manajemen hipertensi dlm kehamilan

37
BAB 2. PEMBAHASAN 2.1 Hipertensi Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi batas normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah tepi dan peningkatan volume aliran darah (Riaz et al., 2014). Klasifikasi hipertensi dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Normal < 120 < 80 Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89 Hipertensi Stadium I 140 – 159 90 – 99 Hipertensi Stadium II 160 110 Sumber: POGI (2010) 2.2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai batasan hipertensi pada kehamilan. Klasifikasi dan

description

interna

Transcript of manajemen hipertensi dlm kehamilan

Page 1: manajemen hipertensi dlm kehamilan

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan tekanan

darah baik sistolik maupun diastolik. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana

tekanan darah meningkat melebihi batas normal. Batas tekanan darah normal

bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi,

walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi

essential). Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan

denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah tepi dan

peningkatan volume aliran darah (Riaz et al., 2014). Klasifikasi hipertensi dapat

dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi HipertensiKlasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89Hipertensi Stadium I 140 – 159 90 – 99Hipertensi Stadium II 160 110

Sumber: POGI (2010)

2.2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai batasan hipertensi pada

kehamilan. Klasifikasi dan batas yang banyak dipakai di luar negeri dan di

Indonesia, serta yang direkomendasikan dari The National High Blood Pressure

Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy,

adalah hipertensi kronis, preeklamsia dan eklamsia, preeklamsia pada hipertensi

kronis, serta hipertensi gestasional (transien) (Sedyawan, 2004; Carson dan

Gibson, 2014).

2.2.1 Hipertensi Kronis

a. Definisi

Hipertensi kronis pada masa kehamilan didefinisikan sebagai kondisi

tekanan darah sekurang-kurangnya sistolik 140 mmHg dan dengan tekanan darah

Page 2: manajemen hipertensi dlm kehamilan

3

diastolik sekurang-kurangnya 90 mmHg pada masa sebelum kehamilan atau

sebelum 20 minggu usia kehamilan (Carson dan Gibson, 2014).

b. Etiologi

Penyebab terjadinya hipertensi kronis dalam kehamilan dapat dibagi menjadi

(POGI, 2010):

1) Primer (idiopatik): 90 %

2) Sekunder: 10%, yang berhubungan dengan penyakit ginjal, penyakit endokrin

(diabetes mellitus), penyakit hipertensi, dan vaskular.

c. Diagnosis

Diagnosis hipertensi kronis tegak jika (Departemen Kesehatan RI, 2013):

1) Tekanan darah 140/90 mmHg

2) Sudah ada riwayat hipertensi sebelum kehamilan, atau diketahui adanya

hipertensi pada usia kehamilan kurang dari dua puluh minggu

3) Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes carik celup urine)

4) Dapat disertai keterlibatan organ lain seperti mata, jantung, dan ginjal.

Berdasarkan risiko yang mungkin timbul, hipertensi kronis dapat dibagi menjadi

(POGI, 2010):

1) Risiko rendah

Hipertensi ringan tanpa disertai kerusakan organ

2) Risiko tinggi

Hipertensi berat atau hipertensi ringan disertai dengan perubahan patologis,

klinis, maupun biologis, sebagai tanda kerusakan organ.

Kriteria risiko tinggi pada hipertensi kronis yaitu (POGI, 2010):

1) Hipertensi berat

Tekanan darah lebih dari sama dengan 160 / 110 mmHg sebelum dua puluh

minggu umur kehamilan.

2) Hipertensi ringan

Hipertensi ringan kurang dari dua puluh minggu umur kehamilan dengan tanda

dan gejala berikut:

Page 3: manajemen hipertensi dlm kehamilan

4

a) Pernah preeklamsia

b) Umur ibu > 40 tahun

c) Hipertensi 4 tahun

d) Adanya kelainan ginjal

e) Adanya diabetes mellitus

f) Kardiomiopati

g) Meminum obat antihipertensi sebelum hamil.

d. Tatalaksana

Alasan utama untuk mengobati hipertensi kronis pada kehamilan adalah

untuk mengurangi morbiditas ibu terkait hipertensi. Pengelolaan ini bertujuan

untuk menekan risiko ibu terhadap kenaikan desakan darah dan menghindari

pemberian obat-obatan yang membahayakan janin (POGI, 2010). Tatalaksana

umum dalam pengobatan hipertensi yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2013):

