MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

12
KONTRIBUSI KOMUNITAS ARAB DI JAKARTA ABAD 19 DAN AWAL ABAD 20 MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di Jakarta 09 Juni 2012) Oleh Budi Sulistiono Di Indonesia orang Arab dikaitkan dengan penyebaran Islam, seperti yang dikatakan Hamka (1961) bahwa orang Arab adalah pelopor Islam, mereka telah datang ke negeri- negeri Melayu pada abad ke VII M, atau tahun pertama Islam. Dengan demikian, sejarah masuknya Islam ke Indonesia terutama sejarah perkembangannya tidak terlepas dari sejarah masuknya perantau Arab di Indonesia. Data ini sekaligus memperkuat dugaan bahwa Islam masuk ke Indonesia ini bukanlah diorganisir oleh suatu Negara atau badan yang resmi dari suatu Negara. Masuknya Islam secara sukarela dibawa oleh padagang-pedagang yang mula-mula datang membeli rempah-rempah yang diperlukan dan akan dijual. 1 Penghidupan mereka sebagai pedagang yang membawa barang-barang dari Arab dan pulangnya membawa rempah-rempah. Orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari Hadramaut, dan sebagian lagi ada yang berasal dari Maskat, tepian Teluk Persia, Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika. 2 Mereka menjadi pedagang perantara, pedagang kecil, pemilik toko, menembus pasar dan menyediakan barang dan jasa yang tidak dilakukan pendatang dari Eropah, juga melakukan kegiatan meminjamkan uang. 3 1 Noerman, Moehammad, 1971, Sejarah Kebudayaan, Bukittinggi : Pustaka Saadiyah 2 Hussen Abdullah Badjerei. Al-Irsyad,( Jakarta : PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, 1987) 3 Affandi Bisri, 1999, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharuan & Pemurnian Islam di Indonesia, Jakarta :alKautsar

Transcript of MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

Page 1: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

KONTRIBUSI KOMUNITAS ARAB DI JAKARTA ABAD 19 DAN AWAL ABAD 20

MASEHI

(Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di Jakarta 09 Juni 2012)

Oleh Budi Sulistiono

Di Indonesia orang Arab dikaitkan dengan penyebaran Islam, seperti yang dikatakan

Hamka (1961) bahwa orang Arab adalah pelopor Islam, mereka telah datang ke negeri-

negeri Melayu pada abad ke VII M, atau tahun pertama Islam. Dengan demikian,

sejarah masuknya Islam ke Indonesia terutama sejarah perkembangannya tidak terlepas

dari sejarah masuknya perantau Arab di Indonesia. Data ini sekaligus memperkuat

dugaan bahwa Islam masuk ke Indonesia ini bukanlah diorganisir oleh suatu Negara

atau badan yang resmi dari suatu Negara. Masuknya Islam secara sukarela dibawa oleh

padagang-pedagang yang mula-mula datang membeli rempah-rempah yang

diperlukan dan akan dijual.1 Penghidupan mereka sebagai pedagang yang membawa

barang-barang dari Arab dan pulangnya membawa rempah-rempah.

Orang-orang Arab yang bermukim di Nusantara sebagian besar berasal dari

Hadramaut, dan sebagian lagi ada yang berasal dari Maskat, tepian Teluk Persia,

Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika.2 Mereka menjadi pedagang

perantara, pedagang kecil, pemilik toko, menembus pasar dan menyediakan barang

dan jasa yang tidak dilakukan pendatang dari Eropah, juga melakukan kegiatan

meminjamkan uang.3

1 Noerman, Moehammad, 1971, Sejarah Kebudayaan, Bukittinggi : Pustaka Saadiyah

2 Hussen Abdullah Badjerei. Al-Irsyad,( Jakarta : PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, 1987)

3 Affandi Bisri, 1999, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharuan & Pemurnian Islam di

Indonesia, Jakarta :alKautsar

Page 2: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

Para perantau Arab mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun

terakhir abad ke-18, tetapi mereka mulai banyak menetap di pulau Jawa setelah tahun

1820.4 Menurut statistik tahun 1858 tercatat jumlah penduduk keturunan Arab yang

menetap di Indonesia sebanyak 1.662 atau sekitar 30% dari jumlah masyarakat Arab

yang merantau pada tahun itu.

