MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

35
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kesehatan Mental B. Pola-pola Wawasan Kesehatan Jiwa C. Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan D. Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Tolak Ukur Kesehatan Mental 1. Metode Imaniah 2. Metode Islamiah 3. Metode Ihsaniah E. Prinsip-Prinsip Islam Untuk Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan Jiwa F. Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam BAB III PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 1

Transcript of MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

Page 1: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Mental

B. Pola-pola Wawasan Kesehatan Jiwa

C. Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan

D. Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Tolak Ukur Kesehatan Mental

1. Metode Imaniah

2. Metode Islamiah

3. Metode Ihsaniah

E. Prinsip-Prinsip Islam Untuk Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan Jiwa

F. Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

1

Page 2: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

Dalam tulisannya, ‘Pengantar dalam Kesehatan Jiwa’ (1982), Saparinah Sadli, guru

besar Fakultas Psikologi UI mengemukakan tiga orientasi yang dapat dijadikan ukuran

kesehatan jiwa, yakni1: 1) Orientasi Klasik: Seseorang dianggap sehat bila ia tak mempunyai

keluhan tertentu, seperti: ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak

berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan ‘sakit’ atau ‘rasa tidak sehat’ serta

mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di dunia kedokteran;

2) Orientasi Penyesuaian Diri: Seseorang dianggap sehat secara psikologis bila ia mampu

mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntunan orang-orang lain serta lingkungan

sekitarnya; 3) Orientasi Pengembangan Potensi: Seseorang dianggap mencapai taraf

kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju

kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri.

Terdapat empat rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli2: 1)Kesehatan

mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala

penyakit jiwa (psichose); 2)Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tenpat ia hidup;

3)Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-

fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa

terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik); 4)Kesehatan adalah

pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan

potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa

kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa;

5)Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-

fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan

lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai

hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

BAB IIPEMBAHASAN

1 Saparinah Sadli, ‘Pengantar dalam Kesehatan Jiwa’, dalam buku Pedoman Bimbingan dan Konseling, Badan Konsultasi Mahasiswa UI, Jakarta, 19822 Zakiah Darajat, Kesehatan Mental: Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, Pidato Pengukuhan Sebagai gurubedsar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1984

2

Page 3: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

A. Pengertian Kesehatan Mental

Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari

bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata

Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil

kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.

Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental

baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib

dan Mudzakir, 2001, 2003). Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental

dengan beberapa pengertian:

1. Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala

penyakit jiwa (psychose).

2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan

masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.

3. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan

memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin,

sehingga membawa kebahagiaan pada diri dan orang lain; serta terhindar dari

gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.

4. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta

mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan

merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Seseorang dapat dikatakan sehat tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis,

dan sosial saja, tetapi juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Inilah kemudian yang

disebut Dadang Hawari sebagai empat dimensi sehat itu, yaitu: bio-psiko-sosial-spiritual. Jadi

seseorang yang sehat mentalnya tidak cukup hanya terbatas pada pengertian terhindarnya dia

dari gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat

sejauhmana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan

lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi

problema hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta sanggup

mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan.

Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya

stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan

3

Page 4: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan

bahwa ciri-ciri orang yang memilki kesehatan mental adalah memilki kemampuan diri untuk

bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen

Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena

faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor

yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.

Atkinson menentukan kesehatan mental dengan kondisi normalitas kejiwaan, yaitu

kondisi kesejahteraan emosional kejiwaan seseorang. Pengertian ini diasumsikan bahwa pada

prinsipnya manusia itu dilahirkan dalam kondisi sehat. Atkinson3 lebih lanjut menyebutkan

enam indikator normalitas kejiwaan seseorang.

Pertama, persepsi realita yang efisien. Individu cukup realistik dalam menilai

kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak terus menerus

berpikir negatif terhadap orang lain, serta tidak berkelebihan dalam memuja diri sendiri.

Kedua, mengenali diri sendiri. Individu yang dapat menyesuaikan diri adalah individu

yang memiliki kesadaran akan motif dan perasaannya sendiri, meskipun tak seorang pun

yang benar-benar menyadari perilaku dan perasaannya sendiri.

Ketiga, kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar. Individu yang

normal memiliki kepercayaan yang kuat akan kemampuannya, sehingga ia mampu

mengendalikannya. Kondisi seperti itu tidak berarti menunjukkan bahwa individu tersebut

bebas dari segala tindakan impulsif dan primitif, melainkan jika ia melakukannya maka ia

menyadari dan berusaha menekan dorongan seksual dan agresifnya.

Keempat, harga diri dan penerimaan. Penyesuaian diri seseorang sangat ditentukan

oleh penilaian terhadap harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang di sekitarnya. Ia

merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi atau mereaksi secara spontan

dalam segala situasi sosial.

Kelima, kemampuan untuk membentuk ikatan kasih. Individu yang normal dapat

membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain. Ia peka terhadap

perasaan orang lain dan tidak menuntut yang berlebihan kepada orang lain. Sebaliknya,

individu yang abnormal terlalu mengurusi perlindungan diri sendiri (self-centered).

