Makalah Sepsis Perbaikan(1)

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis adalah sindrom klinis yang dicetuskan oleh infeksi, ditandai sejumlah gejala klinis meliputi demam atau hipotermia, leukositosis atau leucopenia takikardia dan takipnea. 1 Sepsis sampai saat ini menjadi masalah baik dinegara berkembang maupun dinegara maju, baik dari segi morbiditas, mortalitas maupun ekonomi. Pemanfaatan kemajuan ilmu kedokteran untuk pengelolaan sepsis dan syok septic berupa dipakainya peralatan monitoring invasive, sarana diagnostik yang lebih canggih, obat vasopresor dan inotropis yang lebih baik serta antibiotic yang lebih kuat memang dapat menekan angka kematian, namun diikuti dengan penigkatan biaya yang sangat besar untuk persatuan nyawa yang diselamatkan. 1 Tingginya angka kematian dan konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan mengharuskan kita mengubah paradigma pengelolaan sepsis , dari tindakan yang baru dikerjakan setelah sepsis dan komplikasinya terjadi, kearah tindakan penanganan infeksi sebelum sepsis dan komplikasinya terjadi Sepsis adalah permasalah yang dimiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi terutama pada orang lanjut usia (lansia). Lansia lebih rentan terkena infeksi karena proses perubahan tubuh dan menurunnya fungsi 1

description

jdsfsdfbcdsdfsfisdhiuyfbhuyfbdshfbsduhfbdsuhybdsubfsfbuhdbfudsbfuhybdfuhybdsfhudbfhdsbfhdsjfwrehewiuhie

Transcript of Makalah Sepsis Perbaikan(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sepsis adalah sindrom klinis yang dicetuskan oleh infeksi, ditandai sejumlah gejala klinis meliputi demam atau hipotermia, leukositosis atau leucopenia takikardia dan takipnea.1 Sepsis sampai saat ini menjadi masalah baik dinegara berkembang maupun dinegara maju, baik dari segi morbiditas, mortalitas maupun ekonomi. Pemanfaatan kemajuan ilmu kedokteran untuk pengelolaan sepsis dan syok septic berupa dipakainya peralatan monitoring invasive, sarana diagnostik yang lebih canggih, obat vasopresor dan inotropis yang lebih baik serta antibiotic yang lebih kuat memang dapat menekan angka kematian, namun diikuti dengan penigkatan biaya yang sangat besar untuk persatuan nyawa yang diselamatkan.1 Tingginya angka kematian dan konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan mengharuskan kita mengubah paradigma pengelolaan sepsis , dari tindakan yang baru dikerjakan setelah sepsis dan komplikasinya terjadi, kearah tindakan penanganan infeksi sebelum sepsis dan komplikasinya terjadiSepsis adalah permasalah yang dimiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi terutama pada orang lanjut usia (lansia). Lansia lebih rentan terkena infeksi karena proses perubahan tubuh dan menurunnya fungsi organ-organ serta danya penyakit komorbid.1 Diagnosis pada lansia agak sulit karena lansia memberikan respon yang kurang jelas terhadap sepsis dan dapat disertai dengan delirium. Karena penegakkan diagnosis yang agak sulit, penatalaksanaan terhadap sepsisnya dapat tertunda sehingga mempengaruhi hasil akhir pengobatan. Terdapat kecenderungan untuk menangani lansia secara kurang agresif karena factor penuaan, namun perlu dipertimbankan hal-hal selain umur dalam menetukan keagresifan terapi, misalnya performance level, kualitas hidup dan keinginan pasien. 1Bab II bahas sepsis dulu baru salah satu penyebabnya tbc

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Tuberkulosis Paru2.1.1. Definisi TuberkulosisTuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas. 52.1.2. Penyebab TuberkulosisTuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.

Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan aerob.Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam. 52.1.3. Gejala-gejala TuberkulosisGejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah :

- Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

- Dahak bercampur darah.

- Batuk berdarah.

- Sesak napas.

- Badan lemas.

- Nafsu makan menurun.

- Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.

- Demam meriang lebih dari satu bulan.

Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis. 52.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis1. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis, penularan Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis.

Pemeriksaan terhadap kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

2. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada AnakDiagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang dilakukan dokter dengan parameter : kontak Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar limpe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks. 22.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :1. Tuberkulosis paru BTA positif.

