Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi
-
Upload
mohammad-rifky-febianto -
Category
Science
-
view
213 -
download
4
description
Transcript of Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi
MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI
Teknik Manipulasi Fertilisasi In Vitro untuk Produksi Embrio Sapi
Oleh
Kelompok 7
Dhian Kusumawati (D1E011004)Laras Setio Kinasih (D1E011047)Mohammad Rifky Febianto (D1E011090)Joni Handoko (D1E011134)Rinda Ariyandi (D1E011169)Shelly Jum’aniar (D1E011264)
LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAKFAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO
2013
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 2
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan permintaan akan daging dan susu di Indonesia perlu
diantisipasi dengan melakukan usaha meningkatkan populasi sapi baik secara
kuantitas maupun kualitas. Salah satu untuk meningkatkan populasi ternak sapi di
Indoneisa adalah meningkatkan produksi melalui bioteknologi reproduksi seperti
Transfer Embrio (TE) (Taryu, 2002). Fertilisasi in vitro merupakan pembuahan
ovum oleh spermatozoa yang terjadi diluar tubuh. Pada ternak sapi, teknik ini
merupakan salah satu usaha manusia dalam meningkatkan produksi melalui
efisiensi reproduksi dan bagi usaha untuk menyelamatkan bibit unggul yang tidak
dapat dilaksanakan dengan fertilisasi in vivo.
Fertilisasi In Vitro dilakukan melalui persiapan ovum dan spermatozoa.
Teknologi fertilisasi in vitro untuk memprorduksi embrio adalah alternative untuk
meningkatkan populasi, produktivitas dan mutu ternak sapi di Indonesia, sehingga
dapat meningkatkan nilai komersial anak sapi yang dihasilkan. Teknologi
fertilisasi in vitro mencakup pengambilan sel telur dari ovarium, pematangan sel
telur in vitro, pembuahan in vitro dan pembiakan.
Teknik Fertilisasi In Vitro mempunyai kelebihan, yaitu diperolehnya embrio
secara massal dan seragam serta unggul secara genetis. Melalui teknik ini daya
guna seekor sapi betina menjadi maksimal, dan penggunaan semen sapi-sapi
jantan unggul sangat efisien. Teknik ini bersama dengan transfer embrio dan
karyotyping dapat digunakan untuk mencegah kelahiran sapi yang cacat dengan
cara menganalisa morfologi kromosom atau kelainan – kelainan yang dapat
diidentifikasi, sehingga embrio yang cacat dapat dikeluarkan.
1.2. Tujuan
Mengetahui teknik manipulasi secara in vitro produksi embrio pada sapi.
1.3. Manfaat dan Keuntungan
Pembaca dapat mengetahui teknik meningkatkan produksi ternak sapi
sehingga perbaikan mutu genetik sapi dapat dengan cepat diperoleh dan populasi
sapi di Indonesia dapat meningkat.
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Teknologi fertilisasi in vitro (FIV) merupakan teknologi produksi embrio
pada lingkungan buatan diluar tubuh dalam suatu sistem biakan sel, baik
menggunakan oosit dari hewan yang masih hidup maupun dari oosit hewan yang
dipotong sehingga teknologi ini dapat menjadi alternatif produksi embrio dalam
pelaksanaan transfer embrio. Disamping itu, teknologi FIV sangat bermanfaat
dalam mengembangkan teknik manipulasi gamet dan embrio seperti produksi
kloning melalui transfer inti (nucleartransfer), transgenik (genes transfer), kimera
dan pantenogenik dengan jalan menyediakan embrio dalam jumlah banyak dan
murah (GORDON, 1994).
Bracket et al. (1981) menyatakan bahwa fertilisasi in vitro adalah suatu
peristiwa penetrasi spermatozoa ke sel telur dalam system kultur yang merupakan
teknik tersendiri yang dapat dibuktikan dan dapat berguna untuk mendapatkan
embrio unggul secara genetik. Selanjutnya dijelaskan bahwa syarat untuk
terjadinya suatu fertilisasi in vitro tidak jauh berbeda seperti halnya dengan
sperma yang harus melewati proses kapasitasi sperma sebelum kedua gamet
bertemu.
Menurut Ruginski et al, (2003), setelah inseminasi buatan dan superovulasi
dan transfer embrio, produksi embrio secara in vitro mewakili generasi teknik
ketiga untuk mengontrol reproduksi hewan yang lebih baik. Teknik ini melibatkan
lima langkah utama, yang secara berutrutan terdiri atas: koleksi/pengambilan
oosit, pematangan/maturasi oosit dalam in vitro, kapasitasi spermatozoa in vitro,
pembuahan/fertilisasi in vitro, pengembangan embrio yang dihasilkan secara in
vitro.
