makalai ali emil salim.doc
Transcript of makalai ali emil salim.doc
PEMBERLAKUAN ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 :SEBUAH TANGGAPAN DARI SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
1. Indonesia dan Pemberlakukan ASEAN Economic Community 2015
Bagaimanakah seharusnya Indonesia menanggapai pemberlakuan ASEAN Economic
Community (AEC) pada tahun 2015 mendatang ? Jawaban yang penulis sampaikan
adalah bahwa Indonesia harus siap dan turut serta dalam menyukseskan terwujudnya
AEC 2015. Sebagaimana Indonesia juga berperan aktif dalam pembentukan AEC
bersama-sama dengan para pemimpin ASEAN lainnya sejak tahun 2003 (ASEAN
Summit ke-9).
Saat ini masyarakat dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia, tidak bisa menghindari
proses globalisasi, khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Arus sumber daya
ekonomi yang meliputi barang dan jasa, tenaga kerja, serta teknologi dan informasi
semakin cepat dan bebas masuk ke wilayah Indonesia.
Globalisasi regional di tingkat ASEAN dengan menciptakan zona perdagangan bebas
regional di kawasan negara-negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Filipina,
Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam)
merupakan suatu keniscayaan sebagai respon untuk menghindarkan dominansi
eksploitatif antar negara. Meskipun demikian AEC 2015 ini selain mengundang
optimisme tinggi juga ada yang menanggapai dengan pesimis, mengingat kondisi-
kondisi faktual saat ini dengan masih terhamparnya banyak kendala dalam pembangunan
ekonomi Indonesia seperti : kualitas penduduk,infrastruktur dasar,peluang investasi dan
perdagangan.
Pada kenyataannya lepas dari masalah optimis dan pesimis dalam menghadapi
pemberlakukan AEC 2015, sudah tidak relefan lagi saat ini mengajukan premis pilihan :
mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Artinya kita memang harus segera
mempersiapkan diri menyongsong pemberlakuan ASEAN Economic Community 2015,
dengan segala potensi yang dimiliki dan usaha untuk selalu berbenah sehingga dapat
menempatkan posisi dengan tepat melalui peluang untuk bekerjasama dan bersinergi
positif secara regional dalam AEC 2015. Pemberlakuan ASEAN Economic Community
2015 tersebut bisa menjadi tantangan, peluang dan ancaman, bergantung kesiapan
seluruh stake holder suatu negara, sehingga Indonesia harus mampu memanfaatkan
1
momentum tersebut sebagai peluang dan tantangan dengan meningkatkan daya saing,
dengan menjadi “pemain” bukan “penonton.”
Sesuai dengan AEC Blueprint maka AEC 2015 akan mengubah ASEAN menjadi
wilayah dengan pergerakan bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan
aliran modal yang lebih bebas. Kondisi ini akan melahirkan peluang dan tantangan bagi
Indonesia. Jika peluang ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan tantangan dapat
disiapkan jawabannya secara menyeluruh, Indonesia akan mempunyai posisi tawar yang
tinggi dan akan tampil sebagai salah satu penggerak utama dalam isu perdagangan bebas
baik secara regional maupun internasional.
Sebagaimana penulis sampaikan di awal paper ini bahwa Indonesia harus menanggapi
pemberlakukan AEC 2015 dengan penerimaan yang positip, berwawasan keluar, inklusif
dan beorientasi pasar sesuai prinsip-prinsip ekonomi yang terbuka. Seiring dengan posisi
ini Indonesia juga perlu mensikapi secara konkret kekurangan-kekurangan yang dinilai
akan menjadi “batu sandung (crutial points)” kesiapan Indonesia dalam perdagangan
bebas regional ASEAN ini. Mengingat waktu pelaksanaan AEC 2015 yang tidak lama
lama, Indonesia perlu mencari alternatif atau terobosan untuk menjadi semacam “quick
wins” guna mempercepat pencapaian daya saing dan jawaban untuk ini tidak lepas dari
posisi Indonesia sebagai negara maritim.
Mencermati apa yang disebutkan dalam AEC Blueprint 2015 dan ketetapan
(arrangements) turunannya maka salah satu modal dasar utama kita dalam memasuki
MEA 2015 adalah sektor maritim baik menyangkut sumberdaya hayati, sumberdaya non-
hayati dan jasa-jasa lingkungan.
Berdasarkan data-data yang ada, sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia memiliki
karakteristik terunik di antara negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini bukan hanya
disebabkan oleh luasan wilayah lautnya semata tetapi juga sumberdaya kelautan dan
perikanan Indonesia memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan
keunggulan absolut. Saat ini laut Indonesia memang belum berbicara banyak di dalam
mendukung pembangunan nasional juga penguatan Indonesia dalam konstelasi ekonomi
regional dan internasional. Pemberlakuan AEC 2015 diharapkan akan ikut mendorong
intensitas pengelolaan sumberdaya dan jasa maritim yang selama ini terkendala dengan
2
kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, investasi/permodalan serta regulasi yang
mendukung iklim kompetisi usaha yang berkeadilan.
