MASYARAKAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DALAM KONSEP TRADISI ...
Transcript of MASYARAKAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DALAM KONSEP TRADISI ...
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 23
MASYARAKAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DALAM
KONSEP TRADISI MASYARAKAT ISLAM WETU TELU
ERLAN MULIADI
Universitas Islam Negeri Mataram
Email: [email protected]
Abtrak:
Pendidikan yang berwawasan ekologi termasuk masalah yang mendesak untuk dikaji
seperti beberapa indikasi fenomena masyarakat wetu telu, sehingga kajian terhadap
konsep pendidikan ekologi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Islam Wetu Telu
sebagai bagian dari masyarakat adat menemukan titik urgensinya. Berdasarkan hsl
tersebut penulis dapat petakan rumusan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah
bentuk tradisi masyarakat Islam WetuTelu yang berkesadaran ekologi?; dan
Bagaimanakah konsep pendidikan berwawasan ekologi dalam tradisi masyarakat Islam
Wetu Telu. Penelitian ini merupakan kajian yang mengangkat pendidikan dari budaya
lokal dengan persfektif antropologi. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan
pendekatan antropologi pendidikan budaya sebagai basis teori analisisnya. Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan antropologi dengan metode penelitian kuxalitatif
deskriftif. Kesimpulan yang diperoleh: Pertama, islam wetu telu ditiap tradisi dipahami
mengandung wawasan ekologi dan kosmologi; Kedua dari berbagai ritual yang ada
terbangun beberapa konsep berwawasan ekologi diantaranya: konsep pendidikan
internalisasi nilai dan pendidikan berwawasan ekologi.
Kata Kunci: Pendidikan,Ekologi, Tradisi, Islam, Wetu Telu
A. Pendahuluan
Modernisme menitipkan penyakit peradaban yang mereduksi entitas
kemanusiaan kita. Manusia digiring pada sebuah rangkaian kesadaran yang
reduksionistik, objektifistik, mekanistik, deterministik, linear, dan materialistik.
Kesadaran ilmiah (baca: paradigma Cartesian-Newtonian) pada satu sisi memang
telah berhasil mengembangkan sains dan teknologi, tetapi di sisi lain juga mereduksi
kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri, salah satunya akibat dari
cara pandang (antroposentrisme) ini adalah ekspolitasi alam yang menyebabkan
krisis ekologi.
Pada saat ini telah terjadi krisis ekologi.1 yaitu krisis hubungan antara manusia
dan kebudayaan dengan lingkungan hidup tempat mereka berlindung, bermukim, dan
1 Problem lingkungan sudah setua umur dunia memang sangat komplek, akan tetapi jika diteliti
secara seksama sebenarnya bersumber pada 5 aspek yaitu:aspek dinamika kependudukan, pengembangan
sumber daya alam, dan energi, pertumbuhan ekonomi, perkembangan science, dan tekhnologi dan
benturan terhadap lingkungan. Kelima persoalan tersebut saling kait mengkait satu dengan lainnya
sehingga menjadi problem serius. Lihat M. T. Zein (ed), Menuju Kelestarian Lingkungan (Jakarta:
Gramedia, 1980), hlm. 2.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 24
mengeksploitasi sumber daya alam.2 Kondisi seperti ini senantiasa menjadi tantangan
semua pihak termasuk pemerintah, masyarakat dan institusi-institusi lainnya, tak ayal
juga menjadi tanggung jawab institusi pendidikan Islam di Indonesia yang bertujuan
untuk menyiapkan dan menghasilkan manusia atau warga negara yang peduli
terhadap kerusakan atau pencemaran lingkungan, dengan harapan akan terjadi
keseimbangan yang harmonis antara lingkungan dengan manusia yang hidup di
dalamnya.
Kesadaran ekologi pada dasarnya telah ada dalam tradisi masyarakat adat
diberbagai belahan dunia. Cara pandang masyarakat adat mengenai manusia sebagai
bagian integral dari alam, serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat
dan peduli terhadap kelangsungan kehidupan di alam semesta.3
Masyarakat Islam Wetu Telu ini hidup dengan mengumpulkan hasil hutan,
berkebun dan menanam padi, baik di sawah maupun ladang. Sebagai kelompok
sosial petani, masyarakat Islam Wetu Telu memandang lahan tidak hanya sebagai
unsur produksi, tetapi juga sebagai tempat bermain, tempat tinggal dan tempat
bersosialisasi dengan lingkungannya. Sehubungan dengan hal itu, maka kebiasaan
dan adat istiadat mereka tercermin sangat erat dengan masalah-masalah yang
berkaitan dengan lingkungan.
Di kalangan masyarakat Islam Wetu Telu terdapat pandangan bahwa alam
semesta itu sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap
ada selama elemen-elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan
dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.4 Pandangan hidup ini
mengedepankan prinsip keseimbangan dan keharmonisan dalam segala aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam memanfaatkan lingkungan hidupnya.
Penganut Islam Wetu Telu juga melambangkan ketergantungan makhluk hidup
satu sama lainnya, untuk menerangkan hal ini maka Islam Wetu Telu membagi
wilayah kosmologi menjadi jagad kecil (dunia mikro) dan jagad besar (dunia makro).
Jagad besar disebut juga alam maya atau alam raya yang terdiri dari dunia, matahari,
bulan, bintang, dan planet lain sedangkan jagad kecil terdiri dari manusia dan
makhluk lainnya, yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.
Ketergantungan semacam ini menyatukan dua dunia tersebut dalam keseimbangan,
dan karena itulah tatanan alam (kosmologis) bekerja. Dan ini juga menunjukkan
kemahakuasaan Tuhan yang menggerakkan ketergantungan antar makhluk.
Pemeliharaan dan pelestarian lingkungan ini yang apabila manusia sebagai
komponen jagad kecil terlalu tamak dalam mengeksploitasi jagad besar, mereka akan
menghancurkan tatanan keseimbangan ini. Dicontohkan juga bahwa dua dunia ini
saling membutuhkan satu dengan yang lain, ketergantungan jagad kecil (dunia
mikro) dan jagad besar (dunia makro) bekerja dikehidupan manusia, dalam bidang
pertanian misalnya, manusia membutuhkan tanah dimana kita bisa menyemai dan
menumbuhkan benih padi, tanaman maka air dibutuhkan untuk menggemahkan
benih tersebut lalu matahari bekerja untuk mematangkan padi dan buah. Prinsip
2.Adiwibowo“Etika Lingkungan”. Modul Kuliah Ekologi Manusia (Departemen Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor, 2007), hlm. 13. 3 Menurut The World Consevation Union (1997), dari sekitar 6.000 kebudayaan di dunia, 4.000
– 5.000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70 – 80 persen dari
semua budaya di dunia. Baca juga dalam A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta:Kompas,
2010), hlm. 360. 4 Baca Erni Budiawanti, Islam Sasak: Islam Waktu Lima vs Islam Wetu Telu (Yogyakarta: LkiS,
2001)
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 25
menjaga keseimbangan dunia mikro dan dunia makro ini adalah hal yang sakral bagi
penganut IslamWetu Telu.
Islam Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama juga termanifestasikan dalam
kepercayaan bahwa semua makhluk harus melewati tiga tahap rangkaian siklus;
dilahirkan (menganak), hidup (urip) dan mati (mate). Maka kegiatan ritual sangat
terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, selalu diiringi upacara, ini
mempersentasikan transisi dan tranformasi status seseorang menuju status
selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Dengan beberapa indikasi di atas, fenomena yang terjadi pada masyarakat Islam
WetuTelu yang berkesadaran ekologi menarik penulis untuk mengkajinya, karena
disana terjadi proses pendidikan dalam ruang-ruang kehidupan sehari-hari
masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli antropologi pendidikan seperti
Theodore Brameld dalam Tilaar5 melihat adanya keterkaitan yang erat antara
pendidikan, masyarakat, dan kebudayaan. Artinya antara pendidikan dan kebudayaan
berkenaan dengan nilai-nilai budaya yang melekat pada hakekat manusia yang
berbudaya. Oleh karenanya, nilai-nilai budaya akan selalu ditransmisikan atau
ditransformasikan melalui pendidikan di masyarakat tersebut sebagai bentuk
kebudayaan.6 Dalam hal ini, Tylor seorang tokoh kebudayaan, merumuskan tentang
kebudayaan meliputi tiga unsur dimensi yang saling berhubungan, yaitu manusia,
masyarakat dan budaya. Jadi, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteks
kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat, sehingga bisa
dikatakan bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan dan sebaliknya bahwa
pembudayaan adalah proses pendidikan.
Berangkat dari hal tersebut maka agama dan sistem kepercayaan lainnya selalu
terintegrasi dalam satu kebudayaan dan selalu berinteraksi dalam kehidupan manusia
dimanapun dan dalam situasi bagaimanapun akan selalu tercipta ritus-ritus untuk
mengabadikan peristiwa besar. Sebagaimana sigmund Freud memberikan contoh
dalam menciptakan upacara keagamaan dan tentang ketuhanan proses melaui naluri
seksual (libido sexsuall). Dalam naluri seksual manusia muncul ketika seseorang
mengalami penyesalan (Oedipus kompeks) dimana penyesalan akan melahirkan
pengakuan dan upacara-upacara untuk menebus penyesalannya tersebut misalkan
dalam islam dikenal dengan sebutan“taubat” dan merubah segala prilaku yang
sebelumnya tidak baik menjadi lebih baik (Father Image).7
Lebih lanjut Freud menegaskan bahwa jiwa agama dan budaya terlahir melaui
Cipta (reaseon) dimana Intlektual manusia seperti memahami ilmu kalam (teologi),
adalah banyak dipengaruh oleh intlektual manusia. (menentukan nilai benar atau
salah ajaran agama berdasarkan intlektual seseorang). Kemudian Rasa (Emosion)
dalam hal ini rasa berperan mengontrolatau mebatasi fungsi dari reason sehingga
rasa itu terfokus mengenai supranatural semata (reason menimbulkan sikap batin yg
seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran budaya dan agama). Selanjutnya
mengenai will (karsa) perpaduan antara dorongan cipta dan rasa sehingga tercipta
5 H.A.R Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat madani Indonesia: Stategi Reformasi
Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 8. 6 Imran Manan, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan, 1989), hlm. 7. 77
Danniel L. Pals, Dkk. Seven Teori Of Religion, diterjemahkan Oleh Penberbit Ali Noer Zaman
(Yogyakarta: Qalam, Cetakan Ke 3 2001), hlm. 104-112
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 26
pemahaman dan tingkah laku dalam melaksanakan ajaran atau perintah agama.
(menimbulkan amalan-amalan, ritual-titual atau doktrin agama yang benar dan
logis).8
Upacara sepanjang masa, masa kehidupan (rites de passage) dilaksanakan oleh
setiap masyarakat suku bangsa di dunia, karena upacara ini merupakan upacara
rangkaian hidup yang penting bagi kehidupan seorang individu sebagai anggota
masyarakat. Hal ini sesuai dengan anggapan Van Gen Nep yang menyatakan bahwa
rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan, atau “Lingkaran
Hidup” individu (life cycle rites) itu, sebagai rangkaian ritus dalam masyarakat dan
kebudayaan manusia.9 Dengan demikian, upacara lingkaran hidup ini bersifat
universal, dimana upacara ini ada pada semua kebudayaan di muka bumi. Upacara
siklus hidup yang dilangsungkan dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari
religi suatu masyarakat dan sekaligus merupakan unsur kecil dari suatu kebudayaan
yang disebut dengan aktivitas kebudayaan. Sistem ritus dan upacara dalam suatu
religi mewujudkan aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan
kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus
lain dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib
lainnya.10
. Oleh karena itu upacara yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat
merupakan perwujudan dari tingkah laku atau tindakan masyarakat tersebut dalam
upayanya untuk mendekatkan diri denganTuhan-nya. Menurut Durkheim, religi
adalah suatu sistem berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang
keramat, artinya terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang
berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut ummat.11
Oleh sebab pelaksanaan upacara tersebut didasarkan atas keyakinan maka
didalamnya terdapat sebuah proses panjang sehingga melahirkan sebuaha keyakinan
yang sangat dalam dan mengikat, dimana dalam kacamata kebudayaan perlu melalui
proses internalisasi, proses sosialisasi dan proses enkulturasi.
