Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

71
MAKALAH PERBANKAN SYARIAH Prinsip Rahn (Gadai syariah)” Oleh: MUHAIMIN 2009110020 PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI i

Transcript of Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Page 1: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

MAKALAH

PERBANKAN SYARIAH

“Prinsip Rahn (Gadai syariah)”

Oleh:

MUHAIMIN

2009110020

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI

MALANG

2013

i

Page 2: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

DAFTAR ISI

BAB I.....................................................................................................................1

PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah..............................................................................1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................2

1.3. Tujuan..........................................................................................................2

BAB II....................................................................................................................3

2.1. Sejarah Berdirinya Rahn (Gadai Syariah)....................................................3

2.2. Tujuan Berdirinya Rahn (Gadai Syariah).....................................................3

2.3. Aspek Pendirian Rahn (GadaiSyariah).........................................................4

2.4. Pengertian Rahn...........................................................................................6

2.5. Dasar hukum................................................................................................7

2.6. Hikmah Persyariatannya............................................................................10

2.7. Unsur-unsur dalam Rahn...........................................................................11

2.8. Syarat-syarat Rahn.....................................................................................12

2.9. Jenis-jenis Rahn (Gadai Syariah)...............................................................16

2.10. Kapan Rahn (Gadai) menjadi keharusan?................................................17

2.11. Kapan Dianggap Sah Serah Terima Rahn?..............................................18

2.12. Hukum-hukum Setelah Serah Terima......................................................18

2.13. Hak dan Kewajiban Rahin dan Murtahin.................................................20

2.14. Resiko kerusakan Marhun........................................................................21

2.15. Manfaat Barang Gadai.............................................................................22

2.16. Memanfaatkan Barang yang Digadaikan.................................................23

2.17. Pertumbuhan barang gadai.......................................................................25

2.18. Perpindahan Kepemilikan dan Pelunasan Barang Gadai..........................26

2.19. Persamaan dan Perbedaan Rahn (Gadai Syariah) dengan Gadai Konvensional....................................................................................................28

2.20. Konstruksi Sistem Operasional Gadai Syari’ah (Rahn)...........................28

2.21. Riba dan Rahn (Gadai Syariah)................................................................32

2.22. Berakhirnya Akad Gadai Rahn................................................................33

2.23. Praktek Rahn (gadai) di Indonesia...........................................................34

ii

Page 3: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

BAB III................................................................................................................ 40

PENUTUP............................................................................................................40

3.1. Kesimpulan...............................................................................................40

3.2. Kritik dan saran..........................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................43

iii

Page 4: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dengan melihat fenomena yang terjadi diera globalisasi dan pengaruh

westerinasi khususnya pada bidang fiqih muamalat, dimana orang sekarang

kurang memperhatikan akan peraturan-peraturan yang tertera pada fiqih

muamalat, sehingga terkadang menimbulkan kejanggalan, seperti contoh

berhutang dengan menggunakan jaminan, banyak terjadi kesalah pahaman ,

terkadang orang menganggap barang jaminan itu telah menjadi miliknya, padahal

tidak demikian. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan

kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam

ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk).

Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling

menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah

sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita

sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia,

khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang

lainnya. Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak

bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman

kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang

berharga dalam meminjamkan hartanya.

Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian

baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai

ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil

Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam

kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini.

Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya

dengan batil.

1

Page 5: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal

kemudahan dan kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang

yang cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis,

sehingga sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.

Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah dalam

hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem

pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah

(bagi hasil) Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Di

samping alasan rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar, sistem

pembiayaan ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di negara–

negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan

Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat sehingga dalam pembahasan

makalah ini akan kami bahas mengenai tentang rahn.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian rahn (gadai) dalam ilmu fiqih ?

2. Bagaimana pendapat para ulama fiqih tentang gadai ?

3. Bagaimana proses penerapan Rahn?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian rahn (gadai) dalam ilmu fiqih.

2. Untuk mengetahui pendapat –pendapat yang telah diutarakan oleh para

ahli fiqih mengenai gadai

3. Untuk mengetahui proses penerapan Rahn yang benar?

2

Page 6: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Berdirinya Rahn (Gadai Syariah)

Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan

Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya kolonial Belanda, yaitu

sekitar akhir abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank

tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak,

sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian.

Lahirnya pegadaian syariah sebenarnya berawal dari hadirnya fatwa MUI

tanggal 16 Desember 2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat

terbitnya PP No. 10 tahun 1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban

oleh pegadaian syariah adalah untuk mencegah praktik riba, dan misi ini tidak

berubah hingga diterbitkannya PP No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai

landasan kegiatan usaha Perum pegadaian hingga sekarang.

Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit

Layanan Gadai Syariah ( ULGS ). Konsep operasi pegadaian syariah mengacu

pada sistem administrasi modern, yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektifitas

yang diselaraskan dengan nilai islam. ULGS merupakan unit bisnis mandiri yang

secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.

Kemudian menyusul pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang,

Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di

tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi

Pegadaian Syariah.

2.2. Tujuan Berdirinya Rahn (Gadai Syariah)

Dalam perspektif ekonomi, pegadaian merupakan salah satu alternatif

pendanaan yang sangat efektif karena tidak memerlukan proses dan persyaratan

yang rumit. Pegadaian melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa

pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum

3

Page 7: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

gadai. Tugas pokok dari lembaga ini adalah memberikan pinjaman kepada

masyarakat yang membutuhkan. Lembaga Keuangan Gadai Syariah mempunyai

fungsi sosial yang sangat besar. Karena pada umumnya, orang-orang yang datang

ke tempat ini adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan.

Dan biasanya pinjaman yang dibutuhkan adalah pinjaman yang bersifat

komsumtif dan sifatnya mendesak. Dalam implementasinya, pegadaian syariah

merupakan kombinasi komersil-produktif, meskipun jika kita mengkaji latar

belakang gadai syariah, baik secara implisit maupun eksplisit lebih berpihak dan

tertuju untuk kepentingan sosial. Banyak manfaat lain yang bisa diperoleh dari

pegadaian syariah. Pertama, prosesnya cepat.

Dalam pegadaian syariah, nasabah dapat memperoleh pinjaman yang

diperlukan dalam waktu yang relatif cepat, baik proses administrasi, maupun

penaksiran barang gadai. Kedua, caranya cukup mudah. Yakni hanya dengan

membawa barang gadai (marhun) beserta bukti kepemilikan. Ketiga, jaminan

keamanan atas barang diserahkan dengan standar keamanan yang telah diuji dan

diasuransikan dan sebagainya.

2.3. Aspek Pendirian Rahn (GadaiSyariah)

Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa

aspek pendirian. Adapun aspek – aspek pendirian pegadaian syariah adalah :

1. Aspek legalitas

Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin

pemerintah. Aspek ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990

tentang berdirinya lembaga gadai yang berubah dari bentuk Perusahaan Jawatan

Pegadaian menjadi Perusahaan Umum Pegadaian. 

2. Aspek permodalan

Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk

perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek

penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk

4

Page 8: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

menjalankan perusahaan gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk

dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan

barang gadaian.  Permodalan gadai syariah bias diperoleh dengan system bagi

hasil, seperti mengumpulkan dana dari bebrapa orang ( musyarakah ), atau dengan

mencari sumber dana (shahibul mal), seperti bank atau perorangan untuk

mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah).

