Makalah ulumul hadist

42
ULAMA-ULAMA HADIST Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah: Ulumul Hadist Dosen Pengampu: Muhamad Abdilah Subqin M.Pd.I Prodi: Ekonomi Syariah Disusun Oleh: Amalia Damayanti Leka Ayu Mardasari Lorencia

Transcript of Makalah ulumul hadist

ULAMA-ULAMA HADIST

Makalah ini disusun guna memenuhi tugasMata Kuliah: Ulumul Hadist

Dosen Pengampu: Muhamad Abdilah Subqin M.Pd.IProdi: Ekonomi Syariah

Disusun Oleh:

Amalia DamayantiLeka Ayu Mardasari

Lorencia

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH (STAIM) TULUNGAGUNG

2016

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya

Shalawat serta Salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta

Keluarga, Sahabat dan para penerus risalahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan

makalah Ulama ulama hadist, guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist.

Kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar – besar nya kepada:.

1. Muhamad Abdilah Subqin M.Pd.I sebagai dosen mata kuliah Ulumul Hadist.

2. Orang tua yang selalu memberi dukungan pada kami .

3. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini .

Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu mempermudah proses belajar dan

bermanfaat bagi kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya . Serta kami menerima kritik

dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun agar tercapainya kesempurnaan makalah

ini.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh .

Tulungagung, 12 November 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................2

Daftar Isi...................................................................................................................3

Bab 1 : Pendahuluan

A. Latar belakang..............................................................................................4

B. Rumusan masalah.........................................................................................4

C. Tujuan...........................................................................................................4

Bab 2 : Pembahasan

A. Imam Bukhori Dengan Hadist Shahih.........................................................5

B. Imam Muslim Dengan Hadist Shahih..........................................................8

C. Imam Abu Dawud Dengan Kitab Sunan....................................................12

D. Imam At-Tirmidzi Dengan Kitab Sunan.....................................................14

E. Imam An Nasa’i Dengan Kitab Sunan........................................................18

F. Ibnu Majah Dengan Kitab Sunan................................................................22

Bab 3 : Penutup

a. Kesimpulan............................................................................................. ....26

b. Saran............................................................................................................26

Daftar pustaka..........................................................................................................27

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada masa Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman

Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut

(lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits nabi

yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat.

Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-

benar sulit tandingannya.

Hadits nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke

seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal dunia.

Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin bertambah banyak, baik yang

dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam

sendiri.

Dalam mempelajari hadits kita tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berkenaan dengan

hadits saja, tetapi kita juga perlu mempelajari tokoh-tokoh yang telah berjasa besar dalam

memelihara dan menyebarluaskan hadits-hadits Nabi yang merupakan sumber ajaran Islam

setelah Al-Qur’an. Berkat jasa merekalah hadits-hadits Nabi saw sampai di tangan kita. Para

ulama hadits, adalah tokoh-tokoh agama yang menempati posisi khusus dalam umat ini.

Kedudukan mereka di mata umat begitu mulia dan agung, mengingat jasa dan peranan

mereka yang begitu besar dalam menjaga kemurnian syariat Islam.Inilah keistimewaan ulama

hadits dibandingkan ulama dari disiplin ilmu lainnya. Merekalah para pembawa sunnah Nabi,

yang merupakan sumber ilmu kedua setelah Alquran. Sunnah Rasulullah merupakan muara yang

padanya setiap cabang ilmu agama akan kembali. Tidak ada satu ulama pun dari berbagai

disiplin ilmu agama, yang tidak membutuhkan penjelasan mereka tentang sunnah Rasulullah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Jelaskan tokoh tokoh ulama hadist beserta kitabnya?

C. TUJUAN

1. Mengetahui tokoh tokoh ulama hadist beserta kitabnya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Imam Bukhori Dengan Hadist Shahih

Nama lengkap Imam Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim

bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja'fi. Ia lebih di kenal dengan sebutan Imam Bukhari.

Diantara para ahli hadits, beliaulah yang paling masyhur hingga sekarang. Hadits-hadits riwayat

Imam Bukhari lebih di unggulkan oleh para ulama daripada riwayat ahli hadits lainnya, seperti

Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan lainnya. Kenapa seperti demikian, tidak lain karena

tingkat keshahihan hadits yang beliau riwayatkan sangatlah akurat. Ayah Imam Bukhari

terkenal sebagai orang yang berilmu, ia juga sangat wara’, menjaga diri dari hal-hal yang

syubhat. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki

tidak terdapat sedikitpun harta yang haram maupun yang syubhat.” Maka jelaslah bahawa

Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama, wara dan

terjaga dari hal-hal yang syubhat. Tidak heran jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari

ayahnya.

Metode Periwayatan Imam Bukhari

Pembahasan mengenai metode Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadits, maka tidak

akan jauh dari metode beliau dalam menyeleksi hadits-hadits beliau ke dalam kitab Shahihnya.

Imam Bukhari adalah orang pertama yang menyusun sebuah kitab yang di dalamnya murni

berisi hadits shahih. Kitabnya bernama 'Al Jâmi‘ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar Min

Umûri Rasûli’Llâh Saw. Wa sunanihi Wa Ayyâmihi'. Di sebut al-Jâmi' karena kitab ini hampir

mencakup apa saja yang di butuhkan oleh umat Islam, baik untuk urusan agama, dunia, maupun

akhirat mereka. Dikatakan al-Musnad karena semua sanad haditsnya bersambung sampai

kepada Rasulullah Saw.. Dikatakan al-Shahîh karena di dalam kitab tersebut tidak ada satu

hadits pun kecuali ia shahih, bahkan ‘Ashahhu al-Shahîh’, paling shahih di antara yang shahih.

Di katakan al Mukhtashar karena kitab ini tidak mencakup seluruh hadits shahih, melainkan

‘Ashahhu al-Shahîh’ saja.

