Makalah Tht
-
Upload
taufiqurrohman-insect -
Category
Documents
-
view
272 -
download
11
Transcript of Makalah Tht
LAPORAN TUTORIALMAKALAH THT
(Pneumatisasi mastoid, Fistula Test dan Tobe ayer test)
Disusun Oleh:Kelompok 8
Bianti Nuraini 1118011023
Diah Anis Naomi 1118011032
Ferina Dwi Marinda 1118011044
Intan Mayang Sari 1118011059
Maradewi Maksum 1180111072
Nordiansyah Putra 1118011086
Prianggara Rostu 1118011100
Rifka Humaida 1118011110
Sakinah 1118011120
Taufiqurrohman 1118011132
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun Makalah tentang “Pneumatisasi mastoid,
Fistula Test dan Tobe ayer test” ini yang Insya Allah baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas perkuliahan THT. Kepada Dosen
pembimbing mata kuliah THT penulis ucapkan terima kasih atas segala pengarahannya sehingga
Makalah ini dapat kami susun dengan baik.
Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan, agar ke depan penulis dapat
menulis Makalah dengan lebih baik lagi karena penulis menyadari banyak kekurangan dalam
penulisan Makalah ini, baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
penulis meminta maaf atas segala kekurangan dalam penyajian makalah, hal ini disebabkan
karena masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan penulis.
Insya Allah Makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan berupa ilmu
pengetahuan untuk kita semua.
Bandar Lampung, 12 November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II ISI
2.1 Pneumatisasi mastoid
2.2 Fistula Test
2.3 Tobe Ayer Test
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Pneumatisasi mastoid mulai setelah bayi lahir dan hampir lengkap pada usia 3 dan 4 tahun,
kemudian berlangsung terus sampai usia dewasa. Proses pneumatisasi ini bervariasi pada
individu, sehingga terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada
tipe pneumatik, hampir seluruh prosesus mastoid terisi oleh pneumatisasi. Sklerotik tidak
terdapat pneumatisasi sama sekali dan tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid
dapat meluas ke daerah sekitarnya, dapat sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa
tulang temporal.
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan
keseimbangan). Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan
mendengar.
Indra pengindraan dan keseimbangan serta penghantar suara terletak dalam tulang temporal,
yang ikut membentuk kubah tengkorak dan tulang pipi. Tulang temporal terdiri dari bagian
skuamosa, bagian timpani, bagian mastoid, dan pars petrosa. Bagian skuamosa os temporal
sebagian besar tipis dan cembung kearah luar sebagai tempat perlengketan muskulus temporalis.
Bagian timpani berbentuk suatu silinder yang tidak sempurna, bersama-sama dengan bagian
skuama membentuk liang telinga luar bagian tulang. Bagian terbesar os temporal dibentuk oleh
bagian mastoid. Bagian mastoid mengalami pneumatisasi yang luas. Pars petrosa yang disebut
sebagai pyramid petrosa yang berisi labirin telinga. Bagian superior tulang ini membentuk
permukaan inferior fossa kraniimedia.
1. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar ialah bagian telinga yang terdapat sebelah luar membrane timpani. Bagian ini terdiri
dari daun telinga dan liang telinga. Da un telinga merupakan suatu lempeng tulang rawan yang
ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Sepertiga liang
telinga luar dibentuk oleh perluasan tulang rawan daun telinga dan dua per tiga bagian dalam
dibentuk oleh pars timpani dan pars skuamosa os temporal.1,2
2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, prosesus mastoideus dan tuba
eustachius.
a. Membran Timpani
Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang telinga luar
dari kavum timpani. Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi
miring yang arahnya dari belakang luar ke depan dalam dan membuat sudut 450 dari dataran
sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari
kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo ke depan
bawah tampak refleks cahaya ( cone of light).1
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf, atau
seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter
transversal 2-6 mm.
b. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. bentuknya seperti huruf S.
Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring.1,2
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan
udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum timpani ke
nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani.1,2
c. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid
adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus
sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat
aditus ad antrum.1
1. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran
(koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis) dan
VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi. Koklea
dan kanalis semisirkularis bersama menyusun struktur labirin. Ketiga kanalis semisirkularis
posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain yang berisi
organ keseimbangan. Organ ahkir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah
gerakan seseorang.1,2.
