MAKALAH PRAGMATIK

download MAKALAH PRAGMATIK

If you can't read please download the document

Transcript of MAKALAH PRAGMATIK

Linguistik: Pragmatik Tuesday, July 24, 2007 Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik? Makyun Subuki 13 Desember 2006 1. Pendahuluan Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik. Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik. 2. Definisi Pragmatik Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. 3. Perkembangan Pragmatik Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi. Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6). Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri. Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross. Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6). 4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik 4.1 Teori Tindak-Tutur

Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas). Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh. (1) Ada enam kata dalam kalimat ini (2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30). Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh. (3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif) (4) Rumah Joni terbakar (konstatif) Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar. Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi

ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55). Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu. 4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle) Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64). Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness). 4.3 Implikatur (Implicature) Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.

(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya (6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna tidak dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya? Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas. 4.4 Teori Relevansi Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh. (7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini. Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi. Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan

yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas. (8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go? B: At the weekend. A: What weekend? B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service? A: That might be cheaper. Then that's fifty. Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort. 4.5 Kesantunan (Politeness) Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face. Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas

tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh. (9) a. Maaf, Pak, boleh tanya? b. Numpang tanya, Mas? Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a). Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut. (5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly) b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite) c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite) e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record) Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim). 5. Pragmatik dalam Linguistik

Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa seharihari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur. Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna

(sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain. Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa. 6. Penutup Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif. Daftar Acuan Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja. Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education. Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman. Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.

Rabu, 04 Juli 2007Pragmatik Oleh: sidon. bandung Pengertian Pragmatik Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions). Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut fungsi komunikatif (Purwo, 1990:2). Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut: (1) Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Di sini, pengertian/pemahaman bahasa menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya. (2) Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat

dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu. (Nababan, 1987: 2) Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang dibicarakan. Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang batasan pragmatik. Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran. Fenomena Pragmatik Kancah yang dijelajahi pragmatik ada empat: (a) deiksis, (b) praanggapan (presupposition), (c) tindak ujaran (speech acts), dan (d) implikatur percakapan (conversational implicature) (Purwo, 1990: 17). Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen yang berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Deiksis dapat juga diartikan sebagai suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Cahyono, 1995: 217). Praanggapan (presupposition) adalah apa yang diasumsikan oleh penutur sebagai hal yang benar atau hal yang diketahui pendengar (Cahyono, 1995: 219). Menurut Nababan (1987: 46), praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar/penerima bahasa itu, dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat, dsb) yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Nababan memberikan contoh penggunaan presuposisi sebagai berikut: (1) Wanita Indonesia membeli burung. terdapat praanggapan bahwa: (3.1) Ada seorang wanita Indonesia, dan (3.2) Ada burung. Jika kedua praanggapan itu diterima, maka kalimat (3) mempunyai makna atau dapat dimengerti pendengar/pembaca. Tindak ujaran (speech acts) ialah pengucapan suatu kalimat di mana si pembicara tidak sematamata menanyakan atau meminta jawaban tertentu, tetapi ia juga menindakkan sesuatu (Purwo, 1990: 19). Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (1969: 23-24) dalam Wijana (1996: 17-22), mengemukakan bahwa secara pragmatis setidaktidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni: 1. Tindak lokusi, yaitu tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Sebagai contoh: (4) Jari tangan jumlahnya lima.

Kalimat (4) di atas, diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. 2. Tindak ilokusi, yaitu sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh: (5) Saya tidak dapat datang. Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa, bila kalimat itu diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. 3. Tindak perlokusi, yaitu sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Sebagai contoh: (6) Kunjungilah restoran Oshin! Tersedia bermacam-macam masakan Jepang, Cina, dan Eropa. Tempat ideal untuk bersantai bersama keluarga, handai taulan, dan rekan sekerja Anda. Dijamin halal. Dalam wacana di atas, ditemukan penggunaan tindak perlokusi. Ini dapat diketahui karena penutur -pengelola restoran- selain mengatakan mengelola masakan ala Jepang, Cina dan Eropa juga meyakinkan pendengar/pembaca bahwa masakannya benar-benar halal. Implikatur percakapan (conversational implicature) merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal (Levinson, 1983: 97). Pertama, konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua, konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Keempat, konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat. Sebagai contoh: (7) A : Jam berapa sekarang? B : Korannya sudah datang. Tampaknya kalimat (7A) dan (7B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan. Dari keempat bidang kajian pragmatik tersebut pada akhirnya dapat digunakan untuk memahami makna sesuai dengan konteks yang terjadi. dalam penelitian ini. Kajian pragmatik tersebut digunakan untuk memahami makna dan fungsi deiksis pronomina persona. Deiksis 1. Pengertian Deiksis Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti menunjuk atau menunjukkan. Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan. Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi

ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43). Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6). Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6). Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora. Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur. 2. Jenis Deiksis Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40). a. Deiksis Persona Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka. Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).

Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal. Berbeda dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9). Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu. b. Deiksis Tempat Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara yang dekat kepada pembicara (di sini) dan yang bukan dekat kepada pembicara (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat. (8) a. Duduklah kamu di sini. b. Di sini dijual gas Elpiji. Frasa di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain. c. Deiksis Waktu Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk kala (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa Inggris. (9) a. I bought a book. b. I am buying a book. Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu; umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam bahasa Inggris: (10) a. I bought the book yesterday. b. I bought the book 2 years ago. d. Deiksis Wacana Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh. (11) a. Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya. b. Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli. Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman

yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga yang disebut kemudian. e. Deiksis Sosial Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi bahasa) seperti itu disebut tingkatan bahasa, dalam bahasa Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini disebut kesopanan berbahasa, unda-usuk, atau etiket berbahasa (Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43). C. Bentuk Pronomina Persona Jika ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan -dalam macam kalimat tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi pembicara/penulis, yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan (Moeliono, 1997: 170). Dalam bahasa Inggris dikenal tiga bentuk kata ganti persona, yaitu persona pertama, persona kedua dan persona ketiga (Lyons, 1997: 276 via Setiawan, 1997: 9). Bahasa Indonesia juga mengenal tiga bentuk persona seperti dalam bahasa Inggris (P&P, 1988: 172 via Setiawan, 1997: 9). Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri (persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172). Berikut ini adalah pronomina persona yang disajikan dalam tabel. Tabel 1: Pronomina Persona Persona Makna Tunggal Jamak Netral Eksklusif Inklusif Pertama saya, aku, daku, ku-, -ku kami kita Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau-, -mu kalian, kamu (sekalian), Anda (sekalian) Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka, -nya a) Pronomina Persona Pertama Dalam Bahasa Indonesia, pronomina persona pertama tunggal adalah saya, aku, dan daku. Bentuk saya, biasanya digunakan dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang

dimilikinya, misalnya: rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku, lebih banyak digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk pronomina persona pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya sastra. Selain pronomina persona pertama tunggal, bahasa Indonesia mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni kami dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain. b) Pronomina Persona Kedua Pronomina persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu Anda, dikau, kau- dan -mu. Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan -mu, dapat dipakai oleh orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial. Pronomina persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Selain itu, pronomina Anda juga digunakan dalam hubungan yang tak pribadi, sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus; dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab. Pronomina persona kedua juga mempunyai bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan bentuk pronomina persona kedua ditambah sekalian: Anda sekalian, kamu sekalian. Pronomina persona kedua yang memiliki varisi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan -mu. c) Pronomina Persona Ketiga Pronomina persona ketiga tunggal terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan -nya yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau digunakan untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari keempat pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat digunakan untuk menyatakan milik. Pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya. Akan tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang menggunakan gaya fiksi, kata mereka kadangkadang juga dipakai untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah yang dipakai, misalnya usul mereka, rumah mereka. D. Makna Deiksis Pronomina Persona Menurut Kridalaksana (2001: 132), makna adalah maksud pembicaran; pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya; cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Ferdinand de Saussure membagi setiap tanda linguistik menjadi dua, yaitu: (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie) sebenarnya adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi, sedangkan yang mengartikan (signifiant) adalah bunyi-bunyi yang terentuk dari fonemfonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual) (Chaer, 1995: 29). Hubungan antara tanda linguistik (bersama unsur bunyi dan makna) dengan unsur referennya, dapat dibagankan sebagai berikut. (b) konsep/makna (a) kata/leksem (c) sesuatu yang dirujuk (referen) Hubungan antara (a) dan (c) bersifat tidak langsung, sebab (a) adalah masalah dalam-bahasa dan (c) masalah luar-bahasa yang hubungannya biasanya bersifat arbitrer. Sedangkan hubungan (a) dan (b) serta hubungan (b) dan (c) bersifat langsung. Titik (a) dan (b) sama-sama berada di dalam-bahasa; hubungan (b) dan (c) bahwa (c) adalah acuan dari (b) tersebut. Ada teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya. Oleh karena itu, banyak pakar yang mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya, dan makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya (Chaer, 1994: 288). Bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda, makna bahasa dapat terdiri dari bermacammacam jenisnya. Pateda (1986) melalui Chaer (1995: 59) mengemukakan adanya jenis-jenis makna, yaitu makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekatensi, makna emotif, makna gereflekter, makna idesional, makna intensi, makna gramatikal, makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna piktorial, makna proposisional, makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Sedangkan Leech (1976) membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu (1) makna konseptual, (2) makna konotatif, (3) makna stilistika, (4) makna afektif, (5) makna reflektif, (6) makna kolokatif, dan (7) makna tematik (Chaer, 1995: 59). Chaer (1994) membagi jenis makna menjadi tigabelas, yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, makna referensial, makna non-referensial, makna denotatif, makna konotatif, makna konseptual, makna asosiatif, makna kata, makna istilah, makna idiom, dan makna pribahasa. Menurut Djajasudarma (1993: 6), makna terdiri atas beberapa jenis, yaitu: makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif/emotif, makna gramatikal, makna leksikal, makna konstruksi, makna referensial, makna majas (kiasan), makna inti, makna idesional, makna proposisi, makna piktorial.

Makna sempit (narrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari keseluruhan ujaran (Djajasudarma, 1993: 7). Perhatikan contoh. (12) Apakah saudara tidak mau mengakuinya? kata Pak Polisi. (Konteks: seorang pencuri yang sedang diinterogasi oleh polisi atas tuduhan pencurian). (13) Saudara saya yang dari Bandung akan datang hari ini. (Konteks: penutur memiliki saudara sepupu yang tinggal di Bandung, dan akan datang ke rumah penutur). Kata saudara pada kalimat (12) dengan (13) mengalami perubahan makna, yaitu maknanya akan menyempit (memiliki makna sempit). Pada kalimat (12), kata saudara bermakna panggilan pada seseorang, sedangkan pada kalimat (13) saudara bermakna sempit kerabat. Makna luas (widened meaning atau extended meaning) adalah makna yang terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan (Djajasudarma, 1993: 8). Berbeda dengan kata-kata yang bermakna sempit, kata-kata yang bermakna luas digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau ide yang umum. Sebagai contoh. (14) Bapak sedang sakit, sekarang, kata Ibu. (Konteks: seorang Ibu yang memberitahuan keadaan suaminya kepada anaknya). (15) Bapak Kepala Sekolah sedang mengadakan rapat dengan para guru, kata salah seorang staf karyawan. (Konteks: diberitahukan bahwa pimpinan sekolah sedang mengadakan rapat dengan para guru sekolah tersebut). Penggunaan kata Bapak pada kalimat (14) dengan (15) mengalami perubahan makna, dari makna sempit ke makna meluas. Pada kalimat (14) kata Bapak bermakna sempit orang tua kandung, sedangkan pada kalimat (15) kata Bapak bermakna luas panggilan untuk laki-laki dewasa. Makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan (Djajasudarma, 1993: 9). Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem (Chaer, 1994: 292). Makna denotatif juga dapat diartikan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya (Chaer, 1995: 66). Sebagai contoh. (16) Dian adalah salah satu mahasiswa jurusan bahasa Indonesia. Pada kalimat (16) di atas, makna denotatif nampak pada penggunaan kata Dian, yang mengacu pada seseorang yang mempunyai nama Dian. Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau apa yang didengar. Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif (lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan komponen makna lain (Djajasudarma, 1993: 9). Makna referensial adalah makna sebuah kata atau leksem yang mempunyai referen atau acuannya. Menurut Djajasudarma (1993: 11), makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referen (acuan). Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata yang disebut kata-kata deiktik yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain (Chaer, 1994: 291). Sebagai contoh. (17) A: Kemarin saya bertemu dengan Ibu Ani, kata Dian kepada Dani. B: Benarkah? sahut Dani. Saya juga bertemu beliau kemarin.

