MAKALAH PRODUKTIVITAS

35
Halaman Judul Makalah Produktivitas Ekosistem Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Terestrial Oleh: Aisyah (131810401048) Robby Septiawan Nugroho (131810401056) JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER i

description

Produktifitas Ekologi

Transcript of MAKALAH PRODUKTIVITAS

Halaman Judul

Makalah

Produktivitas Ekosistem

Disusun untuk memenuhi

tugas mata kuliah Ekologi Terestrial

Oleh:

Aisyah (131810401048)

Robby Septiawan Nugroho (131810401056)

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS JEMBER

2015

i

Daftar IsiHalaman Judul..........................................................................................................i

BAB. 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB 2. PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Pengertian Produktivitas................................................................................3

2.2 Jenis-jenis Produktivitas................................................................................4

2.2.1 Produktivitas Primer...............................................................................6

2.2.2 Produktivitas Sekunder...........................................................................8

2.2.3 Piramida Ekologi.....................................................................................9

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Primer.......................................13

2.4 Metode Perhitungan Produktivitas Primer...................................................17

BAB 3. PENUTUP................................................................................................19

3.1 Kesimpulan..................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

ii

BAB. 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem merupakan interaksi antara komponen hidup dan tak hidup.

Organisme seperti hewan, tumbuhan, alga, fungi dan bakteri merupakan

komponen hidup dalam ekosistem, sedangkan pengaruh fisik lingkungan seperti

udara, air dan tanah merupakan komponen tak hidup dalam ekosistem. Komponen

hidup dalam ekosistem dikenal dengan sebutan biotik, sedangkan komponen tak

hidup seperti topografi dan kemiringan tanah dalam ekosistem disebut abiotik.

Kedua komponen tersebut kemudian berinterkasi satu sama lain sehingga

membentuk sebuah ekosistem.

Organisme di dalam ekosistem membutuhkan energi untuk tumbuh,

berkembang biak, dan bergerak. Namun dalam sebuah ekosistem ketersediaan

energi sangatlah terbatas, sehingga dibutuhkan adanya pengaturan energi dalam

ekosistem karena energi tersebut nantinya akan dibagi dalam tingkatan trofik yang

berbeda. Sehingga banyak sedikitnya energi yang diterima kemudian akan

mempengaruhi jenis dan jumlah organisme dalam ekosistem.

Energi yang digunakan dalam kehidupan organisme dalam ekosistem

berasal dari adanya sejumlah sinar matahari yang masuk ke dalam ekosistem.

Energi cahaya matahari yang mencapai bumi kemudian ditangkap oleh tumbuhan

dan produsen lain dan dirubah menjadi energi kimia melaui fotosintesis. Para

produsen mengubah energi cahaya ini dengan energi kimia yang tersimpan dalam

senyawa organik. Tingkat di mana produsen dalam ekosistem membangun

biomassa disebut produktivitas primer.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :

1. Apa pengertian produktivitas?

2. Apa saja jenis-jenis produktivitas?

1

3. Apa saja faktor yang mempengaruhi produktivitas?

4. Bagaimana metode pengukuran produktivitas ekosistem?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Mengetahui pengertian produktivitas.

2. Mengetahui jenis-jenis produktivitas.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas.

4. Mengetahui metode pengukuran produktivitas ekosistem.

2

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Produktivitas

Produktivitas biasanya diartikan sebagai laju produksi zat organik dalam

suatu ekosistem. Proses ini biasanya dimulai dari kegiatan mengkonversi energi

sinar matahari menjadai zat-zat organik melalui proses fotosintesis pada tumbuhan

hijau (Ramli, 1989). Di dalam setiap ekosistem baik daratan maupun perairan

terdapat organisme hidup dan benda mati (lingkungan abiotik) yang menunjang

proses kehidupan. Proses kehidupan di alam tersebut merupakan kejadian yang

mengubah bentuk energi pada berbagai komponen ekosistem. Proses-proses yang

terlibat dalam pengubahan energi dalam ekosistem meliputi proses metabolisme,

aliran energi pada berbagai tingkat trofik, dan siklus biogeokimia (Chapman dan

Reiss, 1997). Proses metabolisme merupakan proses fisiologi yang terdapat pada

tubuh organisme hidup. Metabolisme meliputi anabolisme yaitu proses

penyusunan kimiawi yang dilakukan melalui kegiatan fotosintesis dan

katabolisme yaitu proses pembongkaran energi yang tersimpan dalam zat-zat

kimia hasil anabolisme. Hasil dari proses metabolisme adalah pertumbuhan dan

penambahan biomassa, dan penimbunan biomassa itu disebut produksi (Odum,

1993). Produksi selama periode waktu tertentu disebut produktivitas. Baik

produksi maupun produktivitas kedua-duanya secara umum berhubungan dengan

biomassa pada tingkat trofik tertentu (Kendeigh, 1980).

