Manajemen Kasus-Asthma Bronkhiale

download Manajemen Kasus-Asthma Bronkhiale

of 26

description

ab

Transcript of Manajemen Kasus-Asthma Bronkhiale

LAPORAN MANAJEMEN KASUS

ASMA BRONKHIALE PERSISTEN SEDANGDERAJAT SERANGAN SEDANG

Disusun Oleh:

dr. Elsa W. ApriliaPUSKESMAS RAWAT INAP SUNGAI PINYUH

KABUPATEN MEMPAWAH2014BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangAsma bronkial merupakan kelainan saluran napas kronik yang merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, baik laki-laki maupun perempuan. (1) Dalam dekade terakhir ini prevalensi asma bronkial cenderung meningkat, sehingga masalah penanggulangan asma menjadi masalah yang menarik.Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli masih belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu ke waktu definisi asma terus mengalami perubahan. Definisi asma ternyata tidak mempermudah membuat diagnosis asma, sehingga secara praktis para ahli berpendapat: asma adalah penyakit paru dengan karakteristik 1) Obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2) Inflamasi saluran napas 3) Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas)Obstruksi saluran napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas, dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Di duga baik obstruksi maupun peningkatan respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki berbanding anak perempuan 1.5 : 1, tetapi menjelamng dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi asma dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-7%. Pada saat ini tersedia banyak jenis obat asma yang dapat diperoleh di Indonesia, tetapi hal ini tidak mengurangi jumlah penderita asma. Beberapa negara melaporkan terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas penderita asma (1). Hal ini antara lain disebabkan karena kurang tepatnya penatalaksanaan atau kepatuhan penderita. Bertambahnya pengetahuan dalam patogenesis asma mempunyai dampak positip terhadap penatalaksanaan asma. Ketika asma dianggap hanya sebagai suatu penyakit alergi, antihistamin dan kortikosteroid merupakan obat yang selalu digunakan dalam penatalaksanaan asma. Saat ini telah ditemukan konsep baru patogenesis asma bronkial sehingga mempengaruhi pola pengobatan asma.Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi reaktivasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka kematian akibat asma. (8) Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka pendek dapat menyebabkan kematian , sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun. Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan faktor alergi.BAB II

PENYAJIAN KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama

: Bp. B

Usia

: 36 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jln. Pancasila, Sui. Pinyuh

Pekerjaan

: Swasta

Tanggal Pemeriksaan : 9 Oktober 2014 pukul 06.45 WIB2.2AutoanamnesisRiwayat Pribadi Keluhan Utama: Sesak napas Keluhan Tambahan: Batuk berdahak Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke UGD Puskesmas Rawat Inap Sungai Pinyuh dengan keluhan napas terasa sesak. Keluhan dirasakan sejak pukul 02.00 WIB dini hari. Keluhan disertai dengan batuk berdahak. Pasien mengaku menderita penyakit asma bronkhiale sejak kecil. Gejala asma dirasakan setiap hari dan sesak napas dirasakan sering kambuh terutama pada tengah malam dan subuh. Serangan asma pada malam hari lebih dari 1 kali seminggu. Selain itu pasien mengaku sesak napas kambuh bila terpapar udara dingin. Sesak napas yang diderita oleh pasien mengganggu aktivitas dan waktu tidur.Saat datang ke UGD, pasien lebih senang duduk dan pasien berbicara dengan kalimat terbatas serta terdengar suara mengi yang cukup keras. Pasien mengaku tidak rutin kontrol ke dokter spesialis paru (Sp.P) dan tidak rutin mengkonsumsi obat. Pasien memiliki MDI (Metered Dose Inhaler) yang dibeli sendiri atas anjuran teman pasien yang kebetulan bekerja sebagai seorang apoteker. Saat datang ke UGD Puskesmas Sungai Pinyuh, pasien mengaku sudah menggunakan MDI (Metered Dose Inhaler) beberapa puff namun tidak ada perubahan. Pasien mengatakan tidak mengerti cara yang benar menggunakan MDI (Metered Dose Inhaler) dan mengira bahwa MDI (Metered Dose Inhaler) adalah Oksigen portable. Riwayat Penyakit DahuluAsma bronkhial (+) tidak rutin kontrol ke dokter spesialis paru (Sp.P) dan tidak rutin konsumsi obat. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit kronis

: disangkalRiwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan

( Sosial Ekonomi: cukup( Lingkungan: cukup baik

Anamnesis Sistem

a. Sistem serebrospinal: tidak kejang, sadar, composmentis

b. Sistem kardiovaskuler : sesak napas (-), berdebar- debar (-), nyeri dada sebelah kiri (-)c. Sistem pernapasan: sesak napas (+), batuk berdahak (+)

d. Sistem gastrointestinal: nyeri perut (-)

e. Sistem muskuloskeletal: dbn

f. Sistem urogenital: BAK (+) N, BAB (+) Ng. Sistem integumentum: dbn2.2. Pemeriksaan Fisik(Dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2014) Pemeriksaan Umum

Kesan Umum: tampak sesak napas, compos mentis, tampak gemuk Tanda VitalFrekuensi nadi

: 100 x/menit, teratur, isi dan tegangan besar

pada keempat ekstremitas.

Frekuensi napas

: 36 x/menit ekspirasi memanjang, mengi (+)Suhu aksilla

: 37,30 CTekanan darah

: 140/90 mmHgStatus GiziBerat Badan (BB) : 90 kgKulit

: tidak tampak adanya kelainanKelenjar Limfe: tidak teraba membesar Otot

: eutrofi, tidak terdapat tanda radang.Tulang

: tidak terdapat deformitas, tidak terdapat tanda radang.Sendi

: tidak terdapat deformitas, tidak terdapat tanda radang

Pemeriksaan KhususKepalaUkuran

: normosefalRambut

: hitam, tidak jarang, tidak mudah dicabut.

Ubun-ubun: menutup.

Matamata tidak cekung, sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak pucat, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+ , pupil isokor, diameter +4 mm.

Hidung : tidak ada sekret , tidak ada napas cuping hidung.

Telinga

: tidak ada sekret .

Mulut

: bibir tidak kering, lidah tidak kotor, tepi tidak hiperemis, tidak tremor, papil tidak atropi.

Tenggorokan: faring tidak hiperemis, tonsil tidak hipertrofi.

Gigi

: terdapat karies pada geraham

6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6

6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6

Leher kaku kuduk

: tidak ada.

kelenjar limfe : tidak teraba membesar desakan vena jugularis : tidak meningkatDada

Bentuk normal, simetrik, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi suprasternal, interkostal maupun subkostal. Hiperinflasi dada (+)a. Jantung

Inspeksi: iktus tidak tampak bergeser dan berada 2 jari medial (Spatium Intra Costa V) linea midclavicularis sinistra Palpasi: iktus kuat angkat, berdiameter 2 cm, Thrill (-), Heaving (-), Lift (-) Perkusi: Batas kanan atas: Spatium Intra Costa II linea parasternalis dekstra

Batas kanan bawah: Spatium Intra Costa IV linea parasternalis dekstra

Batas kiri atas: Spatium Intra Costa II linea parasternal sinistra

Batas kiri bawah:Spatium Intra Costa IV linea medioclavicularis sinistra Auskultasi: tidak terdengar gallop, tidak terdengar bising sistolik maupun diastolik.b. Paru-paru

Kanan

Kiri

InspeksiSimetrik, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi. Hiperinflasi dada (+)Simetrik, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi. Hiperinflasi dada (+)

PalpasiSimetrik,tidak ada ketinggalan gerak, fremitus normalSimetrik, tidak ada ketinggalan gerak, fremitus normal

PerkusiHipersonor, batas paru-hati sela iga VIHipersonor

AuskultasiVesikular menurun, tidak terdapat ronkhi basah halus/ krepitasi namun terdapat wheezingVesikular menurun, tidak terdapat ronkhi basah halus/ krepitasi namun terdapat wheezing (-)

Abdomen

Inspeksi: permukaan dinding perut setinggi dinding dada, distensi(-)

Auskultasi: bising usus normal.

Perkusi: timpani.Palpasi: supel, turgor dan elastisitas normal, nyeri tekan (-)

Hati

: tidak teraba.

Limpa: tidak teraba.AnogenitalAnus

: tidak ada kelainan.