1) Anjurkan istirahat lebih banyak

2) Pada hipertensi kronis, penurunan tekanan darah ibu akan mengganggu perfusi

serta tidak ada bukti-bukti bahwa tekanan darah yang normal akan

memperbaiki keadaan janin dan ibu

a) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapat obat antihipertensi, dan terkontrol

dengan baik, lanjutkan pengobatan tersebut. Namun, jika antihipertensi itu

golongan ACE inhibitor, ARB, dan klorotiazid, berikan penjelasan bahwa

antihipertensi tersebut dikontraindikasikan pada ibu hamil.

b) Jika tekanan diastolik 110 mmHg atau tekanan sistolik 160 mmHg, berikan

antihipertensi

c) Jika terdapat proteinuria atau tanda-tanda dan gejala lain, pikirkan

superimposed preeklampsia dan tangani seperti preeklamsia

3) Berikan suplementasi kalsium 1,5-2 g/hari dan aspirin 75 mg/hari mulai dari

usia kehamilan dua puluh minggu

4) Pantau pertumbuhan dan kondisi janin

5) Jika tidak ada komplikasi, tunggu sampai aterm

Page 4: manajemen hipertensi dlm kehamilan

5

6) Jika denyut jantung janin <100 kali/menit atau >180 kali/menit, tangani seperti

gawat janin

7) Jika terdapat pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminal kehamilan.

Obat-obatan antihipertensi yang dianjurkan selama kehamilan adalah (POGI,

2010):

1) Pilihan pertama, methyldopa, 0,5-3,0 g/hari, dibagi dalam 2-3 dosis

2) Pilihan kedua, nifedipine, 30-120 g/hari, dalam slow-realese tablet, harus

diberikan per oral.

e. Komplikasi

Wanita dengan hipertensi kronis berisiko cukup besar mengalami

preeklampsia, yang pada gilirannya, secara substansial meningkatkan risiko

persalinan prematur dan komplikasi kehamilan lain seperti solusio plasenta dan

hambatan pertumbuhan janin. Hal ini juga dapat mengakibatkan terjadinya

disfungsi hepar, gagal ginjal, serta tendensi timbulnya perdarahan yang meningkat

dan perburukan kearah eklampsia (Cunningham, et al., 2014a).

Pada janin sendiri dapat terjadi bermacam – macam gangguan sampai

kematian janin dimana efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita

hamil akan merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga mengganggu pertukaran

oksigen dan nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin. Hal ini bisa menyebabkan

prematuritas plasental dengan akibat pertumbuhan janin yang lambat dalam

rahim, bahkan kematian janin (Cunningham, et al., 2014a).

f. Prognosis

Pada wanita dengan hipertensi kronis, risiko mortalitas ibu meningkat dari

10 dalam 100.000 menjadi 230 dalam 100.000 kelahiran hidup. Insidensi solusio

plasenta meningkat dari 1 dalam 150 pada wanita non hipertensif menjadi 1 dalam

50 pada wanita dengan hipertensi kronis, risiko ini semakin meningkat pada

perokok. Wanita dengan hipertensi kronis berisiko mengalami preeklampsia,

penyulit ini timbul pada paling sedikit 25 persen wanita (Cunningham, et al.,

2014a).

Page 5: manajemen hipertensi dlm kehamilan

6

g. Pencegahan

Pencegahan terjadinya komplikasi pada hipertensi kronis dalam kehamilan

dapat dilakukan dengan cara (Cunningham, et al., 2014a; Departemen Kesehatan

RI, 2013):

1) Istirahat cukup

2) Mengatur diet, yaitu dengan meningkatkan konsumsi makanan yang

mengandung protein dan mengurangi makanan yang mengandung karbohidrat,

serta lemak

3) Kalau keadaan memburuk, tetapi memungkinkan bayi untuk dilahirkan,

pertimbangkan untuk segera melahirkan bayi, demi keselamatan ibu dan bayi.

2.2.2 Preeklamsia

a. Definisi

Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau

edema setelah umur kehamilan dua puluh minggu atau segera setelah persalinan.

Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan dua puluh minggu pada penyakit

trofoblas (POGI, 2010).

b. Etiologi dan Faktor Risiko

Belum ada teori yang secara jelas menjelaskan mengenai penyebab

terjadinya preeklampsia dan eklampsia. Namun, sebagian besar teori yang sudah

ada menyebutkan bahwa terjadinya preeklampsia dan eklampsia berhubungan

dengan peningkatan faktor risiko yang terdapat pada pasien. Terdapat beberapa

faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia dan eklampsia yang dapat

dikelompokkan sebagai berikut (Cunningham, et al., 2014b; POGI, 2010):

1) Faktor kehamilan

a) Nullipara

Nullipara merupakan wanita yang belum pernah melahirkan bayi yang mampu

hidup di luar rahim. Kejadian preeklampsia meningkat pada nullipara karena

ibu berada pada masa awal terpapar trofoblas yang berasal dari janin.

Page 6: manajemen hipertensi dlm kehamilan

7

b) Gemelli

Wanita dengan kehamilan kembar (gemelli) lebih berisiko terkena

preeklampsia dengan insidensi antara wanita hamil kembar dan wanita hamil

tunggal yaitu 13% versus 5% (dari seluruh kehamilan).

c) Mola hidatidosa

Mola hidatidosa merupakan penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan

kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh vili korialis mengalami

perubahan hidrofik. Mola hidatidosa menyebabkan gangguan invasi sel

trofoblas ke dalam arteri spiralis sehingga dapat terjadi preeklampsia dengan

onset lebih cepat yaitu sebelum usia kehamilan 20 minggu.

2) Faktor sosio-demografi

a) Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

Usia < 20 tahun berhubungan dengan usia kehamilan yang terlalu muda dan

keterkaitan dengan status nullipara. Usia > 35 tahun meningkatkan risiko

preeklampsia berkaitan dengan terjadinya kerusakan endotel pembuluh darah

yang progresif seiring dengan penuaan ibu dan obstruksi lumen arteri spiralis

ibu oleh aterosklerosis.

b) Ras Afrika dan Amerika

Preeklampsia pada wanita dengan Ras Afrika dan Amerika terjadi dengan

onset yang lebih cepat dan efek yang lebih parah, dibandingkan dengan wanita

ras lainnya, tanpa sebab yang jelas.

3) Faktor genetik

Riwayat preeklampsia dalam keluarga. Preeklampsia dapat diturunkan kepada

anak perempuan dengan sifat bawaan yang resesif.

4) Faktor gaya hidup maternal

Obesitas merupakan salah satu gaya hidup yang menjadi faktor penyebab

preeklampsia. Kejadian preeklampsia meningkat dari 4,3% (dari seluruh

kehamilan) untuk wanita dengan indeks massa tubuh < 20 kg/m2 menjadi

13,3% (dari seluruh kehamilan) untuk mereka dengan indeks massa tubuh > 35

kg/m2.

Page 7: manajemen hipertensi dlm kehamilan

8

5) Riwayat penyakit sebelumnya

a) Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

Wanita dengan preeklampsia pada kehamilan pertama berisiko tujuh kali lipat

mengalami preeklampsia pada kehamilan selanjutnya.

b) Hipertensi kronis

Wanita dengan hipertensi kronis berisiko mengalami preeklampsia dengan

insidensi sebesar 12,1% dibandingkan wanita dengan normotensi yang

insidensinya sebesar 0,3% (dari seluruh kehamilan).

c) Diabetes mellitus

Wanita dengan diabetes mellitus sebelum hamil berisiko empat kali lipat

mengalami preeklampsia pada kehamilannya.

c. Patofisiologi

Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan terjadinya preeklampsia dan

eklampsia, yaitu (Cunningham, et al., 2014b; POGI, 2010):

1) Teori kelainan vaskularisasi

Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas

ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan  degenerasi lapisan

otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki

jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan

memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini

memberi dampak penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan

peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke

janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat

menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan

tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan

matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras

sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan

vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi,

sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan

iskemia plasenta.

Page 8: manajemen hipertensi dlm kehamilan

9

Gambar 2.1 Invasi trofoblas dalam kehamilan normal dan preeklampsia

(Sumber: Cunningham, et al., 2014b)

2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan

(radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta yang

iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap

membran sel endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran sel

yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.

Peroksida lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan merusak

nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap peroksida

lemak maka akan terjadi disfungsi endotel, yang akan berakibat:

a) Gangguan metabolisme prostaglandin

b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.

