Makalah Psipatologi - Elimination & Eating Disorder-Final

download Makalah Psipatologi - Elimination & Eating Disorder-Final

of 27

Transcript of Makalah Psipatologi - Elimination & Eating Disorder-Final

TUGAS KELOMPOK Psikopatologi Anak

Eating Disorder & Elimination Disorder

DISUSUN OLEH : Sagita Sun Servanda S. Okky Wahyu. 0706208866 0606052406

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK MARET 2011

BAB I PENDAHULUAN I.1 Ilustrasi Kasus Khairul Fuadi, anak berusia enam tahun mempunyai kebiasaan unik yakni meminum bensin. Kebiasaan ini sudah dijalaninya sejak ia berusia satu tahun. Setiap hari, Jesen, bocah yang belum sekolah itu bisa mengabiskan dua hingga tiga liter bensin. Rasanya seger dan enak, kata Jesen di kediamannya di Desa Pujodadi, Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Saat Di Temui Pakar Lampung Rabu (28/04). Kemana pun bocah kurus dan berambut bak serabut jagung itu selalu menenteng jerigen berisi bensin. Mulut dan hidungnya selalu menempel ke lubang jerigen untuk sekedar menghirup aroma atau menyeruput bensin layaknya minum air. Dia mengaku pusing jika tidak menghirup aroma bensin. Kebiasaan meminum bensing itu, kata Indah Mylana, 33 tahun, orang tua Jesen, bermula saat masih berusia satu tahun. Saat itu, Jesen yang sering tinggal di kios bensin miliknya. Saat itu secara diam-diam ia menghirup dan meminum bensin. Tahu-tahu sudah satu jerigen bensin diminum. Sejak saat itu tidak bisa dipisahkan dari jerigen bensin, katanya. Indah mengaku sudah kerap melarang anaknya meminum bensin. Berbagai cara telah diupayakan agar kebiasaan buruk anaknya itu berhenti seperti diterapi dengan pengobatan alternatif, menyembunyikan semua jerigen berisi bensin dan mengganti bensin dengan air. Saya pernah berhenti sama sekali berjualan bensin. Anak itu malah mencari di kios lain, ujarnya. Akibat meminum bensin itu pertumbuhan tubuh Jesen terlihat kalah dibanding anak seusianya. Tubuhnya tampak mungil, rambutnya kusam dan tatap matanya sayu. Dia juga sering batuk, pilek dan mencret, katanya. Saat Di temui Pakar Lampung Dokter Pusat Kesehatan Masyarakat Pardasuka, Arabiyanto, mengatakan meski kesehatan Jesen sedikit terganggu tapi belum sampai pada tahap membahayakan jiwanya. Dia berharap orang tuanya aktif memeriksakan kesehatan Jesen ke dokter. Sudah pasti ada pengaruh terhadap kesehatan anak itu. Harus sering dipantau agar kadar zat berbahaya dalam bensin bisa diketahui, katanya. Sumber : http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/04/28/16436/Bocah-EnamTahun-Hobi-Minum-Bensin/ diakses pada 2 maret 2011 Pk. 11.00

2

I.2 Latar Belakang Eating disorder dan elimination disorder pada bayi dan anak-anak adalah gangguan yang tidak terdeteksi oleh orang tua sebelum gangguan tersebut menunjukan dampak yang serius. Pada berbagai literatur disebutkan bahwa hal ini terjadi karena gejala yang terlihat seringkali dianggap sebagai tingkah laku yang wajar. Untuk gangguan makan (eating disorder) beberapa hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut : Di Amerika, diperkirakan bahwa 25% anak-anak dengan kondisi perkembangan normal mengalami masalah dan gangguan makan, dan jumlah ini meningkat menjadi 35% pada populasi anak dengan masalah perkembangan seperti lahir prematur atau mengalami deficit tertentu. Berdasarkan laporan dari dokter anak di rumah sakit umum, tercatat 5-10% yang mengalami gangguan anak yang parah pada akhirnya benar-benar menolak untuk makan, yang kemudian menyebabkan anak mengalami gangguan yang lebih serius seperti failure to thrive (FTT) (Sacrato et al, 2010). Di Indonesia, berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah berhasil diturunkan dari 35,57 persen tahun 1992 menjadi 24,66 persen pada tahun 2000. Meskipun demikian angka ini diharapkan agar dapat terus mengecil (http://gizi.net). Sedangkan untuk elimination disorder umumnya dikenali sebagai kebiasaan mengompol. Sebuah artikel di media internet tertulis sebagai berikut : Mungkin kita semua sudah tahu arti kata 'ngompol'; yaitu keluarnya air kencing tanpa disadari saat tidur di malam hari. Kebiasaan ini sering dipandang negatif, padahal pada usia tertentu, ngompol masih dianggap normaldianggap sebagai kebiasaan negatif, padahal pada usia tertentu, ngompol masih dianggap normal. Di usia 1 2 tahun, kandung kencing mulai membesar dan anak mulai merasakan sensasi penuh pada kandung kencingnya. Di usia 2 3 tahun, anak mulai 'kering' di siang hari. Di usia 4 5 tahun, anak mulai dapat mengontrol kencingnya seperti halnya orang dewasa, dan mulai tidak ngompol lagi. Sebagian besar anak wanita mulai betul-betul tidak ngompol di usia 6 tahun, sedangkan anak laki-laki di usia 7 tahun (http://www.wartamedika.com/2008/07/ngompol-normalkah.html). Miripnya gangguan ini dengan kebiasaan umum yang dialami oleh anak membuat gangguan ini sulit dikenali dan lebih jauh lagi, mendapat penanganan dengan tepat. Ondersma, Ondersma, dan Walker (2001, dalam Haugaard, 2008) mengatakan bahwa konsekuensi dari anak-anak yang didiagnosa elimination disorder dapat berdampak pada self- esteem anak,3

frustasi, dan kemarahan serta mungkin dapat berpengaruh terhadap perkembangan anxiety disorder, depressive disorder, atau conduct disorder. Begitu dekatnya eating disorder dan elimination disorder dengan tingkah laku yang umum ditemui setiap hari mempersulit pemberian intervensi dan penanganan bagi bayi dan anak yang mengalaminya, seringkali mereka sudah berada pada kondisi yang memprihatinkan (kekurangan gizi akut, dll). Oleh karena itu pemahaman yang lebih baik tentang definisi, kriteria diagnostik, etiologi atau faktor penyebab, prevalensi dan penanganan yang sesuai dengan bayi dan yang mengalami eating disorder yakni pica, picky eater, dan rumination, juga elimination disorder yakni encopresis dan enursis sangat penting agar membantu pencegahan dan penanganan kedua gangguan ini. I.3 Tujuan Mengetahui definisi, kriteria diagnostik, etiologi atau faktor penyebab, prevalensi dan penanganan yang sesuai dengan bayi dan anak yang mengalami eating disorder yakni pica, picky eater, dan rumination, juga elimination disorder yakni encopresis dan enursis. I.4 Manfaat Menambah informasi serta pengetahuan yang tepat mengenai anak dengan gangguan eating disorder yakni pica, picky eater, dan rumination, juga elimination disorder yakni encopresis dan enursis.

