Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

11
MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI Teknik Manipulasi Fertilisasi In Vitro untuk Produksi Embrio Sapi Oleh Kelompok 7 Dhian Kusumawati (D1E011004) Laras Setio Kinasih (D1E011047) Mohammad Rifky Febianto (D1E011090) Joni Handoko (D1E011134) Rinda Ariyandi (D1E011169) Shelly Jum’aniar (D1E011264) LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013

description

Manipulasi IVF untuk Produksi Embrio Sapi

Transcript of Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

Page 1: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI

Teknik Manipulasi Fertilisasi In Vitro untuk Produksi Embrio Sapi

Oleh

Kelompok 7

Dhian Kusumawati (D1E011004)Laras Setio Kinasih (D1E011047)Mohammad Rifky Febianto (D1E011090)Joni Handoko (D1E011134)Rinda Ariyandi (D1E011169)Shelly Jum’aniar (D1E011264)

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAKFAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2013

Page 2: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan permintaan akan daging dan susu di Indonesia perlu

diantisipasi dengan melakukan usaha meningkatkan populasi sapi baik secara

kuantitas maupun kualitas. Salah satu untuk meningkatkan populasi ternak sapi di

Indoneisa adalah meningkatkan produksi melalui bioteknologi reproduksi seperti

Transfer Embrio (TE) (Taryu, 2002). Fertilisasi in vitro merupakan pembuahan

ovum oleh spermatozoa yang terjadi diluar tubuh. Pada ternak sapi, teknik ini

merupakan salah satu usaha manusia dalam meningkatkan produksi melalui

efisiensi reproduksi dan bagi usaha untuk menyelamatkan bibit unggul yang tidak

dapat dilaksanakan dengan fertilisasi in vivo.

Fertilisasi In Vitro dilakukan melalui persiapan ovum dan spermatozoa.

Teknologi fertilisasi in vitro untuk memprorduksi embrio adalah alternative untuk

meningkatkan populasi, produktivitas dan mutu ternak sapi di Indonesia, sehingga

dapat meningkatkan nilai komersial anak sapi yang dihasilkan. Teknologi

fertilisasi in vitro mencakup pengambilan sel telur dari ovarium, pematangan sel

telur in vitro, pembuahan in vitro dan pembiakan.

Teknik Fertilisasi In Vitro mempunyai kelebihan, yaitu diperolehnya embrio

secara massal dan seragam serta unggul secara genetis. Melalui teknik ini daya

guna seekor sapi betina menjadi maksimal, dan penggunaan semen sapi-sapi

jantan unggul sangat efisien. Teknik ini bersama dengan transfer embrio dan

karyotyping dapat digunakan untuk mencegah kelahiran sapi yang cacat dengan

cara menganalisa morfologi kromosom atau kelainan – kelainan yang dapat

diidentifikasi, sehingga embrio yang cacat dapat dikeluarkan.

1.2. Tujuan

Mengetahui teknik manipulasi secara in vitro produksi embrio pada sapi.

1.3. Manfaat dan Keuntungan

Pembaca dapat mengetahui teknik meningkatkan produksi ternak sapi

sehingga perbaikan mutu genetik sapi dapat dengan cepat diperoleh dan populasi

sapi di Indonesia dapat meningkat.

Page 3: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

Teknologi fertilisasi in vitro (FIV) merupakan teknologi produksi embrio

pada lingkungan buatan diluar tubuh dalam suatu sistem biakan sel, baik

menggunakan oosit dari hewan yang masih hidup maupun dari oosit hewan yang

dipotong sehingga teknologi ini dapat menjadi alternatif produksi embrio dalam

pelaksanaan transfer embrio. Disamping itu, teknologi FIV sangat bermanfaat

dalam mengembangkan teknik manipulasi gamet dan embrio seperti produksi

kloning melalui transfer inti (nucleartransfer), transgenik (genes transfer), kimera

dan pantenogenik dengan jalan menyediakan embrio dalam jumlah banyak dan

murah (GORDON, 1994).

