Masalah Penduduk Ponorogo

24
TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKAN ERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI (071012061) 1 Analisis Kemiskinan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur Sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Timur dan memiliki jarak dengan Surabaya sekitar 200 km arah timur laut ini, sangat terkenal dengan sebutan “Kota Reog”. Disebut sebagai “Kota Reog” karena merupakan daerah asal kesenian Reog, yakni Kabupaten Ponorogo. Ponorogo, merupakan sebuah kabupaten yang berbatasan dengan Madiun, Magetan, Nganjuk di sebelah utara, Pacitan dan Trenggalek di sebelah selatan, Pacitan dan Wonogiri di sebelah barat, dan Tulungagung dan Trenggalek di sebelah timur. Secara nama, asal nama Ponorogo berasal dari kata “pramana” yakni daya kekuatan, rahasia hidup, dan kata “raga” berarti badan, jasmani. Sehingga bila disimpulkan, kata Ponorogo memiliki arti bahwa dibalik badan manusia, tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah, shufiah, dan muthmainah (Topik ANTV 2012). Dalam penelitian ini, akan dibahas lebih jauh mengenai salah satu aspek sosial yakni kemiskinan. Peneliti akan memaparkan data-data di Kabupaten Ponorogo, kemudian akan melakukan analisis bagaimana kondisi sosial yang terjadi di Kabupaten Ponorogo, faktor yang menyebabkan, mengapa bisa terjadi, sampai pada usulan kebijakan atau praktikal. I. Epistemologi dan Ontologi Konsep Kemiskinan Sebelum melakukan penelitian mengenai kemiskinan di Kabupaten Ponorogo, perlu dijabarkan terlebih dahulu mengenai konsep kemiskinan. Departemen Sosial dan Badan Pusat Statistik

description

Analisis Masalah Penduduk dan hubungannya dengan kemiskinan di Kota Ponorogo, Jawa Timur

Transcript of Masalah Penduduk Ponorogo

Page 1: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

1

Analisis Kemiskinan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur

Sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Timur dan memiliki jarak dengan Surabaya sekitar

200 km arah timur laut ini, sangat terkenal dengan sebutan “Kota Reog”. Disebut sebagai

“Kota Reog” karena merupakan daerah asal kesenian Reog, yakni Kabupaten Ponorogo.

Ponorogo, merupakan sebuah kabupaten yang berbatasan dengan Madiun, Magetan, Nganjuk

di sebelah utara, Pacitan dan Trenggalek di sebelah selatan, Pacitan dan Wonogiri di sebelah

barat, dan Tulungagung dan Trenggalek di sebelah timur. Secara nama, asal nama Ponorogo

berasal dari kata “pramana” yakni daya kekuatan, rahasia hidup, dan kata “raga” berarti

badan, jasmani. Sehingga bila disimpulkan, kata Ponorogo memiliki arti bahwa dibalik badan

manusia, tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan

dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah, shufiah, dan muthmainah (Topik ANTV

2012). Dalam penelitian ini, akan dibahas lebih jauh mengenai salah satu aspek sosial yakni

kemiskinan. Peneliti akan memaparkan data-data di Kabupaten Ponorogo, kemudian akan

melakukan analisis bagaimana kondisi sosial yang terjadi di Kabupaten Ponorogo, faktor

yang menyebabkan, mengapa bisa terjadi, sampai pada usulan kebijakan atau praktikal.

I. Epistemologi dan Ontologi Konsep Kemiskinan

Sebelum melakukan penelitian mengenai kemiskinan di Kabupaten Ponorogo, perlu

dijabarkan terlebih dahulu mengenai konsep kemiskinan. Departemen Sosial dan Badan Pusat

Statistik menyatakan bahwa untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep

kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini,

kemiskinan  dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi

Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan

dibawah garis kemiskinan (Badan Pusat Statistik 2012). Setelah mendefinisikan konsep

kemiskinan, akan didefinisikan pula konsep mengenai Garis Kemiskinan (GK). Garis

Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan

Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran

perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin

(Badan Pusat Statistik 2012).

