MANAJEMEN GARANSI PRODUK DAN … · Web viewManajemen garansi tahap I merupakan pengelolaan dengan...
Transcript of MANAJEMEN GARANSI PRODUK DAN … · Web viewManajemen garansi tahap I merupakan pengelolaan dengan...
MANAJEMEN GARANSI PRODUK DAN PERKEMBANGANNYA
DI INDONESIA
Bermawi P. Iskandar
Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung, Jln Ganesha 10, Bandung,
Indonesia,40132
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Produk yang dapat bertahan lama (seperti kendaraan bermotor, komputer,
mesin/peralatan) umumnya dijual dengan garansi. Garansi (warranty) adalah suatu
perjanjian krontraktual yang mengharuskan produsen untuk memperbaiki atau mengganti
produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi. Baik konsumen maupun
produsen mendapatkan manfaat dari garansi. Bagi konsumen, garansi melindungi dari
membeli produk yang cacat, dan bagi produsen, garansi membatasi klaim yang tidak
rasional dari konsumen. Disamping itu, produsen dapat memanfaatkan garansi sebagai
alat promosi yang efektif karena produk dengan masa garansi yang lebih lama
memberikan sinyal kepada konsumen bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang
lebih baik. Namun, memberikan garansi berarti tambahan ongkos (disebut ongkos
garansi) bagi produsen. Ongkos garansi berkisar 2-10% dari harga produk. Untuk suatu
perusahaan otomotif di Indonesia, ongkos garansi yang harus ditanggung dapat mencapai
50-100 milyar rupiah per tahun. Dengan demikian, gagal dalam mengelola garansi secara
efektif dapat berakibat bukan saja ongkos garansi yang tidak terkendali tapi juga
berdampak pada ketidakpuasan konsumen dan kehilangan penjualan. Dan ini kemudian
berdampak pada penurunan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Pengelolaan garansi
produk, awalnya, hanya melibatkan aspek teknikal seperti desain produk, proses
manufaktur dan pemeliharaan yang memengaruhi keandalan produk. Namun, kemudian
perlu juga mempertimbangkan aspek komersial (yang meliputi pemasaran dan pelayanan
purna-jual), karena garansi produk dapat digunakan sebagai alat promosi yang efektif.
Dengan demikian, diperlukan pendekatan komprehensif untuk mengelola garansi produk
yang efektif, yang melibatkan aspek teknikal dan komersial. Pada makalah ini, dibahas
pengelolaan garansi yang tidak saja untuk penurunan ongkos garansi, tapi juga untuk
meningkatkan kepuasan konsumen, citra produk, dan akhirnya penjualan perusahaan.
Disamping itu, juga dibahas perkembangan manajemen garansi di Indonesia yang
umumnya masih pada tahap I, masih bersifat reaktif, lebih memfokuskan pada
pemrosesan klaim garansi dan penyelesaian permasalahan yang muncul akibat dari
garansi. Perusahaan belum banyak menggunakan garansi sebagai an offensive tool dalam
pemasaran produk. Kebanyakan perusahaan menawarkan garansi untuk memenuhi
persyaratan memasuki suatu pasar (atau digunakan sebagai a deffensive tool).
PENDAHULUAN
Sekarang ini, produsen yang memproduksi durable products seperti produk
otomotif, produk elektronik, mesin/peralatan, menjual produk tersebut dengan garansi.
Garansi (warranty) adalah suatu perjanjian krontraktual (contractual agreement) yang
mengharuskan produsen untuk merektifikasi (memperbaiki atau mengganti) produk yang
mengalami kerusakan selama masa garansi. Umumnya perbaikan produk rusak tidak
dikenakan biaya kepada konsumen. Untuk garansi tertentu, rektifikasi mengharuskan
pengembalian uang (money back) sebagian atau 100% dari harga jual kepada konsumen.
Sangat sulit untuk mengetahui kapan tepatnya garansi pertama kali dikenalkan.
Namun, jika garansi dipandang sebagai liabilitas produk (pertanggung-jawaban
produsen), maka pada zaman Raja Babilonia, Hammurabi pada tahun 1800 sebelum
Masehi, ditemukan undang-undang yang memberikan hukuman keras untuk craftmen
yang terbukti melakukan kesalahan sehingga menghasilkan produk cacat (Blischke dan
Murthy, 1994). Di Amerika, undang-undang yang berhubungan dengan garansi produk
terdapat dalam The Magnuson-Moss Act dan Uniform Commercial Code (UCC) yang
efektif sejak tahun 1975. Sejak saat itu, hak konsumen untuk mendapatkan produk yang
baik dalam transaksi pembelian produk dilindungi oleh undang-undang, karena undang-
undang tersebut mengharuskan produsen memberikan garansi untuk durable products
yang harganya lebih dari $15. Dengan demikian, aturan umum yang sebelumnya berlaku
yaitu caveat emptor (let the buyer beware) atau konsumen harus waspada dalam memilih
produk agar terhidar dari membeli produk cacat, berubah menjadi let the manufacturer
beware karena produsen wajib untuk mengganti dengan yang baru atau memperbaikinya
(merektifikasi) jika produk rusak selama masa garansi dan kerusakan bukan karena
kesalahan pakai (misuse). Di Indonesia, undang-undang yang melindungi hak konsumen
terdapat pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Dengan undang-undang ini, produsen/pelaku usaha yang memproduksi produk/barang
yang umur pakainya 1 (satu) tahun atau lebih, wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual serta memberikan garansi.
Garansi, pada kenyataannya, tidak saja memberikan manfaat kepada konsumen
tetapi juga kepada produsen. Bagi konsumen, garansi melindungi dari membeli produk
yang cacat, dan bagi produsen, garansi membatasi klaim yang tidak rasional dari
konsumen. Disamping itu, produsen juga dapat memanfaatkan garansi sebagai alat
promosi yang efektif untuk produknya, karena produk dengan masa garansi yang lebih
lama memberikan sinyal kepada konsumen bahwa produk tersebut memiliki kualitas
yang lebih baik.
