Makalah Stenly Hk Adat

48
BAB. 1 Hukum Adat Di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Sangihe Dan Hukum Adat Di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow 1. Latar Belakang Masalah Hukum adalah masyarakat juga, yang di telaah dari suatu sudut tertentu. Hal ini di sebabkan bahwa hukum merupakan suatu gejala yang berdiri dalam masyarakat. Karena dimana ada masyarakat di situ ada hukum, ( ubi societas, ibi ius ). Hukum adat merupakan bagian dari hukum secara menyeluruh. Hukum adat di indonesia beraneka ragam, oleh karena timbul dari system – system social yang berbeda, yang terwujud dalam aneka macam masyarakat suku bangsa. Suatu deskripsi yang baik mengenai masyarakat hukum adat akan dapat di jumpai dalam buku Hazairin yang berjudul Demokrasi Pancasila. Penguraiannya adalah sebagai berikut “ Masyarakat – masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan – kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan – kelengkapan, untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya mempengaruhi system pemerintahannya dan system umum kemasyarakatannya. System 1

Transcript of Makalah Stenly Hk Adat

BAB

BAB. 1Hukum Adat Di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Sangihe Dan Hukum Adat Di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow1. Latar Belakang MasalahHukum adalah masyarakat juga, yang di telaah dari suatu sudut tertentu. Hal ini di sebabkan bahwa hukum merupakan suatu gejala yang berdiri dalam masyarakat. Karena dimana ada masyarakat di situ ada hukum, ( ubi societas, ibi ius ). Hukum adat merupakan bagian dari hukum secara menyeluruh. Hukum adat di indonesia beraneka ragam, oleh karena timbul dari system system social yang berbeda, yang terwujud dalam aneka macam masyarakat suku bangsa. Suatu deskripsi yang baik mengenai masyarakat hukum adat akan dapat di jumpai dalam buku Hazairin yang berjudul Demokrasi Pancasila. Penguraiannya adalah sebagai berikut Masyarakat masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan kelengkapan, untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya mempengaruhi system pemerintahannya dan system umum kemasyarakatannya. System perekonomiannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, di tambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajiban ( Hazairin 1970 : 44 ).Uraian tersebut di atas memberikan suatu gambaran jelas mengenai masyarakat hukum adat, yang boleh di katakan terdapat di semua wilayah di Indonesia. Selanjutnya di nyatakan pula, bahwa kehidupan mereka berciri communal, di mana gotong royong, tolong menolong; serasa dan semalu mempunyai peran besar ( Hazairin 1970 ; 44 ).

Hal hal tersebut di atas terutama menyangkut kepercayaan, perasaan maupun tujuan system social. Unsur unsur system social akan dapat di jumpai didalam uraian, sebagai berikut kesusilaan umum sangat di junjung tinggi dan di awasi bersama sama. Perkara perkara di bidang hukum di selesaikan terutama dengan tujuan memelihara kedamaian kepala kepala adat bertugas di semua bidang, menangkap, memeriksa, menghukum, mengampunkan, memberikan syarat syarat untuk kebebasan. Hak perseorangan, terutama atas tanah, mempunyai banyak syarat syarat untuk mempertinggi fungsi sosialnya .. hukum adat yang di jalankan oleh kepala kepala adat adalah hukum yang tradisional, yang turun temurun dari nenek moyang, yang di modelir menurut perkembangan zaman ( Hazairin 1970 : 44, 45 ).C van Vollenhoven pakar Hukum Adat, pernah membuat atau menyusun lingkungan lingkungan hukum adat di Indonesia. Dasar yang di gunakan oleh C van Vollenhoven adalah klasifikasi bahasa bahasa Austronesia, bahasa bahasa Indonesia dan bahkan bahasa bahasa di Madagaskar sampai Lautan Teduh. Mula mula C van Vollenhoven mengadakan analisa terhadap ciri cirri khusus yang berlaku di setiap lingkungan hukum adat. Ciri ciri tersebut kemudian diujikan terhadap system system hukum adat yang terdapat pada masyarakat masyarakat di daerah daerah yang semula di identifikasikan sebagai tempat tempat, yang secara hipotesis di beri nama lingkungan hukum adat. System system hukum adat yang tidak mempunyai ciri ciri tersebut, kemudian di keluarkan serta di beri klasifikasi tersendiri yang selanjutnya merupakan suatu lingkungan hukum adat tersendiri. Hukum adat bersumber dari peraturan peraturan yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dan di pertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa arab yang berarti kebiasaan. Pendapat lain menyatakan bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta a ( berarti bukan ) dan dato ( yang artinya sifat kebendaan ). Dengan demikian, maka adat sebenarnya berarti sifat immaterial : artinya, adat menyangkut dengan hal hal yang berkaitan dengan system kepercayaan ( R.M.Dt.Rajo Panghulu 1971 : 86 ). Adat istiadat mempunyai pengaruh dan ikatan yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat atau bagian masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu system social, yang menjadi wadah dari pola pola interaksi social atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok social. Maka untuk masyarakat yang berada di Kabupaten Sangihe dan Bolaang Mongondow, kehidupan dalam bermasyarakat semuanya teratur dalam hukum adat.

2. Rumusan MasalahKita akan membahas beberapa masalah dalam makalah ini :1. Hukum Adat Di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Sangihe

1.1 Anak, Orang Tua Dan Wali1.2 Perkawinan Dan Warisan

1.3 Desa

1.4 Pinjam Meminjam, Jual Beli, Sewa Menyewa

1.5 Hibah, penguasaan, Dan Perbuatan Melawan Hukum2. Hukum Adat Di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow

2.1 Anak, Orang Tua Dan Wali 2.2 Perkawinan Dan Warisan

2.3 Desa

2.4 Pinjam Meminjam, Jual Beli, Sewa Menyewa

2.5 Hibah, Penguasaan Dan Perbuatan Melawan Hukum

Saya akan mencoba untuk membahas rumusan masalah dalam BAB II Pembahasan

BAB. IIPEMBAHASANDi dalam bukunya yang berjudul bab bab tentang hukum adat, Soepomo menegaskan, bahwa antara system hukum adat dan system hukum Barat, terdapat perbedaan fundamental ( Soepomo 1977 : 25 ). Hal ini di sebabkan, oleh karena masing masing system mempunyai latar belakang yang berbeda beda ( walaupun tidak mustahil, terdapat persamaan persamaan; tekanan pada perbedaan terutama di sebabkan oleh karena hukum Barat di batasi pada system hukum Eropa Kontinental saja, padahal adapula system hukum Anglo Saxon yang juga merupakan system hukum Barat ).Sebagaimana halnya dengan Negara Negara atau masyarakat masyarakat yang sedang berkembang lainnya, maka Indonesia juga sedang mengalami suatu masa transisi. Dalam hal ini, maka masa transisi tersebut meliputi aneka macam bidang kehidupan, misalnya bidang hukum. Salah satu aspek dari bidang hukum tersebut adalah, suatu masa transisi dari system hukum tidak tertulis menuju system hukum yang tertulis. Walaupun demikian, dengan adanya hukum tertulis yang mengatur bagian terbesar dari kehidupan masyarakat, hukum tidak tertulis pasti akan tetap berfungsi.Hukum tidak tertulis atau hukum adat di dasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar proses interaksi tersebut. Dengan demikian sering kali timbul dugaan, bahwa hukum adat adalah identik dengan hukum perikatan atau hukum perjanjian. Pendapat tersebut memang ada benarnya, akan tetapi biasanya hukum adat ruang lingkup lakunya jauh lebih luas dan bahkan dapat mencakup hampir seluruh bidang masyarakat tertentu.