Rumus untuk menentukan Garis Kemiskinan (GK) adalah jumlah dari Garis Kemiskinan

Page 2: Masalah Penduduk Ponorogo

Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM); [GK = GKM + GKNM].

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum

makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi

kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,

daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk

perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non

makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan

(Badan Pusat Statistik 2012).

Konsep kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan

relatif. David Harry Penny (1990) mendefinisikan kemiskinan absolut dalam kaitannya

dengan suatu sumber-sumber materi, yang di bawahnya tidak ada kemungkinan kehidupan

berlanjut; dengan kata lain hal ini adalah tingkat kelaparan. Sedangkan kemiskinan relatif

adalah perhitungan kemiskinan yang didasarkan pada proporsi distribusi pendapatan dalam

suatu negara. Dari beberapa teori kemiskinan yang ada, penulis melihat penjelasan Michael

Sherraden (dalam Arif, 2009) bahwa teori kemiskinan dapat dikelompokkan ke dalam dua

kategori yang saling bertentangan. Dua kategori yang saling bertentangan tersebut adalah

teori perilaku individu (behavioral) dan teori struktur sosial. Kemudian juga akan dibahas

teori lain yakni teori budaya miskin (culture poverty) yang dikembangkan oleh Oscar Lewis.

Pertama, teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang

pilihan, harapan, sikap, motivasi dan kapital manusia (human capital). Teori ini memiliki

asumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dengan tersedianya

pilihan-pilihan sumber daya yang ada. Teori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu

yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan

dihasilkan dari bagaimana manusia berperilaku terhadap sumber-sumber maupun pilihan

yang tersedia. Bila produktivitas meningkat, maka manusia akan jauh dari kemiskinan, begitu

juga sebaliknya.

Kedua, teori struktural bertolak belakang dengan teori perilaku memandang bahwa

hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam

kesempatan atau pilihan, sehingga timbul pula aspek berkelanjutan “penindasan” terhadap

kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variabel-variabel yang terdapat pada teori

Page 3: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

3

struktural ini terfokus pada topik seperti ras, gender atau ketidaksinambungan geografis

dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras. Jadi, dalam teori ini melihat

bahwa struktur yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin, bukan karena usaha atau

perilaku individu. Dengan sederhana, teori perilaku individu mengarah dari dalam ke luar,

sedangkan teori struktural mengarah dari luar ke dalam.

Setelah memahami kedua teori tersebut, terdapat teori kemiskinan yang lain yakni Teori

Budaya Miskin (Culture of Poverty) yang dikembangkan oleh Oscar Lewis. Teori ini

mengkaitkan relasi variabel-variabel dalam sosial, ekonomi, dan psikologi. Ia mengatakan

bahwa Teori Budaya Miskin lahir dari konsep-konsep yang dibawa oleh masyarakat industri,

sehingga berikut adalah karakteristik yang menyebabkan masyarakat dikategorikan sebagai

masyarakat miskin:

“….Some of the characteristics of that are: wage labor and production for

profit, a high rate of unemployment; underemployment for unskilled labor;

low wages; a failure to provide social, political, economic organization for

the low income population; bilateral kinship system; the values of the

dominant class stressing the accumulation of wealth and property, the

possibility of upward mobility, and thrift; and blaming the poor for personal

inadequacy” (Lewis 1966 dalam Gajdosikienë 2004).

Sehingga dalam teori ini, kemiskinan sangat erat dengan aspek-aspek ekonomi. Masyarakat

yang hidup di bawah kondisi-kondisi tersebut merupakan masyarakat yang memiliki budaya

kemiskinan. Ketika manusia tidak mampu bersaing, tidak mampu berpartisipasi atau

terintegrasi dalam institusi yang lebih besar akan menyebabkan mereka mengalami

kemiskinan.

