MASYARAKAT BAYAN DALAM DINAMIKA IDENTITAS
Transcript of MASYARAKAT BAYAN DALAM DINAMIKA IDENTITAS
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 295
MASYARAKAT BAYAN DALAM DINAMIKA IDENTITAS
Oleh
I Putu Gede Suwitha
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena perubahan identitas
Masyarakat Bayan di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Masyarakat
Bayan dalam periode yang panjang mengalami dinamika identitas untuk
mempertahankan eksistensi mereka dari hegomoni pihak luar. Kajian ini ingin
mengungkap (1) Bagaimana konstruksi identitas untuk menghadapi hegomoni dan
marginalisasi, (2) Bagaimana perjuangan politik (politik identitas) Masyarakat
Bayan untuk mempertahankan eksistensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika identitas Masyarakat Bayan
merupakan Counter hegomoni dan marginalisasi yang mereka hadapi dalam kurun
yang panjang. Mereka melakukan berbagai bentuk perjuangan identitas baik politik,
ekonomi, maupun budaya untuk melawan hegomoni yang menyebabkan mereka
mengalami marginalisasi.
Kata Kunci: Politik (identitas), hegomoni, marginalisasi.
1. PENDAHULUAN
Bayan merupakan salah satu desa kuno (tradisional) di Lombok yang
menilik perhatian karena praktik kebudayaan masyarakat desa kental dengan
tradisi dan adat-istiadat masa lampau yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari sampai kini. Dakwah Islam sudah berkembang di Lombok, namun beberapa
desa seperti Bayan, praktik kehidupan pro-Islam, bahkan pra-Hindu masih
berlangsung. Upacara-upacara tradisional dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Bayan berkisar pada (1) ritus-ritus sekitar hari besar Islam, (20 ritus peralihan (rites
of passage) dalam kehidupan manusia dari kelahiran sampai kematian (Ritus yang
berhubungan dengan kehidupan pertemuan (Budi Wanti, 2005: 33).
Sejak awal abada ke-20, banyak penulis asing maupun pribumi yang
mengkaji masyarakat Bayan. Beberapa dapat disebutka: Erde (1901). Graff (1941),
Van Baal (1976). Kajian-kajian di atas berkisar apda bidang Antropologi dan tradisi
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
296 ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1
budaya wetu telu. Tulisan ini melihat dari perspektif identitas, khususnya dinamika
(sejarah) identitas.
2. IDENTITAS SELALU BERUBAH
Dalam perspektif budaya, identitas adalah sesuatu yang tidak tetap dan
selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Memimjam teori Madan Salup
(Ardika & Darma Putra, 2004 :330), identitas tidak penuh tetap, tidak utuh, tidak
satu, tetapi fabricated dan contructed, terus digodok dalam proses. Artinya bahwa
identitas itu akan terus berubah, terus dikontruksi dalam proyek tiada henti (an
ougoing project). Selanjutnya, dikatakan identitas itu bersifat pragmentasi dan
kontradiktif.
Stuart Hall (dalam Abdullah, 2009:49) menegaskan bahwa identitas itu
bukan suatu yang given, tetapi sebuah produksi yang tidak pernah final, selalu
dalam proses dan selalu dikontruksi dalam suatu penandaan atau representasi. Oleh
karena itu, seperti juga pendapat Brubahen (dalam Badullah, 2009:253), identitas
tidak penting untuk diperdebatkan sebagai sebuah definisi, tetapi lebih baik kita
posisikan sebagai sebuah konsep analisis untuk mengikat sebuah fenomena.
Dengan kerangka teori di atas, mungkin kita tidak perlu heran mendengar
identitas masyarakat Bayan yang selalu berubah dan dinamis dalam kurun waktu
yang panjang seperti (long dure) meminjam konsep Mac Block dalam bidang
sejarah. Hal ini karena identitas itu fragmentasis bergulir terus dalam proses dan
proses itu sangat terasa dalam Identitas masyarakat Bayan yang kontemporel.
a. Bayan dalam pengaruh Hindu-Majapahit
Sebelum pengaruh Majapahit masuk ke Lombok, khususnya Bayan,
sistem politik di Lombok disebut vedatuan dan Raja bergelar Datu.