A. Kajian Teori
Definisi yang cukup komprehensip terkait ekologi, yakni sebagai suatu
keseluruhan pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan-hubungan total antara
organisme dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun anorganik. Bahkan
Mujiyono mendefinisikan ekologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang
beberapa hal, yaitu: (1) seluk beluk organisme atau makhluk hidup di habitatnya, (2)
proses dan pelaksanaan fungsi makhluk hidup dan habitatnya, dan (3) hubungan
antar komponen secara keseluruhan12
.
Otto Soemarwoto sebagaimana yang dikutif oleh Ahmad Suhendra menjelaskan
bahwa ekologi dengan bahasa yang sederhana, yakni ilmu tentang hubungan timbal-
balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya.13
Dengan definisi itu, Otto
8 Ibid.
9 Koentjaraningrat: Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan & Masyarakat Desa (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 75. 10
Ibid., hlm. 81. 11
Ibid., hlm. 95. 12
Dikutip oleh Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis Dalam Al-Qur’an (ESENSIA Vol. XIV No. 1
April 2013) hlm.64-68 13
Otto Soemarwoto, Ekologi. Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Djambatan, 1994),
hlm. 19.
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 27
Soemarwoto menjelaskan bahwa problem dalam lingkungan hidup pada hakikatnya
adalah yang bersinggunagan ekologi. Begitu juga Amsyari memberikan pemaknaan
pada ekologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antara
satu organisme dengan organisme lainnya dan diantara organisme tersebut dengan
lingkungannya.14
Begitu juga dalam kamus besar bahasa indonesia memberikan
definisi bahwa ekologi sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dan (kondisi) alam sekitarnya.15
Dari beberapa definisi tersebut di atas maka dapat ditarik pemahaman bahwa
ekologi berbicara tentang interaksi timbal-balik (simbolis mutualism), dimana
keduanya saling berhubungan secara simultan dan keberlangsungannya
menimbulkan keseimbangan antara organime yang satu dengan yang lainnya.
Hematnya adalah suatu ilmu yang sistematik dan tersetruktur16
Bisa ditelusuri lebih jauh maka ekologi merupakan cabang dari biologi yang
mempelajari hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Sebelum Ernst Haeckel memperkenalkan ekologi, Menurut Darwin, proses hidup
meliputi tiga tahap yang saling berjalin, yakni (1) penyesuaian antar organisme, yang
menimbulkan, (2) perjuangan hidup (3) pengaruh lingkungan terhadap penyesuaian
tersebut. 17
Penelitian ini merupakan kajian yang mengangkat pendidikan dari budaya lokal
dengan persfektif antropologi. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan
pendekatan antropologi pendidikan budaya sebagai basis teori analisisnya. Untuk
menuntun pemahaman dalam proses pemahaman penelitian ini, penulis memakai
beberapa format teori yang dianggap relevan atau berdekatan. Pertama, teori
Indigenous learning.18
Yaitu sebuah proses pembelajaran yang dilakukan secara turun
temurun yang terjadi dalam suatu komunitas, suku atau etnik tertentu yang
didasarkan pada kebiasaan sestem sosial budaya, ekonomi, dan spritual yang menjadi
ciri khas mereka.
Kedua, teori ekologi budaya.19
teori ini diperkenalkan oleh Julian. H Steward
pada permulaan dasawarsa 1930-an. Inti dari teori ini adalah lingkungan dan budaya,
bukan dua hal yang terpisah melainkan merupakan adonan yang diproses melalui
permainan dialektika yang disebut umpan balik atau proses timbal balik. Steward
berpendapat bahwa, budaya dan lingkungan bukan merupakan barang jadi tetapi
14
Koesnadi Hadjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993), hlm. 2. 15
Lihat, Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 286 16
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Ekosistem merupakan suatu sistem ekologis yang terbentuk oleh
hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Menurut pengertian, suatu sistem
terdiri dari atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan.16 Kesatuan itu
terjadi oleh adanya arus materi danenergi yang terkendalikan oleh arus informasi, antar komponen dalam
ekosistem itu. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik,
keteraturan ekosistem itu pun terjaga dalam Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis. Opcit. hlm.64-68. 17
Ibid, Ekosistem secara etimologis berasal dari bahasa Yunani oikos dan system, yang berarti
tatanan dan aturan. Secara terminologis ekosistem berarti hubungan timbal-balik antar komponen hidup
(organik) dan tak hidup (anorganik) dalam suatu tempat yang bekerja secara teratur sebagai satu kesatuan.
Dapat juga diartikan sebagai unit fungsional antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya. 18
Ayi Olim, dkk, “teori Antropologi Pendidikan” dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian I: Ilmu
Pendidikan Teoritis (Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), hlm. 275. 19
Lihat A. Tery Rambo, Conceptual Approches Human Ecology, Research Report, East-West
Environmennvad (Policy Institute, No: 14, Hawai, 1983), hlm. 1.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 28
kedua-duanya saling menjadikan.20
Lingkungan memang berpengaruh terhadap
prilaku manusia. Hanya saja dalam tempo yang bersamaan manusia juga
mempengaruhi terbentuknya lingkungan. Dengan kata lain, hubungan manusia dan
lingkungan adalah setara, suatu saat dan suatu tempat lingkungan berperan aktif
mempengaruhi budaya dan prilaku manusia dan disaat serta tempat yang berbeda
justru manusia yang mempengaruhi lingkungan. Dalam hal ini, teori ini akan
digunakan untuk melihat hubungan lingkungan dan komunitas Islam Wetu Telu yang
menyebabkan pandangan ekologis dalam budaya mereka.21
Terkait dengan teori yang sudah ada di atas mengantarkan penelitian ini pada
etika dalam mengelola dan memelihara lingkungan, dimana kesadaran beretika
terebut akibat dari peradaban industry yang dari hari kehari menyumbang kerusakan
besar dan salah satu penyebab kepunahan mahluk hidup di bumi. Maka dari itu
penting kemudian dikaji melalui etika local dalam hal ini nilai local wisdom.22
Mengenai teori lingkungan dapat dibagi menjadi tiga diantaranya adalah:
Pertama; Antroposentris adalah pandangan yang menganggap alam diciptakan
untuk manusia sebagai sumberdaya untuk di eksplotasi semaksimal mungkin.23
Pandangan antroposentris memiliki asumsi dasar bahwa manusia dan realitas alam di
luar diri manusia merupakan pengada (entitas) yang terpisah, dan segala sesuatu
yang tersedia di alam ini adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga ada
kecendrungan sikap manusia untuk memperlakukan dan menguasai alam sebagai
realitas yang ada di luar dirinya sesuai dengan persepsi dan kepentingannya sendiri.
Manusia merupakan titik sentral bagi pemanfaatan dan pengelolaan alam.
Kedua; Ekosentris adalah suatu paradigma lingkungan yang menganggap
manusia sebagai bagian ekosistem tempat hidupnya dan menghargai nilai-nilai
instrinsik unsure-unsur alam, seperti flora dan fauna.24
Dalam pandangan ini manusia
menempatkan alam sebagai bagian dari kehidupannya. Antara alam dan manusia
mempunyai hubungan saling ketergantungan. Oleh karena itu pendayagunaan
sumberdaya alam senantiasa dilakukan secara perspektif, dalam arti faktor
keberlanjutan pendayagunaan di masa mendatang selalu diperhitungkan.
Konsekuensi yang yang meuncul dari pendayagunaan sumberdaya alam oleh
manusia akan selalu memperhatikan daya dukungnya. Jadi menurut pandangan teori
ini, intraksi yang terjadi antara manusia dan lingkungan hidupnya harus berlangsung
dalam suatu kondisi yang berkeseimbangan dan berkelayakan. Karenanya,
pandangan teori ini diyakini menjanjikan akan menjamin kelangsungan kehidupan
yang harmonis serta terciptanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungan hidup.
Ketiga; Biosentrisme adalah teori yang menolak paham antroposentris. Teori
biosentrisme berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berhak untuk
dihargai karena sesuatu yang ada di alam ini juga melekat nilai-nilai bagi dirinya
sendiri. Manusia dipandang sebagai salah satu organisme hidup dari alam semesta
yang juga memiliki ketergantungan dengan penghuni alam semesta lainnya. Manusia
20
Baca dalam T.O. Ihromi (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm.
68. 21
Baca dalam Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm. 50. 22
Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup (Yogyakarta; Kanisius, 2003), hlm. 29. 23
Otto Sumarwoto, Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2001), hlm. 374. 24
Ibid., hlm. 376.
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 29
tidak memiliki hak mutlak untuk mengatur dan menguasai alam, namun hanya
sebagai bagian alam semesta. Manusia sebagaimana mahluk lainya adalah bagian
dari alam.25
Adapun pemahaman secara kosmis ekologis, manusia sebagai image dei, adalah
percaya bahwa manusia dipanggil oleh Allah untuk ikut serta dalam memelihara
keutuhan ciptaan. Tanpa pemeliharaan ini hidup manusia juga terancam, sebab
manusia hakikatnya merupakan bagian integral dari ciptaan itu sendiri. Manusia
sebagai citra-Nya merupakan cooperator dan cocreator dari Sang Pencipta. Dengan
demikian, manusia bertindak secara kreatif dalam upaya transformasi, rekonstruksi
dan konservasi alam semesta. Dalam pemahaman kosmis ekologis ini lebih lanjut
Allah digambarkan sebagai simbol “Ibu Alam Semesta”. Sebagai ibu alam semesta,
Allah mengungkapkan kasih sayang yang kreatif. Allah memelihara alam semesta
dengan penuh kasih dan tulus ikhlas, sebab Allah telah melahirkan alam semesta.
Rumusan demikian dirancang bangun oleh penggagas ecofeminisme.26
Agama sebagai sebuah sistem keyakinan yang mengatur cara pandang para
penganutnya dalam menjangkau realitas alam melalui pengalaman panca indera,
tentunya harus menggambarkan aspek realitas dunia pengalaman penganut tradisi
agama secara empiris. Adapun objek materi spiritual ekologi tentunya sangat
berhubungan dengan nilai-nilai yang mengatur perubahan dan dampak lingkungan
yang disebabkan oleh kegiatan manusia terhadap lingkungan ekosistemnya. Sebuah
objek pengamatan spiritualitas ekologi yang sarat dengan nilai (value-laden), bukan
dengan bebas nilai (value-free).27
Terkait dengan tersebut di atas maka dalam prinsipnya memiliki beberapa asas
diantaranya; Asas pertama. Lingkungan alam (planet bumi dan seisinya)
merupakan lingkungan yang bersifat holistik dan saling mempengaruhi. Artinya
segala sesuatu yang berada dibumi ini saling mempengaruhi secara langsung
maupun tidak. Tidak ada satupun komponen alam yang bergerak secara terpisah
tanpa dipengaruhi atau mempengaruhi komponen lainnya. Sehelai daun yang jatuh
ke permukaan bumi, atau seekor semut yang mencari dan mengumpulkan makanan,
tak lepas dari pengaruh serta mempengaruhi komponen alam lainnya. Demikian
pula dalam dimensi waktu, masa kini dipengaruhi oleh masa lalu, dan masa kini
mempengaruhi masa depan. Secara moral, asas ini menuntun setiap individu
khususnya manusia untuk mempertimbangkan setiap keputusan dan tindakan yang
akan dilakukannya terhadap lingkungan alam dan lingkungan hidupnya. Asas ini
sejalan dengan paham biosentrisme dan ekosentrisme tentang hubungan antara
manusia dan alam yang tidak bersifat terpisah, akan tetapi manusia merupakan
bagian dari alam, antara keduanya saling terkait.