Bracket et al. (1981) menyatakan bahwa fertilisasi in vitro adalah suatu

peristiwa penetrasi spermatozoa ke sel telur dalam system kultur yang merupakan

teknik tersendiri yang dapat dibuktikan dan dapat berguna untuk mendapatkan

embrio unggul secara genetik. Selanjutnya dijelaskan bahwa syarat untuk

terjadinya suatu fertilisasi in vitro tidak jauh berbeda seperti halnya dengan

sperma yang harus melewati proses kapasitasi sperma sebelum kedua gamet

bertemu.

Menurut Ruginski et al, (2003), setelah inseminasi buatan dan superovulasi

dan transfer embrio, produksi embrio secara in vitro mewakili generasi teknik

ketiga untuk mengontrol reproduksi hewan yang lebih baik. Teknik ini melibatkan

lima langkah utama, yang secara berutrutan terdiri atas: koleksi/pengambilan

oosit, pematangan/maturasi oosit dalam in vitro, kapasitasi spermatozoa in vitro,

pembuahan/fertilisasi in vitro, pengembangan embrio yang dihasilkan secara in

vitro.

Page 4: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 4

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Koleksi atau Pengambilan Oosit

Pengambilan oosit dan ovarium merupakan langkah awal dari serangkaian

proses untuk menghasilkan embrio secara in vitro. Menurut Toelihere (1979) oosit

sapi merupakan oogonia yang berproliferasi atau memperbanyak diri secara

mitosis dengan jumlah sangat bervariasi dan berkisar antara 0 (kemandulan

sempurna) sampai 700.000 Ovarium sapi normal berbentuk bulat telur, berukuran

panjang 3,1 – 4,4 cm; 1,9 – 3,1 cm dan lebar 1,2 – 1,9 cm dengan berat 10 – 19

gram (Salisbury dan VanDemarks, 1985). Teknik dasar produksi embrio secara in

vitro adalah mengumpulkan oosit dari ovarium, dilanjutkan proses maturasi,

fertilisasi dan perkembangan embrio sampai stadium blastosit yang layak untuk

ditransfer. Teknik pengambilan oosit yang sering digunakan adalah teknik

asipirasi dan pengirisan (Taryu, 2002).

3.1.2 Pematangan atau Maturasi Oosit dalam In Vitro

Maturasi sel telur secara in vitro mempunyai laju perubahan pada inti yang

hamper sama, dengan lama maturasi sel telur yaitu berlangsung antara 12 – 24

jam (Toelihere, 1979). Maturasi sel telur sapi bisa berlangsung dengan baik pada

suhu ternak yang mencapai suhu 39oC dengan kelembaban 90%. Jumlah sel telur

sangat sedikit yang mampu mengalami maturasi apabila berlangsung di atas suhu

tubuh.

3.1.3 Kapasitasi Spermatozoa In Vitro

Secara fisiologis sperma sapi yang normal mempunyai pH 6 – 6,7, motilitas

75% konsentrasi 500 x 106/ml, dan warnanya putih krem dengan morfologi

sperma yang normal mempunyai kepala, badan dan ekor (Toelihere, 1979). Elder

and Dale (2003) menambahkan bahwa produksi rata-rata semen sapi pejantan

dapat mencapai 5 ml dengan konsentrasi 7x109/ml.