Menurut sumber tradisionl (Babad Lombok), sekitar abad ke-13-14 di
Lombok terdapat 3 (tiga) kedatuan yang menonjol dan berpengaruh, yaitu
Selaparang, Pejanggi, dan Bayan. Kedatuan Bayan meliputi wilayah
Lombok Bagian Utara di kaki pegunungan Rinjani bagian utara dan barat.
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 297
Sekarang Bayan termasuk Kabupaten Lombok Utara (KLU), meliputi
meliputi kurang lebih Kecamatan Bayan Sekarang. Agama masyarakat
Bayan adalah agama tradisional yang disebut Boda. Para peneliti sering
tidak memahami, disamakan dengan agama Budah (Gautama). Boda
merupakan agama asli masyarakat Bayan, sebagaimana masyarakat Sasak
pada umumnya. Agama asli ini intinya berpusat pada pemujaan terhadap
roh-roh leluhur (Budiwanti, 2005: 26). Pada awal abad ke-20 orang-orang
Sasak penganut tradisis Moda masih terdapat di Lombok bagian Utara
(Bayan) dan sekitarnya dan di Lombok Bagian Selatan (Pujud) dan
sekitarnya. Bayan dan Pujud merupakan kerajan kecil yang letaknya
terisolir. (Erde. 1901).
Pada tahun 1357, Majapahit melakukan ekspansi ke Lombok
setelah menakklukan Bali tahun 1343. Majapahit tidak perlu lama
menakklukan Lombok, berbeda dengan Bali, Gajah Mada membutuhkan
9 tahun untuk mengalahkan Kerajaan Bali Sri Ratnasula Ratna Bumi
Banten (Sidemen, 2010:35). Selanjutnya, padagang-pedagang Jawab
(Majapahit) mengadakan hbungan dengan Lombok dan pulau-pulau
sebelah timur seperti Maluku, Tomor (Parimartha, 1995:5).
Ekspedisi Majapahit ke Lombok meninggalkan jejak 4 (empat) kerajaan
utama yang saling bersaudara yaitu Kerajaan Bayan di bagian Barat,
kerajaan Selaparang di bagian Timur, Kerajaan Pejanggik di bagian
Selatan, dan Kerajaan Longko di Bagian tengah (Cika, dkk, 2012).
Keempat kerajaan ini masih mengakui sebagai bawahan (Vasal) kerajaan
Majapahit. Setelah Majapahit mengeluh di Lombok, rupanya sistem
pemeirntahan kedatuan sudah berulah menjadi kerajaan. Agama Siwa-
Buda (Hindu) telah mengganti agama Boda yang sebelumnya diawit oleh
masyarakat Sasak. Sejak Majapahit masuk ke Bayan, identitas Jawa Hindu
mulai dikenal seperti Raden dan Denda untuk para bangsawan di Bayan.
Demikian juga nama-nama (Topinim seperti Sumur Majapahit).
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
298 ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1
b. Pengaruh Islam Jawa-diakassar
Identitas Islam mulai dikenal di Bayan setelah Islam mulai masuk ke
Bayan dan diterima oleh penguasa Bayan. Islam sisi ini diperkenalkan oleh
de graff terjadi pada tahun 1506 dan setelahnya dan islamisasi ini melalui
jawa (Graff, 1941:356). Masyarakat Bayan mengekaui menerima Islan
dari Jawa. Pengakuan ini diperkuat dengan koleksi lontar kalimat yang
berbahasa dan bertuliskan huruf Jawi Kuno yang sekarang disimpan dan
dijaga oleh pemangku adat Bayan (Budiwanti, 2005).
Seperti halnya pengaruh Majapahit sebelumnya, masyarakat
Bayan juga menerima Islam yang datang dari Jawa dengan baik. Siapa
yang datang membawa Islam ke Bayan (Lombok). Diperkirakan Sunan
Prapen (dalam banyak sumber disebutkan Suna Prapen). Sunan Prapen
adalah putra Sunan Giri. Salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan
Islam di Jawa. Menurut Budiwanti, Pangeran Prapen diperkirakan
mendarat di labuan Calik, pelabuhan Anyar sekarang yang menjadi ibu
kota Kecamatan Bayan. Kalau dilihat dari segi geografis, pelabuhan
Anyar merupakan pelabuhan tua di Lombok yang berhadapan langsung
dengan daerah Bali, Jawa, dan daerah lainnya lewat pelayaran.