Dari contoh di atas, jelas bahwa, pada kalimat (17A) kata saya mengacu pada Dian, sedangkan pada kalimat (17B) kata saya mengacu pada Dani. Berbeda dengan makna referensial, makna non-referensial merupakan makna sebuah kata yang tidak mempunyai acuan atau referen. Misalnya kata-kata seperti dan, atau, dan karena. Makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat di dalam konstruksi, misalnya, makna milik yang diungkapkan dengan urutan kata di dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, makna milik dapat diungkapkan melalui enklitik sebagai akhiran yang menunjukkan kepunyaan (Djajasudarma, 1993: 12). Perhatikan contoh berikut. (18) Rumahnya jauh dari sini. Pada kalimat (18) di atas, enklitik -nya digunakan untuk menyatakan milik atau kepunyaan, dalam hal ini adalah rumah. Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun (Chaer, 1994: 289). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Atau juga dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer 1995: 60). Sebagai contoh. (19) a. Tikus itu mati diterkam kucing. b. Yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam. Kata tikus pada kalimat (19a) merupakan makna leksikal karena jelas merujuk kepada binatang tikus, sebangsa bintang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Namun, dalam kalimat (19b) kata tikus bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia, yang pebuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1995: 62). Sebagai contoh. (20) a. Adik menendang bola. b. Adik menulis surat. Dari contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa kedua kalimat tersebut dapat melahirkan makna gramatikal. Kalimat (20a) menunjukkan kata adik bermakna pelaku, menendang bermakna aktif, dan bola bermakna sasaran. Kalimat (20b) menunjukkan kata adik bermakna pelaku, menulis bermakna aktif, dan surat bermakna hasil. Makna pusat adalah makna yang dimiliki setiap kata yang menjadi inti ujaran. Setiap ujaran (klausa, kalimat, wacana) memiliki makna yang menjadi pusat (inti) pembicaraan (Djajasudarma, 1993: 15). Perhatikan contoh berikut. (21) Ali adalah seorang laki-laki. Pada contoh kalimat (21) di atas, yang menjadi pusat (inti) pembicaraan adalah Ali sedangkan untuk adalah seorang laki-laki merupakan bagian untuk menerangkan kata Ali. Makna piktorial adalah makna suatu kata yang berhubungan dengan perasaan pendengar atau pembaca. Perasaan muncul segera setelah mendengar atau membaca suatu ekspresi yang menjijikan, atau perasaan benci. Perasaan dapat pula berupa perasaan gembira di samping perasaan yang disebutkan di atas (Djajasudarma, 1993: 16). Sebagai contoh. (22) a. Kenapa kau sebut nama dia. b. Ia tinggal di gang yang becek itu. Dari kedua contoh di atas, dapat kita lihat bahwa pada kalimat (22a) dan (22b) memunculkan makna piktorial. Kalimat (22a) mengungkapkan perasaan benci penutur terhadap seseorang, yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Pada kalimat (22b) dapat dilihat adanya makna piktorial

dengan perasaan jijik. Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks (Chaer, 1994: 290). Sebagai contoh, dapat kita lihat penggunaan kata kepala pada kalimatkalimat berikut. (23) a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih. b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu. c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu. Dari ketiga kalimat di atas, penggunaan kata kepala mempunyai makna konteks yang berbeda. Pada kalimat (23a), kata kepala bermakna bagian anggota tubuh; kalimat (23b), kata kepala bermakna pimpinan; dan pada kalimat (23c), kata kepala bermakna bagian atas surat. Menurut Alieva, dkk dalam bukunya yang berjudul Bahasa Indonesia, Deskripsi dan Teori, makna terdiri dari makna timbal balik dan makna kebersamaan. Makna timbal balik dan makna kebersamaan dibentuk dengan memakai verba, baik transitif maupun intransitif, sebagai sebutan kalimat. Pada kedua makna ini, pokok kalimatnya dapat menyatakan subjek (S) jamak maupun subjek (S) tunggal. Sebagai subjek (S) jamak, pokok kalimatnya dapat terdiri dari sekelompok orang atau benda yang ikut serta dalam tindakan. Sebagai contoh. (24) Saudara berhak membunuh saya, kita bermusuhan. (25) Saya dan Dar berpandang-pandangan, sesudah perempuan itu masuk ke dalam. (26) Apalagi mereka berdua tak asing-mengasing lagi. Untuk ketiga contoh di atas, dapat dilihat bahwa pokok kalimatnya menyatakan subjek (S) jamak. Sedangkan sebagai subjek (S) tunggal, pokok kalimatnya merupakan salah satu dari subjek (S) jamak yang lebih penting bagi kalimat ini. Dari beberapa teori di atas, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Djajsudarma. Hal itu dikarenakan bahwa dari beberapa makna yang dikemukakan olehnya, ada makna yang sesuai dengan sampel data yang ditemukan. Namun, tidak seluruh jenis makna yang dikemukakannya sesuai dengan sampel data yang ada. Untuk itu, peneliti juga menggunakan teori lain tentang makna, yaitu teori dari Alieva, dkk, yang menyebutkan tentang makna kebersamaan. Selain itu, ada sebagian sampel data yang tidak sesuai dengan kedua teori tersebut, maka peneliti memberikan istilah sendiri untuk sampel data tersebut sebagai jenis makna. E. Fungsi Deiksis Pronomina Persona Dalam tataran tata bahasa atau gramatika, diketengahkan adanya istilah semantik sintaktikal, yang mana apabila sasaran penyelidikannya tertumpu pada hal-hal yang berkaitan dengan sintaksis. Ini dilakukan mengingat bahwa dalam sintaksis itu ada pula tataran bawahan yang disebut fungsi gramatikal, kategori gramatikal, dan peran gramatikal. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut. SPOK (a). Fungsi (b). Kategori (c). Peran