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.2. Tuberkulosis paru BTA negatif.

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :

a. Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps)

Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Gagal (Failure)Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.2.2 Pneumonia

2.2.1 Definisi

Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru, yaitu bagian distal dari bronkhiolus terminalis yang mencakup bronkhiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh karena proses infeksi akut sebagai penyebab tersering, sedangkan istilah pneumonitis biasa dipakai untuk proses non infeksi.72.2.2 Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia.8Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia

Infeksi Bakteri Infeksi Atipikal Infeksi Jamur

Streptococcus pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Aspergillus

Haemophillus influenza Legionella pneumophillia Histoplasmosis

Klebsiella pneumoniae Coxiella burnetii Candida

Pseudomonas aeruginosa Chlamydia psittaci Nocardia

Gram-negatif (E. Coli)

Infeksi Virus Infeksi Protozoa Penyebab Lain

Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi

Coxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoid

Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis

Sinsitial respiratori Fibrosis kistik

2.2.3 Patofisiologi

Dalam keadaan sehat, pada pru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.

Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai cara:

a. Inhalasi langsung dari udara

b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring

c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain

d. Penyebaran secara hematogen.112.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu:

a. Mekanisme pertahanan paru

Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik.

b. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan

Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi.

c. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius

Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan-bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral.112.2.5 Klasifikasi Pneumonia a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari. 8b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia.11c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. 8d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri, selain organisme bakteria lain. 8e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkietaksis. 82.2.6 Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan.8,122.2.7 Diagnosis Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi, menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih antibiotika.3 Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaaan foto polos dada perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis, diamping untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat.112.2.8 Gambaran Klinis Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien muda atau tua dan pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare) dapat menonjol.82.2.9 Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC 15.000-40.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat normal atau menurun.8,11 Dalam keadaan leukopenia laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3, dan protein reaktif C mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas.8 Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi kreatinin masih dalam batas normal.11Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia.

2.3 Sepsis

2.3.1 Definisi

Sepsis didefinisikan sebagai suatu respons inflamatori sistemik terhadap infeksi ditandai dengan demam, tachycardia, tachypnea, dan / atau leukoytosis.. and the Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definition of Sepsis, telah mempublikasikan suatu consensus dengan defisiensi baru dan criteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan. Definisi ini juga menjelaskan perbedaan dan juga persamaan antara sepsis, suatu respons inflamatori sistemik yang khusus terhadap infeksi, dan systemic inflammatory respons syndrome ( (SIRS mempunyai definisi yang lebih luas meliputi keadaan-keadaan dimana ditemukan sama seperti kriteria diagnosis sepsis tetapi oleh berbagai sebab termasuk keadaan klinik yang berat tetapi tidak terbatas pada infeksi. Batasan-batasan ini dan kaitannya didefinisikan dalam tabel berikut ini. 14,16,17

2.3.2 Epidemiologi dan Etiologi

Di Amerika Serikat terdapat 300.000 500.000 kasus sepsis setiap tahun, dan sepsis menimbulkan > 100.000 kematian per tahun.16 Insidens sepsis dan kematian yang berhubungan dengan sepsis di Amerika Serikat meningkat secara dramatik antara tahun 1979 dan 1987, dilaporkan kasus sepsis meningkat 159% menjadi 425.000 kasus per tahun dan kematian yang berhubungan dengan sepsis meningkat 111%, menjadi 107,525 per tahun. Dan kira-kira 200.000 pasien menjadi shock septic setiap tahun. Shock terjadi pada kira-kira 40% pasien dengan sindroma sepsis, dan 60 80% pasien dengan septic shock meninggal. Etiologi dari sepsis termasuk bakteri gram negatif, bakteri gram positif, bakteri anaerob obligate, dan jamur.17 Infeksi bakteri aerob dan anaerob sering menyebabkan sindroma sepsis. Bakteri enteric aerob gram negatif yang paling sering dan mempunyai prognosis paling jelek ( misalnya Escherichia coli, kelompok Enterobacteriaceae-serrateiea, Klebs iella species, dan Pseudomonas aeruginosa) . Organisme gram positif yang paling umum menyebabkan sindroma sepsis termasuk, Staphylococcus aureus, Streptococcus penumoniae dan Streptococcus species.