Memperhatikan penjelasan di atas, garansi memiliki 2 peranan penting yaitu (1)
sebagai instrumen untuk melidungi konsumen dari membeli produk cacat dan juga
melindungi produsen dari klaim konsumen yang tidak masuk akal, serta (2) sebagai alat
promosi yang efektif untuk meningkatkan penjualan produk.
Untuk produk baru, konsumen umumnya ragu terhadap kinerja produk tersebut.
Pada konteks ini, garansi memainkan peranan penting dalam memberikan jaminan
kepada konsumen bahwa produk akan berfungsi sesuai dengan yang dijanjikan.
Sekarang ini, dengan berkembangnya kompleksitas dari produk, maka sangat sulit
bagi konsumen untuk mengevaluasi mutu produk pada saat membeli. Jenis produk yang
sebanding dari produsen yang berbeda sangat sulit dibedakan kualitasnya, sebagai
contoh, TV, komputer, telepon genggam, dan lain-lain. Apabila produk sejenis dengan
merek berbeda sangat sulit dibedakan, maka faktor-faktor purna jual, garansi,
ketersediaan dan ongkos suku cadang, layanan, pemeliharaan, dan lain-lain menjadi
penentu bagi konsumen dalam memilih produk (Lele dan Karmarkar, 1983).
Namun, menawarkan produk dengan garansi berarti tambahan ongkos bagi
produsen, karena harus memperbaiki produk rusak (atau disebut layanan garansi) selama
masa garansi. Ongkos garansi ini membebani produsen secara signifikan dengan sebaran
ongkos 1,5-3% dari total penjualan (Blischke dan Murthy, 1994). Sebagai contoh,
industri otomotif di Amerika Utara mengeluarkan 10 milyar dollar (100 triliyun rupiah)
untuk pelayanan garansi per tahun (Roehm, 2003). Sekarang ini di Eropa, belum pernah
terjadi sebelumnya, garansi telah menjadi salah satu tantangan besar bagi manajemen
perusahaan, karena ongkos garansi yang semakin besar (dapat mencapai 10 juta euro per
tahun (120 milyar rupiah) untuk satu produsen produk elektronik di Eropa) dan
meningkatnya ketidakpuasan konsumen terhadap layanan garansi (Thomann, 2005).
Di Indonesia, untuk industri sepeda motor dengan empat juta unit per tahun,
ongkos pelayanan garansi per tahun diperkirakan sebesar 200 milyar rupiah (atau 0,5%
dari perjualan per tahun). Besaran itu tidak besar secara nasional, tetapi jika dilihat dari
satu perusahaan yang memiliki pangsa pasar 57%, maka ongkos garansi yang harus
ditanggung diperkirakan sebesar 100 milyar per tahun (dihitung dari data klaim tahun
1998) dan jumlah ini cukup signifikan bagi perusahaan (Iskandar dan Blischke, 2001).
Untuk industri mobil, diperkirakan sebesar 50-100 milyar rupiah per tahun untuk satu
produsen (perkiraan ini masih kasar dan perlu dilengkapi dengan data yang lebih akurat).
Hal ini disebabkan karena data klaim garansi merupakan data yang tidak terbuka untuk
publik atau sangat dirahasiakan oleh perusahaan.
Sejak tahun 1980-an garansi telah dimanfaatkan sebagai instrumen yang efektif
dalam mempromosikan produk. Industri otomotif Jepang berhasil melakukan penetrasi
pasar di Amerika dengan menawarkan masa garansi yang lebih lama yaitu dua sampai
tiga tahun, sedangkan yang lainnya menawarkan garansi hanya satu tahun. Pada konteks
ini, garansi dapat memberikan informasi untuk pembedaan produk (product
differentiation). Dan sepuluh tahun balakangan ini, layanan purna jual, termasuk garansi,
telah menjadi elemen penting dalam memenangkan persaingan di pasar (Murthy dan
Blishcke, 1995).
Dengan demikian, gagal dalam mengelola garansi secara efektif berakibat bukan
saja ongkos pelayanan garansi yang tidak terkendali tapi juga berdampak pada
ketidakpuasan konsumen dan kehilangan penjualan. Ini selanjutnya berdampak negatif
terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Pada makalah ini, akan dibahas pendekatan komprehensif untuk mengelola
garansi produk yang tidak saja untuk meminimalisasi ongkos garansi tapi juga untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan dan penjualan produk.
PEMBAHASAN
Konsep Dasar Garansi
Jenis garansi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu garansi satu
dimensi, garansi dua dimensi, dan garansi tambahan (extended warranty).
1. Garansi Satu Dimensi
Kebijakan garansi satu dimensi dikarakteristikkan oleh satu atribut, yaitu umur
produk atau pemakaian. Sebagai contoh, sebuah TV digaransi selama satu tahun. Jenis
garansi ini dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu Free Replacement Warranty (FRW)
dan Pro Rata Warranty (PRW).
Pada FRW, perbaikan produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi
tanpa dikenakan biaya kepada konsumen. Sedangkan, pada PRW, produk baru sebagai
pengganti dari produk yang rusak dalam masa garansi diberikan dengan harga diskon.
Atau konsumen harus mengeluarkan sejumlah uang (yang besarnya proporsional
terhadap sisa masa garansi pada saat produk rusak) untuk mendapatkan produk baru.
FRW cocok diterapkan untuk produk yang dapat direparasi, misalnya komputer,
sedangkan PRW tepat untuk produk yang tidak dapat direparasi, misalnya ban mobil.
