Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

download Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

of 37

Transcript of Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    1/37

    1

    MANUSIA MENURUT PANDANGAN GEREJA KATOLIK

    MAKALAH

    Disusun untuk memenuhi tugas Conceling in Nursing

    Oleh

    RONALD BASTEN B P

    NIM. 113063A09087

    PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

    SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN

    BANJARMASIN

    2011

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    2/37

    2

    DAFTAR ISI

    A. Sebuah Keprihatinan DasariahB. Hakikat Manusia

    1. Manusia diciptakan Menurut Citra Allah2. Manusia: Kesatuan Jiwa dan Badan

    2.1. "Satu dalam Jiwa dan Badan"2.2. Kesatuan Jiwa dan Badan

    3. Manusia Pria dan Wanita: KesetaraanC. Manusia dalam Dunia: Tanggungjawab untuk Menjaga Firdaus

    1. Manusia Jatuh dalam Dosa: Awal Penderitaan2. Manusia Ditebus Oleh Kristus

    2.1 Penderitaan Manusia: Kenangan akan Penderitaan Kristus2.2 Penderitaan Manusia: Dasar Komunikasi Personal Dengan

    Allah

    D. Manusia Yang Berpengharapan

    KEPUSTAKAAN

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    3/37

    3

    A. Sebuah Keprihatinan DasariahHati saya selalu gelisah dan sedih setiap kali membaca atau mendengar

    berita-berita tentang kriminalitas, kekerasan dan kejahatan kemanusiaan.

    Saya gelisah karena nyawa sesama seperti tidak ada harganya. Nyawa

    manusia seperti selembar kertas yang dengan mudah disobek dan dibuang

    begitu saja. Saya juga sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa atas berbagai

    kejadian yang tidak bermartabat dan manusiawi itu. Siapakah saya???

    Kegelisahan dan kesedihan itu biasanya saya tuangkan dalam bentuk puisi.

    Namun bagi saya itu sangat terbatas dan personal.

    Maka didorong oleh kegelisahan dan kesedihan itu saya mencoba untuk

    merenung lebih dalam makna pribadi manusia menurut paham Gereja

    Katolik. Dalam dan dengan terang Kitab Suci, saya mengelaborasi

    pengembaraan saya tentang hakikat pribadi manusia sebagaimana yang

    tertera pada daftar isi di atas. Tulisan ini, pertama-tama lebih sebagai sebuah

    upaya pemaknaan pribadi atas keluhuran martabat manusia. Dan karena

    saya seorang katolik, saya mencoba memaknainya dalam kaca mata

    pandangan Gereja Katolik (tentu saja, tidak mewakili Gereja, karena ini

    permenungan pribadi yang dikemas secara sedikit ilmiah, biblis dan sesuai

    Ajaran Gereja).

    B. Hakikat Manusia1. Manusia diciptakan Menurut Citra Allah

    Dalam Kitab Kejadian diungkapkan bahwa manusia laki-laki dan

    perempuan diciptakan oleh Allah sebagai gambar dan rupa-Nya

    sendiri (Kej 1:27). Karena laki-laki dan perempuan diciptakan dalam

    keserupaan dengan Allah, maka mereka memiliki martabat yang sama

    dalam segala aspeknya. Versi lain dari kisah penciptaan manusia

    terdapat dalam Kejadian bab 2. Dikisahkan bahwa laki-laki diciptakan

    oleh Allah lebih dahulu dan diambil dari tanah (adamah) yang diberi

    kehidupan dari nafas ilahi (Kej 2:7). Sedangkan perempuan diciptakan

    setelah laki-laki dan diambil dari tulang rusuk laki-laki, agar perempuan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    4/37

    4

    menjadi penolong yang sepadan dengan laki-laki. Menyadari bahwa

    perempuan yang dibawa oleh Allah ke hadapannya, ternyata setara

    dengan dirinya, maka laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya untuk

    dapat bersatu dengan perempuan (Kej 2:24).

    Kisah penciptaan manusia sebagai citra Allah ini menempatkan

    martabat manusia di atas ciptaan yang lain. Hanya manusia yang secitra

    dengan Allah. Mengapa hanya manusia? Karena dari segala ciptaan

    yang kelihatan, hanya manusia "mampu mengenal dan mencintai

    Penciptanya dan oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua

    makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan menggunakannya sambil

    meluhurkan Allah" (GS 12,3). Lebih tegas lagi para Bapa Konsili

    menyatakan bahwa Allah sebagai Bapa memelihara semua orang,

    menghendaki agar mereka merupakan satu keluarga, dan saling

    menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua

    diciptakan menurut gambar Allah, yang mengendaki segenap bangsa

    manusia dari satu asal mendiami muka bumi (Kis 17:26). Mereka semua

    dipanggil untuk satu tujuan, yakni Allah sendiri (GS 24,1). Pernyataan

    para Bapa konsili ini memperlihatkan bahwa manusia adalah makhluk

    yang dikaruniai oleh Allah dengan keistimewaan. Sebab manusia

    merupakan satu-satunya makhluk, yang Allah kehendaki demi dirinya

    sendiri (bdk. GS 24,3). Hanya manusialah yang dipanggil, supaya dalam

    pengertian dan cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Demi

    dan atas kurnia serta tujuan istimewa inilah manusia diciptakan. Dan

    itulah dasar martabat manusiawinya. Sebagai ciptaan yang istimewa,

    yang diciptakan menurut citra Allah, manusia tentu mewariskan

    beberapa sifat dasar citra Allah tersebut.

    Pertama, manusia bersifat rohani. Artinya, Allah adalah Roh, maka

    ketika manusia diciptakan menurut citra Allah, manusia adalah makhluk

    yang bersifat rohaniah. Manusia mempunyai bagian yang tidak kelihatan

    yang mirip dengan Allah. Manusia adalah makhluk rohani, sehingga

    manusia dapat berkomunikasi dengan makhluk rohani lainnya, manusia

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    5/37

    5

    dapat berkomunikasi dengan dunia yang tidak kelihatan. Hal ini tidak

    dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.

    Tentang sifat rohani ini, Leonardo Boff menegaskan bahwa setiap

    manusia bergerak di dalam dimensi transendensi, imanensi dan

    transparansi. Dengan dimensi transendensinya, manusia bergerak ke

    sumber asalnya. Dengan dimensi imanensinya, manusia menemukan diri

    dan dunianya, pribadi dan masyarakatanya. Dalam penemuan itu,

    manusia merasa senasib dengan sesama secara horisontal maupun

    mengalami ketergantungan kepada Sang Citra secara vertikal.

    Sedangkan dengan dimensi transformasinya, manusia berusaha

    memadukan transendensi dan imanensi dirinya agar mampu menemukan

    kesejatian dirinya sebagai gambaran Sang Citra.

    Kedua, bermoral. Karena Allah suci adanya, maka ketika Ia

    menciptakan manusia, Ia menciptakannya dengan keutamaan moralitas.

    Keutamaan inilah yang membuat manusia berbeda dengan ciptaan lain

    sekaligus mengembangkan tanggungjawab dari Allah. Manusia adalah

    makhluk bermoral, maka ia akan selalu mengupayakan kesejatian hidup

    dalam kebenaran dan kebijaksanaan daripada kejahatan. Allah

    menciptakan manusia dengan suatu mandat untuk menguasai bumi dan

    segala isinya (bdk GS 16).

    Ketiga, rasional. Sebagai citra Allah, manusia dikaruniai rasio untuk

    bisa membedakan mana yang baik dan benar maupun yang tidak baik

    dan jahat. Dengan rasionalitasnya, manusia menemukan dirinya sebagai

    makhluk yang istimewa, makhluk yang mampu membedakan (berpikir)

    untuk mengerti setiap kebenaran (bdk GS 15).

    Keempat, menguasai namun tidak diskriminatif. Waktu Allah

    menentukan untuk menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya,

    manusia diberi potensi untuk mengusai dan mengembangkan

    kemampuan demi kesejahteraan bersama. Namun harus diakui bahwa

    Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut

    gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    6/37

    6

    yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengemban

    panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin

    diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang....setiap cara

    diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial entah

    budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial,

    bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena

    bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan,

    bahwa hak-hak pribadi itu belum di mana-mana dipertahankan secara

    utuh dan aman. Seperti bila seorang wanita tidak diakui wewenangnya

    untuk dengan bebas memilih suaminya dan menempuh status hidupnya,

    atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama

    seperti dipandang wajar bagi pria (GS 29). Kekuasaan manusia itu

    tidak tanpa batas, artinya manusia berkuasa sejauh demi kebaikan

    bersama.

    Kelima, relasional dan komunal. Manusia diciptakan untuk berelasi

    dan bersekutu. Relasi dan persekutuan ini memperlihatkan suatu

    ketergantungan dasariah antarmanusia sebagai makhluk yang selalu ada

    bersama. Tentang hal ini, para Bapa Konsili dengan sangat indah

    menyatakan: Karena saling ketergantungan itu semakin meningkat dan

    lambat laun meluas ke seluruh dunia, maka kesejahteraan umum

    sekarang ini juga semakin bersifat universal, dan oleh karena itu

    mencakup hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yang menyangkut seluruh

    umat manusia....Tetapi serta merta berkembangkalah lesadaran akan

    unggulnya martabat manusia, karena melampaui segala sesuatu, lagi

    pula hak-hak dan kewajiban-kewajibannya bersifta universal dan tidak

    dapat diganggu-gugat. Maka sudah seharusnyalah, bagi manusia

    disediakanlah segala sesuatu, yang dibutuhkannya untuk hidup secara

    sungguh manusiawi, misalnya nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk

    dengan bebas memilih status hidupnya dan untuk membentuk keluarga,

    hak pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan, informasi yang

    semestinya, hak untuk bertindak menurut norma hati nuraninya, hak

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    7/37

    7

    atas perlindungan hidup perorangan, dan atas kebebasannya yang

    wajar, juga perihal agama. Jadi tata masyarakat serta kemajuannya

    harus tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi-pribadi; sebab

    penataan hal-hal harus dibawakan kepada tingkatan pribadi-pribadi,

    dan jangan sebaliknya, menurut yang disyaratkan oleh Tuhan sendiri

    ketika bersabda, bahwa hari Sabat itu ditetapkan demi manusia, dan

    bukan manusia demi hari Sabat (bdk Mrk 2:27). Tata dunia ini harus

    semakin dikembangkan, didasarkan pada kebenaran, dibangun dalam

    keadilan, dihidupkan dengan cinta kasih; harus menemukan

    keseimbangannya yang semakin manusiawi dalam kebebasan. Supaya

    semua itu terwujudlan, perlulah diadakan pembaharuan mentalitas dan

    perubahan-perubahan sosial secara besar-besaran. Roh Allah, yang

    dengan penyelenggaraan-Nya yang mengagumkan mengarahkan

    peredaran zaman dan membaharui muka bumi, hadir di tengah

    perkembangan itu. Adapun ragi Injil telah dan masih membangitkan

    dalam hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatanya (GS

    26). Jadi, sifat manusia yang relasional dan komunal seturut citra Allah

    tersebut, semata-mata diarahkan demi kesejahteraan bersama. Di sinilah

    letak intergitas kecitraan (atau keserupaan) manusia dengan Sang Citra.

