Manajemen kasus GA 1 aci+cover

21
LAPORAN PENUGASAN Manajemen Kasus dan Journal Reading Stase Ilmu Anastesi dan Reanimasi RSUD dr Soeroto Ngawi Disusun Oleh : Nama : Aci Dwi Lestari (09711060) Dosen Pembimbing Klinik : dr. Bambang T. Sp.An FAKULTAS KEDOKTERAN

description

balalalla

Transcript of Manajemen kasus GA 1 aci+cover

LAPORAN PENUGASANManajemen Kasus dan Journal Reading Stase Ilmu Anastesi dan ReanimasiRSUD dr Soeroto Ngawi

Disusun Oleh :

Nama :Aci Dwi Lestari (09711060) Dosen Pembimbing Klinik : dr. Bambang T. Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA2014

Manajemen Kasus General AnastesiSectio Caesarea (SC)

IDENTITASNama Pasien: Ny. DUmur: 21 Tahun Alamat: Pangkur KertoharjoPekerjaan: Ibu Rumah TanggaAgama: IslamNo RM: 150324

AnamnesisDiambil dari rekam medis pasien, diambil pada tanggal 28 Januari 20141. Keluhan Utama:OS merasakan kenceng-kenceng 2. Riwayat penyakit sekarang:Pasien datang ke rumah sakit rujukan dari puskesmas dengan GIP0A0.Pasien sudah mulai merasa kenceng-kenceng sejak pukul 01.00 tanggal 28 Januari 2014. Pasien merasa hamil 39 minggu, hari pertama mestruasi terakhir lupa. Pasien menikah pada usia 20 tahun, riwayat KB tidak ada.

3. Anamnesis Sistem Cerebrospinal: pusing (-), demam (-), kejang (-) Kardiovaskular: berdebar-debar (-), nyeri dada (-) Respirasi: sesak nafas (-), batuk (-) Digesti: mual (-), muntah (-), BAB normal (+) Urogenital : BAK normal (+) Integumentum: gatal-gatal (-), kemerahan (-) Muskuloskeletal: bengkak pada ekstremitas kaki (-)

4. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat DM ( - ) Riwayat HT (-) Riwayat asma (-) Riwayat alergi (-)5. Riwayat penyakit keluarga: Riwayat DM ( - ) Riwayat HT (-) Riwayat asma (-) Riwayat alergi (-)

Pemeriksaan FisikStatus Generalis Keadaan Umum: Keadaan umum: Tampak gelisah Kesadaran: Compos Mentis Berat badan: 47 kg Vital Sign:TD : 120/80 mmHgSuhu : 36,6 CNadi: 82 kali/menitRespirasi : 24 kali/menit Kepala: bentuk kepala normal, bulat Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Leher: simetris, massa (-), deviasi trakea (-), nyeri tekan (-), tiroid tidak terabamembesar Thorak: dada simetris, retraksi (-)Jantung: S1, S2 tunggal regulerPulmo: vesikuler +/+, rh -/-, wh -/- Abdomen: perut buncit, bekas operasi/scar (-), stria gravidarum (+) Ekstremitas : edema tungkai -/-, akral teraba dingin -/-

Pemeriksaan lokalis Regio abdominal- Inspeksi : perut buncit, stria gravidarum (+),umur kehamilan = 39 minggu 2 hari- Auskulatasi : DJJ (+)- Palpasi :TFU = 31 cm, HIS (+) jarang, letak kepala Vaginal toucher 1 cm, ketuban tidak ada,terabakepala pada sacrum depan kanan.