Asas kedua. Segala sumber kehidupan dibumi (termasuk keanekaragaman
hayati) merupakan kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan yang tak
ternilai harganya. Dalam asas kedua ini terkandung pula asas kesamaan makhluk
biosfer (biospheric egalitarianism), yaitu pandangan bahwa semua benda dan
makhluk hidup adalah anggota dari satu kesatuan ekosistem, dan masing-masing
25
Sony Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta; Buku Kompas, 2002), hlm. 73-74. 26
M. Ridwan, Fiqh Ekologi, Membangun Fiqh Ekologis untuk Pelestarian Kosmos 27
Asmanto, Eko. "Revitalisasi Spiritualitas Ekologi Perspektif Pendidikan Islam." TSAQAFAH
11.2 (2015): 333-354. Lihat juga dalam: Asmanto, Eko, Triyuwono, I., Mulawarman, A.D., & Djati, S.,
The Inner Dimension of Eco-spirituality: Seeking New Ways of Praxis of Green Islamic Business
Through Critical Ethnography. (Journal of Education and Social Sciences, Vol 4 June).
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 30
mempunyai status dan martabat yang sama. Oleh karena itu masing-masing anggota
juga mempunyai hak yang sama untuk hidup dan berkembang. Hak hidup dan
berkembang ini tidak hanya berlaku bagi makhluk hayati, tetapi juga yang bukan
hayati. Asas ini memberikan pengertian bahwa segala sesuatu di alam semesta ini
harus dihargai karena masing-masing mempunyai peran dan nilai sendiri-sendiri.
Manusia adalah salah satu makhluk hidup yang mempunyai status dan kedudukan
yang sama dengan makhluk lain, dan oleh karena itu juga harus menghrgai makhluk
lain di alam ini.
Asas ketiga. Dialam ini (bumi) terjadi perputaran (siklus) dan penyebaran
sumberdaya alam secara terus menerus melalui suatu mata rantai ekosistem (rantai
makanan), sehingga saling terpengaruh antara satu komponen dengan komponen
lainnya.
Asas keempat. Kehidupan dialam ini terdapat faktor pembatas (kendala).
Artinya faktor lingkungan tertentu bisa menjadi pembatas atau kendala (secara
fisikawi maupun kimiawi)
bagi berkembangnya atau berfungsinya kehidupan bagi faktor atau komponen
lingkungan lainnya.
Asas kelima. Setiap individu atau spesies mempunyai kelebihan (sekaligus
kekurangan atau faktor pembatas) untuk bisa mempertahankan dan melestarikan
spesiesnya. Jadi asas kelima ini terkait erat dengan asas keempat diatas. Gambaran
berlakunya kedua asas ini adalah perlindungan terhadap salah satu komponen atau
spesies misalnya kambing liar atau rusa di padang rumput dengan memusnahkan
hewan pemangsa rusa, ternyata dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Gangguan ini ditandai dengan munculnya spesies lain misalnya hewanbpengerat
yang justru dapat menjadi hama bagi tanaman pangan (padi atau gandum).
Asas keenam. Ekosistem mempunyai kemampuan tertentu untuk
mempertahankan kehidupannya. Kemampuan ini sering disebut sebagai daya
dukung atau kapasitas pembawa (carrying capacity), yang mirip dengan sistem
rekayasa dan perilaku organisasional walaupun dalam ekologi aspeknya lebih
komplek. Planet bumi kita adalah merupakan atau berperilaku sebagai sebuah
organisme atau makhluk hidup yang mempunyai carrying capacity yang terbatas.
Asas ketujuh. Didalam alam ini selalu terjadi pengembangan dan
penyetimbangan ekosistem. Ekosistem telah berkembang dari sistem yang semula
sangat sederhana menjadi sistem yang lebih beraneka ragam dan komplek dalam
jangka waktu yang lama. Ketika sebuah keaneka ragaman dan keseimbangan
ekosistem direduksi atau dirusak, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan
atau goncangan terhadap keseimbangan ekosistem. Pemindahan suatu kelompok
atau populasi kehidupan (tumbuhan, hewan atau manusia) dari suatu lokasi atau
lingkungan tertentu ke lokasi yang lain, merupakan suatu bentuk gangguan
keseimbangan. Demikian pula apabila telah terjadi ganggun keseimbangan, alam
atau ekosistem akan melakukan reaksi untuk mendapatkan keseimbangan baru
untuk mempertahankan kehidupannya (survival for life).28
Berikut halnya dengan hubungan agama dengan kebudayaan dimana doktrin
agama merupakan konsepsi tentang realitas maksudnya adalah realitas yang ada
harus dihadapi bahkan sampai pada perubahan prilaku sosial untuk menumbuhkan
rasa solidaritas antar individu dan masyarakat. Sebagaiman diungkapkan durkheim
28
Ibid. Hlm.15-20
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 31
yang dikutif dalam Adeng Muckhtar Ghazali bahwa fungsi sosial agama adalah
melestarikan masyarkat yang sudah ada dimana sifat agama sebagai fungsi
pemersatu rasa saling mengikat.29
A. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pendidikan masyarakat (Community education
of study), yaitu kajian intensif yang dilakukan terhadap suatu kelompok masyarakat
yang tinggal bersama di suatu daerah yang memiliki ikatan karekteristik tertentu.30
Pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan antropologi yang bertujuan
menggali dan menjelaskan makna dibalik realita. dalam hal ini, tradisi, kebiasaan
dan adat istiadat yang ada dan dipraktekkan dalam komunitas masyarakat Islam
Wetu Telu memiliki makna-makna yang mesti digali secara mendalam guna
menemukan nilai-nilai pendidikan yang berwawasan ekologi yang diwariskan turun
temurun melalui kebiasaan dan tradisi mereka.
Adapun Penelitian ini masuk dalam jenis penelitian etnografi. Metode
penelitian etnografi termasuk dalam metode penelitian Kulaitatif untuk
menggambarkan, menganalisa, dan menafsirkan unsur-unsur dari sebuah kelompok
budaya seperti pola, prilaku, kepercayaan dan bahasa, dan pandangan yang dianut
bersama dimana fokus dari penelitian ini adalah budaya ekologis dari komunitas
Islam Wetu Telu.
Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis, yakni data primer dan data
sekunder. Data primer terdiri dari hasil wawancara, hasil pengamatan, dan
dokumen-dokumen yang berupa bentuk, tatacara dan prilaku masyarakat dalam
realitas berbudaya. Adapun data sekunder penelitian ini adalah berupa literatur
yang, baik secara langsung maupun tidak, berhubungan dengan objek penelitian ini.
Selain dari teknik snowball sampling peneliti perlu menambahkan teknik efesien
dan akurasi dimana perolehan data melalui observasi untuk data primer.31
A. Tradisi Masyarakat Islam Wetu Telu yang Berkesadaran Ekologi
Berbicara wetu telu maka tidak terlepas dari persoalan adat kebiasaan
masyarakatnya, untuk menelusuri jejak tradisi tersebut aka dipandang penting
kemudian menellusuri kapan dan apa yang mempengaruhi adat kebiasaan tersebut.
Maka dari itu masuknya islam patut digaris bawahi ebagai salah satu ajaran yang
kemungkinan besar mempengaruhi traadisi wetu telu, jika dilihat dari tahun
masuknya islam pada abak +15 yang dibawa oleh sunan prapen putra dari sunan
giri dan bahkan juga murid dari sunan kaijaga, jadi sunan prapen menyebarkan
islam di lombok dengan mekanisme memasukkan unsur-unsur kebudayaan, itu
digunakan supaya islam cepat diterima oleh para bangsawan terutama raja-raja pada
waktu itu.32
29
Adeng Muckhtar Ghazali , Antropologi Agama, (Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan,
Keyakinan dan Agama), (Bandung, Alfabeta, Cet. 1, 2011). hlm. 39 30
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009),
hlm. 94-97. 31
Sifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). hlm. 92 32
Senada dengan hasil penelitian yang diungkapkan oleh Arnis Rachmani bahwa Islam masuk ke
Lombok kira-kira pada akhir abad ke 15, dikenalkan oleh Sunan Prapen putera Sunan Giri, dan juga
merupakan murid Sunan Kalijaga, dengan cara mengislamkan raja-rajanya terlebih dahulu. Wetu
kemudian dengan nama Bilok Petung. Ini ditandai dengan peninggalan kuno khas Wetu Telu seperti tugu,
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 32
Berangkat dari hal tersebut kesadaran akan lingkungan dan alam yang sehat
sejatinya sudah menjadi firah manusia sejak ia dilahirkan, fitrah ini seyogyanya
menjadi keasadaran alami dalam diri setiap individu, begitu halnya dalam ajaran
Islam Wetu telu. Kemudian slanjutnya pandangan terhadap memahami alami yang
berbeda-beda disebkan sudutpandang yang berbeda-beda pula. Pandangan yang
berbeda-beda tersebut dipahami sebagai asas pengambilan manfaat terhadap alam
sekitar sehingga tidak jarang ditemukan penebangan pohon, pendemaran air dan
udara bahkan kerusakan tanah terjadi, akibat perbuatan manusia itu merugikan diri
mereka sendiri dan bahan masyarakat luas disekitarnya.
Terkait dengan hal tersebut mengkaji tradisi islam wetu telu perlu kiranya
melihat sejarah lahirnya kepercayaan wetu telu itu sendiri, dalam sejarah disebutkan
bahwa islam wetu telu merupakan akulturais kebudayaan lokal dengan ajaran islam
yang hadir kemudian membentuk karakter keislaman yang khas, kehasan tersebut
menjdikan warna dan action penganutnya dalam menjalankan keyakinan mereka.
