Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan...

36
MANIVESTASI CRITYCAL PEDAGOGY SEBAGAI AGEN PRODUKSI KELAS SOSIAL TRANSFORMATIF DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF PENDAHULUAN Sejak zaman Yunani kuno hingga sekarang, wacana mengenai urgensi dan posisi pendidikan dalam mengontrol tatanan dunia telah dilakukan. Pendidikan dianggap sebagai sebuah motor dan investor bagi kelangsungan peradaban dan kebudayaan manusia. Pendidikan adalah solusi bagi kebermasalahan manusia dimuka bumi ini. Realitas justru berkata sebaliknya, pendidikan telah tereduksi maknanya. Pendidikan tak lebih hanya sekedar alat bagi penguasa untuk melanggengkan superioritasnya, pendidikan hanya suplier tetap untuk pertumbuhan industri dan ekonomi, bahkan tragisnya pendidikan berubah wajah menjadi lintah darat pemeras hasil keringat manusia (baca; pendidikan mahal). Dampak dari sistem pendidikan dengan prinsip pendidikan berkualitas hanya untuk pelanggan yang berkantong tebal tentu saja kemiskinan dan kebodohan yang keduanya mengait satu dengan lainnya =bodoh identik dengan miskin dan sebaliknya= tetap akrab bagi mayoritas masyarakat, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Tidak saja bagi masyarakat umum yang terbuang dari nikmatnya pendidikan, bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terkadang masih dianggap sebagai beban dalam komunitas sosial sama sekali tidak mendapat keberuntungan

Transcript of Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan...

Page 1: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

MANIVESTASI CRITYCAL PEDAGOGY SEBAGAI AGEN PRODUKSI

KELAS SOSIAL TRANSFORMATIF DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF

PENDAHULUAN

Sejak zaman Yunani kuno hingga sekarang, wacana mengenai urgensi dan posisi

pendidikan dalam mengontrol tatanan dunia telah dilakukan. Pendidikan dianggap

sebagai sebuah motor dan investor bagi kelangsungan peradaban dan kebudayaan

manusia. Pendidikan adalah solusi bagi kebermasalahan manusia dimuka bumi ini.

Realitas justru berkata sebaliknya, pendidikan telah tereduksi maknanya. Pendidikan tak

lebih hanya sekedar alat bagi penguasa untuk melanggengkan superioritasnya,

pendidikan hanya suplier tetap untuk pertumbuhan industri dan ekonomi, bahkan

tragisnya pendidikan berubah wajah menjadi lintah darat pemeras hasil keringat

manusia (baca; pendidikan mahal).

Dampak dari sistem pendidikan dengan prinsip pendidikan berkualitas hanya

untuk pelanggan yang berkantong tebal tentu saja kemiskinan dan kebodohan yang

keduanya mengait satu dengan lainnya =bodoh identik dengan miskin dan sebaliknya=

tetap akrab bagi mayoritas masyarakat, terlebih bagi negara berkembang seperti

Indonesia. Tidak saja bagi masyarakat umum yang terbuang dari nikmatnya pendidikan,

bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terkadang masih dianggap sebagai beban

dalam komunitas sosial sama sekali tidak mendapat keberuntungan untuk mendapatkan

pendidikan yang layak sesuai dengan kondisi mereka.

Pendidikan liberal dan pragmatis yang selama ini dilakukan tidak dapat ,

mengakomodir semua lapisan. Kebermanfaatan “semu” idologi liberal pragmatis hanya

dapat didapat oleh masyarakat kelas menengah atas, sedangkan masyarakat menengah

bawah tetap saja menjadi sasaran bagi pengembangan dunia industri dan ekonomi

secara praktis, apalagi dengan ABK yang tidak diberikan fasilitas yang memadai,

bahkan terkadang hanya demi gengsi komite sekolah menolak ABK untuk

mendapatkan pembelajaran.

Padahal pendidikan merupakan salah satu hak azazi manusia yang dilindungi

dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Dokumen

Pendidikan untuk Semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin memastikan bahwa

semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan. Akan tetapi, di Indonesia,

Page 2: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

misalnya, menurut data Depdiknas tahun 2002, hanya sekitar 7,5% anak berkebutuhan

khusus usia sekolah yang sudah memperoleh pendidikan formal di sekolah. Pendidikan

inklusif diyakini sebagai satu pendekatan pendidikan yang inovatif yang dapat

memperluas kesempatan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk

anak berkebutuhan khusus.

Visi yang diusung pendidikan inklusif adalah keadilan, kesamaan hak, dan

kesetaraan yang sejalan dengan ideologi pendidikan kritis transformatif. Dalam ideologi

pendidikan kritis transformatif ketiga prinsip tersebut sangat dijunjung tinggi hingga

pendidikan kemudian dapat menjadi production force, sebagai agen mobilitas sosial

yang mampu mengubah kelas rendah yang selama ini disandang oleh anak-anak

berkebutuhan khusus, dan bukan sebagai reproduction force yang selama ini terjadi

sehingga hasilnya adalah hanya mobilitas sosial yang vertikal.

Makalah ini lebih lanjut akan membicarakan dua hal yakni, pertama mengenai

apa dan bagaimanan itu pendidikan inkusif dan mengapa harus inklusif dalam

pelaksanaan pendidikan, kedua, tawaran critical pedagogi dan manifestasi ideologi

pendidikan kritis transformatif dalam pendidikan inklusif dengan menunjukkan tanda-

tanda signifikansinya dalam mengubah status dan kelas sosial yang disandang para

anak-anak berkebutuhan khusus.

Page 3: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

PEMBAHASAN

I. Inklusi; Konsep Pendidikan Untuk Semua

Sekolah berparadigma inklusif merupakan sekolah yang menghargai keragamanan

semua anak, menggunakan metode, strategi, dan sistem pembelajaran yang disesuaikan

dengan kebutuhan anak, dan adil, karena semua anak diuntungkan, termasuk anak

berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah mereka yang

mempunyai kebutuhan, baik permanen maupun sementara (temporer), yang disebabkan

oleh kondisi sosial-emosi, dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik dan/atau,

kelainan bawaan maupun yang didapat kemudian. Dengan kata lain, kita tidak hanya

membicarakan kelompok minoritas yang disebabkan oleh kelainan/kecacatan/

keterbelakangan mental saja, tapi mencakup juga anak-anak autistik, anak dengan

hambatan konsentrasi dan atensi (ADHD = Attention Deficite Hyperactivity Disorders),

anak berkesulitan belajar, anak yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa, dan

sejumlah besar anak usia sekolah.

