Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

108
i HALAMAN JUDUL

description

Kebutuhan informasi tentang mangrove menjadi kendala ketika berhadapan dengan pustaka dalam Bahasa Inggris yang akan sulit dimengerti oleh pemula yang mau belajar tentang mangrove. Belum lagi jika berhadapan dengan perolehan informasi mangrove dan pengelolaannya, yang terkadang membuat beberapa peneliti merasa kebingungan. Oleh karena itu, dalam buku ini dibahas secara singkat bagaimana perolehan informasi mangrove melalui penginderaan jauh dan pengelolaan yang dapat dilakukan.

Transcript of Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

Page 1: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

i

HALAMAN JUDUL

Page 2: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

ii

Mangrove

Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya

2016

Page 3: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

iii

Mangrove

Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya

Oleh:

Nurul Ihsan Fawzi

Page 4: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

iv

Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaannya Oleh: Nurul Ihsan Fawzi

Diterbitkan oleh Penerbit Sibuku Media

Bantul, Yogyakarta, 55713

Cover Mangrove di Sundarban, Bangladesh. Gambar diperoleh dari situs NASA

Diterbitkan pertama kali Maret 2016

Copyright © 2016 Nurul Ihsan Fawzi

Hak Cipta dilindungi undang-undang. All rights reserved.

Dilarang mengutup atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin

penerbit atau penulis. Setiap publikasi atau referensi untuk penggunaan pribadi atau

pekerjaan harus secara eksplisit mengidentifikasi sumber aslinya. Hal ini untuk

menjamin hak cipta dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Fawzi, Nurul Ihsan Mangrove: Karakteristik, Pemetaan, dan Pengelolaanya / Nurul Ihsan Fawzi. -- Yogyakarta: Sibuku Media, 2016. viii, 100 p. : il. : ind ; 21 cm.

ISBN 978-602-6233-06-6

Page 5: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

v

KATA PENGANTAR

Kebutuhan informasi tentang mangrove menjadi kendala ketika berhadapan

dengan pustaka dalam Bahasa Inggris yang akan sulit dimengerti oleh pemula

yang mau belajar tentang mangrove. Belum lagi jika berhadapan dengan

perolehan informasi mangrove dan pengelolaannya, yang terkadang membuat

beberapa peneliti merasa kebingungan. Oleh karena itu, dalam buku ini dibahas

secara singkat bagaimana perolehan informasi mangrove melalui penginderaan

jauh dan pengelolaan yang dapat dilakukan.

Harapannya, dengan membaca buku ini yang sistematis dirancang bertahap

dimulai dari karakteristik mangrove, pemetaan, dan pengelolaannya; peneliti

dan pembaca akan terbantu dalam penelitiannya. Terlebih lagi kebutuhan

informasi tentang ekosistem mangrove menjadi semakin besar tatkala terdapat

rencana-rencana pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan

ekosistem.

Terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu, terutama dalam koreksi

dan penambahan materi agar lebih sesuai. Semoga buku ini dapat membantu

pelajar dan para peneliti yang membutuhkan referensi mengenai tema ini.

Selain itu, segala saran dan kritik penulis nantikan dengan hormat.

Page 6: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

vi

Saran dan kritik

Jika ada saran dan atau kritik, termasuk koreksi terhadap buku ini, mohon

disampaikan pada alamat berikut.

Email : [email protected]

Hp : +62-811-1011-041

Page 7: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI......................................................................................................... vii

BAB 1 KONSEPSI MANGROVE ....................................................................... 1

1.1 Definisi ............................................................................................. 1

1.2 Distribusi Mangrove ......................................................................... 1

1.2.1 Distribusi Mangrove Saat Ini ....................................................... 1

1.2.2 Faktor Pembatas Distribusi Mangrove ......................................... 3

1.3 Taksonomi Mangrove ....................................................................... 7

1.3.1 Mangrove Utama dan Mangrove Peralihan .................................. 7

1.3.2 Spesies Asosiasi Mangrove ........................................................ 19

1.4 Zonasi Mangrove ............................................................................ 21

1.4.1 Definisi Zonasi Mangrove .......................................................... 21

1.4.2 Hal Berpengaruh Terhadap Zonasi Mangrove ........................... 22

1.5 Manfaat dan Ancaman .................................................................... 27

1.5.1 Manfaat Keberadaan Mangrove ................................................. 27

1.5.2 Ancaman Terhadap Ekosistem Mangrove ................................. 27

BAB 2 PEMETAAN MANGROVE ................................................................... 29

2.1 Informasi yang Dipetakan .............................................................. 29

2.2 Metode Pemetaan dengan Penginderaan Jauh ................................ 30

2.2.1 Dasar Penginderaan Jauh ........................................................... 33

2.2.2 Bagaimana Cara Memperoleh Data Penginderaan Jauh? ........... 38

2.2.3 Keberhasilan Pemetaan dengan Penginderaan Jauh ................... 38

2.2.4 Skala, Informasi Pemetaan, dan Data Penginderaan Jauh yang

Digunakan ................................................................................................ 41

2.2.5 Karakteristik Spektral Mangrove dalam Penginderaan Jauh ...... 43

2.2.6 Metode Pemetaan yang Digunakan untuk Memperoleh Informasi

Mangrove ................................................................................................. 47

Page 8: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

viii

2.3 Review Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Penginderaan Jauh

51

2.3.1 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Menengah . 51

2.3.2 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Tinggi ....... 64

2.4 Keterbatasan Menggunakan Penginderaan Jauh ............................ 68

2.4.1 Metode interpretasi yang “usang,” kurangnya aplikasi dari

integrasi sumber data ............................................................................... 68

2.4.2 Eror dalam melakukan monitoring dan rendahnya akurasi ....... 68

2.4.3 Sulit membedakan jenis mangrove dalam komunitas ................ 68

2.4.4 Kurangnya Perbandingan antar Metode Pemetaan .................... 69

BAB 3 PENGELOLAAN MANGROVE ............................................................ 71

3.1 Kerangka Analisis dalam Pengelolaan Mangrove ......................... 71

3.1.1 Apa yang Dapat Dilakukan Terhadap Mangrove? .................... 71

3.1.2 Tahapan Dasar Dalam Pengelolaan ........................................... 74

3.1.3 Data-Data yang Dibutuhkan ...................................................... 79

3.2 Pengelolaan Hutan Mangrove pada Wilayah Perkotaan ................ 79

3.3 Pengelolaan Hutan Mangrove yang Terkonversi Menjadi Tambak80

3.4 Kehutanan – Silvikultur ................................................................. 88

3.5 Kesimpulan dan Rekomendasi ....................................................... 90

Daftar Pustaka ...................................................................................................... 91

Indeks .................................................................................................................... 97

Page 9: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

1

1 BAB 1

KONSEPSI MANGROVE

Pada bab ini akan dibahas mengenai dasar-dasar pengenalan mangrove.

Termasuk dalam hal definisi, taksonomi, distribusi spasial, manfaat, dan

ancamannya. Ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi mengenai

“mangrove” yang dibahas pada bab ini.

1.1 DEFINISI

Terdapat perbedaan definisi mengenai mangrove, atau lebih tepatnya banyak

pendekatan-pendekatan untuk mendefinisikan ekosistem mangrove (Kuenzer, et

al., 2011). Definisi pertama, mangrove didefinisikan atas lokasi hidupnya.

Mangrove merupakan belukar atau pohon yang tumbuh di kawasan pesisir

diantara 25 – 30o lintang selatan hingga 25-30o lintang utara (ini berbeda untuk

tiap ahli) dan mampu bertahan terhadap air payau, air laut, dan lokasi di mana

terjadi penguapan yang membuat air asin dua kali salinitas air laut (Kuenzer, et

al., 2011).

Definisi lainnya, mangrove diterjemahkan sebagai semua spesies atau

komunitas spesies yang mampu hidup di air asin (Tomlinson, 1995). Terdapat

110 spesies mangrove, sekitar 54 spesies dalam 20 genus dari 16 family (tabel

1.1 dan 1.2) yang merupakan jenis mangrove yang dapat tumbuh di habitat

mangrove itu sendiri. Secara umum mangrove dapat didefinisikan sebagai

ekosistem yang berada di zona pasang surut yang mampu beradaptasi di

lingkungan pesisir, yang beradaptasi dengan sistem perakaran yang menonjol

(akar nafas/pneumatofor), sebagai suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah

yang miskin oksigen atau anaerob (Tomlinson, 1995).

1.2 DISTRIBUSI MANGROVE

1.2.1 Distribusi Mangrove Saat Ini

Secara global, tanaman mangrove dapat ditemukan disekitar garis tropis

(gambar 1.2). Sekitar 124 negara yang berlokasi diantara 25o – 30o lintang

selatan hingga 25o -30o lintang utara menjadi lokasi habitat ekosistem mangrove

(Kuenzer, et al., 2011). Ekosistem ini tumbuh dan menutup sekitar 75% garis

Page 10: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

2

pantai di daerah tropis dan subtropis. Pada mangrove yang tumbuh disekitar

garis ekuator, memiliki kandungan biomassa yang maksimal jika dibandingkan

dengan lokasi lain. Penyebabnya semakin menurunnya level suhu yang

mengakibatkan total biomassa akan turun semakin meningkatnya lokasi lintang.

Total area mangrove saat ini berkisar antara 167.000 km2 hingga 181.000 km2

(Kuenzer, et al., 2011). FAO (2007) mengestimasi tutupan mangrove untuk

tahun 2005 adalah 152.000 km2, turun dari 188.000 km2 pada tahun 1980.

Sedangkan Giri, et al. (2011) mendapatkan luas mangrove secara global

menggunakan citra penginderaan jauh tahun 2000, didapatkan luasan mangrove

sebesar 137.760 km2 yang tersebar di 118 negara. Hasil luas mangrove global

yang dihasilkan oleh Giri, et al. (2011) memiliki luas lebih kecil disebabkan oleh

penggunaan resolusi citra penginderaan jauh yang digunakan yang lebih detail

(30 meter) dibandingkan dengan yang digunakan oleh FAO (2007) dalam

memetakan mangrove. Jumlah luas mangrove paling besar terdapat di kawasan

Asia Tenggara (Indonesia), di mana lokasi yang baik untuk tumbuh dan

memiliki diversitas spesies yang tinggi.

Tabel 1.1. Negara dengan jumlah mangrove terbesar.

No Negara Luas (ha) Persentase

global (%)

Persentasi

kumulatif (%)

1. Indonesia 3.112.989 22,6 22,6

2. Australia 977.975 7,1 29,7

3. Brazil 962.683 7,0 36,7

4. Meksiko 741.917 5,4 42,1

5. Nigeria 653.669 4,7 46,8

6. Malaysia 505.386 3,7 50,5

7. Myanmar 494.584 3,6 54,1

8. Papua Nugini 480.121 3,5 57,6

9. Bangladesh 436.570 3,2 60,8

10. Kuba 421.538 3,1 63,9

11. India 368.276 2,7 66,6

12. Guinea Bissau 338.652 2,5 69,1

13. Mozambik 318.851 2,3 71,4

14. Madagaskar 278.078 2,0 73,4

15. Filipina 263.137 1,9 75,3

Sumber: Giri, et al. (2011)

Page 11: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

3

Secara floristik terdapat dua perbedaan jenis mangrove dalam distribusi ini

(gambar 1.1), yakni zona timur yang terdiri atas pantai timur Afrika, Asia

Tenggara, kepulauan di Pasifik, dan Australia; dan zona barat yang terdiri atas

pantai barat Afrika, pantai di Amerika, dan kepulauan Karibia (FAO, 1994).

Secara intensif mangrove berkembang cukup pesat di muara sungai besar,

seperti muara sungai Gangga di Banglades, muara sungai Mahakam di

Kalimantan Timur, muara sungai Fly di Papua Nugini, dan muara sungai

Mekong di Vietnam. Sedangkan muara sungai Amazon dan sungai Kongo, salah

satu sungai terbesar di dunia ini, tidak memiliki hutan mangrove yang tumbuh

secara intensif karena besarnya debit sungai yang memasok air tawar.

Gambar 1.1. Distribusi mangrove diseluruh dunia, direpresentasikan dengan garis tebal. Garis putus-putus secara vertikal menujukkan batas bio-geografi, dan garis putus-putus horizontal menunjukkan batas hidup mangrove yang berada pada daerah tropis. Sumber: Hogarth (2007).

1.2.2 Faktor Pembatas Distribusi Mangrove

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi mangrove di seluruh

dunia. Faktor utama penyebab batasan tersebut adalah kondisi fisiologi yang

mendukung atau tidak untuk spesies mangrove dapat hidup atau tidak.

Selebihnya, terdapat campur tangan manusia yang mempengaruhi distribusi

mangrove yang ada saat ini dan yang akan datang.

Page 12: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

4

1.2.2.1 Campur Tangan Manusia

Beberapa habitat mangrove berada pada lokasi – lokasi yang berada dekat

dengan perkotaan. Konversi habitat mangrove untuk pembangunan perluasan

perkotaan seringkali tidak dapat dihindarkan. Akibatnya eksistensi mangrove

pada daerah tersebut berubah, atau bahkan menghilang jika tidak dilakukan

upaya perlindungan. Secara lebih luas, jika konversi mangrove tersebut

dilakukan pada skala besar untuk aktivitas tertentu, maka peta distribusi

mangrove yang ada saat ini perlu untuk direvisi.

Perubahan-perubahan eksistensi mangrove akibat pengaruh manusia beragam

untuk berbagai aktivitas yang berhubungan dengan faktor ekonomi tentunya.

Horning, et al. (2010) menyatakan penelitian saat telah menginventarisasi

kehilangan mangrove secara global mencapai 12% dari tahun 1975-2005.

Penyebab utama deforestasi hutan mangrove secara global tersebut adalah untuk

pertanian (81%), tambak (12%), dan menjadi wilayah perkotaan (2%). Akan

tetapi, penyebab utama deforestasi hutan mangrove untuk setiap Negara adalah

berbeda. Contohnya di Thailand, penyebab deforestasi mengrove terbesar

adalah untuk pertanian (50%) dan pembangunan tambak (41%). Sedangkan di

Filipina, konversi hutan mangrove menjadi menjadi tambak adalah penyebab

kerusakan mangrove paling besar, hingga tahun 1981 konversi mangrove

menjadi tambak telah dilarang (Janssen & Padilla, 1999). Hal ini tidak bisa

dihindarkan, mengingat kebutuhan manusia untuk makanan terus meningkat,

dan produksi tambak di areal mangrove menyumbang separuh dari konsumsi

global untuk makanan laut (produksi mendekati 50 juta metrik ton) (FAO,

2013).

Untuk di Indonesia, Ilham, et al. (2016) menemukan bahwa konversi mangrove

menjadi tambak adalah penyebab utama deforestasi mangrove. Lebih dari

600.000 ha mangrove telah terkonversi menjadi tambak. Fawzi (2016)

menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove di Delta Mahakam yang

menyebabkan 53,8% wilayah delta berubah menjadi tambak. Ini tentu akan

mempengaruhi distribusi mangrove yang ada saat ini. Pada sisi lain, pengaruh

distribusi mangrove tidak hanya diakibatkan oleh deforestasi yang terjadi.

Upaya penanaman mangrove seringkali dilakukan pada lokasi yang sebelumnya

tidak terdapat mangrove. Sehingga dapat dikatakan pada lokasi yang baru

tersebut mangrove dapat tumbuh.

Faktor-faktor lain yang jarang terjadi adalah kerusakan mangrove akibat

terjadinya perang. Van, et al. (2015) menemukan kerusakan mangrove seluas

104.939 ha atau 36% dari mangrove yang terdapat di Vietnam. Penyebab

kerusakan tersebut selain karena bahan peledak, pihak Amerika Serikat juga

Page 13: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

5

menggunakan bahan kimia beracun yang menyebabkan banyak mangrove mati

dan merusak ekosistem.

1.2.2.2 Salinitas

Salinitas juga menjadi penentu dalam distribusi mangrove yang lebih kepada

lokasi in situ. Hal ini karena spesies mangrove hanya dapat tumbuh pada

rentang kondisi salinitas tertentu. Terkait dengan hal ini, Smith (1992)

menjelaskan tentang syarat hidup jenis -jenis mangrove yang berhubungan

dengan salinitas. Untuk spesies Avicennia spp., beberapa penelitian menberi

nilai adaptasi spesies yang berbeda terhadap salinitas. Clarke & Hannon (1970)

dalam Smith (1992) menemukan bahwa spesies Avicennia marina dapat hidup

pada rentang salinitas 0 – 35 o/oo, dengan salinitas tumbuh maksimal adalah 7 –

14 o/oo. Smith (1992) juga menjelaskan bagaimana penelitian yang dilakukan

oleh Downton (1982) melaporkan bahwa Avicennia marina mampu hidup pada

salinitas 3 – 20 o/oo. Untuk spesies Rhizophora stylosa, memiliki nilai tumbuh

optimum pada salinitas 9 o/oo, dan terjadi penurunan biomassa jika berada pada

salinitas diatas 18 o/oo. Untuk nilai salinitas maksimal untuk tumbuh bisa

mencapai 35 o/oo, yakni nilai salinitas air laut. Bahkan Smith (1992) dalam

kompilasi penelitiannya, menunjukkan bahwa spesies Avicennia spp. mampu

hidup pada nilai salinitas >60 o/oo. Akan tetapi, untuk tumbuh secara optimal,

rentang salinitas 7 – 14 o/oo adalah yang paling sesuai.

Adaptasi yang dikembangkan oleh mangrove adalah akar nafas untuk

beradaptasi pada kondisi pasang surut. Jadi, ketika terkena pasang, akar-akar

nafas tersebut masih bisa memperoleh oksigen untuk pertumbuhannya. Dan

karakteristik ini berbeda tiap spesies. Selain itu bentuk adaptasi lainnya adalah

mengolah air dengan salinitas tinggi untuk dapat hidup. Mengrove memiliki

beberapa metode untuk mendapatkan air tawar dari air laut, dengan menyerap

air air asin dari akar, dan membuang kelebihan garam di daun dengan

menggunakan kelenjar ekskresi garam (terutama pada genus Avicennia,

Aegiceras and Aegialitis). Pada spesies lain menggunakan transpirasi pada daun,

atau mengakumulasi garam pada daun dan kemudian menggugurkannya.

1.2.2.3 Letak Lintang dan Iklim

Secara esensial mangrove merupakan tumbuhan tropis, yang dapat hidup

dengan batasan terjauh di lintang selatan adalah Florida Selatan, Afrika Selatan,

dan Victoria, Australia; dan betasan di lintang utara terjauh adalah Jepang

bagian selatan. Berdasarkan letak lintang, mangrove dapat hidup pada lokasi

paling selatan di titik terjauh yakni 38o59' lintang selatan, atau berada di

Australia, dan untuk batas lintang utara dapat hidup hingga 31o22' lintang utara

yang berada di Jepang (Giri, et al., 2011). Secara rinci, batasan letak lintang di

mana mangrove ditemukan disajikan pada tabel (1.2).

Page 14: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

6

Tabel 1.2. batasan letak lintang untuk distribusi mangrove.

Benua

Letak lintang di mana mangrove ditemukan

dapat tumbuh

Lintang utara Lintang selatan

Amerika bagian timur 32o 20’ 28o 56’

Amerika bagian barat 30o 15’ 5o 30’

Afrika bagian barat 19o 50’ 12o 20’

Afrika bagian timur/Laut Merah 28o 24’ 32o 59’

Australia bagian barat - 33o 16’

Australia bagian timur - 38o 45’

Asia 31o 21’ -

Sumber: Saenger (2002)

Dalam hubungannya dengan iklim, persebaran mangrove secara langsung

dipengaruhi oleh suhu permukaan laut. Mangrove merupakan tumbuhan yang

tidak mampu beradaptasi pada suhu yang rendah. Mangrove dapat hidup dengan

suhu permukaan laut minimal yakni 24oC. Lebih rendah dari suhu tersebut,

maka spesies mangrove akan sulit sekali beradaptasi dan tidak dapat tumbuh.

Untuk wilayah tropis, suhu tidak berpengaruh pada mangrove karena

permukaan laut selalu hangat dan terkena sinar matahari sepanjang tahun. Akan

tetapi, pada wilayah subtropis, dan semakin mendekati kutub suhu permukaan

laut semakin dingin, dan ini menjadi salah satu faktor pengaruh yang membatasi

distribusi mangrove; berasosiasi dengan letak lintang.

1.2.2.4 Pasang Surut Air Laut

Pasang dan surut air laut mempengaruhi penggenangan air laut terhadap habitat

mangrove. Jika semakin tinggi pasang dan area yang tergenang oleh air laut,

maka distribusi mangrove pada habitat tersebut akan semakin luas. Jika pada

area-area pantai yang terjal dan tidak tergenang oleh air laut, maka tidak terdapat

mangrove. Selain itu, pada daerah muara sungai, pasang dan surut air laut akan

mempengaruhi perubahan salinitas air di mana salinitas akan meningkat pada

saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut

1.2.2.5 Sedimen dan Ombak

Tanaman mangrove tidak dapat hidup pada wilayah pantai yang memiliki

ombak yang cukup besar. Dengan kata lain, mangrove hanya dapat hidup pada

area pantai atau habitat yang memiliki ombak relatif tenang. Ombak yang relatif

tenang akan membantu persebaran bibit mangrove dan akumulasi sedimen yang

berguna untuk nutrisi mangrove itu sendiri.

Page 15: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

7

1.3 TAKSONOMI MANGROVE

Saenger (2002) membagi mangrove secara umum dengan 26 family dan 39

genus. Berbeda dengan Tomlinson (1995) yang membagi mangrove dalam tiga

kategori, yakni: mangrove utama, mangrove peralihan, dan asosiasi mangrove.

Jadi pada definisi mangrove sebelumnya disebutkan terdapat 20 genus dari 16

family, pembagian tersebut pada mangrove utama dan mangrov peralihan. Pada

pembahasan ini, kita akan mengacu pada Tomlinson (1995) untuk

mempermudah dalam pembelajaran.

1.3.1 Mangrove Utama dan Mangrove Peralihan

Melihat definisi mangrove yang merupakan tumbuhan halofit, terdapat dua

pembedaan yang dapat dilakukan, yakni yang mampu beradaptasi penuh dengan

air asin dan beradaptasi dengan air tawar. Berdasar hal tersebut, Tomlinson

(1995) membagi taksonomi mangrove atas dua bagian utama, yakni ‘true’

mangrove atau mangrove utama (major mangrove) dan mangrove peralihan

(minor mangrove). Perbedaan keduanya adalah dari jenis adaptasi terhadap air

tawar. Sebagaimana Avicennia yang mampu hidup optimal pada nilai salinitas

7 – 14 o/oo. Berbeda halnya dengan Heriteria littoralis yang hanya mampu

beradaptasi pada air payau saja ketika berada pada pasang tertinggi, selebihnya

mampu beradaptasi pada air tawar. Jika Heriteria littoralis ‘diletakkan’ pada

wilayah yang sepenuhnya air asin, maka tidak dapat beradaptasi.

Pada mangrove utama, spesies mangrove yang termasuk didalamnya

sepenuhnya beradaptasi dengan kondisi salinitas yang tinggi yang dikontrol oleh

pasang surut. Bentuk adaptasi tersebut dapat berupa akar nafas atau

pnematofora, bibit yang vivipary, mekanisme adaptasi sekresi garam, dan

adaptasi fisiologis terhadap kondisi salinitas tinggi. Sedangkan pada mangrove

peralihan, telah mampu beradaptasi dengan salinitas rendah dan atau air tawar,

dan bahkan tidak mampu beradaptasi dengan salinitas yang tinggi (air laut).

Mangrove peralihan ini berhabitat pada area pantai kearah darat.

Secara detail mengenai taksonomi mangrove dapat dijelaskan pada tabel 1.3 dan

tabel 1.4. Penjelasan mengenai taksonomi mangrove secara detil pada tiap

family dijabarkan pada subbab berikutnya.

Page 16: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

8

Tabel 1.3. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove utama

Family Genus Jumlah

spesies

Akar

gantung Vivipary?

Avicenniaceae Avicennia 8 ++ +

Combretaceae Laguncularia

Lumnitzera

1

2

+

+

-

-

Palmae Nypa 1 - +

Rhizoporaceae Bruguiera

Ceriops

Kandelia

Rhizophora

6

2

1

8

++

++

-

++

++

++

++

++

Sonneratiaceae Sonneratia 5 ++ -

Total 9 34

Sumber: Tomlinson (1995)

Tabel 1.4. Tabel jenis-jenis genus mangrove yang berada di mangrove peralihan

Family Genus Jumlah

spesies

Akar

gantung Vivipary?

Bombacaceae Camprostemon 2 + -

Euphorbiaceae Exoecaria 1 (-2) - -

Lythraceae Pemphis 2 - -

Meliaceae Xylocarpus 2 ++ -

Myrsinaceae Aegiceras 2 - +

Myrtaceae Osbornia 1 - -

Pellicieraceae Pelliciera 1 - +

Plumbaginaceae Aegialitis 2 - +

Pteridaceae Acrostichum 3 - -

Rubiaceae Scypiphora 1 - -

Sterculiaceae Heriteria 3 - -

Total 11 20

Sumber: Tomlinson (1995)

Page 17: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

9

Keterangan tabel 1.2 dan 1.3:

+ = memiliki akar gantung dan/atau vivipary,

++ = memiliki dan terbentuk cukup baik

- .. = tidak memiliki

Vivipary = merupakan benih yang terbentuk, apakah mangrove memiliki “buah”

yang menjadi benih untuk regenerasinya. yakni biji atau benihnya telah

berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon. Vivipary ini lebih sering

dikatakan sebagai propagul.

