Masalah Kesehatan Penyakit Telinga Di Indonesia
-
Upload
gebrina-amanda -
Category
Documents
-
view
17 -
download
1
Transcript of Masalah Kesehatan Penyakit Telinga Di Indonesia
Masalah Kesehatan Penyakit Telinga di Indonesia
Gangguan pendengaran belum begitu mendapat perhatian serius dari
masyarakat karena gejalanya tidak tampak dari luar. Gangguan ini sangat menganggu
produktifitas dan membuat penderitanya terisolasi dari lingkungan. Pada anak-anak,
dampaknya lebih berat lagi karena mempengaruhi perkembangannya hingga dewasa.
Di Indonesia, jumlah penderita gangguan pendengaran ternyata cukup banyak.
Kementerian Kesehatan pada 1994 - 1996 pernah mengadakan survei di 7
propinsi di Indonesia. Hasilnya menemukan bahwa jumlah penderita gangguan
pendengaran di Indonesia ada sebanyak 35,6 juta atau 16,8% dari seluruh penduduk.
Sedangkan yang mengalami ketulian sebanyak 850.000 jiwa atau sekitar 0,4% dari
populasi.
Data WHO Multicenter Study tahun 1998 menemukan bahwa terdapat sekitar
240 juta (4,2%) penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran. Sekitar
4,6% di antaranya ada di Indonesia. Data tersebut sekaligus menobatkan Indonesia
sebagai negara nomer 4 tertinggi di dunia yang memiliki jumlah penderita gangguan
pendengaran setelah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%).
"DI Indonesia, prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian cukup tinggi.
Dampak yang ditimbulkan akibat gangguan ini cukup luas dan berat, yaitu
mengganggu perkembangan kognitif, psikologi dan sosial. Akibatnya, kualitas SDM
juga rendah. Selama ini, penanganan gangguan ini memang belum maksimal," kata dr
HR Dedi Kuswenda, MKes, Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kementerian
Kesehatan RI dalam acara Temu Media mengenai Kesehatan Pendengaran di Gedung
Kementerian Kesehatan Jakarta, Jumat (6/7/2012).
Karena kebanyakan kasus gangguan pendengaran dan ketulian lebih banyak
terjadi di Asia Tenggara, WHO mencanangkan program Sound Hearing 2030.
Tujuannya adalah agar setiap penduduk di Asia Tenggara memiliki hak untuk
memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal di tahun 2030
nanti.
Pemerintah merespon program ini dengan membentuk Komite Nasional
Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) pada
tanggal 14 Deember 2007. Komnas PGPKT menargetkan angka penderita gangguan
pendengaran dan ketulian di Indonesia akan turun sebanyak 50% di tahun 2015 dan
akan tersisa 10% pada tahun 2030.
Tingginya kasus gangguan pendengaran di Indonesia ini disebabkan oleh
penyakit telinga luar, penyumbatan kotoran terlinga, kista, tuli akibat obat dan tuli
sejak lahir. Sebagian besar penyebab gangguan ini sebenarnya dapat dicegah. Oleh
karena itu, Komnas PGPKT mulai menggencarkan kampanye di sekolah-sekolah agar
para siswa menjaga kebersihan dan kesehatan telinga.
Untuk kasus tuli sejak lahir, kemenkes dan komnas PGPKT akan memberikan
penyuluhan kepada ibu hamil agar menjaga kesehatan janin. Infeksi bakteri ketika
masa kehamilan diketahui mempengaruhi perkembangan saraf dan fisik bayi.
"Penelitian menemukan bahwa ada sebanyak 5000 bayi lahir tuli di Indonesia
atau sekitar 0,1% dari seluruh angka kelahiran. Jika tidak ditolong sejak dini, anak ini
bisa mengalami kesulitan berbahasa dan berkomunikasi serta sulit mandiri," kata Dr
Damayanti Soetjipto SpTHT(K), ketua Komnas PGPKT.
Untuk lebih memudahkan penanganan di daerah, Komnas PGPKT juga
membentuk komisi-komisi di daerah. Namun upaya ini masih belum optimal karena
terkendala oleh sedikitnya dokter spesialis THT yang mau ditugaskan di daerah serta
tes pendengaran yang belum tercakup Askes maupun Jamkesmas.
Daftar Pustaka:
Harnowo, Putra Agus. 2012. Jumlah Penderita Gangguan Pendengaran
Indonesia Terbanyak ke-4 di Dunia. detikHealth. Diakses 6 Juli 2012.