Sebagaimana disebtkan dalam peter L berger bahwa doktrin agama mempengaruh
perilaku manusia dalam melakukan tindakan yang menyebabka ajaran agama itu
berbeda pula, berger mneyebutkan hal ini dalam tulisannya terjadi internalisasi
nilai.33
Sebutan pada Pulau Lombok oleh masyarakat sasak disebut gumi nina,
diambil dari kisah/cerita tokoh perempuan perempuan yang terdapat dipulau
Lombok antara lain Dewi Anjani, Putri Mandalika dan Denda Cilinaya. Legenda-
legenda tersebut didperoleh dari tradisi lisan turun temurun, dalam sejarahnya
legenda perempuan sasak tersebut memiliki kekuatan mistis sampai saat ini
disebagian masyarakat sasak masih diyakini sebagai sosok yang memiki kekuatan
supranatural sehingga tetap diyakini sebagai penguasa gumi lombok.34
Dalam sejarah adat wetu telu tidak terlepas dari akulturasi budaya anatara
kebudayaan bali yang dikenal dengan (bodha) dan kebudayaan sasak. Karena
adatnya persis seperti adat orang bali diceritakan pada waktu itu ada raden yang
muncul pada saat itu. Jadi wetu telu itu bukan cara melaksanakan ajaran agama itu
hanya di tiga waktu atau bukan menjalankan syari’at agama (islam) hanya tiga saja
(shalat, zakat dan puasa), kalau ditanya orang wetu telu dan mengatakan benar
orang wetu telu itu hanya menjalankan tiga rukun islam maka mereka akan marah,
sehingga wetu telu itu bukan agama dan bukan adat melainkan cara menjalankan
agama dengan adat kebiasaan masyarakat wetu telu sendiri.35
Sebagaimana disebutkan sebelumya bahwa wetu telu adalah hasil akulturasi,
maka dapat ditarik pemahaman bahwa islam wetu telu dipadankan dengan istilah
Wet, wetu, metu dan telu. Wet diartikan “garis” pembatas antara kekuasaan raja-
raja, aturan alam (siklus Kehidupan), dan ajaran syariat sedangkan telu diartikan
“tiga” (tiga kerjaan, tiga aturan alam, dan tiga ajaran syariat). Pemkanaan yang
penulis temukan dibeberapa literatur dan informasi yang diperoleh dari penganut
wetu telu. Misalkan dalam tulisannya erni islam sasak menyebutkan wetu telu
kitab. Arnis Rachmani, Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara, (Jurnal
“Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011). 33
Lihat Peter L. Berger Langit Suci….. 34
Lihat Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat (Jakarat: Pustaka Nasional…), dan dipertegas
berdsarkan informasi dilapangan, wawancara dengan Bapak Kerta maji tokoh adat masyarakat sasak
bayan lombok, pada tanggal 20 agustus 2018. 35
Lihat Erni Budiarti, Islam Sasak
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 33
disebutkan pemahaman agama masyarakat sasak yang hanya menyakini atau
menerima ajaran/syariat (rukun islam) hanya sampai tiga saja (sahadat, sholat dan
puasa) erni menyebutkan tiga syariat itu kemudian diaktualisasika dalam siklus
kehidupan mereka yakni tumbuh (untuk setiap pepohonan), bertelur (untuk setiap
binatang) dan melahirkan (setiap manusia)
Ketiga keyakinan tersebut dipercayai datangnya dari islam dan setiap inividu
wajib melaksanakannya dalam hemat penulis bahwa tiga ajaran masyaraat wetu telu
sebnarnya sudah memahami bagaimana menjaga dan memelihara alam untu
kemudian mampu melangsungkan kesejahteraan hidup manusia, dengan
pemahaman tiga siklus alam di dunia ini menunjukkan cara untuk menjaga
makhluk dan alam sehingga kehidupan manusia tetap terjaga dan berlangsung
dengan normal. Terkait dengan hal itu pemahaman unsur alam dalam wetu telu
diyakini memiliki hubungan saling membutuhkan satu sama lain, misalkan saja
tanah akan subur bila diatasnya aa pepohonan dan tanah akan subur sebab
pepohona tadi mengandung atau menampug air. Hematnya bahwa tiga unsur tadi
(Tanah, Pepohonan, dan air) dipahami dalam wetu telu sebagai unsur-unsur
terpenting yang harus dijaga dan dilestarikan.
Dengan terpeliharanya unsur tersebut sebagaimana disebutkan di atas maka
siklus kehidupan mahluk hidup dimuka bumi ini tentunya termasuk manusia
berjalan normal atau tidak terganggu. Pemahaman ini sudah terjadi puluhan tahun
sebelumnya di cina dalamajaran Tao (Yin dan Yang) dimana disebutkan bahwa
penguasaan “yin dan yang” akan mampu menjaga stabilitas alam untuk
keberlangsungan hidup manusia.demikian pula di jepang mengintegrasikan konsep
alam Taois dan ajaran Budha dimasukkan dalam agama lokal shinto dimana
penggabungan tersebut ditujukan untuk keharmonisan kosmis, geografis simbolis.36
Sebagaimana hal di atas maka dapat dijelaskan bahwa bentuk tradisi islam
wetu teli berkesadaran ekologi terdapat pada: Pertama Bentuk pelaksanaaan Tradisi
Pemalik, sebagaimana hasil wawancara yang sudah dilakukan dilapangan bahwa
kepercayaan pemalik memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran
berkologi atau sebagai dasar pondasi sehingga kesadaran itu terwujud. Dengan
kepercayaan pemalik ini menjadikan pribadi individu lebih berhati-hati dlam
melakukan segala hal dalam hidupnya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan
mahluk lain.
Selain itu kepercayaan ini kemudian menjelma menjadi tradisi seiring
berjalannyawaktu dari turun temurun kemudian membudaya sebagai sebuah
struktur adat yang kuat yang tidak bisa dipisahkan dalam kepercayaan wetu telu.
Jika kita ulas kembali bentuk tradisi ini sebagaimana hasil wawancara sebelumnya
bahwa Istilah pemalik sendiri dalam umum dipercayai oleh masyarakat sasak bukan
hanya masyarakat wetutelu namun disebagian masyarakat waktu lima juga masih
mempercayai hal tersebut. Pemalik sendiri menjadi salah satu aturan tidak tertulis
dalam menghargai dan memelihara ekosistem jagad raya.
Pemalik dijadikkan simbol dalam menjalankan islam dan sekaligus sebagai
bentuk penghormatan terhadap alam, dimana alam jagad raya ini dihuni oleh
berbagai macam mahluk hidup dan keseimbangan alam jagad raya akan
berdampak terhadap keseimbangan kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
36
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia Dan Alam (Jembatan Filosofis Dan
Religius Menuju Puncak Spiritual, (Yogyakart: IRCiSoD, 2003).
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 34
Oleh ebab itu tradisi ini kemudian dilestarikan sebagai bentuk penjagaan alam dari
konsumi manusia secara berlebihan.
Istilah pemalik sendiri dikenal dari nenek moyang mereka dan tempat benda
pemalik juga dikenalkan oleh pendahulu mereka dan informasi lisan itupun sampai
pada generasi berikutnya samapi sekarang, persembahan dilakukan untuk
menghormti dan menangkal maliq supaya maunsia dan lingkungan hidup tidak
berjalan seimbang. Sesajian biasanya berupa bung, buah-buahan, beras dan
dupa/kemenyan layaknya sesajen, bahkan ada juga memotong ayam. sesajen
dilakukan dengan penyiapan sajian-sajian ditempat yang dimalikkan misalkan
maliknya di pohon beasr, mata air, batu dan keris serta tempat-tempat yang
dikeramatkan (dianggap simbit) maka kemudian ditaruh sesajen sebagai simbol
pemeliharaan hubungan manusia dengan mahluk gaib berjalan baik.37
Benda keramat dalam kepercayaan wetu telu merupakan keyakinan
terpenting dan utama bahwa ada kekuatan yang luar biasa yang mampu
mendatangkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia. Berdasarkan
hasil wawancara dengan amaq kirun bahwa Kepercayaan metu telu masih dijadikan
pandangan hidup penganutnya walaupun masih beralih kewaktu lima, terbukti
dengan keyakinan terhadap benda dan kekuatan gaib masih melekat (mendrah
daging) misalaakan di di dusun batu lisung dipercaya ada malik oleh masyarakatnya
dipercayai masih ada dan keuatan gaibnya dapat mempengaruhi kehidupan
manusia dan lingkungan sekitarnya, namun jika benda keramat yang dijadikan
malik tidak disajikan sesangggah atau sesajen maka dipercaya menyebabkan
permasalahana dan ketidak seimbangan alam yang mengakibatkan segala aktivitas
mereka dapat terganggu misalkan dalam bercocok tanam dan sebaginya.
Selain upacara pemalik juga dalam wetu telu mengenal pembuatan
sesanggah, jika dilihat dari fungsi dan tujuannya bahwa kberadaan sesanggah ini
sebagai wujud dan kepatuhan manusia terhadap alam dan bakti mereka terhadap
sesepuh pendahuu mereka. Dimana ajran sesepuh ini dipegang teguh sampai akhir
hayat. Adapun maskud diadakannya sesanggah adalah sebagai salah satu media
atau pesan (do’a) yang disampaikan melalui simbol-simbol kebendaan yang
tujuannya hanya satu memohon keselamatan pada sang pencipta melaui perantara
sesanggah.
Jika keselamatan dan kesehatan diperoleh menunjukkan penrimaan alam
terhadap sesanggah yang sudah dibuatnya, diyakini dalam sesanggah tersebut ada
mahluk ghaib yang memiliki tujuan sama sehingga ada sinergi yang terkontrol
antara keduanya..
Begitu juga halnya dalam tradisi lebran dan maullid wetu telu berkeyakinan
bahwa dengan merayakan hari besar islam ini, menunjukkan bahwa manusia
mencoba mengekspresikan kebahagiaan mereka terhadap keterseimbangan alam,
manusia, binatang dan alam jagad raya ini dengan bukti hasil panen dan kondisi
masnuia saat ini masih diberikan kenikmatan hidup dan dijauhkan dari penyakit.
Begitu juga halnya dalam tradisi bonga padi, jadi setiap aktivitas yang
dilakukan yang berhubungan dengan alam dan lingkungan maka harus di awali
dengan do’a dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk
penghormatan manusia terhadap mahluk dan bibit yang akan di tanam. Adapun
upacara bonga padi ditujukan untuk membangun rasa solidaritas bersama dan juga
37
Wawancara Tohri, Tanggal 26 Mei 2018
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 35
sebagai ritual adat yang memiliki nilai religius-teosentris dimana dapat ulas
kembali dlam bentuk-bentuknya sebagai merikut:
a). Upacara nyelamet binek: Upacara ini dilakukan pada saat padi berumur tujuh
hari. Dalam upacara ini pemilik sawah membuat sesajen bubus terdiri dari nasi,
daun kelor, rembong (anak bambu). Sesajen ini ditaburkan pada penamak aik
yaitu tempat saluran air masuk ke sawah tempat menanam bibit pertama kali.
Tujuan dari upacara ini adalah agar bibit yang telah ditanam dapat tumbuh
dengan subur dan berkembang dengan baik, serta terhindar dari segala macam
gangguan dan penyakit
b). Upacara nyelamet lowong: Upacara ini lebih populer dengan sebutab rowah
beleq (pesta besar). Upacara ini dilaksanakan pada saat padi berumur 30 hari.
Tujuan dari upacara ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah
bahwa apa yang telah ditanam tumbuh dengan baik. Bentuk sesajennya berupa
nasi, lauk pauk, telur berteng (sejenis burung hutan), daging hewan, kembang,
rampai, dupa, serta air suci.
c). Upacara nunas sesari: Upacara ini dilaksanakan pada saat padi sudah mulai
berkembang. Penancapan dilakukan pada tempat masuknya air dan digantung
pada batang padi setiap sudut sawah. Hal ini dimaksudkan agar buti-butir padi
telah muncul, maka diadakan satu kegiatan yang disebut Naus yaitu membakar
batang padi yang diisi dengan belerang, dan kulit menjangan. Kegiatan ini
dilakukan oleh seorang perempuan tua sebelum matahari tenggelam
d). Upacara bedede lowong: Suatu upacara yang dimaksudkan untuk memberi tahu
epen dowe atau pemilik ghaib dengan kalimat tertentu yang dinyanyikan dan
dilakukan saat senja hari. Upacara bedede lowong ini dilakukan pada hari yang
sama dengan kegiatan mulai melong atau tanam padi. Sistem pelaksanaannya
yakni mereka berkumpul mulai dari penamak aik atau tempat masuknya air
mengelilingi sawah melalui pematang ke arah paradaksuna atau searah dengan
jarum jam dan berhenti sesaat pada setiap sudut sawah sambil membuntal daun
padi.
e). Upacara bau ina padi: Di kalangan orang-orang Wetu Telu berkembang upacara
bau ina, yaitu suatu kegiatan memetik segenggam padi yang akan dijadikan ina
pade (induknya padi). Kegiatan ini merupakan pendahuluan kegiatan panen padi
dan bentuk sesajennya berupa nasi diisi sebutir telur dimasukkan ke dalam tong
suit atau periok. Bila kegiatan ini telah dilakukan maka baru dilakukan kegiatan
bau ina yaitu kegiatan memotong segenggam padi yang akan dijadikan induk
sebagai perwujudan Dewi Sri Ulan.