Page 4: Masalah Penduduk Ponorogo

II. Data Indikator Kependudukan (Tahun 2011 - 2012) dan Jumlah Penduduk (Tahun

2012)

Page 5: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

5

Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Ponorogo

Page 6: Masalah Penduduk Ponorogo
Page 7: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

7

Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Ponorogo

III. Data Indikator Kemiskinan dan Statistik Pendidikan

Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Ponorogo

Page 8: Masalah Penduduk Ponorogo

IV. Faktor – Faktor yang Melatarbelakangi Kemiskinan

IV. 1. Geografis

Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Ponorogo

Secara Geografis Kabupaten Ponorogo, dibagi menjadi 2 Sub-area yaitu daerah dataran tinggi

yaitu kecamatan Ngrayun, Sooko, Pulung, Ngebel dan sisanya merupakan dataran rendah.

Adanya perbedaan topografi ini yang kemudian mempengaruhi penyebaran penduduk.

Penduduk banyak kemudian yang terpusat di daerah dataran rendah, sedangkan daerah

dataran tinggi mempunyai jumlah penduduk yang cenderung sedikit. Geografi yang

mempengaruhi tingkat penyebaran penduduk yang cenderung lebih padat pada dataran

rendah, disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah karena faktor kesuburan tanah

dari daerah dataran rendah di Ponorogo sehingga dapat dimanfaatkan oleh penduduknya

untuk bertani. Selain itu juga faktor iklim dataran rendah yang cenderung lebih stabil, tidak

terlalu panas ataupun dingin sehingga lebih sesuai untuk tempat tinggal.

Page 9: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

9

Daerah dataran rendah juga lebih mudah memperoleh sumber air, dimana di Ponorogo ini

terdapat 16 sungai, sepanjang 4-58 km yang kemudian digunakan penduduk sebagai sumber

irigasi lahan pertanian, sebanyak 872,57 hektar (2012), dataran rendah juga kebih mudah

dalam hal akses perhubungan komunikasi dan transportasi. Oleh karena itu Kepadatan

penduduk pada 2012 sebanyak 625 jiwa/km2 terpusat di Ponorogo, karena merupakan pusat

pemerintahan sekaligus perekonomian. Tingkat kepadatan penduduk menggambarkan kondisi

dan kemampuan daerah tersebut menampung sejumlah penduduk sesaui dengan kapsitasnya,

dimana jika tingkat kepadatan yang tinggi akan menimbulkan masalah kependudukan. Hal ini

berhubungan erat dengan daya dukung wilayah tersebut seperti ketersediaan sumber daya

alam, pangan, lapangan kerja, dan juga infrastruktur sosial.

Page 10: Masalah Penduduk Ponorogo

Kepadatan penduduk menunjukkan daerah tersebut mempunyai nilai kekayaan atau

penghasilan dan nilai harga tanah yang tinggi. Hal ini kemudian dapat berujung pada

meningkatnya kemiskinan dengan banyaknya perumahan kumuh dan pemukiman liar yang

muncul. Tekanan penduduk di daerah tertentu karena tidak meratanya penyebaran penduduk

menyebabkan overpopulasi, dan berdampak pada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan,

meningkatnya kriminalitas, dan tidak meratanya distribusi pendapatan perdaerah. Hal ini

sejalan dengan teori Malthus tentang hubungan antara pertumbuhan populai dan kemiskinan

yang dikarenakan adanya kelangkaan ketersediaan bahan pangan. Walaupun secara statiski

tingkat kepadatan penduduk dan penyebaran penduduk tidak mempunyai korelasi secara

langsung dengan kemiskinan, akan tetapi keduanya berdampak pada faktor-faktor yang dapat

menjadi penyebab dari kemiskinan itu sendiri.

IV. 2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran

Sumber : Badan Pusat Statistik Kab. Ponorogo

Page 11: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

11

Jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo termasuk besar jika dibandingkan dengan satuan

wilayah pembangunan (SWP) Madiun dan sekitarnya dan mempunyai porsi 2,25 % dari

penduduk jawa timur. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 857.623 jiwa, laju

pertumbuhannya pada 2011-2012 sebesar 0,12 % kabupaten Ponorogo masih memiliki laju

pertumbuhan lebih tinggi dari Ngawi dan Magetan, akan tetapi lebih rendah dari penduduk

jawa timur 0,72 % . Jumlah penduduk di Kabupaten Ponorogo pada satu dekade terakhir

mengalami peningkatan dari tahun 2000-2010 sebanyak 1,64 % dengan sex ratio 98,96%

pada tahun 2000 menjadi 99,98% pada 2010. Dimana hal ini menunjukkan bahwa

pertumbuhan masyarakat berjenis kelamin Perempuan lebih lambat daripada laki laki. Pada

tahun 2012 jumlah Sex Ratio-nya adalah 99,44% dengan jumlah laki-laki lebih sedikit yaitu

