MAKALAH SOSBUD

15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein ( KEP) adalah keadaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan protein dengan intake. Dapat juga diartikan, Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari- hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG. Menurut Supariasa ( 2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari- hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Sesuai dengan kosa katanya bahwa kekurangan energi dan protein pada bayi disebabkan oleh masukan energi dan protein yang tidak mencukupi kebutuhannya, yang disebabkan oleh multi faktor yang saling terkait, diantaranya: 1. Masukan yang tidak adekuat. Hal ini dihubungkan dengan ketidakmampuan (kemiskinan), penyakit yang menyebabkan anorexia, prosedur di RS yang memuasakan bayi, dan tekanan psikologis. 2. Meningkatnya kebutuhan. Peningkatan kebutuhan energi umumnya dikarenakan infeksi, demam, trauma, neoplasma, hipertiroid dan distress pada jantung dan pernafasan. 3. Menurunnya retensi energi. 4. Meningkatnya energi yang terbuang. Hal ini dapat disebabkan muntah, diare dan sindroma melabsorbsi juga menurunkan retensi energi.

description

SOSBUD

Transcript of MAKALAH SOSBUD

Page 1: MAKALAH SOSBUD

BAB IPENDAHULUAN

1.1 DefinisiKekurangan Energi Protein ( KEP) adalah keadaan yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara kebutuhan protein dengan intake. Dapat juga diartikan,

Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya

konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi

angka kecukupan gizi (AKG. Menurut Supariasa ( 2000) Kurang Energi Protein (KEP)

adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi

dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu.

Sesuai dengan kosa katanya bahwa kekurangan energi dan protein pada bayi

disebabkan oleh masukan energi dan protein yang tidak mencukupi kebutuhannya, yang

disebabkan oleh multi faktor yang saling terkait, diantaranya:

1. Masukan yang tidak adekuat. Hal ini dihubungkan dengan ketidakmampuan

(kemiskinan), penyakit yang menyebabkan anorexia, prosedur di RS yang

memuasakan bayi, dan tekanan psikologis.

2. Meningkatnya kebutuhan. Peningkatan kebutuhan energi umumnya dikarenakan

infeksi, demam, trauma, neoplasma, hipertiroid dan distress pada jantung dan

pernafasan.

3. Menurunnya retensi energi.

4. Meningkatnya energi yang terbuang. Hal ini dapat disebabkan muntah, diare dan

sindroma melabsorbsi juga menurunkan retensi energi.

Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya

defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan

perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik

dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten.

Sedangkan menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan

tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai

mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam

sehari .

1.2 Latar Belakang

Page 2: MAKALAH SOSBUD

Masalah kekurangan energi protein (KEP) pada anak-anak terutama balita di

Indonesia merupakan masalah gizi yang sangat kompleks. Menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh

rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau

gangguan penyakit tertentu. Penyakit infeksi yang sering menyertai KEP adalah

diare.

Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit

endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat oleh karena

seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau musim-musim tertentu yaitu pada

musim kemarau dan pada puncak musim hujan (Sunoto, 1990). Penyakit diare masih

termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun 1999 sebesar 5 per 1000 penduduk

dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit terbesar.

Penyakit diare pada balita dalam keluarga dengan tingkat ekonomi rendah seringkali

berkepanjangan, sehingga diperkirakan dapat menyebabkan Kekurangan Energi Protein.

Pembuat makalah ingin mengetahui hubungan diare berkepanjangan dengan Kekurangan

Energi Protein.

BAB IIPEMBAHASAN

Page 3: MAKALAH SOSBUD

A. Kekurangan Energi Protein

Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh

rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak

memenuhi angka kecukupan gizi (AKG. Menurut Supariasa ( 2000) Kurang Energi

Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya

konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit

tertentu.

Etiologi KEP

Defisiensi kalori dan asupan gizi lain mempersulit gambaran klinik dan kimia, gejala

utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai

biologis baik. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan

yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering

menderita akibat kekurangan gizi Pada anak-anak KEP dapat menghambat pertumbuhan,

rentan terhadap penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan

(Almatsier, 2003). Penyebab langsung dari KEP adalah kekurangan kalori protein.