4

BAB II ISI

II.1 Feeding & Eating Disorder Gangguan makan (feeding dan eating disorder) merupakan salah satu bentuk masalah yang pasti pernah dialami oleh bayi dan balita. Penyebab dari gangguan makan ini belum diketahui dengan jelas, namun diduga terkait dengan berbagai faktor biologik, genetik dan psikososial. Kebiasaan anak memasukan makanan dan atau benda lain kedalam mulut menjadi salah satu sebab mengapa gangguan makan menjadi sulit dideteksi sejak dini. Akan tetapi apabila tidak ditangani dengan baik, gangguan ini juga sangat mungkin memiliki dampak jangka panjang yang serius pada anak. Oleh karenanya orang tua diharapkan agar lebih teliti dan meningkatkan sensitifitasnya pada proses pemberian makan pada anak sejak sedini mungkin. II.1.1 Definisi & Gambaran umum Feeding disorder pada bayi dan balita memiliki karakteristik hilang atau menurunnya berat badan dalam jumlah besar secara tiba-tiba pada bayi dan balita dibawah usia 6 tahun disertai dengan melambat atau terganggunya perkembangan sosial dan emosional pada anak tersebut. (Mash & Wolve, 2010. p. 406). Secara umum bayi dengan gangguan makan (feeding disorders) akan lebih mudah marah/terganggu dan sulit ditenangkan selama pemberian makan. Mereka juga lebih sering tampil apatis dan menarik diri, juga terlihat mengalami keterlambatan perkembangan. Bentuk interaksi antara orang tua dan anak juga berkontribusi memperparah gangguan ini antara lain : (1) pemberian makanan yang tidak layak, (2) reaksi yang kurang layak orang tua terhadap penolakan pada makanan (Katz, 2010). Prevalensi & Etiologi Onset dari feeding disorder dimulai pada usia dua (2) tahun pertama. Karena muncul di usia yang sangat muda gangguan ini mengakibatkan bayi mengalami malnutrisi, yang pada akhirnya juga menyebabkan masalah pada tahapan perkembangan selanjutnya. Salah satu gangguan perkembangan yang diasosiasikan terjadi karena5

malnutrisi sebagai dampak dari feeding disorder adalah Failure to Thrive (FTT). Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab dari feeding disorder. Seringkali gangguan ini coba dijelaskan melalui perspektif biologis dan perspektif psikososial. Gangguan ini juga diasosiasikan dengan kemiskinan, masalah kesehatan mental orang tua, isolasi sosial, masalah keluarga, orang tua yang tidak bekerja, dan lain sebagainya. Sehingga kesimpulan sementara untuk gangguan ini adalah : disebabkan oleh interaksi dari banyak faktor resiko yang mempengaruhi bagaimana anak beradaptasi dengan level kebutuhan kalori, dan apakah anak memiliki perkembangan yang normal atau abnormal. II.1.2 Jenis-jenis Feeding & Eating Disorder Setidaknya ada 3 jenis gangguan makan yang secara umum terjadi pada tahap perkembangan bayi, balita dan masa awal usia anak-anak (early childhood) yakni pica, picky eater, dan rumination. Penjelasan dari ketiganya adalah sebagai berikut : A. Pica Pica didefinisikan sebagai tingkah laku mencerna makanan atau zat-zat lain yang tidak lazim untuk dimakan seperti rambut, serangga, potongan dari cat dinding yang sudah mengelupas, dll. Terutama terjadi pada anak-anak yang sangat muda dan anak dengan retardasi mental (Mash&Wolfe, 2010). Akan tetapi pada individu dengan usia remaja sebelum

inteligensi terbatas pica menjadi mungkin dialami sampai kemudian menghilang secara bertahap.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, sesuai dengan tahapan perkembangannya bayi dan balita seringkali memasukan benda-benda ke dalam mulut mereka sebagai cara yang mereka gunakan untuk mengekplorasi keadaan lingkungannya, akan tetapi apabila tidak mendapat pengawasan yang dibutuhkan tingkah laku ini bisa mengarah kepada gangguan. Sebelum usia 18-24 bulan, perilaku memasukan benda ke mulut dan kadangkadang memakannya adalah hal relatif biasa dan tidak berdampak pada adanya Pica. Diagnosis pica hanya diberikan apabila perilaku tersebut dilakukan secara terus menerus (selama 1 bulan) dan dianggap tidak tepat mengingat tahap perkembangan individu seharusnya. Perilaku ini juga sering muncul pada individu dengan gangguan mental lain (contoh: pada PPD, Skizofrenia sebagai hasil dari delusi, dan pada sindrom Klein-Levin).6

Pica dapat dipisahkan dari gangguan makan lain (contoh: rumination, feeding disorder of incfancy/ early childhood, anoreksia, dan bulimia) dengan memfokuskan kepada pengkonsumsian zat non-nutritif. Etiologi Tidak ada penyebab tunggal yang ditemukan dari gangguan ini. Pica dapat muncul pada dua tahun pertama kehidupan, bahkan pada anak-anak normal. Yang membedakan antara anak anak normal dan anak anak yang memang memiliki gangguan adalah kurangnya stimulasi dari lingkungan tempat tinggal dan pengawasan yang mereka dapatkan. Karena adanya kemungkinan yang berujung pada keracunan dan gangguan pencernaan, pica merupakan masalah serius dan perlu menjadi perhatian pada bayi dan anak-anak (Lindscheid & Murphy, 1999; Woolston, 1991). Peneliti juga menduga dan pada beberapa kasus memang ditemukan kekurangan vitamin atau mineral pada penderita pica, meskipun tidak ditemukan secara langsung adanya kelainan biologis yang berkaitan dengan pica (Vyas & Chandra, 1984). Studi kasus individual menemukan cara penanganan yang efektif dengan menggunakan suplemen vitamin (Pace & Toyer, 2000). Tidak ada bukti yang ditemukan, selain pada kasus keterbelakangan mental, bahwa faktor genetik memiliki peran penting dalam menjadi penyebab dari gangguan ini. adanya gangguan ini (pica) pada masa kanak-kanak merupakan faktor resiko untuk adanya gangguan makan bulimia pada masa remaja. Prevalensi & Perkembangan : Pica banyak dialami oleh anak dan dewasa yang berada dalam pengawasan institusi / lembaga pemasyarakatan, terutama pada penderita cacat dan retardasi mental. Pada anak dan dewasa dengan keterbatasan fungsi inteligensi prevalensi PICA berkisar antara 0,3% - 14,4% di komunitas dan 9%-25% di lembaga / institusi pemasyarakatan (Ali, 2001, dalam Mash & Wolfe, 2010 :407). Derajat keparahan seringkali terkait dengan derajat minimnya hak seseorang dalam lingkungan dan retardasi mental Pica memiliki onset pada saat bayi, dan meskipun anak-anak dengan Pica juga tertarik memakan makanan yang biasa, mereka tetap saja memakan sesuatu yang bukan7