Agregasi trombosit memproduksi tromboksan, yang merupakan

vasokonstriktor kuat. Pada hipertensi dalam kehamilan kadar tromboksan lebih

tinggi sehingga terjadi vasokontriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah

c) Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus

d) Peningkatan permeabilitas kapiler

e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, seperti endotelin

f) Peningkatan faktor koagulasi.

Page 9: manajemen hipertensi dlm kehamilan

10

3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen Protein G

(HLA-G) yang berfungsi sebagai berikut:

a) HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh NK-cell

ibu, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta)

b) HLA-G mempermudah invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.

Namun, pada plasenta penderita hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan

ekspresi HLA-G. Penurunan HLA-G akan menghambat invasi trofoblas ke

dalam desidua. Padahal, invasi trofoblas penting, agar jaringan desidua menjadi

lunak dan gembur sehingga memudahkan dilatasi arteri spiralis.

4) Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk

menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya refrakter pembuluh darah,

disebabkan karena adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh darah. Akan

tetapi, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter

terhadap bahan vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap

bahan vasopresor.

5) Teori genetik

Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah terbukti

bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuannya akan

mengalami preeklampsia pula dan 8% anak menantu mengalami preeklampsia.

6) Teori defisiensi gizi

Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi

berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti defisiensi

kalsium pada wanita hamil dapat mengakibatkan risiko terjadinya

preeklampsia/eklampsia.

7) Teori stimulus inflamasi

Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai

sisa proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif.

Page 10: manajemen hipertensi dlm kehamilan

11

Bahan-bahan ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi. Pada

kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga

reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Hal tersebut berbeda dengan

proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress

oksidatif pada produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas. Hal ini

merangsang proses inflamasi melebihi batas wajar dalam darah ibu, termasuk

meningkatnya mediator-mediator inflamasi yang keluar seperti prostaglandin,

makrofag, leukosit, sitokin, TNF-α interleukin, sampai pada akhirnya

menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

d. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis preklampsia antara lain (POGI, 2010):

1) Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau lebih; diastolik 15 mmHg atau

lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada kehamilan 20 minggu atau lebih

atau sistolik 140 mmHg sampai kurang dari 160 mmHg; diastolik 90 mmHg

sampai kurang dari 110 mmHg

2) Proteinuria yang secara kuantitatif lebih dari 0,3 g/liter dalam 24 jam atau

secara kualitatif positif 1 (1+)

3) Edema pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah, atau tangan.

e. Diagnosis

Preeklampsia dapat dibagi menjadi dua, yaitu preeklampsia ringan dan

preeklampsia berat. Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan sesuai dengan

kriteria berikut ini (POGI, 2010):

1) TD ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu

2) Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick

Sedangkan preeklampsia berat (PB) dapat disertai dengan satu atau lebih gejala

berikut ini (POGI, 2010):

1) TD ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu

2) Proteinuria 2.0 g/24 jam ≥ 2+ (dispstick)

3) Serum creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah abnormal)

Page 11: manajemen hipertensi dlm kehamilan

12

4) Trombosit < 100.0000/mm3

5) Microangiopathi chemolysis (increase LDH)

6) Peningkatan ALT atau AST

7) Nyeri kepala atau gangguan visual persisten

8) Nyeri epigastrium.

f. Tatalaksana

1) Tatalaksana preeklampsia ringan (Departemen Kesehatan RI, 2014):

a) Pantau keadaan klinis ibu tiap kunjungan antenatal, yaitu tekanan darah, berat

badan, tinggi badan, indeks masa tubuh, ukuran uterus, dan gerakan janin.

b) Rawat jalan (ambulatoir)

(1) Ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring)

(2) Konsumsi susu dan air buah

(3) Obat antihipertensi

Indikasi utama pemberian antihipertensi pada kehamilan adalah untuk

keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular. Meskipun

demikian, penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak lebih dari

25% penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya

penurunan aliran darah uteroplasenter. Obat antihipertensi yang dapat

diberikan:

(a) Metildopa, biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali

sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari

(b) Nifedipin 10 mg kapsul per oral, diulang tiap 15-30 menit, dengan dosis

maksimal 30 mg.

(4) Tidak perlu diberi obat-obatan seperti diuretik dan sedatif.