    Hampir senada dengan penegasan para Bapa Konsili di atas, Santa

    Katarina dari Siena bahkan menyatakan, "Apakah alasannya, maka

    Engkau meninggikan manusia ke martabat yang begitu mulia? Cinta

    yang tidak ternilai, yang dengannya Engkau memandang makhluk-Mu

    dalam diri-Mu sendiri dan jatuh cinta kepadanya, sebab Engkau

    menciptakannya karena cinta, karena cinta Engkau memberi kepadanya

    satu kodrat, yang dapat merasakan kegembiraan pada diri-Mu, harta

    abadi" (KGK, 365).

    Karena diciptakan menurut citra Allah, manusia memiliki martabat

    sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seorang. Ia mampu

    mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri

    dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Dan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    8/37

    8

    karena rahmat ia sudah dipanggil ke dalam perjanjian dengan

    Penciptanya, untuk memberi kepada-Nya jawaban iman dan cinta, yang

    tidak dapat diberikan suatu makhluk lain sebagai penggantinya.

    Keunggulan martabat manusia ini, oleh para Bapa Konsili diletakkan

    dalam hati nurani. Hati nurani adalah inti manusia yang paling rahasia,

    sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya

    menggema dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib

    hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan

    sesama (GS 16).

    Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk manusia, tetapi manusia itu

    sendiri diciptakan untuk melayani Allah, untuk mencintai-Nya dan

    untuk mempersembahkan seluruh ciptaan kepada-Nya. "Makhluk

    manakah yang diciptakan dengan martabat yang demikian itu? Itulah

    manusia, sosok yang agung, yang hidup dan patut dikagumi, yang dalam

    mata Allah lebih bernilai daripada segala makhluk. Itulah manusia;

    untuk dialah langit dan bumi dan lautan dan seluruh ciptaan. Allah

    sebegitu prihatin dengan keselamatannya, sehingga la tidak menyayangi

    Putera-Nya yang tunggal untuk dia. Allah malahan tidak ragu-ragu,

    melakukan segala sesuatu, supaya menaikkan manusia kepada diri-Nya

    dan memperkenankan ia duduk di sebelah kanan-Nya," tulis Santo

    Yohanes Krisostomus.

    "Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelmalah

    misteri manusia benar-benar menjadi jelas" (GS 22,1). Sementara itu,

    Rasul Paulus berbicara mengenai dua manusia, yang merupakan asal-

    usul umat manusia: Adam dan Kristus ... Paulus mengatakan: Adam,

    manusia pertama, menjadi makhluk hidup duniawi. Adam terakhir

    menjadi Roh yang menghidupkan. Yang pertama diciptakan oleh Yang

    terakhir, dan juga mendapat jiwa dari Dia, supaya ia menjadi hidup ...

    Adam terakhir inilah, yang mengukir citra-Nya atas yang pertama waktu

    pembentukan. Karena itulah, maka ia menerima sosok tubuhnya dan

    menerimanya, supaya la tidak kehilangan, apa yang Ia jadikan menurut

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    9/37

    9

    citra-Nya. Adam pertama, Adam terakhir: Yang pertama mempunyai

    awal, yang terakhir tidak mempunyai akhir, karena yang terakhir ini

    sebenarnya yang pertama. Dialah yang mengatakan `Aku adalah Alfa

    dan Omega."

    Manusia merupakan satu kesatuan karena asal yang sama, karena

    Allah "menjadikan dari satu orang saja semua bangsa dan umat

    manusia" (Kis 17:26). "Pandangan yang menakjubkan, yang

    memperlihatkan kepada kita umat manusia dalam kesatuan asal yang

    sama dalam Allah ... dalam kesatuan kodrat, bagi semua disusun sama

    dari badan jasmani dan jiwa rohani yang tidak dapat mati; dalam

    kesatuan tujuan yang langsung dan tugasnya di dunia; dalam kesatuan

    pemukiman di bumi, dan menurut hukum kodrat semua manusia berhak

    menggunakan hasil-hasilnya, supaya dengan demikian bertahan dalam

    kehidupan dan berkembang dalam kesatuan tujuan adikodrati: Allah

    sendiri, dan semua orang berkewajiban untuk mengusahakannya; dalam

    kesatuan daya upaya, untuk mencapai tujuan ini; ... dalam kesatuan

    tebusan, yang telah dilaksanakan Kristus untuk semua orang. "Hukum

    solidaritas dan cinta ini" menegaskan bagi kita, bahwa kendati

    keanekaragaman pribadi; kebudayaan dan bangsa, semua manusia

    adalah benar-benar saudara dan saudari, berasal dari keturunan dan citra

    Allah yang sama.

    2. Manusia: Kesatuan Jiwa dan Badan2.1. "Satu dalam Jiwa dan Badan"

    Berbicara tentang manusia, kita dihadapkan pada kenyataan

    bahwa manusia terdiri dari jiwa dan badan. Manusia adalah suatu

    kesatuan, tetapi kesatuan itu menampakkan adanya keduaan (jiwa

    dan badan). Akan tetapi realitas jiwa dan badan ini sering

    dipandang sebagai saling bertentangan. Ada beberapa pandangan

    yang berbicara tentang jiwa dan badan manusia. Pertama,

    pandangan dualisme. Tokoh utama pandangan ini adalah Sokrates

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    10/37

    10

    dan Plato. Menurut Sokrates, jiwa merupakan azas hidup manusia.

    Jiwa adalah intisari manusia dan oleh karenanya manusia wajib

    mengutamakan kebahagiaan jiwanya melebihi kebahagiaan

    badannya sendiri. Sedangkan Plato berpendapat bahwa jiwa dan

    badan merupakan dua kenyataan yang sama sekali berbeda dan

    saling bertentangan. Jiwa berasal dari dunia atas (idea-idea)

    sedangkan tubuh berasal dari dunia bawah (materi). Seperti dalam

    pandangan Sokrates, dalam dualisme Plato ini jiwa dipandang

    lebih tinggi daripada badan, karena bersifat adikodrati dan kekal.

    Sebaliknya, badan dilihat sebagai penjara bagi jiwa dan bersifat

    fana.

    Bila Sokrates dan Plato melihat jiwa dan badan sebagai

    keduaan yang sama sekali terpisah (dengan pengagungan terhadap

    jiwa), Aristoteles justru berpendapat lain. Bagi Aristoteles, materi

    adalah azas yang paling akhir. Materi tidak bisa dipisahkan dari

    segala bentuk. Materi tanpa bentuk tidak memiliki kenyataan.

    Namun itu tidak berarti bahwa materi adalah hal yang tidak ada

    sama sekali, melainkan ia merupakan kenyataan yang masih belum

    mewujud. Ia bisa mewujud dalam kesatuannya dengan bentuk.

    Secara singkat dapat dikatakan bahwa menurut Aritoteles, materi

    dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat berada tanpa

    bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap

    ada yang dapat diamati tersusun dari materi dan bentuk. Pada

    kesimpulannya, Aristoteles berpendapat bahwa baik jiwa maupun

    badan keduanya bersifat fana. Tak ada jiwa yang tidak dapat mati.

    Kedua, pandangan Kitab Suci. Pandangan Kitab Suci (PL dan

    PB) tentang jiwa dan badan bersifat sintetis-menyeluruh, yakni

    keduanya sebagai perpaduan yang serasi. Keduaan itu mempunyai

    kodrat yang sama dalam kesatuannya. Ini berarti bahwa manusia

    tidak diuraikan menjadi fungsi-fungsi dan kemampuan-

    kemampuan sebagai bagian yang membentuk manusia

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    11/37

    11

    (terpecah/terpisah-pisah), tetapi dipandang sebagai kesatuan,

    keutuhan dan keseluruhan. Fungsi kejasmanian tidak dipisahkan

    dari fungsi kerohanian dalam totalitasnya.

    Dalam PL diungkapkan bahwa Allah merupakan Pencipta dan

    dasar serta asal segala yang ada (Kej 1). Alam semesta diciptakan

    oleh Allah dan karenanya dunia merupakan pancaran keagungan

    Allah. Gagasan ini mencapai puncaknya pada pandangan tentang

    manusia (jiwa dan badan) sebagai citra Allah (Kej 1:26; Mzm 8).

    Dengan itu dapat dipahami bahwa kesatuan jiwa dan tubuh

    pertama-tama terletak pada asal/sumbernya yang sama, yakni

    Allah sendiri.

    Bila dalam PL kesatuan antara jiwa dan badan didasarkan pada

    sumber dan asal yang sama dalam Pencipta, maka dalam PB

    kesatuan itu tidak hanya terletak pada asal yang sama tetapi juga

    dalam tujuan eskatologis penciptaan yakni dalam Kristus.

    Pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah adalah

    wujud jasmani sekaligus rohani. Teks Kitab Suci mengungkapkan

    itu dalam bahasa kiasan, "Allah membentuk manusia dari debu

    tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya;

    demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup" (Kej 2:7).

    Manusia seutuhnya dikehendaki Allah.

    Dalam Kitab Suci istilah jiwa sering berarti kehidupan manusia

    atau seluruh pribadi manusia. Tetapi ia berarti juga unsur terdalam

    pada manusia, yang paling bernilai padanya, yang paling mirip

    dengan citra Allah: "Jiwa" adalah prinsip hidup rohani dalam

    manusia.

    Badan manusia mengambil bagian pada martabat keberadaan

    "menurut citra Allah": ia adalah tubuh manusiawi karena ia dijiwai

    oleh jiwa rohani. Pribadi manusiawi secara menyeluruh sudah

    ditentukan menjadi kanisah Roh dalam Tubuh Kristus. "Manusia,

    yang satu jiwa maupun raganya, melalui kondisi badaniahnya

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    12/37

    12

    sendiri menghimpun unsur-unsur dunia jasmani dalam dirinya,

    sehingga melalui dia unsur-unsur itu mencapai tarafnya tertinggi,

    dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan

    Sang Pencipta. Oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan

    hidup jasmaninya; tetapi sebaliknya, ia wajib memandang baik

    serta layak dihormati badan-nya sendiri, yang diciptakan oleh

    Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir" (GS 14,1).

    Kesatuan jiwa dan badan begitu mendalam, sehingga jiwa

    harus dipandang sebagai "bentuk" badan, artinya jiwa rohani

    menyebabkan, badan yang dibentuk dari materi menjadi badan

    manusiawi yang hidup. Dalam manusia, roh dan materi bukanlah

    dua kodrat yang bersatu, melainkan kesatuan yang membentuk

    kodrat yang satu saja.

    Gereja mengajarkan bahwa setiap jiwa rohani langsung

    diciptakan Allah - ia tidak dihasilkan oleh orang-tua - dan bahwa

    ia tidak dapat mati: ia tidak binasa, apabila pada saat kematian ia

    berpisah dari badan, dan ia akan bersatu lagi dengan badan baru

    pada hari kebangkitan.

    Kadangkala jiwa dibedakan dengan roh. Santo Paulus berdoa

    demikian: "Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu

    seluruhnya, dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara

    sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus" (1

    Tes 5:23). Gereja mengajarkan bahwa perbedaan ini tidak

    membagi jiwa menjadi dua. Dengan "roh" dimaksudkan bahwa

    manusia sejak penciptaannya diarahkan kepada tujuan

    adikodratinya dan bahwa jiwanya dapat diangkat ke dalam

    persekutuan dengan Allah karena rahmat.

    Tradisi rohani Gereja juga menekankan pentingnya hati dalam

    arti biblis sebagai "dasar hakikat" atau "batin" (Yer 31:33), tempat

    manusia memutuskan berpihak kepada Allah atau melawan Allah.

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    13/37

    13

    2.2. Kesatuan Jiwa dan BadanSebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, hidup

    manusiawi tidak lain sekaligus jasmani dan rohani. Dimensi jasmani

    dan rohani dalam pribadi manusia bukan dua kodrat yang

    tergabungkan melainkan persatuan keduanya merupakan satu kodrat.

    Dengan itu dapat dikatakan bahwa tubuh manusia merupakan

    manifestasi yang kelihatan dari seluruh kediriannya (rohani dan

    jasmani). Melalui dan di dalam tubuh, pribadi manusia mencapai

    kenyataan konkretnya.

    Oleh sebab itu ketika kita berbicara tentang tubuh, maka dalam

    benak kita harus selalu ada paham (prinsip) tentang kesatuan antara

    jiwa dan badan. Bila tidak, kita akan jatuh pada paham dualisme.

    Pembicaraan tentang badan di sini tidak bermaksud memisahkan

    tubuh dari jiwa, melainkan bermaksud mendalami dimensi tubuh

    dalam kesatuan dengan jiwa.

    Seluruh aspek interior manusia (perasaan, pikiran, kehendak,

    dsb) tidak hanya terpendam di dalam batin manusia, tetapi terungkap

    ke luar melalui tubuh. Tubuh mengekspresikan seluruh diri manusia

    (jasmani dan rohani). Dengan tertawa, seseorang mengekspresikan

    kebahagiaan; dengan menangis, seseorang mengungkapkan

    kesedihan, dsb. Karena itulah ketika seseorang sedang merasakan

    sakit pada bagian perut, seharusnya tidak dikatakan: Sakit perutku,

    melainkan Aku sakit perut. Ungkapan pertama bernuansa

    fragmentaris sedangkan kalimat kedua menunjukkan totalitas yang

    utuh. Sakit pada bagian perut membuat seluruh diri seseorang

    menjadi sakit atau terganggu.

    Bertolak dari gagasan bahwa tubuh manusia merupakan

    pengungkapan sekaligus penghadiran simbolis dari seluruh

    kemanusiaannya, maka muncul pemahaman bahwa tubuh manusia

    juga merupakan jembatan yang mengkomunikasikan pribadi manusia

    dengan sesama, alam dan Tuhan. Tidak ada aku an sich. Tak

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    14/37

    14

    mungkin memikirkan suatu cara berada manusia yang tidak sekaligus

    suatu cara berada di dunia Nilai tubuh didasarkan pada iman bahwa

    Allah-lah yang menciptakan tubuh manusia. Allah menciptakan

    manusia (jiwa dan tubuh) sebagai citranya dan memberikan kepada

    manusia martabat yang lebih tinggi daripada makhluk ciptaan

    lainnya.

    3. Manusia Pria dan Wanita: KesetaraanPria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam

    persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di

    lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. "Kepriaan" dan

    "kewanitaan" adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah:

    keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang,

    yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya.

    Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama "menurut citra Allah".

    Dalam kepriaan dan kewanitaan mereka mencerminkan kebijaksanaan

    dan kebaikan Pencipta.

    Allah sendiri sama sekali tidaklah menurut citra manusia. Ia bukan

    pria, bukan juga wanita. Allah adalah Roh mumi, pada-Nya tidak bisa

    ada perbedaan jenis kelamin. Namun dalam "kesempurnaan-

    kesempurnaan" pria dan wanita tercermin sesuatu dari kesempurnaan

    Allah yang tidak terbatas: ciri khas seorang ibu dan ciri khas seorang

    ayah.

    Allah menciptakan pria dan wanita secara bersama dan

    menghendaki yang satu untuk yang lain. "Tidak baik, kalau manusia itu

    seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan

    dengan dia" (Kej 2:18). Dari antara binatang-binatang manusia tidak

    menemukan satu pun yang sepadan dengan dia (Kej 2:19-20). Wanita

    yang Allah "bentuk" dari rusuk pria, dibawa kepada manusia. Lalu

    berkatalah manusia yang begitu bahagia karena persekutuan dengannya,

    "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku" (Kej 2:23).

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    15/37

    15

    Pria menemukan wanita itu sebagai aku yang lain, sebagai sesama

    manusia.

    Pria dan wanita diciptakan "satu untuk yang lain", bukan seakan-

    akan Allah membuat mereka sebagai manusia setengah-setengah dan

    tidak lengkap, melainkan la menciptakan mereka untuk satu persekutuan

    pribadi, sehingga kedua orang itu dapat menjadi "penolong" satu untuk

    yang lain, karena di satu pihak mereka itu sama sebagai pribadi ("tulang

    dari tulangku"), sedangkan di lain pihak mereka saling melengkapi

    dalam kepriaan dan kewanitaannya. Dalam perkawinan Allah

    mempersatukan mereka sedemikian erat, sehingga mereka "menjadi satu

    daging" (Kej 2:24) dan dapat meneruskan kehidupan manusia:

    "Beranakcuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi" (Kej

    1:28). Dengan meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya, pria dan

    wanita sebagai suami isteri dan orang-tua bekerja sama dengan karya

    Pencipta atas cara yang sangat khusus.

    Kembali pada kisah penciptaan. Bagi Stefania Cantore, kedua kisah

    penciptaan dapat disimpulkan bahwa selain menciptakan manusia

    sebagai laki-laki dan perempuan dengan martabat yang sama, Allah juga

    membuat mereka mampu untuk berelasi dalam kesetaraan, kesalingan

    dan ketimbal-balikan, serta dalam suasana yang harmonis (bdk. Kej 2:8-

    25).

    Sedangkan Susan Niditch mengatakan bahwa dengan menciptakan

    manusia sebagai perempuan dan laki-laki sebagai cermin bagi dirinya

    sendiri, Allah tidak membuat pembedaan martabat maupun derajat di

    antara keduanya. Dengan kata lain, kendati perempuan diciptakan

    sesudah laki-laki, tidak ada maksud untuk menempatkan perempuan

    sebagai makhluk ciptaan kelas dua atau lebih rendah derajatnya dari

    pada laki-laki.

    Menurut rencana Allah, pria dan wanita memiliki panggilan supaya

    sebagai "wakil" yang ditentukan Allah, "menaklukkan dunia".

    Keunggulan ini tidak boleh menjadi kelaliman yang merusak.

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    16/37

    16

    Diciptakan menurut citra Allah, yang "mengasihi segala yang ada" (Keb

    11:24), pria dan wanita terpanggil untuk mengambil bagian dalam

    penyelenggaraan ilahi untuk makhluk-makhluk lain. Karena itu, mereka

    bertanggungjawab untuk dunia yang dipercayakan Allah kepada

    mereka.

    Dalam dokumen Gaudium et Spes para Bapa Konsili Vatikan II

    mengatakan bahwa semua orang diciptakan dalam citra Allah. Mereka

    memiliki kodrat dan asal-usul yang sama. Mereka memiliki kesetaraan

    dasariah. Kesetaraan tersebut harus semakin diakui. Oleh karenanya,

    segala bentuk diskriminasi yang menyangkut hak-hak asasi manusia,

    entah yang bersifat sosial atau budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku,

    warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan

    disingkirkan, karena bertentangan dengan rencana Allah (GS, 29).