BAB II
ISI
2.1 Pneumatisasi Mastoid
2.1.1 Tulang Temporal
Tulang temporal terbagi atas 3 bagian, yaitu pars skuamosa, pars petromastoid dan
pars timpani. Pars petromastoid adalah bagian yang paling berperan dalam mekanisme
terjadinya mastoiditis. Prosesus mastoid sering disebut juga ujung mastoid (mastoid tip)
merupakan suatu tonjolan di bagian bawah tulang temporal yang dibentuk oleh prosesus
zigomatikus pada bagian anterior dan lateralnya serta pars petrosa tulang temporal di
bagian ujung dan posteriornya.
Bagian-bagiannya : terdiri dari pars mastoid, pars squamosa, pars timpanika dan
pars petrosa. Sutura yang sering kali tidak menutup secra sempurna adalah sutura
petrosquamosa , letaknya di posterosuperior aurikula, sehingga kejadian ini sering
terdapat pada mastoiditis anak.
Yang perlu dicermati pada tulang temporal adalah :
1. Processus Zigomaticus, terdapat sebuah tonjolan yang disebut spina supra meatus Henle
yang letaknya pada fosa mastoidea sedikit ke belakang atas liang telinga. Pada bagian ini
juga terletak segitiga imajiner MacEwen yang berbatas ke superior dengan linea
temporalis, ke anterior pada tepi posterior liang telinga dan sisi posterior adalah garis
imajiner yang tegak lurus pada linea temporalis dan menyinggung dinding paling
posterior liang telinga.
2. Tulang Timpani , membentuk sebagin besar dinding liang telinga.
3. Processus mastoid/ Tip Mastoid
4. Pneumatisasi tulang mastoid. Pneumatisasi terbentuk hampir lengkap pada usia 4-6 th.
Terdapat 3 tipe pneumatisasi : pneumatik, diploik, sklerotik. Bila proses Pneumatisasi
sempurna disebut tipe pneumatik, bila Pneumatisasi sebagian disebut tipe diploik dan bila
tidak terjadi Pneumatisasi disebut tipe sklerotik
Pneumatisasi mastoid dimulai setelah bayi lahir dan hampir lengkap pada usia 3
atau 4 tahun, kemudian berlangsung terus sampai usia dewasa. Pneumatisasi
tersebut saling berhubungan dan drainasenya menuju aditus ad antrum. Proses pneumatisasi
ini bervariasi dari orang ke orang sehingga terdapat tiga tipe pneumatisasi yaitu tipe
pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh prosesus mastoid
terisi oleh pnematisasi, pada tpe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali dan pada
tipe diploik, hampir seluruh prosesus mastoid terisi oleh pneumatisasi .
Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya, dapat sampai ke arkus zigomatikus
dan ke pars skuamosa tulang temporal. Sel pneumatisasi hipotimpanik adalah pneumatisasi
pada lempeng tulang yang memisahkan cavum timpani dengan bulbus jugularis. Sel
pneumatisasi epitimpanik adalah pneumatisasi pada atap kavum timpani. Pneumatisasi ke
apeks petrosus biasanya merupakan perluasan dari kavum timpani, drainasenya langsung
ke kavum timpani.
Mukosa yang melapisi air cell pada tulang temporal terhubung dengan cavum
timpani. Struktur ini bersama dengan struktur di telinga tengah lainnya mendapatkan
oksigenasi melalui tuba eustachius. Derajat pneumatisasi pada tulang mastoid bervariasi,
dan sebagian dipengaruhi oleh ventilasi pada cavum timpani, fungsi tuba eustachius dan
riwayat peradangan pada telinga tengah. Sebagai contoh, tampak beberapa pneumatisasi air
cell pada anak yang memiliki riwayat otitis media kronik. Namun penumatisasi normal
juga memiliki gambaran yang sangat bervariasi dan dianalogikan seperti sinus paranasal.
Pada pneumatisasi yang ekstensif, air cells dapat dijumpai di arkus zigomatikus, pars
skuamosa dan apeks petrosus.
Adapun fungsi dari air cells pada tulang temporal manusia belum diketahui.
Diperkirakan adanya volume udara yang besar berperan dalam menyeimbangkan
perbedaan tekanan sehingga dapat melindungi telinga tengah. Pada manusia volume
udara dibalik membran timpani tidak berperan dalam transmisi suara.