Keenam, produktivitas. Individu yang baik adalah individu yang menyadari

kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktivitas produktif. 3 Rita L. Atkinson, dkk., Pengantar Psikologi, terj. Widjaja Kusuma, judul asli “Introduction to Psychology”, (Batam: Interaksara, tt.), jilid II, hlm. 404-406.

4

Page 5: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

B. Pola-pola Wawasan Kesehatan Jiwa

Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud,4

menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif

(salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-

amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy),

bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap

lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas dibanding dengan pola

pertama.

Hanna Djumhana Bastaman lebih luas menyebut empat pola yang ada dalam

kesehatan mental, yaitu pola simtomatis, pola penyesuaian diri, pola pengembangan potensi,

dan pola agama.5 Pertama, pola simtomatis adalah pola yang berkaitan dengan gejala

(symptoms) dan keluhan (compliants), gangguan atau penyakit nafsaniah. Kesehatan mental

berarti terhindarnya seseorang dari segala gejala, keluhan, dan gangguan mental, baik berupa

neurosis maupun psikosis. Kedua, pola penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan

keaktifan seseorang dalam memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri. atau

memenuhi kebutuhan pribadi tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Kesehatan mental

berarti kemampuan seseorang untuk meyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan

sosialnya. Ketiga, pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas

insani (human qualities) seperti kreativitas, produktivitas, kecerdasan, tanggung jawab, dan

sebagainya. Kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk memfungsikan potensi-

potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri

maupun bagi orang lain. Keempat, pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran

agama. Kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama

secara benar dan hak dengan landasan keimanan dan ketakwaan.

Kesehatan mental yang dimaksudkan di sini lebih terfokus pada kesehatan mental

yang berwawasan agama. Pemilihan ini selain karena konsisten denga pola-pola yang

dikembangkan dalam psikopatologi dan psikoterapi, juga sesuai dengan khazanah Islam yang

berkembang. Ibn Rusyd misalnya dalam “Fashl al-Maqal” menyatakan, “takwa itu

4 Muhammad Mahmud Mahmud, ‘Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaw’I al-Islam, (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984), hlm. 336-337.5 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Pikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 133-134.

5

Page 6: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

merupakan kesehatan mental (shihah al-nufus)”.6 Statement itu menunjukkan bahwa

dialektika kesehatan mental telah lama dibangun oleh para psikolog muslim, yang mau tidak

mau harus dijadikan sebagai keutuhan wacana Psikologi Islam saat ini.

Empat pola wawasan kesehatan jiwa dengan orientasinya sebagai berikut7:

1. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala

(symtomps) dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau

penyakit yang diderita seseorang.

2. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri berpandangan bahwa kemampuan

seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondiri jiwa yang

sehat.

3. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi bertolak dari

pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai

potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreativitas, rasa

humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, dll dan mendatangkan manfaat bila

dikembangkan secara optimal.

4. Pola wawasan yang berorientasi agama berpandangan bahwa agama atau keruhanian

memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa dan kesehatan jiwa diperoleh

sebagai akibat dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, serta menerapkan

tuntunan-tuntunan keagamaan yang hidup.

Tuntunan agama Islam untuk kesehatan mental dikemukakan dalam dua hal, yaitu:

1. Ayat-ayat al-Qur’an (dan al-Hadits) yang berkaitan dengan tolak ukur kesehatan

mental.

2. Prinsip-prinsip Islam untuk pengembangan pribadi pada umumnya dan

mengembangan kesehatan mental pada khususnya.

C. Metode Pemerolehan dan Pemeliharaan

Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan

kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli;

Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan

6 Abu al-Walid ibn Rusyd, Fashl al-Maqal fima bayn al-Hikmat wa al-Syari’at min al-Ittishal, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.), hlm. 61.7 H.D. Bastaman, Menelusuri Pola-pola Kesehatan Mental dengan UU No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Mental’ sebagai Fokus Telaah, makalah S-2, Fakultas Psikologi UI, Jakarta ,1986

6

Page 7: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode pemerolehan

dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang berkaitan dengan prinsip-

prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib; 2) metode

Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang

berkaitan dengan prinsp-prinsip moral atau etika.

1. Metode Imaniah

Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-

amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan

dalam menghadapi semua masalah hidup. Dalam mengatur alam dan isinya, Allah SWT

memberikan rambu-rambu petunjuk (hidayah)-Nya untuk kelangsungan dan keselamatan

hidup di dunia dan akhirat. Petunjuk yang dimaksud diturunkan melalui dua jalur: Pertama,

jalur tertulis yang termaktub dalam kitab suci Al-Quran dengan pemberian petunjuk inu

dengan mengutus Rasul dan Malaikat-Nya. Jalur ini lazim disebut jalur Quraniyah; Kedua,

jalur tidak tertulis yang berkaitan dengan alam dan isinya yang disebut dengan jalur kauniyah

atau sunnatulah.

