, Andersen kehilangan kepercayaan professional dan publik. Pada awal 2003, operasi utama Andersen adalah menjadi dealer furniture bekas. Di dalam kasus Enron di atas, sistem corporate governance yang buruk muncul, hal tersebut diperkuat oleh kenyataan bahwa dalam pertemuan dengan pembuat kebijakan sekuritas, chairman dari Internal Accounting Standard Board (IASB), David Tweedie, mengindikasikan bahwa alasan kehancuran Enron bukanlah pada standard akuntansi, namun pada corporate governance yang gagal. Tweedie mengidentifikasi bahwa penggunaan entitas untuk tujuan tertantu (special-purpose entities) yang tidak termasuk di dalam neraca konsolidasian Enron dan agreement keuangannya sebagai kontributor utama untuk kegagalan perusahaan SEC menuntut adanya pemisahan antara pengauditan dengan jasa konsultansi yang pada umumya diberikan perusahaan akuntansi. Kombinasi auditing dan konsultansi yang diberikan oleh Arthur Anderson diduga keras menciptakan konflik kepentingan yang menjadikan akuntan untuk tidak memberikan kepada investor sebuah presentasi yang cukup dari kondisi keuangan Enron. Istilah good corporate governance secara luas telah dikenal dalam dunia usaha. Ada beberapa pengertian good corporate governance yang dapat dijelaskan sebagai berikut:a)

Corporate governance adalah responsibiltas dan akuntabilitas bagi seluruh operasi suatu organisasi (Bohen dalam Taylor, 2000:2 dalam Majidah, 2004:64).

b)

Corporate governance perusahaan adalah suatu hal yang terkait dengan kekuasaan, akuntabilitas dan aturan main. Hal ini berkaitan dengan hubungan di

antara berbagai pihak dalam menentukan arah dan kinerja perusahaan (McRitchie, 2001:1 dalam Majidah, 2004:64)c)

Corporate governance perusahaan adalah sistem yang mana perusahaan diatur dan dikendalikan (Financial Aspects of Corporate Governance (FAOC), 1992: 1 dalam Majidah, 2004:64)

d)

Pengertian corporate governance, yaitu (1) hubungan antara perusahaan dengan pihak-pihak terkait yang terdiri atas pemegang saham, karyawan, kreditur, pesaing, pelanggan, dan lain-lain, (2) mekanisme pengecekan dan pemantauan perilaku manajemen puncak (Hirata, 2003: 1 dalam Majidah, 2004:64)

e)

Menurut Kep Meneg BUMN No. 117/2002, good corporate governance adalah proses terstruktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakehoders lainnya berdasarkan peraturan perundangan dan nilai risiko.

f)

Menurut OECD (Sukrisno Agoes, 2005), good corporate governance adalah: The structure through which shareholders, directors, managers, set of the broad objective of the company, the means of attaining those objectives and monitorig performance.

g)

Menurut Cadbury Committee (Sukrisno Agoes, 2005), good corporate governance adalah a set of rules that define the relationship between shareholders in respect to their rights and external shareholder in respect to their right and responsibility

h)

Salowe (2002) dalam Soegiharto (2005: 39) menyatakan bahwa good corporate governance dapat diartikan sebagai interaksi antara struktur dan mekanisme yang menjamin adanya control dan akuntabilitas, dengan tetap mendorong efisiensi dan kinerja perusahaan.

i)

Burns dalam Carpenter (2004:8) mendefinisikan corporate governance sebagai: A hefty sounding phrases that really just means oversight of company management - making sure the business is run well and investors are treated fairly.

j)

Ruin (2003:19) menyatakan bahwa corporate governance sebagai berikut: From some of the best practice guidelines that any one can come across globally, corporate governance is all about how an organization is managed; organizes its corporate and other structures; develops its culture; its policies and strategie; and deals with it various stekeholders.

k)

Malaysian High Level Finance Committee on Good Corporate Governance mendefinisikan good corporate governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain.

l)

Pakar manajemen Robert Monks dan Nell Minow (1995) mendefinisikan good corporate governance sebagai hubungan antara berbagai pihak untuk menentukan pengelolaan dan kinerja perusahaan. Pihak yang paling utama adalah pemegang saham, manajemen perusahaan yang dipimpin oleh chief executive officer, dan dewan komisaris