2.1.2 Patogenesa Mastoiditis pada Anak
Pada bayi baru lahir, mastoid tersusun dari satu sel tunggal (antrum) terhubung
dengan telinga tengah oleh sebuah saluran sempit, yaitu aditus ad antrum. Seiring dengan
pertumbuhan, tulang mastois akan mengalami pneumatisasi ekstensif sehingga terbentuk
air cells yang saling berhubungan. Keseluruhan struktur ini dilapisi oleh epitel respiratori
yang termodifikasi.
Ketika OMA timbul sebagai akibat dari adanya disfungsi tuba, terjadi suatu respon
inflamasi akut pada mukosa yang melapisi telinga tengah dan pada sebagian besar kasus
juga dijumpai pada mukosa yang melapisi sel-sel mastoid. Sebagian besar kasus
memberikan respon klinis yang berarti terhadap pemberian antibiotika, dimana terjadi
perbaikan fungsi tuba dan penyembuhan mukosa telinga tengah. Pada beberapa kasus
OMA yang tidak tertangani dengan baik atau tidak mendapat pengobatan yang adekuat,
proses inflamasi tetap terjadi pada mukosa telinga tengah. Kemudian terjadi akumulasi
cairan serosa di cavitas mastoid, yang kemudian menjadi purulen. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan tekanan yang kemudian merusak septum atau pembatas antara
air cells, yang disebut mastoiditis koalesen akut. Proses ini diikuti dengan pembentukan
abses dan penyebaran pus ke area disekitarnya.
Perkembangan tulang temporal mempengaruhi patogenesa dari penyakit ini.
Derajat pneumatisasi tulang temporal bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor infeksi,
herediter, ventilasi, lingkungan dan nutrisi. Proses peradangan akan menyebar dengan
mudah dalam air cells mastoid dan area di sekitarnya melalui pneumatisasi.
Pada mastoiditis akut, proses dimulai dari mukosa yang melapisi air
cells/pneumatisasi yang kemudian mengalami peradangan dan memproduksi eksudat.
Perforasi spontan membran timpani atau miringotomi dapat menjadi proses akhir. Namun
pada 1-5% kasus, proses ini terus berlanjut pada fase berikutnya, yaitu terjadi
demineralisasi dinding sel pneumatisasi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas
osteoklastik, penekanan septa oleh eksudat purulen dan iskemia septa akibat berkurangnya
aliran darah. Jika septa ini rusak, maka akan terbentuk abses, kemudian akan membentuk
empiema (pus akan mengalami tekanan) dan menyebar ke jaringan sekitar.
Mastoiditis dapat juga disebabkan oleh kolesteatom, yaitu kumpulan epitel
skuamous dengan keratinisasi yang terperangkap di dalam telinga tengah, yang terbentuk
akibat adanya infeksi yang berulang. Jika tidak diobati, maka kolesteatom akan mengikis
prosesus mastoid dan menimbulkan mastoiditis
OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada menetap. Keadaan
kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan stadium dari pada keseragaman
gambaran patologi. Secara umum gambaran yang ditemukan adalah:
1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit
3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya infeksi
sebelumnya.
4. Pneumatisasi mastoid
OMSK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid paling akhir
terjadi antara 5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti atau mundur oleh otitis
media yang terjadi pada usia tersebut atau lebih muda. Bila infeksi kronik terusberlanjut,
mastoid mengalami proses sklerotik, sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang.
2.1.3 Pneumatisasi mastoid
Proses pneumatisasi mastoid di dalam prosesus mastoid terjadi setelah bayi lahir.
Berdasar pertumbuhan dan bentuknya dikenal 4 jenis pneumatisasi,yaitu (a) Infantil,
selula yang terjadi akibat proses pneumatisasi sangat sedikit jumlahnya. Akibatnya
bagian korteks di prosesus maastoid menjadi sangat tebal sehingga jika terjadi perluasan
abses lebih mudah ke arah endokranium. (b) Normal, selula yang terjadi meluas
sedemikian rupa sehingga hampir meliputi seluruh prosesus mastoid. Akibatnya bagian
korteks di prosesus mastoid menjadi sangat tipis dan abses mudah pecah keluar sehingga
timbul fistel retroaurikuler. (c) Hiperpneumatisasi, selula yang terjadi tidak hanya
terbatas pada prosesus mastoid saja, akan tetapi juga meluas sampai os zigomatikum dan
bahkan sampai pada apeks piramidalis. Akibatnya keradangan pada mastoid dapat meluas
sampai menimbulkan abses preaurikularis da bahkan sampai abses supraurikularis. (d)
Sklerotik, berbentuk seperti pneumatisasi tipe infantil. Tipe sklerotik ini terjadi akibat
adanya keradangan kronik dalam kavum timpani dan kavum mastoid (otitis media
kronika dan mastoiditis). Akibatnya keradangan lebih mudah meluas ke arah tegmen
antri, masuk ke fosa kranii media dan timbul meningitis atau abses otak.