Untuk mendukung pendapat saya bahwa Indonesia harus menerima pemberlakuan AEC
2015, saya menggunakan batas sudut pandang hanya pada sektor kelautan dan perikanan
semata, sehingga argumen yang saya susun dan sampaikan di makalah ini juga dalam
batas sektor tersebut. Pemilihan ini lebih dikarenakan pengalaman penulis yang lebih dari
10 tahun bekerja pada penelitian pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan
disamping pandangan mendasar penulis tentang perlunya menjadikan sektor kelautan dan
perikanan sebagai quick wins yang memiliki daya ungkit tinggi untuk mendorong
kemajuan sektor lain. Di samping itu sektor ini merupakan salah satu modal dasar utama
Indonesia dalam menghadapi lalu lintas arus barang dan jasa yang akan beredar tanpa
batas geografis regional seperti AEC 2015 ini.
2. Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia dalam Pemberlakuan ASEAN
Economic Community 2015
Bagian pemaparan ini akan penulis bagi menjadi tiga sub bagian meliputi :
(1) Ketetapan-ketetapan yang telah berlaku dalam rangka implementasi AEC BluePrin
dan ketetapan derivatnya (ASEAN Framework Agreement, Kesepakatan Mutual
Recognition Arrangement dan Mutual Recognition Arrangement Framework).
(2) Peluang Indonesia dalam Sektor Kelautan dan Perikanan yang dapat dijadikan
sebagai quick-wins (daya ungkit) dan modal dasar dalam pemberlakuan AEC 2015.
(3) Pemetaan permasalahan dan tantangan serta rekomendasi penulis untuk
meningkatkan daya saing Indonesia dalam AEC 2015 pada Sektor Kelautan-
Perikanan .
2.1 Ketetapan-ketetapan yang telah berlaku dalam rangka implementasi AEC
BluePrint dan Ketetapan derivatnya
Sebagaimana disampaikan dalam AEC Blueprint bahwa AEC merupakan realisasi tujuan
akhir integrasi ekonomi sesuai visi ASEAN 2020, yang didasarkan pada kepentingan
bersama negara anggota ASEAN untuk memperdalam dam memperluas integrasi
ekonomi melalui inisiatif yang telah ada dan inisiatif baru dengan kerangaka waktu yang
jelas.Untuk membentuk AEC, ASEAN harus melaksanakan kewajiban sesuai dengan
3
prinsip-prinsip ekonomi yang terbuka, berwawasan keluar, inklusif, dan berorientasi pada
pasar, sesuai dengan aturan-aturan multilateral serta patuh terhadap sistem berdasarkan
aturan hukum agar pemenuhan dan implementasi komitmen-komitmen ekonomi dapat
berjalan efektif.
Selanjutnya Blueprint tersebut juga memuat empat pilar utama untuk pencapaian
integrasi ekonomi ASEAN meliputi : (a) Pasar tunggal dan basis produksi, (b) kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi, (c) Kawasan dengan pembangunan ekonomi yang
merata, d) Kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global.
Pilar pasar tunggal dan basis produksi dinilai selain sebagai pilar pertama juga sebagai
pilar utama terwujudnya integrasi ekonomi ASEAN. Pilar ini memiliki lima elemen
utama, meliputi : a. Aliran bebas barang, b. Aliran bebas jasa, c. Aliran bebas investasi,
d. Aliran modal yang lebih bebas, serta e. Aliran bebas tenaga kerja terampil. Di
samping itu, pasar tunggal berbasis produksi juga mencakup dua komponen penting
lainnya, yaitu Priority Integration Sectors (PIS) dan kerja sama di bidang pangan,
pertanian, dan kehutanan.
Dalam implementasi sektor kelautan-perikanan, AEC 2015 secara khusus selain
dicantumkan dalam AEC Blueprint sebagai salah satu dari dua belas Sektor Integrasi
Prioritas (Fisheries Sector) juga didetailkan dalam ASEAN Framework Agreement for
the Integration of Priority Sector yang dilengkapi dengan Protocol, Roadmap, Coverage
Product dan Negative List. Selain itu khusus untuk pengaturan Aliran Bebas Sektor Jasa
serta Arus Bebas Lalu Lintas Tenaga Kerja Terampil (Skilled Labour) secara teknis
diatur melalui Mutual Recognition Arrangements (MRA) atau Pengaturan Saling
Pengakuan.
2.1.1 AEC Blueprint (Sektor Integrasi Prioritas Perikanan) dan Roadmap
Kesepakatan Kerangka Kerja untuk Sektor Integrasi Prioritas Perikanan
Aksi tindakan yang telah,sedang dan akan dikerjakan terus ke depan dalam hal
implementasi AEC 2015 sebagaimana telah disepakati bersama dalam AEC Blueprint
menyangkut Sektor Integrasi Prioritas Perikanan dan Roadmap Kesepakatan Kerangka
Kerja untuk Sektor Integrasi Prioritas Perikanan meliputi :
a. Sistem Manajemen Keamanan dan Kualitas Perikanan
4
1. Mengembangkan dan menerapkan sistem manajemen mutu perikanan yang dapat
menjamin keamanan pangan dan mendukung posisi daya saing produk produk
perikanan ASEAN di pasar dunia melalui implemetasi, validasi, verifikasi sistem
berbasis hazard analysis crikital control point (HACCP) terhadap pangan, serta
praktik-praktik laboratorium yang lebih baik, dan penyesuaian sistem manajemen
mutu dan keamanan konsumsi pangan, sehingga dapat diterapkan terhadap UKM
ASEAN.
