makalah pp

download makalah pp

of 27

Transcript of makalah pp

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN

Oleh: Djoko Purwanto

Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan

masyarakat pada umumnya. Semangat seperti itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-tengah masyarakat, meskipun dalam prakteknya belum sebagaimana yang diharapkan banyak pihak. Barangka li itulah proses yang harus dilalui secara bertahap dan berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999,

yang dimaksud

otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang -undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu

daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya masing masing.

Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba melakukan perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan dan kota. Sebuah langkah positif yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat.

Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach).

Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah -tengah masyarakat.

Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-

bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan

dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran waca na pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah -tengah masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru dalam perencanaan

pembangunan ini yang membedakan dengan pola -pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik.

Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan

pembangunan ini sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana

masyarakat secara menyeluruh mampu melakukan proses demokratisasi yang baik melalui forum-forum musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota.

Penggerak Pembangunan

Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif tiada lain adalah sejauhmana

keterlibatan warga termasuk pengurus RT dan RW dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program -program

pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW tersebut.

Lembaga

organisasi

RT

dan

RW

sebagai

sebuah

lembaga RT

masyarakat yang bersifat pengabdian yang dikelola oleh pengurus

dan RW ini benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian, ketulusan dan keikhlasan yang dilak ukan bagi kepentingan masyarakat semata-mata dan jauh dari berbagai kepentingan pribadi. Barangkali pada level-level seperti bagi inilah pembelajaran warga demokratisasi warga

diimplementasikan

kepentingan

masyarakat

sekitarnya.

Warga masyarakat yang menga jukan usulan program kegiatan, warga masyarakat pulalah yang melakukan dan sekaligus melakukan

pengawasannya. Kesederhanaan, kebersamaan, dan kejujuran diantara warga yang sangat majemuk barangkali menjadi kata kunci perekat diantara mereka.

Bukanlah rahasia lagi bahwa yang namanya pengurus RT dan RW ini sudah biasa kalau harus berkorban tenaga, pikiran, dan dana ketika melakukan berbagai program kegiatan yang ada di lingkup ke -rt-an maupun ke-rw-an, apalagi kalau menyambut adanya event-event

tertentu. Bahkan tidak jarang mereka harus berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, seperti masalah keributan / perkelahian antar warga, keamanan warga, dan sebagainya yang kadangkala jiwa menjadi taruhannya.

Harapan dan Tantangan

Nuansa

demokratis

benar-benar

nampak

diberbagai

forum

musyawarah tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang dengan baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi

pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya. Tetapi, kondisi yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an sekaligus bisa menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat level bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai manis di mulut tetapi sepi dalam realitas. Apabila hal ini terjadi, maka pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif hanya tinggal sebagai sebuah slogan yang manis dibicarakan, namun pahit dalam tataran pelaksanaannya.

Sebagai

sebuah

gambaran

sederhana,

misalnya

ketika

akan

diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka setiap RT dan RW harus mempersiapkan usulan -usulan program yang akan dilakukan untuk suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang bersifat phisik maupun nonp hisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran demokratisasi para warga di level kelurahan.

Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan dalam kegiatan Pra-Muskelbang merupakan tahapan -tahapan persiapan yang perlu dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, apa yang telah dihasilkan dalam forum Muskelbang ini akan dibahas ke forum

musyawarah tingkat Kecamatan (Muscambang) dan selanjutnya ke forum musyawarah Kota/Kabupaten (Muskotbang).

Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan Kota/Kabupaten tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan program pembangunan daerahnya masing -masing. Apa yang dimusyawarahkan pada forum-forum tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat program fisik tetapi juga yang bersifat non -fisik, termasuk didalamnya sejumlah indicator keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat lapisan bawah ini adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang

bersumber dari musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan terealisir? Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam warga masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah -sah saja. Oleh karena, umumnya mereka sangat berharap bahwa apa yang diusulkan tersebut dapat terealisir, sehingga akan mampu memperbaiki

kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, di sisi yang lain pemerintah kota memiliki kendala klasik yaitu keterbatasan anggaran bagi pembangunan daerah. Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) porsi dana yang disediakan untuk pembangunan

sangatlah minim. Disamping itu, masyarakat sendiri juga tidak pernah tahu seberapa besar pemerintah kota /kabupaten mampu menghasilkan penerimaan (pendapatan) bagi APBDnya dan akan dialokasikan pada kegiatan apa. Ini berarti bahwa sosialisasi memiliki arti yang sangat penting bagi warga masyarakat.

Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan

melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan di daerah.

Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah -payah menyusun usulan program tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien, karena pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun berikutnya. Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan adalah munculnya sikap para pengusul yang lebih cenderung asal -asalan

dalam mengajukan usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya usulannya nanti tidak terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul sebagai sebuah akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya yang barangkali perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh, cuek atau tidak mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di lingkungannya.

Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi

(jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar -benar memiliki komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini

merupakan modal dasar pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF I. Pendahuluan Pengalaman yang telah lalu, program-program pembangunan banyak diturunkan dari atas dan masyarakat tinggal melaksanakan. Program itu direncanakan oleh lembaga penyelenggara program tanpa melibatkan secara langsung warga masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut. Kita menyadari bahwa perencanaan program semestinya dimulai dengan suatu penjajagan kebutuhan (need assessment) masyarakat, namun hal itu sering dilaksanakan hanya berdasarkan suatu survei (penelitian konvensional) yang dilakukan oleh petugas lembaga, atau oleh ahli-ali dari lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Berbagai kritik sering dilontarkan terhadap pola pengembangan program yang masih diturunkan dari atas ke bawah seperti itu. Kritik itu antara lain: 1.Kritik dalam pola tersebut sering terjadi kesenjangan antara peneliti/para pemrakarsa dan para pelaksanan program. Penelitian yang terlalu bersifat akademis seringkali diwarnai wawasan, pikiran, dan pandangan peneliti sendiri, yang sering tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan sendirinya program yang disusun berdasarkan penelitian itu akan berangkat dari asumsi yang keliru, sehingga programnya tidak menyentuh kebutuhankebutuhan yang sesungguhnya dirasakan oleh masyarakat. 2.Kritik lain adalah bahwa keterlibatan masyarakat dalam program yang diturunkan berupa paket hanya sekedar sebagai pelaksana, masyarakat tidak merasa sebagai pemilik program karena mereka seringkali tidak melihat hubungan antara penelitian yang pernah dilakukan dan program yang akhirnya diturunkan. Dengan sendirinya dukungan masyarakat terhadap program-program seperti itu akan sangat pura-pura, demilkan pula partisipasi mereka. 3.Kritik yang lain lagi adalah keterlibatan masyarakat hanya sebagai pelaksana saja kurang mendidik dan kurang menjamin keberlanjutan program karena prakarsa selalu dating dari luar, dan ketrampilan analitis, perencanaan, dan pengorganisasian tetap dimiliki oleh orang luar. Sebenarnya jika masyarakat dapat dilibatkan secara berarti dalam keseluruhan proses (dari survei awal sampai perencanaan dan pengorganisasian kegiatan program, selain program itu akan menjadi lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan rasa kepemilikan warga masyarakat terhadap program akan lebih tinggi, juga ketrampilan analisis dan perencanaan tadi teralihkan kepada masyarakat. Dengan demikian di masa yang akan datang secara bertahap ketergantungan pada pihak luar dalam pengambilan prakarsa dan perumusan program akan bisa dikurangi. II. Perencanaan Pembangunan Partisipatif Perencanaan pembangunan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting yaitu: 1.Terhidar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan rakyat akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat. 2.Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik. 3.Meningkatkan kesadaran dan ketrampilan politik masyarakat.