Rombongan Sunan Prapen tidak lama di Lombok, syiar Islam
oleh Sunan Prapen di lanjutkan ke Sumbawa, Sumbawa juga merupakan
kerajaan yang beragam Hindu seperti Lombok yang sebelumnya wilayah
Vassal kerajaan Gelgel Bali (Utrect, 1962). Sepeninggal misi Pangeran
Prapen, masyarakat Lombok, khususnya Bayan kembali mempraktikkan
tardisi keagaam yang lama. Tradisi keagamaan lama (Hindu Buda) yang
berpusat pada pemujaan roh leluhur, meskipun mereka juga menerima
Islam (Budiwanti, 2005, 27).
Penyebaran Islam ke timur menenyebutkan Demak sangat
penting dalam konteks islamisasi setelah runtuhnya Majapahit sekitar
tahun 1478. Pada saat Sunan Prapen ke Lombok, utusan Islam juga datang
ke Bali di bawah Ki Moder untuk memperkenalkan Islam kepada Raja Bali
Dalem Waturenggong pada waktu itu. Raja Bali Delem Watu Renggong
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 299
memerintah 1460-1950 (Sidemen, 2010). Utusan Islam ini tidak berhasil
meyakinkan Raja Gelgel (Bali), akan agama yang dibawa ini. Bahkan Raja
Gelgel justru mendatangkan pendeta Hindu-Buda dari Jawa Timur yaitu
Daghyang Nirarta untuk memperkuat agama Hindu di Bali, Lombok, dan
Sumbawa (Utrecht, Sidemen, 2010).
Sebenarnya kekuatan Islam juga muncul dari Timur yaitu dari
Makassar setelah dekade kedua abad ke-17. Islamisasi dari Makassar
lebih gencar, setelah kerajaan Makassar menerima Islam sebagai agama
resmi pada tahun 1605 (Noorduyn, 472 : 15-17). Pada tahun 1624 kerajaan
Gelgel-Bali mengadakan perjanjian dengan kerajaan Makkasar mengenai
pembagian wilayah sebelah timur (Utrech, 1902). Rupanya perjanjian itu
berpengaruh besar di kemudian hari. Isi perjanjian itu membagi pengaruh
di kedua wilayah Lombok dan Sumbawa. Lombok masuk wilayah
pengaruh Bali, sedangkan Sumbawa pengaruh Makassar. Oleh karena
Islam dari Makassar tidak berkembang di Lombok sampai abad ke -19
lagipula kerajaan Makassar sudah jatuh ke tangan VOC tahun 1667. Misi
pemukiman Islam di Lombok, khususnya di Bayan diambil alih Tuan Suhu
sampai saat ini.
c. Pengaruh Hindu Gelgel-Karangasem
Kerajaan Gelgel (Bali) mulai berekspansi ke Lombok dan Bayan setelah
Islam masuk ke Lombok pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong
(1460-15500. Ekspansi kerajaan Gelgel mendapat perlawanan kerajaan
Selaparang. Pada tahun 1540 (Sidemen, 2010) Gelgel mengirim utusan ke
Lombok yang di pimpin oleh seorang Pendeta Hindu Buda, Danghyang
Nirartha. Nirartha yang sudah belajar Islam di Jawa memasukkan paham
baru ke Lombok berupa sinkretisme Hindu-Islam. Di Lombok Nirartha
mendapat gelar Pangeran Sangupati (Agung,1991:75). Ajaran Sinksetisme
Nirartha dapat mempengaruhi beberapa kerajaan di Lombok yang belum
lama memeluk Islam (Lukman, 2004:19-23), termasuk mempengaruhi
kerajaan Bayan. ‘
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
300 ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1
Rupanya kontak-kontak antara Lombok dengan kekuatan-kekuatan luar
(asing) seperti Majapahit, Islam, Hindu Makassar menyebabkan kerajaan
Bayan dan kerajaan-kerajaan lainnya kehilangan hegomoninya. Mereka
kembali kedalam kehidupan tradisional dan terisolir dengan kepercayaan
yang disebut Wetu telu. Mereka percaya kepada Nabi Muhammad sebagai
junjungannya, mengakui Islam sebagai Agama, tetapi tetap
mempraktekkan ajaran-ajaran di luar Islam. Oleh masyarakat luar (umum)
mereka dikatakan penganut ajaran Sinkretif Wetu Telu dan sering disebut
Waktu Tilu sebagai lawan dari Islam yang umum disebut waktu lima.