Fungsi gramatikal berupa kotak-kotak kosong yang diberi nama subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K) yang sebenarnya tidak mempunyai maksud, sebab semuanya hanya berupa kotak atau tempat yang kosong. Yang memiliki makna adalah pengisi kotak-kotak yang disebut kategori gramatikal seperti nomina, verba, atau adjektiva. Kategori-kategori ini yang sesungguhnya sudah memiliki makna leksikal. Kini sebagai pengisi kotak-kotak itu memiliki peran gramatikal seperti peran agentif, pasien, objek, benefaktif, lokatif, instrumental, dan sebagainya (Chaer, 1995: 9) Charles J. Fillmore, yang dikenal sebagai tokoh tata bahasa kasus, dalam karangannya Case for Case (1968) membagi kalimat atas modalitas dan proposisi. Modalitas berkenaan dengan negasi, kala, aspek, dan adverbia. Sedangkan proposisi berwujud sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Yang dimaksud dengan kasus (case) dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan nomina dalam struktur semantis. Apabila dibandingkan dengan teori generatif semantik, maka verba di sini sama dengan predikat dan nomina sama dengan argumen. Hanya argumen di sini diberi nama kasus. Dalam versi 1971, Fillmore membatasi jumlah kasus menjadi pelaku (agent), pengalami (experiencer), tujuan (object), alat (means), keadaan/tempat/waktu yang sudah (source), keadaan/tempat/waktu yang akan datang (goal), dan maujud yang dihubungkan dengan predikat (referential) (Chaer, 1995: 21). Wallace L. Chafe menyatakan bahwa dalam analisis bahasa komponen semantiklah yang merupakan pusat. Menurut Chafe struktur semantik terdiri dari dua unit semantik pokok, yaitu (1) kata kerja/KK dan (2) kata benda /KB. Dalam struktur semantik ini KK merupakan pusat. Artinya, KK menentukan hadirnya KB dalam struktur semantik itu. Berapa banyak KB yang hadir dalam suatu struktur semantik tergantung pada jenis/tipe KK dalam struktur itu. KK keadaan hanya menghadirkan satu Kb seperti dalam kalimat Ibu termenung. KK aksi monotransitif menghadirkan dua KB, seperti dalam kalimat Ibu membeli gula; sedangkan KK aksi bitransitif menghadirkan tiga KB seperti kalimat Ibu membelikan adik sepatu (Chaer, 1995: 21-22). Chafe tidak menggunakan istilah kasus untuk menyatakan relasi semantik anatara KK dengan KB dalam suatu struktur semantik. Chafe tetap menggunakan istilah KB yang menurut fungsi semantiknya bisa berlaku sebagai agent, patient, experince, benefactive, locative, compliment, dll. Jadi KK membelikan dari contoh di atas menghadirkan sebuah KB yang berfungsi sebagai semantik agent yaitu Ibu, sebagai KB yang berfungsi semantik benefaktif yaitu adik, dan sebuah KB yang berfungsi semantik patient yaitu sepatu (Chaer, 1995: 22). Henry Guntur Tarigan dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Tatabahasa Kasus (1989: 68), mengemukakan adanya sembilan fungsi semantik atau kasus, yaitu: a. Kasus Agentif (A) Kasus agentif merupakan kasus yang secara khusus ditujukan bagi makhluk hidup (yang bernyawa) yang merasakan hasutan tindakan yang diperkenalkan oleh verba; kasus yang mengacu pada agent atau pelaku suatu tindakan; nomina atau frase nomina yang mengacu pada orang atau binatang yang melakukan atau memprakarsai tindakan verba. Sebagai contoh. (27) Tom memangkas mawar. Pada contoh (27) di atas, bentuk Tom dalam kalimat tersebut berfungsi debagai agent atau pelaku tindakan yaitu tindakan memangkas mawar. b. Kasus Benefaktif (B) Kasus benefaktif adalah kasus yang ditujukan bagi makhluk hidup (yang bernama) yang memperoleh keuntungan oleh tindakan yang diperikan oleh verba; nomina atau frase nomina