2. Menyelaraskan pengawasan kesehatan hewan (darat dan air) bagi keamanan
makanan hewani malalui skema standar manajemen keamanan bio-security,
sesuai dengan standard dan pedoman internasional.
b. Penerapan Standar Praktek Kegiatan Perikanan Yang Baik Secara Internasional
1. Membentuk Good Agriculture/Aquaculture Practices (GAP), Good Animal
Husbandry Practices (GAHP), Good Hyginen Practices (GHP) Good Manufacting
practices (GMP), dan sistem berbasis Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) bagi produk–produk pertanian, perikanan dan pangan dengan nilai
perdagangan/potensi perdagangan yang signifikan.
2. Menyelarakan pedoman penggunaan bahan kimia dalam budi daya perikanan dan
upaya menghapuskan penggunaan bahan kimia berbahaya, sesuai dengan standar
atau pedoman internasional.
c. Kegiatan Penelitian Pengembangan dan Sumberdaya Manusia
1. Penguatan dan peningkatan kerjasama negara-negara ASEAN dalam program
penelitian pengembangan serta alih teknologi bidang : perikanan budidaya,
perikanan tangkap, teknologi pasca panen dan pengelolaan perikanan perairan
tawar.
2. Menyelenggarakan training, workshop dan seminar regional bidang
pengembangan pengelolaan perikanan
3. Pertukaran ahli, peneliti dan teknisi melalui perjanjian yang disepakati bersama
4. Meningkatkan kerja sama, pendekatan bersama dan alih teknologi antar negara
anggota ASEAN dengan organisasi-organisasi regional dan internasional serta
5
sektor swasta juga termasuk memperkuat upaya-upaya untuk mengatasi
penangkapan hasil laut secara tidak sah (illegal fishing).
d. Informasi
Membentuk sistem peringatan dini terhadap terjadinya bencana alam dan wabah
penyakit.
2.1.2 Aliran Bebas Sektor Jasa serta Arus Bebas Lalu Lintas Tenaga Kerja Terampil
(Skilled Labour) melalui Mutual Recognition Arrangements (MRA)
Sedangkan untuk pengaturan Aliran Bebas Sektor Jasa serta Arus Bebas Lalu Lintas
Tenaga Kerja Terampil (Skilled Labour) melalui Mutual Recognition Arrangements
(MRA) sampai saat ini sudah ada delapan bidang jasa yang sudah disepakati dalam
MRA sebagaimana tersebut dalam tabel 1.
Tabel 1. Kesepakatan Mutual Recognition Arrangement dan Mutual Recognition Arrangement Framework
No Sektor Keterangan Waktu Disepakati
1 Engineering services MRA Desember 2005
2 Nursing Services MRA Desember 2006
3 Architectural Services MRA November 2007
4 Surveying Qualifications MRA Framework November 2007
5 Medical practicioners MRA Februari 2009
Lanjutan tabel 1.
6 Dental practicioners MRA Februari 2009
7 Accountancy Services MRA Framework Februari 2009
8 Tourism Professionals MRA Januari 2009
Dari 8 sektor jasa dalam kesepakatan MRA ini yang bertalian erat dengan sektor kelautan
dan perikanan ada tiga sektor jasa sebagaimana ditampilkan alam tabel 2.
Tabel 2. Sektor Jasa yang Berkaitan dengan Sektor Kelautan dan Perikanan
6
No Sektor Bidang
1 Engineering services - Teknik Kelautan (Teknik Bangunan Pantai dan Platforms Laut)
- Teknik Perkapalan (Naval Architecture dan Mesin Perikapalan)
- Teknik Lingkungan - Teknologi Kelautan- Teknik Perminyakan- Teknik Pertambangan- Teknik Planologi- Teknik Geologi- Teknik Geodesi/Geomatika
2 Surveying Qualifications - Oseanografi- Geofisika - Teknik Geologi- Biologi Laut- Ekologi Laut- Teknologi Kelautan
3 Tourism Professionals - Sekolah Tinggi/Akademi Perhotelan- Sekolah Tinggi/Akademi Pariwisata- Sastra Bahasa Asing- Biologi Laut- Ekologi Laut
Secara lebih spesifik sektor jasa yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan ini
akan dijelaskan terkait dengan ketentuan-ketentuan yang telah terdiskripsi dalam MRA.
Engineering Services
Adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini sebenarnya merupakan awal untuk masuk
ke dalam penetrasi pasar bebas sektor keinsinyuran, awal untuk memastikan bahwa
keseragaman dari kualitas sektor jasa keinsinyuran di negara-negara ASEAN itu sama.
Masih banyak peraturan dan standar yang bisa dibuat untuk mengarahkan kepada
efisiensi dan daya saing. Tidak bisa diartikan bahwa kualitas insinyur dari seluruh negara
ASEAN harus sama karena perbedaan titik awal dan kualitas SDM yang ada di berbagai
negara ASEAN. Semisal, sumberdaya manusia insinyur di Singapura tidak bisa
disamakan begitu saja dengan insinyur di Filipina atau Laos.
