Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

59
Maladaptasi sistem imun dalam etiologi pre- eklampsia; sebuah pembaruan perspektif epidemiologikal Pendahuluan Secara umum, invasi sitotrofoblas endovaskular dalam arteri spiralis dan disfungsi sel endotelial adalah dua penyebab penting pada patofisiologi terjadinya pre-eklampsia (Roberts dan Redman, 1993). Walaupun demikian, penyebab pre- eklampsia masih belum dapat diketahui. Pada manusia, transplantasi organ akan ditolak tubuh apabila terdapat perbedaan antara donor dan resipien dengan adanya histokompatibilitas komplek gen, dalam hal ini antigen leukosit manusia. Unit feto-plasental mengandung antigen paternal yang merupakan benda asing bagi tubuh maternal. Konsep yang menyatakan bahwa pre-eklampsia mungkin merupakan suatu gangguan imunologis dikeluarkan pada awal abad ke-20 (McQuarrie, 1923; Medawar, 1953; Scott dan Beer, 1976; Veit, 1

Transcript of Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

Page 1: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

Maladaptasi sistem imun dalam etiologi pre-eklampsia; sebuah

pembaruan perspektif epidemiologikal

Pendahuluan

Secara umum, invasi sitotrofoblas endovaskular dalam arteri spiralis dan disfungsi

sel endotelial adalah dua penyebab penting pada patofisiologi terjadinya pre-eklampsia

(Roberts dan Redman, 1993). Walaupun demikian, penyebab pre-eklampsia masih belum

dapat diketahui. Pada manusia, transplantasi organ akan ditolak tubuh apabila terdapat

perbedaan antara donor dan resipien dengan adanya histokompatibilitas komplek gen,

dalam hal ini antigen leukosit manusia. Unit feto-plasental mengandung antigen paternal

yang merupakan benda asing bagi tubuh maternal. Konsep yang menyatakan bahwa pre-

eklampsia mungkin merupakan suatu gangguan imunologis dikeluarkan pada awal abad

ke-20 (McQuarrie, 1923; Medawar, 1953; Scott dan Beer, 1976; Veit, 1902). Pada awal

tahun 1950, Medawar (1953) mengajukan konsep “fetus sebagai alograf”. Sejak itu

pernyataan ini telah mengasumsikan bahwa implantasi plasenta fetal akan dikontrol

dengan respon imun maternal yang dimediasi oleh sel T yang mengenali alo-antigen

turunan paternal yang dikeluarkan plasenta. Penelitian yang sedang berlangsung pada

akhir dekade telah menunjukkan bahwa implantasi mungkin termasuk sistem pengenalan

alogenetik baru pada sel natural killer (NK) yang lebih dominan dibandingkan sel T. Bab

Dr. Ashley Moffett`s menyediakan tinjauan mendetail tentang pemahaman terbaru pada

biologi imun dan patofisiologi imun plasentasi yang mana berhubungan dengan pre-

eklampsia, yang berfokus pada peran sel NK.

1

Page 2: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

Dalam bab ini kami bertujuan untuk menjelaskan sebuah tinjauan terbaru dalam

penelitian epidemiologikal yang menguatkan atau menyangkal hipotesis yang

menyatakan maladaptasi antara sistem imun maternal dan alograf feto-plasental terlibat

pada etiologi pre-eklampsia.

Hipotesis primipaternitas melawan hipotesis interval

Pre-eklampsia sejati adalah penyakit pada kehamilan yang pertama (Roberts dan

Redman, 1993). Sebuah kehamilan normal yang terdahulu dihubungkan dengan

menurunnya insidensi terjadinya pre-eklampsia, hal ini juga akan terjadi walaupun yang

terjadi sebelumnya hanyalah suatu aborsi (Strickland et al. 1986). Efek perlindungan

multiparitas adalah, bagaimanapun, hilang dengan perubahan pasangan. Need (1975)

adalah orang pertama yang menyatakannya dalam kehamilan pasien yang pertama tanpa

pre-eklampsia, respon limfosit maternal, pada kultur campuran limfosit, penyerangan

terhadap limfosit ayah pertama akan lebih lemah daripada penyerangan terhadap limfosit

ayah yang berbeda dari kehamilan berikutnya yang mana telah terkomplikasi pre-

eklampsia berat. Feeney dan Scott (Feeney, 1980; Feeney dan Scott, 1980) dalam sebuah

survei retrospektif pada 34.000 persalinan multigravida, menemukan 47 pasien dengan

pre-eklampsia terjadi walaupun kehamilan yang sebelumnya normal. Pada 13 (28%)

pasien ini kehamilan yang terpengaruh adalah kehamilan oleh ayah yang berbeda,

dibandingkan dengan hanya 4,3% dalam grup kontrol yang besar. Di Nigeria, Ikedife

menemukan bahwa 34 dari 46 (74%) eklampsia pada pasien multipara memiliki pasangan

2

Page 3: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

baru dalam kehamilan yang terpengaruh, dibandingkan dengan 5-10% wanita multipara

dengan kehamilan normal (Ikedife, 1980).

Istilah primipaternitas dikenalkan oleh Robillard et al. (1993) menguak hubungan

antara pre-eklampsia berat dan perubahan dalam pola paternitas diantara multigravida di

Guadeloupe (Perancis Hindia Barat). Pasien multipara dengan pre-eklampsia berat dan

atau eklampsia dan pemeriksaan kontrol. Informasi mengenai paternitas untuk indeks dan

kehamilan terdahulu dikumpulkan dari tiga grup: wanita dengan pre-eklampsia; wanita

dengan hipertensi kronik; dan sebuah grup kontrol yang terdiri oleh wanita tanpa

hipertensi selama hamil. Pada 21/34 (61,7%) ibu dengan pre-eklampsia, ayah janin

sekarang berbeda dengan ayah kehamilan sebelumnya, dibandingkan dengan 4/40 (10%)

diantaranya wanita dengan hipertensi kronik dan 10/60 (16,6%) di grup kontrol

(P<0.001). Karena pola paternitas yang berubah berkorelasi signifikan dengan pre-

eklampsia pada multipara tapi tidak dengan hipertensi kronik dan kontrol, penulis

mengajukan bahwa pre-eklampsia mungkin merupakan masalah yang disebabkan lebih

karena primipaternitas daripada primigraviditas. Adanya perhatian dihubungkan dengan

definisi yang digunakan oleh Robillard et al. (1993) telah dikeluarkan, penelitian

Amsterdam (Tubbergen et al. 1999), menggunakan kriteria diagnostik yang sangat ketat,

meneliti 333 pasien multipara dengan pre-eklampsia dan atau sindrom HELLP. Grup

kontrol terdiri atas 182 wanita multipara tanpa pre-eklampsia. Prevalensi paternitas baru

lebih signifikan (P<0.0001) untuk pasien pre-eklampsia dan juga pasien HELLP dalam

perbandingan dengan kontrol, dengan rasio bermakna 8.6 (95% CI: 3.1-23.5) dan 10.9

(95% CI: 3.7-23.5). Dalam paragraf diskusi Tubbergen et al. (1999) menekankan bahwa

setiap wanita multipara seharusnya ditanyakan apakah kehamilannya berasal dari

3

Page 4: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

pasangan yang sama. Berdasarkan konsep primipaternitas, wanita multipara dengan

pasangan yang baru harus menjalani perawatan antenatal yang sama dengan

primigravida. Menggunakan pendekatan kelompok, Trupin et al. (1996) meneliti 5068

nulipara dan 5800 multipara, 573 diantaranya memiliki pasangan baru. Insidensi pre-

eklampsia pada nulipara (3,2%) dan multipara dengan perubahan paternitas (3%)

ditemukan sama, dibandingkan dengan insidensi yang signifikan lebih rendah (1,9%)

pada multipara yang mana tidak berganti pasangan.

Konsep primipaternitas baru-baru ini disangkal oleh Skjaerven et al. (2002).

Investigasi ini menggunakan data dari Registrasi Kelahiran Medik Norwegia, sebuah

registrasi berdasar populasi yang berisi data kelahiran antara 1967-1998. Mereka meneliti

551.478 wanita yang telah menjalani dua atau lebih persalinan tunggal, dan 209.423

wanita yang telah menjalani tiga atau lebih persalinan tunggal. Pre-eklampsia terjadi

selama 3,9% kehamilan pertama, 1,7% pada kehamilan yang kedua dan 1,8% pada

kehamilan yang ketiga pada wanita dengan pasangan yang sama. Risiko pada kehamilan

kedua atau ketiga berhubungan langsung dengan waktu yang dipakai sejak sebelum

persalinan dan, apabila interval antara persalinan lebih dari 10 tahun atau lebih, risiko

dirkirakan diantara wanita nulipara. Perubahan paternitas untuk kehamilan kedua

dihubungkan dengan pengurangan risiko pre-eklampsia setelah berkontrol sejak

persalinan yang pertama (OR 0.80, 95% CI: 0.72-0.90), tetapi interaksi antara perubahan

paternitas dan waktu antara persalinan hanya signifikan untuk wanita yang tidak pernah

mengalami pre-eklampsia. Interaksi antara riwayat pre-eklampsia dan waktu antara dua

persalinan sangat berarti signifikan dan, untuk wanita tanpa riwayat pre-eklampsia, risiko

pre-eklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan meningkatnya interval waktu.

