Masalah Regulasi

21
Masalah Regulasi 1. Penyerobotan Tanah Artikel 1: (Studi kasus tanah Bekas Tanah Kas Desa, Sidotopo)

Transcript of Masalah Regulasi

Page 1: Masalah Regulasi

Masalah Regulasi

1. Penyerobotan Tanah

Artikel 1: (Studi kasus tanah Bekas Tanah Kas Desa, Sidotopo)

Page 2: Masalah Regulasi

Regulasi:

UU No. 5 tahun 1960/ UUPA

Pasal 2

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat

hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Identifikasi masalah:

Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) di kawasan Sidotopo Wetan seluas

21.500 m2 beralih fungsi menjadi lahan hunian permanen bagi

masyarakat di sana. Sehingga bangunan-bangunan yang berdiri di

atas tanah itu adalah bangunan liar (bangli).

Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan (DPTB) memberikan

solusi bahwa akan mengeluarkan Izin Pemakaian Tanah (IPT)

dengan sistem sewa tanah (surat ijo) bagi warga penghuni BTKD.

Namun hal tersebut justru akan memunculkan permasalahan

negatif lainnya, seperti hilangnya aset tanah Pemkot lainnya, sebab

sudah terlalu lama Pemkot dan jajaran dinas terkait ‘memaafkan’

pendirian bangunan liar serta membiarkan kasus penyerobotan

tanah terjadi. Selain itu, sistem tanah surat ijo sesungguhnya tidak

ada dalam istilah regulasi tanah.

Seorang oknum bernama Bunaim diduga yang ‘memperdagangkan’

kaveling-kaveling tanah BTKD tersebut mengkaveling tanah

BTKD untuk dijual ke para warga padahal jelas tanah itu bukan

miliknya. Tindakan tersebut termasuk penyalahgunaan terhadap

pengakuan hak atas tanah yang sebenarnya merupakan tanah

BTKD.

Bangunan-bangunan liar yang berdiri di atas tanah BTKD

seharusnya dapat dibongkar jika Pemkot dan DPTB benar-benar

bersikap tegas. Sudah terlalu lama pemerintah membiarkan kasus

seperti ini terjadi, dan selama itu pula aset-aset tanah pemerintah

semakin banyak yang hilang oleh tindakan penyerobotan tanah

Page 3: Masalah Regulasi

seperti ini. Pemkot dan DPTB semestinya dapat mencegah

terjadinya kasus-kasus penyerobotan tanah dan berdirinya

bangunan liar serta menindak tegas kasus penyerobotan tanah dan

bangunan liar di Kota Surabaya.

Page 4: Masalah Regulasi

Artikel 2: (Studi kasus lahan Brandgang)

Regulasi:

Keppres no.55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Page 5: Masalah Regulasi

Pasal 5

Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan

Presiden ini dibatasi untuk :

1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki

Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam

bidang-bidang antara lain sebagai berikut :

a. Jalan umum, saluran pembuangan air;

b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran

irigasi;

c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;

d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal;

e. Peribadatan;

f. Pendidikan atau sekolahan;

g. Pasar Umum atau Pasar INPRES;

h. Fasilitas pemakaman umum;

i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti antara lain tanggul

penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;

j. Pos dan Telekomunikasi;

k. Sarana Olah Raga;

l. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;

m. Kantor Pemerintah;

n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;

Identifikasi Masalah:

Brandgang merupakan lorong yang sengaja dibuat pemerintah

Belanda saat mereka menguasai kota-kota besar di Indonesia.

Lorong yang biasanya memiliki lebar cukup untuk 1 mobil jenis

truk diesel ini sengaja dibuat sebagai fasilitas umum. Yang paling

banyak adalah untuk jalan mobil pemadam kebakaran saat si jago

merah mengamuk. Dalam perkembangan berikutnya, Brandgang

mengalami perluasan kriteria. Selain lorong untuk jalan mobil

pemadam kebakaran, Brandgang termasuk pula jalan inspeksi

drainase dan saluran pematusan itu sendiri.