Surveyor Qualifications (Tenaga Surveyor)7
Surveying services adalah satu atau lebih dari satu aktivitas yang terjadi di atas atau di
bawah permukaan tanah atau laut dan dikelola oleh asosiasi dengan pekerja profesional
seperti yang didefinisikan dalam International Federation of Surveyors (FIG), yang
dijelaskan di dalam Appendix II di dalam MRA tersebut.
Tourism Professionals
Pariwisata adalah salah satu sektor yang ditetapkan sebagai prioritas dalam liberalisasi
sektor jasa ASEAN. Bersama dengan transportasi udara, e-ASEAN, dan layanan
kesehatan, sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang disepakati menjadi paket
awal dari pelaksanaan liberalisasi sektor jasa ASEAN. Kompleksitas dari sistem yang
dibangun di dalam MRA-TP ini merupakan tantangan tersendiri karena dengan demikian
ada banyak hal yang harus disiapkan oleh negara-negara ASEAN untuk
mengimplementasikan MRA-TP ini (belum termasuk menyiapkan tenaga profesional
negaranya sendiri untuk meningkatkan daya saing negaranya).
Dalam penetapan MRA untuk sektor jasa ini, secara umum mensyaratkan adanya
kemampuan akademik dasar (umumnya lulusan sarjana strata 1) tetapi selanjutnya untuk
bisa bekerja lintah negara ada tuntutan professional lebih yang ini dubuktikan melalui
ujian kompetensi terstandar dan sertfikasi yang berlaku sesuai standar yang telah
ditetapkan dalam MRA masing-masing profesi.
2.2 Peluang Indonesia dalam Sektor Kelautan-Perikanan
Sebagaimana telah disinggung penulis di bahasan sebelumnya, sektor kelautan dan
perikanan memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan keunggulan
absolut dibandingkan dengan sektor yang sama pada negara-negara ASEAN lainnya.
Semua keunggulan tersebut di bangun sebagai akibat dari beberapa hal tersebut di bawah
ini :
a. Luas wilayah perairan Indonesia hampir 70 % atau 2/3 dari luas wilayah keseluruhan
Indonesia, memiliki wilayah laut yang terdiri dari : laut nusantara, laut teritorial, zona
tambahan dan zona ekonomi ekslusif. Jumlah pulau-pulau yang berada di area
8
kedaulatan Indonesia, baik pulau besar dan kecil mencapai 13.446 dengan panjang
garis pantainya sekitar 95.181 km dan luas total wilayah perairannya sekitar 7,7 km2 .
b. Keunikan ciri-ciri pelingkupan wilayah laut dan daratnya menjadikan wilayah
Indonesia berciri seperti benua, sehingga ada beberapa pakar kelautan menamakan
Indonesia sebagai Benua Maritim Indonesia. Letak geografis Benua Maritim
Indonesia sangat strategis, berada di daerah tropis yang dilalui oleh garis katulistiwa,
berada di antara dua samudera dan dua benua. Hal mi memberi banyak keuntungan
baik secara langsung maupun tidak langsung bagi bangsa Indonesia.
c. Dari sudut pandang oseanografi, Benua Maritim Indonesia merupakan daerah
pemasok massa air panas ke seluruh dunia melalui mekanisme the conveyer belt
seperti diungkapkan pertama kalinya oleh Gordon and Fine (1996), dua pakar
oseanografi dan Amerika Serikat. Salah satu segmen dari the conveyer belt yang
melewati perairan Indonesia dikenal sebagai ARLINDO, kependekan dan kata Arus
Lintas Indonesia (Gambar 1a). Di samping itu wilayah perairan Indonesia juga
sebagai lalu lintas peredaran massa air dari Samudera Pasifik ke samudera Hindia dan
sebaliknya sesuai regim moonson yang berlaku setiap enam bulanan (Gambar 1b).
Keunikan-keunikan absolut perairan Indonesia ini menjadi daya tarik utama para
peneliti luar negeri untuk bersama mengembangkan studi osenografi terpadu terkait
dengan pola dinamika massa air, interaksi laut-meterorologi dalam kaitan dengan
studi fenomena anomali cuaca global juga pola migrasi perikanan laut.
(a) (b)9
Gambar 1. Sistem Pita Berjalan Massa Air Hangat (the conveyer belt) (a) dan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) di Indonesia Timur sebagai Bagian dari Conveyer
Belt (b)
d. Dari sudut pandang Iklim, Benua Maritim Indonesia juga memiliki karakteristik yang
khas. Secara umum dikenal adanya dua jenis monsun, monsun Barat dan Monsun
Tenggara yang sangat dipengaruhi oleh osilasi tekanan udara antara daratan Cina di
Asia dan daratan Australia.
e. Dari sudut geologi, wilayah dasar perairan Indonesia ditaburi gunung-gunung berapi
aktif dan merupakan pertemuan tiga lempeng benua yang aktif dan terus bergerak,
hal ini menjadikan daerah Indonesia di satu sisi rawan terkena gempa vulkanik dan
tektonik , di sisi lain menyimpan deposit kekayaan sumbedaya pertambangan
(mineral, minyak dan gas).
f. Berkah dari kondisi hidro-oseanografi di Benua Maritim Indonesia yang
menghadirkan berbagai sistem arus maka, perairan Indonesia secara rata-rata
memiliki kesuburan biologis yang relatif tinggi. Keragaman hayati tergolong cukup
tinggi, bahkan tertinggi di dunia, sedikitnya terdapat 8.500 species ikan, 555 species
rumput laut dan 950 species biota terumbu karang, 2500 spesies moluska, 748-an
spesies ekinodermata serta 38-an spesies reptile. Kenyataan ini membuat bumi
Indonesia dikenal sebagai negeri mega marine bio-diversity.