Pengertian corporate governance perusahaan memiliki penekanan yang berbeda-beda, pengertian tata kelola menurut Bohen menekankan pada pertanggungjawaban eksternal dan internal. Pengertian corporate governance perusahaan menurut McRitchie ditekankan pada kekuasaan, tanggung jawab internal dan aturan main dalam operasi organisasi. Yang dimaksud kekuasaan dalam pengertian ini merupakan wewenang yang diberikan dalam melakukan aktivitas organisasi dan pengambilan keputusan. FAOC mendefiniskan corporate governance perusahaan sebagai suatu sisem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Menurut Hirata, corporate governance perusahaan merupakan hubungan dengan pihak terkait dan pengendalian terhadap perilaku manajemen puncak. Keputusan Menteri Negara BUMN No. 117 menekankan bahwa good corporate governance sebagai suatu proses terstruktur untuk mencapai tujuan tanpa mengorbankan satupun stakeholder yang ada. Cadbury Committee mendefinisikan good corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Salowe menekankan bahwa good corporate governance sebagai suatu

interaksi berbagai pihak dalam organisasi untuk mencapai tujuan dengan baik. Burns menekankan corporate governance sebagai pengelolaan perusahaan untuk dapat berjalan dengan baik tanpa mengorbankan satu stakeholder pun. Ruin menekankan bahwa corporate governance adalah mengenai bagaimana organisasi dikelola, diorganisasikan, dibangun kulturnya, dibangun strategi dan kebijakannya dan keterkaitannya dengan berbagai stakeholder. Berdasarkan pendapat-pendapat pakar tentang pengetian good

corporate governance perusahaan, dapat disimpulkan bahwa good corporate governance adalah hubugan antara pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan yang menyengkut suatu sistem pengelolaan dan pengendalian perusahaan yang diatur dengan suatu aturan main dalam suatu perusahaan ditujukan untuk mencapai tujuan perusahaan semaksimal mungkin tanpa mengorbankan satu pihak stakeholders pun. Tujuan good corporate governance adalah menciptakaan tujuan perusahaan secara efektif dan menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dengan perusahaan.. Dari beberapa definisi di atas terlihat implementasi good corporate governance mencakup dua sasaran utama. a) Pertama, secara internal, yaitu adanya sistem dan struktur yang menjamin berjalannya fungsi dari organ-organ perusahaan (RUPS, komisaris dan direksi) secara seimbang. Hal yang terkait dengan masalah tersebut antara lain adanya pemenuhan hak-hak pemegang saham secara adil, pengendalian yang efektif oleh dewan komisaris, serta pengelolaan perusahaan yang transparan dan

bertanggungjawab oleh direksi. b) Kedua, secara eksternal, menyangkut pemenuhan tanggung jawab perusahaan kepada para pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Hal ini terkait dengan bagaimana perusahaan mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tersebut termasuk didalam hal ini adalah pemenuhan kewajiban perusahaan untuk taat kepada peraturan yang ada. Good corporate governance berusaha menjaga keseimbangan di antara pencapaian tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat. Tantangan dalam corporate governance adalah mencari cara untuk memaksimumkan penciptaan kesejahteraan

sedemikian rupa sehingga tidak membebankan ongkos yang tidak patut kepada pihak ketiga atau masyarakat luas. Berdasarkan uraian mengenai corporate governance tersebut sebelumnya, peneliti merumuskan suatu kesimpulan bahwa good corporate governance adalah suatu sistem yang ada pada suatu organisasi yang memiliki tujuan untuk mencapai kinerja organisasi semaksimal mungkin dengan cara-cara yang tidak merugikan stakeholder organisasi tersebut, sehingga dua hal pokok yang ada pada good corporate governance adalah: 1)2)

Pengelolaan organisasi yang memaksimalkan kinerja. Cara-cara pengelolaan organisasi yang baik, yang tidak merugikan stakeholders Menurut Tricker (1994: 8) corporate governance merupakan istilah yang muncul dari interaksi di antara manajemen, pemegang saham dan dewan direktur, serta pihak terkait lainnya, akibat adanya ketidakkonsistenan antara apa dan apa yang seharusnya, sehingga isu-isu corporate governance perusahaan muncul. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan-permasalahan corporate governance tersebut, dapat ditunjukkan gambaran permasalahan di dalam corporate governance dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.4 Gambaran tentang permasalaha Corporate Governance Perusahaan dan Solusinya Masalah Fokus Solusi Manajemen telah Pemegang saham Meningkatkan partisipasi mengendalikan lebih dahulu pemegang saham Anggota Dewan Direktur Dewan direktur Restrukturisasi dewan terlalu patuh terhadap direktur manajemen Karyawan tidak memiliki Perwakilan karyawan Demokrasi industri suara dalam manajemen Sumber: Tricker, 1994:9 dalam Majidah, 2004