Para perantau Arab sudah bermukim di kota-kota Maritim Indonesia sejak tahun-tahun

permulaan abad 19. Umumnya mereka adalah para pedagang. Biasanya para pedagang

Muslim menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menjual barang dagangannya

sampai habis agar bisa membeli barang dagangan setempat dan membawanya kembali

ke negerinya masing-masing. Selain itu juga pelayaran yang mereka lakukan untuk

kembali ke negeri asal tergantung pada musim. Jarak antara Indonesia dan Jazirah Arab

memakan waktu yang lama dan amat ditentukan oleh cuaca. Mereka merantau ke

Indonesia tanpa membawa istri-istrinya dan seluruhnya terdiri dari laki-laki, tua-muda

dan anak-anak. Biasanya mereka menetap berkelompok di perkampungan di dekat

pelabuhan kota. Kemudian hubungan antar kelompok pedagang muslim dengan

masyarakat pribumi terwujudlah secara bertahap. Kondisi yang sedemikian

menyebabkan pedagang Arab tersebut mengadakan jalinan kekeluargaan melalui

pernikahan dengan penduduk pribumi, beranak-pinak dan tidak kembali lagi ke negeri

asal mereka.5 Bilamana ada yang kembali ke negerinya, mereka hanya sekedar

menjenguk keluarga mereka. Data ini menunjukkan hubungan sosial antara orang-

orang Arab dengan penduduk setempat nampak sekali dalam hubungan perkawinan

penduduk pribumi terutama golongan bangsawan dan pedagang besar akan sangat

bangga bila dapat mengambil menantu atau ipar dari kalangan Arab terutama dari

4 L.W.C. van den Berg. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. (Jakarta : INIS, 1986)

5 Hussein Abdullah Badjerei. Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, (Jakarta : Presto Prima Utama,

1996)

Page 3: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

kalangan Sayid.6 Dari hubungan perkawinan ini banyak di antara orang-orang Arab

yang kemudian diangkat menjadi penguasa daerah seperti Pontianak, Demak, Cirebon

dan Mataram. Realitas ini membuktikan bahwa mereka tidak hanya berperan sebagai

pedagang, tapi mayoritasnya justru melakukan aktifitas sebagai ulama dan juru

dakwah.

Aktifitas sebagai ulama dan juru dakwah dapat diambil contoh dari strategi

yang pernah dilakukan oleh Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus terlebih dahulu

membangun masjid, dan kini lebih dikenal dengan nama masjid Luar Batang. Masjid

Luar Batang yang awalnya berupa bangunan mushalla, didirikan sekitar abad ke XVIII

di Kota Tua Jakarta, tepatnya daerah Pasar Ikan hingga sekarang di Kelurahan

Pejaringan, Jakarta-Utara. Persisnya di Jl. Luar Batang V No. 1, Rt. 004/Rw. 003, Jakarta

14440. Langkah mendirikan bangunan Masjid memang memiliki peran yang strategis,

antara lain tempat kaum Muslimin: beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah

SWT, beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran

dan mendapatkan pengalaman keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan

jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian, tempat bermusyawarah kaum Muslimin

guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat, tempat

berkonsultasi, mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan,

tempat membina keutuhan ikatan jama’ah dan kegotong royongan di dalam

mewujudkan kesejahteraan bersama, tempat pembinaan dan pengembangan kader-

kader pimpinan umat, tempat pengaturan dan kegiatan social. Jalur akulturasi lainnya

ialah melaui ritual-ritual keagamaan yang diadakan di lingkungan masyarakat Betawi

dengan mempertemukan masyarakat pribumi sekitar dengan keturunan Arab. Seperti

dalam pelaksanaan shalat Jum’at dimana pada momen ini terjadi pembauran yang

cukup intensif oleh kedua masyarakat tersebut.