(Sediaoetomo, 1999), masukan makanan yang kurang dan penyakit atau kelainan yang

diderita anak, misalnya penyakit infeksi, malabsorbsi dan lain-lain. Penyebab tak

langsung dari KEP sangat banyak, sehingga disebut juga sebagai penyakit dengan kausa

multifaktorial (Sediaoetomo, 1999). Dapat juga karena penyerapan protein terganggu,

seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pada proteinuria

(nefrosis), infeksi perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein seperti pada

keadaan penyakit hati kronik (Nelson, 1999), faktor ekonomi, faktor fasilitas perumahan

dan sanitasi, faktor pendidikan dan pengetahuan, faktor fasilitas pelayanan kesehatan,

faktor pertanian dan lain-lain. Kurang energi protein dijumpai dalam tiga bentuk yaitu

marasmus, kwashiorkor dan bentuk campuran marasmic-kwashiorkor.

Bentuk marasmus terjadi karena kekurangan energi terutama kekurangan energi /

kalori, sedangkan kwashiorkor terutama oleh karena kekurangan zat protein Manifestasi

Klinik. Bukti klinik malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis, atau

iritabilitas. Bila terus maju, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina,

kehilangan jaringan muskuler, bertambah kerentanan terhadap infeksi, dan udem atau

pembengkakan. Gejala klinik dari tiga bentuk kekurangan energi protein menurut standar

Page 4: MAKALAH SOSBUD

pelayanan medik RSUP Dr. Sardjito (2000) adalah gejala klinik yang selalu ada, gejala klinis

yang biasanya ada dan gejala klinis yang kadang-kadang ada.

Kwashiorkor. (1) gejala klinis yang selalu ada. (a) edema (gejala cardinal, tanpa edema tidak

dapat ditegakkan diagnosis kwashiorkor) karena hipoalbuminemia. (b) pertumbuhan

terlambat. (c) cengeng, apatis. (d) brkurangnya jaringan lemak sub kutan. (2) gejala klinis

yang biasanya ada. (a) perubahan rambut (tipis, lurus, jarang, mudah dicabut tanpa rasa sakit,

kemerahan karena gangguan melanogenesis), kalau terjadi akut kelainan rambut idak ada. (b)

pigmentasi kulit (pellagroid dermatosis). (c) moon-face. (d) anemia. (30 gejala klinis yang

kadang-kadang ada. Flaky-paint rash, hepatomegali (karena infiltrasi lemak), gejala defisiensi

vitamin yang menyertai, gejala/tanda penyakit infeksi yang menyertai. Marasmus. (1) gejala

klinis yang selalu ada. (a) pertumbuhan yang sangat lambat. (b) lemak subkutan yang hampir

tidak ada (sel lemak masih ada) sehingga kulit anak keriput, wajah seperti orang tua, perut

tampak buncit, (c) jaringan otot mengecil, (d) tidak ada edema, BB.

Tanda-tanda lain yang menyertai adalah muka bulat, rambut tipis, kulit pecah, mengelupas

dan terlihat sengsara. Secara langsung gizi buruk disebabkan terus rendahnya konsumsi

energi protein, juga mikronurien dan makanan sehari-hari dalam jangka waktu yang lama.

Bila anak menderita gizi buruk tidak segera ditangani, amat berisko tinggi dan berakhir

dengan kematian, sehingga akan menyebabkan meningkatnya angka kematian. Padahal angka

kematian menjadi salah satu indikator derajat kesehatan. Anak yang pernah menderita gizi

buruk sulit mengejar pertumbuhan sesuai umurnya. Pada tingkat tertentu, kekurangan gizi

akan menyebabkan berat otak, jumlah sel ukuran besar sel, dan zat-zat biokimia lain lebih

rendah dari pada anak normal. Makin muda usia anak yang menderita kurang gizi maka

makin berat akibat yang ditimbulkan. Keadaan akan menjadi lebih berat jika kurang gizi

dialami sejak dalam kandungan. Kemunduran mental akibat gizi buruk dapat bersifat

permanen atau tidak dapat diperbaiki (irreversible).

Namun, pada keadaa kurang gizi ringan maupun sedang, kecenderungan mental dapat

dipulihkan jika keadaan gizi dan lingkungan bertambah baik. Diagnosis. Pada pemeriksaan

antropometri, dapat dilakukan pengukuran-pengukuran fisik anak (berat badan, tinggi badan,

lingkar lengan atas) dan dibandingkan dengan angka standar (anak yang normal). Untuk

tingkat puskesmas penentuan KEP yang umum dilakukan adalah dengan hanya menimbang

berat badan balita dibandingkan dengan umur anak.