Penelitian untuk garansi sederhana ini telah banyak dilakukan dan kajian dapat dilihat
pada Blischke dan Murthy (1994).
2. Garansi Dua Dimensi
Kebijakan garansi dua dimensi dikarakteristikkan oleh dua atribut (dimensi), di
mana satu dimensi menjelaskan batas umur dan dimensi yang lainnya penggunaan.
Garansi dua dimensi banyak ditawarkan untuk produk otomotif, pesawat terbang, dan
lain-lain. Sebagai contoh, sebuah mobil atau sepeda motor diberi garansi satu tahun atau
12.000 km, tergantung yang mana yang berakhir lebih dahulu. Penelitian dalam garansi
dua dimensi belum banyak dilakukan dan berikut ini adalah sebagian riset dalam bidang
ini: Iskandar (1992); Iskandar, Murthy dan Wilson (1994); Murthy, Iskandar dan Wilson
(1995); Iskandar, Murthy, dan Jack ( 2005).
3. Garansi Tambahan (Extended Warranty)
Beberapa tahun terakhir ini, produsen menawarkan garansi tambahan (extended
warranty). Sebagai contoh, banyak dealer yang menawarkan penjualan mobil dengan
garansi tambahan setelah masa garansi dasar (base warranty) berakhir, misalnya
perpanjangan waktu garansi satu tahun. Hal serupa untuk produk elektronik, di mana
pembeli dapat mengajukan garansi tambahan, misalnya satu sampai dua tahun. Garansi
dapat diperpanjang dengan melakukan kontrak kesepakatan baru tetapi konsumen harus
mengeluarkan sejumlah uang atau membeli jasa ini. Garansi tambahan ini merupakan
pilihan bagi konsumen untuk memperpanjang atau tidak, atau sifatnya tidak diwajibkan.
Garansi tambahan dapat ditawarkan oleh produsen maupun pihak ketiga. Garansi
tambahan mirip dengan service contract di mana ada pihak luar (produsen atau pihak
ketiga) yang sanggup merawat produk untuk periode tertentu berdasarkan kontrak dengan
pemilik produk (Padmanabhan dan Rao, 1993).
Bagi produsen, garansi tambahan memberikan layanan purna jual kepada
konsumen yang tidak terbatas pada masa garansi tetapi juga di luar garansi. Layanan
purna jual yang baik akan menciptakan kepuasan pelanggan (customer satisfication) yang
tinggi, sehingga akan menambah loyalitas konsumen terhadap produk. Dan ini dapat
digunakan sebagai alat promosi yang efektif untuk memenangkan persaingan dengan
produk yang sejenis.
Penawaran ongkos yang relatif murah dan garansi tambahan yang
menguntungkan konsumen membuat jasa garansi tambahan menjadi suatu produk yang
menarik bagi konsumen. Dan ini membuka peluang bisnis untuk memberikan jasa garansi
tambahan oleh pihak ketiga.
Upaya Penurunan Ongkos Garansi
Telah dijelaskan pada bagian Pendahuluan bahwa menjual produk dengan garansi
menambah ongkos kepada produsen. Dilaporkan di dalam literatur garansi produk, bahwa
ongkos garansi per tahun untuk satu perusahaan besar (misalnya, perusahaan otomotif
(General Motor) atau komputer (HP) dapat mencapai milyaran dollar per tahun.
Besarannya antara 2-10% dari harga jual yang tergantung pada produk dan
perusahaannya (informasi rinci dapat dilihat dalam “Warranty Week”
(www.warrantyweek.com))
Dengan demikian, pendekatan untuk mengurangi ongkos garansi mendapat
perhatian besar dari pemanufaktur (manufacturer). Terdapat tiga pendekatan untuk
mereduksi ongkos garansi, yaitu:
(1) meningkatkan keandalan produk,
(2) menerapkan pemeliharaan pencegahan, dan
(3) menggunakan strategi layanan garansi yang efektif.
Peningkatan keandalan (misalnya, menggunakan material/komponen yang lebih
andal/kuat, desain produk yang lebih baik) merupakan satu cara untuk menurunkan
peluang terjadinya kerusakan selama masa garansi. Dan hal ini selanjutnya berdampak
pada penurunan jumlah kerusakan dan klaim garansi. Upaya ini memerlukan ongkos
(tetap dan variabel) tetapi di sisi lain, dapat menurunkan ongkos garansi. Pendekatan ini
dilakukan jika penurunan ongkos garansi yang dihasilkan lebih besar dari ongkos
peningkatan keandalan.
Pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance) dapat diterapkan untuk
mengendalikan degradasi kinerja (penurunan keandalan) produk yang berlebihan,
sehingga dapat mengurangi jumlah kerusakan selama masa garansi. Melakukan tindakan
pemeliharaan, di satu sisi, membutuhkan ongkos tetapi di sisi lain, dapat mengurangi
jumlah kerusakan dan klaim garansi. Kebijakan pemeliharaan yang optimal diperlukan
untuk mengendalikan kerusakan selama masa garansi dan ongkos garansi.
Untuk produk yang dapat direparasi, strategi pelayanan garansi memberikan
pedoman kepada pemanufaktur (manufacturer) untuk merektifikasi
(memperbaiki/mengganti) produk rusak selama masa garansi, apakah produk yang rusak
direparasi atau diganti. Mengganti item (komponen, modul, assembly atau produk)
memerlukan ongkos yang mahal, tetapi dapat mengurangi/menghindari kerusakan selama
sisa masa garansi. Sedangkan mereparasi ongkosnya murah, tetapi kemungkinan
terjadinya kerusakan berulang tinggi. Suatu strategi yang efektif dapat menurunkan
ongkos garansi secara signifikan. Pada kasus ini, pemanufaktur memiliki pilihan, yaitu
mereparasi atau mengganti item yang rusak selama masa garansi. Apabila ongkos
penggantian mahal dibandingan ongkos reparasi, maka strategi layanan garansi (warranty
servicing strategy) tidak ekonomis. Murthy dan Jack (2007) membahas berbagai strategi
layanan yang telah dikembangkan untuk produk yang dijual dengan garansi satu dimensi
(seperti TV, komputer dan produk elektronik lainnya). Untuk produk yang dijual dengan
garansi dua dimensi, seperti produk otomotif (truk, bus, mobil dan sepeda motor),
Iskandar dan Murthy (2003) dan Iskandar et al., (2005) meneliti dua strategi layanan
yang berbeda.