6 L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab Di Nusantara, (Jakarta : INIS, 1987)

Page 4: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

Jasa ulama Arab Hadramaut telah memainkan peranan penting dalam proses

dan perkembangan Islam di kalangan masyarakat Betawi, ditandai tersebarnya majlis-

majlis taklim mereka yang telah diikuti oleh masyarakat pribumi (Betawi). Jasa yang

lain dengan adanya orang Arab Hadramaut yang menetap di Batavia telah berasimilasi

dan berakulturasi dengan budaya masyarakat setempat sehingga melahirkan

kebudayaan Betawi yang bernafaskan Islami seperti kesenian musik gambus, dimana

dalam setiap acara perkawinan ditampilkan untuk meriahkan acara tersebut. Di saat

sekarang, gambus melahirkan sebuah seni musik yang disebut Marawis karena

komponen alat musiknya terdiri dari gendang-gendang kecil (Marwas) yang dipakai

dalam seni musik gambus. Seni rebana, dan tari Zapin tidak ketinggalan hadir di

tengah masyarakat Betawi.

Budaya Hadramaut lainnya yang biasa digunakan khususnya pada acara ritual

keagamaan yaitu pemakaian gamis (qamis) berupa jubah panjang berwarna putih

dengan (iqal) igal yang juga berwarna putih diikatkan di kepala. Penggunaan bahasa

pasaran (suqiyah) Arab dan terlepas dari gramatika bahasa Arab. Terkadang bahasa

Indonesia dalam percakapannya disisipi bahasa Arab, seperti “Ente (kamu) mau

dibikinin gahwah (qohwah) kopi”, kemudian kata “harim” untuk ditujukan kepada wanita

baik yang sudah menjadi istri atau belum, kata “syahi” yang berarti teh menjadi bahasa

percakapan keseharian mereka dan dipadu dengan bahasa Indonesia.

Realitas tersebut sebagai wujud interaksi yang terjadi antara komunitas Arab

dan masyarakat Betawi sangat cair dan harmonis. Suasana harmonis juga dapat

ditunjukkan, antara lain dalam tradisi haul. Haul dalam pembahasan ini diartikan

dengan makna setahun. Jadi peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang

diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh

masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan. Peringatan

Page 5: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang jasa dan hasil

perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama

Allah, seperti peringatan haul wali songo, para habaib dan ulama besar lainnya, untuk

dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus. Hingga sekarang, ulama-ulama Arab

Hadramaut ini sangat dihormati. Ada kemungkinan para ulama tersebut diterima

dengan baik, mempunyai beberapa penyebab mengapa mereka dapat diterima dengan

baik oleh masyarakat Nusantara, khususnya Jakarta. Penyebabnya sebagai berikut:

Pertama, karena keilmuan dan pengetahuan mereka tentang Islam yang haqiqi, dan

peranan ulama di sini sangat penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di

Jakarta. Kedua, karena masyarakat Betawi menganggap Islam yang murni lantaran

mereka berasal dari negeri kelahiran Islam yaitu Timur Tengah (Arab) dan masyarakat

banyak mengatakan mereka lebih menguasai ilmu-ilmu agama dan lebih mengenal

Islam. Walaupun lama-kelamaan masyarakat sendiri mulai menyadari bahwa tidak

semua orang Arab Hadramaut menguasai ilmu agama dan memahami Islam. Bahkan

mereka menyadari tidak hanya orang Arab Hadramaut yang hanya mampu menguasai

ilmu-ilmu agama dan memahami Islam. Walaupun demikian, orang Arab Hadramaut

(yang biasa dikenal dengan sebutan Sayyid atau Habaib) tetap menempati status sosial

yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Jakarta yang telah menguasai ilmu-

ilmu agama. Ketiga, ada anggapan bahwa para habaib mempunyai nasab langsung

kepada Nabi Muhammad SAW dari cucunya Husein. Penghormatan masyarakat

Betawi terhadap tokoh tidak sebatas acara haul, melainkan di rumah-rumah mereka,

banyak foto yang terpasang foto para habaib dan para ulamanya. Pola interaksi inilah

yang menjadi warisan berharga untuk para penerusnya

Komunitas Arab di Batavia yang cukup lama terdapat di tiga tempat, dari arah

Utara ke Selatan, yaitu Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang. Dalam bentangan

sejarahnya, dinamika komunitas Arab bermukim di sejumlah tempat, misalnya

Page 6: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

Kwitang, Condet dan sebagainya. Ulama Hadramaut yang mempunyai pengaruh di

Batavia, antara lain Habib Husein bin Abi Bakr bin Abdullah al-Aydrus (w. 1756), di

Luar Batang Jakarta Utara. Habib Abdurrahman bin Abu Bakar al-Habsyi berasal dari