Pada suatu ekosistem dikenal adanya produsen dan konsumen, sehingga juga

dikenal adanya produktivitas oleh produsen dan produktivitas oleh konsumen.

Produktivitas pada aras konsumen disebut produktivitas primer (dasar), sedangkan

pada aras konsumen disebut produktivitas sekunder. Produktivitas primer adalah

laju penambatan energi oleh produsen melalui proses fotosintesis. Produksi primer

dari suatu ekosistem berasal dari proses fotosintesis yang dilakukan oleh

tumbuhan berdaun hijau dengan pengikatan energi yang berasal dari cahaya

matahari. Secara kimia proses fotosintesis merupakan reaksi oksidasi-reduksi

(redoks) meliputi penyimpanan bagian dari energi cahaya matahari sebatas energi

3

potensial. Produksi primer yang menumpuk pada produsen atau tumbuhan selama

suatu periode tertentu merupakan biomasa tumbuhan. Sebagian dari biomasa ini

akan diganti melalui proses dekomposisi dan sebagian lagi tetap disimpan dalam

waktu yang lebih lama sebagai materi yang berdaur hidup (life cycle). Jumlah

akumulasi materi organik yang hidup pada suatu waktu disebut Standing Crop

Biomass (biomasa hasil bawaan). Dengan demikian jelas bahwa biomassa berbeda

dengan produksi (produktivitas). Produktivitas komunitas bersih merupakan laju

penyimpanan materi organik oleh produsen, yang tidak digunakan (dimakan) oleh

heterotrof (herbivora). Jadi produktivitas komunitas bersih merupakan sisa

produktivitas primer sesudah dikurangi yang digunakan (dikonsumsi) oleh

herbivora (Djumara, 2007).

Produktivitas biologis merupakan hasil yang terus-menerus dihasilkan oleh

komunitas biologi sehingga perlu dinyatakan dalam satuan waktu. Misalnya

produksi zat makanan per hari atau per tahun. Oleh karena itu, produktivitas dapat

digunakan untuk mengukur kekayaan atau kesuburan suatu komunitas atau suatu

ekosistem. Suatu contoh padang rumput yang subur, tetapi sering dimakan oleh

hewan herbivora akan mempunyai biomassa yang lebih kecil daripada rumput

yang tidak dimakan hewan. Oleh karena itu, produktivitas merupakan gambaran

dari laju atau kecepatan pertambahan materi organik baru, maka satuan yang

dipergunakan hendaknya meliputi tiga hal, yaitu biomassa (berat kering, jumlah

individu, atau kilokalori), satuan luas (m2, ha), dan satuan waktu (hari, tahun).

Biasanya satuan yang dipakai adalah gabungan antara berat kering dalam gram

per meter persegi per hari (gr/m2/hari). Berbagai ekosistem mempunyai

produktivitas yang tidak sama. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor lingkungan

seperti iklim, topografi, sifat tanah, letak geografis, air dan ketinggian suatu

tempat dari permukaan laut (Resosoedarmo, dkk., 1985).

2.2 Jenis-jenis Produktivitas

Produktivitas dalam ekosistem biasanya didefinisikan sebagai laju

produksi per satuan waktu. Produktivitas dapat dibagi menjadi dua macam yaitu

produktivitas primer dan produktivitas sekunder. Produktivitas primer dilakukan

4

oleh produsen (autotrof) yaitu menghasilkan energi atau biomassa per satuan luas

per satuan waktu. Produktivitas sekunder yaitu biomassa yang diperoleh oleh

organisme heterotrofik, melalui proses makan dan penyerapan yang diukur dalam

satuan massa atau energi per satuan luas per satuan waktu. Produktivitas primer

adalah konversi energi surya sedangkan produktivitas sekunder melibatkan makan

atau penyerapan. Produktivitas primer tergantung pada jumlah sinar matahari,

kemampuan produsen untuk menggunakan energi untuk mensintesis senyawa

organik, dan ketersediaan faktor-faktor lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

(misalnya mineral dan nutrisi) (Gambar 1). Produktivitas sekunder tergantung

pada jumlah makanan yang tersedia dan efisiensi konsumen mengubahnya

menjadi biomassa baru (Nagle, 2010).

Gambar 1. Perbandingan bioma dalam hal produksi primer / 103 kJ/m2 /tahun (Nagle, 2010).