2.2 Fistula Test
Tujuan dari tes ini adalah untuk mendeteksi fistula perilymphic . Jika sensitivitas
tekanan ditemukan, kemungkinan fistula.
Tekanan diterapkan ke setiap telinga bergilir, dan gerakan mata direkam dengan
alat perekam sensitif inframerah. Uji Fistula di laboratorium sekitar 10 kali lebih sensitif
dari rekaman konvensional berbasis EOG. Gambar di bawah menunjukkan penggunaan
otososcope Brunnings untuk memberikan tekanan.
Pengujian Fistula juga bisa dilakukan di samping tempat tidur. Tekanan
diterapkan ke telinga melalui salah satu perangkat:
1. Lampu senter dengan ujung typanometer
2. Brunnings otoscope
3. Tympanometer
Gerakan mata yang baik secara langsung diamati atau diukur dengan perangkat
goggle video Frenzel.
Tes Fistula telah terbukti memberikan hasil positif pada pasien dengan fistula
perilymphatic (PLF). Penerapan tekanan positif ke membran timpani dalam telinga
dengan fistula diketahui kemungkinan menghasilkan nystagmus. Produksi nystagmus
sekunder untuk tekanan positif disebut sebagai hasil fistula tes positif. Definisi
sebenarnya membutuhkan kehadiran nystagmus terdokumentasi.
Catatan objektif dari tes fistula dapat dibuat dengan menggunakan
electronystagmogram (ENG) dan jembatan impedansi. Untuk mencapai hal ini, daya
pancar ditempatkan ke satu telinga pertama dan kemudian yang lain. Tekanan di saluran
pendengaran eksternal bervariasi antara +200 dan -200 mmHg. ENG dipakai untuk
nystagmus induksi. Setiap telinga diuji secara terpisah. Sebuah hasil fistula positif
diidentifikasi oleh produksi nystagmus dikaitkan dengan perubahan tekanan pada
membran timpani. Dalam beberapa kasus, nystagmus dapat dilihat untuk mengubah arah
sebagai perubahan tekanan dari positif ke negatif. Salah satu akan berharap bahwa gejala
subyektif pasien vertigo, dengan atau tanpa mual, akan diinduksi selama keberadaan
gerakan mata nystagmoid dalam hasil tes positif. Hasil dari tes fistula ENG kemudian
dapat dibandingkan dengan hasil uji platform fistula.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI TELINGA
Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam
diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan telinga tengah
dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan perlu tidaknya pemeriksaan
radiologis.4 Pemeriksaan radiologi pada telinga berfungsi untuk menentukan5:
a. Struktur anatomi tulang mastoid, meliputi sel udara mastoid, diploe dan sklerotik mastoid.
b. Mendeteksi adanya perubahan patologis seperti perselubungan pada sel mastoid, erosi pada
tulang dan pembentukan kavitas.
c. Keadaan telinga dalam, kanalis auditorius interna, kanalis semisirkularis dan nervus fasialis.
d. Keadaan tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah.
Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh karena, tulang
temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan beberapa struktur tulang
tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur yang unik karena ukurannya yang kecil
yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi yang ekstensif. Oleh karena densitas berlainan dari
komponen tulangnya dan ruang yang berisi udara dan cairan disekeliling dan didalamnya, tulang
temporal memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini dapat dibuat dengan
pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi yang khas.6,7
1. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan radiologi konvensional pada tulang temporal mempunyai nilai penyaring serta
dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan pyramid tulang petrosa. Dengan pemeriksaan
radiologi konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar yang berasal dari
tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal
kearah tulang temporal.8 Hal ini bermanfaat untuk mempelajari mastoid, telinga tengah, labirin
dan kanalis akustikus internus.4
Beberapa proyeksi radiologik meliputi 6,7,8:
1. Posisi Schuller
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan bidang
sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan sinar-X ditujukan dengan membentuk sudut
30o cephalo-caudad. Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi
dapat tampak dengan jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis
auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis.