3. Aspek sumber daya manusia

Keberlangsungan pegadaian syariah sangat ditentukan oleh kemampuan sumber

daya manusia ( SDM ) nya. SDM pegadaian syariah harus memahami filosofis

gadai dan system operasionalisasi gadai syariah. SDM selain mampu menangani

masalah taksiran barang gadai, penentuan instrument pembagian rugi laba atau

jual beli, menangani masalah – masalah yang dihadapi nasabah yang berhubungan

penggunaan uang gadai, juga berperan aktif dalam syiar islam di mana pegadaian

itu berada.

4. Aspek kelembagaan

Sifat kelembagaan mempengaruhi keefektifan ssebuah perusahaan gadai dapat

bertahan. Sebagai lembaga yang relative belum banyak dikenal masyarakat,

pegadaian syariah perlu mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga yang

berbeda dengan gadai konvensional. Hal ini guna memperteguh keberadaannya

sebagai lembaga yang berdiri untuk memberikan ke maslahatan bagi masyarakat.

5. Aspek sistem dan prosedur

System dan prosedur gadai syariah harus sesuai dengan prinsip – prinsip syariah

yang keberadaannya menekankan akan pentingnya gadai syariah. Oleh karena itu

gadai syariah merupakan representasi dari suatu masyarakat di mana gadai itu

berada, maka system dan prosedural gadai syariah berlaku fleksibel dan sesuai

dengan prinsip gadai syariah.

5

Page 9: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

6. Aspek pengawasan  

Untuk menjaga jangan sampai gadai syariah menyalahi prinsip syariah maka

gadai syariah harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas

Syariah bertugas mengawasi operasional gadai syariah supaya sesuai dengan

prinsip – prinsip syariah.  

2.4. Pengertian Rahn

Secara etimologi, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang berarti

tetap dan ad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air yang diam tidak

mengalir dikatakan sebagai maun rahin. Dan Rahn dalam istilah positif Indonesia

disebut dengan barang jaminan,sedangkan dalam islam rahn merupakan sarana

saling tolong menolong bagi ummat islam Pengertian secara bahasa tentang rahn

ini juga terdapat dalam firman Allah SWT :

رهينة كسبت نفسبما كل

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.(QS. Al-

Muddatstsr : 38)

Sedangkan berdasarkan terminilogi terdapat beberapa perbedaan pendapat

para ulama :

1.Ulama fiqih syafi’yah

منها تعدروعند يستوفانه وثيقةفى بدين عين جعل

Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan

pembayaran ketika berhalangan dalam membayar hutang.

2.Ulama fiqih hanabilah

المااللدييجعلوتيقةبالدينليسثوفىمنتمنهانثعدراسثفاؤهممنهواله

Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayaran harga atau nilai

hutang ketika yang berhutang berhalangan atau tidak mampu membayar

hutangnya kepada pemberi pinjaman.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal  1150, gadai dalah

suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang

bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh

6

Page 10: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang

mempunyai utang.

Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahnsebagai jaminan

hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang

tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu

melunasinya.

Dari pendapat diatas bisa diambil kesimpulan bahwa jaminan adalah suatu

barang yang dijadikan penguat kepercayaan dalam hutang piutang atau yang lebih

populer dengan sebutan gadai, dengan catatan barang yang digadaikan harus

barangnya sendiri bukan barang ghasab atau pinjaman. Barang tersebut boleh

dijual jika sang peminjam tidak dapat membayar hutang, hanya saja penjualan itu

hendaknya dengan keadilan ( dengan harga yang berlaku pada waktu itu). Jika

terdapat sisa dari penjualan barang tersebut untuk membayar hutang maka sisanya

di kembaikan pada pemilik.

2.5. Dasar hukum

Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam islam

berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW dalam Al-Quran Al-Kariem

disebutkan:

/ؤ-د+ 0ي ف-ل -ع0ض1ا ب /م -ع0ض/ك ب م5ن-- أ 5ن0 ف-إ /وض-ة9 م;ق0ب ف-ر5ه-ان9 1ا 5ب -ات ك 0 -ج5د/وا ت -م0 و-ل ف-ر= س- ع-ل-ى /م0 /نت ك 5ن و-إ

?ه/ و-الل /ه/ 0ب ق-ل 5م9 آث ;ه/ 5ن ف-إ /م0ه-ا 0ت -ك ي و-م-ن ه-اد-ة- الش; 0 /م/وا 0ت -ك ت - و-ال ;ه/ ب ر- ?ه- الل ;ق5 -ت 0ي و-ل -ه/ -ت م-ان- أ /م5ن- اؤ0ت ;ذ5ي ال

5يم9 ع-ل -ع0م-ل/ون- ت 5م-ا ب

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)

sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang

tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..”.(QS Al-Baqarah ayat 283)

Ayat ini secara eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang dipegang

oleh yang berpiutang. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal

sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.

7

Page 11: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Selain itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu hadis nabawi.

Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang

yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya…

Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR

Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari

seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan

Muslim)

Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional

No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa

pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn

diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

Ketentuan Umum:

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun

(barang) sampai utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunsi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun

tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak

mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya

pemeliharaan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban

rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan

pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan marhun.

a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera

melunasi utangnya.

b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual

paksa/dieksekusi.

8

Page 12: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya

pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya

penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya

menjadi kewajiban rahin.

Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesainnya dilakukan

melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui

musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian

hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana

mestinya.

a.   Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan

menengah ke bawah.

b.   Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba, dan pinjaman

tidak wajar lainnya.

Para fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini, asalkan tidak

terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. Di masa Rasulullah

praktek rahn pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya.

Rasululah SAW ditanya bolehkah susu kambingnya diperah. Nabi mengizinkan,

sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullulah mengizinkan kita

boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya

pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang

ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi

produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.

Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri

seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan

bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.Praktek gadai syariah

9

Page 13: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-

tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya

masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya

sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk

kelancaran bisnisnya.

Misalnya seorang produsen film butuh biaya untuk memproduksi

filemnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar

beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panenya terjual dan bayaran telah

ditangan, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap

jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.

2.6. Hikmah Persyariatannya

Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang

miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu

waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang

mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang

meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.

Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya

dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan

ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang

hingga ia melunasi hutangnya. Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn

(gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi

hutangan (Murtahin) dan masyarakat.

Untuk Raahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya.

Ini tentunya bias menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan

dihatinya serta kadang ia bias berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi

sebab ia menjadi kaya. Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi

tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’I dan bila

ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.

10

Page 14: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Adapun kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah

memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih

saying diantara manusia, karena ini termasuk tolong menolong dalam kebaikan

dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil

permusuhan dan melapangkan penguasa.

2.7. Unsur-unsur dalam Rahn

Dalam praktek rahn menurut jumhur ulama’ ada terdapat beberapa unsur

yaitu:

1. Ar-Rahin

Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan

jaminan barang

2. Al-Murtahin

Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang

meminjamkan uangnya.

3. Al-Marhun / Ar-Rahn

Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan

4. Al-Marhun bihi

Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.

5. Al-'Aqdu

Yaitu akad atau kesepaktan untuk melakukan transaksi rahn

Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu

hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik

barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang

anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan

mengikatya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh

kridor.Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan,

dan utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan

rukunnya.

11

Page 15: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

2.8. Syarat-syarat Rahn

Sedangkan secara umum yang termasuk rukun rahn adalah hal-hal

berikut :

1. Adanya Lafaz

yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan

secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud

adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

2. Adanya pemberi dan penerima gadai.

Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig

sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai

dengan ketentuan syari’at Islam.

3. Adanya barang yang digadaikan.

Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai

dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada

dibawah pengasaan penerima gadai.

