Makalah PTM - Sigit Angriawan - P1803212008.docx

67
Tugas Makalah MK Sitem Informasi Pangan dan Gizi Dosen Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, M.Sc PENYAKIT TIDAK MENULAR TERKAIT GIZI DI INDONESIA OLEH: SIGIT ANGRIAWAN S P1803212008 KONSENTRASI GIZI MASYARAKAT PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

Transcript of Makalah PTM - Sigit Angriawan - P1803212008.docx

Tugas MakalahMK Sitem Informasi Pangan dan GiziDosen Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, M.Sc

PENYAKIT TIDAK MENULAR TERKAIT GIZI DI INDONESIA

OLEH:SIGIT ANGRIAWAN SP1803212008

KONSENTRASI GIZI MASYARAKATPROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKATPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR2013

KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman dan ilmu dalam diri penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah penyakit tidak menular terkait gizi di Indonesia sebagai bagian proses belajar mata kuliah sistem informasi pangan dan gizi.Sholawat dan Salam penulis juga haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw yang telah memberikan pencerahan iman dan memberikan petunjuk jalan yang lurus sehingga kita mengenal akan arti ketauhidan.Makalah penyakit tidak menular terkait gizi di Indonesia ini dibuat dengan tujuan sebagai tugas untuk mata kuliah sistem informasi pangan dan gizi, dimana di dalam makalah ini dibahas tentang kondisi gizi dan penyakit tidak menular di Indonesia serta faktor resiko yang mempengaruhinya.Akhir kata, penulis menyadari bahwa Makalah ini tidak luput dari segala kekurangan sehingga saran dan kritik yang dapat memberikan perbaikan kepada penulisan Makalah ini akan penulis terima.Terima Kasih.

Makassar, Februari 2014

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI iiiDAFTAR ISTILAH ivDAFTAR TABEL DAN GAMBAR viBAB IPENDAHULUANPendahuluan 8BAB IIKONDISI OBJEKTIFA. Tren Penyakit Tidak Menular di Indonesia 10B. Tren Status Gizi di Indonesia 19BAB IIITINJAUAN PUSTAKAA. Penyakit Tidak Menular 32B. Thrifty Phenotype Hypothesis 35C. Kerangka Teori 39BAB IVDISKUSI Diskusi 44BAB VPENUTUPA. Kesimpulan 45B. Saran 46DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR ISTILAH

%:persen

:permil

Bappenas:Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BB/TB:Indikator Berat badan menurut tinggi badan

BB/U:Indikator Berat badan menurut umur

COPD :Chronic obstructive pulmonary

CVD :Cardiovasculer Disease

DALYs:Disability Adjusted Life Years

DM:Diabetes Melitus

DOHaD :Developmental origins of health and disease

HIV/AIDS:Human immunodeficiency virus infection / acquired immunodeficiency syndrome

IMT :Indeks Massa Tubuh

Life-course epidemiology :Epidemiologi sepanjang hayat. Ilmu yang mempelajari efek jangka panjang paparan fisik dan sosial selama gestasi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa muda, dewasa tua, terhadap risiko mengalami penyakit kronis

MDGs:Millennium Development Goals atau Tujuan Pembangunan Milenium

NCDs:Noncummunicable Diseases

Obesitas :Kegemukan

PJK:Penyakit Jantung Koroner

Polidipsi :Rasa haus yang berlebihan

Poliuri :Sering kencing

Poliphagi :Sering merasa lapar

PPOK:Penyakit paru obstruktif kronis

PTM:Penyakit Tidak Menular

New-emergyng diseases:Munculnya penyakit-penyakit baru

Riskesdas:Riset Kesehatan Dasar

Re-emerging diseases:Munculnya kembali beberapa penyakit lama

SKRT :Survei Kesehatan Rumah Tangga

Stunting :Kependekan

SUN Movement :Scaling Up Nutrition Gerakan atau Nasional Percepatan Perbaikan Gizi

TBC:Tuberculosis

TB/U :Indikator Tinggi badan menurut umur

Thrifty Phenotype hypothesis:Hipotesis itu menyatakan bahwa berkurangnya pertumbuhan fetus berhubungan kuat dengan terjadinya beberapa penyakit degeneratif kronis di usia dewasa

Triple burden diseases:Tiga beban penyakit

Unicef :The United Nations Children's Fund

WHO:World Health Organization

DAFTAR TABEL DAN GAMBARNoKeteranganHal

Gambar II.1Prevalensi kanker per 1000 untuk semua umur berdasarkan diagnosis dokter menurut provinsi12