Keimanan yang direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian mukmin

yang membentuk 6 karakter yaitu:

a. Karakter Rabbani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan (mengambil dan

mengamalkan) sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku nyata sebatas

pada kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan kepribadiannya ditempuh

melalui tiga tahap yaitu ta’alluq, takballuq, dan tabaqquq8. Proses ta’alluq adalah

menggantungkan kesadaran diri dan pikiran kepada Allah dengan cara berpikir dan

berzikir kepadaNya (QS. Ali-Imran:191). Proses takballuq adalah adanya kesadaran

untuk menginternalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah ke dalam tingkah laku

nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses ini dlakukan karena adanya

fitrah menusia yang memiliki potensi asma’ al-husna. Proses tabaqquq adalah

kesadaran diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT sehingga

tingka lakunya didominasi olehNya.

b. Karakter Maliki, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Malaikat

yang agung dan mulia. Kepribadian maliki diantaranya menjalankan perintahNya dan

tidak berbuat maksiat (QS. Al-Tahrim: 6), bertasbih kepadaNya (QS. Al-Zumar: 75), 8Komarudin Hidayat, ‘Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri’, dalam Budhy Munawar-Rachman (editor), Kontekstualisasi Doktrn Islan dalam Sejarah (Jakarta; Paramadina; 1995), hlm. 191-192

7

Page 8: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

menyampaikan informasi kepada yang lain (QS. Al-Nahl: 102), membagi-bagikan

rizki untuk kesejahteraan berama dan memelihara kebun (Jannat) yang indah (QS. Ar-

Ra’d: 24).

c. Karakter Qurani, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Qurani

dalam tingkah laku nyata. Karakter kepribadian Qurani seperti membaca, memahami

dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam Al-Quran dan Sunnah.

d. Karakter Rasuli, yaitu karakter yang mampu menginternalisasikan sifat-sifat Rasul

yang mulia. Karakter kepribadian Rasuli diantaranya jujur (al-Siddiq), dapat

dipercaya (al-Amanah), menyampaikan informai atau wahyu (al-Tabligh) dan cerdas

(al-Fathonah).

e. Karakter yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari akhir) yang

menghendaki adanya karakter yang mementingkan jangka panjang daripada jangka

pendek atau wawasan masa depan daripada masa kini (QS. al-Dhuha: 4), bertanggung

jawab (QS. al-Nisaa’: 77).

f. Karakter Takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan

pada hukum-hukum, aturan-aturan dan sunnah-sunnah Allah SWT untuk

kemaslahatan hidupnya.

2. Metode Islamiah

Islam secara etimologi memilik tiga makna yakni penyerahan dan ketundukan (al-

silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah)9. Realisasi metode

Islam dapat membentuk kepribadian muslim yang mendorong seseorang untuk hidup bersih,

suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat terciptanya

kesehatan mental. Kepribadian muslim membentuk lima karakter ideal.

a. Karakter syabadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan

diri dari segala belenggu atau dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif seperti materi

dan hawa nafsu (QS. Al-Furqon: 43). Lalu mengisi diri sepenuh hati hanya kepada

Allah SWT.

b. Karakter mushailli yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah dan

dengan sesama manusia. Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir,sedangkan

kominukasi ihsaniah ditandai dengan salam. Karakter mushailli juga menghendaki

9Afif Abd al-Fatah, Ruub al-Din al-Islamiy (Damascus: Syarif Khalil Syakar, 1966), hlm. 188

Page 9: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

adanya kebersihan dan kesucian lahir dan batin dengan berwudhu (kesucian lahir) dan

dalam kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyu’an.

c. Karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk

kebersihan dan kesucian jiwanya (QS. al-Taubah: 103), serta pemerataan

kesejahteraan ummat pada umumnya.

d. Karakter sha’im yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari

nafsu-nafsu rendah. Dan apabila dirinya terbebas dari nafsu-nafsu rendah maka ia

berusaha mengisi diri dengan tingkah laku yang baik.

e. Karakter hajji yaitu karakter yang mampu mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa

demi memenuhi panggilan Allah SWT.

3. Metode Ihsaniah

Ihsan secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (Muhsin) adalah orang yang

mengetahui hal-hal yang baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik dan dlakukan

dengan niatan yang baik. Metode ini bila dilakukan dengan benar maka memberikan

kepribadian muhsin yang ditempuh dalam beberapa tahapan10, yaitu:

a. Tahapan permulaan (al-bidayah)

Pada tahap ini, seseorang akan rindu pada khaliknya. Ia sadar dalamkerinduan itu

terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi hubungannya sehingga ia berusaha

menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut takhalli yaitu mengosongkan diri

dari segalasifat kotor, maksiat dan tercela.

b. Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujabadat)

Tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat lalu

berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik

yang disebut dengan tahapan tahailli. Tahailli adalah upaya mengisi diri dengan sifat-

sifat yang baik yang terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) taubat dari segala tngkah laku

yang mengandung dosa; 2) menjaga diri dari hal-hal yang subhat (al-wara’); 3) tidak

terikat oleh gemerlapan materi; 4) merasa butuh pada Allah (al-faqr); 5) sabar

terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan; 6) tawakkal pada putusan Allah; 7)

ridha terhadap pemberian Allah; 8) merasa bersyukur atas nikmay yang Allah

berikan; 9) ikhlas melakukan apa saja demi Allah; 10) takut (al-khauf) dan berharap

10Ibrahim Basyuniy, Nasy’at al-Tasbawwuf al-Islamiy, (Mesir; Dar al-Ma’arif, tt) hlm. 17-259

Page 10: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

(al-raja) terhadap Allah; 11) kontinue dalam melakukan kewajiban (al-istiqomah);

12) takwa kepada Allah; 13) jujur, berpikir, berzikir dan sebagainya.