Page 5: MAKALAH SOSBUD

B. Diare

Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang

air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja

(menjadi cair) dengan atau tanpa darah.

Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu

( Depkes RI, 2007):

1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang tidak

diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi ASI penuh, dan

kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.

2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol

susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam

dibiarkan dilingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat

tercemar oleh kuman-kuman/bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang menggunakan botol

tersebut beresiko terinfeksi diare

3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu

kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak.

4. Menggunakan air minum yang tercemar.

5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau sebelum

makan dan menyuapi anak

6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak berbahaya, padahal

sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat

menyebabkan infeksi pada manusia.

Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam besar, tetapi yang sering

ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Penyebab diare secara

lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi yang dapat disebabkan: a) bakteri, misal: Shigella,

Salmonela, E. Coli, golongan vibrio, bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus,

Campylobacter dan aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan

adenovirus; c) parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastsistis huminis,

protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan Crypto; (2) alergi, (3)

malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat disebabkan; a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan

oleh bahan yang dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran, (5)

Imunodefisiensi dan (6) sebab-sebab lain (Widaya, 2004).

Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi empat kelompok yaitu:

1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya kurang dari tujuh

hari),

Page 6: MAKALAH SOSBUD

2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,

3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus menerus,

4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga

disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

Diare akut dapat mengakibatkan:

(1) kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis

metabolik dan hipokalemia,

(2) Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau

tanpa disertai muntah,

(3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah

(Soegijanto, 2002).

Diare mengakibatkan terjadinya:

a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, dan asidosis

metabolik.

b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare

dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan

asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat

meninggal.

Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah, kadang-

kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare

pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih

sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal

bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat

mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 2008).

BAB III

PENUTUP

Page 7: MAKALAH SOSBUD

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diare pada balita dan

anak, terutama yang berupa diare persisten atau diare kronik, akan menimbulkan gangguan

penyerapan zat makro dan zat mikro, salah satunya protein. Kondisi ini, jika diperparah

dengan kurangnya asupan gizi dari orangtua penderita, akan menimbulkan kekurangan

energi protein atau KEP.

Untuk menghindari KEP karena diare, tentunya harus dilakukan pencegahan terhadap

penyakit diare itu sendiri. Beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah

sebagai berikut:

1. pencegahan primer, meliputi penyediaan air bersih, pembuangan tinja yang tepat,

status gizi yang baik (dengan asupan makanan yang baik), pemberian ASI dalam jangka

waktu yang tepat pada bayi dan balita, dan kebiasaan mencuci tangan yang disiplin.

2. pencegahan sekunder, ditujukan kepada sianak yang telah menderita diare atau

yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan

yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi.

Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi)

dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti salah

makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan

dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang

memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan

gejala diare dan spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak

menyenangkan. Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep

dokter.

3. pencegahan tersier adalah penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan

dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan

pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan

usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha

yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga

keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap

memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak

yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus

Page 8: MAKALAH SOSBUD

dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan

teman sepermainan.

Page 9: MAKALAH SOSBUD

DAFTAR PUSTAKA

http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/serba-serbi-protein-dan-kekurangan-energi-

protein-kep-bagian-2

Ika Fransischasari. 2008. Hubungan Kekurangan Energi Protein (KEP) dengan

Kejadian Penyakit Infeksi (Diare) serta

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pada Balita (Studi Di Desa Sambirejo Kecamatan Trenggalek

Kabupaten Trenggalek). Jember : Gray Literature

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19780/4/Chapter%20II.pdf

http://midwifery-23.blogspot.com/2007/07/kekurangan-energi-protein-kep.html

http://lkpk.org/2008/05/25/penyakit-diare-di-indonesia/

Page 10: MAKALAH SOSBUD

MAKALAH GIZI 2

PENGARUH DIARE DENGAN

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN ( KEP )

Disusun oleh :

Nabila Amalina G2A008121

Naomi Ditya Sari G2A008123

Nydia Rena Benita G2A008137

Prananingrum Dwi Oktarina G2A008142

Ryco Giftyan Ardika G2A008170

Sherly Katerina G2A008175

Stefanus Satria Adi Dharma G2A008182

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

Page 11: MAKALAH SOSBUD

2010