Ada dua riwayat mengenai faktor yang mendorong Imam Bukhari dalam menyusun

kitabnya:

1. Ibrahim bin Ma'qil al Nisfi meriwayatkan dari Imam Bukhari, ia berkata: suatu ketika

kami berada pada Ishaq bin Rohuwiyah, maka ia berkata: “Hendaknya kalian mengumpulkan ke

dalam sebuah kitab yang meringkas sunnah-sunnah nabi Saw. yang shahih,” kemudian ia

berkata: “Maka hal itu terdetik dalam hatiku, kemudian setelah itu aku mulai mengumpulkan

hadits-hadits dalam kitab al-Jâmi' al-Shahîh.”

Diriwayatkan darinya lagi, bahwasannya Imam Bukhari berkata:

1. Aku melihat Rasulullah Saw. dalam mimpi, seakan-akan aku berdiri di hadapannya

dengan membawa sebuah kipas." Setelah itu Aku menanyakan hal itu kepada sebagian ahli

ta'bir. Maka mereka mengatakan kepadaku, "Bahwasanya kamu akan mengikis habis kedustaan

yang ditujukan kepada nabi Saw.. Hal itulah yang mendorongku untuk menyusun al-Jâmi' al-

Shahîh. Ia juga berkata: "Aku mengarangnya dalam waktu lebih dari 10 tahun".

Imam Bukhari dalam meriwayatkan hadits selalu menerapkan metode ilmiah yang sangat

detail. Beliau menggunakan standar keshahihan hadits yang sangat tinggi. Dengan metode

demikianlah keshahihan hadits-hadits Imam Bukhari dapat dipertanggungjawabkan. Beliau

sama sekali tidak meriwayatkan hadits kecuali ia telah menyeleksi para perawi dan benar-benar

yakin akan keshahihan hadits tersebut. Imam Bukhari selalu membandingkan hadits-hadits yang

diriwayatkannya, menyaringnya kemudian memilah mana yang menurutnya paling shahih.

Dalam sebuah riwayat Imam Bukhari mengatakan: “Aku susun kitab al-Jâmi‘ ini yang di pilih

dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”

Imam Bukhari hafal ratusan ribu hadits lengkap beserta sanad dan pengetahuan para

perawinya. Kendati demikian tidak semua hadits yang beliau hafal kemudian ia riwayatkan dan

ia masukkan ke dalam kitabnya, melainkan ia menyeleksi dengan sangat ketat sanad dari hadits

tersebut, apakah ia bersambung atau tidak. Keadaan para perawi hadits tersebut tidak luput dari

pemeriksaannya, apakah ia tsiqah atau tidak. Sehingga ketika ia mendapati seorang perawi yang

diragukan kejujurannya, ia pun meninggalkan hadits tersebut untuk tidak ia riwayatkan. Adapun

jika perawinya tidak jelas kapabilitasnya atau terlebih lagi jika perawinya jelas akan

kebohongannya, maka dengan tidak ragu ia tinggalkan hadits tersebut. Beliau berkata: "Aku

tinggalkan 10.000 hadits yang di riwayatkan oleh perawi yang perlu di pertimbangkan.”

Imam Bukhari dalam perjalanannya mencari hadits telah bertemu banyak sekali para

perawi hadits dan ulama. Dengan teliti ia mencatat keadaan para ulama dan perawi tersebut,

untuk nantinya ia jadikan bahan pertimbangan mengenai mereka. Demi mendapatkan sebuah

hadits tidak tanggung-tanggung Imam Bukhari berjalan dari satu negera ke negera yang lain,

meskipun jarak antara negara-negara tersebut sangatlah jauh. Berharap mendapatkan keterangan

tentang sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi, seperti Baghdad, Kufah,

Mesir, Syam, Hijaz dan lainnya. Beliau mengatakan: "Aku telah mengunjungi Syam, Mesir dan

Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan

tidak dapat dihitung berapa kali Aku mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-

ulama ahli hadits."

Komparasi Metode Imam Bukhari dengan Muslim

Imam Bukhari adalah orang pertama yang menyusun kitab hadits yang di dalamnya

hanya terdapat hadits shahih. Kemudian setelah Imam Bukhari adalah Muslim. Muslim adalah

murid dari Imam Bukhari. Berkaitan dengan perbandingan metode Imam Bukhori dengan

Muslim, maka tidak jauh pula dari metode penulisan kitab shahih mereka berdua. Keduanya

memiliki keutamaan yang luar biasa dalam periwayatan hadits shahih. Kitab Bukhari lebih

shahih daripada kitab yang di susun oleh Muslim, dan lebih banyak faidahnya. Meskipun ada

beberapa ulama yang berpendapat bahwa kitab Muslim lebih shahih dari kitab Bukhari. Namun

pendapat yang benar adalah, kitab Bukhari lebih utama dari kitab Muslim. Karena kitab Bukhari

sanad-sanadnya lebih kuat dan para perawinya lebih mutqin daripada kitab Muslim.

Keunggulan kitab Imam Bukhari dapat di tinjau dari beberapa aspek, diantaranya;

1. Bahwasannya hadits yang di riwayatkan Imam Bukhari sendiri (tidak di riwayatkan oleh

Muslim) lebih dari 430 hadits, dan yang memberi komentar mengenai kelemahan hadits

tersebut sebanyak 80 orang. Sedangkan yang di riwayatkan Muslim sendiri (tidak di riwayatkan

oleh Bukhari) sebanyak 620 hadits, dan yang mengomentarinya ada sebanyak 160. maka tidak

ragu lagi bahwa yang sedikit di komentari lebih utama daripada yang banyak mendapatkan

komentar.

2. Adapun hadits Imam Bukhari yang mendapatkan komentar, ia mendapatkannya langsung dari

gurunya yang secara langsung ia temui dan duduk bersamanya. Sehingga ia mengetahui persis

keadaannya, telah ia telaah hadits-haditsnya, dan paham betul mana hadits yang baik dan mana

yang tidak baik. Sedangkan Muslim, ia mendapatkan hadits tersebut dari orang-orang yang telah

lewat masanya. Maka tidak di ragukan lagi, seorang muhaddits yang lebih tahu perkataan

syaikh-nya lebih utama daripada yang tidak duduk langsung dengan syaikhnya.