4. Adanya utang/ hutang.

Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan

tambahan bunga atau mengandung unsur riba.

Sedangkan menurut ulama’ fiqh syarat rahn itu tersendiri dari masing-

masing unsur atau rukun rahn yaitu sebagai berikut:

1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakat adalah cakap

bertindak hokum. Kecakapan bertindak hokum, menurut jumhur

ulama, adalah orang yang telah balig dan berakal. Namun menurut

ulama Mazhaf hanafi, kedua belah pihak yang berakat tidak

disayaratkan balig melainkan cukup berakal saja. Oleh sebab itu,

menurut mereka anak kecil yang mumayis boleh melakukan akad

rahn, dengan syarat akad rahn yang dialakukan anak kecil yang sudah

mumayis ini mendapat persetujuan wilayah.

2. Syarat sigah ( lafal). Ulama mazhab hanafi mengatakan dalam akad

rahn tidak boleh di kaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan

12

Page 16: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

dengan masa yang akan datang, karena akad rahn sama dengan akad

jual beli. Apa bila akad tersebut dibarengi dengan syarat tertentu atau

dikaitkan dengan masa yang akan datang.

3.Syarat al-marhunbih (utang) adalah

a.Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor

b.Hutang itu bisa dilunasi dengan agunan

c.Utang itu jelas dan tertentu

4.Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan) menurut ahli fiqhi :

a.Agunan itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan utang

b.Agunan itu bernilai harta dan bisa dimanfaatkan

c.Agunan itu jelas dan tertentu

d.Agunan itu milik sahdebitor

e.Agunan itu tidak terkait dengan dengan hak orang lain

f.Ugunan itu harta yang utuh tidak bertebaran dalam beberapa tempat

g. Agunan itu bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya

Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan

dalam Kifayatul Akhyar 5 bahwa semua barang yang boleh dijual – belikan

menurut syariah, boleh digadaikan sebagai tanggungan hutang.

Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya

adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang

disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah

menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah hutang yang

dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan

dengan nilai yang aman untuk uang yang akan dipinjamkannya., sedang

kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati

bersama.

Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi

tanggungan hutangnya dan berkewajiban membayar kembali hutangnya dengan

13

Page 17: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

sejumlah uang yang diterima pada awal perjanjian hutang. Sebaliknya murtahin

berhak menerima pembayaran hutang sejumlah uang yang diberikan pada awal

perjanjian hutang, sedang kewajibannya adalah menyerahkan barang yang

menjadi tanggungan hutang rahin secara utuh tanpa cacat.

Diatas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah

memelihara barang jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang

amanah, sedang haknya dalah menerima biaya pemeliharaan dari rahin.

Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya pemeliharaan yang dikeluarkan

murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang menjadi tanggungan

hutang dalam keadaan utuh. Dasar hukum siapa yang menanggung biaya

pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat yang didasarkan kepada Hadist Nabi

riwayat Al – Syafi’I, Al – Ataram, dan Al – Darulquthni dari Muswiyah bin

Abdullah Bin Ja’far :

Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib memikul

bebannya (beban pemeliharaannya).

Ditempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu

diizinkan untuk diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang

memanfaatkan itu berkewajiban membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits

Rasullullah SAW : Dari Abu Hurairah , barkata, sabda Rasullulah SAW :

Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh dinaiki asal dibiayai. Dan

susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal dibiayai. Dan

orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai. (HR. Al-

Bukhari).

Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan

hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak

menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya.Namun dalam praktek pihak

murtahim telah mengambil langkah – langkah pencegahan dengan menutup

asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.

14

Page 18: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu Hurairah

perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berhutang dan

menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi hutangnya. Berita dari

Abu Hurairah, sabda Rasullulah SAW., :

Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah

menggadaikannya.Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berhutang.

Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar hutangnya

dan tidak mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka

hakim/pengadilan dapat memaksa pemilik barang membayar hutang atau menjual

barangnya. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup

hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada pemilik barang tetapi apabila

kurang pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya

Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung

hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga

umum.Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya,

apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap

harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris

setelah melunasi hutang almarhum pemilik barang.

Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang

gadai sesuai syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep hutang

piutang antara individu atau perorangan. Konsep hutang piutang sesuai dengan

syariat menurut Muhammad Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep

ekonomi Islam dimana bentuknya yang lebih tepat adalah al-qardhul hassan.

Hutang piutang dalam bentuk al- qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn),

dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial.

Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan

atau menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai

mitra usaha dalam perjanjian mudharabah. Didalam bentuk al-qardhul hassan ini

15

Page 19: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan

apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam menanggung biaya yang

secara nyata terjadi seperti biata penyimpanan dll., dan dibayarkan dalam bentuk

uang (bukan prosentase).

Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh

menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.Apabila peminjam

memilih qardhul hassan, rabb al-mal tentu saja akan mempertimbangkannya

apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila peminjam memilih

perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi bagihasil

masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.

2.9. Jenis-jenis Rahn (Gadai Syariah)

Gadai jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi menjadi dua yaitu gadai

shahih dan gadai fasid adapun rinciannya adalah sebagai berikut :

a.        Rahn Shahih / lazim, yaitu rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan

rukunnya

b.        Rahn Fasid, yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya.

Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan syaratnya maka

membawa dampak yang harus dilakukan oleh murtahin dan juga rahin, diantara

dampak tersebut adalah :

a. Adanya hutang bagi rahin (penggadai).

b. Penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin kepada

murtahin.

c. Kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin.

d. Biaya-biaya pemeliharaan harta gadai menjadi tanggung jawab

rahin, karena itu murtahin berhak untuk memintanya kepada rahin.

Sedangkan pada rahn yang fasid maka tidak ada hak ataupun kewajiban

yang terjadi, karena akad tersebut telah rusak / batal. Para imam madzhab fiqh

telah sepakat mengenai ha ini. Karena itu tidak ada dampak hukum pada barang

gadaian, dan murtahin tidak boleh menahannya, serta rahin hendaknya meminta

16

Page 20: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

kembali barang gadai tersebut, jika murtahin menolak mengembalikannya hingga

barang tersebut rusak maka murtahin dianggap sebagai perampas, karena itu dia

berhak mengembalikannya. Jika rahin meninggal dunia sedangkan dia masing

berhutang, maka barang gadaian tersebut menjadi hak milik murtahin dengan nilai

yang seimbang dengan hutangnya.

2.10. Kapan Rahn (Gadai) menjadi keharusan?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah Al Rahn menjadi keharusan

langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya dalam dua

pendapat:

1. Serah terima adalah syarat keharusan terjadinya Rahn.

Ini pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab

Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah. Dasar pendapat ini adalah firman

Allah : /وض-ة//ف-ر5ه-ان9 dalam ayat م;ق0ب ini Allah mensifatkannya dengan dipegang

(serah terima) dan Al rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada

penerimaan, sehingga butuh kepada serah terima (Al Qabdh) seperti hutang. Juga

karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak

diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal

dunia.

2. Rahn langsung Terjadi Setelah Selesai Transaksi

Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan

barang gadainya maka dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat madzhab

Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah. Dasar pendapat ini adalah

firman Allah : /وض-ة// 9م;ق0ب dalam ayat ف-ر5ه-ان ini Allah menetapkannya sebagai Al

Rahn sebelum dipegang (serah terimakan). Juga Rahn adalah akad transaksi yang

mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya

seperti jual beli. Demikian juga menurut imam Malik, serah terima hanyalah

menjadi penyempurna Al rahn dan bukan syarat sahnya.