Page 6: Masalah Regulasi

Pada artikel di atas, disebutkan bahwa banyak bangunan liar yang

berdiri di atas brandgang di Jl. Bogowonto, Kecamatan

Wonokromo, serta brandgang di sekitar Kecamatan Tegalsari.

Terdapat 200 bangunan liar di Kecamatan Tegalsari, sedangkan

63 bangunan liar di Jl. Bogowonto yang akan segera dibongkar

oleh satpol PP. Selain pada wilayah Wonokromo dan Tegalsari

ternyata terdapat 1.500 bangunan liar yang berdiri di atas

brandgang di 31 kecamatan di Surabaya.

Kurangnya pengawasan terhadap brandgang sehingga banyak

bangunan liar yang tumbuh, ini terbukti dengan adanya penghuni

yang memiliki KTP Surabaya yang telah 50 tahun tinggal di lahan

brandgang. Selain bangunan liar juga terdapat beberapa bangunan

mewah berdiri di atas brandgang yang dipakai untuk tempat usaha

juga akan dibongkar oleh satpol PP, seperti Toko Mirota, SPBU

Biliton, serta Rumah Makan Nur Pacific.

Sebagai lokasi yang memang dibangun dan disediakan oleh

pemerintah, Brandgang adalah aset negara yang dimanfaatkan

untuk kepentingan publik. Sayangnya, mayoritas Brandgang di

Surabaya kini tak lagi menjalankan fungsi asalnya. Banyak lorong

untuk kendaraan pemadam kebakaran “ditumbuhi“ bangunan.

Sebagian merupakan pemukiman warga ekonomi lemah, namun

lebih banyak lagi yang diambil alih bangunan besar. Brandgang

saluran banyak yang sudah didek beton, menjadi lahan parkir, dan

fungsi baru lainnya.

Page 7: Masalah Regulasi

2. Pembongkaran Bangunan Cagar Budaya

Artikel 1: (Studi kasus Eks Penjara Kalisosok)

Page 8: Masalah Regulasi

Regulasi :

Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Cagar Budaya

Pasal 81 (1)

Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya

dan/atau Kawasan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi,

atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya,

kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai

dengan tingkatannya

Pasal 110

Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota

mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar

Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp

100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah)

Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian

bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya Pasal 14

menyebutkan:

Konservasi bangunan cagar budaya Golongan A (Preservasi) dilaksanakan

dengan ketentuan sebagai berikut :

a) bangunan dilarang dibongkar dan/atau diubah

b) apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak

berdiri, dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali

seperti semula sesuai dengan aslinya

c) pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan

yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama dengan

mempertahankan detail ornamen aslinya ;

Page 9: Masalah Regulasi

d) dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian

perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah

bentuk aslinya ; dan

e) di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan

adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh

dengan bangunan utama.

Identifikasi masalah:

Sudah lama Penjara Kalisosok menjadi bangunan tua tak terurus

sejak ditinggalkan Departemen Kehakiman sekitar tahun 2010 lalu.

Pascaeksodus napi ke Lapas Porong, Kalisosok berpindah tangan

ke swasta. Kini, salah satu bagiannya menjadi tempat kos. Dalam

artikel di atas disebutkan bahwa eks penjara Kalisosok tersebut

akan dibongkar oleh pemiliknya, PT Fairco Jaya Dwipa.

Padahal Berdasarkan Perda No.5 Tahun 2005 tentang Pelestarian

Bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya dan SK Walikota

Surabaya bernomor 188.45/251/402.1.04/ 1996, eks Penjara

Kalisosok tergolong benda cagar budaya yang artinya tidak boleh

diubah atau dibongkar. 

PT Fairco Jaya Dwipa sudah  memiliki penjara Kalisosok sejak

lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada saat PT tersebut mengambil alih

Kalisosok belum ada keputusan penetapan Kalisosok sebagai cagar

budaya.