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 4
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Koleksi atau Pengambilan Oosit
Pengambilan oosit dan ovarium merupakan langkah awal dari serangkaian
proses untuk menghasilkan embrio secara in vitro. Menurut Toelihere (1979) oosit
sapi merupakan oogonia yang berproliferasi atau memperbanyak diri secara
mitosis dengan jumlah sangat bervariasi dan berkisar antara 0 (kemandulan
sempurna) sampai 700.000 Ovarium sapi normal berbentuk bulat telur, berukuran
panjang 3,1 – 4,4 cm; 1,9 – 3,1 cm dan lebar 1,2 – 1,9 cm dengan berat 10 – 19
gram (Salisbury dan VanDemarks, 1985). Teknik dasar produksi embrio secara in
vitro adalah mengumpulkan oosit dari ovarium, dilanjutkan proses maturasi,
fertilisasi dan perkembangan embrio sampai stadium blastosit yang layak untuk
ditransfer. Teknik pengambilan oosit yang sering digunakan adalah teknik
asipirasi dan pengirisan (Taryu, 2002).
3.1.2 Pematangan atau Maturasi Oosit dalam In Vitro
Maturasi sel telur secara in vitro mempunyai laju perubahan pada inti yang
hamper sama, dengan lama maturasi sel telur yaitu berlangsung antara 12 – 24
jam (Toelihere, 1979). Maturasi sel telur sapi bisa berlangsung dengan baik pada
suhu ternak yang mencapai suhu 39oC dengan kelembaban 90%. Jumlah sel telur
sangat sedikit yang mampu mengalami maturasi apabila berlangsung di atas suhu
tubuh.
3.1.3 Kapasitasi Spermatozoa In Vitro
Secara fisiologis sperma sapi yang normal mempunyai pH 6 – 6,7, motilitas
75% konsentrasi 500 x 106/ml, dan warnanya putih krem dengan morfologi
sperma yang normal mempunyai kepala, badan dan ekor (Toelihere, 1979). Elder
and Dale (2003) menambahkan bahwa produksi rata-rata semen sapi pejantan
dapat mencapai 5 ml dengan konsentrasi 7x109/ml.
3.1.4 Pembuahan atau Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi in vitro dapat berlangsung dengan baik pada suhu tubuh ternak
yang mencapai 39oC dan kelembaban 90% degan lamanya fertilisasi anatara 18 –
24 jam (chian et al., 1994). Lama fertilisasi yang tepat akan menghasilkan jumlah
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 5
oosit yang terfertilisasi menjadi optimal sehingga perkembangan embrio dapat
berjalan dengan baik. Menurut Hunter (1995) ada beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan agar fertilisasi in vitro dapat berhasil. Faktor-faktor tersebut
meliputi : sumber dan kondisi sperma, kualitas oosit yang diperoleh dan pemilihan
medium ( medium maturasi, fertilisasi dan kultur), volume mikro drop yang
digunakan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta kondisi
peralatan yang digunkan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta
kondisi peralatan dan medium yang benar – benar aseptic untuk menghindari
terjadinya kontaminasi.
3.1.5 Pengembangan Embrio yang dihasilkan secara In Vitro
Pembelahan embrio stadium 2 sel dicapai satu hari setelah fertilisasi, 4 sel
setelah dua hari, 8 sampai 16 sel setelah tiga hari, morula stelah lima hari dan
mencapai stadium blastosit pada hari ketujuh atau kedelapan setelah fertilisasi
(Hafez, 1993). Menurut Suzuki dan Saito (1985), bahwa tingkatan kualitas embrio
dibagi menjadi lima kelas yaitu: sangat baik adalah embrio yang sedikit kelainan
bentuk; sedang adalah embrio yang mempunyai sedikit vasikula, ada kelainan
seperti beberapa blastomer kurang baik bentuknya dan sedikit yang berdegenerasi,
jelek adalah embrio yang mengandung kelainan berat seperti banyak sel
berdegenerasi dalam bentuk yang berbeda dan banyak vasikula, tetapi embrio
masih dapat digunakan; sangat jelek adalah embrio yang bentuk keseluruhan sel
berdegenerasi, sel terlalu muda dan tidak dapat digunakan.