Kerajaan gelgel di bawah Waturenggong mempunyai pengalaman
menerima utusan dari “mekah” (Demak). Yaitu Ki Moder dan berialog
dengan utusan tersebut. Raja Gelgel ingin mengamankan kekuasaannya
atas Lombok., sehingga ia mengirim utusan ke Lombok yaitu Danghyang
Nirartha yang datang setelah Sunan Prapen dapat mengislamkan Lombok.
Nirartha yang belajar Islam di Jawa membawa konsep baru dalam interaksi
antara Hindu dan Islam di Lombok yang melahirkan Sinkretisme seperti
disebutkan di atas.
Tidak selesai sampai di Lombok, karena kekuasaan Gelgel juga sampai di
Sumbawa, sehingga Nirartha juga pergi ke Sumbawa atas perintah Raja
Gelgel untuk memperkuat tiang-tiang agama Hindu di Sumbawa. Formula
Sinkretisme sangat mujarab, sehingga tidak pernah terjadi kontak fisik
(perang), tidak seperti di Jawa ketika Majapahit mengalami disintegsi,
banyak terjadi peperangan. Sampai saat ini di Bali dan Lombok di jumpai
jejak-jejak yang menunjukkan sinkretisme antara Hindu dan Islam.
Mungkin konsep ini apabila dilihat dari sudut kekinian, dianggap tidak
benar, tetapi pada zamannya dapat diterima.
d. Identitas Kontemporer Bayan
Muncul pemahaman yang baru tentang identitas Bayan
kontemporer dalam konteks munculnya dua pengaruh besar yang muncul
belakangan ini. Pertama, ideologi Islam puritan yang muncul
menghegemoni dalam bidang ideologi dan politik. Kedua, munculnya
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 301
ideologi pariwisata yang mengakibatkan nilai-nilai adat Bayan mengalami
komodifikasi, nilai Bayan dipergunakan sebagai daya tarik bagi
wisatawan. Kedua ancaman ini melahirkan identitas baru kontemporer
seperti yang dikatakan oleh Eriksen, suatu komunitas atau kelompok akan
bangkit, ketika kelompok itu merasa terancam (Maunati, 2004).
Meminjam pendapav Castelles (dalam Buchari, 2014:23),
bentukan identitas seperti di Bayan ini merupakan bentukan resisten dan
identitas proyek (project identity). Identitas resisten (resistance identity)
yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang di
dalam kondisi tertekan dengan adanya dominasi dan stereotype oleh pihak-
pihak lain sehingga membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang
berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan keberlangsungan
hidup kelompoknya. Identitas proyek, yaitu suatu identitas dimana aktor-
aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi
bam dalam masyarakat sekaligus secara keseluruhan, seperti membangun
pariwisata.
Politik identitas tercermin secara aktual dalam dinamika nilai-nilai
lokal yang secara intrinsik merupakan sumber daya sosial yang melekat
dalam system nilai kemasyarakatan Bayan sekaligus merupakan sosok
kultural yang menjadi dinamika pokok perkembangannya. Dalam
masyarakat lokal Bayan sosok kultural tersebut berdimensi politik,
ekonomi, sosial, tidak berkembang secara sehat dan wajar karena tidak
diberi ruang gerak yang memadai pada zaman orde baru karena sistem
demokrasi tidak berjalan. Pemerintahan yang sentralistik mengakibatkan
matinya dinamika eksperimen masyarakat lokal Bayan.
Orang Bayan menganggap mereka berbeda dengan orang Sasak,
selanjutnya perbedaan identitas Bayan dan Sasak direproduksi dalam
perebutan kekuasaan, baik bidang politik rnaupun ekonomi. Demikian
juga narasi kerajaan tradisional Bayan yang pernah berkuasa dan Bayan
dianggap pusat dunia dikonstruksi oleh aktor-aktor sebagai kekerasan
simbolik (symbolic power) yang terus-menerus direproduksi, agar aktor
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
302 ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1
dapat memperkokoh keuntungan politik maupun ekonofni. Ini akan
menjadi akumulasi modal, modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.