untuk dimakan, atau bahkan berbahaya bagi tubuh. Pada kebanyakan kasus, gangguan muncul dan bertahan selama beberapa bulan dan kemudian berkurang. Hal tersebut kadang-kadang dapat berlanjut hingga remaja atau (lebih jarang) hingga dewasa. Pada individu dengan keterbelakangan mental, perilaku mungkin berkurang pada saat dewasa. Pica sering diasosiasikan dengan MR dan PPD. Meskipun kekurangan vitamin atau mineral sudah dilaporkan pada kasus-kasus yang ditemukan, biasanya tidak ditemukan ada kelainan biologis yang spesifik. Pada beberapa kasus, pica menjadi perhatian klinis karena adanya komplikasi medis (contoh: keracunan timbal yang disebabkan karena menelan cat, obstruksi dan perforasi usus, atau infeksi seperti toxoplasmosis dan toxocariasis yang disebabkan feces dan tanah). Kemiskinan, kurangnya perhatian serta pengawasan, dan keterlambatan perkembangan meningkatkan resiko dari kondisi ini. Pada budaya tertentu, memakan tanah atau yang zat lain yang kelihatannya non-nutritive, diyakini sebagai suatu nilai. Pica lebih sering ditemukan pada anak-anak dan kadang juga pada wanita hamil. Kriteria Diagnostik : Menurut DSM IV-TR kriteria diagnosa untuk pica adalah sebagai berikut : A. Memakan satu atau lebih zat non-nutritif secara terus menerus paling sedikit selama satu bulan (kriteria A). Zat non-nutritif yang dimakan cenderung berbeda pada tiap usia. Bayi dan anak-anak biasanya memakan cat, plester, benang, rambut, atau kain. Pada anak yang lebih tua, mereka serangga, daun, dan kerikil. Remaja dan orang dewasa biasanya memakan lilin dan tanah. Mereka tidak memiliki rasa jijik terhadap hal-hal tersebut (kriteria C) (kriteria D). B. Perilaku ini harus tidak sesuai dengan tahap perkembangan normal C. Bukan merupakan bagian dari praktik sanksi budaya D. Perilaku memakan zat non-nutritif ini juga diasosiasikan sebagai ciri dari gangguan mental lain, misalnya PPD dan MR. Jika perilaku makan seperti ini muncul secara8

memakan kotoran hewan, pasir,

eksklusif bersama gangguan mental lain, maka diagnosis terpisah pica harus dilakukan hanya jika perilaku ini cukup parah dan memerlukan perhatian klinis khusus

Selain mengikuti klasifikasi DSM IV-TR diagnosa juga dilakukan dengan menggunakan peralatan medis dengan cara : (1) Cek darah di laboratorium, (2) Imaging Studies, yaitu dengan menggunakan : (a) Sinar X pada bagian perut, (b) Pemeriksaan menggunakan barium untuk mengecek jalur gastrointestinal (GI) dari yang teratas hingga akhir, (c) Endoskopi pada bagian atas gastrointestinal (GI), untuk mendiagnosis adanya pembentukan bezoar (massa padat yang dibentuk di dalam perut) atau mengidentifikasi adanya kemungkinan luka-luka di dalam saluran pencernaan (sumber

:http://www.minddisorders.com/Ob-Ps/Pica.html). Gejala & Simtom : Beberapa gejala atau simtom yang sering muncul pada penderita gangguan ini adalah : 1. Sakit pada lambung dan sesekali terjadi pendarahan yang dikarenakan memakan pasir atau tanah. 2. Ratanya gigi yang disebabkan oleh mengunyah es batu. 3. Konstipasi atau sembelit yang disebabkan memakan tanah liat atau tanah lempung. 4. Menelan benda-benda logam yang dapat menyebabkan lubang-lubang kecil pada organ perut. 5. Memakan kotoran dari binatang yang dapat menyebabkan anak terinfeksi wabah, seperti toxocariasis, toxoplasmosis, dan trichuriasis. 6. Kerusakan ginjal yang disebabkan karena mengkonsumsi timah. (http://www.minddisorders.com/Ob-Ps/Pica.html)

Penanganan & Intervensi : Secara umum bentuk intervensi bagi anak dengan gangguan ini dapat dilakukan dengan prosedur operant conditioning, yakni pemberian reinforcement pada anak untuk menampilkan prilaku yang sesuai contoh : exploring the room, playing with objects, positive form of attention (Linscheid, 2006, dalam Mash&Wolfe, 2010 : 408).

9

Pengasuh diharapkan dapat memunculkan tingkah laku yang dapat memberikan reinforce kepada anak untuk perilaku yang diinginkan (memakan makanan yang layak makan / tidak memakan zat lain), seperti menjelajahi ruangan atau bermain dengan benda. Memberikan bentuk perhatian positif yang diberikan kepada anak (tersenyum, tertawa, saling mengelitiki), dan memberikan stimulasi tambahan yang sangat bermanfaat, karena pica ini biasanya berhubungan dengan kurangnya perhatian yang diberikan oleh pengasuh. B. Picky Eater Hampir sebanyak 1-3 anak kecil usia di bawah 10 tahun dinyatakan sebagai picky eaters oleh ibunya. Definisi yang tercatatPicky eating is more common among girls than boy (Rydell & Dahl, 2005; Marchi & Cohen, 1990 dalam Mash & Wolve, 2010).

Sementara menurut Jacobi, dkk (2004) , tingkah laku ini belum terlihat hubungannya dengan gangguan makan pada remaja atau individu dewasa

but in relationship to the emerge of eating disorder during adolescence or adulthood is unclear (Jacobi, Hayward, de Zwaan, Kraemer, & Agras, 2004).

