manajemen hipertensi dlm kehamilan
-
Upload
lyanita-tantri -
Category
Documents
-
view
22 -
download
0
description
Transcript of manajemen hipertensi dlm kehamilan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan tekanan
darah baik sistolik maupun diastolik. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana
tekanan darah meningkat melebihi batas normal. Batas tekanan darah normal
bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi,
walaupun sebagian besar (90%) penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi
essential). Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan kecepatan
denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah tepi dan
peningkatan volume aliran darah (Riaz et al., 2014). Klasifikasi hipertensi dapat
dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi HipertensiKlasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89Hipertensi Stadium I 140 – 159 90 – 99Hipertensi Stadium II 160 110
Sumber: POGI (2010)
2.2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai batasan hipertensi pada
kehamilan. Klasifikasi dan batas yang banyak dipakai di luar negeri dan di
Indonesia, serta yang direkomendasikan dari The National High Blood Pressure
Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy,
adalah hipertensi kronis, preeklamsia dan eklamsia, preeklamsia pada hipertensi
kronis, serta hipertensi gestasional (transien) (Sedyawan, 2004; Carson dan
Gibson, 2014).
2.2.1 Hipertensi Kronis
a. Definisi
Hipertensi kronis pada masa kehamilan didefinisikan sebagai kondisi
tekanan darah sekurang-kurangnya sistolik 140 mmHg dan dengan tekanan darah
3
diastolik sekurang-kurangnya 90 mmHg pada masa sebelum kehamilan atau
sebelum 20 minggu usia kehamilan (Carson dan Gibson, 2014).
b. Etiologi
Penyebab terjadinya hipertensi kronis dalam kehamilan dapat dibagi menjadi
(POGI, 2010):
1) Primer (idiopatik): 90 %
2) Sekunder: 10%, yang berhubungan dengan penyakit ginjal, penyakit endokrin
(diabetes mellitus), penyakit hipertensi, dan vaskular.
c. Diagnosis
Diagnosis hipertensi kronis tegak jika (Departemen Kesehatan RI, 2013):
1) Tekanan darah 140/90 mmHg
2) Sudah ada riwayat hipertensi sebelum kehamilan, atau diketahui adanya
hipertensi pada usia kehamilan kurang dari dua puluh minggu
3) Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes carik celup urine)
4) Dapat disertai keterlibatan organ lain seperti mata, jantung, dan ginjal.
Berdasarkan risiko yang mungkin timbul, hipertensi kronis dapat dibagi menjadi
(POGI, 2010):
1) Risiko rendah
Hipertensi ringan tanpa disertai kerusakan organ
2) Risiko tinggi
Hipertensi berat atau hipertensi ringan disertai dengan perubahan patologis,
klinis, maupun biologis, sebagai tanda kerusakan organ.
Kriteria risiko tinggi pada hipertensi kronis yaitu (POGI, 2010):
1) Hipertensi berat
Tekanan darah lebih dari sama dengan 160 / 110 mmHg sebelum dua puluh
minggu umur kehamilan.
2) Hipertensi ringan
Hipertensi ringan kurang dari dua puluh minggu umur kehamilan dengan tanda
dan gejala berikut:
4
a) Pernah preeklamsia
b) Umur ibu > 40 tahun
c) Hipertensi 4 tahun
d) Adanya kelainan ginjal
e) Adanya diabetes mellitus
f) Kardiomiopati
g) Meminum obat antihipertensi sebelum hamil.
d. Tatalaksana
Alasan utama untuk mengobati hipertensi kronis pada kehamilan adalah
untuk mengurangi morbiditas ibu terkait hipertensi. Pengelolaan ini bertujuan
untuk menekan risiko ibu terhadap kenaikan desakan darah dan menghindari
pemberian obat-obatan yang membahayakan janin (POGI, 2010). Tatalaksana
umum dalam pengobatan hipertensi yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2013):
1) Anjurkan istirahat lebih banyak
2) Pada hipertensi kronis, penurunan tekanan darah ibu akan mengganggu perfusi
serta tidak ada bukti-bukti bahwa tekanan darah yang normal akan
memperbaiki keadaan janin dan ibu
a) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapat obat antihipertensi, dan terkontrol
dengan baik, lanjutkan pengobatan tersebut. Namun, jika antihipertensi itu
golongan ACE inhibitor, ARB, dan klorotiazid, berikan penjelasan bahwa
antihipertensi tersebut dikontraindikasikan pada ibu hamil.