Pemeriksaan Penunjang :Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan darah lengkap tanggal 28-1-2014

Pemeriksaan gula darahGula Darah Sewaktu = 69 mg/dl Pemeriksaan HematologiWaktu Perdarahan (BT): 1 menit 30 detikWaktu Pembekuan (CT): 7 menit 30 detik

Diagnosis :GIP0A0 dengan letak kepala dan CPD

Terapi :Terapi non Farmakologis : -Terapi farmakologis: -Terapi Bedah: Sectio Caesarea

PENATALAKSANAAN ANESTESIPasien wanita usia 21 tahun dengan GIP0A0 dengan letak kepala dan CPDASA IBB: 47 kgTD: 138/72 mmHgN: 85 x/menit RR: 20x/menit AnamnesisAsma (-), Alergi (-), HT(-), DM(-), Gigi palsu (-), puasa (+) Konsul ke dokter Spesialis Anestesi jenis anestesi GA, obat ketamin dan roculax Teknik: semi closed inhalasi dengan ET No. 7.0 Premedikasi: - Induksi: Ketamin (120 mg) Pelumpuh otot: Roculax 20 mg Maintenance: O2 : N2O = 2 L : 2L; Isoflurane 20cc Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman anestesi,cairan, perdarahan.

Pasien Ny. D, 21 tahun, dengan diagnosis GIP0A0, letak kepala + CPD diantar ke ruang operasi untuk menjalani operasi Sectio Caesarea pada tanggal 28 Januari 2014 dengan menggunakan General Anestesi, ASA I. Operasi dilaksanakan pukul 10.00- 10.45 dan lama operasi 50 menit. Anastesi yang digunakan adalah ketamin dan roculax, dengan maintenance O2, N2O, dan Isoflurane.Pasien masuk ruang operasi pukul 09.30 .Kemudian dilakukan pemasangan alat-alat monitoring seperti tensimeter dan pulse oxymetri yang berguna untuk memantau keadaan pasien selama anestesi. Pada pasien ini sudah terpasang IV line. Keadaan umum pasien sebelum operasi adalah: - TD: 136/ 72 mmHg - Nadi: 85x/menit - Suhu: afebris - SpO2: 98% - BB : 47 kgSebelum pemberian induksi anestesi, pasien diberikan O2 8 Lpm selama 2 menit sebelum dimulainya pemasukan obat-obat anestesi dan tindakan anastesi. Kemudian pukul 10.00 dimasukkan induksi anestesi berupa ketamin 100 mg diikuti dengan injeksi Roculax 20mg sebagai muscle relaxant. Setelah pemberian induksi anestesi, dilakukan pengecekan refleks bulu mata dan rangsang nyeri untuk memastikan pasien sudah tertidur. Setelah pasien dipastikan tertidur, operasi dimulai pukul 10.05 dan dilakukan pemantauan keadaan pasien meliputi vital sign, cairan dan perdarahan tiap 5 menit.Setelah pemberian induksi anestesi, pasien diberikan oksigen menggunakan masker sebanyak 8 lpm dan dibantu dengan bagging selama 2 menit. Setelah itu dilakukan intubasi dengan ET No. 7.0 kemudian itu dilakukan pengecekan pada kedua lapang paru untuk memastikan ET telah masuk dengan pasti ke dalam paru dan posisinya simetris. ET kemudian dihubungkan dengan mesin ventilator dan diatur volume tidal menjadi 500cc. Ditambahkan dengan gas isoflurane 1% dan gas N2O. Obat-obatan lain yang diberikan antara lain injeksi Induxin 2 ampul dan injeksi asam traneksamat 500 mg IV 2 ampul serta injeksi Tramadol 100 mg IV1 ampul.Pukul 10.40 pemberian isoflurane dihentikan dan pada pasien diberikan bantuan nafas secara manual sampai pasien dapat bernafas secara spontan. Pukul 10.45 operasi selesai, dilakukan suction pada orofaring dan tindakan ekstubasi.Selama operasi berlangsung tidak terjadi hipotensi ataupun kenaikan tekanan darah yang berarti:Cairan yang masuk selama operasi 1500 ccPerdarahan selama operasi : +/- 350 cc Operasi berlangsung 45 menit Urin outpute : 200cc

Perawatan Post operasi :Beri O2 masker 6-8 LpmObservasi KU dan Vital Sign tiap 15 menit sampai dengan sadar penuhSadar penuh, bila mual (-), muntah (-), bising usus (+) coba untuk minum sedikitsedikitAlderet score 8 pindah ruangan RR.