3.1.4 Pembuahan atau Fertilisasi In Vitro

Fertilisasi in vitro dapat berlangsung dengan baik pada suhu tubuh ternak

yang mencapai 39oC dan kelembaban 90% degan lamanya fertilisasi anatara 18 –

24 jam (chian et al., 1994). Lama fertilisasi yang tepat akan menghasilkan jumlah

Page 5: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 5

oosit yang terfertilisasi menjadi optimal sehingga perkembangan embrio dapat

berjalan dengan baik. Menurut Hunter (1995) ada beberapa faktor yang harus

dipertimbangkan agar fertilisasi in vitro dapat berhasil. Faktor-faktor tersebut

meliputi : sumber dan kondisi sperma, kualitas oosit yang diperoleh dan pemilihan

medium ( medium maturasi, fertilisasi dan kultur), volume mikro drop yang

digunakan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta kondisi

peralatan yang digunkan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta

kondisi peralatan dan medium yang benar – benar aseptic untuk menghindari

terjadinya kontaminasi.

3.1.5 Pengembangan Embrio yang dihasilkan secara In Vitro

Pembelahan embrio stadium 2 sel dicapai satu hari setelah fertilisasi, 4 sel

setelah dua hari, 8 sampai 16 sel setelah tiga hari, morula stelah lima hari dan

mencapai stadium blastosit pada hari ketujuh atau kedelapan setelah fertilisasi

(Hafez, 1993). Menurut Suzuki dan Saito (1985), bahwa tingkatan kualitas embrio

dibagi menjadi lima kelas yaitu: sangat baik adalah embrio yang sedikit kelainan

bentuk; sedang adalah embrio yang mempunyai sedikit vasikula, ada kelainan

seperti beberapa blastomer kurang baik bentuknya dan sedikit yang berdegenerasi,

jelek adalah embrio yang mengandung kelainan berat seperti banyak sel

berdegenerasi dalam bentuk yang berbeda dan banyak vasikula, tetapi embrio

masih dapat digunakan; sangat jelek adalah embrio yang bentuk keseluruhan sel

berdegenerasi, sel terlalu muda dan tidak dapat digunakan.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Koleksi atau Pengambilan Oosit

Pengambilan embrio merupakan tahapan yang paling penting dalam proses

transfer embrio. Panen sebaiknya dilakukan pada waktu embrio sudah tidak di

uterus tetapi belum diimplantasikan. Jadi embrio harus melayang didalam medium

cair uterus (Hafez,1980 ; Hunter, 1980). Panen embrio dilakukan pada hari ke

enam sampai hari ke delapan atau rata-rata pada hari ke tujuh setelah hari

pembuahan, pada saat ini sudah sampai pada tahap akhir morula atau tahap awwal

blastula. Pelaksaan panen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan

pembeddahan atau tanpa pembedahan. Panen dengan pembedahan dilakukan pada

Page 6: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 6

sisi legok lapar (flank) sapi tetap berdiri dan dibius lokal didaerah operasi. Panen

embrio tanpa pembedahan cenderunglebih disukai. Jillella (1982) melaporkan

bahwa tiga tipe dalam pembedahan yaitu Kathether Foley dua lumen atau tiga

limen dengan ujung lebih panjang, Katherther dua lumen dengan ujung lebih

pendek dan Katherther model Jermen dengan dua lumen.

Pengambilan oosit dan ovarium merupakan langkah awal dari serangkaian

proses untuk menghasilkan embrio secara in vitro. Menurut Toelihere (1979) oosit

sapi merupakan oogonia yang berproliferasi atau memperbanyak diri secara

mitosis dengan jumlah sangat bervariasi dan berkisar antara 0 (kemandulan

sempurna) sampai 700.000 Ovarium sapi normal berbentuk bulat telur, berukuran

panjang 3,1 – 4,4 cm; 1,9 – 3,1 cm dan lebar 1,2 – 1,9 cm dengan berat 10 – 19

gram (Salisbury dan VanDemarks, 1985). Teknik dasar produksi embrio secara in

vitro adalah mengumpulkan oosit dari ovarium, dilanjutkan proses maturasi,

fertilisasi dan perkembangan embrio sampai stadium blastosit yang layak untuk

ditransfer. Teknik pengambilan oosit yang sering digunakan adalah teknik

asipirasi dan pengirisan (Taryu, 2002).