Perencanaan pembangunan partisipatif akan berjalan dengan baik apabila prakondisi yang diperlukan dapat terpenuhi. Setidaknya ada enam prinsip dasar dalam perencanaan partisipatif, yaitu : a.Saling percaya. Diantara semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan harus saling percaya, saling mengenal dan dapat bekerjasama. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya dituntut adanya kejujuran dan keterbukaan. b.Kesetaraan. Prinsip kesetaraan dimaksudkan agar semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan dapat berbicara dan mengemukakan pendapatnya, tanpa adanya perasaan tertekan (bhs. Jawa; rikuh atau ewuh-pekewuh). c.Demokratis. Prinsip demokrasi menuntut adanya proses pengambilan keputusan yang merupakan kesepakatan bersama, bukan meripakan rekayasa kelompok tertentu. d.Nyata. Perencanaan hendaknya didasarkan pada segala sesuatu masalah atau keb utuhan yang nyata, bukan berdasarkan sesuatu yang belum jelas keberadaanya atau kepalsuan (fiktif). e.Taat asas dalam berpikir. Prinsip ini menghendaki dalam penyusunan perencanaan harus menggunakan cara berpikir obyektif, runtut dan mantap. f.Terfokus pada kepentingan warga masyarakat. Perencanaan pembangunan hendaknya disusun berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang dekat dengan keidupan masyarakat. Perencanaan yang berdasarkan pada masalah dan kebutuhan nyata masyarakat, akan mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat. Proses perencanaan pembangunan desa harus dilakukan melalui serangkaian forum musyawarah dengan melibatkan seluruh unsure pelaku pembanguan di wilayah setempat. Unsur pelaku pembangunan desa tersebut meliputi elemen-elemen warga masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan desa, aparatur pemerintah desa, aparatur pemerintah kabupaten (khususnya SKPD terkait), LSM dan institusi lain yang terkait. Proses penyusunan perencanaan pembangunan seperti inilah yang dimaksudkan sebagai perencanaan pembangunan partisipatif. Penyusunan perencanaan pembanguan desa harus berdasarkan data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, rencana pembangunan desa itu harus disusun berdasarkan kenyataan yang ada di desa, baik itu berupa masalah maupun potensi yang dimiliki desa. Dengan demikian, perencanaan pembangunan desa yang tersusun dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, bukan sekedar daftar keinginan yang jauh dari kenyataan dan kemampuan untuk mewujudkannya. III. Metode Perencanaan Partisipatif Berbagai metode perencanaan partisipatif yang langsung melibatkan peran serta masyarakat antara lain : 1.Metode ZOPP, yaitu perencanaan proyek yang berorientasi pada tujuan. ZOPP adalah singkatan dari: a.Ziel, berarti tujuan. b.Orienterte, yang berarti berorientasi. c.Projekt, berarti proyek. d.Plannung, berarti perencanaan.

Perencanaan partisipatif melalui metode ZOPP ini dilakukan dengan menggunakan empat alat kajian dalam rangka mengkaji keadaan desa, yaitu : a.Kajian permasalahan; dimaksudkan untuk menyidik masalah-masalah yang terkait dengan suatu keadaan yang ingin diperbaiki melalui suatu proyek pembangunan. b.Kajian tujuan; untuk meneliti tujuan-tujuan yang dapat dicapai sebagai akibat dari pemecahan masalah-masalah tersebut. c.Kajian alternatif (pilihan-pilihan); untuk menetapkan pendekatan proyek yang paling memberi harapan untuk berhasil. d.Kajian peran; untuk mendata berbagai pihak (lembaga, kelompok masyarakat dsb) yang terkait dengan proyek, selanjutnya mengkaji kepentingan dan potensi. Melalui penggunaan alat kajian itu maka metode ZOPP bertujuan untuk mengembangkan rencana proyek yang taat asas dalam suatu kerangka logis. Metode ZOPP, dalam penerapannya dapat dikenali dari ciri-ciri utamanya, yaitu: a. Adanya kerja kelompok. Perencanaan dilakukan oleh semua pihak yang terkait dengan proyek (mencirikan keterbukaan). b. Adanya peragaan; pada setiap tahap dalam perencanaan direkam secara serentak dan lengkap serta dipaparkan agar semua pihak selalu mengetahui perkembangan perencanaan secara jelas (mencirikan keterbukaan). c. Adanya kepemanduan; yakni kerjasama dalam penyusunan perencanaan diperlancar oleh orang atau sekelompok orang yang tidak terkait dengan proyek, tetapi membantu untuk mencapai mufakat (mencirikan kepemanduan). Perencanaan dengan metode ZOPP mempunyai kegunaan untuk meningkatkan kerjasama semua pihak yang terkait, mengetahui keadaan yang ingin diperbaiki melalui proyek, merumuskan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan sebagai dasar pelaksanaan proyek. Mutu hasil perencanaan ini sangat tergantung pada informasi yang tersedia dan yang diberikan. 2.Metode Participatory Rural Appraisal (PRA) Ini dimaksudkan sebagai metode pendekatan belajar tentang kondisi dan kehidupan pedesaan dari, dengan, dan oleh masyarakat desa sendiri. Pengertian belajar di sini mempunyai arti luas, karena meliputi juga kegiatan mengkaji, merencanakan, dan bertindak. Penggunaan metode PRA dimaksudkan menjadikan warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan pelaksana program pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan. Dalam metode PRA ini dikenal adanya teknik-teknik penggalian masalah sampai dengan teknik pemecahan masalah. Dalam Permendagri No. 66/2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa menggunakan teknik-teknik yang sesuai dengan metode PRA ini. IV. Teknik Perencanaan Partisipatif Dalam Permendagri No. 66/2007 dikenal adanya pentahapan dalam proses perencanaan desa, yaitu: masukan proses hasil dampak. Pada kesempatan ini, yang akan kita pelajari hanya pada 2 tahap yang pertama, yaitu: tahap masukan dan tahap proses. Alasan pemilihan topic bahasan 2 tahapan ini adalah, kadar tuntutan partisipasi warga masyarakat paling tinggi, sedangkan 2 tahapan terakhir lebih menuntut keterampilan/keahlian teknis sehingga perlu menggunakan pendekatan teknokratik. 1.MASUKAN

Dalam hal ini yang dimaksud masukan adalah informasi atau data yang diperoleh melalui kegiatan penggalian masalah dan potensi desa. Dalam melakukan penggalian masalah dan potensi desa dapat menggunakan alat atau instrumen bantu berupa sketsa desa, kalender musim dan bagan kelembagaan. Berikut ini merupakan contoh hasil penggalian masalah dan potensi dengan menggunakan tiga instrumen tersebut. SKETSA DESA Sketsa desa pada dasarnya merupakan gambar kasar mengenai keadaan desa. Sketsa desa dapat mempermudah bagi setiap pemangku kepentingan atau pelaku pembangunan desa (khususnya warga masyarakat setempat) untuk mengenali setiap bagian dari wilayah desa. Oleh karenanya setiap orang akan dipermudah dalam mengenali masalah dan potensi beserta letak lokasinya. Sketsa desa dapat dibuat di atas kertas atau karton dengan pensil, akan lebih baik apabila menggunakan pensil/pena/spidol berwarna. Untuk membuat sketsa desa ini akan lebih mudah jika telah tersedia peta desa. Berdasarkan peta dasar desa, kemudian dilengkapi dengan gambar situasi desa sesuai dengan keperluan. Misalnya: dari peta dasar kemudian dilengkapi gambar situasi kantor desa, sawah, lading, perkebunan, sungai, rumah, gereja, masjid, puskesmas, posyandu, dan lain-lain.