Tahapan ini harus ditopang tujuh pendidikan dan latihan psikofisik yaitu:

Musyarathah, yaitu memberikan dan menemukan syarat bagi diri sendiri.

Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar selalu dekat kepada

Allah.

Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah laku yang

diperbuat.

Mu’aqabah, yaitu menghukum diri sendiri karena melakukan keburukan.

Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi baik.

Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya.

Mukasyafah, yaitumembuka penghalang atau tabir agar tersingkap semua

rahasia Allah.

c. Tahapan merasakan (al-Muziqat)

Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah Khalik-nya dan

menjauhi larangannya, namun ia merasakan kedekatan, kelezatan, kerinduan

denganNya. Tahapan ini disebut tajalli, yaitu menempakkan sifat-sifat Allah pada diri

manusianya setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir menjadi sirna. Oleh sufi

tahapan ini biasa dilalui dalam dua proses yaitu al-fana dan al-baqa. Bila seseorang

mampu menghilangkan wujud jasmaniah dengan menghilangkan nafsu-nafsu

impulsifnya dan tidak terikat oleh materi atau lingkungan sekitar, makaia telah al-

fana. Kondisi itu lalu beralih pada ke-baqa-an wujud ruhani yang ditandai dengan

tetapnya sifat-sifat ketuhanan11. Ketika tahapan itu telah dilalui maka muncul apa

yang disebut al-baal yaitu kondisi spiritual dimana sang pribadi telah mencapai

kebahagiaan tertinggi yang dicita-citakan.

D. Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Tolak Ukur Kesehatan

Mental

Ayat-Ayat Al-Qur’an Mengenai Beberapa Sifat Tercela (Mazmumah)

11Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, (Jakarta; UI-Press, 1979), jilid II, hlm. 8310

Page 11: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

Sifat-sifat tercela secara tidak langsung atau langsung dapat menimbulkan gangguan

dan penyakit kejiwaan yang dalam tulisan ini dibatasi enam sifat tercela, yaitu: Bakhil,

Aniaya, Dengki, Ujub, Nifak dan Ghadhab.

1) Bakhil

Bakhil artinya kikir, yaitu ketidaksediaan untuk memberikan sebagian hartanya

kepada pihak-pihak lain yang membutuhkan seprti, fakir miskin, kepentingan umum, agama

dan lain-lain. Di lain pihak, orang bakhil biasanya tidak pernah puas mengumpulkan harta

benda. Ayat Al Qur’an mengenai perbuatan bakhil:

’Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara

kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri.

Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu

berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu

(ini).’ (QS. Muhammad: 38)

2) Aniaya

Aniaya adalah perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan serta menimbulkan

kerugian pada diri sendiri dan orang lain serta menimbulkan kerusakan terhadap

lingkungannya. Ayat Al Qur’an mengenai aniaya:

‘Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat

zalim kepada diri mereka sendiri.’ (QS. Yunus: 44)

3) Dengki

11

Page 12: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

Dengki artinya tidak senang melhat orang lain memperoleh keberuntungan kebajikan.

Orang-orang dengki senantiasa mengharapkan bahkan berupaya agar keberuntungan yang

diperoleh orang lain hilang ayau jatuh kepada si pendengki itu sendiri. Ayat Al Qur’an

mengenai dengki:

‘Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah

kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.

Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah

Maha Kuasa atas segala sesuatu.’ (QS. Al-Baqarah:109)

4) Ujub

Ujub artinya membesar-besarkan perbuatan baik diri sendiri dan perasaan puas

karenanya, dengan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari orang lain. Ayat Al-Qur’an

mengenai ujub:

‘Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini

pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah

menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu

binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’

(QS. AL-Fathir:8)

5) Nifak

Nifak artinya bermuka dua atau berpura-pura yang menjadi karakteristik orang

munafik. Ayat Al Qur’an mengenai nifak:

12

Page 13: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

’Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka

itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.’ (QS. Al-Baqarah: 8)

6) Ghadhab

Ghadhab diartikan secara khusus sebagai marah atau kemarahan dalam konotasi

negatif dan berlebihan, sedangkan secara umum diartikan sebagai al nafsu al ammarah bissu’

yang selalu mendorong perbuatan jahat sehingga mengakibatkan kerugian pada diri sendiri

dan orang lain. Ayat Al Qur’an mengenai ghadhab:

‘Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada

kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.’ (QS. Yusuf: 53)

Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Berkaitan Dengan Pentingnya Agama Untuk

Kesehatan Mental

Sudah tentu semua ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan pentingnya agama untuk

keselamatan hidup di dunia dan akhirat, termasuk meraih jiwa yang sehat. Zakiah Daradjat

dalam tulisan-tulisannya mengenai Agama dan Kesehatan Jiwa menunjukkan pengaruh

positif dari pelaksanaan rukun iman dan rukun islam terhadap kondisi kesehatan mental.