Untuk memperoleh penurunan ongkos garansi yang optimal, diperlukan suatu
pendekatan yang terintegrasi yang mengkombinasikan pendekatan (1)-(3) di atas (lihat
Gambar 1).
Topik riset dalam bidang garansi yang menarik untuk diteliti meliputi: (1) model
yang mengkombinasikan strategi layanan dan peningkatan keandalan, (2) model strategi
layanan yang mempertimbangkan pemeliharaan pencegahan, serta (3) model yang
mengintegrasikan strategi layanan, peningkatan keandalan dan pemeliharaan pencegahan.
Catatan, (4) merupakan topik penelitian dalam bidang keandalan dan pemeliharaan, di
luar materi makalah ini. Beberapa mahasiswa S3 sedang meneliti topik-topik tersebut.
Gambar 1: Pendekatan terintegrasi untuk mengurangi ongkos garansi
Manajemen Garansi
Manajemen garansi dapat didefinisikan sebagai suatu pengelolaan (manajemen)
dari semua kegiatan yang berhubungan dengan garansi produk. Pada awalnya,
pengelolaan garansi bersifat reaktif, yaitu difokuskan pada penanganan klaim garansi dari
konsumen. Dalam konteks ini, mengelola garansi dapat berarti bagaimana
meminimalisasi atau bahkan menghindari klaim dari konsumen.
Perkembangan bisnis sekarang mengharuskan perusahaan harus mengubah
paradigma dalam mengelola garansi—yaitu dari moda reaktif menjadi moda proaktif—
yang memanfaatkan garansi untuk membangun citra merek dan loyalitas konsumen
melalui layanan purna-jual yang prima (exceptional customer service) kepada konsumen,
bukan sekadar meminimalisasi jumlah klaim garansi (atau tanggung jawab produsen
terhadap produk yang dijual).
Manajemen garansi harus mengintegrasikan aspek teknikal dan aspek komersial
karena aspek teknikal (misalnya keandalan dan kualitas produk) memengaruhi ongkos
garansi dan ini selanjutnya memengaruhi aspek komersial (misalnya harga jual dan
penjualan) dan akhirnya memengaruhi kinerja perusahaan.
Namun, hal ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif melibatkan fungsi
desain produk, manufaktur, pemasaran dan layanan purna jual, dan mempertimbangkan
interaksi antar fungsi-fungsi tersebut dari aspek komersial dan aspek teknikal. Atau
dengan kata lain, dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi dalam manajemen garansi.
Manajemen Garansi dan Perkembangannya
Literatur dalam bidang garansi berkembang dengan pesat dan aspek yang diteliti
sangat beragam, meliputi aspek rekayasa (desain, manufaktur, pelayanan), legal,
akuntansi, pemasaran, dan analisis ongkos. Penelitian yang dilakukan masih terkotak-
kotak, membahas dari satu aspek saja, dan belum mengintegrasikan aspek-aspek yang
lainnya. Murthy dan Blishcke (1995) mengembangkan suatu kerangka yang koheren—
mengintegrasikan beberapa aspek yang berbeda—untuk menganalisis garansi.
Sebaliknya, literatur mengenai manajemen garansi produk belum banyak
mendapatkan perhatian dari peneliti. Penelitian Brennan (1994) lebih difokuskan pada
administrasi garansi, Menezes dan Quelch (1990) membahas penggunaan garansi sebagai
senjata strategi ofensif untuk meningkatkan penjualan dan keuntungan. Selanjutnya,
Blishcke dan Murthy (2000) meneliti manajemen garansi dengan mempertimbangkan
aspek yang lebih komprehensif. Dua aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam
pengelolaan garansi adalah (1) aspek teknikal dan (2) aspek komersial.
Aspek teknikal (meliputi rekayasa dari desain produk dan proses manufaktur),
yang memengaruhi kualitas produk. Kegagalan dari aspek ini berakibat pada keandalan
dan kualitas produk rendah, dan ini kemudian berdampak pada jumlah klaim yang sangat
besar (eksesif klaim). Eksesif klaim juga bisa disebabkan oleh masa garansi yang terlalu
panjang. Pendekatan pada bagian (3) memfokuskan pada aspek teknikal dan juga
melibatkan tindakan pemeliharaan dan strategi layanan garansi (atau masih bersifat
parsial).
Aspek komersial meliputi pemasaran dan pelayanan purna jual. Eksesif klaim,
karena aspek teknikal, yaitu kualitas dan keandalan produk yang rendah, akan
menyebabkan peningkatan ongkos garansi dan jumlah ketidakpuasan konsumen. Dan ini
selanjutnya berakibat pada penurunan citra produk dan kehilangan penjualan dari produk
saat ini. Citra produk (dan citra merek) yang menurun dapat memengaruhi penjualan
produk lain pada masa mendatang. Ketidakpuasan konsumen juga dapat disebabkan oleh
pelayanan garansi yang buruk, keterlambatan dalam memproses klaim, reparasi yang
tidak sempurna, dan lain-lain. Dan akhirnya, adalah penuruan keuntungan perusahaan.