PERANAN SUMBER DAYA ALAM, PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN TANTANGAN MASA DEPAN Dr.ZULKIFLI Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN Perbincangan tentang Pembangunan Berkelanjutan atau suistainable development sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru baik lihat secara global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya masih menunjukkan banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan dan mempu nyai banyak gejala pada tatanan implementasi atau pelaksana. Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan yang mengandung pengertian sebagai pembangunan yang memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup dalam pelaksanaannya suda h menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm ( UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan (Soerjani, 1977: 66), menurut Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm membahas masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana denganPeran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya. Menurut Budimanta (2005), bila kita membandingkan wajah kota Jakarta dengan beberapa kota di Asia maka akan terlihat kontras pembangunan yang dicapai. Singapura telah menjadi kota taman, Tokyo memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkok sudah berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengan menyediakan ruang yang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda transportasinya. Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara pandang pembangunan konvensional yang melihat pembangunan dalam konteks arsitektural, partikulatif dalam konteks lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara pandang pembangunan berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga didapatkan kondi i ruang kota s yang lebih nyaman sebagai ruang hidup manusia di dalamnya. Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalahdan kendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi di Indonesia adalah konfl ik antar pelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat. Konfl ik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konfl ik yang sangat tajam; proyek urban renewal sering diplesetkan sebagai urban removal; fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang. Terkait dengan berbagai konfl ik tersebut, maka beberapa usulan yang diajukan Budihardjo (2005) untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang, antara lain: 1. Orientasi jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka ypendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan pada pelaksanaan atau action oriented plan.

2. Penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagi berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan. 3. Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model model advocacy, participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuen ydan konsisten. 4. Perlu peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai forum pertemuan/diskusi/ceramah/publikasi, baik secara formal maupun informal. 5. Perlu adanya perhatian yang lebih terhadap kekayaan khasanah lingkungan alam dalam memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efi sien. 6. Keunikan setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social work of art dapat terejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki jati diri. Fenomena globalization with local fl avour harus dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang. Disamping enam usulan tersebut tentunya implementasi indikator-indikator pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalam sedikitnya 3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi dasar pertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang kota/wilayah. Pertanyaan yang selalu menggoda kita adalah sejauh manakah kemampuan daya dukung sekarang? Sanggupkah ia menopang generasi yang akan datang?. Pertanyaan ini perlu diajukan oleh karena masa depan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keadaan lingkungan masa kini bahkan masa lalu. Jawaban atas baik buruknya lingkungan dimasa depan bergantung pada usaha-usaha generasi sekarang dalam mengelola sumber daya alam. Jangan harap akan tercipta ataupun tersisa lingkungan masa depan yang serasi apabila sekarang kehilangan kearifan dalam mengolah sumber daya. Jadi, makna tanggapan masa depan disana bukanlah berarti masalahnya harus dihadapi generasi masa datang nanti melainkan menjadi tanggung jawab terutama generasi masa kini. Pembangunan berkelanjutan adalah terpenuhinya kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi masa depan menikmati sumber daya alam dalam kondisi yang tak kalah baiknya dari generasi sebelumnya. Dengan perkataan lain, dalam konsep pembangunan berkelanjutan "Secara inherent" sudah memuat soal tantangan itu dan tanggung jawabnya sekaligus. Kita ketahui bersama sejumlah sumber daya alam sudah mulai menipis, terutama sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi dan bahan mineral lainnya, generasi yang akan datang kemungkinan tidak akan bisa menikmati sumber daya alam sejenis itu apabila dari mulai sekarang efisiensi kurang apalagi tidak ditempuh sama sekali. Tidaklah salah kalau pepatah mengatakan bahwa bumi ini bukanlah warisan dari nenek moyang, tetapi titipan anak cucu kita. Apabila generasi sekarang tidak mampu mencegah terjadinya lubang lapisan ozon yang semakin meluas serta mengendalikan pemanasan global ditambah lagi tidak dapat mengurangi penyusutan keaneka ragaman hayati, akibat ulah tangan manusia dulu dan sekarang, boleh jadi generasi masa datang hanya menemukan bumi yang kering kerontang, bahkan tidak dapat hidup sama sekali. Sumber daya dalam pengertian ekonomi adalah suatu "input" dalam suatu proses produksi. Defenisi lain dikatakan sumber alam adalah unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan kesejahteraannya. II. SUMBER DAYA ALAM. Sumber daya yang menjadi kendala tersebut secara umum bisa dikategorikan kedalam sumter daya lahan, manusia, modal, teknologi, informasi dan energi. Sumter daya ini tidak lain merupakan faktor produksi atau masukan dalam suatu proses produksi. Jika faktor tenaga kerja, modal, informasi dan teknologi berasal dari manusia, maka yang merupakan pemberian alam adalah sumber daya dan energi. Salah satu kelemahan dari pengelolaan sumber daya alam dinegara-negara berkembang barangkali adalah usaha mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara

menguras secara besar-besaran dari sumber daya alamnya tanpa memperhatikan akibat sampingan. Akibatnya mereka harus membayar mahal dengan semakin rusaknya lingkungan. Misalnya untuk membuat tambang suatu sumber daya alam yang berada di hutan, banyak hutan dan susunan tanahnya menjadi rusak akibat dipangkasnya tanah yang menutupi bahan tambang dan setelah itu hasil tambangnya diambil lokasi tempat penebangan tadi sampai berhektar-hektar dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi. Dalam pembangunan memang selalu timbul apa yang disebut dengan "Backwash effect" dimana akibatnya dari adanya pembangunan pada suatu tempat akan terjadi akibat negatif, tapi dalam hal ini usaha kita adalah meminimalkan efek negatif tersebut. Dibangunnya waduk-waduk juga dapat menimbulkan efek yang negatif misalnya dalam bidang kesehatan dapat meledaknya jumlah hewan tempat hidup dari penyebab penyakit yang kita kenal dengan penyakit Schistomiasis, dimana cacing-cacing ini bertambah penyebarannya dengan bertambahnya populasi dari siput-siput. Demikian juga pembangunan beberapa industri dapat menyebabkan tercemarnya air dari suatu danau atau sungai sehingga masyarakat yang selama ini tidak pernah banjir oleh karena adanya pembangunan didaerah tangkapan air (catcment area) maka daerah lain yang tadinya tidak kekurangan air menjadi kekurangan air. Sejarah menunjukkan masyarakat bisa mencapai kemakmuran karena hasil manfaat dari sumber daya yang dimiliki. Simon Kuznets (1955) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sayangnya dibatasi oleh kekurangan absolut dari sumber daya alam Namun tidak dapat disangkal, bahwa dengan adanya suatu pembangunan juga dapat memberikan peluang-peluang bagi berbagai usaha dan dapat membantu meningkatnya kesejahteraan masyarakat seperti yang kita harapkan bersama. Sebagai contoh yang sederhana dengan adanya suatu pembangunan satu tempat pemukiman disatu daerah maka akan kita peroleh efek yang berganda yang kita kenal dengan "Spread effect ". Dimulainya dari pembebasan tanah yang pada mulanya nilainya rendah tetapi dengan adanya rencana pembangunan tempat pemukiman disitu nilai tanah menjadi tinggi, kemudian dengan mulai pembangunan maka terseraplah kesempatan kerja bagi para pencari kerja baik kerja kasar maupun pekerja yang mempunyai ketrampilan khusus, disamping itu karena rumah-rumah ini dari tingkat sangat sederhana sampai yang mewah tentunya memerlukan bahan-bahan perlengkapan untuk menyiapkan rumah tadi sehingga berbagai pengusaha-pengusaha berkompetisi dalam memasok produk-produknya. Dengan adanya pembangunan ini tidak dapat dielakkan lagi tentuny a terjadi pengurasan sumber daya alam mulai dari yang berada disungai-sungai seperti, batubatuan. maupun dari industri-industri seperti semen dan dari hutan dengan hasilnya kayu, sebagai barang olahannya tentunya semua memerlukan pengendalian agar sumber daya alam tadi dapat juga lestari, disamping itu, juga dalam pemanfaatannya diperlukan penghematan dan tidak menimbulkan limbah yang siasia. Dari limbah-limbah tadi misalnya kayu-kayu potongan tadi dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan lain sehingga biaya produksinya pun dapat dikurangi seperti yang diharapkan oleh "Green Hanufacturing". Disamping itu "Green Hanufacturing" juga mengarahkan agar kegiatan dalam industri yang lain juga dapat mengurangi terjadinya limbah yang tidak terpakai yaitu dengan merekayasa suatu barang dengan cara membuat komponen-komponen tertentu yang dapat menggantikan suatu komponen lain yang telah rusak, jadi suatu unit barang tidak akan menjadi limbah tetapi dengan mengganti sebagian komponennya sudah dapat dipergunakan lagi, Kita juga harus mengingat kembali bahwa adanya keterbatasan dari sumber daya ini, misalnya dalam berproduksi yang kita kenal dengan adanya satu hukum populer disebut "The Law of Diminshing Return" yang mengatakan bahwa tambahan hasil produksi dari tambahan masukan pada akhirnya akan menurun. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa sebagian dari

masukan seperti tanah sifatnya adalah tetap atau konstan. Secara tehnis, sama saja dengan menyatakan bahwa produk marjinal dari faktor yang bervariasi akan menurun sesudah titik tertentu. Sebagai suatu contoh, pendapatnya yang pertama kali dikemukakan oleh Thomas Halthus bahwa kecendrungan alamiah dari penduduk adalah bertambah menurut deret ukur (1,2,4,6,8...) sedangkan produksi pangan bertambah menurut deret hitung (1,2,3, ...) dengan berjalannya waktu. produksi pangan perkapita akan menurun dan akhirnya menjadi kendala pada pertambahan penduduk berikutnya. Bertambahnya penduduk yang bekerja disebidang tanah yang terbatas akan menurunkan hasil produksi dan pendapatan perkapita sampai kebatas yang hanya cukup untuk sekadar dapat hidup. Dilihat disatu pihak karena lahan terbatas ataupun tidak subur lalu disuburkan dan berproduksi tetapi di lain pihak masyarakat negara lain yang menjadi pangsa pasar kita itu tidak mau menerimanya. Usaha diversifikasi, selain merupakan salah satu cara untuk menaikkan pendapatan petani juga diarahkan untuk memperluas sumber devisa, yaitu apabila hasil pertanian yang beragam itu bisa di eksport. Selain hal ini bergantung pada teknologi pasca panen yang oleh Presiden disebut sebagai "Masih merupakan tantangan dan menanti jawaban kita setepat -tepatnya ", juga berkaitan dengan masalah teknologi pengelohan hasil -hasil pertanian yang merupakan tantangan yang lebih besar lagi. Salah satu tujuan yang berkaitan dengan peranan strategis sektor pertanian adalah penyediaan bahan baku sebagai salah satu basis industrialisasi khususnya dalam pengolahan hasil-hasil pertanian. Usaha diversifikasi dan penanganan masalah pasca panen tersebut diatas memerlukan pemikiran untuk menciptakan sistem "Agribisnis" yang memerlukan paket kebijaksanan yang berbeda. Dengan sistem agribisnis dimaksudkan untuk mencapai dua tujuan yaitu menghasilkan bahan pertanian sampai ke pasar, termasuk penanganan masalah pasca panen. Kedua, menghasilkan salah satu faktor produksi bagi sektor industri. Jadi dengan menciptakan dan membangun pabrikpabrik dan industri-industri untuk pengolahan hasil pertanian tadi. Para petani juga akan bertambah kesejahteraannya, walaupun untuk membangun baik agribisnis sampai dengan "Agro Industri" memerlukan modal, teknologi dan informasi dan tenaga kerja yang banyak. Hal ini dapat dengan memperoleh yaitu mengirimkan tenaga kenegara yang lebih maju agribisnis dan agroindustrinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mencapai peningkatan penyediaan pangan atau kebutuhan pokok lain yaitu: 1. Kegiatan yang berorientasi pada perluasan areal panen atau lebih baik dikenal dengan program "ekstensifikasi" dengan jalan membuka dan mengusahakan areal-areal baru yang selama ini dibiarkan tidak produktif. 2. Melalui program peningkatan hasil persatuan luas atau dikenal dengan program "intensifikasi ". 3. Mencari kemungkinan sumber-sumber pangan baru yang dapat dimanfaatkan. Dua cara yang pertama merupakan topik yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumber daya lahan, dalam upaya peningkatan produksi pangan melalui penggunaan lahan yang terencana dengan baik serta rasional. Sedangkan cara ketiga adalah merupakan eksplorasi terhadap sumber-sumber pangan dan kebutuhan pokok lainnya yang selama ini belum dimanfaatkan serta penggunaan teknologi tinggi dan informasi. Misalnya bioteknologi dalam menghasilkan sumber-sumber pangan baru dan kebutuhan pokok lainnya. Daerah yang subur untuk pertanian dapat dikatakan sudah hampir seluruhnya digarap dan diusahakan sehingga yang tersisa umumnya merupakan daerah yang relatif kurang subur. Akibat dari ini tentu harga produksi yang dihasilkan menjadi tinggi, sebagai akibat dari tingginya biaya sarana produksi yang diperlukan (misalnya untuk kapur, pupuk insektisida ataupun pestisida). Tetapi dari akibat diatas tadi muncul suatu dilema dimana hasil yang menggunakan bahan-bahan tadi tidak disukai oleh masyarakat yang telah mulai melaksanakan apa yang disebut dengan