Pemahaman terhadap setiap permasalahan tata kelola perusahaan sebagaimana tabel tersebut merupakan cara untuk mengatasi setiap permasalahan tata kelola perusahaan yang terjadi. Corporate governance tidak sama dengan pengelolaan perusahaan. Perbedaan itu menurt Muller dalam Tricker (1994:10), yaitu: (1) corporate governance memiliki fokus eksternal, manajemen perusahaan memiliki fokus internal; (2) Corporate governance mengasumsikan sistem terbuka, manajemen perusahaan mengasumsian sistem tertutup; dan (3) Corporate governance berorientasi pada strategi, manajemen berorientasi pada tugas. Gagasan good corporate governance muncul pada awalnya sebagai kritik terhadap praktik bisnis modern yang berkembang dengan cepat. Praktik bisnis yang ada saat ini mempunyai karakteristik semakin dipisahkannya fungsi kepemilikan dan manajemen pengelolaan perusahaan. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan kemampuan pemilik dalam mengelola perusahaan sedangkan di sisi lain para profesional yang menawarkan kemampuannya untuk mengelola perusahaan dengan tujuan

memaksimalkan keuntungan perusahaan yang pada akhirnya memunculkan agency problems akibat pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para profesional (disebut agents) yang lebih mengerti tentang bagaimana menjalankan praktik bisnis sehari-hari. Untuk mereduksi agency problems tersebut para pemilik memberikan insentif kepada para profesional tersebut dan memastikan bahwa mereka akan bekerja sepenuhnya untuk kepentingan perusahaan. Adanya pendelegasian pengelolaan dan kekuasaan kepada para profesional tersebut diharapkan dapat mendorong mereka untuk memaksimalkan laba perusahaan. Namun kekuasaan tersebut dapat juga disalahgunakan

untuk memaksimalkan kepentingan mereka sendiri dengan beban dan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik perusahaan. Konsep good corporate governance muncul untuk meminimalkan potensi kecurangan akibat agency problem tersebut. Prakteknya berupa adanya sistem dan struktur yang efektif untuk mendorong dipenuhinya hak dan kewajiban masing-masing organ perusahaan. Pemegang saham dapat melakukan kontrol yang efektif terhadap pengelolaan perusahaan melalui dewan komisaris. Di sisi lain, direksi sebagai pengelola perusahaan mempunyai batasan yang jelas tentang tanggung-jawab, wewenang, serta hak dan kewajibannya. Di samping penjelasan tersebut di atas, konsep good corporate governance muncul untuk mengakomodasi tuntutan banyak pihak tentang tanggung jawab perusahaan (corporate responsibility). Dalam berbisnis, perusahaan seharusnya tidak hanya sekedar mengejar keuntungan (single bottom concept) namun juga tidak boleh melupakan aspek kelangsungan usaha (going concern) dan aspek tanggung jawab sosial. Motif sekedar mengejar keuntungan terbukti banyak menimbulkan masalah dan menyebabkan perusahaan tidak bertahan lama. Pelaksanaan good corporate governance akan meningkatkan nilai perusahaan karena para pihak yang terlibat di dalamnya selalu berupaya untuk berbuat yang terbaik untuk kepentingan organisasi secara keseluruhan. Pada akhirnya hal ini akan berpengaruh kepada kelangsungan usaha (going concern) perusahaan yang lebih baik dan terarah dalam jangka panjang.

Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (2002:20), dengan dilaksanakannya good corporate governance ada beberapa manfaat yang bisa dipetik antara lain:1.

Meningkatnya kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.

2.

Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.

3. 4.

Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus meningkatkan shareholders value dan dividen. Khusus bagi BUMN akan dapat membantu penerimaan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Penelitian Hermanson (2003:44) mengenai hubungan antara penerapan good

corporate governance dengan kinerja organisasi menyatakan bahwa penerapan good corporate governance berhubungan dengan kinerja organisasi. Hal di atas menunjukkan bahwa kewajiban penerapan good corporate governance merupakan suatu hal yang tepat. Pengoperasian suatu organisasi tanpa good corporate governance bagaikan mengemudi kendaraan tanpa mengenakan sabuk pengaman. Implementasi good corporate governance banyak memberikan manfaat baik bagi perusahaan maupun pihak lain yang mempunyai hubungan langsung dan tak langsung dengan perusahaan. Bagi perusahaan, keuntungan yang diperoleh dari penerapan good corporate governance adalah: a. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi dan terciptanya budaya kerja yang sehat.

b. Meminimalkan kerugian akibat penyalahgunaan wewenang oleh direksi (agency cost) dan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan. c. Meningkatkan kepercayaan investor yang pada akhirnya meningkatkan pula value saham perusahaan. d. Dengan adanya peningkatan kinerja perusahaan akan meningkatkan pula

shareholders's value dan dividen. Khususnya bagi BUMN hal ini akan membantu penerimaan APBN untuk anggaran pembangunan baik dari bagian keuntungan maupun pajak yang dibayarkan perusahaan. e. Praktik good corporate governance menempatkan karyawan sebagai salah satu stakeholder yang harus dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik akan meningkatkan motivasi dan kepuasaan kerja karyawan. Hal ini penting untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. f. Meningkatkan citra positif perusahaan sekaligus meminimalkan cost akibat tuntutan stakeholder kepada perusahaan. Kurangnya kesadaran atas pelaksanaan good corporate governance dituding sebagai pemicu kehancuran ekonomi yang terjadi di negara-negara Amerika dan Eropa pada masanya terjadi krisis, karena:a)

Tidak efektifnya fungsi Board of Director (termasuk Board of Commissioner)

b) Lemahnya pengawasan internal c) Audit yang burukd)

Kurangnya keterbukaan (transparency)

e) Lemahnya penegakan hukum f) Kurangnya kesadaran untuk memanajemeni risiko

Terminologi good corporate governance telah dikenal dari Amerika Serikat pasca krisis ekonomi di sana sekitar tahun 1930an. Terminologi tersebut kemudian didengungkan oleh IMF pada saat membantu Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi di tahun 1997an sehingga Indonesia harus masuk program IMF yang dikenal dengan LoI atau Letter of Intent (yang pertama kali dilakukan oleh Mr. Camdesus dengan Presiden Suharto). Pada saat itu IMF menyatakan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya menerapkan corporate governance yang baik dalam manejemen publik dan manajemen perusahaannya sehingga hampir semua perusahaan baik publik maupun perusahaan swasta mengalami kesulitan keuangan akibat kurang baiknya pengelolaan hutang luar negeri yang sebelumnya sangat murah menjadi mahal karena meningkat berlipat-lipat. Dalam pelaksanaan good corporate governance, pada awalnya pihak manajemen harus mempunyai kesadaran (awarness), komitmen (commitment) dan integrity untuk selalu berbuat yang terbaik untuk kepentingan organisasi karena ia memegang peranan akan berhasilnya program ini.. Tata kelola perusahaa merupakan suatu rangkaian tindakan pegelolaan yang diikuti oleh perusahaan guna pencapaian tujuannya. Tindakan tersebut akan membantu dalam menciptakan model reputasi positif (goodwill) bagi perusahaan dan membangun kepercayaan kredtur dan investor kepada perushaan sebagai entitas yang berkembang (Yener, 2002: 1). Tiga landasan utama terbentuknya tata kelola perusahaan (Akhmad Syakhroza, 2003: 16) yaitu: 1) landasan filosofi (philosophical fondation); 2) landasan sejarah (historical fondation); dan 3) landasan psikologis (psychological foundation). Ketiga landasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1)

Landasan Filosofi (philosophical foundation), disebut sebagai faham struktural fungsional, yang penekanannya pada struktur dan fungsi organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka. Landasan ini mengasumsikan bahwa organisasi dapat bertahan (survive) jika mampu berinteraksi secara baik dengan lingkungannya. Dengan demikian struktur dan fungsi lingkungan organisasi intern dirancang maupun dengan

mempertimbangkan eksternya.2)

faktor-faktor

lingkungan

Landasan Sejarah (historical foundation), perubahan struktur organisasi diperlukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan. Untuk menjelaskan konteks tersebut dapat diberikan contoh bahwa perusahaan kecil, yang pada umumnya dikelola oleh pemiliknya kemudian berkembang menjadi besar sehingga perlu pendelegasian wewenang dari pemilik kepada manajer. Agar kepentingan pemilik terjaga, maka dibentuk struktur baku dengan adanya dewan komisaris yang bertindak atas nama kepentingan pemilik untuk mengawasi manajemen. Dari landasan sejarah trsebut, muncullah teori keagenan (agency theory)