yang mengacu pada orang atau binatang yang memperoleh keuntungan atau dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari tindakan verba. Kasus benefaktif dihubungkan dengan preposisi untuk, bagi, buat, demi. Sebagai contoh. (28) Joan membakar kue buat Louise. Pada contoh (28) di atas, yang berfungsi benefaktif adalah bentuk Louise, karena dalam konstruksi kalimat tersebut, bentuk Louise yang mendapatkan atau memeperoleh keuntungan dari tindakan verba. c. Kasus Komitatif Kasus komitatif adalah kasus yang ditujukan bagi frasa nomina yang menanggung suatu hubungan konjungtif dengan frasa nomina lain dalam kalimat. Preposisi yang berhubungan dengan kasus ini adalah dengan, bersama, dan. Sebagai contoh. (29) Rony berdagang mobil dengan Budi. d. Kasus Datif (D) Kasus datif adalah kasus mengenai makhluk hidup (yang bernyawa) yang dipengaruhi oleh keadaan atau tindakan yang diperkenalkan oleh verba; nomina atau frasa nomina yang mengacu pada orang atau binatang yang dipengaruhi oleh keadaan atau tindakan verba di dalam kasus datif. Kasus ini kadang-kadang disebut juga experiencer case atau kasus pengalam. Penanda kasus datif dalam bahasa Indonesia adalah kepada, terhadap. Contoh. (30) Saya setia kepada istri saya. (31) Kami berbakti terhadap negara. e. Kasus Faktitif (F) Kasus faktitif merupakan kasus objek atau yang merupakan akibat dari tindakan atau keadaan yang diperkenalkan oleh verba, atau dianggap atau diartikan sebagai suatu bagian dari makna verba; nomina atau frasa nomina yang mengacu pada sesuatu yang dibuat atau diciptakan oleh tindakan/aksi verba berada dalam kasus faktitif. Contoh. (32) Tony membangun bangsal. f. Kasus Objektif (O) Kasus objektif merupakan kasus yang secara semantis paling netral; kasus dari segala sesuatu yang dapat digambarkan atau diwakili oleh sesuatu nomina yang peranannya di dalam tindakan atau keadaan diperkenalkan oleh verba diperkenalkan oleh interpretasi semantik verba itu sendiri. Contoh. (33) Mereka mengiris sosis itu dengan pisau. g. Kasus Ergatif (E) Kasus ergatif adalah kasus yang bersifat kausatif, yang mengacu pada hubungan sintaktik yang terjalin antara suatu kalimat. Contoh. (34) Rakit itu bergerak. John menggerakkan rakit itu. John merupakan subjek ergatif -agent atau penyebab tindakan/perbuatanh. Kasus Instrumental (I) Kasus instrumental adalah kasus yang berkekuatan tidak hidup/tak bernyawa atau objek yang secara kausal terlibat di dalam tindakan atau keadaan yang diperkenalkan oleh verba. Kasus ini memiliki ciri menggunakan preposisi dengan. Sebagai contoh. (35) Mary membuka laci itu dengan kunci. i. Kasus Lokatif (L)

Kasus lokatif adalah kasus yang memperkenalkan lokasi, tempat atau letak ataupun orientasi ruang/keadaan atau tindakan yang diperkenalkan oleh verba. Penanda kasus lokatif ini adalah di, ke, dari. Contoh. (36) Irine menaruh majalah itu di (atas) meja. Menurut Alieva, dkk, dalam bukunya yang berjudul Bahasa Indonesia, deskripsi dan teori fungsi deiksis meliputi: a. Sebagai penunjuk kepunyaan Bentuk deiksis pronomina persona apabila disambungkan dengan nomina, dapat menunjukkan hubungan kepunyaan (menyebutkan pemilik). Misalnya: bentuk rumahku, rumah saya, rumah mereka. b. Sebagai perangkai preposisi. Artinya bahwa, bentuk-bentuk deiksis dapat digunakan sebagai perangkai preposisi, seperti bentuk preposisi kepada, oleh, dll. Bentuk pronomina, seperti halnya bentuk enklitis, tidak dapat dipakai dengan peposisi di dan ke yang sama sekali tidak berangkaian dengan pronomina personal. Sebagai contoh. (37) Kakak memberikan buku itu kepadaku. (38) Ibu merahasiakan semua itu, karena takut diketahui olehnya. Pada contoh kalimat (37) dan (38), terlihat bahwa bentuk deiksis dapat dirangkai dengan bentuk preposisi. c. Untuk menyatakan subjek tindakan/pelaku Pronomina persona dapat digunakan untuk menyatakan subjek tindakan/pelaku dengan verba intransitif dan dengan kata akar yang dipakai untuk mengantarkan tuturan langsung. Sebagai contoh. (39) Perginya terlambat: Engkau salah, kataku. Untuk contoh kalimat (39), bentuk deiksis dapat menyatakan subjek pelaku. Bentuk tersebut digunakan dalam konstruksi tuturan langsung dengan kata pengantar penutur berada di depan tuturan langsung. Bentuk deiksis pronomina persona dapat digunakan untuk menyatakan subjek pelaku apabila ditempelkan pada verba pasif berawalan -di. Sebagai contoh. (40) Saya sudah dilihatnya. d. Untuk menyatakan objek tindakan/pelaku Untuk menyatakan objek pelaku, bentuk deiksis pronomina persona digunakan pada verba transitif berawalan me-. Dalam pemakaiannya, bentuk deiksis itu langsung disambungkan pada verba tersebut. Sebagai contoh. (41) Sudah lama dia tidak melewatiku. e. Sebagai penunjuk postpositif Artinya bahwa bentuk deiksis di sini untuk menyatakan hubungan milik antara dua nomina. Fungsi yang demikian, yang tidak terdapat dalam bahasa Melayu klasik, timbul sebagai akibat pengaruh bahasa Jawa. Dalam bahasa kesusastraan, fungsi ini terbatas hanya pada kasus-kasus di mana dapat timbul salah tafsir bila dua nomina berdampingan. Sebagai contoh: kawannya Salim. J. S. Badudu dalam bukunya Pelik-pelik Bahasa Indonesia (1993: 110-111) menyebutkan beberapa fungsi deiksis pronomina persona, yaitu: a. Sebagai penunjuk kepunyaan Dalam hal ini, yang menyatakan kepunyaan bukalah wujud deiksis seperti -ku, -mu, -nya, dll tersebut, melainkan hubungan antara kedua unsur tersebut: rumah + -ku = rumah kepunyaanku; rumah + -mu = rumah kepunyaanmu; rumah + -nya =rumah kepunyaannya. Bandingkan dengan