3.2 Pembahasan
3.2.1 Koleksi atau Pengambilan Oosit
Pengambilan embrio merupakan tahapan yang paling penting dalam proses
transfer embrio. Panen sebaiknya dilakukan pada waktu embrio sudah tidak di
uterus tetapi belum diimplantasikan. Jadi embrio harus melayang didalam medium
cair uterus (Hafez,1980 ; Hunter, 1980). Panen embrio dilakukan pada hari ke
enam sampai hari ke delapan atau rata-rata pada hari ke tujuh setelah hari
pembuahan, pada saat ini sudah sampai pada tahap akhir morula atau tahap awwal
blastula. Pelaksaan panen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
pembeddahan atau tanpa pembedahan. Panen dengan pembedahan dilakukan pada
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 6
sisi legok lapar (flank) sapi tetap berdiri dan dibius lokal didaerah operasi. Panen
embrio tanpa pembedahan cenderunglebih disukai. Jillella (1982) melaporkan
bahwa tiga tipe dalam pembedahan yaitu Kathether Foley dua lumen atau tiga
limen dengan ujung lebih panjang, Katherther dua lumen dengan ujung lebih
pendek dan Katherther model Jermen dengan dua lumen.
Pengambilan oosit dan ovarium merupakan langkah awal dari serangkaian
proses untuk menghasilkan embrio secara in vitro. Menurut Toelihere (1979) oosit
sapi merupakan oogonia yang berproliferasi atau memperbanyak diri secara
mitosis dengan jumlah sangat bervariasi dan berkisar antara 0 (kemandulan
sempurna) sampai 700.000 Ovarium sapi normal berbentuk bulat telur, berukuran
panjang 3,1 – 4,4 cm; 1,9 – 3,1 cm dan lebar 1,2 – 1,9 cm dengan berat 10 – 19
gram (Salisbury dan VanDemarks, 1985). Teknik dasar produksi embrio secara in
vitro adalah mengumpulkan oosit dari ovarium, dilanjutkan proses maturasi,
fertilisasi dan perkembangan embrio sampai stadium blastosit yang layak untuk
ditransfer. Teknik pengambilan oosit yang sering digunakan adalah teknik
asipirasi dan pengirisan (Taryu, 2002).
3.2.2 Pematangan atau Maturasi Oosit dalam In Vitro
Maturasi sel telur secara in vitro mempunyai laju perubahan pada inti yang
hampir sama, dengan lama maturasi sel telur yaitu berlangsung antara 12 – 24 jam
(Toelihere, 1979). Selanjutnya dijelaskan bahwa beberapa faktor yang
berkompeten dalam keberhasilan pematangan oosit adalah pengaruh hormone
FSH (Folikel Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) (Elder and
Dale, 2003), morfologi kumulus, ukuran folikel, kesehatan folikel, stimulasi
ovarium, prosedur penanganan oosit sebelum mulai diinkubasi dan lamanya oosit
diinkubasi (Taryu, 2002).
Sel kumulus sangat penting fungsinya pada proses maturasi sel telur in
vitro. Sel kumulus penting untuk menginduksi reaksi akrosom sperma dan
feertilisasi serta perkembangan sel telur selanjutnya hal tersebut karena sebagian
besar sel granulosa berkumpul dengan oosit dari tahap folikel antral sampai
setelah fertilisasi (Elder and Dale, 2003). Pada sel telur yang tanpa sel kumulus,
setelah dimaturasi akan banyak protein hilang, sedangkan pada sel telur dengan
sel kumulus intact protein akan tertahan ( Chian et al., 1994).
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 7
Maturasi sel telur sapi bisa berlangsung dengan baik pada suhu ternak yang
mencapai suhu 39oC dengan kelembaban 90%. Jumlah sel telur sangat sedikit
yang mampu mengalami maturasi apabila berlangsung di atas suhu tubuh. Hal ini
ditandai dengan kumlus ooforus yang tidak mengalami perluasan. Selain itu, pada
suhu yang tinggi dapat menyebabkan aktifitas enzim meningkat sehingga dapat
menyebabkan denaturasi protein. Walaupun maturasi sel telur bisa berlangsung
pada beberapa suhu namun dalam beberapa penelitian menunjukkan inkubasi sel
telur pada suhu tubuh ternak memberi hasil yang lebih baik(Taryu, 2002).