3)

Landasan Psikologis (phsycological fondation). Sesuai dengan asumsi rasionalitas dalam teori keagenan (Barney and Ouchi, 1986: 205) dimana baik manajemen (agent) maupun pemilik (principal) akan memicu timbulnya konflik kepentingan di antara manajer dan pemilik. Manajer akan memaksimisasi nilai (value) untuk dirinya, karena telah andil dalam pengelolaan perusahaan. Melalui informasi yang lebih banyak diketahui manajer, maka manajer akan mengelabuhi pengguna melalui penyediaan informasi yang tidak transparan bagi penggunanya. Dengan

kondisi demikian, maka diperlukan pemberdayaan bagi dewan komisaris. Sebaliknya dewan komisaris yang merupakan perwakilan dari pemilik akan memaksimalisasi nilai (value), karena telah andil dana dalam perusahaan. Jika dikaitkan dengan prinsip rasonalitas, kepentingan pemegang saham minoritas cenderung diabaikan, sehingga perlu ada komisaris independen. Corporate governance berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, antara lain ekonomi mikro, ekonomi organisasi, teori organisasi, teori informasi, hukum, akuntansi, keuagan, manajemen, psikologi, sosiologi dan politik. Setiap sudut pandang tata kelola perusahaan, memiliki cara penanganan yang berbeda, disesuaikan dengan bidang ilmu masing-masing (Turnbull 1997:2). Ada beberapa teori yang relevan dengan good corporate governance menurut Turnbull (1997: 16-21) dan Keasey, Thompson, dan Wright (197: 3-7) dalam Majidah (2004) sebagai berikut:1)

Model Keuangan Sederhana atau Model Principal-Agent (The Simple Fianance Model), mendasarkan pada sudut pandang keuangan, yaitu bahwa masalah dalam tata kelola keuangan terletak pada aturan dan insentif (yaitu kontrak secara implicit) untuk menselaraskan secara efektif perilaku para manajer (Agents) dengan keinginan pemilik (Principals). Masalah dalam model keuangan adalah bahwa agen di dalam perusahaan bertindak untuk kepentingan agen sendiri, sehingga menimbulkan biaya keagenan, sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Jensen & Meckling (Smith Jr, 1990: 85). Biaya keagenan terjadi, akibat asumsi dasar dalam teori keagenan, dimana manajer memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan mereka sendiri sebelum pemegang saham. Jensen & Meckling

menunjukan bagaimana investor pada perusahaan publik mengeluarkan biaya pemantauan (monitoring cost), biaya pembatasan (bonding cost) dan kerugian sisa (residual loses). Masalah kepantingan kelembagaan terjadi jika investor kelembagaan memiliki sahan mayoritas perusahaan. Kepemilikan saham mayoritas dalam suatu perusahaan. Dengan demikian, manajemen akan bertindak untuk kepentingan kelompoknya. Masalah lain yang timbul adalah tidak adanya perlindungan bagi pemegang saham minoritas. Dalam banyak kasus pemegang saham minoritas tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh untuk mendapatkan informasi yang dapat mengungkapkan pengambil alihan atau pengelolaan yang tidak baik. Untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas, maka perlu dibentuk komisaris independen sebagai wakil dari pemegang saham minoritas dalam kelembagaan perusahaan.2)

Model stewardship (stewardship model), menjelaskan bahwa manajer adalah pelaksana yang baik bagi perusahaan dan bekerja secara rajin untuk mencapai tingkat keuntungan yang tinggi bagi perusahaan dan memberikan hasil bagi pemegang saham. Manajer secara prinsip dimotivasi oleh pencapaian dan

kebutuhan akan tanggungjawab, serta manajer diberi tanggungjawab untuk menentukan arash sendiri. Organisasi akan menjadi lebih baik jika memberikan kebebasan kepada manajer dan kepatuhan pada direktur non eksekutif yang didominasi dewan. Kebebasan direktur non eksekutif, mengakibatkan ketidak efektivan pengendalian (Donaldson & Davis, 1991: 51). Peran dewan direktur menjadi berlebihan, jika ada pemegang saham atif yang dominan, khusunya ketika pemegang saham mayoritas adalah keluarga atau pemerintah. Untuk

mengatasi permasalahan dalam teori stewardship, menurut Pfeffer (Turnbull, 1997: 19), perlu direktur eksternal, meski tidak cukup mampu mempengaruh manajemen manajer, tetapi mereka mempengaruhi peraturan perusahaan.3)