1.3.1.1 Avicenniaceae

Nama Avicennia didedikasikan dari nama Ibnu Sina (980-1037). Hal ini

dikarenakan di Eropa ketika itu, Ibnu Sina terkenal sebagai Avicenna, salah

seorang pakar dan perintis kedokteran modern dari Persia. Family

Avicenniaceae hanya memiliki satu genus, yakni genus Avicennia L. 1753

(Tomlinson, 1995). Genus ini memiliki 8 spesies, yang mampu beradaptasi

dengan tingkat salinitas yang tinggi. Tumbuh sebagai zonasi paling depan yang

berhadapan dengan laut, dan mampu tumbuh hingga mencapai 30 meter. Untuk

wilayah Indo-Pasifik dan Afrika Timur, spesies Avicennia yang ada yakni:

Avicennia officinalis, A. alba atau A. marina, A. lanata, A. eucalyptifolia, dan A.

balanophora. Untuk daerah pantai barat Afrika dan Amerika, spesies Avicennia

yang ada yakni: Avicennia germinan, A. bicolor, A. schaueriana, dan A.

africana. Cara membedakan spesies Avicennia dapat dilakukan berdasarkan

bunga yang dihasilkan. Pada Avicennia germinan: berwarna putih dan memiliki

panjang 10 – 13 mm, pada A. officinalis: berwarna kuning dengan panjang 6 –

8 mm, dan pada A. marina: berwarna kuning atau jingga dengan panjang 4 – 8

mm.

Avicennia merupakan spesies yang memiliki toleransi terhadap salinitas yang

tinggi. Sehingga dalam lokasi hidupnya berada pada daerah yang berhadapan

langsung dengan laut. Adaptasi terhadap penggenangan air laut ketika pasang

adalah dengan memiliki akar nafas (pneumatafor) yang muncul 10 – 30 cm dari

tanah, dengan diameter 0,5 – 1 cm. Untuk adaptasi terhadap salinitas yang

tinggi, Avicennia mengeluarkan kelebihan garam pada daunnya melalui saluran

khusus di daunnya, yang pada akhirnya garam tersebut akan luruh oleh angin

atau hujan.

Page 18: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

10

Gambar 1.2. Pohon Avicennia yang dicirikan dengan akar nafas yang muncul ke permukaan. Daun, bunga, buah, dan pohon dari Avicennia marina. Sumber: Noor, et al. (2006)

1.3.1.2 Bombacaceae

Pada family ini hanya memiliki satu genus, yaitu Camprostemon Masters 1872.

Genus Camprostemon memiliki dua spesies, yakni C. schultzii Masters 1872 di

utara Australia dan Papua Nugini, dan C. philippinense (Vidal) Becc. 1898 yang

menyebar dari Filipina hingga Kalimantan.

1.3.1.3 Combretaceae

Combretaceae memiliki hampir 50 genus dan 1.000 spesies yang menyebar

diseluruh benua kecuali di Eropa. Untuk jenis mangrove yang diketahui berada

pada family ini adalah genus Laguncularia Gaertn.f. 1805 yang hanya terdiri

atas spesies Laguncularia racemose (L.) Faertn.f.; genus Lumnitzera Willd.

1803 yang terdiri atas spesies Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. 1845,

Page 19: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

11

Lumnitzera racemose Willd. 1803, dan Lumnitzera rosea (Gaud.) Presl. 1834;

genus Terminalia L. 1767 yang memiliki satu spesies Terminalia catappa L.

1767; dan genus Conocarpus L. 1753 dengan satu spesies Conocarpus erectus

L. 1953. Genus Terminalia dan Conocarpus termasuk dalam asosiasi mangrove.

1.3.1.4 Euphorbiaceae

Euphorbiaceae adalah tanaman dengan jumlah spesies lebih dari 7000 spesies

(Saenger (2002) menyebut hingga 8000 spesies). Euphorbiaceae memiliki dua

genus mangrove, yaitu Exoecaria L. 1759, Hippomane L. 1753, dan Glochidion

J. R. & G. Forst 1776. Exoecaria menyebar dari Afrika dan Asia hingga ke

Pasifik.

1.3.1.5 Lythraceae

Lythraceae termasuk dalam family yang cukup besar, karena memiliki hampir

25 genus dan 500 lebih spesies. Yang termasuk mangrove dalam Lythraceae

hanya genus Pemphis Frost. 1776, dengan spesies Pemphis madagascariensis

(Baker) Koehne 1903. Spesies P. madagascariensis merupakan spesies endemic

pada area savanna semi-arid di Madagaskar.

1.3.1.6 Meliaceae

Meliaceae memiliki hampir 50 genus dengan jumla spesies sekitar 1.200

spesies. Meliaceae yang termasuk mangrove hanya pada genus Xylocarpus

Kőnig 1784, dengan dua spesies yakni: Xylocarpus granatum Kőnig 1784 dan

Xylocarpus mekongensis Pierre 1897. Xylocarpus terdistribusi di timur Afrika

dan daerah tropis Indo-malaya.

1.3.1.7 Myrsinaceae

Myrsinaceae memiliki 18 genus dan 300 spesies (Saenger (2002) menyebut 35

genus dan 1.000 spesies). Distribusi utama Myrsinaceae berada di Afrika

Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Yang termasuk dalam mangrove dalam

Myrsinaceae hanya satu genus, Aegiceras Gaertner 1788. Genus Aegiceras

memiliki dua spesies, yakni Aegiceras comiculatum (L.) Blanco 1837 dan

Aegiceras floridum Roemer & Schultes 1819.

1.3.1.8 Myrtaceae

Myrtaceae hanya memiliki satu genus Osbornia F. Mueller 1862 dan satu

spesies Osbornia octodonta F. Muell. loc. cit. Myrtaceae sebenarnya family

yang cukup besar dengan genus lebih dari 155 dan 3.000 spesies. Osbornia

octodonta sendiri menyebar di utara Australia hingga Filipina.

Page 20: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

12

1.3.1.9 Palmae

Family Palmae merupakan family dari kelapa, dengan hampir 200 genus dan

2600 spesies. Akan tetapi, yang termasuk dalam kategori mangrove hanya

terdapat 3 spesies, yakni Nypa fruticans, Calamus erinaceus, dan Oncosperma

tigillarium. Nypa fruticans merupakan mangrove utama, sedangkan Calamus

erinaceus dan Oncosperma tigillarium merupakan asosiasi mangrove.

Nypa Fruticans atau Nypa merupakan tanaman mangrove yang hidup pada

muara sungai atau estuari. Habitat terbesar Nypa di Indoneisa berada di Delta

Mahakam, Kalimantan Timur. Secara umum, distribusi Nypa berada dari Sri

Langka, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Tiongkok, dan Australia. Selain itu,

Nypa juga telah ditanam menjadi spesies baru di wilayah Barat Afrika dan

Amerika Tengah.

Gambar 1.3. Nypa fruticans yang berada di Delta Mahakam.

Secara habitat alami, Nypa dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi,

mencapai variasi nilai salinitas 5o/oo – 25o/oo. Fawzi (2016) menemukan bahwa

nilai salinitas tersebut yang bervariasi antara 5o/oo – 25o/oo merupakan variasi

dari kondisi pasang dan surut air laut dan juga dipengaruhi oleh besarnya debit

sungai Mahakam terkait musim kemarau atau hujan. Nypa fruticans mampu

beradaptasi dalam kondisi salinitas ini. Zona transisi Nypa berada saat kondisi

pasang dengan nilai salinitas air 6o/oo. Sebenarnya Nypa dapat beradaptasi pada

rentang 0 – 25 o/oo, karena pada saat surut, pada lokasi yang sama bernilai

salinitas 0o/oo yang artinya air tawar. Akan tetapi karena kondisi payau saat air

pasang, maka Nypa dapat tumbuh. Formasi Nypa mulai tergantikan dengan

Page 21: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

13

spesies asosiasi mangrove pada nilai salinitas 5 - 6 o/oo pada kondisi air pasang.

Terkait dengan persebaran formasi Nypa fruticans, Tomlinson (1995)

mendeskripsikan bahwa Nypa dapat hidup di estuari di mana terdapat masukan

air tawar. Dengan kata lain, Nypa dapat hidup pada air payau dan tidak dapat

hidup pada kodisi air tawar atau asin.

1.3.1.10 Pellicieraceae

Pellicieraceae memiliki satu genus Pelliciera Planchon & Triana 1862 dengan

satu spesies Pelliciera rhizophoreae Triana & Planchon 1862. Pelliciera adalah

pohon kecil, dengan ketinggian 5 – 10 meter. Untuk saat ini Pelliciera hanya

ditemukan melimpah di Teluk Buenaventura, Kolombia, hingga ke Kosta Rika;

dan pantai yang terletak di Samudra Atlantik, seperti Kepulauan Karibia.

1.3.1.11 Plumbaginaceae

Plumbaginaceae adalah family kecil yang termasuk jenis semak-semak, dengan

distribusi hampir di wilayah pesisir di seluruh dunia. Terdapat satu genus

Aegialitis R. Brown 1810, dengan dua spesies, yakni Aegialitis annulata R.

Brown 1810 dan Aegialitis rotundifolia Roxburgh 1824. Aegialitis adalah

semak dengan bunga sempurna, tinggi mencapai 3 meter, dan habitat biasanya

pada daerah berpasir atau berbatu di wilayah pantai.

1.3.1.12 Pteridaceae

Pteridaceae adalah tumbuhan jenis pakis-pakisan dengan 35 genus dan lebih dari

1.000 spesies. Untuk genus yang mampu beradaptasi pada daerah asin adalah

Acrostichum L. 1753. Acrostichum terdistribusi pada asosiasi dengan

Rhizophora mangle dan pada wilayah estuari. Jumlah spesies yang termasuk

dalam genus ini adalah 3 spesies, yakni: Acrostichum aureum Linneaeus 1753,

Acrostichum danaeifolium Langsdorff & Fischer 1810, dan Acrostichum

speciosum Willdenow 1810.

1.3.1.13 Rhizophoraceae

Rhizophoraceae memiliki 16 genus dan 120 spesies yang terdiri atas jenis pohon

dan semak-semak. Untuk jenis mangrove sendiri, terdiri atas 4 genus dan 16

spesies. Seringkali disebut dengan “mangrove Rhizophoraceae,” dengan 4

genus tersebut adalah Bruguiera Lamarck 1793-7, Ceriops Arnold 1838,

Kandelia Wight & Arnold 1834, dan Rhizophora L. 1753. Faktor persamaan

yang menempatkan 4 genus tersebut dalam satu family mangrove adalah bentuk

bunga dan buah yang bersifat vivipary.

Page 22: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

14

Spesies-spesies mangrove yang terdapat dalam family ini adalah:

Bruguiera gymnorhiza (L.) Lamk. 1797-8, Bruguiera sexangula (Lour.)

Poir. 1816, Bruguiera exaristata Ding Hou 1957, Bruguiera parviflora

Wight & Arnold ex Griffith 1936, Bruguiera cylindrica (L.) Blume 1827,

dan Bruguiera hainesii C.G. Rogers 1919;

Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou 1958 dan Ceriops tagal (Perr.) C.B.

Robinson 1908;

Kandelia candel (L.) Druce 1914; dan

Rhizophora apiculata BL. 1827, Rhizophora mangle L. 1753,

Rhizophora samoensis (Hochr.) Salvoza 1936, Rhizophora x harrisonii

Leechman 1918, Rhizophora mucronata Lamk. 1804, Rhizophora

racemosa Meyer 1818, Rhizophora stylosa Griff. 1854, Rhizophora x

lamarckii Montr. 1860, dan Rhizophora x selala (Salvoza) Tomlinson

1978.

Rhizophora

Genus ini hampir berada diseluruh habitat mangrove di dunia. Dengan pohon

yang mampu tumbuh mencapai 30 – 40 meter, dengan kecepatan tumbuh

mencapai <1 meter/tahun (Duke, 2006). Dalam hal ini, Rhizophora menjadi

genus yang penting dalam hubungannya dengan mangrove. Seringkali

Rhizophora menjadi rujukan dari kata mangrove itu sendiri. Dan terlebih lagi

Rhizophora sering digunakan sebagai bibit untuk penanaman kembali

mangrove pada areal yang telah rusak.

Untuk membedakan spesies dalam genus Rhizophora adalah tidak mudah.

Beberapa spesies dapat dibedakan hanya dengan bunga dan buah. Namun

demikian, terdapat pola distribusi Rhizopora pada wilayah Indo-Pasifik yang

berdasar pada karakteristik adaptasinya (gambar 1.4). Namun, Duke (2006)

memberikan beberapa karakteristik pembeda untuk spesies Rhizophora,

yakni:

R. mucronata dapat berada pada wilayah yang berasosiasi dengan

aliran air tawar seperti sungai/muara sungai.

R. stylosa seringkali berada di daerah pantai, lebih mengarah pada

wilayah pantai yang berhubungan langsung dengan laut (bukan pada

muara sungai atau berdekatan).

R. apiculata dapat ditemukan pada lokasi yang hampir sama dengan R.

mucronata, akan tetapi lebih sering tumbuh pada muara sungai atau

estuari yang lebih besar.

Hybrid R. x lamarckii dapat ditemukan pada wilayah pantai dengan

julat pasang surut yang relatif tinggi.

Page 23: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

15

Gambar 1.4. Distribusi Rhizophora yang berada di Indonesia dan sekitarnya. Terlihat batas persebaran spesies R. apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa. pada kenyataannya, terjadi overlap dari ketiga distribusi spesies tersebut di wilayah Indonesia. Sumber: Duke (2006).

Untuk beradaptasi terhadap salinitas yang tinggi, Rhizophora juga memiliki

akar nafas pnematafor yang berbeda bentuk dari Avicennia. Sedangkan

untuk mendapatkan pasokan air tawar, Rhizophora melakukan transpirasi

pada daunnya dan terdapat membran khusus untuk menyaring garam. Daun

pada Rhizophora juga mampu meminimalkan kehilangan air berlebih,

meminimalkan pemanasan berlebih, dan mampu memaksimalkan proses

fotosintesis melalui optimasi sudut dan ukuran daun. Untuk berkembang

biak, buah mangrove yang telah berkecambah akan jatuh dan langsung

menancap ke tanah. Hal ini dapat terjadi karena bentuk adaptasinya yang

memungkinkan hal tersebut terjadi (gambar 1.5).

Page 24: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

16

Gambar 1.5. Kiri: Bunga Rhizophora yang telah dewasa (kiri ke kanan) Rhizopora apiculata, R. x lamarckii, R. stylosa, dan R. mucronata. Kanan: propagul pada R. stylosa. Sumber: Duke (2006)

Gambar 1.6. Perbedaan bunga pada A. R. apiculata, B. R. x lamarckii, C. R. mucronata, D. R. stylosa, E. R. apiculata, D. R. x lamarckii, G. R. mucronata, H. R. stylosa. Sumber: Setyawan & Ulumuddin (2012).

Page 25: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

17

Bruguiera

Bruguiera merupakan genus yang termasuk dalam family Rhizophoraceace,

memiliki 6 spesies yang terbagi atas dua jenis utama. Jenis pertama adalah

yang memiliki bunga relatif besar: Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula, B.

exaristata; dan jenis kedua adalah yang memiliki bunga relatif kecil: B.

parviflora, B. cylindrica, dan B. hainesii (Tomlinson, 1995). Penamaan

Bruguiera berasal dari penghormatan terhadap penjelajah dan ahli biologi

dari Prancis, Jean Guillaume Bruguière (1750–1798). Genus Bruguiera

tersebat dari pantai timur Afrika dan Madagaskar, India, Sri Lanka, Asia

Tenggara, Australia dan kepulauan Polinesia di Samudra Pasifik.

Pohon Bruguiera mampu tumbuh hingga mencapai ketinggian 40 meter,

selalu hijau sepanjang tahun dan juga selalu tumbuh, memiliki akar nafas

yang pendek. Bunga pada Bruguiera dibedakan atas bunga yang relatif besar

(panjang 2 – 4 cm) dan bunga yang relatif kecil (panjang 1 – 1,5 cm), dengan

jumlah helai 13 pada bunga relatif besar dan 8 helai pada bunga relatif kecil.

1.3.1.14 Rubiaceae

Rubiaceae adalah salah satu family terbesar dengan lebih dari 500 genus dan

6.000 spesies. Untuk genus yang berada pada jenis mangrove hanya genus

Scyphiphora Gaertn.f. 1805. Scyphiphora hanya memiliki satu spesies

mangrove peralihan, yakni Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn.f. 1805.

Scyphiphora terdistribusi dari selatan India, Indocina, melewati kepulauan di

Malaya dan Filipina, hingga ke Australia melalu kepulauan Palau.

1.3.1.15 Sonneratiaceae

Soneratiaceae memiliki satu genus Sonneratia L.f. 1781 dan 5 spesies. Spesies-

spesies tersebut adalah Sonneratia caseolaris (L.) Engler 1897, Sonneratia alba

J. Smith 1819, Sonneratia apetala Buch.-Ham. 1800, Sonneratia griffithii Kurz

1871, dan Sonneratia ovata Backer 1929. Persebaran Sonneratia meliputi timur

Afrika, Indo-Malaya hingga ke Australia, dan kepulauan Mikronesia dan

Melanisia.

Page 26: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

18

Gambar 1.7. Perbedaan buah dari spesies Bruguiera yang berbeda: 1: B. hainesii. 2: B. sexangula. 3: B. gymnorhiza. 4: B. cylindrica. 5: B. parviflora. CL: calyx lobe, CT: calyx tube, FB: flower bud, Fr: bunga, Ft: fruit (buah), H: hypocotyl, VS: bibit vivipary. A. batang dan buah dari Bruguiera, dan B. adalah tahapan perkembangan buah hingga siap untuk tumbuh menjadi bibit. Sumber: Sheue, et al. (2005)

Page 27: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

19

1.3.1.16 Sterculiaceae

Sterculiaceae memiliki 65 genus dan sekitar 1.100 spesies yang tersebar pada

daerah tropis dan sub-tropis. Genus yang termasuk dalam Sterculiaceae adalah

Heritiera Aiton. 1789, dengan tiga spesies mangrove, yakni: Heritiera littoralis

Dryand. in Aiton 1789, Heritiera fomes Buch-Ham. 1800, dan Heritiera globose

Kostermans 1959. Heritiera globose hanya ditemukan di Kalimantan. Heritiera

littoralis secara luas terdistribusi pada daerah tropis timur Afrika, Asia

Tenggara, Australia, dan kawasan Samudra Pasifik. Sedangkan Heritiera fomes

ditemukan dari India dan Banglades hingga Myanmar.

1.3.2 Spesies Asosiasi Mangrove

Pada dasarnya, klasifikasi pada tabel (1.3) dan (1.4) merupakan pengkelasan

mangrove yang dilakukan oleh Tomlinson (1995) untuk mempermudah analisis.

Pengkelasan tersebut dengan tidak memasukkan tanaman jenis semak-semak

dalam mangrove. Hal ini mengingat mangrove lebih mengarah kepada ‘pohon’

dibandingkan dengan semak-semak walaupun sama-sama mampu beradaptasi

dengan kondisi asin. Pada tabel (1.5) secara rinci adalah jenis-jenis spesies yang

berasosiasi dengan mangrove yang terdiri atas 60 spesies.

Page 28: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

20

Tabel 1.5. Spesies yang berasosiasi dengan mangrove

Family Genus Spesies

Pantai

Spesies

Darat

Acanthaceae Acantus 3 30

Anarcardiaceae Gluta 1 20

Apocynaceae Cerbera

Rhabdadenia

3

1

3

3

Batidaceae Batis 1 (-2) -

Baignoniaceae Amphitecna

Anemopaegma

Dolicandrone

1

1

1

1

30

9

Celastraceae Cassine 1 80

Combretaceae Conocarpus

Terminalia

1

1

1

200

Compositae Tuberostylis 2 -

Ebenaceae Diospyros 1 400

Euphorbiaceae Glochidion

Hippomane

1

1

300

-

Flacourtiaceae Scolopia 1 37

Goodeniaceae Scaevola 2 90

Guttiferae Calophyllum 1 250

lecythidaceae Barringtonia 2 40

Leguminosae

(Caesalpinoideae)

(Papilionoideae)

Cynimetra

Caesalpinia

Aganope

Dalbergia

Derris

Inocarpus

Intsia

Mora

pongamia

2

2

1

2

1

1

1

1

1

70

40

6

300

50

3

8

10

2

Malvaceae Hibiscus

Pavonia

Thespesia

1

1

2

200

200

15

Melastomataceae Octhocharis 1 5

Meliaceae Amoora 1 20

Myristicaceae Myristica 1 120

Page 29: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

21

Lanjutan tabel 1.4.

Family Genus Spesies

Pantai

Spesies

Darat

Myrsinaceae Ardisia

Myrsine

1

1

250

10

Palmae Calamus

Oncosperma

Phonix

Raphia

1

1

1

1

400

4

12

10

Pandanaceae Pandanus 2 300

Rubiaceae Rustia 1 12

Rutaceae Merope 1 -

Sapindaceae Allophyllus 1 190

Sapotaceae Pouteria 1 50

Tiliaceae Brownlowia 2 30

Total 46 60

Sumber: Tomlinson (1995)

1.4 ZONASI MANGROVE

1.4.1 Definisi Zonasi Mangrove

Tempat hidup mangrove sangat terkait dengan geomoforlogi tertentu, atau dapat

dikatakan berada pada habitat yang telah “ditentukan.” Zonasi ekologis

mangrove atau zonasi mangrove in merupakan susunan atau formasi mangrove

yang mencirikan spesies-spesies dominan pada setiap kondisi ekologis yang

berbeda dari arah laut ke darat atau sebaliknya (Smith, 1992). Terkait zonasi

mangrove itu sendiri, terdapat beberapa keadaan yang membuat zonasi

mangrove berbeda. Dengan beberapa hal yang berpengaruh terhadap distribusi

mangrove tersebut, pada dasarnya adalah menyangkut dengan kondisi habitat

mangrove itu sendiri.

Pola yang terbentuk dari zonasi mangrove ini, dapat dibedakan dari arah laut ke

darat atau sebaliknya. Dan pola-pola yang terbentuk akan berbeda di tiap-tiap

habitat mangrove. Secara umum (pada gambar 1.9), pada wilayah yang

berdekatan dengan laut, zonasi yang terbentuk adalah komunitas Avicennia dan

Sonneratia. Keduanya mampu beradaptasi dengan terpaan ombak dan genangan

air laut yang lebih intens dan salinitas tinggi. Berikutnya akan diikuti oleh

komunitas Rhizophora, biasanya ditemukan berasosiasi dengan komunitas

Bruguiera dan Ceriops. Dan pada zona ke arah darat ditandai dengan

Page 30: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

22

kemampuan adaptasi terhadap air asin yang semakin minim. Seringkali pada

zona ke arah darat ini ditumbuhi oleh mangrove peralihan (mangrove minor).

Untuk lebar zonasi mangrove sendiri, relatif terhadap gradient/topografi pantai

yang menjadi habitat. Semakin landai maka semakin lebar hutan mangrove yang

ada. Namun, lebar hutan mangrove/zonasi mangrove jarang melebihi 4 km

(Noor, et al., 2006). Untuk pantai yang terjal, lebar zona mangrove jarang

melebihi 50 meter.

1.4.2 Hal Berpengaruh Terhadap Zonasi Mangrove

1.4.2.1 Penggenangan oleh Air Laut

Mangrove mampu beradaptasi dengan genangan oleh air laut yang memiliki

kadar salinitas tinggi. Penggenangan terjadi ketika pasang, dan mangrove akan

sedikit tergenang atau tidak tergenang oleh air laut ketika surut. Periode

penggenangan oleh air laut berbeda-beda di setiap lokasi habitat mangrove,

tergantung pada topografi pantai yang berasosiasi dengan karakteristik pasang

surut, debit sungai, hujan, air tanah, dan evapotranspirasi. Genangan air laut

yang terjadi mengakibatkan kadar oksigen pada tanah menurun. mangrove

beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut dengan sistem akar yang lebih

menghujam tanah lebih dalam. Hasilnya, ditemukan hampir biomassa akar

mangrove ditemukan pada kedalaman 70 cm di bawah tanah.

Perbedaan lamanya waktu penggenangan dan lokasinya, mempengaruhi zonasi

mangrove yang terbentuk. Hal ini pertama kali dipublikasikan oleh Watson

(1928) dalam penelitiannya di semenanjung malaya. Secara umum, Watson

(1928) telah membagi pola zonasi mangrove yang terjadi dengan beberapa

klasifikasi yang sesuai. Pola-pola yang terbentuk dapat dijelaskan dengan

klasifikasi berikut (secara rinci pada tabel 1.6).

1. Kelas 1: tergenang pada saat terjadi pasang. Dengan kata lain, spesies

pada kelas ini mampu beradaptasi dengan tingkat penggenangan yang

tinggi tatkala terjadi pasang air laut. Spesies mangrove yang mampu

hidup adalah Rhizophora mucronata, R. stylosa dan R. apiculata. Untuk

R. mucronata lebih banyak tumbuh pada areal yang lebih banyak

pasokan air tawar; dan R. stylosa dan R. apiculata dapat tumbuh dengan

baik pada kondisi salinitas yang tinggi. Untuk beberapa wilayah seperti

di Teluk Bintuni, Papua, zona ini didominasi oleh Avicennia. Terutama

untuk wilayah-wilayah yang terbentuk daratan baru (akresi), akan

melimpah spesies Avicennia (terutama Avicennia marina).

2. Kelas 2: mangrove tergenang pada saat pasang dengan ketinggian

medium/sedang. Spesies yang dominan pada zona ini adalah Avicennia

alba, A. marina, Sonneratia alba, dan R. mucronata.

Page 31: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

23

3. Kelas 3: mangrove tergenang pada saat pasang normal. Pada zona ini,

banyak spesies yang mampu tumbuh, terutama mangrove

minor/peralihan. Spesies yang dapat tumbuh pada zona ini antara lain

dominasi oleh spesies Rhizopora, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum,

Lumnitzera littorea dan Excoecaria agallocha.

4. Kelas 4: mangrove tergenang hanya saat pasang tertinggi saja. Spesies

mangrove peralihan banyak tumbuh dan mampu beradaptasi. Spesies

yang tumbuh umumnya adalah Bruguiera, Xylocarpus, Lumnitzera

littorea, dan Excoecaria agallocha. Untuk Rhizopora jarang ditemui

pada zona ini, mengingat terbatasnya penggenangan air laut yang terjadi.