Hukum tertulis yang tidak di dasarkan pada hukum adat yang telah mengalami saringan, tidak akan mempunyai basis social yang kuat. Artinya, hukum tertulis tersebut goyah dan nantinya menjadi hukum yang mati, oleh karena tidak efektif. Tidak efektifnya hukum tertulis akan mengakibatkan merosotnya wibawa hukum, termasuk wibawa para penegaknya.

Kita akan mencoba melihat hukum adat yang berlaku di Kabupaten Sangihe dan Bolaang Mongondow. Hukum Adat yang berlaku hampir tidak jauh berbeda, intinya mereka menerapkan rasa keadilan dan kekeluargaan.

1. Hukum Adat Di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Sangihe1.1 Anak, Orang Tua Dan WaliMenentukan dewasa atau belumnya seorang anak menurut kebiasaan atau adat di daerah Tabukan adalah bila orang tersebut telah mencapai usia 20 tahun; dan seseorang juga di anggap telah dewasa meskipun belum berusia 20 tahun, tetapi sudah berkeluarga. Masyarakat adat memiliki istilah terhadap laki laki dan wanita yang sudah dewasa di sebut matelang; dan terhadap laki laki dan wanita yang belum dewasa di sebut marario ( jamak ) dan darodo ( tunggal ). Dalam kebiasaan atau adapt yang berlaku di daerah Tabukan di kenal dua macam wali, yaitu wali mengawinkan anak perempuan, dan wali yang bertanggung jawab atas seorang anak.

Apabila kedua orang tua masih hidup, anak menjadi tanggung jawab ke dua orang tua tersebut, apabila Ayah sudah meninggal, Ibu bertanggung jawab terhadap anak, apabila Ibu sudah meninggal, Ayah bertanggung jawab terhadap anak, apabila ke dua orang tua sudah meninggal, yang bertanggung jawab terhadap anak adalah kakak yang tertua dari suami; jika masih ada opa, maka opal ah yang bertanggung jawab. Seorang wali tidak dapat menjual atau menggadaikan harta milik si anak.

Pengangkatan seorang wali di tetapkan dengan jalan musyawarah di antara keluarga dan di saksikan oleh tua tua adat. Bila wali tidak mengurusi anak, maka pihak keluarga dapat menuntut kepada wali. Sampai pada tahap tertentu, bila perlu wali tersebut dapat diganti dengan orang lain dari keluarga terdekat. Dalam pengurusan harta orang yang sakit biasanya di urus oleh keluarga tapi kalau pihak keluarga tidak ada biasanya di urus oleh ketua adat.Anak yang lahir dari suatu perkawinan adalah anak yang sah, anak yang lahir di luar perkawinan dapat di anggap sah, apabila orang tua si perempuan yang melahirkan si anak mengakuikeberadaan anak tersebut. Sementara Ibu dari seorang anak yang lahir di luar perkawinan dapat menuntut biaya hidup anak tersebut dari orang yang di anggap sebagai Ayahnya. Jika tuntunan biaya hidup tidak di penuhi oleh laki laki tersebut, ada kalanya di hukum dengan cara di masukkan dalam igi ( semacam keranjang untuk menangkap ikan ) dan di masukkan dalam air sampai laki laki itu mau memenuhi permintaan si wanita.

Dalam hal Ayah dan Ibu anak anak terpisah, sementara semua atau sebagian anak ikut Ibunya, si Ayah wajib memberi nafkah anak anak. Besar kecilnya nafkah tersebut bersifat relative, atau tergantung pada kemampuan atau panghasilan sang Ayah. Seorang Ibu atau mantan Istri dapat menuntut nafkah bagi anaknya sepanjang Ibu belum bersuami. Jika Ibu sudah bersuami maka hanya anak yang di beri nafkah. Seorang Ayah tiri wajib menanggung kehidupan anak tirinya sama dengan anak kandung sendiri.

Masyarakat di Tabukan mengenal kebiasaan atau Adat tentang pengangkatan anak, yangh di kenal dengan istilah anak piara. Syarat pengangkatan anak dalam agama, apabila pengangkatan anak tersebut berlaku dalam keluarga Kristen maka di lakukan dalam acara gereja; dan apabila berlaku dalam keluarga Islam maka di lakukan melalui acara dalam agama Islam; syarat pengangkatan anak secara adat, yaitu pengangkatan anak yang di saksikan oleh tua tua Adat di Tabukan.

Di dalam kebiasaan atau adat masyarakat Tabukan, juga mengenal kebiasaan mengambil anak perempuan sebagai anak angkat. Mengangkat anak lebih dari satu orang dapat di lakukan, apabila calon orang tua angkat memiliki kemampuan ekonomi untuk membiayai kehidupan anak anak angkatnya. Orang yang belum kawin, tidak ada yang mengangkat anak. Sebelum proses pengangkatan anak di lakukan, harus ada terlebih dahulu persetujuan dari orang tua kandung si anak angkat. Seorang anak yang akan di jadikan anak angkat, adalah anak yang baru lahir sampai berumur lima tahun.

Alasan masyarakat mengangkat anak adalah karena dalam perkawinan tidak melahirkan anak kandung atau salah satu dari pasangannya mandul, karena kondisi dan factor status social, sangat memungkinkan untuk mengangkat seorang anak angkat. Pengangkatan anak di lakukan sebagai pemancing, agar keluarga yang melakukan pengangkatan anak tersebut memperoleh anak kandung. Kebiasaan atau adat masyarakat daerah Tabukan mengenal istilah anak pungut.

1.2 Perkawinan Dan Warisan

Masyarakat Tabukan mempunyai istilah perkawinan biasa di sebut mekauhe yang berarti menyatukan. Dalam perkawinan mereka mempunyai upacara upacara penting dalam melaksanakan perkawinan, yaitu di awali dengan pengenalan para pihak calon pengantin, yang biasanya di lakukan melalui acara adat dalam bentuk berpantun secara berbalas balasan. Setelah tahap pengenalan, di lanjutkan dengan acara pertunangan dan peminangan yang di sebut mekakahiang; pada saat pertunangan, di sepakati juga penentuan hari perkawinan yang di sebut mengosa. Dalam kebiasaan atau Adat Tabukan mengenal pantangan dalam perkawinan yaitu, bagi mereka yang ada hubungan darah sampai turunan yang ke tiga; dan pantangan kawin bagi mereka yang di masa kecilnya pernah sama sama menetek dari satu Ibu.Perkawinan menurut adapt dan agama ada, tetapi biasanya perkawinan secara adat dan agama sudah terpadu. Dalam hal terjadinya perbedaan perkawinan menurut adapt dan agama, masyarakat di Tabukan tidak mengenal cara penyelesaiannya.