Dalam konteks politik lokal, agama sering dijadikan alat legitemasi
dan justifikasi oleh sebagian elite untuk kepentingan politiknya. Hal ini
tentu saja berdampak pada distorsinya fungsi agama yang mestinya
sebagai alat praktik sosial bergeser menjadi residu yang dapat merusak
harmoni masyarakat. Substansi nilai agama lebih penting daripada
simbolisasi yang dibungkus agama, tetapi praktik bertentangan dengan
agama, ideologi yang berbasis agama sifatnya sangat hegemonik.
Politik identitas kontemporer Bayan bertumbpu pada tiga kekuatan
yaitu agama, etnis, dan adat (budaya). Poiitik identitas ini menjadi babak
baru dalam kebangkitan Bayan dalam mempersatukan dan
mengkonstruksi harapan dan keinginan masyarakat Bayan. Sosok Raden
Sugeri berhasil mempersatukan dan mengkonstruksi harapan dan
keinginan masyarakat Bayan untuk merebut kekuasaan politik, khususnya
DPRD. Berdasarkan peristiwa politik terpilihnya warga Bayan menjadi
anggota DPRD, di mana warga Bayan berangkat dari keterpurukan
menunjukkan adanya faktor penyebab yang signifikan yaitu di masa lalu
terjadi peminggiran dan marginalisasi yang masih dialami oleh warga
Bayan.
Pada mulanya politik (praktis) tidak banyak diminati oleh warga
Bayan. Mereka melakukan aktivitas sehari-hari dan kegiatan meneruskan
petuah-petuah leluhur dalam mempertahankan adat istiadat dan
budayanya. Adanya aktifitas-aktifitas yang mempengaruhi masyarakat
seperti penyuluhan agama dianggap sebagai suatu hal yang tidak banyak
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan masyarakat. Sehingga
masuknya beberapa partai politik yang berasal dari luar dianggap sebagai
suatu hal yang kurang menguntungkan. Pada realitanya ketika terjadi
pencalegan, justru tidak banyak mendapat dukungan.
Demokrasi langsung yang berupa pemilihan langsung di Indonesia
merupakan terobosan yang luar biasa dalam menunjukkan kesungguhan
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 303
demokrasi pada setiap segmen kehidupan. Hal ini menunjukkan pada
masyarakat Bayan yang selama ini tidak pernah tampil secara bermakna
dalam pentas perpolitikan di daerahnya. Maka dengan pemilihan langsung,
tokoh politik Bayan sekarang ada yang duduk dalam DPRD Kabupaten
Lombok Utara. Mereka dapat tampil sebagai kekuatan baru dalam peta
perpolitikan di daerah seperti umumnya di daerah suku / etnis lainnya.
Demokrasi merupakan pengaturan kelembagaan untuk mencapai
keputusan politik, tempat individu-individu melalui perjuangannya
memperebutkan suara rakyat pemilih memperoleh kekuasaan.
Memungkinkan kompetisi yang fair untuk memperebutkan jabatan DRPD
dengan jabatan lain di pemerintahan. Dalam hal ini terpilihnya Raden
Sugeri, mantan Kepala Desa Bayan sebagai anggota DPRD Lombok
Utara, secara terang menunjukkan adanya politik identitas.
Sejak kemenangan Raden Sugeri sebagai anggota DRPD Lombok
Utara, ini menunjukkan rangkaian munculnya kekuatan Bayan dalam
perpolitikan di Lombok Utara. Sejak era reformasi bergulir 1998, orang
Bayan dapat mempersatukan anggota-anggotanya untuk mencapai puncak
dalam pemilihan anggota DRPD.
Sejak lama, bahkan sejak zaman kerajaan, masyarakat Bayan
hilang dan konstelasi politik di Lombok terutama sejak Majapahit ekspansi
1357. Di berbagai era kepemimpinan orang Sasak, orang Bayan tidak
dianggap sebagai orang Sasak kebanyakan, seakan-akan tidak memiliki
hak yang sama. Pada masa orde baru di mana berbagai program
pembangunan sangat gencar dilaksanakan, orang Bayan yang umumnya
berada di pedalaman, sebagaimana kelompok pedalaman yang lain belum
tersentuh oleh program-program pembangunan yang ada. Program dan
kebijakan pembangunan cenderung dilakukan di wilayah perkotaan. Maka
secara otomatis lebih banyak dinikmati oleh orang-orang perkotaan,
sedangkan di wilayah pedalaman seperti Bayan kehidupan ekonomi yang
masih tertinggal jauh, sulit mengalami kemajuan. Bahkan masyarakat
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
304 ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1
Bayan sendiri tampak tertinggal dengan masyarakat lainnya. Keberadaan
mereka tak lebih sebagai penonton dan bukan aktor pembangunan.