Picky eater adalah bentuk gangguan makan (eating disorder) dimana anak memunculkan tingkah laku memilih-milih makanan dan atau hanya mau mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Sangat sulit untuk menegakan diagnosa picky, karena sulit membatasi kapan tingkah laku ini sudah merupakan gangguan (disorder). Cara berpikir orang tua yang menganggap anak belum terbiasa atau sulit beradaptasi dengan jenis makanan baru memperkuat munculnya gangguan ini, oleh karenanya definisi yang paling sesuai dengan gangguan ini adalah ketidakinginan memakan makanan yang familiar ataupun baru, dan kondisi ini sudah cukup parah sehingga mengganggu pola keseharian sehingga mengakibatkan masalah bagi orang tua, anak, dan hubungan antara keduanya (Lumeng, 2010 dalam Zuckerman et al, 2010) Anak dengan gangguan makan ini seringkali memuntahkan atau menyemburnyemburkan makanan yang sudah masuk di mulutnya, makan berlama-lama (dikemot)10

dan memainkan makanan. Beberapa ciri anak yang menderita picky eater antara lain adalah : 1. Sulit mengunyah dan menelan makanan. Hanya bisa 2. Mengonsumsi makanan lunak atau cair. 3. Makanan yang sudah masuk mulut, disemburkan. 4. Saat makan, dia malah menutup mulut rapat-rapat. 5. Makanan masuk ke mulutnya. Bila dipaksa mengunyah malah mengamuk. 6. Makanan yang diberikan/disuapkan ke mulutnya ditepis. 7. Makanan dibiarkan masuk ke mulut tetapi dimuntahkan. 8. Pilih-pilih, atau hanya mau makan makanan yang disukainya, biasanya menolak sayur-sayuran dan atau makanan yang bergizi baik. Prevelansi dan Perkembangan Berdasarkan data pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zukerman parker, menujukan sebanyak 36% anak pada usia toddlers dikategorikan sebagai pemilih dalam hal makanan yang dikonsumsinya atau disebut picky eaters. Sebagai tambahan, sebanyak 54% anak dilaporkan tidak selalu lapar pada waktu makan, 33% terlihat tidak menikmati selama waktu makan, 34% memiliki nafsu makan yang kuat, 26% seringkali menolak untuk makan, 21% meminta makanan tertentu dan kemudian menolak makanan tersebut, dan 42% mencoba memuntahkan makan setelah beberapa gigitan. Sedikitnya dua hingga tiga orang tua melaporkan satu atau lebih masalah ketika makan di usia balita. Anak yang mengalami picky eater cenderung memiliki tempramen yang negatif dan secara konsisten menampilkan prilaku tertentu seperti pemalu dan mudah cemas. Para orang tua dengan anak yang mengalami gangguan ini melaporkan mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sebagai orang tua dan anak. Makanan yang paling umum mereka tolak adalah sayuran, dan picky eater memiliki pengurangan dalam variasi makanan, namun tidak ada perbedaan yang berarti terhadap keseluruhan nutrisi yang mereka dapatkan Pada umumnya, picky eating meningkat pada fase infancy dan toddlerhood, di 19% pada usia 4-6 bulan hingga 50% pada usia 19-24 bulan. Terdapat kelanjutan yang signifikan pada pickyness di sepanjang usia tersebut. Pickiness terlihat berlanjut dan11

meningkat hingga usia 3 tahun, namun setelahnya terlihat menurun sekitar 20% di usia 8 tahun. Jika anak masih dikategorikan sebagai picky setelah usia 8-9 tahun, mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi picky sampai seumur hidupnya. Terdapat periode kritis dimana anak akan memunculkan tingkah laku expand the repertoire makanan yang disukai hingga menginjak usia 4 tahun. Setelah usia 4 tahun, orangtua melanjutkan untuk memperkenalkan makan baru, namun makanan baru yang diperkenalkan oleh orang tuanya utuk mereka coba agar menyukai tidak berlanjutan dan mengalami peningkatan seperti usia sebelum 4 tahun. Etiologi Gangguan ini sangat umum terjadi pada balita dan bertahan selama usia kanakkanak. Gangguan makan jenis ini seringkali disebabkan oleh adanya masalah pada

kondisi fisik anak yang pada awalnya tidak disadari oleh orang tua seperti misalnya alergi pada jenis makanan tertentu, kondisi kesehatan yang menurun (flu, batuk, pilek, panas, diare, dll), dan gangguan pencernaan. Selain itu seperti jenis gangguan makan lainnya anak picky eater juga seringkali disebabkan oleh adanya gangguan psikologis seperti masalah kedekatan dengan orang tua, dll. Picky eater diasosiasikan dengan kondisi status ekonomi sosial atas, keluarga dengan sedikit anak, sementara anak yang mengkonsumsi ASI, dan memiliki Ibu yang mengkonsumsi lebih banyak sayur dan buah-buahan lebih sedikit memunculkan tingkah laku picky. Pada remaja atau individu dewasa tercatat bahwa penolakan terhadap atau memilih-milih makanan karena (1) tidak menyukai karakteristik sensorinya (rasa dan tampilannya), (2) Takut pada konsekuensi negative yang menyertai proses makan seperti sakit perut, dll (Lumeng, 2010 dalam Zuckerman et al, 2010).

12

C. Eating Rumination. Definisi Rumination adalah bentuk kelainan pada pola makan yang pada umumnya menyerang bayi dan orang yang mengalami keterbelakangan mental/ mental retardation. Kelainan ini ditandai dengan dimuntahkannya makanan dengan sengaja (voluntary regurgitation), kemudian pengunyahan dan penelanan kembali. Dan pada proses tersebut anak terlihat menikmati proses tersebut. Anak dapat mengalami kekurangan gizi karena hilangnya sejumlah porsi makan yang terbuang akibat kelainan rumination ini. Kematian yang disebabkan oleh kekurangan gizi akibat rumination tercatat sebanyak 12-20% dari kasus yang tercatat dan yang terlaporkan.

Etiologi Penyebab dari gangguan ini dinilai beragam, perspektif biologis menyatakan bahwa gangguan ini disebabkan oleh terjadinya disfungsi saraf otonom pada anak. Sejumlah besar anak-bayi yang dilaporkan menderita gangguan rumination juga menderita gastroesphageal refluks dan hiatus hernia. Sementara perspektif psikososial menilai gangguan ini disebabkan karena adanya hubungan yang kurang hangat dari caregiver atau kurangnya perhatian dari caregiver bisa menyebabkan anak/bayi terlibat dalam aktivitas yang membuat dirinya nyaman (selfcomfort activity). Perilaku memuntahkan makanan lalu menelannya kembali dianggap sebagai hal yang memuaskan dan nyaman. Perilaku orangtua yang memegangi atau menenangkan anak saat ia memuntahkan makanan bisa dianggap sebagai satu bentuk attention atau reinforcement positif oleh bayi, akibatnya perilaku tersebut malah terus dilakukan oleh anak/bayiSudut pandang psikologis dan medis menekankan pentingnya interaksi antara learned behavior dan biologi.

13

Prevalensi & Perkembangan: Pria dilaporkan lebih banyak mengalami gangguan ini dibandingkan dengan wanita. Pada anak normal onset gangguan ini terjadi di usia 3-12 bulan, sedangkan pada individu penderita mental retardation (MR) onset gangguan ini dapat muncul pada individu dewasa (adulthood). Kasus ruminasi disebut sebagai kasus yang jarang terjadi dan hanya diketahui melalui laporan kasus dan studi kasus. Predisposisi dari gangguan ini adalah munculnya masalah psikososial, karena minim atau kurangnya stimulasi, pengabaian (neglect), situasi dan atau lingkungan hidup dengan tingkat strees yang tinggi, serta sering munculnya masalah pada hubungan antara anak dan orang tua. Meskipun demikian rumination biasanya menghilang dengan sendirinya.