3.2.2 Pematangan atau Maturasi Oosit dalam In Vitro

Maturasi sel telur secara in vitro mempunyai laju perubahan pada inti yang

hampir sama, dengan lama maturasi sel telur yaitu berlangsung antara 12 – 24 jam

(Toelihere, 1979). Selanjutnya dijelaskan bahwa beberapa faktor yang

berkompeten dalam keberhasilan pematangan oosit adalah pengaruh hormone

FSH (Folikel Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) (Elder and

Dale, 2003), morfologi kumulus, ukuran folikel, kesehatan folikel, stimulasi

ovarium, prosedur penanganan oosit sebelum mulai diinkubasi dan lamanya oosit

diinkubasi (Taryu, 2002).

Sel kumulus sangat penting fungsinya pada proses maturasi sel telur in

vitro. Sel kumulus penting untuk menginduksi reaksi akrosom sperma dan

feertilisasi serta perkembangan sel telur selanjutnya hal tersebut karena sebagian

besar sel granulosa berkumpul dengan oosit dari tahap folikel antral sampai

setelah fertilisasi (Elder and Dale, 2003). Pada sel telur yang tanpa sel kumulus,

setelah dimaturasi akan banyak protein hilang, sedangkan pada sel telur dengan

sel kumulus intact protein akan tertahan ( Chian et al., 1994).

Page 7: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 7

Maturasi sel telur sapi bisa berlangsung dengan baik pada suhu ternak yang

mencapai suhu 39oC dengan kelembaban 90%. Jumlah sel telur sangat sedikit

yang mampu mengalami maturasi apabila berlangsung di atas suhu tubuh. Hal ini

ditandai dengan kumlus ooforus yang tidak mengalami perluasan. Selain itu, pada

suhu yang tinggi dapat menyebabkan aktifitas enzim meningkat sehingga dapat

menyebabkan denaturasi protein. Walaupun maturasi sel telur bisa berlangsung

pada beberapa suhu namun dalam beberapa penelitian menunjukkan inkubasi sel

telur pada suhu tubuh ternak memberi hasil yang lebih baik(Taryu, 2002).

Lama maturasi yang tepat akan menghasilkan tidak saja jumlah oosit masak

yang ditandai dengan keadaan oosit yang sulit dipisahkan secara individu dan

penyebaran dari sel – sel kumulis yang melebar dan cerah serta adanya badan

kutub I, tetapi secara keseluruhan juga dapat mengefisienkan kegiatan produksi

embrio secara in vitro. Terlalu lama waktu maturasi data menghasilkan oosit yang

terlalu tua dan mengaibatkan terganggunya proses fertilisasi in vitro dan

selanjutnya mempengaruhi perkembangan embrio (Chian et al., 1994).

3.2.3 Kapasitasi Spermatozoa In Vitro

Kapasitasi spermatozoa adalah rangkaian proses biokimia dan reaksi

fisiologis pada spermatozoa (Gordon, 1994). Menurut Toelihere (1979) kapasitasi

merupakan proses perubahan fisiologis spermatozoa didalam saluran kelamin

betina untuk mempertinggi fertilitasnya. Furuya et al. (1992) menambahkan

bahwa kapasitasi merupakan perubahan biokimia yang menyebabkan reaksi

akrosom pada sperma sebagai respons dari zona pelusida oosit.

Secara fisiologis sperma sapi yang normal mempunyai pH 6 – 6,7, motilitas

75% konsentrasi 500 x 106/ml, dan warnanya putih krem dengan morfologi

sperma yang normal mempunyai kepala, badan dan ekor (Toelihere, 1979). Elder

and Dale (2003) menambahkan bahwa produksi rata-rata semen sapi pejantan

dapat mencapai 5 ml dengan konsentrasi 7x109/ml.