Pembagian warisan di daerah Enemawira tidak ada pembedaan, baik terhadap anak laki laki maupun terhadap anak perempuan. Apabila salah satu di antara anak atau ahli waris ada yang meninggal terlebih dahulu, maka tempat si anak itu di gantikan oleh keturunannya. Jika suami meninggal terlebih dahulu, maka warisannya terlebih dahulu di bagi kepada Istri, kemudian kepada anak anaknya. Jika seorang Istri meninggal terlebih dahulu maka harat di berikan kepada Suami, dan seandainya suami menikah lagi, maka harat warisan tersebut di bagi kepada anak anak dari istri pertama dan harta bawaan di bagi anak dari istri pertama dan istri ke dua.Dalam hal seorang suami meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan/anak, maka harta warisan di bagi kepada keluarga istri, dan harta gono gini di bagi kepada ke dua belah pihak baik keluarga istri maupun keluarga suami. Hutang yang di tinggalkan seorang pewaris yang meninggal dunia, akan di tanggung atau wajib di lunasi oleh ahli warisnya. Di daerah Tabukan pernah terjadi sang anak tidak di berikan bagian warisannya karena sudah di anggap murtad dan di saksikan oleh kapitalaung. Anak tiri dan juga anak kandung di perlakukan sama, yaitu setiap anak mendapat hata dari orang tuanya sendiri sendiri.

Anak angkat mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya apabila anak angkat tersebut sah di buat di pengadilan. Walaupun sudah berstatus anak angkat dalam keluarga orang lain, anak angkat tersebut masih berhak mendapat warisan dari orang tua kandungnya. Hak seorang ahli waris atas harta pewaris yang di bunuhnya, menurut kebiasaan yang berlaku di Tabukan ada kalanya di berikan dan ada kalanya tidak di berikan tergantung bagaimana hasil kesepakatan keluarga. Di daerah Tabukan pernah terjadi, seorang anak tidak mendapat bagian warisannya karena anak tersebut melawan atau menentang orang tua.

Ahli waris yang telah memperoleh bagian waris pada saat pewaris masih hidup, ada kalanya masih mendapat bagian atas pembagian sisa warisan. Namun hal ini bersifat relative. Pembagian harta warisan adakalanya terjadi pada saat pewaris masih hidup, atau adakalanya pembagian tersebut berlaku sewaktu pewaris sudah meninggal. Menurut kebiasaan atau adat yang berlaku di daerah Tabukan, perihal hak waris seorang anak yang masih dalam kandungan adalah tidak lazim di bicarakan, dan apabila seorang anak telah lahir, maka saat itulah harta warisan dapat di bicarakan atau di berikan.Masyarakat Tabukan mengenal adanya kebiasaan tentang pewarisan barang barang tertentu kepada para ahli waris, yang di lakukan berdasarkan musyawarah keluarga. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris di persoalkan pada waktu pembagian warisan. Ketentuan tentang pewarisan khusus ( tanah ) terhadap anak laki laki, masih ada berlaku dalam kebiasaan atau adat di daerah Tabukan.1.3 DesaStruktur pemerintahan desa, Kepala desa di sebut Kapitalaung, sebagai pemimpin tertinggi di pemerintahan desa. Sekretaris kampung, bertugas untuk membantu Kapitalaung dalam tugas Administrasi pemerintahan desa. Kapala Jaga di sebut kepala Lindongan, bertugas untuk membantu Kapitalaung dalam tugas pemerintahan desa. Di daerah Tabukan, pemerintahan desa memiliki harta desa tersendiri yang berupa tanah. Yang bertugas mengurus harta desa adalah Kapitalaung dan Kepala Lindongan dan mempertanggung jawabkannya kepada Masyarakat.

Di daerah Tabukan, tidak ada daerah yang di bawah pemerintah desa. Pengurusan desa di bawah pemerintah desa di lakukan oleh kepala Lindongan. Menurut adapt tidak ada harta daerah lainnya yang berada di bawah pemerintah desa. Harta persekutuan berdasar garis keturunan masih di kenal di daerah Tabukan, yaitu berupa tanah family atau keluarga. Menurut kebiasaan yang berlaku, tanah famili atau tanah keluarga tersebut dapat di alihkan atas dasar persetujuan keluarga.Masyarakat Tabukan mengenal tanah wakaf yang biasanya di gunakan untuk rumah ibadah dan sekolah. Pengurusan rumah ibadah tersebut di serahkan pada pihak masjid atau gereja, sedangkan pengurusan sekolah di serahkan pada pihak pengurus sekolah. Di daerah Tabukan mengenal adanya yayasan, baik yang bergerak di bidang pendidikan islam maupun di bidang pendidikan Kristen.

1.4 Pinjam Meminjam, Jual Beli, Sewa Menyewa

Perbuatan pinjam meminjam uang di lingkungan masyarakat Tabukan sudah di kenal, bahkan dengan memakai bunga yang umumnya sebesar 5 %. Dalam pinjam meminjam uang juga di kenal istilah jaminan hutang, yang dalam masyarakat Tabukan di kenal dengan istilah petaruh, jaminang, boroke. Kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan gadai sawah, lading dan kebun adalah lima tahun. Tidak ada batas waktu panen. Perbuatan gadai terhadap sawah, lading dan kebun, di lakukan di depan atau sepengetahuan kepala desa. Yang menguasai dan mengerjakan sawah, lading dan kebun yang di gadaikan adalah sesama petani yang di sebut pengadai. Dalam masyarat Tabukan tidak mengenal adanya orang yang meminjam uang dengan memakai jaminan rumah.Masyarakat Tabukan tidak mengenal pinjam meminjam uang dengan menjaminkan hasil panen sawah atau kebun. Tetapi jika pinjam meminjam uang dengan menjaminkan perhiasan atau barang emas, dalam masyarakat ini telah di kenal tetapi melalui penggadaian. Pengalihan barang barang jaminan tidak berlaku dalam masyarakat Tabukan. Perihal penggadaian kembali barang gadai kepada orang lain tidak berlaku.

Dalam kebiasaan masyarakat di kenal adanya pemilik yang menjual tanah atau rumahnya yang masih tergadai, tetapi dilakukan melalui pemerintah setempat. Penjualan atas tanah atau rumah yang masih berstatus gadai tersebut di lakukan atas persetujuan pemegang gadai. Perjanjian gadai yang telah ada sejak semula di lanjutkan oleh ahli warisnya. Perihal tanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang yang di simpan oleh orang yang meminjamkan uang tidak di kenal dalam masyarakat daerah Tabukan. Masuknya pihak ke tiga sebagai penjamin hutang di dalam suatu perjanjian hutang piutang yang terjadi antara si berpiutang dengan si berhutang, tidak di kenal dalam masyarakat Tabukan.Dalam adat yang berlaku di daerah Tabukan, jika orang yang berhutang meninggal maka ahli warisnya yang berkewajiban membayar hutangnya. Tetapi, ada kalanya hutang tersebut tidak usah di bayarkan lagi, atau bersifat relative. Jika orang yang meminjamkan uang meninggal, maka ahli warisnya berhak menagih pembayaran hutang tersebut kepada yang berhutang. Tetapi dalam kebiasaan yang berlaku, juga sering kali piutang tersebut tidak lagi di permasalahkan. Dalam adapt yang berlaku, hal pengalihan hutang kepada pihak ke tiga tidak lazim terjadi. Pelunasan hutang piutang uang yang di dasarkan pada nilai atau harga barang tertentu, tidak pernah terjadi/tidak di kenal oleh kebiasaan masyarakat daerah Tabukan.Ganti rugi akibat pembatalan jual beli yang di lakukan oleh salah satu pihak, tidak di kenal dalam kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Tabukan. Menurut adat yang berlaku, apabila barang sudah di serah terimakan ternyata mempunyai cacat yang semula tak di ketahui oleh pembeli, maka pembeli dapat menuntut agar barang dig anti atau pembeli dapat menuntut ganti rugi dengan garansi. Apabila barang yang di jual adalah barang curian, menurut adat, maka penyelesaiannya si penjual membayar ganti rugi ke pemilik barang. Disini di kenal uang panjar dan uang muka, namun tidak ada perbedaan antara uang panjar dengan uang muka. Istilah yang lazim di gunakan terhadap uang panjar atau uang muka adalah morsekote.Terhadap uang panjar yang telah di bayar tetapi pembeli batal membeli barang, menurut adapt yang berlaku di daerah Tabukan uang panjar tersebut tetap di kembalikan. Adat dalam daerah Tabukan tidak mengenal perbuatan menjual barang yang angsurannya belum lunas. Membeli kembali barang yang telah jual dapat di lakukan, tergantung kesepakatan antara masing masing pihak. Barang yang dapat di perjanjikan untuk di beli kembali setelah di jual, adalah terhadap perjanjian jual beli tanah dan kebun.