A. Konsep Inklusi

“Inklusi atau Pendidikan Inklusif bukan nama lain untuk ‘pendidikan kebutuhan

khusus’. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam

mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah.

Pendidikan kebutuhan khusus dapat menjadi hambatan bagi perkembangan praktek

inklusi di sekolah. Konsep pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan

konsep yang melandasi gerakan ‘Pendidikan untuk Semua’ dan ‘Peningkatan mutu

sekolah’. Pendidikan inklusif merupakan pergeseran dari kecemasan tentang suatu

kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan untuk

belajar dan berpartisipasi.

Definisi Pendidikan Inklusif

Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra disetujui

oleh 55 peserta dari 23 negara (terutama dari ‘Selatan’) pada tahun 1998. Definisi ini

kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusive Education dengan

hampir tidak mengalami perubahan:

Page 4: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

Definisi Seminar Agra dan Kebijakan Afrika Selatan ;Pendidikan Inklusif adalah:

Lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah,

masyarakat, sistem nonformal dan informal.

Mengakui bahwa semua anak dapat belajar.

Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi

kebutuhan semua anak.

Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender,

etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS dll.

Merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan

budaya dan konteksnya.

Merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk

mempromosikan masyarakat yang inklusif.1

Selain definisi Agra ada juga Indeks untuk Inklusi yang merupakan hasil dari

proyek penelitian partisipatori selama 3 tahun di Inggris untuk mengembangkan materi

untuk mendukung inklusi. Materi ini kini telah diterjemahkan secara meluas dan

digunakan sebagai panduan pada berbagai konteks dan budaya. Akan tetapi, berbeda

dengan definisi Agra, definisi ini difokuskan pada persekolahan, bukan pada pendidikan

secara keseluruhan:

Indeks untuk Inklusi:

“Inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi

siswa dan mengurangi keterpisahannya dari budaya, kurikulum dan

komunitas sekolah setempat.”2

Inklusi juga melibatkan:

• Restrukturisasi budaya, kebijakan dan praktek untuk merespon terhadap

keberagaman siswa dalam lingkungannya;

• Pembelajaran dan partisipasi SEMUA anak yang rentan akan tekanan eksklusi

(bukan hanya siswa penyandang cacat);

• Meningkatkan mutu sekolah untuk stafnya maupun siswanya;

• Mengatasi hambatan akses dan partisipasinya;

1 sue stubbs,” inclusive education; where there are few resources”, pdf, hlm. 38, http://www.eenet.org.uk/theory_practice/IE%20few%20resources%20Bahasa.pdf

2 ibid. hlm. 39

Page 5: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

• Hak siswa untuk dididik di dalam lingkungan masyarakatnya;

• Memandang keberagaman sebagai kekayaan sumber, bukan sebagai masalah;

• Saling memelihara hubungan antara sekolah dan masyarakat;

• Memandang pendidikan inklusif sebagai satu aspek dari Masyarakat Inklusif3.

Konsep inklusi dan eksklusi saling terkait "karena proses peningkatan partisipasi siswa

menuntut adanya pengurangan tekanan untuk mempraktekkan eksklusi.”

Berdasarkan dua pengertian di atas maka inklusi memiliki dua makna yaitu

pendidikan inklusi yang berbasis pada pendidikan informal yang dalam prakteknya

banyak digunakan negara-negara selatan yang cenderung miskin dengan partisipasi

besar keluarga dan masyarakat, sedangkan pendekatan kedua lebih condong pada

persekolahan yang banyak digunakan oleh negara-negara utara yang lebih maju dan

modern.

B. Pendidikan Inklusif dan Para Penyandang Cacat

Pendidikan Inklusif tidak HANYA menyangkut inklusi penyandang cacat.

Sebagaimana ditekankan dalam dokumen Jomtien, terdapat banyak kelompok yang

rentan akan eksklusi dari pendidikan, dan inklusi pada esensinya adalah menciptakan

sistem yang dapat mengakomodasi semua orang. Namun inklusi penyandang cacat telah

memberikan tantangan tertentu dan kesempatan untuk kebijakan dan praktek sistem

pendidikan umum. Dokumen yang spesifik menyebutkan inklusi untuk semua adalah

dokumen Jomtien 1990 yang lebih jauh mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan

hak pendidikan untuk semua.

Pasal III – Universalisasi Akses dan Peningkatan Kesamaan Hak

1. Pendidikan dasar seyogyanya diberikan kepada semua anak, remaja dan orang

dewasa. Untuk mencapai tujuan ini, layanan pendidikan dasar yang berkualitas

seyogyanya diperluas dan upaya upaya yang konsisten harus dilakukan untuk

mengurangi kesenjangan.

2. Agar pendidikan dasar dapat diperoleh secara merata, semua anak, remaja dan

orang dewasa harus diberi kesempatan untuk mencapai dan mempertahankan

tingkat belajar yang wajar.

3 ibid. hlm.39

Page 6: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

3. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan

dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap

hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminasi

gender dalam pendidikan harus dihilangkan.

4. Suatu komitmen yang aktif harus ditunjukkan untuk menghilangkan

kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang

miskin; anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah

terpencil; pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras,

dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang; dan penduduk yang

berada di bawah penjajahan, seyogyanya tidak memperoleh perlakuan

diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar.

5. Kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-

langkah perlu diambil untuk memberikan kesamaan akses pendidikan bagi setiap

kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari system pendidikan.4

Di Indonesia sendiri kelompok yang wajib terinklusi dalam pendidikan adalah:

Jenis Jenis Anak Anak Berkebutuhan Berkebutuhan Khusus:

a) Tunanetra

b) Tunarungu

c) Tunagrahita: (a.l. Down Syndrome)

-C : TunagrahitaRingan(IQ = 50-70)

-C1 : TunagrahitaSedang(IQ = 25-50)

-C2 : TunagrahitaBerat(IQ < 25 )

d) Tunadaksa:

-D : TunadaksaRingan

-D1 : TunadaksaSedang

e) Tunalaras(Dysruptive)

f) Tunawicara

g) Tunaganda

h) Gifted : PotensiKecerdasanIstimewa (IQ > 125 )

i) HIV AIDS

4 http://www.unesco.org/education/efa/ed_for_all/background/07bpubl.shtml

Page 7: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

j) Talented : PotensiBakatIstimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico-

mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal,

Intrapersonal, Natural, Spiritual)

k) KesulitanBelajar(a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,

Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)

l) LambatBelajar( IQ = 70 –90 )

m) Autis

n) KorbanPenyalahgunaanNarkoba

o) Indigo5

C. Perbedaan Pendidikan Luar Biasa, Integrasi, Mainstreaming, Unit Kecil dan

Pendidikan Inklusif – Apa Bedanya?

Pengertian pendidikan inklusif telah kita bahas diatas,adanya bermacam macam

istilah ini mencerminkan sejarah perkembangan pendidikan inklusif, kesemua istilah

tersebut kini masih diimplementasikan dan dipromosikan, dan perbedan antara istilah-

istilah tersebut jarang sekali dipahami. Para pembuat kebijakan perlu memahami

perbedaannya, karena hasil jangka panjangnya akan sangat berbeda. Pertama-tama,

penting untuk difahami bahwa istilah-istilah tersebut memiliki banyak kesaman konsep

yang positif, misalnya:

Semua anak, termasuk anak penyandang cacat, berhak atas pendidikan.

Adanya komitmen untuk menemukan cara membantu anak yang belajar dengan

cara dan kecepatan yang berbeda-beda agar benar-benar dapat belajar.

Mempromosikan perkembangan potensi individu anak secara holistik: secara

fisik, linguistik, sosial, kognitif, sensori.

Mendukung bermacam-macam metoda komunikasi untuk penyandang berbagai

kecacatan (Bahasa isyarat, Braille, papan tanda, bicara dengan bantuan

komputer, Makaton, dll).

Sekarang mari kita telaah perbedaan antara tiap istilah tersebut.

1. Pendidikan Luar Biasa (mencakup sekolah luar biasa, kebutuhan

pendidikan khusus, kebutuhan khusus)

5 Program Direktorat Pendidikan luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional, pdf, http://www.ditplb.or.id/files/kebijakan2006.pdf

Page 8: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

Pendidikan luar biasa berasumsi bahwa terdapat kelompok anak yang terpisah

yang memiliki ‘kebutuhan pendidikan khusus’ dan seringkali disebut ‘anak

berkebutuhan khusus’. ASUMSI INI TIDAK BENAR karena:

Anak manapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar, banyak anak

penyandang cacat tidak memiliki masalah dalam belajar, hanya mengalami

masalah dalam aksesnya, namun mereka masih diberi label ‘anak berkebutuhan

khusus’

Anak yang memiliki kecacatan intelektual seringkali dapat belajar dengan sangat

baik dalam bidang tertentu atau pada tahap tertentu dalam hidupnya.

Pendidikan luar biasa tidak mendefinisikan istilah ‘khusus’. Pada kenyataannya,

yang sering disebut 'khusus’ merupakan kebutuhan belajar yang umum saja. Misalnya,

kebutuhan untuk dapat memahami apa yang dikatakan guru, untuk dapat mengakses

bahan bacaan, untuk dapat masuk ke dalam bangunan sekolah.

Pendidikan luar biasa meyakini bahwa ‘metode khusus’, 'guru khusus’,

‘lingkungan khusus’ dan ‘peralatan khusus’ diperlukan untuk mengajar ‘anak luar

biasa’. Ini SALAH – yang disebut metode khusus itu sering kali tidak lebih dari sekedar

metoda berkualitas baik yang difokuskan pada kebutuhan anak. Setiap anak butuh

belajar dengan dukungan dan dalam lingkungan yang kondusif.

Pendidikan luar biasa memandang anak sebagai yang bermasalah, bukan

sistemnya atau gurunya. SALAH—dengan ditempatkan pada lingkungan yang tepat dan

diberi dorongan, anak pasti akan mau belajar. Jika anak tidak mau belajar, maka guru

dan lingkungannya itulah yang membuat anak itu gagal.

Pendidikan luar biasa mendefinisikan keseluruhan individu anak berdasarkan

kecacatannya dan mengelompokkannya berdasarkan kecacatannya itu. SALAH – Pada

kenyataannya kecacatan hanya merupakan satu bagian saja dari diri anak. Sebagian

besar kualitas dan karakteristik anak penyandang cacat sama dengan anak pada

umumnya – membutuhkan teman, butuh dilibatkan, dicintai, ambil bagian dalam

masyarakatnya.

Pendidikan luar biasa ingin membuat anak menjadi ‘normal’ bukannya

menghargai kekuatan dan karakteristik yang dimilikinya. Ini dapat mengakibatkan

penekanan yang tidak semestinya untuk membuat anak berbicara atau berjalan,

Page 9: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

meskipun hal itu tidak realistis dan dapat mengakibatkan perasaan sakit yang tak

semestinya.

2. Pendidikan Integrasi

Ini merupakan istilah yang paling banyak dipergunakan masyarakat untuk

menggambarkan proses memasukkan anak penyandang cacat ke dalam sekolah

reguler (juga disebut mainstreaming, terutama di Amerika Serikat). Pendidikan

Integrasi berbeda dengan Pendidikan Inklusif dalam hal:

Fokusnya masih pada individu anak, bukan pada sistem. Anak dipandang

sebagai masalah dan harus ‘disiapkan’ untuk integrasi, bukan sekolahnya yang

disiapkan.

Integrasi sering hanya mengacu pada proses geografis - memindahkan anak

secara fisik ke sekolah reguler. Integrasi mengabaikan masalah-masalah seperti

apakah anak benar-benar belajar, diterima atau dilibatkan dalam kegiatan

kelasnya.