Organisme-organisme lain yang mungkin dapat menyebabkan sindroma sepsis termasuk mycobacteria, virus, rickettsia dan protozoa.102.3.3 Patogenesis

Patogenesis dari sindroma sepsis, rumit, kompleks, dan kurang dipahami pada saat sekarang ini. Keadaan-keadaan penyakit yang paling sering berhubungan dengan sindroma sepsis termasuk penyakit yang menyebabkan kegagalan respons imun host, seperti psoriasis, luka bakar, trauma multiple, penyakit-penyakit autoimum dan penyakit-penyakit neoplasma, khususnya setelah kemoterapi.17Kebanyakan pasien-pasien sepsis menunjukan suatu fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia, baik intravaskuler atau ekstravaskuler. Jenis bakteremia ini dikenal sebagai secondary bacteremia, dan paling sering berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan respiratorius. Sumber penting yang lain termasuk infeksi intra abdominal ( traktus biliars, abses, enteritis, peritonitis), dan infeksi luka, central nervous system ( CNS), tulang, jaringan lunak kulit, dan kateterisasi intravaskuler atau katub jantung. Dalam jumlah yang bermakna, sumber bakteremiatidak ditemukan, dan keadaan ini disebut sebagai primary bacteremia.17Kaskade inflamatory host yang menimbulkan sindroma sepsis dapat diawali oleh toksin-toksin yang dilepaskan dari organisme -organisme. Toksin-toksin yang dilepaskan ini disebut eksotoksin, dijumpai pada Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, dan jamur. Organisme gram-positive dapat mencetuskan sepsis dan septic shock dengan mekanisme ; (1) bakteria seperti staphylococcus atau streptococcus menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen, (2) bacteria gram-positive melepaskan fragmen-fragmen membran sel yang dapat mengaktifasi rangkaian dari proses terjadinya septic shock.17 Endotoksin adalah lipopolisakarida dan merupakan bagian dari dinding bakteri dan dilepaskan pada bakteri yang mati. Toksin-toksin ini berhubungan dengan organisme - organisme gram negatif dan juga mampu memulai mediator- mediator seluler dan humoral yang diperkirakan untuk membentuk kaskade inflamatori. Berbagai mediator inflamatori, termasuk cytokine, merupakan protein pengatur soluble yang disekresi oleh berbagai sel termasuk makrofag, dilepaskan oleh host yang menderita. Lipopolysaccharide (LPS) endotoksin memulai reaksi patofisiologis dari sepsis gram negatif, yang ditunjukan oleh :

1. Injeksi LPS pada manusia dan binatang percobaan menginduksi dingin, demam, dan shock.

2. Kadar LPS yang tinggi dalam plasma berhubugan dengan kematian yang tinggi pada pasien-pasien sepsis.

3. Kematian yang disebabkan shock dapat dikurangi dengan antibody LPS. LPS berikatan dengan suatu protein fase akut plasma yang disebut LPSbinding protein (LBP), dan kompleks LPS/LBP kemudian berikatan dengan monosit dan makrofag dengan afinitas tinggi. Protein plasma lain, septin, juga mengikat LPS. Kompleks LPS/LBP berikatan ke reseptor membran makrofag CD14, menyebabkan aktifasi makrofag dan meninduksi sintesis dan sekresi cytokine-cytokine, tomor necrosis faktor (TNF/cachectin) dan interleukin 1 (IL-1) oleh monosit dan makrofag. Cytokine menginduksi sintesis dan ekspresi permukaan dari molekul- molekul adhesi endotelium, termasuk E-selectin, intercelluler adhesion molecule 1 (ICAM-1), dan vasculer cell adhesion molecule 1 ( VCAM -1) meningkatkan perlekatan neutrofil ke endotelium vaskuler. Aktifitas cyclooxygenase membran endotelium juga distimulasi dan menghasilkan prostaglandin, vasodilator yang poten. Vasodilatasi dengan meningkatnya aliran darah dan perlekatan neutrofil ke endotelium vaskuler, meningkatkan inflamasi dengan eksudasi dari antibody dan komplemen, dan emigrasi dari sel-sel fagosit ke jaringan yang infeksi. Efek TNF dan IL-1 ditingkatkan oleh kemampuan LPS untuk mengaktifasi jalur alternatif komplemen dan factor Hagemen (faktor XII). Aktifasi komplemen menghasilkan anafilatoksin, C3a dan C5a yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dengan merangsang pelepasan histamin dari sel-sel mast jaringan dan basofil darah. C5a juga merupakan chemotaxin kuat dan aktivator neutrofil darah. Aktifasi faktor XII menghasilkan vasodilator bradikinin.17,182.3.4. Gambaran Klinis