rumah paman, rumah Amir. Makna pemilikan bukan terdapat pada kata paman dan Amir di belakang kata rumah, melainkan lahir karena adanya hubungan kedua kata itu. Hubungan ini disebut hubungan posesif (hubungan kepunyaan). b. Sebagai alat pembentuk kata benda Contoh: (42) Salahmu masih dapat dimaafkan. (43) Kuakui itu adalah salahku sendiri. c. Sebagai objek penderita dalam bentuk enklitik Contoh: (44) Aku memandangnya sebagai kakakku. (45) Siapa yang akan menyertaimu naik haji nanti? d. Sebagai objek penyerta dalam bentuk enklitik Contoh: (46) Disampaikannya berita itu kepadaku kemarin. (47) Barang-barang itu sengaja kubeli untukmu. e. Sebagai kata sandang penentu Contoh: (48) Masa hanya kopi saja, mana kuenya? f. Sebagai pembentuk kata keterangan Contoh: (49) Agaknya akan turun hujan hari ini. g. Sebagai penunjuk Contoh: (50) Penyakit itu sukar dicari obatnya. (-nya = penyakit seperti itu) h. Bersama-sama dengan awalan se- menyatakan superlatif Contoh: (51) Sepandai-pandainya tupai melompat, sekali gagal juga. Dalam penelitian ini, teori fungsi yang digunakan merupakan teori yang dikemukakan oleh Tarigan. Hal itu dikarenakan bahwa dari sampel data yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian antara sampel data dengan teori tersebut. Namun, dari beberapa fungsi yang dikemukakan oleh Tarigan, hanya lima fungsi yang dianggap sesuai dengan sampel data yang ada. Untuk itu, peneliti menggunakan teori lain yang dapat melengkapi dan yang sesuai dengan sampel data yang tersisa. Teori yang dimaksudkan di sini merupakan teori yang dikemukakan oleh Alieva, dkk, yaitu fungsi penunjuk kepunyaan dan fungsi perangkai preposisi. Untuk sampel data yang tidak sesuai dengan teori-teori tersebut, peneliti memberikan istilah sendiri untuk menyebut fungsi deiksis sesuai dengan ciri-ciri sampel data. F. Majalah Bobo Majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui konsumen pembaca, dan menurut kala penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan, dan sebagainya dan menurut pengkhususan isinya, dibedakan atas majalah berita, wanita, remaja, olahraga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu, dan sebagainya (KBBI, 1991: 615). Majalah Bobo merupakan salah satu majalah anak-anak yang terbit satu kali dalam setiap minggunya, yaitu setiap hari Kamis. Majalah Bobo memuat berbagai macam cerita anak-anak dari yang berbentuk cerita pendek, dongeng, cerita bergambar. Selain itu, majalah Bobo juga memuat tentang profil, ilmu pengetahuan, liputan, dari teman (Apa Kabar, Bo?, halamanku, ensiklobobo, arena kecil, uji imajinasi, tak disangka). G. Cerita Pendek

Cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika) (KBBI, 1991: 187). Dalam arti umum, cerita pendek adalah setiap cerita yang pendek. Dalam arti kata khusus, merupakan suatu jenis sastra naratif yang muncul pada bagian pertama abad ke-19 di Amerika Serikat. Sifat umum cerpen ialah pemusatan perhatian pada satu tokoh saja yang ditempatkan pada suatu situasi sehari-hari, tetapi yang ternyata menentukan (perubahan dalam perspektif, kesadaran baru, keputusan yang menentukan). Tamatnya sering kali tiba-tiba dan bersifat terbuka (open ending). Dialog, impian, flash back, dan sebagainya, sering dipergunakan (pengaruh dari film). Bahasa-bahasanya sederhana, tetapi sugestif (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 132). Ada yang mengatakan bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca (Sayuti, 2000: 9). Sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal. Sebuah cerpen biasanya didasarkan pada insiden tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang ditampilkan pada satu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir atau batin terlibat dalam satu situasi. Inti cerita pendek adalah tikaian dramatik, yaitu perbentukan antara kekuatan yang berlawanan (Sudjiman, 1984: 15). Ringkasnya, cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat compression pemadatan, concentration pemusatan, dan intensity pendalaman, yang semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu. H. Kerangka Pikir Kata tunjuk adalah kata yang digunakan untuk menunjuk sesuatu, baik benda, orang maupun tempat. Deiksis pronomina persona merupakan salah satu bentuk kata tunjuk yang digunakan untuk menunjuk orang atau insani. Penggunaan deiksis pronomina persona dirasa tepat, jika dalam penggunaannya disesuaikan dengan konteks kalimat dan makna yang dimilikinya. Dari beberapa teori yang mengemukakan tentang makna deiksis, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori campuran dari beberapa pandapat para ahli. Adapun makna deiksis yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek di majalah Bobo edisi Januari-Desember 2005 meliputi makna ambiguitas, makna kebersamaan/jamak, makna tunggal, makna luas, dan makna sempit. Seperti halnya makna deiksis, teori tentang fungsi deiksis yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan teori dari beberapa ahli. Fungsi deiksis pronomina persona yang ditemukan dalam kumpulan cerita pendek di majalah Bobo edisi Januari-Desember 2005 meliputi fungsi penunjuk kepunyaan, fungsi perangkai preposisi, fungsi pelaku/agent, fungsi objektif, fungsi pengalam, fungsi benefaktif, fungsi komitatif, dan fungsi sapaan. Untuk mengetahui bentuk deiksis pronomina persona, makna deiksis pronomina persona dan fungsi deiksis pronomina persona dalam suatu karya sastra, khususnya karya sastra anak, ditentukan dengan metode yang digunakan dalam penelitian. Salah satu metode yang digunakan adalah metode agih. Metode agih adalah metode analisis data yang alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Dengan menggunakan metode agih, diharapkan peneliti lebih mudah dalam mengkategorisasikan dan mendeskripsikan tentang bentuk, makna dan fungsi deiksis pronomina persona. Sumber data dalam penelitian ini berupa subjek, yaitu kumpulan cerita pendek di majalah Bobo