5. Kelas 5: mangrove tergenang saat terjadi pasang yang sangat tinggi,

seringkali dikategorikan sebagai zona abnormal. Pada zona ini

didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza, Intsia bijuga, Nypa

fruticans, Heritiera littoralis, Excoecaria agallocha.

Tabel 1.6. Kelas penggenang air laut yang disampaikan oleh Watson (1928)

Kelas Genangan terjadi

ketika:

Ketingian dari muka air

laut dalam satuan kaki,

(dengan dalam kurung

bersatuan meter)

Frekuensi

penggenangan

(kali/bulan)

1 Saat pasang 0 – 8 (2,44) 56 - 62

2 Pasang menengah 8 – 11 (3,35) 45 – 59

3 Pasang normal 11 – 13 (3,96) 20 – 45

4 Pasang tertinggi 13 – 15 (4,57) 2 – 20

5 Pasang abnormal 15 2

Sumber: Tomlinson (1995)

1.4.2.2 Gradien Zonasi Biofisik

Analisis yang sering digunakan untuk menjelaskan tentang ekologi mangrove

adalah tentang adaptasi mangrove terhadap komponen lingkungan yang

spesifik. Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap pertumbuhan tiap-tiap

spesies mangrove. Hal ini dikarenakan tiap-tiap spesies memiliki prasyarat

kondisi optimal untuk tumbuh dengan baik. Sehingga pada kondisi lingkungan

tertentu, spesies yang paling beradaptasi adalah yang mampu tumbuh dengan

baik; dan muncullah zonasi mangrove tersendiri.

Parameter yang paling banyak digunakan adalah nilai salinitas. Ada beberapa

mangrove yang tidak dapat hidup sepenuhnya jika terkena air asin, dan ada

Page 32: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

24

mangrove yang tidak dapat hidup jika nilai salinitas yang rendah karena

pengaruh air tawar. Seperti pada spesies Rhizophora stylosa, memiliki nilai

tumbuh optimum pada salinitas 9 o/oo, dan terjadi penurunan biomassa jika

berada pada salinitas diatas 18 o/oo. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh

Fawzi (2016), ditemukan transisi formasi Avicennia dan Nypa berada pada

kondisi dengan nilai salinitas 7o/oo yang ukur pada saat surut. Sedangkan pada

kondisi pasang, zona transisi tersebut berada pada salinitas 20o/oo. Dapat

dikatakan nilai Salinitas 7o/oo ini merupakan nilai adaptasi nilai salinitas

minimum yang dibutuhkan oleh spesies Avicennia untuk dapat tumbuh. Jika

kurang dari nilai tersebut, maka secara progresif digantikan oleh spesies Nypa

yang mampu beradaptasi dengan nilai salinitas yang lebih rendah.

Gambar 1.8. zonasi mangrove yang terbentuk oleh gradien salinitas di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Sumber: Fawzi (2016).

1.4.2.3 Geomorfologi

Geomorfologi disini dapat dikatakan sebagai lokasi hidup mangrove. Perbedaan

lokasi hidup mangrove memberikan pembedaan terhadap zonasi mangrove yang

ada. Hal ini dikarenakan mangrove akan merespon perubahan geomorfologi

yang terjadi dalam suatu habitat. Faktor geomorfologi yang mempengaruhi

adalah suplai sedimen, jenis tanah, akresi, erosi, dan faktor iklim seperti curah

hujan. Dari sini kita dapat membagi dua bagian utama pembeda zonasi

mangrove, yakni zonasi mangrove pada daerah pantai dan zonasi mangrove

pada muara sungai.

Pada zonasi daerah pantai adalah zonasi yang umum terjadi pada mangrove.

Yakni pada bagian berbatasan dengan laut didominasi oleh Avicennia, kemudian

Rhizophora dan Bruigueira. Setelah itu diikuti dengan mangrove peralihan.

Sebagai contoh pada gambar 1.9.

Page 33: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

25

Gambar 1.9. Zonasi mangrove di Pesisir Cilacap, Jawa Tengah. Sumber: Noor, et al. (2006)

Untuk zonasi mangrove yang berada pada muara sungai, cukup berbeda dengan

di daerah pantai. Hal ini mengingat suplai air tawar dan air laut yang berbeda,

akumulasi sedimen yang lebih besar, dan gradien pantai yang lebih landai.

Beberapa lokasi hutan mangrove yang cukup besar berada di muara sungai. Hal

ini dipengaruhi oleh pasokan sedimen yang cukup besar; mengandung banyak

nutrisi untuk hidup kembang mangrove dan subtrat yang sesuai. Pada zona ini

biasanya terbentuk delta seabgai habitat mangrove. Sebut saja muara sungai

Gangga dan Brahmaputra di India, muara sungai Mahakam yang membentuk

Delta Mahakam, muara sungai Mekong di Veitnam. Zonasi yang tebentuk

seperti pada gambar 1.9, di mana terdapat gradien salinitas yang mempengaruhi

spesies mangrove yang mampu beradaptasi. Pada zonasi ini, jenis mangrove

lebih didominasi oleh mangrove peralihan.

1.4.2.4 Persebaran Propagul

Terdapat hipotesis bahwa zonasi mangrove di Panama dikontrol oleh aktivitas

pasang surut yang berpengaruh terhadap propagul. Aktvitas pasang surut yang

terjadi telah menyortir propagul mangrove berdasarkan ukuran propagul

tersebut. Penyebaran propagul Avicennia germinans dan L. recemosa terbatas

pada lokasi pasang tertinggi, karena ukuran propagule yang kecil dan pasang

tertinggi mampu membawanya jauh ke arah darat. Sedangkan ukuran propagul

yang lebih besar, seperti yang dimiliki Rhizophora mangle dan P. rhizophorea,

Page 34: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

26

tidak terbawa jauh oleh aktivitas pasang surut yang terjadi. “Sortir” yang terjadi

tersebut, membentuk zonasi mangrove yang berbeda.

Gambar 1.10. Zonasi yang berbeda, di mana Avicennia berada pada lokasi ke arah daratan. hipotesis persebaran propagul inilah yang mampu menjelaskan. Sumber: Smith (1992)

1.4.2.5 Kompetisi Spesies

Bagaimana jika dua spesies mangrove mampu beradaptasi dalam kondisi

biofisik yang sama? Apakah kedua spesies tersebut dapat tumbuh bersama atau

hanya satu spesies yang dapat hidup. Jika sortir propagul yang terjadi

membawanya ke “zona pertumbuhan yang salah,” maka apakah propagul

tersebut mampu hidup berkompetisi dengan spesies yang telah ada di zona

tersebut. Dalam penjelasan oleh Smith (1992), Ball (1980) melakukan penelitian

tentang kolonisasi Rhizophora mangle dan Laguncularia racemose di Florida

Selatan. Berdasar pada foto udara yang ada menunjukkan pada koloni mangrove

di wilayah tersebut, Laguncularia telah digantikan oleh Rhizophora. Dutrieux,

et al. (2014) yang melakukan penelitian di Delta Mahakam, mendapatkan bahwa

suksesi yang terjadi di delta akibat konversi menjadi tambak, telah merubah

zonasi yang ada. Maksudnya, spesies yang tumbuh akan berbeda dari spesies

awalnya. Atau dengan contoh, pada banyak tempat di Delta Mahakam, Nypa

telah digantikan oleh Avicennia atau spesies lain.

1.4.2.6 Predasi Propagul

Watson (1928) mengatakan bahwa “musuh utama mangrove adalah kepiting.”

Hal ini bukan tidak mendasar, karena kepiting adalah konsumen yang memakan

propagul atau bibit mangrove. Akibatnya tentu saja persebaran mangrove akan

terganggu. Jika propagule telah dimakan oleh kepiting, maka potensi untuk

hidup akan kecil. Terdapat hubungan antara spesies dominan terhadap jumlah

propagule yang dimakan oleh kepiting. Smith (1992) menjelaskan tentang

eksperimen yang dilakukan di pantai timur laut Queensland, Australia. Pada

pantai tersebut, zonasi yang ada menunjukkan tidak adanya A. marina.

Eksperimen yang dilakukan adalah dengan memagari bibit Avicennia marina

yang ditanam. Hasilnya spesies A. marina mampu hidup dan tumbuh. Dengan

Page 35: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

27

kata lain, tidak adanya A. marina pada hutan mangrove di pantai tersebut adalah

karena predasi propagul yang dilakukan oleh kepiting.

1.5 MANFAAT DAN ANCAMAN

1.5.1 Manfaat Keberadaan Mangrove

Ekosistem mangrove tidak serta merta hanya hidup dan sebagai habitat makhluk

hidup lainnya. Terdapat banyak peran dari kehadiran ekosistem mangrove,

terutama sebagai penghalang dari dinamika laut yang seringkali terdapat erosi

pantai. Kemampuan melindungi garis pantai ini secara luas juga melindungi dari

bencana alam, seperti badai, tornado, dan tsunami. Secara umum, berikut adalah

peran ekosistem mangrove bagi kelangsungan hidup manusia dan ekologi.

Melindungi pantai dari erosi dan abrasi pantai.

Melindungi pemukiman penduduk dari terpaan badai dan angin dari

laut.

Mencegah intrusi air laut.

Tempat hidup dan berkembang biak berbagai satwa liar seperti ikan,

udang, kepiting, burung, monyet, dsb.

Menghasilkan bahan-bahan alami yang bernilai ekonomis seperti kayu

untuk bahan bangunan, bahan perahu dan kayu bakar.

Memiliki potensi edukasi dan wisata.

Mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dari udara, dan lain-

lain.

Dari peran itu semua, terdapat peran ekonomi yang sering dilupakan.

perhitungan nilai ekonomi ekosistem mangrove adalah sebesar US $9.900/ha

(Constanza, et al., 1997). Untuk total keseluruhan nilai ekonomi ekosistem di

Bumi, nilai estimasi (sebagian besar tidak terdapat di pasar) berkisar antara US

$ 16-54 triliun (1012) per tahun.

1.5.2 Ancaman Terhadap Ekosistem Mangrove

Telah disebutkan bawah konversi hutan mangrove adalah berubah untuk

pertanian (81%), tambak (12%), dan menjadi wilayah perkotaan (2%). Itulah

persentasi konversi mangrove secara global. Untuk wilayah Indonesia ancaman

terbesar terhadap ekosistem mangrove adalah konversi menjadi tambak. Pada

intinya budidaya tambak sangat tepat dilakukan pada wilayah dengan kondisi

air payau. Lokasi-lokasi tersebut umumnya berada di muara sungai atau

didekatnya, yang menjadi habitat mangrove. Permintaan komoditas tambak

seperti udang dan ikan bandeng, membuat usaha konversi menjadi tambak

meningkat pesar. Sebagai contoh konversi hutan mangrove manjadi tambak di

Delta Mahakam (Bosma, et al., 2012; Dutrieux, et al., 2014; Samad, et al., 2013;

Page 36: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

28

Biswas, et al., 2009). Aktivitas tersebut dimulai sejak tahun 1990, yang

menyebabkan 5% dari hutan mangrove di Delta Mahakam terkonversi menjadi

tambak (Dutrieux, 2001; Dutrieux, et al., 2014). Pada tahun 2000, hutan

mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang mencapai 47%, dan

meningkat hingga 75% pada tahun 2010 (van Zwieten, et al., 2006; Rahman, et

al., 2013). Rahman, et al. (2013) menemukan terjadi deforestasi hutan mangrove

di Delta Mahakam mencapai 21.000 ± 152 ha selama rentang tahun 2000 hingga

2010. Fawzi (2016) yang melakukan pemetaan dengan sumber data tahun 2015,

menemukan konversi di delta tersebut telah merubah 53,8% mangrove menjadi

tambak.

Konversi hutan mangrove menjadi tambak ini juga menurunkan kualitas tanah

dan perlindungan pesisir terhadap pengaruh gelombang laut (Bosma, et al.,

2012). Akibatnya, selain kerusakan ekosistem mangrove, terjadi penurunan

produksi udang yang hanya memproduksi 45 kg/ha per tahun (Bosma, et al.,

2012). Angka produksi tersebut hanya 10% dari pengelolaan tambak secara

ekstensif dengan integrasi hutan mangrove sebagai bagian dari produksi udang

(Janssen & Padilla, 1999). Konversi tersebut juga mempengaruhi parameter-

parameter yang mempengaruhi perkembangan adaptasi mangrove. Terjadinya

konversi menjadi tambak tentu mempengaruhi perkembangan mangove dan

dapat mengubah zonasi mangrove.

Selain itu, beberapa kegiatan lain juga dapat merusak ekosistem mangrove

secara keseluruhan. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, penebangan liar,

konversi menjadi tambak, hingga bencana alam adalah banyak hal yang dapat

merusak ekosistem mangrove. Terlebih dari manfaat yang cukup besar,

pengelolaan mangrove yang tidak berkelanjutan adalah dasar dari ancaman

kerusakan mangrove yang terjadi saat ini.

Page 37: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

29

2 BAB 2

PEMETAAN MANGROVE

Artikata pemetaan dalam buku ini adalah tentang perolehan informasi spasial

mengenai kondisi mangrove suatu wilayah tertentu. Hal ini mengingat ketika

kita mengalisis suatu wilayah dimuka Bumi, hal tersebut selalu berkaitan dengan

informasi spasial dan perlu untuk dipetakan. Pemetaan ini untuk mempermudah

analisis dan deduksi informasi untuk penentukan keputusan akhir.

2.1 INFORMASI YANG DIPETAKAN

Informasi yang dimuat dalam pemetaan mangrove adalah sangat beragam. Hal

mendasar dalam informasi tersebut adalah skala peta yang digunakan. Semakin

besar skala yang digunakan, maka informasi yang dapat dimuat akan semakin

banyak dan semakin detil, berlaku sebaliknya. Pada skala kecil, informasi yang

dipetakan hanya informasi mangrove dan non-mangrove saja. Pada skala yang

lebih detil, informasi yang dapat dipetakan dapat berupa kerapatan mangrove,

zonasi mangrove, jenis spesies, tingkat kerusakan, dan lain-lain. Penggunaan

skala yang berbeda ini dipengaruhi oleh tujuan pemetaan itu sendiri. Jika

mengacu pada level perencanaan, untuk perencanaan operasional tentu

membutuhkan data yang lebih detil dibandingkan dengan perencanaan tata guna

lahan.

Pada intinya tujuan pemetaan adalah prasyarat untuk mendapatkan informasi

yang akan dipetakan. Jika tidak terdapat tujuan yang spesifik, mungkin kita

hanya memperoleh informasi tentang informasi mangrove dan non-mangrove

saja. Akan tetapi, jika dikembangkan tujuan seperti untuk mengetahui

produktivitas mangrove, tentu kita memerlukan informasi yang terkait dengan

tujuan tersebut. Informasi tersebut seperti kerapatan mangrove, produktivitas

primer, biomassa, sebaran spesies, dan informasi lainnya yang terkait.

Secara singkat, penginderaan jauh untuk ekosistem mangrove dapat digunakan

untuk memperoleh informasi berikut (Kuenzer, et al., 2011).

Invetarisasi habitat (menentukan luas area, jenis spesies, hingga

kondisi kesehatan mangrove);

Page 38: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

30

Perubahan dan monitoringnya, terutama akibat dinamika perubahan

penggunaan lahan. Hal ini seringkali sebagai dasar upaya konservasi

dan restorasi ekosistem mangrove.

Mendukung evaluasi ekosistem;

Estimasi biomassa (produktivitas);

Estimasi kapasitas regenerasi mangrove;

Perencanaan survei lapangan;

Penilaian kualitas air;

Menyediakan informasi untuk manajemen bencana;

Menyediakan informasi untuk dapat mengerti mengenai proses ekologi

dan biologi yang terjadi pada ekosistem tersebut.

Mumby & Edwards (2000) menemukan beberapa informasi yang dibutuhkan

untuk mangrove. Informasi tersebut yang paling utama adalah tentang batas-

batas mangrove yang terdapat dipesisir terhadap jenis tata guna lahan lainnya.

Berikutnya adalah tentang informasi mangrove yang telah rusak, informasi

tinggi dan kerapatan mangrove, komposisi spesies dalam suatu habitat

mangrove dan biomassanya. Informasi-informasi tersebut adalah bersifat spasial

dan dan dapat dipetakan. Melana, et al. (2000) memberikan pembedaan jenis

informasi yang harus dipenuhi untuk pengelolaan mangrove. Informasi tersebut

adalah mengenai mangrove itu sendiri, seperti jenis mangrove dan

kerapatannya, dan informasi pendukung pengelolaan, seperti penggunaan

sumberdaya dan permasalahan yang terjadi pada kawasan tersebut (tabel 2.1).

Akan tetapi, informasi yang paling dibutuhkan saat ini adalah pemetaan

mangrove yang bersifat multitemporal (time-series), mengingat ini bagian dari

upaya monitoring mangrove untuk mencegah degradasi mangrove yang lebih

intens.

2.2 METODE PEMETAAN DENGAN PENGINDERAAN JAUH

Terdapat dua metode utama dalam perolehan informasi mangrove yang

berkaitan dengan pemetaannya, yakni survei lapangan dan penginderaan jauh.

Survei lapangan adalah metode awal yang digunakan untuk pemetaan

mangrove. Dapat dikatakan, metode pemetaan yang paling sesuai adalah dengan

metode survei lapangan. Karena secara detil informasi diperoleh dan mampu

dipetakan dengan baik. Watson (1928) berhasil memetakan mangrove di

semenanjung Malaya dengan malakukan survei lapangan (gambar 2.1).

Mempertimbangkan teknologi yang ada pada tahun tersebut, dapat dikatakan

bahwa peta yang dihasilkan adalah cukup baik. Pemetaan yang dilakukan

tersebut adalah proyek besar yang dilakukan oleh koloni Inggris dengan dibantu

oleh penduduk pribumi. Jika dihubungkan dengan efisiensi saat ini, hal tersebut

akan sulit dilakukan lagi mengingat telah banyak teknologi pemetaan yang

berkembang.

Page 39: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

31

Tabel 2.1. Jenis-jenis peta yang dapat digunakan dalam pengelolaan mangrove

Jenis Peta Informasi

Zonasi mangrove atau

jenis pohon

Mengidentifikasi jenis-jenis spesies mangrove dalam

suatu zonasi

Kerapatan dan tinggi

pohon mangrove

Menentukan kerapatan pohon dan tinggi pohon dengan

satuan pohon per hectare dalam suatu zonasi mangrove

Penggunaan sumberdaya

pesisir

Menentukan jenis-jenis penggunaan lahan di pesisir

mangrove, seperti tambak, permukiman, budidaya

perikanan, penggunaan kayu mangrove, dan lain-lain.

Permasalahan, isu-isu

terbarukan, dan konflik

yang terjadi

Menentukan permasalahan yang terjadi pada wilayah

habitat mangrove. Permasalahan, isu-isu, dan konflik

dapat dipetakan dengan mengaitkan informasi tersebut

dengan lokasi spasialnya. Sebagai contoh tambak illegal,

pemukiman illegal, lokasi-lokasi habitat mangrove yang

menjadi sengketa kepemilikan, dan lain-lain.

Jenis informasi lainnya Informasi ini seperti informasi aliran sungai, tambak

yang masih aktif dan tidak, pasang surut, dan lain-lain.

Sumber: Melana, et al. (2000)

Untuk saat ini, metode survei lapangan adalah alat bantu pemetaan untuk

memperoleh data model atau uji akurasi hasil peta yang telah dibuat. Metode

yang berkembang pesat adalah metode pemetaan dengan penginderaan jauh.

Dalam hal pemetaan menggunakan penginderaan jauh, hal utama yang harus

diperhatikan adalah mengenai sumber data. Perubahan mangrove yang terjadi

tersebut membutuhkan upaya monitoring, evaluasi, dan pengelolaan yang

sesuai. Salah satu upaya yang relevan adalah dengan mengetahui perubahan

yang terjadi menggunakan teknik penginderaan jauh (Green, et al., 1998;

Kuenzer, et al., 2011). Karena dengan pengukuran in situ tidak mampu

menjelaskan perubahan secara multitemporal dan membutuhkan banyak waktu

dan biaya. Keuntungan menggunakan data penginderaan jauh adalah

tersedianya data dengan resolusi yang cukup tinggi, konsisten, pengulangan

perekaman, dan kemampuan dalam mengukur/merekam kondisi permukaan

bumi dengan baik (Owen, et al., 1998). Sumber data yang sering digunakan

untuk analisis ekosistem mangrove berasal dari satelit sumberdaya dengan

resolusi menengah, seperti seri satelit Landsat, SPOT, SAR, CBERS-1, dan

sensor MODIS. Di mana seri satelit Landsat (TM/ETM) dan SPOT adalah yang

paling banyak digunakan (Fei, et al., 2011).

Page 40: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

32

Gambar 2.1. Representasi grafis dari zonasi mangrove di Malaysia oleh Watson (1928). Sumber: Smith (1928).

Page 41: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

33

2.2.1 Dasar Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan teknik untuk mendapatkan informasi mengenai

objek di permukaan bumi tanpa kontak fisik dengan objek tersebut. Teknik ini

menggunakan perekaman atas area di permukaan bumi yang direpresentasikan

dalam sebuah citra atau gambar. Berbagai citra yang dihasilkan ini selanjutnya

diproses untuk beragam aplikasi di bidang pertanian, kebumian, dan bidang-

bidang lainnya. Lo (1996) menjelaskan, bahwa tujuan utama penginderaan jauh

adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi

tersebut disampaikan melalui gelombang elektromagnetik. Inti dari

penginderaan jauh adalah interpretasi permukaan bumi dari sebuah citra atau

perekaman fotografik. Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang mendekati

kenyataan, maka perlu mengetahui karakteristik sistem penginderaan jauh itu

sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa data penginderaan jauh pada

dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu

diterjemahkan dalam bentuk informasi tematik.

Gambar 2.2. Sensor satelit penginderaan jauh yang merekam enegi dari objek dipermukaan bumi, baik energi yang dipantulkan maupun yang dipancarkan oleh objek, termasuk energi yang dipancarkan oleh sensor dan diterima kembali (sistem RADAR).

Memancarkan

radiasi termal

Atmosfer

Vegetasi Tubuh air Rumput Tanah Jalan Lahan Terbangun

Memantulkan radiasi

dari matahari

Matahari

Radar

Page 42: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

34

Dalam penginderaan jauh, terdapat empat komponen dasar dalam sistem yang

bekerja: target (objek di permukaan bumi), energi, transmisi, dan sensor

(gambar 2.2). Keempat komponen tersebut menjadi sistem tak terpisah untuk

mendapatkan informasi mengenai target tanpa menyentuh objek (gambar 2.3).

Sumber energi menyinari target sebagai bagian dari penginderaan jauh pasif,

pada penginderaan jauh termal, objek di permukaan bumi yang memancarkan

energi. Energi yang ditransmisikan tersebut mengenai sensor untuk direkam

dengan merubah nilai radian menjadi di proses menjadi sinyal elektrik untuk

diterjemahkan menjadi sebuah citra. Dalam transmisi energi ini, terdapat

interaksi dengan atmosfer yang melemahkan sinyal energi.

Gambar 2.3. Komponen dalam penginderaan jauh, merupakan suatu siklus analisis untuk menghasilkan pemetaan yang lebih baik. Sumber: Liang, et al. (2012)

Energi dari objek yang ditransmisikan ke sensor merupakan radiasi

elektromagnetik. Radiasi, dalam fisika, merupakan proses transmisi energi

melalui ruang. Transmisi energi tersebut dapat terjadi walaupun tidak ada

medium, dengan kecepatan 300.000 km/detik. Energi elektromagnetik

dipancarkan atau dilepaskan oleh semua massa di alam semesta pada level yang

berbeda-beda. Semakin tinggi level energi dalam suatu sumber energi, semakin

rendah panjang gelombang dari energi yang dihasilkan dan semakin tinggi

frekuensinya.

Untuk sistem penginderaan jauh, sumber radiasi elektromagnetik yang paling

utama adalah matahari yang memiliki suhu permukaan sekitar 6.000 K. Radiasi

yang dipancarkan oleh matahari memancarkan energi yang meliputi panjang

gelombang pada daerah ultraviolet, tampak, dan inframerah. Panjang

gelombang yang mampu diindera oleh mata manusia adalah pada gelombang

Page 43: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

35

tampak dengan panjang gelombang dominan terjadi pada 0,5 μm. Mata manusia

tidak dapat mendeteksi panjang gelombang lainnya karena mata hanya sensitif

pada gelombang tampak dengan panjang gelombang dari 0,4 μm hingga 0,7 μm.

Berbeda dengan hal tersebut, suhu pemukaan bumi jauh lebih rendah yaitu 300

K. Menurut hukum pergeseran Wien, panjang gelombang yang dominan

berubah pada panjang gelombang yang lebih panjang yaitu 9,7 μm. Inilah

mengapa dalam sistem penginderaan jauh sistem termal, panjang gelombang

yang digunakan berkisar pada panjang gelombang puncak yang dipancarkan

oleh permukaan Bumi. Terlebih semua benda di alam yang memiliki suhu di

atas suhu nol mutlak (0 derajat Kelvin atau minus 273oC), memancarkan radiasi

gelombang elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang yang luas yang

bergantung pada suhu objek itu sendiri. Dengan demikian semua jenis benda di

permukaan bumi memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik dengan

energi yang dipancarkan berbeda-beda.

Salah satu hal yang berhubungan antara panjang gelombang elektromagnetik

dan penginderaan jauh, yakni apa yang disebut dengan jendela atmosfer.