Peranan dan pentingnya garansi semakin besar dari tahun ke tahun dan hal ini
menjadi pemicu terjadinya perubahan dari manajemen garansi. Perkembangan
manajemen garansi dapat dijelaskan ke dalam tiga tahap berdasarkan karakteristik
pengelolaannya, apakah bersifat reaktif, preventif, atau proaktif (Murthy dan Blishcke,
2007).
Manajemen garansi tahap I merupakan pengelolaan dengan moda reaktif, yaitu
hanya mengelola klaim garansi. Pada tahap ini, garansi dipertimbangkan setelah
keputusan pada pengembangan dan perancangan produk, proses manufaktur, dan
pemasaran dilakukan. Sebagai contoh, layanan purna jual tidak dipandang sebagai
sesuatu yang strategik dan ongkos garansi dihitung secara sederhana, yaitu beberapa
persen dari harga jual.
Tujuan moda ini difokuskan pada minimalisasi ongkos garansi dan mempercepat
penyelesaian permasalahan yang berhubungan dengan klaim garansi (lihat Gambar 2).
Hubungan antara fungsi pengembangan dan perancangan produk, proses
manufaktur, dan pemasaran dijelaskan berikut ini. Pengembangan produk dimulai dengan
riset dan pengembangan yang dilaksanakan melalui serangkaian langkah termasuk
pembentukkan prototipe, pengujian, dan rancangan final. Selanjutnya, adalah proses
manufaktur, yang meliputi perencanaan proses, tools, lintas produksi, dan persiapan
lainnya yang diperlukan untuk proses produksi produk. Selanjutnya kegiatan pemasaran,
meliputi promosi produk, distribusi produk, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan
pemasaran. Dengan pendekatan concurent engineering, keputusan pada tahap desain dan
manufaktur dapat dilakukan secara bersamaan dan juga keputusan pada tahap pemasaran.
Dan ini selanjutnya dapat memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkan
produk ke pasar. Penerapan pendekatan concurent engineering untuk pengembangan
produk memberikan manfaat yang signifikan. Setelah produk dibeli oleh konsumen,
produsen dapat menerapkan kebijakan pemeliharaan pada produk selama masa garansi.
Hal ini dilakukan dengan memberikan pemeliharaan periodik yang tidak dikenakan
ongkos kepada konsumen atau dengan ongkos yang tidak penuh (potongan harga)
sehingga menarik bagi konsumen. Cara lain adalah mewajibkan konsumen untuk
melakukan pemeliharaan periodik ke service station resmi dengan ongkos ditanggung
konsumen, jika tidak melakukan pemeliharaan periodik maka klaim garansi tidak
berlaku.
Gambar 2: Manajemen Garansi Tahap I (Blishcke dan Murthy,1995).
Manajemen garansi tahap II merupakan moda preventif yang bertujuan untuk
meminimalisasi klaim garansi dan permasalahan yang timbul dengan menjual produk
bergaransi. Hal ini dilakukan dengan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi
sebagai hasil dari proses pengembangan dan perancangan produk, dan manufaktur yang
baik. Pada tahap ini, garansi sudah dipertimbangkan sebagai alat promosi sehingga sudah
menjadi bagian dari pemasaran, tetapi pertimbangan aspek teknikal dan aspek komersial
untuk memberikan layanan purna jual yang prima masih bersifat sekuensial (lihat
Gambar 3). Moda ini berkembang dalam sepuluh tahun terakhir ini, yaitu setelah layanan
purna jual (garansi dasar dan garansi tambahan) menjadi elemen penting dalam
memenangkan persaingan di pasar. Karena itu, keputusan mengenai layanan purna jual
dipertimbangkan sebagai bagian dari keputusan pemasaran, tetapi belum terintegrasi
dengan pengembangan dan perancangan produk serta proses manufaktur (Blishcke dan
Murthy, 1995).
Gambar 3: Manajemen Garansi Tahap II (Blishcke dan Murthy, 1995).
Manajemen garansi tahap III merupakan moda proaktif, yang memanfaatkan
garansi sebagai instrumen penting dalam membangun kepuasan konsumen, citra produk,
product differentiation dan loyalitas konsumen. Di sini, garansi digunakan sebagai alat
untuk berkompetisi di pasar. Koordinasi yang erat antara aspek teknikal dan komersial
dalam pengelolaan garansi sangat diperlukan untuk memberikan layanan purna jual yang
prima dan meningkatkan kepuasan konsumen disatu pihak serta meminimalisasi ongkos
garansi di pihak yang lain (lihat Gambar 4). Prasyarat keberhasilan manajemen garansi
tahap III ini adalah interaksi yang erat antara aspek teknikal dan aspek komersial. Atau
dengan kata lain, pendekatan yang efektif untuk mengelola garansi harus
mengintegrasikan aspek teknikal dan aspek komersial.
Gambar 4 : Manajemen Garansi tahap III
Kebutuhan untuk Pendekatan Terintegrasi
Manajemen garansi tahap III membutuhkan suatu pendekatan yang komprehensif
yang mengintegrasikan fungsi-fungsi pengembangan dan perancangan produk,
manufaktur, pemasaran, pemeliharaan dan layanan purna jual. Melalui dua aspek penting,
yaitu aspek teknikal dan aspek komersial, berikut ini dijelaskan hubungan antar fungsi-
fungsi tersebut.
Hubungan Antar Fungsi dari Aspek Teknikal
Berikut ini dijelaskan hubungan antar fungsi pengembangan dan perancangan
produk, dan manufaktur (dan juga pemeliharaan) dari aspek teknikal yang berhubungan
dengan keandalan dan kualitas produk.
Pada tahap desain, fitur utama (yang berhubungan dengan garansi) adalah
keandalan produk dan fitur yang lainnya seperti kemampuan-rawat (maintainability).