edisi Januari-Desember 2005 yang berjumlah 137 buah, sedangkan objek penelitian ini yaitu tentang bentuk, makna dan fungsi deiksis pronomina persona. Bentuk di sini merupakan bentuk deiksis pronomina persona yang terdiri dari bentuk pronomina persona pertama baik tunggal maupun jamak, pronomina persona kedua baik tunggal maupun jamak, dan bentuk pronomina persona ketiga baik tunggal maupun jamak. Makna dalam penelitian ini merupakan makna deiksis pronomina persona yang digunakan dalam suatu tuturan, yang mana makna itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem, yang dapat ditentukan dengan melihat konteks kalimat atau konteks wacananya. Fungsi di dalam penelitian ini merupakan fungsi semantis deiksis pronomina persona. Digunakannya fungsi semantis di sini karena sampel data dalam penelitian ini merupakan bentuk kalimat yang terdapat di dalam suatu wacana, yang mana diperlukan adanya koherensi antara kalimat yang mendahului ataupun kalimat yang mengikutinya. Untuk lebih jelasnya, kerangka pikir ini dibuat dalam bentuk skema sebagai berikut. Apakah Pragmatik Itu? 1.1. Pengertian Masyarakat tidak selalu mengatakan apa yang sebenarnya mereka maksudkan. Apa yang mereka maksudkan bisa lebih luas dari apa yang mereka katakana. Sebagai contoh saya berkata, Di sini panas ya!. Tetapi yang saya maksudkan adalah untuk seseorag membukakan jendela atau lebih baik membuka jendelanya, atau matikan pemanasnya. Dalam contoh di atas kita tahu bahwa apa yang penulis maksud bukan panas dalam arti kata sebenarnya, tetapi lebih dari itu, hal ini akan berbeda jika dalam konteks yang lain, tempat yang lain atau keadaan yang lain pula. Dalam kasus di atas, mengapa tidak langsung mengatakan yang sebenarnya, tidak secara langsung menuju topic. Kasus-kasus seperti ini masuk dalam bahasan lingusitik yang dikenal dengan Pragmatik. 1.2 Definisi Pragmatik Pada awal 1980an, pada saat pragmatic sering dibuat sebagai bahan diskusi dalam linguistic, definisi umum dari pragmatic adalah arti dalam penggunaan dan arti dalam konteks. Walaupun definisi itu cukup untuk menggambarkan pragmatic, tetapi masih terlalu umum karena masih mengandung aspek semantic. Semantic dalam hal perkembangannya pada akhir 1980an, dimana dapat diterima dengan baik di bawah bahasan dari arti penggunaan atau art dalam kenteks. Bukut-bukua terbaru lebih contong membahas tentang satu dari dua topic, yaitu, sama dengan pragmatic dengan arti pembicara (speaker meaning) atau yang sama dengan interpreatasi ujaran (utterance interpretation) mereka tidak menggunakannya secara eksplisit . masalah arit pemcibaca lebih mendekat ke arah penulus yang mempunyai pandangan social lebih luas dalam ilmu linguistic khususnya dalam hal pragmatic. Arti pembicara menurut perhatian ke pembuat pwsannya, tetapi pada waktu yang sama ketidak jelaan dari fakta pada proses interpretasi dengan apa yang ada di dalam pesan antara beberapa tingkatan arti. Definisi terakhir (interpretasi ujaran) lebih cenderung kea rah yang mempelajari kekurangan dari dua definisi tersebut. Kita akan mempelahar pertama kali yan dimaksud tentang tingkatan arti, tingkat dari arti secara abstrak. Kita akan mulai dari arti kontekstual arti ujaran dar melihata kata, frasa atau kalimat (kedua). Untuk yang ketiga kita akan mendapat pengatahuan tentang maksud pembicara, atau yang dimaksud dengan (force) paksaan dalam sebuah ujaran kata. 1.2. Dari Abstrak ke Arah Arti Kontekstual Arti abstrak lebih berfokus pada sebuah kata, frasa, kalimat

Contoh : Apa yang diinginkan para pasukan adalah untuk menduduki wilayah ini. Lihatkah hanya sedikit kedisiplinan yang terlihat, kami akan . Pasukan, yang paling penting. Kami tahu apa arti disiplin sejak dalam pelatihan. Ayah selalu berkata tentang masa lalunya di kamp Catteria pada tahun 1940an. Pada saat itu masih menjadi tentara. Seakan-akan ayah telah di dalam AL, AU, dan Marinir. Cambuk mereka, itulah yang saya katakana. Beri mereka sesuatu yang mengingatkan masa lalu mereka (melewati pantat). Ayah berhenti sejenak dan meneguk tehnya, Apa yang salah tentang kucing itu? Lalu siapa saja datang pada waktu itu, Allan berpikir apa yang dimaksudkan dan akan menanyakan setelah peliharaannya sehat, Jika kita melihat ilustrasi di atas, kucing yan dimaksud adalah kucing dalam arti sebenarnya atau cambuk (dalam bahasa barat) yang biasa digunakan dalam kamp militire pada periode perang. Cambuk juga masuk dalam domain discourse. Arti abstrak tidak berada pada satu kata, tetapi dapat masuk dalam frasa atau bahkan semua kalimat. 1.3.1 Mengartikan Rasa dalam Konteks Jika seseorang terlibat dalam percakapan, secara intuisi melihat ke rasa dalam peraasaan kontekstual mereka. Contoh : Percakapan ini ku dengarkan di sebuah kereta api, terjadi antara dua orang inggris. A : Batu (Lump) apa yang membuat mereka waspada? B : Coba bacalah A : (Membeca dengan suara keras) Di dalam rekatakn batu yang jatuh B : Oh, Apakah sesuatu yang tidak biasa untuk para buruh bangunan? Cara mereka dibayar, atau penggelapan pajak atau mungkin yang lainnya. Dalam oercakapan di atas kita megetahui batu (lump) yang dimaksudkan adalah bukan batu yang sebenarnya, tetapi mempunyai makna konotasi. hal ini dapat diketahui dengan memahami konteks yang ada dalam pembicaraan. Keadaaan ini dapat terjadi dalam kasusu homonym, homograf atau yang lainya yang biasa mengakitabkan kesalahan pemahaman, namun hal ini dapat dihindari dengan memahami konteks yang ada. 1.3.2 Mengartikan Penunjuk Konteks Kita perlu mencari poin penting dalam sebuah percakapan, dimanapun kita berada, di bus, di supermarket, kita psti lebih bisa memhami poin pembicaraan, hal ini dikarenan topic pembicaraan biasanya berdasarkan tempat dimana pembicaraan itu terjadi. Contoh : dan hanya terpikirkan olehku, jika dia tidak jatuh dari tempat tidu, ku tidak akan pernah menemukannaya Mengapa kita tidak mungkin memahaminya, kita tidak paham apa yang ditemukan. Dalam kasusu ini kita tidak menemukan penunjuk dalam kata. Hal ini berbeda dengan kata Bahaya, Dilarang Menyentuh! hal ini jelas untuk melarang menyentuh sesuatu. Dalam pengertian ini, kita mengenal pengertian deiksis, antara lain di sana, di sini, ini, itu (tidak selalu bermakna