Maksudnya adalah terdapat interaksi gelombang elektromagnetik terhadap

atmosfer yang menyebabkan hanya panjang gelombang tertentu yang dapat

menembus atmosfer dengan baik. Salah satu penyebabnya, adalah hamburan

yang telah dijelaskan sebelumnya, dan juga terjadi penyerapan gelombang

elektromagnetik oleh gas-gas di atmosfer yang menyebabkan tidak dapat

menembus atmosfer dengan baik. Dapat dikatakan bahwa pada panjang

gelombang tersebut tidak dapat digunakan dalam sistem penginderaan jauh

karena energi foton yang ditransmisikan telah diserap. Partikel atmosfer yang

menyerap energi tersebut antara lain adalah uap air, gas karbondioksida, gas

oksigen dan ozon, telah menahan radiasi dari matahari. Dengan demikian, pada

panjang gelombang yang digunakan berada pada panjang gelombang yang tidak

terjadi penyerapan di atmosfer sehingga energi foton akan dapat sampai ke

sensor untuk direkam.

Page 44: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

36

Gambar 2.4. Spektrum gelombang elektromagnetik: panjang gelombang, frekuensi, dan suhu objek pada panjang gelombang tertentu. Sumber: NASA (2007); gambar ini merupakan domain publik dengan lisensi Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0.

Gambar 2.5 menunjukkan persentase dari energi radiasi yang ditransmisikan

dari beberapa panjang gelombang dari gelombang ultraviolet hingga inframerah

jauh. Terlihat bahwa transmitansi tertinggi pada jendela atmosfer berada pada

panjang gelombang 0,5 μm, 2,5 μm, dan 3,5 μm, akan tetapi pada panjang

gelombang 2,0 μm, 3,0 μm dan 7,0 μm terdapat penyerapan energi yang besar

oleh atmosfer. Pada inframerah termal, jendela atmosfer yang paling baik untuk

inframerah termal terletak pada panjang gelombang 8 – 14 μm, karena memiliki

energi radian puncak sebesar 300 K; ini merupakan suhu lingkungan di bumi.

Namun pada beberapa sensor, panjang gelombang 3 – 5 μm digunakan untuk

mengindera suhu yang lebih tinggi seperti yang berasosiasi dengan kebakaran,

aliran lava, atau sumber panas lainnya. Panjang gelombang lain yang digunakan

walau masih dalam penelitian yakni terletak pada panjang gelombang 17 – 25

μm. Akan tetapi, baik penginderaan jauh pasif maupun aktif, tetap beroperasi

pada jendela atmosfer yang sesuai.

Page 45: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

37

Gambar 2.5. Spektrum radiasi gelombang elektromagnetik, tipe absorbsi oleh gas dan air di atmosfer, dan jendela atmosfer untuk variasi panjang gelombang dalam sistem penginderaan jauh. Sumber: (Lillesand, et al., 2008).

Pada akhirnya, setelah energi ditransmisikan melalui atmosfer, energi yang

dipantulkan atau yang dipancarkan oleh objek tersebut akan direkam oleh sensor

penginderaan jauh. Energi atau unit radiasi elektromagnetik yang direkam

sensor adalah W/(m2.sr.μm). Artinya transfer energi radiasi (Watt, W) yang

direkam oleh sensor, per meter persegi di permukaan bumi, untuk satu steradian

(sudut 3 dimensi dari bumi ke sensor), per unit panjang gelombang yang diukur.

Sehingga ini seringkali disebut dengan nilai radian atau radian spektral.

Mengacu Reeves, et al. (1975), nilai radian spektral didefinisikan sebagai fluks

radian per unit pada sudut tertentu yang di radiasikan oleh suatu objek ke arah

tertentu. Nilai ini tidak sama dengan nilai reflektan. Nilai reflektan merupakan

rasio energi yang dipantulkan dengan total energi yang mengenai suatu

permukaan per unit area (Reeves, et al., 1975). Ekspresi lain yang mendekati

maksud ini agar mudah di mengerti adalah albedo. Nilai reflektan diperoleh

dengan melakukan konversi dari nilai radian menjadi nilai reflektan, dengan

parameter yang berbeda tiap sensor.

Nilai-nilai piksel objek permukaan Bumi yang berupa citra penginderaan jauh

tersebut agar dapat digunakan untuk analisis perlu dilakukan beberapa

pemrosesan data. Pemrosesan citra penginderaan jauh ini yang paling utama

adalah melakukan koreksi, baik koreksi radiometrik, koreksi geometrik, maupun

koreksi afmosferik. Setelah dilakukan koreksi tersebut, maka data berupa citra

tersebut dapat digunakan untuk beragam aplikasi. Aplikasi-aplikasi tematik

tersebut sebelum diserahkan kepada pengguna harus melalui proses validasi

untuk menentukan apakah informasi peta yang dihasilkan akan sesuai atau tidak.

Dari hasil validasi ini, informasi yang berguna dapat digunakan pula sebagai

bentuk perbaikan sistem sensor yang ada maupun yang akan diluncurkan.

Page 46: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

38

Seringkali, sebelum peluncuran satelit, hubungan antara nilai radian dan nilai

piksel telah ditentukan. Ini dinamakan kalibrasi sensor.

2.2.2 Bagaimana Cara Memperoleh Data Penginderaan Jauh?

Data penginderaan jauh saat ini telah banyak tersedia, baik dapat diunduh secara

gratis ataupun berbayar. Citra dengan resolusi menengah seringkali telah dapat

diunduh secara gratis. Sedangkan citra dengan resolusi tinggi, hampir

seluruhnya harus dipesan dan berbayar. Jika ingin mendapatkan secara gratis

untuk penelitian, ada baiknya untuk menghubungi LAPAN dan mengikuti

prosedur untuk mendapatkannya. Akan tetapi, hal ini berbeda halnya dengan

perolehan citra melalui foto udara, harus melalui banyak persiapan dan biaya

yang tidak sedikit.

Beberapa direktori untuk memperoleh data penginderaan jauh disajikan pada

tabel 2.2.

2.2.3 Keberhasilan Pemetaan dengan Penginderaan Jauh

Citra satelit penginderaan jauh secara luas telah digunakan untuk memetakan

mangrove dengan derajat kesuksesan yang berbeda (Li, et al., 2013; Simard, et

al., 2006; Myint, et al., 2008; Green, et al., 1998). Seri satelit Landsat dan SPOT

lebih banyak digunakan karena satelit ini telah lama mengorbit dan

menyediakan data dengan resolusi temporal yang lebih lama. Jika untuk

monitoring, maka koleksi waktu pengamatan menjadi penting. Akan tetapi,

penelitian yang dilakukan oleh Gao (1999) menunjukkan bahwa penggunaan

Landsat dengan resolusi 30 meter, menghasilkan peta mangrove yang lebih

akurat dibandingkan dengan penggunaan citra SPOT yang masing-masing

memiliki resolusi 20 dan 10 meter. Penggunaan satelit Landsat dikonfirmasi

dapat memetakan mangrove lebih akurat dibandingkan dengan citra satelit

SPOT yang memiliki resolusi 10 dan 20 meter (Gao, 1999).

Li, et al. (2013) menggunakan citra Landsat dari tahun 1977 – 2010 untuk

memetakan perubahan hutan mangrove yang terjadi di Zhanjiang, Tiongkok.

Citra penginderaan jauh tersebut diklasifikasi untuk mendapat luasan mangrove

dan perubahannya. Intinya, terjadi pengurangan luasan hutan mangrove akibat

konversi menjadi tambak udang. Sama halnya dengan Carney, et al. (2014) yang

melakukan pemetaan menggunakan citra Landsat dari tahun 1986 – 2010 di

ekosistem mangrove sebelah selatan Afrika. Ditemukan bahwa selama rentang

1986-2010, luasan hutan mangrove telah beralih fungsi hingga mencapai 35%

dari total keseluruhan pada awalnya. Berkurangnya luasan tersebut pada kasus

ini disebabkan oleh kebutuhan kayu untuk kawasan perkotaan.

Page 47: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

39

Tabel 2.2. Penyedia produk penginderaan jauh dan direktori unduhan.

Nama Penyedia Keterangan

USGS earth explorer Earth Explorer menyediakan pencarian online untuk

data penginderaan jauh pada arsip USGS, yang

memungkinkan untuk mengunduh citra penginderaan

jauh, foto udara, data ketinggian, produk tutupan lahan,

dan peta digital.

url: http://earthexplorer.usgs.gov/

USGS Global

Visualization Viewer

(GloVis)

Glovis adalah situs pencari yang sama dimiliki oleh

USGS dengan tampilan yang lebih sederhana. Untuk

mengunduh citra pada glovis, kita perlu membuat akun

terlebih dahulu (yang dapat digunakan juga di earth

explorer).

Citra yang tersedia di glovis antara lain untuk citra

satelit/sensor: foto udara wilayah Amerika Serikat,

ASTER, EO-1 ALI dan Hyperion, seri satelit Landsat

(MSS, TM, ETM, dan OLI), dan MODIS

url: http://glovis.usgs.gov/

USGS Data Pool url: https://lpdaac.usgs.gov/data_access/data_pool

NASA Reverb Reverb adalah situs generasi terbaru yang disediakan

oleh NASA untuk mengunduh data yang dimiliki oleh

Earth Observation System (EOS) NASA. Beragam citra

satelit dan sensor, serta produk kebumian dapat diunduh.

url: http://reverb.echo.nasa.gov/reverb/

NASA Untuk mengunduh citra satelit AVIRIS, yakni

http://aviris.jpl.nasa.gov/alt_locator/

European Space

Agency

Beberapa satelit yang dikelola oleh European Space

Agency (ESA) dapat diunduh secara gratis setelah

melakukan registrasi.

url 1: https://earth.esa.int/web/guest/data-access/online-

archives

url 2: http://www.vito-

eodata.be/PDF/portal/Application.html#Home

National Institute for

Space Research/

Brazil Space Agency

China–Brazil Earth Resources Satellite program

(CBERS) adalah salah satu satelit yang tidak banyak

diketahui oleh khalayak. Satelit ini merupakan hasil

kerjasama antara agensi antariksa Brazil dan Cina, yang

memiliki resolusi spasial bervariasi dari 2,7 m

(pankromatik) hingga 20 m (multispektral).

url: http://www.dgi.inpe.br/CDSR/

Page 48: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

40

Opa (2010) melakukan hal yang sama dengan menganalisis perubahan luasan

mangrove di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, menggunakan citra

Landsat TM. Perubahan tersebut diekstrak menggunakan klasifikasi maximum

likelihood dan NDVI. Parameter-parameter yang dikaji adalah konversi lahan

terutama untuk pemukiman dan tambak. Terdapat hubungan antara

berkurangnya areal hutan mangrove dan peningkatan kawasan pemukiman dan

tambak. Sedangkan Lee & Yeh (2009) menggunakan citra SPOT, Landsat, dan

Quickbird untuk monitoring distribusi spasial dari hutan mangrove. Pada

penelitian yang dilakukan di estuari sungai Danshui, Taipei, Taiwan, ditemukan

usaha konservasi ekosistem mangrove yang dilakukan menunjukkan tren yang

positif. Artinya, setelah adanya usaha restorasi hutan mangrove, terjadi

peningkatan luasan mangrove pada area tersebut.

Giri, et al. (2014) melakukan klasifikasi zonasi ekologi hutan mangrove di India

menggunakan metode klasifikasi maximum likelihood. Hasilnya, Giri, et al.

(2014) dengan data citra Landsat tahun 1999 dan 2010, mampu memetakan

enam kelas spesies mangrove, yakni Avicennia sp., Excoecaria sp., Phoenix sp.,

Bruguiera sp., Ceriops sp., dan kelas campuran. Akurasi pemetaan masing-

masing tahun 1999 dan 2010 adalah 80% dan 85,71%. Sedangkan Sulong, et al.

(2002) menggunakan Landsat TM untuk memetakan mangrove di Malaysia.

Kelas zonasi ekologi spesies mangrove yang dihasilkan mencapai 7 kelas

klasifikasi dengan akurasi 87,8%.

Penggunaan satelit SPOT untuk analisis perubahan mangrove dilakukan juga

oleh Conchedda, et al. (2008). Menggunakan klasifikasi berbasis objek,

menggunakan citra satelit SPOT XS tahun 1986 – 2006 untuk daerah Sinegal.

Klasifikasi yang dihasilkan memberikan akurasi hingga 86%, dan terjadi

peningkatan luasan mangrove di area Low Casamance, Sinegal, yang

diakibatkan musim hujan setelah musim kemarau yang panjang. Di sini

pengaruh kegiatan manusia sangat terbatas.

Untuk resolusi yang rendah, Rahman, et al. (2013) menggunakan citra MODIS

dengan resolusi 250 meter untuk memetakan mangrove di Delta Mahakam dari

tahun 2000 – 2010. Hasilnya didapatkan luasan sebesar 21.000 ± 152 hektare

mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang selama 11 tahun

pengamatan tersebut. Di sini, faktor perubahan ekosistem mangrove

dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi menyebabkan deforestasi hutan

mangrove yang mencapai 75% dari luas awal.

Citra satelit resolusi tinggi juga secara luas digunakan untuk memetakan kondisi

mangrove yang lebih detil. Citra satelit yang digunakan secara luas untuk

memetakan mangrove adalah IKONOS dan Quickbird (Wang, et al., 2004).

Wang, et al. (2004) juga memberikan kesimpulan bahwa penggunaan citra

Page 49: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

41

resolusi spasial tinggi menghasilkan klasifikasi mangrove hingga tingkat spesies

yang cukup baik. Selain itu, kombinasi satelit multispektral dan penggunaan

radar juga menjadi salah satu metode dalam pemetaan ekosistem mangrove.

Penggunaan citra Synthetic Aperture Radar (SAR) dari satelit JERS-1 SAR and

ALOS PALSAR memberikan citra yang bebas dari awan (Nascimento, et al.,

2013). Integrasi memberikan hasil akurasi hingga 96%, dan tren mangrove tidak

berkurang, tapi meningkat di muara sungai Amazon dari 6.705 km2 menjadi

7.423.60 km2. Nascimento, et al. (2013) merekomendasikan penggunaan data

radar tersebut untuk pemetaan distribusi mangrove, mengingat akurasi yang

dihasilkan cukup tinggi.

Dari itu semua, terdapat peluang aplikasi dengan diluncurkannya satelit dan

sensor-sensor penginderaan jauh yang baru. Terutama untuk aplikasi

menggunakan sumber data citra resolusi tinggi maupun citra hiperspektral.

2.2.4 Skala, Informasi Pemetaan, dan Data Penginderaan Jauh

yang Digunakan

Jika berbicara tentang data penginderaan jauh, terdapat satu hal yang melekat,

yakni hubungan antara resolusi spasial dan skala yang dihasilkan. Resolusi

spasial pada citra penginderaan jauh menentukan skala pemetaan yang

dihasilkan, atau sebaliknya. Jika kita menginginkan skala tertentu, maka

membutuhkan resolusi spasial yang sesuai juga. Untuk citra penginderaan jauh

resolusi tinggi tentu akan menghasilkan informasi tentang mangrove yang lebih

detail, dan ini yang dibutuhkan. Akan tetapi, terkait masalah pembiayaan citra

tersebut yang relatif mahal, menjadi keterbatasan dalam penelitiannya. Pada

akhirnya pemetaan yang akurat, seberapapun skalanya; adalah hal esensial yang

harus diperhatikan dalam perolehan informasi mangrove dan untuk pengelolaan

yang tepat. FAO (1994) menjabarkan bahwa pada skala 1:25.000, mampu

memisahkan spesies Avicennia dan Rhizophora dengan baik. Akan tetapi, pada

komonitas mangrove yang tercampur atau lebih satu spesies lebih susah untuk

dikenali pada citra.

Pada tabel 2.3 telah dijabarkan mengenai skala pemetaan, sumber data

penginginderaan jauh, resolusi spasial, dan informasi yang dibutuhkan dalam

pemetaan.

Page 50: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

42

Tabel 2.3. Kedetilan informasi klasifikasi mangrove dan sumber data penginderaan jauh yang relevan.

Skala Sumber data PJ Resolusi

spasial

Klasifikasi

> 1:250.000 Sensor MODIS 100 m – 1 km Mangrove

Non-mangrove

1:50.000 –1:250.000

Sensor penginderaan jauh dengan resolusi

menengah, seperti:

seri satelit Landsat, SPOT, ASTER,

ALOS, dan lain-lain.

10 m – 100 m - Non mangrove

Klasifikasi mangrove berdasarkan

kerapatannya, seperti:

- Mangrove lebat (70-100%) - Mangrove sedang (50-69%)

- Mangrove Jarang (<50%)

Pada area mangrove yang lebih luas, pada resolusi ini mampu

memetakan sampai ketingkat

komunitas mangrove/zonasi mangrove

> 1:10.000 Sensor penginderaan

jauh resolusi tinggi,

seperti citra satelit

Quickbird, GeoEye,

IKONOS, hingga citra foto udara.

>10 m Klasifikasi lebih detil, selain

kerapatan, juga mengklasifikasi

tipologi mangrove, zonasi

mangrove, hingga spesies

dominan.

Sumber: Modifikasi SNI survei dan pemetaan mangrove.

Pada citra penginderaan jauh resolusi rendah atau dengan skala 1:250.000, tidak

memungkinkan klasifikasi mangrove yang detil. Seringkali hanya untuk

membedakan mana yang mangrove dan non-mangrove. Dalam hal ini yang patut

menjadi perhatian adalah bagaimana meningkatkan akurasi pemetaan, karena

pada satu piksel bisa jadi memuat informasi campuran antara mangrove dan

bukan yang dapat membuat kesalahan informasi. Sama halnya jika skala yang

semakin besar, kedetilan informasi mengharuskan pula validasi yang lebih detail

untuk memastikan informasi yang diekstrak melalui penginderaan jauh adalah

sesuai dengan kondisi permukaan Bumi.

FAO (1994) memberikan alternatif lain dalam pemilihan skala pemetaan, yakni

membagi dalam level perencanaan yang berbeda. Level perencanaan tersebut

terbagi atas level nasional, level rencana pengelolaan, dan level rencana

operasional. Secara khusus dapat disajikan pada tabel 2.4.

Page 51: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

43

Tabel 2.4. Jenis informasi yang diperlukan pada level skala aplikasi yang berbeda.

Level Aplikasi Informasi yang dipetakan Skala

Level nasional Distribusi mangrove

Tipe tutupan lahan secara

umum

1:50:000 – 1:250.000

Level rencana

pengelolaan

Lokasi-lokasi mangrove

Zonasi (komonitas)

mangrove

Tipe penggunaan lahan

secara umum

1:25.000 – 1:50.000

Level rencana

operasional

Jenis/spesies mangrove dan

tegakannya

Sumberdaya mangrove

secara umum

>1:25.000

Sumber: FAO (1994)

2.2.5 Karakteristik Spektral Mangrove dalam Penginderaan Jauh

Untuk mengetahui karakteristik mangrove di citra penginderaan jauh, maka

harus diketahui karakteristik objek mangrove itu sendiri. Mangrove yang hidup

di kawasan pesisir, komposisi objek yang terekam yakni vegetasi, tanah, dan air

(Kuenzer, et al., 2011). Seringkali objek yang terekam oleh sensor adalah objek

campuran akibat pengaruh dari pasang surut dan musim. Akan tetapi, walaupun

terdapat campuran antara mangrove dan vegetasi lainnya, teknik penginderaan

jauh mampu membedakan mangrove dan vegetasi lainnya tersebut (Lee & Yeh,

2009). Sehingga mengetahui karakteristik dasar tersebut, akan sangat membantu

dalam identifikasi mangrove dari penginderaan jauh.

Salah satu komponen lain yang harus diketahui adalah tentang spesies mangrove

itu sendiri, mengingat tiap spesies memiliki perbedaan karakteristik. Dengan

keanekaragaman spesies tertinggi di kawasan Asia Tenggara, akan membuat

kesulitan dalam pembedaan masing-masing spesies tersebut. Untuk spesies

mangrove yang dominan di Indonesia secara umum dan di area Asia Pasifik,

terdiri atas spesies pada genus Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, dan

Laguncularia.

Page 52: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

44

2.2.5.1 Karakteristik Spektral Mangrove pada Penginderaan Jauh

Optik

Pada penginderaan jauh optik, sistem yang digunakan adalah sistem pasif. Yakni

menggunakan pantulan sinar matahari yang kemudian di rekam oleh sensor.

Dengan demikian, faktor spektral yang berpengaruh pada mangrove adalah

kanopi dan daun, karena objek tersebut yang nampak di permukaan. Secara

rinci, spektral yang terekam oleh sensor dipengaruhi oleh kanopi yang homogen

atau heterogen (campuran terdiri banyak jenis kanopi dan spesies). Hal tersebut

tergantung pada komposisi spesies, pola distribusinya, pola pembentukan dan

pertumbuhannya, kerapatan, dan tinggi pohon. Beberapa peneliti juga

menyebutkan walaupun kanopi berpengaruh terhadap pola spektral yang

terekam, tetapi kondisi bawah permukaan mangrove memiliki hubungan juga

terhadap karakteristik spektral, seperti Leaf Area Index (LAI), pantulan dari

permukaan bawah kanopi (tanah tempat hidup mangrove), dan inklinasi daun

(Diaz & Balckburn, 2003).

Untuk karakteristik spektral pada spesies tunggal, ditentukan oleh umur

tanaman, kemampuan beradaptasi pada kondisi pasang maupun surut, dan

karakteristik fisik dan fenologi. Hal yang menentukan karakteristik tersebut

adalah periode iklim yang dapat mengubah dan mempengaruhi respon terhadap

penuaan dan pengguguran daun. Jadi dapat dikatakan, tiap musim, ketika daun

terbentuk, daun menua dan gugur, akan mempengaruhi respon spektral yang

diberikan.

Karakteristik spektral mangrove adalah karakteristik spektral vegetasi secara

umum. Seperti pantulan spektral meningkat pada gelombang hijau karena

adanya klorofil a dan b, dan meningkat drastis di gelombang inframerah dekat.

Telah di sebutkan bahwa perbedaan spesies juga berpengaruh terhadap respon

spektral yang diterima sensor. Gambar 2.6 menunjukkan perbedaan spektral

pada spesies Avicennia marina and Rhizophora conjugata (Bruguira

gymnorhiza) yang diukur menggunakan spektrometer. Mengenai perbedaan ini,

terdapat hipotesis yang mengemukakan bahwa perbedaan tersebut karena

adanya komponen daun yang berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik

lebih mendominasi di gelombang inframerah. Komponen daun tersebut antara

lain garam, gula, air, protein, minyak, lignin, dan selulosa, termasuk struktur

daun itu sendiri. Selain itu, karakteristik spektral secara tidak langsung

dipengaruhi oleh pasang surut. Karena pasang surut mempengaruhi interaksi

gelombang elektromagnetik (Li, et al., 2013).

Page 53: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

45

Gambar 2.6. Karakteristik spektral dan parameter yang mempengaruhinya pada spesies mangrove Avicennia marina dan Rhizophora conjugata (Bruguira gymnorhiza) yang diukur menggunakan spectrometer. Sumber: (Kuenzer, et al., 2011).

Pada perkembangannya, dalam pandangan spektral sangat tidak dimungkinkan

mengenali tiap spesies mangrove dengan penginderaan jauh. Mengingat

pantulan spektral tersebut dipengaruhi oleh banyak hal seperti tanah dan efek

pasang surut. Akan tetapi, dengan koreksi yang benar dan pemilihan band yang

sesuai, memungkinkan untuk memilah spesies mangrove berdasar data

penginderaan jauh. Pada gambar 2.7 adalah berbedaan pantulan spektral yang

diukur dengan radiometer pada masing-masing spesies mangrove: Brugueira,

Rhizphora, dan Avicennia. Walaupun dapat dipisahkan secara spektral, pada

kenyataannya habitat aslinya, mangrove berbentuk komunitas yang seringkali

batas antar spesies tidak mudah dipisahkan.

Page 54: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

46

Gambar 2.7. Respon spektral dari Bruguiera, Rhizophora, Avicennia, dan respon spektral tanah. Terlihat bahwa masing-masing spesies dapat dibedakan secara spektral dengan cukup baik. Sumber: Blasco, et al. (1998).

2.2.5.2 Karakteristik Spektral Mangrove pada Data Radar

Pada intinya, data radar sangat jarang digunakan untuk analisis ekosistem

mangrove. Hal ini mengingat data radar, terutama SAR (Syntethic Aperture

Radar), lebih sulit diinterpretasi dibandingkan dengan citra sumberdaya pada

umumnya yang berupa perekaman optik. Karena objek yang terekam bukanlah

objek yang terlihat, karena yang direkam adalah pantulan energi yang

dipancarkan oleh sensor.

Disini intensitas sinyal diukur berdasarkan koefisien hamburan balik (σo) dalam

desibel (dB). Karena gelombang mikro dapat ditansmisikan dalam banyak

konfigurasi, baik perbedaan panjang gelombang, polarisasi, sudut pemancaran

dan penerima, mengakibatkan permukaan yang sama dapat menghasilkan

hamburan balik yang berbeda. Interaksi antara radiasi elektromagnetik yang

dipancarkan dengan struktur internal daun (seperti kelembaban daun, dan lain-

lain) dan komponen luar (seperti ukuran, geometri, arah orientasi daun,

percabangan, batang, akar) juga menghasilkan hamburan balik yang berbeda

(gambar 2.8).

Page 55: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

47

Gambar 2.8. Karakteristik hamburan balik pada radar pada tiap-tiap fase pertumbuhan vegetasi dan panjang gelombang mikro yang digunakan. Sumber: Kuenzer, et al. (2011).

2.2.6 Metode Pemetaan yang Digunakan untuk Memperoleh

Informasi Mangrove

Untuk menentukan klasifikasi mangrove menggunakan penginderaan jauh, hal

mendasar yang perlu diperhatikan adalah mengenai metode klasifikasi yang

digunakan. Berikut adalah metode klasifikasi yang digunakan oleh beberapa

peneliti.