Demikian pula tidak ada tokoh penting yang berasal dari Bayan,
baik seorang pengusaha merupakan tokoh masyarakat, begitu pula dalam
pos-pos pemerintahan lainnya, Dalam bidang akademis, representasi
mahasiswa dan pengajar sangat kecil dibandingkan Sasak lainnya.
Kenyataan selama berpulah-puiuhan tahun lamanya kelompok masyarakat
Bayan justru termarjinal di berbagai arena.
Pada masa orde baru, pemerintahan dan tokoh-tokoh Islam waktu
lima melarang kegiatan Islam Wetu Telu. Setelah reformasi, ritual-ritual
itu kembali meningkat. Kegiatan ritual tetap dilakukan di tempat-tempat
yang dianggap keramat seperti di kuburan, pedewak dan kemaliq.
Demikian juga mengaturkan sesajen di makam. Kepercayaan terhadap roh
leluhur yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu di masyarakat tetap
dipertahankan. Perlawanan masyarakat Bayan menunjukkan identitas
dengan menjunjung nilai-nilai lokal atau kearifan lokai sebagai penanda
identitas yang selalu mengacu pada suatu pendekatan yang berbasis nilai-
nilai lokal Wisdom, di mana suatu penanda identitas bagi kelangsungan
hidup sebuah kelompok identitas maupun aliran kepereayaan (Abdullah,
2008:8). Perlawanan dengan identitas untuk mengkritisi pemerintah
karena pemerintah sering memperdebatkan nilai-nilai lokal masyarakat
Bayan Wetu Telu, yang dengan kepentingan-kepentingan tertentu
termasuk dengan berbagai pihak pengambil kebijakan, sehingga rentan
dengan kepentingan politik pihak-pihak tertentu, yang akhirnya fungsi
kearifan lokal tidak lagi sebagai perekat damai. Hal senada juga dikatakan
oleh Haba (2007:11), bahwa kearifan lokal merupakan bagian dari
konstruksi budaya. Menurut Haba salah satu signifikasi dan fungsi
kearifan lokal adalah sebuah penanda komunitas.
Islam Wetu Telu Bayan sangat menonjolkan adat sebagai identitas
kolektif seperti yang dikatakan oleh Haba. Menurut beberapa tokoh
masyarakat Bayan antara adat dan agama tidak bisa dipisahkan satu sama
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 305
lain. Dengan tidak memiliki adat akan tidak memiliki aturan, sehingga
agama pun tidak bisa dipisahkan dengan adat. Dengan demikian, bilamana
masyarakat yang melanggar adat selalu diberikan sanksi-sanksi sosial
sesuai dengan kesepakatan adat yang berlaku. Bagi masyarakat Bayan,
kewajiban yang harus dijalankan oleh masyarakat adalah berperilaku dan
bermoral yang baik, berpikir yang suci serta taat kepada ajaran leluhur dan
menghargai orang lain (FGD).
Politik identitas yang lain adalah perjuangan pelestarian warisan
budaya adat Bayan, sehingga merangsang dan mendorong masyarakat
menggali, menemukan, dan mempertahankan warisan leluhur. Gerakan ini
juga bagian dari gerakan perlawanan Dewi Anjani. Gerakan Dewi Anjani
yaitu gerakan yang dibentuk dengan tujuan untuk mempertahankan
kepercayaan, certa adat istiadat dan budaya yang diturunkan dari nenek
moyang mereka untuk meningkatkan integritas antara penganut Wetu
Telu. Gerakan ini sesungguhnya merupakan gerakan counter hegemoni
atau perlawanan suku Sasak Bayan dari pengaruh pihak luar yang seolah-
olah menurut mereka akan memangkas serta menghilangkan adat istiadat
Wetu Telu. Terkait dengan adanya pariwisata mernerlukan sejumlah
budaya yang unik dan orisinil, maka budaya Bayan perlu mendapat ruang
(space) bagi masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Spillane (1999:138),
serta menemukan berbudaya Indonesia, kebudayaan asli. Dalam hal ini
kebudayaan Bayan tidak ada duanya di dunia.