pengisolasian). Ini dapat terjadi jika kamu tahu yang pembicara maksudkan dan jelas arti percakapannya. Deiksis waktu antara lain kemarin, besok, sekarang juga akan berarti jika kita memahami pembicaraan. hal ini juga berlaku pada deiksis-deiksis lainnya (deiksis orang dan deiksis tertentu discourse deixis 1.33 Ambiguitas Struktural Hal ini berkaitan dengan sintaks. Seperti contoh kucing makan ikan mati, yang mati kucingnya atau ikannya. 1.3.3 Rasa Intereaksi, Penunjuk dan Struktur Contoh di bawah ini akan menunjukkan ambiguitas strukturan yang juga mengandung ambiguitas perasaan Pembicara B adalah komentator kriket yang terkenal, Brian Johnson. Pembicara A adalah istrinya A : Pernahkan kamu melihat dog bowl B: Belum, tetapi saya sudah pernah melihat dog bowl bermain di beberapa inning. Pasti kita bingung tentang apa arti kata dog bowl, apakah itu istilah dalam kriket atau yang lainnya dalam tanda kutip. 1.3.5 Ambiguitas dan Maksud Kita akan menjelaskan ambiguitas dan maksud yang dapat mengarah ke dalam kesalahpahaman. Contoh : Pembicara sedang berada di Genewa, Swiss Kota ini adalah kota dimana bank berada di dekat sungai. Kita pasti menduga-duga tentang arti kata bank. Apakah itu bank dalam arti tempat kita menabug atau bank dalam bahasa inggris yang berarti tepi sungai. 1.4 Arti Ujaran : Tingkat Pertama Maksud Pembicara 1.4.1 Pentingnya Arti Ujaran Arti ujaran di sini dimaksud adalah konteks dimana pengucapan itu dimaksudkan. Artinya konteks kata atau kalimat cocok atau tidak dengan tempat dimana pembicaraan berada. Contoh kasus : Dalam pengadilan ada seseoran pemuda 19 tahun, Derek Bentley, yang terlibat dengan pemuda 16 tahun, Christopher Craig dalam kasusu pembunuhan salah satiu Polisi setempat. Craig menembak polisi dengan alasan pembelaan diri. Pada saat ditahan, Bentley berkata Biarkan Polisi itu menerimana Christ! karena perkataan itu, dalam persidangan Bentley dijatuhi hukuman mati karena diduga yang melakukan penembakan, sedang Craig hanya mendapat pengawasan saja. Dalam contoh kasus di atas kita mengetahui arti pentingnya ujaran. 1.5 Pemaksaan (Force) : Tingkat Kedua dari Maksud Pembicara\ Dalam hal Pragmatik, kita mengetahui paksaan (force). Seperti dalam contoh Benarkah itu

mobilmu? sambil menunjuk kea rah mobil anda. Di dalam perkataan itu kita tidak mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pembicara, cemooh atau bukan. 1.5.1 Memahami Ujaran dan Paksaan (Force) 1.5.2 Memahami ujaran tetapi bukan paksaan 1.5.3 Memahami paksan tetapi bukan arti ujaran 1.5.4 Memahami bukan arti ujaran dan bukan pakasaan 1.5.5 Hubungan timbale balik antara arti ujaran dengan paksaan 1.6 Definisi Pragmatik Dalam pragmatic arti secara abstrak dan lebih berguna dari pada arti pengguanaannya. Hal ini berbeda dengan definisi awal. Karena itu teori-teori atau metodologi-metodologi yang ada harus dirubah sesuai dengan perkembangan jaman. 1.6.1 Arti Pembicara Dalam hal ini, ada dua alasan mengapa penulis, baik secara implicit atau eksplisit telah menggunakan defines dengan tidak perlu membuat perbedaan. Dalam tempat pertama, para linguist bereaksi satu sama lain, biasanya dalam grup ini lebih tertarik dalam tingkatan kedua, yaitu force. Sebagai contoh megapa pembicara tidak secara langsung menunjuk apa yang mereka maksudkan. Hal ini juga dapat membuat pendekatan para linguist mempunyai kelemahan. 1.6.2 Interpretasi Ujaran Sebaliknya, pendekatan kognitif yang luas yang digunakan oleh para ahli pragmatic lebih berfoukus pada pendengar. Pendekatan ini dapat terlihat berpotensi memberikan penejelasan lebih baik dalam hal pemecahan ambiguitas itu. Hal ini akan sangat sulit jika kita tidak tertarik mengapa pembicara berkata demikian. Jadi harus secara jelas kita mengetahuinya. 1.6.2 Pragmatik : Arti dalam interaksi Dalam hal ini mencerminkan arti atau poin dalam interaksi (pada suatu percakapan). Dalam suatu komunitas tertentu, pasti mempunyai kata-kata tertentu dalam cara berinteraksi. Kata-kata itu belum tentu dapat dimengerti oleh orang lain di luar komunitas mereka. Karena itu, konteks perkataan sangat berperan penting dala pemahaman suatu pembicaraan. Contoh Saya telah menjual rumah itu. Dan dalam percakapan selanjutnya, mereka dapat mengembangkan poin pembicaraan mereka dalam dalam cakupan property. Ujaran mereka berkembang dalam topic yang cocok dengan keadaan dan situasi, maka pembicaraan mereka akan berjalan secara halus dan dapat dimengerti oleh para pendengar. Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik? Makyun Subuki 13 Desember 2006 1. Pendahuluan Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam

linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik. Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik. 2. Definisi Pragmatik Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. 3. Perkembangan Pragmatik Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.

Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6). Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri. Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross. Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6). 4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik 4.1 Teori Tindak-Tutur Melalui bukun