Pembahasan Anastesi Persiapan Pra AnestesiSebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan dioperasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.Evaluasi pre operasi meliputi history taking, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

Adapun klasifikasi American Society of Anesthesiologists (ASA) adalah : ASA I :Pasien normal dan sehat fisik dan mental ASA II:Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasanfungsional ASA III: Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkanketerbatasan fungsi ASA IV:Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup danmenyebabkan ketidakmampuan fungsi ASA V: Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpaOperasi ASA VI:`Pasien mati otak yang organ tubuhnyadapat diambil.Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E (misalnya ASA IE atau ASA IIE).

Pasien Ny. D dengan usia 21 tahun dengan GIP0A0 dengan letak kepala + CPD akan menjalani Sectio Caesarea. Dari hasil anamnesis, pada pasien tidak terdapat alergi, asma, hipertensi dan diabetes mellitus sehingga pasien termasuk dalam klasifikasi ASA I, yaitu pasien normal, sehat fisik dan mental. Dari hasil pemeriksaan laboratorium semua dalam batas normal. Berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter spesialis anastesi, pada pasien ini akan dilakukan tindakan anastesi umum (general anestesi) dengan metode semi-closed intubation menggunakan pipa endotrakeal nomor 7.0 Pipa endotrakeal (ET) digunakan agar dapat mempertahankan bebasnya jalan napas. Sebelum dilakukan operasi, pasien diminta untuk puasa 6 jam sebelumnya untuk mencegah terjadinya regurgitasi lambung saat dilakukan operasi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam.

Periode IntraAnastesiAnestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit pada seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Pada anestesi umum, yang terpengaruh adalah saraf pusat. Kedalaman anastesi harus dimonitor secara terus menerus oleh pemberi anastesi agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi harus cukup adekuat untuk dilakukan operasi. Guedel membagi kedalaman anastesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita.a. Stadium I (stadium analgesia atau disorientasi). Stadium ini berlangsung mulaiinduksi anestesi hingga hilangnya kesadaran. Rasa nyeri belum hilang sama sekali sehingga hanya dapat dilakukan pembedahan kecil. Akhirstadium ini ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.b. Stadium II (stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium). Dimulai darihilangnya kesadaran dan hilangnya refleks bulumata sampai ventilasi kembali teratur. Terdapat depresiganglia basalis sehingga refleks-refleks tidak terkontrol ataureaksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan.c. Stadium III (stadium pembedahan). Mulai dari respirasi teratur sampai apnea. Stadium ini dibagi 4 plana: Plana 1 : ventilasi teratur, sifatnya thoraco abdominal, anak mata terfiksasi,kadang-kadang eksentrik, pupil miosis, reflek cahaya positif, lakrimasimeningkat, reflek faring dan muntah negatif, tonus otot mulai menurun. Plana 2 : ventilasi teratur, sifatnya abdominothoracal, volume tidal menurun, frekuensi napas meningkat, anak mata terfiksasi di tengah, pupil mulaimidriasis, refleks cahaya mulai menurun dan refleks kornea negatif. Plana 3 : ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena terjadi kelumpuhan sarafinterkostal, lakrimasi tidak ada, pupil melebar, anak mata sentral, reflekslaring dan peritoneum negatif, tonus otot makin menurun. Plana 4 : ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat (tersendat-sendat). Hal tersebutkarena otot diafragma lumpuh yang makin nyata pada akhirplana 4.tonus otot sangat menurun, pupil midriasis dan refleks sfingter ani dankelenjar air mata negatif.d. Stadium IV (stadium paralisis atau stadium kelebihan obat). Yaitu mulai henti napas (paralisis diafragma) hingga henti jantung.