2) Tatalaksana preeklampsia berat (Departemen Kesehatan RI, 2014):

Pemberian MgSO4 dosis awal dengan cara mengambil 4 mg MgSO4 (10 ml

larutan MgSO4 40%) dan melarutkannya dalam 10 ml aquades. Berikan secara

perlahan IV selama 20 menit. Jika akses IV sulit, berikan masing-masing 5 mg

MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan.

Page 12: manajemen hipertensi dlm kehamilan

13

g. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada preeklampsia dan eklampsia terutama

diakibatkan oleh vasospasme yang bersifat menyeluruh. Preeklampsia dan

eklampsia dapat menyebabkan berbagai komplikasi berikut (Prasetyo, 2012):

1) Perdarahan serebral

Komplikasi paling umum sebagai akibat dari vasospasme dan tingginya

tekanan darah pada preeklampsia dan eklampsia adalah perdarahan serebral.

2) Gangguan visus

Gangguan visus pada preeklampsia dan eklampsia dihubungkan dengan

terjadinya vasospasme arteri retina.

3) Koma

Pasien preeklampsia, yang berlanjut menjadi eklampsia akan mengalami

perubahan kesadaran hingga koma akibat edema otak yang luas. Derajat

hilangnya kesadaran dapat dinilai dengan Glasgow Coma Scale.

4) Edema paru

Penderita preeklampsia mempunyai risiko lebih besar terjadinya edema paru

disebabkan payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah

kapiler paru, dan menurunnya diuresis.

5) Asites

Asites (akumulasi cairan dalam rongga perut) yang menyertai preeklampsia

dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler yang

menyeluruh.

6) Oligouria

Oliguria (produksi urin < 500 ml selama 24 jam) pada preeklampsia terjadi

karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang

menyebabkan penurunan produksi urin.

7) Tromboemboli

Tromboemboli adalah penyumbatan beberapa bagian sistem kardiovaskular

oleh massa bekuan darah yang tidak terkendali. Preeklampsia berkaitan

Page 13: manajemen hipertensi dlm kehamilan

14

dengan penyempitan arteri spiralis pada plasenta yang dapat menyebabkan

kondisi iskemia dan tromboemboli.

8) Sindrom HELLP

Sindrom HELLP (hemolysis, elevated levels of liver enzymes, low platelet

count) adalah gangguan terkait kehamilan yang dikarakterisir oleh timbulnya

hemolisis, peningkatan enzim hepar (disfungsi hepar), dan trombositopenia.

Keluarnya enzim hepar terutama AST disebabkan oleh kerusakan dan

perdarahan pada hepar. Pada sindrom HELLP terjadi lisis trombosit

berkelanjutan yang menyebabkan turunnya trombosit sampai di bawah

100.000 sel/µl.

9) IUGR (Intrauterine Growth Restriction)

IUGR atau pertumbuhan janin terhambat ditentukan bila berat janin kurang

dari 10% dari berat yang harus dicapai pada usia kehamilan tertentu.

Penurunan aliran darah uteroplasenta menyebabkan janin kekurangan oksigen

dan nutrisi pada trimester akhir, sehingga timbul pertumbuhan janin

terhambat, ditandai dengan lingkar perut yang jauh lebih kecil daripada

lingkar kepala.

10) IUFD (Intrauterine Fetal Death)

Peningkatan terjadinya kematian janin intrauterine pada preeklampsia dan

eklampsia secara tidak langsung merupakan akibat dari pertumbuhan janin

terhambat.

11) Prematuritas

Preeklampsia secara signifikan meningkatkan risiko kelahiran preterm

(persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu) yang iatrogenik

atas indikasi maternal karena memburuknya penyakit ibu mengharuskan

terminasi kehamilan (pengakhiran kehamilan) lebih awal.