Menjual tanah dengan perjanjian bahwa dalam jangka waktu tertentu dapat di beli kembali, pernah terjadi dalam masyarakat tetapi di lakukan melalui pemerintah setempat. Menurut kebiasaan yang berlaku selama ini, dalam hal jual beli tanah selalu melalui atau di lakukan dengan melibatkan pemerintah setempat, yaitu yang pertama adalah kepala desa.,dan selanjutnya di selesaikan di kantor Camat selaku Pejabat Pembuat Akte Tanah ( PPAT ). Dalam hal jual beli tanah, masyarakat memiliki kebiasaan atau adapt di mana tanah yang hendak di jual tersebut di tawarkan terlebih dahulu kepada keluarga terdekat, baru kepada tetangga. Dalam hal jual beli ternak, disini hanya terjadi dalam jual beli tenak sapi, yang menurut kebiasaan disini jual beli tersebut langsung di bayar kepada yang menjual. Perantara dalam perbuatan jual beli, oleh masyarakat di daerah Tabukan di sebut dengan makelare. Secara umum makelar bertanggung jawab pada penjual. Lazimnya imbalan atas jasa perantara diserahkan pada penjual.

Kata kata yang lazim di gunakan disini untuk perbuatan sewa menyewa adalah sewa. Sewa menyewa biasanya tidak di laporkan, dan di lakukan secara lisan dengan jangka waktu tergantung dari kesepakatan ke dua belah pihak. Masyarakat tidak mengenal tentang perbuatan menyewakan kembali tanah yang pernah di sewa kepada orang lain. Pemilik yang menyewakan tanahnya dapat membatalkan sewa menyewa tanah sebelum habis masa sewanya, dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam kebiasaan masyarakat daerah Tabukan tidak di kenal perihal penyewa yang membatalkan sewa menyewa sebelum habis masa sewanya.Apabila pemilik tanah meninggal sebelum masa sewa habis, ahli warisnya akan melanjutkan sewa menyewa tanah tersebut dengan penyewa. Apabila penyewa tanah meninggal sebelum masa sewa habis, ahli warisnya akan melanjutkan sewa menyewa tanah tersebut. Masyarakat daerah Tabukan tidak mengenal kebiasaan di mana pemilik tanah menjual tanah yang masih berstatus di sewakan. Menurut kebiasaan di sini sewa menyewa biasanya tidak di laporkan; dan di lakukan secara lisan dengan jangka waktu tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Masyarakat daerah Tabukan tidak mengenal kebiasaan di mana penyewa rumah menyewakan kembali rumah sewaannya. Dalam kebiasaan masyarakat di kenal perbuatan di mana pemilik rumah dapat mengakhiri sewa menyewa rumah. Penyewa dapat mengakhiri sewa menyewa rumah, sebelum masa sewanya habis sesuai dengan kesepakatan.Dalam masyarakat daerah Tabukan ada istilah barang titipan, kata kata yang biasa di gunakan oleh masyarakat untuk istilah barang titipan adalah parikiaya. Penitipan barang yang biasanya di kenakan upah, adalah terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak. 1.5 Hibah, Penguasaan Dan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam kebiasaan adat atau kebiasaan yang berlaku di daerah Tabukan, masyarakat mengenal hadiah dengan sebutan gageli atau pemberian; dan tidak mengenal istilah hibah. Gageli ( pemberian ) dapat di cabut kembali pegagihile, dan yang menerima gageli rela mengembalikan sepanjang si pemberi gageli biasanya orang tua masih hidup. Cara yang di tempuh untuk dapat menarik kembali gageli, yaitu melalui tua tua adat ( kapitalaung ).Hibah atau gageli yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit keras, menurut kebiasaan daerah ini adalah sah, karena kebiasaan disini kalau mau membagi harta biasanya pada waktu sakit atau mendekati ajal. Membagi harta warisan pada waktu pewaris masih sehat, biasanya di lakukan karena adanya keterpaksaan. Biasanya pemberian gageli di sertai pembicaraan atau musyawarah dalam keluarga.

Masyarakat daerah Tabukan mengenal adanya pemberian kuasa, pihak yang memberi kuasa kepada penerima kuasa, di sebut Tataqhuang. Pihak yang menerima kuasa dari pemberi kuasa di sebut Dumalaleng. Dalam kebiasaan masyarakat Tabukan, apabila seseorang mau mengganti kuasa yang lama dengan kuasa yang baru, tidak wajib meminta persetujuan dari kuasa yang lama, namun hal ini bersifat relative. Menurut adapt lazim memberikan kuasa kepada lebih dari satu orang untuk menjualkan barang, dan apabila kuasa itu pada waktu yang bersamaan mendapat pembeli yang sama sama memenuhi syarat, maka yang di prioritaskan adalah yang memiliki hubungan keluarga dengan calon pembeli. Menurut kebiasaan yang berlaku, seorang kuasa tidak dapat melimpahkan kuasanya kepada orang lain tanpa persetujuan yang memberi kuasa. Apabila seorang penerima kuasa hendak menjual barang si pemilik pemberi kuasa, menurut adapt transaksi penjualan barang tersebut harus atas sepengetahuan si pemberi kuasa.

Suatu perbuatan yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain, menurt kebiasaan atau adat yang berlaku di daeah Tabukan, akan di kenakan sanksi adat untuk menebus kesalahannya yaitu diarak keliling kampong dan apabila perbuatan tersebut mendatangkan kerugian bagi orang lain, maka akan di tuntut untuk memberikan ganti rugi.