Gambar II.2Kecenderungan prevalensi DM dengan responden berusia >15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 201313

Gambar II.3Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara menurut diagnosis nakes dan obat yang dikonsumsi menurut provinsi tahun 2007 dan 201314

Gambar II.4Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran menurut provinsi tahun 2007 dan 201315

Gambar II.5Prevalensi PJK umur 15 tahun berdasarkan wawancara menurut provinsi tahun 201317

Gambar II.6Kecenderungan prevalensi stroke per 1000 berdasarkan wawancara menurut provinsi tahun 2007 dan 201318

Gambar II.7Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita, Indonesia 2007,2010, dan 201320

Gambar II.8Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U 18 tahun, Indonesia 2007, 2010, dan 201330

Gambar II.15Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT>25) pada perempuan umur >18 tahun berdasarkan data Riskesdas 2007, 2010, dan 201331

Gambar II.16Kecenderungan status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan komposit TB dan IMT, Indonesia 2010-201331

Gambar III.1Beberapa faktor resiko (modifiable) PTM34

Gambar III.2Representasi diagram dari Thrifty Phenotype hypothesis (Hales CN & Barker DJP, 2001)38

Gambar III.3Konsekuensi Jangka Pendek dan Panjang dari Kondisi Gizi-Gen-Lingkungan pada Awal Kehidupan dan Efek Sosial Ekonomi (Uauy R, et al. 2011)

39

Gambar III.4Kemiskinan dan PTM yang saling berkontribusi (WHO, 2010)42

Tabel II.1.Kategori IMT28

48 | PTM: Sigit-P1803212008

BAB IPENDAHULUAN

Tantangan besar bagi dunia ini adalah penyakit tidak menular atau PTM. Penyakit tidak menular menjadi penyebab utama kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, menyebabkan 13% kematian. Proporsi penyebab kematian PTM pada orang-orang berusia kurang dari 70 tahun, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab terbesar (39%), diikuti kanker (27%), sedangkan penyakit pernafasan kronis, penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar 30% kematian, serta 4% kematian disebabkan diabetes (WHO, 2010).Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya akan menurun, dari 18 juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030 (Pusat Data dan informasi Kemenkes RI, 2012). Pada negara-negara menengah dan miskin PTM akan bertanggung jawab terhadap tiga kali dari tahun hidup yang hilang dan disability (Disability adjusted life years=DALYs) dan hampir lima kali dari kematian penyakit menular, maternal, perinatal dan masalah gizi. Secara global, regional dan nasional pada tahun 2030 transisi epidemiologi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular semakin jelas. Diproyeksikan jumlah kesakitan akibat penyakit tidak menular dan kecelakaan akan meningkat dan penyakit menular akan menurun. PTM seperti kanker, jantung, DM dan paru obstruktif kronik, serta penyakit kronik lainnya akan mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2030. Sementara itu penyakit menular seperti TBC, HIV/AIDS, Malaria, diare dan penyakit infeksi lainnya diprediksi akan mengalami penurunan pada tahun 2030. Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup (Pusat Data dan informasi Kemenkes RI, 2012).Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden diseases. Di satu sisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai dengan masih sering terjadi KLB beberapa penyakit menular tertentu, munculnya kembali beberapa penyakit menular lama (re-emerging diseases), serta munculnya penyakit-penyakit menular baru (new-emergyng diseases) seperti HIV/AIDS, Avian Influenza, Flu Babi dan Penyakit Nipah. Di sisi lain, PTM menunjukkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat, sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun. Fenomena ini diprediksi akan terus berlanjut. (Pusat Data dan informasi Kemenkes RI, 2012). Beban ganda masalah gizi, dimana kurang gizi dan kelebihan gizi timbul bersamaan pada suatu masyarakat, telah meningkatkan terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke dan penyakit jantung. Data dari tahun 2007 memperlihatkan bahwa 60 persen kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular tersebut (Bappenas & Unicef, 2013).Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menunjukkan data tentang penyakit tidak menular, terutama hipertensi terjadi penurunan dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Namun, berdasarkan wawancara, terjadi peningkatan prevalensi hipertensi dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi 9,5 persen tahun 2013. Hal yang sama untuk stroke berdasarkan wawancara juga meningkat dari 8,3 per 1000 (2007) menjadi 12,1 per1000 (2013). Demikian juga untuk Diabetes melitus yang berdasarkan wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013). Faktor risiko PTM antara lain kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat dan tidak seimbang, merokok, konsumsi alkohol, obesitas, hyperglikemia, hipertensi, hiperkolesterol, dan perilaku yang berkaitan dengan kecelakaan dan cedera, misalnya perilaku berlalu lintas yang tidak benar. Upaya pencegahan dan penanggulangan PTM akan menjadi lebih efektif dan efisien jika faktor risiko tersebut dapat dikendalikan. Dampak dari PTM dan risikonya selain berpengaruh pada ketahanan hidup manusia dan penurunan produktivitas kerja juga menambah beban biaya pelayanan kesehatan. Upaya pengendalian penyakit ini tidak mungkin dilakukan hanya oleh sektor kesehatan saja akan tetapi harus melibatkan sektor lain dan keterlibatan masyarakat secara aktif (Pusat Promosi Kesehatan, Kemenkes RI, 2010).