12) Asfiksia

Asfiksia pada bayi baru lahir adalah kegagalan bayi bernafas secara spontan

dan teratur segera setelah lahir. Penurunan aliran darah melalui plasenta pada

preeklampsia dapat mengurangi aliran oksigen ke janin, sehingga

Page 14: manajemen hipertensi dlm kehamilan

15

menimbulkan gawat janin yang berlanjut sebagai asfiksia pada bayi baru

lahir.

h. Prognosis

Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik bagi ibu maupun janin

(Departemen Kesehatan RI, 2014).

i. Pencegahan

Pencegahan preeklampsia adalah upaya untuk mencegah preeklampsia

pada wanita hamil. Pencegahan ini terutama untuk wanita hamil yang mempunyai

faktor risiko terjadinya preeklampsia. Strategi-strategi yang dapat dilakukan yaitu

(POGI, 2006):

1) Antenatal care (ANC)

Tujuan pelayanan ANC yaitu untuk deteksi dini pada wanita yang berisiko

tinggi, screening untuk mengidentifikasi faktor risiko, intervensi dalam upaya

mencegah penyakit yang timbul, dan upaya pengobatan untuk mencegah

komplikasi dari penyakit yang diderita. Pelayanan ANC yang kurang memadai

merupakan penghalang utama dalam deteksi dini preeklampsia.

2) Kalsium

Kelompok wanita dengan asupan kalsium yang cukup memiliki insidensi

preeklampsia yang lebih rendah. Pemberian suplemen kalsium selama

kehamilan direkomendasikan untuk mencegah preeklampsia terutama pada

daerah dengan tingkat konsumsi kalsium yang rendah.

3) Antitrombotik

Aspirin dosis rendah (75 mg/hari) dapat mengurangi produksi platelet oleh

tromboksan. Hasil uji klinis memberikan keuntungan yang sedikit namun

aspirin direkomendasikan dalam pencegahan preeklampsia terutama pada

wanita dengan faktor risiko berikut: pernah mengalami preeklampsia pada

kehamilan sebelumnya, menderita hipertensi kronik, terdapat penyakit ginjal

Page 15: manajemen hipertensi dlm kehamilan

16

atau autoimun. Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan aspirin dosis

rendah untuk mencegah preeklampsia tidak menyebabkan toksisitas pada janin

dan neonatal, tetapi penggunaan aspirin dosis rendah pada kehamilan harus

dibatasi karena masih diperlukan studi lebih lanjut tentang rasio manfaat dan

risikonya.

4) Tirah baring

Tirah baring yaitu berbaring dengan posisi miring ke satu sisi. Tirah baring

dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim pada pembuluh vena

cava inferior sehingga akan meningkatkan aliran darah balik, menambah curah

jantung, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim. Tirah baring masih

diperlukan di Indonesia meskipun tidak terbukti mencegah terjadinya

preeklampsia dan persalinan preterm.

2.2.3 Eklamsia

a. Definisi

Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau

masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang tonik-klonik. Kejang ini bukan

timbul akibat kelainan neurologik dan/atau koma dimana sebelumnya sudah

menunjukkan gejala-gejala preeklampsia (Cunningham, et al., 2014b; Departemen

Kesehatan RI, 2014; POGI, 2010; Prasetyo, 2012).

b. Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor risiko eklampsia adalah primigravida, kehamilan ganda, diabetes

melitus, hipertensi essensial kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar,

obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga

pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, lebih sering dijumpai pada

penderita preeklampsia dan eklampsia (Departemen Kesehatan RI, 2014;

Prasetyo, 2012).

c. Patofisiologi

Page 16: manajemen hipertensi dlm kehamilan

17

Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan

terjadinya preeklampsia adalah faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh

darah, dan keadaan dimana jumlah trofoblast yang berlebihan, serta dapat

mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada

awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis

tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah

di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas,

disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi di

berbagai organ (Cunningham, et al., 2014b; Prasetyo, 2012).

d. Manifestasi Klinis

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Eklampsia

digolongkan menjadi kasus antepartum, intrapartum, atau postpartum tergantung

saat kejadiannya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan.

Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari

daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian

seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat

berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka

dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,

otot – otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi, serta

relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang

begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat

tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot –

otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara

berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya

penderita tidak bergerak (Prasetyo, 2012).

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama

beberapa detik penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun

kemudian penderita bernafas panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali

normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti

dengan kejang – kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan

Page 17: manajemen hipertensi dlm kehamilan

18

sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus (Prasetyo,

2012).

Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat.

Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi

jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.

Namun pada kasus – kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan

penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada

kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan

koma yang lama bahkan kematian (Prasetyo, 2012).

Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan

dapat mencapai 50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai

asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat

ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi,

apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan

saraf pusat (Prasetyo, 2012).

e. Diagnosis

Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang didapatkan

adalah terjadinya proteinuria ( 2+). Sedangkan pemeriksaan fisik yang mungkin

didapatkan pada penderita eklampsia yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2014):

1) Sadar atau terjadi penurunan kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale dan

Glasgow-Pittsburg Coma Scoring System

2) Terjadi kejang tonik, klonik, dan umum

3) Adanya peningkatan tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg

4) Sianosis

5) Skotoma penglihatan

6) Dapat ditemukan adanya tanda-tanda edema paru dan atau gagal jantung

7) Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan nyeri di epigastrium atau nyeri

abdomen pada kuadran kanan atas akibat teregangnya kapsul gilsson.

Page 18: manajemen hipertensi dlm kehamilan

19

f. Diagnosis Banding

Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat

penyakit lain. Tetapi, pada prinsipnya setiap wanita hamil yang mengalami kejang

harus didiagnosis sebagai eklampsia sampai terbukti bukan. Diagnosis banding

eklampsia antara lain (Cunningham, et al., 2014b; Departemen Kesehatan RI,

2014; Prasetyo, 2012):

1) Hipertensi

2) Perdarahan otak

3) Lesi di otak

4) Meningitis

5) Epilepsi

6) Kelainan metabolik

g. Tatalaksana

Tujuan utama pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya

kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya. Tentunya harus dengan cara yang

aman dan setelah ibu mengijinkan. Pengawasan dan perawatan intensif sangat

penting untuk dilakukan (POGI, 2010). Perawatan dasar eklampsia yang utama

adalah terapi supportif untuk stabilisasi fungsi vital, dengan pemantauan terhadap

Airway, Breathing, Circulation (ABC). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan

pada penderita eklampsia yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2013; Departemen

Kesehatan RI, 2014):

1) Penatalaksanaan pada saat kejang

(a) Masukkan udap lidah (tongue spatle) ke dalam mulut penderita

(b) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi tredelenburg untuk mengurangi risiko

aspirasi

(c) Beri Oksigen 4 liter per menit

2) Penatalaksanaan farmakologis

(a) MgSO4 diberikan intravena dengan dosis awal 4 g (10 ml MgSO4 40%,

larutkan dalam 10 ml akuades) secara perlahan selama 20 menit, jika

Page 19: manajemen hipertensi dlm kehamilan

20

pemberian secara intravena sulit, dapat diberikan secara IM dengan dosis 5

mg masing-masing pada bokong kanan dan kiri.

Adapun syarat pemberian MgSO4 adalah tersedianya Ca glukonas 10%, ada

refleks patella, jumlah urine minimal 0,5 ml/kgBB/jam dan frekuensi napas

12-16x/menit.

(b) Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 (15 ml MgSO4

40%, larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat atau Ringer Asetat) 28

tetes/menit selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau

kejang berakhir.

(c) Diazepam juga dapat dijadikan alternatif dengan dosis 10 mg IV selama 2

menit (perlahan), namun mengingat dosis yang dibutuhkan sangat tinggi dan

memberi dampak pada janin, maka pemberian diazepam hanya dilakukan

apabila tidak tersedia MgSO4.

3) Stabilisasi selama proses rujukan

(a) Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,

frekuensi pernapasan, refleks patella.

(b) Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak diadapatkan refleks

tendon patella, dan atau terdapat oligouria (produksi urine <0,5

ml/kgBB/jam), segera hentikan pemberian MgSO4.

4) Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)

bolus dalam 10 menit.

h. Komplikasi

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urine berkurang, bahkan

kadang – kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.

Setelah persalinan, urine output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal

perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu

beberapa hari sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila keadaan hipertensi

menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskular

kronis (Prasetyo, 2012).

Page 20: manajemen hipertensi dlm kehamilan

21

Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi

karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas,

dimana hal ini terjadi akibat penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula

karena penderita mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat

dan pemberian cairan yang berlebihan (Prasetyo, 2012).

Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi

bersamaan atau beberapa saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang

masif. Apabila perdarahan otak tersebut tidak fatal maka penderita dapat

mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih sering didapatkan pada wanita usia

lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus yang jarang, perdarahan

otak dapat disebabkan pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous

malformation (Prasetyo, 2012).

Pada kira – kira 10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan

kebutaan dengan variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada preeklampsia.

Penyebab kebutaan ini adalah terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya

iskemia atau edema pada lobus oksipitalis. Prognosis penderita untuk dapat

melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan pulih dalam waktu

satu minggu (Prasetyo, 2012).

Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran

yang berat bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat

edema serebri yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula

terjadi akibat herniasi uncus trans tentorial (Prasetyo, 2012).

Pada kasus yang jarang, kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis,

penderita berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari

sampai sampai 2 minggu namun prognosis penderita untuk kembali normal adalah

baik, asalkan tidak terdapat kelainan psikosis sebelumnya. Pemberian obat – obat

antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti

efektif dalam mengatasi masalah ini (Prasetyo, 2012).

i. Prognosis

Page 21: manajemen hipertensi dlm kehamilan

22

Prognosis eklampsia pada umumnya dubia ad malam baik untuk ibu maupun

janin (Departemen Kesehatan, 2014).

Page 22: manajemen hipertensi dlm kehamilan

23

j. Pencegahan

Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah. Frekuensi terjadinya

eklampsia juga dapat dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi

eklampsia terdiri atas (Cunningham, et al., 2014b):

1) Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar

semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda

2) Mencari tanda-tanda preeklampsia pada tiap pemeriksaan dan mengobatinya

segara apabila ditemukan

3) Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada umur kehamilan 37 minggu atau

lebih apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat

dihilangkan.

2.2.4 Hipertensi Kronis dengan Superimposed Preeklampsia

a. Definisi

Hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia merupakan timbulnya

proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi

sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu

(Cunningham, et al., 2014b; POGI, 2010).

b. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab dan faktor risiko hipertensi jenis ini sama dengan hipertensi kronis pada

kehamilan (POGI, 2010).

c. Diagnosis

Diagnosis hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia ditegakkan

apabila terdapat kondisi sebagai berikut (POGI, 2010):

1) Proteinuria “newonset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang tidak

menunjukkan adanya proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu

2) Peningkatan TD atau kadarproteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia

(trombosit < 100.000/mm3) pada penderita hipertensi dan proteinuria sebelum

kehamilan 20 minggu.

Page 23: manajemen hipertensi dlm kehamilan

24

d. Tatalaksana

Pengelolaan hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsia sama dengan

pengelolaan preeklamsi berat (POGI, 2010).

e. Prognosis

Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik bagi ibu maupun janin

(Departemen Kesehatan RI, 2014).

2.2.5 Hipertensi Gestasional

a. Definisi

Hipertensi gestasional atau hipertensi transien adalah peningkatan tekanan

darah 140/90 mmHg yang dideteksi pertama kali setelah pertengahan

kehamilan, tanpa proteinuria. Jika preeklampsia tidak terjadi selama kehamilan

dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu postpartum, diagnosis

transient hypertension dalam kehamilan dapat ditegakkan. Namun, jika tekanan

darah menetap setelah postpartum, wanita tersebut didiagnosis menjadi hipertensi

kronis (Carson dan Gibson, 2014; Cunningham, et al., 2014b; NHBPEP, 2000;

POGI, 2010).

b. Diagnosis

Diagnosis hipertensi gestasional ditegakkan dengan kriteria sebagai berikut

(POGI, 2010):

1) Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, terjadi pertama kali dalam kehamilan

2) Tidak terdapat proteinuria, tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12

minggu pasca persalinan

3) Diagosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan

4) Dapat disertai dengan gejala preeklampsia berat seperti nyeri epigastrium atau

trombositopenia.

Page 24: manajemen hipertensi dlm kehamilan

25

c. Tatalaksana

Jika tekanan diastolik 110 mmHg atau tekanan sistolik 160 mmHg, berikan

antihipertensi (Departemen Kesehatan RI, 2013). Obat-obatan antihipertensi yang

dianjurkan selama kehamilan adalah (POGI, 2010):

1) Pilihan pertama, methyldopa, 0,5-3,0 g/hari, dibagi dalam 2-3 dosis

2) Pilihan kedua, nifedipine, 30-120 g/hari, dalam slow-realese tablet, harus

diberikan per oral.

d. Komplikasi

Hipertensi gestasional atau hipertensi transien dikaitkan erat dengan

perkembangan selanjutnya untuk menjadi hipertensi kronis. Beberapa komplikasi

yang mempengaruhi sistem organ yang berbeda perlu dipertimbangkan pada

hipertensi gestasional (Carson dan Gibson, 2014).