Menurut Kato dan Iritani (1991) kapasitasi sperma sebelum dilakukan

fertilisasi in vitro bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan pergerakan sperma

serta untuk menghilangkan sifat stabil dari membrane plasma tersebut. Hafez

(1993) melaporkan bahwa kapasitasi sperma berfungsi untuk mencegah akrosom

spermatozoa yang prematur sebelum spermatozoa mencapai tempat fertilisasi dan

Page 8: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 8

terjadi interaksi dengan sel telur. Selanjutnya dijelaskan bahwa reaksi akrosom

melibatkan penyatuan membrane plasma dengan membrane askrosom terluar dan

vesikulasi segmen anterior akrosom. Penyatuan dan vesikulasi akrosom akan

melepaskan enzim hidrolitik seperti hyalurodinase dan akrosin yang

menyebabkan penetrasi pada sel telur.

3.2.4 Pembuahan atau Fertilisasi In Vitro

Fertlisasi didefinisikan sebagai penyatuan materi DNA paternal dan

maternal pada embrio. Pronuclei jantan dan betina tidak menjadi satu pada

mamalia, yang menjadi satu hanyalah materi genetic dari paternal dan maternal

sesaat sebelum stadium 2 sel ( Hafez, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa proses

fertilisasi secara in vitro pada mamalia prinsipnya hampir sama yaitu melalui

rangakaian tiga proses yaitu migrasi sperma pada sel-sel cumulus, penempelan

dan penetrasi sperma pada zona pelusida serta penyatuan gamet.

Elder and Brian (2003), menambahkan bahwa teknik fertilisasi in vitro

dapat dilakukan melalui teknik mikromanipulasi. Salah satu teknik

mikromanipulasi tersebut adalah Intracytoplasmic sperm –injection (ICSI). ICSI

merupakan teknik memasukan spermatozoa kedalam ovum tanpa

mempertimbangkan motilitas spermatozoa tersebut. Teknik ICSI ini sering

digunakan oleh ilmuan maupun peneliti karena tingkat kefisienan dan

keberhasilan fertilitasnya tinggi. Alat yang digunakan untuk ICSI antara lain

micromanipulator, microtool holders, lensa Hoffman, holding pipette, dan

injection pipette.

Fertilisasi in vitro dapat berlangsung dengan baik pada suhu tubuh ternak

yang mencapai 39oC dan kelembaban 90% degan lamanya fertilisasi anatara 18 –

24 jam (chian et al., 1994). Lama fertilisasi yang tepat akan menghasilkan jumlah

oosit yang terfertilisasi menjadi optimal sehingga perkembangan embrio dapat

berjalan dengan baik. Menurut Hunter (1995) ada beberapa faktor yang harus

dipertimbangkan agar fertilisasi in vitro dapat berhasil. Faktor-faktor tersebut

meliputi : sumber dan kondisi sperma, kualitas oosit yang diperoleh dan pemilihan

medium ( medium maturasi, fertilisasi dan kultur), volume mikro drop yang

digunakan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta kondisi

peralatan yang digunkan untuk biakan dan konsentrasi sperma di dalamnya serta

Page 9: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 9

kondisi peralatan dan medium yang benar – benar aseptic untuk menghindari

terjadinya kontaminasi.

3.2.5 Pengembangan Embrio yang dihasilkan secara In Vitro

Sumantri dan Anggraeni (1999) melaporkan bahwa perkembangan embrio

secara in vitro akan dipengaruhi oleh faktor genetic dan lingkungan. Faktor

genetic terutama akan dipengaruhi oleh induk dan pejantan. Sementara itu, untuk

faktor lingkungan anatara lain meliputi : umur dan diameter oosit, teknik aspirasi

(IVM), medium maturasi, medium fertilisasi (IVF) dan kultur embrio dengan

menggunakan ko-kultur (IVC).