Dalam Praktek praktek keagamaan yang di paparkan di atas, ditujukan untuk
menjamin keberhasilan dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas manusia.
Berbagai ritual tersebut diadakan guna mengundang makhluk-makhluk supranatural
dengan harapan mereka menolong pribadi tertentu atau masyarakat, misalnya untuk
mengendalikan kekuatan-kekuatan yang tampaknya tak dapat diperkirakan, seperti
dalam hal lingkungan alam di mana manusia sangat bergantung kepadanya (baca
alam) demi kelangsungan hidupnya.
B. Proses Internalisasi Nilai Ekologis Dalam Tradisi Masyarakat Islam Wetu telu
Berdasarkan bentuk tradisi masyarakat islam wetu telu dipengaruhi oleh
paham animisme yang sudah lama melekat pada diri mekeka, sehingga sulit untuk
dipisahkan, disamping itu juga bahwa sistem sosial juga sangat mempengaruhi
sehingga penerimaan islam berdasrkan kepatuhan mereka terhadap pemimpi
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 36
mereka yakni raja-raja. Maka dalam hemat penulis dapat mearik kesimpulan bahwa
ada beberapa konsep yang bersinggungan alangsung dengan wawasan ekologi
diantaranya:
1. Internaliasi Nilai Tradisi berwawasan Ekologis Dalam Masyarakat Islam
Wetu Telu
“Sungguh nyata kerusaan dilangit dan dibumi” potongan ayat ini sebagai
peringata sekaligus pegangan dalam mematuhi hukum-hukum alam, fenomena
alam dan pentingnya ilmu pengetahuan tentang kealaman. sesungguhnya
kerusakan di bumi itu sdah terjadi akibat perbuatan manusia atau bahkan bumi
sudah merasa lelah diperlakukan tidak etis olleh manusia. Kebutuhan ekonomi
yang mendesak, kemajuan teknologi atau selebihnya perubahan zaman semakin
hari menyuguhkan hal-hal instan memudahkan manusia dalam melakukan
aktivitasnya sehari-hari.
Adapun tujuan penenaman nilai tersebut tidak lain untuk memperkuat dan
mendekatkan diri pada ajaran tahuid, karena dalam islam kita mengenal adanya
konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat
dari segala sesuatu manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepadannya,
konsep tahuid ini mengandung implikasi dogma bahwa tujuan hidup manusia
adalah untuk menyembah dan menyadari posisinyua sebagai mahluk yang
diciptakan.
Ajaran tahuid memusatkan pada yang satu yakni sang kholik yakni konsep
teosentris bahwa nilai yang dibangun selalu berkaitan dengan amal yaitu
perbuatan dan tindakan manusia, dengan demikian iman harus diaktualisasikan
menjadi amal kemudian menjelma menjadi aksi kemanusiaan dengan tujuan untuk
terwujudnya kesejahteraan sosial dan kelestarian alam, sehingga dalam perayaan
tersebut tercermin kebersamaan dalam membangun kelompok masyarakat religius
dan humanis maskudnya adalah manusia terpusat kepada Tuhan namun tujuannya
untuk kepentingan manusia sendiri atau dengan kata lain humanisme-teosentris38
.
Dengan demikian dalam ritual perayaan hari besar islam yang dilakukan oleh
masyarakat wetu telu selain membentuk kesalehan individu juga sekaligus
mmembetuk kesalehan sosial yang peduli terhadap sesama dan alam.
Sebagaimana teori untuk memperkuat hal tersebut bahwa proses itulah
kemudian dinamakan sebagai proses internalisasi, sebagaimana Winy Puspasari
mengungkapkan dalam tulisannya bahwa:
Proses internalisasi merupakan proses panjang sejak seorang indvidu
dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Sepanjang hayatnya seorang
individu terus belajar untuk mengolah segala perasaan, hasrat, nafsu, dan
emosi yang kemudian membentuk kepribadian. Manusia mempunyai bakat
yang telah terkandung dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai
macam perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi di dalam kepribadiannya, tetapi
wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi keprbadiannya itu sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada dalam sekitaran
alam dan lingkungan sosial maupun budayanya. Pengalaman-pengalaman
yang dialami manusia yang dipengaruhi baik dari alam sekitar, lingkungan
sosial serta budayanya membuat manusia dapat mengenal berbagai macam
perasaan seperti perasaan gembira, kebahagiaan, simpati, cinta, benci,
38
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Intrefetasi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan Media Utama,
Cetakan I 2008), hlm. 281-283
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 37
keamanan, harga diri, kebenaran, perasaan bersalah, dosa, malu dan lain
sebagainya. Selain perasaan-perasaan tersebut, juga mempelajari berbagai
macam-macam hasrat seperti hasrat untuk mempertahankan hidup, bergaul,
meniru, mengetahui, berbakti dan keindahan.39
Proses sosialisasi memiliki keterkaitan pada proses belajar
kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Pada proses ini semua
pola tindakan individuindividu yang menempati berbagai kedudukan dalam
masyarakatnya yang dijumpai seseorang dalam kehidupannya sehari-hari
sejak ia dilahirkan, dicerna olehnya sehingga individu tersebut pun akan
menjadikan pola-pola tindakan tersebut sebagai bagian dari
kepribadiannya. Oleh karena itu untuk dapat memahami lebih dalam suatu
kebudayaan, mengamati jalannya proses sosialisasi yang lazim dialami
sebagian besar individu dalam suatu kebudayaan merupakan suatu metode
yang sejak lama diminati oleh para ahli antropologi sosial. Lebih jelasnya
lagi mengenai kebudayaan sebagai bagian dari proses sosialisasi individu,
dapat dilihat melalui kerangka teori tindakan dari Talcott Parsons40
Proses enkulturasi yaitu proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikap terhadap adat, sistem norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam
kebudayaan seseorang (Keontjaraningrat, 2009). Proses enkulturasi telah imulai
sejak awal kehidupan, yaitu dalam lingkungan keluarga, kemudian dalam
lingkungan yang makin lama makin meluas. Pada awalnya seorang anak kecil
mulai belajar dengan cara menirukan tingkah laku orang-orang di sekitarnya, yang
lamalama menjadi pola yang mantap, dan norma yang mengatur tingkah lakunya
"dibudayakan". Selain dalam lingkungan keluarga, norma-norma tersebut dapat
pula dipelajari dari pengalamannya bergaul dengan sesama warga masyarakat dan
secara formal di lingkungan sekolah.41
Pemangku adat menjelaskan bahwa unsur-unsur penting yang tertanam
dalam ajaran Wetu Telu adalah: Pertama: Rahasia atau asma yang mewujud
dalam panca indera tubuh manusia; Kedua: Simpanan Ujud Allah yang
termanifestasi dalam Adam dan Hawa. Secara simbolis Adam
mempresentasikan garis keturunan laki-laki atau ayah. Sementara Hawa
mempresentasikan garis ibu atau perempuan; Ketiga: Kodrat Allah adalah
kombinasi 5 indera manusia. masing masing kodrat Allah dapat ditemukan
dalam setiap lubang yang ada di tubuh manusia dari mata hingga anus.42
Singkatnya, Islam Wetu Telu menggambarkan kepercayaan mereka berbeda
dengan cara yang dilakukan penganut Islam Waktu Lima. Dalam pemahaman
mereka, secara simbolis Islam Wetu Telu meyakini:
a). Tiga macam sistem reproduksi
b). Keseimbangan dunia mikro dan makro
c). Upacara yang menyertai setiap tahap proses transformasi
d). Pengakuan terhadap Tuhan, Adam dan Hawa
Dari penafsiran ini sekali lagi membuktikan bahwa, memandang
kepercayaan Wetu Telu sebagai reduksi atau peringkasan seluruh ibadah wajib
39
Winny Puspasari Thamrin, dkk. Antropologi (alamat akses http: ebook.gunadarma.ac.id,),
(Jakarta: Gunadarma UG University, 2013), h. 64-65 40
Ibid. 41
Ibid. 42
Ibid.,hlm. 139.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 38
Islam menjadi serba tiga berarti mendistorsikan makna instrinsik wilayah
kosmologi penganut Wetu Telu.
Kepercayaan sinkretis yang terbangun dalam kepercayaan animisme yakni
kekuatan benda-benda ghaib. Sebagaimana disebutkana pada bagian sebelumnya
bahwa masyarakat wetu telu sangat patuh dan taat dalam menjalankan
kepercayaan agama mereka terutama patwa pemangku adat, hal itu terlihat ketika
melakukan berbagai acara adat yang tidak ada satupun diantara mereka yang tidak
ikut melaksanakan ritual adat, sehingga berdampak pada penghormatan dan
ketundukan mereka terhadap leluhur.
Kepercayaan islam wetu telu dalam melelestarikan keyakinannya agamanya
bersingungan langsung dengna lingkungan (ekologi) erat kaitannya dalam sejarah
dikenalnya istilah ajaran wetu telu dimana dalam sejarah ajaran wetu telu
disebutkan bahwa lahir dua kerajaan yani Datu Pangeran Mas disebelah utara dan
menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh keluarga kerajaan lainya antara lain Titi
mas rempung bertempat tinggal di loloan,Titi Mas Puncan Surya yang betempat
tinggal di karang bajo dan Titi Mas Pakel yang bertempat tinggal di karang salah
sedangkan dalam menjalankan bidang keagamaan dibantu oleh antara lain Titi
Mas Pengulu,Ketip,Mudim dan Lebe Antasalam. Ketika Islam berkembang pesat
sekitar abad ke 16, dibawa oleh para ulama dan pedagang yang singgah di
pelabuhan Carik, menurut sejarah yang berkembang labuhan carik adalah
pelabuhan yang sangat strategis dan menjadi bagian wilayah yang dikelola
kerajaan, lokaq sahbandar adalah gelar tetua adat yang mengelola pelabuhan
carik.43
Setelah Islam membumi dan menjadi agama kerajaan kemudian daerah ini
diberikan nama Wetu telu.44
Dan wilayahnya dinamakan Bayan, bayan sendiri
berasal dari bahasa Arab berarti penerang dan bersamaan dengan itu bagi Raja dan
keluarga kerajaan yang saat itu masuk islam oleh para mubalig diberikan gelar
raden kepada laki-laki sedangkan bagi perempuan tetap dengan sebutan denda
yang merupakan panggilan wanita keturunan kerajaan saat itu, pemberian gelar ini
dimaksudkan untuk menghargai keturunan keturunan kerajaan yang telah
menganut ajaran islam sama seperti di Jawadwipa karena pembawa siar islam ke
Bayan adalah Berasal dari Pulau Jawa. Sementara itu tidak sedikit pula keluarga
kerajaan dan pengikutnya kala itu tidak menerima keberadaan Islam sebagai
keyakinan mengantikan keyakinan leluhur, saudara Raja Bayan dan kerabat
mereka inilah yang keluar dari kerajaan pergi ke pegunung-pegunungan untuk
mengasingkan diri jauh dari kerajaan. Oleh sebagian kalangan beranggapan
bahwa mereka adalah masyarakat boda yang tersebar dipegunung-pegunungan
wilayah utara sampai didaerah sekotong lombok barat yang beragama budha.45
Tertulis di naskah lontar kuno daerah ini sering disebut kerajaan suwung
atau kerajaan berpenghinu masih jarang dan sebagaian diartikan sebagai kerajaan
yang penuh degan kedamain, dalam sejarhnya juga disebutkan kerjaan sasak
43
Ibid. 44
Bayan di akui masyarakat lombok sebgai tempat pertama berlabuhnya ara muballiq dan awal
mula tersebarnya islam (islam Bhoda) yang kemudian trsebar diseluruh masyarakat lombok secara luas
hsusnya masyarakat sasak, penyebaran itu dilakukan oleh keluarga kerjaan yang memasuki wilayah
lombok tengah lombok timur informasi diperoleh dari kepala desa bayan raden kusuma di bayan 45
Sekotong saat ini sudah menjadi salah satu bagian dari kabupaten lombok barat dan
masyarakatnya sebagian besar beragama islam (NU dan NW).