Produksi primer tertinggi terjadi apabila kondisi untuk pertumbuhan

optimal, dimana ada tingkat insolasi yang tinggi, air yang cukup, suhu hangat, dan

tingkat gizi yang tinggi. Misalnya, hutan hujan tropis memiliki curah hujan tinggi

dan hangat sepanjang tahun sehingga mereka memiliki musim tanam konstan dan

produktivitas yang tinggi. Gurun memiliki curah hujan yang rendah sehingga akan

membatasi pertumbuhan tanaman. Estuaria menerima sedimen yang mengandung

nutrisi dari sungai, karena dangkal, ringan dan hangat sehingga memiliki

produktivitas yang tinggi. Lautan gelap di bawah permukaan akan membatasi

5

produktivitas tanaman karena kurangnya faktor cahaya dan suhu yang kurang

optimal (Nagle, 2010).

2.2.1 Produktivitas Primer

Setiap ekosistem atau komunitas atau bagian-bagian lain dalam organisasi

makhluk hidup memiliki produktivitas. Kecepatan energi radiasi matahari yang

diubah oleh tumbuhan hijau menjadi energi kimia dikenal sebagai produktivitas

primer (Vickery, 1984). Produktivitas primer merupakan kecepatan energi radiasi

matahari yang disimpan melalui aktivitas fotosintesis dan kemosintesis oleh

organisme produsen dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai

bahan pangan. Produktivitas primer digolongkan menjadi dua macam yaitu

produktivitas primer kotor dan produktivitas primer bersih.

a. Poduktivitas primer kotor, yaitu kecepatan total fotosintesis yang mencakup

bahan organik yang digunakan dalam respirasi atau pernapasan selama periode

pengukuran atau dapat diartikan sebagai fotosintesis total.

b. Produktivitas primer bersih, yaitu kecepatan penyimpanan bahan organik

dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan bahan organik yang sebagian

telah dipakai untuk respirasi tumbuhan selama proses pengukuran atau disebut

juga fotosintesis bersih (Resosoedarmo, dkk., 1986).

Aliran energi melalui komunitas yang dimulai dari fiksasi cahaya matahari

oleh tumbuhan hijau yaitu proses pengiriman energi. Tumbuhan mengandalkan

makanan simpanan yang berupa energi dalam biji sampai musim berproduksi.

Energi yang diakumulasi oleh tumbuhan hijau disebut produksi atau disebut juga

produksi primer. Kecepatan penyimpanan yang diwujudkan oleh aktivitas

fotosintesis disebut produktivitas primer. Seperti halnya organisme lain, tumbuhan

membutuhkan energi untuk berproduksi dan pemeliharaan kehidupannya. Energi

yang tinggal sesudah proses respirasi disimpan sebagai bahan organik disebut

produksi primer bersih atau pertumbuhan tumbuhan (Sudarmadji, 2014).

Produksi primer total dalam suatu ekositem dikenal sebagai produksi primer

kotor (PPK-gross primary production, GPP) ekositem tersebut, jumlah energi

cahaya yang dikonversi menjadi energi kimiawi melalui fotosintesis per satuan

6

waktu. Tidak semua produksi ini disimpan sebagai material organik di dalam

produsen-produsen primer karena mereka menggunakan beberapa molekul

sebagai bahan bakar pada respirasi selulernya sendiri. Produksi primer bersih

(PPB-net primary production, NPP) sebanding dengan produksi primer kotor

dikurangi dengan energi yang digugnakan oleh produsen primer untuk respirasi

(R) :

PPB = PPK – R

Gambar 2. Produktivitas primer (Nagle, 2010).

Pada banyak ekosistem, PPB adalah sekitar separuh PPK. Produksi primer

bersih merupakan besaran kunci karena mempresentasikan penyimpanan energi

kimia yang akan tersedia bagi konsumen dalam ekosistem. PPB dapat dinyatakan

sebagai energi persatuan luas per satuan waktu (J/m2/tahun) atau sebagai biomassa

yang ditambahkan ke ekosistem per satuan luas per satuan waktu (g/ m2/tahun)

(Campbell, et al., 2008).

Produksi primer bersih mengumpul sepanjang waktu sebagai biomassa

tumbuhan. Bagian dari akumulasi tersebut mengalami proses pembalikan melalui

dekomosisi, sedangkan yang tetap sepanjang waktu dikenal sebagai materi hidup.

Akumulasi bahan organik hidup yang terdapat pada suatu area dan suatu saat

tertentu dikenal sebagai biomassa saat itu (standing crop biomassa). Biomassa

biasanya dikatakan sebagai gram berat kering bahan organik per satuan luas

(contoh gram per m2 atau kg per ha, atau kalori per m2). Jadi biomassa organiknya

7

disusun dari fotosintesis, sedangkan biomassa ada pada suatu saat tertentu adalah

tidak sama dengan produksi dan tidak berarti bahwa biomassa yang tinggi

berpengaruh pada produksi tinggi (Sudarmadji, 2014).