Model Stakeholder (Stakeholder Model). Definisi teori stakeholder menurut Carkson (Turnbull, 1997: 20) perusahaan merupakan suatu sistem stakeholders yang beroperasi dalam suatu sistem yang lebih luas dalam suatu masyarakat yang menyediakan infrastruktur hukum dan pasar bagi aktivitas perusahaan. Tujuan perusahaan adalah menciptakan nilai bagi setiap stakeholder melalui penciptaan barang dan jasa. Pada perusahaan yang berskala besar, terdapat stakeholder primer dan stakeholder sekunder. Stakeholder primer berdampak langsung, berkelanjutan, dan kuat pada perusahaan. Sementara itu stakeholder sekunder kurang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perusahaan, tetapi dapat berdampak pada operasi perusahaan (Steiner & Steiner, 2003: 15). Menurut Donaldson & Preston (Turnbull, 1997: 8) perusahaan modern memiliki sifat menciptakan saling ketergantungan dengan berbagai kelompok terhadap perusahaan, seperti pelanggan, pemasok dan anggota masyarakat di mana perusahan beroperasi. Sikap saling ketergantungan tersebut, ditinjau dari konsep model stakeholder yang menyertakan etika, dapat membangun reputasi di antara pihak-pihak yang terkait tersebut. Model stakeholder ini akan memberikan keseimbangan internal dan keseimbangan eksternal

4)

Model Pasar Myop (The Myopic Model). Pasar Myop sejalan dengan hipotesis Myop yang menyatakan bahwa pasar modal memiliki fokus pelaporan informasi jangka pendek (Foster, 1986: 443). Pandangan dalam pasar Myop harga saham

mencerminkan selutuh informasi yang tersedia, sehingga akan memiliki manfaat dalam pengambilan keputusan, karena informasi yang ada relative transparan. Dengan kata lain bahwa kinerja perusahaan tercermin pada harga saham. Berdasarkan kenyataan, bahwa informasi yang diberikan cenderung terjadi distorsi karena adanya sentimen pasar atau oasar belum bekerja secara efisien (Akhmad Sakhroza, 2003:2)5)

Model Politik (Political Model). Model politik mengakui bahwa alokasi kekuasaan perusahaan, hak dan keuntungan di antar pemilik, para manajer dan para stakeholders lainnya ditentukan oleh bagaimana pemerintah memperlakukan secara baik berbagai ketetapan. Kemampuan stakeholder perusahaan untuk mempengaruhi pengalokasian di antara mereka sendiri pada tingkat mikro merupakan persoalan terhadap kerangka kerja makro, yang mana stakeholders tersebut saling mempengaruhi, untuk dapat mempengaruhi sektor korporasi. Pound (Turnbull, 1997:23) mendefinisikan tata kelola menurut model politik sebagai pendekatan, dimana investor aktif mencoba mengubah kebijakan perusahaan dengan mengembangkan dukungan suara dari pemegang saham yang beredar dibandingkan dengan secara sederhana membeli kekuatan suars atau pengendalian.

Di Indonesia, wacana mengenai konsep good corporate governance menjadi sangat aktual setelah korporasi Indonesia jatuh terpuruk oleh krisis ekonomi. Konsep good corporate governance menjadi sangat relevan karena dikatakan bahwa salah satu penyebab utama kejatuhan korporasi Indonesia dalam krisis adalah pengelolaan