Dalam kebiasaan atau adat yang berlaku di daerah Tabukan, perihal kepemilikan barang berdasarkan lampaunya masa penguasaan selama 25 tahun kadaluwarsa tidak di kenal. Dalam kebiasaan atau adapt yang berlaku di daerah Tabukan, hutang seseorang yang tidak di tagih sampai bertahun tahun tidak menjadi lenyap, tetapi harus di bayar. Tidak ada perbedaan perlakuan terhadap hutang yang jumlahnya besar dan hutang yang jumlahnya kecil.2. Hukum Adat Di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow2.1 Anak, Orang Tua Dan WaliMenentukan dewasa atau belumnya seorang anak menurut kebiasaan atau Adat di daerah Lolayan :

A. Anak laki laki di katakan dewasa :

Telah berumur 15 tahun ke atas;

Tumbuhnya kumis dan perubahan suara;

Sudah bekerja sendiri;

Sudah menikah.

B. Anak wanita di katakan dewasa :

Telah berumur 14 tahun;

Datangnya masa haid ( inangoinya adon );

Sudah menikah.

Istilah dewasa dalam bahasa daerah bagi klaki laki dan wanita di lingkungan adat Lolayan di sebut momutung mai.Masyarakat adat daerah Lolayan memiliki pengertian wali yaitu :

Wali dalam perkawinan anak laki laki di sebut sinonggama Wali dalam perkawinan anak wanita di sebut sinonggina Anak dalam perwalian di sebut sinonggadi

Anak yang berada di bawah perwalian seorang wali, di anggap sebagai anak sendiri.

Apabila ke dua orang tua masih hidup, anak menjadi tanggung jawab ke dua orang tua tersebut. Apabila Ayah sudah meninggal, maka Ibu yang bertanggung jawab terhadap anak, apabila ke dua orang tua sudah meninggal, yang bertanggung jawab terhadap anak adalah anak tertua yang sudah menikah, atau keluarga terdekat dari pihak Ayah atau Ibu. Pada umumnya, seorang wali tidak dapat menjual atau menggadaikan harta milik si anak, kecuali untuk kepentingan si anak; dalam hal penjualan/penggadaian harta si anak si perlukan, harus di lakukan secara terang melalui musyawarah keluarga.Syarat atau cara menetapkan/mengangkat wali :

Adanya musyawarah keluarga terlebih dahulu, yang di sebut dengan yopakat; Wali di ambil dari keluarga yang di percaya dan sudah dewasa;

Persetujuan kepala adapt tidak mutlak dalam pengangkatan wali.

Para wali akan di kenakan sanksi bila wali tidak mengurus kepentingan anak perwaliannya, maka perwalian tersebut batal dengan sendirinya; sebagai wali pengganti, dapat di tunjuk dari keluarga terdekat. Pengurusan harta harta bagi orang yang sakit sakitan, di serahkan kepada keluarga paling dekat dengan orang tuanya, atau anaknya, atau keluarga terdekat melalui musyawarah keluarga. Keabsahan anak menurut adat :

Anak yang lahir dari satu perkawinan di anggap sah;

Anak angkat yang di sah kan oleh pengadilan ( disegel );

Anak yang lahir di luar perkawinan di anggap sah, apabila masalahnya telah di selesaikan secara adat yang di sebut boyot.Ibu dari seorang anak yang lahir di luar perkawinan tidak dapat menuntut biaya hidup anak tersebut dari orang yang di anggap sebagai Ayahnya, kecuali jika anak tersebut di akui oleh orang yang di anggap sebagai Ayahnya. Dalam hal Ayah dan Ibu anak anak terpisah, sementara semua atau sebagian anak ikut Ibunya, si Ayah wajib memberi nafkah anak anaknya. Besar kecilnya pemberian nafkah anak anak, di tentukan berdasarkan kemampuan si Ayah. Seorang Ibu atau mantan Istri dapat menuntut nafkah bagi anaknya, tetapi tidak berarti suatu kegarusan bagi pihak mantan suami untuk memenuhinya. Seorang Ayah tiri wajib menanggung kehidupan anak tirinya.Di daerah Lolayan, di kenal kebiasaan atau adat mengangkat seorang anak menjadi anak angkat di dalam suatu keluarga; istilah adat bagi anak angkat laki laki ataupun wanita adalah sama, yaitu adi biniag, inaku. Dalam mengangkat anak terdapat syarat yaitu : diangkat melalui pengadilan, di akui melalui musyawarah ( yopukat ), persetujuan orang tua si anak secara lisan ( lebih baik lagi bila di saksikan oleh Sanggadi/kepala desa ) dan Tokoh Tokoh adat/Tua Tua adat. Kebiasaan atau adapt di Lolayan tidak membedakan jenis kelamin anak angkat. Artinya, anak laki laki atau anak perempuan dapat saja di angkat dalam suatu keluarga. Mengangkat anak lebih dari satu orang dapat di lakukan, apabila calon orang tua angkat memiliki kemampuan ekonomi untuk membiayai kehidupan anak anak angkatnya. Orang yang belum kawin atau belum dewasa, tidak di perbolahkan mengangkat anak di lingkunagn adapt Lolayan.Sebelum proses pengangkatan anak di lakukan, harus ada terlebih dahulu persetujuan dari orang tua kandung si anak angkat. Seorang anak yang akan di jadikan anak angkat, adalah anak yang masih berusia di bawah umur.

Alasan pengangkatan anak yang di lakukan oleh masyarakt di daerah Lolayan adalah :

Karena dalam perkawinan tidak melahirkan anak kandung atau mandul, yang istilah adatnya adalah banto;

Karena dalam perkawinan hanya memiliki anak laki laki;

Karena dalam perkawinan hanya memiliki anak perempuan;

Karena ingin membantu keluarga tertentu yang tidak mampu secara ekonomi;

Di lakukan sebagai pemancing, agar kelak melahirkan anak kandung.

Memungut anak juga di kenal di dalam kebiasaan atau adat yang berlaku di daerah Lolayan, yang di sebut dengan mopuyut kon adi. Pemungutan anak biasanya di lakukan terhadap anak yang sakit sakitan, atau terhadap anak yang orang tua kandungnya kurang mampu secara ekonomi.

2.2 Perkawinan Dan WarisanIstilah perkawinan dalam lingkungan adat yang berlaku di Lolayan di sebut tali atau oya; terhadap harta yang ada dalam perkawinan, di sebut monika atau buloi.Upacara upacara penting dalam perkawinan :

Mogogintauan, yaitu tahap perkenalan bagi ke dua belah pihak calon pengantin;

Mongantang, yaitu di mana ke dua calon pengantin masuk ke dalan tahap pertunangan;

Apabila lamaran pihak laki laki di terima, Taba pihak perempuan akan menyampaikannya kepada pihak laki laki;

Mongintarang, yaitu Taba menyelidiki apakah jawaban dari pihak perempuan tersebut benar adanya;

Moguman, atau meminang, yaitu pihak lakiu laki menentukan penghubung yang akan menghubungi pihak perempuan dengan istilah Taba ( bisa dari keluarga atau orang lain ), begitu juga dengan pihak perempuan.

Ketentuan perkawinan menurut adat dan agama, kebiasaan atau adat di daerah Lolayan telah di pengaruhi oleh agama Islam yang masuk pada tahun 1833 dan agama Kristen yang masuk pada tahun1904; apabila ke dua calon pengantin berbeda agama, harus diadakan musyawarah untuk menentukan acara agama apa yang akan di gunakan dalam perkawinan; perkawinan harus di lakukan dengan cara menyertakan proses adat dan agama. Pertunangan di kenal dalam kebiasaan atau adat yang berlaku di Lolayan.

