malaria dan kdk
description
Transcript of malaria dan kdk
LAPORAN KASUS
KEJANG DEMAM KOMPLEKS DENGAN
MALARIA
Oleh :
Lidia Kellyani Dewi
Pembimbing :
dr. Mario B. Nara, Sp. A
Internship UGD
Rumah Sakit Umum Daerah T.C. Hillers
Periode Maret 2015 – Juni 2015
IDENTITAS P ASIEN
Nama : An. M
Umur : 3 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Katolik
Alamat : Kabor
Masuk RSUD : 18 April 2015
Keluar RSUD : 22 April 2015
Ruang : Melati
Status : JKN Kelas I
IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ibu : Ny. L
Usia : 24 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Nama Ayah : Tn. S
Usia : 33 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani
1
DATA DASAR
ANAMNESIS
Alloanamnesis (dengan ibu pasien) dilakukan pada tanggal 18 April 2015 di IGD RSUD
T.C.Hillers
KELUHAN UTAMA
Kejang sejak 2 jam SMRS.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
Pada tanggal 18 April 2015 pasien dibawa oleh ibunya ke IGD RSUD Dr. TC Hillers
pukul 06.00 WITA karena kejang kurang lebih 30 menit yang lalu. Pada saat kejang
badan pasien kaku, mata mendelik ke atas, dan pasien tidak sadar. Pasien mengangis
setelah kejang. Kejang tersebut berlangsung selama 5 menit. Kejang sudah terjadi 2x,
kejang sebelumnya sekitar 1,5 jam yang lalu berlangsung selama 20 menit. Kejang yang
dialami pasien disertai oleh demam tinggi yang sudah terjadi sejak 2 hari SMRS. Demam
tidak diukur suhunya. Demam disertai menggigil dan turun dengan pemberian obat
penurun panas. Akan tetapi, demam naik lagi jika tidak minum obat. Pasien juga batuk
pilek sejak 3 hari SMRS. Batuk berdahak warna putih. Pasien belum berobat ke
Puskesmas dan hanya minum Paracetamol. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat kelahiraan : pasien lahir di RS, spontan, ditolong bidan, BBL 3100 gram,
langsung menangis, ketuban tidak diketahui warnanya.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
Riwayat kejang sebelumnya disangkal
Riwayat alergi disangkal
RIWAYAT KELUARGA :
Riwayat penyakit yang sama disangkal
2
RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
Pertumbuhan
Pasien setiap bulannya ditimbang di Posyandu dan berada dalam kurva pertumbuhan normal.
Perkembangan
Perkembangan pasien baik sesuai dengan usianya.
- 6 bulan : duduk
- 9 bulan : berdiri sendiri tanpa dibantu
- 1 tahun : berjalan sendiri, bicara beberapa kata
- 3 tahun : berjalan, berlari, memanjat, melompat, turun tangga, memakai baju sendiri, mengenali dan mengidentifikasi benda dan gambar dengan menunjuk, berbicara dalam bentuk kalimat
RIWAYAT MAKANAN
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0-2 v
2-4 v
4-6 v
6-8 v
8-10 v V V
10-12 v V V v
2 tahun v V V v
3
Umur diatas 1 tahun
Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah
Nasi/Pengganti 3x/hari, banyak
Sayur 3x/hari
Daging 2-3x/minggu
Telur 3x/minggu
Ikan 3x/minggu
Tahu 3x/minggu
Tempe Jarang (<1x/minggu)
Susu (merk/takaran) Jarang (<1x/minggu)
Lain-lain
Kesulitan makan : -
RIWAYAT TEMPAT TINGGAL
Rumah milik sendiri. Pasien tinggal serumah dengan 4 orang termasuk dirinya (ayah, ibu,
pasien, kakak pasien). Daerah/lingkungan padat penduduk, sekitar rumah tidak ada yang
menderita penyakit yang serupa. Pasien memakai sumber air dari PAM.
RIWAYAT IMUNISASI
Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar yang lengkap.
RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
Demam - Kejang - Darah -
4
Berdarah
Demam
Thypoid
- Kecelakaan - Radang Paru -
Otitis - Morbili - Tuberculosis -
Parotitis - Operasi - Lainnya -
PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 18 April 2015, Pukul 06.00 WITA)
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 11,4 kg
Tinggi Badan : 88 cm
Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 80x/menit, teratur, kuat, penuh
Suhu Tubuh : 39oC
Frekuensi Napas : 30x/menit, reguler
Tekanan Darah : -
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.tiroid (-)
Faring : Hiperemis +/+
Paru : SD ves +/+, rh -/-, whe -/-
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, supel, timpani, bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT < 2 detik
Status Neurologis
5
Tanda rangsang meningeal :
- Kaku kuduk : -
- Bruzinsky I : -
- Bruzinsky II : -
- Laseque : -
- Kerniq : -
Reflek Patologis :
- Babinsky : -
- Oppenheim : -
Reflek Fisiologis :
- Biceps : +/+
- Triceps : +/+
- Patella : +/+
- Achilles : +/+
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (18 April 2015)
Malaria Falciparum + 1800/200WBC
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Satuan
Hb 11,3 12-16 g/dl
Leukosit 9.590 4.100-10.900 /uL
Hematokrit 32,8 36-46 %
Eritrosit 4,03 4-5 Juta
MCV 81,4 80-100 fL
MCH 28 26-34 Pg
6
MCHC 34,5 31-36 g/dl
Basofil 0,2 0-2 %
Eusinofil 0 0-5 %
Batang 0 2-6 %
Segmen 71 47-80 %
Limfosit 16 13-40 %
Monosit 7 2-11 %
Trombosit 95.000 140.000-440.000 /uL
RDW 14,5 11,6-14,8
DIAGNOSIS:
Kejang Demam Kompleks dengan Malaria Falciparum
Faringitis Akut
PENATALAKSANAAN DI UGD
- MRS Melati
- IVFD D5 ½ NS 1100 cc/24 jam
- Paracetamol supp 125 mg
- Paracetamol syr 125 mg / 5 ml à 3 x I cth
- Diazepam 3,5 mg IV bila kejang
- Dx : DL, MTT
PROGNOSIS
7
Quo Ad Vitam : bonam
Quo Ad Functionam : bonam
Quo Ad Sanationam : bonam
Follow Up Rawat Inap tanggal 18-21 April 2015
Tanggal Klinis + Lab Terapi
18/04 Panas +, kejang -, muntah -, makan dan minum baik, batuk pilek +
Hb : 11,3 gr/dl
Ht : 32,8%
Leukosit : 9590 /ul
Trombosit : 95.000/ul
Diagnosis :
-Kejang demam kompleks dengan Malaria Falciparum
-Faringitis Akut
- Cek IgG dan IgM- IVFD RL 1100cc/24jam- Antrain 3x120 mg IV- Darplex 1 tab (hari ke-1)- Primakuin ¾ tab 1x- Pulvis batuk pilek 3x1- Cefadroxil syr 2x1,5cth- Diazepam 3,5 mg bolus IV
bila kejang
19/04 Panas –, kejang -, muntah -, makan dan minum baik
Hb : 9,4 gr/dl
Ht : 28,72%
Leukosit : 6950 /ul
Trombosit : 38.000/ul
Diagnosis :
-Kejang demam kompleks dengan Malaria Falciparum
-Faringitis Akut
- MTT ulang besok pagi- Asering 1100cc/24 jam- PCT 3x1 cth- Darplex 1 tab (hari ke-2)- Pulvis batuk pilek 3x1- Cefadroxil syr 2x1,5cth- Diazepam 3,5 mg bolus IV
bila kejang
20/4 Panas –, kejang -, muntah -, makan dan minum - MTT ulang besok pagi- Asering 1100cc/24 jam
8
baik
Malaria : -
Hb : 9,1 gr/dl
Ht : 27,31%
Leukosit : 6460 /ul
Trombosit : 30.000/ul
Diagnosis :
-Kejang demam kompleks dengan Malaria Falciparum
-Faringitis Akut
- PCT 3x1 cth- Darplex 1 tab (hari ke-3)- Pulvis batuk pilek 3x1- Cefadroxil syr 2x1,5cth- Diazepam 3,5 mg bolus IV
bila kejang
21/4 Tidak ada keluhan
Malaria : -
Hb : 10,1 gr/dl
Ht : 31,38%
Leukosit : 9340 /ul
Trombosit : 213.000/ul
Diagnosis :
-Kejang demam kompleks dengan Malaria Falciparum
-Faringitis Akut
- BPL- Aff infus- PCT stop- Cefadroxil syr 2x1,5cth- Puyer bapil stop- Pulvis PCT 150 mg +
Diazepam 1 mg bila panas saja
ANALISIS KASUS
9
ANAMNESIS
Case Teori
Usia 3 tahun 4 bulan Kejang demam terjadi 2-4 % pada anak berumur 6 bulan – 5 tahun
Kejang disertai demam Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada ke- naikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang berulang 2x selang 1 jam, kejang berlangsung 20 menit
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang kaku seluruh badan, mata mendelik ke atas, setelah kejang pasien menangis
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam
PEMERIKSAAN FISIK
Case Teori
10
Suhu 390 C bangkitan kejang yang terjadi pada ke- naikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380 C)
Faring hiperemis +/+ Kejadian terbanyak pada kejang demam lebih sering terjadi dikarenakan oleh infeksi virus dibandingkan infeksi bakteri, umumnya terjadi pada 24 jam pertama sakit dan berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan akut, seperti faringitis.