Kriteria Diagnostik Kriteria diagnosa menurut DSM-IV TR adalah sebagai berikut : A. Muntah yang terjadi secara berulang-ulang dan dikunyah kembali makanan tersebut untuk jangka waktu selama minimal 1 bulan setelah periode fungsi normal B. Perilaku bukan karena terkait gastrointestinal atau kondisi medis umum C. Perilaku tidak terjadi pada penderita anorexia nervosa atau bulimia nervosa. Jika gejala muncul pada mental retardation dan pervasive development disorder maka diperlukan perhatian khusus klinis D. Gangguan makan terjadi akibat adanya kegagalan untuk makan yang cukup disertai adanya kegagalan yang signifikan pada kenaikan berat badan atau hilangnya berat badan selama satu bulan. E. Gangguan makan bukan disebabkan oleh keterbelakangan mental lainnya atau kurangnya makanan yang tersedia.

Intervensi / Penanganan : Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menangani gangguan ini antara lain adalah: (1) Mengganti atau melembutkan tekstur makanan dan meningkatkan kualitas makanan, (2) Menggunakan tindakan yang aversive jika cara di atas tidak efektif seperti memberikan perasan lemon pada mulut anak, (3) Mengubah posisi anak ketika makan14

dan sesudah makan (agar tak terjadi gastroesphageal reflux yang menyebabkan anak memuntahkan makanan), (4) Menggunakan reinforcement lain : mengabaikan rumination, (5) Mendorong interaksi lebih intens antara ibu dan anak ketika anak diberi makan, agar anak mendapat lebih banyak perhatian dan kasih sayang, (6) Mengalihkan perhatian anak ketika perilaku memuntahkan makanan akan muncul, (7) Psikoterapi untuk ibu & keluarga bisa membantu meningkatkan komunikasi dan menyampaikan kekecewaan kepada anak terhadap perilaku rumination-nya.

II.2 Elimination Disorder

Elimination disorder merupakan gangguan dimana anak-anak mempunyai masalah pergi ke kamar mandi baik buang air kecil dan buang air besar. Meskipun ini masalah yang terjadi pada anak-anak tetapi hal ini dapat menjadi masalah jika perilaku tersebut terjadi berulang kali lebih dari tiga bulan dan di alami oleh anak yang berumur lima tahun atau lebih. Terdapat dua tipe elimination disorder : 1. Enuresis Enuresis berasal dari bahasa yunani, yaitu ouresis yang berarti urination 2. Encopesis Encopresis berasal dari bahasa yunani, yaitu kopros yang berarti excrement

II.2.1 Jenis-jenis gangguan A. Enuresis Definisi Lebih sering disebut dengan mengompol. Enuresis adalah buang air kecil yang terjadi berulang di tempat yang tidak sesuai, pada usia dimana sebagian kebanyakan anak-anak lainnya sudah dapat belajar untuk buang air kecil di toilet (Hauggard, 2008). Kriteria Diagnosa Enuresis lebih sering terjadi pada anak-anak walaupun enuresis bisa terjadi juga pada orang dewasa. Menurut DSM-IV-TR anak-anak yang didiagnosis mengalami enuresis, harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

15

1. Berulang kali mengompol atau mengeluarkan urine di tempat tidur atau dipakaiannya baik yang disengaja atau tidak di sengaja 2. Anak harus mencapai usia atau perkembangan kronologis sedikitnya lima tahun 3. Peristiwa buang air kecil/ mengompol di tempat yang tidak sesuai ini, setidaknya terjadi dua kali seminggu selama tiga bulan, atau frekuensi buang air kecil yang tidak sesuai ini harus menyebabkan tekanan yang signifikan dan mengganggu anak sekolah atau kehidupan sosial 4. Perilaku ini bukan disebabkan obat yang berdampak fisiologis (seperti diuretic) atau kondisi medis umum (seperti diabetes, spina bifida, dll.) Macam Enuresis (APA, 2000, dalam Haugaard, 2008) Ada dua jenis enuresis pada anak-anak, yaitu: 1. Primary enuresis terjadi pada anak yang tidak mampu mengontol kandung kemihnya sejak anak lahir sampai dengan berusia 5-6 tahun. 2. Secondary enuresis terjadi ketika seseorang pernah bisa mengontrol kandung kemihnya atau, yang disebut dengan masa kering, selama periode enam bulan tetapi kemudian mendadak mengompol kembali. Macam Enuresis Menurut DSM-IV-TR (Haugaard, 2008) 1. Nocturnal only. Enuresis hanya terjadi pada malam hari. Nocturnal enuresis dapat digolongkan primer atau sekunder. Yang digolongkan primer adalah enuresis yang biasanya paling banyak terjadi. Biasanya karena kurangnya kontrol anak terhadap kandung kemih dari masa kanak-kanak. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang hanya mengompol pada saat malam hari, memiliki sistem saraf yang lambat untuk memproses perasaan bahwa kandung kemihnya penuh. Akibatnya, anak-anak ini tidak bangun tepat waktu untuk memulihkan diri. Dalam kasus lain, anak enuresis mungkin terkait dengan gangguan tidur. Sedangkan enuresis sekunder terjadi jika anak telah mengalami masa kering setidaknya selama enam bulan kemudian kembali mengompol lagi. Banyak penelitian menemukan enuresis sekunder lebih mungkin terjadi setelah anak mengalami peristiwa atau pengalaman kehidupan yang penuh stress seperti kelahiran saudara, perceraian atau kematian orang tua, pindah ke tempat baru, dan lain-lain.

16

2. Diurnal only. Enuresis hanya terjadi pada waktu siang hari. Terdapat dua kelompok yang termasuk diurnal only. Kelompok pertama, tampaknya mengalami kesulitan mengendalikan dorongan untuk buang air kecil. Kelompok kedua sadar akan penundaan dorongan buang air kecil yang dilakukan, sampai akhirnya mereka kehilangan kontrol. 3. Nocturnal dan diurnal. Enuresis terjadi pada waktu malam dan siang hari.