b) Jika tekanan diastolik 110 mmHg atau tekanan sistolik 160 mmHg, berikan
antihipertensi
c) Jika terdapat proteinuria atau tanda-tanda dan gejala lain, pikirkan
superimposed preeklampsia dan tangani seperti preeklamsia
3) Berikan suplementasi kalsium 1,5-2 g/hari dan aspirin 75 mg/hari mulai dari
usia kehamilan dua puluh minggu
4) Pantau pertumbuhan dan kondisi janin
5) Jika tidak ada komplikasi, tunggu sampai aterm
5
6) Jika denyut jantung janin <100 kali/menit atau >180 kali/menit, tangani seperti
gawat janin
7) Jika terdapat pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminal kehamilan.
Obat-obatan antihipertensi yang dianjurkan selama kehamilan adalah (POGI,
2010):
1) Pilihan pertama, methyldopa, 0,5-3,0 g/hari, dibagi dalam 2-3 dosis
2) Pilihan kedua, nifedipine, 30-120 g/hari, dalam slow-realese tablet, harus
diberikan per oral.
e. Komplikasi
Wanita dengan hipertensi kronis berisiko cukup besar mengalami
preeklampsia, yang pada gilirannya, secara substansial meningkatkan risiko
persalinan prematur dan komplikasi kehamilan lain seperti solusio plasenta dan
hambatan pertumbuhan janin. Hal ini juga dapat mengakibatkan terjadinya
disfungsi hepar, gagal ginjal, serta tendensi timbulnya perdarahan yang meningkat
dan perburukan kearah eklampsia (Cunningham, et al., 2014a).
Pada janin sendiri dapat terjadi bermacam – macam gangguan sampai
kematian janin dimana efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita
hamil akan merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga mengganggu pertukaran
oksigen dan nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin. Hal ini bisa menyebabkan
prematuritas plasental dengan akibat pertumbuhan janin yang lambat dalam
rahim, bahkan kematian janin (Cunningham, et al., 2014a).
f. Prognosis
Pada wanita dengan hipertensi kronis, risiko mortalitas ibu meningkat dari
10 dalam 100.000 menjadi 230 dalam 100.000 kelahiran hidup. Insidensi solusio
plasenta meningkat dari 1 dalam 150 pada wanita non hipertensif menjadi 1 dalam
50 pada wanita dengan hipertensi kronis, risiko ini semakin meningkat pada
perokok. Wanita dengan hipertensi kronis berisiko mengalami preeklampsia,
penyulit ini timbul pada paling sedikit 25 persen wanita (Cunningham, et al.,
2014a).
6
g. Pencegahan
Pencegahan terjadinya komplikasi pada hipertensi kronis dalam kehamilan
dapat dilakukan dengan cara (Cunningham, et al., 2014a; Departemen Kesehatan
RI, 2013):
1) Istirahat cukup
2) Mengatur diet, yaitu dengan meningkatkan konsumsi makanan yang
mengandung protein dan mengurangi makanan yang mengandung karbohidrat,
serta lemak
3) Kalau keadaan memburuk, tetapi memungkinkan bayi untuk dilahirkan,
pertimbangkan untuk segera melahirkan bayi, demi keselamatan ibu dan bayi.
2.2.2 Preeklamsia
a. Definisi
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau
edema setelah umur kehamilan dua puluh minggu atau segera setelah persalinan.
Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan dua puluh minggu pada penyakit
trofoblas (POGI, 2010).
b. Etiologi dan Faktor Risiko
Belum ada teori yang secara jelas menjelaskan mengenai penyebab
terjadinya preeklampsia dan eklampsia. Namun, sebagian besar teori yang sudah
ada menyebutkan bahwa terjadinya preeklampsia dan eklampsia berhubungan
dengan peningkatan faktor risiko yang terdapat pada pasien. Terdapat beberapa
faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia dan eklampsia yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut (Cunningham, et al., 2014b; POGI, 2010):
1) Faktor kehamilan
a) Nullipara
Nullipara merupakan wanita yang belum pernah melahirkan bayi yang mampu
hidup di luar rahim. Kejadian preeklampsia meningkat pada nullipara karena
ibu berada pada masa awal terpapar trofoblas yang berasal dari janin.
7
b) Gemelli
Wanita dengan kehamilan kembar (gemelli) lebih berisiko terkena
preeklampsia dengan insidensi antara wanita hamil kembar dan wanita hamil
tunggal yaitu 13% versus 5% (dari seluruh kehamilan).
c) Mola hidatidosa
Mola hidatidosa merupakan penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan
kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh vili korialis mengalami
perubahan hidrofik. Mola hidatidosa menyebabkan gangguan invasi sel
trofoblas ke dalam arteri spiralis sehingga dapat terjadi preeklampsia dengan
onset lebih cepat yaitu sebelum usia kehamilan 20 minggu.
2) Faktor sosio-demografi
a) Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
Usia < 20 tahun berhubungan dengan usia kehamilan yang terlalu muda dan
keterkaitan dengan status nullipara. Usia > 35 tahun meningkatkan risiko
preeklampsia berkaitan dengan terjadinya kerusakan endotel pembuluh darah
yang progresif seiring dengan penuaan ibu dan obstruksi lumen arteri spiralis
ibu oleh aterosklerosis.
b) Ras Afrika dan Amerika
Preeklampsia pada wanita dengan Ras Afrika dan Amerika terjadi dengan
onset yang lebih cepat dan efek yang lebih parah, dibandingkan dengan wanita
ras lainnya, tanpa sebab yang jelas.
3) Faktor genetik
Riwayat preeklampsia dalam keluarga. Preeklampsia dapat diturunkan kepada
anak perempuan dengan sifat bawaan yang resesif.
4) Faktor gaya hidup maternal
Obesitas merupakan salah satu gaya hidup yang menjadi faktor penyebab
preeklampsia. Kejadian preeklampsia meningkat dari 4,3% (dari seluruh
kehamilan) untuk wanita dengan indeks massa tubuh < 20 kg/m2 menjadi
13,3% (dari seluruh kehamilan) untuk mereka dengan indeks massa tubuh > 35
kg/m2.
8
5) Riwayat penyakit sebelumnya
a) Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
Wanita dengan preeklampsia pada kehamilan pertama berisiko tujuh kali lipat
mengalami preeklampsia pada kehamilan selanjutnya.
b) Hipertensi kronis
Wanita dengan hipertensi kronis berisiko mengalami preeklampsia dengan
insidensi sebesar 12,1% dibandingkan wanita dengan normotensi yang
insidensinya sebesar 0,3% (dari seluruh kehamilan).
c) Diabetes mellitus
Wanita dengan diabetes mellitus sebelum hamil berisiko empat kali lipat
mengalami preeklampsia pada kehamilannya.
c. Patofisiologi
Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan terjadinya preeklampsia dan
eklampsia, yaitu (Cunningham, et al., 2014b; POGI, 2010):
1) Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan
otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini
memberi dampak penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan
tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan
matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi,
sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan
iskemia plasenta.
9
Gambar 2.1 Invasi trofoblas dalam kehamilan normal dan preeklampsia
(Sumber: Cunningham, et al., 2014b)
2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta yang
iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran sel
yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus dan protein sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap peroksida
lemak maka akan terjadi disfungsi endotel, yang akan berakibat:
a) Gangguan metabolisme prostaglandin
b) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan, yang merupakan
vasokonstriktor kuat. Pada hipertensi dalam kehamilan kadar tromboksan lebih
tinggi sehingga terjadi vasokontriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah
c) Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus
d) Peningkatan permeabilitas kapiler
e) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, seperti endotelin
f) Peningkatan faktor koagulasi.