4

Page 5: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

Untuk interval lebih lama dari 15 tahun, OR-nya 2.11 (95% CI: 1.75-2,53). Untuk wanita

dengan riwayat pre-eklampsia, risiko cenderung menurun dengan meningkatnya interval

antara persalinan. Skjaerven et al. (2002) menyimpulkan bahwa pengaruh proteksi

seorang ayah baru dalam kehamilan kedua meragukan hipotesis primipaternitas, dan

berimplikasi bahwa peningkatan risiko pre-eklampsia dianggap berasal dari ayah baru

atau oleh mekanisme lain yang dikarenakan kontrol yang kurang untuk interval antara

persalinan.

Harus diperhatikan bahwa penelitian lain telah lebih dahulu mendeskripsikan

tentang efek interval persalinan. Mostello et al. (2002) mengadakan penelitian kontol-

kasus berdasarkan populasi menggunakan data sertifikat kelahiran dari Missouri. Data

dari wanita yang sudah melahirkan dua anak tunggal antara tahun 1989 dan 1997 (2332

kasus dengan pre-eklampsia di kehamilan kedua, dan 2370 kasus kontrol) telah dianalisis.

Faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya pre-eklampsia pada kehamilan kedua

termasuk lamanya interval persalinan, riwayat melahirkan bayi prematur, penyakit ginjal,

hipertensi kronik, diabetes melitus, obesitas, ras hitam dan antenatal care yang kurang.

Lebih penting, berlawanan dengan hasil penelitian orang Norwegia, paternitas yang sama

ditemukan memiliki efek proteksi.

Basso et al. (2001) meneliti hasil dari kehamilan kedua dalam kelompok wanita

Danish dengan riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya (8401 wanita) dan

pada semua wanita dengan riwayat pre-eklampsia pada kehamilan kedua (tapi tidak pada

kehamilan pertama) dan dengan sampel dari wanita yang sudah melahirkan dua kali

(26.596 wanita). Interval persalinan yang lama dihubungkan dengan risiko pre-eklampsia

yang lebih tinggi pada wanita tanpa riwayat pre-eklampsia apabila dengan pasangan yang

5

Page 6: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

sama. Hampir mirip dengan penelitian Norwegia, perubahan pasangan dihubungkan

dengan peningkatan risiko pre-eklampsia pada wanita tanpa riwayat pre-eklampsia; efek

ini akan menghilang setelah disesuaikan dengan interval persalinan. Peneliti

menyebutkan bahwa mereka melihat hasil yang berbeda saat lama interval persalinan

distratifikasi.

Conde-Agudelo dan Belizan (2000), meneliti akibat interval persalinan pada

morbiditas dan mortalitas ibu, dilaporkan penelitian yang paling besar pada efek lamanya

interval persalinan sebagai faktor risiko pre-eklampsia. Penelitian ini, menggunakan data

Sistem Informasi Perinatal Pusat Amerika Latin untuk Perinatologi dan Pengembangan

Manusia di Montevideo, meneliti 456.889 wanita para yang melahirkan bayi tunggal.

Mereka menyatakan bahwa interval antar persalinan pendek (<6 bulan) dan panjang (>59

bulan) telah diobservasi berturut-turut pada 2.8 dan 19,5% dari wanita. Setelah

penyesuaian dengan faktor pengganggu, dibandingkan dengan wanita yang mengandung

pada 18-23 bulan setelah persalinan sebelumnya, wanita dengan interval persalinan 5

bulan atau kurang memiliki risiko tinggi kematian ibu (OR=2.54; 95% CI:1.22-5.38),

perdarahan trimester ketiga (1.73; 1.42-2.24), ruptur membran prematur (1.72; 1.53-

1.93), endometritis purpura (1.33; 1.22-1.45) dan anemia (1.30; 1.18-1.43). dibandingkan

dengan wanita dengan interval persalinannya 18-23 bulan, wanita dengan interval

persalinan lebih lama dari 59 bulan memiliki peningkatan signifikan risiko terjadi pre-

eklampsia (1.83; 1.72-1.94) dan eklampsia (1.80; 1.38-2.32).

Kami berkeyakinan bahwa ada perbedaan interpretasi data Norwegia yang tidak

layak menyangkal hipotesis primipaternitas. Pertama-tama, penelitian Norwegia memiliki

beberapa kelemahan penting. Registrasi kelahiran tidak memuat secara terperinci hal-hal

6

Page 7: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

yang dibutuhkan untuk meneliti paternitas manusia. Disamping itu ada 12% data

paternitas yang hilang pada penelitian oleh Skjaerven et al. (2002), telah diketahui bahwa

ada nilai yang signifikan (1-30%) dari kesalahan pengakuan paternitas pada pasangan

stabil di kota berkembang (Lucassen dan Parker, 2001). Maka dari itu, tidak diragukan,

menjadikannya grup “ayah yang sama” pada penelitian baru-baru ini. Sehingga,

kesimpulan berkaitan dengan hubungan paternitas dan pre-eklampsia berdasarkan

registrasi kelahiran saja harus dihindari; ada banyak indikasi kasar dari paternitas yang

sebenarnya dan tidak memuat informasi yang dibutuhkan dalam kohabitasi seksual, yang

mana merupakan fundamental pada kemajuan ilmiah dari diskusi berlanjut ini. Skjaerven

et al. (2002) juga mengusulkan bahwa diagnosis pre-eklampsia di penelitian mereka

termasuk adanya 0.3 gr protein dalam 24 jam. Para penulis Norwegia tidak

memperhatikan kenyataan bahwa kebanyakan kota di Barat, dan kita tidak tahu alasan

lain mengapa orang Norwegia berperilaku berbeda, hanya menggunakan analisis urin 24

jam selama tahun 1980. Sehingga, diagnosis proteinuria pada sekurangnya 60% pasien

“pre-eklampsia” mereka bisa dipertanyakan. Hal ini merupakan perhatian yang relevan,

mengingat indeks pasien pada penelitian Norwegia kebanyakan adalah wanita yang

berumur, jelas sulit menjadikannya diagnosis pre-eklampsia yang dapat dipercaya pada

kategori wanita ini.

Kedua, tampaknya ada inkonsisten derajat biologis yang signifikan pada

penelitiannya. Skjaerven et al. (2002) gagal mendiskusikan penemuan yang dikeluarkan

oleh Li dan Wi (2000), yang melaporkan penelitian berdasarkan kelompok pada 140,147

wanita dengan dua persalinan yang berurutan selama 1989-1991 diidentifikasi melalui

jalur data sertifikat kelahiran tahunan Kalifornia. Diantara wanita tanpa pre-eklampsia/

7

Page 8: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

eklampsia pada kehamilan pertama, perubahan pasangan meningkatkan 30% risiko

terjadinya pre-eklampsia/ eklampsia pasa kehamilan berikutnya dibandingkan dengan

wanita yang memiliki pasangan tetap (95% CI:1.1-1.6). Di sisi lain, diantara wanita

dengan riwayat pre-eklampsia/ eklampsia pada kehamilan pertama, pergantian pasangan

menurunkan risiko pre-eklampsia/ eklampsia dala kehamilan berikutnya (95% CI:0.4-

1.2). Lebih menarik lagi grup yang sama dari penulis Norwegia (Lie et al., 1998), pada

penelitian terdahulu, juga menemukan bahwa risiko perkembangan pre-eklampsia pada

ibu yang pernah menderita pre-eklampsia pada kehamilan pertamanya memiliki 13%

kemungkinan apabila dia hamil lagi dengan pasangan yang sama. Risiko ini menurun

hingga 11.8% jika dia berganti pasangan. Jika mungkin, seseorang bisa berasumsi makin

lama interval persalinan setelah mengalami saat traumatik dalam hidup walaupun dalam

hal ini kehamilan yang berkomplikasi pre-eklampsia dikombinasi adanya waktu maka

mereka akan mencari pasangan baru. Seperti data sebelumnya yang telah dikeluarkan

(Lie et al., 1998), sama halnya dengan data Li dan Wi (2000), menunjukkan kontradiksi

terhadap “hipotesis interval kelahiran”. Ini seharusnya juga diperhatikan bahwa, pada

publikasi International Journal of Epidemiology (Trogstad et al., 2001) mendahului

publikasi New England Journal of Medicine (dalam kelompok populasi yang sama,

dengan penulis yang berbeda), jurnal ini secara spesifik menegaskan bahwa interval

persalinan bukan faktor risiko pada wanita dengan riwayat pre-eklampsia dengan

kehamilan atas paternitas yang tetap ataupun baru. Kemudian, penemuan ini membuat

hipotesis interval persalinan tidak masuk akal. Sangat sulit untuk memahami setiap faktor

risiko (lingkungan, infeksi, stres, BMI, dan lain-lain) yang mungkin meningkatkan risiko

8

Page 9: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

pada wanita dengan riwayat persalinan normal dan, pada waktu yang sama, menurunkan

risiko pada wanita dengan riwayat pre-eklampsia sebelumnya.

Jadikanlah ini seperti seharusnya, dengan menganggap penggabungan data

Norwegia dan Amerika Latin, biarkan kita berasumsi bahwa interval kehamilan yang

lama adalah faktor risiko penting terjadinya pre-eklampsia di masa mendatang pada

wanita multipara, terbebas dari usia ibu. Apa saja penjelasan yang mungkin?