2.2.2 Produktivitas Sekunder

Produktivitas sekunder dapat diartikan sebagai kecepatan menyimpan

energi potensial ke dalam tingkatan trofik konsumen atau makhluk pengurai.

Produktivitas sekunder dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu produktivitas

sekunder kotor dan produktivitas sekunder bersih. Dengan demikian, semakin

jauh kedudukannya dalam rantai makanan, maka jumlah energinya adalah

semakin kecil. Jumlah energi total yang terdapat pada tingkat heterotrofik yang

analog dengan produktivitas kotor pada tingkat autotrofik sebaiknya disebut

asimilasi dan bukan produksi, karena pada tingkat ini memang organisme tidak

melakukan produksi melainkan hanya mengassimilasi saja (Resosoedarmo, dkk.,

1985).

Hewan tidak menggunakan semua biomassa yang mereka konsumsi. Beberapa lolos keluar melalui feses dan ekskresi. Produksi kotor pada hewan ( GSP) adalah jumlah energi atau biomassa yang berasimilasi dikurangi energi atau biomassa dari kotoran. Beberapa energi diasimilasi oleh hewan digunakan dalam respirasi, untuk mendukung proses kehidupan, dan sisanya tersedia untuk membentuk biomassa baru (NSP). Biomassa baru inilah yang kemudian tersedia ke tingkat trofik berikutnya. Bila dirangkum maka :

NSP = GSP – RKeterangan :GSP = makanan yang dimakan – ekskresi melalui feses

R = respirasi(Nagle, 2010)

8

Gambar 3. Produktivitas sekunder (Nagle, 2010).

2.2.3 Piramida Ekologi

Jumlah energi kimiawi dalam makanan konsumen yang dikonversi

menjadi biomassa baru selama periode waktu tertentu disebut produksi sekunder

ekosistem. Selama produsen menyiapkan anggaran energi total dalam ekosistem,

energi terus melewati setiap tahapan pada jaring-jaring makanan. Pada saat

melewati jaring-jaring makanan, energi akan ditransfer dari tingkat trofik terendah

hingga tingkat trofik tertinggi. Tetapi sebagian besar energi yang diterima akan

hilang dan tidak membentuk biomassa (Nagle, 2010).

Pada sebagian besar ekosistem, herbivor hanya memakan sebagian kecil

materi tumbuhan yang dihasilkan. Contohnya saja produksi sekunder pada ulat

bulu. Ketika ulat bulu memakan daun tumbuhan, hanya sekitar 33 J dari 200 J

atau seperenam energi di dalam daun yang digunakan untuk produksi sekunder

atau pertumbuhan. Ulat bulu menggunakan beberapa dari energi yang tertinggal

untuk respirasi selular dan membuang sisanya dalam feses. Energi yang

terkandung dalam feses bertahan di ekosistem untuk sementara, namun sebagian

besar hilang sebagai panas setelah dikonsumsi oleh detritivor. Energi yang

9

terkandung dalam respirasi selular ulat bulu juga hilang dari ekosistem sebagai

panas. Inilah alasannya energi dikatakan mengalir melalui bukan di daur di dalam

ekosistem. Hanya energi kimiawi yang disimpan oleh herbivor sebagai biomassa

(melalui pertumbuhan atau produksi keturunan) tersedia sebagi makanan untuk

konsumen sekunder (Nagle, 2010).

Untuk menggambarkan informasi tentang energi, biomassa, dan jumlah

organisme di tingkat trofik yang berbeda, ekologi menggunakan tiga jenis

diagram yaitu piramida energi, piramida biomassa, dan piramida jumlah. Dalam

setiap kasus, dasar piramida adalah tingkat produsen. Konsumen primer

membentuk blok di atasnya, dan seterusnya (http://mtchs.org, 2015).

a. Piramida energi

Piramida energi disebut juga piramida makanan, piramida ini menggambarkan

energi yang hilang dari tingkat trofi di bawah ke tingkat trofi di atasnya. Secara

umum, rata-rata hanya 10 persen dari energi yang tersedia pada tingkat trofik

diubah menjadi biomassa di tingkat trofik berikutnya yang lebih tinggi. Sisa

energi sekitar 90 persen hilang dari ekosistem sebagai panas. Perhatikan pada

Gambar 5 bahwa jumlah energi yang tersedia untuk konsumen tingkat atas lebih

kecil dibandingkan dengan yang tersedia bagi konsumen primer. Untuk alasan ini,

dibutuhkan banyak vegetasi untuk mendukung tingkat trofik yang lebih tinggi.