Green Consumer", dimana mereka tidak mau mengkonsumsikan bahan-bahan hasil produksi pertanian yang nyata sesudah diperiksa banyak mengandung zat-zat kimia yang telah dipergunakan untuk menaikan produksi tadi. III. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan ( orld Commission W on Environment and Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefi nisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting. Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini da hari n depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengena i kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan dating untuk menikmati dan memanfaatkannya. D alam proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, sert a meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu -isu lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan\ berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan). Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga pilar tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Idealnya, ketiga hal tersebut dapat berjalan bersama -sama dan menjadi focus pendorong dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam buku Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21 (Buku 1) Sarosa menyampaikan ba hwa pada era sebelum pembangunan berkelanjutan digaungkan, pertumbuhan ekonomi merupakan satusatunya tujuan bagi dilaksanakannya suatu pembangunan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Selanjutnya pada era pembangunan berkelanjutan saat ini ada 3 tahapan y ang dilalui oleh setiap Negara. Pada setiap tahap, tujuan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi namun dengan dasar pertimbangan aspek-aspek yang semakin komprehensif dalam tiap tahapannya. Tahap pertama dasar pertimbangannya hanya pada keseimbanganekologi. Tahap kedua dasar pertimbangannya harus telah memasukkan pula aspek keadilan sosial. Tahap ketiga, semestinya dasar pertimbangan dalam pembangunan mencakup pula aspek aspirasi politis dan sosial budaya dari masyarakat setempat. Tahapan-tahapan ini digambarkan sebagai evolusi konsep pembangunan berkelanjutan

Inikator / Kriteria Pembangunan Berkelanjutan0 Januari 2009 pukul 1Phase

1 Phase 2 Phase 3

Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka indikator pembangunan berkelanjutan tidak akan terlepas dari aspek-aspek tersebut diatas, yaitu aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future: Menggagas Warisan Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Keberlanjutan Ekologis 2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi 3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya 4. Keberlanjutan Politik 5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi: a) Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan. b) Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material. c) Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan k esetaraan jender. Budimanta (2005) menyatakan, untuk sua a) pro lingkungan hidup; b) pro rakyat miskin; c) pro kesetaraan jender; d) pro penciptaan lapangan kerja; e) pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan f) harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing tolok ukur. Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu: a. Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar menurut kaidah ekologi. b. Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan ( nonrenewable resources). c. Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran. d. Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity). Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin. Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih

banyak membuka kesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalam arus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapat diukur dengan menggunakanGenderrelated. Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah. Jika nilai GDI mendekati HDI, artinya di daerah tersebut hanya sedikit terjadi disparitas jender dan kaum perempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan. Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja (pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan berbaga indikator seperti i misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini Indikator perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan dalam pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkan hasil dari proses pembangunan yang dilaksana kan. Kondisi ini sering kali membuat keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakan hutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjir yang semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telah menjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukan langkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalam kondisi surplus energi), moda transportasi yang tidak berkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan, dan seterusnya. 3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaraga man budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat. 4. Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi. Tabel 1. Pemikiran-pemikiran tentang Syarat-syarat Tercapainya Proses Pembangunan Berkelanjutan kesejahteraan masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini. Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsa Indonesia yang berada dalam kesatuan NKRI. Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikan serta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKN yang digaungkan di daerah bersangkutan. Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan dengan buah pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo (2005), dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk tercapainya proses pembangunan berkelanjutan (Tabel 1). Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi dalam 3 indikator utama, yaitu: 1. Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan. 2. Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material. 3. Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan A kesetaraan jender. Budimanta (2005) menyatakan, untuk suatu proses pembangunan berkelanjutan, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut: 1. Cara berpikir yang integratif. Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut. 2. Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan dalam pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkan hasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Kondisi ini

sering kali membuat keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakan hutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjir yang semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telah menjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukan langkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalam kondisi surplus energi), moda transportasi yang tidak berkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan, dan seterusnya. 3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat. 4. Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi.

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi konsep terdepan pada abad ke 21. 1. Pembangunan berkesibambungan memaparkan suatu pembangunan, yang sesuai dengan kebutuhankebutuhan generasi saat ini tetapi tidak membahayakan kesempatan bagi generasi yang akan data ng untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di Eropa istilah tersebut berasal dari bidang kehutanan, saat ini "pembangunan berkesimbungan" telah menjadi tujuan penting bagi semua bidang kehidupan seperti ekonomi, ekologi, dan kesetimbangan sosial. Pembangunan dan pembentukan masa depan kita telah menjadi diskusi internasional seperti pada pertemuan tingkat tinggi Konferensi di Rio de Janeiro dan di Johannesburg. Tetapi ini juga menjadi topik pada tingkat nasional di berbagai negara. Sebagai contoh di Jerman "Enquet e-Commission" dari 13 Bundestag Parlemen) Jerman telah memembentuk undangundang "perlindungan manusia dan ingkungan" untuk mendalami dan bekerja pada kebutuhan pembangunan berkelanjutan. Di laporan akhir dari komisi ini empat atau 5 aturan telah didefinisikan, yang berkaitan perlunya pembangunan berkelanjutan di Jerman. Konsep ini telah diterima oleh beberapa penguasa terdepan (atas) di berbagai bidang baik ekonomi maupun politik. Tetapi untuk menjalannkan dasar -dasar ini ke dalam praktek, saat ini perusahaanperusahaan juga memerlukan konsultan sebagai pengarah, yang kompeten untuk menjalankan aturan-aturan pembangunan berkelanjutan di bidang khusus mereka. Dengan demikian, aplikasi suatu model baru pembangunan berkelanjutan di bidang pendidikan adalah sangat diperlukan. Meskipun konsep pembangunan berkesinambunagn telah diterima secara umum, ada beberapa masalah bagaimana meningkatkan dan mengevaluasi tujuan umum tersebut. Sebagai contoh, sangat jelas bahwa definisi tentang kebutuhan primer berbeda antara orang satu dengan orang lain, dari negara satu dengan negara lain, dan dari benua satu dengan benua yang lain.

Apa arti pembangunan berkelanjutanPembangunan berkelanjutan, juga disebut pembangunan kuat, tahan, atau efisien pertama kali didefinisikan di ta hun 1987 oleh Komisi Dunia pada Lingkunan dan Pembangunan, ketuai oleh Gro Harlem Bruntland, yang merupakan perdana menteri

Norwegia pada saat itu. Pada laporan kahir dari komisi itu yang berjudul "Masa Depan Kita Bersama", juga disebut Brundtland-Report embangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai suatu: Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi yang akan datang menyesuaikan kebutuhan -kebutuhan mereka... Dengan kata lain, pembangunan adalah esens ial untuk pemenuhan kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Pada saat yang sama pembangunan harus berlandaskan pada efisiensi dan penggunaan lingkungan yang bertangungjawab dari seluruh sumberdaya masyarakat yang langka: alam, manusia, dan sumberdaya ekonomi.