1. Penelitian Norwegia dan Amerika Latin keduanya membenarkan pengetahuan

umum bahwa mayoritas pasangan (>80%) normalnya memiliki interval <5

tahun antara kelahiran anak-anaknya. Karena ini, satu yang harus dipirkan

ulang adalah alasan yang paling mungkin kenapa beberapa pasangan (<20%)

tampaknya “lebih memilih” untuk memperpanjang interval antara kelahiran

anak-anaknya. Sejauh ini, semua penelitian awalnya menyebutkan bahwa

telah meneliti hasil kehamilan berikutnya pada wanita multipara, tetapi dalam

kenyataannya, hasil kehamilan hanya memuat kehamilan setelah 16

(Norwegia) atau 19 (Amerika Latin) minggu masa gestasi. Dengan kata lain,

semua keguguran telah diabaikan. Kejadian satu atau lebih keguguran,

peristiwa yang sangat umum bagi wanita di masyarakat Barat, dapat

menjelaskan proporsi signifikan pasangan yang tampaknya “memilih” untuk

memperpanjang interval persalinan. Wanita dengan keguguran yang berulang

telah diketahui memiliki insidensi tinggi atas hasil kehamilan yang merugikan

di kehamilan berikutnya yang sedang berlangsung (Jivraj et al., 2001).

2. Hilangnya fertilitas juga bisa diperhitungkan pada interval persalinan >5 tahun

yang kurang dari 20% jumlah pasangan. Penyebab yang paling banyak yaitu

9

Page 10: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

dengan menghilangkan fertilitas termasuk sindrom Obesitas dan Polikistik

Ovarium (PCO), keduanya memiliki hubungan jelas dengan pre-eklampsia

pada kehamilan berikutnya (Dekker, 1999; de Vries et al., 1998).

Bagaimanapun, bahkan infertilitas yang tak dapat dijelaskan memiliki

hubungan jelas dengan pre-eklampsia. Pada 1983, Moore dan Redman

menggambarkan, pada penelitian kontrol-kasus 24 pasien dengan pre-

eklampsia berat didiagnosis sebelum masa gestasi 34 minggu, dan 48 kontrol

yang diseleksi secara acak sebanding untuk umur dan paritas, yang mana

riwayat infertilitas merupakan faktor risiko signifikan terjadi pre-eklampsia.

Pandian et al. (2001) memeriksa hasil kehamilan tunggal pada pasangan

dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan yang ditemukan pada Klinik

Fertilitas Aberdeen, dan mereka menggunakan populasi obstetri secara umum

sebagai grup kontrol. Wanita dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan

berumur signifikan lebih tua (30.8 banding 27.9 tahun) dan kebanyakan

merupakan primipara (59 banding 40%, 95% CI=+1.3-+1.9) setelah

penyesuaian umur dan paritas, wanita dengan riwayat infertilitas memiliki

insidensi yang lebih tinggi terjadi pre-eklampsia dan abrupsi plasenta. Penulis

menyimpulkan bahwa wanita dengan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan

adalah wanita dengan komplikasi obstetri yang lebih tinggi termasuk pre-

eklampsia. Menariknya, grup Skandinavia yang lain (Basso et al., 2003) baru-

baru ini memeriksa hubungan antara infertilitas dan pre-eklampsia.

Menggunakan data wawancara yang dikumpulkan selama trimester kedua

kehamilan (1998-2001) dari wanita yang berpartisipasi di Kelompok

10

Page 11: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

Persalinan Nasional Danish, mereka menemukan 20.034 dan 24.698 kelahiran

tunggal hidup dari wanita primipara dan multipara, berturut-turut, untuk

penyedia informasi pre-eklampsia dari rekam medis rumah sakit. Diantara

wanita yang tidak tahu hipertensi, penulis memperkirakan risiko yang lebih

tinggi terjadi pre-eklampsia pada mereka yang memperlama kehamilan

setelah penyesuaian umur ibu, BMI sebelum hamil, dan merokok.

Dibandingkan dengan primipara yang segera hamil (kategori referen), risiko

pre-eklampsi meningkat dengan bertambahnya interval konsepsi dan

kemudian distabilisasi untuk wanita yang membutuhkan 6 bulan atau lebih

untuk mengandung-dimana wanita dengan risiko pre-eklampsia meningkat

menjadi 50%. Pada multipara juga terjadi peningkatan risiko, tetapi hanya

bagi mereka yang melaporkan waktu-untuk-hamil menjadi lebih dari 12 bulan

(OR=2.47, 95% CI: 1.30-4.69). penulis menemukan bahwa waktu yang lama-

untuk-hamil dihubungkan dengan pre-eklampsia, mendukung hipotesis bahwa

beberapa faktor menunda penampakan klinis terjadinya konsepsi mungkin

juga berpengaruh dalam jalur penyebab terjadinya pre-eklampsia.

3. Penjelasan ketiga lebih hipotetikal.di masyarakat Barat, persentase

perkawinan yang berakhir dengan perceraian makin meningkat menjadi lebih

dari 40%. Seperti juga, bertambahnya jumlah hubungan yang mendekati

krisis. Dua mekanisme mungkin bisa dilakukan dalam hubungan seperti ini:

banyak wanita bisa saja memiliki hunbungan diluar nikah, yang kadang-

kadang menghasilkan kehamilan yang tak dikehendaki. Wanita ini memiliki

dua pilihan. Mereka bisa bercerai dan memulai hidup baru dengan pasangan

11

Page 12: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

baru (yang mana bisa diperhitungkan sebagai paternitas baru) atau tetap

dengan suaminya dan, dengan alasan yang jelas, tidak akan mengakui

perubahan dalam paternitasnya. Kebenaran banyaknya kejadian non-paternitas

tidak diketahui tapi, seperti yang sudah disebutkan, laporan menunjukkan

insidensi serendah 1% per generasi hingga 30% di populasi Barat (Lucassen

dan Parker, 2001). Mekanisme ini mungkin relevan (setidaknya separuhnya)

dalam penjelasan penemuan Norwegia. Wanita dengan interval kehamilan

yang lama seringkali berumur belasan tahun saat hamil pertama kali atau di

umur awal 20an; wanita seperti ini diketahui memiliki risiko ketidaksetiaan

yang lebih tinggi dan perceraian dimasa depan (Atkins et al., 2001). Pada

beberapa pasangan yang memiliki anak, nafsu seks akan menurun hingga ke

tingkat yang rendah karena stres selama beberapa periode waktu (dan

berkurangnya kejadian kehamilan). Beberapa pasangan ini mungkin

memutuskan untuk memiliki bayi lagi dalam usaha menyelamatkan/

membangkitkan perkawinan mereka. Mungkin saja bahwa keputusan

emosional diikuti reaktivasi seksualitas yang tiba-tiba dan menyebabkan

interval yang pendek antara “keputusan” dan kehamilan berikutnya. Jika

pemaparan sperma yang terus-menerus dibutuhkan untuk menaikkan proses

pengaktifan sel NK-berhubungan toleransi imun spesifik pasangannya, salah

satunya mungkin akan bisa menjadi kehamilan “penyelamat perkawinan”

dengan insidensi pre-eklampsia yang tinggi (Dekker, 2002).

Eskenazia dan Harleyb (2001) juga mengulas bukti untuk dan melawan hipotesis

primipaternitas banding hipotesis interval persalinan, dan menekankan bahwa, dimana

12

Page 13: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

Lie et al. (1998) dan juga Li dan Wi (2000) melaporkan rasio rentang yang mengontrol

waktu interval persalinan, kedua kelompok menyatakan bahwa interval waktu telah

diteliti dan bukan merupakan sebuah pengganggu. Lebih jauh, waktu antara persalinan

tidak tampak sebagai pengganggu dalam penelitian Li dan Wi (2000) yang mengusulkan

penulis untuk mengetatkan pemilihan populasi menjadi wanita yang melahirkan dengan

perbedaan waktu 1 dan 3 tahun.

Sebuah penelitian mendukung penuh konsep primipaternitas baru-baru ini

diterbitkan oleh Saftlas et al. (2003). Penulis ini meneliti wanita nulipara yang direkrut

sebelumnya dalam acara Kalsium - Percobaan Pencegahan Pre-Eklampsia, 1992-1995.

Mereka secara spesifik mengkaji apakah wanita nulipara dengan aborsi sebelumnya yang

mana kemudian memiliki pasangan baru akan kehilangan efek proteksi dari kehamilan

sebelumnya. Data mereka memperlihatkan wanita dengan riwayat aborsi yang sedang

mengandung lagi dengan pasangan yang sama memiliki hampir separuh risiko pre-

eklampsia (rasio rentang disesuaikan =0.54, 95% CI: 0.31, 0.97) wanita tanpa riwayat

aborsi sebelumnya. Sebaliknya, wanita dengan riwayat aborsi yang sedang mengandung

dengan pasangan baru memiliki risiko pre-eklampsia yang sama dengan wanita tanpa

riwayat aborsi (rasio rentang disesuaikan= 1.03, 95% CI: 0.72, 1.47). Maka dari itu, efek

proteksi aborsi sebelumnya berperan hanya pada wanita yang mengandung lagi dengan

pasangan yang sama. Menurut para peneliti data mereka mendukung kuat sebuah

mekanisme etiologi berdasarkan imun, dimana pemaparan lama pada antigen fetal dari

perlindungan pre-eklampsia kehamilan sebelumnya pada kehamilan berikutnya dengan

ayah yang sama. Dalam diskusi mereka, Satlas et al. (2003) juga menekankan bahwa

peneliti Skandinavia (Skjaerven et al.,2002) mengabaikan efek riwayat aborsi, terutama

13

Page 14: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

menginduksi aborsi. Mereka mengatakan “Karena proteksi aborsi mencegah pre-

eklampsia dan didapatkan lebih sering pada pasangan tidak menikah, berpisah, atau

wanita yang bercerai daripada wanita dalam perkawinan yang stabil, kegagalan

menghitung terminasi kehamilan antara kelahiran yang diregistrasi akan menghasilkan

kekeliruan interval persalinan khususnya untuk wanita yang berganti pasangan. Lebih

lagi, penyesuaian untuk aborsi yang diinduksi akan menurunkan risiko relatif

dihubungkan dengan pergantian pasangan.” Walaupun interval intra kehamilan tidak

terlalu pasti berhubungan langsung dalam Percobaan CPEP, yang diikuti hanya oleh

wanita nulipara (umur median, 19.7 tahun) rata-rata interval intra kehamilan

diperkirakan 1 tahun, memperlihatkan bahwa rata-rata umur primigravida adalah kurang

1 tahun daripada wanita yang telah pernah hamil sebelumnya. Saftlas et al. (2003)

menekankan bahwa gangguan karena interval intra kehamilan juga tidak tampak

dikarenakan rasio rentang untuk wanita diatas atau dibawah usia median telah identik

secara virtual, meskipun fakta bahwa interval intra-kehamilan adalah, oleh kepentingan,

lebih pendek untuk wanita dibawah daripada wanita diatas usia median. Sebagai

tambahan, usia rata-rata wanita yang mana berganti pasangan hanya terpaut sebulan lebih

tua daripada wanita yang tetap dengan pasangannya yang sama.