3. Imam Bukhori adalah orang nomor satu dalam bidang hafalan, kemudian pada urutan kedua

adalah Muslim. Terbukti dalam riwayat ketika ia di uji oleh 10 ulama yang memutar balikkan

hadits, kemudian Imam Bukhari membenarkannya satu persatu.

4. Muslim menghukumi hadits 'mu'an'an' sebagai hadits yang shahih atau sanadnya bersambung,

asalkan perowinya adalah satu masa, meskipun belum pernah bertemu. Akan tetapi Imam

Bukhori tidak demikian. Bukhari mensyaratkan harus bertemunya kedua perowi.

Bahwasannya hadits-hadits riwayat mereka berdua yang mendapat kritikan sebanyak 210

hadits. Khusus riwayat Imam Bukhari yang mendapat kritikan kurang dari 80 hadits.1

B. Imam Muslim Dengan Hadist Shahih

Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim

bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi

an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu

termasuk dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah- daerah yang terletak di sekitar

Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat

pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad

1 http://www.pcimmesir.com/2015/02/metode-imam-bukhari-dalam-meriwayatkan.html

pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu

dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.

Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini,

beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits,

ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa

ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering

datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau

mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang

salah menyebutkan periwayatan hadits. Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-

segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi

aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau,

misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu,

Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits

kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih;

di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar

hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada

Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan

Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali

berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau

lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering

mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang

memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya. Ketika terjadi fitnah atau

kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini

kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih

menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan

dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW. Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-

kitab lainnya tidak memasukkan 26 hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau

adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam

Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits

yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka

sebagai gurunya. Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah

meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada

Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih

Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya,

berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir,

hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan,

dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu

diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-

hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun. Mengenai metode penyusunan

hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang

digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at

tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada

saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya),

akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata). Imam Muslim menjadi orang

kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam

Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah

satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud

ungkapan itu tak lain adalah ahli- ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Kitab Shahih Muslim

Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang

paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya,

kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak

memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-

judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada

mutaba’at dan syawahid.

Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim

sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang

bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan

menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong

suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai

murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-

orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari. Kitab Shahih Muslim memang dinilai

kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al- Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang

menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari. Sebenarnya

kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar,

yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim

kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam

Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi

semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-

hadits Muslim terasa sangat populis. Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab

Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem

isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek.

Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.

Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-

Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul

Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul

‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al- Mukhadhramin,

16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh

Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad. Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak,

sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang

monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-

Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.2

C. Imam Abu Dawud Dengan Kitab Sunan

Beliau adalah seorang ulama panutan umat, ulama yang berpegang kuat dengan bimbingan

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang memiliki hafalan yang kuat dan seorang

ahli hadits kota Bashrah. Dia lah Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin

‘Amr bin Imran al-Azdi as-Sijistani atau yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Dawud as-

Sijistani.

Beliau dilahirkan pada tahun 202 H di daerah Sijistan. Sijistan adalah sebuah propinsi

kecil yang berbatasan dengan daerah Sind (Pakistan). Terletak di sebelah barat Hirrah

(Afghanistan), sebuah daerah di negeri Khurasan. Di sebelah selatannya adalah padang sahara

yang tandus. Daerah Sijistan banyak dipenuhi oleh pepohonan kurma dan pasir. Al-Imam Abu

Dawud tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan cahaya ilmu terutama ilmu hadits.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Rihlah (perjalanan) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka menuntut ilmu, telah

menjadi kebiasaan dan kebutuhan yang sangat penting sejak zaman para sahabat dan para ulama

setelahnya terutama di dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan penuh kesabaran dan tanpa mengenal lelah beliau berkeliling dunia, pindah dari

satu negeri ke negeri lain, menuntut ilmu dari banyak ulama, mengumpulkan ilmu kemudian

menulis dan mencapai puncak karirnya sebagai seorang ahli hadits. Di antara para ulama yang

beliau temui tercatat 2 ulama yang sangat terkenal yaitu al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-

Imam Yahya bin Ma’in. Dari mereka berdua lah beliau belajar ilmu hadits. Beliau mulai

melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu semenjak usia yang masih belia yaitu 18 tahun.

Untuk pertama kalinya beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 220 H.

Beliau berkata, “Aku memasuki kota Kufah pada tahun 221 Hijriyah. Kemudian aku

memasuki kota Damaskus dan mencatat hadits dari Abu an-Nadhr al-Faradisi –seorang ulama

yang banyak menangis– pada tahun 222 Hijriyah.”

2 http://www.slideshare.net/Ataw/hadits-shahih-imam-muslim

Di samping itu, beliau juga melakukan perjalanan ke berbagai negara seperti Mesir, Saudi

Arabia, Syam, Irak, Iran, Afghanistan, dan lain-lain dalam rangka menuntut ilmu kepada para

ulama yang berada di negeri-negeri tersebut. Karena seringnya melakukan perjalanan di dalam

menuntut ilmu, beliau mendapat julukan ar-Rahal (orang yang banyak melakukan perjalanan).

Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah mengatakan,

“Beliau termasuk salah seorang ulama ahli hadits yang banyak melakukan perjalanan sampai ke

ujung-ujung dunia dalam rangka menuntut ilmu.” Adapun para ulama yang menuntut ilmu

kepada beliau adalah; al-Imam Abu Isa at-Tirmidzi (teman beliau), al-Imam Abu Abdirrahman

Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, kedua putra beliau yaitu Abdullah bin Abi Dawud dan Abu Bakar

bin Abi Dawud, Abu Bisyr ad-Daulabi, Abdurrahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi, Abu Bakar

bin Abi Dunya, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Khallal al-Faqih dll. Bahkan disebutkan

dalam sebuah riwayat bahwa al-Imam Ahmad pernah meriwayatkan satu hadits dari beliau.

Beliau tinggal di kota Baghdad selama beberapa waktu sambil menyebarkan ilmu di kota

tersebut. Dan tidak terhitung berapa kali banyaknya beliau singgah di kota Baghdad. Terakhir

beliau singgah di kota Baghdad pada tahun 272 H.