Pembatalan pertunangan secara sepihak : Apabila pembatalan pertunangan di batalkan oleh pihak calon pengantin laki laki secara sepihak, maka biaya pertunangan dari pihak calon pengantin perempuan wajib diganti atau di bayar penuh oleh pihak calon pengantin laki laki ( momogoi );

Apabila pembatalan pertunangan di batalkan oleh pihak calon pengantin perempuan secara sepihak, maka biaya pertunangan dari pihak calon pengantin laki laki wajib diganti atau di bayar setengah oleh pihak calon pengantin perempuan ( momotak ).

Istilah perceraian di daerah Lolayan di sebut dengan mogogaatan. Alasan perceraian yang terjadi di daerah Lolayan karena penyelewengan Istri, di sebut mokotualing, perceraian terjadi karena penyelewengan suami, di sebut monoaling. Sebelum terjadi perceraian, terlebih dahulu di musyawarahkan atau di adakan perdamaian di antara ke dua pihak suami istri oleh orang tua dan pemuka adat; apabila musyawarah adat tidak berhasil menyatukan pasangan suami istri yang bertikai, maka perceraiannya di ajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam, dan Pengadilan Negeri bagi penganut agama lainnya.Dalam perkawinan yang berlaku di masyarakat adat Lolayan, di bedakan antara harta bawaan ( harta yang di bawa/di peroleh oleh suami atau istri sebelum perkawinan ) dan harta bersama ( harta yang di peroleh selama perkawinan ). Harta yang di peroleh dari usaha suami/istri, baik sendiri ataupun bersama sama, di sebut harta bersama ( totayak/bowo gogaluman,pinogaupan ). Penguasaan atas harta bersama di dalam perkawinan menurut adat Lolayan, adalah suami/istri secara bersama; penguasaan atas harta bawaan suami/istri di dalam perkawinan menurut adat Lolayan, adalah masing masing pihak suami/istri.

Terhadap harta bawaan suami/istri tidak ada pembagian, melainkan di ambil atau di bawa kembali oleh masing masing pihak, kecuali suami/istri tersebut menyerahkan harta bawaannya kepada anak anak mereka; terhadap harta bersama yang di peroleh selama/dalam perkawinan, di adakan pembagian harta dalam porsi yang sama. Apabila perceraian terjadi akibat penyelewengan istri, maka harta perkawinan di serahkan kepada suami atau anak yang ada dalam perkawinan. Apabila perceraian terjadi akibat penyelewengan suami, maka harta perkawinan di serahkan kepada istri atau anak yang ada dalam perkawinan. Apabila perceraian terjadi karena adanya kesalahan kesalahan istri, suami dapat memperoleh harta yang di miliki istrinya.Kebiasaan atau adat yang berlakudalam masyarakat Lolayan tidak mengenal adanya perjanjian yang di lakukan oleh suami istri terhadap harta perkawinan mereka. Harta bawaan istri berupa sebidang sawah, meskipun di jual dan hasilnya di belikan rumah, rumah itu akan tetap sebagai harta bawaan bagi si istri. Meskipun usia perkawinan telah mencapai lima tahun atau lebih, menurut adapt di Lolayan harta bawaan tidak berubah menjadi harta bersama, tetapi tetap tinggal sebagai harta bawaan. Pemberian barang bawaan kepada anak yang akan kawin, tidak bersifat keharusan bagi orang tua dalam masyarakat adat Lolayan, namun hal ini bersifat relative.

Hak mewaris anak laki laki dan anak perempuan terhadap pembagian harta waris, menurut kebiasaan atau adat masyarakat Lolayan adalah sama porsinya. Apabila salah satu di antara anak ( ahli waris ) pewaris ada yang meninggal terlebih dahulu, maka anak dari si ahli waris tersebut berhak atas warisan yang di tinggalkan; apabila ahli waris tersebut meninggal sebelum berkeluarga, maka bagian warisnya di berikan kepada saudara kandung yang masih hidup. Jika seorang suami meninggal dunia terlebih dahulu, maka istrinya yang masih hidup berhak menguasai harta waris yang di tinggalkan; dan anak anak yang lahir dalam perkawinan wajib mengurus ibunya. Jika seorang istri meninggal dunia terlebih dahulu, maka suaminya yang masih hidup berhak menguasai harta waris yang di tinggalkan; dan anak anak yang lahir dalam perkawinan wajib mengurus Ayahnya.

Dalam hal seorang suami meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan/anak, maka Istrinya yang masih hidup berhak menguasai harta waris yang di tinggalkan. Apabila Istri yang telah di tinggalkan juga telah meninggal dunia, maka harta bawaan kembali kepada keluarga masing masing; sedangkan harta bersama di bagi sama oleh masing masing pihak keluarga suami dan istri melalui musyawarah. Harta warisan dari seorang suami yang meninggalkan dua orang janda, akan di warisi/di bagi sama besar oleh ke dua orang janda tersebut.Hutang yang di tinggalkan oleh pewaris yang meninggal dunia, akan di tanggung atau wajib di lunasi oleh ahli warisnya. Mengenai wasiat terhadap harta warisan, ada yang memberikan wasiat secara lisan tapi harus di hadapan tokoh tokoh adat dan ada yang memberikan wasiat secara tertulis. Anak tiri juga memperoleh warisan, yaitu setiap anak mendapat harta dari orang tuanya sendiri sendiri.

Hak waris anak angkat atas harta orang tua angkat :

kedudukan anak angkat dan anak kandung adalah sama terhadap harta orang tua mereka, jika hal tersebut di muat dalam surat pengangkatan.

Jika kedudukan anak angkat terhadap harta waris tidak di sebut dalam surat pengangkatan, maka kedudukan warisnya harus di musyawarahkan dengan anak kandung.

Hak anak angkat atas harta orang tua kandung, seorang anak angkat dapat memperoleh warisan dari harta warisan peninggalan orang tua kandungnya. Seorang ahli waris yang telah membunuh pewaris, tidak berhak untuk mewarisi harta peninggalan si pewaris. Seorang ahli waris yang melakukan pelanggaran hukum adat di daerah Lolayan, akan kehilangan hak mewarisnya. Meskipun seorang ahli waris telah memperoleh bagian warisnya ketika pewaris masih hidup, tetapi ia masih berhak atas sisa harta yang di tinggal mati pewaris. Pembagian harta warisan dapat terjadi, baik pada saat pewaris masih hidup ataupun pada saat setelah meninggalnya pewaris.

Seorang anak yang masih dalam kandungan, adalah seorang ahli waris yang berhak atas harta warisan orang tuanya. Status harta pusaka dalam kebiasaan atau adat masyarakat Lolayan, adalah bersifat tetap secara turun temurun, yang di berikan kepada ahli waris yang di tunjuk untuk memelihara dan tidak boleh di bagi. Meskipun agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris, si ahli waris tetap berhak mewarisi harta si pewaris. Apabila ahli waris sudah berganti agama dan tidak mengakui lagi pewaris sebagai orang tuanya, maka ia tidak lagi berhak mewarisi harta si pewaris. Ketentuan khusus terhadap pewarisan harta pusaka di lingkungan adapt Lolayan tidak ada, tapi harta pusaka tersebut merupakan harta bersama secara turun temurun dan tidak boleh di jual ( gogaluman ). 2.3 DesaSusunan Pemerintahan desa di daerah Lolayan terdiri dari :

Kepala Desa, yang dalam istilah adatnya di sebut Sangadi;

Jurutulis, yang dalam istilah adatnya di sebut Momomahis; Kepala Dusun;

Tua Tua Adat ( Tua Tua Kampung/Dewan Desa ), yang dalam istilah adatnya di sebut Guhangea;

Pegawai syarI atau Jicu.