427.614 jiwa dan penduduk perempuan 430.009 jiwa. Mayoritas penduduk adalah usia

produktif (15-64 tahun) 67,92 %, usia muda (0-14) 21,33%, dan sisanya adalah penduduk

usia tua (65 +). Besarnya Dependency ratio adalah 47.23 dimana berarti setiap 100 penduduk

produktif menanggung 47 penduduk yang tidak produktif. TPAK (Tingkat Partisipasi

Angkatan Kerja) pada tahun 2012 sebanyak 494.714 jiwa atau 73.41 % dari Angkatan

kerja. TPAK laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yang dilihat dari lebih besarnya

jumlah TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) pada penduduk Perempuan daripada laki-laki.

Hal ini disebabkan karena penduduk perempuan yang berada pada usia kerja tidak berada

pada angkatan kerja yang aktif berpartisipasi karena mayoritas mengurus rumah tangga

(60,9%). Mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian 51.78%, kemudian pada

perdagangan, rumah makan dan hotel 17.34 %, jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan

11.83 %.

Page 12: Masalah Penduduk Ponorogo

Indikator dari TPAK mempunyai fungsi untuk mengetahui besar dan komposisi dari sumber

daya manusia dari suatu daerah dan juga berguna bagi proyeksi ketersediaan tenaga kerja di

masa depan. Dimana dalam kasus Kabupaten Ponorogo, jumlah komposisi berdasarkan umur

bisa dikatakan cukup seimbang terlihat dari bentuk piramida umurnya. Hal ini kemudian

dapat menunjukkan bahwa penduduk tua dan penduduk mudanya cenderung seimbang,

dengan angka ketergantungan yang cukup besar. Rasio ketergantungan memiliki dampak

langsung terhadap pendapatan per kapita, kemiskinan dan jumlah pekerja miskin (working

poor adalah mereka yang berada di angkatan kerja, mempunyai pekerjaan akan tetapi

pekerjaannya tidak memadai untuk keluar dari kemiskinan), simpanan dan investasi, serta

sumber daya manusia. Rasio ketergantungan yang tinggi menunjukkan bahwa tiap

masyarakat yang bekerja harus menanggung sejumlah orang, sehingga membutuhkan

penghasilan yang lebih besar untuk keluar dari kemiskinan.

V. Faktor Lain Yang mempengaruhi Kemiskinan berdasarkan Cycle of Poverty Theory .

Menurut teori “Cycle of Poverty” dari Oscar Lewis, kemiskinan mempunyai suatu siklus

dimana orang-orang yang miskin cenderung terjebak dan sulit untuk keluar dari kemiskinan,

dan akan berada dalam kemiskinan hingga generasi selanjutnya. Hal ini disebabkan karena

terbatasnya akses terhadap pendidikan secara jangka panjang dan juga tidak ada jaminan

finansial. Faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya atau lemahnya tingkat pendidikan

mereka, yang dikarenakan mereka tidak mempunyai kapabilitas untuk mengakses pendidikan

ataupun pendidikan bukan merupakan concern utama yaitu bertahan hidup. Hal ini kemudian

