Makalah Radiologi Rds

30
1 BAB 1 PENDAHULUAN Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. (1) Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. (2) Penyakit Membran Hyalin disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, ditandai adanya kesukaran bernafas ( dyspnea) , frekuensi nafas meningkat ( tachypnea), (pernafasan cuping hidung, grunting, penurunan compliance paru, retraksi dada, dan sianosis yang menetap atau menjadi progresif setelah pemberian oksigen dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan yang disertai adanya gambaran infiltrat alvolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi . (3) Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. (3) Respiratory Distress Syndrome ( RDS) merupakan penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan dengan umur

Transcript of Makalah Radiologi Rds

Page 1: Makalah Radiologi Rds

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease

(HMD), merupakan sindrom gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau

beberapa saat setelah lahir yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang

lahir dengan masa gestasi kurang.(1) Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis

alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke

dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. (2)

Penyakit Membran Hyalin disebut juga respiratory distress syndrome (RDS)

atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, ditandai adanya kesukaran bernafas (dyspnea),

frekuensi nafas meningkat (tachypnea), (pernafasan cuping hidung, grunting, penurunan

compliance paru, retraksi dada, dan sianosis yang menetap atau menjadi progresif setelah

pemberian oksigen dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan yang disertai adanya gambaran

infiltrat alvolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular,

perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. (3)

Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru

lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau

komplikasinya. (3) Respiratory Distress Syndrome ( RDS) merupakan penyebab terbanyak dari

angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi

kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram. Angka kejadian berhubungan

dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen(4). Saat

ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.(5)

HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan

umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28

minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat

jarang terjadi pada bayi matur. (3)

Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada

laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan

oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin

releasing hormon pada ibu. (3)

Di Amerika Serikat, RDS diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap

tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kira-kira 50% kelahiran neonatus

Page 2: Makalah Radiologi Rds

2

yang lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu mengalami RDS, dan kurang dari 30 %

neonatus prematur usia kehamilan 30-31 minggu mengalami keadaan ini. (6)

Pada satu laporan, angka kejadian RDS sekitar 42% pada infant 501-1500g, dengan

71% dilaporkan pada berat badan 501-750 gram, 54% yang berat badan 751-1000g, 36%

yang berat badannya 1001-1250g, dan 22% pada 1251-1500g. RDS lebih jarang ditemukan di

Negara berkembang dibanding lainnya, terutama karena kebanyakan infant premature yang

kecil untuk masa kehamilan mengalami stress di dalam rahim karena diinduksi oleh

hipertensi. Tambahan, juga dikarenakan pada wilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan

didalam rumah, sehingga pencatatatannya buruk. (6)

Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan

pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat

dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan pola

retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air bronchogram.

Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS. (3)

Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi

prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural

surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan

natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia,

maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. (2)

Page 3: Makalah Radiologi Rds

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Respiratory Distress Syndrome

Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak

napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan

terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang

merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru,

dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.Sedangkan menurut Murray et.al (1988)

disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung,

kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ

non pulmoner. Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral

pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal ≤ 18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik

adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau

sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau

sama dengan 200, menyokong suatu RDS . (2)

2.2 Faktor Risiko Respiratory Distress Syndrome

Faktor risiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome :

1. Bayi kurang bulan (BKB). RDS didapatkan pada 10% bayi kurang bulan, paru bayi

secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi alveoli.

Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi

udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang

menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas.

Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.

2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi

mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan hipertensi pulmonal dengan

pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru.

3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi

keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi

4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapa pun usia

gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient

Tachypnea of Newborn).

Page 4: Makalah Radiologi Rds

4

5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi

pneumonia bakterialis atau sepsis.

6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi

mekonium.

7. Hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug

abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. (6)

2.3 Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome

Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh

alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena

dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. (2)

Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan

baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien

karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi

sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan

dan protein masuk ke rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu

pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih

lemah. (2)

Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema

interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk

mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena

diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan

intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan

terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi

memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan

alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru

mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis. (2)

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,

lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap

mengembang. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-

paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya

pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat,

shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang

menyebabkan asidosis respiratorik.(2)

Page 5: Makalah Radiologi Rds

5

Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi

yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis,

menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang

menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil,

bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya

ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis

menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri

melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru

berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler

menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. (7)

Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas

lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan

perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan

asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah

paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi

surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen

ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. (4)

Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya

resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler,

aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga

alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. (6)

Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru

merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan,

sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi

premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin

berkurang. (5)

2.4 Manifestasi Klinik Respiratory Distress Syndrome

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel

dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga

menghambat fungsi surfaktan. (2)

Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya

baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60 x /

menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain.