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 39
pertama ini lebih banyak ditinggalkan oleh rakyatnya/penghuninya. Kerajaan
Bayan sering disebut daerah tertua di Pulau Lombok setelah kerajaan selapang,
bayan disebutkan sebagai pusat penyebaran islam pertama. Kerajaan Bayan
terbentang sepanjang pantai utara pulau Lombok dengan batas-batas kerajaan
Bayan sebelah timur Tal Baluk saat ini berbatasan dengan kecamatan pringga
Lombok timur dan batas sebelah barat Menanga reduh yang saat ini berada di
Desa Malaka kecamatan Pemenang kabupaten lombok utara.46
Bumi atau Gumi sasak sering disebut Gumi Nina atau Bumi Perempuan
bermakna Gumi dengan Kasih Sayang mencerminkan Watak Prilaku dan
harmonisasi Penghuninya dalam membina hubungan antara manusia dengan
alamnya,manusia dengan lingkungan dan manusia dengan sang pencipta.47
Sebagai bukti kuat juga ditemukan sampai saat ini keberadaanya diyakini
sebagai masjid tertua adalah mesjid beleq Bayan, dan mesjid Kuno Lainya yang
terdapat di pulau lombok dengan arsitektur tidak jauh berbeda mencoba
menunjukkan bukti perkembangan islam di lombok didukung dengan cerita-cerita
para tokoh tertua seperti disebutkan dalam kitab, jungkat, lontar kuno,
memperkuat keberadaan peradaban islam di Bayan disamping itu terdapat bekas
kerajaan Bayan yang berpusat di Dusun Bayan timur dan Bayan barat, sampai
sekarang masih dijaga dan dipelihara oleh para prusa atau keturunan-keturunan
kerajaan. Dibeberapa tempat terdapat kesamaan Bahasa yang mengunakan bahasa
Bayan dengan ciri khas kebayanan sehingga mempermudah mayarakat lain
mengenal darimana mereka berasal.
Kepercayaan terhadap benda-benda gaib pada kepercayaan wetu telu. Metu
itu kalau dalam bahasa indonesianya kelihatan atau muncul jadi metu telu
kelihatan yang tiga yang telu itulah yang memenuhi dunia ini misalnya beranak
(menganaq), bertelur (meneloq) dan tiwoq (tumbuh) nah itulah yang dimaksud
dengan metu telu yang memenuhi dunia ini.
Kepercayaan mayarakat wetu telu masih tetap dikerjakan disetiap ritual-
ritual yang diyaini karena tujuannya tidak lain adalah melestarikan yang telu itu
(menganaq, meneloq, meniwoq) yakni melestarikan yang tiga jenis itu saja,
supaya yang telu itu tetap terjaga dan lestari, seperti banak nyedekah, nyedekah
turun ton, nyedekah turun balit, alid, dari nama-nama ritual yang disebutkan tadi
hanya bertusjuan untuk meleatarikan metu yang tiga itu, tidak ada yang lainnya,
itu dari zaman dahulu sampai sekarang tidak pernah berubah-ubah.
2. Internalisasi Tradisi Berwawasan Ekologi dalam masyarakat Apapun yang pemangku adat perintahakan maka harus dilaksanakan dengan
baik, perintah yang dimaksud disini adalah perilaku yang tidak baik terhadap
sesama manusia maupun terhadap alam sekitar, jika melanggar perintah adat atau
ajaran agama maka akan diberikan sanksi atau hukuman baik oleh pemangku adat
maupun sosial masyarakat sekitarnya, sanksi yang paling ringan berupa
membayar dengan hasil bumi dan sebagainya, dan sanksi terberat tidak dilayani
dalam urusan administrasi baik adat maupun administrasi desa, seperti dalam
pernikahan KTP dan sebagainya. Jadi barang siapa yang ditemukan menebang
pohon besar, maka konsekuensi yang harus di penuhi berupa denda adat.
46
Sebutan lombok utara baru diresmikan sekitar tahun 2009 hasil pemekaran dari lombok barat,
ditahun sebelumnya lombk hanya terbagi menjadi dua kabupaten satu kota yakni kabupaten lombok timur
dan kanupaten lombok utaran dan kota madya mataram 47
Ibid.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 40
Larangan penebangan pohon dan pengrusakan lingkungan alam sekitar menjadi
tradisi turun temurun dalam masyarakat bayan. Kepercayaan masyarakat bayan
mengenai kekuatan alam bahwa alam merupakan siklus kehidupan yang menjaga
keberlangsungan perkembangan hidup manusia.
Dalam ajaran metu telu kemudian dapat diklasifikasikan kedalam beberapa
kosep pendidikan berwawasan ekologi, diantaranya:
Konsep mentelok, mentanaq, mentiok, konsep pendidikan ekologi dalam hal
ini bahwa mahluk hidup diciptakan berbeda dengan mahluk lainnya selanjutnya
dalam wetu telu yang pertama itu nyideqah turun ton tujuannya mohon kepada
yang kuasa supaya diberikan kesehatan dan berlimpah-limpah hasil panen pada
tahun ini, berikutnya dikenal dengan istilah nyideqah menopat lepas adapun cara
pelaksnaannya dilakukan di dua tempat ada yang dibawah pohon besar seperti
pohon bunut besar batu jengkel, dibawah lekok bajo, tujuannya untuk melepas
segala penyakit (siu atus tunggal) macam penyakit, setelah nyideqah menopat
sudah selesai maka tahap selanjutnya panen motong padi disawah atau diladang.
Lebih lanjut pemekel ada menjelaskan istilah kedua menioq, metu yang kedua
ini menunjukkan bahwa mahluk hidup bermetamorposa dan berkembang melalui
nioq atau tumbuh seperti tumbuh-tumbuhan, pepohonan. Manusia yang sudah
meninggal menurut kepercayaan masyarakagt bayan masih tetap hidup dialamnya
dan berdampingan dengan manusia yang masih hidup, hanya saja alamnya sudah
berbeda, maksunya adalah manusia yang selama hidupnya berlaku baik,
berperangai santun terhadap sesama mahluk akan tumbuh menjadi pohon besar
yang memberikan manfaat yang besar terhadap mahluk yang masih hidup di dunia
ini. Sehingga dalam acara adatpun metu menioq juga harus dilaksankan
sebagaimana metu pertama yang sudah disebutkan di atas yakni menganaq.
Metu ketiga meneloq, pada bagian ini kepercayaan kami di masyarakat bayan
meyakini mahluk hidup berkembang dan melanjutkan hidup dengan bertelur.
Dalam arti dunia alam jagat ini dijadikan dengan ditelurkan dari langit oleh Tuhan
dengan berbagai bentuk, itu juga terlihat dari beberapa mahluk dalam proses
perkembangannya berbeda-beda ada yang melahirkan, ada yang tumbuh dan ada
yang bertelur. Dalam metu ini pula acara adat bayan tetap dilaksanakan.
Menurut keterangan tokoh adat bayan bapak murif posisi sebagai pemekel
adat menjelaskankan bahwa kepercayaan wetu telu itu diambil dari tiga siklus
kehidupan yang dinamakan dengan “menganaq, menioq dan meneloq”. Adapun
istilah metu mengaq diambil dari proses dan siklus mahluk hidup yang
berkembang biak dengan proses melahirkan seperti nama menganaq (melahirkan)
segala perbuatan dan keyakinan akan melahirkan sesuatu entah itu perbuatan baik
mapun perbuatan buruk. Lahir dan melahirkan sebagai bentuk kepercayaan
masyarakat bayan untuk bertindak dalama kehidupan sehari-harinya. Perbuatan
baik akan melahirkan kehidupan yang baik pula dan perbuatan buruk akan
melahirkan keburukan. Dalam adat bayan istilah menganq sudah menjadi
pegangan dari sejak nenek moyang mereka bahkan sampai saat ini tradisi
selametan dalam upacara adat tetap eksis dilaksanakan, misalkan dalam upacara
adat dikenal dengan nama maulid adat, lebaran adat gawe gubuq. Semua upacara
adat diyakini sebagai bentuk penyerahan terhadap alam yang memiliki kekuatan
luar biasa sehingga kehidupan manusia khusunya di bayan tetap terpelihara dari
bahaya, penyakit, dan balak.
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 41
Lebih lanjut dijelaskan untuk menjaga ketiga siklus tersebut maka
keseimbangan antara hutan dan harus tetap terlindungi kebersihannya, dimana
untuk menjaga keseimbangan tersebut dibuatkan aturan-aturan untuk manusia
misalkan dilarang keras memotong ataupun membakar pohon kering atau
dedaunan kering sebab akan merusak mata air, mencemari mata air, dan mahluk
didalam air terganngu dan bahkan punah, untuk menjaga ekosistem yang ada
dimata air tesebut maka ditugaskan salah satu orang sebagai penjaga/penunggu
mata iar disebut dengan nama inak aik.48
Konsep yang terbangun dalam tradisi kepercayaan wetu telu selanjutnya
adalah pemaknaan tentang konsep jagad raya, dimana dalam keyakinan wetu telu
bahwa bumi yang mereka tempati ini adalah sebagian kecil alam diciptakan tuhan,
diluar bumi ada berbagai macam planet sebagai penyeimbang alam jagat raya.
Sehingga masyarakat wetu telu menyakini bumi dan planet-planet lainnya
dinamakan dengan jagad cilik (kodek). Sedangkan jagad gede (besar) adalah alam
jagad raya keseluruhan yang melingkupi seluruh dunia, langit dan luar angka.
Konsep Jagad belek (makro) dan Konsep Jagad kodek (mikro) dalam ajaran
wetu telu keberadaan alam jagad raya menunjukkan keseimbangan hidup manusia.
Jagad yang satu dengan jagad yang lainnya diciptakan Tuhan berjalan sesuai
dengan kodrat dan porosnya masing-masing serta fungsinya masing-masing, jika
tidak maka berdampak pada kehidupan dunia yang ditempati manusia.
Dalam setiap masyarakat, baik yang kompleks maupun sederhana, ada
sejumlah nilai budaya yang antara satu dengan yang lainnya berkaitan hingga
merupakan suatu sistem. Sistem yang dimaksud merupakan pedoman dari konsep-
konsep ideal dalam kebudayaan yang berfungsi sebagai: Pertama, pedoman bagi
anggota masyarakat, mengenai bagaimana mereka harus bertingkah laku dan
bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan bersama tidak terkecuali dengan
lingkungannya. Kedua, menjaga keutuhan masyarakat bersangkutan. Ketiga,
memberikan pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan sistem
pengadilan sosial, berupa pengawasan terhadap tingkah laku anggota masyarakat
bersangkutan.49
Dapat dipahami bahwa sistem nilai budaya merupakan konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat. Karena itu, suatu sistem nilai
budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan masyarakat.
Dari hal inilah maka kebudayaan dapat dikatakan sebagai sistem atau serangkain
nilai yang mendasari pola orientasi, sikap, dan tingkah laku anggota masyarakat
dalam hidup bermasyarakat.
Manusia, lingkungan dan kebudayaan merupakan tiga faktor yang menjalin
secara internal. Lingkungan tempat manusia hidup terdiri dari lingkungan alam
dan sosiobudaya. Atas dasar inilah kemudian manusia harus dipahami sebagai
makhluk yang bersifat bio-sosio-budaya.