10
3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen Protein G
(HLA-G) yang berfungsi sebagai berikut:
a) HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh NK-cell
ibu, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta)
b) HLA-G mempermudah invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.
Namun, pada plasenta penderita hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan
ekspresi HLA-G. Penurunan HLA-G akan menghambat invasi trofoblas ke
dalam desidua. Padahal, invasi trofoblas penting, agar jaringan desidua menjadi
lunak dan gembur sehingga memudahkan dilatasi arteri spiralis.
4) Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopressor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan
bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya refrakter pembuluh darah,
disebabkan karena adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh darah. Akan
tetapi, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter
terhadap bahan vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan vasopresor.
5) Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuannya akan
mengalami preeklampsia pula dan 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
6) Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti defisiensi
kalsium pada wanita hamil dapat mengakibatkan risiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia.
7) Teori stimulus inflamasi
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai
sisa proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif.
11
Bahan-bahan ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Hal tersebut berbeda dengan
proses apoptosis pada preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress
oksidatif pada produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas. Hal ini
merangsang proses inflamasi melebihi batas wajar dalam darah ibu, termasuk
meningkatnya mediator-mediator inflamasi yang keluar seperti prostaglandin,
makrofag, leukosit, sitokin, TNF-α interleukin, sampai pada akhirnya
menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis preklampsia antara lain (POGI, 2010):
1) Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau lebih; diastolik 15 mmHg atau
lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada kehamilan 20 minggu atau lebih
atau sistolik 140 mmHg sampai kurang dari 160 mmHg; diastolik 90 mmHg
sampai kurang dari 110 mmHg
2) Proteinuria yang secara kuantitatif lebih dari 0,3 g/liter dalam 24 jam atau
secara kualitatif positif 1 (1+)
3) Edema pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah, atau tangan.
e. Diagnosis
Preeklampsia dapat dibagi menjadi dua, yaitu preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat. Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan sesuai dengan
kriteria berikut ini (POGI, 2010):
1) TD ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
2) Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick
Sedangkan preeklampsia berat (PB) dapat disertai dengan satu atau lebih gejala
berikut ini (POGI, 2010):
1) TD ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
2) Proteinuria 2.0 g/24 jam ≥ 2+ (dispstick)
3) Serum creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila sebelumnya sudah abnormal)
12
4) Trombosit < 100.0000/mm3
5) Microangiopathi chemolysis (increase LDH)
6) Peningkatan ALT atau AST
7) Nyeri kepala atau gangguan visual persisten
8) Nyeri epigastrium.
f. Tatalaksana
1) Tatalaksana preeklampsia ringan (Departemen Kesehatan RI, 2014):
a) Pantau keadaan klinis ibu tiap kunjungan antenatal, yaitu tekanan darah, berat
badan, tinggi badan, indeks masa tubuh, ukuran uterus, dan gerakan janin.
b) Rawat jalan (ambulatoir)
(1) Ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring)
(2) Konsumsi susu dan air buah
(3) Obat antihipertensi
Indikasi utama pemberian antihipertensi pada kehamilan adalah untuk
keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular. Meskipun
demikian, penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak lebih dari
25% penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya
penurunan aliran darah uteroplasenter. Obat antihipertensi yang dapat
diberikan:
(a) Metildopa, biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari
(b) Nifedipin 10 mg kapsul per oral, diulang tiap 15-30 menit, dengan dosis
maksimal 30 mg.
(4) Tidak perlu diberi obat-obatan seperti diuretik dan sedatif.
2) Tatalaksana preeklampsia berat (Departemen Kesehatan RI, 2014):
Pemberian MgSO4 dosis awal dengan cara mengambil 4 mg MgSO4 (10 ml
larutan MgSO4 40%) dan melarutkannya dalam 10 ml aquades. Berikan secara
perlahan IV selama 20 menit. Jika akses IV sulit, berikan masing-masing 5 mg
MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan.