Harta desa yang di kenal dalam masyarakat Lolayan adalah berupa ; Bangsal, atau di sebut juga Bobaki; Tanah Pekuburan; Tanah Lapangan; Mesjid. Pengurusan dan penggunaan seluruh harta desa berada di bawah wewenang Kepala desa dan Kepala desa mempertanggungjawabkan penggunaan harta desa kepada masyarakat desa. Pemerintahan desa di daerah Lolayan mengenal daerah daerah kecil di bawah pemerintahan desa, yang di sebut dengan Dusun atau Pedukuhan.Pengurusan daerah di bawah pemerintahan desa :

Pengurusan Kepentingan Pemerintahan dusun di lakukan oleh Kepala Kepala Dusun;

Kepala Kepala Dusun mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Kepala Desa ( Sangadi ); Pengurusan dan pertanggungjawaban Kepala kepala dusun tersebut mengacu pada UU No.5 Tahun 1979 yang kemudian di perbaharui dengan UU Otonomi Daerah

Harta yang di miliki oleh dusun dusun di bawah pemerintahan desa di kelola oleh Kepala Kepala Dusun. Hal itu termasuk harta desa. Dalam hal pengalihan harta persekutuan berdasarkan garis keturunan tidak terdapat dalam masyarakat adat Lolayan. Kebiasaan atau adat yang berlaku dalam masyarakat Lolayan mengenal perbuatan penghibahan tanah untuk kepentingan umum yang di sebut wakaf; tanah wakaf di gunakan untuk lahan rumah ibadah dan sekolah. Keberadaan tanah wakaf yang di gunakan untuk kepentingan umum, tercatat atas nama desa; surat surat yang berkaitan dengan keberadaan tanah wakaf berada di bawah kewenangan Kepala Desa. Kebiasaan atau adat yang berlaku dalm masyarakat Lolayan belum mengenal keberadaan yayasan.2.4 Pinjam Meminjam, Jual Beli, Sewa MenyewaPinjam meminjam uang di lingkungan masyarakat Lolayan, pada umumnya dahulu tidak mengenal bunga pinjaman uang; namun pada masa sekarang ini, dalam pinjam meminjam uang sudah di kenal bunga pinjaman, dan besarnya bunga pinjaman tergantung pada kesepakatan para pihak.

Istilah jaminan hutang dalam lingkungan masyarakat Lolayan :

Dalam pinjam meminjam uang juga di kenal istilah jaminan hutang, yang dalam masyarakat Lolayan di sebut pinokinantang; Tetapi dalam perbuatan pinjam meminjam uang ada juga yang tidak menggunakan jaminan hutang, melainkan hanya berdasarkan kepada kepercayaan.

Rumah bisa di gunakan sebagai jaminan dalam meminjam uang.Gadai sawah, ladang dan kebun :

Kebiasaan atau adat yang berlaku dalam masyarakat Lolayan, juga mengenal perbuatan gadai sawah atau ladang; Tenggang waktu pegadaian sawah atau ladang tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak ( penggadai dan pemegang gadai ), dan sesuai dengan kebutuhan yang di kehendaki; Yang mengurus dan mengerjakan sawah atau ladang gadaian adalah si pemberi uang ( pemegang gadai ), selama hutang gadai belum lunas atau di tebus;

Jika hutang gadai belum di kembalikan hingga waktu yang di sepakati, maka waktu pengembalian di perpanjang atas dasar musyawarah; dan pemegang gadai tetap menguasai sawah atau ladang tersebut.

Pinjam meminjam uang dengan menjaminkan perhiasan atau barang emas, di kenal dalam kebiasaan atau adat masyarakat Lolayan. Barang jaminan seperti emas dan lain sebagainya, boleh di alihkan menjadi milik si pemberi pinjaman; dan sebelumnya hal tersebut sudah di bicarakan oleh si pemberi dan si penerima pinjaman. Dalam masyarakat Lolayan juga di kenal perihal penggadaian kembali barang gadaian oleh penerima gadai pertama ( penggadai kedua ) kepada pihak ketiga ( penerima gadai kedua ); penggadaian kembali barang gadaian tersebut di lakukan dengan persetujuan penggadai pertama ( pemilik barang ). Masuknya pihak ketiga sebagai penjamin hutang di dalam suatu perjanjian hutang piutang yang terjadi antara si berpiutang dengan si berhutang, sudah di kenal dalam masyarakat Lolayan.Dalam kebiasaan atau adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Lolayan, ahli waris di lihat sebagai pihak yang bertanggung jawab atas hutang yang di tinggal mati oleh pewaris; pemberitahuan atas kerelaan ahli waris untuk menanggung atau membayar hutang pewaris, di lakukan pada saat upacara penguburan. Hak atas penagihan piutang yang di tinggal mati oleh pewaris, di lakukan oleh keluarganya si pewaris; dalam hal keluarga pewaris adalah orang kaya, biasanya piutang tersebut di relakan untuk tidak di bayarkan. Hal pengalihan hutang kepada pihak ketiga dapat di lakukan.Pelunasan hutang dalam pinjam meminjam uang tidak bergantung berdasarkan harga barang tertentu, tetapi berdasarkan besar kecilnya pinjaman uang tersebut.

Jual beli di daerah ini di lakukan secara tunai, kecuali tukar menukar ( blante ), gadai. Barang cacat atau rusak dalam jual beli di bebankan penggantiannya kepada penjual, dalam hal ada pembicaraan atau kesepakatan. Apabila ternyata bahwa barang yang di jual adalah barang curian, menurut adat yang berlaku maka penyelesaiannya di lakukan melalui musyawarah, di mana pembeli di wajibkan mengembalikan barang tersebut kepada pemilik. Masyarakat Lolayan mengenal istilah uang muka dalam jual beli, yang di sebut dengan panjar.

Apabila terjadi pembatalan jual beli oleh penjual atau pembeli, maka penyelesaiannya tergantung kesepakatan pembicaraana atau perjanjian dengan adanya batas waktu. Barang yang belum lunas angsuran pembayarannya, tidak boleh di jual oleh si pembeli barang angsuran. Secara umum, adat di Lolayan tidak mengenal perjanjian tentang pembelian kembali barang yang pernah di jual. Masyarakat Lolayan dalam jual beli tanah, di lakukan melalui pemerintahan desa. Dalam hal jual beli dalam keluarga di benarkan dalam masyarakat Lolayan. Perbuatan jual beli dalam masyarakat Lolayan tidak mengenal perantara. Tanggung jawab dalam jual beli hanya di bebankan kepada pihak penjual dan pembeli secara berimbang.