Hal ini menjelaskan mengapa kebanyakan rantai makanan terbatas tiga atau empat

tingkat. Karena tidak ada cukup energi di bagian atas piramida energi untuk

mendukung tingkat trofik lain. Misalnya, singa dan paus tidak memiliki predator

alami, sehingga energi yang tersimpan dalam populasi konsumen tingkat atas ini

tidak cukup untuk memberi makan lagi tingkat trofik lain

10

Gambar 3. Piramida energi (Nagle, 2010).

b. Piramida biomassa

Piramida biomassa merupakan biomassa yang sebenarnya (massa kering dari

semua organisme) di setiap tingkat trofik dalam suatu ekosistem. Sebagian

biomassa piramida menyempit tajam dari tingkat produsen di dasar kepada

konsumen tingkat atas di puncak (Gambar 6), hal tersebut dikarenakan transfer

energi diantara tingkat-tingkat trofik sangat tidak efisien. Tetapi, dalam ekosistem

perairan tertentu, zooplankton (konsumen primer) mengkonsumsi fitoplankton

(produsen) sangat cepat. Akibatnya, zooplankton memiliki massa yang lebih besar

pada waktu tertentu dibandingkan fitoplankton. Fitoplankton tumbuh dan

11

berkembang biak pada tingkat yang cepat yang mereka dapat mendukung populasi

konsumen yang memiliki biomassa yang lebih besar. Piramida biomassa untuk

ekosistem ini akan muncul sebagai piramida terbalik

Gambar 4. Piramida biomassa (Nagle, 2010)

c. Piramida jumlah

Piramida jumlah menggambarkan jumlah organisme individu dalam setiap

tingkat trofik suatu ekosistem. Piramida ini juga berbentuk seperti piramida

energi, dengan produsen yang ditemukan di dasar dan tingkat tropik yang lebih

tinggi pada tingkatan di atasnya. Piramida ini disusun berdasarkan jumlah

organismenya tanpa memperhatikan ukuran tubuhnya sehingga dalam beberapa

kasus jumlah produsen tercatat lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan

konsumen, tetapi meskipun jumlahnya seidkit mampu memenuhi kebutuhan

energi konsumen sehingga terkadang menyebabkan bagian dasar piramida

berukuran kecil (http://mtchs.org, 2015).

12

Gambar 5. Piramida jumlah (Nagle, 2010)

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Primer

Apabila produktivitas suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka

waktu yang lama maka hal itu menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi

jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi perubahan

lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di

antara organisme penyusun eksosistem (Jordan, 1985). Terjadinya perbedaan

produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya

faktor pembatas dalam setiap ekosistem. Faktor yang paling penting dalam

pembatasan produktivitas bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim

dalam lingkungan (Campbell, et al., 2008). Produktivitas pada ekosistem

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

a. Suhu

Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan

meningkat dari wilayah kutub ke ekuator. Namun pada hutan hujan tropis, suhu

bukanlah menjadi faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya

musim tumbuh. Adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun

dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada

gilirannya meningkatkan produktivitas (Jordan, 1995).

Suhu secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada

produktivitas. Secara langsung suhu berperan dalam mengontrol reaksi enzimatik

dalam proses fotosintetis, sehingga tingginya suhu dapat meningkatkan laju

maksimum fotosintesis. Sedangkan secara tidak langsung, misalnya suhu berperan

dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat

mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton. Adanya suhu yang tinggi dan

konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-

tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan

produktivitas (Jordan, 1995). Berdasarkan sinar matahari dan lamanya masa

tumbuh De Witt dalam Sanches (1992) menaksir hasil tanaman pangan yang

mungkin, berdasarkan jalur lintang. Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah

13

hutan hujan tropis berkemungkinan memberikan hasil lebih besar per tahun

dibanding daerah iklim sedang, dengan mengandaikan tidaknya faktor pembatas.

Produktivitas yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan

berlangsung jika hanya didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di

dunia yang memiliki suhu yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan

hujan tropis, tetapi memiliki produktivitas yang rendah (Woodweell, 1967).

b. Cahaya

Cahaya merupakan sumber energi primer bagi ekosistem. Cahaya

memiliki peran yang sangat vital dalam produktivitas primer, oleh karena hanya

dengan energi cahaya tumbuhan dan fitoplankton dapat menggerakkan mesin

fotosintesis dalam tubuhnya. Hal ini berarti bahwa wilayah yang menerima lebih

banyak dan lebih lama penyinaran cahaya matahari tahunan akan memiliki

kesempatan berfotosintesis yang lebih panjang sehingga mendukung peningkatan

produktivitas primer (Wiharto, 2007).