    Kendati terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar antara laki-laki

    dan perempuan, namun martabat mereka yang sama sebagai pribadi

    menuntut agar kita berusaha untuk mewujudkan kondisi hidup yang

    lebih fair dan lebih manusiawi (GS, 29). Konsili Vatikan II juga

    memandang kesenjangan ekonomi dan sosial yang berlebihan antara

    individu dan bangsa-bangsa merupakan sumber skandal dan

    bertentangan dengan keadilan sosial, keadilan, martabat manusia, serta

    perdamaian sosial dan internasional (GS, 29).

    Konsili Vatikan II juga menegaskan bahwa bila kaum perempuan

    masih belum diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih

    suaminya, menentukan jalan hidupnya, atau untuk menempuh

    pendidikan dan meraih kebudayaan seperti yang mereka inginkan (GS,

    29), wajarlah kalau Kaum perempuan menuntut kesetaraan dengan

    kaum laki-laki berdasarkan hukum dan keadilan (equity) maupun dalam

    kenyataan, bila kesetaraan itu belum mereka peroleh (GS, 9).

    Sedangkan menurut Paus Yohanes Paulus II perempuan memiliki

    martabat yang sederajat dengan laki-laki. Kesetaraan martabat antara

    laki-laki dan perempuan ini dilandaskan pada kenyataan bahwa mereka

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    17/37

    17

    diciptakan oleh Allah sendiri menurut citra dan keserupaan dengan diri-

    Nya (Kej 1:26-27, FC 22). Apa yang ditandaskan oleh almarhum

    Yohanes Paulus II ini sangat penting, sebab selama berabad-abad Gereja

    mengikuti pandangan Thomas Aquinas (1225-1274) dalam melihat

    perempuan. Dengan mengadopsi pandangan Aristoteles (384/3-322

    sebelum Masehi), Aquinas meyakini bahwa perempuan adalah seorang

    pria yang tidak sempurna (misbegotten male) yang keberadaannya

    hanya dibutuhkan demi membantu laki-laki untuk melahirkan anak-

    anak.

    Berdasarkan kesetaraan martabat sebagai citra Allah ini, baik

    perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama

    untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang

    menyangkut hidup berkeluarga, menggereja, bermasyarakat, berbangsa

    dan bernegara.

    Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa kesetaraan martabat tidak

    identik dengan kesamaan dengan laki-laki. Kesetaraan martabat ini

    akan mencapai kepenuhannya ketika perempuan dan laki-laki mampu

    untuk hidup dalam komunio dengan satu sama lain, dengan saling

    menerima dan saling memberikan diri, dengan saling membantu dan

    bekerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh

    ciptaan Allah. Dengan penciptaan laki-laki dan perempuan menurut citra

    dan keserupaan dengan Allah mereka dipanggil untuk secara timbal

    balik hidup bagi satu sama lain. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa

    dalam diri perempuan, laki-laki memperoleh mitra, dengannya ia dapat

    berdialog dalam kesetaraan yang lengkap.

    Kesetaraan ini harus benar-benar diusahakan menjadi sebuah

    pengalaman nyata dalam segala bidang kehidupan; antara lain,

    mendapatkan gaji sama untuk pekerjaan yang sama, perlindungan bagi

    para ibu yang bekerja, fairness dalam hal kenaikan jenjang karier,

    kesetaraan suami-istri menyangkut hak-hak dalam hidup keluarga, serta

    pengakuan terhadap segala sesuatu yang menyangkut hak dan kuajiban

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    18/37

    18

    warga negara dalam negara yang demokratis, mempunyai akses untuk

    memiliki harta serta mengelola aset-aset yang dimilikinya, dan dapat

    ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan

    proses-proses untuk mengarahkan kehidupan masyarakat.

    C. Manusia dalam Dunia: Tanggungjawab untuk Menjaga Firdaus1. Manusia Jatuh dalam Dosa: Awal Penderitaan

    Manusia pertama jatuh ke dalam dosa karena telah melanggar

    larangan Allah, yaitu untuk tidak memakan buah dari Pohon

    Pengetahuan. Apa yang terjadi setelah manusia jatuh ke dalam dosa?

    Manusia kehilangan kemuliaan dan tidak dapat bertatap muka lagi

    dengan Allah. Ini disimbolkan dengan pengusiran manusia dari Taman

    Eden (Kej 3:23). Hubungan Allah dengan manusia tidak dapat lagi

    dilakukan secara langsung. Sudah ada penjaga dengan pedang menyala-

    nyala menjaga hadirat Allah dari manusia (Kej 3:24). Manusia sama

    sekali tidak dapat melewati gerbang ini.

    Manusia memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki kemampuan

    berkembang yang luar biasa karena buah dari Pohon Pengetahuan ini.

    Berbekal pengetahuan ini manusia ingin menyamai Allah dan bahkan

    tidak mengakui Allah dan penciptaan-Nya (Kej 3:22). Bandingkan

    dengan teori Darwin yang menolak proses penciptaan Allah dalam 6

    hari, meski Gereja melalui Paus Yohanes Paulus II secara resmi

    mengakui dan menerima kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya

    menyangkut pernyataan Galileo Galilei tentang tentang matahari sebagai

    pusat dan teori evolusi yang bertentangan dengan kreationisme dalam

    Gereja.

    Iblis akan selalu menyesatkan manusia sehingga iblis dapat

    mengambil roh manusia (Kej 3:14). Manusia yang berhasil disesatkan

    akan menjadi pengikut iblis. Penyesatan oleh Iblis menyebabkan

    manusia tidak bertanggungjawab atas mandat yang dipercayakan Tuhan.

    Penyesatan itu menyebabkan permusuhan abadi antara iblis dengan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    19/37

    19

    keturunan perempuan pertama. Permusuhan ini membuat keturunan

    perempuan (Yesus Kristus) sangat menderita dan wafat di dunia ini,

    tetapi sebenarnya iblislah yang dihancurkan kuasanya atas dunia ini (Kej

    3:15). Dan iblis dan segala kekuatannya akan dihancurkan oleh Yesus

    Kristus pada akhir zaman (Kitab Wahyu).

    Untuk memulihkan tanggungjawab yang telah dilanggar oleh

    manusia, Allah mengomunikasikan diri-Nya kepada manusia dalam diri

    Yesus Kristus. Yesus kemudian menjadi mediator antara ciptaan dan

    Allah; bukan saja dalam arti merestorasi hubungan yang rusak akibat

    dosa, melainkan sekaligus dalam pengertian bahwa Ia adalah Logos

    yang menjadi manusia (Yoh 1:14). Melalui Dia, Sang Logos ini,

    manusia dapat berkata-kata kepada Allah. Komunikasi melalui Logos

    yang menjadi manusia ini adalah komunikasi personal. Maksudnya

    dalam diri Yesus setiap orang terbuka untuk datang, berbicara, dan

    berkeluh-kesah kepada Allah; memuji Dia, memohon pertolongan dan

    pengampunan, atau berkat, sebab Ia adalah jalan, kebenaran, dan hidup

    itu sendiri (Yoh 14:6). Yesus adalahBahasa manusia dalam wujud yang

    sebenarnya dan universal; bukan bahasa simbolik-puitis yang hidup di

    tengah-tengah manusia, dan bukan pula bahasa dalam pengertian bahwa

    ketika sebuah pesan bahasa telah terpenuhi bahasa itu menjadi mubazir,

    seperti halnya bahasa manusia yang dipakai dalam kebudayaan dan

    bangsa tertentu. Maka melampaui bahasa simbolik manusiawi, Ia adalah

    Bahasa penderitaan itu sendiri, sebab oleh Dorothy Soelle, penderitaan

    yang tidak diangkat kepada tataran linguis untuk diungkapkan adalah

    penderitaan yang tidak dapat mencapai kesudahan. Sedangkan Yesus

    sebagaiBahasa penderitaan hanya mau menegaskan bahwa penderitaan

    manusia berakhir, sakit dan sengsara itu telah mencapai kesudahan

    dengan wafat dan kebangkitanLogos yang menjadi manusia.

    Yesus sebagai Bahasa universal manusia dalam hubungannya

    dengan Allah bukan saja karena dalam Dia segala perbedaan status

    manusiawi telah direduksi sampai pada titik nol (Yoh 15:15), melainkan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    20/37

    20

    terutama karena Peristiwa Yesus adalah peristiwa historis, melampaui

    masa lalu, kini, dan yang akan datang, suatu antisipasi terhadap apa

    yang (akan) dialami manusia dalam sejarah. Dengan kata lain, seluruh

    peristiwa hidup manusia yang dialami dalam sejarah, partisipatif dalam

    peristiwa historis ini. Pada titik ini, penderitaan manusia bukan lagi

    sesuatu yang dialami tanpa makna, sebagai kegagalan atau hukuman,

    tidak juga sebagai nasib, melainkan suatu dasar bagi komunikasi

    personal manusia kepada Allah, karena Kristus telah terlebih dahulu

    menderita. Pertanyaan di manakah Kristus ketika Ayub menghadapi

    penderitaan tidak mungkin dicari dan ditemukan jawabannya di luar

    penderitaan di Salib. Sebab sebagai suatu peristiwa antisipatif,

    penderitaan Kristus adalah antisipasi terhadap penderitaan yang telah,

    sedang, dan akan terjadi. Kristus adalah Allah, dan oleh karena Allah

    seperti yang dipahami JB. Metz, adalah pemilik waktu, maka yang

    dinamakan antisipasi tidak berlangsung secara formal futuristik.

    Penderitaan Kristus mencapai kesempurnaan pada kebangkitan-Nya.