Tahap manufaktur meliputi penentuan dua hal penting yaitu manufacturablity
(kemudahan untuk diproduksi dalam jumlah besar) dan kualitas dari proses manufaktur
yang berhubungan dengan kemampuan proses untuk menghasilkan produk yang dapat
memenuhi persyaratan kualitas. Produk yang tidak memenuhi persyaratan kualitas
(produk cacat) memiliki keandalan yang rendah (inferior) dibandingkan dengan yang
memenuhi persyaratan.
Dengan demikian, produk cacat yang sampai ke pembeli dapat menimbulkan
ongkos garansi yang jauh lebih besar dari produk yang memenuhi persyaratan kualitas.
Kualitas manufaktur dapat dipengaruhi oleh desain proses dan kemampuan proses,
kinerja pemasok material dan komponen, pengendalian kualitas, dan tingkat keterampilan
operator. Setelah produk dibeli dan dipergunakan oleh konsumen, fungsi pemeliharaan
dapat diterapkan oleh produsen dengan memberikan layanan pemeliharaan periodik gratis
atau dengan potong harga, sehingga tindakan pemeliharaan tersebut dapat mengendalikan
jumlah kerusakan selama masa garansi.
Hubungan Antar Fungsi dari Aspek Komersial
Aspek komersial berhubungan dengan penentuan harga, promosi, kepuasan
konsumen, keuntungan, dan lain-lain. Garansi, pada aspek ini, secara langsung dan tidak
langsung memengaruhi fungsi pemasaran dan fungsi layanan purna jual. Penjelasan
hubungan antar fungsi dari aspek komersial dalam pengelolaan garansi produk dijelaskan
berikut ini.
Sebagai alat pemasaran, garansi memainkan peranan penting dalam memberikan
jaminan terhadap ketidakpastian dari kualitas produk. Pemanfaatan garansi sebagai alat
pemasaran tergantung pada apakah strategi pemasaran yang dilakukan bersifat offensive
atau deffensive. Dan hal ini tergantung dari apakah perusahaan adalah pemimpin pasar
(market leader) atau bukan. Garansi dipandang sebagai senjata penyerang (an offensive
tool) apabila digunakan untuk memberikan sinyal keandalan produk yang tinggi kepada
konsumen.
Apabila produsen menggunakan moda reaktif, garansi dipergunakan sebagai
senjata bertahan (a deffensive tool) dengan tujuan untuk memenuhi kompetisi agar tidak
kehilangan penjualan dan memperbaiki kesalahpahaman konsumen terhadap kualitas
produk. Garansi FRW dapat dipandang sebagai an offensive strategy, sedangkan PRW
sebagai a deffensive strategy.
Interaksi Aspek Teknikal dan Aspek Komersial
Interaksi aspek teknikal dan aspek komersial menentukan tingkat profitabilitas
dari suatu produk. Garansi yang lebih lama dapat menimbulkan efek promosi yang
dahsyat dan meningkatkan penjualan secara signifikan, tetapi hal ini membutuhkan
kualitas produk yang tinggi untuk meminimalisasi jumlah kerusakan/klaim selama masa
garansi dan akhirnya dapat mengendalikan ongkos garansi. Terdapat trade-off antara (1)
ongkos desain dan manufaktur, dan (2) ongkos untuk pelayanan garansi. Kerjasama yang
erat antara fungsi desain, manufaktur, dan pemasaran dapat memberikan alokasi ongkos
yang optimal dari kedua ongkos tersebut.
Di samping itu, interaksi antara beberapa fungsi di dalam perusahaan dan
pemasok (supplier) dan pihak ketiga yang memberikan jasa garansi tambahan dibutuhkan
dalam mengelola garansi secara efektif. Manajemen garansi yang efektif harus
mempertimbangkan interaksi dari keempat faktor tersebut (lihat Gambar 4), selama siklus
hidup produk, dari tahap sebelum peluncuran produk dan setelah peluncuran produk.
Pilihan pada tahap desain dan manufaktur memengaruhi kualitas produk dan
kemudian ongkos garansi. Sebaliknya, keputusan mengenai garansi yang ditawarkan
harus sesuai dengan kualitas produk agar ongkos klaim garansi terkendali, dan ini
selanjutnya memengaruhi keputusan pada desain produk dan manufaktur (proses
produksi dan pengendalian kualitas).
Sebelum peluncuran produk baru, pertimbangan garansi produk dimulai sejak
awal yaitu dari tahap pengembangan produk, desain produk, desain proses, persiapan
rencana pemasaran, dan akhirnya perumusan spesifikasi garansi. Di sini, manajemen
harus menentukan nilai target dari produk seperti fitur fungsional yang diiginkan, ongkos
per-unit dan harga jual yang diinginkan.
Pada tahap setelah peluncuran produk, manajemen garansi memonitor dan
mengevaluasi layanan purna jual, umpan balik ke desain dan manufatur untuk
peningkatan kualitas produk, pemasaran untuk perubahan kebijakan garansi, harga jual
dan layanan purna jual, dan semua tindakan revisi pada tahap ini yang diperlukan selama
masa garansi. Pada tahap ini, kecepatan penyampaian data kinerja dan kualitas produk
yang diperoleh dari konsumen melalui service station/dealer untuk analisis keandalan
produk sangat diperlukan. Dan selanjutnya, bermanfaat untuk perbaikan kualitas produk
di lantai pabrik dan desain produk.
Sumber data kinerja dan kualitas produk umumnya hanya berasal dari data klaim
garansi dan data perbaikan produk rusak. Data ini selanjutnya digunakan untuk
memperbaiki ongkos garansi dan untuk prediksi klaim garansi ke depan. Di samping itu,
data tersebut diteruskan ke divisi rekayasa, produksi, pengendalian kualitas, dan
manajemen garansi untuk mengevaluasi kebijakan garansi yang diberikan.