Sebagai ringkasan, hipotesis primipaternitas tetap tak tergoyahkan.

Bagaimanapun kita harus tidak menjadi buta pada kenyataan bahwa mungkin ada efek

tambahan dihubungkan dengan interval persalinan lama. Khong et al. (2003) baru-baru

ini mendemonstrasikan bahwa perubahan struktural arteri spiralis yang dibutuhkan untuk

kehamilan tidak sempurna memecahkan persalinan berikutnya, dan bahwa derajat

perubahan anatomis dihubungkan dengan jumlah kehamilan sebelumnya; duplikasi dan

14

Page 15: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

fragmentasi lamina elastik internal, dan proporsi jaringan non-muskular meningkat

sejalan bertambahnya paritas. Akan sangat penting untuk mengetahui apakah ya atau

tidak perubahan regresi ini dengan interval persalinan yang lama.

Paparan sperma

Marti dan Herrmann (1977) adalah orang pertama yang mengenali bahwa

pemaparan sperma yang berulang akan mencegah pre-eklampsia. Mereka meneliti 83

primigravida, 28 dengan pre-eklampsia, dan 55 dengan kehamilan tak terkomplikasi. Para

wanita dengan pre-eklampsia memiliki rata-rata 59.5 paparan fisiologis oleh semen

sementara kelompok kontrol non-pre-eklampsia memiliki 191.6 paparan. Dengan

tambahan, jumlah wanita menggunakan kontrasepsi oral (yang membolehkan paparan

sperma) dan periode total penggunaan kontrasepsi oral signifikan lebih rendah pada

wanita pre-eklampsia. Penulis menyatakan bahwa penemuan mereka mungkin

menyediakan sebuah penjelasan unutk insidensi pre-eklampsia yang tinggi pada anak

remaja. Satu kekurangan yang mungkin pada penelitian ini adalah fakta bahwa pre-

eklampsia ditetapkan dengan melihat nilai indeks gestasi (Goecke dan Schwabe, 1965).

Indeks gestasi (Goecke dan Schwabe, 1965) mengkombinasi tekanan darah sistole dan

diastole, proteinuria dan edema untuk mengklasifikasi pasien mengalami gestasi Edema-

Proteinuria-Hipertensi (EPH) ringan, sedang atau berat. Sehingga, adanya edema

fisiologis cukup untuk mengklasifikasikan seorang wanita hamil normotensi mengalami

gestasi EPH ringan. Menggunakan definisi yang lebih kontemporer untuk menetapkan

gangguan hipertensi diinduksi kehamilan, persoalan paparan sperma melindungi terhadap

15

Page 16: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

pre-eklampsia telah ditetapkan ulang oleh Klonoff et al. (1989). Sebuah penelitian kasus

kontrol telah membandingkan riwayat kontrasepsi dan reproduksi 110 wanita primipara

pre-eklampsia dengan 115 wanita hamil tanpa pre-eklampsia. Kontrol dicocokkan pada

kasus dengan usia, ras dan jarak dari rumah sakit. Analisis regresi logistik tak bersyarat

mengindikasikan 2.37 kali lipat (95% CI: 1.01-5.58) risiko pre-eklampsia yang

meningkat pada pengguna kontrasepsi yang mencegah adanya paparan sperma,

contohnya kondom, diafragma, spermisida, dan interuptus. Lusinan respon gradien telah

diobservasi, dengan peningkatan risiko pre-eklampsia pada mereka yang memiliki

episode rendah paparan sperma. Sesuai Klonoff et al. (1989), metode barier bisa

berkontribusi sebanyak 60% kasus pre-eklampsia. Mills et al. (1991) tidak dapat

mengkonfirmasi efek “berlawanan” kontrasepsi barier ini. Setelah publikasi Klonoff et al.

(1989), mereka menganalisis, post hoc, data dari penelitian dua kehamilan perspektif

(“Kaiser Permanente Birth Defects Study” dan Penelitian Infeksi Vagina dan

Prematuritas), terutama terdiri dari wanita yang melahirkan pada pertengahan tujuh belas,

untuk memeriksa hubungan antara penggunaan kontrasepsi sebelum konsepsi, dan pre-

eklampsia. Jumlah pre-eklampsia diantara wanita yang menggunakan metode kontrasepsi

barier signifikan tidak lebih tinggi daripada jumlah wanita yang menggunakan metode

non-barier atau mereka yang tidak menggunakan kontrasepsi sama sekali.

Bagaimanapun, penelitian Mills et al. (1991) belum dibentuk secara spesifik untuk

mengeksplorasi hubungan antara penggunaan kontrasepsi dan pre-eklampsia, dan harus

diperhatikan bahwa hanya penggunaan kontrasepsi setahun sebelum penelitian kehamilan

dievaluasi. Mungkin saja wanita yang telah menggunakan metode barier selama periode

penelitian menggunakan metode non-barier sebelum ini. Wanita seringkali berhenti

16

Page 17: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

meminum kontrasepsi oral beberapa waktu sebelum mereka benar-benar mencoba agar

hamil, karena perhatian tentang bayi yang terpapar oleh “pil” hormon, atau kekhawatiran

jika fungsi ovulasi tidak lagi utuh setelah tahun-tahun dengan kontrasepsi oral (Mosher

dan Pratt, 1990; Serfaty, 1992). Juga, walaupun dikatakan (Mills et al., 1991) bahwa

kriteria kontemporer digunakan untuk mendiagnosis gangguan hipertensi diinduksi

kehamilan, insidensi gangguan hipertensi diinduksi kehamilan yang dilaporkan pada

penelitian ini pada umumnya lebih tinggi daripada yang pernah dilaporkan oleh

kebanyakan autoritas. Pada “Kaiser Permanente Birth Defects Study,” 6,1% primigravida

akan mengalami pre-eklampsia, yang mana hal ini berkesesuaian dengan penelitian di

literatur. Bagaimanapun, melihat dari multipara mereka, satu yang dilanggar oleh 5.4%

insidensi pre-eklampsia, yang mana sangat tinggi. Pada “Penelitian Infeksi Vagina dan

Prematuritas”, insidensi pre-eklampsia pada wanita nulipara sebanyak 16,4% dan 13,3%

pada wanita multipara. Data ini meyebabkan perhatian serius tentang validitas

kesimpulan yang dibuat oleh Mills et al. (1991).

Beberapa penelitian di negara lain telah membenarkan hubungan antara

peningkatan risiko eklampsia dengan kontrasepsi barier (Cepicky dan Podrouzek, 1990;

Hernandez-Valencia et al., 2000). Belum lama ini, Einarsson et al. (2003) mempublikasi

data yang mendukung risiko berhubungan penggunaaan kontrasepsi barier. Penulis Texas

ini menggunakan bentuk kasus-kontrol dimana wanita dengan pre-eklampsia (kasus)

dicocokkan dengan dua wanita tanpa pre-eklampsia (kontrol) dalam usia dan paritasnya.

Sejumlah 113 kasus telah dibandingkan dengan 226 kontrol. Wanita dengan periode

pendek kohabitasi (<4 bulan) menggunakan metode kontrasepsi barier memiliki kenaikan

risiko substansial untuk terjadinya pre-eklampsia dibandingkan dengan wanita yang

17

Page 18: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

mengalami kohabitasi selama lebih dari 12 bulan sebelum konsepsi (rasio rentang 17.1,

P=0.004).

Robillard et al. (1994) adalah orang yang pertama kali menampilkan penelitian

prospektif dalam hubungan antara paparan sperma dan pre-eklampsia. Mereka meneliti

durasi kohabitasi seksual dengan ayah sebelum terjadi konsepsi dan insidensi hipertensi

diinduksi kehamilan. Selama periode 5 bulan, 1011 wanita yang berturut-turut

melahirkan pada sebuah unit obstetri telah diwawancarai tentang paternitas dan durasi

kohabitasi seksual sebelum konsepsi. Diagram obstetri secara abstrak telah

menggambarkan tiga kelompok; mereka dengan hipertensi diinduksi kehamilan,

hipertensi kronik, dan mereka dengan tekanan darah normal. Insidensi hipertensi

diinduksi kehamilan sebanyak 11.9% diantara primigravida, 4.7% diantara multigravida

dengan paternitas yang sama, 24.0% diantara multigravida dengan paternitas yang baru.