Hadramaut dan menetap di Batavia selama dua puluh empat tahun (1828-1853). Habib

Muhammad Jabarti (w. 1855), Salim bin Abdullah bin Somair (w. 1854) yang telah

menghasilkan sebuah karya popular di kalangan Muslim Betawi dan daerah lainnya

dengan tema Safinah an-Najah, dan seorang ulama yang cukup disegani di kalangan

ulama Nusantara serta Pemerintah Hindia Belanda ialah Sayyid Utsman bin Abdullah

bin Aqil bin Yahya al-Alawy. Melalui keteladanan mereka, kian memberikan dorongan

dan inspirasi bagi para generasi selanjutnya hingga menjadi Ulama. Di lingkungan

masyarakat Betawi, lahir ulama handal seperti KH Abdullah Syafi`i, KH Tohir Rohili,

KH Fathullah Harun, KH Hasbialloh, KH Ahmad Zayadi Muhajir, KH Achmad

Mursyidi, Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, mu`allim KH M Syafi`i

Hadzami, dan mu`allim Rasyid berguru kepada habaib terkemuka di Jakarta, yaitu

kepada Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi (dikenal dengan nama Habib Ali

Kwitang) dan kepada Habib Ali Bin Husien Al-Attas (dikenal dengan nama Habib Ali

Bungur).

Dakwah Islam Berkelanjutan

Sejak kedatangan orang Arab ke Indonesia, mereka dapat diterima dengan baik

oleh penduduk setempat dan menjadi mitra kerja dalam berbagai bidang seperti

ekonomi, sosial dan politik. Hubungan tersebut pada akhirnya menciptakan proses

dakwah islamiyah berkelanjutan menuju integrasi. Persamaan agama yaitu agama

Islam dapat mempercepat proses integrasi. Suasana integrasi teruji sangat solid dalam

menghadapi sejumlah tantangan dari masa ke masa.

Bentangan abad ke-19 Masehi ditandai banyak peristiwa, antara lain : 1808-1811

Marsekal Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Batavia, pada

Page 7: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

masanya sejarah mencatat bahwa Daendels memerintah dengan menjalankan prinsip-

prinsip pembaharuan dengan metode-metode kediktatoran ke Jawa. 26 Agustus Perang

Jawa Britania-Belanda dimulai. Britania di bawah Lord Minto merebut Batavia.

Belanda, yang menderita kekalahan yang hebat, mengundurkan diri ke Semarang.

Jansen mundur ke daerah Semarang. 18 September Pemerintahan Belanda dibawah

Jansen menyerah kepada Britania di Salatiga. Thomas Stamford Raffles, sebagai wakil

kerajaan Britania, diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Jawa (1811), berusaha

menunjukkan perhatiannya terhadap kesejahteraan penduduk asli sebagai tanggung

jawab pemerintah. Selain itu tindakan kebijaksanaan Raffles yang terkenal di Indonesia

adalah memasukkan sistem landrente (pajak tanah) yang selanjutnya meletakkan dasar

bagi perkembangan perekonomian, Raffles juga mengenalkan sistem uang dan

penekanan desa sebagai pusat administrasi. Memasuki tahun 1821-1840 ditandai

Perang Padri (1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Tanam paksa (1828-1825).

Memasuki tahun 1841-1860, bergolak Perang Bali, hingga munculnya tokoh Max

Havelaar (1860). Perang Aceh (1873-1910), Perang Batak, UU Agraria muncul dalam

bentangan tahun 1861-1880. Kerancuan suasana sebagai akibat dari parilaku dan

tindakan Belanda penjajah di Indonesia tersebut semakin runyam hingga tahun-tahun

berikutnya.

Memang, pada tahun 1901 Belanda penjajah menerapkan apa yang mereka sebut

Kebijakan Etis, dimana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk memajukan

kesejahteraan rakyat Indonesia di bidang kesehatan dan pendidikan. Kebijakan baru

lainnya termasuk program irigasi, transmigrasi, komunikasi, mitigasi banjir,

industrialisasi, dan perlindungan industri asli. Meskipun lebih progresif dari kebijakan

sebelumnya, kebijakan kemanusiaan akhirnya tidak memadai. Sementara elit kecil dari

Indonesia sekunder dan tersier berpendidikan dikembangkan, mayoritas rakyat

Page 8: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

Indonesia masih buta huruf. Sekolah Dasar didirikan dan resmi terbuka untuk semua,

tetapi pada 1930, hanya 8% anak usia sekolah mendapat pendidikan.