Induksi Pemberian anastesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga penderita tertidur. Induksi yang diberikan pada pasien ini adalah ketamin 120 mg. Ketamin merupakan derivat penyclidin dengan rumus kimia 2-0-clhoropedryl-2-metylamino cyclohexanon HCL. Mempunyai sifat analgesik yang kuat, akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan kesadaran lingkungan yang salah (anestesia disosiasi). Ketamin meningkatkan aliran darah ke ke otak, konsumsi oksigen ke otak dan tekanan intrakranial, karena itu berbahaya memberikan ketamin pada pasien dengan peningkatan TIK. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik. Kenaikan rata-rata antar 20-25% dari tekanan darah semula mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga akan meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opiat. Aritmia jarang terjadi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin. Baik untuk penderita-penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anestesi umum yang masih ringan.Setelah medapatkan dosis anestesi secara intravena, 10-60 detik kemudian pasien menjadi tidak sadar. Refleks bulumata, korneal dan laringeal agak terdepresi. Tonus otot meningkat, sering terjadi gerakan involunter dan kadang-kadang bersuara, meskipun pasien mengalami amnesia. Dosis ketamin inravena adalah 1-4mg/kg BB dengan dosis rata-rata 2 mg/kgBB. Jika dilihat dari berat badan pasien (47 kg) maka dosis ketamin yang diperlukan pada pasien ini adalah 47-188 mg, sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian ketamin pada pasien ini sesuai dengandosis yang seharusnya diberikan.

IntubasiSelain ketamin, pada pasien ini juga diberikan obat muscle relaxant. Dimana muscle relaxant digunakan untuk menghambat transmisi neuromuskularsehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. Pada pasien ini digunakan obat muscle relaxant berupa Roculax 20 mg. Roculax adalah obat golongan muscle relaxant yang terkomposisi dari recuronium bromide yang merupakan nondepolarisasi aminosteroid. Dosis yang digunakan adalah 0,6-1,2 mg/kgBB. Jika dilihat dari berat badan pasien (47 kg) maka dosis roculax yang diperlukan pada pasien ini adalah 28,2-56,4 mg, sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian roculax pada pasien ini kurang dari dosisyang seharusnya diberikan.

MaintenanceUntuk maintenance digunakan O2, N2O dan isoflurane. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai dengan O2 minimal 25%.Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesiknya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 = 60% : 40%, 70% : 30%, 50% : 50%, 2 : 1. Pasien menerima O2 dan N2O dengan dosis masing-masing 2 lpm atau rasio 50% :50% sehingga memenuhi kriteria dari pemberian O2 minimal 25% dengan pemberian N2O. Pada akhir anestesi N2O dihentikan dan O2 ditingkatkan hingga 8 lpm.Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang minimal. Enfluran merupakan anestetika yang poten. Mendepresi SSP menimbulkan efek hipnotik. Isofluran juga mendepresi pernapasan seperti enfluran, tetapi depresi terhadap jantung minimal dibandingkan enfluran dan halotan. Isofluran mempunyai efek relaksasi otot yang baik dan berpotensi dengan obat relaksan. Pada kasus obstetri isofluran pada level anestesi tidak menimbulkan relaksasi uterus sehingga tidak menambah perdarahan.aliran darah otak dan tekanan intrakranial tidak dipengaruhi. Induksi dan masa pulih anestesi dengan isofluran cepat. Pemeliharaan anastesi antara 1-1,5% dengan kombinasi N2O dan O2. Pada pasien ini diberikan dosis isofluran 1% sehingga sudah sesuai dengan dosis yangdianjurkan.Pasien juga diberi injeksi Induxin IV sebanyak 2 ampul, injeksi Asam Traneksamat 500 mg IV 2 ampul, dan injeksi Tramadol 100 mgIV 1 ampul. Induxin dimasukkan setelah bayi dilahirkan untuk merangsang kontraksi uterus agar proses persalinan berjalan lebih cepat untuk kepentingan ibu dan fetus dan membantu menghasilkan kontraksi uterus pada kala III persalinan sehingga dapat mengontrol perdarahan postpartum. Dosis awal 1-4 mU/menit dan dapat dinaikkan 1-2 mU/menit dalam interval minimal 20 menit.Sedangkan asam tranekesamat adalah obat antifibrinolitik yang menghambat pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis dan pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolisis yang berlebihan dan angiodema hereditas. Tramadol sendiri merupakan analgesik kuat yang bekerja p ada reseptor opiat. Dosis yang dianjurkan adalah 500-1000 mg IV dengan injeksi lambat.Sedangkan Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga mengeblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Dosis tunggal 50 mg. Dosis tersebut biasanya cukup untuk meredakan nyeri, apabila masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg setelah selang waktu 30 60 menit. EkstubasiEkstubasi dilakukan sesaat sebelum pasien sadar. Namun sebelum ET dilepas dilakukan pembersihan jalan napas dari lendir dengan menggunakan suction sampaibersih supaya pernapasan lancar, kemudian balon ET dikempeskan selanjutnya baru dilepaskan. Setelah ekstubasi dipasang guedel dan pasien tetap diberikan O2 Selama kurang lebih 5-10 menit. Tindakan ekstubasi ini sudah sesuai seperti yang disebutkan dalam kepustakaan, dimana setelah operasi selesai faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction), dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasangpharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Ekstubasi juga dapat dilakukan bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah terjaga bebas (intact protective airway reflexes)