BAB IIKONDISI OBJEKTIF

A. Tren Penyakit Tidak Menular di IndonesiaPenyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden diseases, tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes. Tiga diantara PTM utama tersebut erat kaitannya dengan gizi. 1. KankerKanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Pada data Riset Kesehatan Dasar 2013, diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter. Gambar II.1 memperlihatkan prevalensi kanker per 1000 untuk semua umur berdasarkan diagnosis dokter menurut provinsi.

Gambar II.1. Prevalensi kanker per 1000 untuk semua umur berdasarkan diagnosis dokter menurut provinsi

Hasil (Riskesdas, 2013) menurut karakteristik prevalensi kanker meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi kanker agak tinggi pada bayi (0,3) dan meningkat pada umur 15 tahun, dan tertinggi pada umur 75 tahun (5). Prevalensi kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, prevalensi kanker di kota cenderung lebih tinggi dari pada di desa. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas.

2. Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg.

Gambar II.2. Kecenderungan prevalensi DM dengan responden berusia >15 tahun menurut provinsi, 2007 dan 2013

Pada tahun 2007 prevalensi diabetes di Indonesia sebesar 1,1% lalu meningkat menjadi 2,1% pada tahun 2013. Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen. Dua provinsi, yaitu Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat terlihat ada kecenderungan menurun, 31 provinsi lainnya menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang cukup berarti seperti Maluku (0,5% menjadi 2,1%), Sulawesi Selatan (0,8% menjadi 3,4%), dan Nusa Tenggara Timur (1,2% menjadi 3,3%). Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur 65 tahun cenderung menurun. Prevalensi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki dan prevalensi DM di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi.

3. HipertensiHipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Gambar berikut memperlihatkan kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara menurut diagnosis nakes dan obat yang dikonsumsi menurut provinsi tahun 2007-2013.

Gambar II.3. Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan wawancara menurut diagnosis nakes dan obat yang dikonsumsi menurut provinsi tahun 2007 dan 2013

Prevalensi hipertensi wawancara tenaga kesehatan dan penggunaan obat menunjukkan peningkatan dari 7,6% pada tahun 2007 menjadi 9,5% pada tahun 2013. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan dengan menggunakan pengukuran dalam menilai hipertensi. Kecenderungan prevalensi hipertensi diagnosis oleh nakes berdasarkan wawancara tahun 2013 (9,5%) lebih tinggi dibanding tahun 2007(7,6%). Tiga provinsi, yaitu Papua, Papua Barat dan Riau terlihat ada penurunan. Enam provinsi tidak terjadi perubahan seperti Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, Aceh, dan DKI Jakarta. Di provinsi lainnya prevalensi hipertensi cenderung meningkat. Gambar berikut memperlihatkan kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran menurut provinsi tahun 2007 dan 2013.

Gambar II.4. Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran menurut provinsi tahun 2007 dan 2013

Prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran menunjukkan penurunan dari 31,7% pada tahun 2007 menjadi 25,8% pada tahun 2013. Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur 18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran yang menunjukkan penurunan yang sangat berarti dari 31,7 persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Asumsi penurunan, diperkirakan karena (i) perbedaan alat ukur yang digunakan tahun 2007 tidak diproduksi lagi (discontinue) pada tahun 2013, (ii) kesadaran masyarakat yang semakin membaik pada tahun 2013. Asumsi (ii) prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis atau gejala meningkat. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat yang sudah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan agak meningkat sedikit.Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat meningkat dengan bertambahnya umur. hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki dan prevalensi hipertensi di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. Pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun menurut JNC VII 2003 didapatkan prevalensi nasional sebesar 5,3 persen (laki-laki 6,0% dan perempuan 4,7%), perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%).

4. Penyakit Jantung KoronerPenyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Gejala/riwayat dari PJK ini adalaj nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.