Lama maturasi yang tepat akan menghasilkan tidak saja jumlah oosit masak
yang ditandai dengan keadaan oosit yang sulit dipisahkan secara individu dan
penyebaran dari sel – sel kumulis yang melebar dan cerah serta adanya badan
kutub I, tetapi secara keseluruhan juga dapat mengefisienkan kegiatan produksi
embrio secara in vitro. Terlalu lama waktu maturasi data menghasilkan oosit yang
terlalu tua dan mengaibatkan terganggunya proses fertilisasi in vitro dan
selanjutnya mempengaruhi perkembangan embrio (Chian et al., 1994).
3.2.3 Kapasitasi Spermatozoa In Vitro
Kapasitasi spermatozoa adalah rangkaian proses biokimia dan reaksi
fisiologis pada spermatozoa (Gordon, 1994). Menurut Toelihere (1979) kapasitasi
merupakan proses perubahan fisiologis spermatozoa didalam saluran kelamin
betina untuk mempertinggi fertilitasnya. Furuya et al. (1992) menambahkan
bahwa kapasitasi merupakan perubahan biokimia yang menyebabkan reaksi
akrosom pada sperma sebagai respons dari zona pelusida oosit.
Secara fisiologis sperma sapi yang normal mempunyai pH 6 – 6,7, motilitas
75% konsentrasi 500 x 106/ml, dan warnanya putih krem dengan morfologi
sperma yang normal mempunyai kepala, badan dan ekor (Toelihere, 1979). Elder
and Dale (2003) menambahkan bahwa produksi rata-rata semen sapi pejantan
dapat mencapai 5 ml dengan konsentrasi 7x109/ml.
Menurut Kato dan Iritani (1991) kapasitasi sperma sebelum dilakukan
fertilisasi in vitro bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan pergerakan sperma
serta untuk menghilangkan sifat stabil dari membrane plasma tersebut. Hafez
(1993) melaporkan bahwa kapasitasi sperma berfungsi untuk mencegah akrosom
spermatozoa yang prematur sebelum spermatozoa mencapai tempat fertilisasi dan
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 8
terjadi interaksi dengan sel telur. Selanjutnya dijelaskan bahwa reaksi akrosom
melibatkan penyatuan membrane plasma dengan membrane askrosom terluar dan
vesikulasi segmen anterior akrosom. Penyatuan dan vesikulasi akrosom akan
melepaskan enzim hidrolitik seperti hyalurodinase dan akrosin yang
menyebabkan penetrasi pada sel telur.
3.2.4 Pembuahan atau Fertilisasi In Vitro
Fertlisasi didefinisikan sebagai penyatuan materi DNA paternal dan
maternal pada embrio. Pronuclei jantan dan betina tidak menjadi satu pada
mamalia, yang menjadi satu hanyalah materi genetic dari paternal dan maternal
sesaat sebelum stadium 2 sel ( Hafez, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa proses
fertilisasi secara in vitro pada mamalia prinsipnya hampir sama yaitu melalui
rangakaian tiga proses yaitu migrasi sperma pada sel-sel cumulus, penempelan
dan penetrasi sperma pada zona pelusida serta penyatuan gamet.
Elder and Brian (2003), menambahkan bahwa teknik fertilisasi in vitro
dapat dilakukan melalui teknik mikromanipulasi. Salah satu teknik
mikromanipulasi tersebut adalah Intracytoplasmic sperm –injection (ICSI). ICSI
merupakan teknik memasukan spermatozoa kedalam ovum tanpa
mempertimbangkan motilitas spermatozoa tersebut. Teknik ICSI ini sering
digunakan oleh ilmuan maupun peneliti karena tingkat kefisienan dan
keberhasilan fertilitasnya tinggi. Alat yang digunakan untuk ICSI antara lain
micromanipulator, microtool holders, lensa Hoffman, holding pipette, dan
injection pipette.
Fertilisasi in vitro dapat berlangsung dengan baik pada suhu tubuh ternak
yang mencapai 39oC dan kelembaban 90% degan lamanya fertilisasi anatara 18 –
24 jam (chian et al., 1994). Lama fertilisasi yang tepat akan menghasilkan jumlah
oosit yang terfertilisasi menjadi optimal sehingga perkembangan embrio dapat
berjalan dengan baik. Menurut Hunter (1995) ada beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan agar fertilisasi in vitro dapat berhasil. Faktor-faktor tersebut
meliputi : sumber dan kondisi sperma, kualitas oosit yang diperoleh dan pemilihan
medium ( medium maturasi, fertilisasi dan kultur), volume mikro drop yang
digunakan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta kondisi
peralatan yang digunkan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 9
kondisi peralatan dan medium yang benar – benar aseptic untuk menghindari
terjadinya kontaminasi.