Beliau mengatakan, “Aku mencatat hadits-hadits Rasulullah sebanyak 500.000 hadits.

Kemudian aku memilih dari sekian hadits tersebut untuk aku letakkan ke dalam kitab Sunan-ku.”

Di dalam kitab Sunan beliau terkandung 4800 hadits. Dalam salah satu riwayat disebutkan

bahwa jumlah hadits yang tertulis dalam Sunan Abi Dawud mencapai 5274 hadits.

Karya Tulis Beliau

1. Kitab Sunan (Sunan Abi Dawud)

2. Al-Masa`il Allati Khalafa ‘alaiha al-Imam Ahmad bin Hanbal.

3. Ijabatuhu ‘ala Su`alat al-Ajurri

4. Risalah fi Washfi Ta’lifihi li Kitab Sunan

5. Az-Zuhd

6. Tasmiyah Ikhwah Alladzina Rawa ‘anhum al- Hadits.

7. Kitab Marasil

8. Kitab fi Rijal

9. Kitab al-Qadr

10. Kitab Nasikh

11. Musnad Malik

12. Kitab Ashab asy-Sya’bi3

Sistematika Penyusunan Kitab

Kitab ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, yang mempermudah pembaca ketika

mencari hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu, khususnya masalah yang

berhubungan dengan fiqh. Dalam kitab sunan ini Abu Dawud membagi haditsnya dalam

beberapa kitab dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Dengan perincian: kitab ini terdiri

dari 35 kitab, 1871 bab, serta 4800 hadits. Akan tetapi menurut Muhyiddin Abdul Hamid jumlah

haditsnya 5274. Perbedaan penghitungan ini tidak aneh, karena Abu Dawud sering

mencantumkan sebuah hadits di tempat yang berbeda, hal ini dilakukan untuk menjelaskan suatu

hukum dari hadits tersebut dan di samping itu untuk memperbanyak jalur sanad.

Pendapat Ulama’

· Abu Sa’id al’Arabi (murid Abu Dawud) mengatakan bahwa: andaikan seseorang tidak

memiliki ilmu kecuali mushaf yang berisi alQur’an dan kitab ini, maka keduanya sudah memadai

(tanpa membutuhkan kitab lain).

Abu Sulaiman al-Khitabi menyatakan: ketahuilah bahwa kitab Sunan Abu Dawud ini merupakan

karya yang tiada tandingan, dan telah diterima secara kaffah oleh umat dan dijadikan pijakan

hukum diantara kelompok ulama dan fuqaha ketika mereka berbeda pendapat.

· An-Nawawi dan beberapa ulama lain menyatakan bahwa sebaiknya bagi kalangan

pengkaji fiqh menjadikan kitab sunan Abu Dawud ini sebagai i’tibar dan memahaminya secara

sempurna, karena keagungan hadits hukum di dalamnya yang disusun secara mudah bagi mereka

yang hendak melacak hukum di dalamnya serta berbagai kelebihan lainnya.

D. Imam At-Tirmidzi Dengan Kitab Sunan

Nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Tsaurah Bin Musa Bin ad-

Dahaq as-Sulami at-Tirmiz. Imam Tirmizi lahir pada bulan zullhijjah tahun 209 H (824 M).

Kakeknya dahulunya merupakan orang Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap

disana, lalu di kota inilah terlahirnya imam at-Tirmizi. Sejak kecil ia sudah suka mempelajari

ilmu hadis dan melakukan perjalanan ke beberapa negri untuk mendapatkan ilmu. Dalam

3 http://buletin-alilmu.net/2011/09/21/imam-abu-dawud/

perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa ulama besar ahli hadis dan belajar hadis

bersama mereka.

Imam Tirmizi lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan dalam kitab al-Jami’nya, ia

selalu memakai nama Abu Isa, meskipun sebagian ulama sangat membenci sebutan tersebut

dengan berargumen kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah

bahwa “seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu Isa, karena, Isa tidak punya ayah”.

Namun, tetap saja ini tidak berpengaruh, karena, hal ini dimaksudkan untuk membedakan at-

Tirmizi dengan ulama yang lain.

Ia meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Diantaranya adalah Imam Bukhori,

kepadanya ia belajar hadits dan fiqh. Ia juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud.

Guru beliau lainnya adalah:

Qutaibah bin Said

Ishaq bin Rahawahib

Muhammad bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balqi

Mahmud bin Galani

Isma’il bin Musa al-Fazari

Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama yang mayoritas

mereka adalah murid-muridnya. Diantaranya adalah: Makhul bin Fadl, Muhammad bin Mahmud

‘Anbar, Hammad bin Syakir, Ai-bd bin Muhammad an Nasfiyyun, al Haisam bin Kulaib asy

Syasyi, Ahmad bin Yusuf an Nasa’I, Abul ‘Abbas Muhammad bin Mahbub al Mahbubi. Mereka

meriwayatkan kitab Jami’nya dan kitab-kitab yang lain.

Karya-karya Imam Tirmidzi

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab, diantaranya:

Al Jami’ as Sohihain, yang terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi

Kitab I’Illal

Kitab Tarikh

Kitab as-Sama’il al-Nabawiyyh

Kitab al-Zuhud

Kitab al-Asma; wa al-Kuna

Metode Kitab Sunan Al Tirmidzi

Judul lengkap kitab al–Jami’al–Shahih adalah al-Jami’al–Mukhtasharminal–

Sunan‘anRasulillah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’

‘alaihi al-‘Amal. Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama al–Jami’al–Tirmidzi atau

Sunanal–Tirmidzi.Untuk kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh ulama.

Adapun yang menjadi pokok perselisihan adalah ketika kata-kata shahih melekat dengan nama

kitab. Al-Hakim (w. 405 H) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 483 H) tidak keberatan menyebut

dengan Shahihal–Tirmidzi atau al–Jami’al–Shahih.Berbeda dengan Ibn Katsir (w. 774 H) yang

menyatakan pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab al–

Jami’al–Tirmidzi tidak hanya memuat hadis shahih saja, akan tetapi memuat pula hadis-hadis

hasan, dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidzi selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-

annya dengan ke-munkar-annya.