Pada ekosistem terrestrial seperti hutan hujan tropis memilik produktivitas

primer yang paling tinggi karena wilayah hutan hujan tropis menerima lebih

banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan

iklim sedang (Wiharto, 2007).

c. Air, curah hujan, dan kelembaban

Produktivitas pada ekosistem terestrial berkorelasi dengan ketersediaan

air. Air merupakan bahan dasar dalam proses fotosintesis, sehingga ketersediaan

air merupakan faktor pembatas terhadap aktivitas fotosintetik. Secara kimiwi air

berperan sebagai pelarut universal, keberadaan air memungkinkan membawa serta

nutrient yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Air memiliki siklus dalam ekosistem.

Keberadaan air dalam ekosistem dalam bentuk air tanah, air sungai/perairan, dan

air di atmosfer dalam bentuk uap. Uap di atmosfer dapat mengalami kondensasi

lalu jatuh sebagai air hujan. Interaksi antara suhu dan air hujan yang banyak yang

berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembaban yang sangat ideal

tumbuhan terutama pada hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas

(Wiharto, 2007).

14

Tingginya kelembaban pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas

mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi proses ini adalah

pelapukan tanah yang berlangsung cepat yang menyebabkan lepasnya unsur hara

yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Terjadinya petir dan badai selama hujan

menyebabkan banyaknya nitrogen yang terfiksasi di udara, dan turun ke bumi

bersama air hujan (Jordan, 1995).

Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut

curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh

vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah

dengan cepat (Resosoedarmo, dkk., 1986). Sebagai salah satu faktor siklus hara

dalam sistem, pencucian adalah penyebab utama hilangnya hara dari suatu

ekosistem. Hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah Ca dan K (Barbour et

al., 1987).

d. Nutrien

Tumbuhan membutuhkan berbagai ragam nutrient anorganik, beberapa

dalam jumlah yang relatif besar dan yang lainnya dalam jumlah sedikit, akan

tetapi semuanya penting. Pada beberapa ekosistem terrestrial, nutrient organic

merupakan faktor pembatas yang penting bagi produktivitas. Produktivitas dapat

menurun bahkan berhenti jika suatu nutrient spesifik atau nutrient tunggal tidak

lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi. Nutrient spesifik yang demikian

disebut nutrient pembatas (limiting nutrient). Pada banyak ekosistem nitrogen dan

fosfor merupakan nutrient pembatas utama, beberapa bukti juga menyatakan

bahwa CO2 kadang-kadang membatasi produktivitas (Wiharto, 2007).

e. Tanah 

Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis

disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi

yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar (respirasi tanah). Jika

tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah

beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3 ) yang kemudian akan

mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen

bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara

15

yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang

dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil

tanah (Wiharto, 2007).

f. Herbivora

Menurut Barbour et al. (1987) dalam Wiharto (2007), sekitar 10 % dari

produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase

ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat. Namun demikian, menurut

McNaughton dan Wolf (1998) bahwa akibat yang ditimbulkan oleh herbivora

pada produktivitas primer sangat sedikit sekali diketahui. Bahkan hubunga antar

herbivora dan produktivitas primer bersih kemungkinan bersifat kompleks, di

mana konsumsi sering menstimulasi produktivitas tumbuhan sehingga meningkat

mencapai tingkat tertentu yang kemudian dapat menurun jika intensitasnya

optimum. 

Jordan (1985) dalam Wiharto (2007) menyatakan, bahwa walaupun

defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi, hal ini

disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Selain

itu, banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui

produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek

yang kurang baik bagi herbivora.

g. Jenis dan Umur Tumbuhan

Perbedaan laju pertumbuhan diantara jenis-jenis yang berkompetisi dalam

suatu ekosistem merupakan kejadian yang alami, dengan demikian akan terjadi

pula perbedaan produktivitas pada fase pertumbuhan yang berbeda atau pada

umur yang berbeda dari suatu jenis yang sama. Tumbuhan akan mencapai

produktivitas maksimal pada fase muda. Ketika tubuh tumbuhan meningkat energi

yang difiksasi lebih banyak digunakan untuk mengelola tubuhnya. Produktivitas

yang berlebih digunakan untuk membentuk produktivitas bersih yang secara

teratur menurun dalam masa pemasakan (Wiharto, 2007).

h. Peneduhan

Bentuk-bentuk geometri tumbuhan dan kerapatannya sangat berperan

dalam menentukan efisiensi ekosistemnya. Tumbuhan yang memiliki daun yang

16

relatif lebar dan vertikal dapat menghasilkan area aktif fotosintesis maksimum dan

total peneduhannya rendah. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

produktivitas primer pada setiap tanaman terjadi pada tingkatan yang spesifik,

keadaan yang sama juga terjadi pada daun-daun yang terisolasi. Dalam hal ini

hanya memperhatikan salah satu faktor yang kompleks yang mempengaruhi

produktivitas primer yaitu struktur 3 dimensi dari suatu kanopi vegetasi. Faktor

struktural ini mempengaruhi efisiensi kanopi sebagai suatu penangkap cahaya.