Page 13: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

13

berdampak pada adanya generasi yang kurang tersalurkan potensi sumber daya manusianya,

yang kemudian menghasilkan tenaga kerja yang mempunyai kualitas rendah atau unskilled

labour. Hal ini kemudian berdampak pada rendahnya produktifitas daerah dan tidak adanya

kemajuan dalam kesejahteraan masayarakat miskin. Yang kedua adalah rendahnya tingkat

kesehatan, yang diukur dari ketersediaan dan aksesbilitas dari sarana dan prasarana

kesehatan. Sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan membuat masyarakat miskin kesulitan

untuk mendapatkan layanan kesehatan, dan lebih cenderung rentan terhadap penyakit, gizi

yang buruk, yang akan berdampak pada motivasi bekerja, produktifitas sehingga

menyebabkan kurangnya pendapatan dan menyebabkan kemiskinan berlanjut. Yang ketiga

adalah rendahnya tingkat tabungan atau investasi masyarakat yang dapat disebabkan karena

tidak cukupnya penghasilan untuk ditabung. Rendahnya tingkat tabungan pada masyarakat

kemudian juga berujung pada rendahnya tingkat ketersediaan modal bagi industri yang

kemudian juga berdampak pada rendahnya permintaan akan tenaga kerja yang ada, sehingga

menimbulkan banyaknya tenga kerja yang tidak terserap oleh lapangan pekerjaan sehingga

menimbulkan kemiskinan.

Tingkat pendidikan di Kabupaten Ponorogo bisa dibilang relatif tinggi. Hal ini dicerminkan

dengan Angka kelahiran kasar pada 2012, 14. 32 % yang mengalami penurunan dari 14.43%

pada 2011, yang disebabkan adanya program KB yang berkesinambungan yang menunjukkan

peningkatan tingkat pendidikan penduduk. Selain itu, pada tahun 2012, sarana pendidikan

tingkat dasar sebanyak 602 sekolah (negeri dan swasta) rata-rata menampung 113 murid,

Tingkat SLTP 286 murid, tingkat SLTA/SMK 396 murid. Berdasarkan rasio guru pertingkat

pendidikan makan beban guru disetiap tingkat pendidikan hampir sama yaitu 1 guru

menangani 11 murid. Sedangkan angka buta huruf usia 15 keatas pada 2012 sebanyak 9.4%,

mengalami penurunan dibanding sebelumnya 12.68 %. Angka partisipasi Sekolah 2012

relatif stabil, pada kategori umur 7-12 tahun APS sebanyak 98.84%, 13-15 tahun 97.55%, 16-

18 tahun 65.72%. Hal ini menunjukkan tingkat Partisipasi sekolah yang cukup tinggi di

Kabupaten Ponorogo, akan tetapi bisa dikatakan bahwa rata-rata terjadi penurunan tiap

jenjang pendidikan terutama dari tingkat SLTP ke SLTA, yang berarti banyak penduduk yang

kemudian tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya dan menghasilkan tenga kerja

yang low-skilled labour.

Page 14: Masalah Penduduk Ponorogo

Sedangkan Jumlah sarana kesehatan pada 2012 dari jumlah rumah sakit yang beroperasi

sebanyak 6 Unit, Puskesmas 31 Unit, 57 unit puskesmas pembantu, 46 puskesmas keliling.

Jumlah tenaga medis 2012 sebanyak 140 orang, paramedis 1409 orang, sehingga 1 tenaga

medis untuk 6126 penduduk, 1 orang tenaga paramedis untuk 609 penduduk. Angka harapan

hidup di Kabupaten Ponorogo pada 2012 adalah 70.48 tahun. Indeks Pembangunan Manusia

yang dihitung melalui Angka Harapan Hidup, pencapaian pendidikan dan paritas daya beli,

yang merepresentasikan kesempatan warga masyarakat untuk mengakses hasil dari proses

pembangunan daerah. Tingkat IPM kabupaten Ponorogo Tahun 2012 mengalami peningkatan

menjadi 71.52 yang masih berada dibawah rata-rata Jawa Timur 72.54. Karena faktor-faktor

geografis, komposisi tenga kerja, kualitas sumber daya manusia maka bisa dikatakan jumlah

kemiskinan dikabupaten Ponorogo masih cukup tinggi walaupun mengalami penurunan dari

tahun ke tahun, yang pada 2012 sebanyak 11.70% atau sekitar 100,4 jiwa. Garis kemiskinan

kabupaten Ponorogo pada tahun 2012 sebsar 229.337 rupiah/kapita perbulannya, meningkat

dari tahun sebelumnya karena adanya pengaruh kenaikan harga kebutuhan pokok

masyarakat.Walaupun Lebih rendah dari beberapa Kabupaten lain seperti Pacitan, Madiun

dan Ngawi akan tetapi secara absolut jumlah penduduk miskinnya masih tinggi.