Pemeriksaan neurologis :
Rangsang meningeal –
Refleks fisiologis +/+
Refleks patologis -/-
Pemeriksaan fisik neurologis dalam batas normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Case Teori
Laboratotium
(darah lengkap, malaria)
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam à untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam à darah perifer, elektrolit dan gula darah.
Lumbal pungsi tidak dilakukan Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan à menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.Pungsi lumbal dianjurkan pada :
1. Bayi < 12 bulan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
EEG tidak dilakukan Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan
11
kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam à tidak direkomendasikan à dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas à kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Foto X-ray kepala, CT scan, dan MRI tidak dilakukan
Foto X-ray kepala, CT-scan, atau MRI jarang sekali dikerjakan à indikasi :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemipare- sis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
TERAPI
Case Teori
MRS Melati IVFD D5 ½ NS 1100 cc/24 jam Paracetamol supp 125 mg Paracetamol syr 125 mg / 5 ml à 3
x I cth Diazepam 3,5 mg IV bila kejang
1. AntipiretikDosis parasetamol yang digunakan adalah 10–15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali ,3-4 kali sehari
2. AntikonvulsanPemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%- 60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C
TINJAUAN PUSTAKA KEJANG DEMAM
Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial.
Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 38 derajat
celcius di atas suhu rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Anak
12
yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam.
Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai
4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada
tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden
kejadian sebesar 37%.
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk
di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih
tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang
harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit
lebih banyak menyerang anak laki-laki.
Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam
mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya.
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam
dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media akut
(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak
akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
13
saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat
menyebabkan kejang demam.
Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan
permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan
mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %.
Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15
menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.
Klasifikasi
14
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua
1. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)
- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam
2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)
- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang
parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara
bangkitan kejang.
Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan
dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit
tanpa adanya kelainan neurologik.
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami
demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba),
kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai
dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya
15
terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat
kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
1. Anak hilang kesadaran
2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.
Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit
lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan
akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada
system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
16
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala
2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-
pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu
dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan
karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang
mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural
atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap
17
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dpt mengganggu
keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat dicurigai
Ensefalitis akut / Ensefalopati.
4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari 12 bulan sangat
dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun memprediksi
terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada KDK. Tetapi
beberapa ahli berpendapat EEG tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi
fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab
itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.
Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan anak
yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan
neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal
dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi
lumbal.
Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
18
Tabel Diagnosis Banding
No Kriteri Banding Kejang
Demam
Epilepsi Meningitis
Ensefalitis
1. Kejang Pencetusnya
demam
Tidak berkaitan
dengan demam
Salah satu gejalanya
demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)
Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
1. Mengatasi kejang secepat mungkin
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah
berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di rumah
sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun
atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
Jika kejang masih berlanjut :
1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang selang
infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Jika kejang masih berlanjut :
1. Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kgBB per infus dalam 30 menit
19
2. Pemberian fenitoin 10-20mg/kgBB per infus dalam 30 menit dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50mg/menit.
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang perawatan
intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.
2. Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas, pernafasan,
sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya semua pakaian ketat dibuka,
posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan
jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau
trakeostomi. Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan
pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor sekiranya terdapat
kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernafasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat.
Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi, manakala
pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi. Kompres es dan alkohol tidak lagi
digunakan karena pembuluh darah perifer bisa mengalami vasokontriksi yang berlebihan
sehingga menyebabkan proses penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih terganggu.
Kompres hangat juga tidak digunakan karena walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada
pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa
karena dirasakan tubuh menjadi semakin panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah.
Menurut penelitian, apabila suhu penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa.
Dengan ini, proses penguapan bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan-lahan.
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.