Perbuatan sewa menyewa istilahnya di sebut dengan seba. Tanah yang di sewa oleh penyewa, tidak dapat di sewakan lagi kepada pihak ketiga. Pemilik yang menyewakan tanahnya tidak boleh membatalkan sewa menyewa tanah, sebelum habis masa sewanya. Apabila pemilik tanah meninggal sebelum masa sewa habis, ahli warisnya akan melanjutkan sewa menyewa tanah tersebut dengan penyewa. Pemilik tanah boleh menjual tanah yang sudah di sewakan, apabila sudah ada kesepakatan atau musyawarah dengan penyewa.Kebiasaan yang berlaku di daerah Lolayan di kenal perbuatan menitipkan barang, tetapi istilah adat untuk perbuatan tersebut tidak ada. Penitipan barang di sertai dengan upah, baik dalam barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Tanggung jawab terhadap barang yang rusak dalam masa penitipan tetap pada pemilik barang.

2.5 Hibah, Penguasaan Dan Perbuatan Melawan HukumDalam kebiasaan atau adat yang berlaku di daerah Lolayan, masyarakat mengenal perbuatan hibah terhadap barang, dan di sebut dengan Ibah. Barang yang sudah di hibahkan, menurut kebiasaan atau adapt yang berlaku tidak dapat di tarik kembali atau di batalkan. Hibah dapat di lakukan oleh orang yang dalam keadaan sakit keras, apabila hibah tersebut di lakukan atau di ucapkan di depan orang banyak dan keluarga.

Perihal pemberian kuasa dalam lingkungan masyarakat Lolayan dari seseorang kepada orang lain sudah di kenal, yang di sebut dengan pino po kuasaan. Kuasa yang sudah di berikan kepada penerima kuasa, tidak dapat di cabut atau di alihkan kepada orang lain. Tanggung jawab yang sama pemberi kuasa dan penerima kuasa.Masyarakat Lolayan mengenal penggantian barang yang rusak, dalam pengangkutan akibat kelalaian pengangkut, menurut adapt yang berlaku menjadi tanggung jawab pengantin. Apabila barang rusak dalam keadaan memaksa, menjadi resiko yang harus di tanggung pemilik barang.

Biaya yang menyangkut pekerjaan bongkar muat barang dalam pengangkutan, tergantung pada kesepakatan atau musyawarah antara pengangkut dan pemilik barang. Pengangkut bertanggung jawab atas rusaknya barang yang di akibatkan oleh kelalaian pengangkut; dalam hal rusaknya barang akibat musibah, kerusakan barang menjadi resiko yang harus di tanggung oleh pemilik barang.Suatu perbuatan yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain, menurut kebiasaan atau adat yang berlaku di daerah Lolayan akan di kenakan sanksi adat sesuai dengan jenis kesalahan atau perbuatannya, yaitu dalam bentuk denda yang di sebut dengan mobogoi dan natali.

Bentuk sanksi adat berupa ganti rugi dengan uang atau barang, yaitu ;

Tampilipogot, ganti rugi uang yang di kenakan terhadap mereka yang sudah berkeluarga;

Mopobui, ganti rugi yang dapat diganti dengan barang;

Diakinotoliyuwanku, ganti rugi terhadap barang yang tidak dapat diganti ( membayar dengan uang ).

Pelaksanaan sanksi sanksi adat tersebut di atas di tentukan oleh lembaga adat, sesuai dengan yang di tetapkan oleh PPD dan lembaga adat dalam Perdes ( Peraturan Desa ); besar kecilnya sanksi adat tergantung pada masing masing desa.

Dalam kebiasaan atau adat yang berlaku di daerah Lolayan, perihal kepemilikan barang berdasarkan lampaunya masa penguasaan selama 25 tahun ( kadaluwarsa ) tidak di kenal. Perihal hapusnya hutang yang menjadi kebiasaan atau adat di lingkungan Masyarakat Lolayan berdasarkan lampaunya masa 25 tahun ( kadaluwarsa ) tidak di kenal.BAB. III

PENUTUP1. KesimpulanA. Dalam hukum Adat yang berlaku di Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Bolaang Mongondow, hampir tidak terdapat perbedaan. Baik dalam segi keagamaan, pembagian warisan, sampai kepada perbuatan melawan hukum, semuanya di atur dalam adat. Hal ini mungkin karena ke dua Kabupaten tersebut letaknya tidak berjauhan, sehingga mungkin pengaruh kebudayaan pendatang yang telah menetap, kemudian menjadi kebiasaan sehingga hal itu dapat di terima sebagai adat. Hukum adat dari ke dua Kabupaten tersebut, sama sama menitik beratkan kepada keadilan, baik keadilan dalam keluarga, keadilan seorang anak atas hal pewarisan, serta keadilan dalam hal perjanjian..hukum adat yang berlaku memperlihatkan bahwa dalam masyarakat ini Kepercayaan sangat di junjung tinggi, terbukti dalam beberapa perjanjian baik dalam hal sewa menyewa, hibah maupun pinjam meminjam hanya di lakukan berdasarkan musyawarah keluarga.

B. Keluarga hampir selalu di libatkan dalam segala aktivitas, hal ini menunjukkan bahwa keluarga adalah segala galanya, dan persatuan dalam keluarga begitu erat, sehingga masyarakatnya bersifat kekeluargaan.

2. SaranA. Keadilan harus di terapkan bukan hanya dalam daerah atau masyarakat Adat saja, tetapi harus di terapkan pada Bangsa kita agar kehidupan bermasyarakat bisa berjalan sesuai dengan yang di harapkan dan sesuai dengan bunyi Pancasila yaitu sila ke 5, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia .B. Seharusnya seluruh masyarakat Indonesia bersifat kekeluargaan, bukan hanya terjadi dalam lingkungan kecil, yaitu masyarakat Adat tetapi harus dari Sabang sampai Merauke.

DAFTAR PUSTAKAGoogle, 10 Mei 2008. Hukum Adat MinahasaMahkamah Agung R.I, 2005. Himpunan Penelitian Hukum Adat Di Beberapa Wilayah PengadilanSoerjono soekanto, 2007. Hukum Adat Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Cetakan ke dua.DAFTAR ISIKATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI.

BABI1

1. Latar Belakang Masalah..1

2. Rumusan Masalah4

BABII...5

Pembahasan..5

BABIII28

1. Kesimpulan..28

2. Saran29

DAFTAR PUSTAKA...30

KATA PENGANTAR Manusia adalah makhluk yang diciptakan memiliki kemampuan untuk cenderung berpikir pada proses perubahan. Maka dengan adanya tugas makalah ini merupakan sebuah latihan untuk menuju proses perubahan tersebut. Makalah Hukum Adat ini adalah sebuah proses pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai sebuah landasan dalam pembuatan tugas tugas makalah lain. Dimana dalam sistem penulisan makalah ini mahasiswa diajak untuk berpikir secara terstruktur dan teratur menuju proses berpikir yang ilmiah.

Dalam tulisan ini disadari oleh penulis memiliki banyak kekurangan olehnya sangat diharapkan kritik dan saran guna melengkapi makalah ini menjadi lebih menarik untuk dibaca. Ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah Hukum Adat yang telah memberikan tugas latihan ini, dan kepada seluruh pihak yang turut membantu terwujudnya makalah ini.

Penulis

Stenly Tololiu

HUKUM ADAT DI KECAMATAN TABUKAN UTARA KABUPATEN SANGIHE DAN HUKUM ADAT DI KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

DI SUSUN OLEH :NAMA

: STENLY TOLOLIUNIM

: 4512060107PROGRAM SARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS 45 MAKASSAR2013

33