2. Posisi Owen
Posisi ini juga menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat dengan kepala
terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 30o menjauhi film dan berkas
sinar-X ditujukan dengan sudut 30-40o cephalo-caudal. Umumnya posisi owen dibuat untuk
memperlihatkan kanalis auditorius eksternus, epitimpanikum, bagian-bagian tulang pendengaran
dan sel udara mastoid.
3. Posisi Chausse III
Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang tengah telinga. Proyeksi dibuat
dengan oksiput terletak diatas meja pemeriksaan, dagu ditekuk kearah dada lalu kepala diputar
10-15o kearah sisi berlawanan dari telinga yang diperiksa.
Posisi ini merupakan posisi tambahan setelah pemeriksaan posisi lateral mastoid. Posisi Chausse
III ini merupakan posisi radiologik konvensional yang paling baik untuk pemeriksaan telinga
tengah terutama untuk pemeriksaan otitis media kronik atau kolesteatoma.
4. Posisi Law
Posisi law hampir serupa dengan posisi lateral, sangat bernilai dalam evaluasi mastoiditis akut.
Posisi ini kini sering diminta sebelum dilakukan pembedahan mastoid untuk melakukan letak
patokan-patokan utama seperti tegmen mastoid dan sinus sigmoideus, dan juga menentukan
ukuran mastoid secara keseluruhan.
5. Posisi Stenvers
Kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah diputar 45o menjauhi film dan
berkas sinar-X Posisi Stenvers memperlihatkan sumbu panjang pyramid petrosus dengan kanalis
akustikus internus, labirin dan antrum.
Beberapa kelainan telinga dan gambaran radilogi:
a. Otitis media akut dan mastoiditis akut
Mastoiditis akut terjadi karena komplikasi atau ekstensi dari otitis media akut. Otitis
media akut ini terjadi karena infeksi yang dimulai dari traktus respiratorius bagian atas
dan nasofaring, kemudian proses ini naik keatas melalui tuba eustachius ke telinga
tengah. Jika proses ini berlanjut tanpa terapi yang adekuat akan terjadi supurasi dan
destruksi pada sel udara mastoid dan pyramid tulang petrosus sehingga terjadinya abses.
Mastoiditis dapat menyebabkan terjadinya erosi pada dinding posterior mastoid diatas
sinus sigmoid sehingga terjadi abses ekstradural, tromboflebitis septic pada sinus sigmoid
atau dapat menyebabkan abses periosteal pada prosesus mastoid.8
Pembuatan foto radiologik untuk mastoiditis akut biasanya dipakai posisi schuller dan
Owen. Dengan posisi ini dapat dilihat dengan jelas perselubungan sel udara mastoid,
destruksi trabekulae atau erosi sinus plate. Gambaran radiologis mastoiditis akut
tergantung pada lamanya proses inflamasi dan proses pneumatisasi tulang temporal.
Biasanya mastoiditis akut tidak terjadi pada mastoid yang acellulaer.8
Gambaran dini mastoiditis akut adalah berupa perselubungan ruang telinga tengah dan sel
udara mastoid, dan bila proses infamasi terus berlangsung akan terjadi perselubungan
yang difus pada kedua daerah tersebut. Pada masa permulaan infeksi biasanya struktur
trabekulae dan sel udara mastoid masih utuh, tetapi kadang-kadang dengan adanya edem
mukosa dan penumpukan cairan seropurulen, maka terjadi kekaburan penampakan
trabekulasi sel udara mastoid. Bersamaan dengan progesivitas infeksi, maka akan terjadi
demineralisasi diikuti destruksi trabekulae dimana pada proses mastoid yang hebat akan
terjadi penyebaran kearah posterior menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis.8
Jika terjadi komplikasi intracranial pada daerah fossa kranii posterior atau media, maka
pemeriksaan computerized tomography (CT Scan) merupakan pemeriksaan terpilih untuk
mendeteksi hal tersebut dimana pada pemeriksaaan CT Scan dapat ditemui defek tulang
dengan lesi intracranial.8
Kadang sulit membedakan mastoiditis akut dengan otitis media serosa, dimana pada otitis
media serosa cairan serous dapat mengisi telinga tengah dan memasuki sistem udara
mastoid. Untuk membedakan kedua hal ini dapat dibantu dengan riwayat klinis. 8
b. Otitis Media Kronik dan Mastoiditis Kronik
Otitis media kronik dan mastoiditis kronik disebabkan oleh infeksi kronis atau infeksi
akut dengan resolusi yang tidak sempurna. Gambaran radiologik pada mastoiditis kronik
terdiri atas perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara
mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses
inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti dengan
demineralisasi trabekulae, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel
udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekulae yang tersisa
tampak menebal. Jika proses inflamasi ini terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi
sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen
antrum mastoidikum dan sisa sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi
sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan.
c.Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah sebuah kista epidermoid dimana secara histologis mempunyai
lapisan dalam yang terdiri atas epitel skuamosa dan lapisan luar terdiri atas jaringan
penunjang subepitelial. Lumen kista berisi debris epitel yang mengalami deskuamasi.