Karakteristik Gejala Enuresis Gejala enuresis tidak dapat di ketahui dengan jelas. Tetapi, terdapat beberapa gejala fisik dan psikologis. Fungsi fisologis Dalam Hauggard (2008), biasanya masalah yang terjadi adalah mengenai kapasistas fungsional kandung kemih, yaitu jumlah urine yang dapat ditampung sebelum anak buang air kecil. Anak-anak yang didiagnosis enuresis kapasitas fungsional kandung kemihnya lebih kecil di banding anak lain yang tidak didiagnosis enuresis. Selain itu, kapasitas fungsional kandung kemih anak yang didiagnosis nocturnal enuresis lebih kecil pada malam hari dibanding waktu siang hari (Haugaard, 2008). Tetapi, normalnya ini bukan disebabkan karena struktur fisik dari urinary system nya. Pola tidur anak juga berpengaruh terhadap kejadian mengompol yang sering dilakukan oleh anak terutama pada malam hari. Anak-anak yang lebih sulit bangun selama mereka tidur menyebabkan ketidakmampuan anak untuk sadar bahwa kapasitas fungsional kandung kemihnya sudah tercapai. Suatu penelitian menemukan anak yang didiagnosis enuresis dengan anak yang tidak didiagnosis enuresis lebih sulit dibangunkan ketika diberikan suara yang berisik 120 dB (Wolfish, Pivik and Busby, 1997, dalam Hauggard 2008) Kurangnya anginine vasopressin yang merupakan hormon antidiuretik (ADH) juga menyebabkan beberapa anak memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam berkonsentrasi mengontrol urin. Anak yang anginine

vasopressinnya lebih rendah lebih berisiko untuk mengompol di malam hari17

(Devid dkk., 1999, dalam Hauggard, 2008). Hormon ini membantu mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh. Fungsi Psikologis Banyak penelitian yang mengatakan anak yang didiagnosis enuresis memiliki pengalaman stress yang lebih tinggi dibanding anak yang tidak mengalami enuresis. Tetapi, banyak penelitian juga menyebutkan bahwananak yang didiagnosis enuresis memiliki distress yang kecil bahkan juga tidak merasakan distress sama sekali. Jadi Hauggard (2008) menyimpulkan, sebagian anak yang memiliki pengalaman enuresis mengalami kesulitan psikologis tetapi sebagiannya lagi tidak. tergantung pada karakteristik anak, keluarga, atau tergantung keadaan terkait si anak. Enuresis Involuntary dan Enuresis Voluntary Menurut DSM-IV-TR (Haugaaard, 2008) terdapat perbedaan penyebab dari enuresis yang di sengaja atau yang tidak di sengaja. Enuresis Involuntary atau enuresis yang tidak di sengaja jauh lebih umum dan lebih banyak ditemui dibanding dengan enuresis voluntary. Berbeda dengan enuresis voluntary atau enuresis yang disengaja yang jarang di temui. Hal ini terkait dengan ganguan kejiwaan seperti oppositional defiant disorder dan secara substansi berbeda dari mengompol di malam hari biasanya. Prevalensi Enuresis adalah masalah yang lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. DSM-IV-TR (Haugaard, 2008) menyebutkan prevalensi enuresis 5-10 % usia 5 tahun, 3-5% sampai umur 10 tahun, dan 1% sampai umur 15 tahun. Pada umur lima tahun, sekitar 7% dari anak laki-laki dan 3% anak perempuan telah enuresis. Jumlah ini terus menurun pada anak-anak yang lebih tua. Studi yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh budaya nampak pada kejadian enuresis pada anak-anak. Di sisi lain, enuresis juga dapat disebabkan oleh faktor turunan. Anakanak yang salah satu orang tuanya sewaktu kecil memiliki pengalaman mengompol atau enuresis lima sampai tujuh kali berpeluang lebih besar untuk memiliki anak dengan enuresis dibandingkan anak yang orangtuanya tidak memiliki ganguan di masa kanakkanaknya.18

Pencegahan & Penanganan Meskipun enuresis tidak dapat dicegah, salah satu efek samping dari gangguan ini adalah rasa malu dan rasa malu sosial. Hilangnya kesempatan dalam berinteraksi dengan orang lain ini dapat menyebabkan rendahnya self esteem, terisolasi secara sosial, dan masalah penyesuaian (Haugaard, 2008). Kunci pendekatan dalam mengatasi enuresis adalah membantu guna mencegah masalah ini terjadi. Pengobatan untuk enuresis tidak selalu diperlukan. Sekitar 15% anak-anak yang mengalami masalah enuresis dapat mengatasinya setelah berusia enam tahun. Bila melakukan pengobatan biasanya dokter terlebih dahulu akan menmilah penyebab fisik yang jelas dari enuresis melalui pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Kemudian terdapat beberapa pilihan pengobatan yang berbeda seperti : a. Behavior modification Behavior modification merupakan salah satu perawatan yang sering dipilih untuk mengatasi enuresis. Selain karena perawatannya tidak memerlukan biaya yang mahal juga dikarenakan tingkat keberhasilannya yang dapat mencapai sekitar 75%. Metode yang paling sering digunakan dan paling efektif adalah bell dan pad (Buttler, 1998, dalam Mikkelsen, 2001). Seprai yang di pakai anak adalah pad khusus yang memiliki sensor bel yang akan berdering jika pad nya basah atau ketika anak mengompol Bel kemudian akan membangunkan anak yang kemudian membuat anak akan bangun dan pergi ke kemar mandi untuk menyelesaikan buang airnya. Lama kelamaan, anak dikondisikan untuk bangun ketika kandung kamihnya terasa penuh. Setelah mempelajari perilaku bel ini, beberapa anak akan terbiasa untuk bangun sendiri tanpa bantuan bel, sementara yang lain bisa tidur semalaman dengan tetap kering. Sebuah teknik perilaku yang melibatkan pengaturan jam alarm untuk

membangunkan anak setiap malam sampai si anak dapat belajar bangun dengan sendirinya. Dalam percobaannya, metode ini efektif. Teknik yang lebih baru melibatkan ultrasoundmonitor USG yang dikenakan pada piyama anak. Monitor akan dapat merasakan ukuran kandung kemih dan ketika kendung kemih sudah mencapai tingkat full alarm nya akan berbunyi.

