Makalah Problematika Batasan Keuangan Negara
-
Upload
ranto-sitanggang -
Category
Documents
-
view
223 -
download
5
Transcript of Makalah Problematika Batasan Keuangan Negara
PROBLEMATIKA BATASAN KEUANGAN NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan kita sehari-hari, secara sadar maupun tidak, kita
banyak melakukan aktivitas yang terkait dengan keuangan. Seorang anak
yang pergi kesekolah dengan berbekal uang jajan harus belajar untuk
mengatur uang jajannya tersebut agar cukup untuk keperluannya selama di
sekolah. Seorang kepala rumah tangga juga harus mampu mengatur jumlah
pengeluarannya agar tetap bisa dibiayai dari gaji atau penghasilannya. Dalam
lingkup yang lebih luas, pemerintah juga perlu mengatur sumber daya yang
dimilikinya agar dapat membiayai pembangunan yang menjadi amanat rakyat.
Hukum ekonomi dasar menyebutkan bahwa keinginan manusia adalah
tidak terbatas, sedangkan sumber daya untuk memenuhi keinginan tersebut
terbatas. Hal ini terjadi pula dalam lingkup negara. Negara Indonesia
memiliki keinginan (tujuan) seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945. Walaupun tujuan tersebut hanya 4 butir, tetapi hingga saat ini
pemerintah masih sulit untuk mewujudkannya, terutama yang terkait dengan
memajukan kesejahteraan umum. Salah satu kendala dalam mewujudkan tujuan
negara tersebut adalah pemerintah tidak memiliki cukup sumber daya untuk
membiayai kegiatan yang terkait dengan tujuan negara tersebut.
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum
dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk
pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam
berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola
dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.
Dalam mewujudkan tujuan negara, diperlukan sumber daya keuangan
yang aplikasinya secara tahunan dilakukan melalui Anggaran Penerimaan dan
1
Belanja Negara (APBN). APBN adalah rencana keuangan pemerintahan
negara yang telah disahkan oleh DPR. Melalui APBN tersebut, pemerintah
tahun demi tahun berusaha mewujudkan tujuan negara sampai batas yang
tidak ditentukan. Dengan demikian, keuangan negara memegang peran
penting untuk mewujudkan tujuan negara tersebut.
B. Identifikasi Masalah
Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk
dapat mendorong pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga
kwalitas : “predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya
keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan
negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan
akhirnya menghambat pembangunan ekonomi.
Pada kesempatan ini ada enam masalah mengenai kerancuan mengenai
Keuangan Negara yang dikedepankan, yaitu :
1. Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan
negara?
2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero)
berarti kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi kerugian
negara?
3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham
menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap
merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham?
4. Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN
(Persero) dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan
Komisaris PT. BUMN (Persero) bila tindakan mereka dianggap
merugikan Pemerintah sebagai Pemegang Saham?
C. Identifikasi Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
pengetahuan bagi penulis maupun pembaca makalah ini yang berkaitan dengan
Keuangan Negara, antara lain :
2
1. Untuk mengetahui kedudukan asset PT. BUMN (Persero)
sehubungan dengan Undang-Undang tentang Keuangan Negara.
2. Untuk mengetahui kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN
(Persero) berarti kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi
kerugian negara.
3. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan Pemerintah sebagai
pemegang saham dalam menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan
mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham.
4. Untuk mengetahui upaya Pemerintah sebagai pemegang saham dalam
PT. BUMN (Persero) dalam mengajukan tuntutan pidana kepada
Direksi dan Komisaris PT. BUMN (Persero) bila tindakan mereka
dianggap merugikan Pemerintah sebagai Pemegang Saham.
3
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PROBLEMATIKA KEUANGAN NEGARA
A. Landasan Teori Keuangan Negara
Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu
negara dan amat menentukan kelangsungan perekonomian baik
sekarang maupun yang akan datang. Mengutip Rene Stours,
dijelaskan bahwa hakekat atau falsafah APBN adalah:
The constitutional right which a nation possesses to authorize public
revenue and expenditure does not originates from the fact that the
members of the nation contribute the payments. This right is based in
a loftier idea. The idea of a sovereignty.
Jadi hakekat public revenue and e x p e n d i t u r e A P B N a d a l a h
kedaulatan.