Untuk primigravida dan multigravida, lamanya kohabitasi seksual sebelum konsepsi

berbanding terbalik dengan kejadian hipertensi diinduksi kehamilan (P<0.0001). Hasil

yang sama telah diobservasi setelah penilikan ras, edukasi, usia maternal, status

perkawinan, dan jumlah kehamilan. Memakai kohabitasi wanita yang lebih dari 12 bulan

sebagai referensi, penyesuaian rasio rentang (OR) untuk terjadinya pre-eklampsia apabila

periode kohabitasi selama 0-4 bulan sebanyak 11.6 (95% CI: 6.4-20.9), untuk periode 5-8

bulan sebanyak 5.9 (95% CI: 2.9-12.5), dan untuk periode 9-12 bulan sebanyak 4.2 (95%

CI: 1.7-10.4). dalam penelitian prospektif ini, Robillard et al. (1994) menunjukkan bahwa

multigravida dengan gangguan hipertensi diinduksi kehamilan memiliki pasangan baru

pada 66.7% kasus dibandingkan dengan 24.1% pada multigravida normotensi

(P=0.0001). Insidensi yang sangat tinggi (24.0%) hipertensi diinduksi kehamilan diantara

18

Page 19: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

multigravida dengan paternitas baru terlihat berhubungan dengan periode pendek paparan

sperma sebelum konsepsi. Robillard et al. (1994) menduga bahwa gangguan hipertensi

diinduksi kehamilan dalah suatu masalah dari primipaternitas daripada primigraviditas,

dan bahwa pemanjangan durasi kohabitasi seksual sebelum konsepsi melindungi terhadap

kejadian gangguan hipertensi diinduksi kehamilan. Pada penelitian 21 pasien dengan

kejadian proteinuri hipertensi diinduksi kehamilan (pre-eklampsia), sementara pada 81

pasien yang lain berkembang menjadi hipertensi diinduksi kehamilan. Pada analisis ini,

pasien ini juga dikelompokkan sebagai hipertensi diinduksi kehamilan. Maka dari itu,

walaupun penelitian preospektif ini menyediakan data yang akurat, penelitian lebih lanjut

dibutuhkan untuk melihat apakah paparan sperma memberikan proteksi mencegah pre-

eklampsia sejati, dan terutama pre-eklampsia yang dihubngkan dengan hasil perinatal

yang jelek. Pada penelitian kasus-kontrol yang relatif kecil, Verwoerd et al. (2002)

menemukan bahwa multigravida, tetapi bukan primigravida, dengan periode kohabitasi

seksual tanpa perlindungan >6 bulan, mengalami penurunan risiko terjadinya pre-

eklampsia. Sebaliknya pada penelitian Robillard, Morcos et al. (2000) dalam penelitian

kasus-kontrol retrospektif baru-baru ini dari 68 wanita paritas campuran dengan

hipertensi diinduksi kehamilan menemukan bahwa, pada wanita primipara, durasi

kohabitasi seksual dihubungkan dengan penurunan risiko hipertensi diinduksi kehamilan

yang kecil dan bahkan tidak signifikan. Untuk wanita multipara, lamanya interval

konsepsi dan penghentian penggunaan kontrasepsi barier dihubungkan dengan

peningkatan risiko hipertensi diinduksi kehamilan yang lebih besar. Bagaimanapun, pada

penelitian Morcos et al. (2000) memiliki beberapa masalah utama: (a) persentasi yang

relatif tinggi (20-40% kasus) memiliki riwayat aborsi sebelumnya, dan (b) kontrol dan

19

Page 20: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

kasus keduanya memiliki faktor pembatas fertilitas yang signifikan. Rata-rata jumlah

bulan dari aktivitas seksual tanpa persalinan kontrol sebanyak 13.2 dan 10.9 bulan,

berturut-turut, pada kasus dan kontrol hipertensi primipara, dan 49.4 dan 27.1 bulan,

berturut-turut, pada kasus dan kontrol hipertensi multipara.

Paparan sperma alternatif di mukosa

Penggunaan oral mielin dan kolagen memiliki efek menguntungkan yang

signifikan pada pasien dengan multipel sklerosis dan reumatoid artritis. Efek ini

(tolerisasi oral) mungkin berhubungan pada jalur spesifik dimana antigen diproses oleh

sistem imun saluran digestif. Toleransi oral adalah metode yang sudah lama dikenal

untuk menginduksi toleransi imun. Menariknya, antigen yang menstimulasi usus-

dihubungkan dengan jaringan limfa (GALT) lebih dahulu mencetus tipe respon Th2

(Weiner et al., 1994). Pada 1986, dua tipe sel T pembantu inhibitor mutualis yang

berbeda telah digambarkan (Mossman et al., 1986). Tipe sel yang pertama, disebut Th1,

mensekresi IL-2, IFN-γ, dan limfotoksin. Hal ini berlawanan dengan sel Th2 yang

mensekresi IL-4, IL-6 dan IL-10 (Mossman dan Moore, 1991). Sitokin Th1 dihubungkan

dengan imunitas dimediasi sel dan memperlambat reaksi hipersensitivitas, sementara

sitokin Th2 membantu perkembangan respon antibodi dan reaksi alergi. Karena sitokin

Th1 dianggap berbahaya bagi kehamilan, dan sitokin Th2 seperti IL-10 dapat

menurunkan produksi sitokin Th1, sehingga dikemukakan oleh Wegmann di awal tahun

1990 bahwa kehamilan yang berhasil adalah merupakan fenomena Th2 (Marzi et al.,

1996; wegmann et al., 1993). Sekarang kita tahu bahwa paradigma ini jelas hanya sebuah

20

Page 21: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

penyederhanaan yang berlebihan. Bagaimanapun, berdasarkan konsep toleransi mukosa,

dan paradigma tipe 1 banding 2, Koelman et al. (2000) mengevaluasi apakah seks oral

dihubungkan dengan insidensi rendah pre-eklampsia; 41 wanita primipara dengan

riwayat pre-eklampsia, ditetapkan secara ketat oleh kombinasi adanya hipertensi

diinduksi kehamilan, proteinuria dan hiperurisemia, dan kelompok kontrol dari 44 wanita

dengan kehamilan normal telah ditenya apakah mereka melakukan seks oral (ejakulasi

intraoral) dengan pasangan mereka sebelum indeks kehamilan. Pada 41 wanita pre-

eklampsia 18 (44%) melakukan seks oral dengan pasangannya sebelum indeks kehamilan

banding 36 dari 44 (82%) pada kelompok kontrol (P=0.0003). Dengan tambahan, 7 dari

41 (17%) pasien pre-eklampsia banding 21 dari 44 pasien kontrol (48%) mengakui bahwa

mereka telah meneguk sperma (P=0.003). maka dari itu, seks oral sebelum kehamilan

pertama tampaknya dihubungkan dengan penurunan signifikan insidensi pre-eklampsia.

Penulis mengakui bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apakah

penemuan ini memperlihatkan tolerisasi terhadap antigen paternal atau apakah seks oral

dihubungkan dengan peningkatan paparan sperma oleh traktus genitalia.

Antigen paternal manakah yang penting dan bagaimana tubuh wanita menerima

pesan HLA paternal?

Jalur pasti dimana tubuh wanita menerima pesan HLA paternal belum diketahui.

Koelman et al. (2000) menunjukkan adanya molekul kelas I HLA yang terlarut

dalam plasma semen menghasilkan jalur utama yang langsung pada paparan

endometrium. Menariknya, molekul HLA terlarut juga bisa menginduksi apoptosis sel T

21

Page 22: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

sitotoksik manusia (Zavazava dan kronke, 1996), dan induksi apoptosis bisa menjadi

sebuah mekanisme untuk menginduksi toleransi spesifik melawan membran molekul

HLA pasangannya. Sebuah model pengganti, diajukan oleh Clark (1993,1994),

menyatakan bahwa traktus genitalia memiliki sel T yang tidak biasa dengan tipe reseptor

γδ lebih banyak daripada tipe reseptor αβ untuk antigen. Dia mengusulkan bahwa sel T

ini bereaksi terhadap antigen di vagina dan uterus tanpa memerlukan pengikatan simultan

pada antigen tipe HLA-A, -B, -C, atau -D dalam antigen ditampilkan sel (APC).

Mekanisme seperti ini akan membuka jalur untuk pengenalan trofoblas manusia yang

kurang permukaannya untuk antigen klasik HLA.

Bagaimanapun, berdasarkan penelitiannya tentang kehamilan setelah inseminasi

intra uterina, Smith et al. (1997) mengemukakan bahwa faktor proteksi ada di

spermatozoa dan bukan pada cairan semen. Hasil ini didukung kuat oleh Wang et al.

(2002) di penelitian berikutnya. Mereka menggunakan model elegan untuk menegaskan

efek proteksi paparan sperma sebelumnya dan untuk menganalisis apakah proteksi ini

dibawa oleh sel sperma atau plasma semen. Penulis ini mengharapkan hasil dari

kehamilan dengan cara Injeksi Sperma Intra-Sitoplasmatik (ICSI), dimana fertilisasi

didapat dengan menginjeksi sperma pada plasma oosit. ICSI pada mulanya digunakan

pada kasus dimana ada kekurangan semen yang berat, termasuk azoospermia. Pada

beberapa pasien diperlukan pengambilan sperma secara bedah. Pasangan dimana

pasangan laki-lakinya mengidap azoospermia dan dimana sel sperma didapatkan dengan

metode bedah adalah “model” yang ideal untuk menguji proteksi toleransi imun spesifik

pasangan yang dibawa oleh sel sperma. Model ini menyediakan analisis independen dari

apa yang bisa terdapat dalam cairan semen, karena pada pasangan ini tidak terjadi

22

Page 23: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

paparan sel sperma di traktus genitalia wanita selama berhubungan badan, sementara

paparan oleh cairan semen tidak terpengaruh. Kesemuanya, 1621 persalinan yang

dikandung sesuai standar IVF, ICSI menggunakan sel sperma yang didapat dengan

masturbasi, dan ICSI menggunakan sel sperma dengan metode bedah telah dianalisis; 195

(12%) terjadi hipertensi gestasional, dan 67 dari mereka (4.1%) terjadi pre-eklampsia.