20
3. Memberikan pengobatan rumat
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara mengirim
penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang demam kompleks
merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah sakit selain adanya
hiperpireksia, pasien < 6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan terdapat kelainan
neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu :
Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam
diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada anak
selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis 10-
15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya
kejang demam ialah diazepam, baik diberikan secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak
dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas 10kg, maupun oral
dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat tubuh ≥ 38,50C. Profilaksis intermitten ini
sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana
sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital, karbamazepin dan fenition pada
saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis teurapetik
yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari. Pengobatan jangka panjang dapat dipertimbangan jika terjadi hal berikut:
1. Kejang demam ≥ 2 kali dalam 24 jam
2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan
3. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah:
21
1). Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka panjang
ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-kadang
gangguan kognitif atau fungsi luhur
2). Sodium valproat / asam valproat
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah gejala
toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.
3). Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa
hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan. Pemberian
antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun
seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan
dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.
4. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan
kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang
demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis. Apabila
menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, yaitu
pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium, magnesium,
kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.
Prognosis
1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46
% s/d 0,74 %.
22
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50
% pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan
mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat
satu atau tidak sama sekali faktor di atas.
4. Hemiparesis. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun
kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental. Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami
kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan
perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila
kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan
menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.
TINJAUAN PUSTAKA MALARIA
1. Definisi Malaria
Malaria adalah salah satu penyakit menular yang bersifat akut maupun kronis.
Penyakit malaria merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit malaria, suatu
protozoa darah genus plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk anopheles betina yang
terinfeksi.
2. Gejala Klinis Malaria
Gejala klinis malaria merupakan petunjuk yang penting dalam diagnosis malaria.
Manifestasi klinis malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang intermitten,
anemia dan splenomegali. Penyakit ini cenderung untuk beralih dari demam akut ke
23
keadaan menahun. Selama stadium akut terdapat masa demam yang intermitten.
Sedangkan pada infeksi oleh plasmodium vivax, panas bersifat ireguler, kadang-kadang
remiten atau intermiten. Dalam stadium menahun berikutnya terdapat masa laten yang
diselingi kambuh beberapa kali. Kambuhnya penyakit ini sangat mirip dengan serangan
pertama. Sementara itu rekrudensi sering terjadi pada infeksi yang disebabkan
plasmodium malariae.
Demam yang terjadi pada penderita berhubungan dengan proses skizogoni
(pecahnya merozoit/skizon). Berat ringannya pun tergantung pada jenis plasmodium
yang menyebabkan infeksi. Di Indonesia sampai saat ini terdapat empat macam
plasmodium penyebab infeksi malaria yaitu :
a. Plasmodium falciparum penyebab malaria tropika yang menimbulkan demam tiap 24-
48 jam,
b. Plasmodium vivax penyebab malaria tertiana yang menimbulkan demam tiap hari ke 3
c. Plasmodium malariae penyebab malaria kuartana yang menimbulkan demam tiap hari
ke 4
d. Plasmodium ovale penyebab malaria ovale, memberikan infeksi yang paling ringan
dan sering sembuh spontan tanpa pengobatan (Harijanto, 2010).
Selain itu, pada infeksi malaria terdapat gejala klasik malaria akut yang sering di sebut
Trias Malaria, secara berurutan :
a. Periode dingin.
Stadium ini mulai dengan menggigil, kulit dingin dan kering. Gigi gemeretak dan
penderita biasanya menutup tubuhnya dengan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi
lemah. Bibir dan jari pucat kebiru-biruan, kulit kering dan pucat. Stadium ini
berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam. diikuti meningkatnya temperatur.
24
b. Periode demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan. Suhu badan
dapat meningkat sampai 40°C atau lebih. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat
panas seperti terbakar, sakit kepala, nadi cepat, respirasi meningkat, muntah-muntah
dan dapat terjadi syok (tekanan darah turun) bahkan sampai terjadi kejang (pada
anak). Stadium ini berlangsung lebih lama dari periode dingin, antara 2 sampai 4
jam. Demam disebabkan oleh pecahnya sison darah yang telah matang dan masuknya
merozoit ke dalam aliran darah.
c. Periode Berkeringat.
Pada periode ini penderita berkeringat banyak sekali sampai-sampai tempat tidurnya
basah. Temperatur turun dan penderita merasa capek dan biasanya dapat tidur
nyenyak. Pada saat bangun dari tidur merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain,
stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Gejala-gejala yang disebutkan di atas
tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung pada spesies parasit dan umur dari
penderita, gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika. Hal ini
disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk trofosoit dan sison). Untuk
berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan ginjal sehingga
menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah pada organ-organ tubuh tersebut.