13
g. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada preeklampsia dan eklampsia terutama
diakibatkan oleh vasospasme yang bersifat menyeluruh. Preeklampsia dan
eklampsia dapat menyebabkan berbagai komplikasi berikut (Prasetyo, 2012):
1) Perdarahan serebral
Komplikasi paling umum sebagai akibat dari vasospasme dan tingginya
tekanan darah pada preeklampsia dan eklampsia adalah perdarahan serebral.
2) Gangguan visus
Gangguan visus pada preeklampsia dan eklampsia dihubungkan dengan
terjadinya vasospasme arteri retina.
3) Koma
Pasien preeklampsia, yang berlanjut menjadi eklampsia akan mengalami
perubahan kesadaran hingga koma akibat edema otak yang luas. Derajat
hilangnya kesadaran dapat dinilai dengan Glasgow Coma Scale.
4) Edema paru
Penderita preeklampsia mempunyai risiko lebih besar terjadinya edema paru
disebabkan payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah
kapiler paru, dan menurunnya diuresis.
5) Asites
Asites (akumulasi cairan dalam rongga perut) yang menyertai preeklampsia
dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyeluruh.
6) Oligouria
Oliguria (produksi urin < 500 ml selama 24 jam) pada preeklampsia terjadi
karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang
menyebabkan penurunan produksi urin.
7) Tromboemboli
Tromboemboli adalah penyumbatan beberapa bagian sistem kardiovaskular
oleh massa bekuan darah yang tidak terkendali. Preeklampsia berkaitan
14
dengan penyempitan arteri spiralis pada plasenta yang dapat menyebabkan
kondisi iskemia dan tromboemboli.
8) Sindrom HELLP
Sindrom HELLP (hemolysis, elevated levels of liver enzymes, low platelet
count) adalah gangguan terkait kehamilan yang dikarakterisir oleh timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar (disfungsi hepar), dan trombositopenia.
Keluarnya enzim hepar terutama AST disebabkan oleh kerusakan dan
perdarahan pada hepar. Pada sindrom HELLP terjadi lisis trombosit
berkelanjutan yang menyebabkan turunnya trombosit sampai di bawah
100.000 sel/µl.
9) IUGR (Intrauterine Growth Restriction)
IUGR atau pertumbuhan janin terhambat ditentukan bila berat janin kurang
dari 10% dari berat yang harus dicapai pada usia kehamilan tertentu.
Penurunan aliran darah uteroplasenta menyebabkan janin kekurangan oksigen
dan nutrisi pada trimester akhir, sehingga timbul pertumbuhan janin
terhambat, ditandai dengan lingkar perut yang jauh lebih kecil daripada
lingkar kepala.
10) IUFD (Intrauterine Fetal Death)
Peningkatan terjadinya kematian janin intrauterine pada preeklampsia dan
eklampsia secara tidak langsung merupakan akibat dari pertumbuhan janin
terhambat.
11) Prematuritas
Preeklampsia secara signifikan meningkatkan risiko kelahiran preterm
(persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu) yang iatrogenik
atas indikasi maternal karena memburuknya penyakit ibu mengharuskan
terminasi kehamilan (pengakhiran kehamilan) lebih awal.
12) Asfiksia
Asfiksia pada bayi baru lahir adalah kegagalan bayi bernafas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir. Penurunan aliran darah melalui plasenta pada
preeklampsia dapat mengurangi aliran oksigen ke janin, sehingga
15
menimbulkan gawat janin yang berlanjut sebagai asfiksia pada bayi baru
lahir.
h. Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik bagi ibu maupun janin
(Departemen Kesehatan RI, 2014).
i. Pencegahan
Pencegahan preeklampsia adalah upaya untuk mencegah preeklampsia
pada wanita hamil. Pencegahan ini terutama untuk wanita hamil yang mempunyai
faktor risiko terjadinya preeklampsia. Strategi-strategi yang dapat dilakukan yaitu
(POGI, 2006):
1) Antenatal care (ANC)
Tujuan pelayanan ANC yaitu untuk deteksi dini pada wanita yang berisiko
tinggi, screening untuk mengidentifikasi faktor risiko, intervensi dalam upaya
mencegah penyakit yang timbul, dan upaya pengobatan untuk mencegah
komplikasi dari penyakit yang diderita. Pelayanan ANC yang kurang memadai
merupakan penghalang utama dalam deteksi dini preeklampsia.