Risiko hipertensi gestasional meningkat menjadi dua kali lipat, sementara risiko pre-

eklampsia meningkat menjadi tiga kali lipat pada ICSI menggunakan metode bedah

dibandingkan dengan standar IVF dan ICSI menggunakan sperma dengan masturbasi.

Penelitian ini menjelaskan bahwa paparan sebelumnya oleh sel sperma sebenarnya pasti

membawa sebagian besar proteksi, karena wanita di kelompok ICSI yang menggunakan

sel sperma dengan metode pengambilan bedah transkutaneus tidak pernah mengalami

kontak dengan sel sperma pasangannya – dan hal ini hanya pada pasien dengan

infertilitas yang lama yang terlihat terjadi peningkatan insidensi pre-eklampsia dan

hipertensi gestasional.

Hall et al. (2001) menyimpulkan hal yang berbeda. Peneliti ini memeriksa hasil

kehamilan wanita yang mengandung oleh donor inseminasi, dibandingkan dengan wanita

yang mengandung setelah IVF dengan spermatozoa pasangannya. Ini merupakan

penelitian kelompok retrospektif dari 218 wanita yang mendatangi klinik IVF, 45

diantaranya mengandung dengan inseminasi donor dan 173 yang mengandung dari

spermatozoa pasangannya. Kasus diidentifikasi dari unit IVF dan data diambil dari rekam

pasien dengan observer yang disamarkan. Analisis menunjukkan tidak ada perbedaan

antara kelompok, dengan 22% wanita yang mengandung dari spermatozoa donor dan

24% wanita yang mengandung dari spermatozoa pasangannya berkembang menjadi

23

Page 24: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

penyakit hipertensi pada kehamilan. Inseminasi dengan spermatozoa pasangannya tidak

dihubungkan dengan penurunan insidensi terjadinya penyakit hipertensi, dan begitu juga

inseminasi dari spermatozoa donor. Harus diperhatikan bahwa (a) sampel penelitian ini

sangat kecil, dan (b) insidensi gangguan hipertensi diinduksi kehamilan terjadi sangat

tinggi di kedua kelompok. Kami merasa, bagaimanapun, bahwa Hall et al. (2001)

membuat satu kesalahan yang signifikan yang bisa menjelaskan hasil mereka yang

berlawanan. Kelompok wanita dengan metode IVF menggunakan sperma pasangannya

hampir pasti memiliki faktor pembatas fertilitas tambahan dibandingkan dengan

kelompok wanita dengan sperma donor. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Basso et

al. (2003) menemukan bahwa beberapa faktor memperlambat pengenalan konsepsi secara

klinis mungkin juga menjadi jalur penyebab terjadi pre-eklampsia.

Sebagai ringkasan, paparan sperma tidak meyediakan proteksi mencegah

terjadinya pre-eklampsia. Paparan yang sebenarnya oleh sel sperma tampaknya menjadi

faktor yang penting. Deposisi semen pada traktus genitalia wanita menimbulkan kaskade

peristiwa selular dan molekular yang menyerupai respon inflamasi klasik. Faktor penting

ini tampaknya adalah vesikel seminal yang mengubah faktor pertumbuhan β (TGFβ).

Vesikel seminal TGFβ disekresi lebih banyak pada bentuk laten.

Plasmin semen dan faktor uterus mengubah bentuk laten menjadi TGFβ bioaktif

(Tremellen et al., 1998). Inseminasi intra uterin in vivo TGFβ menghasilkan peningkatan

produksi faktor stimulasi koloni granulosit-monosit (GM-CSF) yang cukup untuk

menginisiasi leukositosis endometrial yang sebanding dengan yang terjadi pada

hubungan seksual (Robertson, 2002). Pemaparan TGFβ di uterus, dalam kombinasinya

dengan antigen ejakulasi paternal, menyokong pertumbuhan dan keselamatan fetus semi-

24

Page 25: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

alogenik, dibuktikan dengan peningkatan signifikan pada berat fetal dan plasenta pada

penelitian hewan. Hal ini dipercaya difasilitasi oleh dua jalur. Yang pertama, dengan

inisiasi reaksi inflamasi setelah berhubungan badan, TGFβ meningkatkan kemampuan

untuk meneliti dan memproses antigen paternal yang ada di cairan ejakulat. Peran penting

TGFβ yang lain dan respon inflamasi post-koital yang berikutnya, adalah inisiasi deviasi

imun tipe 2 kuat. Pengolahan sebuah antigen oleh sel pembawa antigen dalam lingkungan

yang mengandung TGFβ tampaknya menginisiasi fenomena Th2 didalam sel T pemberi

reaksi (Robertson, 2002). Dengan menginisiasi respon imun tipe 2 kepada antigen

ejakulat paternal, TGFβ semen bisa mencegah induksi respon tipe 1 pada konsepsi semi-

alogenik yang diperkirakan bertanggungjawab pada terjadinya pertumbuhan plasenta dan

fetal yang jelek. Makrofag desidual, ada pada saat implantasi, akan mencegah aktivitas

lisis sel NK melalui pelepasan molekul seperti TGF, IL-10 dan prostaglandin-E2 (PGE2).

Dibawah pengaruh lingkungan sitokin lokal, sel pembawa antigen (seperti makrofag dan

sel dendritik) bisa menyebabkan, pengolahan dan adanya antigen ejakulat (sperma, sel

somatik, dan antigen terlarut) pada sel T dalam saluran nodus limfe (Tremellen et al.,

1998). Pada tikus, pengambilan mRNA sperma disandi untuk HLA paternal oleh antigen

desidual dibawa sel telah berlangsung. Ada penerjemahan berikutnya dari mRNA sperma

ini yang menyandi MHC paternal kelas I di dalam sel pembawa antigen maternal. Sel

pembawa antigen ini berjalan melalui uterus ke saluran nodus limfe selama respon

inflamasi post-koital. Tidak diketahui apakah mekanisme yang mengagumkan ini terjadi

pada manusia. HLA-G pastinya tidak berperan disini, karena sel sperma manusia tidak

memiliki mRNA untuk HLA-G (Hiby et al., 1999; Watson et al., 1983). Karena HLA-G

berupa monomorf sehingga tidak memungkinkan menjadi calon untuk mewakili

25

Page 26: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

spesifitas HLA paternal. HLA-A dan HLA-B klasik juga tidak tampak berperan karena

tidak dikeluarkan oleh trofoblas.

Inseminasi donor dan donasi oosit

Analog dengan periode paparan sperma, inseminasi donor buatan telah

dilaporkan oleh beberapa peneliti yang menghasilkan peningkatan substansial insidensi

pre-eklampsia (Schenker dan Ezra, 1994). Mengenai inseminasi donor buatan, penelitian

pokok pertama dilaporkan oleh Need et al. pada tahun 1983. Mereka melaporkan 584

kehamilan dengan inseminasi donor buatan (ADI) dalam program di seluruh Australia.

Insidensi keseluruhan pre-eklampsia (hipertensi diinduksi kehamilan proteinuria) tinggi

(9.3%) dibandingkan dengan insidensi yang diharapkan dari 0.5-5%. Insidensi meningkat

pada wanita multigravida dan juga primigravida. Insidensi pre-eklampsia yang

diharapkan pada wanita Australia primigravida sebanyak 5%, sementara sebanyak 10.1%

pada wanita primigravida yang hamil setelah ADI. Peningkatan insidensi pre-eklampsia

pada wanita primigravida setelah ADI ini mendukung penemuan Robillard et al. (1994),

yang menunjukkan efek proteksi pemanjangan periode paparan sperma. Insidensi pre-

eklampsia yang diharapkan sebanyak 0.9% pada pasien multigravida, sementara

sebanyak 7.8% pada wanita multigravida dengan ADI. Sehingga, efek proteksi yang

diharapkan dari kehamilan yang sebelumnya tidak terlihat, dalam kenyataannya ada

peningkatan pre-eklampsia sebanyak 47 kali lipat (diobservasi banding diharapkan) pada

kehamilan ADI setelah kehamilan cukup bulan sebelumnya, dan peningkatan sebanyak

15 kali lipat setelah kehamilan dengan durasi yang lebih pendek. Data dari pasien

26

Page 27: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

multigravida yang telah menjalani ADI juga cenderung mendukung konsep

primipaternitas yang dibuat oleh beberapa kelompok independen peneliti (Feeney, 1980;

Feeney dan Scott, 1980; Ikedife, 1980; Robillard et al., 1993; Trupin et al., 1996;

Tubbergen et al., 1999). Grefenstette et al. (1990) menunjukkan hasil dari 487 kehamilan

setelah ADI dengan semen beku, dan menemukan peningkatan signifikan insidensi

hipertensi diinduksi kehamilan dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan dengan

kelompok kontrol dari penelitian nasional yang diadakan oleh INSERM di Perancis tahun

1981.