3. Diagnosis malaria
Diagnosis malaria umumnya didasarkan pada manifestasi klinis (termasuk
anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya parasit (plasmodium) dalam darah
penderita. Manifestasi klinis demam malaria seringkali tidak khas dan menyerupai
penyakit infeksi lain seperti demam dengue dan demam tifoid, sehingga sulit dilakukan
diagnosa dengan mengandalkan pengamatan secara klinis saja, namun perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis malaria sedini mungkin. Siklus
Hidup Parasit Malaria
a. Siklus Aseksual Dalam Tubuh Manusia
1) Siklus di luar sel darah merah
Siklus di luar sel darah merah (eksoeritrositer) berlangsung dalam hati.
Stadium ini dimulai saat nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan
memasukan sporozoit yang terdapat pada air liurnya ke dalam darah manusia.
25
Beberapa menit kemudian (0,5-1 jam) sporozoit tiba di hati dan menginfeksi
hati. Di hati sporozoit mengalami reproduksi aseksual (skizogoni) atau proses
pemisahan dan menghasilkan parasit anak (merozoit) yang kemudian akan di
keluarkan dari sel hati. Pada plasmodium vivax dan plasmodium ovale
ditemukan dalam bentuk laten dalam hati yang disebut hipnosoit, yang
merupakan suatu fase hidup parasit malaria yang nantinya dapat menyebabkan
kumat/kambuh/rekurensi (long term relapse). P.vivax dapat kambuh berkali-
kali sampai jangka waktu 3-4 tahun sedangkan P. Ovale sampai bertahun-
tahun jika tidak di obati dengan baik.
2) Siklus dalam sel darah merah
Siklus dalam darah dimulai dengan keluarnya merozoit dari skizon matang di
hati ke sirkulasi. Siklus dalam sel darah merah (eritrositer) ini terbagi menjadi
siklus sisogoni yang menimbulkan demam dan siklus gametogoni yang
menyebabkan seseorang menjadi sumber penularan bagi nyamuk (Depkes
RI,1999).
b. Siklus Seksual Dalam Tubuh Nyamuk
Gametosit matang dalam darah penderita yang terhisap oleh nyamuk akan
mengalami pematangan menjadi gamet (gametogenesis) sedangkan parasit malaria
yang berbentuk trofozoit, skizon, merozoit dicerna dalam lambung nyamuk. Mikro
gametosit membelah menjadi 4-8 mikro gamet (gamet jantan) dan makro gametosit
mengalami kematangan menjadi makro gamet (gamet betina). Kemudian
pembuahan terjadi antara mikro gamet dan makro gamet yang disebut zigot. Pada
mulanya berbentuk bulat kemudian berubah menjadi memanjang dan dapat
bergerak dan disebut ookinet. Ookinet menembus dinding lambung dan menjadi
bentuk bulat disebut ookista. Ookista makin lama makin besar dan di dalamnya
intinya membelah-belah dan masing-masing inti diliputi protoplasma dan
mempunyai bentuk memanjang (10-15 mikron) di sebut sporozoit. Ookista akan
pecah dan ribuan sporozoit akan dibebaskan dalam rongga nyamuk yang kemudian
akan mencapai kelenjar liur. Nyamuk anopheles betina menjadi siap menularkan
penyakit malaria. Prinsip pemberantasan malaria antara lain didasarkan pada siklus
ini yaitu dengan mengusahakan umur nyamuk lebih pendek dari masa inkubasi
ekstrinsik sehingga siklus sporogoni (karena menghasilkan sporozoit) tidak dapat
26
berlangsung (Gandahusada,1998). Berikut gambar siklus hidup parasit malaria
dalam tubuh nyamuk dan manusia (Tetriana, 2007):
Gambar 1. Siklus Hidup Parasit Malaria
4. Cara Penularan
a. Penularan secara alamiah (natural infection) terjadi pada nyamuk anopheles.
b. Penularan tidak alamiah
1) Malaria bawaan (kongenital), terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena
ibunya menderita malaria, penularan terjadi melalui tali pusat atau plasenta.
2) Secara Mekanik, penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum
suntik yang tidak steril. Penularan lewat jarum suntik juga banyak terjadi pada
pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Malaria
lewat transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui
sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat di obati dengan mudah
27
3) Secara Oral, cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam
(P.gallinasium), burung dara (P.Relection) dan monyet (P.Knowlesi) yang
akhir-akhir ini dilaporkan menginfeksi manusia (Rampengan, 2010).