Respons sistemik dari sepsis ditandai dengan demam tiba-tiba, dingin, tachycardia, tachypnea, perubahan status mental, dan /atau hipotensi. Akan tetapi, respons sepsis dapat berjalan secara berangsur-angsur, dan tanda-tanda tersebut tidak dijumpai. Hyperventilasi, disorientasi, dan kebingungan secara diagnostic berguna sebagai tanda-tanda awal. Dapat terjadi hipotensi dan DIC. Tanda-tanda kulit kering dijumpai, termasuk sianosis dan nekrosis iskemik jaringan perifer,sellulitis, pustula, bula, dan lesi hemoragik.162.3.5 Diagnosis

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut hemodinamik Riwayat jangan isi centang____> belaar menulis ilmiahMembantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya ditempat kerja ,penggunaan alcohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:

1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi

2. Hipotensi, oliguria atau anuria

3. Takipnea hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas

4. Perdarahan Pemeriksaan fisik

Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan rectum, pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rectal, perirekral dan atau perineal, penyakit dan atau abses inflamasi pelvis atau prostatitis Data laboratorium

Uji laboratorium meliputi complete blood count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi glukosa, urea darah, nitrogen kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan gram stain

Temuan laboraorium lain

Sepsis awal, leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Selanjutnya trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC2.3.6 Terapi

1. Stabilisasi pasien langsungPemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway,breathing ,circulation). Pemeberian resisutasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik, intubasi diperlukan untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Pasien sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju nafas dan suhu badan) harus dipantau2. Pemberian antibiotic yang adekuat

Agen antimicrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa antimicrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga lebih banyak lagi masalah bagi pasien.3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi

Hilangkan benda asing, salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobic. Angkat organ yang terinfeksi , hilangka atau potong jaringan yang gangrene

4. Pemberian nutrisi yang adekuat

2.3.7 Early Goal Directed Therapy (EGDT) Rivers (2001), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa metode resusitasi yang berorientasi pada perbaikan oksigenasi jaringan sebagai tujuan akhir (end point) di unit gawat darurat, telah berhasil menurunkan angka mortalitas syok sepsis menjadi 16%. Resusitasi yang dikembangkan oleh Rivers dkk ini lebih kita kenal dengan metode resusitasi Early Goal Directed Therapy (EGDT). Kelompok studi The Surviving Sepsis Compaign (SSC) sejak tahun 2003 telah mengembangkan pedoman pengelolaan pasien dengan sepsis dalam bentuk rekomendasi. Pada edisi revisi tahun 2008 kelompok studi sepsis ini merekomendasikan EGDT sebagai metode resusitasi pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis 6 jam pertama pasien datang.

Penilaian awal hemodinamik pada temuan pemeriksaan klinis, tanda vital, central venous pressure /CVP, dan jumlah urin (urinary output) gagal mendeteksi keadaan hipoksia jaringan sistemik. Strategi resusitasi definitif yang berorientasi sasaran (Goal Directed Therapy) dengan memanipulasi cardiac preload, afterload, dan kontraktilitas untuk mencapai keseimbangan systemic oxygen delivery/DO2 dan kebutuhan oksigen (oxygen demand). Hasil akhir yang diharapkan adalah tercapainya nilai normal dari saturasi oksigen vena sentral (central venous oxygen saturation/ScvO2.), konsentrasi laktat, base deficit, dan pH. Saturasi oksigen vena sentral adalah petunjuk yang mewakili nilai kardiak indeks yang merupakan target terapi homodinamik. Pada beberapa kasus pemasangan kateter arteri pulmonalis (pulmonary-artery catheter) dinilai tidak praktis, pengukuran saturasi oksigen vena (venous oxygen saturation) dapat diukur di sirkulasi sentral.