Kondisi wilayah laut Indonesia sebagaimana pemaparan di atas menjadikan wilayah
Indonesia sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dikelola dengan tepat untuk
kemajuan ekonomi nasional dan untuk menjaga dinamika dalam konstelasi ekonomi
regional dan internasional.
Potensi umberdaya kelautan dan perikanan tersebar ke dalam beberapa sub sektor, yaitu :
perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri
bioteknologi, pertambangan dan energi , pariwisata bahari, perhubungan laut, industri
dan jasa maritim, sumberdaya wilayah pulau kecil, hutan pantai dan sumberdaya non-
conventional. Total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan –perikanan Indonesia
sebesar US$ 1,2 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2014 (Rp 1.840 triliun = US$ 170
miliar) atau 1,2 PDB Nasional saat ini. Lapangan kerja yang bisa disediakan 40 juta
orang atau 1/3 total angkatan kerja Indonesia.
10
Produksi perikanan tangkap Indonesia dari perairan laut sekitar 5,34 juta ton dan tersebar
ke dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (Gambar 2), sedangkan produksi
perikanan budidaya sekitar 6,2 juta ton atau nilai total produksi perikanan Indonesia
ekuivalen dengan nilai uang sebesar US$ 32.000.000.000/th.
Industri bioteknologi laut secara keseluruhan berpotensi mendatangkan nilai uang US$
40.000.000.000/th, wilayah pesisir termasuk kekayaan hutan pantai dan pulau-pulau kecil
juga berpotensi mendatangkan nilai uang sekitar US$ 56.000.000.000/th.
Gambar 2. Peta Sebaran Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia beserta dengan Potensi Perikanan Lestari (t=ton).
Sementara itu pariwisata bahari Indonesia (panjang pantai 95.181 km) diprediksi
memiliki potensi pariwisata bahari terbesar di dunia, sebagai bandingan Queensland,
Australia dengan panjang pantai 2.100 km meraup devisa dari pariwisata bahari US$ 3
milyar pada 2012. Sementara total devisa sektor pariwisata Indonesia pada 2012 hanya
US$ 7 milyar . Potensi pariwisata bahari Indonesia ekuivalen dengan nilai uang sekitar
US$ 2.000.000.000/th. Sebaran daerah pariwisata bahari Indonesia tergambar pada
gambar 3.
11
Gmbar 3. Sebaran Daerah Wisata Bahari Indonesia
Transportasi laut bahari sendiri berpotensi di nilai sekitar US$ 20.000.000.000/th.
Gambar 4 memperlihatkan rute pelayaran yang beroperasi saat ini dan terlihat masih
banyak memperlihatkan peluang rute-rute baru untuk memperlancar arus lalu lintas
barang dan jasa.
Gambar 4. Rute Pelayaran yang Beroperasi Saat ini
(Kapal PELNI dan Perintis)
Sedangkan potensi minyak bumi dan gas di dasar laut bernilai sekitar : US$
21.000.000.000/th. Gambar 5 memperlihatkan sebaran potensi terduga/hipotetik
sumberdaya minyak dan gas di dasar laut .
12
Gambar 5. Sebaran Deposit Sumberdaya minyak dan Gas Bumi di
Dasar Laut Indonesia
2.3 Pemetaan permasalahan dan tantangan serta rekomendasi penulis untuk
meningkatkan daya saing Indonesia dalam AEC 2015 pada Sektor Kelautan-
Perikanan
2.3.1 Sub Bidang Perikanan Laut
Permasalahan dan Tantangan Utama
a. Dalam sub bidang perikanan laut tangkap permasalahan besar yang menjadi kendala
saat ini adalah illegal fishing. Potensi kerugian Indonesia saat ini dari aktifitas
tersebut ditaksir sekitar Rp. 101.040 triliun/tahun. Masalah lainnya juga sering ada
kasus tertolaknya ikan tangkapan Indonesia karena mengandung B3 (bahan
berbahaya dan beracun) dimana prosesnya bisa terjadi secara antropogenik akibat
kegiatan hulu yang tidak sustain juga bisa terjadi secara natural karena terkikisnya
sigkapan batuan mengandung unsur radioaktif dan kemudian mengalir ke laut masuk
dalam sistem rantai makanan ikan.