Laporan pertama mengenai efek donasi oosit pada insidensi gangguan hipertensi

diinduksi kehamilan dibuat oleh Serhal dan Craft (1987). Mereka melaporkan bahwa 5

dari 10 pasien hamil pertama mereka yang hamil dengan donasi oosit, yang kesemuanya

normotensi sebelum hamil, berkembang menjadi hipertensi proteinuria. Dua tahun

kemudian, mereka mempublikasi rangkaian 61 kehamilan dengan donasi oosit; insidensi

pre-eklampsia sebanyak 38% (Serhal dan Craft, 1989). Insidensi yang sama (32%) telah

dilaporkan oleh Pados et al. (1994), dan oleh Soderstrom-Anttila dan Hovatta (1995)

(41%). Bagaimanapun, akibat donasi oosit/ADI pada insidensi pre-eklampsia tidak terus

menerus dilaporkan oleh peneliti lainnya. Perkins (1993) mengikuti rangkaian kecil

kehamilan diinisiasi AID. Insidensi komplikasi hipertensi pada kelompok ini, 36 wanita

nulipara, tidak berbeda dari rata-rata semua kehamilan di institusi mereka. Friedman et

al. (1996) membandingkan hasil perinatal pada rangkaian kecil dari berturut-turut 22

kehamilan dengan ovum donor. Sampel dicocokkan dalam usia, paritas dan urutan gestasi

dengan sebuah kelompok kontrol terdiri dari 22 wanita yang telah melalui standardisasi

transfer embrio IVF selama periode yang sama. Kedua kelompok menunjukkan rata-rata

27

Page 28: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

yang sama dari gangguan hipertensi. Antinori et al. (1995) melaporkan 44 pencapaian

kehamilan setelah donasi oosit, ditemukan insidensi gangguan hipertensi diinduksi

kehamilan sebanyak 13% yang meningkat hanya sedikit dibandingkan pada literatur,

terutama mengingat relatif tingginya umur wanita pada penelitian ini. Hendler et al.

(1997) membandingkan hasil kehamilan pada 35 kehamilan tunggal sedikitnya 24

minggu setelah hamil dengan donasi oosit pada satu pusat reproduksi, dengan 95

kehamilan tunggal yang hamil setelah IVF pada wanita dengan umur yang sama yang

melahirkan selama periode yang sama (1988-1996). Insidensi gangguan hipertensi

diinduksi kehamilan sebanyak 25.7% pada kelompok donasi oosit, banding 4.2% pada

kelompok kontrol (P< 0.01). perbandingan umur maternal pada wanita donasi oosit

dibandingkan dangan pasien IVF biasa adalah fitur penting penelitian ini. Hal ini

dikarenakan sebagian besar penelitian melaporkan insidensi tinggi komplikasi hipertensi

pada kehamilan donasi oosit diperburuk dengan meningkatnya usia pasien, yang mana

dan umur itu sendiri yang dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi

(Michalas et al., 1996). Salha et al. (1999) membandingkan efek tipe yang berbeda dari

gamet donasi. Pada penelitian kelompok retrospektif ini, sejumlah 144 wanita telah

diteliti. Pada sejumlah itu, 72 adalah pasien infertilitas yang telah hamil dengan donasi

sperma, ovum atau embrio. Sedangkan 72 wanita yang lain sebagai kontrol disesuaikan

pada umur dan paritas yang hamil dengan gamet mereka sendiri, secara spontan ataupun

setelah inseminasi intauterin dengan spermatozoa pasangannya. Penelitian pasien dibagi

menjadi tiga kelompok tergantung asal gamet yang di donasi. Kelompok 1 terdiri dari

kehamilan yang dicapai dengani nseminasi intrauterine dengan spermatozoa donor yang

sudah dicuci (n=33). Kelompok 2 terdiri dari wanita yang hamil dengan donaso oosit

28

Page 29: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

(n=27), dan kelompok 3 terdiri dari wanita yang hamil dari donasi embrio (n=12).

Insidensi hipertensi diinduksi kehamilan pada kelompok penelitian donasi gamet

sebanyak 12.5% (9/72) dibandingkan dengan 2.8% (2/72) pada kelompok kontrol.

Sebagai tambahan, pre-eklampsia didiagnosis dalam 18.1% (13/72) dari kelompok

penelitian donasi gamet dibandingkan pada 1.4% (1/72) pada kontrol yang sesuai umur

dan paritas.

Sebagai ringkasan, sejalur dengan hipotesis maladaptasi imun, kehamilan dengan

donasi gamet, dan lebih spesifik kehamilan dengan donor embrio, jelas meningkatkan

risiko pre-eklampsia. Dengan kemungkinan peningkatan penggunaan teknik reproduksi

ini di masa mendatang, para klinisi obstetri membutuhkan adaptasi ANC mereka untuk

kehamilan risiko tinggi tersebut.

Pasangan yang “berbahaya”

Terdapat data yang menyediakan bukti adanya ayah yang “berbahaya”. Lie et al.

(1998) mempublikasi penelitian Norwegia (1967-1992; sekitar 60.000 kelahiran per

tahun) dimana mereka diidentifikasi sebagai 363.758 pasang kehamilan pertama dan

kedua dimana dua janin berasal dari ibu dan ayah yang sama; 14.266 pasang kehamilan

dimana janinnya berasal dari ibu yang sama tetapi ayah yang berbeda; dan 26.152 pasang

dimana janin berasal dari ayah yang sama tetapi ibu yang berbeda. Penemuan terbesar

penelitian ini adalah laki-laki “ayah” dari sebuah kehamilan pre-eklampsia yang mana

hampir dua kali lipat seperti yang terjadi pada “ayah” kehamilan pre-eklampsia pada

wanita yang berbeda (1.8; 95% CI: 1.2-2.6; setelah penyesuaian paritas), tanpa

29

Page 30: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

memperhatikan apakah wanita ini sudah pernah mengalami kehamilan pre-eklampsia

atau tidak. “Ibu” tersebut memiliki peningkatan substansial pada kehamilan keduanya

(2.9%) jika mereka hamil dari laki-laki “ayah” kehamilan pertama yang pre-eklampsia

pada wanita lain. Risiko ini hampir sebanyak rata-rata risiko diantara kehamilan yang

pertama. Menjadi laki-laki yang “berbahaya” atau tidak, tergantung spesifik HLA-nya,

faktor semen (contohnya TGFβ yang rendah) atau faktor lain yang belum diketahui.

Terdapat predisposisi maternal diwariskan yang dikenali dengan baik untuk

terjadinya pre-eklampsia. Apakah terdapat komponen paternal diwariskan,

bagaimanapun, belum pasti, tetapi Esplin et al. (2001) menggunakan rekam medik dari

Pusat data Populasi Utah untuk mengidentifikasi 298 laki-laki dan 237 wanita yang lahir

diantara tahun 1947 sampai 1957 yang ibunya mengalami pre-eklampsia selama

kehamilannya. Untuk setiap laki-laki dan wanita pada kelompok penelitian, mereka

diidentifikasi dengan dua kecocokan, subjek kontrol yang tidak berhubungan yang mana

bukan hasil dari kehamilan pre-eklampsia. Mereka kemudian mengidentifikasi 947 anak

dari 298 subjek penelitian laki-laki dan 830 anak dari 237 subjek penelitian wanita yang

dilahirkan antara tahun 1970 dan 1992. Anak-anak ini dicocokkan dengan anak-anak dari

kelompok subjek kontrol (1950 anak kelompok kontrol laki-laki dan 1658 anak dari

kelompok kontrol wanita). Setelah penyesuaian tahun lahir anak, paritas maternal, dan

usia gestasi anak saat kelahiran, rasio rentang dari seorang dewasa yang ibunya

mengalami pre-eklampsia akan memiliki anak yang merupakan hasil kehamilan yang

dikomplikasi pre-eklampsia sebanyak 2.1 (95% CI: 1.0-4.3; P=0.04) pada klompok

penelitian laki-laki dan 3.3 (95% CI: 1.5-7.5; P=0.004) pada kelompok penelitian wanita.

Para penulis menyimpulkan bahwa pria dan wanita yang merupakan hasil dari kehamilan

30

Page 31: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

dengan pre-eklampsia tampaknya juga akan memiliki anak hasil kehamilan dengan pre-

eklampsia dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Perspektif

Penelitian, yang kebanyakan epidemiologikal, yang diulas pada bab ini

menegaskan bahwa maladaptasi imun berpengaruh pada etiologi pre-eklampsia. Paparan

sperma memberikan setidaknya separuh pertahanan mencegah terjadinya pre-eklampsia.

Maladaptasi imun bisa menyebabkan invasi trofoblas ke endovaskular yang dangkal pada

pre-eklampsia, sehingga memicu terjadinya iskemik plasenta dan disfungsi sel endotelial,

sebuah teori yang sejalan dengan hipotesis iskemik plasenta (Smarason et al., 1993).

Sebaliknya, maladaptasi imun bisa menyebabkan pelepasan sitokin toksik, spesies radikal

dan enzim proteolitik dari sel desidua, yang mana akan menyebabkan perusakan dan atau

gangguan fungsi normal trofoblas dan sel endotelial maternal (Dekker dan Sibai, 1998).

Hipotesis maladaptasi imun tidak menyangkal hasil penelitian yang menunjukkan

keterlibatan faktor genetik pada etiologi pre-eklampsia. Pada awal tahun 1985, Beer dan

Need mengeluarkan hipotesis bahwa wanita responden yang secara genetik jelek,

digabung dengan pria yang merupakan seorang stimulator jelek secara genetik, akan

menghasilkan respon maternal yang tidak cukup bahkan tidak baik. Westendorp et al.