Namun, apa mau dikata tentang Kebijakan Etis tersebut, menurut Mr Hamid

Algadri dalam bukunya Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda,

banyak kalangan Arab dan Muslim enggan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah

Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial7 itulah, seorang tokoh alim ulama, Habib

Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, berinisiatif mendirikan sebuah

perguruan Islam, Jamiat Kheir, tahun 1901.

Bukan hanya mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan

umum. Bersama Abubakar bin Ali Shahab, bergabung sejumlah pemuda Alawiyyin

yang mempunyai kesamaan tekad memajukan Islam di Indonesia dan sekaligus

melawan propaganda jahat Belanda yang anti-Islam. Mereka antara lain, Idrus bin

Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad

bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad alHabsyi, dan Syechan bin

Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama ini, Jamiat Kheir tumbuh pesat. Mereka lantas

memindahkan pusat organisasi ini dari Pekojan ke Jalan Karet (kini jalan KH Mas

Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat).

Organisasi Jami’at Khair, dalam buku Hussein Badjerei yang berjudul Al-Irsyad

Mengisi Sejarah dan Bangsa tercatat bahwa pengurus pertama dari Jami’at Khair ini

terdiri dari Said bin Ahmad Basandid sebagai Ketua; Muhammad bin Abdullah bin

Shihab sebagai Wakil Ketua; Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahman al-Mansyur

sebagai Sekretaris; dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai Bendahara. Setahun

7 Pada masa itu di Indonesia, paham Pan-Islamisme pun masuk, dan kaum Alawiyyin dituduh

sebagai pembawanya. Tidak mengherankan bila Belanda begitu benci kepada Islam dan orang-orang

keturunan Arab. Di bidang pendidikan, melalui sekolah-sekolah, citra buruk Arab digambarkan secara

kasar melalui buku-buku pelajaran sejarah.

Page 9: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

kemudian pengurus Jami’at Khair dirubah dan tersusun menjadi: Idrus bin Abdullah

al-Mansyur sebagai Ketua; Salim bin Awad Balwell sebagai Wakil Ketua; Muhammad

alFakhir bin Abdurrahman al-Mansyur sebagai Sekretaris; dan Idrus bin Ahmad bin

Shihab sebagai Bendahara.

Pentingnya keberadaan Jami’at Khair terletak pada kenyataan bahwa lembaga

inilah yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam

(disusun anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat berkala) dan

mendirikan suatu sekolah dengan cara yang modern. Organisasi ini mendapat

pengakuan secara hukum dari pemerintah Belanda pada 17 Juli 1905.

Kegiatan organisasi ini meluas dengan mendirikaan Panti Asuhan Piatu Daarul

Aitam. Di Tanah Abang, Jakarta Pusat bersama sejumlah Alawiyyin, Habib Abubakar

juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jalan Karet dan putri (banat) di Jalan

Kebon Melati (kini Jl Kebon Kacang Raya), serta cabang Jamiat Kheir di Tanah Tinggi,

Senen, Jakarta Pusat. Organisasi ini juga dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam.

Sebut misalnya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto

(pendiri Syarikat Islam), H Samanhudi (pendiri dan tokoh Syarekat Dagang Islam/SDI),

dan H Agus Salim. Beberapa tokoh perintis kemerdekaan juga merupakan anggota,

atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir. Data tersebut

membuktikan bahwa organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa perbedaan asal

usul, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Organisasi ini bergerak

dalam bidang keagamaan, sosial dan pendidikan.

Jam’iyah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah

Di tahun 1913, bersama beberapa tokoh Arab non-sayyid, Ahmad Surkati

mendirikan organisasi baru, Jam’iyah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah (Asosiasi Arab

Page 10: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

untuk perbaikan dan pembimbingan) yang lebih dikenal dengan nama Al-Irsyad.

Organisasi ini dengan cepat berkembang dan mendapat pengakuan pemerintah

Belanda pada 6 September 1914.