1. Pengobatan Malaria Falciparum
Pengobatan malaria didasarkan pada ada tidaknya parasit malaria dan seharusnya
tidak hanya didasarkan pada gejala klinis. Sebaliknya pada banyak individu yang
imun (tinggal di daerah endemik) ditemukan parasit malaria dalam darahnya namun
tidak ditemukan gejala malaria seperti demam. Pada keadaan ini seharusnya diberikan
pengobatan untuk mencegah transmisi dan kemungkinan menjadi malaria berat,
terutama pada anak-anak dan orang dewasa non imun, malaria dapat berkembang
cepat menjadi keadaan yang buruk. Kegagalan pada pengobatan malaria ringan dapat
menyebabkan terjadinya malaria berat, meluasnya malaria karena transmisi infeksi,
menyebabkan infeksi berulang dan bahkan timbulnya resistensi
Tujuan pengobatan secara umum adalah untuk mengurangi kesakitan, mencegah
kematian, menyembuhkan penderita dan mengurangi kerugian akibat sakit. Selain itu
upaya pengobatan mempunyai peranan penting yaitu mencegah kemungkinan
terjadinya penularan penyakit dari seorang yang menderita malaria kepada orang-
orang sehat lainnya.
Tabel. Pengobatan Lini I Plasmodium Falciparum berdasarkan Usia
Tabel. Pengobatan Lini II Plasmodium Falciparum berdasarkan Usia
28
2. Trombositopenia pada Malaria Berat
Parasit malaria berada dalam darah pada sebagian besar siklus hidupnya
sehingga menginduksi perubahan dalam darah. Malaria mempengaruhi hampir
seluruh komponen darah. Abnormalitas darah yang telah dilaporkan sehubungan
dengan infeksi malaria antara lain anemia, trombositopenia, splenomegali,
limfositosis ringan hingga berat serta (dalam kasus yang jarang) Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC). Anemia dan trombositopenia merupakan komplikasi
malaria terkait hematologi yang paling sering, dan mendapat banyak perhatian pada
literatur ilmiah karena berhubungan dengan mortalitas.
Perubahan jumlah leukosit total tidak signifikan pada malaria. Gambaran
leukosit pada penderita malaria beragam, tergantung dari berbagai faktor seperti
lamanya infeksi (akut atau kronis), derajat parasitemia, keparahan penyakit, status
imunitas pejamu dan infeksi campuran. Kadar leukosit total biasanya normal pada
malaria akut, atau terjadi leukopenia pada malaria falciparum akut. Pada kasus anak-
anak dan dewasa dengan malaria berat dan komplikasi, dapat terjadi leukositosis.
Semua jenis parasit penyebab malaria pada manusia menginfeksi eritrosit.
Eritrosit yang terinfeksi akan pecah saat melepaskan merozoit sehingga menyebabkan
hemolisis. Kejadian ini terjadi berulang kali dan menyebabkan anemia hemolitik
29
hipokromik mikrositik atau normokromik mikrositik. Meskipun malaria merupakan
infeksi pada eritrosit, patofisiologi utama dalam perkembangan malaria berat adalah
interaksi antara sel terinfeksi dan endotelium mikrovaskular. Aktivasi sel endotel
vaksular dianggap sebagai suatu ciri infeksi malaria yang umum terjadi dan
memainkan peranan penting dalam patogenesis malaria dengan meningkatkan
sekuestrasi dari eritrosit terinfeksi parasit ke pembuluh darah perifer. Trombosit dan
produk aktivasinya terlibat dalam sekuestrasi dari eritrosit terinfeksi pada endotel
kapiler dan venula, yang merupakan kunci dari proses patologis malaria berat.
Beberapa studi mengai kan derajat trombositopenia dengan tingkat keparahan malaria.
Terdapat beberapa mekanisme yang dipostulasikan sebagai penyebab
terjadinya trombositopenia, diantaranya destruksi dimediasi imun, abnormalitas pada
struktur trombosit yang diinvasi parasit, apoptosis platelet, DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation), sekuestrasi pada limpa (splenomegali), gangguan
koagulasi, dan stress oksidatif. Plasmodium falciparum dapat memodifikasi
permukaan eritrosit sehingga terdapat tonjolan-tonjolan, yang disebut knob, sehingga
eritrosit terinfeksi parasit akan bersifat mudah melekat, terutama pada eritrosit
sekitarnya yang tidak terinfeksi, trombosit dan endotel kapiler. Hal tersebut akan
menyebabkan pembentukan roset dan gumpalan dalam pembuluh darah yang dapat
memperlambat mikrosirkulasi. Akibatnya secara klinis dapat terjadi gangguan fungsi
ginjal, otak dan syok.