Dalam meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode yang berbeda dengan ulama-

ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh al-Tirmidzi:

1. Men-takhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.

Dalam kitabnya, al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis, kecuali hadis yang diamalkan oleh

fuqaha’, kecuali dua hadis, yaitu:

“Sesungguhnya Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’,

tanpa adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan tidak pula karena hujan”.

“Apabila seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan jika ia kembali minum khamar pada

yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.

Hadis pertama, menerangkan tentang men-jama’ shalat. Para ulama tidak sepakat untuk

meninggalkan hadis ini, dan boleh hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama

tidak dijadikan kebiasaan. Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian ahli fiqih dan ahli

hadis.

Hadis kedua, menerangkan bahwa peminum khamarakan dibunuh jika mengulangi

perbuatannya yang keempat kalinya. Hadis ini menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’

ulama.

Dengan demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi mencantumkan hadis tersebut, adalah

untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis, yaitu telah di-mansukh dengan hadis riwayat al-Zuhri

dari Qabisah bin Zawaib dari Nabi, yang menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa

kepada Rasul. Kemudia Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.

2. Memberi penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.

Salah satu kelebihan al-Tirmidzi adalah ia mengetahui benar keadaan hadis yang ia tulis. Hal itu

berdasarkan hasil diskusinya dengan para ulama tentang keadaan hadis yang ia tulis. Dalam kitab

al–Jami’, al-Tirmidzi mengungkapkan :

“Dan apa yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai ‘ilal hadis, rawi ataupun sejarah adalah

hasil dari apa yang aku takhrij dari kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah

hasil diskusi saya dengan Muhammad bin Isma’il (al-Bukhari)”.

Pada kesempatan lain al-Tirmidzi juga mengatakan :

“Dan kami mempunyai argumen yang kuat berdasarkan pendapat ahli fiqih terhadap materi yang

kami terangkan dalam kitab ini”.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadis dimaksudkan

olah al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadis bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu Fadhil

bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai

standarisasi periwayatan hadis, yaitu:

a) Hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.

b) Hadis-hadis yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu hadis-

hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadis itu

bersambung sanadnya dan tidak mursal.

c) Hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab

kelemahannya.

d) Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu

saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’ifmatruk.

Isi Kitab Sunan Al Tirmidzi

Kitab al-Jami’al-Shahih ini memuat berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya

yaitu; al-aqa’id (tentang tauhid), al-ahkam (tentang hukum), al-riqaq (tentang budi luhur), adab

(tentang etika), al-tafsir (tentang tafsir al-Qur’an), al-tarikhwaal-siyar (tentang sejarah dan

sejarah jihad Nabi SAW.), al-syama’il (tabi’t), al-fitan (tentang terjadinya fitnah dan

malapetaka), dan al-manaqibwaal-masalib (tentang biografi sahabat dan tabi’in). Oleh sebab itu

kitab hadis ini disebut dengan al-Jami’.Secara keseluruhan, kitab al-Jami’al-Shahih atau

Sunanal-Tirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab dan 3956 hadis.

Menurut al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam al-Jami’al-Shahih, telah diamalkan ulama’ Hijaz,

Iraq, Khurasan dan daerah lain (dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Katsir meriwayatkan dari al-

Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah menyusun kitab Musnad yang shahih ini dan telah aku

tunjukkan kepada para ulama Hijaz, Iraq, Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di

rumahnya terdapat kitab ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang bersabda),

kecuali dua hadis (yang telah dibahas dimuka). Hadis ini diperselisihkan ulama baik segi sanad

maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak

dengan alasan-alasan yang berdasarkan naqli maupun akal.4

E. Imam An Nasa’i Dengan Kitab Sunan

Imam al-Nasa'i nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syu'aib bin Ali bin Sinan bin Bahr

bin Dinar, dan diberi gelar dengan Abu Abd al-Rahman al-Nasai. Beliau dilahirkan pada tahun

215 H di kota Nasa' yang masih termasuk wilayah Khurasan. Kepada tempat kelahiran beliau

inilah namanya dinisbatkan. Di kota Nasa' ini beliau tumbuh melalui masa kanak-kanaknya, dan

memulai aktifitas pendidikannya dengan menghafal al-Quran dan menerima berbagai disiplin

keilmuan dari guru-gurunya. Tatkala beliau menginjak usia remaja timbulah keinginan dalam

dirinya untuk mencari hadits Nabi. Maka ketika usianya menginjak 15 tahun, mulailah beliau

mengadakan perjalanan ke hijaz, Irak, Syam, dan daerah-daerah lainnya yang masih berada di

Jazirah Arab untuk mendengarkan dan mempelajari Hadits Nabi dari para ulama yang di

kunjunginya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh itu, tidaklah heran kalau beliau sangat

piawai dan unggul dalam disiplin ilmu hadits, serta sangat menguasai dan ahli dalam ilmu

tersebut.

4 http://mazroatulislahiyahfai.blogspot.co.id/

Pengakuan Ulama Hadis atas Kapasitas Keilmuannya

Imam al-Nasai telah diakui keutamaan, keahlian dan kepemimpinannya dalam bidang

ilmu hadis oleh murid-muridnya dan ulama-ulama lain yang datang sesudah generasi murid-

muridnya. Diantaranya sebagai berikut:

1.Abu Ali al-Nisaburi al-Hafiz suatu saat ia berkata: al-Nasai adalah seorang Imam yang tidak

diragukan lagi keahliannya dalam bidang ilmu hadis.

2.Al-Dar al-Qutni mengatakan bahwa Imam al-Nasai adalah orang yang didahulukan selangkah

dalam bidang ilmu hadis pada masanya ketika orang membicarakan keilmuan hadis. Pernyataan

ini diperkuat lagi dengan statemen Hamzah al-Sahmi yang bertanya pada al-Qutni tentang siapa

yang harus didahulukan antara Abdurrahman al-Nasai dan Ibnu Huzaimah ketika keduanya

sama-sama membacakan sebuah hadis, lalu al-Dar al-Qutni menjawab : "Tidak ada orang yang

menyamai dan didahulukan dari pada Abu Abdurrahman (al-Nasai) dalam bidang ilmu hadis,

tidak ada orang yang wara' seperti dia, dia adalah syekh di Mesir yang paling pintar pada

masanya dan yang paling mengetahui dan mengerti tentang ilmu hadis".