b. Dalam sub bidang budidaya laut masalah dan tantang besar meliputi : tumpang tindih
tata ruang pesisir, sistem budidaya yang tidak mengindahkan kaedah good
aquaculture practices,jaminan standar mutu terutama dalam hal safety food,
13
pencemaran di daerah hulu dan hilir serta masih banyaknya lahan tidur yang bisa
dijadikan sebagai lokasi budidaya laut dan pantai
Rekomendasi Solusi
a. Untuk mengatasi illegal fishing, ada 2 rekomendasi solusi yang penulis tawarkan
Pertama, mekanisme kerjasama yang konkret di tingkat ASEAN untuk mengatasi
berbagai kegiatan Illegal,Unreported,Unregulated (IUU) fishing. Kedua, adanya
sistem pendukung untuk menutupi kelemahan sistem pertahanan dan keamanan yang
berasal dari masyarakat lokal. Jika hal ini berjalandengan baik, comprehensive
security dalam memberantas illegal fishing diharapkan tidak hanya dijalankan oleh
Indonesia, namun juga oleh seluruh negara anggota ASEAN sehingga cita cita
pelaksanaan AEC 2015 dengan aman, tanpa kecurigaan satu sama lain diantara
sesama anggota ASEAN serta menunjang sportifitas dalam berkompetensi. Sebab
sesuai data yang penulis kumpulkan ada juga negara ASEAN yang melakukan
praktek illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Hal seirama juga perlu
diterapkan terhadap praktek penanaman rumpon laut (FADs = fish aggregating
devices) untuk memonopoli pengaturan migrasi ikan bernilai ekonomis yang pada
satu sisi menganggu stok perikanan dinamis negara tetangga juga dalam pendekatan
keberlanjutan maka praktek seperti ini akan menganggu keseimbangan alamiah biota
ikan tersebut. Dalam AEC Blueprint terdapat penekanan bersama untuk memerangi
praktek illegal fishing, pada posisi ini tentu saja sangat menguntungkan Indonesia
yang sudah lama berusaha memerangi illegal fishing tetapi praktek ini tetap masih
merajalela, apabila dikerjakan menyeluruh oleh Indonesia sendiri tentu saja memakan
biya yang sangat tinggi. Usaha bersama dalam konteks AEC 2015 akan sangat
membantu Indonesia.
b. Dalam sub bidang budidaya laut AEC 2015 akan sangat membantu Indonesia untuk
memperkuat peningkatan mutu hasil budidaya dalam kerangka food safety melalui
pengembangan kegiatan litbang bersama dan pelaksanan training untuk praktisi. Juga
mengingat investasi budidaya laut dan pantai itu high capital perlu adanya investasi
dari negara tetangga dengn mengikuti tata kelola investasi yang sudh ditetapkan
beama dalam forum AEC. Kemudian hal-hal yang lebih sektoral bisa diselesaikan
sendiri oleh pemerintah Indonesia dengan mensinergikan lembaga birokrasi terkait,
lembaga litbang, lembaga keuangan dan kemitraan pengusaha besar dan kecil 14
melalui : investasi dalam inovasi teknologi, khsusunya pembibitan dan pembenihan,
pengendalian penyakit, pakan dan gizi dan pengembangan sistem produksi
berdampak rendah; perencanaan tata ruang yang tegas serta penetapan zonasi
budidaya untuk mengurangi dampak kumulatif yang dapat menganggu daya
dukungdan memanfaatkan teknologi informasi terkini, pemodelan ekologi serta
sistem pemantauan yang terkoneksi dengan data.
2.3.2 Sub Bidang Sumberdaya Manusia.
Dalam menghadapi AEC 2015 sumberdaya manusia Indonesia memperlihatkan potret
dengan tingkat daya saing yang mulai menaik meskipun berada pada peringkat nomor
lima I antara negara ASEAN. Peringkat Indonesia di dalam Indeks Daya Saing Global
meningkat dari peringkat 50 pada tahun 2012 menjadi peringkat 38 pada tahun 2013. Pada
Indeks tersebut tahun 2012/2014, kita berada di bawah Singapura (peringkat 2 dunia),
Malaysia (peringkat 25), Brunei (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 38).
Tabel 2. Peringkat Negara-Negara ASEAN Dalam Indeks Daya Saing Global
Negara PeringkatSingapura 2 Malaysia 24 Brunei 26 Thailand 37 Indonesia 38 Filipina 59 Vietnam 70 Laos 81 Kamboja 88 Myanmar 139
a. Sumberdya Manusia Keinsinyuran
Permasalahan dan Tantangan Utama
Permasalahan dan tantangan utama sumberdaya manusia keinsiyuran di bandingkan
dengan negara-negara ASEAN berdaya saing tinggi terletak pada kuantitas dan kualitas
dari sumberdaya keisnyinyuran tersebut. Salah satu indikator dalam menentukan
permasalahan insinyur di Indonesia adalah pemenuhan insinyur di dalam negeri dengan
melihat pertumbuhan sarjana teknik yang dihasilkan oleh Indonesia setiap tahunnya.
15
Akar permasalahannya berada pada pendidikan teknik yang ada di Indonesia secara
keseluruhan. Dalam hal kualitas, Seperti yang disampaikan di paparan sebelumnya
bahwa kualitas SDM Indonesia tidak dapat disamakan dengan kualitas SDM insinyur
yang ada di Singapura, atau Malaysia, sebab kualitas pendidikan yang menjadi faktor
utama.