    Oleh karena itu dimensi antisipatif dari penderitaan Kristus terdapat

    pada fakta bahwa penderitaan di Salib menyelamatkan seluruh

    penderitaan manusia dalam segala sejarah penderitaan manusia sejak

    Ayub yakni dalam kesempurnaan kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya

    komunikasi dalam penderitaan menjadi penting, sebab penderitaan

    secara esensial interpersonal, dapat membawa pada suatu kesadaran

    akan aktualitas pengertian penderitaan, serta melalui dialog penderita

    menemukan solidaritas dengan Dia yang telah memenangkan

    penderitaan tadi.

    Kalau penderitaan secara esensial interpersonal, itu berarti seluruh

    proses komunikasi manusia modern yang dimediasi oleh alat-alat

    teknologis adalah komunikasi impersonal. Impersonalitas komunikasi

    manusia modern bukan pertama-tama karena ciri teknologis sarana

    penghubung antarorang zaman ini, melainkan karena orang-orang

    modern menghayati penderitaan sebagai bertentangan dengan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    21/37

    21

    modernitas, seperti ungkapan Jrgen Moltmann bestia rerum novarum

    cupidissima (manusia yang selalu rakus akan hal-hal baru), yang oleh

    Dorothy Soelle disebut the culture of aphaty (budaya apatis, budaya

    masa bodoh).

    Kecenderungan akan hal-hal baru dari teknologi komunikasi bukan

    saja mereduksi nilai fundamental komunikasi personal manusia dengan

    Allah tetapi sekaligus menegaskan dimensi etis komunikasi

    interpersonal manusia dalam penderitaannya dengan Allah. Berhadapan

    dengan penderitaan Kristus, krisis komunikasi interpersonal manusia

    dapat juga memunculkan pertanyaan teologis di sisi lain: Masihkah

    dalam penderitaannya manusia berdialog dengan Allah yang telah

    menyelamatkan dia melalui Salib dan kebangkitan-Nya.

    2. Manusia Ditebus Oleh Kristus2.1. Penderitaan Manusia: Kenangan akan Penderitaan Kristus

    Penderitaan Kristus dalam misteri Paskah dilatarbelakangi oleh

    cinta yang kudus kepada manusia, yakni tidak ada kasih yang lebih

    besar daripada kasih yang menyerahkan nyawa-Nya bagi sahabat-

    sahabat-Nya (Yoh 15:13). Memang agak aneh bahwa dalam

    penderitaan terdapat kasih yang lebih besar justru terletak pada

    kematian di salib, suatu kematian mengenaskan. Tetapi di sini yang

    terpenting adalah, jika menghadapkan penderitaan Kristus di depan

    penderitaan manusia, suatu pertanyaan prasyarat yang diajukan

    bukan lagi tentang mengapa Yesus mengasihi manusia sampai mati

    di Salib; melainkan, dengan apakah penderitaan itu dikenang ?

    Memang, sangatlah tidak cukup untuk mengenang penderitaan

    Kristus hanya dengan merayakan sebab bukankah merayakan dapat

    saja berarti bersuka cita atas penderitaan Kristus yang begitu

    sengsara? Iman Kristiani, seperti ditegaskan JB. Metz, adalah suatu

    praksis dalam sejarah dan masyarakat yang dipahami sebagai

    harapan dalam solidaritas dengan the God of Jesus sebagai Allah

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    22/37

    22

    yang hidup dan yang telah mati yang memanggil semua manusia

    menjadi subjek di hadapan-Nya. Di sinilah deklarasi iman Kristiani

    tentang dirinya sendiri sebagai memoria passionis, mortis et

    resurrectionis Jesu Christi tidak saja memiliki makna merayakan

    namun pertama-tama adalah mengenang! Mengenang memiliki

    cakupan dalam dimensi iman yang lebih luas yakni mengenang

    penderitaan dan kematian tetapi merayakan berarti merayakan

    kebangkitan-Nya. Beriman kepada Kristus yang telah menderita,

    wafat, dan bangkit berarti mengenang mengenang penderitaan (salib

    dan kematian) sekaligus merayakan kemenangan (kebangkitan atas

    kematian).

    Demikian juga, de facto peristiwa Salib berbobot mati historis,

    mencari tahu motivasi Yesus mengasihi manusia menjadi tidak

    efektif. Historisitas suatu peristiwa sejarah tidak terletak pada alasan

    di balik peristiwa melainkan terletak pada kenangan akan peristiwa

    yang telah terjadi itu. Pertanyaan tentang motivasi adalah pertanyaan

    subjektif dan karena itu manusia tidak pernah mencapai jawaban

    yang objektif sempurna. Kitab suci dan sumber-sumber teologi

    umumnya memang telah menyediakan sarana-sarana untuk mencapai

    pertanyaan itu. Namun fakta bahwa dalam sejarah penderitaan umat

    manusia yang diwakilkan oleh Ayub secara personal dan bangsa

    Yahudi secara komunal, dari mana iman Kristiani berakar,

    penderitaan manusia selayaknya menjadi kenangan akan penderitaan

    Kristus, suatu memoria passionis Christi (tambahan Christi dari

    penulis). Penderitaan manusia adalah catatan kaki dari penderitaan

    Kristus, ia tidak pernah dilihat lepas dari penderitaan Kristus atau

    bahwa penderitaan Kristus menjadi rujukan terakhir dari apa yang

    dialami manusia.

    Mengenang kembali penderitaan Kristus melalui penderitan

    manusia tidak dimaksudkan agar manusia boleh menderita begitu

    saja, atau membiarkan kondisi-kondisi yang memungkinkan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    23/37

    23

    penderitaan terjadi. Adanya penderitaan memang telah memunculkan

    persoalan-persoalan teodicea namun konsep dan gagasan yang

    sangat jenial sekali pun sama-sekali gagal secara sufisiensi

    (=memuaskan) menjelaskan mengapa penderitaan itu terjadi, dan

    bahkan lebih tidak mungkin lagi untuk menjelaskan penderitaan

    Kristus di Salib. Teguran Petrus ketika mendengar Yesus

    mengumumkan penderitaan yang akan menimpa Dia justru dianggap

    sebagai batu sandungan (Mat 16:23). Jadi memang, motivasi

    penyerahan diri secara total pada kematian di Salib tetap bersifat

    personal, namun apa yang terpenting dari kematian di Salib itu

    adalah, kebangkitan-Nya sebagai puncak dari peristiwa Salib itu.

    Penderitaan Kristus sampai wafat di Salib adalah suatu fatalisme

    kekuasaan politik Imperium Romanum yang secara sengaja

    menghukum Dia atas desakan para demonstran meskipun setelah

    melalui penyidikan panjang Ia didapati tidak bersalah (Yoh 19).

    Dengan kata lain Salib adalah akibat dari kekuasaan politik yang

    tidak adil, totaliter serta otoritarian. Memang dosa manusia harus

    ditebus untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Allah tetapi

    ini tidak dengan sendirinya dapat membenarkan kekuasaan politik

    yang tidak adil dan menindas. Oleh karena itu segala bentuk

    ketidakadilan penguasa yang menyebabkan penderitaan manusia

    harus dilawan.

    Perlawanan terhadap model kekuasaan yang totaliter dan

    otoritarian, menindas serta tidak adil memang dapat mengakhiri

    penderitaan manusia. Namun secara teologis tidak dapat dikatakan

    bahwa penderitaan yang mereka alami adalah dalam rangka

    mengenang penderitaan Kristus yang memang adalah akibat dari

    model kekuasaan politik yang menindas dan tidak adil. Peristiwa

    holocaust di Auschwitz adalah bukti otoritarianis kekuasaan politik

    Nasional-Sosialis Jerman di bawah Adolf Hitler. Di sanalah

    penderitaan bangsa Yahudi itu secara teologis dapat merupakan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    24/37

    24

    kenangan akan penderitaan di Salib, untuk mengenang kembali

    penderitaan Kristus oleh manusia. Kenangan akan penderitaan

    Kristus dalam penderitaan manusia ini bukan terutama menyangkut

    intensitas dan kedalaman rasa sakit yang dialami, melainkan

    menyangkut aspek konsekuensi eskatologis dari penderitaan Kristus,

    bahwa penderitaan manusia yang diwakilkan oleh bangsa Yahudi

    sebagai yang sulung dari seluruh Gereja partisipatif dalam

    penderitaan di Salib, dan karena itu telah diselamatkan. Jadi,

    meskipun bangsa Yahudi menyangkal Yesus Anak Allah, Salib dan

    kebangkitan Yesus memiliki dimensi etis eskatologis atas

    penderitaan mereka. Warta tentang keselamatan Kristiani kepada

    umat Yahudi yang menderita dalam peristiwa Auschwitz dan bahkan

    kepada seluruh umat manusia yang menderita akan menemukan jalan

    buntu jika penderitaan umat manusia bukan merupakan catatan kaki

    dari penderitaan Kristus, atau jika penderitaan itu tidak memiliki

    rujukan eskatologisnya.

    Mengenang kembali penderitaan Kristus melalui penderitaan

    manusia berarti mengangkat penderitaan manusia kepada tataran

    ilahi. Penderitaan, lebih dari sekedar suatu persoalan teodicea,

    memiliki dimensi etis historis bahwa penderitaan itu bukanlah nasib

    yang diterima manusia secara pasif. Sebab jika demikian,

    penderitaan Kristus di salib tidak memiliki dimensi eskatologis apa

    pun. Memang Stanley Hauerwas telah membedakan secara etis

    teologis antara penderitaan yang terhadapnya manusia sama-sekali

    tidak mempunyai kontrol dan penderitaan yang memungkinkan

    manusia menguasainya. Akan tetapi, kontrol manusia atas

    penderitaannya bukan secara langsung menuntun manusia kepada

    jalan eskatologis. Demikian juga dengan penderitaan yang diterima

    secara pasif, sebab penderitaan manusia tersubordinasi di bawah

    penderitaan Kristus. Seandainya manusia karena kekuatan sendiri

    dapat mengangkat penderitaannya kepada tataran ilahi dan memiliki

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    25/37

    25

    dimensi etis eskatologis dalam dirinya sendiri, itu berarti sia-sialah

    penderitaan dan kebangkitan Kristus; atau seperti yang diwartakan

    Paulus, jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah iman manusia dan

    manusia tetap tinggal dalam dosa (1Kor 15:17). Dengan kata lain,

    manusia tidak diselamatkan atau tidak ditebus oleh kematian dan

    kemenangan Kristus.