3.Ibnu kasir: al-Nasai adalah seorang Imam pada masanya dan orang yang paling utama dalam

bidangnya.

Kitab-Kitab Karya Imam al-Nasa’i

Imam al-Nasai dikenal sebagai ulama hadis yang sangat teliti terhadap hadis dan para

rawi. Ini terbukti dalam menetapkan kriteria sebuah hadis yang dapat diterima atau ditolak sangat

tinggi,begitu juga halnya dengan penetapan kriteria seorang rawi mengenai siqoh atau tidaknya.

Dalam hal ini, al-Hafiz Abu Ali memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh

imam al-Nasai bagi para perawi hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan

yang dibuat oleh imam Muslim. Demikian pula al-Hakim dan al-Khatib mengatakan komentar

yang kurang lebih sama dengan al-Hafiz Abu Ali. Sehingga ulama Magrib lebih mengutamakan

sunan al-Nasai daripada Sahih al-Bukhari.

Begitu selektifnya Imam al-Nasai dalam menetapkan sebuah kriteria seorang rawi,

sehingga beliau berhasil menyusun beberapa kitab, diantaranya adalah sebagai berikut :

a.Al-Sunan al-Kubra

b.Al-Sunan al-Sugra, yang dinamakan juga dengan kitab al-Mujtaba. Kitab ini merupakan

ringkasa dari isi kitab al-sunan al-kubra.

c.Musnad Malik.

d.Manâsik al-Hajj

e.Kitâb al-Jum'ah

f.Igrab Syu'bah 'Ali Sufyan 'Ali Syu'bah

g.Khasâis 'Ali bin Abi Talib Karam Allah Wajhah,

h.'Amal al-Yaum wa al-Lailah 'Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya "Usûlal-Hadis "

bahwa al-Nasai mengarang kurang lebih 15 buku dalam bidang ilmu hadis,dan yang paling

utama dan masyhur diantaranya adalah kitab al-Sunan, yang akhirnya terkenal dengan sebutan

Sunan al-Nasai. Dan kitab-kitab yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat hanya 5 buah

kitab, yaitu :

1.Sunan al-Kubra, kitab koleksi hadis yang pertama kali disusun oleh Imam al-Nasa’i, di

dalamnya berbaur antara hadis shahih (termasuk shahih menurut kriteria penilikan al-Nasa’i) dan

hadis-hadis ber ‘illat (ma’lul) sejauh diketahui unsur ‘illatnya. Popularitas Sunan al-Kubra

bertahan sampai pada abad XI H.

2.Sunan al-Sughra, disebut juga al-Muntakhab, al-Mujtana min al-Sunan, populer kemudian

dengan nama “al-Mujtaba” yang oleh kalangan muhaddisin dikenal dengan Sunan al-Nasa’i ;

3.Al-Khasais diselesaikan ketika menetap sementara di wilayah Damascus, berisi rangkuman

reputasi kepribadian, keilmuan dan prestasi kemiliteran/pemerintahan Ali bin Abi Thalib beserta

ahlul-bait Nabi Muhammad SAW;

4.Fadha-il al-Sahabat ;

5.Al-Manasik (artikel bermateri fiqh yang mendasarkan orientasinya kepada sunnah/hadis dan

cenderung memasyarakatkan hukum amaliah persi syar’iyyah).

Metode Penyusunan dan Sistematika Kitab Sunan al-Nasai

a. Dilihat dari namanya, maka kita akan segera tahu bahwa kitab hadis al-Nasai ini disusun

berdasarkan metode sunan. Kata sunan adalah jamak dari kata sunnah yang pengertiannya juga

sama dengan hadis. Sementara yang dimaksud dengan metode sunan di sini adalah metode

penyusunan kitab hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah).

b. Dan hanya mencantumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw saja (hadis

marfu'). Bila terdapat hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi'in (maqtu'),

maka relatif jumlahnya hanya sedikit.

c. Sistematika penyajian hadis dalam sunan al-Nasai menyerupai tertib sistem kitab fiqh serta

masing-masing kelompok hadis yang satu materi dilengkapi dengan judul sub bab yang mewakili

persepsi hasil analisis Imam al-Nasa’i terhadap inti kandungan matan hadis yang bersangkutan.

Mengawali penyajian setiap hadis, di terangkan sanad lengkap setiap matan, perhatian khusus

mengenai proses tahdis (sighat tahdis), dan matan hadis selengkapnya. Di belakang matan tidak

terdapat embel-embel kecuali keterangan singkat mengenai mukharrij yang menjadi referensi

hadis dan informasi sederhana tentang unsur ‘illat hadis (bila diketahui hadis bersangkutan

berillat).

d. Pengeditan matan hadis ditekankan pada upaya mempertahankan keaslian redaksi (riwayat bil-

lafdzi). Imam al-Nasa’i agak peka terhadap dugaan lahn (rancu) dalam bahasa matan hadis,

karenanya beliau dengan cermat mencari idiom serupa pada suku-suku pemakai bahasa klasik,

sebab bisa diasumsikan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa berkomunikasi dengan bahasa

mereka termasuk pemanfaatan idiom-idiom bahasa mereka. Bagi yang mencermati kitab sunan

Nasa’i akan mendapatkan bahwa beliau mengumpulkan dalam kitabnya ini hadits-hadits yang

berkaitan dengan hukum. Karenanya kitab sunan tidak mencantumkan hadits-hadits yang

berkaitan dengan tafsir, akhbar (berita sebelum nubuwwah), manaqib (derajat para sahabat),

maupun mawa’idz (wejangan-wejangan). Rahasianya adalah karena beliau memilih hadits-hadits

tadi terkhusus masalah hukum. Yaitu dari kitabnya “As Sunan Kubro”.