Page 6: Makalah Radiologi Rds

6

Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres

pernafasan awal yang berat Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan

subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif

terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar,

dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru

posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. (3)

Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi

peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya

penyakit. Apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda

perlunya intervensi segera. (3)

Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan

oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada

progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan

kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah

periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi

yang lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu

kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan

ventilasi mekanik. (3)

Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar

oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari

kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema

interstitial, pneumothorax, perdarahan paru atau intraventrikular. (3)

Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila

terjadibronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD

berat). (3)

2.5 Diagnosis Respiratory Distress Syndrome

Gejala klinis

Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu

(>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama

kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir.

Page 7: Makalah Radiologi Rds

7

Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score

(derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress

nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam.(3)

 Pemeriksaan Radiologis

Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang

karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari

parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena

superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang

tipikal muncul dalam 6-12 hari. (2) 

Laboratorium

Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak

menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah

awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia

progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi. (4)

 Echocardiografi

Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat

pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan

kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. (3)

Tes Kocok (Shake test)

Dari aspirat lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui

nasogastrik tube pada neonatus <>banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %,

dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15

menit. Pembacaan :

Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 % resiko terjadi HMD

+1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko terjadi HMD

+2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung

+3 : gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua

deret <>

+4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan neonatus matur.(2)

Page 8: Makalah Radiologi Rds

8

Amniosentesis

Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya

HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan

amniosentesis (pemeriksaan antenatal). (6)

Tes apung paru

Tes apung paru-paru (docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk

mengetahui apakah bayi yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya

mayat harus segar. (5)

2.6 Tatalaksana Respiratory Distress Syndrome

Terapi respiratory distress syndrome ditujukan untuk mencegah komplikasi dan

memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti

hipoksemia dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir

yang mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk neonatus

(NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas

NICU.14Sebelum dirujuk atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal

sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan. (6)

2.7 Komplikasi Respiratory Distress Syndrome

Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :

1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS

yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya

asidosis yang menetap.

2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya

perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan

invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat2 respirasi.

3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler

terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan

ventilasi mekanik.

Page 9: Makalah Radiologi Rds

9

4 PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan

RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi

dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ

lain.

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :

1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang

disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD

berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu

menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.

Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.

2. Retinopathy prematur

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan

dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi. (8)

2.8 Pemeriksaan Radiologis pada Neonatus

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan diutamakan pada neonatus adalah

foto rontgen toraks. Foto X-Ray Toraks terutama berperan penting dalam membantu

menentukan diagnosis awal dan perkembangan penyakit selanjutnya.

Terkadang ditemukan kesulitan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan

radiologis pada neonatus. Hal ini terjadi karena banyaknya kelainan yang tidak spesifik

dan saling overlapping. Hal ini memudahkan terjadinya kesalahan dalam diagnosis secara

radiologis. Untuk itu perlu selalu ditekankan melihat kembali kondisi klinis pasien.

Jenis pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan konvensional sederhana sampai

canggih. Pemeriksaan tersebut antara lain foto thorax supine / lateral decubitus, USG,

CT-scan dan yang paling canggih adalah MRI. Akan tetapi Modalitas radiologi yang

dipilih harus tepat sesuai kasus.

Foto thoraks merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Pada neonatus

foto toraks dilakukan dengan mengambil proyeksi Anteroposterior (AP) dengan posisi

pasien supine atau lateral supine/horizontal beam. Sedangkan posisi PA dan lateral tegak

sulit dilakukan pada neonatus. Perlu diingat bahwa selama pemeriksaan foto toraks pada

Page 10: Makalah Radiologi Rds

10

bayi baru lahir, bayi harus selalu ditempatkan dalam inkubator untuk mencegah terjadinya

hipotermia.

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan selama proses pemeriksaan radiologis

pada bayi baru lahir antara lain :

Proteksi radiasi : perlindungan terhadap organ gonad dan luas lapangan

pemotretan.

Pencegahan terhadap hipotermi : bayi tetap diletakkan dalam inkubator

atau dilakukan foto toraks menggunakan mobile X-ray di ruang neonatus,

sehingga bayi tidak perlu dipindahkan dari infant warmer.