Di Singapura dan Malaysia, universitas-universitas yang menghasilkan sarjana teknik
sebagian besar telah berstandar internasional ABET, sementara di Indonesia, hanya ada
satu perguruan tinggi yang telah memperoleh sertifikat akreditasi perguruan tinggi
ABET tersebut yaitu Institut Teknologi Bandung dan itu pun hanya di jurusan Teknik
Elektronya saja, belum ke semua bidang di ITB. Hal ini yang menjadi pekerjaan rumah
besar bagi penyelenggara pendidikan teknik di Indonesia dan juga kementerian
pendidikan yang terkait dalam penyusunan kurikulum dan standar kompetensi
pendidikan teknik di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia.
Selain itu, durasi penyelenggaraan pendidikan teknik di Indonesia yang hanya empat
tahun juga berkontribusi pada rendahnya kualitas lulusan yang dihasilkan. Di luar
negeri, durasi minimal untuk program sarjana teknik adalah lima tahun. Namun hal ini
dicoba untuk ‘diakali’ dengan membuat satu tahun tambahan program profesi bagi
lulusan sarjana teknik agar persyaratan durasi yang ada di negara lain terpenuhi, tetapi
permasalahannya adalah tidak semua lulusan sarjana teknik mengambil program
profesi ini. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa penyelenggaraan pendidikan
teknik di Indonesia belum sebagus negara-negara tetangga.
Sementara jika berbicara masalah kuantitas dalam hal pemenuhan kebutuhan insinyur di
dalam negeri, Indonesia masih sangat kekurangan insinyur. Data yang diperoleh dari PII
(Persatuan Insinyur Indonesia) menyebutkan bahwa populasi sarjana teknik di Indonesia jika
dibandingkan dengan Malaysia terpaut cukup jauh. Dari grafik di atas jelas terlihat bahwa
dari segi rasio perbandingan populasi sarjana teknik di Indonesia per 1 juta penduduk di
tahun 2008 masih sangat kecil dibanding Viet Nam, Malaysia, atau Thailand. Menurut Ketua
PII, Bobby Umar, saat ini Indonesia kekurangan sekitar 1,2 juta insinyur. Idealnya, Indonesia
memiliki 2 juta insinyur, sementara saat ini hanya memenuhi 600-700ribu saja.36 Hal ini
disebabkan salah satunya karena pertumbuhan sarjana teknik di Indonesia per tahunnya juga
tidak setinggi negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan Viet Nam. Data mengenai
pertumbuhan sarjana teknik tiap tahunnya tercermin di dalam grafik di bawah ini.
16
Gambar 6. Diagram Populasi Sarjana Teknik di Beberapa Negara Tahun 2008
(Sumber data : PII, 2013)
Rekomendasi Solusi
Sektor keinsinyuran merupakan sektor yang penting bagi pembangunan fisik di suatu
negara. Sektor ini penting karena menyangkut pengembangan investasi dan penguasaan
teknologi, serta berkaitan dengan inovasi. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di
atas, ada beberapa rekomendasi yang diusulkan terhadap sektor keinsinyuran:
1. Adanya keperluan mendesak untuk segera mengesahkan dan mengimplementasikan
RUU Keinsinyuran agar peraturan mengenai profesi insinyur lebih memiliki kualifikasi
dibanding sebelumnya yang belum ada UU yang mengaturnya.
2. Koordinasi dengan pemerintah dalam hal pendidikan agar kuantitas dan kualitas
sarjana teknik bisa meningkat, seiring dengan peningkatan kualitas perguruan tinggi
penyelenggara pendidikan teknik.
3. Kebijakan pemerintah untuk tidak berorientasi pada penjualan hasil mentah atas
sumber daya alam yang diperoleh dari bumi Indonesia dengan tujuan menciptakan
lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi sarjana teknik.
17
4. Perlu adanya insentif dari pemerintah kepada profesi insinyur yang telah memperoleh
sertifikat ASEAN. Sebab jika insinyur telah memperoleh sertifikat ASEAN namun tidak
ada penghargaan lebih atau insentif dari pemerintah, maka dorongan bagi insinyur untuk
mengambil sertifikasi ASEAN tidak akan terwujud.
b. Sumberdaya Manusia Kepariwisataan
Permasalahan dan tantangan
Untuk menunjang kesuksesan pariwisata Indonesia selain adanya perbaikan infrastruktur
pendukung, juga perbaikan kualitas sumberdaya manusia bidang pariwisata.Menurut data
yang dipaparkan oleh Asosiasi Pelaku Pariwisata Seluruh Indonesia (APPSI, 2013) daya
sang pariwisata Indonesia termasuk pariwisata bahari menduduki peringkat 74 dunia dan
menduduki peringkat ke empat dibawah Singapua, Malaysia dan Thailand. Menurut
sumber yang sama juga peringkat dalam pilar sumberdaya manusia pariwisata, Indonesia
mendudui peringkat dunia nomor 51 di bawah Singapura ( nomor dua dunia), Malaysia
dan Brunei Darussalam.