19

Behavior modifications lain yang dapat digunakan sendiri atau dengan sistem alarm pada meliputi:

membatasi cairan mulai beberapa jam sebelum waktu tidur membangunkan anak di malam hari untuk menggunakan kamar mandi teknik mengajar retensi urine memberikan reward jika anak tidak mengompol dan bersikap simpatik dan

mengerti jika si anak mengompol. b. Pengobatan dengan obat Menurut Mikkelsen (2001, dalam Haugaard, 2008) ada dua obat utama dalam mengobati enuresis yaitu Imipramine dan Desmopressin acetate (DDAVP). Imipramine adalah suatu antidepresan trisiklik yang telah digunakan sejak awal 1960an untuk mengatasi enuresis. Tidak jelas mengapa antidepresan ini efektif dalam mengobati enuresis ketika antidepresan lain tidak. Desmopressin asetat (DDAVP) telah banyak digunakan untuk mengobati enuresis sejak tahun 1990. Kedua obat ini sangat efektif dalam mencegah enuresis, tetapi memiliki tingkat kekambuhan tinggi jika obat dihentikan. c. Terapi Alternatif - Hipnosis merupakan salah satu terapi alternatif yang digunakan untuk mengatasi enuresis anak. Hasilnya akan terlihat setelah mengikuti hipnosis selama 4-6 sesi. - Akupuntur dan pijat juga digunakan untuk mengatasi enuresi tetapi hasilnya tidak terlalu meyakinkan. d. Psikoterapi Enuresis primer tidak memerlukan psikoterapi. Enuresis sekunder seringkali dapat berhasil menggunakan psikoterapi. Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi stres yang mendasari peristiwa yang menyebabkan enuresis kambuh. Yang menggunakan perawatan dengan psikoterapi biasanya anak-anak yang mengalami enuresis voluntary. Tidak seperti anak-anak yang ngompol secara tidak sengaja, anak-anak yang sengaja ngompol di tempat-tempat yang tidak tepat sering memiliki kelainan jiwa yang serius lainnya. Enuresis biasanya merupakan gejala dari gangguan lain. Terapi untuk mengobati gangguan yang mendasarinya sangat penting untuk mengatasi enuresis tersebut.20

Prognosa Enuresis adalah gangguan yang terjadi pada anak-anak yang sedang tumbuh. Bagi mereka yang menerima perawatan, tingkat keberhasilan keseluruhan dari terapi perilaku adalah 75% (Haugaard, 2008). Tingkat keberhasilan dengan terapi obat bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan terapi perilaku. Tetapi bagaimanapun obat tidak

menghilangkan enuresis itu. Banyak anak-anak yang minum obat guna mengontrol enuresisnya tapi kemudian kambuh lagi ketika obat dihentikan.

B. Encopresis Definisi Encopresis adalah ketidakmampuan menahan buang air besar yang membuat feces keluar di tempat yang tidak sesuai (Mash dan Wolfe, 1999). Haugaard (2008) mengatakan bahwa encopresis melibatkan kesengajaan atau ketidaksengajaan

pengeluaran feces di tempat yang tidak sesuai, seperti di tempat tidur ketika malam hari atau pada pakaian. Kriteria Diagnostik Berikut merupakan kriteria diagnostik encopresis menurut DSM-IV-TR dalam Haugaard (2008): A. Adanya pengulangan pengeluaran feces di tempat-tempat yang tidak sesuai (misalnya baju atau lantai) B. Sedikitnya peristiwa tersebut terjadi sekali sebulan dalam rentang 3 bulan C. Anak yang dapat didiagnosa mengalami encopresis bila telah mencapai usia kronologis sedikitnya 4 tahun (atau setara tingkat perkembangannya) D. Perilaku ini bukan merupakan dampak langsung dari pemberian bahan tertentu (misal laxatives/ obat pelunak feces) ataupun kondisi medis umum kecuali mekanisme yang melibatkan konstipasi atau sembelit DSM-IV-TR juga mengklasifikasi encopresis ke dalam dua bagian, yaitu: 1. Encopresis with constipation and overflow incontinence21

Merupakan bentuk yang paling umum dari encopresis, sekitar 80 95% anak yang terdiagnosa encopresis mengalami tipe ini (Brooks, dkk., 2000; Ondersma dkk., 2001: Haugaard, 2008). Anak-anak dengan encopresis tipe ini memiliki ketidakteraturan buang air besar dan mengalami periodic soiling yakni pengeluaran feces cair yang tak tertahankan yang mengalir dari usus besar pada waktu-waktu tertentu, atau pengeluaran dengan paksa sejumlah feces cair pada tempat tidur atau bajunya (Haugaard, 2008). 2. Encopresis without constipation and overflow incontinence

Menurut APA (1994, dalam Mash dan Wolfe, 1999) anak dengan tipe ini cenderung mengeluarkan feces di tempat yang mencolok, perilaku yang biasanya terkait dengan Oppositional Defiant Disorder atau Conduct Disorder. Pada anak dengan tipe ini memiliki jadwal buang air besar yang teratur (Ondersma dkk., 2001, dalam Haugaard, 2008) Klasifikasi Encopresis berdasar clinical practice (Mikkelsen, 2001, dalam Haugaard, 2008) 1. Primary encopresis 2. Secondary encopresis 3. Diurnal encopresis: terjadi hanya pada saat anak sudah bangun 4. Nocturnal encopresis: terjadi hanya pada saat malam ketika anak tidur 5. Diurnal-nocturnal encopresis Ondersma, dkk.,(2001, dalam Haugaard, 2008) juga membagi encopresis berdasarkan penyebab primernya: 1. Retentive (seperti Encopresis with constipation and overflow incontinence) 2. Manipulative (anak secara bertujuan mengeluarkan feces guna mencapai tujuan tertentu, seperti perhatian, ekspresi kemarahan) 3. Stress Related (encopresis terjadi ketika anak-anak mengalami tingkat stres yang tinggi)

22

Karakteristik Encopresis pada anak dengan tipe with constipation and overflow incontinence biasanya mengikuti sebuah siklus, dimana feces dipertahankan di usus besar selama 3-4 hari, dan akhirnya disertai buang air besar dalan jumlah banyak dan menyakitkan (Mikkelson, 2001, dalam Haugaard, 2008). Haugaard (2008) pun menambahkan bahwa anak-anak ini umumnya juga mampu menyadari bahwa mereka sudah tidak mampu menahan feces dalam perutnya, maka mereka biasanya masih dapat mengeluarkannya di kamar mandi. Berlawanan dengan anak yang mengalami encopresis bertipe with constipation and overflow incontinence, menurut Ondersma dkk., (2001, dalam Haugaard, 2008) pada anak encopresis without constipation and overflow incontinence, memiliki jadwal buang air besar secara teratur. Namun ada beberapa dari mereka yang tidak mampu menyadari sinyal untuk segera buang air besar dikarenakan sinyal yang menandakan penuhnya rectum/dubur tidak dihantarkan ke otak atau mereka tidak diajarkan mengenali makna dari sinyal tersebut. Sementara terdapat juga beberapa anak yang mampu mengenali sinyal ini namun tetap melakukan buang air besar di tempat selain toilet, hal ini belum diketahui alasannya (Haugaard, 2008). Etiologi Layaknya enuresis, encopresis merupakan gangguan fisik yang dapat muncul , namun jarang disebabkan hanya karena faktor psikologis sendiri saja. Abrahamian & Lloyd-Still (1984; Harbeck-Weber & Peterson, 1996; Mash & Wolfe, 1999) menyatakan bahwa satu dari lima anak yang mengalami encopresis menunjukkan masalah psikologis yang signifikan, namun masalah ini muncul cenderung sebagai hasil, daripada penyebab encopresis. Menurut Harbeck-Weber dan Peterson (1996, dalam Mash dan Wolfe, 1999), pengajaran toilet training yang terlalu dini atau agresif, stres dan terganggunya kondisi keluarga, serta psikopatologi anak dapat memicu encopresis. Haugaard (2008) mengatakan bahwa penyebab yang mendasari terjadinya encopresis with constipation & overflow incontinence pada anak-anak adalah adanya chronic constipation, hal ini membuat penjelasan mengenai penyebab encopresis23