Tahap perkembangan embrio meliputi fase progenesis yaitu proses

perkembangan embrio melalui saat pembentukan sel kelamin, fertilisasi sampai

terbentuknya zigot dan tahap selanjutnya disebut embrio genesis atau

blastogenesis yaitu perkembangan embrio yang meliputi pembelahan dan

blastulasi (Salisbury dan VanDemark, 1985). Pembelahan embrio stadium 2 sel

dicapai satu hari setelah fertilisasi, 4 sel setelah dua hari, 8 sampai 16 sel setelah

tiga hari, morula stelah lima hari dan mencapai stadium blastosit pada hari ketujuh

atau kedelapan setelah fertilisasi (Hafez, 1993). Menurut Suzuki dan Saito (1985),

bahwa tingkatan kualitas embrio dibagi menjadi lima kelas yaitu: sangat baik

adalah embrio yang sedikit kelainan bentuk; sedang adalah embrio yang

mempunyai sedikit vasikula, ada kelainan seperti beberapa blastomer kurang baik

bentuknya dan sedikit yang berdegenerasi, jelek adalah embrio yang mengandung

kelainan berat seperti banyak sel berdegenerasi dalam bentuk yang berbeda dan

banyak vasikula, tetapi embrio masih dapat digunakan; sangat jelek adalah embrio

yang bentuk keseluruhan sel berdegenerasi, sel terlalu muda dan tidak dapat

digunakan.

Page 10: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 10

IV. KESIMPULAN

Fertilisasi in vitro adalah proses pembuahan yang terjadi diluar tubuh

induk.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam in vitro adalah keadaan sel cumulus

pada oosit, pengaruh hormone FSH (Folikel Stimulating Hormone) dan LH

(Luteinizing Hormone), morfologi kumulus, ukuran folikel, kesehatan folikel,

Stimulasi ovarium, prosedur penanganan oosit sebelum mulai diinkubasi dan

lamanya oosit diinkubasi, kapasitasi dan kondisi spermatozoa, kualitas oosit yang

diperoleh beserta mediumnya, peralatan untuk cultur dan konsentrasi

spermatozoa.

Page 11: Manipulasi ivf utk prod.embrio sapi

KELOMPOK 7 | F.I.V. UNTUK PRODUKSI EMBRIO SAPI 11

DAFTAR PUSTAKA

Brackett, B.G., E. E. Saidel, Jr And S. M. Seidel. 1981. New Technologies InAnimal Breeding. Academic Press. New York.

Chian, R. C., K. Niwa And M. A. Sirard. 1994. Effects of Cumulus Cells on MalePronuclear Formation and Subsequent Early Development of BovineOoctyes. In Vitro. Theriogenology. 41: 1599 – 1508.

Elder, Kay and Brian Dale. 2003. In Vitro Fertilization. Second Edition.Cambridge university press. United Kingdom.

Furuya, S., Y. Endo., M. Oba., Y. Matsui. S. Nozawa and S. Suzuki. 1992. ProteinPhosphorylation Regulates The Mouse Sperm Acrosome Reaction Inducesby Zona Pellucida. In : Laboratory Production of Cattle Embryos. I.Gordon (Ed). Cambridge. United Kingdom.

Gordon, I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Cambridge. UnitedKingdom.

Salisbury, G. W And N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi danInseminasi Buatan Pada Sapi. Terjemahan Djanuar. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.

Sumantri, C dan A. Anggraeni. 1999. Hubungan jumlah folikel per ovary dengankualitas oosit dan lama hari terbentuknya blastosit fertilisasi in vitro padasapi Fries Holland. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4(4): 215 – 218.

Suzuki, T and Saito. 1985. Comparison of one step sucrosadilution and directtransfer of frozen embryo. Theriogenology. 33: 334.

Taryu, Aden Mohammad. 2002. “Perkembangan Embrio Sapi secara In Vitrodengan Variasi Penambahan Glutathione pada Medium Fertilisasi”.Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Toelihere, M. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Fakultas KedokteranHewan IPB. Penerbit Angkasa Bandung.