(1997) menunjukkan hubungan faktor genetik dan produksi sitokin. Peneliti ini

menemukan bahwa profil sitokin anti inflamasi bawaan tertentu (jumlah TNF yang

rendah dan jumlah IL-10 yang tinggi) mungkin akan memperbesar kemungkinan

penyakit meningokokus yang fatal. Pada teori, faktor genetik yang mirip, dalam

31

Page 32: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

mengontrol keseimbangan Th1/Th2, bisa mempengaruhi respon maternal dalam melawan

antigen fetal (paternal) asing. Chen et al. (1996) menunjukkan adanya peningkatan

pengeluaran mRNA TNF-α pada leukosit dari wanita pre-eklampsia dibandingan pada

wanita dengan kehamilan normal dan wanita yang tidak hamil. Pengeluaran TNF-α yang

banyak ini dihubungkan dengan alel TNF1, yang ditemukan lebih meningkat sebagai

penanda pre-eklampsia (Chen et al. 1996). Bagaimanapun, pada penelitian besar baru-

baru ini, Lachmeijer et al. (2001) gagal menemukan hubungan antara polimorfisme

sembilan pada regio TNF dan pre-eklampsia atau sindrrom HELLP. Sesuai dengan

Hefker et al. (2001), penulis ini juga menemukan bahwa polimorfisme pada IL-1 dan

reseptor antagonis gen IL-1 (IL1ra) dan pre-eklampsia atau sindrom HELLP tidak

berhubungan.

Kesimpulan didapatkan dari penelitian yang telah kita ulas pada bab ini mungkin

memiliki akibat praktis untuk dokter yang praktek, walaupun etiologi pasti pre-eklampsia

masih belum diketahui:

1. Sesuai konsep primipaternitas, wanita multipara dengan pasangan baru harus

diperlakukan seperti memiliki risiko pre-eklampsia yang sama yang terjadi pada

wanita primigravida.

2. Inseminasi donor asli, donasi oosit, dan terutama donasi embrio dihubungkan

dengan peningkatan risiko terjadinya gangguan hipertensi diinduksi kehamilan.

3. Periode paparan sperma yang lama memberikan proteksi parsial mencegah

gangguan hipertensi diinduksi kehamilan. Pada saat ini, setiap wanita dengan

pasangan yang banyak sangat dianjurkan untuk menggunakan kondom untuk

mencegah penyakit menular seksual. Bagaimanapun, paparan sperma periode

32

Page 33: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

tertentu pada hubungan yang stabil, apabila menghendaki kehamilan, dapat

dihubungkan dengan setidaknya proteksi parsial mencegah pre-eklampsia.

Pengamatan dari sebuah hubungan terbalik antara durasi kohabitasi seksual dan

insidensi pre-eklampsia menunjukkan bahwa paparan sperma yang lama penting untuk

berhasilnya sebuah implantasi (Robertson et al. 2003). Hal ini membuat pengertian

fisiologis karena wanita adalah salah satu pada sedikit mamalia yang terpapar semen

pasangannya pada banyak kesempatan sebelum terjadi konsepsi. Dari sebuah perspektif

evolusionaris, hal ini bisa dibuktikan bahwa induksi toleransi antigen paternal melalui

paparan sperma berulang memiliki keuntungan reproduktif. Hal ini bisa meningkatkan

implantasi dan ketahanan embrio yang dikandung pada hubungan jangka panjang dimana

dapat dibuktikan bahwa ayah janin yang dikandung berkomitmen pada janin yang

dihasilkannya. Pada istilah evolusi, insidensi pre-eklampsia yang relatif tinggi mewakili

kerugian signifikan reproduktif pada manusia dibandingkan dengan mamalia lain.

Eklampsia masih sebuah faktor komplikasi pada 1% persalinan pada negara berkembang,

dan terjadi dengan jumlah yang sama pada kelahiran di negara erkembang sampai tahun

1950an (Robillard et al., 2002). Banyak peneliti menduga bahwa penyakit ini

menyembunyikan sebuah keuntungan adaptif di suatu tempat. Hal ini mungkin benar

untuk kenaikan tekanan darah, karena peningkatan tekanan darah sistemik maternal akan

meningkatkan tekanan perfusi (Dadelszen et al., 2000). Bagaimanapun, keseluruhan

sindrom klinis pre-eklampsia sampai eklampsia telah mendorong para wanita untuk

beradaptasi pada beban reproduksi yang sangat hebat.

Perbedaan besar antara embrio manusia dan para mamalia adalah besarnya otak

yang memerlukan sekitar 60% jumlah nutrisi fetal yang dibutuhkan untuk perkembangan

33

Page 34: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

otak pada trimester kedua dak ketiga kehamilan (Martin, 1996). Robillard et al. (2002)

baru-baru ini mengajukan hipotesis bahwa besarnya otak fetal memerlukan invasi

trofoblas ke endovaskular yang dalam. Sesuai hipotesis ini, invasi trofoblas ke

endovaskular yang dalam hanya terjadi apabila ada toleransi imunogenetik yang utama

pada toleransi jaringan antara maternal-paternal. Para peneliti ini mengemukakan bahwa

tingkat kesuburan dan hilangnya estrus mewakili harga yang harus dibayar manusia

untuk otak yang besar, kebutuhan invasi trofoblas ke endovaskular yang dalam, dan

insidensi rendah pre-eklampsia yang dapat diterima. Para wanita memiliki tingkat

kesuburan yang rendah, 25% pada usia kesuburan maksimal. Pada model matematikalis

pada populasi, para ahli demografi menggunakan interval pertengahan antara 7-8 bulan

konstitusi pasangan (tanpa kontrasepsi). Menjadi sangan subur pada kehamilan pertama

dapat dianggap sebuah kerugian dengan adanya risiko pre-eklampsia yang tinggi. Sesuai

Robillard et al. (2002, 2003), tingkat kesuburan 25%, seperti yang diamati pada spesies

manusia, adalah toleransi terbaik antara risiko pre-eklampsia dan multiparitas dengan

pasangan yang sama, tanpa mengancam kesuburan untuk kehamilan berikutnya.

Kesimpulan

Baru-baru ini, pada pemahaman etiologi pre-eklampsia, penelitian klinis

(epidemiologikal) telah menjadi fundamental dalam usaha untuk penyesuaian ulang

perdebatan terhadap kemungkinan adanya mekanisme imunologis. Istilah

“primipaternitas” (Robillard et al., 1993) telah terpilih untuk membantah dogma bahwa

“pre-eklampsia adalah penyakit para wanita primigravida” disebarluaskan pada banyak

34

Page 35: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

buku ajar obstetri di akhir abad ke-20. Meskipun demikian, istilah “primipaternitas”

menyebabkan ambiguitas. Untungnya spesies manusia, multipara yang kebanyakan

berganti pasangan tidak mengalami pre-eklampsia (dan tidak juga pada kebanyakan

primigravida).

Pada penelitian prospektif kelompok Guadalope (Robillard et al., 1994) pada

primipara (seperti juga multipara yang dilaporkan telah berganti pasangan) menegaskan

hasil penelitian Marti dan Herrmann (1977): bahwa ada 40-45% peluang terjadinya

gangguan hipertensi pada kehamilan pada sejumlah kecil wanita yang konsepsinya terjadi

dalam 4 bulan kohabitasi seksual. Maka dari itu, “pergantian paternitas” harus dianggap

hanyalah satu diantara banyak faktor risiko terjadinya pre-eklampsia. Bersama,

penelitian-penelitian ini sampai pada kesimpulan logis yang sama, yang mana bahwa

durasi kohabitasi seksual, dan konsepsi pertama sebuah pasangan, bukan merupakan

faktor risiko independen, dan bahwa penjelasan biologis hal ini adalah kebutuhan adanya

paparan sperma sebelum konsepsi. Untuk alasan ini Robillard, Dekker dan Hulsey

mengajukan model alternatif “primipaternitas” pada tahun 1999 (Robillard et al., 1999).

Pada model ini pre-eklampsia dihubungkan dengan “pasangan yang cepat mengandung

setelah konstitusinya.”

Ulasan terperinci pada kebanyakan penelitian epidemiologikal dipublikasi selama

abad ke-20, dan pada keterangan buku Dieckmann (1952), Chesley (1978) dan

MacGillivray (1983) menampakkan sejumlah inkonsistenan yang mungkin sekarang

sudah bisa dijelaskan. Sebagai contoh, oleh para peneliti ini pre-eklampsia dilaporkan

lebih banyak terjadi pada remaja atau primigravida yang tidak menikah. Penemuan ini

sulit dijelaskan dengan dasar pre-eklampsia hanya merupakan penyakit pada wanita

35

Page 36: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

primigravida. Dengan model primipaternitas, bagaimanapun, sekarang menjadi beralasan.

Kami juga telah membuat dua prediksi berdasarkan model primipaternitas: (1) fertilisasi

dengan donor sperma yang tidak diketahui dapat meningkatkan insidensi pre-eklampsia;

dan (2) bahwa efek proteksi sebuah terminasi kehamilan sebelumnya atau keguguran

hanya ada pada kasus dimana kehamilan berikutnya terjadi dengan pasangan pria yang

sama. Prediksi terakhir ini ditetapkan oleh Saftlas et al. (2003)

36

Page 37: Maladaptasi Sistem Imun Dalam Etiologi Pre Eklampsi

Sumber Pustaka

Fiona lyall and Michael Belfort. Pre-eclampsia Etiology and Clinical Practice, Cambridge

medicine: 2007. New York.

37