Dalam perkembangannya protokol untuk penatalaksanaan sepsis berat dan syok sepsis pemeriksaan nilai serum laktat sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah pasien masuk ke IGD walau pun pada pasien tidak dijumpai adanya hipotensi, peningkatan nilai serum laktat 4 mmol/L merupakan indikasi terjadinya hipoksia dan perlu tindakan EGDT segera untuk optimalisasi pasien.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama

: Tn. NUmur

: 75 TahunJenis Kelamin

: Laki-lakiAlamat

: PagutanAgama

: HinduPekerjaan

: Swasta

MRS

: 26 Mei 2015

No. RM

: 14 92 393.2 Pre Operatif ( 26 Mei 2015 )

3.2.1 Anamnesis

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram dikeluhkan terjadinya penurunan kesadaran sejak 3 hari sebelum MRS. Sebelumnya pasien juga dikeluhkan muntah darah sebanyak 3 gelas belimbing, kaki sebelah kiri membengkak, serta pasien tidak mau makan dan minum.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), asma (-). Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit yang sama dengan pasien. Riwayat Pengobatan dan Alergi : Pasien pernah MRS pada bulan januari 2015 dengan keluhan muntah darah dan BAB darah dirawat inapkan selama 1 minggu kemudian kembali MRS pada april 2015 dengan keluhan yang sama. Tidak ada riwayat operasi sebelumnya, riwayat alergi terhadap obat-obatan (-).

3.2.2 Pemeriksaan fisik (26/5/2015) Keadaan Umum : Lemah Kesadaran

: E2V2M4 Tanda Vital :

Tekanan Darah : 70 mmHg/palpasi Suhu

: 37,5C

RR

: 22 x/menit Nadi

: 110 x/menit

Tes Mallampati : BDE Status Generalisata Kepala : Normocepali

Mata : Sklera Ikterik -/-, Konjungtiva anemis +/+ Hidung : Dalam batas normal Telinga : Dalam batas normal Leher : Pembesaran KGB (-), Massa (-) Thoraks :

Inspeksi: Bentuk simetris, statis, dinamis Palpasi: BDE Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-),

Cor : S1, S2 tunggal reguler.

Abdomen : Dalam batas normal.

Ekstremitas : Akral hangat

Edema

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang (26/5/2015) Laboratorium WBC : 14,02 x 103/ul ()

NEU : 12,25 x 103/ul ()

RBC : 1,42 x 106/ul ()

HGB : 4,5 gr/dl ()

HCT : 12,5% ()

PLT : 211 x 103/ulSGOT : 169 U/L ()

SGPT : 89 U/L ()

Ureum : 255,0 mg/dl ()

Creatinin : 1,9 mg/dl ()GDS : 119 mg/dl

Foto Rontgen Thorax AP (26/5/2015)

DiagnosisHematemesis melena e.c. sirosis hepatisTB Paru

Pneumonia

SepsisSyok septik Terapi1. Pasang O2 10 lpm

2. Pasang IVFD 2 jalur:

Infus RL 10 TPM

Gelafusal 20 TPM

3. Tranfusi PRC

4. Pasang NGT

5. Injeksi prosogan 1x40 mg

6. Injeksi asam traneksamat 3x1 mg

7. Injeksi vit K 3x1 mg

8. Cek PTT dan APTT Kesan AnestesiLaki-laki usia 75 tahun menderita TB paru, pneumonia, sepsis dan syok septic dengan ASA III

3.2.4 Pemeriksaan fisik (27/5/2015) Keadaan Umum: Lemah Kesadaran

: E2V2M3 Tanda Vital :

Tekanan Darah : 90/60 mmHg Suhu : 37,0C RR

: 19 x/menit Nadi

: 93 x/menit

Tes Mallampati : BDE Status Generalisata Kepala: Normocepali

Mata : Sklera Ikterik -/-, Konjungtiva anemis +/+ Hidung: Dalam batas normal Telinga : Dalam batas normal Leher : Pembesaran KGB (-), Massa (-) Thoraks :

Inspeksi: Bentuk simetris, statis, dinamis Palpasi: BDE Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-),

Cor : S1, S2 tunggal reguler.

Abdomen : Dalam batas normal.