Sebagian besar sumber daya dan metode difokuskan pada individu anak, bukan

pada keterampilan guru atau sistemnya.

Anak yang ‘diintegrasikan’ akan dibiarkan untuk mengatasi sendiri sistem

sekolah reguler yang kaku tanpa dukungan atau akan memperoleh perhatian

khusus yang memisahkannya dari teman-teman sekelasnya.

Jika anak putus sekolah, tinggal kelas bertahun-tahun, atau terasing, maka ini

semua dianggap sebagai kesalahan anak itu sendiri; ‘dia tidak dapat mengikuti

kurikulum, tidak dapat berjalan sendiri ke sekolah, tidak tahan terhadap

komentar anak-anak lain’.

integrasi biasanya terfokus pada sekelompok anak tertentu, seperti mereka yang

memiliki kecacatan ringan, dan tidak akan memandang bahwa semua anak dapat

diintegrasikan.

Walaupun didasarkan pada konsep yang serupa dengan pendidikan luar biasa

yang segregatif, pendidikan integrasi pada prakteknya sering dipandang sebagai

perintis jalan menuju inklusi dan dapat mengarah pada perubahan sistem.

Page 10: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

3. Mainstreaming

Istilah ini sering dipergunakan seperti halnya inklusi atau integrasi. Akan tetapi,

istilah ini juga umum dipergunakan dalam kaitannya dengan isu-isu lain seperti jender

dan hak anak di dalam kebijakan pembangunan secara umum. Dalam hal ini,

mainstreaming dapat diartikan sebagai suatu proses politik untuk membawa suatu

isu dari tepi ke tengah (mainstream), agar diterima oleh mayoritas. Ini dapat diartikan

sebagai mengupayakan agar suatu isu masuk ke dalam agenda, dan mengubah

kesadaran orang dari memandangnya sebagai hal kecil menjadi permasalahan inti dalam

suatu perdebatan. Dalam hal ini, membuat isu kecacatan menjadi persoalan penting

dalam perdebatan tentang Pendidikan untuk Semua dan Peningkatan mutu sekolah

merupakan suatu tujuan yang sangat penting.

4. Unit Kecil

Istilah ini dipergunakan untuk kelas khusus atau bangunan khusus yang merupakan

bagian dari suatu sekolah reguler. Pada umumnya unit ini memiliki guru khusus dan

digunakan untuk anak dengan ‘kebutuhan pendidikan khusus’. Cara ini sering disebut

‘integrasi’ atau bahkan ‘pendidikan inklusif’ karena unit tersebut secara fisik merupakan

bagian dari sekolah reguler, tetapi sebenarnya merupakan segregasi dalam jarak yang

lebih dekat. Sistem ini didasarkan pada filosofi yang sama dengan pendidikan luar biasa

dan memiliki banyak kelemahan – sering kali dapat meningkatkan segregasi dan

eksklusi dan karenanya merupakan strategi yang harus dihindari. Beberapa

permasalahannya adalah:

Guru sekolah reguler memandang bahwa anak yang memiliki kesulitan belajar

merupakan tanggung jawab ‘guru khusus’ di unit tersebut. Mereka tidak suka

dengan jumlah anak yang terlalu banyak dikelasnya sedangkan gaji mereka

rendah,sehingga ingin melepaskan diri dari beban anak yang ‘bermasalah’ itu

dengan melabelinya ‘berkebutuhan khusus’.

Pada prakteknya, jenis anak yang ditemukan di unit ini diklasifikasikan

berdasarkan karakteristiknya yang arbitrer, bukan berdasarkan kebutuhan

belajarnya. Misalnya, mereka disatukan karena memiliki kecacatan meskipun

jenis kecacatannya berbeda-beda. (Tidak ada keuntungan apapun dengan

menggabungkan anak tunarungu, tunanetra dan tunagrahita dalam satu

kelompok untuk tujuan pengajaran).

Page 11: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

Dengan menempatkan semua anak ‘cacat’ dan ‘berkebutuhan khusus’ di unit

tersebut, mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar dari teman sebayanya,

dan teman sebayanya pun tidak memiliki kesempatan untuk belajar berhubungan

dengan mereka yang berbeda dari dirinya. Maka stigma dan pemisahan itu pun

terabadikan.6

D. Inklusi versus Segegrasi & Integrasi

Pada awalnya ide inklusi adalah lahir dari ketimpangan-ketimpangan yang

terdeteksi dari pendidikan segegrasi ataupun integrasi. Praktek pendidikan integrasi

adalah ABK dapat berkumpul dengan anak-anak lain dalam sekolah reguler, tetapi

prakteknya tidak ditemukan bagaimana sekolah, guru maupun kurikulumnya

mendukung keberadaan para ABK, sehingga sekolah intergrasi seperti menjadi sekolah

segregasi kembali. Baik sekolah reguler yang kaku maupun sekolah khusus yang

segregasi telah gagal dalam mempromosikan hak-hak anak secara holistik dan dalam

memberikan pendidikan berkualitas yang relevan dan tepat untuk semua anak.

“Salamanca 5 tahun”, dalam Kajian tentang Aktifitas UNESCO, yang diterbitkan

pada tahun 1999,35 memperingatkan bahwa pendidikan luar biasa sering kali mengarah

pada eksklusi:

“Walaupun maksudnya sangat baik, sering kali hasilnya (dari program khusus,

institusi khusus, guru khusus) adalah eksklusi; diferensiasi sering menjadi suatu

bentuk diskriminasi, membiarkan anak berkebutuhan khusus di luar kehidupan

sekolah biasa dan kemudian menjadi orang dewasa yang berada di luar kehidupan

masyarakat sosial dan budaya pada umumnya.”7

Di negara-negara miskin, penyelenggaraan sekolah luar biasa bukan merupakan

pendekatan yang ekonomis untuk memenuhi kebutuhan khusus anak penyandang cacat,

dan inklusi sering kali dipandang sebagai ‘pilihan yang murah’ tetapi akhirnya disadari

sebagai ‘pilihan yang lebih baik’. Unit kecil yang dikaitkan dengan sekolah reguler

sering dipandang sebagai suatu bentuk ‘inklusi’ tetapi memiliki banyak kelemahan dan

mengarah pada eksklusi. Lebih positif dari pada memfokuskan pada kegagalan sistem