Page 15: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

15

VI. Kebijakan dan Solusi.

Permasalahan kemiskinan di Kabupaten Ponorogo pada dasarnya disebabkan oleh faktor

geografis yaitu tidak meratanya distribusi penduduk dan kepadatan penduduk pada area

tertentu, tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, tingkat angka ketergantungan

tinggi, pengangguran perempuannya relatif tinggi, serta banyaknya low-skilled labour karena

tingkat pendidikan lanjutan rendah. Untuk mengurangi kepadatan penduduk dan menciptakan

lapangan kerja,menurut Henry George (1879) pemerintah daerah dapat menetapkan pajak

atas kepemilikan lahan pertanian sehingga pemilik pertanian kemudian terpaksa menjual

bagian dari kepemilikan tanah pertaniannya ke pihak lain sehingga tidak terjadi monopoli dan

terbatasnya akses sumber daya alam yaitu lahan. Selain itu, hasil dari pajak lahan kemudian

dapat digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan baru sehingga terjadi pemerataan

pendapatan. Selain itu, pemerintah juga dapat meningkatkan sumber daya alam yang terdapat

didaerah dataran tinggi di Ponorogo sebagai sektor baru seperti perkebunan, pariwisata atau

sektor lain sehingga menarik penduduk untuk tinggal dan mencari pekerjaan disana, sehingga

distribusi populasi dapat merata dan juga optimalnya pemanfaatan potensi yang ada.

Pemerintah juga dapat memperbaiki infrastruktur publik di daerah yang kurang berkembang

sehingga tingkat aksesbilitasnya meningkat yang juga dapat meningkatkan potensi

pertumbuhan industri baru seperti Program Inpres Desa Tertinggal atau IDT.

Masalah pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di Kabupaten Ponorogo sebenarnya

bukan merupakan faktor yang terlalu krusial dalam tingkat kemiskinan, yang menjadi

Page 16: Masalah Penduduk Ponorogo

masalah adalah ketika pertumbuhan penduduk ini tidak diikuti dengan peningkatan lapangan

kerja atau kualitas manusianya. Sehingga yang harus dilakukan adalah memperbaiki kualitas

sumber daya manusianya dan juga peningkatan lapangan kerja. Peningkatan sumber daya

manusia di Kabupaten Ponorogo dapat dilakukan dengan memperbaiki tingkat pendidikan

lanjutan jenjang SLTA, sehingga penduduk usia rendah yang menjadi sumber potensi tenaga

kerja masa depan lebih tertarik untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dan memperbaiki

Skill mereka, daripada langsung menjadi tenaga kerja yang low-skilled. Hal ini dapat

dilakukan dengan banyak memberikan beasiswa, memberikan kemudahan akses pendidikan,

memberikan program seperti Program Gerakan Orang Tua Asuh (GN-OTA), atau

memperbanyak sekolah sekolah dengan keahlian khusus seperti SMK, STM ataupun sekolah

ahli khusus yang lain. Selain itu pemerintah juga dapat memberikan program pendidikan

seperti wajib belajar 9 tahun dan  mengadakan pelatihan-pelatihan seperti Balai Latihan Kerja

(BLK) sehingga tenaga kerja memiliki keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan

kerja, melakukan program padat karya, memberikan penyuluhan dan informasi mengenai

lapangan pekerjaan yang ada serta memberikan pendidikan tentang kewiraswastaan. Selain

itu untuk mengurangi angka ketergantungan, pemerintah bisa memanfaatkan penduduk usia

tua yang jumlahnya cukup tinggi di Kabupaten Ponorogo untuk menjadi salah satu target

pendidikan dan pemberian informasi. Jika kemudian tingkat Partisipasi angkatan kerja

meningkat kemudian akan menurunkan tingkan angka ketergantungan sehingga memudahkan

para pekerja untuk lepas dari kemiskinan.