Gambar II.5. Prevalensi PJK umur 15 tahun berdasarkan wawancara menurut provinsi tahun 2013Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing 0,7 persen. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (4,4%), diikuti Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan (2,9%), dan Sulawesi Barat (2,6%). prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 2,0 persen dan 3,6 persen, menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter maupun berdasarkan diagnosis dokter atau gejala lebih tinggi pada perempuan (0,5% dan 1,5%). Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi di perkotaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi di perdesaan dan pada kuintil indeks kepemilikan terbawah. 5. StrokeStroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain.

Gambar II.6. Kecenderungan prevalensi stroke per 1000 berdasarkan wawancara menurut provinsi tahun 2007 dan 2013

Berdasarkan hasil reikesdas 2013, prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8), diikuti DI Yogyakarta (10,3), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9), DI Yogyakarta (16,9), Sulawesi Tengah (16,6), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil.Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis nakes (16,5) maupun diagnosis nakes atau gejala (32,8). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis nakes (8,2) maupun berdasarkan diagnosis nakes atau gejala (12,7). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (11,4) maupun yang didiagnosis nakes atau gejala (18). Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing masing 13,1 dan 12,6 per mil.

B. Trend Status Gizi di Indonesia1. Status gizi anak balitaStatus gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita.Gambar II.7 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0,9 persen tahun 2007. Prevalensi kurus turun 0,6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2,1 persen dari tahun 2010 dan turun 0,3 persen dari tahun 2007.

Gambar II.7. Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita, Indonesia 2007,2010, dan 2013

a. Status gizi balita menurut indikator BB/UIndikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).

Gambar II.8. Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U 18 tahun berdasarkan data Riskesdas 2007, 2010, dan 2013Gambar II.16 berikut menyajikan kecenderungan status gizi dewasa menurut komposit TB dan IMT. Terlihat tidak terlalu banyak perubahan status gizi normal dari tahun 2007 ke tahun 2013 (18 tahun) berdasarkan komposit TB dan IMT, Indonesia 2010-2013BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Tidak MenularPenyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, menyebabkan 13% kematian. Proporsi penyebab kematian PTM pada orang-orang berusia kurang dari 70 tahun, penyakit cardiovaskular merupakan penyebab terbesar (39%), diikuti kanker (27%), sedangkan penyakit pernafasan kronis, penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar 30% kematian, serta 4% kematian disebabkan diabetes.Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya akan menurun, dari 18 juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030 (Pusat Data dan Informasi, 2012).Pada negara-negara menengah dan miskin PTM akan bertanggung jawab terhadap tiga kali dari tahun hidup yang hilang dan disability (Disability adjusted life years=DALYs) dan hampir lima kali dari kematian penyakit menular, maternal, perinatal dan masalah gizi.Secara global, regional dan nasional pada tahun 2030 transisi epidemiologi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular semakin jelas. Diproyeksikan jumlah kesakitan akibat penyakit tidak menular dan kecelakaan akan meningkat dan penyakit menular akan menurun. PTM seperti kanker, jantung, DM dan paru obstruktif kronik, serta penyakit kronik lainnya akan mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2030. Sementara itu penyakit menular seperti TBC, HIV/AIDS, Malaria, Diare dan penyakit infeksi lainnya diprediksi akan mengalami penurunan pada tahun 2030. Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup.Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden diseases. Di satu sisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai dengan masih sering terjadi KLB beberapa penyakit menular tertentu, munculnya kembali beberapa penyakit menular lama (re-emerging diseases), serta munculnya penyakit-penyakit menular baru (new-emergyng diseases) seperti HIV/AIDS, Avian Influenza, Flu Babi dan Penyakit Nipah. Di sisi lain, PTM menunjukkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Pusat Data dan Informasi, 2012).

Gambar III.1. Beberapa faktor resiko (modifiable) PTMMasalah utama kesehatan masyarakat ini ditandai dengan tinnginya prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM), ini tidak hanya di Indonesia tetapi juga secara global. Empat penyakit utama penyakit jantung, kanker, penyakit paru kronik dan diabetus militus merupakan 80% kematian penyakit tidak menular. Empat perilaku berisiko yang dapat diubah merokok, diet yang tidak sehat, kurangnya kegiatan fisik dan komsumsi alkohol merupakan penyebab utama kematian penyakit tidak menular. PTM merupakan penyakit yang memerlukan waktu cukup panjang untuk penyembuhannya, tetapi sebagian besar faktor risikonya bisa dicegah. Setiap tahun, PTM menyebabkan hampir 60% kematian di Indonesia, sebagian besar berusia dibawah 60 tahun, yang juga berdampak negatif terhadap produktivitas dan pembangunan, dengan demikian juga akan menyebabkan kemiskinan karena menghabiskan waktu dan biaya yang besar untuk pengobatan. Pencegahan PTM adalah kewajiban semua orang, pendekatan multi sektoral merupakan kunci untuk pencegahan dan pengendalian PTM. Tanggung jawab pemerintah menjadikan PTM sebagai agenda prioritas pembangunan. Tanggung jawab masyarakat berperan aktif dalam setiap upaya pengendalian PTM. Akademisi, media, sektor swasta, dan mitra pembangunan lain mempunyai tanggung jawab yang sama dalam setiap upaya pengendalian PTM sesuai peran dan fungsi masing-masing.