Di negara demokrasi seperti Indonesia yang memiliki kedaulatan adalah
rakyat , implementas i kedaulatan tersebut dapat terlihat dalam
peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dimana rakyatlah yang menentukan
hidupnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya yang tercermin dalam APBN.
Pasa l 23 aya t (1 ) UUD 1945 mencerminkan kedaulatan rakyat
tersebut, yang tergambar dari adanya hak begrooting (hak budget) yang
dimiliki oleh DPR, dimana dinyatakan bahwa dalam hal menetapkan
pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan
pemerintah. Hal ini tanda kedaulatan rakyat, dan pemerintah baru dapat menjalan
kan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk Undang-
Undang.
Keuangan negara tidak identik dengan APBN, walaupun salah satu
cakupan dari keuangan negara memang APBN itu sendiri. Keuangan negara
memiliki pengertian yang luas dan bermacam-macam, tergantung
pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan pengertian tersebut.
4
Dimock dan Dimock, mendefinisikan keuangan negara sebagai:
Serangkaian langkah-langkah dimana dana-dana disediakan bagi
pejabat-pejabat tertentu dibawah prosedur-prosedur yang akan menjamin
sah atau berdaya gunanya pemakaian dana-dana itu.
Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, mendefinisikan keuangan negara
sebagai:
Aspek-aspek yang berhubunagn dengan fungsi fiskal, lembaga fiskal,
teori tentang barang dan jasa publik, teori tentang distribusi optimal,
politik fiskal, struktur pengeluaran dan penerimaan, pengaruh pajak
dan pengeluaran pemerintah pada pola kegiatan ekonomi, pengaruh
efisiensi dan kapasitas keluaran (output), kebijaksanaan fiskal dalam
kaitannya dengan alokasi sumber-sumber, distribusi pendapatan dan
kekayaan, stabilisasi ekonomi serta kebijaksanaan
Havey S. Rosen, mendefinisikan keuangan negara sebagai:
Public finance focuses on the taxing and spending activities of
government and their influence on the allocation of resources and
distribution of income
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 menyebutkan bahwa,
keuangan negara adalah:
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan dan kewajiban tersebut.
Kemudian, pasal 2 UU tersebut menyebutkan bahwa Keuangan Negara
meliputi:
1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan Negara;
5
4. Pengeluaran Negara;
5. Penerimaan Daerah;
6. Pengeluaran Daerah;
7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/ perusahaan daerah;
8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Di pasal 2 itu tersurat bahwa diantara yang termasuk dalam keuangan
Negara (yang berkaitan dengan pihak lain) adalah kekayaan Negara yang
dikelola pihak lain baik berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang (angka 7) dan kekayaan pihak
lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah
(angka 9).
B. Problematika Keuangan Negara
Sebelum tahun 2003, Keuangan Negara Indonesia masih
menggunakan ketentuan perundangan peninggalan pemerintah kolonial
Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan
peninggalan Belanda tersebut antara lain Indische Comptabiliteitswet (biasa
disingkat ICW Stbl 1925 No.448), Indische Bedrijvenwet (biasa disingkat
IBW Stbl 1927 No.4 19) dan Reglement voor het Administratief Beheer (biasa
disingkat RAB Stbl 1933 No.381). Sedangkan pelaksanaan pemeriksaan
pertanggungjawaban keuangan negara juga menggunakan aturan Belanda yang
disebut Instructie en Verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer
(biasa disingkat IAR Stbl 1933 No.320). Peraturan perundangan-undangan
lama tersebut tidak lagi dapat mengikuti dinamika perkembangan kenegaraan
yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan
6
tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian ketentuan
dalam aturan lama tersebut tidak lagi dilaksanakan.
Hal utama yang mendorong munculnya peraturan perundangan-
undangan yang baru untuk menggantikan aturan Belanda adalah banyaknya
kelemahan yang timbul dari perangkat perundangan lama tersebut.