Ekspresi lainnya adalah identitas pakaian adat. Kebetulan budaya
adat Bayan telah ditetapkan sebagai pakaian adat daerah Nusa Tenggara
Barat. Bahkan pada tanggal 18 Agustus 2009 pakaian adat Bayan ikut
ambil bagian dalam perlombaan adat Nusantara di Jakarta. Meskipun tidak
semua wakil dari NTB adalah utusan dari Bayan, tetapi identitas Bayan
sudah mulai tampil dalam skala nasional. Karena kebanggaan terhadap
pakaian adat Bayan sekarang tiap warga Bayan yang diundang dalam
berbagai kegiatan formal maupun informal selalu menggunakan pakaian
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
306 ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1
adatnya. Pakaian adat Bayan mencerminkan jati diri dan harga diri sebagai
masyarakat yang berbudaya.
Selanjutnya pendekatan ekonomi pariwisata bagi masyarakat
Bayan mulai dilakukan seperti yang terjadi di Kalimantan Timur yang
dikemukakan oleh Maunati (2004:231). Menurut Maunati, Kebudayaan
Dayak mulai "dijual" sebagai daya tarik pariwisata untuk meningkatkan
kesejahteraan. Masyarakat Bayan sudah lama menggalakkan pariwisata,
bahkan sekarang mendirikan kantor informasi pariwisata di Desa Bayan.
Masjid kuno Bayan Beleq banyak didatangi wisatawan, apalagi pada saat-
saat upacara besar seperti Maulud Nabi, wisatawan tumpah ruah di Desa
Bayan. Kain tenun khas Bayan sudah mulai merambah pasar modern.
Demikian juga obyek-obyek wisata mulai dikunjungi seperti makam,
hutan adat, sudah mengalami komodifikasi.
Kepariwisataan telah menyebabkan menguatnya ke-Bayanan baru
dan bangkitnya kembali kebudayaan tradisi Bayan. Pembentukan dan
manipulasi identitas ini (identitas proyek) merupakan tindakan yang
kompleks dan bagian dari tindakan politik. Sementara sejak zaman
kerajaan. jaman kolonial, orde baru, label sebagai daerah terbelakang
menjadikan Bayan semakin terpinggirkan selama ratusan tahun.
Masyarakat Bayan memerlukan peningkatan terhadap
pemberdayaan mereka secara politik agar mereka memiliki kemampuan
untuk merekonstruksi ulang budayanya sendiri dan lembaga adat
memperoleh pengakuan. Sudah banyak tanah adat diambil paksa oleh
pemerintah untuk kepentingan ekonomi dan yang lain, identitas mereka
dimanipulasi.
Mempertahankan identitas juga bagian dari semangat masyarakat
lokal dalam aras multikulturalisme mempertahankan identitas sangat
penting, mengingat jika mereka kehilangan identitas, berarti mereka akan
mati secara sosio kultural. Kondisi ini akan menimbulkan frustasi sosial
yang akut, sehingga setiap etnik, dimana pun mereka berada mereka selalu
menumbuh kembangkan identitasnya (Suseno, 2000 : 6).
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 307
Dalam prinsip multikultur (Watson, 2000 ; 110) mengatakan
bahwa semua manusia seharusnya dapat menerima perbedaan dan
kesetaraan. Prinsip dasar multikultur yaitu cultural liberty yaitu dalam.
kebebasan manusia dalam hidup untuk memilih pilihan-pilihan yang
dimiliki. Selanjutnya multikultur merupakan cermin lokalitas masyarakat
yang memiliki keragaman budaya. Multikultur mengakui keragaman
budaya (pluralisme budaya). Pluralisme budaya bukan suatu yang "given"
tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai komunitas.
Multikultur merupakan keniscayaan sekaligus menjadi model kemajuan
bangsa, ia haras menjadi bagian penting dari wawasan pembangunan.
Pembangunan kebangsaan yang mendasarkan pada suatu pendekatan
Kalau menyimak perjuangan atau perjalanan sejarah penuh dengan
gejolak-gejolak menyebabkan masyarakat Bayan tertutup. Sejarah Bayan
adalah sejarah perlawanan dari Majapahit, Bali, Islam, bahkan Sasak.