Berdasarkan catatan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jatim,

proses ruilslag Penjara Kalisosok mulai dilakukan sejak 1994.

Proses tersebut dilakukan bertahap hingga tahun 2000. 

Pengawasan bagian dalam bekas kompleks penjara pada masa

penjajahan Belanda itu memang sulit untuk dipantau. Sebab selama

ini pemerintah hanya bisa mengawasi bagian luar, lantaran

bangunan ini sudah milik swasta, setelah mengalami beberapa

ruislag.

Page 10: Masalah Regulasi

Bangunan eks Penjara yang pernah ditempati Proklamator

Soekarno itu masuk bangunan cagar budaya dalam kategori kelas

A. Di mana dalam kategori tersebut, semua bangunan yang

menjadi bagiannya tidak boleh berubah dan dilindungi oleh

undang-undang dan peraturan daerah.

Sesuai dengan peraturan yang ada bahwasanya Penjara kali sosok

merupakan penjara denag kategori A dan tidak boleh dibongkar,

namun karena kurangnya pengawasan dari pihak yang berwajib

menyebabkan penjara kali Sosok di bongkar oleh PT Fairco Jaya

Dwipa. Dan ini merupakan pelanggaran sesuai dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya pasal 81 (1) dan pasal 110. Sehingga pelanggar bisa

ditindak dengan tegas.

Page 11: Masalah Regulasi

Artikel 2: (Studi kasus Stasiun Semut)

Surabaya – SURYA - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengusut kasus pembongkaran Stasiun Semut Surabaya yang merupakan cagar budaya dan kasusnya sempat terkatung-katung sejak 2003. Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati, di Surabaya, Kamis, mengatakan usulan tersebut merupakan rekomendasi dari Komisi C DPRD Surabaya yang meminta tim cagar budaya dan disbudpar untuk mengusut tuntas pembongkaran cagar budaya di Stasiun Semut itu.

“Kami siap merespons apa yang telah direkomendasikan oleh Komisi C itu,” katanya. Dalam kasus itu, katanya, PT Senopati dan PT KAI telah melakukan pembongkaran bangunan cagar budaya itu tanpa ada pemberitahuan kepada Tim Cagar Budaya Surabaya.

Selain itu, Wiwiek berencana mempertanyakan kembali laporan Disbudpar Surabaya dan Tim Cagar Budaya Surabaya di Polwiltabes Surabaya terkait pembongkaran cagar budaya. Sejak laporan itu diserahkan pada Mei 2009 hingga sekarang belum ada tindak lanjut. “Kami akan mendorong kembali dan meminta polwil untuk membuka berkas kasus ini lagi,” katanya.

Wiwiek juga menyatakan kalau wali kota sendiri juga telah berkali-kali meminta kepada PT Senopati dan PT KAI untuk mengembalikan bangunan cagar budaya sebagaimana mestinya. Namun sayangnnya, permintaan pemkot ternyata tidak digubris, padahal sudah jelas bangunan di Stasiun Semut tersebut adalah cagar budaya.

“Wali kota sudah berkali-kali mendorong kami untuk bertindak karena pembongkaran ini tidak pernah meminta izin kepada kami,” katanya. Wiwiek juga mengatakan, kalau persoalan ini sebenarnya sudah cukup lama menjadi persoalan pemkot, namun setiap dilakukan mediasi selalu terjadi jalan buntu dan pemkot tidak pernah berputus asa.

Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Surabaya Sudirjo meminta Pemkot Surabaya untuk lebih tegas lagi dalam menyelesaikan persoalan ini, karena cagar budaya di Surabaya harus dilindungi dan itu sudah tercantum dalam undang-undang yang ada.”Kami minta bulan Februari mendatang, persoalan ini bisa segera dituntaskan,” kata Sudirjo.

Senada dengan itu, Ketua Komisi C DPRD Surabaya Sachiroel Alim Anwar mengatakan pihaknya dalam waktu dekat ini akan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait dalam persoalan itu.“Kami akan memanggil PT Senopati, PT KAI dan Polwiltabes Surabaya. Kita akan usut tuntas persoalan ini,” ujarnya.