Mengingat masalah agama merupakan masalah yang sangat luas dan kompleks, maka

tulisan ini hanya mengungkapkan ayat-ayat di Al Qur’an yang berkaitan dengan tiga pilar

agama Islam, yaitu: iman (akidah), Islam (syari’ah), dan Ihsan (akhlak).

E. Prinsip-Prinsip Islam Untuk Pengembangan Pribadi Dan Kesehatan

Jiwa

13

Page 14: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi

pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by

product) dari kondosi pribadi yang matang secara emosional, intelektual, dan sosial, terutama

matang pula keimanan dan ketetakwaannya kepada Allah SWT. Dengan demikian dalam

Islam nyatalah betapa pentingnya pengembangan pribadi untuk meraih kualitas insan

paripurna yang didalam otaknya sarat dengan ilmu pengetahuan, bersemayam dalam

kalbunya iman dan takwa kepada Allah SWT, sikap dan perilakunya benar-benar

merealisasikan nila-nilai keislaman yang mantap dsan teguh, wataknya terpuji, semangat

kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang.

Cara peningkatan kualitas pribadi yang sedikit mendekati tipe ideal:

Hidup secara Islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk mengisi kegiatan sehari-

hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai akidah, syari’ah

dan akhlak, serta berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama.

Melakukan latihan intensif yang bercorak Psiko-edukatif. Dengan ini, diharapkan para

peserta sadar diri akan keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaikan diri,

menemukan arti dan tujuan hidupnya serta menyadari serta menghayati betapa

pentingnya menigkatkan diri.

Pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi spiritual-religius, yakni mengintensifkan

dan meningkatkan kualitas ibadah.

F. Tanda-Tanda Kesehatan Mental dalam Islam

Tanda-tanda kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud Mahmud, terdapat

sembilan macam,12 yaitu: pertama, kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah),

dan rileks (al-rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya,

masyarakat, maupun Tuhan.

Kata “sakinah” dalam kajian semantik bahasa Arab berasal dari kata sakana yang

berarti makan (tempat), maskin yang berarti manzil atau bayt (tempat tinggal atau rumah),

sukn yang berarti ahl aw ‘iyal al-dar (penduduk desa atau negara).13 Dari pengertian

semantik ini, kata “sakinah” memiliki arti kemapanan disebabkan memiliki tempat tinggal

atau wilayah yang menetap dan tidak berpindah-pindah. Terminologi “sakinah” juga

memilikii arti (1) al-wada’ah. Al-waqarah, al-thuma’ninah yang berarti ketenangan; (2) al-

12 Muhammad Mahmud Mahmud, op.cit, hlm. 342-349.13 Abi al-Fadh Jamal al-Din Muhammad ibn Mukarram ibn Manzur, Lisan Arab (Beirut: Dar al-Shadir, 1990), jilid XIII, hlm. 214.

14

Page 15: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

rahmah yang berarti kasih sayang.14 Atau dalam bahasa Inggris berarti calmness

(ketenangan), quietness (keamanan), peacefulness (perdamaian), dan serenity (ketenteraman).

Al-Zuhaili dalam tafsirnya memberi arti “sakinah” dengan ketetapan atau ketenangan

(al-tsabat dan al-thuma’ninah) jiwa dari segala kecemasan (al-qalaq/anxiety)15 dan kesulitan

atau kesempitan batin (al-Idtirar). Sakinah juga memiliki arti meninggalkan permusuhan atau

peperangan,16 rasa aman (al-aman), hilangnya ketakutan (al-khwf/phobia) dan kesedihan dari

jiwa.17 Ibnu Qayyim memberi arti sakinah dengan ketenangan yang dihujamkan oleh Allah

SWT. Pada jiwa orang-orang mukmin yang takut, resah dan gelisah, agar keimanan dan

keyakinannya bertambah.18

Pengertian “ketenangan” di dalam istilah sakinah tidak berarti statis atau tidak

bergerak, sebab dalam “sakinah” terdapat aktivitas yang disertai dengan perasaan tenang,

seperti orang yang melakukan kerja dengan disertai rasa ketenangan. Apabila istilah sakinah

memiliki arti statis dan tidak bergerak bararti jiwa manusia tidak akan berkembang, yang hal

itu menyalahi hukum-hukum perkembangan.

Firman Allah SWT:

’Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka

bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi

dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,’ (QS. Al-Fath: 4).