6 Stubbs, “Inclusive…” hlm.42-467 Salamanca 5 years on a review of unesco activities in the light of the salamanca statement and

framework for action on special needs education. unesco 1999. http://unesdoc.org./images/0011/001181/11811.pdf. hlm. 6

Page 12: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

lama adalah menelaah contoh-contoh keberhasilan yang bertambah setiap harinya dari

berbagai konteks dan budaya. Semuanya ini merupakan contoh yang nyata bagaimana

sumber daya, sikap dan hambatan institusi terhadap inklusi dapat diatasi. Beberapa

contoh tersebut meliputi:

Anak penyandang kecacatan intelektual diinklusikan dalam sistem pendidikan

umum di TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi

(Inggris).

Anak penyandang cacat diinklusikan di sekolah dengan jumlah anak lebih dari

100 orang per kelas (Lesotho)

Anak penyandang cacat diinklusikan di sekolah-sekolah dilingkungan

masyarakat termiskin di dunia (Douentza, Mali).

Transformasi sistem yang kaku menjadi metodologi yang fleksibel yang

berfokus pada diri anak (Cina)

Peningkatan mutu sekolah yang mengarah pada pendidikan inklusif dalam level

pelatihan guru (Laos)8

Maka wacana yang harus dikembangkan adalah bagaimana pemerintah mendukung

sekolah segregasi ataupun integrasi berubah menjadi sekolah inklusif. Hal ini

disebabkan agar pemerintah secara proaktif mengadvokasi pendidikan untuk semua dan

terlibat secara langsung dalam peningkatan mutu persekolahan maupun pembelajaran.

Mengubah sekolah atau kelas konvensional menjadi inklusif, ramah terhadap

pembelajaran merupakan suatu proses dan bukan suatu kejadian tiba-tiba. Proses ini

tidak akan terjadi dalam sehari, karena memerlukan waktu dan kerja kelompok. Dengan

perubahan menjadi sekolah berparadigma inklusif menghasilkan banyak manfaat bagi

kita, yaitu kualifikasi guru akan meningkat menjadi pendidik yang lebih profesional,

meningkatkan kualitas belajar semua anak, dan kepedulian keluarga, serta masyarakat

dalam mendukung wajib belajar untuk semua anak bangsa.

Adapun aspek-aspek9 penting yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan

sekolah yang inklusif adalah sebagai berikut: 1) Guru perlu mengetahui bagaimana cara

mengajar anak dengan latar belakang dan kemampuan yang beragam. Peningkatan

kemampuan ini dapat kita lakukan dengan berbagai cara, seperti: pelatihan, tukar

8 sue stubbs, “inclusive…..” hlm 359 Didi tarsidi, http://d.tarsidi.blogspot.com/ diakses maret 2009

Page 13: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

pengalaman, lokakarya, membaca buku, dan mengeksplorasi/menggali sumber lain

kemudian mempraktekkannya di dalam kelas. 2) Semua anak memiliki hak untuk

belajar, tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa atau

kondisi lainnya, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah

ditandatangani semua Pemerintah di dunia termasuk Indonesia. 3) Guru menghargai

semua anak di kelas, guru berdialog dengan siswanya; guru mendorong terjadinya

interaksi di antara anak-anak; guru mengupayakan agar sekolah menjadi

menyenangkan; guru mempertimbangkan keragaman di kelasnya; guru menyiapkan

tugas yang disesuaikan untuk anak; guru mendorong terjadinya pembelajaran aktif

untuk semua anak. 4) Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang

berbagi visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan bermain

bersama. Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan tidak

diskriminatif, menghargai semua budaya, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari

anak. 5) Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan

gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh untuk

melindungi diri dari penyakit dan bahaya.6) sekolah menciptakan sistem dan fasilitas

yang sesuai dengan kondisi macam-macam ABK dan bukan sebaliknya, karena jika itu

dilakukan maka asumsi yang terbentuk baik oleh ABK ataupun tidak adalah bahwa

sistem dan fasilitas yang diberikan bukan sesuatu yang aneh dan diluar realitas, tetapi

menjadi sesuatu yang wajar dan integral dalam kehidupan mereka sehingga tidakada

lagi pandangan-pandangan sinis tentang ketidaksamaan mereka.

Di samping itu, di dalam pendidikan inklusif tidak ada kekerasan terhadap anak,

pemukulan atau hukuman fisik. Lingkungan tersebut mendorong guru, pengelolah/

kepala sekolah, anak, keluarga dan masyarakat untuk membantu pembelajaran anak,

misalnya di kelas peserta didik beserta guru bertanggung jawab kepada pembelajaran

dan secara aktif berpartisipasi didalamnya. Belajar berkaitan dengan materi apa yang

dibutuhkan dan bermakna dalam kehidupannya. Lingkungan yang inklusif, ramah

terhadap pembelajaran juga mempertimbangkan kebutuhan, minat, dan keinginan kita

sebagai guru. Ini berarti memberikan kesempatan kepada kita untuk belajar bagaimana

mengajar yang lebih baik. Jadi pendidikan inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang

dibawa anak ke sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat, dan secara khusus

melihat pada bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi

Page 14: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

dalam kehidupan alami dan normal di sekolah atau masyarakat, serta memperhatikan

apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena lingkungan yang tidak

kondusif.