Ekstremitas : Akral hangat

Edema

Laboratorium (27/5/2015)

WBC : 10,1 x 103/ul

RBC : 3,33 x 106/ul ()HGB : 8,2 gr/dl ()HCT : 25,8% ()PLT : 103 x 103/ulPT : 16,9 detik

APTT : 27,7 detik

DiagnosisHematemesis melena e.c. sirosis hepatis

TB Paru

Pneumonia

SepsisSyok septik

Terapi1. Rawat intensif

2. Pasang O2 10 lpm

3. Infus Asering 20 TPM

4. Injeksi Meropenem 3x1 gr

5. Injeksi prosogan 1x40 mg

6. Injeksi asam traneksamat 3x1 mg

Balance cairan : 962 cc/17 jam (intake =1746 cc, output =200 cc, IWL = 584 cc)

BAB IVPENUTUPSIMPULAN

Pasien di atas mengalami sepsis dengan kriteria : (1) hipotensi dengan tekanan darah 70 mmHg/palpasi, (2) takikardi dengan denyut nadi > 90 x/menit yaitu 110 x/menit, (3) takipnea dengan frekuensi napas > 20 x/menit yaitu 22 x/menit, (4) lekositosis dengan hitung lekosit > 12.000/ml yaitu 14.200/ml

Sepsis didefinisikan sebagai suatu respons inflamatori sistemik terhadap infeksi ditandai dengan demam (hiperpireksia) atau hipotermia, tachycardia, tachypnea, dan leukoytosis. Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut hemodinamik.DAFTAR PUSTAKA1. Nasronuddin. imunopatogenesis sepsis dan prinsip penatalaksanaan . in: nasronuddin et al 2nd ed penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan mendatang. Airlangga university Press 2011: P320-252. Depkes. (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Depkes RI;Jakarta

3. Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta; Jakarta.

4. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A, Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan terapi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1985:1-115. Widoyono, 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga, Jakarta

6. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium tuberkulosis, eds 2. Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan dan WHO Center for Tuberculosis, 2002.7. Zul Dahlan. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4; Jilid II. Pusat Penerbitan FK-UI. Jakarta.2006;239:974-80

8. Jeremy, P.T. (2007). At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal. 76-77.

9. Nirwati, Hera, _______, Pembuatan Preparat dan Pengecatan dalam Petunjuk Praktikum Mikrobiologi, Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

10. Strohl, William A, Rouse,H, Fisher, BD, 2001, Lippincotts Illustrated Reviews: Microbiology, Lippincott William & Wilkins, USA

11. Supandi, P.Z. (1992). Pulmonologi Klinik. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI. Hal. 87- 91.

12. Misnadirly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Hal. 55-58

13. Martin GS. The complex Role of cagulation in pathophysiology of sepsis. Proceeding of the 30th International educational and scientific symposium of

the society of critical care medicine ; Day 1 February 10, 2001 http://www.medscape.com/medscape/cno/2001/SCCM/Story.cfm?story_id=2

081

14. Miller JL. Blood coagulation and fibrinolysis. In : Henry JB. Ed. Clinical diagnosis & management by laboratory methods. 18th ed. Philadelphia : W.B.

15. Ratnoff OD. Hemostatic defects in liver and biliary tract disease and disorders of vitamin K metabolism. In : Ratnoff OD, Forbes CD, eds. Disorders of hemostasis. Philadelphia : Saunders, 1996 : 422 42. 16 20. Evans TW, Smithies M. ABC of intensive care Organ dysfunction. BMJ 1999 ; 318 : 1606-9.

16. Braundwald E. Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, eds. Sepsis and septic shock. In : Harrisons manual of medicine. New York : McGraw-Hill, 2002 : 129 32.17. Vervloet MG, Thijs LG, Hack CE. Derangements of coagulation and fibrinolysis in critically III patient with sepsis and septic shock. Seminars in thrombosis and hemostasis 1998 ; 24 : 33 44.

18. Saito H. Normal hemostatic mechanisms. In : Ratnoff OD, Forbes CD, editors. Disorders of hemostasis. Philadelphia : Saunder, 1996 : 23 52

19. Glauser MP. Pathophysiologic basic of sepsis : Consideration for future strategies of intervention. Crit care med 2000; 28(suppl) : S4 8

20 Saunders Company, 1991 : 734-572. Astiz ME, Rackow EC. Septic shock. The lancet 1998 ; 351 : 1501 5. 2