Kata thuma’ninah hampir memiliki makna yang sama dengan sakinah, yaitu ketetapan

kalbu pada sesuatu tanpa disertai kekacauan. Menurut sabda Nabi; “kebaikan itu adalah

14 Ibid., hlm. 213.15 Anxiety adalah kekhawatiran atau ketakutan yang kuat dan meluap-luap. Atau, rasa takut atau kekhawatiran kronis pada tingkat yang ringan. J.P Chaplin, op.cit., hlm. 32.16 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Beirut: Daral al-Fikr al-Ma’ashir, 1991), jilid, XXVI, hlm. 154, 183, 195.17 Ibid., jilid 10, hlm. 218.18 Ibnu Qayyim al-Jauziyah membagi sakinah dalam tiga tingkatan: (1) ketenangan dalam kekhusyuan saat melakukan ibadah (QS. Al-Hadid:16); (2) ketenangan dalam bergaul dengan mengevaluasi diri, bersikap lemah lembut pada makhluk dan tidak melupakan hak-hak Allah; dan (3) ketenangan yang memperteguh keridhaan dalam menerima bagian. Madarij al-Salikin bayn Manazil lyyaka Na’budu wa lyyaka Nasta’in, (Cairo: Dar al-Fikr, 1992), jilid II, hlm. 503-512.

15

Page 16: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

sesuatu yang menenangkan di dalam hati” dan dalam perkataan sahabat; “kejujuran itu

menenangkan, sedang dusta itu meragukan (raibah).” Firman Allah SWT:

‘(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya

dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’ (QS. Al-Ra’d: 28)

Ibnu Qayyim mencatat dua perbedaan pendapat mengenai kedudukan sakinah dan

thuma’ninah. Pendapat pertama dinyatakan bahwa thuma’ninah merupakan akibat dari

sakinah, bahkan thuma’ninah merupakan puncak sakinah. Pendapat yang lain dinyatakan

bahwa sakinah merupakan akibat thuma’ninah. Menyikapi dua perbedaan ini, Ibnu Qayyim

menyatakan bahwa thuma’ninah lebih umum dari pada sakinah, sebab thuma’ninah

mencakup ketenangan dari ilmu, keyakinan, keimanan, sedang sakinah hanya mencakup

ketenangan dari rasa takut.19

Sedangkan rileks (rahah) merupakan akibat dari sakinah dan thuma’ninah, yaitu

keadaan batin yang santai, tenang, dan tanpa adanya tekanan emosi yang kuat, meskipun

mengerjakan pekerjaan yang amat berat. Relaksasi batin seseorang tercermin sebagaimana

ketika ia dilahirkan, yang tumbuh dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa, kotoran,

dan penyakit. Bila ia menangis maka dengan segera dapat tersenyum dan tertawa terbahak-

bahak. Bila ia membenci seseorang maka tiada dendam, tetapi segera melupakan dan kembali

timbul keakraban. Bila ia mengalami goncangan jiwa, seperti karena tidak dipedulikan atau

dimarahi ibunya, ia segera lupa dan dapat tidur pulas, tanpa menggantungkan diri dengan

minum-minuman keras dan obat tidur. Bila ia ingin hidup ceria dan bahagia, maka cukup

dengan permainan yang sarananya cukup sederhana, tanpa memerlukan zat adiktif seperti

Narkoba.

Kondisi rileks memiliki korelasi yang signifikan dengan kesucian batin. Jika batin

bersih laksana cermin, maka setitik noda yang menempel di dalamnya, segera diketahui dan

mudah untuk dihapus. Sementara batin yang penuh kotoran maka ia membentuk biang-biang

dan karat-karat dosa yang berasal dari akumulasi persenyawaan elemen-elemen jahat.

Seseorang yang memiliki jiwa yang kotor dan penuh dosa karena maksiat, maka elemen-

19 Ibnu Qayyim membagi thuma’ninah dalam tiga tingkatan: (1) thuma’ninah karena berdzikir kepada Alah, sehingga menghilangkan ketakutan dan mendatangkan harapan; (2) thuma’ninah ruh ketika mencapai tujuan kasyaf (terbukanya rahasia Tuhan), rindu akan janji, dan berkumpul setelah berpisah; dan (3) thuma’ninah karena menyaksikan kehadiran kasih sayang Tuhan, menggapai kebakaan, dan mencapai kedudukan pada cahaya yang abadi. Ibnu Qayyim sl-Jauziyah, op.cit., hlm. 512-518.

16

Page 17: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

elemen yang jahat mudah bersenyawa dan membentuk komposisi tubuh yang gampang

terkena goncangan, keresahan, dan kebimbangan. Dosa adalah apa yang dapat memuaskan

dan membahagiakan jiwa.

Kondisi mental yang tenang dan tenteram dapat digambarkan dalam tiga bentuk,

yaitu: (1) adanya kemampuan individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zaman.

Misalnya, jika ia terkena musibah maka musibah itu diserahkan dan dikembalikan kepada

Allah (QS. Al-Baqarah:156); bersikap bersahaja dalam menghadapi sesuatu, sebab sesuatu

yang dibenci terkadang memiliki nilai baik, sementara sesuatu yang disenangi memiliki nilai

buruk (QS. Al-Baqarah:216); (2) kemampuan individu dalam bersabar menghadapi

persoalan-persoalan hidup yang berat, misalnya cobaan akan ketakutan dan kemiskinan (QS.

al-Baqarah:155); dan (3) kemampuan individu untuk optimis dan menganggap baik dalam

menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan pasti akan datang kemudahan (QS. al-

Insyirah:4-5).