Rekomendasi Solusi
Berdasarkan gambaran tersebut, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan untuk
meningkatkan daya saing tenaga profesional pariwisata di Indonesia, ini juga diletakkan
dalam kerangka AEC 2015:
1. Harmonisasi tata kelola kepariwisataan bahari di Indonesia, misalnya dengan
membentuk layanan “satu pintu” untuk lisensi/perizinan di level nasional dengan
melibatkan pemerintah daerah.
2. Para profesional pariwisata bahari Indonesia sebenarnya berpeluang meningkatkan
daya saing mereka jika mereka mampu memanfaatkan infrastruktur pariwisata dan
pendukung pariwisata di negara lain dengan baik, seperti misalnya membuka bisnis
pariwisata di Singapura atau Malaysia yang peringkatnya lebih baik, lalu diintegrasikan
dengan pariwisata Indonesia (misalnya: Paket Wisata ASEAN),dukungan pemerintah
untuk memetakan peluang di sektor ini di berbagai negara ASEAN yang lain.
3. Perbaikan infrastruktur pariwisata bahari dan infrastruktur pendukung seperti
infrastruktur transportasi darat dan udara.
18
4. Mendorong tenaga profesional pariwisata di Indonesia untuk memiliki sertifikasi.
Karena banyak pelakunya saat ini masih tidak memandang hal tersebut penting,
pemerintah harus pro-aktif dengan tidak menunggu para profesional ini “datang untuk
diuji.” Pemerintah bisa mendatangi tempat-tempat di mana banyak profesional ini
berkumpul dan melakukan proses sertifikasi di tempat tersebut (semacam “Sertifikasi
Profesional Pariwisata Keliling”).
c. Sumberdaya Surveyor Indonesia
Permasalahan dan tantangan
Sektor survei dan pemetaan merupakan bidang yang sangat vital bagi kedaulatan
negara dan oleh sebab itu MRA Framework dalam bidang survei dan pemetaan ini
menempatkan instansi pemerintah, badan nasional, atau kementerian terkait sebagai
pihak yang bertanggung jawab untuk berkoordinasi secara regional dalam konteks
ASEAN.
Mengingat vitalnya sektor surveying, penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan
keunggulan geografis agar mampu menghasilkan tenaga atau pekerja terampil dalam
hal surveying. Jika pemanfaatan keunggulan geografis ini bisa dilaksanakan, maka tidak
mustahil bahwa daya saing atau kekompetitifan Indonesia dalam hal surveying benar
terwujud. Akan tetapi, di dalam sektor pemetaan ini, justru Indonesia belum mampu
memanfaatkan keunggulan yang dimiliki. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya
masalah khususnya kuantitas sumberdaya manusia dengan berlatar belakang ilmu-ilmu
kebumian (earth science), karena masalah kualitas sumberdaya manusia surveyor dari
Indonesia terbukti saat ini bisa bersaing dalam kemampuan (technical skills) tinggi di
lapangan regional maupun internasional . Yang menjadi masalah utama bagi mereka
adalah kurangnya dukungan pemerintah dan sektor usaha untuk membantu melakukan
sertifikasi keahlian surveyor di tingkat iinternasional.
Rekomendasi Solusi
1. Koordinasi intra-sektor yang harus diperjelas, ketidakjelasan mengenai asosiasi
profesi tenaga survei dan kiprah di lapangan membuat absennya wadah bagi profesi
surveyor untuk bisa menyatukan kebutuhannya melalui ikatan profesional. Sekalipun
ternyata ISI merupakan asosiasi profesi surveyor, dalam kaitannya dengan liberalisasi
sektor jasa ASEAN, ISI harus bekerja sama dengan BIG – selaku badan nasional yang
19
ditunjuk untuk menangani MRA dalam bidang surveying – agar terdapat harmonisasi
kebijakan. Harmonisasi kebijakan harusnya juga dilakukan dengan Badan Pertanahan
Nasional sebab badan tersebut yang mengeluarkan lisensi mengenai surveyor di
Indonesia yang resmi dari pemerintah.
2. Kaitannya dengan penyediaan data mengenai tenaga profesi survei dan pemetaan,
perlunya asosiasi yang jelas berguna untuk mengumpulkan data mengenai anggota
yang ada di dalam asosiasi profesi tersebut. Ketersediaan data mengenai anggota
profesi survei dan pemetaan akan membantu menentukan sejauh mana jumlah tenaga
survei di Indonesia telah mencukupi kebutuhan yang diperlukan, atau justru masih
belum mencukupi. Selain itu, penyediaan data juga penting untuk melihat kompetensi
dan kualifikasi anggota profesi agar mampu bersaing baik dalam skala nasional, dan
khususnya untuk menghadapi liberalisasi dalam sektor survei dan pemetaan.
3. Dalam hal pemanfaatan sumber daya manusia, penyerapan lulusan perguruan tinggi
atas sederajat dalam bidang kebumian, geografi, geologi, dan sejenisnya perlu
ditingkatkan mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, yang diartikan
membutuhkan ahli dalam bidang survei dan pemetaan dalam skala besar .
4. Adanya dukungan pemerintah dan sektor swasta untuk mendorong surveyor muda
Indonesia memiiki sertifiksi surveyor bertaraf internasional yag kerap dipersyaratkan
dalam semua kegiatan surveying.
20
21