17

Page 21: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Syeikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: sedangkan mengenai firman

Allah /وض-ة//ف-ر5ه-ان9 itu م;ق0ب adalah sifat keumumannya namun hajat menuntut

(keharusannya) tidak dengan serah terima (Al Qabdh). Prof. DR. Abdullah Al

Thoyyar menyatakan bahwa yang rojih adalah Al Rahn menjadi keharusan dengan

akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faedah Al Rahn berupa

pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya ketika tidak mampu dilunasi

dan ayat hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya

jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan

mendapatkannya.

2.11. Kapan Dianggap Sah Serah Terima Rahn?

Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan

seperti rumah dan tananh, maka disepakati serah terimanya dengan

mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya berupa

barang yang dapat dipindahkan, bila berupa barang yang ditakar maka disepakati

serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka

disepakati serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung bila barangnya dapat

dihitung serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara

tumpukan maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya; ada

yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula dan ada yang

menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya dan

murtahin dapat mengambilnya.

2.12. Hukum-hukum Setelah Serah Terima.

Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang

berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan

pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang,

diantaranya:

1. Pemegang barang gadai

18

Page 22: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian

gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:

إ�ن و� ر�ع�ل�ىك�نت�م� ف� ل�م�س� د�واو� ان��ك�ات�ب�ات�ج� ر�ه� ة��ف� ب�وض� ق� م"

Jika kamudalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu

tidakmemperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang

dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:

ك�ب�ال ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ر� ه� ر� ل�ب�ن�م� و� ب�الد"ر) ر� ه�ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ش� ر� ك�ب�ال"ذ�يو�ع�ل�ىم� ب�ي�ر� ر� ي�ش� و� ت�ه� ق� ن�ف�

ر� ظ"ه�

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)

diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan

yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

2. Pembiayaan pemeliharaan barang gadai

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang

digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak

boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut

berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh

menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam

pemeliharaan barang tersebut).

Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan

dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :

ك�ب�ال ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ر� ه� ر� ل�ب�ن�م� و� ب�الد"ر) ر� ه�ون�اك�ان�إ�ذ�اي�ش� ر� ك�ب�ال"ذ�يو�ع�ل�ىم� ب�ي�ر� ر� ي�ش� و� ت�ه� ق� ن�ف�

ر� ظ"ه�

Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)

diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan

yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).

Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya

pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.Demikian juga

pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua

19

Page 23: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas

(pen).

Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan

gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan

hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak

kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak

jaminan.

2.13. Hak dan Kewajiban Rahin dan Murtahin

Akibat hukum adanya kesepakatan dalam suatu perjanjian ialah

berlakunya hak dan kewajiban yang bersifat mengikat para pihak. Secara umum,

hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian gadai adalah sebagai berikut:

Penerima gadai (murtahin)

Hak Kewajiban

1) Penerima gadai (murtahin)

mendapatkan biaya administrasi

yang telah dikeluarkan untuk

menjaga keselamatan harta

benda gadai (marhun)

2) murtahin mempunyai hak

menahan marhun sampai semua

hutang(narhun bih) dilunasi.

3) Penerima gadai berhak menjual

marhun apabila rahin pada saat

jatuh tempo tidak dapat

memenuhi kewajiban. Hasil

penjualan diambil sebagian

untuk melunasi marhun bih dan

sisanya dikembalikan kepada

rahin

a) Murtahin bertanggungjawab atas

hilang atau merosotnya harga

marhun bila itu disebabkan oleh

kelalaian.

b) Murtahin tidak boleh

menggunakan barang gadai

untuk kepentingan pribadinya.

c) Murtahin berkewajiban

memberikan informasi kepada

rahin sebelum mengadakan

pelelangan harta benda gadai

20

Page 24: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Pemberi gadai (rahin)

1) Rahin berhak mendapatkan

pembiayaan dan/atau jasa

penitipan.

2) ]Rahin  berhak menerima

kembali harta benda yang

digadaikan setelah melunasi

hutangnya.

3) Rahin berhak menuntut ganti

rugi atas kerusakan dan/atau

hilangnya harta benda yang

digadaikan.

4) Rahin berhak menerima sisa

hasil penjualan harta benda

gadai yang sudah dikurangi

biaya pinjaman dan biaya

lainnya.

5) Rahin berhak meminta kembali

harta benda gadai jika diketahui

adanya penyalahgunaan

a) Rahin berkewajiban melunasi

marhun bih yang telah

diterimanya dalam tenggang

waktu yang telah ditentukan,

termasuk biaya lain yang

disepakati.

b) Pemeliharaan marhun pada

dasarnya menjadi kewajiban

rahin. Namun jika dilakukan

oleh murtahin, maka biaya

pemeliharaan tetap menjadi

kewajiban rahin. Besar biaya

pemeliharaan tidak boleh

ditentukan berdasarkan jumlah

pinjaman.

c) Rahin berkewajiban merelakan

penjualan marhun bila dalam

jangka waktu yang telah

ditetapkan ternyata tidak

mampu  melunasi pinjamannya

2.14. Resiko kerusakan Marhun

Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin,maka murtahin tidak

wajib menggantinya,kecuali bila rusak atau hilangnya itu Karen kelalaian

murtahin atau karena di sia-siakan. Menurut Hanafi,murtahin yang memegang

marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun,bila

marhun itu rusak atau hilang baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun

tidak.Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir.

Perbedaan dua pendapat tersebut ialah menurut Hanafi murtahin harus

menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya,baik

21

Page 25: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

marhun hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya.Sedangkan menurut

Syafi`iyah murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila

marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.

2.15. Manfaat Barang Gadai

Para ulama fiqhi sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan

untuk pemeliharaan barang gadai tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya,

yaitu debitor hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang mengatakan”…..

pemilik gadai berhak atas segala hasil barang gadai dan ia juga bertanggung

jawab atas segala biaya barang gadai tersebut. ( HR. Asy-syafi’i dan ad-

Daruqutni).

Ulama fiqhi juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak

boleh di biarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan

tersebut termaksuk tindakan meyiayiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW

(HR. At-Tirmidzi). Akan tetapi bolekah pihak pemegang barang jaminan

memanfaatkan barang jaminan tesebut: sekalipun mendapat izin dari pemilik

barang jaminan? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat ulama.

Jumhur ulama fiqhi, selain ulama mazhab hambali, berpendapat bahwa

pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang itu bukan miliknya secara

penuh. Hak pemegang barang gadai terhadap barang itu hayalah sebagai jaminan

piutang yang ia berikan, dan apabila debitor tidak mampu melunasi utangnya,

barulah ia bisa menjual barang itu, alasan jumhur ulama mengatakan seperti itu

dikarenakan Rasulullah SAW Bersabda yang artinya : “barang jaminan tidak

boleh disembuyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan

tanggung jawabnya” ( HR. al-hakim, al-baihaki, dan ibnu Hibban dari Abu

Hurairah).

Akan tetapi apa bila pemilik barang mengizinkan pemengan barang gadai

memanfaatkannya maka barang tersebut selama ditangannya dia bisa

22

Page 26: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

memanfaatkannya, maka sebahagian ulama membolehkannya, karena dengan

adanya izin maka tidak ada halangan bagi pemegang gadai tersebut.