Kalau kita ingin mengklasifikasikan isi kitab tersebut adalah sebagaimana berikut ini :

a. Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan shalat.

Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.

b. Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.

c. Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian rampasan perang” dengan “jihad”.

d. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al khail dengan jihad.

e. Imam nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan

tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada kitab faraidh

(pembagian waris).

f. Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan dzabaih. Juga beliau

memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya

g. Beliau mengakhirkan kitab iman. h.Kitab iman dengan kitab isti’adzah sajalah yang tidak

membahas tentang hukum.5

F. Ibnu Majah Dengan Kitab Sunan

Ibnu Majah, atau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin

Majah al-Rab'i al-Quzwaini adalah seorang ahli hadis yang terkenal kerana menyusun kitab

Sunan Ibnu Majah. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah. Sebutan Majah dinisbahkan kepada

ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada juga pendapat yang

menyatakan bahawa Majah adalah ayah dari Yazid. Namun demikian, pendapat pertama adalah

lebih rajah. Manakala perkataan al-Qazwani adalah berasal daripada Qazwain iaitu nama sebuah

Bandar yang termasyhur di Iraq.

Ulama yang dikenali dengan sifat kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin,

Irak. Beliau dilahirkan pada tahun 207 H. Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun

baru mulai menekuni bidang ilmu Hadis pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu,

yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi (w. 233 H). Bakat dan minatnya di bidang Hadis makin

besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah mengemabar ke beberapa daerah dan negara untuk

mencari, mengumpul, dan menulis Hadis. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antaranya ialah Rayy

(Teheran), Basra, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir. Dengan cara inilah, Ibnu Majah

dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan Hadis dari sumber-sumber yang

dipercayai kesahihannya. Malah dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak

ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr,

Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli

Hadis, Imam Malik serta Al-Lays. Dari pengembaraannya ini, terdapat ramai ulama yang telah

meriwayatkan Hadis dari Ibnu Majah. Antaranya ialah Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim

bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.

Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang

Hadis, sejarah, feqh dan tafsir. Di bidang tafsir, beliau telah menulis Tafsir Al-quranul Karim.

Sementara di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tariikh, karya sejarah yang memuat

biografi para perawi Hadis sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental,

kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.

5 http://www.kompasiana.com/haniaoktavani/kitab-sunan-al-nasa-i_551fc76c813311611e9df8aa

Karyanya yang menjadi monumental dan terkenal di kalangan kaum muslimin adalah hasil

karyanya di bidang Hadis yang berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya

terbesar beliau. Dalam kitabnya itu, Ibnu Majah telah meriwayatkan sebanyak 4000 buah Hadis

seperti yang diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li

Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah Hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241

buah Hadis. Sebanyak 3002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan Hadis yang lain.

Ia bukan hanya melingkungi hukum Islam, malah turut membahas masalah-masalah akidah dan

muamalat. Dan daripada banyak Hadis yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama

mengkategorikan sebahagiannya sebagai Hadis lemah. Pada asalnya, kitab Sunan Ibnu Majah ini

tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah kerana dalam

kitabnya ini terdapat hadith yang daif bahkan hadith munkar. Oleh karena itu para ulama’

memasukkan kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al

Khamsah). Menurut Ibnu Hajar ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan

Ibnu Majah ke dalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al

Athraf, kemudian disokong pula Abdul Ghani dalam kitabnya Asmaur Rizal. Namun begitu,

kedudukan Sunan Ibnu Majah di dalam al-Sunan al-Sittah adalah dikatakan paling rendah sekali

karena didapati banyak hadith dhaif dan dikatakan juga terdapat hadith maudu’ di dalamnya.6

Metode Penghimpunan Hadis

Adapun permasalahan metode penghimpunan hadits-hadits yang dilakukan oleh Ibnu

Majah nampaknya tidak dapat diketahui dengan mudah meskipun kita membaca kitab tersebut.

Sehingga para ulama melakukan ijtihad tentang metode yang dilakukan oleh Ibnu Majah. Para

ulama menduga bahwa kitab hadits yang dikarang oleh Ibnu Majah disusun berdasarkan masalah

hukum. Disamping itu juga ia memasukan masalah-masalah lainnya diantaranya tentang masalah

zuhud, tafsir dan sebagainya. Dan hadits-hadits yang terdapat dalam kitabnya terdapat hadits

yang mursal dengan tidak menyebutkan periwayat ditingkat pertama (sahabat). Hadits semacam

itu dalam Kitab Sunan Ibnu Majah terdapat kurang lebih 20 hadits. Sedangkan jika hadits-hadits

yang terdapat dalam Kitab Sunan Ibnu Majah dilihat dari segi kualitasnya terdapat berbagai

macam-macam hadits: Shahih, hasan bahkan ada yang dha’if, munkar, batil, maudhu’. Hadits-

6 http://wadijannah.blogspot.co.id/2014/05/sunan-ibn-majah-biografi-dan-latar.html

hadits yang dinilai cacat tersebut dalam kitabnya tidak disebutkan sebab atau alasan kenapa Ibnu

Majah memasukan hadits tersebut dalam kitabnya.

Pandangan Ulama Terhadap Kitab Sunan Ibn Majjah dan kedudukannya

Kitab Sunan Ibn Majjah masih diperselisihkan keberadaanya dalam kutub al-sittah oleh

para ulama. Ibn Tahir al-Maqdisi adlah ulama yang kali pertama memasukkan kitab Sunan Ibn

Majjah dalam kutub al-sittah. Pendapat tersebut diikuti oleh ulma lainketika memberikan

komentar terhadap Ibn Majjah, seperti Ibn Hajar al-Asqalani, al-Mizzi dan al-Dzahabi. Mereka

menilai berdasarkan komentar Abu Zur’ah yang mengatakan bahwa kitab ini telah berada pada

orang banyak niscaya mereka akan beristirahat untuk membacanya. Mereka juga memuji

terhadap sosok pengarangnya, Ibn Majjah yang di nilai seorang yang hafiz dan mempunyai

pengetahuan yang luas. Di samping itu, adanya hadis-hadis lain yang tidak ditemukan di dalam

kitab hadis sebelumnya (kutub al-khamsah) yang disebut dengan istilah zawa’id.