2.2.6.1 Klasifikasi Manual/Interpretasi Visual

Klasifikasi mangrove berdasarkan metode ini menggunakan pengalaman

interpreter untuk menghasilkan klasifikasi yang baik. Unsur-unsur interpretasi

digunakan secara utuh jika menggunakan metode ini. unsur-unsur interpretasi

citra di antaranya: lokasi, ukuran, bentuk, bayangan, rona/warna, tekstur, pola,

dan situs/asosiasi. Semakin berpengalaman interpreter dalam mengklasifikasi,

maka semakin baik dan akurasi yang tinggi atas peta yang dihasilkan. Walaupun

demikian, metode interpretasi visual digunakan bersama dengan klasifikasi

multispektral untuk meningkatkan akurasi. Permasalahan yang muncul dengan

metode ini adalah waktu pemetaan yang dapat lebih lama jika dibandingkan

dengan klasifikasi otomatis/multispektral yang dilakukan oleh komputer. Akan

tetapi, hasil pemetaan lebih komplek dan dapat berisi banyak informasi sesuai

dengan keahlian interpreter itu sendiri.

Page 56: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

48

Gambar 2.9. Citra komposit hutan mangrove Matang, Malaysia, yang direkam dengan Landsat 7 tanggal 27 Desember 1999. Hutan mangrove berasosiasi dengan lokasi berbatasan dengan laut, dan memiliki rona warna yang berbeda dengan hutan tropis atau vegetasi tanaman pertanian. Sumber: (NASA Earth Observatory, 2006).

Page 57: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

49

Dalam praktek klasifikasi menggunakan interpretasi visual ini, hal yang dapat

membantu dalam pembedaan objek adalah penggunaan komposit citra yang

tepat. Fawzi (2016) dalam interpretasi mangrove menggunakan komposit 542,

yang dinilai lebih meningkatkan pembedaan antar komunitas mangrove. Hal ini

berbeda pada klasifikasi habitat mangrove lainnya, terutama terkait musim dan

citra penginderaan jauh yang digunakan. Pada sisi lain, penggunaan interpretasi

visual dalam pemetaan mangrove memungkinkan klasifikasi yang tepat pada

objek-objek yang berbeda namun memiliki rona/warna yang sama.

2.2.6.2 Klasifikasi Supervised dan Unsupervised

Secara umum, jenis klasifikasi ini, supervised maupun unsupervised adalah

menggunakan fungsi statistik untuk mengelompokkan piksel yang homogen.

Asumsi yang digunakan piksel-piksel yang homogen tersebut

merepresentasikan objek yang sama. Fungsi dari klasifikasi ini adalah pola

pengenalan pengelompokan piksel dan mengklasifikasikannya berdasar piksel-

piksel yang homogen.

Li, et al, (2013) menggunakan klasifikasi supervised untuk menghasilkan

informasi mangrove dan bukan mangrove. Klasifikasi supervised yang paling

umum digunakan adalah klasifikasi maximum likelihood (Lee & Yeh, 2009;

Giri, et al., 2014). Sedangkan klasifikasi unsupervised juga telah memberikan

hasil yang cukup baik untuk identifikasi mangrove, terutama dengan

menggunakan analisis kluster.

Jika ditanya, metode klasifikasi apa yang sesuai? Maka jawabannya semuanya

sesuai untuk digunakan dalam klasifikasi mangrove. Akan tetapi, memberikan

hasil akurasi yang berbeda. Sebagai contoh, metode klasifikasi yang sama, jika

digunakan pada dua citra berbeda perekaman, atau berbeda wilayah,

memberikan hasil (akurasi) yang berbeda pula. Sehingga, untuk klasifikasi ini

tentu membutuhkan validasi.

2.2.6.3 Artificial Neural Network dan Berbasis Objek

Metode pemetaan menggunakan Artificial Neural Network (ANN) merupakan

klasifikasi dengan pendekatan kecerdasan buatan, di mana digunakan banyak

parameter dan algoritma untuk mengolah citra agar berpikir layaknya “manusia”

berdasarkan parameter-parameter yang telah ditentukan. Jadi dalam klasifikasi

multispektral yang dilakukan, tidak hanya menggunakan data spektral dari citra

saja. Melalui algoritma tertentu, data non-spektral seperti ketinggian, salinitas,

dan pH dapat digunakan sebagai data tambahan pemetaan mangrove untuk

meningkatkan akurasi.

Sedangkan klasifikasi berbasis objek tidak menggunakan satuan piksel sebagai

input klasifikasi, akan tetapi piksel sebagai suatu objek berdasarkan konteks

Page 58: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

50

spasial dan hubungannya antar objek. Terutama klasifikasi berbasi objek ini

mampu menrespon pola perubahan dan fragmentasi yang terjadi dalam area

yang dipetakan.

2.2.6.4 Metode kombinasi band

Metode ini adalah metode yang lebih banyak digunakan. Ini didasarkan atas

kondisi fisik dari mangrove dan karakteristiknya. Kombinasi band termasuk

didalamnya adalah rasio band, operasi aljabar pada citra untuk menonjolkan

karakteristik tertentu dari suatu objek pada citra, dalam hal ini adalah mangrove.

Kombinasi band yang secara luas digunakan adalah (Normalized Difference

Vegetation Index) NDVI (Lee & Yeh, 2009). NDVI secara konseptual dan

terbukti memberikan kenampakan yang menonjolkan mangrove.

Aplikasi dari penggunaan kombinasi band biasanya untuk mengkelaskan

kerapatan mangrove berdasarkan nilai NDVI yang dihasilkan. NDVI mampu

menunjukkan tingkat “kehijauan” tumbuhan dengan baik, dan menilai

perubahannya secara temporal (gambar 2.10). Alatorre, et al. (2016) mampu

memetakan mangrove di Teluk California, Meksiko, dengan menggunakan

transformasi NDVI. Hasilnya mampu menilai perubahan mangrove yang terjadi

akibat konversi mangrove menjadi tambak pada rentang tahun 1990 – 2010.

Gambar 2.10. Distribusi spasial perubahan NDVI pada tahun 1990 – 2010. Dengan NDVI, mampu menilai distribusi kerusakan mangrove yang terjadi dengan baik. Sumber: Alatorre, et al. (2016).

Page 59: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

51

2.3 REVIEW PEMETAAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA

PENGINDERAAN JAUH

2.3.1 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi

Menengah

Citra penginderaan jauh resolusi menengah merupakan citra penginderaan jauh

yang paling banyak digunakan dalam pemetaan mangrove. Ini mengingat

ketersediaan data lebih dari 4 dekade dan mencakup skala regional, terlebih lagi

mudah didapat dan gratis. Berbeda dengan ketika menggunakan citra

penginderaan jauh resolusi tinggi yang membutuhkan biaya untuk membeli citra

dan terbatasnya data untuk analisis multitemporal. Hal tersebut karena citra

resolusi tinggi baru tersedia secara luas mulai awal tahun 2000an.

Beragam sensor digunakan dalam pemetaan mangrove menggunakan

penginderaan jauh (Green, et al., 1998; Kuenzer, et al., 2011). Citra satelit

resolusi menengah seperti seri satelit Landsat dan SPOT adalah yang paling

sering digunakan. penggunaan sensor ASTER juga telah banyak digunakan.

aplikasi yang secara luas dihasilkan adalah untuk analisis multitemporal yang

melibatkan dua atau lebih waktu perekaman citra. Hal ini mendukung upaya

monitoring ekosistem mangrove secara kontinu.

Permasalahan yang muncul adalah dengan informasi yang dapat diperoleh

dengan menggunakan citra penginderaan jauh resolusi menengah ini. Informasi

mangrove tersebut dapat berupa informasi mangrove dan non-mangrove,

kerapatannya, hingga pada habitat tertentu dapat memperoleh informasi tentang

zonasi ekologisnya. Kuenzer, et al., (2011) menyatakan untuk metode pemetaan

yang digunakan, paling banyak menggunakan pemetaan otomatis berbasis

piksel, baik klasifikasi supervised maupun unsupervised. Kemudian pemetaan

menggunakan interpretasi visual, indeks vegetasi seperti NDVI, dan klasifikasi

berbasis ANN.

2.3.1.1 Pemetaan Mangrove Secara Umum Menggunakan Citra

Resolusi Menengah

Tantangan dalam pemetaan mangrove menggunakan citra resolusi menengah

adalah informasi mangrove yang dihasilkan. Semakin meningkatnya teknologi

pemetaan, informasi yang diperoleh tidak lagi informasi mangrove dan non-

mangrove. Akan tetapi, dengan upaya pembedaan spektral yang lebih baik,

informasi pemetaan semakin meningkat hingga ke zonasi ekologis

mangrove/komonitas mangrove. Zonasi ekologis mangrove atau zonasi

mangrove in merupakan susunan atau formasi mangrove yang mencirikan

spesies-spesies dominan pada setiap kondisi ekologis yang berbeda dari arah

laut ke darat atau sebaliknya (Smith, 1992).

Page 60: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

52

Terkait masalah pemetaan, Myint, et al. (2008) menerangkan tentang hubungan

yang cukup baik antara penggunaan citra Landsat TM dengan zonasi mangrove.

Dengan klasifikasi berbasis piksel menghasilkan akurasi sebesar 62,8%, lebih

rendah jika menggunakan klasifikasi berbasi objek yang menhasilkan akurasi

sebesar 94,2%. Dari Myint, et al. (2008), kita juga dapat mengetahui

kemampuan citra Landsat untuk pemetaan zonasi mangrove. Hal yang sama

dilakukan oleh Giri, et al. (2014) yang juga menggunakan citra Landsat TM dan

ETM+ untuk memetakan zonasi mangrove di kawasan lindung mangrove

Sundarban, India. Data citra satelit yang digunakan dari tahun 1999 – 2010. Giri,

et al. (2014) mendapatkan lima kelas utama dalam zonasi mangrove, yaitu

Avicennia sp., Excoecaria spp., Phoenix spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., dan

kelas campuran. Untuk akurasi, pada tahun 1999 memiliki akurasi 80% dan

untuk tahun 2010 memiliki akurasi 85,71%. Pemetaan zonasi mangrove

menggunakan citra Landsat, dapat menghasilkan akurasi >90%. Seperti yang

dilakukan oleh Jia, et al. (2013) yang memetakan mengrove di pesisir Tiongkok,

yang menghasilkan akurasi pemetaan mencapai 92,6%.

Penggunaan citra Landsat TM dan foto udara dalam pemetaan mangrove,

dilakukan oleh Sulong, et al. (2002). Sulong, et al. (2002) melakukan penelitian

mangrove di Trengganu, Malaysia. Dengan menggunakan foto udara,

didapatkan kelas klasifikasi zonasi mangrove mencapai 14 kelas dengan akurasi

91,2%. Sedangkan dengan citra Landsat TM mempu menghasilkan 7 kelas

dengan akurasi 87,8%. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut,

dapat dikatakan bahwa pemetaan zonasi mangrove menggunakan citra Landsat

dapat dilakukan dengan akurat dari segi nilai akurasi yang dihasilkan.

Keberhasilan pemetaan mangrove hingga informasi zonasi mangrove – selain

informasi tentang kerapatan, telah dijelaskan oleh Green, et al., (1998). Berbagai

macam metode yang digunakan, mulai interpretasi visual, indeks vegetasi, dan

klasifikasi multispektral, telah menghasilkan dua hingga tujuh kelas klasifikasi

mangrove. Walaupun demikian, masih terdapat faktor pembatas di sini, adalah

dilakukan atau tidak upaya validasi melalui survei lapangan. Secara lebih detail,

Kuenzer, et al., (2011) menginventarisasi informasi pemetaan yang dihasilkan

pada level regional menggunakan citra resolusi menengah:

mangrove dan non-mangrove,

kerapatan mangrove,

status kerusakan mangrove, dan

komunitas spesies mangrove yang dominan dalam suatu habitat

mangrove.

Lebih lanjut, seperti yang dikatakan oleh Dutrieux, et al. (2014), penginderaan

jauh adalah opsi terbaik, namun masih tetap membutuhkan validasi yang

Page 61: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

53

merupakan sebuah tantangan keilmuan yang harus diselesaikan (Myint, et al.,

2008; Giri, et al., 2014; Jia, et al., 2013). Tantangan dimaksud terkait dengan

akurasi pemetaan yang dihasilkan dan metode yang tepat. Bagaimanapun,

aplikasi pemetaan menggunakan citra Landsat juga memiliki kondisi yang kritis.

Apalagi dengan resolusi 30 meter dan habitat mengrove di daerah pesisir

seringkali memiliki lebar <50 meter. Sehingga Kuenzer, et al. (2011)

menyatakan agar dapat dilakukan, luasan mangrove di lokasi penelitian harus

dua kali lebih besar dari resolusi satelit Landsat itu sendiri.

Sebagai contoh, untuk mangrove di kawasan pantai utara pulau Jawa seringkali

hanya hidup di garis pantai dengan lebar <100 meter. Sehingga perlu

penyesuaian penggunaan resolusi citra yang sesuai dan informasi mangrove

yang dihasilkan jika dilakukan pemetaan. Berbeda hal jika pemetaan dilakukan

pada habitat mangrove yang luas, seperti di Delta Mahakam. Ekosistem

mangrove yang ada cukup luas untuk dapat dideteksi dengan satelit Landsat.

Karena ekosistem mangrove yang luas ini, perbedaan spektral komonitas

mangrove atas setiap zonasi mangrove dapat dikenali melali rona/warna. Hal

tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam deliniasi zonasi mangrove yang

ada di delta. Terlebih lagi, komunitas mangrove yang membentuk suatu zonasi

mangrove di Delta Mahakam hampir sepenuhnya homogen. Sehingga hasil

deliniasi interpretasi visual memiliki nilai akurasi yang cukup tinggi.

2.3.1.2 Monitoring Konversi Mangrove menjadi Tambak

Fawzi (2016) melakukan pemetaan untuk monitoring hutan mangrove secara

multitemporal di Delta Mahakam. Delta Mahakam berada di pantai timur

Provinsi Kalimantan Timur, atau berlokasi antara koordinat 019'39" hingga

053'42" lintang selatan dan 11717'13" to 11737'47" bujur timur. Delta

Mahakam terbentuk di muara Sungai Mahakam, yang berbatasan langsung

dengan selat Makassar. Delta Mahakam memiliki luas sekitar 1.500 km2, yang

tertutup vegetasi mangrove pada awal tahun 1990an (Dutrieux, 1991).

Monitoring yang dilakukan, terutama akibat konversi hutan mangrove menjadi

tambak. Terutama untuk hutan mangrove pada daerah tropis, secara intensif

telah dikonversi menjadi tambak untuk budidaya udang (Lee, 1999). Secara luas

konversi mangrove menjadi tambak hampir terjadi pada kawasan-kawasan delta

atau kawasan yang sesuai untuk pembudidayaan menggunakan tambak. Sebagai

contoh di kawasan Delta Mahakam. Konversi hutan mangrove untuk

pengembangan tambak udang terjadi di Delta Mahakam dan menjadi penyebab

utama deforestasi pada kawasan delta (Bosma, et al., 2012; Dutrieux, et al.,

2014; Samad, et al., 2013; Biswas, et al., 2009). Aktivitas tersebut dimulai sejak

tahun 1990, yang menyebabkan 5% dari hutan mangrove di Delta Mahakam

terkonversi menjadi tambak (Dutrieux, 2001; Dutrieux, et al., 2014). Pada tahun

Page 62: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

54

2000, hutan mangrove yang telah terkonversi menjadi tambak udang mencapai

47%, dan meningkat hingga 75% pada tahun 2010 (van Zwieten, et al., 2006;

Rahman, et al., 2013). Rahman, et al. (2013) menemukan terjadi deforestasi

hutan mangrove di Delta Mahakam mencapai 21.000 ± 152 ha selama rentang

tahun 2000 hingga 2010.

Di sini, terdapat hubungan yang signifikan terhadap pembangunan tambak

untuk budidaya udang dengan fragmentasi hutan mangrove. Seto & Fragkias

(2007) meneliti pembangunan tambak di hutan lindung Xuan Thuy dan Tien Hai

Vietnam, kawasan mangrove yang telah dilindungi secara hukum (atau secara

global disebut dengan Ramsar). Data yang digunakan adalah citra Landsat TM

untuk mendapatkan data mangrove secara spasial dan multitemporal. Hasilnya

terjadi fragmentasi akibat pembangunan tambak, walaupun kawasan mangrove

tersebut telah dilindungi. Li, et al. (2013) juga melakukan hal serupa di pantai

Tiongkok. Dengan data citra Landsat dari tahun 1997-2010, dihasilkan

perubahan tutupan mangrove akibat pembangunan tambak yang mengakibatkan

fragmentasi mangrove. Akan tetapi, Li, et al. (2013) menjelaskan karena

terdapat upaya untuk memperbaiki ekosistem, tutupan mangrove kembali

bertambah di tahun 2010. Li, et al. (2013) juga menambahkan, perlu upaya yang

serius untuk mengkonservasi tutupan mangrove, terkait perencanaan dan

pengelolaannya.

Data penginderaan jauh yang digunakan adalah citra satelit Landsat

multitemporal. Path/row citra yang digunakan berada pada path/row 116/60 dan

116/61. Data tersebut diinterpretasi secara visual untuk mendapatkan zonasi

mangrove di Delta Mahakam. Data tersebut tidak merepresentasikan urutan

tahun secara aritmetik atau bulan yang sama. Hal ini mengingat terbatasnya citra

yang bebas awan. Data satelit Landsat yang digunakan diunduh pada situs resmi

USGS (Badan Survei Geologi Amerika Serikat). Resolusi spasial untuk citra

Landsat TM maupun Landsat OLI yang digunakan adalah 30 meter. Semua data

penginderaan jauh telah terkoreksi geometrik level 1T dengan proyeksi

Universal Transverse Mercator (UTM) zona 50 M dengan datum WGS 1984.

Di sini, karena wilayah penelitian mencakup dua citra satelit yang berbeda

path/row, maka sebelum dilakukan pengolahan data terlebih dahulu dilakukan

penggabungan citra atau mozaik citra.

Page 63: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

55

Tabel 2.5. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian.

Satelit Tenggal

Perekaman

Tahun

Perekaman

Keterangan

(terkait pemilihan tahun

pengamatan)

Landsat TM

17 Januari 1989

Tahun acuan untuk representasi hutan

mangrove yang masih utuh di Delta

Mahakam.

3 Agustus 1997

Terjadinya krisis ekonomi di

Indonesia dan menjadi titik acuan

peningkatan pembangunan tambak.

31 Maret 2004

Era titik puncak pembangunan dan

peningkatan produksi tambak (Bosma,

et al., 2012).

17 Juni 2009 20 tahun setelah tahuan acuan

pengamatan.

Landsat OLI 1 Mei 2015

Kondisi Delta Mahakam saat ini dan

untuk mengetahui perubahan yang

terjadi.

Interpretasi dilakukan pada citra Landsat TM tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan

citra Landsat 8 tahun 2015 untuk menghasilkan zonasi mangrove tiap-tiap tahun

tersebut. Dasar interpretasi adalah perbedaan rona/warna pada citra dan

perbedaan tekstur. Interpretasi visual yang dilakukan menghasilkan 8 kelas

klasifikasi zonasi, yakni dengan membedakan tubuh air dan daratan, formasi

Avicennia spp. (Avicennia L. 1753) yang dalam hal ini berasosiasi dengan

formasi Rhizophora spp. (Rhizophora L. 1753) dan Acrostichum aureum

Linnaeus 1753, formasi Nypa fruticans (Thunb.) Wurb. 1781, gabungan spesies

Heriteira littoralis Dryan. in Aiton 1789 dan Oncosperma tigillarium (jack)

Ridl. 1900 sebagai zona transisi hutan mangrove, hutan hujan tropis, dan

kawasan tambak dan lahan terbuka.

Tiap-tiap spesies mangrove membentuk suatu formasi mangrove yang

dipengaruhi oleh kondisi salinitas. Kondisi salinitas ini yang mempengaruhi

formasi mangrove yang terbentuk pada zonasi mangrove yang dihasilkan. Pada

zonasi Avicennia spp. merupakan formasi mangrove yang berbatasan dengan

laut secara langsung. Nilai salinitas bervariasi antara 20 o/oo – 35o/oo. Pada zonasi

Avicennia spp. ini didominasi oleh genus Avicennia yang terdiri atas Avicennia

officinalis, A. alba, A. lanata, dan A. marina. Karena didominasi oleh Avicennia,

maka terdapat spesies lain yang berada di zonasi ini dan mampu beradaptasi

dengan kondisi salinitas tinggi. Spesies tersebut termasuk dalam genus

Sonneratia (zona pedada) dan Rhizophora (zona bakau). Untuk genus

Page 64: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

56

Sonneratia terdiri atas 3 spesies, yakni: Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba

dan Sonneratia ovata. Sedangkan untuk genus Rhizophora terdiri atas 2 spesies,

yakni Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata. Zonasi berikutnya

adalah formasi mangrove yang dipengaruhi oleh variasi salinitas yang tinggi,

dengan variasi nilai salinitas yang mencapai 5o/oo – 25o/oo. Zonasi ini didominasi

oleh formasi Nypa fruticans. Berikutnya formasi Nypa mulai tergantikan pada

nilai salinitas 5 - 6 o/oo pada kondisi air pasang. Zonasi berikutnya adalah zona

transisi antara tumbuhan mangrove dan tumbuhan air tawar. Zona transisi ini

berada pada salinitas dengan kondisi asin saat pasang saja (0 – 10 o/oo). Zona

transisi ini didominasi oleh tumbuhan Heriteira littoralis dan pohon kelapa

Oncosperma tigillarium yang biasa disebut dengan pohon nibung. Kemudian

pada zonasi berikutnya adalah zona hutan hujan tropis yang berasosiasi dengan

kondisi air yang tawar. Pada analisis distribusi ini, sebenarnya terdapat

pemukiman, lebih tepatnya perkampungan di Delta Mahakam.

Tabel 2.6. Perubahan luas zonasi mangrove di Delta Mahakam.

Zonasi Mangrove Tahun dan luas perubahan mangrove (ha)

1989 1997 2004 2009 2015

Avicennia spp. 20.296,94 14.921,23 6.022,98 5.960,57 8.082,84

Nypa fruticans 77.368,09 66.492,03 27.713,51 28.859,13 33.276,21

Heriteira littoralis dan

Oncosperma tigillarium 8.603,33 9.791,00 9.776,23 9.776,51 8.462,52

Hutan hujan tropis 1.516,14 1.516,14 1.516,14 1.516,14 1.516,14

Tambak 1.848,44 13.988,37 58.848,47 61.575,74 53.861,57

Lahan terbuka 323,44 3.225,83 5.680,97 1.745,57 4.136,58

Total 109.956,38 109.934,60 109.558,30 109.433,67 109.335,85

Page 65: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

57

Gambar 2.11. Peta zonasi mangrove di Delta Mahakam untuk tahun 1989, 1997, 2004, 2009, dan 2015. Ditampilkan pula legenda peta.

Page 66: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

58

Gambar 2.12. Grafik perubahan luas mangrove yang terjadi di Delta Mahakam dalam satuan hektare. Terlihat terjadi peningkatan luas tambak pada rentang tahun 1997 – 2004, disertai turunnya luasan hutan mangrove, terutama Nypa fruticans.

Dari hasil perhitungan, didapatkan luas Delta Mahakam mencapai 110.000

hektare atau 1.100 km2. Terjadi variasi perubahan hutan mangrove menjadi

tambak pada rentang tahun 1989 hingga tahun 2015. Pada rentang tahun 1989 –

1997, telah terjadi perubahan hutan mangrove menjadi tambak dan lahan

terbuka seluas 15.042,3 ha atau 15,65%. Selama 8 tahun pengamatan tersebut,

pembuatan tambak dilakukan secara perlahan dan berada pada bagian formasi

Avicennia dan sedikit pada Nypa.

Perubahan mangrove menjadi tambak secara besar-besaran terjadi setelah krisis

ekonomi tahun 1997/1998. Selain akibat permintaan pasar yang besar terhadap

komoditas udang yang meningkat dan mudahnya pembukaan lahan,

melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga menjadi faktor

penyebab utama. Di mana keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh jika

dilakukan ekspor udang keluar negeri. Selama rentang pengamatan tahun 1997

– 2004, telah terjadi perubahan lahan mangrove menjadi tambak atau

peningkatan total luas tambak mencapai 44.860,10 ha atau sekitar 40% dari area

delta terkonversi hampir hanya selama 7 tahun. Akibatnya sekitar 64.529,4 ha

atau 58,89% area delta telah terkonversi menjadi tambak pada tahun 2004.

Perubahan menjadi tambak tersebut sebagian besar terjadi di formasi Nypa.

Pengaruh salinitas yang sesuai untuk budidaya udang pada formasi Nypa,

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

70,000

80,000

90,000

Avecennia

spp.

Nypa

fruticans

Heriteira

littoralis dan

Oncosperma

tigillarium

Hutan hujan

tropis

Tambak Lahan

terbuka

Grafik perubahan luas mangrove

1989 1997 2004 2009 2015

Page 67: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

59

menjadi faktor penentu konversi menjadi tambak. Sehingga tidak ditemui

konversi menjadi tambak pada zona transisi hutan mangrove, karena kondisi

hidrologi didominasi oleh air tawar. Selain itu, pembukaan tambak pada formasi

Nypa lebih kepada efisiensi, yakni mudah untuk ditebang sehingga lebih murah

untuk membuat tambak (Bosma, et al., 2012).

Tren pembukaan tambak sedikit meningkat hingga tahun 2009, bahkan terkesan

relatif tidak berubah. Selama rentang tahun 2004 - 2009, pembukaan hutan

mangrove menjadi tambak hanya 2.727,27 ha. Jumlah ini adalah lahan terbuka

yang dipersiapkan untuk menjadi tambak. Tren berikutnya terjadi penurunan

luasan tambak di Delta Mahakam akibat turunnya produktivitas tambak ataupun

tidak efisien lagi melakukan budidaya tambak di delta. Akibatnya terjadi

penurunan jumlah tambak yang mencapai 7.714,17 ha atau 7% selama rentang

tahun 2009 - 2015.