    Memang peristiwa Auschwitz karena kooptasi negara Hegelian

    yang memberikan semua fungsi kepada negara sama-sekali bukan

    merupakan rencana Allah seperti halnya rencana dan kekuasaan

    Allah yang hendak ditunjukan dalam diri orang buta misalnya (Yoh

    9:3). Akan tetapi entah yang pertama maupun yang kedua, dalam

    penderitaannya manusia memerlukan Yesus sebab tidak ada

    keuntungan bagi Allah membiarkan manusia menderita (Ayb 10:3),

    sebaliknya yang diperoleh-Nya adalah kerugian sebab Dia

    kehilangan Putera Tunggal-Nya. Jadi, bahwa Yesus datang untuk

    menebus manusia, hal itu tidak harus berakhir dengan kematian di

    salib sebagai tebusan akan dosa tadi. Maka, kenangan yang paling

    pas akan penderitaan Kristus terdapat dalam penderitaan manusia

    dan dengan penderitaannya, manusia partisipatif dalam karya

    keselamatan Allah. Tidak ada cara lain yang paling baik untuk

    berpartisipasi aktif dalam karya keselamatan Allah selain bahwa

    dalam penderitaannya manusia mengenang penderitaan Kristus.

    2.2. Penderitaan Manusia: Dasar Komunikasi Personal DenganAllah

    Sebagaimana penderitaan manusia adalah catatan kaki dari

    penderitaan Kristus, saat Kristus dalam penderitaan-Nya tidak

    meninggalkan Allah tetapi malah berteriak: Eli, Eli, lama

    sabakhtani yang artinya AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau

    meninggalkan Aku? Jeritan iniadalah suatu seruan eksistensial yang

    keluar dari hati ketika Ia mengalami penderitaan. Ini bukan pertama-

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    26/37

    26

    tama adalah suatu pengalaman ditinggalkan oleh Allah karena Yesus

    masih berseru pula dengan suara nyaring untuk yang kedua kalinya

    dan menyerahkan nyawanya (Mat 27:49). Teriakan itu menimbulkan

    gelombang-gelombang suara yang tidak hanya merambah sampai di

    kediaman Allah, melainkan sanggup membelah bukit-bukit batu,

    menggetarkan bumi, membelah tabir Bait Suci, bahkan

    membangkitkan orang-orang kudus yang telah meninggal (Mat

    27:51-52). Ada kesan bahwa teriakan Yesus dari Salib itu untuk

    memaparkan kepada sosok manusia penderita agar meyakinkan diri

    bahwa di balik penderitaan itu masih ada Yesus, masih ada Allah,

    ada kebangkitan. Jawaban JB. Metz terhadap pertanyaan, apakah

    masih ada doa bagi orang Kristen setelah persitiwa Auschwitz?,

    yakni bahwa we can prayafter Auschwitz because there was prayer

    even in Auschwitz agaknya terinsipirasikan dari jeritan Yesus di

    Salib itu, bahwa dalam penderitaan orang masih dapat berdoa kepada

    Allah. Itulah sebabnya jeritan Yesus kepada Allah dari Salib itu lebih

    merupakan suatu doa dalam kesendirian daripada suatu teriakan

    protes karena pengalaman ditinggalkan. Sebab tidak mungkin Allah

    akan meninggalkan Yesus sendirian karena apa yang berkenan

    kepada Bapa adalah segala yang desembunyikan bagi orang bijak

    dan pandai tetapi justru dinyatakan kepada orang kecil (Mat 11:25-

    26). Preferensi fundamental Yesus dalam option for the poorseperti

    yang dikotbahkan-Nya di bukit (Mat 5-7) menyebabkan Allah tidak

    mungkin meninggalkan Dia dalam keadaan seperti di Salib, sebab

    itulah yang berkenan kepada Allah. Doa Yesus dalam

    penderitaanNya di Salib dan kejadian yang mengikutinya sebenarnya

    ingin mengatakan bahwa dalam penderitaan manusia perlu menjalin

    komunikasi personal yang intensif dengan Allah dan hanya karena

    manusia berdoa ia diselamatkan dari penderitaannya.

    Komunikasi personal yang intensif antara manusia dalam

    penderitaannya dengan Allah antara lain untuk menunjukan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    27/37

    27

    solidaritas manusia dalam penderitaan Yesus. Sebab solidaritas,

    seperti yang dikatakan JB. Metz, merupakan suatu kategori

    pembantu, pendukung serta persamaan dengan mana manusia,

    penderita yang akut dan terancam, dapat diangkat kepada tataran

    ilahi bahwa penderitaan mereka memiliki dimensi etis eskatologis.

    Bahasa komunikasi yang keluar dari lubuk hati manusia adalah

    bahasa doa. Dan bahasa doa, seperti ditegaskan JB. Metz, bukan saja

    lebih universal, tetapi juga lebih hidup dan dramatis, lebih bersifat

    memberontak serta radikal, ketimbang bahasa-bahasa teologis

    akademik. Dengan demikian bahasa doa dalam penderitaan manusia

    bukanlah model bahasa profetis liberatif. Sebab apa yang

    dimaksudkan oleh Gustavo Gutierrez dengan model bahasa profetis

    adalah suatu bahasa protes bukan saja diarahkan kepada situasi yang

    menindas melainkan juga kepada Allah. Bahasa model ini lebih

    merupakan bahasa kontemplatif sebab basis dari bahasa kontemplatif

    adalah pertemuan dengan Allah yang ditandai oleh kebebasan dan

    kukuasaan cinta-Nya. Maka, menjadi jelaslah bahwa dalam

    penderitaannya manusia dapat menemukan Allah melalui bahasa doa

    yang kontemplatif. Dan inilah solidaritas manusia dalam arti yang

    sebenarnya dengan Yesus Kristus yang telah terlebih dahulu

    menderita untuk menebus umat manusia dari dosa serta merestorasi

    hubungan manusia dengan Allah.

    Memang pengalaman akan Allah oleh manusia modern selalu

    terbatas antara lain karena dikondisikan oleh keterbatasan

    manusiawi, atau dalam cara sajian Walter Kasper ialah ilmu

    pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi pengalaman manusia akan

    Allah dalam penderitaannya adalah pengalaman manusia akan Allah

    yang menderita dalam sejarah sebab sejarah bukanlah medium Allah

    mengijinkan diri-Nya untuk dialami melainkan sejarah adalah milik

    Allah saja, sejarah berada di dalam Allah. Komunikasi personal

    manusia dalam penderitaannya dengan Allah sama dengan

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    28/37

    28

    mengalami Allah sebagai pemilik sejarah, bahkan mengalami sejarah

    itu sendiri. Benar jika Kasper mengatakan bahwa arti sejarah tidak

    berhenti dan kering karena Allah sendiri yang mengundang manusia

    untuk memulai kembali arti sejarah umat manusia, sejarah

    keselamatan orang-orang yang menderita dan tertindas.

    Komunikasi personal manusia dengan Allah dalam

    penderitaannya memiliki dimensi etis eskatologis dan ini terletak

    pada bahasa yang terucapkan dalam kesengsaraan dan penderitaan,

    meskipun memang bahasa yang terucapkan secara teoretis, bukan

    merupakan bahasa profetis liberatif menurut pengertian Gutierrez itu.

    Allah yang menyelamatkan manusia dari penderitaannya adalah

    Allah yang mengomunikasikan diri-Nya dalam bahasa yang hidup,

    yakni Logos yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Ayub

    dalam penderitaannya telah memperlihatkan contoh yang baik,

    bahwa dalam keadaan sengsara ia secara kontemplatif merenungkan

    apa yang dialaminya, direnungkan dalam dan bersama Allah. Itulah

    sebabnya Allah mendengar kontemplasi Ayub lalu membebaskan dia

    dari sengsara dan penderitaan. Bahasa kontemplasi manusia dalam

    penderitaannya adalah bahasa doa, seperti yang dituturkan JB. Metz,

    adalah bahasa tanpa tabu dan pada saat yang sama dipenuhi dengan

    painful discretion.

    Tidak ada komunikasi personal antara manusia dalam

    penderitaannya dengan Allah akan memunculkan suatu keadaan

    memberontak melawan Allah seperti yang tampak dalam persoalan

    teodicea dan memuncak pada klaim kematian Allah, sekaligus juga

    menyangkal bahwa iman timbul karena pendengaran. Dengan kata

    lain, iman timbul karena pendengaran ini mengandaikan ada

    komunikasi kontemplatif dengan Kristus yang menderita di Salib.

    Sebab segala sesuatu telah diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (Luk

    10:22), termasuk juga supaya dari bawah salib-Nya manusia yang

    menderita dapat berteriak: Tuhan, tambahkanlah iman kami (Luk

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    29/37

    29

    17:5). Tepat di sinilah, Yesus sebagai Logos yang menjadi manusia

    adalah Bahasa penderitaan itu sendiri, supaya dalam penderitaan-

    Nya manusia penderita dapat secara personal berkomunikasi dengan

    Allah dan menemukan arti penderitaannya itu.

    Penderitaan manusia, lebih dari sekedar sebagai persoalan

    teodicea, adalah dasar bagi hubungan personal manusia dengan

    Allah. Sebab ia memiliki dimensi etis eskatologis dalam pengertian

    penderitaan manusia adalah catatan kaki dari penderitaan Kristus.

    Sebagai catatan kaki berarti penderitaan manusia berpartisipasi

    secara aktif dalam penderitaan Kristus di Salib dan justru karena itu

    penderitaannya diangkat kepada tataran ilahi yakni kebangkitan.