Genital

: organ genitalia masculina eksterna tidak ada kelainanAnggota gerak: akral hangat, perfusi jaringan baik, telapak tangan tidak pucat, tidak terdapat adanya edema pitting pada ekstremitas inferior dextra dan sinistra2.3 Diagnosis HolistikI (aspek personal)

: sesak napas disertai batuk berdahakII (aspek klinik)

: asma bronkhiale persisten sedang derajat serangan sedang

III (aspek risiko internal): -IV (aspek psikososial keluarga): -V (derajat fungsional): -2.4 Terapi Oksigen via nasal kanul 5 Liter/menit Salbutamol 2 mg / 8 jam per oral Ambroxol 30 mg / 8 jam per oral Kortikosteroid 40 mg dosis terbagi 16 mg 12 mg 12 mg selama 3 hari

Edukasi mengenai cara penggunaan MDI (Metered Dose Inhaler) yang benar Edukasi untuk menghindari faktor pencetus asma (udara dingin) Edukasi mengenai pentingnya rutin kontrol dan mengkonsumsi obatBAB III

ANALISIS KASUS

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan terhadap pasien, didapatkan sesak napas dan batuk berdahak. Awal mula sesak napas terjadi pada pukul 02.00 WIB pagi hari. Dari anamnesis didapatkan pasien merupakan penderita asma bronkhiale tetapi tidak rutin kontrol ke dokter spesialis paru (Sp.P) dan tidak rutin mengkonsumsi obat. Pasien mengaku sering menggunakan MDI (Metered Dose Inhaler) saat sesak napas. MDI (Metered Dose Inhaler) diperoleh dari salah satu teman pasien yang kebetulan bekerja sebagai seorang apoteker.Dari keseluruhan anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan, keluhan pasien mengarah kepada asma bronkhiale persisten sedang derajat serangan sedang. Kebiasaan pasien yang tidak rutin kontrol ke dokter spesialis paru (Sp.P) dan tidak rutin mengkonsumsi obat serta menggunakan MDI (Metered Dose Inhaler) tanpa petunjuk yang jelas makin memperparah sesak napas yang ia alami.

Setelah diagnosis ditegakkan, dilakukan tindakan berupa pemberian oksigen via nasal kanul 5 Liter/menit; pemberian Salbutamol (2 mg), Ambroxol (30 mg) dan Methylprednisolon (40 mg) per oral. Tujuan dilakukannya pemberian oksigen agar saturasi oksigen dapat terpelihara (Sa O2 92%) sedangkan pemberian Salbutamol (Agonis eta 2) adalah sebagai bronkodilator (melebarkan saluran napas), Ambroxol sebagai sekretolitik (pengencer mukus, meningkatkan klirens mukus) dan Methylprednisolon (Kortikosteroid) untuk mengurangi inflamasi dan mencegah kekambuhan. Pasien juga diberikan edukasi mengenai cara menggunakan MDI (Metered Dose Inhaler) dengan benar, menghindari faktor pencetus asma (udara dingin), rutin kontrol ke dokter spesialis paru (Sp.P) dan mengkonsumsi obat. BAB IV

PEMBAHASAN4.1Definisi Asma BronkhialeAsma adalah penyakit paru dengan karakteristik 1) Obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2) Inflamasi saluran napas 3) Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas)4.2Etiologi Asma BronkhialeFaktor-faktor pencetus pada asma yaitu: 1) Infeksi virus saluran pernapasan: Influenza2) Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang3) Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi4) Kegiatan jasmani: lari

5) Ekspresi emosional takut, marah, frustasi6) Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-steroid7) Lingkungan kerja: uap zat kimia