Oksigenasi untuk mencegah hipoksia.

Immobilisasi agar posisi foto simetris dan hindarkan kepala bayi

menengok.

Foto toraks pada neonatus secara normal akan memberikan gambaran sebagai

berikut :

Bentuk toraks silindris.

Costae lebih horizontal.

Level diafragma kanan setinggi costae 7-9 posterior.

Cardio-thoracic ratio (CTR) bisa sampai 65%.

Ukuran thymus bervariasi, biasanya berbentuk segitiga, dan bila tidak ada

pembesaran tidak akan menimbulkan kompresi/pergeseran organ-organ

mediastinum.

Artefak : bisa menimbulkan misinterpretasi. Contoh : lipatan kulit sering

salah diartikan sebagai pneumotoraks.

Evaluasi tube line.

Sedangkan gambaran pola radiologis yang sering muncul pada bayi baru lahir

dengan gangguan nafas adalah sebagai berikut :

Normal

Granuler

Streaky atau wet lung

Patchy infiltrate

Page 11: Makalah Radiologi Rds

11

Focal (9)

2.9 Gambaran Radiologis Respiratory Distress Syndrome

Hal penting yang harus ditemukan pada foto toraks RDS yaitu :

Gambaran granuler homogen yang difus

Ground glass appearance

Air bronchogram abnormal

hipoaerasi(9)

Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat :

Stage I : Gambaran reticulogranular

Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar bayangan

jantung/meluas ke perifer

Gambar 1.

RDS Stage I : Reticulogranuler pattern(3)

Page 12: Makalah Radiologi Rds

12

Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.

Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan

thymus. Gambaran white lung.

2.10 Diagnosis Banding Respiratory Distress Syndrome

1. Neonatal Pneumonia

Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa

dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran

rontgen dada dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif

dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen

Gambar 2.

RDS Stage II : air bronchogram abnormal(3)

Gambar 3.

RDS Stage III : Batas jantung sulit

ditentukan(3)

Gambar 4.

RDS stage IV : white lung(3)

Page 13: Makalah Radiologi Rds

13

streptococcus positif, serta adanya netropenia. (3) Gambaran radiologis yang sering

muncul pada kasus neonatal pneumonia antara lain :

Normal

Infiltrat multipel (lobar, segmental, bercak)

Densitas “streaky”

Infiltrat ground glass diffuse + air bronchogram

Pneumatokel dapat muncul pada infeksi staphylococcus(9)

Page 14: Makalah Radiologi Rds

14

2. Transient Tachypnea of Newborn (TTN)

Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan

ringan. Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS –

hipoaerasi). Densitas retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi,

sementara pada RDS gambaran opak menetap minimal 3 – 4 hari. (3)

Gambar 5.

Gambaran Pneumatokel pada bayi prematur dengan Pneumonia akibat infeksi Pseudomonas dan sepsis

Staphylococcus(9)

Page 15: Makalah Radiologi Rds

15

Gambar 6.

Gambaran foto toraks pada pasien TTN. 6 jam setelah lahir masih tampak overaerasi dan

streaky dan opasitas interstitial paru bilateral. Dua hari kemudian abnormalitas parenkim paru

berkurang akan tetapi opasitas perihiler yang streaky masih tampak. (9)

Gambaran radiologis yang muncul pada kasus TTN adalah :

Prominent pulmonary interstitial marking

Cairan pada fissura interlobaris & cavum pleura

Inflasi paru normal/ hiperaerasi

Jika parah gambaran edema pulmonum

Penyembuhan dimulai dari perifer ke sentral

Gambaran paru kembali normal dalam 48 – 72 jam(9)

3. Sindroma Aspirasi Mekoneal

Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area

emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru

biasanya hiperaerasi. (3)

BAB III

PEMBAHASAN

Penyebab distres pernafasan pada periode neonatal bisa dibagi menjadi abnormalitas

primer yang mempergaruhi ventilasi, sirkulasi dan pengembangan thoraks. Kondisi dari paru

dan sistem kardiovaskular selalu jadi pertimbangan utama tetapi abnormalitas dari sistem

trakeobronkial, dinding dada, diafragma dan variasi dari penyakit neuromuskular harus juga

Gambar 7.