Pada kanopi berdaun lebar sebagian cahaya tidak diserap dekat permukaan dan

tingkat kanopi yang lebih rendah terlindungi lebih banyak. Akibatnya fotosintesis

bersih cenderung terkonsentrasi di lapisan atas pada tipe kanopi berdaun lebar dan

terkonsentrasi dilapisan tengah pada tipe kanopi berdaun sempit. Posisi sudut

daun mempengaruhi juga kedalaman penetrasi cahaya ke dalam kanopi. Penetrasi

cahaya akan lebih dalam bila daunnya tegak. Tanaman padi yang memiliki

geometri sudut daun atau kanopi vertikal dan tipe berdaun sempit akan lebih

efektif pada intensitas cahaya yang kuat dan ketika posisi matahari rendah.

Kanopi horizontal dari tipe berdaun lebar akan lebih efektif pada intensitas cahaya

rendah dan ketika matahari berada di atas kepala (Wiharto, 2007).

2.4 Metode Perhitungan Produktivitas Primer

Produktivitas dapat diukur selama beberapa periode waktu tertentu.

Beberapa metode yang sesungguhnya dapat digunakan untuk mengukur

produktivitas dapat diringkas sebagai berikut :

a. Metode Panen

Metode panen merupakan cara mengukur produktivitas dengan memanen

seluruh organ vegetasi secara periodik menurut periode waktu yang dipilih. Hasil

panen kemudian dioven pada suhu 80oC sampai pada suatu saat bobotnya konstan

dan bobot ini dinyatakan sebagai bobot kering oven (g/m3/tahun)

b. Mengukur Oksigen

Metode pengukuran oksigen sering digunakan untuk menentukan produktivitas

pada vegetasi peairan. Metode ini menggunakan teknik botol terang dan gelap,

jadi ada dua botol yang satu tembus pandang yang satu lagi gelap. Kedua botol

17

tersebut diisi air dari danau pada kedalaman tertentu, kemudian ditutup dan

dipertahankan pada kedalaman selama waktu tertentu. Setelah itu dibawa ke

laboratorium untuk penentuan kadar O2 yang terdapat pada air tersebut.

Penurunan O2 pada botol yang gelap disebabkan oleh kegiatan respirasi,

sedangkan peningkatan O2 pada botol yang terang disebabkan oleh kegiatan

fotosintesis. Jumlah dari peningkatan O2 dalam botol terang dengan penurunan O2

dalam botol gelap menyatakan produktivitas kotor, sehingga selisih antara O2

dalam botol terang dengan O2 dalam botol gelap merupakan produktivitas bersih

c. Metode Karbon Dioksida

Metode karbon dioksida dilakukan dengan memanfaatkan gas selama

fotosintesis atau pembebasannya selama respirasi yang diukur dengan analisis gas

inframerah atau dengan memasukkan gas melalui air Ba(OH)2 dan

mentitrasikannya. Dengan melakukan eksperimen di dalam kamar terang dan

gelap kemudian dapat dikeluarkan produksi bersih dan kotor. Di dalam suatu

kamar yang diterangi, fotosintesis dan respirasi berlagsung bersamaan dan CO2

yang muncul dari kamar adalah gas atmosfer yang tidak terpakai ditambah gas

yang berasal dari respirasi bagian-bagian tumbuhan. Di dalam kamar gelap, semua

gas CO2 disebabkan oleh respirasi. Dengan demikian, produktivitas bersih sama

dengan produktivitas kotor dikurangi respirasi

d. Metode Klorofil

Hubungan antara klorofil total terhadap laju fotosintesis dikenal sebagi rasio

asimilasi atau laju produksi per gram klorofil. Jadi, rasio asimilasi merupakan

perbandingan antara bobot O2 yang dihasilkan per jam (g/jam) dibagi dengan

bobot klorofil (g). Pada ekosistem hutan besarnya rasio asimilasi adalah 0,4-4,0

(Odum, 1993).

Produktivitas berhubungan erat dengan jumlah klorofil yang ada. Rasio asimilasi untuk tumbuhan atau ekosistem adalah laju dari produktivitas pergram klorofil. Konsentrasi klorofil dapat ditentukan berdasarkan cara yang sederhana, yaitu dengan cara mengekstraksi pigmen tumbuhan. Mula–mula dilakukan pencuplikan daun dengan ukuran tertentu. Untuk sampling fitoplankton dilakukan dengan pengambilan sampel air dalam volume tertentu. Organisme selain fitoplankton

18

harus di pisahkan dari sampel. Samel selanjutnya di saring dengan menggunakan filter khusus fitoplankton pada pompa vakum dengan tekanan rendah. Filter yang mengandung klorofil dilarutkan pada aseton 85% , kemudian dibiarkan semalam, dan selanjutnya di sentrifuse. Supernatannya dibuang dan pelet yang mengandung klorofil di keringkan dan di timbang beratnya. Berat klorofil di ukur dalam mg klorofil/unit area. Pengukuran klorofil juga bisa di lakukan dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 665 nm. Bila rasio asimilasi, kadar klorofil, dan jumlah energi cahaya di ketahui, maka produktivitas primer kotor dapat diketahui. Metode ini dapat di terapkan pada berbagai tipe ekosistem.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut :

1. Produktivitas biasanya diartikan sebagai laju produksi zat organik dalam suatu

ekosistem. Produktivitas dapat dibagi menjadi dua macam yaitu produktivitas

primer dan produktivitas sekunder. Produktivitas primer dilakukan oleh

produsen (autotrof), produktivitas sekunder dilakukan oleh konsumen

(heterotrof).

2. Produktivitas dibagi menjadi dua macam yaitu produktivitas primer dan

produktivitas sekunder. Produktivitas primer adalah konversi energi surya

sedangkan produktivitas sekunder melibatkan makan atau penyerapan.

19

Produktivitas primer tergantung pada faktor-faktor lain yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan. Produktivitas sekunder tergantung pada jumlah makanan yang

tersedia dan efisiensi konsumen mengubahnya menjadi biomassa baru

3. Terjadinya perbedaan produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer

disebabkan oleh adanya faktor pembatas dalam setiap ekosistem. Faktor yang

paling penting dalam pembatasan produktivitas bergantung pada jenis

ekosistem dan perubahan musim dalam lingkungan. Beberapa faktor yang

mempengaruhi produktivitas adalah suhu, cahaya, air, nutrien, tanah,

herbivora, jenis dan umur tumbuhan, dan peneduhan.

4. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur produktivitas adalah

metode panen, mengukur oksigen, metode karbon dioksida dan metode

klorofil.

DAFTAR PUSTAKA

Barbour, M. G., J.H. Burk., and W.P. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology.

California : The Benjamin/Cumming Publishing Company Ins.

Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2008. Biologi (terjemahan), Edisi

kelima Jilid 3. Jakarta : Erlangga.

Chapman, J. L. dan M. J. Reiss. 1997. Ecology : Principles and Applications.

USA : Cambridge University.

Djumara, N. 2007. Modul 3 Sumber Daya Alam Lingkungan Terbarukan dan

Tidak Terbarukan Diklat Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup di Daerah

(Environmental Assesment and Management). Jakarta : Bumi Aksara.

20

http://mtchs.org/BIO/biologyexploringlife/text/chapter36/concept36.2.html [3

Maret 2015].

Jordan, C. F. 1995. Nutrient Cycling in Tropical Ecosystem. New York : John

Wiley and Sons Inc.

Jordan, C. F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystems. New York :

John Wiley and Sons Inc.

Kendeigh, S. H. 1980. Ecology With Special Reference to Animals and Man. New

Delhi : Prentice Hall of India Private Limited.

Mcnaughton, S.J. L. L. Wolf. 1998. Ekologi Umum (terjemahan), Edisi kedua.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nagle, G. 2010. Environmental System and Societies. NYC : Pearson

Education Limited.

Odum, E. P. 1993. Fundamentals of Ecology. Philadelphia : W. B. Saunders

Company.

Ramli, D. 1989. Ekologi. Jakarta : Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan

Tenaga Kependidikan Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Resosoedarmo, R.S., Kartawijaya, K., Soegianto., A. 1986. Pengantar Ekolologi.

Bandung : Remadja Karya CV.

Sanches, P. A.1992. Properties and Management of Soils in The Tropic.

New York : Wile .

Sudarmadji. 2014. Pengantar Ekologi Terestial. Jember : Universitas Jember.

Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. New York : John Wiley and

Sons Inc.

Welch, E. B & T. Lindell. 1980. Ecological effects of waste water. USA :

Cambridge University Press.

Wiharto, M. 2007. Produktivitas Vegetasi Hutan Hujan Tropis. (pdf_file).

Woodweell, G. M.1967. Radiation and Pattern of Nature. Science 156: 461-470.

21