Program Penggantian CiranPada pasien ini perlu dinilai keseimbangan cairan. Keseimbangan cairan dapat dinilai dari input dan output cairan baik melalui produksi urin ataupun perdarahan dan intake cairan. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.Pada pasien, cairan yang masuk adalah 1500 cc dengan perdarahan 350cc dan urin output 200cc. Operasi berlangsung selama 45 menit. Diberikan cairan lewat kanula vena pada tangan kanan berupa cairan kristaloid ( RL ) sebanyak 1500 mL. Perhitungan cairan yang diberikan pada kasus ini adalah (BB=47 kg), puasa 6 jam, jumlah perdarahan (JP) 350 cc: Maintenance (M)= 2 cc/kgBB/jam= 2 x 47= 94 cc Stress Operasi (SO)= 6 cc/kgBB/jam= 6 x 47= 282 cc Pengganti puasa (PP)= M x jam puasa= 118 x 6= 708 cc EBV= 70 cc/kgBB= 70 x 47= 3290cc UBL= EBV x 20%= 4130 x 20%= 826 ccKebutuhan cairan M + SO + PP + 3 (JP)= 94 + 282 + 354 + 1050 = 1780 ccCairan yang masuk: 1500 cc Berdasarkan perhitungan di atas, dapat dikatakan bahwa pemberian cairan selama proses operasi masih kurang 280 cc,dapat diberikan pada saat pasien berada di ruang recovery.

PemulihanPasien diobservasi selama beberapa waktu di ruang pemulihan untukmeminimalkan komplikasi. Selama evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatanpascaanestesi (PACU) dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan tujuan dapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi yang timbul. Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensipemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam. Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang dimodifikasi

Modifikasi Aldrete Score

Kesadaran

Sadar penuhBangun bila dipanggilTidak ada respon210

RespirasiNafas dalam, bebas, batukSesak, nafas dangkal atau hambatanApnea210

Sirkulasi (TD dengan preanestesi)Perbedaan 20%Perbedaan 50%Perbedaan > 50%

210

Aktivitas4 ekstremitas2 ekstremitasTidak bergerak210

Saturasi OksigenSpO2> 92% dalam suhu ruangButuh penambahan O2 untuk SpO2> 90%SpO2< 92% dengan penambahan O2210

Aldrete score 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.