Berdasarkan hal tersebut, kitab Sunan Ibn Majjah merupakan kitab hadis yang mempunyai

ciri khas tersendiri dengan adanya hadis yang tidak di jumpai dalam lima kitab sebelumnya. Hal

ini patutdihargai dengan banyaknya ragam hadis yang dimuat didalamnya bukan berarti kitab

hadis ini menjadi rendah martabatnya melainkan hal tersebut dapat dijadikan lahan untuk

penelitian lebih lanjut. Apabila masih ditemukan nilainya lemah, maka disarankan dalam

berhujjah untuk menggunakan dalil yanaga lebih kuat.

Kelebihan Dan Kekurangan Kitab Sunan Ibn Majjah

Kitab ini menyajikan sedikit sekali pengulangan, dan merupakan salah satu yang terbaik

dalam pengaturan bab dan sub bab, suatu kenyataan yang diakui oleh banyak ulama. Diantara

kelebihan-kelebihan Kitab Sunan Ibn Majjah Ini ialah:

Keunggulan kitab ini adalah terletak pada cara pengemasannya. Dan pengemasan seperti akan

dapat mempermudah seseorang untuk mencari hadis.

Memuat hadis-hadis yang tidak ditemukan dalam kutub al-khamsah.

Jumlah pasal-pasal dalam kitab sunan Ibn Majah banyak dan ditata dengan baik dengansedikit

sekali adanya pengulangan.

Sudah barang tentu, dibalik keunggulan diatas, ternyata Kitab Sunan Ibn Majjah juga terdapat

kelemahan, dan kelemahan-kelemahan itu ialah:

Minimnya informasi atas hadis-hadis yang dinilai da’if dan maudu’ perlu penelitian lebih jauh

atas hadis-hadis yang dinilai da’if.

Dalam kitab ini terdapat hadis-hadis yang bernilai da’if, munkar, batil, dan bahkan maudu, ibnu

Majah pun tidak menjelaskan sebab-sebabnya.

Kitab Syarah Sunan Ibn Majjah

Kitab Sunan Ibnu Majah nampaknya kurang mendapatkan perhatian dibandingkan dengan

kitab-kitab hadits lainnya seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud. Hal

tersebut terlihat dari minimnya kitab syarah tentang Sunan Ibnu majah. Diantara kitab Syarah

Sunan Ibnu Majah adalah:

Kitab Syarah yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani (wafat tahun 1138 H ) yakni

Syarah Sunan Ibnu Majah. Kitab syarah ini tidak ditulis dengan lengkap, hanya ditulis

secara ringkas dan terbatas pada permasalahan yang penting-penting saja. Kitab syarah

ini ditulis di bagian pinggir dari kitab Sunan Ibnu Majah.

Kitab Syarah yang ditulis oleh al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuti’ (wafat tahun 911 H) dengan

nama Misbaahuz Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Akan tetapi kitab syarah ini juga sama

dengan ketab yang ditulis oleh Syaikh al-Sindi al-Madani hanya menguraikan dengan

singkat dan terfokus pada permasalahan yang penting saja.

Kitab Syarah yang ditulis oleh al-Muglata’i (w. 762 H) yakni al-I’Iam bi Sunanihi alaih al-

Salam.

Kitab yang ditulis oleh al-Kamaluddin ibn Musa al-Darimi (w. 808 H) yakni Syarah

Sunan Ibnu Majah.

Kitab yang ditulis oleh Ibrahim ibn Muhammad al-Halabi yakni Syarah Sunan Ibnu

Majah.7

BAB III

7 https://alquranassyifa.wordpress.com/2014/01/02/kitab-sunan-ibn-majjah/

PENUTUPA. Kesimpulan

Istilah Kutubus Sittah digunakan untuk menyebut enam kitab induk hadits, yaitu :

1. Shahih Al Bukhari

2. Shahih Muslim

3. Sunan An Nasa`I

4. Sunan Abi Dawud

5. Sunan At Tirmidzi

6. Sunan Ibni Majah

Kutubu Sittah ini termasuk Diantara kitab yang terbagus penulisan dan penyusunannya,

paling banyak benarnya dan sedikit kesalahannya, paling meluas umum manfaatnya dan paling

banyak faidahnya, paling besar barakahnya, paling mudah kesukarannya, paling baik

penerimaannya disisi orang pro dan kontra dan paling penting posisinya dikalangan semua

orang.

Masing-masing kitab enam tersebut memiliki ciri khas yang hanya diketahui oleh orang

yang ahli dibidang ini, sehingga kitab-kitab tersebut dikenal oleh manusia dan tersebar diseluruh

pelosok negeri Islam dan pemanfaatannya menjadi besar serta para penuntut ilmu berusaha keras

untuk mendapatkannya dan memahaminya.

Banyak sekali karya tulis berupa syarah dan ta’liq terhadap kitab-kitab tersebut.

Sebagiannya mengkaji tentang mengenal isi kandungan dari matan-matan hadits yang termuat

didalamnya, dan sebagian yang lain mengkaji tentang mengenal kandungan sanad-sanadnya,

sebagian yang lain mengkaji tentang gabungan semua itu.

B. Saran

Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah

ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah

ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap

penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di

jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.pcimmesir.com/2015/02/metode-imam-bukhari-dalam-meriwayatkan.html1

http://www.slideshare.net/Ataw/hadits-shahih-imam-muslim2

http://buletin-alilmu.net/2011/09/21/imam-abu-dawud/3

http://mazroatulislahiyahfai.blogspot.co.id/4

http://www.kompasiana.com/haniaoktavani/kitab-sunan-al-nasa-i_551fc76c813311611e9df8aa5

http://wadijannah.blogspot.co.id/2014/05/sunan-ibn-majah-biografi-dan-latar.html6

https://alquranassyifa.wordpress.com/2014/01/02/kitab-sunan-ibn-majjah/7