2) Kalsium
Kelompok wanita dengan asupan kalsium yang cukup memiliki insidensi
preeklampsia yang lebih rendah. Pemberian suplemen kalsium selama
kehamilan direkomendasikan untuk mencegah preeklampsia terutama pada
daerah dengan tingkat konsumsi kalsium yang rendah.
3) Antitrombotik
Aspirin dosis rendah (75 mg/hari) dapat mengurangi produksi platelet oleh
tromboksan. Hasil uji klinis memberikan keuntungan yang sedikit namun
aspirin direkomendasikan dalam pencegahan preeklampsia terutama pada
wanita dengan faktor risiko berikut: pernah mengalami preeklampsia pada
kehamilan sebelumnya, menderita hipertensi kronik, terdapat penyakit ginjal
16
atau autoimun. Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan aspirin dosis
rendah untuk mencegah preeklampsia tidak menyebabkan toksisitas pada janin
dan neonatal, tetapi penggunaan aspirin dosis rendah pada kehamilan harus
dibatasi karena masih diperlukan studi lebih lanjut tentang rasio manfaat dan
risikonya.
4) Tirah baring
Tirah baring yaitu berbaring dengan posisi miring ke satu sisi. Tirah baring
dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim pada pembuluh vena
cava inferior sehingga akan meningkatkan aliran darah balik, menambah curah
jantung, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim. Tirah baring masih
diperlukan di Indonesia meskipun tidak terbukti mencegah terjadinya
preeklampsia dan persalinan preterm.
2.2.3 Eklamsia
a. Definisi
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang tonik-klonik. Kejang ini bukan
timbul akibat kelainan neurologik dan/atau koma dimana sebelumnya sudah
menunjukkan gejala-gejala preeklampsia (Cunningham, et al., 2014b; Departemen
Kesehatan RI, 2014; POGI, 2010; Prasetyo, 2012).
b. Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor risiko eklampsia adalah primigravida, kehamilan ganda, diabetes
melitus, hipertensi essensial kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar,
obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga
pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, lebih sering dijumpai pada
penderita preeklampsia dan eklampsia (Departemen Kesehatan RI, 2014;
Prasetyo, 2012).
c. Patofisiologi
17
Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan
terjadinya preeklampsia adalah faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh
darah, dan keadaan dimana jumlah trofoblast yang berlebihan, serta dapat
mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada
awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis
tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah
di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas,
disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi di
berbagai organ (Cunningham, et al., 2014b; Prasetyo, 2012).
d. Manifestasi Klinis
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Eklampsia
digolongkan menjadi kasus antepartum, intrapartum, atau postpartum tergantung
saat kejadiannya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan.
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari
daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian
seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat
berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka
dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,
otot – otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi, serta
relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang
begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat
tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot –
otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara
berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya
penderita tidak bergerak (Prasetyo, 2012).
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama
beberapa detik penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun
kemudian penderita bernafas panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali
normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti
dengan kejang – kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan
18
sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus (Prasetyo,
2012).
Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat.
Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi
jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.
Namun pada kasus – kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan
penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada
kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan
koma yang lama bahkan kematian (Prasetyo, 2012).
Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan
dapat mencapai 50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai
asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat
ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi,
apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan
saraf pusat (Prasetyo, 2012).
e. Diagnosis
Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang didapatkan
adalah terjadinya proteinuria ( 2+). Sedangkan pemeriksaan fisik yang mungkin
didapatkan pada penderita eklampsia yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2014):
1) Sadar atau terjadi penurunan kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale dan
Glasgow-Pittsburg Coma Scoring System
2) Terjadi kejang tonik, klonik, dan umum
3) Adanya peningkatan tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg
4) Sianosis
5) Skotoma penglihatan
6) Dapat ditemukan adanya tanda-tanda edema paru dan atau gagal jantung
7) Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan nyeri di epigastrium atau nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas akibat teregangnya kapsul gilsson.