perusahaan yang buruk. Begitu pentingnya konsep good corporate governance menjadikannya menarik untuk dibahas lebih dalam baik mengenai maksud dari konsep tersebut maupun keterkaitannya dengan aspek-aspek yang lain dalam rangka mendukung kinerja korporasi di Indonesia, mengingat sampai pada saat ini pun Indonesia masih belum dapat keluar dari krisis ekonomi. Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance pada dasarnya merupakan perwujudan keamanahan direksi dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya dan kejujuran dalam pelaporan keuangan. Kemanahan dan kejujuran tersebut di atas membentuk integritas direksi. Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran (Balai Pustaka, 2001). Tingkatan integritas direksi meliputi integritas tingkat pertama yaitu keamanahan direksi dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya dan integritas tingkat kedua yaitu kejujuran direksi dalam melakukan pelaporan keuangan. Kedua tingkatan integritas tersebut memiliki variasi gabungan dimana semakin baik penerapan prinsip-prinsip corporate governance maka variasi kombinasi akan mengarah pada kuadran ke-2 seperti ditunjukkan pada matriks kombinasi kejujuran dan keamanahan berikut ini (Bambang Sudibyo, 2001): Tabel 2.5 Matrik kejujuran dan keamanahanKejujuran direksi dalam pelaporan keuangan (integritas tingkat 2) Keamanahan direksi dalam menjalankan tugas (integritas tingkat 1) Amanah Tidak Amanah

Jujur

Kuadran ke-2 Tugas dilaksanakan dengan penuh amanah dan dilaporkan secara jujur (1,1) Kuadran ke-3 Tugas dilaksanakan dengan penuh amanah, tetapi tidak dilaporkan secara jujur (1,2)

Tidak jujur

Kuadran ke-1 Tugas dilaksanakan tidak dengan amanah, tetapi kegagalan melaksanakan amanah dilaporkan secara jujur (2,1) Kuadaran ke-4 Tugas dilaksanakan tidak dengan amanah, dan kegagalan melaksanakan amanah itu tidak dilaporkan secara jujur (2,2)

Sumber: Bambang Sudibyo, pidato pengukuhan jabatan guru besar fakultas ekonomi UGM Penerapan prinsip-prinsip good corporate governance pada dasarnya ditujukan untuk pengelolaan perusahaan yang baik dan pada akhirnya akan mendukung ketercapaian kinerja perusahaan seperti yang diharapkan oleh stakeholders. Terkait dengan hal di atas, penerapan prinsip-prinsip good corporate governance bertujuan untuk memastikan bahwa (Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG), 2000:5): 1. Sasaran yang telah ditetapkan telah tercapai. 2. Aktiva perusahaan dijaga dengan baik. 3. Perusahaan menjalankan praktek-praktek bisnis yang sehat. 4. Kegiatan-kegiatan perusahaan yang bersifat transparan.

2.2.12 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Penerapan good corporate governance baik di suatu negara ataupun di perusahaan memerlukan suatu identifikasi prinsip-prinsip dari konsep good corporate governance itu sendiri. Konsep good corporate governance merupakan konsep yang bersifat general dan universal namun untuk pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara atau perusahaan yang bersangkutan. Telah banyak pihak dan institusi yang telah

merumuskan prinsip-prinsip good corporate governance. Beberapa prinsip good corporate governance adalah sebagai berikut: a) OECD: The right of shareholders, the equitable treatment of shareholders, disclosure and transaprency, the responsibility of the board b) FCGI: Fairness, Disclosure and Transparency, Accountability, Responsibility c) IICG: Fairness, Transparency, Accountability, Responsibility d) BPKP: Transparency, Participation e) Keputusan Meneg BUMN: Transparency, Independency, Accountability, Responsibility, Fairness Unit analisis penelitian ini adalah perusahaan BUMN di Indonesia, sehingga prinsip-prinsip good corporate goverance yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini (karena prinsip-prinsip tersebut yang menjadi kewajiban untuk diterapkan di BUMN) adalah mendasarkan pada Keputusan Meneg BUMN No. 117/M-MBU/2002 yang menyatakan bahwa dalam penerapan good corporate governance di BUMN dikenal adanya lima prinsip utama. Kelima prinsip tersebut adalah pertanggungjawaban (reponsibility), akuntabilitas (accountability), kewajaran (fairness), transparansi Accountability, Fairness, Integrity, Independency,