8) Polusi udara; asap rokok

9) Pengawet makanan: sulfit

10) Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis

Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah.4.3Patogenesis Asma BronkhialeAsma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf.(2)Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respons bronkus biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas, atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus .Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel bronkus dan dinding alveolus, sel mast mengandung neutral triptase. Triptase mempunyai bermacam aktivitas proteolitik antara lain aktivasi komplemen, pemecahan fibrinogen dan pembentukan kinin. Sel mast mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin, prostaglandin-D2 (PGD2), dan Leukotrien-C4 (LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi. Sel mast juga mengeluarkan enzim tripase yang dapat memecah peptida yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. VIP bersifat sebagai bronkodilator . Heparin berperan dalam mekanisme anti inflamasi , heparin mengubah basic protein yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi tidak aktif.Makrofag terdapat pada lumen saluran nafas dalam jumlah banyak, diaktivasi oleh Ig E dependent mechanism sehingga makrofag berperan dalam proses inflamasi pada penderita asma. Makrofag melepaskan mediator seperti tromboksan A2, prostaglandin, platelet activating factor, leukotrien-B4 (LTB4), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), reaksi komplemen dan radikal bebas oksigen. Berbeda dengan sel mast, pelepasan mediator oleh makrofag dapat dihambat dengan pemberian steroid tetapi tidak oleh golongan agonis beta-2. (3)Infiltrasi eosinofil di saluran napas, merupakan gambaran khas untuk penderita asma. Inhalasi alergen menyebabkan peningkatan eosinofil pada cairan bilasan bronkoalveolar pada saat itu dan beberapa saat sesudahnya (reaksi lambat). Terdapat hubungan langsung antara jumlah eosinofil pada darah perifer dan pada bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif bronkus. Eosinofil melepaskan mediator seperti LTC4, platelet activating factor (PAF), radikal bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinofil derived neurotoxin (EDN) yang bersifat sangat toksik untuk saluran napas. (2,3)Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja. Neutrofil diduga menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrien-B4 (LTB4), dan PAF.Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon inflamasi asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen reseptor complemen-D3 (CD3). Secara fungsional CD3 dibagi menjadi 2 yaitu CD4 dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi oleh antigen, akan melepaskan mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat mengumpulkan dan mengaktifkan sel granulosit. Limfosit T CD4 merupakan sumber terbesar dari IL-5. Zat IL-5 dapat merangsang maturasi dan produksi sel granulosit dari sel prekursor, memperpanjang kehidupan sel granulosit dari beberapa hari sampai beberapa minggu, bersifat kemotaksis untuk sel eosinofil, merangsang eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon efektor, mengaktivasi limfosit B untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun. (1,3)Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa . Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini mungkin dapat menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel bronkus dan trakea dapat membentuk PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15 hydroxyicosotetraenoic (12-HETE dan 15-HETE). 15-HETE bersifat kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap terjadinya hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai submukosa yang seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot polos bronkus terhadap bahan spasmogen. Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung saraf perifer langsung terkena paparan atau teraktivasi oleh mediator inflamasi sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi melalui mekanisme akson refleks. Sel epitel mungkin dapat memproduksi enzim yang merusak mediator, yaitu neutral actoenzym endopeptidase yang dapat merusak bradikinin dan substan-P. (2,4)Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrin dapat menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan edema saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang konstraksi otot polos bronkus. Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan peningkatan kebocoran mikrovaskuler , hal ini berperan dalam terjadinya asma pada malam hari. (4)Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf otonom . Saraf otonom mengatur fungsi saluran nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi . Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena rangsangan reseptor sensorik pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh mediator inflamasi. (2,4)Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin yang beredar dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah. (2,4)4.4Diagnosa dan Klasifikasi Asma Bronkhiale

Diagnosa penyakit asma bronkial perlu dipikirkan bilamana ada gejala batuk yang disertai dengan wheezing (mengi) yang karakteristik dan timbul secara episodik. Gejala batuk terutama terjadi pada malam atau dini hari, dipengaruhi oleh musim, dan aktivitas fisik. Adanya riwayat penyakit atopik pada pasien atau keluarganya memperkuat dugaan adanya penyakit asma. Pada anak dan dewasa muda gejala asma sering terjadi akibat hiperaktivitas bronkus terhadap alergen, banyak diantaranya dimulai dengan adanya eksim, rinitis, konjungtivitis, atau urtikaria. Penderita asma yang tidak memberikan reaksi terhadap tes kulit maupun uji provokasi bronkus, tetapi mendapat serangan asma sesudah infeksi saluran napas, disebut asma idiosinkrasi. Dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakit alergi yang pertama kali muncul pada usia tahun pertama anak, kemudian dapat berkembang menjadi alergi respiratorik. Penyakit penyerta seperti otitis media, konjungtivitis, rinitis, polip hidung, sinusitis, atau hiperplasia tonsil sering ditemukan. Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, gambaran radiologis paru dan test provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan berat ringannya obstruksi saluran napas, variasi dari fungsi saluran napas, evaluasi hasil terapi, dan beratnya serangan asma. Variasi nilai arus puncak ekspirasi (APE) 20% antara pagi dan sore hari mempunyai nilai diagnostik terhadap asma, dan dapat menentukan derajat hiperreaktivitas bronkus. Hal lain yang mendukung diagnosa asma antara lain: adanya variasi pada arus puncak ekspirasi (APE) 15 % pada pagi dan sore hari, kenaikan 15% pada APE atau volume ekspirasi detik 1 (VEP1) setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi, penurunan > 20% VEP1 setelah uji provokasi bronkus. (5) Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi antibodi Ig E. Uji provokasi bronkus dapat menentukan derajat beratnya hiperreaktivitas bronkus. Untuk uji provokasi dapat dilakukan inhalasi dengan histamin, metakolin, sulfur dioksis, air dingin, atau dengan latihan fisik.Pemeriksaan radiologis dilakukan hanya untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit paru lain. Pemeriksaan patologi ditemukan adanya hipertrofi otot polos bronkus, peningkatan sekresi mukus dalam lumen bronkus, edema pada mukosa saluran nafas, inflamasi pada dinding dan lumen saluran napas dengan infiltrasi sel eosinofil dan netrofil. (5,6)Kay (6) membagi obstruksi bronkus atas 3 fase utama yaitu fase cepat (spasmogenik), fase lambat menetap (late,sustained), fase subakut/kronik. Fase cepat identik dengan respon awal yang terlihat pada uji provokasi bronkus. Ciri utamanya adalah pelepasan histamin sebagai mediator utama yang mengakibatkan spasme otot polos bronkus, reaksi ini terjadi sangat cepat dan berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat menghilang dengan sendirinya atau kemudian diikuti fase lambat menetap. Fase lambat menetap ditandai oleh spasme bronkus dan akumulasi sel-sel neutrofil, dengan mediator utamanya adalah leukotrin, prostaglandin dan tromboksan. Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau lebih. Pada fase subakut, reaksi inflamasi merupakan ciri utamanya dan terdapat infiltrasi eosinofil dan sel mononuklear. Fase lambat menetap dan fase subakut sangat mempengaruhi terjadinya asma kronis.