Kelemahan tersebut antara lain:
1. Kelemahan di bidang peraturan perundang-undangan,
2. Kelemahan di bidang perencanaan dan penganggaran,
3. Kelemahan di bidang perbendaharaan, dan
4. Kelemahan di bidang auditing.
Kelemahan-kelemahan tersebut sebenarnya sudah dirasakan sejak lama,
namun demikian solusi yang dilakukan masih bersifat parsial. Kelemahan
yang ada dalam aturan lama berusaha ditutup dengan membuat aturan baru
yang dibuat khusus untuk mengganti pasal yang menyebabkan timbulnya
kelemahan tersebut. Aturan lama masih tetap berlaku, namun khusus untuk
pasal yang diamandemen berlaku ketentuan yang baru. Metode pembenahan
“tambal-sulam” seperti ini berlangsung sampai dengan tahun 2003.
Pada periode tahun 2003-2004, pemerintah melakukan langkah
strategis dengan melakukan “overhaul” menyeluruh atas sistem keuangan di
Indonesia. Di tahun tersebut, pemerintah bersama DPR mengeluaran satu paket
undang-undang bidang keuangan yang terdiri dari:
1. Undang-undang No.17 tentang Keuangan Negara
2. Undang-undang No. 1 tentang Perbendaharaan Negara, dan
3. Undang-undang No.15 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
Ketiga undang-undang tersebut pada akhirnya secara tuntas dapat
menggantikan peraturan perundangan lama yang disusun pemerintah Belanda.
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara
adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan”. Ini merupakan poin kunci
7
yang dapat digunakan untuk mengetahui ciri dan inti keuangan Negara, antara
lain:
1. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang,
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Ciri dan inti keuangan Negara disini adalah hak dan kewajiban yang
“dapat dinilai dengan uang, berwujud kebijakan, kegiatan, uang
atau barang dan di 3 (tiga) cluster, yaitu bidang fiscal, bidang
moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Yang menarik disitu diuraikan bagian dari salah satu cluster
keuangan Negara adalah PENGELOLAAN kekayaan negara yang
dipisahkan, BUKAN sekedar kekayaan Negara yang dipisahkan”.
Disitu tersirat makna bersifat on going activity sepanjang aktivitas),
BUKAN initial outlay atau jumlah penyertaan modal pertama saja.
Semua orang kemungkinan besar tahu apa yang dimaksud dengan
pengelolaan”.
2. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara.
Dari sini sangat jelas ciri dan inti keuangan Negara. Salah satu poin
yang perlu dicermati adalah “badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan Negara”. Makna kata “yang ada kaitan” tentu bisa berarti
modal untuk mendirikan, suntikan dana penyelamatan, dana
akuisisi dan sebagainya. Berangkat dari situ dapat diidentifikasi dan
ditentukan, kira-kira badan apa saja yang dapat dikategorikan
dengan itu. LPS-kah? KPU-kah? Panwaslu-kah? Dan lain-lain.
8
3. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana
tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
4. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan,
kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan
dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Itulah keempat ciri dan inti keuangan Negara. Uraian tersebut
mencerminkan bahwa jati diri keuangan Negara dapat diidentifikasi dengan
pendekatan Subjek Predikat Objek Keterangan (SPOK). Jika identifikasi
tersebut dilakukan pada lembaga/badan hUkum/pihak lain maka SPOK yang
relevan adalah:
1. Subjeknya: badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara
2. Predikatnya: kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek mulai
dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban
3. Objeknya:
a. semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan, kegiatan, uang, dan barang dalam pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan;
b. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah
4. Keterangannya: kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan
secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan
pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan
9
amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang
Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan
negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices
(penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara,
antara lain :
1. akuntabilitas berorientasi pada hasil;
2. profesionalitas;
3. proporsionalitas;
4. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
5. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin
terselenggaranya prinsip – prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang
telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang
Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan
dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
10
BAB III
PEMBAHASAN PROBLEMATIKA KEUANGAN NEGARA
A. Asset PT. BUMN (Persero)
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut
Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap
Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan
badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian
suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan
yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris
(sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga
kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus
Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan
Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan
Anggota Koperasi.
BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35
ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas, BUMN Persero memperoleh status badan
hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman
(sekarang Menteri Hukum dan HAM).
11
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kekayaan BUMN Persero
maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan
negara.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan
negara dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi yang menyatakan :
“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena :
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara.”
“Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh
negara, bukan harta kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu.
Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang-
Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan
jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya
karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan
oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Namun dalam prakteknya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan
kepada tindakan-tidakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang
12
didalilkan dapat merugikan keuangan negara. Dapat dikatakan telah terjadi
salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara.