Kolesteatoma dapat terjadi secara congenital dan didapat. Pada jenis yang didapat
biasanya berasal dari telinga tengah yang meluas ke mastoid dan kadang-kadang masuk
ke pyramid tulang petrosa.8,9. Pada kolestestoma yang menyebar kearah mastoid akan
menyebabkan destruksi struktur trabekulae mastoid dan pembentukan kavitas besar yang
berselubung dengan dinding yang licin. Kadang-kadang kolesteatoma dapat meluas ke sel
udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-
anak, dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid
tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak dimana
gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid dan sulit
dibedakan dengan mastoiditis biasa. Untuk melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau
ingin melihat lesi lebih jelas perlu dibuat tomografi tulang temporal.8,9
d. Tumor Glomus Jugulare
Glomus jugulre adalah suatu struktur kelenjar kecil ( ½ x ½ x ¼ mm), yang menyerupai
badan karotis. Struktur ini terdiri dari kumpulan sel-sel non kromafin yang berkelompok
diantara saluran pembuluh darah yang tipis. Fungi struktur ini tidak diketahui,
kemungkiinan besar merupakan kemoreseptor yang sesnsitif terhadap kadar CO2 atau PH
darah. Pemeriksaan radiologik pada kasus dini kurang bermanfaat, teteapi untuk tumor
lanjut akan terlihat pembesaran foramen jugulare dan erosi tulang. Pada kasus lanjut
angigrafi arteri karotis eksterna berguna untuk menentukan batas perluasan tumor.6,10
2. Computed Tomography
Pemeriksaan tomografi komputerisasi diperlukan untuk dapat melakukan penilaian
struktur kecil dari tulang temporal yang memerlukan ketajaman yang tinggi dan irisan
yang tipis, serta dapat menentukan detil-detil tulang yang jelas seperti osikel, fenestra
ovale dan kanalis fasialis. Adapun proyeksi CT tulang temporal adalah dengan potongan
aksial, potongan koronal dan potongan sagital.5,6,10
a. Patologi intatemporal
Dengan CT temporal dapat mendeteksi perubahan jaringan lunak dan membedakan
cairan yang mengisi ruangan dengan massa padat. Dengan penggunaan kontras gambaran
enhancement (penyangatan) dapat memperlihatkan lesi vaskuler, seperti tumor glomus
dan struktur vaskuler ektopik, seperti bulbus jugulare dan arteri karotis interna.
Penggunaan CT temporal yang lebih penting adalah untuk mengevaluasi massa jaringan
lunak yang kelihatan di bawah tegmen atau lempeng sinus. Analisis densitometrik
langsung suatu massa dapat membedakan cairan yang mengisi mengingokel atau suatu
ensefalokel dengan kolesteatoma atau tumor padat lain. CT temporal juga diperlukan
untuk mengevaluasi telinga pasca pembedahan seperti mastoidektomi dan
timpanoplasti.6
b. Patologi intra dan ekstratemporal
Kelainan yang termasuk pada kelompok ini adalah lesi yang timbul pada tulang temporal
dan menjalar ke intracranial atau ekstrakranial dan lesi yang dari struktur diluar tulang
temporal tetapi masuk ke dalam tulang temporal dengan penjalaran langsung. Beberapa
lesi yang dapat dinilai meliputi6,11,12:
- Tumor glomus jugulare, dapat terletak intratemporal, penyebaran intrakranial dan
ekstrakranial ke leher sepanjang ruang perijugular. Radiologi adalah modalitas investigasi
utama untuk glomus tumor kepala dan leher. Kombinasi contrast-enhanced CT, MRI, dan
angiografi sangat ideal untuk diagnosa yang tepat dan lokalisasi dari tumor. Angiografi
tetap sangat penting jika diagnosis tidak jelas atau jika dibutuhkan embolisasi.