Kemudian untuk masalah pengangguran wanita dikarenakan banyaknya mereka yang

menjadi dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, dapat dikurangi dengan program-

program pemerintah yang mendukung dimanfaatkannya potensi mereka sebagai tenaga kerja.

Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan komunitas-komunitas seperti PKK, atau

komunitas lain yang tidak membutuhkan full-time employment dari kaum perempuan. Selain

itu juga, pemerintah dapat memberikan subsidi dan meningkatkan keberadaan industri kecil

atau home industry dikalangan masyarakat, serta memberikan pelatihan dan pendidikan

tentang keuntungan bekerja ataupun berwiraswasta kemereka. Selain itu yang sudah

dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Ponorogo adalah dengan penyuluhan tentang program

KB dan pendidikan kesehatan karena dianggap pentingnya perempuan dalam peningkatan

pembangunan juga perlu terus ditingkatkan.

Page 17: Masalah Penduduk Ponorogo

TUGAS MASALAH-MASALAH KEPENDUDUKANERA BRILLIANA LARGIS (071012008), KEIZA AYU VRISCILASARI

(071012061)

17

Selain itu masalah ketersediaan bantuan atau modal bagi usaha di Kabupaten Ponorogo,

pemerintah dapat melakukan program-program bantuan modaldan memudahkan adanya

pinjaman resmi kepada rakyat. Pemberian kredit untuk para petani dan pengasuh kecil berupa

‘Kredit Usaha Kecil’ atau KUK, Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Program Kawasan

Terpadu (PKT). Selain pemerintah, badan usaha lain juga dapat membantu dalam masalah

kekurangan modal seperti bank, koperasi, BUMN seperti PLN dan lain-lain. Yang paling

penting adalah dalam penangan masalah kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara sepihak

hanya oleh pemerintah walaupun memang pemerintah memegang peranan yang cukup besar,

akan tetapi harus dilakukan dengan rakyat atau tenaga kerja sebagai objek dan subjek dari

kebijakan yang ada, didukung juga dengan badan-badan lain yang ada.

REFERENSI :

Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo, 2013. [online]. dalam

http://ponorogokab.bps.go.id/index.php?hal=tabel&id=5 (diakses pada 7 Desember

2013).

Gajdosikienë, Indre. 2004. “Oscar Lewis’ Culture of Poverty: Critique and Further

Development”, Kultūros Sociologija 1. dalam www.ku.lt/wp-content/2004_nr_01_88

96.pdf (diakses pada 7 Desember 2013).

Lewis, Oscar. 1966. La Vida: a Puerto Rican Family in the Culture of Poverty. New York:

Random House.

Topik ANTV. 2012. TOPIK ANTV: Mengunjungi Makam Pendiri Ponorogo. [video]. dalam

http://www.youtube.com/watch?v=hOn5RKf_E1E&list=UUyS7qRvL0N

SPyPya7M46L1w&index=8&feature=plcp (diakses pada 7 Desember 2013).

Miller, Michael Matheson. 2007. “Population And Poverty” [online] diakses dalam

Page 18: Masalah Penduduk Ponorogo

(http://www.acton.org/pub/commentary/2007/05/30/population-and-poverty) pada 7

Desember 2013

BPS Kabupaten Ponorogo, 2012. “Statistik Daerah Ponorogo 2012” [online] diakses

dalam (http://ponorogokab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=5) pada 7 Desember

2013

Thinkquest.org, 2009. “poverty cycle” [online] diakses dalam

(http://library.thinkquest.org/25009/causes/causes.cycle.html) pada 7 desember 2013

Bryant, Lee. 2011. “Oscar Lewis” [online] diakses pada

(http://www.historylearningsite.co.uk/oscar_lewis.htm) pada 7 desember 2013

George, Henry Jr. 1873. “Progress and Poverty” [Online] diakses dalam

(http://www.henrygeorge.org/pchp36.htm) pada 7 Desember 2013