Perkembangan Manajemen Garansi di Indonesia
Manajemen garansi di Indonesia umumnya masih pada tahap I dan sebagian kecil
sudah berada pada tahap II. Umumnya, masih bersifat reaktif, lebih memfokuskan pada
pemrosesan klaim garansi dan penyelesaian permasalahan yang muncul akibat dari
garansi. Perusahaan belum banyak menggunakan garansi sebagai an offensive tool dalam
pemasaran produk. Kebanyakan perusahaan menawarkan garansi untuk memenuhi
persyaratan memasuki suatu pasar, lebih pada a deffensive tool. Bahkan, pada periode
sebelum tahun 2000, pada industri sepeda motor, garansi hanya melindungi kerusakan
pertama selama masa garansi yang pendek, yaitu enam bulan, atau bersifat membatasi
tanggung jawab produsen. Sementara itu, pada periode tersebut, di negara maju, garansi
untuk produk otomotif diberikan dua sampai lima tahun dan melindungi semua kerusakan
(untuk komponen yang dijamin) yang terjadi selama masa garansi.
Di samping itu, untuk produk yang dijual di Indonesia, tidak semua komponen
kendaraan bermotor dijamin oleh garansi tetapi hanya sebagian komponen saja.
Sedangkan di Amerika dan Eropa, sejak beberapa tahun yang lalu, produsen telah
menawarkan bumper-to-bumper warranty yang menjamin hampir seluruh komponen dari
suatu kendaraan bermotor dan memberikan garansi tiga sampai sepuluh tahun untuk
power train.
Bahkan, di Amerika, telah diberlakukan aturan baru untuk melindungi pembeli
kendaraan bermotor yang disebut Lemon Law. Dengan aturan ini, jika suatu komponen
dari produk mengalami kerusakan lebih dari jumlah tertentu, misalnya tiga kali, selama
masa garansi maka konsumen berhak atas produk baru. Perlindungan yang maksimal ini
akan berdampak positif terhadap kepuasan pelangan yang selanjutnya meningkatkan citra
produk. Ini merupakan contoh dari pemanfaatan garansi sebagai an offensive tool dalam
mempromosikan produk.
Berhubungan dengan data klaim dan data perbaikan produk rusak, data tersebut
belum digunakan secara maksimal untuk memperbaiki kinerja produk dan mengevaluasi
ongkos garansi atau untuk prediksi klaim garansi. Data klaim dikumpulkan oleh dealer
hanya untuk keperluan penagihan pembayaran klaim garansi ke produsen yang dilakukan
bulanan. Data ini sudah dipergunakan untuk keperluan perbaikan kualitas produk, tetapi
umpan balik kinerja produk ke pabrik masih lambat, yaitu dua sampai empat minggu,
karena mengikuti mekanisme penagihan pembayaran klaim garansi. Hal ini
menunjukkan bahwa perlu suatu mekanisme yang berbeda (berbasis web atau
memanfaatkan Internet) untuk mendapatkan data kinerja produk yang bersumber dari
data klaim, untuk peningkatan kualitas produk.
Hanya sebagian kecil produsen yang sudah memanfaatkan garansi sebagai
instrumen untuk penetrasi pasar (manajemen garansi tahap II), seperti pada industri
sepeda motor, di mana satu produsen menawarkan garansi untuk mesin selama tiga tahun
(garansi sebagai an offensive tool), dan kemudian diikuti oleh produsen lainnya (garansi
sebagai a deffensive tool).
Umumnya, data klaim belum digunakan secara maksimal untuk memodelkan
keandalan produk dan memperbaiki kinerja garansi, misalnya untuk prediksi klaim
garansi. Penelitian yang telah memanfaatkan data klaim garansi untuk memodelkan
keandalan produk (sepeda motor) dan memprediksi ongkos garansi dapat dilihat pada
Iskandar dan Blischke (2003) dan Anantasari dan Iskandar (2003).
PENUTUP
Peranan dan pentingnya garansi dalam pemasaran produk dari tahun ke tahun
semakin besar. Bersamaan dengan itu, beban ongkos garansi dan ketidakpuasan
konsumen terhadap layanan garansi juga meningkat secara signifikan sehingga semakin
meminta perhatian yang besar dari manajemen.
Perkembangan garansi tersebut menyebabkan pengelolaan garansi produk
berubah dari moda reaktif menjadi proaktif. Moda reaktif lebih memfokuskan pada
penanganan klaim garansi dan bertujuan untuk meminimalisasi jumlah klaim konsumen
(ongkos garansi). Manajemen garansi dengan moda proaktif bertujuan tidak saja
meminimalisasi ongkos garansi tapi juga memaksimumkan kepuasan konsumen, citra
produk dan penjualan sehingga membutuhkan pendekatan yang terintegrasi, yang
menggabungkan aspek teknikal dan aspek komersial dalam pengelolaan garansi. Pada
makalah ini, telah dibahas suatu pendekatan terintegrasi dalam pengelolaan garansi, di
mana interaksi antar fungsi desain produk, manufaktur, pemasaran dan purna jual dilihat
dari kedua aspek penting tadi. Dan pengelolaan garansi dengan pendekatan terintegrasi
ini dilakukan baik selama periode sebelum maupun sesudah peluncuran produk ke pasar.
Manajemen garansi di Indonesia umumnya masih pada tahap I yaitu bersifat
reaktif, lebih memfokuskan pada pemrosesan klaim garansi dan penyelesaian
permasalahan yang muncul akibat dari garansi. Perusahaan belum banyak menggunakan
garansi sebagai an offensive tool dalam pemasaran produk. Kebanyakan perusahaan
menawarkan garansi untuk memenuhi persyaratan memasuki suatu pasar, jadi lebih pada
a deffensive tool. Hanya sebagian kecil produsen yang sudah memanfaatkan garansi
sebagai instrumen untuk penetrasi pasar (manajemen garansi tahap II), seperti pada
industri sepeda motor, di mana satu produsen menawarkan garansi untuk mesin selama
tiga tahun (garansi sebagai an offensive tool), dan kemudian diikuti oleh produsen lainnya
(garansi sebagai a deffensive tool).