seringkali melibatkan penyebab chronic constipation. Berikut adalah penyebab munculnya chronic constipation: 1. Gen. Menurut Stark, dkk., (1997, dalam Haugaard, 2008) gen juga turut berkontribusi meningkatkan resiko anak mengembangkan kontipasi atau sembelit. Cara gen mempengaruhi konstipasi seperti (a) menurunkan kesadaran anak akan penuhnya usus besar mereka dan kebutuhan buang air besar atau (b) menyebabkan anak kesulitan untuk buang air besar. 2. Pola makan. Pola makan yang rendah serat juga dapat menyebabkan

ketidakteraturan buang air besar dan memicu terjadinya sembelit (Issenman, Filmer, dan Borski, 1999; Haugaard, 2008). 3. Stool-toilet refusal. Anak yang menolak/ tidak mau membuang kotorannya, dalam hal ini feces-nya di toilet juga beresiko mengembangkan constipation (Brooks, dkk., 2000, dalam Haugaard, 2008). Anak dengan stool toilet refusal seringkali menahan buang air besar selama yang mereka bisa dan banyak diantaranya yang menolak buang air besar hingga diberi popok. Alasan sikapnya bermacam-macam, kebanyakan terkait bentuk toilet training yang pernah didapatnya (Haugaard, 2008). Sementara penyebab encopresis pada anak yang tidak mengalami chronic constipation belum diketahui secara jelas, beberapa yang ditemukan menggunakan encopresis sebagai cara mencapai keinginannya. Prevalensi Menurut Sprague-McRae, Lamb, dan Homer (1993, dalam Mash dan Wolfe, 1999) berdasarkan laporan orangtua dan rujukan klinis, diperkirakan sekitar 1.5% - 3% anak mengalami encopresis. Anak laki-laki dikatakan lebih rentan mengalami encopresis dibanding anak perempuan, meskipun begitu belum ada perbandingan yang pasti megenai hal ini. Schroeder dan Gordon (1991, dalam Mash dan Wolfe, 1999) memperkirakan bahwa encopresis berpeluang 5-6 kali lebih besar dialami anak laki-laki dibanding perempuan. Selain itu, dalam suatu penelitian menggunakan Child Behavior Checklist menunjukkan bahwa rasio antara anak laki-laki dan perempuan yang24

mengalami masalah dengan Buang Air Besar (BAB) di tempat yang tidak sesuai sekitar 2:1 (Achenbach dan Edelbrock, 1981, dalam Haugaard, 2008). Sementara dalam perjalanannya, beberapa sumber literatur mengatakan bahwa encopresis akan menurun selama masa anak-anak. Schaefer (1979, dalam Mash dan Wolfe, 1999) juga turut menambahkan bahwa frekuensi encopresis akan menurun dengan meningkatnya usia, dan menunjukkan kemungkinan tingkat penurunan hingga 28% per tahun. Senada dengan Schaefer, APA (2000, dalam Haugaard, 2008) pun mengatakan bahwa pada usia 4 tahun ketika sekitar 10% anak telah menerima diagnosa, pada usia 5 tahun kemungkinan encopresis yang dapat muncul dapat sekitar 1%. Penanganan Menurut Sprague-Mcrae dkk., (1993, dalam Mash dan Wolfe, 1999) penanganan yang optimal guna mengatasi encopresis meliputi intevensi medis dan perilaku. Melalui dua penanganan tersebut dapat membantu anak untuk belajar mengosongkan usus besar mereka sehingga dapat kembali pada ukuran normal dan fungsi semestinya. Sementara menurut Haugaard (2008) penanganannya meliputi penanganan medis guna

menghilangkan chronic constipation dan penanganan pendidikan guna melatih orangtua mengenai teknik membentuk perilaku yang dapat mendorong anak untuk melakukan buang air besar secara teratur ketika duduk di kamar mandi. 1. Penanganan medis Penanganan medis melibatkan penggunaan enemas (suntikan pada usus) dan laxatives untuk melunakkan dan merangsang keluarnya feces yang masih tersimpan, kemudian membiasakan secara rutin menggunakan laxatives untuk mendorong pembuangan feces secara teratur melalui sistem anak (Haugaard, 2008). Proses ini dapat berlangsung hingga 1 tahun, yang merupakan waktu yang disarankan bagi usus besar untuk secara bertahap memperoleh kembali bentuk dan tenaga yang sesuai. Pada akhir periode ini, pemberian laxative juga secara bertahap mulai dihentikan agar membuat tubuh kembali pada fungsi normalnya (Mikkelson, 2001, dalam Haugaard, 2006).

25

Penanganan medis juga melibatkan pengajaran keterampilan untuk secara sukarela/ sengaja mau melakukan buang air besar pada anak. 2. Penanganan pendidikan Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengajak anak duduk di kloset dalam waktu tertentu setiap hari, ketika waktu buang air besar umumnya terjadi (Brooks dkk., 2001, dalam Haugaard, 2008). Beberapa penanganan lainnya yang menggunakan positive reinforcement agar anak dapat terdorong untuk buang air besar di kamar mandi juga tampak efektif (Haugaard, 2008).

26

DAFTAR PUSTAKA

Haugaard, Jeffrey J. 2008. Child Psychopathology. McGraw-Hill : Singapore. Kring, Johnson, Davidson, & Neale. 2008. Abnormal Psychology 11th Ed. John Wiley & Sons. Mash, Eric J & Wolfe, David A. 2007. Abnormal Child Psychology 4th Ed. Wadsworth : Canada. Papalia, Diane E., Olds, Sally Wendkos, & Feldman, Ruth Duskin. (2008). Human development. 10th ed. New York: McGraw-Hill Sacrato, L., Pellicciari, A., & Franzoni, E. (2010). Emergent factors in Eating Disorders in childhood and preadolescence. Italian Journal of Pediatrics 2010, 36:49 diakses melalui : http://www.ijponline.net/content/36/1/49 01/03/2011/13.00 Augustyn, M., Zuckerman, B., Caronna, E. (2010) The Zuckerman Parker Handbook of Developmental and Behavioral Pediatrics for Primary Care. Lippincott Williams & Wilkins. Diakses melalui http://www.lww.com/06/03/2011/11.00 Ngompol, Normalkah? Diakses melalui : http://www.wartamedika.com/2008/07/ngompolnormalkah.html Bocah enam tahun hobi minum bensin http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news diakses pada 2 maret 2011 Pk. 11.00

27