48
ianak aik diangkat oleh kepala adat (kepala desa)atas persetujuan kiyai (toak Lokak), jadi iank
aik yang hanya boleh mengelola dan bercocok tanam disekitar sumber mata air sebagai upah
penjagaannya dan selain itu masyarakat petani yang menggunakan mata air membayar zakat pada inak
air sebagian dan kepada kiyai sebagiannya. Wawancara dengan lalu kardiman pada tanggal 13 juni 2018 49
Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan
Lingkungan Hidup (Jakarta: YOI, 2007), hlm. 259.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 42
Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai budaya yang mengatur pola pikir
dan tata kelakuan individu-individu warga masyarakat yang bersangkutan. Sistem
nilai itu merupakan suatu konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran
mereka, dan oleh karena itu mempunyai kekuatan memaksa terhadap sistem-
sistem gagasan dan prilaku warga masyarakat bersangkutan yang berhubungan
dengan segala aspek kehidupan. Dari kerangka sistem nilai tersebut tergambar
bagaimana warga suatu masyarakat memandang dunianya (baca: lingkungannya).
Secara genesis, fisiologis, dan pisikologis, manusia membutuhkan cinta kasih
alam dengan segala keanekaan dan kecantikannya. Hal ini, berarti bahwa, secara
sadar manusia memiliki pandangan yang holistik dan interaktif dengan
lingkungannya. Untuk menghilangkan sikap antroposentrik dan untuk memberi
keseimbangan dan keserasian manusia dengan lingkungan dikembangkan etika
lingkungan yang merupakan prinsip-prinsip moralitas lingkungan. Prinsip-prinsip
dimaksud merupakan perpaduan moral alam dan moral manusia yang bertumpu
pada keyakinan bahwa manusa adalah bagian dari alam dan selayaknya mengikuti
dan mengindahkan kaidah-kaidah keseimbangan alam. Moral dan etika
lingkungan yang memadukan moral alam dan moral manusia ini dapat ditelusuri
dalam berbagai bentuk yang hidup dalam kebudayaan banyak masyarakat.
Kehidupan masyarakat Islam Wetu Telu dilandasi oleh beberapa konsep yang
dibangun kemudian dijawantahkan dalam tradisi mereka sehari-hari, dalam
pandangan antropologi simbolik-interpretatif dinyatakan bahwa setiap
kebudayaan manusia dibangun atas sistem nilai, sistem kognitif dan sistem
simbol50
, ini dapat diartikan bahwa dalam tradisi masyarakat Islam Wetu Telu
setiap tradisi yang ada didalam masyarakat memiliki sistem nilai, sistem kognitif
dan sistem simbol.
Masyarakat Wetu Telu ini hidup dengan mengumpulkan hasil hutan, berkebun
dan menanam padi, baik di sawah maupun ladang. Sebagai kelompok sosial
petani, masyarakat Wetu Telu memandang lahan tidak hanya sebagai unsur
produksi, tetapi juga sebagai tempat bermain, tempat tinggal dan tempat
bersosialisasi dengan lingkungannya. Sehubungan dengan hal itu, maka kebiasaan
dan adat istiadat mereka tercermin sangat erat dengan masalah-masalah yang
berkaitan dengan lingkungan.
Di kalangan masyarakat Wetu Telu terdapat pandangan bahwa alam semesta
itu sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Alam semesta akan tetap ada
selama elemen-elemennya masih terlihat dan terkontrol oleh hukum keteraturan
dan keseimbangan yang dikendalikan oleh pusat kosmiknya.51
Pandangan hidup
ini mengedepankan prinsip keseimbangan dan keharmonisan dalam segala aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam memanfaatkan lingkungan hidupnya.
Kepercayaan keagamaan dipusatkan atau didasarkan kepada adanya kekuatan
gaib. Oleh karena itu, agama sebagaimana yang biasa dipahami, adalah pandangan
dan prinsip hidup yang didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib
yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan beragama juga
50
Baca Clifford Geertz, Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif, terj.
Vivi mubaikah & Apri Danarto (Yogyakarta: Merapi, 2003) 51
Baca Erni Budiawanti, Islam Sasak: Islam Waktu Lima vs Islam Wetu Telu (Yogyakarta: LkiS,
2001)
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 43
ditemukan sikap mensakralkan sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda tertentu,
dan lain sebagainya.52
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara
khusus. Ada tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan. Ada upacara
keagamaan dalam berhadapan dengan yang sakral. Upacara perlakuan khusus ini
tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional. Kalau supranatural dan sakral
adalah aspek keyakinan, ritual adalah aspek perilaku dari ajaran agama. Ketiganya
menimbulkan kesan rasa atau penghayatan ruhaniah dalam diri yang mempercayai
dan mengamalkan ajaran agama. Agama tidak ada tanpa adanya umat penganut
agama tersebut. Komunitas penganut agama terdiri dari beberapa fungsi
keagamaan. Ada yang memimpin upacara, ada yang harus berfungsi menyiapkan
tempat dan alat upacara, dan sekaligus mereka menjadi peserta upacara.
Kembali lagi, melihat konsep kosmologi dari penganut Islam Wetu Telu,
mereka memandang bahwa dunia dan konsep kosmologi mereka berbeda dengan
penganut Islam Waktu Lima. Tidak semua dari penganut Islam Wetu Telu dapat
memberikan interpretasi atau makna yang rasional tentang keyakinan dan ibadah
mereka. Pengetahuan agama dan tradisi mereka adalah hal yang esoterik, dan
hampir semuanya dipegang oleh mereka yang mempunyai kedudukan dan peran
penting dalam komunitas itu. Mereka dipandang sebagai sumber atau intitusi yang
legimate yang bisa dijadikan rujukan jika diperlukan, pemegang otoritas akan
interpretasi konsep agama dan kosmologi mereka adalah: Pemangku Adat dan
penghulu.53
Kalau Islam Waktu Lima menafsirkan Wetu Telu sebagai “waktu tiga” dan
mengaitkan dengan reduksi seluruh ibadah menjadi tiga, seperti yang disebutkan
di atas maka para pemegang otoritas Wetu Telu menolak dan memiliki konsep
yang berbeda, yaitu wetu bukan Waktu, akan tetapi dari tiga cara makhluk hidup,
muncul, menganak, meteluk, mentiuk, dan kepercayaan ini juga tidak hanya
sampai pada tiga sistem reproduksi tersebut, melainkan juga menunjuk pada
kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan
mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Penganut Wetu Telu juga melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu
sama lainnya, untuk menerangkan hal ini maka Wetu Telu membagi wilayah
kosmologi menjadi jagad kecil (dunia mikro) dan jagad besar (dunia makro).
Jagad besar disebut juga alam maya atau alam raya yang terdiri dari dunia,
matahari, bulan, bintang, dan planet lain sedangkan jagad kecil terdiri dari
manusia dan makhluk lainnya, yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada
alam semesta.54
Ketergantungan semacam ini menyatukan dua dunia tersebut
dalam keseimbangan, dan karena itulah tatanan alam (kosmologis) bekerja. Dan
ini juga menunjukkan kemahakuasaan Tuhan yang menggerakkan ketergantungan
antar makhluk.
Pemeliharaan dan pelestarian ini yang apabila manusia sebagai komponen
jagad kecil terlalu tamak dalam mengeksploitasi jagad besar, mereka akan
menghancurkan tatanan keseimbangan ini. Dicontohkan juga bahwa dua dunia ini
saling membutuhkan satu dengan yang lain, ketergantungan jagad kecil (dunia
52
Baca Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, terj. Imam
Khoiri(Yogyakarta: Ak Group, 2007), hlm. 248. 53
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 27. 54
Erni Budiwanti,Islam Sasak, hlm. 136.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 44
mikro) dan jagad besar (dunia makro) bekerja dikehidupan manusia, dalam bidang
pertanian misalnya, manusia membutuhkan tanah di mana kita bisa menyemai dan
menumbuhkan benih padi, tanaman maka air dibutuhkan untuk menggemahkan
benih tersebut lalu matahari bekerja untuk mematangkan padi dan buah. Prinsip
menjaga keseimbangan dunia mikro dan dunia makro ini adalah hal yang sakral
bagi penganut Wetu Telu.55
Disebutkan juga bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama juga
termanifestasikan dalam kepercayaan bahwa semua makhluk harus melewati tiga
tahap rangkaian siklus; dilahirkan (menganak), hidup (urip) dan mati (mate).56
Maka kegiatan ritual (yang akan dipaparkan pada bagian setelah ini) sangat
terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, selalu diiringi upacara, ini
mempersentasikan transisi dan tranformasi status seseorang menuju status
selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu Telu dalam makna yang sama
dengan penganut Islam abangan atau Islam kejawen di Jawa, sebagaimana
trikotomi yang diajukan Geertz.57
Namun penyebutan Islam Wetu Telu ini
disangkal oleh Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya,
Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga (Wetu telu) dan Waktu
Lima.“Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi adat”, ucapnya. Lebih lanjut, ia
menyatakan bahwa masyarakatadat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah
syahadat, “Allah Tuhan kami yang kuasa dan Nabi Muhammad sebagai utusan
Allah”. Dua kalimat syahadat pun di ucapkan oleh penganut Wetu Telu ini,
Setelah diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa
Sasak, misalnya: “Asyhadu ingsun sinuruan aksinu. Anging stoken ngaraning
pangeran. Anging Allah pangeran. Kasebener elaning sunan guruhi. Setukhune
Nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhumashali Allah sayidina
Muhammad”. Artinya:“Kami berjanji (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah, dan kami percaya bahwa Nabi Muhammad adalah utusan
Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima agama Islam.58
Wetu Telu dan aweq-aweq lahir berdasarkan adat kebiasaan manusia
sebelumnya dimana aturan tersebut dibuat untuk mengatur dan menjaga ekosistem
yang ada. Misalkan dalam aturan atau aweq aweq mengatur salam hal
penebangan pohon, jika itu dilanggar maka dikenakan denda berupa satu ekor
kerbau, gula satu lonsor kelapa 4 butir beras satu timbang atau gantang, selama
tidak membayar denda maka tidak dilayani keperluannya di adat dan sanksi
sosisal lainnya.
Kepercayaan keagamaan dipusatkan atau didasarkan kepada adanya kekuatan
gaib. Oleh karena itu, agama sebagaimana yang biasa dipahami, adalah pandangan
dan prinsip hidup yang didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib
yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan beragama juga
55
Ibid.,hlm. 137. 56
Ibid.,hlm. 138. 57
Baca Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1981), hlm. 1-150. 58
Dining Martha Praharsini, Materi Pokok Wetu Telu dalam Sudut Pandang Teologi Trias Politika
Kajian di Kabupaten Lombok Utara,makalahuntuk LKTI Kebudayaantingkat SMA, (Lombok: SMA 1
Tanjung, 2009), hlm. 5-14.
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 45
ditemukan sikap mensakralkan sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda tertentu,
dan lain sebagainya.59
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara
khusus. Ada tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan. Ada upacara
keagamaan dalam berhadapan dengan yang sakral. Upacara perlakuan khusus ini
tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional. Kalau supranatural dan sakral
adalah aspek keyakinan, ritual adalah aspek perilaku dari ajaran agama. Ketiganya
menimbulkan kesan rasa atau penghayatan ruhaniah dalam diri yang mempercayai
dan mengamalkan ajaran agama. Agama tidak ada tanpa adanya umat penganut
agama tersebut. Komunitas penganut agama terdiri dari beberapa fungsi
keagamaan. Ada yang memimpin upacara, ada yang harus berfungsi menyiapkan
tempat dan alat upacara, dan sekaligus mereka menjadi peserta upacara.