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Berat Serangan Asma

RinganSedangBerat

AktivitasDapat berjalan

Dapat berbaring

Jalan terbatas

Lebih suka dudukSukar berjalan

Duduk membungkuk ke depan

BicaraBeberapa kalimatKalimat terbatasKata demi kata

KesadaranMungkin tergangguBiasanya tergangguBiasanya terganggu

Frekuensi napasMeningkatMeningkatSering > 30 x/menit

Retraksi otot-otot bantu napasUmumnya tidak ada

Kadang kala adaAda

MengiLemah sampai sedangKerasKeras

Frekuensi nadi< 100

100-120>120

Pulsus paradoksusTidak ada

(< 10 mmHg)

Mungkin ada

(10-25 mmHg)Sering ada

(> 25 mmHg)

APE sesudah bronkodilator

(% prediksi)> 80 %

60-80 %< 60 %

PaCO2< 45 mmHg< 45 mmHg< 45 mmHg

SaO2> 95 %91-95 %< 90 %

4.5 Manajemen Asma Bronkhiale

Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka kematian akibat asma. (8)Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka pendek dapat menyebabkan kematian, sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun. Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor alergi banyak ditemukan dalam rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan, jamur, dan alergen di luar rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi udara. Obat aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor pencetus asma. Olah raga dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Psikoterapi dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma.Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu reliever dan controller. Reliever adalah obat yang cepat menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi saluran napas . Controller adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Obat yang termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin,dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis Beta-2 mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler , dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat agonis beta-2 seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol dan isoprenalin, merupakan obat golongan simpatomimetik . Efek samping obat golongan agonis beta-2 dapat berupa gangguan kardiovaskuler, peningkatan tekanan darah, tremor, palpitasi, takikardi dan sakit kepala . Pemakaian agonis beta-2 secara reguler hanya diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak dapat lepas dari bronkodilator. ( 5,8,9 ) Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya ipratropium bromid dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase dan menghambat pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan dengan kerja obat agonis beta- 2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratropium bromid digunakan sebagai obat tambahan jika pemberian agonis beta-2 belum memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita yang disertai dengan bronkitis yang kronis.Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat bronkodilator yang lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena efektif, aman, dan harganya murah . Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali, pada orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek samping yang ditimbulkan pada pemberian teofilin peroral terutama mengenai sistem gastrointestinal seperti mual, muntah, rasa kembung dan nafsu makan berkurang. Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi , takikardi dan aritmia, stimulasi sistem saraf pusat . ( 5,8,9)Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil , dan antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat dapat juga digunakan sebagai controller. Natrium kromoglikat dapat mencegah bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap lebih aman daripada kortikosteroid . Perkembangan terbaru natrium kromoglikat menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi belum mendapat hasil yang optimal.Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma., biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik seperti rinitis alergi. Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma.Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang paling kuat . Kortikosteroid menekan respons inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin. Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang dipengaruhi oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid peroral dapat diberikan secara intermiten beberapa hari dalam sebulan atau dosis tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis tunggal pagi hari. (8,9,10) Pemberian kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek samping pada saluran cerna seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis, peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri, hipokalemi, moonface, retensi natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom , bullneck dan yang paling ditakutkan adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal. (10) Efek samping timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama, maka lebih baik diberikan obat steroid kerja pendek misalnya prednison, hidrokortison, atau metilprednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral , kemudian diturunkan secara bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison diberikan 4 mg/kgBB secara bolus diikuti 3mg/kgBB/6jam. Metilprednisolon diberikan 50-100 mg/6 jam secara intravena. Sekarang ini tersedia kortikosteroid dalam bentuk inhalasi seperti budesonide, fluticasone. Dosis budesonide inhalasi untuk orang dewasa bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600 mikrogram /hari dibagi dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk anak dianjurkan 200-400 mikrogram/hari dibagi dalam 2-4 dosis.Pemberian kortikosteroid secara inhalasi lebih baik dibandingkan pemberian secara sistemik, karena konsentrasi obat yang tinggi pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernafasan dan bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek samping sistemik yang lebih kecil. (7,11,12) Penelitian dari Agertoft dan Pedersen (13) menunjukkan bahwa pemakaian budesonide tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid sistemik pada penderita asma kronik yang berat. Efek samping yang sering ditimbulkan dapat berupa kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi paru, dan kerusakan mukosa. Pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan bronkospasme pada penggunaan kortikosteroid inhalasi. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa penggunaan kortikosteroid secara inhalasi tidak menyebabkan terjadinya osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan gangguan toleransi glukosa. (7,11,13) Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek samping, maka sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan pemberian obat inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat bekerja langsung pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan efek samping yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan yang lebih baik.4.6 Manajemen Asma Bronkhiale AkutTujuan pengobatan serangan asma yaitu: a) menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera b) mengatasi hipoksemia c) mengembalikan fungsi paru ke arah normal secepat mungkin d) mencegah terjadinya serangan berikutnya e) memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-cara mengatasi dan mencegah serangan asma.

Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE, dan bila mungkin analisis gas darah. Hal lain yang juga perlu diketahui apakah pasien termasuk pasien asma beresiko tinggi untuk kematian karena asma, yaitu pasien yang:

Sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sistemik. Riwayat rawat inap atau kunjungan ke unit gawat darurat karena asma dalam setahun terakhir

Gangguan kejiwaan atau psikososial

Pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan.

Prinsip pengobatan asma akut adalah memelihara saturasi oksigen yang cukup (Sa O2 92%) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluran napas dengan pemberian bronkodilator aerosol (agonis eta 2 dan Ipratropium bromida) dan mengurangi inflamasi serta mencegah kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid sistemik. Pemberian oksigen 1-3 liter/menit, diusahakan mencapai Sa O2 92%, sehingga bila pasien telah mempunyai Sa O2 92% sebenarnya tidak lagi membutuhkan inhalasi oksigen.Bronkodilator khususnya agonis eta 2 hirup (kerja pendek) nerupakan obat anti-asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan atau sedang, pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk mengatasi serangan. Obat-obat anti-asma yang lain seperti antikolinergik hirup, teofilin, dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat alternatif karena mula kerja yang lama serta efek sampingnya lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis agonis beta 2 hirup dapat ditingkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan pemberian kombinasi Ipratropium bromida dengan salbutamol, karena dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya pengobatan.

Kortikosteroid sistemik diberikan bila respon terhadap agonis beta 2 hirup tidak memuaskan. Dosis prednisolon antara 0.5-1 mg/kgBB atau ekuivalennya. perbaikan biasanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan diteruskan untuk beberapa hari. Tetapi bila tidak ada perbaikan atau minimal, segera pasien dirujuk kefasilitas pengobatan yang lebih baik.

Pasien harus segera dirujuk bila: 1) Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena Asma 2) Serangan Asma berat APE < 60% nilai prediksi 3) Respon bronkodilator tidak segera, dan bila respon hanya bertahan kurang dari 3 jam 4) Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah mendapatkan pengobatan Kortikosteroid 5) Gejala asma makin memburuk.