Sindroma Aspirasi Mekoneal(9)

Page 16: Makalah Radiologi Rds

16

diingat sebagai diagnosis banding. X-ray thoraks merupakan modalitas imejing yang paling

utama dalam mendiagnosis gangguan pernafasan pada neonatus meskipun teknologi

ultrasound juga bermanfaat dalam mendeteksi adanya cairan dalam rongga pleura maupun

dugaan adanya massa yang menginvasi dinding dada maupun diafragma. Modalitas lain

seperti Computed Tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), bronkografi,

kedokteran nuklir, maupun angiografi bisa saja kurang tersedia. (8)

Chest X-Ray masih merupakan modalitas imejing paling utama pada assesment bayi

baru lahir dengan distress pernafasan. Sementara banyak temuan radiologis yang secara

relatif kurang spesifik, integrasi dari temuan klinis dan gambaran pada X-ray akan membantu

para klinisi sampai pada diagnosis yang tepat. Pada sebagian kecil bayi baru lahir, terutama

dengan malformasi kongenital dari saluran nafas, modalitas imejing yang lain mungkin

diperlukan. (10)

Penyebab gangguan nafas pada neonatus dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyebab

intrathorakal dan ekstrathorakal. Penyebab ekstrathorakal antara lain kelainan sistem saraf

pusat dan kelainan metabolik. Sementara penyebab intrathorakal yaitu defisiensi surfaktan

paru, pneumonia neonatal, sindroma aspirasi mekoneum dan hernia diafragmatika. (9)

Beberapa kasus distres nafas pada bayi baru lahir dapat memberikan gejala klinis

seperti takipnea, merintih/grunting, nafas cuping hidung, retraksi substernal dan intercostal,

sianosis dan hipoksia. Akan tetapi gejala-gejala ini kurang spesifik untuk penyebab tertentu

dari distress nafas pada neonatus. Oleh karena itu foto Rontgen thoraks terutama berperan

penting dalam membantu menentukan diagnosis awal dan perkembangan penyakit

selanjutnya. (9)

Terkadang ditemukan kesulitan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan radiologis

pada neonatus. Hal ini terjadi karena banyaknya kelainan yang tidak spesifik dan saling

overlapping. Hal ini memudahkan terjadinya kesalahan dalam diagnosis secara radiologis.

Untuk itu perlu selalu ditekankan melihat kembali kondisi klinis pasien. (10)

Idiophatic respiratory distress syndrome (IRDS) atau Hyaline membrane disease

(HMD) merupakan penyebab utama dari distress nafas neonatus meskipun insidensi dan

beratnya gejala telah dapat dikurangi dengan pemberian rutin kortikosteroid pada ibu hamil

yang berisiko terjadi partus prematur. Kelainan muncul dari defisiensi surfaktan yang

menyebabkan atelektasis alveoli, dilatasi bronkiolus terminalis dan menurunnya pertukaran

gas di alveoli. Bayi dengan IRDS mengalami pernafasan yang merintih dan disertai dengan

retraksi substernal dan interkostal yang akan terlihat segera setelah lahir atau dalam 4-6 jam

post partus. Kondisi ini sering terjadi terutama secara primer pada bayi yang lahir dengan

Page 17: Makalah Radiologi Rds

17

usia gestasi < 32 minggu. Akan tetapi IRDS juga dapat terjadi pada bayi aterm yang lahir

dengan faktor risiko seperti lahir per abdominam, ibu dengan diabetes mellitus gestational,

maupun komplikasi asfiksia perinatal akibat proses persalinan invasif. (10)

Gambaran radiologis pada kasus IRDS tergantung dari beratnya gejala dengan tanda

utama yaitu inflasi paru yang jelek. Radiografi thorak pada bayi dengan RDS menunjukkan

retikular granular atau gambaran ground-glass bilateral, difus, air bronchograms, dan

ekspansi paru yang jelek. Pada kasus yang ringan paru-paru menunjukkan gambaran

homogen/fine ground glass appearance (stage 1) akan tetapi pada kasus yang lebih berat

dapat timbul air bronchogram yang meluas menunjukkan bronkioli yang terisi udara didepan

alveoli yang kolap (stage 2) diikuti berkembangnya bayangan alveolus yang konfluen

sehingga batas jantung sulit ditentukan (stage 3), yang selanjutnya gambaran paru akan

menjadi putih semua sehingga jantung tidak terlihat (stage 4/ white lung). (3)

Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh

asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan

jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi

mekanik yang adekuat.(3)

Gambaran radiologis bisa dimodifikasi dengan derajat support ventilasi, fase respirasi

saat dilakukan radiografi, dan beberapa intervensi terapeutik. Sementara IRDS secara klasikal

menunjukkan gambaran distribusi bayangan paru yang simetris dan homogen, pemberian

surfaktan paru eksogen via intubasi endotrakheal dapat memberikan peningkatan gambaran

patchy dan pola heterogen yang lebih mengarahkan pada infeksi paru daripada IRDS.