(transparency), dan kemandirian (Keputusan Meneg BUMN no: Kep-117/MMBU/2002). Uraian dari masing-masing prinsip di atas adalah sebagai berikut: 1) Pertanggungjawaban (Responsibility) Adalah kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Menurut Soekrisno Agoes (2005:15) prinsip pertanggungjawaban atau responsibility

menunjukkan bahwa setiap individu dalam perusahaan harus bertanggungjawab atas segala tindakannya, terutama berkenaan dengan peranan dan tanggungjawab yang telah ditetapkan. Menurut Hunger and Wheleen (2003:38)

pertanggungjawaban antara lain mencakup tanggung jawab legal dan tanggung jawab sosial. Yang dimaksud dengan tanggung jawab legal, bahwa perusahaan taat dengan peraturan perundangan. Tanggung jawab sosial, perusahaan memiliki kepadulian terhadap masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan. Prinsip pertanggungjawaban menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada shareholdesr, stakeholders dan untuk mematuhi semua peraturan dan hukum yang berlaku. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dalam good corporate governance yaitu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkait dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan sebagainya. Pertanggugjawaban pada aspek sosial menuntut perusahaan untuk mempunyai filosofi bahwa sebuah perusahaan adalah sebuah entitas publik yang berada pada lingkungan global dan memberikan kontribusi kepada publik sehingga harus memberikan

pertanggungjawaban terkait dengan pemenuhan kewajiban sosial perusahaan sebagai bagian dari masyarakat (I Ketut Mardjana, 2002:31). Kepatuhan terhadap ketentuan dan kewajiban yang ada baik hukum maupun sosial akan menghindarkan dari sanksi baik sanksi hukum maupun sanksi moral masyarakat akibat dilanggarnya kepentingan mereka. .

2) Akuntabilitas (Accountability) Adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban rapat umum pemegang saham, komisaris atau dewan pengawas dan direksi, dan pemilik modal sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan efisien. Gregory dalam Jacobs (2000:361) mendefinisikan akuntabilitas sebagai suatu kebutuhan memberikan suatu pelaporan atas suatu aktivitas. Menurut Phan (2004: 50), akuntabilitas dapat diartikan sebagai penerimaan pertanggungjawaban terhadap berbagai keputusan. Dalam pelaksanaan harus terstruktur bahwa setiap personal organisasi memiliki tanggung jawab langsung terhadap berbagai aspek dalam organisasi tersebut. Istilah akuntabilitas selalu digunakan untuk menggambarkan pertanggungjawaban bahwa siapa yang harus mengelola atau mengendalikan sumber daya organisasi (Coy and Pratt, 1998: 540). Akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan antara organ-organ yang ada di perusahaan dan diperlukan sebagai salah satu solusi mengatasi agency problem yang timbul antara pemegang saham dan direksi serta pengendaliannya oleh komisaris. Akuntabilitas dapat diterapkan dengan mendorong seluruh organ perusahaan menyadari tanggung-jawab, wewenang dan hak-kewajibannya.

3) Keadilan (Fairness) Adalah perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku untuk menjamin bahwa perusahaan dikelola secara prudent untuk kepentingan stakeholder secara fair dan menghindarkan terjadinya praktik korporasi yang merugikan seperti

fraud, dilusi, dan insider trading (bebas dari korupsi) Prinsip ini menekankan pada jaminan perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para para pemagang saham asing serta perlakuan yang setara terhadap semua investor. Praktek fairness ini juga mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak. Fairness atau keadilan merupakan suatu upaya untuk melindungi hak-hak pemodal atau pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dari kecurangan.

4) Transparansi (Transparency) Adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan.

Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikatorindikator yang sama. Penyampaian informasi kepada publik secara terbuka, benar, kredibel dan tepat waktu akan memudahkan untuk menilai kinerja dan risiko yang dihadapi perusahaan. Beberapa praktek yang dikembangkan dalam rangka transparansi diantaranya perusahaan diwajibkan untuk mengungkapkan transaksi-transaksi penting yang berkait dengan perusahaan, risiko-risiko yang dihadapi dan rencana/kebijakan perusahaan (corporate action) yang akan dijalankan. Selain itu, perusahaan juga perlu untuk menyampaikan kepada seluruh pihak mengenai struktur kepemilikan

perusahaan serta perubahan-perubahan yang terjadi. Transparansi diperlukan akibat adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information).

5) Kemandirian Adalah keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Menurut Soekrisno Agoes (2005:15), prinsip kemandirian ini menuntut para komisaris, direktur, ataupun manajer senior dalam melaksanakan peran dan tanggungjawabnya harus bebas dari segala bentuk benturan kepentingan yang berpotensi untuk mucul. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara independent, bebas dari segala bentuk tekanan dari pihak lain, sehingga dapat dipastikan bahwa keputusan itu dibuat semata-mata demi kepentingan perusahaan.