Penurunan luas tambak ini berimplikasi pada peningkatan jumlah mangrove

yang ada di Delta Mahakam. Penambahan jumlah mangrove ini akibat

penanaman yang dilakukan, maupun akibat suksesi sekunder yang terjadi. Hal

lain yang menjadi perhatian bahwa akibat perubahan faktor biofisik delta akibat

pembangunan tambak, mangrove yang tumbuh kembali dapat berbeda dengan

kondisi awalnya. Terutama karena penanaman mangrove ataupun ketersediaan

bibit yang ada dalam proses suksesi yang terjadi. Selama rentang tahun 2009 –

2015 yang terjadi penurunan luasan tambak dan peningkatan lahan terbuka,

terjadi pula peningkatan luasan mangrove. Pada formasi Nypa, terjadi

penambahan seluas 4.417,08 ha, dan pada formasi Avicennia, terjadi

penambahan luas sebesar 2.122,27 ha.

Evaluasi mangrove menjadi penting mengingat tekanan kebutuhan manusia dari

segi ekonomi. Pada sisi lain dalam pemetaannya, kendala resolusi yang cukup

kasar pada citra yang digunakan dapat diselesaikan dengan validasi lapangan

dan uji akurasi. Dalam pemetaan ini, melalui uji akurasi menggunakan metode

confussion matrix, didapatkan nilai akurasi pemetaan zonasi mangrove untuk

tahun 2015 adalah sebesar 94,1%. Nilai ini menandakan bahwa 94,1% informasi

pada peta adalah benar dan diatas dianggap baik karena berada pada nilai diatas

85% (Anderson, et al., 1976).

2.3.1.3 Monitoring Hutan Mangrove Produksi

Variasi perubahan hutan mangrove tidak hanya terkonversi menjadi tambak dan

lahan pertanian, tapi terdapat pula hutan mangrove yang dikhususkan untuk

produksi kayu. Salah satu habitat mangrove untuk produksi kayu yang telah

lama dikembangkan adalah Hutan Mangrove Matang. Hutang Mangrove

Matang berada pada semenanjung Malaya bagian barat, dengan koordinat 4,1o

Page 68: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

60

lintang utara hingga 5o lintang utara dan 110,2o bujur timur hingga 100,45o bujur

timur. Secara administrasi berada pada distrik Larut Matang dan Krian, Negara

Bagian Perak. Hutan mangrove Matang adalah cagar alam dengan manajemen

yang sistematis sejak awal 1904 dan, telah diakui sebagai hutan mangrove

dikelola terbaik di Malaysia dan juga di antara dunia. Hal ini dibagi menjadi

empat sub-bidang dari utara ke selatan, yang terdiri dari utara Kuala Sepetang,

selatan Kuala Sepetang, Kuala Trong dan Kuala Kerang.

Gambar 2.13. Peta lokasi penelitian di hutan mangrove Matang, Malaysia.

Ibrahim, et al. (2015) menggunakan data penginderaan jauh yang digunakan

yakni citra Landsat TM tahun 1993, Landsat ETM tahun 1999, dan citra

RapidEye tahun 2011. Dari data tersebut, metode klasifikasi mangrove yang

digunakan yakni menggunakan klasifikasi unsupervised dengan metode

ISODATA. Hasil klasifikasi tersebut digunakan sebagai dasar uji lapangan

untuk validasi dan data uji akurasi. Dari data lapangan tersebut, peta akhir

kemudian diklasifikasi kembali dengan metode klasifikasi supervised dengan

informasi dari hasil survei. Hasilnya kemudian dilakukan uji akurasi. Untuk

Page 69: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

61

membantu dalam klasifikasi, dilakukan pula transformasi band menggunakan

NDVI. Untuk perubahan, digunakan metode subtraksi antar tahun pengamatan.

Klasifikasi supervised dari citra Landsat TM tahun 1993, Landsat ETM+ tahun

1999 dan RapidEye tahun 2011 menghasilkan 12 kelas penggunaan dan tutupan

lahan. Kelas penggunaan dan tutupan lahan terbagi atas dua jenis, yakni 5 kelas

penggunaan lahan dan 7 kelas tutupan lahan. Untuk kelas penggunaan lahan

terdiri dari perkebunan kelapa sawit, pertanian, tambak, sawah, dan perkotaan.

Sedangkan untuk kelas tutupan lahan terdiri dari tubuh air, hutan hujan tropis,

dan spesies mangrove: Rhizopora apiculata (RA), Rhizophora mucronata

(RM), Avicennia – Sonneratia (AS), Bruguiera parviflora (BP), dan Bruguiera

cylincrica (BC). Untuk akurasi pemetaan, masing-masing tahun 1993, 1999, dan

2011 adalah 85,7%, 90%, dan 88,9%.

Tabel 2.7. Statistik hasil pemetaan hutan mangrove tahun 1993, 1999, dan 2011

Kelas Mangrove 1993 1999 2011

% ha % ha % ha

R. apiculata 16.613,5 56,7 20.587 57,3 18.903 60,8

R. mucronata 7.479,2 25,5 8.339,9 23,2 6.963,1 22,4

Avicennia – Sonneratia 3.974,1 13,6 3.642,5 10,1 3.499,7 11,3

B. parviflora 745,4 2,5 644,2 1,8 879,7 2,8

B. cylindrica 473,3 1,7 2.722,9 7,6 822,2 2,6

Total 29.285,5 100 35.936.5 100 31.067.7 100

Analisis pada tahun 1993, menghasilkan estimasi luas hutan mangrove sebesar

19.285,5 ha, dimana luas R. apiculata dan R. mucronata masing-masing adalah

16,613,5 ha dan 7.479,2 ha; atau seluas 82,2% dari total mangrove. Dan untuk

luas B. parviflora dan B. cylindrica masing-masing adalah 145,4 ha dan 473,3

ha. Sedangkan pada tahun 1999, terjadi peningkatan luas mangrove, dengan

total luas hutan mangrove mencapai 35.936,5 ha. Luas tersebut terdiri dari R.

Apiculata, R. mucronata, Avicennia – Sonneratia, dan B. Cylincrica masing-

masing adalah 10,587 ha, 8.339,9 ha, 3.642,5 ha dan 2.722,9 ha. Pada tahun

2011, analisis menggunakan citra RapidEye dengan resolusi spasial yang lebih

tinggi, menghasilkan luas total sebesar 31,067,7 ha. Luas mangrove terbesar

adalah R. apiculata seluas 18.903 ha.

Page 70: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

62

Gam

bar

2.1

4.

Dis

trib

usi

sp

esie

s m

angr

ove

di

hu

tan

man

gro

ve M

atan

g u

ntu

k ta

hu

n 1

99

3,

19

99

, d

an 2

01

1.

terd

apat

5 k

elas

man

gro

ve,

yakn

i: R

hiz

op

ho

ra a

pic

ula

ta,

R.

mu

cro

na

ta,

Avi

cen

nia

- S

on

ner

ati

a,

Bru

gu

eira

pa

rvif

lora

, d

an B

. cy

lind

rica

. Su

mb

er:

Ibra

him

, et

al. (

20

15

)

Page 71: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

63

Dari hasil pemetaan tersebut, kita dapat mengamati zonasi mangrove yang

terbentuk. Avicennia dan Sonneratia menempati habitat yang berbatasan dengan

laut. Semakin kearah darat, mulai tergantikan oleh spesies Bruguiera dan

Rhizophora. Menjadi garis bawah disini, zonasi Avicennia dan Sonneratia tidak

berubah selama 18 tahun pengamatan. Berbeda halnya dengan zonasi Brugueira

dan Rhizophora, mengalami perubahan yang dinamis, mengingat fungsi hutan

mangrove Matang adalah sebagai hutan produksi penghasil kayu.

Pada penelitian ini, Ibrahim, et al. (2015) telah mampu memetakan mangrove

hingga informasi spesies dengan menggunakan citra penginderaan jauh resolusi

menengah. Akurasi pemetaannya pun cukup baik, semua berada >85%. Untuk

perubahan mangrove yang terjadi, selama 18 tahun pengamatan, mangrove telah

berubah seluas 8.017,3 ha, dimana 2.998 ha mangrove adalah hasil penanaman

kembali. Selain itu, perubahan terjadi akibat erosi menjadi tubuh air seluas

2.490,6 ha (31,1%), menjadi hutan hujan tropis seluas 2.456,6 ha (30,6%),

perkebunan kelapa sawit seluas 1.518,6 ha (18,9%), menjadi tambak seluas 890,

7 ha (11,1%), menjadi sawah seluas 391,1 (4,9%), perkebunan seluas 245,6 ha

(3,1%), dan menjadi area perkotaan seluas 24,1 ha (0,3%). Dari sini telah

terbukti pula bahwa pemetaan menggunakan penginderaan jauh telah mampu

memberi informasi monitoring perubahan mangrove secara akurat.

Terkait dengan metode pemetaan, menjadi pertanyaan bagaimana bisa terjadi

akurasi citra Landsat dengan resolusi 30 meter lebih tinggi dari akurasi citra

RapidEye yang memiliki resolusi 5 meter. Sebenarnya, dalam pemetaan yang

dilakukan ini adalah pemetaan komunitas mangrove yang membentuk suatu

formasi. Tiap-tiap spesies memiliki pantulan spektral yang berbeda. Pada skala

yang lebih kasar, dalam hal ini adalah Landsat, terjadi homogenitas piksel yang

mempu membedakan antar spesies dengan cukup baik. Seperti pada gambar

(2.15), diskriminasi warna antar komunitas spesie mangrove terjadi cukup baik.

Sehingga klasifikasi akhir memiliki akurasi yang cukup baik, walaupun

penggunaan citra Landsat dan pemetaan mangrove sampai pada informasi

spesies. Ini berkaitan pula seperti pada penelitian Fawzi (2016), yang

menentukan adalah luas wilayah pemetaan. Pada lokasi habitat mangrove yang

luas lebih kecil, hal ini tentu tidak dapat dilakukan oleh citra Landsat, dan

memungkinkan dilakukan pemetaan lebih baik menggunakan citra RapidEye

dengan resolusi spasial yang lebih besar.

Page 72: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

64

Gambar 2.15. citra yang digunakan untuk pemetaan mangrove. Terlihat bahwa diskriminasi komunitas spesies mangrove dapat dibedakan pada citra yang membentuk homogenitas tertentu. Sumber citra: NASA Earth Observatory (2006).

2.3.2 Pemetaan Mangrove Menggunakan Citra Resolusi Tinggi

Peluncuran satelit IKONOS tahun 1999 dan satelit QuickBird tahun 2001

mengawali era penggunaan citra satelit resolusi tinggi. Pada awalnya informasi

penginderaan jauh resolusi tinggi hanya dapat diperoleh melalui foto udara.

Dengan adanya satelit yang merekam dengan resolusi tinggi, dan berkembang

hingga cukup banyak satelit resolusi tinggi yang mengorbit saat ini – membuka

peluang dalam pemetaan mangrove yang lebih baik. Arti kata lebih baik di sini

adalah informasi pemetaan yang semakin baik dan semakin detail.

Kuenzer, et al. (2011) merangkum pemetaan mangrove menggunakan citra

resolusi tinggi dalam aplikasi berikut.

Kondisi mangrove terbaru dan distribusi spasial;

diskriminasi spesies mangrove;

estimasi biomassa;

indeks vegetasi dan LAI;

perubahan mangrove (analisis multitemporal); dan

analisis peran mangrove dalam perlindungan pesisir.

Page 73: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

65

Untuk metode pemetaan yang digunakan, metode yang paling banyak

digunakan adalah klasifikasi multispektral, klasifikasi berbasis objek, klasifikasi

berbasis ANN, indeks vegetasi, hingga interpretasi visual. Setiap metode

tersebut menghasilkan derajat akurasi yang berbeda-beda, tergantung pada

lokasi pemetaan dan tingkat resolusi spasial yang digunakan.

Meningkatkan keakuratan pemetaan dapat diartikan pula dengan penggunaan

citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang lebih tinggi (resolusi

spasial <5 meter). Akan tetapi, penggunaan resolusi spasial yang tinggi bukan

berarti meningkatkan akurasi pemetaan. Wang, et al. (2004) melakukan

komparasi pemetaan mangrove pada tingkat spesies: Avicennia germinans,

Laguncularia racemose, dan Rhizophora mangle; dengan menggunakan dua

citra yang berbeda, citra IKONOS dan QuickBird. IKONOS memiliki resolusi

spasial 1 meter pada band pankromatik dan 4 meter pada band multispektralnya,

sedangkan QuickBird memiliki resolusi spasial 0,7 meter pada band

pankromatiknya dan 2,8 meter pada band multispektralnya. Hasilnya bahwa

klasifikasi menggunakan citra IKONOS memiliki akurasi sebesar 75,3%, lebih

tinggi dari akurasi menggunakan citra QuickBird yang sebesar 72,2%. Hal ini

dikarenakan semakin tinggi resolusi spasial bukan berarti semakin mudah dalam

pembedaan spektral mangrove. Wang, et al. (2004) menambahkan secara visual

tidak dapat membedakan perbedaan tekstural mangrove, walaupun citra

QuickBird secara resolusi spasial lebih baik dari IKONOS.

2.3.2.1 Integrasi Data IKONOS dan LiDAR untuk Pemetaan Mangrove

Pada dasarnya, integrasi data penginderaan jauh dilakukan untuk meningkatkan

akurasi pemetaan atau untuk menghasilkan peta yang lebih baik. Hal ini

dikarenakan dengan menggunakan dua data atau lebih, informasi yang diperoleh

dalam pemetaan akan meningkat dan mampu menghasilkan peta yang lebih

baik. Terlebih dalam penjelasan sebelumnya, bahwa peta yang akurat

dibutuhkan untuk monitoring perubahan ekosistem mangrove. Hal berbeda

apabila kita melakukan integrasi antara dua data penginderaan jauh.

Chadwick (2011) berusaha dijelaskan bagaimana meningkatkan klasifikasi

pemetaan melalui pengenalan parameter biofisik yang diperoleh dari data

LiDAR. Pada akhirnya, akan diperbandingkan antara akurasi pemetaan hanya

dengan menggunakan citra IKONOS dan pemetaan yang mengintegrasikan

IKONOS dan data LiDAR. Chadwick (2011) melakukan penelitian di Pulau

Long Key, 100 km dari Miami, Florida. Pulau Long Key memiliki luas 500 ha,

dan telah ditetapkan sebagai Taman Nasional. Hampir 75% dari area pulau ini

dilindungi untuk konservasi mangrove. Data penginderaan jauh yang digunakan

adalah citra IKONOS yang direkam tanggal 14 Mei 2006. Citra IKONOS sendiri

memiliki panjang gelombang yang berbeda untuk masing-masing band, yakni:

Page 74: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

66

band biru (0.45–0.52µm), band hijau (0.51–0.60µm), band merah (0.63–

0.70µm) dan band inframerah dekat (0.76–0.85µm). Sedangkan untuk data

Lidar direkam pada tanggal 8 April 2006 dengan menggunakan sensor Optech

ALTM-2015 pada ketinggian 915 meter. Panjang gelombang yang digunakan

adalah 1.064µm.

Untuk menghasilkan peta mangrove digunakan klasifikasi supervised dengan

metode maximum likelihood. Data LiDAR digunakan untuk membuat citra

DSM (digital surface model) dan DTM (digital terrain model). Dengan

mengkonversi masing-masing citra menjadi 8-bit, data DSM dan DTM

diintegrasikan dengan citra IKONOS. Dan sebelum dilakukan klasifikasi,

dilakukan masking citra terlebih dahulu untuk memisahkan air. Untuk menilai

akurasi pemetaan, survei lapangan dilakukan dengan 98 titik sampel. Dalam

pengambilan sampel menggunakan area ≥10 m x 10 m untuk mendapatkan

informasi spesies dan ketinggiannya.

Hasil klasifikasi mangrove menggunakan citra IKONOS (pada gambar 2.16c)

memiliki akurasi total sebesar 83,3%. Dengan akurasi Rhizophora mangle

sebesar 82,0% dan akurasi Avicennia germinans sebesar 77,6%. Sedangkan

klasifikasi yang menggunakan citra hasil integrasi data DTM dan IKONOS

dengan menggunakan training area yang sama, menghasilkan akurasi sebesar

90,4%, atau akurasi lebih baik 7,1% dibandingkan hanya menggunakan citra

IKONOS. Dengan akurasi Rhizophora mangle sebesar 91,0% dan akurasi

Avicennia germinans sebesar 81,9%.

2.3.2.2 Diskusi

Mengembangkan metode pemetaan untuk meningkatkan akurasi adalah

dibutuhkan untuk monitoring ekosistem mangrove. Ini terkait dengan informasi

yang terkandung pada peta dan kebijakan akhir yang dapat disimpulkan. Pada

sisi lain, pemetaan mangrove pada tingkat spesies dengan citra resolusi tinggi

juga sulit untuk dilakukan. Integrasi dengan data LiDAR adalah salah satu cara

cara meningkatkan akurasi pemetaan dengan mempertimbangkan faktor biofisik

pada habitat mangrove. Sama halnya yang dilakukan oleh Vaiphasa (2006) yang

menggunakan pH tanah untuk meningkatkan akurasi pemetaan dari 76%

menjadi 88,2%, atau meningkat sebesar 12%. Hal ini karena pH tanah dapat

menjadi penentu spesies-spesies mangrove tertentu yang mampu beradaptasi.

Page 75: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

67

Gambar 2.16. (a) citra IKONOS, (b) citra DTM dari data LiDAR, (c) klasifikasi menggunakan citra IKONOS, dan (d) klasifikasi menggunakan data integrasi DTM dan IKONOS. Koreksi yang terjadi adalah pada daerah dengan elevasi yang tinggi adalah bukan mangrove.

Page 76: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

68

2.4 KETERBATASAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH

Semua metode pemetaan memiliki keterbatasan, termasuk penggunaan

penginderaan jauh. Berikut adalah beberapa keterbatasan penggunaan

penginderaan jauh untuk pemetaan mangrove (Fei, et al., 2011).

2.4.1 Metode interpretasi yang “usang,” kurangnya aplikasi dari

integrasi sumber data

Untuk kebanyakan aplikasi interpretasi mangrove menggunakan penginderaan

jauh adalah menggunakan interpretasi visual. Walaupun metode ini cukup

mudah dilakukan dan menghasilkan akurasi yang cukup baik, ini memerlukan

sumberdaya manusia yang cukup handal untuk mengerjakannya dan

membutuhkan waktu intensif yang cukup lama. Selain itu, hasil akhir peta

klasifikasi dipengaruhi oleh pengalaman dan local-knowledge interpreter.

Hal ini terkait juga dengan perlunya standarisasi skema klasifikasi pada

mangrove. Kuenzer, et al. (2011) menjelaskan bahwa ini untuk mencegah

inkonsistensi klasifikasi yang bersifat multitemporal. Terlebih lagi dalam

klasifikasi seringkali tergantung pada pertimbangan individu yang melakukan

klasifikasi, tanpa mempertimbangkan pengguna peta yang seringkali berbeda

keilmuan. Dan hal menantang lainnya, bahwa dengan banyaknya sensor

penginderaan jauh saat ini, perlu integrasi sumber data untuk pemetaan

mangrove yang lebih baik. Aplikasi intergrasi sumber data ini juga untuk

mengatasi permasalahan perbedaan resolusi spasial dalam kaitan analisis

multitemporal.

2.4.2 Eror dalam melakukan monitoring dan rendahnya akurasi

Telah disebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi identifikasi

mangrove menggunakan penginderaan jauh, seperti pengaruh pasang surut,

musim, dan jenis spesiesnya (Li, et al., 2013). Sehingga diperlukan beberapa

pengembangan metode dan sistem validasi yang membuat hasil pemetaan

memiliki akurasi yang tinggi. Apalagi jika citra yang tersedia cukup terbatas

terkait resolusi spasial dan spektral.

2.4.3 Sulit membedakan jenis mangrove dalam komunitas

Hal ini disebabkan oleh kebanyakan satelit sumberdaya yang tersedia memiliki

resolusi spasial yang rendah, dan mengakibatkan banyak kemiripan respon

spektral antar spesies. Sehingga hasil pemetaan yang dilakukan hanya berkisar

pada jenis kerapatan jenis mangrove, sedikit sekali yang mengkaji jenis

spesiesnya dengan akurasi yang cukup tinggi atau lebih dari 90%.

Page 77: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

69

2.4.4 Kurangnya Perbandingan antar Metode Pemetaan

Di sini terdapat kurangnya perbandingan antar metode pemetaan mangrove

menggunakan penginderaan jauh. Terutama dalam analisis multi-sumber dan

multi-resolusi. Selain itu, beberapa metode yang dikembangkan tidak dilakukan

validasi dan ujia akurasi, sehingga tidak diketahui kualitas peta yang dihasilkan.

Page 78: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

70

Page 79: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

71

3 BAB 3

PENGELOLAAN MANGROVE

Dalam pengelolaan mangrove, kita harus mengetahui kondisi mangrove saat ini

dan kondisi mangrove yang ingin dicapai. Jika tidak mengetahui kondisi saat ini

dan kondisi yang ingin dicapai, maka tentu saja pengelolaan mangrove tidak

mungkin akan berjalan. Berdasar kondisi hutan mangrove yang telah ada dan

terpetakan dengan baik, maka kita akan dapat menentukan pengelolaa n yang

tepat. Walaupun jika suatu hutan mangrove dalam kondisi yang bagus, tentu ada

kondisi yang ingin dicapai dalam pengelolaan, yakni menjaga kualitas

ekosistem mangrove tersebut. Dalam hal ini, beberapa bentuk pengelolaan

berbeda tiap permasalahan yang muncul.

3.1 KERANGKA ANALISIS DALAM PENGELOLAAN MANGROVE

3.1.1 Apa yang Dapat Dilakukan Terhadap Mangrove?

Dalam pengelolaan mangrove, kerangka dasar yang harus dipenuhi adalah

penggunaan ekosistem secara bersama-sama dan berkelanjutan (Bengen, 2001).

Secara umum, pengelolaan hutan mangrove melibatkan banyak pihak karena

pada dasarnya kawasan hutan mangrove mmiliki potensi untuk budidaya

tambak, ekonomi, dan konservasi hutan mangrove. Tujuan pengelolaan tidak

hanya untuk konservasi yang mempertahankan komponen biotik pada

ekosistem, akan tetapi juga bersama meningkatkan kapasistas sosial-ekonomi

penduduk. Sehingga sifat yang dihasilkan diakhir sebagai tujuan utama adalah

sebuah kehidupan yang berkelanjutan, baik untuk ekosistem mangrove maupun

kehidupan sosial.

Ada kalanya pengelolaan tersebut diharuskan secara terpadu. Terpadu di sini

mengingat penggunaan ekosistem secara bersama-sama tersebut melibatkan

banyak pihak, seperti: penduduk, pemerintah, dan pengusaha. Perbedaan

kepentingan yang ada diarahkan dalam suatu sistem pengelolaan yang terpadu

untuk mengakomodir kepentingan semua pihak tanpa merusak ekosistem

mangrove. Keterpaduan di sini juga diartikan dengan keterpaduan wilayah

ekologis, keterpaduan sektor, keterpaduan disiplin ilmu, dan keterpaduan

stakeholder (Bengen, 2001). Walaupun ekosistem mangrove dapat memperbaiki

Page 80: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

72

dirinya sendiri, tapi hal tersebut butuh waktu yang sangat lama. Butuh peran

serta menjaga dan memberdayakan masyarakat terkait dengan rehabilitasi

ekosistem yang telah berubah atau rusak. Untuk itu, beberapa tujuan utama

pengelolaan mangrove ini secara garis besar disajikan pada tabel 3.1.

Pada dasarnya pengelolaan pesisir merupakan suatu sistem perencanaan untuk

mencapai suatu hasil. Tujuan akhir dari pengelolaan mangrove adalah

mengelola mangrove dengan prinsip berkelanjutan, yang dapat berupa

konservasi hutan mangrove yang masih ada maupun rehabilitasi mangrove yang

telah rusak. Terutama pada wilayah habitat hutan mangrove yang telah rusak,

maka tujuan akhir restorasi ekosistem mangrove melaui rehabilitasi hutan

mangrove yang telah rusak adalah hal yang harus dicapai. Seringkali upaya

rehabilitasi hanya dikaitkan dengan penanaman mangrove, yang menyebabkan

program-program yang dilakukan “sekali jadi” dengan menanam mangrove.

Padahal upaya rehabilitasi lebih dari sekadar menanam mangrove. Harus

terdapat upaya upaya perbaikan secara ekologis, sosial, dan ekonomi. Jika ketika

parameter tersebut tidak diperhatikan dalam suatu pengelolaan, maka hasilnya

tetap degradasi lingkungan pada akhirnya (Biswas, et al., 2009). Pada akhirnya,

ini adalah proses pengelolaan dan proses konservasi mangrove yang harus

sejalan untuk mendapatkan habitat mangrove yang berfungsi sebagai salah satu

ekosistem pesisir.

Biswas, et al. (2009) juga menyampaikan konsep dari restorasi ekosistem

mangrove yang ditentukan oleh 3 faktor, ekologis mangrove, sosial, dan

ekonomi. Secara rinci dapat dijelaskan pada gambar 3.1.

Page 81: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

73

Tabel 3.1. Pengelolaan mangrove dan tujuan akhir bersama dengan beberapa aktivitas yang dibutuhkan.

No. Tujuan Aktivitas yang dibutuhkan

Tujuan akhir pengelolaan:

1. Konservasi

Untuk mempertahankan

biodiversitas mangrove,

dan mencegah

pengrusakan ekosistem

yang terjadi.