2.16. Memanfaatkan Barang yang Digadaikan

Pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang gadaian

sebab hal itu akan menyebabkan barang rusak atau hilang. Dalam hal ini terdapat

prebedaan diantara para ulama :

1. UlamaHanafiyah berpendapat bahwa rahin (orang yang menggadaikan )

tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin murtahin ( orang

yang menerima gadai), begitu pula sebaliknya. Mereka beralasan bahwa

barang gadaian harus tetap dikuasai oleh murtahin, sebab manfaat yang

ada dalam barang gadaian pada dasarnya termasuk rahn. Hal ini

sependapat dengan ulama Hanabilah.

2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika murtahin mengizinkan rohin

untuk memanfaatkan barang gadaian maka akad menjadi batal,adapun

murtahin boleh memanfaatkan barang gadaian sekedarnaya itupun atas

tanggungan rahin.

3. Ulama syafiiyah berpendapat bahwa rahin di perbolehkan untuk

memanfaatkan marhun, jika tidak menyebabkan marhun berkurang tidak

perlu minta izin, akan tetapi bila marhun berkurang harus meminta izin

murtahin.

Dari keterangan diatas bisa di simpulkan bahwasanya memanfaatkan

barang yang di gadaikan itu di perbolehkan, atas izin yang punya dengan tidak

merusak atau tidak megurangi nilai barangnya.sabda nabi :

Dari Abu Hurairah, Rosulullah Bersabda : Binatang tunggangan jika tergadai

boleh ditunggangi karena memberinya makan, susunya boleh diminum jika

binatang itu tergadai, karena memberinya makan, dan wajib atas orang yang

menunggang dan meminum susunya memberi makan binatang tersebut.( HR.

Bukhari)

23

Page 27: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Adapun bagi orang yang mempunyai barang berhak mengambil manfaat

dari barang yang di gadaikan,bahkan semua manfaatnya tetap milik dia walaupun

tanpa seizin orang yang menerima gadai, kerusakan barangpun atas tanggunganya.

Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya atau mengurangi harga barang itu

tidak diperbolehkan kecuali atas izin orang yang menerima gadai, maka menjual

atau menyewakan barang yang sedang di gadaikan hukumnya tidak sah.

Rosulullah Bersabda :

Barang gadaianmu tidak menutup pemiliknya dari manfaat barang itu faedahnya

kepunyaan dia, dan dia wajib membayar dendanya.

Adapun bagi orang yang memegang barang gadaian diperbolehkan juga

mengambil manfaat barang tersebut dengan sekedar ganti kerugianya untuk

menjaga barang itu.Sabda Rosulullah Saw :

Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang memegang barang

gadaian itu boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang di

berikannya pada kambing itu. Jika lebih dari itu, maka lebihnya adalah riba.(HR.

Hammad bin salmah).

Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan

pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah

miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia

mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang

gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka

tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat.

Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki

susu perah, maka diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya

sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:

ه�ون�اك�ان�إ�ذ� ر� ل�ب�ن�م� و� ب�الد"ر) ر� ي�ش� ت�ه� ق� ه�ون�اك�ان�إ�ذ�اب�ن�ف� ر� ك�ب�ال"ذ�يو�ع�ل�ىم� ب�ي�ر� ر� ي�ش� ة�و� ق� الن"ف�

ه�ن� ك�ب�الر" ي�ر� ت�ه� ق� اب�ن�ف�

Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu

hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib

24

Page 28: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini

madzhab Hanabilah.

2.17. Pertumbuhan barang gadai

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan

adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti

(bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan

ulama dan bila terpisah maka terjadi perbedaan pendapat ulama disini. Abu

hanifah dan imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan

atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan

murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut.

Sedangkan imam Syafi’I dan ibnu Hazm dan yang menyepatinya

memandang hal itu bukan ikut barang gadai dan itu milik orang yang

menggadaikannya. Hanya saja Ibnu hazm berbeda dengan Syafi’I dalam

kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat dalam kendaraan

dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang

menafkahinya. Adapun mengenai pertumbuhan atau pertambahan barang yang

digadaikan masih terbagai dua yaitu sebagai berikut:

1. Tambahan yang terpisah

Tambahan yang terpisah seperti telur, buah, atau anak yang lahir sesudah

digadaikan, tidak termasuk barang yang di gadaikan, tetapi tetap

kepunyaan orang yang menggadaikan.

2. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan

Tambahan yang tidak dapat dipisahkan seperti tambah gemuk, tambah

besar, dan anak yang masih dalam kandungan, semuanya itu termasuk

dalam barang jaminan.

Jadi apabila seseorang mengadaikan sawah, pohon kelapa, pohon

mangga,dan semua penghasilanya diambil orang yang menerima gadai, maka hal

itu tidak sah dan tidak halal sebab gadai itu hanya berguna untuk menambah

25

Page 29: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

kepercayaan orang yang memberi hutang kepada orang yang berhutang, bukan

untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang. Nabi bersabda : Tiap-tiap

piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba

(Riwayat Baihaqi).

2.18. Perpindahan Kepemilikan dan Pelunasan Barang Gadai

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila

telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang

menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya Pada zaman jahiliyah

dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang

menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka

pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin

orang yang menggadaikannya.

Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa

barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang,

tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam

keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi

saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan

hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai

tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang

tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya

tersebut masih menanggung sisa hutangnya.

Demikianlah barang gadai adlah milik orang yang menggadaikannya,

namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik

piutang) untuk emnyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang

yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia

dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)

barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut.

26

Page 30: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib

bagi orang yang menggadaikan (Al Raahin) untuk menjual sendiri barang

gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan

murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai

tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka

pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang

gadainya tersebut.

Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai

tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat

madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh

menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut

dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh

menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk

memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya.

Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun

memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.

Yang rojih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan

hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena

tujuannya adalah membayar hutang dan itu terrealisasikan dengan hal itu.

Ditambah juga adanya dampak negatip social masyarakat dan lainnya pada

pemenjaraan.

Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka

selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai

tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib

melunasinya. Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti

yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang

gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-

lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.

27

Page 31: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

2.19. Persamaan dan Perbedaan Rahn (Gadai Syariah) dengan Gadai

Konvensional

Persamaan Perbadaan

Hak gadai atas pinjaman uang.

Adanya agunan sebagai jaminan

utang.

Tidak boleh mengambil manfaat

barang yang digadaikan.

Biaya barang yang digadaikan

ditanggung para pemberi gadai.

Apabila batas waktu pinjaman

uang habis, barang yang

digadaikan dijual atau dilelang.

Rahn dalam islam dilakukan secara

suka rela atas dasar tolong –

menolong tanpa mencari

keuntungan sedangkan gadai

menurut hukum perdata disamping

berprinsip tolong – menolong juga

menarik keuntungan dengan cara

menarik bungan atau sewa modal.

Dalam hukum perdata, hak gadai

hanya berlaku pada benda yang

bergerak sedangkan dalam hukum

islam, rahn berlaku pada seluruh

benda, baik harus yang bergerak

maupun yang tidak bergerak.

Dalam rahn  tidak asa istilah bunga.

Gadai menurut hukum perdata

dilaksanakan melalui suatu lembaga

yang di Indonesia disebut Perum

Pegadaian, rahn menurut hukum

islam dapat dilaksanakan tanpa

melalui suatu lembaga.

28

Page 32: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

2.20. Konstruksi Sistem Operasional Gadai Syari’ah (Rahn)

A. Pegadaian dan Bunga Gadai dalam Islam

  Pada dasarnya saat akad perjanjian gadai merupakan akad utang-piutang.