Pada awalnya Al-Irsyad memusatkan perhatian pada bidang pendidikan

terutama pada masyarakat Arab. Disamping itu juga memberikan perhatian pada

permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat keturunan Arab walaupun orang-

orang Indonesia Islam bukan Arab ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan

bekerja sama dengan organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah dan Persatuan

Islam. Organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatiannya kepada persoalan-

persoalan yang lebih luas yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia.8

Sejak didirikan oleh Ahmad Surkati, Al-Irsyad telah mengalami banyak

perkembangan dengan berbagai masalah yang dihadapinya baik secara intern maupun

ekstern. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Al-Irsyad yang hingga saat ini telah

memiliki 49 cabang di 20 provinsi yang tersebar di seluruh pelosok kota di Indonesia

seperti Jakarta, Cirebon, Semarang, Solo, Banyuwangi, Tegal, Pekalongan, Papua, dan

lain-lain.

Persatuan Arab Indonesia (PAI)

Golongan Alawi mendirikan ar-Rabitah al Alawiyah pada tahun 1928.

Organisasi ini tujuan utamanya mempererat persaudaraan sesama Alawi. Berbagai

usaha mendamaikan golongan ini selalu gagal. Perseteruan kedua belah pihak berakhir

setelah terbentuknya Persatuan Arab Indonesia (PAI) tahun 1934 yang diketuai oleh

Abdurrahman Baswedan, beliau lebih akrab dipanggail A.R. Baswedan.

8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES,

1995)

Page 11: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

Agenda utama PAI untuk memperbaiki keadaan dan kedudukan keturunan

Arab dan masyarakat Arab pada umumnya. Selain itu mempererat perhubungan

antara sesama keturunan Arab dan etnis lain sesama penduduk Indonesia.

Pada tahun 1940, melalui forum konggres akhirnya PAI mendjadi sebuah

organisasi yang bersifat politik, kata “Persatuan” menjadi “partai”. Tujuannya jelas

menyatakan bahwa PAI mendidik keturunan Arab supaya menjadi putera/I Indonesia

yang berbakti kepada Tanah Airnya dan masyarakatnya. Bekerja membantu segala

daya dan upaya “politik”ekonomi dan social menuju keselamatan rakyat dan tanah air

Indonesia.

Kehadiran sejumlah ormas Islam (Jamiat Khier, alIrsyad, PAI) yang dibintangi

oleh komunitas Arab tersebut di atas membuktikan bahwa di samping aktifitas

perdagangan dan dakwah Islam, tidak sedikit kaum imigran Hadhrami ini berhasil

memasuki kancah politik dan menduduki posisi penting. Kenyataan ini mempercepat

terjadinya assimilasi dan percepatan proses dakwah islamiyah di Indonesia.

Percepatan dakwah islamiyah ditandai dengan terwujudnya jaringan intelektual

Ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah (alHaramain). Jaringan tersebut

terbentuk berkat sejumlah ulama yang datang dari berbagai belahan dunia Islam,

termasuk di dalamnya para ulama dari dunia Melayu-Nusantara, tidak terkecuali

Jakarta yang membawa semacam "tradisi kecil Islam" dari wilayah asalnya, dan

kemudian berinteraksi dengan sejumlah tradisi kecil Islam lain, sehingga pada akhirnya

membentuk sebuah "tradisi besar Islam" yang sangat kosmopolit, dan kemudian

tersebar kembali ke berbagai wilayah melalui jaringan keulamaan yang terbangun.

Daftar Pustaka

Affandi Bisri, 1999, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharuan & Pemurnian Islam di

Indonesia, Jakarta :alKautsar.

Page 12: MASEHI (Disampaikan dalam Seminar Rabithah Alawiyah, di ...

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES,

1995), hlm.

Hamka, 1961, Sejarah Umat Islam, Bukit Tinggi-Jakarta: NV Nusantara.

Noerman, Moehammad, 1971, Sejarah Kebudayaan, Bukittinggi : Pustaka Saadiyah

Pijper, G.F., 1984, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia : 1900-1950,

Penterjemah : Tudjimah & Jessy Agustin, Jakarta : UI Press.

Santoso Budi, 2000, Peranan Keturunan Arab Pergerakan Nasional Indonesia, Jakarta :

Progres

Wallah alMuwafiq

Tebet, 03 Juni 2012