- Melindungi mangrove dari degradasi dan

kerusakan akibat pembangunan oleh manusia

- Mempromosikan dan meningkatkan kapasitas

pengelolaan yang berbasis kearifan lokal

- Rehabilitasi ekosistem mangrove yang telah

rusak

- Mendukung pengelolaan yang berbasis

komonitas lokal

Tujuan Jangka Menengah

2. Peraturan

Peraturan dan strategi

implementasinya yang

tepat untuk konservasi

mangrove dan

pengelolaannya

- Reformasi secara struktural di pemerintahan

terkait pengelolaan mangrove

- Mempromosikan insentif ekonomi bagi

pelestarian mangrove

- Sosialisasi yang luas kepada pihak berwenang

dan khalayak yang berhubungan dengan

mangrove

- Memberikan wewenang kepada komunitas

lokal sebagai bagian dari partisipasi masyarakat

untuk mengelola mangrove

- Mendukung penelitian tentang ekosistem

mangrove, terutama spesies dan genetiknya

3. Penduduk

Meningkatkan

ketersediaan kebutuhan

dasar penduduk, mata

pencaharian dan

kesejahteraannya yang

berbasis pada ekosistem

mangrove

- Membuat lapangan pekerjaan baru

- Menyelesaikan kepemilikan lahan di areal

mangrove

- Mempromosikan mata pencaharian yang

berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan

- Menyediakan pendidikan keterampilan untuk

meningkatkan pendapatan

- Memberikan pendidikan tentang kesadaran

terhadap lingkungan

4. Produktivitas (Ekonomi)

Konservasi mangrove,

produktivitas sumberdaya

di areal mangrove juga

harus ditingkatkan, seperti

kayu, ikan, udang, dan

berdasar pada

keberlanjutan ekosistem

- Meningkatkan pengelolaan pada tingkat praktek

yang lebih sesuai tanpa merusak mangrove lebih

lanjut.

- Meningkatkan produktivitas melalui

pendampingan dan inovasi melalui rehabilitasi

mangrove yang berdampak pada peningkatan

produksi

- Alternatif bentuk pencaharian ekonomi di

ekosistem mangrove.

Sumber: Macintosh & Ashton (2003)

Page 82: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

74

Gambar 3.1. Hipotesis dari restorasi suatu ekosistem yang mempertimbangkan faktor ekologis, masyarakat, dan ekonomi. (i) restorasi akan berhasil jika ketiga faktor diperhatikan (B-D), (ii) Jika hanya melibatkan ekologis mangrove dan masyarakat (B-D”) akan menunjukkan kesusksesan program, tapi bersifat sementara karena tidak ada keuntungan ekonomi dan masyarakat akan kembali merusak mangrove, (iii) jika hanya berbasis ekologis mangrove, kesusksesan hanya sementara sebelum terjadi kerusakan lagi. Sumber: Biswas, et al. (2009)

3.1.2 Tahapan Dasar Dalam Pengelolaan

Restorasi mangrove merupakan upaya pengelolaan yang bertahap dan dalam hal

ini, merencanakan suatu pengelolaan adalah hal terpenting, dengan beberapa

tahapan perencanaan yang harus dicapai adalah sebagai berikut (diadopsi dan

modifikasi dari Macintosh & Ashton, 2003; FAO, 1994; dan Biswas, et al.,

2009). Alur pengelolaan ini sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan hidup, yang meliputi: a.) perencanaan; b.)

pemanfaatan; c.) pengendalian; d.) pemeliharaan; e.) pengawasan; dan f.)

penegakan hukum.

Page 83: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

75

1. Menentukan permasalahan

Dalam suatu pengelolaan mangrove, hal utama yang harus ditentukan adalah

kondisi habitat mangrove saat ini. Artinya, terlebih dahulu mendefinisikan

permasalahan yang ada. Jika tidak terdapat masalah pada habitat mangrove,

tentu tidak diperlukan suatu pengelolaan mangrove. Yang diperlukan hanya

perlindungan habitat; sedangkan perlindungan habitat adalah salah satu

bentuk adaptasi penyelesaian suatu masalah. Jadi, menentukan kondisi

mangrove dan faktor-faktor berpengaruh terhadapnya adalah hal pertama

yang harus dilakukan dalam suatu pengelolaan. Mengacu pada UNESCO

(1997), permasalahan yang dapat didefinisikan berada dalam 3 kategori

utama, administrasi, sosial-ekonomi, dan faktor alami.

2. Mendefinisikan sasaran dan tujuan

Tahap ini adalah tahap terpenting dalam suatu perencanaan rehabilitasi

dalam rangka pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Maksudnya, sasaran

pengelolaan mangrove haruslah tepat. Apakah suatu ekosistem mangrove

perlu direhabilitasi, dilakukan restorasi, atau hanya dilakukan perlindungan

sebagai upaya pencegahan kerusakan. Sasaran dan tujuan ini pada akhirnya

harus dievaluasi untuk mendapatkan perencanaan yang adaptif.

3. Pembuatan model ekologis

Maksud di sini adalah menentukan parameter-parameter ekologis yang

berpengaruh terhadap kondisi mangrove. Misalnya parameter ekologis pada

suatu lahan mangrove yang terdegradasi. Variabel-variabel tersebut harus

ditentukan sebagai bagian dari perencanaan, seperti: perubahan salinitas, pH,

substrat, dan parameter lain yang relevan. Variabel ekologis ini sebenarnya

berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove. Jika kita malakukan suatu

perencanaan pengelolaan tanpa mempertimbangkan faktor ekologis, bisa

saja pada akhirnya tidak mempertimbangkan polusi yang terjadi telah

merubah kondisi biofisik habitat; yang akhirnya mangrove mengalami

kerusakan.

4. Memiliki rencana kontijensi

Banyak resiko yang timbul dalam suatu program rehabilitasi. Resiko tersebut

merupakan ketidakpastian/perubahan yang harus diantisipasi, seperti: jika

terjadi badai, terbatas pendanaan, potensi kegagalan, dan lain-lain. Maka

suatu program rehabilitasi harus memiliki rencana kontijensi dalam rangka

antisipasi kegagalan yang dapat terjadi. Kegagalan tidak hanya berasal dari

manusia, bisa jadi dalam pelaksanaan pengelolaan terjadi tsunami yang

merusak habitat mangrove.

Page 84: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

76

5. Desain, analisis keberhasilan program, dan eksperimen

Desain rehabilitasi dalam rangka restorasi ekosistem dapat dibuat dalam

suatu model desain yang baru maupun perbaikan dari program yang telah

dilakukan sebelumnya. Kebanyakan kegagalan program penanaman sebagai

bagian dari pengelolaan mangrove yang dilakukan adalah karena tidaknya

desain yang matang, terutama yang dilakukan oleh pemerintah.

6. Implementasi, monitoring, dan pengelolaan yang adaptif

Ini adalah tahap akhir dalam suatu program pengelolaan mangrove.

Bagaimana melakukan suatu rencana yang telah disusun. Hal terpenting

setelah implementasi program adalah upaya monitoring. Kegagalan atau

lebih tepat dikatakan sebagai kurang efektifnya suatu program dikarenakan

tidak adanya monitoring. Monitoring ini dimaksudkan agar pengelolaan

tersebut dapat dievaluasi dan dilakukan pengelolaan yang adaptif, atau

penyesuaian suatu program pengelolaan agar lebih baik.

Dalam tahapan perencanaan ini, hal yang tidak boleh dilupakan adalah

menentukan area perencanaan. Maksudnya adalah batas-batas area mangrove

yang akan dikelola, terutama dalam penentuan batas administrasif. Ini

berpengaruh pada “kewenangan politik” yang akan mempengaruhi jalannya

program pengelolaan dimasa yang akan datang. Selain itu, durasi rencana

pengelolaan haruslah didefinisikan juga. Dalam kaitannya dengan konservasi,

durasi pengelolaannya mungkin tidak terbatas. Akan tetapi perlu pencapaian-

pencapaian yang harus dihasilkan terutama dalam perencanaan pengelolaan

yang adaftif. Beda halnya dengan rencana pengelolaan mangrove untuk

direhabilitasi, ini apakah program dalam jangka pendek atau jangka panjang.

Sedangkan untuk pengelolaan mangrove yang memproduksi kayu dalam bidang

kehutanan, perencanaan pengelolaan haruslah dalam satu rotasi tebang-tanam.

Ini sekitar 20 – 30 tahun.

Untuk penjelasan grafis mengenai tahapan dalam pengelolaan mangrove, dapat

dilihat pada gambar 3.2.

Page 85: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

77

Gambar 3.2. Bagan sistematis yang menunjukkan tahapan dalam rencana pengelolaan mangrove. Hal yang menjadi garis bawah adalah inventori kondisi mangrove saat ini dan kondisi mangrove yang ingin dicapai.

Dalam pelaksanaannya, tidak sepenuhnya sistematika perencanaan pengelolaan

mangrove harus sesuai dengan hal yang telah dijelaskan. Dalam prakteknya

harus menyesuaikan dengan tujuan dan sasaran. Karena setiap desain program

pengelolaan untuk permasalahan mangrove yang berbeda memiliki desain yang

berbeda pula. Seperti yang dilakukan oleh Fawzi (2016) pada gambar (3.3),

secara garis besar adalah langkah yang sama, tapi dengan desain yang berbeda.

Page 86: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

78

Gambar 3.3. Langkah strategis dalam upaya rehabilitasi mangrove yang dapat dilakukan di Delta Mahakam. Sumber: Fawzi (2016).

Mendefinisikan Masalah

1. Degradasi mangrove akibat konversi menjadi

tambak

2. Rendahnya peran kelembagaan

3. Rendahnya kesejahteraan masyarakat 4. Rendahnya produktivitas tambak

5. Perlunya upaya rehabilitasi

Mendefinisikan Sasaran

dan Tujuan

Sasaran: Restorasi ekosistem mangrove di Delta

Mahakam.

Tujuan:

1. Rehabilitasi mangrove yang terdegradasi akibat

pembangunan tambak. 2. Meningkatkan produksi tambak dengan integrasi

hutan mangrove (silvofisheries)

3. Meningkatkan peran masyarakat dalam upaya

rehabilitasi

Menentukan parameter

keberhasilan

Kondisi mangrove saat ini 53,03% telah

terkonversi menjadi tambak. Hanya 5% area yang

tumbuh kembali menjadi tambak secara alami maupun hasil penanaman.

Kondisi Mangrove yang ingin dicapai? Dengan

sistem silvofisheries hanya menghasilkan tutupan

80% hutan mangrove di kawasan delta.

Analisis SWOT

Setiap tujuan mempunyai program aksi untuk

mencapai sasaran akhir. Program aksi ini lebih

spesifik yang sesuai untuk pengelolaan mangrove di

Delta Mahakam.

Program aksi

Implementasi dan Monitoring

Analisis ini membahas variabel-variabel dalam

perencanaan. Termasuk membahas analisis perbandingan dari program-program lainnya yang

telah dijalankan.

Kendala-kendala yang ada saat ini dan yang mungkin

terjadi, dan upaya penyelesaiannya

Langkah akhir untuk mengevaluasi program-

program yang dilakukan. Ini untuk perbaikan pada

program selanjutnya. Dalam implementasinya, monitoring menjadi

bagian dari pengelolaan yang dinamis, mengingat

banyak faktor dapat terjadi di lapangan.

Page 87: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

79

3.1.3 Data-Data yang Dibutuhkan

3.1.3.1 Data Sumberdaya Pesisir Mangrove

Data ini adalah data dasar yang digunakan dalam suatu perencanaan pengelolaan

dan bahkan dalam pengelolaan itu sendiri. Karena ini menjadi penentu

karakteristik lingkungan mangrove secara keseluruhan. Data-data tersebut

antara lain:

Jenis tutupan/penggunaan lahan, dengan informasi persebaran mangrove

pada wilayah perencanaan

Persebaran kegiatan perikanan dan perkebunan

Finansial/pembiayaan program

Sumberdaya manusia

Data-data ini termasuk data untuk pelaksanaan operasional pelaksanaan

program, seperti penyiapan lokasi untuk rehabilitasi, bibit mangrove dan matial

pendukung jika akan melakukan penanaman, transportasi, dan hal-hal terkait

lainnya.

3.1.3.2 Data Sosial-Ekonomi

Mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi adalah hal penentu dalam suatu

pengelolaan pesisir. Jika tidak terdapat pertimbangan dengan faktor ini, maka

dapat dikatakan rencana pengelolaan yang akan dilakukan tidak akan berhasil

dengan baik. Terutama dalam penggunaan wilayah pesisir secara bersama dan

berkelanjutan, data-data tentang sosial-ekonomi masyarakat sekitar wilayah

perencanaan mutlak dibutuhkan.

3.1.3.3 Data Institusional

Faktor institusi merupakan faktor politik dalam pengelolaan dan menjadi dasar

hukum dalam suatu rencana pengelolaan itu sendiri. Harus diperhatikan

mengenai aturan kebijakan pemerintah yang ada, dasar hukum, analisis

mengenai dampak lingkungan, dan hal-hal terkait lainnya. Termasuk hubungan

antar lembaga perencana agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam program.

3.2 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE PADA WILAYAH

PERKOTAAN

Telah disebutkan bahwa kerusakan mangrove akibat campur tangan manusia

terhadap ekosistem mangrove adalah hal harus diperhatikan. Terutama pada

ekosistem mangrove yang dekat dengan pemukiman penduduk atau wilayah

perkotaan. Ancaman terhadap habitat mangrove tidak hanya secara langsung

terjadinya deforestasi mangrove untuk perluasan area perkotaan, seperti

reklamasi pantai untuk perumahan dan pembangunan jalan tol. Akan tetapi,

Page 88: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

80

terdapat ancaman tidak langsung yang menyertai, seperti pencemaran tanah dan

air.

Dari sini dapat dikatakan bahwa deforestasi hutan mangrove untuk wilayah

perkotaan bukan sebagai satu-satunya konsekuensi atas urbanisasi yang terjadi.

Pada sisi lain, meningkatnya lahan terbangun meningkatkan pula

aliran/limpasan permukaan. Hasilnya aliran tersebut langsung dapat terbawa ke

habitat mangrove, dan dapat mengganggu kesetimbangan faktor pertumbuhan

mangrove jika terjadi dalam jangka panjang. Jika pada musim kemarau,

pencemaran yang terjadi dapat terakumulasi pada ekosistem mangrove.

Walaupun secara kasat mata mangrove masih dapat terjada, namun bisa jadi

sistem nutrient dapat terganggu. Ikan-ikan kecil yang hidup disekitar mangrove

yang pada akhirnya akan dimakan oleh manusia, membawa kadar pencemaran

yang meningkat jika dikonsumsi secara berkala.

Pada hutan mangrove yang berada di wilayah perkotaan, bentuk pengelolaan

yang sesuai adalah dengan menjadikan objek wisata. Hal ini mengingat

kebutuhan kota atas ruang terbuka hijau. Objek wisata yang dimaksud disini

adalah berbasis eco-tourism. Selain itu, dapat dikembangkan pusat penelitian

ekosistem mangrove yang terintegrasi dengan badan pengelola mangrove itu

sendiri. Pusat penelitian tersebut harus berkerja sama dengan universitas-

universitas untuk pengembangan penelitian mangrove.

3.3 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE YANG TERKONVERSI

MENJADI TAMBAK

Konversi hutan mangrove menjadi tambak adalah permasalahan utama dalam

kerusakan ekosistem mangrove hampir di seluruh dunia. Untuk pengelolaan

hutan mangrove yang telah menjadi tambak, maka bentuk pengelolaan yang

tepat adalah dengan mengintegrasikan mangrove pada tambak. Pembangunan

tambak yang terintegrasi dengan hutan mangrove atau sebaliknya, telah menjadi

program rehabilitasi hutan mangrove yang terdegradasi hampir di seluruh dunia.

Hal ini selain mengakomodir tujuan konservasi untuk mempertahahankan

ekosistem alami, juga untuk penggunaan bersama terkait sosial-ekonomi.

Implementasi program rehabilitasi untuk kawasan tambak sebenarnya tidak

mungkin menjadikan kawasan tambak tersebut sebagai hutan mangrove secara

keseluruhan. Salah satu bentuk upaya rehabilitasi dalam bentuk penanaman

mangrove yang dilakukan pada tambak adalah dengan silvofisheries atau

wanamina (FitzGerald, 2002). Secara umum, silvofisheries bukanlah produk

rehabilitasi yang utama, tetapi beragam bentuk implementasi yang telah

dilakukan diseluruh dunia. Dikembangkan di Myanmar lebihd ari 50 tahun yang

lalu, dan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1987. Berikut pada tabel 3.2

dan 3.3 adalah program-program integrasi mangrove – tambak sebagai upaya

Page 89: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

81

rehabilitasi maupun penggunaan ekosistem mangrove yang ramah lingkungan

yang telah dilakukan.

Tabel 3.2. Sistem integrasi mangrove – tambak yang telah dilakukan di Asia.

Negara Nama

sistem

integrasi

Mangrove Tambak Permasalahan

yang muncul

Hongkong Gei-wai Mangrove yang

terbentuk alami:

Avicennia

Larva pasang-

surut, makanan

alami

Pencemaran oleh

industri, penurunan

produksi udang

Indonesia Tambak Mangrove yang

terbentuk alami

maupun penanaman:

Avicennia atau

Rhizophora

Larva pasang-

surut, makanan

alami

Intensifikasi tambak

Silvofisheries Mengrove hasil

penanaman:

Rhizophora

Larva alami,

makanan alami

atau buatan

Pengelolaannya

yang sulit, terjadi

ketidaksesuaian

spesies mangrove

yang ditanam

Vietnam Tambak-

Mangrove

Mengrove hasil

penanaman:

Rhizophora

Udang alami

pasang-surut,

makanan alami

Penurunan produksi

udang, konversi

mangrove secara

illegal

Pilipina Aqua-

silviculture

Mangrove yang

terbentuk alami:

Avicennia,

Rhizophora

Larva/udang/

kepiting alami,

makanan alami

atau buatan

Kematian mangrove,

kejenuhan makanan

pada tambak

Sumber: Primavera (2015)

Rehabilitasi mangrove di Indonesia di kenal dengan sistem silvofhiseries, sama

halnya dengan yang dilakukan di Hongkong, Vietnam dan Pilipina, hanya

berbeda nama. Silvofisheries ini merupakan pendekatan yang digunakan untuk

rehabilitasi mangrove yang terbaik hingga saat ini. Silvofisheries sendiri

merupakan perlindungan hutan mangrove dengan membuat tambak berbentuk

saluran, sehingga terdapat keuntungan ekonomis dan ekologis tetap terjaga

(FitzGerald, 2002). Di sini berarti sistem silvofisheries dibuat dari hutan

mangrove menjadi tambak, dan dalam pendekatan silvofisheries dalam

rehabilitasi ini, tambak yang telah ada dikembalikan fungsi ekologisnya dengan

penanaman mangrove yang berbasis pada sistem silvofisheries.

Page 90: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

82

Tabel 3.3. Teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove yang telah dilakukan di wilayah Asia.

Negara

Teknologi,

dan tahun di

mulai

Ukuran,

perbandingan

mangrove dan

tambak

Tujuan Area

Hongkong Tradisional Gei

wai,

1940

~10 ha tambak

30:70

Produksi ikan atau

udang, konservasi

mangrove

~250 ha,

Situs ramsar

Indonesia

Tradisional

tambak,

1400an

1 – 4 ha tambak,

mangrove hanya

berada di tanggul

tambak

Produksi makanan,

stabilisasi tanah,

makanan ternak,

Luas

Silvofisheries,

1976

0,1 – 1 ha tambak

60:85, 40:45

Menyelesaikan

konflik, rehabilitasi

mangrove

Luas, misal

6.600 ha di

Cikiong, Jawa

Barat

Vietnam Sistem

campuran

antara tambak

dan mangrove,

Pertengahan

1980

750 – 3.200 m2

tambak, 70:20:10

(untuk rumah)

Mengurangi konflik

lahan, rehabilitasi

mangrove

Tersebar luas

Pilipina Aqua-

silviculture

1987

<2 ha tambak

80:20

Konservasi mangrove,

peningkatan produksi

ikan

eksperimen

Sumber: Primavera (2015)

Sistem integrasi yang digunakan dalam sistem silvofisheries adalah penggunaan

mangrove pada tambak yang dibangun. Integrasi tersebut dicirikan dengan

persentase antara mangrove dan kolam yang digunakan, persentase mangrove

adalah yang paling besar. Pada dasarnya terdapat dua sistem sistem

silvofisheries (gambar 3.4). Model pertama adalah mangrove yang berada dalam

tambak, dengan persentase rasio mangrove 60 – 80% dan rasio kolam air tambak

sebesar 20 – 40%. Model kedua adalah model sistem integrasi mangrove –

tambak yang terpisah antara mangrove dan kolam air pada tambak, namun

memiliki rasio yang sama dengan model pertama. Model kedua ini lebih

menguntungkan dalam pengelolaan, produksi tambak yang lebih tinggi, dan

biaya pembuatan yang lebih rendah, dan menghindari potensial keracunan dari

daun pohon mangrove yang jatuh.

Page 91: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

83

Gambar 3.4. Model silvofisheries. (a) standar model empang parit dengan mangrove di tengah tambak, (b) modifikasi dengan menambah kanal/saluran, (c) dan (d) merupakan silvofisheries yang memisahkan antara kolam tambak dan mangrove. Sumber: FitzGerald (2002)

Pola yang telah digunakan dalam pendekatan ini yakni pola empang parit atau

tumpangsari. Karena tidak adanya lokasi lain yang dapat dijadikan sebagia

mangrove terpisah, mengingat telah terbentuk tambak. Pola ini berbeda dengan

sistem gei wai di Hongkong, di mana pola berbentuk tidak beraturan. Pada

sistem empang parit, mangrove yang telah ditanam berada ditengah tambak

dengan pola persegi, dan memberi celah antara mangrove dan tanggul (model 1

pada gambar 3.4). Sistem empang parit sendiri sebenarnya dibangun dengan

membuat saluran air tempat membudidayakan ikan, yang berada antara hutan

mangrove dan tanggul yang dibentuk. Atas dasar ini, maka metode ini dapat

diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan

memanfaatkan area tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, dengan

menyisakan area kolam tambak yang tidak ditanami sejalur atau sejajar dengan

tanggul. Dengan menggunakan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan

direforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Dalam penerapan

sistem silvofisheries tersebut, kendala yang dihadapai adalah kurangnya bibit

dan dana untuk program penanaman dalam rangka rehabilitasi.

Page 92: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

84

(a)

(b)

(c)

Gambar 3.5. Sistem integrasi mangrove – tambak atau silvofisheries, (a) sistem gei wai di hongkong, (b) model silvofisheries di Thailand (rasio 7:3), dan (c) di Vietnam. Sumber: FitzGerald (2002).

Page 93: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

85

Gambar 3.6. Sistem silvofisheries yang dapat digunakan untuk rehabilitasi mangrove pada area-area tambak. Sumber: Takashima (2000).

Page 94: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

86

Gambar 3.7. Model silvofisheries yang disempurnakan. Sumber: FitzGerald (2002).

Terdapat perbedaan model-model integrasi mangrove – tambak seperti pada

tabel 3.2 yang divisualkan pada gambar 3.3. Pada intinya model-model tersebut

adalah modifikasi dari sistem silvofisheries. Sistem silvofisheries yang

digunakan untuk rehabilitasi mangrove (area tambak yang ditanami mangrove

untuk meningkatkan produktivitas) adalah seperti gambar 3.6. Model tersebut

adalah model yang paling sesuai dan telah terbukti untuk dapat dilakukan pada

area tambak di Indonesia. Hal ini terutama berkaitan dengan harapan hidup

mangrove yang telah ditanam. Penanaman mangrove terebut dilakukan pada

tengah tambak dengan menyisakan 20% kolam air di tambak yang tersisa.

Perkembangannya, model tersebut dapat disempurnakan pada gambar 3.7

dengan membentuk tanggul pada tempat mangrove ditanam.

Sebenarnya pembukaan tambak di delta adalah secara ekstensif, lebih murah

dibandingkan dengan budidaya secara intensif. Jika total penjualan tersebut

digunakan untuk investasi perbaikan tambak yang terintegrasi mangrove, maka

akan menghasilkan produksi yang lebih banyak lagi. Menurut literatur yang

didapat, terjadi peningkatan produktivitas dari tambak yang dengan mangrove.

Tabel 3.4 menunjukkan perbedaan produksi dari masing-masing tutupan

mangrove yang ada. Untuk produksi tambak sendiri, van Zwieten, et al. (2006)

menyatakan untuk produksi awal di tambak adalah 125,4 kg/ha. Untuk 2 hingga

3 kali panen setahun, maka udang yang diproduksi pertahun adalah 250,8 –

376,2 kg/ha. Produksi ini menurun setelah tahun kelima menjadi hanya 66

kg/ha, sehingga untuk produksi pertahun adalah 130 – 190 kg/ha/tahun.

Page 95: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

87

Tabel 3.4. Produktivitas tambak tanpa mangrove dan telah terintegrasi mangrove pada lokasi di Karawang, Jawa Barat, dan perbandingan produksi tambak di Delta Mekong, Vietnam.

Karawang, Jawa Barat

Tanpa

Mangrove

Tutupan mangrove

40-60% 70-80% >80%

Produktivitas

(kg/ha/tahun) 171 181 355 414

Produktivitas tambak di Delta Mekong, Vietnam

Integrasi mangrove

– tambak

Sistem

ekstensif

Sistem

intensif

Produktivitas

(kg/ha/tahun)

- 228-365 242-475 2.400-6.000

Sumber: Takashima (2000); Joffre, et al. (2015)

Tabel 3.4 menunjukkan perbedaan produksi udang pada tutupan mangrove

>80%, dengan produksi mencapai dua kali lipat dari produksi tambak tanpa

mangrove. Pada lokasi yang berbeda, di Vietnam, produksi tambak secara

ekstensif (tanpa mangrove) hampir sama dengan tambak yang telah terintegrasi

mangrove. Akan tetapi, yang disampaikan oleh Joffre, et al. (2015) untuk

tambak di Vietnam adalah umur tambak dan besarnya tutupan mangrove. Secara

umum, dengan integrasi mangrove pada tambak akan meningkatkan

produktivitas dan kontinuitas produksi tambak. Hal lainnya adalah tetap

menekankan aspek konservasi mangrove.