B. Thrifty Phenotype HypothesisPada ilmu epidemiologi terdapat sebuah istilah yaitu Life-course epidemiology atau epidemiologi sepanjang hayat adalah ilmu yang mempelajari efek jangka panjang paparan fisik dan sosial selama gestasi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa muda, dewasa tua, terhadap risiko mengalami penyakit kronis. Epidemiologi sepanjang hayat mempelajari mekanisme biologis, perilaku, dan psikososial yang beroperasi lintas perjalanan hidup individu, bahkan lintas generasi, untuk mempengaruhi terjadinya penyakit kronis di usia dewasa. Pendekatan sepanjang hayat memberikan cara baru mengkonseptualisasi pengaruh determinan sosial dan lingkungan yang dialami pada berbagai fase perjalanan hidup terhadap perkembangan terjadinya penyakit kronis yang diperantarai oleh proses biologis spesifik proksimal (misalnya, hiperkolesterolemia, hiperurisemia). Pendekatan sepanjang hayat epidemiologi menggunakan perspektif multi disipliner baik biologi, perilaku, sosial, maupun psikologi - untuk memahami pentingnya waktu dan timing terjadinya paparan, seperti pertumbuhan fisik, reproduksi, infeksi, mobilitas sosial, transisi perilaku, dan sebagainya, terhadap perkembangan terjadinya penyakit kronis pada level individu dan populasi (Lynch J dan Smith GD, 2005).Hipotesis Barker kadang disebut juga Fetal Origins hypothesis atau Thrifty Phenotype hypothesis. Hipotesis itu menyatakan bahwa berkurangnya pertumbuhan fetus berhubungan kuat dengan terjadinya beberapa penyakit degeneratif kronis di usia dewasa, khususnya penyakit jantung koroner (PJK), stroke, diabetes melitus (DM), hipertensi, dan COPD (PPOK). Organisme memiliki kelenturan (plastisitas) selama perkembangan awal, sehingga dapat dibentuk oleh lingkungan. Menurut hipotesis Barker, paparan lingkungan yang buruk (misalnya, kekurangan gizi) pada periode kritis pertumbuhan dan perkembangan di dalam uterus memiliki efek jangka panjang terhadap terjadinya penyakit kronis di usia dewasa dengan cara pemrograman struktur atau fungsi organ, jaringan, atau sistem tubuh. Adaptasi struktur, fisiologis, dan metabolis di awal kehidupan membantu kelangsungan hidup janin dengan cara memilih trayek (jalur) pertumbuhan yang tepat di masa mendatang. Tetapi ketika terdapat lingkungan yang tidak menguntungkan di awal kehidupan (misalnya, kurang zat gizi), maka fetus terpaksa berkompromi yaitu beradaptasi pada keadaan yang tidak menguntungkan dan memilih trayek yang sesuai (tetapi salah), yaitu melakukan trade off dengan mengurangi perkembangan organ yang relatif non-esensial seperti ginjal (massa nefron) dan pankreas (massa sel beta), demi berkembangnya organ yang lebih esensial seperti otak, dan menyebabkan efek yang salah terhadap kesehatan di usia dewasa (Godfrey KM and Barker DJ, 2001). Periode kritis merujuk kepada periode waktu perkembangan biologis tertentu yang krusial di mana paparan yang terjadi pada periode itu akan memberikan dampak jangka panjang pada struktur anatomis dan fungsi fisiologis yang akhirnya bisa menyebabkan penyakit. Paparan infeksi atau obat-obatan prenatal (misalnya, penggunaan talidomid) yang terjadi pada periode kritis