Beberapa komplikasi dapat timbul seperti kebocoran udara paru, perdarahan pulmoner yang

terjadi bersamaan komplikasi non-respiratorik seperti perdarahan intrakranial dan

ensefalopati hipoksik-iskemik. (10)

BAB IV

KESIMPULAN

Respiratory Distress Syndrome (penyakit membran hialin) merupakan penyebab

terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal ini disebabkan adanya

defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,

sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya

Page 18: Makalah Radiologi Rds

18

berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan

merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.

Chest X-Ray masih merupakan modalitas imejing paling utama pada assesment bayi

baru lahir dengan distress pernafasan. Sementara banyak temuan radiologis yang secara

relatif kurang spesifik, integrasi dari temuan klinis dan gambaran pada X-ray akan membantu

para klinisi sampai pada diagnosis yang tepat. (9)

Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi

dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan penyakit

neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman

personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai,

dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial,

atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40 %.

Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan

pasti, 75 % dari bayi dengan berat <> 2.500 gr bertahan. Meski 85 – 90 % bayi yang selamat

setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih

baik pada yang berta badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya 

Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi

prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural

surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan

natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia,

maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. (2)

Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS dan merupakan

campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan

permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derivat binatang mengalami berbagai

proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah

fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang.(2) Hasil dari studi meta analisis

dengan Randomised Control Trial (Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40%

menurunkan angka kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax pada RDS ,

akan tetapi surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur ( chronic lung disease , patent

ductus arteriosus , retinopathy premature ) memberikan efek yang tidak memuaskan. (11)

Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan

angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi profilaksis bila surfaktan

diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi prematur yang baru lahir melalui

Page 19: Makalah Radiologi Rds

19

endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian

surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala

Respiratory Distress Syndrome. Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian

profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan

dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pusponegoro TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindrom Gawat Nafas Neonatal.

Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, Nopember 1997; 89-96 1

2. Nur A., Etika R., Damanik SM., Indarso F., Harianto A. Pemberian Surfaktan pada Bayi

Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome.Buletin Bagian/SMF Ilmu Kesehatan

Page 20: Makalah Radiologi Rds

20

Anak FK Unair, 2006, April. Diunduh dari : http://old.pediatrik.com/isi03.php?

page=kategori&hkategori=Buletin [diakses pada 21 Juli 2013]

3. Wicaksono E.N. 2013. Penyakit Membran Hyalin. Diunduh dari :

http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/02/27/penyakit-membran-hyalin/  [diakses

pada 21 Juli 2013]

4. Malloy, JL, Veldhuizen RA, McCormack FX, Korfhagen TR, Whitsett JA, and Lewis JF.

Pulmonary surfactant and inflammation in septic adult mice: role of surfactant protein A.

J Appl Physiol 2002;92:809-16.

5. Gomella TL, Cunningham.MD, Eyal.FG, Eds. Hyaline Membran Disease (Respiratory

Distress Syndrome) .Dalam Neonatology-Management, Procedures, On-Call Problems,

Diseases, and Drugs; Edisi 5. McGraw-Hill.Co,2004;539-43.

6. Warman FI., Satrio WS., Romadhon M. 2013. Respiratory Distress Syndrome. Diunduh

dari : http://id.scribd.com/doc/97547993/Respiratory-Distress-Syndrome [diakses pada 21 Juli

2013]

7. Pramanik.A.MD. 2002. Respiratory Distress Syndrome. Diunduh dari

:http://www.emedicine.com/topic [diakses pada 21 Juli 2013]

8. Tobing R. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari Pediatri,

2004, Juni; 6(1): 40-46.

9. Mardiana WF. 2010. Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas Pada Neonatus. Diunduh

dari : http://id.scribd.com/doc/97547993/   Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas Pada   

Neonatus   [diakses pada 21 Juli 2013]

10. Arthur R. The Neonatal Chest X-Ray. Paediatric Respiratory Reviews. 2001; Vol.2

(Series : Imaging) : 311-323. Diunduh dari : http://www.idealibrary.com [diakses pada 21

Juli 2013]

11. Wright Jo. 2003. Pulmonary surfactant: a front line of lung host defense. Diunduh dari :

http://www.pediatrics.com/ [diakses pada 21 Juli 2013]