FitzGerald (2002) pun menunjukkan keberhasilan metode silvofisheries dalam

upaya restorasi hutan mangrove. Patut ditekankan di sini, program-program

yang berhasil tersebut adalah diinisiasi oleh pemerintah. Jumlah biaya

rehabilitasi yang diperlukan dan dana yang diterima dinas terkait tidak lah cukup

untuk rehabilitasi secara parsial, apalagi keseluruhan. Belum lagi luas wilayah

kabupaten yang harus diurus. Untuk itu salah satu solusinya adalah dengan

membawa masyarakat agar terlibat aktif dengan membuat percontohan metode

tambak silvofisheries yang telah berhasil.

Permasalahan lain dalam pengelolaan mangrove yang terkonversi untuk tambak

adalah kondisi tanah yang asam dengan pH <3,5. Ini tentu mengganggu

mangrove untuk tumbuh dan beradaptasi. Berkaitan dengan rehabilitasi tambak

untuk memulihkan ekosistem mangrove, sudah jadi penanaman mangrove

kembali dengan mengembangkan sistem silvofisheries adalah pilihan utama.

Rehabilitasi dimaksudkan sebagai penguatan ekosistem mangrove agar

Page 96: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

88

membentuk suatu hutan yang lebih luas dan berperan ekologis. Perlahan, baru

kemudian lokasi-lokasi tambak aktif dilakukan perbaikan dan revitalisasi

melalui produksi tambak yang ramah lingkungan dengan terintegrasi dengan

mangrove.

Dalam hal ini, hal yang tidak boleh dilupakan dalam perencanaan pengelolaan

adalah masalah biaya pengelolaan itu sendiri. Contoh kasus adalah jika akan

melakukan rehabilitasi hutan mangrove yang ada di Delta Mahakam yang rusak

akibat konversi menjadi tambak. Untuk rehabilitasi perlu dilakukan penanaman

mangrove kembali. Penanaman mangrove untuk rehabilitasi idealnya dapat

dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove. Untuk

kepraktisan dan keberlanjutan tambak, jarak tanam yang disarankan adalah 2 x

2 meter. Jarak ini untuk mencegah air yang beracun akibat pembusukan daun

dan kurangnya sinar matahari. Dengan jarak tanam 2 x 2 meter tersebut,

memperhitungkan 80% area yang ditanam, maka untuk setiap hektare tambak

membutuhkan ± 1.600 bibit mangrove. Dengan jumlah tambak hasil interpretasi

yang dilakukan oleh Fawzi (2016) untuk mencapai tutupan mangrove sebesar

80% adalah seluas ± 57.997 ha, maka jumlah bibit yang ditanam dapat mencapai

92.795.200 bibit mangrove. Jika biaya yang dibutuhkan setiap bibit mangrove

adalah sebesar Rp 2.025,00 (Akram, 2015), maka biaya total untuk

merehabilitasi mangrove di Delta Mahakam adalah sebesar ± Rp

187.910.280.000,00 atau dibulatkan sebesar ± 188 milyar rupiah. Ini adalah

biaya yang harus dipenuhi secara bertahap, dan belum mempertimbangkan

faktor lain yang berkaitan yang membuat biaya rehabilitasi semakin membesar.

3.4 KEHUTANAN – SILVIKULTUR

Salah satu kegunaan hutan mangrove adalah sumberdaya kayunya. Seringkali

sumberdaya ini diperoleh dengan secara liar dan tanpa dikelola. Sehingga terjadi

deforestasi hutan dan kerusakan ekosistem mangrove. Dalam hal ini,

sumberdaya kayu dari hutan mangrove telah manjadi komoditas, tidak hanya

kayu pada hutan hujan tropis. Sehingga banyak upaya pengelolaan pemanfaatan

hasil kayu hutan mangrove untuk produksi berkelanjutan.

Ini adalah salah satu fungsi sosial-ekonomi dari mangrove. Agar dapat

dimanfaatkan dalam waktu yang lama atau berkelanjutan, maka perlu suatu

pengelolaan sesuai yang tetap menjaga ekosistem mangrove itu sendiri. Salah

satu tujuan dalam pengelolaan mangrove yang dimanfaatkan untuk produksi

kayu adalah sebagai berikut.

Menjaga keberlanjutan tersedianya produk kayu;

Menjamin regenerasi mangrove yang menjadi sumber produksi kayu

melalui metode yang sesuai;

Page 97: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

89

Mengkonservasi dan melindungi fungsi dari hutan mangrove, terutama

pada tanggul sungai, esturari, dan lahan marjinal lainnya.

Untuk itu, informasi yang harus diperoleh adalah informasi tentang komposisi

mangrove dan lokasinya, volume mangrove, laju pertumbuhan, dan status

regenarisasi (FAO, 1994). Dalam perolehan informasi ini, hal yang harus

ditentukan terlebih dahulu adalah hutan mangrove produksi dan yang bukan.

Dengan kata lain, pengelolaan mangrove ditekankan pada hutan mangrove

produksi, sedangkan hutan mangrove bukan produksi adalah untuk dilindungi.

Bagaimana dengan informasi mangrove yang dapat diperoleh dari penginderaan

jauh dalam bidang kehutanan ini? Beberapa informasi yang terkait dengan

kehutanan untuk produksi kayu, terlebih dalam hal ini adalah mangrove;

beberapa informasi dapat diperoleh dari penginderaan jauh. Tentunya dengan

kombinasi validasi dari survei lapangan yang harus dilakukan. Informasi-

informasi tersebut dapat berupa ketinggian pohon mangrove, kepadatan pohon,

dan estimasi volume. Kepadatan mangrove mencirikan berapa banyak

mangrove yang terdapat dalam satu area. Dengan menghitung banyaknya

jumlah pohon dalam satu area tertentu, maka kita dapat menentukan kepadatan

mangrove. Informasi ini mampu menentukan besaran volume mangrove yang

tersedia. Tentunya untuk mendapatkan informasi ini diperlukan citra

penginderaan jauh dengan resolusi yang sangat tinggi. Untuk estimasi volume,

yang dimaksud adalah volume dengan mempertimbangkan diameter pohon,

tinggi pohon, dan kepadatannya. Seringkali volume mangrove dikaitkan dengan

biomassa dan stok karbon.

Untuk jenis pengelolaan pada hutan produksi adalah dengan menggunakan

sistem silvikultur. Secara artikata, silvikultur merupakan sebuah proses untuk

membangun, mengembangkan, reproduksi, dan konservasi dari hutan.

Silvikultur berfokus pada perawatan keberadaan mangrove pada hutan untuk

menjamin produktivitas. Dengan kata lain, untuk menjaga produktivitas

tersebut, perlu dilakukan rotasi penanaman dan penebangan. Antara penanaman

kembali dan penebangan membutuhkan perhitungan yang sesuai. Pada hutan

mangrove Matang, sistem rotasi yang diberlakukan adalah selama 30 tahun.

Menurut permen kehutanan nomor 309/Kpts-II/1999, terdapat 4 jenis metode

silvikultur yang dapat dilakukan. Metode tersebut adalah:

1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur meliputi

cara penebangan dengan batas diameter dan kegiatan permudaan hutan.

2. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) adalah sistem

silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan buatan.

3. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) adalah sistem

silvikultur meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam.

Page 98: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

90

4. Tebang Pilih Tanam dalam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang

meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm diikuti

permudaan buatan dalam jalur.

Untuk jangka waktu rotasi antara penebangan dan penanaman atau siklus dalam

tebangan pohon dalam pengelolaan mangrove adalah 20 tahun untuk tujuan

menghasilkan bahan baku serpih, dan 30 tahun untuk tujuan menghasilkan kayu

arang, untuk pemanenan kayu diameter 10 cm keatas.

3.5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dalam pengelolaan mangrove, baik dalam rencana maupun pelaksanaannya, hal

utama yang menjadi penentu keberhasilan program adalah kebijakan pemerintah

tentang tata ruang yang mengatur tata guna lahan. Sebagus apapun bentuk

pengelolaan maupun rencananya, jika tidak didukung tata ruang yang tepat

maka tidak akan berjalan dengan baik. Ini juga penentu dukungan pengelolaan

secara politik dan finasial.

Dalam hal rekomendasi, hal yang patut diperhatikan disini adalah keberlanjutan

atau tidak? Ini adalah permasalahan utama dalam pengelolaan suatu habitat

mangrove. Seringkali pengelolaan yang dilakukan hanya difokuskan pada

restorasi ekosistem saja. Restorasi ekosistem ini hanya ditandai hanya dengan

penanaman mangrove. Padahal tujuan utama dari pengelolaan mangrove adalah

untuk mempromosian konservasi dan rehabilitasi mangrove, serta pemanfatan

ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Pada dasarnya, jika tanpa dikelola,

hutan mangrove yang telah rusak akan dapat kembali lagi melalui proses suksesi

sekunder. Akan tetapi hal tersebut membutuhkan waktu yang lama dan telah

menimbulkan efek negatif terhadap ekosistem terlebih dahulu. Keberlanjutan ini

dengan kata lain adalah keberadaan ekosistem mangrove pada habitatnya tetap

terjaga secara kontinu.

Page 99: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

91

DAFTAR PUSTAKA

Akram, W. (2015). MADIMAP. Tenggarong: Planete Urgence.

Alatorre, L., Sanchez-Carrillo, S., Miramontes-Beltran, S., Medina, R., Torres-

Olave, M., Bravo, L., . . . Uc, M. (2016). Temporal changes of NDVI for

qualitative environmental assessment of mangroves: Shrimp farming impact

on the health decline of the arid mangroves in the Gulf of California (1990-

2010). Journal of Arid Environments, 125, 98-109.

Baten, M. A. (2009). Proverty right in mangrove: A case strudy of the Mahakam

Delta, East Kalimantan, Indonesia. Stockholm: Master Thesis. University of

Stockholm.

Bengen, D. G. (2001). Ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut serta pengelolaan

secara terpadu dan berkelanjutan. In D. Bengen (Ed.), Prosiding Pelatihan

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (pp. 28-55). Bogor: Pusat Kajian

Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

Biswas, S., Mallik, A., Choudhury, J., & Nishat, A. (2009). A unified framework for

the restoration of Southeast Asian mangrove - bridging ecology, society and

economics. Wetland Ecol Manage, 17, 365-383. doi:10.1007/s11273-008-

9113-7

Blasco, F., Gauquelin, T., Rasolofoharinoro, M., Denis, J., Aizpuru, M., &

Caldairou, V. (1998). Recent advances in mangrove studies using remote

sensing data. Marine Freswater Resouces, 49, 287-296. Diunduh pada

http://academic.uprm.edu/~jchinea/cursos/gis/lectesc/magrve_rs.pdf

Bosma, R., Sidik, A., van Zwieten, P., Aditya, A., & Visser, L. (2012). Challenges

of transition to a sustainably managed shrimp culture agro-ecosystem in the

Mahakam delta, East Kalimantan, Indonesia. Wetlands Ecol Manage, 20, 89-

99.

Chadwick, J. (2011). Integrated LiDAR and IKONOS multispectral imagery for

mapping mangrove distribution and physical properties. International

Journal of Remote Sensing, 32(21), 6765-6781.

Conchedda, G., Duieux, L., & Mayauz, P. (2008). An object-based method for

mapping and change analysis in mangrove ecosystems. ISPRS Journal of

Photogrammetry and Remote Sensing, 63(5), 578–589.

Constanza, R., d'Arge, R., de Groot, R., Farber, S., Grasso, M., Hannon, B., . . . Belt,

M. (1997). The value of the world’s ecosystem services and natural capital.

Nature, 387, 253-260.

Page 100: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

92

Diaz, B., & Balckburn, G. (2003). Remote sensing of mangrove biophysical

properties: Evidence from a laboratory simulation of the possible effects of

background variation on spectral vegetation indices. International Journal of

Remote Sensing, 24, 53-73.

Duke, N. C. (2006). Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. × annamalai,

R. × lamarckii (Indo–West Pacific stilt mangroves), ver. 2.1. In C. R.

Elevitch (Ed.), Species Profiles for Pacific Island Agroforestry (pp. 1- 20).

Hōlualoa, Hawai ‘i: Permanent Agriculture Resources (PAR).

Dutrieux, E. (2001). The Mahakam Delta environment from the 80’s up to now: A

synthesis of a 15-years investigation. Proceeding of The International

Workshop: Optimizing development and environmental Issues at Coastal

Area, Problem and solution for sustainable at Mahakam Delta. April 2000.

pp 63-68.

Dutrieux, E., Creocean, Proisy, C., Fromard, F., & Walcker, R. (2014). Mangrove

restoration in the vicinity of oil and gas facilities: Lessons learned from a

large scale project. Long Beach, United States of America: SPE International

COnference on Health, Safety, and Environment. 17 March 2014 - 19 March

2014.

FAO. (1994). Mangrove forest management guidelines. Rome: Forest Resources

Development Branch, Forest Resources Division, FAO Forestry

Departement.

FAO. (2007). The world's mangrove 1980-2005: A thematic study prepared in th

eframework in the Global Forest Resources Asessment 2005. Rome: Food

and Agriculture Organization of the United Nations.

FAO. (2007). The world's mangrove 1980-2005: A thematic study prepared in the

framework in the Global Forest Resources Asessment 2005. Rome: Food and

Agriculture Organization of the United Nations.

FAO. (2013). FAO Statistical Yearbook 2013 - World food and agriculture. Rome:

Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Fawzi, N. I. (2016). Evaluasi Perubahan dan Fragmentasi Hutan Mangrove di Delta

Mahakam, Kalimantan Timur untuk Pengelolaan Kawasan Pesisir.

Yogyakarta: Tesis. Universitas Gadjah Mada.

Fei, S., Shan, C., & Hua, G. (2011). Remote Sensing of Mangrove Wetlands

Identification. Procedia Environmental Sciences, 10, 2287-2293.

FitzGerald, W. (2002). Silvofisheries: Integrated mangrove forest aquaculture

system. In Barru A. Costa-Pierce (Ed.), Ecological Aquaculture: The

Evolution of the Blue Revolution (pp. 161-262). Blackwell Publishing Ltd.

Flynn, L., Harris, A., & Wright, R. (2001). Improved identification of volcanic

features using Landsat 7 ETM+. Remote Sensing of Environment, 78, 180-

193.

Page 101: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

93

Gao, J. (1999). A comparative study on spatial and spectral resolutions of satellite

data in mapping mangrove forest. International Journal of Remote Sensing,

20(14), 2823-2833.

Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., . . . Duke, N.

(2011). Status and distribution of mangrove forest of the world using earth

observation satellite data. Global Ecology and Biogepgraphy, 20, 154 - 159.

Giri, S., Mukhopadayay, A., Hazra, S., Mukherjee, S., Roy, d., Ghosh, S., . . . Mitra,

D. (2014). A study on abundance and distribution of mangrove species in

Indian Sundarban using remote sensing technique. Journal of Coastal

Conservation, 18(4), 359-367. doi:10.1007/s11852-014-0322-3

Green, E., Clark, C., Mumby, P., Edward, A., & Ellis, A. (1998). Remote sensing

techniques for mangrove mapping. Int. Journal of Remote Sensing, 19, 935-

956.

Hogarth, P. (2007). The biology of mangrove and seagrass. New York: Oxford

University Press Inc.

Horning, N., Robinson, J., Sterling, E., Turner, W., & Spector, S. (2010). Remote

Sensing for Ecology and Conservation. New York: Oxford University Press.

Horning, N., Robinson, J., Sterling, E., Turner, W., & Spector, S. (2010). Remote

Sensing for Ecology and Conservation (1st ed.). New York: Oxford

University Press.

Ibrahim, N., Mustapha, M., Lihan, T., & Mazlan, A. (2015). Mapping mangrove

changes in the Matang Mangrove Forest using multi temporal satellite

imageries. Ocean & Coastal Management, 114, 64-76.

Ilham, M., Dargusch, P., Dart, P., & Onrizal. (2016). A historical analysis of the

drivers of loss and degradation of Indonesia's mangroves. Land Use Policy,

54, 448-459.

Janssen, R., & Padilla, J. (1999). Preservation or conservation? Valuation and

evaluation of a mangrove forest in the Philippines. Environmental and

Resource Economics, 14, 297-331.

Jia, M., Wang, Z., Li, L., Song, K., Ren, C., Liu, B., & Mao, D. (2013). Mapping

China's mangroves based on an object-oriented classification of Landsat

imagery. Wetlands, 34(2), 277-283.

Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T., & Dech, S. (2011). Remote

Sensing of Mangrove Ecosystems: A Review. Remote Sensing, 3, 878-928.

Lee, S. Y. (1999). Tropical mangrove ecology: Physical and biotic factors

influencing ecosystem structure and furnction. Australian Journal of

Ecology, 24, 355-366.

Lee, T.-M., & Yeh, H.-C. (2009). Applying remote sensing techniques to monitor

shifting wetland vegetation: A case study of Danshui River estuary mangrove

communities, Taiwan. Ecological Engineering, 35(4), 487-496.

Page 102: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

94

Lenna, P., Lebrun, F., & Mignard, F. (2010). Observational Astrophysics

(Astronomy and Astrophysics Library) (Second Edition ed.). Berlin: Spriger.

Li, M., Mao, L., Shen, W., Liu, S., & Wei, A. (2013). CHange and Fragmentation

Trends of Zhanjiang Mangrove Forest in Southern China using Multi-

temporal Landsat Imagery (1977-2010). Estuarine, Coastal and Shelf

Science, 130, 111-120.

Li, M., Mao, L., Shen, W., Liu, S., & Wei, A. (2013). Change and fragmenttion

trends of Zhanjiang mangrove forest in southern China using multi-temporal

Landsat imageri (1977-2010). Estuarine, COastal and Shelf Science, 130,

111-120.

Liang, S., Li, X., & Wang, J. (2012). Advanced remote sensing: Terestrial

information extraction and applications. Oxford, UK: Elsevier.

Lillesand, T., Kiefer, R., & Chipman, H. (2008). Remote Sensing and Image

Interpretation (Sixth ed.). New York: Jhon Willey & Son.

Macintosh, D., & Ashton, E. (2003). A draft code of conduct for the sustainable

management of mangrove ecosystem. World Bank, ISME, Centre for

Tropical Ecosystem Research (cenTER Aarhus).

Melana, D., Atchue III, J., Yao, C., Edwards, R., Melana, E., & Gonzales, H. (2000).

Mangrove Management Handbook. Cebu City, Philippines: Department of

Environment and Natural Resources, Manila, Philippines through the

Coastal Resource Management Project.

Mumby, P., & Edwards, A. (2000). Remote sensing objectives of coastal managers.

In A. J. Edwards (Ed.), Remote sensing handbook for tropical coastal

management (pp. 31-40). Paris: UNESCO Publiser.

Myint, S., Giri, C., Wang, L., Zhu, Z., & Gillette, S. (2008). Identifying mangrove

species and their surronding land use and land cover classes using an object

oriented approach with a lacunarity spatial measure. GIScience & Remote

Sensing, 45(2), 188-208. doi:10.2747/1548-1603.45.2.188

NASA. (2007). Millenium Coral Reef Landsat Archive. Retrieved Februari6 2015,

from http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/landsat.pl

NASA Earth Observatory. (2005). Worsening Drought in Australia. Retrieved

Desember 30, 2014, from

http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=5580&eocn=related_t

o&eoci=related_image

NASA Earth Observatory. (2006). Matang Mangrove Forest, Malaysia. Retrieved

Maret 8, 2016, from

http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=7131

Nascimento, W., Souza-Filho, P., Proisy, C., Lucas, R., & Rosenqvist, A. (2013).

Mapping changes in the largest continuous Amazonian mangrove belt using

Page 103: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

95

object-based classification of multisensor satellite imagery. Estuarine,

Coastal and Shelf Science, 117, 83–93.

Noor, Y., Khazali, M., & Suryadiputra, I. (2006). Panduan pengenalan mangrove di

Indonesia. Bogor: Ditjen PHKA/Wetlan International - Indonesia

Programme.

Owen, T., Carlson, T., & Gillies, R. (1998). Remotely sensed surface parameters

governing urban climate change. Internal Journal of Remote Sensing, 19,

1663-1681.

Rahman, A., Dragoni, D., Didan, K., Bareto-Munoz, A., & Hutabarat, J. (2013).

Detecting large scale conversion of mangroves to aquaculture with change

point and mixed-pixel analyses of high-fidelity MODIS data. Remote

Sensing of Environment, 130, 96–107.

Reeves, R., Anson, A., & Landen, D. (1975). Manual of Remote Sensing (First

Edition ed.). Virginia: American Society of Photogrammetry.

Saenger, P. (2002). Mangrove ecology, silviculture and conservation. Dordrecht:

Springer Science+Business Media.

Samad, A., Bambang, A., & Afiati, N. (2013). Coastal people activity on mangrove

forest rehabilitation in Mahakam estuary. International Journal of Waste

Resources, 3(1), 34-39.

Seto, K., & Fragkias, M. (2007). Mangrove Conversion and Aquaculture

Development in Vietnam: A Remote Sensing - Based Approach for

Evaluating the Ramsar Convention on Wetland. GLobal Environmental

Change, 17, 486-500.

Setyawan, A., & Ulumuddin, Y. (2012). Species diversity of Rhizophora in

Tambelan Islands, Natuna Sea, Indonesia. Biodiversitas, 13(4), 172-177.

Sheue, C.-R., Yong, J., & Yang, Y.-P. (2005). The Bruguiera (Rhizophoraceae)

species in the mangrove of Singapore, especially on the new record and the

rediscovery. Taiwania, 50(4), 251-250.

Smith, T. (1992). Forest Structure. In A. Robertson, & D. Alongi (Eds.), Tropical

Mangrove Ecosystem (pp. 101-136). Washington DC: American

Geophysical Union.

Stevenson, N., Lewis, R., & Burbridge, P. (1999). Disused shrimp ponds and

mangrove rehabilitation. In W. Streever (Ed.), An International Perspective

on Wetland Rehabilitation (pp. 277-296). Kluwer Academic Publishers.

Sulong, I., Mohd-Lokman, H., Mohd-Tarmizi, K., & Ismail, A. (2002). Mangrove

mapping using Landsat imagery and aerial photographs: Kemaman district,

Terengganu, Malaysia. Environment, Development and Sustainability, 4,

135-152.

Tomlinson, P. B. (1995). The Botany of Mangroves. New York: Cambridge

University Press.

Page 104: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

96

Uddin, S., Hoque, A., & Abdullah, S. (2014). The changing landscape of mangroves

in Bangladesh compared to four other countries in tropical regions. Journal

of Forestry Research, 25(3), 605-611.

UNESCO. (1997). Methological guide to integrated coastal zone management.

France: Intergovernmental Oceanographic Commision, UNESCO.

Vaiphasa, C. (2006). Remote sensing techniques for mangrove mapping. Enschede,

Belanda: Disertasi. International Institute for Geo-Information Science &

Earth Observation.

van Zwieten, P., Sidik, A., Noryadi, Suyatna, I., & Abdunnur. (2006). Aquatic food

production in the coastal zone: Data-based perceptions on the trade-off

between mariculture and fisheries production of the Mahakam Delta and

estuary, East Kalimantan, Indonesia. In C. Hoanh, T. Tuong, J. Gowing, &

B. Hardy (Eds.), Environment and livelihoods in tropical coastal zones:

Managing agriculture - fishery - aquaculture conflict (pp. 219-236).

Wallingford, UK: CAB Internationa.

Van, T., Wilson, N., Thanh-Tung, H., Quishoudt, K., Quang-Minh, V., Xuan-Tuan,

L., . . . Koedam, N. (2015). Change in mangrove vegetation area and

character in a war and land use change affected region of Vetnam (Mui Ca

Mau) over six decades. Acta Oecologica, 63, 71-81.

Wang, L., Sousa, W., Gong, P., & Biging, G. (2004). Comparison of IKONOS and

QuickBird images for mapping mangrove species on the Caribbean coast of

Panama. Remote Sensing of Environment, 91(3-4), 432-440.

Watson, J. (1928). Mangrove forest of the Malay peninsula: Malayan forest record

No. 6. Malaysi: Federates Malay States.

Woodroffe, C. (1992). Mangrove Sediments and Geomorpholog. In M. Bowman, R.

Barber, C. Mooers, & J. Raven (Eds.), Tropical Mangrove Ecosystems (pp.

7-42). Washington, DC: American Geophysical Union.

Page 105: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

97

INDEKS

A

Avicennia, 7, 8 Avicennia marina, 4, 10 Avicenniaceae, 8

B

Bruguiera, 13

D

Delta Mahakam, 78 Langkah strategis pengelolaan, 67

Distribusi Mangrove, 1

J

Jendela atmosfer, 30

K

Karakteristik spektral, 36 optik, 37 Radar, 39

N

Nypa fruticans, 15

P

Pengelolaan mangrove, 62

tahapan pengelolaan, 60, 66 Penginderaan jauh, 27

R

Radiasi, 28 Rhizophora, 11

S

Silvikultur, 79 Silvofisheries, 70, 71, 72, 73, 74, 75,

76, 77, 78 survei lapangan, 25

T

Taksonomi mangrove, 6 tambak, 42 Tambak, 69 Transmisi energi, 31

V

Vivipary, 8

Z

Zonasi mangrove, 16

Page 106: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

98

Tentang Penulis

Nurul Ihsan Fawzi, lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, pada tanggal 19

Maret 1991. Memiliki hobi membaca dan bertualang, serta menonton anime.

Pendidikan S1 di tempuh pada program studi Kartografi Penginderaan Jauh,

Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Skripsi yang diselesaikan dengan

tema penginderaan jauh sistem termal untuk kajian perubahan tutupan lahan.

Sewaktu menyelesaikan S1, mendapatkan beasiswa unggulan program Fastrack

dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada

Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai,

Universitas Gadjah Mada. Selain pendidikan formal, telah banyak seminar

nasional dan internasional yang telah diikuti. Aktif juga dalam mengirim paper

dan tulisan untuk dipresentasikan dalam forum nasional maupun internasional.

Page 107: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

99

“Bila ada sebuah buku yang ingin kau baca tapi buku itu belum lagi ditulis, maka

engkaulah yang mesti menulis.”

Page 108: Mangrove - Karakteristik, Pemetaan, Dan Pengelolaannya

100