Namun akad utang-piutang gadai mensyaratkan adanya penyerahan barang dari

pihak yang berhutang sebagai jaminan utangnya. Apabila terjadi penambahan

sejumlah uang atau penentuan persentase tertentu dari pokok utang (dalam

pembayaran utang tersebut), maka hal terbut termasuk perbuatan riba, dan riba

merupakan suatu hal yang dilarang oleh syara’ (Basyir, 1983: 55).

Mengenai pengertian riba para Ulama’ telah berbeda pendapat. Walaupun

demikian, Afzalurrahman (1996) memberikan pedoman bahwa yang dikatakan

riba (lebih lazim) disebut bunga, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut: Pertama,

kelebihan dari pokok pinjaman; kedua, kelebihan pembayaran sebagai imbalan

tempo pembayaran; ketiga, sejumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.

Adapun mengenai berlakunya pemungutan bunga (Riba) dalam lembaga

pegadaian yang selama ini berlaku, merupakan sudah menjadi hal yang biasa. Hal

ini disebabkan oleh karena pendapatan terbesar dari lembaga pegadaian tersebut

adalah dari pemungutan bunga dari pokok pinjaman. Bagaimana Islam

menanggapi terjadinya praktek tersebut?.

Mengenai hal ini sebenarnya sudah ada dua peneliti yang telah mengkaji

lebih jauh tentang bunga pegadaian, yaitu Muhammad Yusuf dan Viyolina.

Adapun untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai deskripsi dari penelitian

tersebut, secara umum adalah sebagai berikut:

Pertama: Muhammad Yusuf (2000) berpendapat dalam hasil penelitiannya

tersebut berpendapat bahwa:

a) Islam membenarkan adanya praktik pegadaian yang dilakukan dengan

cara-cara dan tujuan yang tidak merugikan orang lain. Pegadaian

dibolehkan dengan syarat rukun yang bebas dari unsur-unsur yang

dilarang dan merusak perjanjian gadai.

29

Page 33: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

b) Praktik yang terjadi di pegadaian konvensional, pada dasarnya masih

terdapat beberapa hal yang dipandang merusak dan menyalahi norma dan

etika bisnis Islam, diantaranya adalah masih terdapat unsur riba, yaitu

yang berupa sewa modal yang disamakan dengan bunga.Pegadaian yang

berlaku saat ini masih terdapat satu diantara banyak unsur yang dilarang

oleh syara’, yaitu dalam upaya meraih keuntungan (laba) pegadaian

tersebut memungut sewa modal atau lebih lazim disebut dengan bunga.

Kedua: Viyolina (2000) lebih tegas memaparkan dalam penelitiannya tersebut

berpendapat bahwa:

Unsur riba yang terdapat dalam aktivitas pegadaian saat ini sudah pada

tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi penetapan dan penarikan bunga dalam

gadai yang sudah jelas tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Penerapan

bunga gadai yang pada awalnya sebagai fasilitas untuk memudahkan dalam

menentukan besar kecilnya pinjaman, telah menjadi kegiatan spekulatip dari kaum

kapitalis dalam mengesploitasikan keuntungan yang besar.

Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dijadikan dasar Istinbat (kesimpulan

hukum) untuk menyatakan bahwa penarikan dan penetapan bunga gadai belum

sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan lebih banyak mendatangkan

kemudharatan, sehingga dapat pula dikatakan bahwa penarikan dan penetapan

bunga gadai adalah tidak sah dan haram.

Berdasarkan kedua penelitian tersebut di atas, Islam membenarkan adanya

praktik utang-piutang dengan cara akad gadai yang sesuai dengan prinsip syari’ah.

Artinya, bahwa utang-piutang gadai tersebut tidak boleh mengandung unsur-unsur

yang dilarang oleh syara’ seperti adanya unsur riba di dalam akadnya.

B. Aspek Sosial dan Komersial Gadai

Gadai pada dasarnya mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Yaitu

menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Namun pada kenyataannya dalam

masyarakat konsep tersebut dinilai “tidak adil”  karena adanya pihak-pihak yang

merasa dirugikan. Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa

30

Page 34: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

dirugikan, misalnya karena inflasi, pelunasan yang berlarut-larut, sementara

barang jaminan tidak laku.

Dilain pihak, barang jaminan mempunyai hasil atau manfaat yang

kemungkinan dapat diambil manfaatnya atau dipungut hasilnya. Bagaimanakah

cara untuk mengatasi hal tersebut? Sejauh manakah hak penerima gadai atas hasil

atau manfaat barang yang digadaikan? (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 59).

Bertolak dari permasalahan tersebut diatas, berikut akan dibahas solusi

alternatif agar pihak penggadai dan penerima gadai tidak merasa saling

diperlakukan tidak adil dan tidak merasa saling dirugikan. Sedangkan untuk lebih

jelasnya adalah pada bagian berikut:

Pendapat ahli hukum Islam tentang manfaat barang gadai pada dasarnya

barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh Rahin sebagai pemilik

maupun Murtahin sebagai pemegang amanat, kecuali mendapat izin masing-

masing pihak bersangkutan. Hak Murtahim terhadap Marhun hanya sebatas

menahan dan tidak berhak menggunakan atau memungut hasilnya. Demikian pula

Rahin, selama Marhun ada ditangan Martahin sebagai jaminan hutang, Rahin

tidak berhak menggunakan Marhun. Keadaan demikian ini, apabila kedua belah

pihak (rahin dan murtahin) tidak ada kesepakatan (Basyir, 1983: 56).

Adapun mengenai boleh atau tidaknya barang gadai diambil manfaatnya,

beberapa Ulama’ berbeda pendapat. Namun menurut Syafi’i (1997) dari kesekian

perbedaan pendapat para Ulama yang tergabung dalam beberapa mazhab,

sebenarnya ada titik yang mengarah menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti

dari kesamaan pendapat Mazhab tersebut terletak pada pemanfaatan barang

gadaian pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh syara’, namun apabila

pemanfatan barang tersebut telah mendapatkan izin kedua belah pihak (rahin dan

murtahin), maka pemanfaatan barang gadaian tersebut diperbolehkan.

Sedangkan untuk lebih jelasnya mengenai pendapat para Ulama’ fiqh

tentang pemanfaatan barang gadai menurut Syafi’i (1997) adalah sebagai berikut:

31

Page 35: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

a.   Pendapat Ulama as- Syafi’iyah

Mengenai pemanfaatan barang gadaian, masih menajadi perdebatan

dikalangan para Ulama, ada yang berpendapat Rahinlah yan berhak atas Marhun,

dan adapula berpendapat sebaliknya Murtahinlah yang berhak atas Marhun

tersebut. Imam Syafi’i mengatakan dalam bukunya, yaitu    al-Um bahwa:

“Manfaat dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan,

tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai” (t.t:

155).

 b.   Pendapat Ulama Malikiyah

Mengenai pemanfaatan dan pemungutan hasil barang gadaian dan segala

sesuatu yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak-hak yang

menggadaikan. Hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama pihak

penerima gadai tidak mensyaratkan.

 c.   Pendapat Ulama Hanabillah

 Ulama Hanabilah dalam masalah ini memperhatikan barang yang

digadaikan itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sedangkan hewanpun

dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan

yang tidak dapat diperah dan ditunggangi.

 d.   Pendapat Ulama Hanafiah

 Menurut Ulama Hanafiah tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang

gadaian yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, maka apabila yang

menggadaikan memberi izin, maka penerima gadai sah mengambil manfaat dari

barang yang digadaikan oleh penggadai (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 72).

2.21. Riba dan Rahn (Gadai Syariah)

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja

dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad

gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada

32

Page 36: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

murtahinketika membayar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat-

syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.

Bila rahin tidak  mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang

telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan

kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sini juga telah berlaku riba.

2.22. Berakhirnya Akad Gadai Rahn

Ada beberapa sebab yang menjadikan akad gadai akan berakhir di

antaranya adalah :

1) Rahn diserahkan kepada pemiliknya. Ketika barang gadaian dikembalikan

kepada pemiliknya maka berakhirlah akad gadai tersebut.

2) Hutang dibayarkan semuanya. Dengan dibayarkannya hutang maka rahin

berhak mengambil kembali barang gadaiannya. Sayid Sabiq menukil

perkataan Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ahli ilmu telah sepakat

jika seseorang menggadaikan sesuatu lalu membayar hutangnya sebagian,

dan ingin mengambil sebagian barang gadaiannya maka hal ini tidak

berhak atasnya sampai dia melunasi seluruh hutangnya.

3) Penjualan rahn secara paksa oleh hakim. Hakim berhak mengambil harta

rahn dari murtahin untuk pembayaran hutang rahin, walaupun rahin

menolak hal itu.

4) Pembebasan hutang oleh murtahin. Ketika murtahin membebaskan hutang

rahin maka berakhirlah akad gadai tersebut.

5) Pembatalan hutang dari pihak murtahin.Murtahin berhak untuk

membatalkan hutang kepada pihak rahin, ketika hal ini terjadi maka

batalah akad gadai.

6) Rahin meninggal dunia. Pendapat ini adalah dari Ulama Hanâfiyah.

Menurut pendapat ulama Malikiyah bahwa rahn itu batal jika rahin

meninggal dunia sebelum menyerahkan harta gadai kepada murtahin,

bangkrut, tidak mampu untuk membayar hutangnya, sakit atau gila yang

membawa pada kematian. Sedangkan, menurut Ulama Syafi’iyah

dan Hanâbilah   hal tersebut tidak menyebabkan batalnya akad. Merujuk

33

Page 37: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn

pasal 348 ayat 1 dinyatakan :

 ”Ahli waris yang memiliki kecakapan hukum dapat menggantikan pemberi

gadai (baca : râhin) yang meninggal”

7) Rahn rusak atau sirna. Dengan rusak atau sirnanya harta gadai maka

berakhirlah akad gadai tersebut. Menurut Ulama Hanâfiyah, atas perkara

tersebut murtahin dapat dikenakan denda sebesar harga barang minimum

atau sebesar utang râhin, sebab hakikatnya marhun adalah amanah yang

diberikan

8) Pemindahan rahn kepada pihak lain baik berupa hadiah, hibah atau

shadaqah.

2.23. Praktek Rahn (gadai) di Indonesia

Setelah kita memahami gadai dalam fiqh Islam, maka bagaimanakah

praktek gadai yang ada di tengah masyarakat pada masa kini? Di Indonesia ada

beberapa praktek gadai, diantaranya adalah yang terjadi di daerah pedesaan,

dimana sebagian mereka menggadaikan sawah, ladang atau pohon kelapa, dan

hasil dari barang gadaian tersebut menjadi hak penuh bagi murtahin, hal ini tentu

bertentangan dengan sabda Nabi :

, , اق5ط9 س- -اد/ه/ ن 5س0 و-إ ام-ة- س-/ أ 5ي ب

- أ 0ن/ ب 0ح-ار5ث/ -ل ا و-اه/ ر- 1ا ر5ب ف-ه/و- 0ف-ع-ة1 م-ن ج-ر; ق-ر0ض= Mل/ ك

“Setiap pinjaman yang mengambil manfaat maka itu adalah riba " HR. Al-Harist

bin Abi Usamah.

Hal di atas terjadi karena ketidakpahaman mengenai akad gadai, yang

dipahami menjadi milik mutlak bagi murtahin. Karena tujuan dari rahn adalah

sebagai penguat kepercayaan orang yang berhutang kepada pemilik piutang,

bukan untuk mencari keuntungan. Mengenai biaya perawatan barang gadaian

maka hal ini menjadi kewajiban rahin, dan murtahin berhak untuk meminta biaya

perawatan tersebut.

Karena itu buah dari pohon dan penghasilan dari sawah atau ladang adalah

menjadi milik dari rahin, dan jika murtahin yang menggarap sawahnya maka

harus dengan izin dari rahin.

34

Page 38: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Selain itu kita mengenal adanya Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian

yang ditetapkan dengan PP10/1990 tanggal 10 April 1990 serta PP 103 tahun

2000 yang menjadi lembaga yang memberikan pelayanan gadai milik pemerintah

Pola kerjanya adalah pihak pegadaian menyediakan dan menyalurkannya bagi

masyarakat yang membutuhkan dana segar dengan segera, adapun masyarakat

menjadikan harta bendanya sebagai jaminan ( barang gadaian ).

Dengan semakin berkembangnya sistem ekonomi syari'ah maka saat ini

Perum Pegadaian juga telah membuka Unit Pegadaian Syari'ah, yaitu pegadaian

dengan prinsip akad rahn yang bebas bunga dan sesuai dengan prinsip Islam.

Implementasi operasional Pegadaian Syariah hampir sama dengan Pegadaian

konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga

menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk

memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya

menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang

pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15

menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan

menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang

juga singkat.

Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek

landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri

tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.

Dari beberapa perbedaan yang sangat urgen adalah tidak adanya riba yang

dikenakan bagi penggadai, karena riba adalah sesuatu yang diharamkan dalam

Islam.

Di antara landasan yang menjadi rujukan bagi pegadaian syari'ah selain

sumber-sumber hukum Islam juga Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-

MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan

menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan.

Adapun ketentuannya sebagai berikut:

35

Page 39: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

1.      Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun

( barang ) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya

marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan

tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti

biaya pemeliharaan perawatannya.

3.      Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban

rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan

pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4.      Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan

berdasarkan jumlah pinjaman.

5.      Penjualan marhun, Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan

rahin untuk segera melunasi utangnya.Apabila rahin tetap tidak melunasi

utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi. Hasil Penjualan Marhun

digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang

belum dibayar serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik

rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

6.      Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui

musyawarah.

Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah

berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu. 

1.      Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam

sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan

memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian

piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai

jaminan atas utang nasabah.

2.      Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa

melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan

kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi

36

Page 40: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik

nasabah yang telah melakukan akad.

Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian

Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah

menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan

merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul

dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai

investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses

kegiatannya.

Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada

nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa

tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang

diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses

pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat

konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : 

1.      Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin

mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.

2.      Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib

dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang

dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.

3.      Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya

seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh

dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik

materi maupun manfaatnya.

4.      Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan

serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.

37

Page 41: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

5.      Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya

penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat

hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-

lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf

Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan

dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan)

dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan

berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum

Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90%

dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Gadai Syariah dan nasabah melakukan akad

dengan kesepakatan :

1) Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama

maksimum empat bulan.

2) Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh

rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar

bersamaan pada saat melunasi pinjaman.

3) Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian

pada saat pencairan uang pinjaman.

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :

1) Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum

jangka waktu empat bulan.

2) Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan

yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,

3) atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat

jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

38

Page 42: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar

jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan

cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan

pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi

kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam

satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah

akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.

Aplikasi gadai syariah dalam perbankan syariah sendiri dipakai dalam

beberapa hal, diantaranya sebagai akad pelengkap, yaitu akad tambahan dalam

pembiayaan bai' al-murabahah dimana barang dari nasabah dijadikan sebagai

jaminan. Manfaat yang dapat diambil oleh pihak bank dalam akad rahn ini

adalah : menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan fasilitas

pembiayaan yang diberikan bank. Selain itu rahn juga sangat membantu

masyarakat yang membutuhkan dana dengan segera namun tidak mau jatuh

kepada riba. Selain keuntungan yang didapat pihak bank, maka ada beberapa

resiko yang terjadi jika nasabah tidak dapat melunasi hutangnya (wanprestasi),

atau penurunan nilai barang gadai karena rusak atau harganya yang turun.

39

Page 43: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

awal berdirinya Rahn (Gadai syariah) adalah fatwa MUI tanggal 16 Desember

2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat terbitnya PP No. 10 tahun

1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban oleh pegadaian syariah adalah

untuk mencegah praktik riba, dan misi ini tidak berubah hingga diterbitkannya PP

No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum

pegadaian hingga sekarang. Sedangkan

Gadai syariah memiliki tugas pokok yaitu memberikan pinjaman kepada

masyarakat yang membutuhkan. Lembaga Keuangan Gadai Syariah mempunyai

fungsi sosial yang sangat besar. Karena pada umumnya, orang-orang yang datang

ke tempat ini adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan. Adapun

pengertian dari rahn (gadai syariah) adalah suatu barang yang dijadikan penguat

kepercayaan dalam hutang piutang atau yang lebih populer dengan sebutan

gadai.dengan catatan barang yang digadaikan harus barangnya sendiri bukan

barang ghasab atau pinjaman. Rahn berlandaskan pada Al-Qur’an, Hadits, dan

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002.

Ada beberapa aspek yang menjadi latar belakang pemdirian Rahn (gadai

syariah yaitu:

Aspek Legalitas

Aspek permodalan

Aspek sumber daya manusia

Aspek kelembagaan

40

Page 44: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Aspek sistem dan prosedur

Aspek pengawasan  

Selain itu dalam imlplementasi gadai syariah rukun dan syarat yang harus

dipenuhi yaitu:

Rukun Rahn (Gadai syariah)

Ar-Rahin

Al-Murtahin

Al-Marhun / Ar-Rahn

Al-Marhun bihi

Al-'Aqdu

Syarat Rahn (Gadai syariah)

Adanya Lafaz

Adanya pemberi dan penerima gadai

Adanya barang yang digadaikan

Adanya utang/ hutang

Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya

adalah menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang

disepakati dalam batas nilai jaminannya, sedangkan kewajiban rahin adalah

menyerahkan barang jaminan yang nilainya cukup untuk jumlah huyang yang

dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin adalah menerima barang jaminan

dengan nilai yang aman untuk uan yang akan dipinjamkannya. Sedangkan

kewajibanya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai dengan yang disepakati

bersama.

Rahn (Gadai Syariah) jika dilihat dari sah tidaknya akad terbagi menjadi

dua yaitu gadai shahih dan gadai fasid adapun rinciannya adalah sebagai berikut :

a.        Rahn Shahih / lazim, yaitu rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan

rukunnya

b.        Rahn Fasid, yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya.

41

Page 45: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

Di Indonesia ada beberapa praktek gadai, diantaranya adalah yang terjadi

di daerah pedesaan, dimana sebagian mereka menggadaikan sawah, ladang atau

pohon kelapa, dan hasil dari barang gadaian tersebut menjadi hak penuh bagi

murtahin, hal ini tentu bertentangan dengan sabda Nabi :

, , اق5ط9 س- -اد/ه/ ن 5س0 و-إ ام-ة- س-/ أ 5ي ب

- أ 0ن/ ب 0ح-ار5ث/ -ل ا و-اه/ ر- 1ا ر5ب ف-ه/و- 0ف-ع-ة1 م-ن ج-ر; ق-ر0ض= Mل/ ك

“Setiap pinjaman yang mengambil manfaat maka itu adalah riba " HR. Al-Harist

bin Abi Usamah.

3.2. Kritik dan saran

Keterbatasan penulis tentunya tidak bisa dipungkiri dalam penulisan

makalah ini, maka dari itu penulis membuka dengan tangan terbuka atas kritik dan

saran dari dosen pengampu ataupun pembaca. Kritik dan saran yang bersifat

konstruktif akan menjadikan penulis menjadi lebih untuk kedepannya karena

tolok ukur dari kesempurnaan makalah ini adalah dari pembaca pada umumnya

dan dosen pengampu mata kuliah perbankan syariah pada kususnya.

42

Page 46: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

DAFTAR PUSTAKA

1. Drs. D. Sirojuddin Ar (Ensiklopedi Hukum Islam) PT Ichtiar Baru van

Hoevo, Jakarta. 2000

2. Msi Suherdi Hendi H. Drs, Fiqh Muamallah, PT RajaGrafindo Persada :

jakarta 2002.

3. MA Karim Helmi. Dr, Fiqh muamallah, PT RajaGrafindo Persada 2002 :

Jakarta 2002

4. I’ Doi Rahman A, Syariat Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada :

Jakarta 1996

5. Al- Quran Al-karim, QS Ai-Baqarah : 283

6. Asyatiri, Sayyid Ahmad Ibnu Umar, Alyaqutu Annafisa Fi Madzhabi Ibnu

Idris, Maktabah Alhidayah, Surabaya.

7. Algazi, Muhammad Ibnu Qasim, Fathu Al-Qarib Al-mujib, Al-Haramain,

halaman 32

8. Asyafi’i, Imam Taqiyyudin abi Bakrin Ibnu muhammad alhusaini alhusni

addimisyaqi, Kifayatu Al- Ahyar, Syirkah Maktabah Ahmad Ibnu Sa’id

Ibnu Nabhan waauladuhu, Surabaya, jiz I, hlm 263.

9. Syafi’i Rahmad, Fiqh Muamalah, Prof. Dr. H.MA, cv Pustaka Setia,

Bandung, 2001

10. Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu’amalah, Prof. DR Abdullah bin

Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq

dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H,

Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115

11. Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al

Su’udiyah, disusun oleh Al Amaanah Al ‘Amah Lihai’at Kibar Al Ulama.

Cetakan pertama tahun 1422H

43

Page 47: Makalah Prinsip Rahn (Gadai Syariah)

12. Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah Al

Bassaam cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA

13. Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki

dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan kedua tahun 1412H,

penerbit hajar, Kairo, Mesir.

14. Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan

Muhammad Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al

TUrats Al ‘Arabi, Beirut.

15. Abdul Muhsin Sulaiman, “Haajul Musykilah al-Iqtisshaadiyah fil Islam”,

Terj. Anshari Umar Sitanggal, Bandung : Al-Ma’arif, 1985.

16. Rachmadi Usman, Aspek – Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia,

Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002

17. Muhammad Firdaus, dkk, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah,

Jakarta: Renaisan, 2005

18. Rahmad Syafei, Konsep Gadai (al-rahn Dalam Fiqh Islam: Antara Nilai

Sosial dan Nilai Komersial), Dalam “Problematika Hukum Islam

Kontemporer III”, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,

1995.

19. Ahmad Rodoni dan Abdul hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta :

Zikrul Hakim, 2008

20. Basyir Ahmad Azhar.Hukum Islam Tentang Riba, Utang-piutang Gadai.

Bandung: Al-Ma’arif. 1993.

21. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. XVII, At-Tahiriyah : Jakarta, tahun

1976, hal. 298. 

22. Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’ah Juz II, Darul Ihya

At-Turats Al-Arabi, Beirut, Libanon, tahun 1993

23. Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir

kalam Al-Manan, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, Kuwait, tahun 2003

24. http://majelispenulis.blogspot.com/2011/03/gadai-dalam-islam.html            

       

44