- Karsinoma dan sarcoma, penggunaan CT Scan selain untuk menentukan lokasi tumor,
serta menentukan penyebaran ekstratemporal tumor dan bidang reseksi pembedahan.
- Infeksi akut dengan osteomielitis, seperti otitis eksterna maligna, CT temporal
merupakan prosedur pilihan untuk mendiagnosis penyebaran proses ekstratemporal
didalam sendi temporomandibular, dasar tengkorak, jaringan lunak leher, vertebra
servikal dan untuk memantau evaluasi proses. CT temporal juga harus dilakukan apabila
diduga adanya kemungkinan abses otogenik.
- Fraktur tulang temporal. Fraktur tulang temporal dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu fraktur longitudinal dan fraktur transversal serta fraktur campuran. Fraktur
longitudinal berawal dari foramen magnum dan berjalan keluar menuju linag telinga,
telinga berdarah dan terjadi gangguan pendengaran konduktif. Fraktur tranversal sering
menyebabkan cedera labirin dan nervus fasialis karena garis fraktur melintasi apeks
petrosus atau labirin. Oleh karena fraktur tulang temporal, terutama tipe transversal,
selalu terjadi akibat trauma kepala yang berat, maka CT harus selalu dilakukan pada
trauma kepala berat untuk menilai adanya fraktur, tempat dan bentuk fraktur serta melihat
adanya perdarahan intracranial dan komplikasi lainnya.14
- Tumor epidermoid. Lesi ini timbul dari sisa epidermis yang terletak di rongga epidural
berdampingan dengan tulang temporal, terutama diatas os petrosus superior, fosa jugular
dan sisterna serebelopontin. Gambaran patognomonik tumor epidermoid adalah setelah
pemberian kontras akan didapatkan daerah berdensitas rendah dan dikelilingi oleh kapsul
yang tipis.
- Meningioma. Pemeriksaan CT sebelum pemberian kontras terlihat gambaran
hiperostotik tulang temporal, dan setelah pemberian kontras akan terlihat masa
intrakranial yang jelas.
- Tumor ekstrakranial yang meluas ke tulang temporal, yang paling banyak ialah tumor
yang berasal dari kelenjar parotis dan nasofaring.
c. Patologi angulus serebelopontin
CT Scan dengan kontras atau kombinasi dengan pneumosisternografi merupakan
prosedur pilihan untuk mendiagnosis neuroma akustik.6
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan teknik imaging yang tidak menggunakan radiasi, dengan keunggulan
MRI dapat menilai jaringan lunak lebih jelas. Sudut pengambilan MRI sama dengan CT
Scan, aksial dan koronal. Peran MRI untuk menunjukkan patologi di telinga tengah
sangat terbatas, namun untuk menunjukkan kolesteatom lebih baik dari pada CT Scan,
serta lebih memberikan keterangan tentang terkenanya n.fasialis. Kekurangan MRI
adalah kurang memberikan informasi tentang keadaan tulang. Pada OMSK, MRI kadang-
kadang dibutuhkan untuk membedakan kolesteatom dengan granuloma kolesterol,
dimana pada MRI kolesteatom hipointens atau isointens pada gambar T1 dan hiperintens
pada gambar T2, sedangkan pada granuloma kolesterol hiperintens pada T1 dan T2.
2.3 Tobe Ayer Test
1. Proses pneumatisasi mastoid didalam prosessus mastoid terjadi setelah bayi lahir.
Berdasarkan pertumbuhan dan bentuknya dikenal 4 jenis:
a.Infantil
Selula yang terjadi akibat proses pneumatisasi sedikit. Akibatnya bagian korteks di proc.
Mastoid menjadi sangat tebal sehingga jika terjadi perluasan abses lebih mudah kearah
endokranium
b.Normal
Selula yang terjadi meluas sedemikian rupa sehingga hampir meliputi seluruh proc.