19
f. Diagnosis Banding
Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat
penyakit lain. Tetapi, pada prinsipnya setiap wanita hamil yang mengalami kejang
harus didiagnosis sebagai eklampsia sampai terbukti bukan. Diagnosis banding
eklampsia antara lain (Cunningham, et al., 2014b; Departemen Kesehatan RI,
2014; Prasetyo, 2012):
1) Hipertensi
2) Perdarahan otak
3) Lesi di otak
4) Meningitis
5) Epilepsi
6) Kelainan metabolik
g. Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan eklamsia adalah menghentikan berulangnya
kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya. Tentunya harus dengan cara yang
aman dan setelah ibu mengijinkan. Pengawasan dan perawatan intensif sangat
penting untuk dilakukan (POGI, 2010). Perawatan dasar eklampsia yang utama
adalah terapi supportif untuk stabilisasi fungsi vital, dengan pemantauan terhadap
Airway, Breathing, Circulation (ABC). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan
pada penderita eklampsia yaitu (Departemen Kesehatan RI, 2013; Departemen
Kesehatan RI, 2014):
1) Penatalaksanaan pada saat kejang
(a) Masukkan udap lidah (tongue spatle) ke dalam mulut penderita
(b) Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi tredelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi
(c) Beri Oksigen 4 liter per menit
2) Penatalaksanaan farmakologis
(a) MgSO4 diberikan intravena dengan dosis awal 4 g (10 ml MgSO4 40%,
larutkan dalam 10 ml akuades) secara perlahan selama 20 menit, jika
20
pemberian secara intravena sulit, dapat diberikan secara IM dengan dosis 5
mg masing-masing pada bokong kanan dan kiri.
Adapun syarat pemberian MgSO4 adalah tersedianya Ca glukonas 10%, ada
refleks patella, jumlah urine minimal 0,5 ml/kgBB/jam dan frekuensi napas
12-16x/menit.
(b) Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 (15 ml MgSO4
40%, larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat atau Ringer Asetat) 28
tetes/menit selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau
kejang berakhir.
(c) Diazepam juga dapat dijadikan alternatif dengan dosis 10 mg IV selama 2
menit (perlahan), namun mengingat dosis yang dibutuhkan sangat tinggi dan
memberi dampak pada janin, maka pemberian diazepam hanya dilakukan
apabila tidak tersedia MgSO4.
3) Stabilisasi selama proses rujukan
(a) Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, refleks patella.
(b) Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak diadapatkan refleks
tendon patella, dan atau terdapat oligouria (produksi urine <0,5
ml/kgBB/jam), segera hentikan pemberian MgSO4.
4) Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
bolus dalam 10 menit.
h. Komplikasi
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urine berkurang, bahkan
kadang – kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.
Setelah persalinan, urine output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal
perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu
beberapa hari sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila keadaan hipertensi
menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskular
kronis (Prasetyo, 2012).
21
Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi
karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas,
dimana hal ini terjadi akibat penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula
karena penderita mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat
dan pemberian cairan yang berlebihan (Prasetyo, 2012).
Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi
bersamaan atau beberapa saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang
masif. Apabila perdarahan otak tersebut tidak fatal maka penderita dapat
mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih sering didapatkan pada wanita usia
lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus yang jarang, perdarahan
otak dapat disebabkan pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous
malformation (Prasetyo, 2012).
Pada kira – kira 10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan
kebutaan dengan variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada preeklampsia.
Penyebab kebutaan ini adalah terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya
iskemia atau edema pada lobus oksipitalis. Prognosis penderita untuk dapat
melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan pulih dalam waktu
satu minggu (Prasetyo, 2012).
Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran
yang berat bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat
edema serebri yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula
terjadi akibat herniasi uncus trans tentorial (Prasetyo, 2012).
Pada kasus yang jarang, kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis,
penderita berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari
sampai sampai 2 minggu namun prognosis penderita untuk kembali normal adalah
baik, asalkan tidak terdapat kelainan psikosis sebelumnya. Pemberian obat – obat
antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti
efektif dalam mengatasi masalah ini (Prasetyo, 2012).
i. Prognosis
22
Prognosis eklampsia pada umumnya dubia ad malam baik untuk ibu maupun
janin (Departemen Kesehatan, 2014).
23
j. Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah. Frekuensi terjadinya
eklampsia juga dapat dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi
eklampsia terdiri atas (Cunningham, et al., 2014b):
1) Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar
semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda
2) Mencari tanda-tanda preeklampsia pada tiap pemeriksaan dan mengobatinya
segara apabila ditemukan
3) Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada umur kehamilan 37 minggu atau
lebih apabila setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat
dihilangkan.
2.2.4 Hipertensi Kronis dengan Superimposed Preeklampsia
a. Definisi
Hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia merupakan timbulnya
proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi
sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu
(Cunningham, et al., 2014b; POGI, 2010).
b. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab dan faktor risiko hipertensi jenis ini sama dengan hipertensi kronis pada
kehamilan (POGI, 2010).
c. Diagnosis
Diagnosis hipertensi kronis dengan superimposed preeklampsia ditegakkan
apabila terdapat kondisi sebagai berikut (POGI, 2010):
1) Proteinuria “newonset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang tidak
menunjukkan adanya proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu
2) Peningkatan TD atau kadarproteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia
(trombosit < 100.000/mm3) pada penderita hipertensi dan proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.
24
d. Tatalaksana
Pengelolaan hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsia sama dengan
pengelolaan preeklamsi berat (POGI, 2010).
e. Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik bagi ibu maupun janin
(Departemen Kesehatan RI, 2014).
2.2.5 Hipertensi Gestasional
a. Definisi
Hipertensi gestasional atau hipertensi transien adalah peningkatan tekanan
darah 140/90 mmHg yang dideteksi pertama kali setelah pertengahan
kehamilan, tanpa proteinuria. Jika preeklampsia tidak terjadi selama kehamilan
dan tekanan darah kembali normal setelah 12 minggu postpartum, diagnosis
transient hypertension dalam kehamilan dapat ditegakkan. Namun, jika tekanan
darah menetap setelah postpartum, wanita tersebut didiagnosis menjadi hipertensi
kronis (Carson dan Gibson, 2014; Cunningham, et al., 2014b; NHBPEP, 2000;
POGI, 2010).
b. Diagnosis
Diagnosis hipertensi gestasional ditegakkan dengan kriteria sebagai berikut
(POGI, 2010):
1) Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, terjadi pertama kali dalam kehamilan
2) Tidak terdapat proteinuria, tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12
minggu pasca persalinan
3) Diagosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan
4) Dapat disertai dengan gejala preeklampsia berat seperti nyeri epigastrium atau
trombositopenia.
25
c. Tatalaksana
Jika tekanan diastolik 110 mmHg atau tekanan sistolik 160 mmHg, berikan
antihipertensi (Departemen Kesehatan RI, 2013). Obat-obatan antihipertensi yang
dianjurkan selama kehamilan adalah (POGI, 2010):
1) Pilihan pertama, methyldopa, 0,5-3,0 g/hari, dibagi dalam 2-3 dosis
2) Pilihan kedua, nifedipine, 30-120 g/hari, dalam slow-realese tablet, harus
diberikan per oral.
d. Komplikasi
Hipertensi gestasional atau hipertensi transien dikaitkan erat dengan
perkembangan selanjutnya untuk menjadi hipertensi kronis. Beberapa komplikasi
yang mempengaruhi sistem organ yang berbeda perlu dipertimbangkan pada
hipertensi gestasional (Carson dan Gibson, 2014).