Sejarah Pembangunan BerkelanjutanIde saat ini mengenai pembangunan berkelanjutan dapat dikilas balik pada waktu atau era modern (modern times). Pertimbangan pada kebutuhan bagi generasi mendatang, akan tetapi, merupakan pandangan lama. Bukti-bukti awal yang terdokumentasi telah ditemukan pada sejarah suku Irokeses di Amerika Utara. Kepala suku mereka diharapkan memperhatikan kebutuhan generasi mendatang . Di Eropa, ide pembangunan berkelanjutan pertama kali dikembangkan di bidang kehutanan. Seawal abad ke 13, di sana ada beberapa aturan tentang kesinambungan penggunaan kayu (Hukum kehutanan Nuremberg dari 1294) [ 5]. Masalah penebangan bersih (clear cut) tanpa memperhatikan penghutanan kembali telah didiskusikan oleh Carlowitz, seorang bangsawan dari Saxony dalam papernya: "Sylvicultura Oeconomica-instruksi untuk penanaman alamiah dari pohon liar" (1713). Calrowitz meminta untuk mempelajari "worlds book of nature". Ia meminta bahwa manusia harus menyelidiki aturan -aturan alam, dan selalu, secara terus menerus dan "perpetuirlich". Carlowitz memohon di dalam bukunya beberapa hal pada konstruksi rumah seperti peningkatan isolasi melawan panas dan dingin, ia meminta penggunaan tungku pelebur dan kompor hemat energi, dan penghijau an terjadual dengan penanaman dan penebangan. Akhirnya, ia meminta "surrogata" atau "penggantian" fungsi daripada kayu. Berdasarkan ide-ide ini Georg Ludwig Hartig mempublikasikan sebuah paper pada tahun 1795 yang berjudul, "Instructions for the taxation a nd characterization of forests", untuk menggunakan kayu seefektif mungkin, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang. Ide mengenai pembangunan berkelanjutan telah lahir. Akan tetapi, tujuan ini sebenarnya lebih cenderung kepada ekono mi dan sosial alamiah. Perlindungan daripada lingkungan dan alam adalah melebihi atau diluar ruang lingkup akhir -akhir ini. Prinsip-prinsip awal ini mengenai pembangunan berkelanjutan hanya dibatasi pada bidang kehutanan dan tidak diperluas di bidang lainn ya. Istilah kesinambungan di dalam konteks perlindungan alam and biosfer dunia pertama kali digunakan pada tahun 1980 -an, di dalam program "World Nature Protection for Conservation of Nature (IUCN)" dan "World Wide Fund for Nature (WWF)". Ini artinya dan tujuannya adalah penggunaan sistem biologi yang ada tanpa mengubah karakterisktik esensialnya. Ide dari konsep ini kemudian lebih lanjut diperluas dengan penggunaan "pembangunan berkelanjutan". Aspek ekonomi ditambahkan pada aspek ekologi dan sosial terdahulu seperti dinyatakan oleh the Brundtland Report pada 1987. Dari asal muasalnya pada istilah dan ide telah digunakan dan disempurnakan. Tanda kemajuan berikut dibentuk badan PBB "United Nationss Conference on Environment and development" (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro.

Sekitar 170 negara menandatangani Agenda 21 dengan "pembangunan berkelanjutan" sebagai tujuan global (dunia) [ 10]. Karena karakter global dari Agenda 21 tidak terlalu jelas pada beberapa aspek. Ini menggambarkan hanya pada tujuan global tetapi tidak menunjukkan jalan untuk mencapainya. Dengan demikian, spirit daripada Agenda 21 kelihatannya lebih penting daripada kata -kata dari dokumen: hanya kerja sama dan kemitraan global antar negara dapat memecahkan masalah ekologi dan sosial dunia yang sangat penting. Di laporan akhir "Concept Sustainability, from Theory to Application" atau "Konsep Kesinambungan, dari Teori sampai Aplikasi", aturan -auran umum telah didefinisikan. Komisi juga menyatakan "pelestarian dan peningkatan eko logi, ekonomi, dan barang-barang sosial" sebagai tujuan utama pembangunan berkelanjutan. Itu menunjuk pada tiga kolom yang sama mengenai kesinambungan bertumpu pada ekologi, ekonomi, dan masyarakat. Laporan juga mendefinisikan langkah praktis dan cara-cara pada bagaimana mencapai tujuan kesinambungan. Pada bulan Juni 2001, anggota Uni Eropa bertemu di Goetheburg, Swedia untuk mendiskusikan masa depan Eropa dan mempertimbangkan petunjuk umum, pada kebijakan dengan hasil sebagai berikut: Pembangunan berkesimbungan berarti memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa membahayakan kebutuhan generasi yang akan datang. Dengan demikian, adalah penting untuk membangun kebijakan ekonomi, ekologi, dan kebutuhan sosial dengan cara sinergis yang mana mereka saling kuat-menguatan satu sama lain. Jika ini tidak mungkin untuk memberhentikan kencenderungan yang mengancam kualitas hidup yang akan datang, kebutuhan biaya dari masyarakat akan meningkat secara dramatik dan tendensi negatif akan menjadi tidak dapat balik. Konsul Eropa menerima dengan baik pengumuman Komisi Pembangunan Berkelanjutan dengan solusi penting untuk memberhentikan kecenderungan negatif.

Aturan EkonomiEnquete Commission seperti tersebut di atas dari ke 13 Parlemen Jerman mengusulkan aturan-aturan ekonomi berikut ini demi pembangunan berkelanjutan: 1. Sistem ekonomi harus memenuhi secara efisien kebutuhan individu dan sosial. Untuk itu, aturan ekonomi harus dibentuk sedemikian sehingga akan meningkatkan inisiatif personal (tanggung jawab pribadi) dan keinginan tiap individu melayani kebutuhan umum (tanggung jawab umum) demi keamanan kebaikan (well -being) dari populasi saat ini dan yang akan datang. Ini harus diorganisasi sedemikian sehingga kepentingan individu dan umum dapat bertemu satu dengan yang l ain. Tiap anggota masyarakat mendapatkan keuntungan dari sitem sosial, menurut pembayaran personal (individu) terletak pada sistem sosial dan menurut kebutuhan khusus. 2. Harga-harga harus selalu memberikan fungsi sebagai pemandu penting dari pasar. Mereka harus mencerminkan ketersediaannya sumberdaya, produksi, barang dan jasa. 3. Kondisi lingkungan sekitar untuk kompetisi perlu memperbolehkan pasar berfungsi secara baik untuk diciptakan, dan dipertahankan, inovasi dipacu, keputusan jangka panjang akan diuntungkan dan kemajuan sosial akan ditingkatkan untuk mengarah pada kebutuhan masa mendatang. 4. Efisiensi ekonomi dari masyarakat dan dasar produksi, hubungan sosial dan manusia harus berlanjut sepanjang masa. Mereka harus meningkat bukan saja kualitas tetapi juga meningkat kuantitasnya.

Peraturan Ekologis

Komisi Enquete berjudul "Protection of Man and Environment" (Perlindungan Manusia dan Lingkungan) di 13th German Bundestag (parlemen Jerman) tahun 1997 telah mendefinisikanpembangunan yang berkelanju tan (sustainable development) sebagai tujuan utama untuk menetapkandan meningkatkan prestasi ekologis, ekonomi, dan sosial. Ini berkaitan dengan model tiga kolom yang setara untuk keberlanjutan ekologi, ekonomi, dan permintaan sosial. Komisi Enquete Jerman tersebut mengajukan peraturan ekologis untuk pembangunan yang berkelanjutan seperti berikut ini: 1. Pemakaian sumber daya yang dapat diperbaharui seharusnya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya tersebut. Ini berhubungan dengan kebutuhan performa ekologi yang berkelanjutan (contohnya [paling tidak] keberlanjutan kapital ekologis yang ditentukan oleh fungsinya. 2. Emisi untuk lingkungan seharusnya tidak melebihi kapasitas ekosistem -ekosistem individu 3. Kurun waktu dampak antropogenik untuk lingk ungan harus seimbang dengan kurun waktu kemampuan proses alami dalam lingkungan yang berkaitan untuk bereaksi 4. Resiko dan bahaya untuk kesehatan manusia yang disebabkan oleh aktivitas antropogenik harus di minimalisasi.