Kembali lagi, melihat konsep kosmologi dari penganut Islam Wetu Telu,
mereka memandang bahwa dunia dan konsep kosmologi mereka berbeda dengan
penganut Islam Waktu Lima. Tidak semua dari penganut Islam Wetu Telu dapat
memberikan interpretasi atau makna yang rasional tentang keyakinan dan ibadah
mereka. Pengetahuan agama dan tradisi mereka adalah hal yang esoterik, dan
hampir semuanya dipegang oleh mereka yang mempunyai kedudukan dan peran
penting dalam komunitas itu. Mereka dipandang sebagai sumber atau intitusi yang
legimate yang bisa dijadikan rujukan jika diperlukan, pemegang otoritas akan
interpretasi konsep agama dan kosmologi mereka adalah: Pemangku Adat dan
penghulu.60
Kalau Islam Waktu Lima menafsirkan Wetu Telu sebagai “waktu tiga” dan
mengaitkan dengan reduksi seluruh ibadah menjadi tiga, para pemegang otoritas
Wetu Telu menolak dan memiliki konsep yang berbeda, yaitu wetu bukan Waktu,
akan tetapi dari tiga cara makhluk hidup, muncul, menganak, meteluk, mentiuk,
dan kepercayaan ini juga tidak hanya sampai pada tiga sistem reproduksi tersebut,
melainkan juga menunjuk pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan
makhluk hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui mekanisme
reproduksi tersebut.
Penganut Wetu Telu juga melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu
sama lainnya, untuk menerangkan hal ini maka Wetu Telu membagi wilayah
kosmologi menjadi jagad kecil (dunia mikro) dan jagad besar (dunia makro).
Jagad besar disebut juga alam maya atau alam raya yang terdiri dari dunia,
matahari, bulan, bintang, dan planet lain sedangkan jagad kecil terdiri dari
manusia dan makhluk lainnya, yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada
alam semesta.61
Ketergantungan semacam ini menyatukan dua dunia tersebut
dalam keseimbangan, dan karena itulah tatanan alam (kosmologis) bekerja. Dan
ini juga menunjukkan kemahakuasaan Tuhan yang menggerakkan ketergantungan
antar makhluk.
Pemeliharaan dan pelestarian lingkungan ini yang apabila manusia sebagai
komponen jagad kecil terlalu tamak dalam mengeksploitasi jagad besar, mereka
akan menghancurkan tatanan keseimbangan ini. Dicontohkan juga bahwa dua
dunia ini saling membutuhkan satu dengan yang lain, ketergantungan jagad kecil
59
Baca Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, terj. Imam
Khoiri(Yogyakarta: Ak Group, 2007), hlm. 248. 60
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 27. 61
Erni Budiwanti,Islam Sasak, hlm. 136.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 46
(dunia mikro) dan jagad besar (dunia makro) bekerja dikehidupan manusia, dalam
bidang pertanian misalnya, manusia membutuhkan tanah di mana kita bisa
menyemai dan menumbuhkan benih padi, tanaman maka air dibutuhkan untuk
menggemahkan benih tersebut lalu matahari bekerja untuk mematangkan padi dan
buah. Prinsip menjaga keseimbangan dunia mikro dan dunia makro ini adalah hal
yang sakral bagi penganut Islam Wetu Telu.
Disebutkan juga bahwa Islam Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama juga
termanifestasikan dalam kepercayaan bahwa semua makhluk harus melewati tiga
tahap rangkaian siklus; dilahirkan (menganak), hidup (urip) dan mati (mate).62
Maka kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, selalu
diiringi upacara, ini mempersentasikan transisi dan tranformasi status seseorang
menuju status selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap
dunia roh.
Manusia pada hakekatnya memiliki kesadaran tentang tempatnya dalam
sistematika dan klasifikasi alam semesta di samping hubungan antara dirinya
dengan sesama makhluk hidup dan seluruh isi alam, serta adanya kekuatan ghaib
yang mengatur dan mengendalikan hubungan yang terjadi secara timbal-balik.
Adanya kesadaran inilah yang membedakan manusia secara hakiki dari makhluk-
makhluk yang lain. Dari kesadaran semacam ini manusia kemudian
mengembangkan berbagai pranata dalam kehidupan komunalnya yang berfungsi
mengatur perlakuan anggota masyarakat bersangkutan tidak terkecuali
perikelakuan terhadap lingkungan.
Masyarakat Islam Wetu Telu rupanya memiliki kedalaman penghayatan
terhadap prinsip-prinsip pengelolaan (konservasi) alam sebagai wujud kearifan
mereka terhadap lingkungan sekitar. Adanya aturan-aturan adat sebagai konsensus
dalam satu komunitas seperti mensakralkan hutan, mengorganisasikan peran-
peran (rules) kepada perumbak untuk menjaga makam leluhur dan hutan
disekitarnya merupakan bentuk penjagaan terhadap kelestarian lingkungan,
adanya mekanisme pembagian peran dalam pengelolaan lingkungan ini terlebih
jika dilakukan oleh lembaga -lembaga informal merupakan kearifan lokal yang
justru lebih efektif dan sebagai jawaban atas kegagalan lembaga formal
menerapkan mekanisme yang dimilikinya dalam mengelola lingkungan, serta
wujud penjagaan dalam mengeksploitasi alam. .
Praktek-praktek keagaman yang bekesadaran lingkungan masyarakat Islam
Wetu Telu tersebut diwujudkan dalam bentuk ritual seperti selametan subak yakni
ritual meminta ijin memanfaatkan air sungai sebagai irigasi, membangar apabila
akan bercocok tanam, sebagai bentuk permintaan ijin kepada mahluk lain yang
dianggap menguasai tempatnya dan upacara adat bonga padi (siklus padi).63
Pada tataran konsep tentang kehidupan atau sebagai falsafah hidup,
pemaknaan terhadap ritual yang diadakan dianggap sebagai kepercayaan akan
proses kehidupan yang harus menjaga keseimbangan alam. Ritual kehidupan ini
telah memberikan kita sudut pandang yang makin luas tentang kekayaan akan
falsafah hidup yang terdapat dalam Islam Wetu Telu yang berwawasan ekologi.
62
Ibid.,hlm. 138. 63
Baharuddin, Nahdlatul Wathan & Perubahan Sosial (Yogyakarta: Genta Press, 2007), hlm. 96-
98.
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 47
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, masyarakat
Islam Wetu Telu di Bayan memiliki bebrapa tradisi yang berkesadaran ekologis
diantaranya melalui konsep kosmologi yang mereka miliki, dimana terdapat
keseimbangan antara jagad besar dan jagad kecil, antara kedua jagad ini haruslah
seimbang. Manusia sebagai bagian dari jagad kecil haruslah menjaga alam sekitarnya
agar jagad besar (alam raya) tidak rusak. Dari konsep kosmologi ini selanjutnya
menciptakan tradisi-tradisi Islam Wetu Teu yang sangat menjaga alam sekitarnya,
seperti tradisi pemalik, bunga padi dll. Selanjutnya tradisi-tradisi yang berkesadaran
ekologis ini secara turun-temurun diwariskan, diinternalisasaikan antar generasi
(proses Pendidikan) dalam penjagaaan terhadap alam sekitarnya.
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 48
DAFTAR PUSTAKA
A.Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup. Jakarta:Kompas, 2010.
A. Tery Rambo, Conceptual Approches Human Ecology, Research Report, East-West
Environmennvad Policy Institute, No: 14, Hawai, 1983.
Adeng Muckhtar Ghazali , Antropologi Agama, (Upaya Memahami Keragaman
Kepercayaan, Keyakinan dan Agama), Bandung, Alfabeta, Cet. 1, 2011.
Adiwibowo“Etika Lingkungan”. Modul Kuliah Ekologi Manusia, Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, IPB,
Bogor, 2007.
Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup, Yogyakarta; Kanisius, 2003.
Ahmad Abdul Syakur, Islam dan Kebudayaan Sasak: Studi Tentang Akulturasi Nilai-
nilai Islam ke dalam Kebudayaan Sasak (Yogyakarta: Adab Press, 2006). Buku
ini merupakan hasil penelitian penulisnya di Program Doktor UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.
Arnis Rachmani, Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara,
Jurnal “Analisa” Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011.
Asmanto, Eko. "Revitalisasi Spiritualitas Ekologi Perspektif Pendidikan Islam."
TSAQAFAH 11. 2, 2015.
Asnawi, “Respon Kultural masyarakat Sasak Terhadap Islam”, Jurnal Ulumuna, Vol IX
Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005, hlm. 1-10. Lihat Juga Asnawi, “ Islam dan
Visi Kebangsaan di Nusa Tenggara barat’, dalam Komaruddin Hidayat dan
Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi
Nusantara (Bandung: Mizan, 2006.
Ayi Olim, dkk, “teori Antropologi Pendidikan” dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan
Bagian I: Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007.
Baharuddin, Nahdlatul Wathan & Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press, 2007.
Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, terj. Imam
Khoiri, Yogyakarta: Ak Group, 2007.
Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat, Jakarat: Pustaka Nasional.
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.
Clifford Geertz, Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif, terj.
Vivi mubaikah & Apri Danarto, Yogyakarta: Merapi, 2003.
Danniel L. Pals, Dkk. Seven Teori Of Religion, diterjemahkan Oleh Penberbit Ali Noer
Zaman Yogyakarta: Qalam, Cetakan Ke 3 2001.
Dikutip oleh Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis Dalam Al-Qur’an, ESENSIA Vol.
XIV No. 1 April 2013.
Dining Martha Praharsini, Materi Pokok Wetu Telu dalam Sudut Pandang Teologi Trias
Politika Kajian di Kabupaten Lombok Utara,makalahuntuk LKTI
Kebudayaantingkat SMA, Lombok: SMA 1 Tanjung, 2009.
Erni Budiawanti, Islam Sasak: Islam Waktu Lima vs Islam Wetu Telu, Yogyakarta:
LkiS, 2001.
Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan
Gerakan Lingkungan Hidup, Jakarta: YOI, 2007.
H.A.R Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat madani Indonesia: Stategi
Reformasi Pendidikan Nasional Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Erlan Muliadi, Konsep Pendidikan Berwawasan...
Tarbawi. Volume, 7 No. 7 Januari-Juni 2019 49
Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ilyas Asaad, dkk. Teologi Lingkungan, (Etika Pengelolaan Lingkungan dalam
Perspektif Islam), Deputi Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 2011.
Imran Manan, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1989.
Jhon Ryan Bartholomev, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001), hlm. 89. Mohammad Noor, dkk., Visi Kebangsaan Religius:
Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid 1904-1997 Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004.
Koentjaraningrat: Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan & Masyarakat Desa,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1987.
Koesnadi Hadjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Intrefetasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan Media Utama,
Cetakan I, 2008.
Lalu Gde Suparman, Babad Lombok (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1934)
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Press, 2008.
M. Ridwan, Fiqh Ekologi, Membangun Fiqh Ekologis untuk Pelestarian Kosmos, Jurnal
M. T. Zein (ed), Menuju Kelestarian Lingkungan, Jakarta: Gramedia, 1980.
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Otto Soemarwoto, Ekologi. Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan,
1994.
Otto Sumarwoto, Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2001.
Peter L. Berger, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, risalah tentang Sosiologi Pengetahuan,
Jakarta: LP3ES, 2012), Sony Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta; Buku Kompas,
2002.
Sri Banun Muslim, Kajian Historis Islam di Pulau Lombok, Mataram: P3M IAIN
mataram, 1996.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2011.
Syamsuddin, Peranan Organisasi Keagamaan Dalam Pengembangan Dakwah Islam di
Lombok Melalui Pendekatan Pendidikan, Jakarta: Bina Persada, 1999.
T.O. Ihromi (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia, 1980.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Winny Puspasari Thamrin, dkk. Antropologi (alamat akses http:
ebook.gunadarma.ac.id,), Jakarta: Gunadarma UG University, 2013.
Zaki Yamani, Tradisi Islam Suku Sasak di Bayan Lombok Barat, Studi Historis Tentang
Islam Wetu Telu 1890-1965, Skripsi, Fakultas Adab IAIN Sunan kalijaga
Yogyakarta, 1993.