    Pengangkatan penderitaan manusia kepada tataran ilahi ini

    dimungkinkan karena penderitaan Kristus adalah peristiwa antisipatif

    terhadap sejarah penderitaan manusia di dunia dalam segala zaman.

    Penderitaan Kristus adalah peristiwa historis antisipatif, ini sama

    artinya dengan mengatakan bahwa penderitaan manusia partisipatif

    dalam penderitaan Kristus. Sebab jika penderitaan manusia dapat

    dilihat secara terpisah dari penderitaan Kristus atau tidak memiliki

    rujukan eskatologis, maka bukan saja bahasa profetis liberatif yang

    akan menemukan jalan buntu mengangkat penderitaan manusia

    kepada tataran ilahi, tetapi juga bahwa warta tentang keselamatan

    yakni kebangkitan Kristus, akan merupakan skandal bagi orang-

    orang yang menderita. Skandal ini menjadi semakin tegas kalau

    pewartaan itu tidak menggunakan bahasa komunikasi kontemplatif,

    yakni bahasa orang-orang menderita itu sendiri, atau bahwa orang-

    orang menderita sama-sekali mengabaikan komunikasi personal

    mereka dengan Allah yang telah mengalahkan penderitaan dalam

    kebangkitan-Nya.

    Maka, komunikasi personal manusia dalam penderitaannya

    dengan Allah adalah dalam rangka solidaritas manusia yang

    menderita dengan, (meminjam JB. Metz), the God of Jesus. Inilah

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    30/37

    30

    solidaritas yang sebenarnya manusia dalam penderitaannya dengan

    Kristus, suatu solidaritas dalam rangka memoria passionis, mortis et

    resurrectionis Jesu Christi. Sebab dari solidaritas itulah terungkap

    harapan menuju suatu dunia baru, dunia manusia yang tertebus.

    D. Manusia Baru Yang BerpengharapanSetelah menelaah manusia baik dalam hakikatnya sebagai ciptaan Allah

    maupun keterlibatannya dalam dunia yang penuh penderitaan namun

    mendapatkan penebusan dalam Kristus, maka kita kian berproses menuju

    manusia baru yang berpengharapan, manusia yang tertebus, manusia yang

    diselamatkan.

    Keselamatan yang diraih dalam dan berkat Kristus memiliki nilai. Dan

    hidup sebagai nilai dasar yang tertinggi mengandung makna bahwa hidup

    merupakan syarat utama bagi nilai-nilai lainnya. Dengan kata lain, hanya

    dengan hidup manusia dapat menikmati nilai-nilai lain dalam kehidupannya.

    Pernyataan sedunia tentang Hak Asasi Manusia dan Kongregasi Ajaran

    Iman menyatakan bahwa hak pertama dan dasariah bagi manusia adalah hak

    untuk hidup. Karena itu, hidup manusia harus diperjuangkan dan dilindungi.

    Hidup manusia berasal dari Allah. Hidup itu karunia-Nya, gambar dan

    meterai-Nya, keikutsertaan dalam nafas kehidupan-Nya. Oleh karena itu Allah

    satu-satunya Tuhan hidup itu; manusia tidak dapat memperlakukannya sesuka

    hatinya. Hidup manusia luhur dan tidak ada sesuatupun yang bisa

    menggantikan dan memberikan hidup (Mrk 8:37). Agar manusia hidup, Allah

    memberikan/menjamin segala hal bagi kelangsungan hidup manusia (Mat

    6:25-32). Ini mengungkapkan bahwa manusia tergantung secara total kepada

    penyelenggaraan Allah. Hidup sebagai anugerah dan ketergantungan manusia

    kepada Allah memuat panggilan sekaligus tugas manusia untuk melindungi

    kehidupan.

    Almarhum Paus Yohanes Paulus II, melalui ensikliknya Veritatis Splendor

    no. 48 mengemukakan jiwa yang bersifat rohani dan tidak dapat mati

    merupakan prinsip kesatuan makhluk manusia, dengan mana ia ada sebagai

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    31/37

    31

    suatu keseluruhan. Paham ini menyampaikan bahwa manusia sebagai

    totalitas yang disatukan, satu dalam jiwa dan tubuh.

    Manusia adalah makhluk multidimensional tanpa dapat direduksi dalam

    satu sisi saja seperti jiwa atau badan. Semua menyatu dalam diri manusia secara

    utuh dan terintegrasi. Karena itu manusia adalah pribadi unik yang didasarkan

    pada sisi kerohanian dan kejasmaniannya. Maka pribadi dan badan manusia mesti

    dihargai apa adanya.

    Dalam Kejadian 1:27 dikemukakan maka Allah menciptakan manusia itu

    menurut gambar-Nya. Penciptaan manusia menurut citra Allah merupakan dasar,

    harkat dan martabat manusia. Manusia ambil bagian dalam wajah Allah. Karena

    itu manusia memiliki jiwa yang bersifat rohani dan kekal abadi (GS 14). Pribadi

    manusia yang utuh baik jasmani maupun rohaninya dikehendaki oleh Allah (KGK,

    362). Tubuh manusia ambil bagian dalam martabat keberadaan Allah. Karena itu

    penghargaan akan tubuh manusia juga merupakan perwujudan dari penghargaan

    akan Allah. Pribadi manusia secara utuh ditentukan menjadi kenisah Roh dalam

    tubuh Kristus (KGK. 364).

    Tujuan penciptaan manusia seturut citra Allah adalah agar manusia itu

    beranak cucu, bertambah banyak, memenuhi bumi dan ikut serta membangun

    dunia (Kej 1:28). Tugas perutusan manusia ini berasal dari kuasa Allah sendiri.

    Manusia ambil bagian dalam kuasa Allah. Karena itu manusia sepenuhnya

    tergantung dari kuasa Allah. Manusia ditugaskan oleh Allah untuk menghargai,

    menjunjung dan mencintai hidup (EV 42). Allah mengutus Putra tunggal-Nya,

    Yesus Kristus ke dunia untuk menyelamatkannya dan menebus manusia dari

    dosa-dosanya. Yesus menebus manusia lewat sengsara, wafat dan bangkit pada

    hari yang ketiga. Dengan pengorbanan Yesus ini manusia menjadi ciptaan baru,

    menjadi milik Allah sendiri dan merupakan tempat tinggal dan kediaman yang

    layak bagi Roh Kudus (bdk.1 Kor 6:19, KGK. No. 1708). Pemahaman yang baik

    dan benar akan pengertian ini mendorong manusia untuk menghargai hidup

    manusia, lewat tubuhnya, manusia bisa mengekspresikan diri, entah bergembira,

    menangis dan lain sebagainya. Oleh karena itu hidup manusia harus dihargai dan

    dihormati dalam setiap fasenya (KGK. No. 1708).

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    32/37

    32

    Hidup adalah suatu pemberian dari Allah sehingga suci adanya. Kesucian

    hidup ini sudah mengandung kualitasnya. Kualitas hidup dimengerti dalam tiga

    dimensi, pertama kualitas kebutuhan (kesejahteraan fisik), kedua kualitas

    keinginan atau aspirasi (subyektif), dan ketiga kualitas nilai-nilai (kebaikan etis,

    religius, cultural, relasi interpersonal dan cinta). Ketiga dimensi ini bersifat

    horizontal dan vertikal.

    Konsep kualitas hidup harus dimengerti secara benar. Pengertian akan

    kualitas hidup yang salah bisa mendatangkan malapetaka dan bencana karena bisa

    digunakan sebagai ukuran layak tidaknya seseorang untuk hidup. Kekhawatiran

    ini dapat dilihat dalam diri orang yang cacat, sakit terminal, idiot dan lain

    sebagainya. Bagaimanapun semua orang dalam segala dimensi dan fasenya

    berhak untuk hidup.

    Jelaslah bahwa hidup terutama manusia ( yang menjadi pokok perhatian

    penulis) harus dilindungi, dipelihara dan diperjuangkan. Hidup manusia

    merupakan anugerah Allah yang amat luhur. Manusia diciptakan oleh Allah (jiwa

    dan tubuh) secitra dengan-Nya. Akan tetapi keluhuran hidup manusia tidak berarti

    bahwa manusia bebas memperlakukan hidupnya dan hidup sesamanya sesuka

    hati. Hidup adalah milik Allah. Oleh sebab itu, hidup tidak boleh diganggu-gugat

    oleh manusia.

    Hidup yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia sangat berbeda

    dengan hidup makhluk ciptaan lainnya. Melalui dan di dalam hidup yang secitra

    dengan Allah itu, manusia menampilkan Allah di dunia, menandakan kehadiran-

    Nya dan mencerminkan kemuliaan-Nya. Pada saat yang sama, manusia diberi

    tugas sekaligus dipanggil untuk memelihara, melindungi dan menghormati hidup.

    Salah satu seruan normatif untuk merealisasikan tugas panggilan itu: Jangan

    membunuh. Larangan jangan membunuh mencapai puncaknya pada hukum

    cinta kasih: terhadap Allah dan terhadap sesama manusia. Cinta dan ucapan

    syukur kepada Allah mesti diejawantahkan dengan cinta terhadap sesama, yang di

    dalamnya termaktub sikap hormat terhadap harkat dan martabat manusia,

    perlindungan dan pemeliharaan hidup serta perjuangan terhadap nilai-nilai

    kehidupan.

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    33/37

    33

    Manusia pertama diciptakan sebagai makhluk yang baik dan ditempatkan

    dalam persahabatan dengan Penciptanya dan dalam keselarasan dengan diri

    sendiri dan dengan ciptaan yang berada di sekitarnya. Hanya oleh kemuliaan

    penciptaan baru dalam Kristus, persahabatan dan harmoni ini dapat dilampaui.