***

Regulasi :

Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian

bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya Pasal 15

Konservasi bangunan cagar budaya Golongan B (Restorasi/rehabilitasi

atau rekonstruksi) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

Page 12: Masalah Regulasi

a. bangunan dilarang dibongkar kecuali apabila kondisi fisik bangunan

buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak, sehingga dapat dilakukan

pembongkaran ;

b. dalam hal bangunan cagar budaya sudah tidak utuh lagi maka apabila

dilakukan pembangunan harus sesuai dengan bentuk aslinya dan tidak

boleh membongkar bagian bangunan yang masih ada ;

c. pemeliharaan dan perawatan bangunan cagar budaya harus dilakukan

tanpa mengubah tampang bangunan, warna dan detail serta ornamen

bangunan ;

d. dalam upaya restorasi/rehabilitasi atau rekonstruksi dimungkinkan

adanya perubahan tata ruang bagian dalam, sepanjang tidak mengubah

struktur utama bangunan; dan

e. di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan

adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan

bangunan utama.

Identifikasi masalah:

Eks Stasiun Semut (Stasiun Surabaya Kota) telah berhenti

beroperasi sejak tahun 2000-an. Sejak saat itu, bangunan yang

tergolong bangunan cagar budaya ini kondisinya amat

memprihatinkan; tidak terawat hingga ditumbuhi bangunan-

bangunan liar.

Beberapa bagian bangunan stasiun tersebut telah dibongkar oleh

PT KAI dan PT Senopati, namun pembongkaran tersebut terjadi

tanpa pemberitahuan dan ijin kepada Tim Cagar Budaya Surabaya.

Rencananya, pada Agustus 2010 silam, kedua perusahaan tersebut

akan melakukan restorasi atau perbaikan terhadap Stasiun Semut,

namun hingga sekarang tindakan itu belum terlaksana.

Jika ditinjau dari regulasinya, bangunan cagar budaya tidak boleh

dibongkar, dikurangi, dirusak, dan dirubah bentuk aslinya. Harus

dilindungi dan dipertahankan keberadaannya karena merupakan

aset daerah di masa lampau dan masa kini. Sehingga kasus yang

Page 13: Masalah Regulasi

terjadi pada eks Stasiun Semut ini merupakan kasus

pembongkaran bangunan cagar budaya dan sudah seharusnya

menjadi perhatian serius oleh pemerintah Kota Surabaya dan

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

3. Pembongkaran Bangunan di Sepanjang Daerah Sempadan dan Bantaran Sungai

Artikel 1: (Studi kasus kawasan stren Kali Jagir)

Surabaya - Sebagian besar bangunan di Stren Kali Jagir Wonokromo

sudah dibongkar, namun ada beberapa bangunan rumah permanen masih

berdiri. Sisa bangunan ini sengaja dibiarkan dan tidak dibongkar, karena

pemilik bangunan berjanji akan membongkarnya sendiri.

Rata-rata bangunan di Jagir Sidosermo tersebut digunakan sebagai tempat

usaha. "Kemarin kita sudah meminta agar tidak dibongkar, karena akan

kita bongkar sendiri," kata salah satu pemilik usaha las, M Halil kepada

detiksurabaya.com di lokasi, Selasa (5/5/2009).

Hal senada juga dikatakan pemilik usaha besi pondasi bekas, Ahmad. Dia

mengaku saat penggusuran kemarin, dirinya sama sekal tidak siap

sehingga ribuan kubik besi cor belum bisa dikeluarkan.

Dari pantauan detiksurabaya.com, para pemilik bangunan tersebut tampak

sibuk membongkar genting, pondasi besi serta membongkar tembok.

Sementara pasca penggusuran, ribuan warga masih bertahan di sepanjang

Jalan Jagir Wonokromo. Meski Jalan Raya Jagir dari dua arah sudah

dibuka, namun sisa bangunan milik warga di pinggir jalan menjadikan arus

merambat.