Mereka mempunyai ciri khas tersendiri dan mempunyai system bahasa
sendiri yang berbeda dengan masyarakat Sasak. Dalam kerangka dinamika
budaya menghadapi keterpinggiran dan hegemoni, masyarakat Bayan
mengadakan perlawanan dengan komodiflkasi, pariwisata, dan kekuatan
politik.
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya
Denpasar, 27-28 Mei 2016
308 ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1
3. TINJAUAN AKHIR
Islam waktu telu, kemudian berubah menjadi Metu Telu adalah Islam yang
kental dengan pengaruh tradisi lokal, identik dengan Islam abangan yang dikenal
pada masyarakat Jawa menurut teriminologi Cliffard Geertz (Geertz, 1984). Islam
waktu telu merupakan strategi kontra hegomoni untuk mempertahankan diri dari
berbagai pengaruh luar, dengan berlindung pada kekuatan adat. Agam Islam yang
dianut adalah agama Islam yang dipraktekkan meskipun tidak sesuai dengan konsep
puritahisme dalam Islam.
Tradisi Metu Telu adalah sejenis konsep trinitas dalam tradisi beberapa
agama yang ada. Metu telu menurut para tokoh Bayan sekarang selalu dihubungkan
dengan makhluk hidup yang mengalami perkembangan dalam kehidupan berupa
tiga model reproduksi.
Tiga model tersebut adalah menitik yaitu berkembang melalui tunas, biji,
benih induk tambah. Menteluk atau bertelur untuk binatang dan jenis unggas
(baling), yang ketiga menganak (melalurkan) induk manusia dan binatang
menyusui.
Sejarah keberadaan masyarakat Bayann sesungguhnya merupakan
perjuangan untuk menegakkan identitas. Sebagai kelompok inmaritas mereka
dituntut mampu berintegrasi. Mereka berjuang gempuran kegiatan pulitansial
agama kelompok mainstream waktu telu.
Prosiding
Seminar Nasional Sastra dan Budaya Denpasar, 27-28 Mei 2016
ISBN 978 - 602 - 294 - 107 – 1 309
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Adonis, Tito. 1989. Suku Terasing di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara
Barat. Jakarta : Depdikbud.
Babad Lombok. Puri Karangasem (Bali)
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak : Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta :
L.Kis.
Budiwanti, Erni. 2005. "Islam dalam Konteks Budaya Lokal : Studi Kasus di Bayan,
Lombok Barat". Masyarakat Indonesia, No. 2. Jakarta : Lipi.
Buchari. Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta :
Yayasan Obor. Sfr The^§pglH3f The Aii(^Mia^a.a^BBPEQweg
Cika, I Wayan. 2012. Ritual Maulid Adat Masyarakat Bayan, Lombok Utara, NTB.
Laporan Penelitian Denpasar : BPNP - Unud.
Eerde, J.C. Van 1901. "Aanteekeningen Over de Bodha's Van Lombok" dalam TBG,
43.
Eriksen, Thomas Hyland. 1993. Ethnicity and Nationalism Anthropological
Perspectives. London : Pluto Press.
Graaf, H.J. de 1941. "Lombok in de 17c eeuw", dalam Djawa, 21, 6.
Haba, John. 2007. Refitalisasi Kearifan Lokal : Studi Resolusi Konflik di
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta.
Lukman, H. Lalu. 2004. Sejarah, Masyarakat, Budaya Lombok. Mataram : Propinsi
NTB. Maunati, Y, 2004. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS.
Parimartha, I Gde. 1995. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815 - 1915.
Disertasi Universitas Amsterdam, belum diterbitkan.
Sidemen, Ida Bagus. 2010. Dari Wilatikta ke Swecapura : Perjalanan. Seorang
Aktor Religius. Deupasar: Tunas Jaya.
Suseno, Magnis. 2000. Kuasa Hukum dan Moral. Jakarta : Gramedia.
Spillane, James. J. 1999. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya.
Yogyakarta : Kamisius.
Utrecht, E. 1962. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Djakarta :
Sumur Bandung.
Van Baal J. 1976. Pesta Alip di Bayan, Jakarta ; Bhratara.
Watson, Conrad William. 2000. Mulciculturalism Open. Buchingham University
Press.
Wirata, I Wayan. 2009. Hegemoni dan Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di
Kecamatan Bayan Lombok Utara. Disertasi yang Belum diterbitkan,
Unud.