dapat memberikan dampak hebat berupa kelainan perkembangan yang permanen (misalnya, cacat anggota badan). Tetapi jika paparan itu terjadi beberapa hari sebelumnya atau sesudahnya, maka paparan itu tidak memberikan dampak jangka panjang. Berbeda dengan periode kritis, periode sensitif merujuk kepada periode di mana paparan yang terjadi pada periode itu memberikan efek yang lebih besar daripada paparan yang sama terjadi pada periode lainnya. Pengaruh paparan yang berlangsung pada periode kritis maupun periode sensitif dapat dimodifikasi (diubah) oleh paparan di usia dewasa (Lynch dan Smith, 2005).Pendekatan Life-course epidemiology bisa digunakan untuk mempelajari efek jangka panjang paparan agen infeksi dan agen non-infeksi pada berbagai tahap kehidupan terhadap risiko terjadinya penyakit infeksi di usia dewasa, melalui dua mekanisme: akumulasi risiko, dan pemrograman. Model akumulasi risiko mempelajari efek dari total jumlah paparan atau total sekuensi paparan yang terakumulasi sepanjang waktu selama perjalanan hidup. Model akumulasi risiko dapat menunjukkan hubungan dosis-respons, di mana kerusakan kesehatan meningkat dengan bertambahnya durasi atau jumlah paparan yang merugikan (Lynch dan Smith, 2005).Berbagai studi di berbagai negara telah memberikan bukti empiris yang mendukung hipotesis Barker tentang adanya hubungan terbalik antara berat badan bayi lahir prematur ataupun aterm dan peningkataan insidensi hipertensi, PJK, gangguan toleransi glukose, resistensi insulin, dan DM tipe 2. Hubungan tersebut tampaknya bukan merupakan hasil variabel-variabel perancu (confounding variables). Berdasarkan data baru yang dihasilkan dari riset lainnya, Barker memperluas hipotesisnya dengan membuat perbedaan yang lebih spesifik efek kompromi pertumbuhan fetus pada berbagai periode gestasi. Menurut Barker, kompromi pertumbuhan fetus pada trimester pertama kehamilan menghasilkan stroke hemoragis via peningkatan tekanan darah; pada trimester kedua menghasilkan penyakit jantung koroner (PJK) via resistensi atau defisiensi insulin; pada trimester ketiga menghasilkan PJK dan stroke trombosis via resistensi atau defisiensi hormon pertumbuhan (Godfrey KM and Barker DJ, 2001).Barker (2007), dalam teori developmental origins of health and disease (DOHaD), membuktikan bahwa penyakit jantung koroner, diabetes tipe 2, dan hipertensi berhubungan dengan berat lahir rendah akibat kekurangan gizi selama kehamilan. Berat badan lahir rendah berhubungan dengan peningkatan terjadinya penyakit jantung koroner dan berhubungan dengan gangguan stroke, hipertensi, dan diabetes tipe 2. Hubungan ini ditemukan pada berbagai penelitian pada berbagai negara. Pada bayi dengan berat lahir yang rendah, selama di dalam kandungan, pemenuhan kebutuhan zat gizinya tidak diterima secara optimal karena kondisi dari ibu hamil yang juga kekurangan zat gizi sehingga tidak dapat menyalurkan zat-zat gizi ke janin melalui plasenta selama masa kehamilan. Komposisi tubuh ibu dan keseimbangan dietnya selama masa hamil terkait perkembangan janin dan penyakit kardiovaskuler dikemudian hari terdapat suatu keterkaitan (Godfrey KM and Barker DJ, 2001).