Garansi yang ditawarkan bersifat terbatas–tidak semua komponen kendaraan
bermotor dijamin oleh garansi–hanya sebagian komponen saja. Sedangkan, sejak
beberapa tahun yang lalu, di Amerika dan Eropa, produsen telah menawarkan bumper-to-
bumper warranty yang menjamin hampir seluruh komponen dari suatu kendaraan
bermotor dan memberikan garansi tiga sampai sepuluh tahun untuk power train.
Dalam rangka mendapatkan proteksi yang layak bagi konsumen terhadap produk
yang dibeli, lembaga konsumen (yang merepresentasikan kepentingan konsumen)
bekerjasama dengan pembuat peraturan publik (law maker) harus berperan aktif untuk
menghasilkan undang-undang (peraturan) mengenai garansi produk (yang spesifik untuk
setiap jenis durable product) yang dapat memberikan proteksi baik bagi konsumen
maupun produsen. Dan ini akan melengkapi Undang-Undang nomor 8 tahun 1999,
tentang perlindungan konsumen, yang masih bersifat global, untuk semua jenis produk.
DAFTAR PUSTAKA
Anantasari dan Iskandar, B.P. 2003, “Estimasi Ongkos Garansi Sepeda Motor dengan
Melibatkan Data Follow-up”, Proceeding Seminar Sistem Produksi VI Jurusan
Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung.
Brennan, J.R. (1994), Warranties, Planning, Analysis, and Implementation,
Mc.GrawHill, New York.
Blischke, Wallace R. and Murthy, D.N. Prabharkar (1994), Warranty Cost Analysis,
Marcel Dekker Inc., New York.
Blischke, Wallace R. and Murthy, D.N. Prabharkar (1995), Product Warranty Handbook,
Marcel Dekker Inc., New York.
Husniah, H., B.P. Iskandar. 2008, Optimal replacement policy for a product sold with a
two-dimensional warranty, Proceedings Asia Pacific Industrial Engineering and
Management Systems Conference.
Iskandar, BP. (1992), “Modelling and Analysis of Two-Dimensional Warranty Policies”,
Disertasi S3, The Departement of Mechanical Engineering University of
Queensland St. Lucia, Brisbane.
Iskandar, B.P., Murthy, D.N.P, Wilson, R. J. (1994),.Two Dimensional Combination
Warranties, RAIRO, France.
Iskandar, B.P., Murthy, D.N.P., Repair-Replace Strategies for Two-Dimensional
Warranty Policies, Mathematical and Computer Modelling, 38, ISSN 0895-7177,
Desember, 2003, 1233--1241.
Iskandar, B.P. and Blischke, W.R. 2003, Reliability and Warranty Analysis of a
Motorcycle Based on Claims Data, Case Studies in Reliability and Maintenance,
edited by W. R. Blischke and D. N. P. Murthy, John Wiley & Sons.
Iskandar B.P., Murthy, D.N.P., Jack, N. 2005, A New Repair – Replace Strategy for
Items Sold with A Two – Dimensional Warranty, Computer & Operations Research
32, pp. 669 – 682.
Iskandar B.P., Murthy, D.N.P., Jack, N. 2007, A New Repair – Replace Strategy Based
on Usage Rate for Items Sold with A Two – Dimensional Warranty, Proceedings,
Asia Pacific Conference on Manufacturing Systems.
Iskandar B.P, and Jack N.( 2008), Warranty servicing with imperfect repair for products
sold with a two-dimensional warranty. Proc. of the 3rd International Workshop on
Advanced Reliability Modelling III, 529--536.
Jack, N., B.P. Iskandar and D.N.P. Murthy. 2009, A new repair-replace strategy based on
usage rate for items sold with a two-dimensional warranty. Reliability Engineering
and System Safety 94 611–617.
Lele, M.M dan Karmarkar, U.S. (1983), Good product support is smart marketing,
Harvard Business Rev., Vol. 61, pp. 124--132.
Menezes, M.A.J dan Quelch, J.A.(1990), Leverage your warranty program, Sloan
Manage. Rev., Vol 31, No. 4, pp. 69--80.
Murthy, D. N. P., Iskandar, B.P, and Wilson, R. J. (1995), “Two-dimensional failure free
warranties: Two-dimensional point process models,” Operations Research 43:
356--366.
Murthy, D.N. Prabharkar dan Blischke, Wallace R. 2000. Strategic Warranty
Management: A Life-Cycle Approcah, IEEE Transaction of Engineering
Management, Vol. 47, No. 1, pp. 40--54.
D.N.P. Murthy and N. Jack. 2007, Warranty servicing. Encyclopaedia of statistics in
quality and reliability. pp. 2091--2097.
Murthy, D.N. Prabharkar dan Blischke, Wallace R. 2007, Warranty Management and
Produc Manufacture, Spriger, London.
Padmanabhan, V. dan Rao, Ram C., (1993), “Warranty Policy and Extended Service
Contracts: Theory and an Application to Automobiles”, Marketing Science, Vol
12, No 3.
Roehm, T. 2003, Warranty management as your competitive differentiator: how to reduce
cost and improve customer satisfaction, cycle time: your competitive advantage,
[online]. Available:http:// www.sas.com.
Thomann, J. 2005, Management-The need for a holistic view (online). Available:http://
www.blogs.ittoolbox.com/cgi-bin/mt/tb-ittb.cgi/2556.