Kedua, memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi,

keterampilan, dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal

itu merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya, seseorang yang memaksa

menduduki jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi kemampuan yang memadai maka

hal itu akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada saatnya mendatangkan penyakit mental.

Firman Allah SWT : “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang

diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS.

Yasin:35). Sabda Nabi SAW: “makanan yang lebih baik dimakan oleh seseorang adalah

makanan yang berasal dari jerih payahnya sendiri, sebab Nabi Dawud makan dari hasil

kerjanya sendiri.” (HR. al-Bukhari)

Ketiga, menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang sehat

mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik,

kedudukan, potensi, maupun kemampuanya, karena keadaan itu merupakan anugerah (fadhl)

dari Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Anugerah Tuhan yang diberikan

kepada manusia terdapat dua jenis, yaitu: (1) bersifat alami (fitri), seperti keadaan postur

tubuh, kecantikan/ketampanan atau keburukannya, ia dilahirkan dari keluarga tertentu, dan

sebagainya. Manusia yang sehat akan mensyukuri anugerah itu tanpa mempertanyakan

mengapa Tuhan menciptakan seperti itu, sebab di balik penciptaan-Nya pasti terdapat hikmah

yang tersembunyi; (2) dapat diusahakan (kasbi), seperti bagaimana mendayagunakan postur

17

Page 18: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

tubuh yang gemuk dalam bekerja atau berkarier, bagaimana memfungsikan karakter agresif,

dan sebagainya. Manusia yang sehat tentunya akan mengerahkan segala daya upayanya

secara optimal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Tanda kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima

segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan

diri dengan orang lain. Sikap yang dikembangkan seperti cinta kepada sesama saudaranya

seperti ia menyintai dirinya sendiri (HR. al-Bukhari dan Muslim), sikap saling

membantu,asah, asih, dan asuh. Firman Allah SWT:

’Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak

dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan,

dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah

sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. An-Nisa’: 32)

Keempat, adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. artinya, kesehatan

mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan

perbuatan yang akan dilakukan. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual,

maka jiwa harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau takwa

kepada Allah SWT maka harus dilakukan sebaik mungkin. Perbuatan yang baik

menyebabkan pemeliharaan kesehatan mental.

Kelima, kemampuan untuk memikul tanggunga jawab, baik tanggung jawab keluarga,

sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan kematangan diri seseorang, sekaligus

sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya.

Keenam, memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang

diperbuat. Berkorban berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan

cara memberikan sebagian kekayaan dan/ atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan

artinya kesadaran diri akan kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani menanggung segala

risiko akibat kesalahannya, kemudian ia senantiasa berusaha memperbaikinya agar tidak 18

Page 19: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Kedua persoalan ini dianggap sebagai

tanda kesehatan mental, sebab apa yang dimiliki menusia, baik berupa jiwa-raga atau

kekayaan, hanyalah amanah Allah SWT semata. Sebagai amanah, apabila seseorang

menerimanya dalam kondisi baik, maka tidak boleh disia-siakan atau mensikapi dengan sikap

yang meledak-ledak sehingga mengganggu stabilitas emosi, melainkan digunakan untuk

kemashalatan di jalan Allah. Namun apabila diterima dalam kondisi kurang baik, maka tidak

boleh mengumpat-ngumpat, menyikapi secara apatis dan pesimis, apalagi mengkufurinya.

Sikap yang seharusnya dilakukan adalah menerima dengan baik dan berusaha seoptimal

mungkin.

Ketujuh, kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang

dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal itu dianggap sebagai tanda kesehatan

mental, sebab masing-masing pihak merasa hidup tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah

maka yang lain ikut membantunya. Apabila ia mendapatkan keluasan rizki maka yang lain

ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling curiga, buruk sangka, iri

hati, cemburu, dan adu domba. Dengan melakukan yang demikian itu maka hidupnya tidak

menjadi salah tingkah, tidak asing di lingkungannya sendiri, dan hidupnya mendapatkan

simpati dari lingkungan sosialnya.

Kedelapan, memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik.

Keinginan yang tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang angan-angan,

lamunan, kegilaan, dan kegagalan. Keingina yang terealisir dapat memperkuat kesehatan

mental, sebaliknya, keinginan yang terkatung-katung akan menambah beban batin dan

kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai keseimbangan dan

kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang mauquf riwayat Ibnu

Qutaibah: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup untuk selamanya, dan

beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau nati esok hari.”

Kesembilan, adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan

kebahagiaan (al-sa’adah) dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh. Kepuasan

dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa

sukses, telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Dikap

penerimaan nikmat yang mendatangkan kepuasan atau kebahagiaan tidak selalu dipandang

dari sisi kuantitatif, melainkan dari kualitas dan berkahnya.

19

Page 20: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

Kepuasan (satisfaction) merupakan salah satu suasana batin seseorang yang secara

umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor dalam memasuki semua aspek kehidupan.