***

Regulasi:

Peraturan Menteri PU No. 63 tahun 1993

Page 14: Masalah Regulasi

Pasal 11 (1)

Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat

untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut :

a) Untuk budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang diijinkan.

b) Untuk kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan.

c) Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan,

serta rambu-rambu pekerjaan.

d) Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air

minum

e) Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik

umum maupun kereta api.

f) Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat social dan

masyarakat yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi

kelestarian dan keamananfungsi serta fisik sungai.

g) Untuk pembangunan prasarana lalu intas air dan bangunan

pengambilan dan pembuangan air.

Pasal 12

Pada daerah sempadan dilarang :

a) Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.

b) Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha

Pasal 19

(1) Masyarakat wajib mentaati ketentuan-ketentuan pemanfaatan

daerah sempadan, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai,

bekas sungai yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Masyarakat wajib ikut serta secara aktif dalam usaha pelestarian

dan pangamanan baik fungsi maupun fisik sungai.

Identifikasi masalah:

Pembongkaran bangunan-bangunan liar yang berdiri di sepanjang

sempadan Kali Wonokromo yang melewati Jagir, yakni Kali Jagir.

Page 15: Masalah Regulasi

Bangunan liar tersebut telah ada sejak belasan tahun yang lalu dan

dibiarkan saja oleh Pemkot.

Karakteristik sungai/Kali Jagir adalah sungai tak bertanggul

dengan kedalaman kurang dari 3 meter. Oleh karena itu, kawasan

sempadan sungai/Kali Jagir adalah sekitar 10 meter dari pinggir

sungai.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

63/PRT/1993, daerah sempadan sungai adalah kawasan sepanjang

kiri kanan sungai termasuk sungai buatan, yang mempunyai

manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

Oleh karena itu, pendirian bangunan di atas daerah sempadan

sungai merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap peraturan

tersebut, sehingga tindakan Pemkot untuk membongkar bangunan-

bangunan tersebut merupakan langkah yang tepat dalam penegakan

hukum dan peraturan.

Kurangnya pengawasan menjadi masalah utama dalam hal ini.

Sebab peraturan yang jelas tidak didukung dengan sitem

pengawasan yang ketat, terlihat dengan adanya bangunan liar yang

berdiri hingga puluhan tahun lamanya.

Page 16: Masalah Regulasi

Kesimpulan

Bebagai permasalahan berupa pelanggaran regulasi di Surabaya memperlihatkan

lemahnya peraturan yang telah dibuat. Dari permasalahan yang ada yaitu, bangunan liar

yang berdiri pada lahan-lahan yang bukan seharusnya seperti tanah aset milik pemkot,

brandgang hingga sempadan sungai. Selain itu pelanggaran pada situs cagar budaya yang

pengawasannya kurang hingga terjadinya pembongkaran.

Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan yang telah ada dan segala sesuatunya

telah jelas disebutkan didalamnya, mulai dari pelarangan hingga sanksi yang didapat.

Permasalahan ini timbul karena pengawasan yang sangat kurang dari pemerintah kota

serta adanya “permainan” oleh oknum-oknum tertentu. Kenapa demikian, karena ternyata

terlihat bahwa para pelanggar ini dapat bertahan hingga puluhan tahun lamanya. Setelah

puluhan tahun lamanya barulah pemerintah kota baru menyadari bahwa aset kota telah

salah digunakan dari fungsi-fungsinya dan menyebabkan banyak korban-korban dari

permasalahan ini terutama kaum marjinal yang biasanya para pelaku penyalah gunaan

lahan.

Selain pengawasan yang kurang dari pemerintah kota beserta jajarannya juga

kurangnya informasi tentang regulasi yang ada kepada masyarakat. Sehingga selain

pemerintah kota yang punya kewajiban untuk melakukan pengawasan, masyarakat umum

lainnya juga dapat ikut mengawal regulasi yang ada.