Gambar III.2. Representasi diagram dari Thrifty Phenotype hypothesis (Hales CN & Barker DJP, 2001)

Gambar di atas menunjukkan representasi diagram dari Thrifty Phenotype hypothesis. Unsur utama yang berperan adalah gizi dari janin yang akan mempengaruhi proses-proses berikutnya. Secara global, faktor yang paling penting dalam mempengaruhi kekurangan gizi pada awal kehidupan adalah kekurangan gizi ibu hamil. Keadaan kesehatan ibu dan plasentanya juga ikut berpengaruh. Bayi dengan keadaan gizi buruk atau berat badan yang rendah pada umur di bawah satu tahun beresiko untuk intoleransi glukosa, malfungsi oragan-organ tubuh (misalnya hati), dan hipertensi yang mana pada keadaan ini bisa menyebabkan terjadinya sindrom metabolik di kemudian hari (Hales CN & Barker DJP, 2001).

C. Kerangka Teori

Brain DevelopmentGrowth muscle/boneWeight & HeightBody composition Metabolic Programming CHO, Lipids, Proteins, Hormone, Receptor, Gene Short TermCognitif capacity & EducationCultureImmunity LocomotionWork capacity Fuel to support brain activityEnergy stores for survival feast/famineInsulin Resistance Long TermGENESFetal & Infant NutritionInfection & Other Epigenetic FactorsSchool failurePoor educationLower incomeInfectionStuntingLower incomeObesityDiabetesCoronary HDHigh BP/StrokeCancerAge related functional lossTerdapat bukti yang mengatakan bahwa gizi kurang, obesitas, dan penyakit tidak menular memiliki hubungan atau keterkaitan secara kompleks. Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dari seorang ibu atau pada masa bayi dari seorang anak dapat menjadi predisposisi atau terjadinya peningkatan resiko untuk terjadinya obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes, sindrom metabolik, dan kardiovaskuler di kemudian hari apabila terlebih jika ada perilaku diet yang tidak sehat dan aktifitas fisik yang rendah (Uauy R, et al. 2011).

Gambar III.3. Konsekuensi Jangka Pendek dan Panjang dari Kondisi Gizi-Gen-Lingkungan pada Awal Kehidupan dan Efek Sosial Ekonomi (Uauy R, et al. 2011)

Skema di atas menggambarkan bagaimana gizi, gen, dan lingkungan dapat memberikan efek jangka pendek dan jangka penjang pada kualitas kesehatan seseorang, bahkan dapat pula mempengaruhi kualitas sosial ekonomi. Tiga faktor seperti gizi, gen dan lingkungan saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini memberikan efek jangka pendek pada perkembangan otak anak; pertumbuhan otot & tulang (sehingga juga mempengaruhi berat badan dan panjang badan); komposisi tubuhnya; proses metobolisme dalam tubuh yang berhubungan dengan karbohidrat, lemak, protein, hormon, reseptor, dan gen. Dan efek jangka panjang yang ikut terpengaruh akan hal ini adalah 1) kognitif (pendidikan) dan budaya yang berdampak pada kegagalan mengenyam pendidikan dan pendapatan; 2) penyakit infeksi dan kependekan karena imunitas yang lemah; 3) pendapatan yang rendah akibat kemampuan bekerja yang kurang; dan 4) beberapa penyakit tidak menular (PTM) yang beresiko akibat proses metabolisme dalam tubuh yang terganggu seperti diabetes, hipertensi, obesitas, kardiovaskuler, dan kanker. Gizi merupakan salah satu faktor yang dapat diperbaiki untuk mencegah rangakaian efek negatif yang ditimbulkan baik pada jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Gizi merupakan unsur yang penting dalam rangkaian itu, dalam Lancets Series oleh Black JR, sekitar 3,6 juta ibu dan anak meninggal yang diakibatkan oleh kekurangan gizi. Sekitar lima juta anak lahir di Indonesia setiap tahunnya. Asupan makanan, pola asuh dan kesehatan yang diperoleh ibu dan anak-anaknya memiliki dampak besar bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka di masa mendatang. Masalah kurang gizi, termasuk stunting atau pendek, kurus, dan kekurangan gizi mikro dapat menyebabkan kerusakan yang permanen (Horton R & Lo S dalam Lancets Series, 2013). Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan berbagai zat gizi penting untuk tumbuh kembangnya, untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya, serta untuk perkembangan otak yang optimum (Bappenas & Unicef, 2013). Bukti yang disajikan dalam Lancets Series (2013): Series on Maternal and Child Nutrition, menyatakan bahwa gizi ibu selama masa remajanya dan kesehatan ibu yang baik dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dan pertumbuhan janinnya kelak karena terhambatnya pertumbuhan janin merupakan penyebab dari 800.000 kematian pada bulan pertama kehidupan setiap tahun, lebih dari seperempat dari semua kematian neonatal. Dan bayi yang lahir dengan pertumbuhan janin yang terhambat sewaktu di dalam kandungan memiliki peningkatan resiko untuk stunting pada usia 24 bulan. Dampak buruk yang lain yaitu perempuan yang mengalami stunting pada masa kanak-kanaknya, kelak akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah pula (Victoria, 2008 dalam Thaha, 2013).Anak-anak yang mengalami gangguan pertumbuhan tinggi badan/panjang badan serta pertumbuhan berat badan yang terlambat, berhubungan dengan adanya tekanan darah tinggi, diabetes, kardiovaskuler, serta penyakit metabolik. Dan tak ada data yang membuktikan kalau pertumbuhan berat badan atau panjang badan yang cepat selama dua tahun pertama itu meningkatkan resiko penyakit kronik. Dukungan dari gizi yang baik pada ibu hamil dan bayi dapat menurunkan resiko insidensi penyakit kronik (Lancets Series, 2008). Dari segala permasalah yang terjadi pada ibu hami dan anak bayi mendorong munculnya gerakan global di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB sebagai respon negara-negara di dunia terhadap kondisi status pangan dan gizi di sebagian besar negara berkembang akibat lambat dan tidak meratanya pencapaian sasaran Tujuan Pembangunan Milenium/MDGs (Goal 1). Gerakan ini bertujuan meningkatkan penanganan masalah gizi, dengan fokus pada 1000 hari pertama kehidupan yaitu janin dalam kandungan, bayi dan anak usia 6 23 bulan, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui. Gerakan ini disebut Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi atau Scaling Up Nutrition (SUN) Movement.Kemiskinan dan penyakit tidak menular memiliki keterkaitan, menurut WHO (2010), PTM dapat berkontribusi akan kejadian kemiskinan begitu pun sebaliknya.