Peraturan SosialAkhirnya, Komisi Enquete tersebut mengajukan peraturan social untuk keberlanjutan seperti berikut ini: 1. Negara sebagai badan sosial konstitusional seharusnya menetapkan dan menjunjung tinggi derajat manusia dan perkembangan karakter manusia secara bebas untuk sekarang dan masa depan, untuk menjaga kedamaian sosial. 2. Setiap anggota masyarakat mendapat manfaat dari masyarakat sesuai dengan kontribusinya untuk sistem jaminan sosial dan juga jika kurang mampu. 3. Each member of the society has to pay a solidary contribution to the community according his or her capability. 4. Sistem jaminan sosial (social security system) hanya bisa tumbuh bergantung pada standar ekonomi. 5. Potensi produktivitas seluruh masyarakat dan cabangnya seharusnya tetap dilangsungkan juga untuk generasi masa depan.

Keberlanjutan dalam KimiaKimia dalam konteks pembangunan berkelanjutan pada waktu yang sama adalah suatu kesempatan dan juga suatu resiko. Resikonya tinggi, yang ditunjukkan oleh bencana di Seveso (Italia), Bhopal di India dan Sandoz Corp . di Basle, Swiss. Ditambah, efek yang terlihat kurang penting seperti emisi di mana-mana dan akumulasi POP (persistent organic pollutants) juga berasal dari industri kimia. Di samping bahaya seperti ini, kimia menawarkan potensi yang besar untuk pembangunan berkelanjutan. Industri kimia dapat mendukung pembangunan yang mengarah ke gaya hidup masyarakat yang lebih baik sesuai kompetensi dalam bidang transformasi produk dan materi. Produksi materi insulasi untuk gedung umum dan pribadi adalah contoh kontribusi kimiayang baik dalam proses ini. Energi yang diperlukan untuk produksi materi seperti ini disimpan dalam tahun pertama operasi dengan mengurangi keperluan pemanasan. Pengurangan energi yang dipakai untuk pemanas gedung dalam jangka panjang menja di mungkin. Contoh yang lain adalah pengembangan catalytic converter (pengubah katalis) untuk kendaraan bermotor, yang menyebabkan emisi

berkurang secara besar-besaran. Ini mengakibatkan peningkatan yang signifikan dalam kualitas udara di lingkungan kita. Dalam bab-bab berikut ini, pandangan dan pernyataan organisasi perdagangan dan industri kimia tentang masalah pembangunan berkelanjutan akan dibahas.

Perspektif Organisasi LingkunganKini, ada peraturan yang ditetapkan oleh badan legislatif dalam sebagian besar negara modern tentang masalah lingkungan seperti chemical compounds dan perbaikan pabrik kimia. Peraturan ini adalah hasil dari diskusi kontroversial pada tahun 1980-an tentang peran kimia. Kemarahan sosial yang ditunjukkan, seperti "Seveso ist berall" (Seveso di mana-mana) telah mereda. Ditambah, NGO lingkungan telah terlibat dalam kebijakan politik tentang masalah kimia. Bukan diskusi tentang kimia dan tenaga nuklir, melainkan topik kontroversi lainnya yang mengambil peran penting sekarang. Di anta ranya, isu perkembangan genetika dan radiasi non-ionizing dari telepon seluler. Kerjasama antara organisasi lingkungan dengan industri kimia telah dikembangkan yang menghasilkan publikasi seperti "Sustainable Development - Vom Leitbild zum Werkzeug" (Pembangunan Berkelanjutan - dari konsep menjadi alat) oleh perusahaan Hoechst. Kerjasama ini berbuah "Product Sustainability Assessment (PROSA)" (Evaluasi Keberlangsungan Produk) yang diaplikasikan dalam sejumlah bidang. Kerjasama yang hampir sama menghasilkan topik "PVC und Nachhaltigkeit" (PVC dan Keberlanjutan) Tujuan akhir dan mutlak dari pembelajaran model adalah untuk mengintegrasikan aspekaspek seperti perspektif ekonomi, sosial, dan ekologi untuk mencapai pertimbangan holistik produk kimia tersebut.

Pandangan Federasi dan PerusahaanKecelakaan di pabrik kimia, peningkatan kepekaan penduduk terhadap lingkungan, dan peningkatan tekanan politik mengakibatkan perusahaan dan organisasi kimia untuk memikirkan aktivitas mereka secara global. Alasan ini menyebabkan konsep umum "responsible care" (perawatan yang bertanggung jawab) pada akhir tahun 1980-an; industri kimia mengambil inisiatif untuk memperbaiki aktivitas mereka dengan alasan keselamatan, kesehatan,dan perlindungan lingkungan, mandiri dari peraturan legislatif. Perbaikan signifikan telah dicapai berdasarkan konsep ini selama beberapa tahun terakhir, khususnya dalam bidang perlindungan lingkungan. Sebagai contoh, emisi gas berbahaya dalam industri kimia telah berkurang secara drastis dengan kombinasi pan as dan kekuatan (cogeneration). Akan tetapi, permintaan untuk model "sustainable development" (pembangunan berkelanjutan) melebihi apa yang terkandung dalam konsep "responsible care" (perawatan yang bertanggung jawab). Organisasi industri kimia nasional dan internasional dan juga beberapa perusahaan yang terkait mendiskusikan permintaan tersebut dan mengetahui prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Namun, mereka meminta tidak hanya hukum nasional melainkan juga hukum internasional untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan pada level global [1]. Lebih dari 100 perusahaan global telah bersatu untuk membentuk World Business Council of Sustainable Development (WBCSD) atau Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan. Organisasi ini mengembangkan konsep dan prinsip baru pembangunan berkelanjutan untuk perusahaan kimia, seperti dalam bidang eco effectiveness (keefektifan lingkungan) atau sumber daya yang dapat diperbaharui .

Keberlanjutan dalam Pendidikan KimiaTantangan pembangunan berkelanjutan untu k kimia mencakupi tiga area keberlanjutan. Tidak semua pertanyaan dapat dijawab saintis dari satu bidang