Mastoid, akibatnya bagian korteks dibag mastoid menjadi sangat tipis dan abses mudah
pecah, sehingga timbul fiste retro auriculer
c. Hiper Pneumatisasi
Selula yang terjadi tidak hanya terbatas pada procesus mastoid saja, akan tetapi juga meluas
sampai os. Zygomaticum dan bahkan sampai apex piramidalis, akibatnya peradangan pada
amstoid dapat meluas sampai menimbulkan abses preaurikularis bahkan sampai abses
supraaurikularis
d. Sklerotik
Berbentuk seperti pneumatisasi, tipe infantil. Terjadi akibat adanya peradangan kronik pada
cavum timpani dan cavum mastoid (OMK dan mastoiditis). Akibatnya peradangan lebih
meluas kearah tergmen antri, masuk ke fossa cranii media timbul meningitis atau abses otak
2. Tes fistula digunakan untuk mengetahui adanya hubungan (fistel) antara telinga tengah
dengan telinga dalam. Caranya adalah dengan memberikan tekanan udara positif ataupun negatif
pada liang telinga tengah melalui otoskop siegel dengan corong telinga yang kedap atau balon
karet dengan bentuk elips pada ujungnya yang dimasukan kedalam liang telinga, bila terjadi
nistagmus setelah diberikan tekanan , maka berarti terdapat fistel. Balon karet dipencet dan udara
didalamnya akan menyebabkan perubahan tekanan udara diliang telinga, bila fistula yang terjadi
masih paten maka terjadi kompresi dan ekspansi labirin membrane.
Hasil tes fistula :
Positif : akan menimbulkan nistagmus atau vertigo
Negatif : bila fistulanya sudah tertutup oleh jaringan granulasi, apabila labirin sudah mati atau
pharesis kanal.
3. Queckenstedt test: Ini juga dikenal sebagai Tobey - Ayer uji. Hal ini dianjurkan setiap kali
pungsi lumbal untuk infeksi intrakranial yang mungkin dilakukan. Tes ini melibatkan
pengukuran tekanan CSF dan mengamati perubahan pada kompresi satu atau kedua vena
jugularis internal dengan jari pada leher. Pada manusia yang normal kompresi setiap vena
jugularis internal pada gilirannya diikuti oleh peningkatan tekanan CSF, dari sekitar 50 -
100mm di atas tingkat normal. Ketika tekanan atas vena jugularis internal yang dilepaskan
maka ada penurunan tekanan CSF yang sama besarnya. Pada pasien dengan trombosis sinus
tekanan lateral atas vena menguras penyebab sinus tersumbat baik tidak ada peningkatan, atau
naik lambat rendah tekanan CSF dari 10 - 20 mm. Kompresi vena jugularis internal yang
normal menghasilkan peningkatan tekanan yang cepat mulai dari 2 - 3 kali tingkat normal.
Tes ini juga rawan untuk hasil negatif palsu karena adanya saluran agunan menguras sinus
vena. Positif palsu dapat terjadi jika sinus lateral yang normal adalah kecil atau tidak ada yang
menciptakan kesan keliru trombosis sinus lateral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Austin D. Telinga dalam Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ
(ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994; 101-19.
2. Soetirto I, Hendramin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher Edisi Ke Enam.
Soepardi EA, Iskandar N(Ed). Jakarta: FKUI. 2006; 9-12.
3. Encarta. Anatomy of The Ear. http://www.encarta.msn.com/anatomy-of-the ear.html. [diakses
tanggal 11 November 2012].
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid dalam: Boeis
Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;99-105.
5. Kumar De S. Fundamentals of Ear, Nose and Throat Diseases and Head-Neck Surgery.
Calcuta: The New Book Stall. 1996;537-9.
6. Valvassori, GE. Radiologi Tulang Temporal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994;73-97.
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose, and Throat Disease. New York: Thieme
Medical Publishers. 1994; 38-40.
8. Makes D. Pemeriksaan Radiologi Mastoid dalam: Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Ekayuda
I (ed). Jakarta: FKUI. 2006; 447-52.
9. Dobyarta L. Cronik Purulent Otitis. http://www.fulspesialist.hu/image [diakses tanggal 11
November 2012].
10. Kim SK, Capp MP. Jugular Foramen and Early Roentgen Diagnosis of Glomus Jugulare
Tumor. Department of Radiology Duke University Medical Center, Durham California. 1966;
vol.7, No.3; 597-600.
11. Abbot DJ. CT Scan Temporal Bone. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 11
November 2012].
12. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis, Pengetahuan Dasar, Terapi Medik, Mastoidektomi,
Timpanoplasti. Jakarta: FKUI. 2004;29-40.
13. Koenigsberg RA. Glomus Tumor Head and Neck. http://www.emedicine.com [diakses
tanggal 11 November 2012].
14. Woodcock RJ. Temporal Fracture. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 11 November
2012].
15. Kutz JW. Skull Base, Acoustic Neuroma. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 11
November 2012].
16. http://www.drtbalu.com/compli_om.html [diakses pada tanggal 12 November 2012].