Gambar III.4. Kemiskinan dan PTM yang saling berkontribusi (WHO, 2010)

Kemiskinan dengan rendahnya pendapatan dapat meningkatkan keterpaparan terhadap empat faktor resiko penyakit tidak menular seperti diet yang tidak sehat, aktifitas fisik yang rendah, merokok, dan konsumsi alkohol. Dan bila telah terkena penyakit tidak menular ini maka akan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, meskipun biaya kesehatan (berobat) itu gratis tapi penderita akan mengeluarkan biaya yang lain seperti biaya transportasi ke tempat pelayanan kesehatan. Penderita yang terkena PTM juga akan memiliki keterbatasan dalam bekerja sehingga pendapatannya juga akan berkurang. Kelompok rentan dalam hal ini masyarakat dengan tingkat pendidikan, yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan peri laku mereka, terutama dengan pemahaman bahaya merokok. Selain itu tingkat ekonomi keluarga terutama keluarga miskin, keterikatan pengeluaran rumah tangga untuk belanja rokok akan mempengaruhi prioritas belanja rumah tangga terhadap kebutuhan pokok lainnya. Tantangan lain yang dihadapi adalah adanya kecenderungan meningkatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan bertambahnya kelompok usia lanjut (ageing) yang akan menyebabkan beban pembiayaan kesehatan semakin meningkat. Sementara itu penderita penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah tidak lagi mengenal kelompok status sosial ekonomi masyarakat. Tidak sedikit penderita penyakit jantung dan pembuluh darah yang justru datang dari kalangan sosial ekonomi menengah kebawah, yang tergolong masyarakat miskin, tidak mampu dan kurang mampu yang kemungkinan diakibatkan perubahan gaya hidup yang tidak sehat dan meningkatnya faktor risiko penyakit tidak menular.

BAB IVDISKUSI

Terdapat perbedaan akan faktor penting yaitu genetik, gizi, dan lingkungan yang mempengaruhi atau menentukan pertumbuhan janin dan pada saat bayi tersebut mencapai dewasa dalam hubungannya dengan diabetes tipe 2, sindrom metabolik atau penyakit tidak menular lainnya. Studi pada anak yang kembar identik menunjukkan secara meyakinkan bahwa lingkungan janin adalah penting. Ada kebutuhan besar untuk penanda molekuler pemrograman metabolisme dalam kehidupan janin. Ketika ini tersedia, akan lebih mudah untuk memantau pada tahap awal keberhasilan studi intervensi. Thrifty Phenotype hypothesis akan mampu menyediakan kerangka kerja konseptual yang berguna di mana untuk merancang dan menafsirkan studi yang dilakukan pada hewan uji maupun manusia (Hales CN & Barker DJP, 2001). Pada bayi dengan berat lahir yang rendah, selama di dalam kandungan, pemenuhan kebutuhan zat gizinya tidak diterima secara optimal karena kondisi dari ibu hamil yang juga kekurangan zat gizi sehingga tidak dapat menyalurkan zat-zat gizi ke janin melalui plasenta selama masa kehamilan. Komposisi tubuh ibu dan keseimbangan dietnya selama masa hamil terkait perkembangan janin dan penyakit kardiovaskuler dikemudian hari terdapat suatu keterkaitan. Berkurangnya pertumbuhan fetus berhubungan kuat dengan terjadinya beberapa penyakit degeneratif kronis di usia dewasa, khususnya penyakit jantung koroner (PJK), stroke, diabetes melitus (DM), hipertensi, dan COPD (PPOK) (Godfrey KM and Barker DJ, 2001).

BAB VPENUTUP

1. Kesimpulan a. Prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U