karena kompleksitas pertanyaan. Jadi, saintis dari bidang-bidang yang berbeda diperlukan. Tugas utama dari pandangan ilmu pengetahuan adalah pengembangan proses dan prosedur yang berkelanjutan dari segi ekologis (ecologically sustainable). Suatu proses dapat dipandang ecologically sustainable jika pemakaian sumber daya (input, kondisi produksi, dan hasil dari proses tersebut) mendekati dengan angka minimal. Itu tidak berarti solusi dan cara lain tidak ada, yang dapat dibilang lebih memenuhi kriteria ecologically sustainable. Untuk pengembangan proses-proses tersebut, saintis dengan pengetahuan dasar dalam bidang transformasi materi diperlukan. Bersama itu , mereka seharusnya juga mempunyai pemahaman tentang permintaan baru seperti berikut ini: Aplikasi kondisi reaksi alternatif yang hemat energi dan ramah lingkungan dengan memakai reaksi catalytic dan enzymatic Aplikasi teknik alternatif untuk reaksi panas seperti reaksi fotokimia dan elektrokimia,teknik microwave dan solar Aplikasi reaksi kemo-, regio, dan stereoselektif yang modern Pemakaian materi awal dan intermediat yang hemat sumber daya, dan pemakaian sumberdaya yang dapat diperbaharui Pemakaian larutan yang ramah lingkungan Pendaurulangan compound dan larutan cadangan Permintaan untuk ahli kimia diringkas dalam karya tulis Eissen et al. "10 Years after Rioconcepts for Contribution of Chemistry towards Sustainable Development" . Institut virtual telah mengembangkan konsep-konsep menarik yang menggunakan prinsip green chemistry (kimia hijau). Konsep-konsep tersebut telah dijabarkan menjadi 12 prinsip umum : 1. Lebih baik mencegah adanya limbah daripada membersihkan atau memroses limbah setelah dihasilkan. 2. Metode sintetis seharusnya didesain untuk memaksimalkan penggabungan semua materi yang dipakai dalam proses pembuatan produk akhir. 3. Jika mungkin, metodologi sintetis seharusnya didesain untuk memakai dan membuat zat yang memiliki kadar racun yang rendah atau tidak sama sekali terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. 4. Metode kimia seharusnya didesain untuk menjaga keefektifan fungsinya bersamaan mengurangi kadar racun. 5. Pemakaian zat suplementer (contoh: larutan, bahan pemisah, d ll.) seharusnya tidak perlu, dantidak berbahaya jika digunakan. 6. Keperluan energi seharusnya dikenal untuk dampak lingkungan dan ekonominya dan seharusnya diminimalisasi. Metode sintetis seharusnya dilaksanakan dalam suhu dan tekanan yang atmosferik. 7. Bahan mentah seharusnya dapat diperbaharui daripada menghabiskan, jika mungkin secara teknis dan ekonomi. 8. Penyimpangan yang tidak perlu (blocking group, proteksi/deproteksi, modifikasi sementara terhadap proses fisik/kimia) seharusnya dihindari jika mun gkin. 9. Catalytic reagents/ reagen katalis (seselektif mungkin) lebih baik dibandingkan stoichiometric reagents/ reagen stoichiometric. 10. Produk kimia seharusnya didesain jadi pada akhir masa berfungsinya tidak berada dilingkungan dan terurai menjadi produk penguraian yang tidak berbahaya. 11. Metode analisis seharusnya dikembangkan lebih lanjut dalam proses monitoring dan kontrol sebelum pembentukan zat berbahaya.

12. Zat dan bentuk zat yang dipakai dalam proses kimia seharusnya dipilih untuk meminimalkan kemungkinan bencana kimia, termasuk pelepasan, ledakan, dan kebakaran. Di samping permintaan yang disebtukan, pemahaman pertimbangan -pertimbangan juga diperlukan. Hanya dengan cara ini bahaya lingkungan yang ditimbulkan rekasi dapat dioptimalisasi menjadi minimal. Contoh berikut akan menjelaskan cara tersebut: Efek dari reaksi terhadap lingkungan, seperti racun terhadap manusia dan alam, eutrofikasi, dan perubahan iklim dipengaruhi oleh banyak faktor. Dampak lingkungan dari rekasi ditentukan tidak hanya oleh reagen dan auxilliary compounds yang dipakai, tetapi juga oleh energi yang diperlukan untuk proses tersebut. Jumlah efek yang dihasilkan suatu reaksi akan dijelaskan oleh bentuk 1. Cara dengan langkah langkah dapat digunakan untuk mencapai kondisi reaksi dengan dampak lingkungan yang lebih kecil. Ketika seseorang merencanakan reaksi dengan cara terintegrasi, banyak faktor yang harus dipertimbangkan: langkah pre -equilibrium, energi produk intermediet, dan perubahan yang mungkin terhadap keadaan reaks i jika larutan membahayakan lingkungan. Dengan optimalisasi seperti ini, bentuk 2, yang lebih diinginkan daripada bentuk 1, dapat didapatkan. Ketika semua parameter suatu reaksi telah dioptimalisasi, bentuk 3 diperoleh karena usaha optimalisasi. Sekarang perubahan utama terhadap keadaan reaksi diperlukan untuk perbaikan untuk mendapatkan eco-efficiency (keefektifan alam), contohnya untuk memperoleh bentuk. Perbaikan esensial dapat menjadi kegunaan katalis istimewa atau aplikasi bahan dasar yang lain untuk menghasilkan produk reaksi yang sama.Pembangunan berkelanjutan ini tentunya tidak terlepas dari ekonomi pembangunan yang dapat diartikan sebagai bagian dari Ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana usaha manusia atau suatu bangsa meningkatkan taraf hidupnya melalui peningkatan pendapatan Nasional perkapita, retribusi pendapatan serta menghapuskan kemiskinan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha bagaimana manusia atau suatu bangsa berusaha meningkatkan standar hidupnya ketaraf yang lebih baik dengan distribusi pendapatan yang lebih merata tanpa kemiskinan dan kebodohan bagi bangsa tersebut. Keberlanjutan pembangunan dapat didefinisikan dalam arti luas yaitu bahwa generasi yang akan datang harus berada dalam posisi yang tidak lebih buruk daripada generasi sekarang. Generasi sekarang boleh memiliki sumber daya alam serta melakukan berbagai pilihan dalam penggunaannya namun harus tetap menjaga keberadaannya, sedangkan generasi yang akan datang walaupun memiliki tingkat teknologi dan pengetahuan yang lebih baik serta persediaan kapital buatan manusia yang lebih memadai. Jadi yang pending dalam konsep ini adalah bahwa generasi sekarang maupun generasi akan datang tetap dalam keadaan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat diambil suatu kesimpulan pembangunan berkelanjutan bila tidak ada masalah ketidak merataan antar generasi (intergenerational inequality) . Pembangunan berkelanjutan tidak berarti pembangunan di bidang ekonomi saja tetapi seperti yang telah dicantumkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara pembangunan ekonomi harus didahulukan dengan asumsi bahwa keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi akan membawa berbagai kemudahan dalam pembangunan bidang-bidang lain. Dari uraian diatas tampak adanya konflik antara keberlanjutan pembangunan ekonomi dengan sumber daya, karena apa yang diperoleh oleh generasi muda akan datang adalah merupakan titipan dari generasi masa kini, jadi tanpa ada pengelolaan yang baik dapat kita bayangkan apa yang diutarakan oleh defenisi diatas tadi untuk meniadakan masalah ketidak merataan antar generasi tadi tidak akan terpenuhi. Namun bila keterkaitan antara kedua bidang tersebut diamati dan dipelajari dengan seksama, maka akan tampak bahwa keberlanjutan di kedua bidang itu akan saling

mendukung dan menguntungkan. Pembangunan ekonomi berhasil berarti meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melindungi lingkungannya. IV. PENUTUP Pentingya peranan sumber daya alam dalam pembangunan berkelanjutan, tanpa menghindari kepunahan dari sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan dan pengendalian melalui berbagai usaha antara lain: a. Pengambilan sumber daya alam tidak boleh melebihi tingkat pertumbuhan. b. Kapasitas lingkungan dalam menyerap pencemaran tidak boleh berkurang. c. Melestarikan fungsi lingkungan baik sebagai sumber bahan mentah maupun sebagai penampung limbah. d. Menyatukan pemikiran ekonomi dengan ekologi. e. Peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya lingkungan ditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan.