Makalah Presus trauma wajah

40

Click here to load reader

description

presus trauma wajah

Transcript of Makalah Presus trauma wajah

Page 1: Makalah Presus trauma wajah

PRESENTASI KASUS

TRAUMA WAJAH

BLOW-OUT FRACTURE

Disusun Oleh :

Mogi Mediawan

1420221097

FK UPN “Veteran” Jakarta

Pembimbing

dr. Harun Adam, SpB, SpBP

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

JAKARTA

2015

1

Page 2: Makalah Presus trauma wajah

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan sykur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas rahmat dan karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang

berjudul “TRAUMA WAJAH BLOW-OUT FRACTURE”.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas kepanitraan Departemen Ilmu

Bedah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto serta untuk menambah ilmu dan

wawasan kami sebagai koasisten di bagian Ilmu Bedah dan sebagai calon dokter umum.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

memberikan masukan dan bantuan dalam penyusunan laporan kasus ini, terutama

kepada para Dokter Konsulen yang banyak membantu selama kepaniteraan di bagian Ilmu

Bedah, terutama kepada dr. Kristina Maria, SpB(K)Onk selaku pembimbing.

Saya menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini dan

jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan kritik yang membangun agar

kemudian hari pembuatan laporan kasus menjadi lebih baik. Harapan saya, semoga

laporan kasus ini dapat berguna bagi saya dan siapapun yang membacanya.

Jakarta, Juli 2015

Penulis

2

Page 3: Makalah Presus trauma wajah

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. EK

Umur : 32 tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki.

Alamat : Pondok Kelapa, Jakarta Timur

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama :Protestan

Status pernikahan :Menikah

II. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 14 Juni 2015 pada pukul 23.41 WIB di IGD

RSPAD Gatot Soebroto.

1. Keluhan Utama

Pasien mengalami kecelakaan 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

2. Keluhan Tambahan

3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto tanggal 14 Juni 2015 dengan keluhan tidak

bisa mengingat bagaimana kecelakaan terjadi. Pasien sendiri merupakan rujukan dari Rumah

Sakit tingkat III Kartika-Husada, Pontianak dan tiba di RSPAD Gatot Soebroto untuk

mendapat penanganan lebih lanjut. Pasien dikatakan sempat pingsan dan muntah selama

perjalanan, mata sebelah kiri tidak dapat melihat, dan mengeluh nyeri pada bahu sebelah kiri.

3

Page 4: Makalah Presus trauma wajah

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):

Riwayat penyakit Hipertensi : disangkal

Riwayat penyakit Diabetes : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Pembedahan : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan (skala 3)

Kesadaran : Compos mentis

Status gizi : Cukup

Tanda vital : Tekanan darah: 110/70mmHg

Nadi: 88 x/menit

Respirasi: 22 x/menit

Suhu: 36,0 °C

STATUS GENERALIS

1. Kulit : Sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik tidak sianosis.

2. Rambut : Distribusi rambut merata

3. Mata : Lebam pada mata kiri, konjungtiva pucat (-)/(-), Sklera ikterik (-)/(-),

Refleks cahaya (+)/(-).

4. Telinga : Terdapat darah kering pada telinga kanan

5. Hidung : Septum deviasi

6. Mulut : Tidak ditemukan kelainan

7. Leher : KGB tidak teraba membesar, tidak terdapat jejas

4

Page 5: Makalah Presus trauma wajah

8. Thorax

Paru-paru

Inspeksi : simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal pada saat statis dan dinamis

Palpasi : gerak simetris vocal fremitus sama kuat pada kedua hemithorax

Perkusi : sonor pada kedua hemithorax, batas paru-hepar pada sela iga VI pada linea

midklavikularis dextra, dengan peranjakan 2 jari pemeriksa, batas paru-

lambung pada sela iga ke VIII pada linea axilatis anterior sinistra.

Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar ronkhi maupun wheezing pada

kedua lapang paru

Jantung

Inspkesi : tidak tampak pulsasi ictus cordis

Palpasi : terdapat pulsasi ictus cordis pada ICS V, di linea midklavikularis sinistra

Perkusi :

Batas jantung kanan : ICS III - V , linea sternalis dextra

Batas jantung kiri : ICS V , 2-3 cm dari linea midklavikularis sinistra

Batas atas jantung : ICS III linea sternalis sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I, II regular, tidak terdengar murmur maupun gallop.

9. Abdomen

Inspeksi : Abdomen simetris, datar, jaringan parut tidak ada, striae dan kelainan kulit,

tidak terdapat pelebaran vena.

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, maupun nyeri lepas,

pada pemeriksaan ballottement didapatkan hasil negative.

Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok CVA.

Auskultasi : bising usus positif 2x/menit, normal

5

Page 6: Makalah Presus trauma wajah

10. Genitalia

Tidak ditemukan kelainan

11. Ekstremitas : Nyeri pada bahu kiri, ROM terbatas, luka lecet di kedua kaki, akral hangat,

edema (-)/(-), CRT < 2 detik

Status Lokalis Regio Kraniofacial

Inspeksi : VL periorbita sinistra, tepi rata, 1x4x5cm, edema (+), ptosis palpebra

sinistra.

Palpasi : Krepitasi (+), nyeri tekan (+), maloklusi (+), diskontinuitas (+) terutama pada

wajah sebelah kiri.

Oculi Sinistra : Bola mata tidak dapat terlihat, rotated enoftalmus (+).

Status Lokalis Regio Clavicula

Look : Terpasang armsling, terdapat deformitas dan swelling pada bahu kiri.

Feel : Terdapat nyeri tekan dan diskontinuitas pada bahu kiri.

Move : ROM terbatas

Status Lokalis Regio Femoralis

Look : Terdapat luka lecet di kedua kaki

Feel : Tidak terdapat nyeri tekan, krepitasi, diskontinuitas pada kedua kaki.

Move : ROM bebas

6

Page 7: Makalah Presus trauma wajah

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium pre-operasi pada tanggal 31 Maret 2013

JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hemoglobin

Hematokrit

Eritrosit

Leukosit

Trombosit

MCV

MCH

MCHC

KIMIA KLINIK

SGOT (AST)

SGPT (ALT)

Ureum

Kreatinin

Gula darah sewaktu

Natrium

Kalium

Klorida

11,3 g/dL*

32 %*

3,9 juta/μL*

13.070/ μL*

235.000/ μL

83 fL

29 pg

36 g/dL

26 U/L

24 U/L

30 mg/dL

1,0 mg/dL

130 mg/dL

144 mmol/L

4,0 mmol/L

107 mmol/L*

13 – 18 g/dL

40 – 52 %

4,3 – 6,0 juta/ μL

4.800 – 10.800/μL

150.000 – 400.000/μL

80 – 96 fL

27 – 32 pg

32 – 36 g/dL

< 35 U/L

< 40 U/L

20 – 50 mg/dL

0,5 – 1,5 mg/dL

<140 mg/dL

135 – 147 mmol/L

3,5 – 5,0 mmol/L

95 – 105 mmol/L

7

Page 8: Makalah Presus trauma wajah

Hasil pemeriksaan CT Scan kepala pada tanggal 14 Juni 2015

Kesan :

• Fraktur multiple di os frontal. Dinding superior, lateral, inferior, dan medial rongga orbita

kiri, sphenoid wing kiri, dinidng lateral sinus maksila kiri, os zygoma kiri, dan ethmoid kiri

serta fraktur di dinding dasar rbita kanan, dinding lateral sinus maksila kanan dan septum nasi

disertai panhematosinus

• Pergeseran bulbus okuli kiri ke posteromedial dengan kedudukan lensa dan kornea di sisi

lateral (eksorotasi). Bulbus okuli, N. optikus, dan M rectus medial kesan intak. M. rektus

lateral kesan ireguler suspek ruptur

• Tidak tampak benda asing pada orbita

8

Page 9: Makalah Presus trauma wajah

• Perselubungan di air cell mastoid kanan kiri DD/mastoiditis bilateral, perdarahan

intramastoid

• Soft tissue swelling dan emfisema subkutis regio frontoremporal kiri

V. RESUME

Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto tanggal 14 Juni 2015 dengan keluhan

tidak bisa mengingat bagaimana kecelakaan terjadi. Pasien sendiri merupakan rujukan

dari Rumah Sakit tingkat III Kartika-Husada, Pontianak dan tiba di RSPAD Gatot

Soebroto untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Pasien dikatakan sempat pingsan dan

muntah selama perjalanan, mata sebelah kiri tidak dapat melihat, dan mengeluh nyeri

pada bahu sebelah kiri.

VI. DIAGNOSA KERJA

Panfacial blow out fracture, rotated enophthalmus, closed fracture Allman I clavicula

sinistra

VII. PENATALAKSANAAN

a. Operasi : ORIF plate and screw.

a. Medikamentosa

i. Ceftriaxon 2x 150 gram

ii. IVFD 20 tpm

iii. Ketorolac 2 x 30 mg

iv. Ranitidin 2 x 1 ampul

b. Anjuran

i. Diet cair

ii. Rawat luka, jahit primer VL palpebra superior

iii. Oral hygiene

9

Page 10: Makalah Presus trauma wajah

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad sanationam : bonam

Ad fungsionam : bonam

10

Page 11: Makalah Presus trauma wajah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BLOW-OUT FRACTURE

I. PENDAHULUAN

Blow-out fracture adalah fraktur tulang dasar orbita yang

disebabkan peningkatan tiba-tiba dari tekanan intraorbital tanpa

keterlibatan rima orbita. Sebagian besar blow-out fracture terjadi pada

dasar orbita dan sebagian kecil terjadi pada dinding medial dengan atau

tanpa disertai fraktur dasar orbita. Blow-out fracture merupakan fraktur yang sering

terjadi pada trauma wajah. Tingkat keparahan bervariasi mulai dari fraktur minimal yang

kecil yaitu bergesernya salah satu dinding orbita yang tidak memerlukan tindakan bedah

hingga kerusakan dinding orbita yang parah yang menyebabkan deformitas tulang dan

perubahan kedudukan bola mata (Furuta dkk, 2006).

Fraktur dasar orbita blow out dapat merupakan trauma yang berdiri sendiri atau

merupakan bagian dari kehancuran tulang wajah yang luas. Fraktur dasar orbita blow out

dapat timbul bersamaan dengan fraktur lengkung zygomatik, fraktur daerah midfacial Le Fort

II dan III, atau bersamaan dengan fraktur dinding medial atau orbita rim. (Cohen,2005;

Williams1994)

Blow-out fracture pertama kali ditemukan oleh Lang pada awal tahun 1900. Nama

blow-out fracture sendiri dikemukakan pertama kali oleh Smith dan Regan pada tahun 1957.

Sebagian besar fraktur ini melibatkan tulang dasar orbita dan 20% melibatkan dinding orbita

yang lain (Zubair & Touseef, 2005; Furuta dkk, 2006).

Blow-out fracture umumnya terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-

anak. Blow-out fracture pada wanita dewasa sering terjadi karena kekerasan. Blow-out

fracture dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga,

terjatuh atau karena kekerasan. Trauma maksilofasial sering terjadi pada mereka yang tidak

mengenakan sabuk pengaman saat mengendarai mobil, terutama terjadi pada negara

berkembang (Kakati dkk, 2010; Gennaro dkk, 2012).

Diagnosis blow-out fracture ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Adanya riwayat trauma tumpul pada wajah dapat digali dari

11

Page 12: Makalah Presus trauma wajah

anamnesa. Standar baku emas untuk menegakkan diagnosa blow-out fracture adalah CT scan

kepala dimana terlihat adanya fraktur di tulang dasar orbita dan atau di dinding medial orbita.

Diagnosa banding dari blow-out fracture adalah zigomaticomaxillary complex fracture dan

naso-orbito-ethmoidal fracture (Joseph & Glavas, 2011; American Academy of

Ophthalmology staff, 2011-2012b)

Kasus blow out fracture sebagian besar hanya diobservasi untuk melihat penyerapan

hematom. Indikasi operasi yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia,

enophtalmus, fraktur luas dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak

ada perbaikan klinis dalam 1-2 minggu. Komplikasi dapat terjadi akibat trauma awal maupun

terapi pembedahan. Prognosis umumnya baik, bila dilakukan penatalaksanaan yang tepat

(American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).

II. DEFINISI

Blow-out fracture merupakan fraktur tulang dasar orbita yang

disebabkan peningkatan tiba-tiba dari tekanan intraorbital tanpa

keterlibatan rima orbita. Blow-out fracture sebagian besar terjadi pada

dasar orbita dan sebagian kecil terjadi pada dinding medial dengan atau

tanpa disertai fraktur dasar orbita. Fraktur tulang dasar orbita yang disertai

pergeseran ke atas biasanya disertai juga dengan fraktur kraniofacial luas yang melibatkan

rima orbita. Tipe ini tidak sesuai dengan teori hidraulik dan buckling sehingga tidak termasuk

blow-out fracture murni (Silva & Rose, 2011; Gennaro dkk, 2012).

III. ANATOMI

Rongga orbita berbentuk seperti buah pear dengan volume + 30 ml pada orang dewasa.

Permukaan orbita memiliki tinggi + 35 mm dan lebar + 45 mm. Lebar maksimal orbita

terletak 1 cm dibelakang batas orbita anterior. Jarak antara permukaan orbita dengan apex

orbita pada orang dewasa bervariasi yaitu 40 – 45 mm (American Academy of

Ophthalmology staff, 2011-2012a).

Dinding orbita dibentuk oleh tujuh tulang yaitu tulang frontal, sphenoid, maksila,

lakrimal, ethmoid, palatina dan zigomatik. Bagian superior / atap orbita dibentuk oleh tulang

frontal dan tulang sphenoid ala minor. Bagian medial dibentuk oleh tulang maksila, lakrimal,

ethmoid dan tulang sphenoid ala minor. Sebagian besar dinding medial dibentuk oleh tulang

12

Page 13: Makalah Presus trauma wajah

ethmoid. Struktur tipis dari dinding medial (paper-thin structure) sesuai dengan namanya

yaitu lamina papyracea. Bagian lateral disusun oleh tulang zigomatik dan the greater wing

dari tulang sphenoid. Dinding lateral merupakan dinding yang paling tebal dan kuat. Dinding

inferior/dasar orbita disusun oleh tulang maksila, zigomatik dan palatina. Dasar orbita

merupakan atap dari sinus maksilaris (Eva & Whitcher, 2004; American Academy of

Ophthalmology staff, 2011-2012a).

Gambar 1. Tulang Pembentuk Orbita

Terdapat enam otot ekstraokular yang berfungsi menggerakkan bola mata yaitu dua

otot oblik dan empat otot rektus. Masing-masing memiliki fungsi primer dan sekunder

kecuali otot rektus lateral dan medial yang hanya memiliki fungsi primer. Fungsi dari

masing-masing otot tersebut dapat dilihat pada tabel (Moore & Agur, 2002; Ilyas, 2009).

Otot Fungsi Primer Fungsi Sekunder

Rektus lateral Abduksi -

Rektus medial Adduksi -

Rektus superior Elevasi Adduksi dan intorsi

Rektus inferior Depresi Adduksi dan extorsi

Oblik superior Intorsi Abduksi dan depresi

13

Page 14: Makalah Presus trauma wajah

Oblik inferior Extorsi Abduksi dan elevasi

Tabel 1. Otot-otot ekstra okuler dan fungsinya masing-masing (American Academy of Ophthalmology staff,

2005)

Formanen optikum terletak pada apex rongga orbita yang dilalui oleh saraf optik,

arteri ophtalmika, vena ophtalmika dan saraf simpatis yang berasal dari pleksus karotid.

Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (N.V), saraf

frontal (N.V), saraf troklear (N.IV), saraf okulomotor (N.III), saraf nasosiliar (N.V), abdusen

(N.VI), arteri oftalmika dan vena oftalmika. Fisura orbita inferior terletak di dasar tengah

temporal orbita, dilalui oleh saraf dan arteri infra orbita. Fosa lakrimal terletak di sebelah

temporal atas. (Moore & Agur, 2002; Ilyas, 2009).

Nervus cranialis III mempersarafi musculus levator palpebra superior, musculus

rektus superior, musculus rektus inferior, musculus rektus medialis, musculus oblik inferior.

Nervus cranialis IV mempersarafi musculus oblik superior. Nervus cranialis VI mempersarafi

musculus rektus lateralis (Moore & Agur, 2002; Ilyas, 2009).

Orbita terutama memperoleh darah arterial dari arteri ophtalmika, dibantu juga oleh

arteri infraorbitalis. Otot ekstraokuler mendapatkan perdarahan dari cabang arteri

ophthalmika. Muskulus rektus lateral dan oblik inferior juga mendapatkan perdarahan dari

cabang arteri lakrimal dan arteri infraorbital. Arteri sentralis retina menembus nervus optikus

dan melintas didalamnya untuk meninggalkannya di diskus nervus optikus. Cabang arteri

sentralis retina meluas pada permukaan dalam retina (Moore & Agur, 2002; Eva & Whitcher,

2004)

Penyaluran darah balik dari orbita terjadi melalui vena opthalmika superior dan

inferior yang melintas melewati fissura orbitalis superior dan langsung memasuki sinus

cavernosus. Vena sentralis retina bermuara langsung dalam sinus cavernosus tetapi kadang-

kadang bersatu dengan salah satu vena ophthalmika (Moore & Agur, 2002).

14

Page 15: Makalah Presus trauma wajah

Gambar 2. Tulang orbita, dilihat dari depan (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a)

Gambar 3. A. Dinding lateral tulang orbita. B. Dinding medial tulang orbita (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012a)

15

Page 16: Makalah Presus trauma wajah

Gambar 4. Dasar tulang orbita (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012a)

IV. EPIDEMIOLOGI

Blow-out fracture sering terjadi pada orang dewasa terutama dewasa muda. Laki–laki

lebih sering terkena daripada perempuan. Blow-out fracture pada wanita dewasa sering

terjadi karena kekerasan. Blow-out fracture jarang terjadi pada anak-anak, dimana angka

kejadian fraktur daerah wajah pada anak - anak hanya sebesar 5% dari seluruh kasus (dewasa

dan anak-anak) dan 10% nya terjadi pada umur kurang dari 5 tahun. Anak laki–laki lebih

sering mengalami fraktur daerah wajah dengan ratio 1,5 : 1 (laki-laki : wanita), hal ini

disebabkan karena anak laki-laki lebih sering terlibat kekerasan dan kecelakaan olahraga

(Chaudhry, 2010; John, 2012)

Berdasarkan statistik dari The Swedish Board of Health and Welfare, sekitar 110.000-

120.000 orang di swedia dirawat di rumah sakit tiap tahunnya karena trauma fisik, dimana

300 orang mengalami fraktur daerah wajah dan 10-15% mengalami trauma orbita. Sebuah

penelitian di Iran selama lebih dari lima tahun menyebutkan penyebab tersering dari trauma

orbita adalah kecelakaan lalu lintas (54%), terjatuh (20,3%), kekerasan (9,7%). Penelitian di

swedia juga mendukung kecelakaan lalu lintas sebagai penyebab utama trauma orbita,

sedangkan kejadian trauma orbita pada tentara Amerika sebagian besar terjadi karena

kekerasan. Di Amerika, blow-out fracture terjadi pada 4-16% fraktur wajah. Insidennya meningkat

hingga 30-55% jika disertai dengan zygomaticomaxillary complex fracture. Pada penelitian lain,

blow-out fracture didapatkan pada 9% kasus dari 400 penderita kecelakaan lalu lintas yang

16

Page 17: Makalah Presus trauma wajah

mengalami fraktur pada wajah (Zubair & Touseef, 2005; Chaudry, 2010; Joseph & Glavas,

2011).

V. ETIOLOGI

Blow-out fracture disebabkan oleh trauma tumpul tak langsung pada orbita yang

merupakan mekanisme proteksi untuk mengurangi tekanan intraorbita yang meningkat secara

tiba-tiba dengan dekompresi melalui bagian paling lemah dari dinding orbita yaitu dasar

orbita dan dinding medial orbita. Blow-out fracture dapat terjadi karena kecelakaan lalu

lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga, terjatuh atau karena kekerasan. Trauma

maksilofasial sering terjadi pada mereka yang tidak mengenakan sabuk pengaman saat

mengendarai mobil, terutama terjadi pada negara berkembang (Joseph & Glavas, 2011).

VI. PATOFISIOLOGI

Fraktur dasar orbita blow out yang murni (fraktur dasar orbita yang berdiri sendiri),

terjadi karena jejas benturan terhadap bola mata dan kelopak mata atas. Benda yang

membentur biasanya cukup besar untuk tidak mengakibatkan perforasi bola mata dan cukup

kecil untuk tidak mengakibatkan fraktur rim orbita.

Fraktur dasar orbita blow out saja atau bersamaan dengan fraktur tulang wajah lainnya paling

sering ditemukan pada fraktur midfasial, setelah fraktur nasal.

Mekanisme terjadinya fraktur blow out terbagi menjadi dua teori, yaitu :

1. Teori Buckling

Gambar 5. Teori Buckling

17

Page 18: Makalah Presus trauma wajah

Teori Buckling ini pertama kali dinyatakan oleh LeFort dan 70 tahun kemudian

ditegaskan kembali oleh Fujino. Teori ini menyatakan suatu konduksi dimana jika suatu

benturan langsung mengenai rima orbita, maka akan ditransfer menuju tulang yang paling

lemah dan tipis, khususnya dasar orbita dan menyebabkan fraktur di daerah ini. Waterhouse

pada tahun 1999 mempelajari teori ini lebih mendalam dimana benturan pada rima orbita

menyebabkan fraktur yang besar dari dinding dasar dan dinding medial orbita. Fraktur ini

sering menyebabkan herniasi dari isi orbita (Zubair & Touseef, 2005; Chaudhry, 2010).

2. Teori Hydraulic

Gambar 6. Teori Hydraulic

Teori hydraulic dikemukakan oleh Pfeiffer pada tahun 1943. Teori ini menyatakan

pukulan yang diterima bola mata ditransmisikan menuju dinding orbita sehingga

menyebabkan fraktur. Waterhouse juga mempelajari teori ini lebih mendalam dimana terjadi

fraktur kecil pada anterior dan mid medial tulang dasar orbita akibat benturan pada bola mata.

Herniasi dari isi orbita juga sering terjadi (Long & Tan, 2002; Zubair & Touseef, 2005;

Chaudhry, 2010; Silva dkk, 2011; Thiagarajan & Ulaganathan, 2012).

Blow-out fracture dapat terjadi murni atau berhubungan dengan trauma yang lain.

Trauma lain misalnya fraktur zigomatik kompleks, fraktur nasoethmoidal kompleks, fraktur

maksila dan panfacial. Penderita blow out fracture murni hanya sebesar 28,6% (Zubair &

Touseef, 2005).

18

Page 19: Makalah Presus trauma wajah

VII. GEJALA DAN TANDA KLINIS

Penderita blow-out fracture sering mengeluh nyeri intraokular, mati rasa pada area

tertentu di wajah, tidak mampu menggerakkan bola mata, melihat ganda bahkan kebutaan.

Tanda klinis dari blow-out fracture murni adalah edema, hematoma, enophtalmus, restriksi

gerakan bola mata, anasthesia infraorbital, trauma nervus cranialis dan emphysema dari

orbita dan palpebra (Zubair & Touseef, 2005; Kahana dkk, 2008; American Academy of

Ophthalmology staff, 2011-2012b).

Jenis fraktur tulang dasar orbita pada anak-anak berbeda dengan pada orang dewasa.

Fraktur tulang dasar orbita pada anak-anak terdapat ekimosis dan eritema minimal. Fraktur

tulang dasar orbita yang terjadi merupakan jenis trapdoor dimana muskulus rektus inferior

dan soft tissue perimuskular terjepit sehingga menimbulkan keterbatasan gerak bola mata,

mual dan muntah. Hal ini disebabkan karena elastisitas yang tinggi dari tulang orbita anak-

anak sehingga prolaps dari jaringan orbita terjepit kuat dalam tulang yang mengalami fraktur.

Jaringan dan otot yang terjepit menyebabkan diplopia berat dan oculocardiac reflex

(Bansagi & Meyer, 2000; Chaudhry, 2010; Wang, 2010; Gennaro dkk,

2012).

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan untuk menegakkan diagnosa blow-out

fracture adalah CT Scan kepala dengan potongan coronal dan sagital. Hasil CT Scan dapat

memperlihatkan tulang yang mengalami fraktur, ukuran fraktur dan keterlibatan otot

ekstraokular (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).

CT scan kepala dilakukan dengan irisan kecil (2-3 mm) dengan fokus pada dasar orbita dan

optik canal. Ukuran dan bentuk fraktur yang terlihat tidak hanya untuk menentukan diagnosa

klinis namun juga menentukan rencana operasi. Penyebab proptosis dapat terlihat dari CT

scan apakah karena perdarahan orbita yang memerlukan penanganan segera atau karena

empisema orbita. CT scan dapat mendeteksi musculus rektus yang terjepit dengan melihat

pergeseran otot ke daerah fraktur dengan atau tanpa pergeseran tulang (Joseph & Glavas,

2011).

19

Page 20: Makalah Presus trauma wajah

Gambar 4. CT scan potongan koronal pada pasien anak-anak menunjukkan soft tissue yang terjepit dan distorsi muskulus rektus inferior pada fraktur tipe trapdoor pada medial dasar orbita (Banzagi & Meyer, 2000)

Gambar 5. CT scan pasien dewasa dengan > 50% fraktur tulang dasar orbita dan herniasi soft tissue (Parbhu dkk, 2008)

Blow-out fracture sering berhubungan dengan emphysema intraorbital. Gambaran ini

terlihat jelas pada hasil rontgen kepala tampak depan dimana terdapat area lucent pada

superior orbita seperti gambaran alis mata hitam. CT scan kepala merupakan standar baku

emas pada blow-out fracture namun rontgen kepala sering merupakan pemeriksaan

penunjang awal yang dilakukan pada kasus trauma orbita. Gambaran alis mata hitam pada

rontgen kepala merupakan satu-satunya petunjuk adanya blow-out fracture sehingga harus

diberi perhatian khusus saat pasien pertama kali datang ke unit gawat darurat dengan riwayat

trauma orbita (Feyaerts & Hermans, 2009).

20

Page 21: Makalah Presus trauma wajah

Gambar 6. Rontgen kepala tampak depan memperlihatkan tanda alis mata hitam pada mata kiri (tanda panah panjang). Atap dari sinus maksilaris memperlihatkan irregularitas ringan dibandingkan mata kanan namun fraktur tidak tampak jelas. Area lucent di sebelah lateral memperlihatkan udara ekstrakranial di fossa temporal dan infratemporal (Feyaerts & Hermans, 2009).

IX. DIAGNOSIS BANDING

Trauma orbita umumnya memiliki gejala klinis yang mirip sehingga blow out fracture harus

dapat dibedakan dari fraktur lainnya. Zygomaticomaxillary complex fracture (ZMC) dan

Naso-orbito-ethmoidal fracture (NOE) merupakan fraktur orbita selain blow out fracture

yang sering terjadi. Zygomaticomaxillary complex fracture (ZMC) merupakan fraktur yang

melibatkan tulang zigoma dan maksila. Manifestasi klinis ZMC adalah depresi lengkungan

zigoma, nyeri, hematom periorbital, epistaksis, perdarahan sub konjungtiva dan ekimosis

kulit sekitarnya (Salam & Toukhy, 2009; Gleinser, 2010).

Gambar 7. CT scan potongan axial menunjukkan zygomaticomaxillary complex fracture (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b)

Naso-orbito-ethmoidal fracture (NOE) terjadi karena trauma di daerah hidung ataupun rima

orbita medial. Fraktur terjadi terbatas pada tulang nasal dan tulang maksila bagian frontal

pada kasus yang ringan. Tulang lakrimal dan ethmoid dapat terlibat pada kasus yang lebih

21

Page 22: Makalah Presus trauma wajah

berat sehingga terjadi pergeseran ke lateral dan menimbulkan telekantus traumatik, wajah

tampak lebih datar dan melebar, epistaksis, ekimosis periorbital, rhinorea CSF (cairan

cerebro-spinal), emphisema subcutaneus (bila melibatkan tulang ethmoid) dan epifora bila

tulang duktus nasolakrimalis juga terkena. Musculus rectus medial dapat terjebak sehingga

terjadi limitasi gerakan horizontal (Salam & Toukhy, 2009 ; Gleinser, 2010).

Gambar 8. Naso-orbito-etmoidal fracture (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b)

X. DIAGNOSIS

Diagnosis dari blow-out fracture ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Penderita memiliki riwayat mata terkena benturan benda yang

biasanya berdiameter lebih besar daripada lingkaran mata, misalnya bola tenis, dashboard

mobil atau terkena pukulan tinju. Penderita juga mengeluh nyeri intraokular, mati rasa pada

area tertentu di wajah, tidak mampu menggerakkan bola mata, melihat ganda bahkan

kebutaan (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).

Pemeriksaan fisik dari penderita blow-out fracture murni didapatkan edema,

hematoma, enophtalmus, restriksi gerakan bola mata, anasthesia infraorbital, trauma nervus

cranialis. Hasil rontgen kepala memperlihatkan gambaran alis mata hitam sedangkan

pemeriksaan CT scan memperlihatkan tulang dasar orbita atau dinding medial yang

mengalami fraktur, ukuran fraktur dan keterlibatan otot ekstraokular (Zubair & Touseef,

2005; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).

XI. PENATALAKSANAAN

22

Page 23: Makalah Presus trauma wajah

Evaluasi ABC (airway, breathing and circulation) selalu dilakukan pada setiap kasus

trauma wajah karena trauma pada daerah wajah sangat potensial menyebabkan gangguan

ABC. Pengamanan ABC harus dilaksanakan segera setelah pasien datang. Pemeriksaan dan

penatalaksanaan trauma awal dilaksanakan setelah ABC pasien terkendali (Gleinser, 2010).

Kasus blow-out fracture sebagian besar tidak memerlukan tindakan operasi. Blow-out

fracture orbita biasanya hanya diobservasi 5-10 hari untuk melihat penyerapan hematom.

Pemberian steroid oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari pertama dapat mengurangi edema dan

resiko diplopia yang disebabkan kontraktur dan fibrosis musculus rektus inferior (American

Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).

Penderita blow-out fracture disarankan untuk tidak meniup hidung mereka selama

beberapa minggu untuk mencegah emphysema orbita. Dekongestan hidung sering digunakan

sebagai pencegahan. Antibiotika profilaksis digunakan untuk mencegah selulitis orbita jika

fraktur menyebabkan hubungan langsung obita dengan rongga sinus (Joseph & Glavas,

2011).

Indikasi operasi pada blowout fracture masih kontroversial, namun beberapa indikasi

yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia, enophtalmus, fraktur luas

yang melibatkan setengah dari dasar orbita dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang

terjepit dan tidak ada perbaikan klinis dalam 1-2 minggu. Operasi dilakukan pada diplopia

dengan restriksi gerakan ke atas dan atau ke bawah 300 dari posisi primer dengan hasil forced

duction test positif dalam 7-10 hari setelah trauma. Hal ini menunjukkan jaringan yang

terjebak mempengaruhi fungsi musculus rektus inferior. Diplopia bisa bertambah parah

setelah dua minggu sehubungan dengan edema orbita, dan perdarahan. Vertikal diplopia akan

persisten jika dalam waktu dua minggu tidak dilakukan tindakan (Joseph & Glavas, 2011;

American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).

Enophtalmus lebih dari 2 mm atau secara kosmetik mengganggu penderita

merupakan indikasi dilakukannya operasi. Enophtalmus biasanya tertutupi oleh edema orbita

pada saat awal trauma bahkan hingga beberapa minggu setelahnya sehingga pengukuran yang

teliti sangat diperlukan. Pengukuran enopthalmus dengan eksopthalmometer harus diulang

bila edema orbita sudah berkurang yang biasanya terjadi 10 hari hingga 2 minggu setelah

trauma. Jika enopthtalmus terjadi pada fraktur dasar orbita yang besar, maka tindakan operasi

dapat mencegah terjadinya enophtalmus yang lebih besar di kemudian hari (Furuta dkk,

2006; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).

Fraktur luas yang melibatkan setengah dari dasar orbita, khususnya jika melibatkan

fraktur luas dinding medial karena berhubungan dengan kosmetik dan deformitas fungsional

23

Page 24: Makalah Presus trauma wajah

memerlukan tindakan operasi. Fraktur yang luas ini ditakutkan akan menyebabkan

enopthalmus susulan. Hasil CT scan yang menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak

terjadi perbaikan klinis dalam 1-2 minggu juga merupakan indikasi tindakan operasi (Furuta

dkk, 2006; Joseph & Glavas, 2011; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-

2012b).

Pasien pediatri umumnya diperlukan tindakan operasi karena musculus rectus inferior

terjepit sangat kuat diantara celah fraktur. Pergerakan vertikal bola mata sangat terbatas dan

hasil CT scan menunjukkan musculus rektus inferior terletak di sinus maksilaris. Pergerakan

bola mata dapat merangsang oculocardiac reflex, nyeri, mual dan bradikardia. Tindakan

operasi harus segera dilakukan untuk melepaskan otot yang yang terjebak. Hasil akhir

pergerakan bola mata semakin baik bila semakin cepat dilakukan operasi karena dapat

mengurangi fibrosis otot (Bansagi & Meyer, 2000 ; American Academy of Ophthalmology

staff, 2011-2012b; John, 2012).

Gambar 9. A. Pasien usia 13 tahun mengalami trauma tumpul pada mata kiri. Mata kiri tidak dapat digerakkan ke atas. B. CT scan potongan coronal menunjukkan fraktur kecil pada dasar orbita dan musculus rektus inferior prolaps menuju sinus maksilaris. C. Reposisi musculus rektus inferior. D. Dua bulan post operasi (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).

Waktu untuk dilakukan operasi pada blow-out fracture sebenarnya masih merupakan

kontroversial. Beberapa ahli menyarankan operasi dilakukan 3 hari setelah trauma bila

terdapat diplopia dan enophtalmus. Dulley B dkk menyarankan operasi 10-14 hari setelah

trauma sedangkan Putamen dkk menyarankan 4-6 bulan menunggu hingga diplopia dan

24

Page 25: Makalah Presus trauma wajah

enopthalmusnya stabil. Namun beberapa ahli menyatakan operasi akan lebih mudah

dilakukan dalam beberapa minggu dibandingkan beberapa bulan karena sikatrik akan

menyulitkan operasi sehingga tindakan operasi pada blowout fracture sebaiknya dilakukan

dalam dua minggu setelah trauma (Kakati dkk, 2010; American Academy of Ophthalmology

staff, 2011-2012b).

Pendekatan operasi blow-out fracture melalui transkutaneus, transantral, incisi infrasiliar atau

incisi konjungtiva (fornik inferior). Kombinasi dengan kantolisis lateral dapat juga dilakukan.

Pendekatan melalui palpebra inferior melalui tahapan : elevasi periorbita dari dasar orbita,

melepaskan jaringan yang prolaps, menempatkan implan pada fraktur. Implan berfungsi

untuk mencegah adhesi berulang dan mencegah prolaps jaringan orbita (Joseph & Glavas,

2011 ; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).

Tehnik endoskopi dengan transmaxilla dan transnasal juga dapat dikerjakan.

Keuntungan dari tehnik endoskopi adalah visualisasi fraktur lebih akurat, insisi kecil, insisi

wajah dapat dihindari, diseksi soft tissue minimal, mengurangi lamanya rawat inap, hasil baik

secara kosmetik. Perkembangan sistem miniplate dan mikroplate serta variasi implan metalik

orbita telah memajukan penatalaksanaan fraktur dasar orbita yang luas dan tidak stabil.

Implan orbita dapat berupa alloplastik (porous polyethylene, supramid, gore-tex, teflon,

silicon sheet, titanium mesh) ataupun autogenous (tulang kranial, iliaka, fascia) (Metzger

dkk, 2006; Ducic & Verret, 2009; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b;

Thiagarajan & Ulaganathan, 2012).

XII. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi akibat trauma awal maupun terapi pembedahan. Komplikasi dari

operasi blow-out fracture adalah penurunan tajam penglihatan atau kebutaan, diplopia,

undercorrection / overcorrection dari enophtalmus, retraksi palpebra inferior, hipoesthesia

nervus infraorbita, infeksi, ekstrusi implan, lymphedema dan kerusakan sistem aliran air mata

(Joseph & Glavas, 2011; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).

Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma awal adalah pergeseran bola mata,

selulitis orbita dan kebutaan. Pergeseran bola mata dapat terjadi karena proptosis, pergeseran

vertikal, pergeseran horizontal, herniasi traumatik menuju sinus maksilaris dan enophtalmus.

Proptosis dapat disebabkan haematom dan pembengkakan jaringan orbita yang dapat

diresorpsi spontan. Bila terjadi hematoma subperiosteal, kemungkinan akan terjadi proptosis

persisten. Pergeseran vertikal sering terjadi pada fraktur orbital karena hematom. Pergeseran

25

Page 26: Makalah Presus trauma wajah

horizontal terjadi bila terkena ligamen medial atau terjadi pergeseran kompleks naso-

ethmoidal. Pergeseran ini juga terjadi bila margin lateral orbita bergeser ke lateral

(Chaudhry, 2010).

Herniasi traumatik yang terjadi biasanya menuju sinus maksilaris. Komplikasi ini

sangat jarang, terjadi hanya jika defek pada dasar orbita sangat besar. Enophtalmus

merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada blow-out fracture namun sering

tetutupi oleh edema dan hematom. Enophtalmus dapat terjadi karena perluasan rongga orbita,

atropi lemak, kontraktur sikatrik dan traksi ke belakang oleh otot yang terjepit. Pergeseran

bola mata umumnya terjadi karena perubahan volume orbita atau pendorongan mata ke

belakang. Implikasinya pada saat dilakukan eksplorasi orbita, dilakukan perbaikan defek

untuk mengembalikan volume awal dari orbita dan melepaskan otot yang terjepit (Simon

dkk, 2005; Chaudhry, 2010).

Blow-out fracture menyebabkan hubungan langsung antara orbita dan sinus sehingga

beresiko terjadi selulitis orbita bila terdapat sinusitis. Sumbatan aliran darah meningkatkan

resiko ini. Fraktur dasar orbita menyebabkan suplai darah ke lemak infraorbita berkurang

sehingga terjadi selulitis anaerob. Selulitis orbita merupakan kondisi yang serius karena dapat

menyebabkan kebutaan, trombosis sinus kavernosus, meningitis dan abses cerebral (Simon

dkk, 2005; Chaudhry, 2010).

Kebutaan yang terjadi karena trauma pada bola mata dan pada nervus optikus.

Trauma pada bola mata ini dilaporkan terjadi pada 30% kasus fraktur tulang orbita.

Penurunan tajam penglihatan dapat terjadi pada perdarahan retrobulbar, adanya benda asing

dan fragmen tulang yang mengenai nervus optikus (Simon dkk, 2005).

XIII. PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, bila dilakukan penatalaksanaan yang tepat. Visus umumnya baik

pasca pembedahan blow-out fracture, kecuali jika terdapat komplikasi saat pembedahan,

misalnya terkenanya saraf optik. Tindakan yang dilakukan dengan hati-hati disertai

pemahaman struktur anatomis yang baik akan memberikan hasil yang baik, meskipun tidak

dapat mengembalikan struktur yang normal seperti sebelum trauma, namun tidak

memperburuk kondisi pasien, terutama fungsi penglihatan (Salam & Toukhy, 2009).

26

Page 27: Makalah Presus trauma wajah

XIV. RINGKASAN

Blow-out fracture merupakan fraktur tulang dasar orbita yang disebabkan

peningkatan tiba-tiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima

orbita. Blow-out fracture sebagian besar terjadi pada dasar orbita dan

sebagian kecil terjadi pada dinding medial dengan atau tanpa disertai

fraktur dasar orbita. Blow out fracture sering terjadi pada dewasa muda

dan jarang terjadi pada anak-anak. Blow-out fracture disebabkan oleh trauma

tumpul tak langsung pada orbita yang merupakan mekanisme proteksi untuk mengurangi

tekanan intraorbita yang meningkat secara tiba-tiba dengan dekompresi melalui bagian paling

lemah dari dinding orbita yaitu dasar orbita dan dinding medial orbita. Mekanisme dari blow-

out fracture masih belum jelas, namun ada dua teori yang menjelaskan mekanisme ini yaitu

teori buckling dan hydraulic.

Diagnosis dari blow-out fracture ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Penderita mengeluh nyeri intraokular, mati rasa pada area

tertentu di wajah, tidak mampu menggerakkan bola mata, melihat ganda bahkan kebutaan.

Pemeriksaan fisik dari penderita blow-out fracture murni didapatkan edema, hematoma,

enophtalmus, restriksi gerakan bola mata, anasthesia infraorbital, trauma nervus cranialis.

Hasil rontgen kepala memperlihatkan gambaran alis mata hitam sedangkan pemeriksaan CT

scan memperlihatkan tulang dasar orbita atau dinding medial yang mengalami fraktur, ukuran

fraktur dan keterlibatan otot ekstraokular. Diagnosis banding dari blow out fracture adalah

Zygomaticomaxillary complex fracture (ZMC) dan Naso-orbito-ethmoidal fracture (NOE).

Kasus blow-out fracture sebagian besar tidak memerlukan tindakan operasi. Indikasi

yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia, enophtalmus, fraktur luas

yang melibatkan setengah dari dasar orbita dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang

terjepit dan tidak ada perbaikan klinis dalam 1-2 minggu. Komplikasi dapat terjadi akibat

trauma awal maupun terapi pembedahan. Prognosis blow out fracture umumnya baik, bila

dilakukan penatalaksanaan yang tepat.

27

Page 28: Makalah Presus trauma wajah

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology Staff. 2005. Ocular Motility Examination. In: Practical Ophthalmology. San Fransisco. American Academy of Ophthalmology, Ed 5. p 101-119.

American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Orbit and Ocular Adnexa. In : Fundamentals and Principles of Ophthalmology. Basic and clinical science course. Section 2. San Fransisco. American Academy of Ophthalmology, p 3-38.

American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Orbital Trauma. In: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. Basic and clinical science course. Section 7. San Fransisco. American Academy of Ophthalmology, p 95-106.

Bansagi, Z.C. and Meyer, D.R. 2000. Internal Orbital Fractures in the Pediatric Age Group. American Academy of Ophthalmology, 107:829-836.

Chaudry, I.A. 2010. Orbital Fractures: Timing of Surgical Repair. Saudy Journal of Ophthalmology, 24:35-36.

Ducic, Y. and Verret, D.J. 2009. Endoscopic Transantral Repair of Orbital Floor Fracture. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation, 140:849-854.

Eva, P.R. and Whitcher, D. 2004. Anatomy & Embryology of the Eye. General Ophthalmology. Lange Medical Publication. Singapore. Ed 16. p 1-28.

Feyaerts, F. and Hermans, R., 2009. The Black Eyebrow Sign in Orbital Blowout Fracture. JBR-BTR, 92:251-252.

Furuta dkk, M., Yago, K. and Iida, T. 2006. Correlation Between Ocular Motility and Evaluation of Computed Tomography in Orbital Blow-out fracture. American Journal of Ophthalmology. 142:1019-1025.

Gennaro, P., Mitro, V., Gabrielle, G., Giovannetti, F. and Facchini, A. 2012. An Orbital Roof and Anterior Skull Base Fracture: Case Report. European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 16:117-120.

Gleinser, D.M. 2010. Pediatric Facial Fracture. The American Academy of Opthalmology. 4:86-99.

Ilyas, S., 2009. Anatomi dan Fisiologi Mata. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Ed 3. p 1-13.

28

Page 29: Makalah Presus trauma wajah

John, D.N. 2012. Pediatric Orbital Trauma: The Silent Trap-door. In: Pediatric Ophthalmology 2012. Chicago. The American Academy of Opthalmology. p.30-31.

Joseph, M.J. and Glaves, I.P., 2011, Orbital Fractures : a Review. Clinical Ophthalmology, 5:95-100

Kahana, A., Lucarelli, M.J., Burkat, C.N. and Dortzbach, R.K. 2008. Orbital Fractures. In: Surgical Atlas of Orbital Diseases. p. 220-243.

Kakati, C., Bhattacharjee, K., Barua, J., Kuri, G. and Bhattacharjee, H. 2010. Management Profile of Orbital Blow Out Fracture- Surgery or Conservative?. AIOC, 510-512.

Long, J. and Tann, T. 2002. Orbital Trauma. Ophtalmology Clinics of North America, 15:249 – 253.

Metzger, M.C., Schon, R., Weyer, N., Rafii. A., Gellrich, N.C., Schmelzeisen, R., et all. 2006. Anatomical 3-dimensional Pre-bent Titanium Implant for Orbital Floor Fractures.American Academy of Ophtalmology, 113:1863-1868.

Moore, K.L. and Agur, A.M.R. 2002. Kepala. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Penerbit Hipokrates. Ed 1. p 342-401.

Pharbhu, K.C., Galler, K.E., Li,C. and Mawn, L.A. 2008. Underestimation of Soft Tissue Entrapment by Computed Tomography in Orbital Floor Fractures in the Pediatric Population. American Academy of Ophthalmology, 115:1620-1625.

Salam, R.A. and Toukhy, E.E. 2009. Management of Orbital Trauma and Fractures. In: Clinical Diagnosis & Management of Ocular Trauma. New Delhi. Jaypee Brotherhs Medical Publisher (P) LTD. p108-124

Silva, D.J. and Rose, G.E. 2011. Orbital Blowout Fractures and Race. American Academy of Ophthalmology. 118:1677-1680.

Simon, B.G., Bush, S., Selva, D. and McNab, A.A. 2005, Orbital Cellulitis: A Rare Complication after Orbital Blowout Fracture, American Academy of Ophthalmology, 112:2030-2034.

Thiagarajan, B. and Ulaganathan, V. 2012. Blow Out Fracture Orbit Endoscopic Reduction A Novel Management Modality. Webmed Central. 3:5.

Wang, N.C., Ma, L., Wu, S.Y., Yang, F.R. and Tsai, Y.J. 2010. Orbital Blow-out fractures in Children: Characterization and Surgical Outcome. Chang Gung Med Journal, 33:313-320.

29