Terdapat beberapa reseptor yang dapat berikatan pada protein PfEMP
(Plasmodium falciparum Erythrocyte Membrane Protein) yang terdapat pada knob
ertitrosit terinfeksi parasit. Salah satunya adalah reseptor CD36 yang terdapat pada
trombosit dan endotel pembuluh darah. Penggumpalan dari eritrosit terinfeksi parasit,
yang berhubungan dengan keparahan penyakit, terutama dimediasi oleh reseptor
CD36 yang diekspresikan oleh trombosit. Penempelan dan agregasi trombosit dapat
menyebabkan kegagalan perfusi organ dan hipoksia jaringan.
Limpa memainkan peranan penting dalam respon imun terhadap parasit
malaria. Terdapat studi yang menyebutkan terjadi sekuestrasi trombosit dalam limpa
selama infeksi akut. Limpa secara normal menyimpan sepertiga trombosit yang
dihasilkan, tetapi pada keadaan splenomegali, sumber ini dapat meningkat hingga
80%, dan mengurangi jumlah trombosit yang beredar pada sirkulasi.
30
Pada malaria, IgG yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated
IgG, PAIgG) meningkat dan berhubungan dengan trombositopenia. Peningkatan
PAIgG juga dapat diartikan sebagai aktivasi platelet. Antibodi anti-platelet tersebut
dapat mengaktivasi membran trombosit, menyebabkan pembuangan trombosit oleh
sistem retikulo-endotelial (RE), terutama pada limpa. Antibodi IgG yang ditemukan
pada membran trombosit juga menyebabkan gangguan agregasi trombosit dan
meningkatnya penghancuran trombosit oleh makrofag.
Makrofag diduga berperan dalam destruksi trombosit, dimana peningkatan
macrophage-colony stimulating factor (M-CSF) berhubungan dengan
trombositopenia. Trombosit difagosit oleh makrofag teraktivasi pada hati dan limpa.
Malaria berat berhubungan dengan kadar M-CSF plasma yang lebih tinggi dari
normal. Kadar M-CSF plasma yang meningkat pada malaria, meningkatkan aktivitas
makrofag dapat memediasi destruksi trombosit.
Masa hidup trombosit pada infeksi malaria berkurang akibat dari ikatan
antigen malaria pada trombosit yang diikuti fagositosis yang dimediasi antibodi, atau
aktivasi trombosit in vivo. Masa hidup trombosit berkurang menjadi 2-3 hari
(normalnya 7-10 hari). Infeksi malaria menginduksi pengeluaran radikal hydroxyl
(OH) dari hepar yang mana bertanggung jawab dalam induksi stress oksidatif dan
apoptosis. Parasit malaria sendiri dapat mengluarkan sejumlah besar H2O2 dan O2.20
Stress oksidatif, melalui lipid peroxidation, menyebabkan kematian trombosit
prematur, dan menimbulkan trombositopenia. Membran trombosit kurang tahan
terhadap stress oksidatif, diperkirakan peningkatan stress oksidatif dapat
meningkatkan lisis trombosit.
Penempelan dan agregasi trombosit pada malaria berhubungan dengan
peningkatan kadar faktor von Willebrand (vWF) dan defisiensi ADAMTS13. Pada
saat terjadi jejas, endotel vaskular menghasilkan vWF, yang akan mengaktivasi sistem
koagulasi dan meningkatkan penggunaan trombosit. Selain itu, vWF yang berada di
sirkulasi menjadi hipereaktif, yang dikenal sebagai konformasi aktif dari domain vWF
A1 yang dapat mengikat trombosit secara spontan. ADAMTS13 merupakan
metalloprotease yang bertanggung jawab untuk proteolisis dari multimer ultralarge
and prothromnogenic vWF (UL-vWF). Pada pasien malaria, terjadi penurunan
31
aktivitas ADAMTS13 yang mengakibatkan peredaran UL-vWF, yang selanjutnya
akan berikatan dengan trombosit, dan mengakibatkan trombositopenia di perifer.
Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum memiliki kemampuan untuk
menstimulasi sel endotel secara langsung. Hemolisis eritrosit pada infeksi malaria
menghasilkan faktor proagregasi seperti adenosine diphosphate (ADP), yang dapat
menimbulkan respon aktivasi dan agregasi trombosit. Abnormalitas pada struktur dan
fungsi trombosit digambarkan sebagai konsekuensi infeksi malaria. Sebagian besar
pasien dengan malaria berat memiliki gambaran darah tepi trombositopenia, namun
tranfusi konsentrat trombosit hanya diindikasikan pada pasien dengan perdarahan
sistemik.
Berkurangnya peredaran trombosit di sirkulasi pada malaria juga diasumsikan
akibat mekanisme dimediasi antibodi. Terjadi peningkatan antibodi antiplatelet IgG
pada penderita malaria (baik malaria falciparum maupun vivax) yang mengaktivasi
membran trombosit, yang menyebabkan pembuangan trombosit oleh sistem
retikuloendotelial, khususnya pada limpa. Dalam limpa, trombosit diduga difagosit
oleh makrofag teraktivasi.
KESIMPULAN
Kejang merupakan manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan demam berupa
kejang demam sederhana, kompleks, maupun pada pasien dengan malaria serebral. Pada
pasien yang mengalami kejang dengan malaria serebral, sulit dibedakan antara pasien ini
sedang mengalami kejang demam ataupun sedang mengalami kejang karena malaria. Pada
kejang terjadi mekanisme kerusakan neural, sedangkan patogenesis pada malaria serebral
belum diketahui secara pasti.
Plasmodium falciparum merupakan parasit malaria yang bersifat epileptogenik dan
risiko kejang meningkat dengan situasi parasitemia. Sekitar 80% pasien anak dengan malaria
serebral biasanya datang dengan keluhan kejang dan pada 60% dari pasien yang mengalami
kejang mengalami kejang berulang dalam perawatan. Kejang yang muncul pada pasien
dengan malaria serebral terjadi melalui beberapa mekanisme kerusakan jaringan otak
sehingga sulit dibedakan dengan kejang demam.
32
Pada sebuah penelitian, profilaksis fenobarbital mengurangi insidensi kejang namun
tidak mengurangi insidensi maupun tingkat keparahan dari kerusakan neurologis permanen
yang muncul akibat malaria serebral. Untuk pasien dengan kejang yang ditemukan pada
daerah endemik malaria, pemeriksaan hapusan darah untuk mendeteksi adanya parasit
malaria sebaiknya dilakukan secepatnya dan diberikan tatalaksana obat malaria yang sesuai
dengan WHO secepatnya serta mengontrol kejang untuk mengurangi efek hipoksia yang
muncul sehingga dapat mengurangi tingkat keparahan defisit neurologis yang disebabkan
sebagai hasil sekuele malaria serebral.
Penurunan jumlah trombosit berkaitan dengan berbagai penyebab diantaranya lisis
dimediasi imun, sekuestrasi pada limpa, gangguan pada sumsum tulang dan fagositosis oleh
makrofag. Infeksi malaria menyebabkan abnormalitas pada struktur dan fungsi trombosit.
Kejadian trombositopenia dapat dijadikan petunjuk penting malaria akut. Namun, pemberian
tranfusi trombosit pada penderita malaria tidak diperlukan karena kadar trombosit dapat
meningkat seiring dengan pemberian terapi antimalaria.
DAFTAR PUSTAKA
1. Idro, et al. Cerebral Malaria; Mechanisms Of Brain Injury And Strategies For
Improved Neuro-Cognitive Outcome. Pediatr Res. 2010 October ; 68(4): 267–274.
2. Robert H. A. Haslam. Febrile Seizure In Nelson Textbook of Pediatrics 19th ed. USA:
WB Saunders. 2011.
3. Chiabi, et al. Seizures in Severe Malaria: Is there Direct Brain Involvement? The
Open Area Studies Journal, 2011, 4, 1-6.
4. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. IDAI : 2006.
5. Seattle Children Hospital. Algorithm Febrile Seizures. 2011.
6. Mohammadi, M. Febrile Seizures: Four Steps Algorithmic Clinical Approach. Iran J
Pediatri Mar 2010; Vol 20 (No 1), Pp:5-15.
7. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia Gebrak Malaria. Depkes RI. 2008.
33
8. Gill, et al. Thrombocytopenia in malaria and its correlation with different types of
malaria. Tropical Medicine and Public Health : 2013, page 197-200.
9. Natalia, Diana. Peranan Trombosit dalam Patogenesis Malaria. MKA, Volume 37,
Nomor 3 Desember 2014.
34