Kepuasan adalah suatu kondisi kesenangan dan kesejahteraan seseorang karena telah

mencapai satu tujuan atau sasaran. Atau, satu perasaan yang menyertai seseorang setelah ia

memuaskan satu motif.20 Unsur utama dalam kepuasan adalah adanya perasaan senang dan

sejahtera dan perasaaan itu timbul setelah suatu tujuan motif dicapai. Davis bersama

Newstrom mendefinisikan kepuasan sebagai “perasaan dan sikap individu tentang

menyenangkan atau tidaknya suatu aktivitas yang bersumber dari seperangkat keinginan,

kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan.”21

Kriteria kepuasan atau kebahagiaan batin seseorang tidak semata-mata disebabkan

terpenuhinya kebutuhan material, namun terdapat penyebab lain yang hakiki, yaitu kebutuhan

meta-material, seperti kebutuhan spiritual. Menurut teori Abraham Maslow, hirarki

kebutuhan tersebut digolongkan atas dua taraf, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar

(basic needs), yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut

memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs),

meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan,

keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.22

Tanpa menafikan teori Maslow, kepuasan yang esensial, terutama yang

dikembangkan dalam psiko-sufistik adalah kepuasan disebabkan adanya keridhaan dari Allah

SWT. Ridha Allah menjadi sumber kepuasan hidup, sebab kondisi itu tidak akan diperoleh

seseorang kecuali ia beraktivitas secara baik, benar, jujur, dan mentaati segala aturan. Dengan

ridha Allah pula ia mendapatkan kepuasan dari aktivitasnya tanpa mengganggu hak-hak

orang lain.

Tanda-tanda kesehatan mental selain tanda-tanda di atas adalah adanya perasaan cinta

(al-mahabbah). Cinta dianggap sebagai tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukkan

citra diri positif. Cinta mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-

mengasihi, dan menjauhkan dari kebencian, dendam, permusuhan, dan pertikaian.

20 Motif (motive) adalah suatu keadaan ketegangan di dalam individu, yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada satu tujuan atau sasaran; atau, alasan yang disadari, yang diberikan individu bagi tingkah lakunya.21 Keith Devis and John W. Newstrom, Perilaku dalam Organisasi, terj Agus Dharma (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 105-106.22 Philip R. Newman and Barbara M. Newman, Psychology (Homewood, Illinois: The Dorsey Press, 1983), hlm. 412.

20

Page 21: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

BAB IIIPENUTUP

Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari

bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata

Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil

kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.

Musthafa Fahmi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud,23

menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: pertama, pola negatif

(salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-

amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy),

Terdapat tiga pola yang mengungkapkan metode pemerolehan dan pemeliharaan

kesehatan mental dalam perspektif Islam: Pertama, metode tahali, takhalli, dan tajalli;

Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, Islam dan

ihsan. Sebuah hadits menunjukkan tiga metode yang mengungkapkan metode pemerolehan

dan pemeliharaan kesehatan mental yaitu: 1) metode iman yang berkaitan dengan prinsip-

23 Muhammad Mahmud Mahmud, ‘Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaw’I al-Islam, (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984), hlm. 336-337.

21

Page 22: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib; 2) metode

Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah; 3) metode ihsan yang

berkaitan dengan prinsp-prinsip moral atau etika.

Metode imaniah akan membentuk karakter Rabbani, karakter Maliki, karakter Qurani,

karakter Rasuli, karakter yang berwawasan dan melihat ke masa depan dan karakter takdiri.

Metode Islam dapat membentuk karakter muslim yang mendorong seseorang untuk hidup

bersih, suci dan dapat menyesuaikan dengan segala kondisi yang merupakan syarat

terciptanya kesehatan mental. Sedangkan tahapan Ihsaniah, dibentuk dalam tiga tahapan

yaitu: Tahapan permulaan (al-bidayah), Tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan

(al-mujabadat), dan Tahapan merasakan (al-Muziqat).

DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, H. D. (1995). Integrasi psikologi dengan Islam, menuju psikologi Islami.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Daradjat, Zakiah. (1982). Islam dan kesehatan mental. Jakarta: PT Gunung Agung.

Godam64. (2007). Hal / Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Mental Manusia, Internal

Dan Eksternal - Psikologi. Diakses tanggal 4 November 2009 pukul 9.19 pm dari

http://organisasi.org/hal-faktor-yang-mempengaruhi-kesehatan-mental-manusia-

internal-dan-eksternal-psikologi

Hasyim, M. F. (2008). Agama dan kesehatan mental. Diakses tanggal 4 November 2009

pukul 9.46 pm dari http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dan-

kesehatan-mental/

Kesehatan Mental. Diakses tanggal 4 November 2009 pukul 9.13 pm dari

http://www.wattpad.com/109080-kesehatan-mental

22

Page 23: MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

Mujib, Abdul. (2002). Nuansa-nuansa psikologi Islam.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Rz Mawardi, Imam. (2008). Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam

(bagian 1). Diakses tanggal 4 November 2009 pukul 9.37 pm dari

http://mawardiumm.blogspot.com/2008/05/kesehatan-mental-dan-dinamika.html

23