Menurut laporan UNESCO tahun 2003 dan berdasarkan beberapa penelitian terkini

menunjukkan bahwa, ketika Pendidikan Inklusif diterapkan, ternyata terjadi adanya

peningkatan prestasi dan kemajuan belajar pada semua anak secara bermakna

(signifikan). Di banyak daerah di dunia melaporkan juga, bahwa dengan mendidik anak-

anak usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum dapat diperoleh

beberapa manfaat pribadi, sosial, dan ekonomi. Banyak siswa dengan kebutuhan khusus

ini berhasil diakomodasi dengan lebih menyenangkan melalui proses belajar bersama

komunitas sebayanya.10

Adapun manfaat lingkungan pembelajaran yang inklusif adalah sebagai berikut: 

Manfaat bagi anak yaitu: kepercayaan diri anak menjadi lebih berkembang; bangga

pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya; dapat belajar secara mandiri dengan

mencoba memahami dan mengaplikasikan pelajaran di sekolah dalam kehidupan sehari-

hari; mampu berinteraksi secara aktif bersama teman dan guru; belajar menerima

perbedaan dan beradaptasi terhadap perbedaan; dan anak menjadi lebih kreatif dalam

pembelajaran.

Manfaat bagi guru antara lain: guru mendapat kesempatan belajar cara mengajar

yang baru bagi peserta didik yang memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam;

mampu mengatasi tantangan; mampu mengembangkan sikap yang positif terhadap

anggota masyarakat, anak dan situasi yang beragam; memiliki peluang untuk menggali

gagasan-gagasan baru melalui komunikasi dengan orang lain di dalam dan di luar

sekolah; mampu mengaplikasikan gagasan baru dan mendorong peserta didik lebih

proaktif, kreatif, dan kritis; memiliki keterbukaan terhadap masukan dari orangtua dan

anak untuk memperoleh hasil yang positif.

Sedangkan manfaat bagi orangtua antara lain: orangtua dapat belajar lebih banyak

tentang bagaimana anaknya dididik; mereka secara pribadi tentu akan terlibat dan

merasa lebih penting untuk membantu anaknya belajar. Ketika guru bertanya pada

orangtua tentang anaknya, maka orangtua merasa dihargai dan menganggap dirinya

sebagai mitra setara dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas untuk

10 http://unesdoc.unesco.org./images/0011/001181/11811.pdf

Page 15: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

anak; orangtua juga dapat belajar bagaimana cara membimbing anaknya di rumah

dengan lebih baik, yaitu dengan menerapkan teknik yang digunakan guru di sekolah,

dan manfaat bagi masyarakat, antara lain: masyarakat merasa lebih bangga ketika

banyak anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran, dan masyarakat akan menemukan

lebih banyak “calon pemimpin masa depan” yang disiapkan untuk berpartisipasi aktif di

masyarakat.

II. Tawaran Critical Pedagogy

Pendidikan tidak pernah lekang oleh waktu. Pendidikan selalu diharapkan menjadi

media perbaikan dan perubahan bagi segala masalah yang membelit di semua sektor

kehidupan. Pendidikan acapkali diidentikkan dengan perubahan sosial, karena dengan

pendidikan suatu perubahan dapat dimulai dan begitupula sebaliknya perubahan tidak

dapat dimulai tanpa adanya pendidikan. Meminjam kalimat Ashari Cahyo Edhi

perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu

tarikan nafas: pendidikan trasnformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial

adalah pendidikan transformatif.11 Mengapa demikian, perubahan sosial tentu

membutuhkan pemain-pemain yang memiliki pengetahuan, kemampuan, komitmen,

serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu

media (baca; pendidikan) dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya

kontra ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.Paulo

Freire, pemikir dan aktivis Pendidikan Kritis, mempunyai pendapat cemerlang perihal

pendidikan dan kaitannya dengan perubahan sosial12. Dalam bentuknya yang paling

ideal, menurut Freire, pendidikan dapat membangkitkan kesadaran (conscientizacao)

diri manusia sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat

memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk

kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi

intersubjektif rakyat dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru

yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya kondusif bagi

humanisme dan pembebasan.

11 Ashari Cahyo Edi, “Pendidikan Transformatif” http://jurnalyics.tripod.com/index/html diakses 23 maret 2009

12 Basis edisi Paulo Freire, No.01-02 tahun ke-50, januari-febuari 2001

Page 16: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

Untuk menghasilkan perubahan sosial pendidikan tidak hadir begitu saja seperti

sulap tanpa ada landasan yang menjadi latar belakang bagaimana kebijakan pendidikan

diambil. Dalam implementasinya pendidikan adalah produk dari world view atau

paradigma dan atau ideologi yang menaunginya. Secara konseptual ada tiga

paradigma/ideologi pendidikan yang dapat menjadi peta pijakan untuk memahami

bagaimana penyelenggaraan pendidikan dilakukan dan sangat berdampak bagi agenda

perubahan sosial.

Dua diantaranya adalah Liberal dan Konservatif yang sama sama berpendirian

bahwa pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama

pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan

adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam

struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat

luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’

justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat13.

Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan

mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas

berfungsi secara baik. Keduanya juga tidak melihat keterkaitan sistem pendidikan

dengan kelas-kelas sosial yang terbentuk dan cenderung menyalahkan individual jika

tertimpa kegagalan. Dengan model seperti ini pendidikan tidak lebih hanya sekedar

mereproduksi kelas sosial yang sama dengan pola “kelas atas - pendidikan berkualitas –

kelas atas”.14 Hal ini terlihat dari bahwa siswa yang memiliki modal besar akan

mendaptkan pendidikan berkualitas (versi liberal-pragmatis) dan memilki kesempatan

yang besar pula untuk kembali ke kelas sosial mereka semula, dan sebaliknya siswa

dengan modal pas-pasan akan sulit mendapat akses pendidikan bermutu dan kemudian

berakhir di kelas sosial bawah kembali. Dengan dua idelogi diatas para ABK sama

sekali tidak mendapat tempat dalam dunia pendidikan, alih-alih berimpian merubah

status mereka dari kaum marjinal menjadi dan terlabeli status sosial kelas atas justeru

Para ABK hanya berkubang pada kesulitan mereka atas sistem yang meng-eksklusi

mereka.

A. Paradigma Kritis Transformatif

13 Arif Rohman, “Politik Ideologi Pendidikan”, Yogyakarta:laksbang mediatama, 2009, cet.I, hlm. 81

14 M. Agus Nuryatno, “sekolah, reproduksi sosial dan critical citizenship”, Kompas, 22 desember 2003. http://www2.kompas.com/kcm

Page 17: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi

konservatif, pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum

liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan

struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan

berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam mayarakat tercermin pula

dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal

dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam

masyarakat. Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi

kritis, terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama

pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur

ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang

lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif

maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi

pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai pemihakan

terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih

adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk

mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi soaial.

Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia

yang mengalami dehumanisasi karena sistim dan struktur yang tidak adil.15

Mazhab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena

itu, pendidikan tidak boleh berkubang dalam urusan persekolahan, kurikulum dan

kebijakan pendidikan saja tetapi juga tentang keadilan dan kesetaraan. Visi tersebut

tidak boleh terlisan dalam kata-kata saja melainkan juga dalam praktek pendidikan

sehari-hari. Tidak boleh ada ambiguisitas, paradoksal dan ketidak-konsintenan antara

apa yang dikonstruksi secara konstitusional dengan praktek di lapangan. Realitas

menunjukkan bahwa sekolah sering sekali menampakkan wajah ambigu, kontradiktif

dan paradoks.16 Disatu sisi sekolah mengagungkan visi menciptakan masyarakat yang

demokratis, tetapi dalam praksisnya justru sekolah melakukan tindakan otoriter dan anti

demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleran,

apresiasif, dan pluralis/multikulturalis. Sekolah berkoar bahwa pendidikan untuk semua

15 Arif Rohman, 2009. “politik…….”hlm.8516 M. Agus Nuryatno, “Mazhab Pendidikan Kritis”, yogyakarta: resist book, 2008, hlm 3.

Page 18: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

tetapi prakteknya justru mengeliminir kelompok minoritas utamanya kaum miskin dan

difabel.

B. Pendidikan Sebagai Transformasi dan Mobilisasi Sosial

Telah disinggung diatas bahwa setiap paradigma yang diusung oleh pendidikan

menggambarkan situasi dan kondisi yang berbeda. Dari pemetaan diatas, sistem

pendidikan di Indonesia selama ini masih jauh untuk dikategorikan sebagai pendidikan

kritis. Dapat pula dikatakan, dalam taraf tertentu pendidikan kita justru terjebak dalam

paradigma konservatif, meskipun kalau dilihat secara umum pendidikan nasional

termasuk dalam mainstream liberal. Ini ditandai mulai dari privatisasi pendidikan,

model subjek-objek, serta orientasinya yang kental dengan ideologi kapitalisme.

Dewasa ini, ketika dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari

status dan fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai

komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi eksklusif dan

tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial pun sulit dielakkan

berlaku, yaitu secara sederhana Darwinisme Sosial dapat dipahami sebagai suatu

keadaan diamana kehidupan sosial dianalogikan dengan konsep Darwin tentang iklim

kompetisi antar penyusun ekosistem yang berpijak pada postulat survival of the fittest.

Pendek kata, adalah sah bagi individu dan kelompok msyarakat yang punya sumber

daya untuk 'memukul roboh' kelompok dan individu lain demi kepentingan dan

kelangsungan kelompok tersebut.17 Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar dari

koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata).

Dalam ideologi konservative dan liberal misi utama adalah menjaga staus quo

sehingga tidak terjadi transformasi sosial dan akibatanya pendidikan menjadi tidak ada

artinya. Berlawanan dengan kedua ideologi tersebut, idologi kritis berkehendak

terwujudnya transformasi dan mobilisasi sosial yang signifikan sehinga peserta didik

dari kalangan menengah kebawah dapat berpindah kedalam status sosial yang lebih

tinggi. Sejauh ini berdasarkan teori korespondensi/reproduksi18, yang terjadi adalah

pengulangan produksi struktur sosial dengan pola:

17 Ashari Cahyo Edi, “Pendidikan Transformatif”, http://jurnalyics.tripod.com/index/html diakses 23 maret 2009

18 M. Agus Nuryatno, “sekolah…..”

Page 19: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

Kelas atas Pendidikan bermutu kelas atas

Kelas Bawah Pendidikan pas-pasan kelas bawah

Bahwa setiap kelas atas akan kembali lagi kekelas semula dengan mudah dan

gampang, begitu pula sebaliknya. Seharusnya pendidikan yang diselengarakan adalah

menjadi production force agar setidaknya para golongan kelas atas tidak akan selalu

merasa besar kepala dengan posisinya dan mengahantarkan pendidikan menjadi

pengabdi untuk semua golongan. Disamping sebagai agen produksi kelas sosial

pendidikan kritis juga mengumandangkan pesan transformasi intelektual.

C. Praktek Critical Pedagogy Dalam Pendidikan Inklusif

Visi pendidikan kritis adalah memanusiakan manusia, membebaskan manusia dari

kebodohan dan menggunakan akal budi untuk mengatur alam. Mazhab ini juga sangat

menaruh perhatian pada terwujudnya keadilan dan kesetaraan bagi kaum-kaum

tertindas, terekslusi dan termarjinalkan dari sistem yang berjalan. Dari hal tersebut tentu

yang menjadi upayanya adalah selain bagaimana orang-orang yang terekslusi dapat

terinklusi tapi juga mengubah sistem yang telah berjalan. Beberapa turunan prinsip

critical pedagogy yang harus dilakukan adalah:

1. Pelaksanaan pendidikan tanpa diskriminasi (adil dan setara)

2. Merubah posisi guru dan murid dari subyek-obyek menjadi subyek –subyek

3. Melibatkan peserta didik dalam mengkontruksi ilmu pengetahuan

4. Membuat pengetahuan yang didapat untuk memahami dan mengubah realitas

sosial

5. Membentuk lingkungan multikultur dan pluralis yang kondusif (toleran dan

apresiasi atas perbedaan)

6. Porsi pengetahuan teknis dan emansipatoris yang proporsional

7. Kurikulum yang dekat dengan kehidupan sehari-hari

8. Hidden kurikulum yang dapat membantu anak membaca, mengkritisi dan

mengubah realitas yang timpang.