3.2.5 Pengembangan Embrio yang dihasilkan secara In Vitro
Sumantri dan Anggraeni (1999) melaporkan bahwa perkembangan embrio
secara in vitro akan dipengaruhi oleh faktor genetic dan lingkungan. Faktor
genetic terutama akan dipengaruhi oleh induk dan pejantan. Sementara itu, untuk
faktor lingkungan anatara lain meliputi : umur dan diameter oosit, teknik aspirasi
(IVM), medium maturasi, medium fertilisasi (IVF) dan kultur embrio dengan
menggunakan ko-kultur (IVC).
Tahap perkembangan embrio meliputi fase progenesis yaitu proses
perkembangan embrio melalui saat pembentukan sel kelamin, fertilisasi sampai
terbentuknya zigot dan tahap selanjutnya disebut embrio genesis atau
blastogenesis yaitu perkembangan embrio yang meliputi pembelahan dan
blastulasi (Salisbury dan VanDemark, 1985). Pembelahan embrio stadium 2 sel
dicapai satu hari setelah fertilisasi, 4 sel setelah dua hari, 8 sampai 16 sel setelah
tiga hari, morula stelah lima hari dan mencapai stadium blastosit pada hari ketujuh
atau kedelapan setelah fertilisasi (Hafez, 1993). Menurut Suzuki dan Saito (1985),
bahwa tingkatan kualitas embrio dibagi menjadi lima kelas yaitu: sangat baik
adalah embrio yang sedikit kelainan bentuk; sedang adalah embrio yang
mempunyai sedikit vasikula, ada kelainan seperti beberapa blastomer kurang baik
bentuknya dan sedikit yang berdegenerasi, jelek adalah embrio yang mengandung
kelainan berat seperti banyak sel berdegenerasi dalam bentuk yang berbeda dan
banyak vasikula, tetapi embrio masih dapat digunakan; sangat jelek adalah embrio
yang bentuk keseluruhan sel berdegenerasi, sel terlalu muda dan tidak dapat
digunakan.
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 10
IV. KESIMPULAN
Fertilisasi in vitro adalah proses pembuahan yang terjadi diluar tubuh
induk.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam in vitro adalah keadaan sel cumulus
pada oosit, pengaruh hormone FSH (Folikel Stimulating Hormone) dan LH
(Luteinizing Hormone), morfologi kumulus, ukuran folikel, kesehatan folikel,
Stimulasi ovarium, prosedur penanganan oosit sebelum mulai diinkubasi dan
lamanya oosit diinkubasi, kapasitasi dan kondisi spermatozoa, kualitas oosit yang
diperoleh beserta mediumnya, peralatan untuk cultur dan konsentrasi
spermatozoa.
KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 11
DAFTAR PUSTAKA
Brackett, B.G., E. E. Saidel, Jr And S. M. Seidel. 1981. New Technologies InAnimal Breeding. Academic Press. New York.
Chian, R. C., K. Niwa And M. A. Sirard. 1994. Effects of Cumulus Cells on MalePronuclear Formation and Subsequent Early Development of BovineOoctyes. In Vitro. Theriogenology. 41: 1599 – 1508.
Elder, Kay and Brian Dale. 2003. In Vitro Fertilization. Second Edition.Cambridge university press. United Kingdom.
Furuya, S., Y. Endo., M. Oba., Y. Matsui. S. Nozawa and S. Suzuki. 1992. ProteinPhosphorylation Regulates The Mouse Sperm Acrosome Reaction Inducesby Zona Pellucida. In : Laboratory Production of Cattle Embryos. I.Gordon (Ed). Cambridge. United Kingdom.
Gordon, I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Cambridge. UnitedKingdom.
Salisbury, G. W And N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi danInseminasi Buatan Pada Sapi. Terjemahan Djanuar. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.
Sumantri, C dan A. Anggraeni. 1999. Hubungan jumlah folikel per ovary dengankualitas oosit dan lama hari terbentuknya blastosit fertilisasi in vitro padasapi Fries Holland. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4(4): 215 – 218.
Suzuki, T and Saito. 1985. Comparison of one step sucrosadilution and directtransfer of frozen embryo. Theriogenology. 33: 334.
Taryu, Aden Mohammad. 2002. “Perkembangan Embrio Sapi secara In Vitrodengan Variasi Penambahan Glutathione pada Medium Fertilisasi”.Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Toelihere, M. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Fakultas KedokteranHewan IPB. Penerbit Angkasa Bandung.