Begitu juga tidak ada yang salah dengan definisi keuangan negara dalam
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang
menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).
Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Saya berpendapat bahwa kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam
BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara,
bukan harta kekayaan BUMN tersebut.
Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini
tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan :
“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan
Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi
obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, term asuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhu bung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara,
dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah,
Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada kaitannya
dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara
13
mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang
pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan.”
Penjelasan Pasal 2 huruf g sendiri adalah cukup jelas.
Kesalahan terjadi lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun
2005
tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pasal 19
menyatakan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutak
atas piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal
20 menyatakan bahwa tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan
penghapusan secara mutlak atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang
pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian peraturan ini tidak
memisahkan antara kekayaan BUMN Persero dan kekayaan Negara sebagai
pemegang saham.
Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas
ketika menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank PT.
BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero)
Tbk.
Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 14
Tahun 2005. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan :
14
“Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah
dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi disebutkan bahwa aturan yang
mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan dan UU
BUMN.”
Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di
dalam Komisi XI karena dianggap membatalkan Pasal 2 ayat g UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk
perubahan PP No. 24 Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI.
Namun ada pula yang berpendapat, Pemerintah harus membuat peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan Pasal 2
ayat g UU Keuangan Negara.
B. Kerugian PT. BUMN (Persero) Dalam Kaitannya Dengan Keuangan
Negara.
Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku
perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan
kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain
perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru
lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta
penjelasan atas dokumen tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita
dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena
ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian
juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas,
karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau
ditutup dari dana cadangan perusahaan.
Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi
kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang
pengadilan tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya
kerugian dari satu atau dua transaksi.
15
Sebenarnya ada doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi
suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari
suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan
kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa
perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan
atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.
“Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani
mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan.
Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat
kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim
pada umumnya tidak memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari
permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.
C. Upaya Hukum Bagi Pemerintah Sebagai Pemegang Saham Untuk
Menuntut Direksi atau Komisaris Apabila Tindakan Mereka
Dianggap Merugikan Pemerintah Sebagai Pemegang Saham.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tetap
memungkinkan Pemegang Saham menggugat Direksi atau Komisaris apabila
keputusan mereka itu dianggap merugikan Pemegang Saham berdasarkan
salah satu dari tiga pasal berikut ini:
Pasal 54 ayat (2) yang menyatakan :
“Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap
perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan
perseroan yang dianggap tidak adil akibat keputusan RUPS, Direksi
atau Komisaris”.
Pasal 85 ayat (3) yang menyatakan :
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
16
terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atas kelalaiannya
menimbulkan kerugian pada perseroan”.
Pasal 98 ayat (2) yang berbunyi :
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya dapat
menimbulkan kerugian pada perseroan”.
Oleh karenanya Negara sebagai Pemegang Saham berdasarkan pasal-
pasal di atas dapat menggugat individu Komisaris dan Direksi karena
keputusan mereka dianggap merugikan.
Adalah tidak benar tuntutan terhadap Direksi itu dilakukan
berdasarkan Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah
dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, atas dasar harta kekayaan Badan Hukum BUMN
Persero adalah harta kekayaan negara sebagai Pemegang Saham. Seperti saya
katakan sebelumnya, bahwa harta kekayaan Badan Hukum BUMN Persero
tidaklah merupakan harta kekayaan Negara selaku Pemegang Saham.
D. Pemerintah Sebagai Pemegang Saham Dalam PT. BUMN (Persero)
Dalam Mengajukan Tuntutan Pidana Kepada Direksi dan Komisaris
PT. BUMN (Persero) Apabila Tindakan Mereka Dianggap Merugikan
Pemerintah Sebagai Pemegang Saham.
Direksi suatu perusahaan BUMN Persero dapat dituntut dari sudut
hukum pidana. Hal ini dapat saja dilakukan apabila Direksi bersangkutan
melakukan penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan,
pelanggaran Undang-Undang Perbankan, pelanggaran Undang-Undang
Pasar Modal, pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli,
pelanggaran Undang-Undang Anti Pencucian Uang (Money
Laundering) dan Undang-Undang lainnya yang memiliki sanksi pidana.
17