    Gereja menjelaskan perlambangan bahasa biblis dalam terang Perjanjian

    Baru dan tradisi secara otentik dan mengajarkan bahwa nenek moyang kita Adam

    dan Hawa ditempatkan dalam satu keadaan "kekudusan dan keadilan" yang asli

    (Konsili Trente: DS 1511). Rahmat kekudusan yang asli itu adalah "berpartisipasi

    dalam kehidupan ilahi" (LG 2).

    Oleh sinar rahmat ini kehidupan manusiawi diperkuat menurut segala

    aspek. Selama manusia tinggal dalam hubungan erat dengan Allah, ia tidak perlu

    mati atau bersengsara. Keselarasan batin dari pribadi manusiawi, keselarasan

    antara pria dan wanita, dan keselarasan antara pasangan suami isteri pertama dan

    seluruh ciptaan merupakan keadaan yang dinamakan "keadilan purba."

    "Kekuasaan" atas dunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia sejak

    awal, dilaksanakan pada tempat pertama sekali di dalam manusia itu sendiri yaitu

    kekuasaan atas diri sendiri. Manusia dalam seluruh kodratnya utuh dan teratur,

    karena ia bebas dari tiga macam hawa nafsu, yang membuat dia menjadi hamba

    kenikmatan hawa nafsu, ketamakan akan harta duniawi, dan penonjolan diri yang

    bertentangan dengan petunjuk akal budi.

    Bukti hubungan baik dengan Allah ialah bahwa Allah menempatkan

    manusia dalam "kebun". Ia hidup di dalamnya "untuk mengusahakan dan

    memelihara" taman itu (Kej 2:15). Pekerjaan itu untuk pria dan wanita bukan

    kerja paksa, melainkan kerja sama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaan

    yang kelihatan. Dan penyempurnaan ciptaan itu membawa kita menuju manusia

    baru dalam Kristus. Manusia baru adalah manusia yang telah mengalami

    pencerahan spiritualitas yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Bukan manusia lama

    yang masih terikat ritual-ritual agamawi sebagai pusat spiritualitasnya, atau

    manusia lama yang terikat dengan keinginan-keinginan daging (Gal 5:19), tapi

    manusia baru yang telah dan terus belajar mengenal Kristus (Ef 4:20). Pengenalan

    akan Kristus berbasis keintiman (intimacy), kontemplatif, dan aplikatif. Pusat

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    34/37

    34

    spiritualitasnya adalah Kristus sebagai Guru Agung Karakter, Tuhan dan

    Juruselamat Pribadi.

    Manusia baru itu ibarat cabang baru yang melekat kepada pohon anggur

    yang tidak hanya subur tapi juga benar. Selama cabang itu melekat kepada pohon

    anggur yang subur dan benar itu maka akan menghasilkan buah-buah yang lebat

    dan sehat. Manusia baru akan menunjukkan sifat-sifat, karakter-karakter seperti

    Kristus, misalnya buah-buah Roh (Gal 5:22) dan karakteristik dari kasih Agape

    (1Kor 13). Perubahan sifat dan karakter itu terjadi secara berkesinambungan

    dalam dimensi roh dan pikiran. Dalam wilayah roh dan pikiran itulah manusia

    baru itu telah dan terus dibaharui dalam Kristus (Ef 4:23; dan Rom 12:1-2).

    Menjadi seperti Kristus adalah adalah pergumulan jatuh bangun seumur

    hidup dari seorang manusia baru. Musuh-musuhnya tidak selalu Iblis, orang lain,

    melainkan diri sendiri dengan segala keinginannya. Analisa masalah selalu

    dimulai dari dalam diri baru ke luar.

    Menjalani hidup untuk Kristus adalah tujuan hidup seorang manusia baru

    (2Kor 5:15). Hidup adalah Kristus mati adalah untung, kata Rasul Paulus. Bahkan

    salah satu tujuan hidup seorang manusia baru adalah mengembangkan karakternya

    menjadi seperti Kristus. Kesulitan, kegagalan dan tantangan dalam kehidupan

    dianggap sebagai proses pembelajaran sebagai murid Kristus.

    Ukuran seorang manusia baru bukan ukuran lahiriah tapi batiniah (2Kor

    5:12). Begitu juga paradigma manusia baru adalah paradigma batiniah. Kacamata

    rohaninya lebih tertuju kepada apa yang tidak kelihatan bukan yang kelihatan,

    yang fana itu.

    Orientasi manusia baru ke depan adalah kekekalan. Kekekalan yang bukan

    dimulai setelah matinya tubuh tapi kekekalan yang dimulai saat Kristus lahir di

    hati, kekekalan yang dirasa sejak kini bukan kelak semata (Yoh 3:15-36).

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    35/37

    35

    E. KesimpulanPerjalanan uraian pandangan Gereja Katolik tentang manusia di atas dapat

    simpulkan dalam beberapa point sebagai berikut:

    1. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (citra) Allah.Sebagai citra Allah, manusia mampu mengenal dan mencintai

    Penciptanya dan oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua

    makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan menggunakannya sambil

    meluhurkan Allah. Sebagai citra Allah manusia mewarisi enam sifat

    dasar: rohani, bermoral, rasional, menguasai namun tidak diskriminatif,

    relasional dan komunal.

    2. Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan badan. Dan kesatuan inimenunjukkan totalitas atau keutuhannya sebagai ciptaan Allah yang

    unik. Kesatuan jiwa dan badan begitu mendalam, sehingga jiwa harus

    dipandang sebagai "bentuk" badan, artinya jiwa rohani menyebabkan,

    badan yang dibentuk dari materi menjadi badan manusiawi yang hidup.

    3. Manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan dalam kesetaraanmartabat, maka baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan

    kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam proses pengambilan

    keputusan yang menyangkut hidup berkeluarga, menggereja,

    bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    4. Sebagai ciptaan, manusia jatuh dalam dosa. Akibatnya, manusiakehilangan kemuliaan dan tidak dapat bertatap muka lagi dengan Allah

    yang disimbolkan dengan pengusiran manusia dari Taman Eden (Kej

    3:23).

    5. Dosa menyebabkan manusia menderita. Dan penderitaan manusia itumemuncak dalam penderitaan Kristus yang mengandung nilai

    eskatologis demi penebusan manusia. Penebusan itu sendiri terjadi

    sebagai buah komunikasi personal manusia yang solider dengan

    penderitaan Kristus. Penebusan inilah yang menjadikan kita sebagai

    manusia baru yang berpengharapan, manusia baru yang berhasil

    melampaui kegelapan dosa menuju terang kabangkitan Kristus.

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    36/37

    36

    KEPUSTAKAAN

    Bagus, L. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

    Bakker, A. Ontologi atau Metafisika Umum. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

    Baumans SVD, Josef, Telaah Sosio-Pastoral tentang Manusia, Jakarta: Celety

    Hieronika, 1999

    Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

    . Filsafat Barat Abad XX, jilid I. Jakarta: Gramedia, 1983.

    Boff, Leonardo, Allah Persekutuan, Ajaran Tentang Allah Tritunggal, Maumere:

    LPBAJ 1999.

    , Yesus Kristus Pembebas, Maumere:LPBAJ, 1999, cet. 3, 2003

    Dhler, Franz dan Eka Budianta, Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan

    Evolusi, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

    Dister OFM, Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, Yogyakarta: Kanisius, 2004

    , Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

    Dokumentasi dan Penerangan KWI. Dokumen Konsili Vatikan II. (terj. R.

    Hardawiryana). Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1998.

    , Piagam bagi Pelayan Kesehatan.

    Edwards, P. (ed.). The Encyclopedia of Philosophy, vol. 7. New York: Macmillan

    Publishing Co., Inc. & the Free Press, 1967.

    Fuller, Andrew R. Insight into Value: An Exploration of the Premises of a

    Phenomenological Psychological. New York: State University of New

    York Press, 1990.

    Gilarso, T. (ed.), Membangun Keluarga Kristiani: Pembinaan Persiapan

    Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

    Go, P.Hidup dan kesehatan. Malang: STFT Widya Sasana, 1984.

    Hadiwijono, H. Sari Sejarah Filsasfat Barat I. Yogyakarta: Kanisius, 1980.

    Huijbers, T.Mencari Allah: Pengantar ke dalamFilsafat Ketuhanan. Yogyakarta:

    Kanisius, 1992.

    Kasper, Walter, How Can We Experience God Today?, dlm., Theology Digest,

    Vol. xviii, no. 2 (Summer 1970), 122-31.

  • 8/3/2019 Manusia Menurut Pandangan Gereja Katolik3

    37/37

    Kasper, Walter, Jesus The Christ, (trans. by V. Green), Burns & Oates Paulist

    Press, LondonNew York, 1976.

    Katekismus Gereja Katolik. (terj. Herman Embuiru SVD) Ende: Waligereja Regio

    Nusa Tenggara, 1998.

    Latourelle, Ren & Rino Fisichella (Eds.), Dictionary of Fundamental Theology,

    New York: The Crossroad Publishing Company, 2000.

    Mangunwijawa, JB, Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan, Yogyakarta:

    Kanisius 1999.

    Metz, JB., A Passion For God: The Mystical Political Dimension of

    Christianity, trans. by J. Matthew Ashley, Paulist Press, New Jersey, 1998.

    , Faith In History And Society: Toward a Practical Fundamental

    Theology, (trans. by David Smith), Burns & Oates, London, 1980.

    Moltmann, Jrgen, God For A Secular Society: The Public Relevance of

    Theology, trans. by Margaret Kohl, Fortress Press, Minneapolis, 1999.

    Richard, Lucien, What Are They Saying About the Theology of Suffering?,

    Paulist Press, New Jersey, 1992.

    Scheler, M. Formalism in Ethics and Non-formal Ethics of Values: A New Attempt

    toward the Foundation of an Ethical Personalism. Evanston: Northwestern

    University Press, 1993.

    Snijders, A. Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks dan Seruan. Yogyakarta:

    Kanisius, 2004.

    Yohanes Paulus II. Ensiklik Evangelium Vitae. Jakarta: Dokumentasi dan

    Penerangan KWI, 1998.

    -. Veritatis Splendor. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1998.