Page 20: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

Dari beberapa hal diatas sebenarnya akan lebih mudah jika dipraktekkan dalam

pendidikan inklusif karena pendidikan inklusif berdiri ditas anak-anak yang

termarjinalkan, berakara pada keadilan dan kesetraan dan menuntut sistem yang

menyesuaikan dengan kondisi peserta didik dan bukan sebaliknya. Disamping itu

peserta didik diajarkan untuk berinteraksi dengan bermacam kondisi peserta didik yang

memang ada (RAS, gender, difabel, korban perang, agama dll) di dunia ini sehingga

mereka tidak buta akan realitas yang sesungguhnya.

Demikian jika pendidikan disyaratkan menjadi media produksi sosial maka

sebenarnya itu telah termanivestasi dalam pendidikan inklusif berdasarkan indikator

dibawah ini:

1. Ada setting dan interaksi sosial yang sebenarnya. Para ABK belajar dalam

lingkungan yang nyata (bukan hanya bergaul dengan para ABK dan terpisah dari

dunia nyata) dan siswa non ABK mampu mengenal dan belajar untuk tidak

mengabaikan ABK dan mereka semua belajar hidup berdampingan

2. Ada interaksi kelompok yang plural dalam pembelajaran karena siswa non ABK

diajarkan untuk membantu para ABK dan para ABK belajar apa yang dilakukan

siswa lainnya

3. Memperbesar rasa percaya diri ABK

4. Mengaktualisasikan lingkungan setempat

5. Meminimalisir hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah

lainnya terhadap akses dan pembelajaran

6. Anak mendapat pelayanan sesuai kebutuhan anak

7. Membangun sikap empatik, simpatik dan solidaritas terhadap mereka yang

selama ini tereksklusi dari pendidikan

8. Menghilangkan sikap diskriminataif

Dengan demikian jika pendidikan inklusif mampu dilaksanakan dengan baik

maka sebenarnya pendidikan telah menjadi media mobilisasi dan produksi kelas sosial

yang luar biasa karena para siwa yang tereklusi dapat menikmati pendidikan yang

berkualitas sehingga kesempatan untuk merubah status kelas mereka tentu jauh lebih

mudah daripada mereka harus berangkat dari latar belakang pendidikan yang tidak

Page 21: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

berkualitas. secara teoritik pendidikan inklusif mampu memproduksi kelas sosial yang

lebih baik bagi para ABK. Hal tersebut berdasarkan beberapa indikator berikut yang

mencerminkan misi critical pedagogy :

1. Pelaksanaan pendidikan atas dasar prinsip keadilan dan kesetaraan

2. Model pembelajaran dengan pola subyek-subyek

3. Anak-anak dilibatkan dalam pembentukan dan penentuan pengetahuan yang

dibutuhkan untuk kehidupan sehari-harinya

4. Besar kemungkinan pendidikan inklusif mampu menjadi media mobilitas kelas

sosial seperti dijelaskan sebelumnya.

KESIMPULAN

Pendidikan masih diklaim sebagai salah satu media perubahan sosial. Karena

perubahan sosial harus dibarengi dengan produk-produk pendidikan yang mengawal

transformasi sosial. Pendidikan yang selama ini dilakukan tidak lebih sekedar menjadi

alat bagi kelanggengan hegemoni kapitalis, mereproduksi kelas-kelas yang sama dan

mengekslusikan pihak-pihak yang bermodal rendah serta orang-orang yang dianggap

tidak normal oleh mereka seperti difabel. Jika demikian yang terjadi maka proses

Page 22: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

dehumanisasi dan domestikasi telah menjadi agenda utama pendidikan. Melihat

fenomena ini critical pedagogy merangsek naik untuk mengkrtisi realitas tersebut.

Misinya membuat pendidikan dengan kualitas baik bisa dinikmati oleh semua orang

terutama mereka yang tertindas. Sejauh ini prakteknya sukar untuk ditemui tetapi

tawaran pendidikan inklusif yang mengakomodasi semua anak tanpa terkecuali dengan

pola sistem yang menyesuaikan anak dan bukan sebaliknya paling tidak telah

menginklusi orang-orang yang terekslusi dengan mutu pendidikan yang sama.

Berdasarkan hal tersebut anak-anak yang berkebutuhan khusus tentu dapat menikmati

keadilan dan kesetaraan sistem sehinga peluang mereka untuk merubah status sosial

mereka tentu jauh lebih besar. Setidaknya secara teoritis, jika mereka belum mampu

menjadi kelas atas mereka telah menjadi dan masuk kedalam kelas inklusi masyarakat

bukan sebagai orang buangan dan keberadaannya dianggap in-eksis. Wallahu A’lam

DAFTAR PUSTAKA

Basis edisi Paulo Freire, no.01-02 tahun ke-50, januari-febuari 2001

Edi, Ashari Cahyo, Pendidikan Transformatif, http://jurnalyics.tripod.com/index/html diakses 23 maret 2009

http://www.unesco.org/education/efa/ed_for_all/background/07bpubl.shtml

Page 23: Manivestasi Critical Pedagogy Sebagai Agen Produksi Kelas Sosial Trasnformatif Dalam Pendidikan Inklusif

http://unesdoc.org./images/0011/001181/11811.pdf

Nuryatno, M. Agus, “ Mazhab pendidikan Kritis”, Yogyakarta: Resist Book, 2008, Cet. I.

_________, “ Sekolah, Reproduksi Sosial dan Critical citizenship”, Kompas 22 Desember 2003, http://www2.kompas.com/kcm

Rohman, Arif, “Politik Ideologi Pendidikan”, Yogyakarta:Laksbang

Mediatama, 2009, cet.I

Stubbs, Sue, ” Inclusive Education; Where There Are Few Resources”, pdf,

http://www.eenet.org.uk/theory_practice/IE%20few%20resources

%20Bahasa.pdf

Program Direktorat Pendidikan Luar Biasa Departemen pendidikan nasional, pdf. http://www.ditplb.or.id/files/kebijakan2006.pdf

Salamanca 5 years on a review of unesco activities in the light of the salamanca

statement and framework for action on special needs education unesco 1999. http://unesdoc.org./images/0011/001181/11811.pdf.

Tarsidi, Didi, http://d.tarsidi.blogspot.com/ diakses maret 2009